HANCURNYA KESULTANAN BANTEN
Hancurnya Keraton Surasowan Pangeran Surya sebagai Adipati Anom dinobatkan pada 10 Maret 1651 menjadi Sultan Banten yang kelima, karena Pangeran Pekik wafat mendahului ayahnya. Untuk mempelancar pemerintahan, diangkat beberapa orang yang cukup berkompeten. Jabatan patih atau mangkubumi dipercaya kepada Pangeran Madura dengan wakil Tubagus Wiratmaja. Jabatan Qodli atau hakim agung negara diserahkan kepada Pangeran Jaya Sentika. Karena ia wafat dalam perjalanan ibadah haji, jabatan kadi atau kali atau Pakih Najmuddin itu diserahkan kepada Entol Kawista. Madura dan Jaya Santika adalah putera Sultan Al Mafakir. Pada tahun 1645, Sultan Abu Mufakir mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan Kompeni. Walaupun demikian, Sultan mengganggap perjanjian itu lebih banyak menguntungkan Belanda. Sultan tidak melarang, bahkan menganjurkan kepada rakyatnya agar mengganggu Belanda. Karena itu, banyak terjadi perampokan terhadap pedagang Belanda. Tindakan ini dilakukan agar orang Belanda tidak betah dan segera meninggalkan Banten, di samping merupakan balasan atas tindakan Kompeni memblokade Pelabuhan Banten, yang berakibat pedagang asing lain enggan berlabuh di Banten. Setelah terjadi beberapa kali pertempuran yang banyak merugikan kedua belah pihak, sekira pada bulan November tahun 1657, Kompeni mengusulkan usul genjatan senjata. Meskipun
demikian,
pertempuran kecil masih sering terjadi. Ini karena, kendatipun pernyataan genjatan senjata sudah diumumkan tetapi perjanjian belum disepakati. Pada tanggal 29 April 1658, datang seorang utusan Belanda ke Banten membawa surat dari Gubernur Jendral Kompeni Maetsuycker (1643-1678) yang berisi rancangan perjanjian persahabatan dan perdamaian. Setelah melihat rancangan perjanjian itu, Sultan Ageng menganggapnya bukan mengajak damai tetapi berbuat curang, pihak Belanda akan mendapatkan keuntungan dan merugikan Banten. Oleh karena itu, ia mengirim utusan untuk mengubah dan tambahan seperlunya. Pada tanggal 4 Mei 1658, naskah tersebut berubah menjadi : 1. Rakyat Banten diperbolehkan datang ke Batavia setahun sekali untuk membeli senjata, meriam, peluru, mesiu, besi, cengkih dan pala. 2. Rakyat Banten dibebaskan berdagang ke Ambon dan Perak tanpa dikenai cukai dan pajak. Usulan Sultan tersebut ditolak. Kompeni ingin orang Banten membeli rempah-rempah pada Kompeni itu pun harus dengan membayar pajak. Penolakan Gubernur Jendral Kompeni terhadap usul itu membuat Sultan Ageng sadar bahwa tidaklah mungkin ada penyesuaian pendapat antar kedua belah pihak. Oleh karena itu, tanggal 11 Mei 1658, dikirimnya surat balasan oleh pihak Belanda kepada Banten yang menyatakan bahwa Banten dan Kompeni tidak mungkin berdamai. Tidak ada jalan yang ditempuh oleh kedua belah pihak kecuali satu : perang.
Sejak itu, Sultan Abu al Fath Abdu al Fattah mengumumkan perang dan negara dalam keadaan siap tempur. Disiapkannya seluruh angkatan perang Banten, terutama di daerah perbatasan. Tidak lama kemudian, terjadilah pertempuran besar baik di darat maupun di laut. Pertempuran tidak pernah berhenti sejak bulan Mei 1658 sampai 10 Juli 1659. Banyak dari kedua belah pihak antara pasukan Banten dan Kompeni berguguran dan terluka. Prajurit yang terluka segera dikirim ke Surasowan. Banyak diantara mereka yang meninggal di perjalanan karena terluka parah. Kedudukan Belanda makin terdesak sampai mendekati Batavia. Banyak penduduk dan pejabat Belanda yang mengungsi ke daerah lain. Mereka khawatir pasukan Banten dapat menembus benteng pertahanan Belanda. Oleh karena itu Belanda mengupayakan perdamaian dengan Sultan Al Fath di Surasowan. Usul perdamaian yang diberikan oleh Belanda ditolak mentah-mentah oleh Sultan Banten. Kompeni berusaha melunakkan hati Sultan. Kompeni meminta bantuan kepada Sultan Jambi guna mengatur perjanjian persahabatan. Sultan Jambi mengirim utusan Kyai Damang Di Rade Wangsa dan Kyai Ingali Martasidana, ke Surasowan. Akhirnya pada tanggal 10 Juli 1659, ditandatangani perjanjian perdamaian antara Banten dan Belanda, oleh Sultan Abu Al Fath Abdu Fattah dengan Gubernur Jenderal Maetsuycker (1643-1678). Akhirnya berakhirnya perang besar antara Banten dengan Batavia. Sultan berkesempatan untuk berbenah diri sebagai persiapan untuk menghadapi pertempuran lain. Mulailah diadakan pembangunan di segala bidang, yang tertunda karena perang. Ditandatanganinya perjanjian gencatan senjata tersebut berarti blokade Kompeni atas pelabuhan Banten berakhir. Oleh sebab itu, kapal asing yang semula takut berlabuh di Banten dapat berniaga dengan tenang dan bebas. Sejak dari itu, ramailah Pelabuhan Banten dengan berbagai negara, seperti Philipina, Jepang, Cina, Hindia, Persia dan Arab. Bahkan pedagang Inggris, Perancis, Denmark, Belanda dan Portugis membuka kantor perwakilan Banten. Dalam sejarah perdagangan di Indonesia tampak adanya perpindahan pusat perdagangan. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, pusat perdagangan beralih ke Aceh dan Banten. Pada saat itu pula perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat. Untuk membina mental rakyat dan prajurit Banten, didatangkan guru dari Aceh, Arab dan daerah lain, salah satunya ialah ulama besar dari Makasar, Syekh Yusuf Taju al Khalawati, yang kemudian menjadi mufti agung, guru dan menantu Sultan. Saat melihat keadaan Banten dengan pembangunan yang sangat pesat, Gubernur Jenderal Rijckloff Van Goens, pengganti Maetsuycker menulis surat kepada Pemerintah Kerajaan Belanda tanggal 31 Januari 1679, yang berbunyi : “Yang amat perlu untuk pembinaan negeri kita adalah penghancuran dan penghapusan Banten. Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancur leburkan atau Kompeni yang lenyap. Setelah Abu al Fath Abdu al Fattah membangun istana di Tirtayasa, ia lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa membujuk Putera Mahkota untuk menunaikan ibadah haji di Mekkah, seraya mengunjungi beberapa negara Islam, agar kebiasaannya yang tidak selaras adat keislaman sedikit-banyak dapat dihilangkan, dan juga agar dapat memperluas wawasan berpikir demi kemajuan Kesultanan Banten.
Selama Putera Mahkota Abu al Nasr Abdu al Qahar pergi ke Mekkah, pemerintahan di Surasowan dipercayakan kepada Pangerang Purbaya, adiknya. Mengingat Pangeran Purbaya jauh lebih baik dari kakaknya. Sultan Ageng Titayasa banyak menyerahkan tangung jawab kerajaan ke pundaknya. Setelah kepulangan Putera Mahkota sepulang dari Mekkah, timbulnya ketegangan antara Sultan Haji, sebutan Putera Mahkota setelah sepulangnya dari Mekkah dengan Pangeran Purbaya, ataupun bersama ayahnya Sultan Ageng Tirtayasa. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Kompeni untuk menghasut Sultan Haji dan mengadu-domba antara ayah dan anak, sehingga timbul keberanian Sultan Haji untuk menentang kebijakan-kebijakan ayahnya. Sultan Haji lebih percaya kepada Kompeni yang dianggapnya sebagai kawan sejati, sehingga orang Belanda itu dijadikan penasihat oleh Sultan Haji. Hubungan Sultan haji dengan Kompeni semakin dekat, sedemikian dekatnya, pasukan pertahanan Surasowan ditempatkan satu barisan dengan pasukan Kompeni sebagai pasukan tambahan. Pada hakikatnya mereka adalah mata-mata yang ditanam Kompeni di Banten. Sultan Haji lebih percaya kepada kata-kata Kompeni dari pada kepada petuah dari ayahnya. Karena hasutan kompenilah hubungan antara Sultan Haji dengan ayahnya semakin teggang dan kedua sultan ini saling mencurigai. Pada diri Sultan Haji tumbuh keinginan kuat untuk segera berkuasa atas Kesultanan Banten tanpa turut campur ayahnya dalam pemerintahan. Keinginan itu terlihat dari tindakannya. Keadaan Kesultanan Surasowan semakin panas. Sultan Ageng Tirtayasa mendengar kabar bahwa beberapa kapal Banten yang pulang dari Jawa Timur ditahan oleh Kompeni karena dianggap kapal perampok. Tuntutan Sultan supaya prajurit pasukan Banten yang ditahan oleh Kompeni untuk segera dibebaskan tidak diindahkan oleh Kompeni. Hal ini membuat kemarahan Sultan. Harga dirinya sebagai sultan dari suatu negara merdeka diremehkan. Karena itu, diumumkan bahwa Banten dan Kompeni dalam situasi perang. Keputusan Sultan Ageng Tirayasa ini bertentangan oleh Sultan Haji, yang menganggap Sultan Ageng ceroboh dan tidak bermusyawarah terlebih dahulu dengannya. Karena itu Sultan Haji mengganggap keputusan itu tidak sah. Dengan bermodalkan bantuan Kompeni yang dijanjikan, Sultan Haji meman’zul-kan ayahnya. Dikatakannya pula Sultan Ageng Tirtayasa sudah terlalu tua dan pikun, hingga mulai saat itu kekuasaan Banten seluruhnya dipegang Sultan Haji. Melihat kelakuan anaknya yang sudah keterlaluan, habislah kesabaran Sultan Ageng Tirtayasa. Pada malam 27 Februari 1682, dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa sendiri, mulailah diadakan penyerbuan ke Surasowan. Penyerbuan ini berhasil mematahkan perlawanan Surasowan. Dalam waktu singkat, Sultan Ageng Tirtayasa dapat menguasai Istana. Sultan Haji melarikan diri, dan meminta bantuan kepada Jacob Janssen de Roy, bekas pegawai Kompeni. Setelah keadaan Surasowan diketahui oleh Batavia, pada tanggal 6 Maret 1682, Kompeni mengirimkan pasukannya yang dipimpin oleh Saint Martin. Tetapi, karena adanya perlawanan kuat dari Banten, pasukan Kompeni tidak dapat mendarat. Kapten Sloot dan Caeff, wakil Kompeni, segera mengirimkan pasukan yang lebih banyak dan kuat.
Kompeni segera mengirimkan bantuan pasukannya dari darat dan laut. Pasukan laut dipimpin oleh Kapten Francois Track dibantu oleh pasukan Saint Martin, kemudian mengadakan penyerangan di depan Pelabuhan Banten. Dalam penyerangan ke Tirtayasa, pasukan darat bergabung dengan pasukan laut, hingga Tirtayasa dikepung oleh dua arah. Pertempuran tersebut banyak memakan korban. Akhirnya, pasukan Kapten Track dan Saint Martin dapat menguasai Surasowan sampai dengan Tanahara. Prajurit Sultan Ageng Tirtayasa makin cemas dan jumlahnya pun semakin berkurang. Akhirnya pasukan Sultan Ageng Tirtayasa mengerahkan seluruh pasukan untuk melawan kekuatan Kompeni. Pertempuran berlangsung dengan hebat. Akhirnya, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, untuk menghindari korban sia-sia, meninggalkan Tirtayasa. Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan pula agar istana dan bangunan lain untuk dibakar. Sultan Ageng tidak rela bangunan itu diinjak-injak oleh orang kafir dan pendurhaka. Pasukan Sultan Ageng pun dapat dipukul mundur oleh pasukan musuh. Kompeni dan Sultan Haji menduduki Tirtayasa. Tetapi, disana mereka hanya mendapatkan puingpuingnya saja. Bahkan penduduknya pun banyak ikut Sultan Ageng Tirtayasa lari ke hutan. Dari hutan Kranggan, Sultan Ageng Tirtayasa dan pasukannya melanjutkan perjalanan ke Lebak. Mendengar keberadaan sang ayah, Sultan Haji pun akhirnya menyuruh pasukannya untuk mengirimkan surat kepada Sultan Ageng Tirtayasa di Sajirah, Lebak. Dalam surat itu, Sultan Haji mengajak ayahnya kembali ke Surasowan dan hidup bersamanya dengan damai. Di samping itu, dengan adanya Sultan Ageng Tirtayasa di istana, dapat dirundingkan kedudukannya dan rakyat Banten yang mendukungnya. Tanpa curiga, pada tangggal 14 Maret 1683, Sultan Ageng Tirtayasa datang ke istana yang disambut ramah oleh Sultan Haji. Akan tetapi, setelah tinggal beberapa lama, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Kompeni dan dibawa ke Batavia. Sultan Ageng Tirtayasa, pada tahun 1692, wafat dan jenazahnya, atas permintaan cucunya, Sultan Abdu al Mahasin Zainu al Abidin, dikirimkan ke Banten. Dengan upacara kebesaran kenegaraan, jenazah Sultan Ageng dimakamkan di sebelah utara Masjid Agung Banten. Wafatnya Sultan Ageng Tirtayasa dan tertangkapnya para pengikutnya yang setia, membawa Banten ke ambang pintu penjajahan, karena Sultan Haji menandatangani beberapa perjanjian dengan Belanda. Dengan ditandatanganinya perjanjian dengan Belanda, lenyaplah kejayaan dan kemajuan Banten, karena adanya monopoli dan unsur penjajahan Belanda. Malah, dengan ini pula, akhirnya Kesultanan Banten hancur dan lenyap. Akhirnya, bertumpuk-tumpuk penderitaan rakyat, bukan saja pembersihan atas pengikut Sultan Ageng Tirtayasa, melainkan juga karena Sultan Haji harus membayar biaya perang dan arena monopoli perdagangan Kompeni. Rakyat harus membayar dan menjual hasil panennya kepada Kompeni dengan harga yang sangat murah. Tidak heran, pada masa ini, banyak terjadi kerusuhan dan pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat.
Demikianlah, masa pemerintahan Sultan Haji dipenuhi dengan pemberontakan dan kekacauan di segala bidang. Bahkan, sebagian besar rakyat tidak mengakuinya sebagai sultan. Mereka mengharapkan kedatangan ratu adil yang akan mengubah keadaan. Oleh karena itu, Sultan Haji hidup selalu dalam kegelisahan dan ketakutan. Sebagai manusia pasti mempunyai penyesalan terhadap ayah, saudara, sahabat dan prajuritnya yang setia, tetapi semua itu sudah terlanjur. Kompeni yang dahulu diangggap sebagai sahabat dan pelindungnya sekarang bahkan menjadi tuan yang harus dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan itu, Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal pada tahun 1687. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Saba Kingkin sebelah utara Masjid Agung Banten, sejajar dengan makam ayahnya, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah wafatnya Sultan Haji pada tahun 1687, kehancuran demi kehancuran Kerajaan Banten sangat dirasakan rakyat Banten, walaupun kepemimpinan kesultanan Banten silih berganti. Kesultanan Banten tidak mengalami kemajuan dibidang apapun. Hal ini, disebabkan tekanan dari Kompeni, seperti monopoli perdagangan dan pertanian. Akhirnya, Kesultanan Banten dapat direngut oleh kekuasaan Belanda yang menjajah. Sumber 1.
: Mansur, Khatib. 2001. Perjuangan Rakyat Banten Menuju Provinsi, Catatan Kesaksian Wartawan. Antara Pustaka Utama : Jakarta.
2.
Guillot, Claude. 2008. Banten Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) : Jakarta.