Kesultanan Banjarmasin Pada Abad Ke-19: Pertikaian Dalam Kesultanan Dr. Ita Syamtasiyah Ahyat, SS, M.Hum Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstract The foreign of influence always intervened in Banjarmasin sultanate, which at that time was experiencing a chronic internal discord notably in the sultanate family due to hatred, envy, greed and the power thirst on them. Then there were also political conspiracies leading to the number of murders in that time. All this was happening in Banjarmasin sultanate, for example, in the 19th century of hostility between Prince Hidayatullah and Prince Tamjidillah. In this hostility, there was a very deep intervention of the East Dutch government in the sultanate, since the East Dutch government was deeply concerned about the sultanate's richness of coal mines and other natural resourses. This paper covers the era of the East Dutch government in the 19th century, which, of course, the source coming from the Netherlands is used. The primary sources are the documents or the archives, such as Kolonial Verslag, Memorie Van Overgave, journey reports and others. The local sources are the tale scripts, the pedigree, kroniek and the contemporary books. Also used as the secondary sources are the researches that support and the researches of community academic’s result. How to use them is by using historical method which is begun with the research of the source (heuristics), and then continues on criticizing or selection of the sources. Afterward, the sources are interpreted and analyzed before moving into the writing of history (historiography) as the final step. Keywords: Hidayattullah, Tamjidillah, Banjarmasin sultanate, the East Dutch government
Pengaruh asing selalu ikut campur dalam Kesultanan Banjarmasin, yang mengalami pertentangan internal yang kronis, terutama di antara anggota keluarga sultan, kebencian, iri hati, ketamakan dan lapar kekuasan. Terbentuk intrik-intrik atau persekongkolan politik merupakan sebab terjadinya pembunuhan. Hal ini terjadi dalam sejarah Banjarmasin misalnya Pangeran Samudra melawan Pangeran Tumenggung (Pamannya) pada abad ke-16, Pangeran Amir melawan Penembahan Nata pada abad ke18, pada abad ke-19 Pangeran Hidayatullah berseteru dengan Pangeran Tamjidillah.1 1
J.J. Ras, Hikayat Banjar, (Leiden; The Hague-Martinus Nijhoff, 1968); Lihat juga E.B. Kielstra, De Indische Archiepel. Geschiedkundige Schetsen (Harlem, 1917); Lihat juga E.B Kielstra, “De 0ndregang van het Bandjermasinsche Rijk, “ I.G. II (1890), hal 2389-2390.
243
Dalam persetuan antara Pangeran Hidayatullah dengan Pangeran Tamjidillah, terjadi campur tangan pemerintah Hindia Belanda, yang sangat mendalam pada pemerintahan kesultanan. 1. Perebutan Jabatan Mangkubumi Pada tahun 1825 Sultan Sulaiman meninggal dunia dan digantikan anaknya, yang bernama Sultan Adam Alwasih Billah. Puteranya yang sulung, Pangeran Abdurahman, diangkat menjadi putera mahkota dengan gelar Sultan Muda Abdurahman. Sultan Adam amat dihormati rakyatnya karena sifatnya yang lemah lembut dan kasih sayang terhadap lingkungannya. Sifat baik ini tidak didukung oleh watak kepribadiannya yang kuat hingga ia jatuh ke bawah pengaruh isterinya dan tidak mampu menguasai keluarga dan pemerintahan. Istrinya Nyai Ratu Komala Sari, anak rakyat bisa dari Amuntai, Nyai ini menguasai pemerintahan, kekayaan dan cap kesultanan sampai Sultan Adam Alwasih Billah meninggal dunia. Perselisihan dalam kesultanan terus-menerus berkembang, karena rival dari mangkubumi yaitu Prabu Anom mengadakan intrik untuk merebut jabatan mangkubumi, yang merupakan jabatan tertinggi sesudah sultan. Biasanya dipilih dari putra atau keluarga raja. Sedangkan untuk jabatan putra mahkota, yang bergelar sultan muda, telah diangkat putra tertua sultan Adam, yaitu Sultan Muda Abdurahman. Ia berhubungan dengan seorang putri Cina, yang bernama Nyai Aminah (Nyai Damang)2 yang dijadikan selir. Dari hubungan ini lahirlah Pangeran Tamjidillah pada tahun 1817, yang merupakan anak tertua, kemudian lahir pula anak-anak yang lain.3 Kakek dan ayah Sultan Muda Abdurahman tak setuju melihat hubungannya dengan selir Cina tersebut. Oleh sebab itu, mereka menikahkan Sultan Muda Abdurahman dengan seorang putri bangsawan keturunan raja, yang bernama Putri Siti. Ia adalah putri dari kakak sultan Adam yaitu, Pangeran Mangkubumi Nata (mangkubumi yang meninggal pada tahun 1842, kemudian jabatan mangkubumi digantikan oleh Ratu Anom Mangkubumi Kencana/putra Sultan Adam)4. Putri inilah yang kemudian dijadikan permaisuri, yang melahirkan Pangeran Hidayatullah pada tahun 1822, dan dua putri lainnya, yaitu Ratu Syarif dan Ratu Jaya Kasuma.5 Sultan Muda Abdurahman sangat memanjakan selir dan putranya yang tertua, sedangkan permaisuri dengan putra-putra yang lain diabaikan. Misalnya dalam hal pemberian tanah lungguh,6 Sultan Muda Abdurahman memberi tanah lungguh kepada Tamjidillah secara berlebih-lebihan antara lain daerah Alua, Takaran, Taramatan,
2
Sebutan “Nyai” bagi istri sultan, karena berasal dari rakyat kebanyakan , tetapi jika keturunan raja disebut “Ratu” yang disahkan dengan undang-undang kesultanan. Permaisuri yang melahirkan putra mahkota atau melahirkan raja, yang berasal dari rakyat biasa disebut “Nyai Ratu,” untuk membedakan tingkatannya lebih tinggi dari “Nyai” misalnya, terhadap ibu dari Sultan Adam adalah Nyai Ratu Intan Sari dan ibu dari Sultan Muda Abdurahman adalah Nyai Ratu Kamala Sari. Ibu dari Pangeran Tamjidillah tetap disebut “Nyai,” karena yang berhak menjadi sultan adalah Pangeran Hidayatullah, bukan Pangeran Tamjidillah, lihat Rees, De Bandjermasinche Krijg, h. 21. 3 Rees, De Bandjermasinche Krijg, h. 12. 4 Kiaibondan, Suluh Sejarah Kalimantan, h, 33 5 Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, , h. 10. 6 Tanah lungguh = tanah apanage adalah tanah pinjaman dari raja yang seluruh hasilnya boleh dipungut oleh orang yang diberi pinjaman.
244
Amandit, dan Alai, serta tambang emas dan intan di sekitar daerah-daerah tersebut, yang sudah lama dikelola oleh Tamjidillah.7 Di samping itu Pangeran Tamjidillah menggunakan pengaruh ayahnya untuk mengambil hak saudara-saudaranya dalam memperkaya diri sendiri, dan juga untuk menguasai kesultanan dengan intrik-intriknya, Ia juga mengincar jabatan mangkubumi tersebut, bahkan pada tahun 1850 ia berusaha menggeser mangkubumi, tetapi tak berhasil.8 Walaupun Nyai Aminah (selir) mendapat perhatian yang berlebihan dari sultan Muda Abdurahman, ia tetap tak senang terhadap permaisuri yang berasal dari keturunan raja, apalagi karena permaisuri melahirkan Pangeran Hidayatullah. Ia khawatir tentu putranya tersisihkan dalam penggantian raja, karena yang berhak menggantikan raja menurut adat kebiasaan kerajaan harus seorang putra mahkota, yang adalah keturunan raja dari kedua belah pihak orang tuanya.9 Pengaruh selir ini cukup besar terhadap Sultan Muda Abdurahman, seperti halnya Nyai Ratu Kamala Sari terhadap Sultan Adam. Oleh sebab itu, antara permaisuri dan selir Sultan Muda Abdurahman ada kebencian dan fitnah memfitnah. Demikian pula halnya antara kedua putra mereka yaitu, Hidayatullah dan Tamjidillah. Ini akibat dari tindakan mereka yang kurang bijaksana dalam keluarga. Ratu Siti dan putranya kemudian memisahkan diri dari Sultan Muda Abdurahman dan minta perlindungan kepada mertuanya, Sultan Adam, dan Sultan Adam menempatkan mereka di kediaman Ratu Keramat (seorang putri dari Sultan Adam) di Martapura. Kemudian Hidayatullah dan ibunya pindah ke Karang Intan (disebut juga Riam Kanan), yang merupakan salah satu dari tanah lungguh yang diberikan ayahnya, tanah lungguh yang lain adalah Riam Kiwa (disebut juga Pengaron). Di sana ia hidup terasing dengan berburu, dan kurang dikenal orang-orang Belanda dalam pergaulan sehari-hari.10 Hidayatullah bersifat ramah-tamah, berbudi luhur, dekat dengan rakyat dan penganut Islam yang baik. Sedangkan Pangeran Tamjidillah, yang berdiam di Banjarmasin, sifatnya sangat akrab bergaul dengan pejabat-pejabat Belanda, senang bersuka-ria dengan pesta yang memabokkan, kurang dekat dengan rakyat, dan bukan penganut Islam yang baik, sehingga ia tak disukai rakyat. Ia juga sering membantu tugas-tugas mangkubumi dalam berhubungan dengan Belanda, karena pergaulannya yang erat dengan Belanda tersebut.11 Pada bulan September 1851 mangkubumi Ratu Anom Mangkubumi Kecana meninggal dunia. Residen atas nama Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai pejabat mangkubumi. Alasannya adalah karena politik Belanda yang ingin menguasai seluruh daerah tambang batu bara, yang terdapat di Martapura, dengan surat rahasia yang diberikan kepada Residen Van Hengst di Batavia. Isi surat tersebut menyatakan, bahwa selama kesultanan Banjarmasin menepati janji-janji yang ada dalam kontrak dan tidak 7
Missive residen Bandjermasin van 15 April 1852, l s II geheim. In beskuit 10 Juni l c I, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. 8 Verslag van Gallois van 1847 en verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik Indonesia, HIstorisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. 9 Rees, De Bandjermasinche Krijg, h. 12. 10 Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, h. 11. 11 Verslag van Gallois van 1847 en verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik Indonesia, HIstorisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. ; Lihat juga Amir Hasan Kiai Bandan, Suluh Sejarah Kalimantan, (Banjarmasin: Fajar, 1953), h. 35.
245
menghalangi kemajuan pertambangan batu bara, maka Belanda akan menjalankan politik bersahabat dan melindungi. 12 Melalui Tamjidillah sebagai penguasa kesultanan akan memperlancar politik Belanda tersebut. Karena sifat dan janji-janji dari Tamjidillah akan memberikan daerahdaerah yang dituju Belanda, asalkan Belanda berhasil mendukungnya menjadi penguasa ksultanan.13 Atas tindakan Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai pejabat mangkubumi ditentang oleh Prabu Anom dan Sultan Adam. Prabu Anom merasa barhak untuk jabatan tersebut atas dasar putra sultan, dan senior. Sedangkan Sultan Adam menentang pengangkatan tersebut atas dasar karena Tamjidillah bukan keturunan raja, dan dia mengusulkan Prabu Anom untuk jabatan tersebut. Namun demikian. Belanda tetap pada pendiriannya, karena beranggapan bahwa Prabu Anom tak pantas untuk jabatan tersebut. Atas dasatr Prabu Anom kejam, karena menaikan segala macam pajak di daerah lungguhnya antara lain, daerah Campaka, Tamirung (di sekitar Martapura). Akibatnya rakyat menderita dan membencinya.14 Dalam hal ini tentu saja Belanda condong kepada yang menguntungkan yaitu, Tamjidillah. Maka pada tanggal 21 September 1851 Pangeran Tamjidillah dilantik sebagai pejabat mangkubumi oleh residen atas nama Belanda dalam suatu upacara yang dihadiri oleh para pembesar kesultanan, penguasa pribumi dan para alim ulama.15 Ternyata jabatan mangkubumi diperebutkan oleh Prabu Anom putra Sultan Adam yang keempat, dan seharusnya memang Prabu Anomlah yang berhak menjadi mangkubumi kesultanan menurut adat yang berlaku di Kesultanan Banjarmasin, apalagi Prabu Anom didukung oleh Sultan Adam. Tetapi karena Belanda sudah sangat mencampuri urusan dalam negeri kesultanan dan kesultanan tidak berdaulat lagi. Maka dengan mudah Belanda mengangkat mangkubumi kesultanan, yang menguntungkan baginya, sesuai dengan perjanjian tahun 1826. Dengan demikian Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah (putra dari seorang selir) sebagai mangkubumi Kesultanan Banjarmasin pada tahun 1851. 2. Perebutan Jabatan Putra Mahkota Setelah sekitar 6 bulan Pangeran Tamjidillah memangku jabatan tersebut, tibatiba putra mahkota Sultan Muda Abdurahman wafat pada tanggal 5 Maret 1852. Sultan Muda tersebut diduga diracun oleh ibunya (Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari) dan saudara kandungnya (Prabu Anom).16
12
Arsip Nasional Republik Indonesia, surat tgl 29 September 1849, zeer. Geh. Kab. La B., dikutip oleh M.Idwar Saleh, Pangeran Antasari, (Jakarta: P.D.K., 1982/11983), h, 12. 13 Verslag van Gallois van 1847 en verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik Indonesia, HIstorisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. 14 W.A. Van Rees, De Bandjermasinche Krijg van 1859-1863 Nader Toegelicht, (Arnhem: D.A. Thieme, 1867), h. 12; Lihat juga Kiaibondan, Suluh Sejarah Kalimantan, h. 34. 15 Verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. 16 W.A. Van Rees, De Bandjermasinche Krijg van 1859-1863 Nader Toegelicht, (Arnhem; D.A. Thieme, 1867), h. 36; Alasan Prabu Anom adalah karena ia berambisi sekali untuk berkuasa di Kesultanan Banjarmasin. Untuk tujuan itu, ia membujuk ibunya (Permasiuri Nyai Ratu Kamala Sari) agar mendukungnya dalam menyingkirkan rival-rivalnya, anatar lain Sultan Muda Abdurahman.
246
Dalam tahun 1852 tersebut ada tiga calon yang ingin menjadi putera mahkota yaitu: a). Pangeran Prabu Anom, adik bungsu almarhum Sultan Muda Abdurahman. Sebagai calon putera mahkota, kedudukannya tidak terlalu kuat. Karena semenjak kecil ia terbiasa dimanjakan orang tua, setelah besar ia amat angkuh, suka memeras dan menindas rakyat. Ia leluasa berbuat sesuatu, hanya karena rakyat segan terhadap Sultan Adam dan ibunya. Satu-satunya penyokong untuk menjadi putera mahkota hanyalah ibunya; b). Pangeran Hidayatullah adalah calon kedua, kedudukannya sebagai putera mahkota pengganti ayahnya kuat sekali. Ia diberi nama dengan nama Hidayatullah. Sebuah kraton Banjarmasin menyebutkan bahwa calon putera mahkota harus diberi nama raja terdahulu (misalnya dengan nama Sultan Hidayatullah,adalah sultan yang ketiga). Ibunya adalah seorang ratu keturunan raja. Dari segi turunan bapak dan ibu, serta anak laki-laki sulung menurut tradisi ia berhak menjadi putera mahkota. Tiga orang sultan Banjarmasin dari Susuhunan Nata Alam sampai dengan Sultan Adam kawin dengan rakyat biasa. Ini menyalahi tradisi keraton yang berlaku, karena itu Sultan Sulaiman memerintahkan kepada Sultan Muda Abdurahman untuk kawin dengan Ratu Siti, anak Pangeran Mangkubumi Nata, dan kemenakan Sultan Adam sendiri. Antara Sultan Sulaiman (kakak), Sultan Adam (ayah), Pangeran Mangkubumi Nata (mertua) dan orang-orang besar kerajaan, terdapat persetujuan, bahwa anak laki-laki sulung yang lahir dari perkawinan ini akan menjadi raja pengganti sultan ayahnya. Demikian maka Pangeran Hidayatulah, yang lahir tahun 1822, dianggap sebagai calon putera mahkota yang akan datang. Karena selama hidupnya Sultan Muda Abdurahman amat dipengaruhi oleh selir orang Cina, Nyai Aminah. Ia hidup di tanah lungguhnya di Karang Intan. Di Karang Intan ia menghabiskan waktunya dengan berburu, dan kurang dikenal oleh orang-orang Belanda di Banjarmasin dalam pergaulan sehari-hari. Sikapnya terhadap bawahannya, baik sekali, sikap suka berkorban untuk orang lain, ramah dalam pergaulan dan amat disenangi rakyat; c). Calon ketiga adalah Pangeran Tamjidillah. Pangeran Tamjidillah lahir dari ibu seorang selir Cina, Nyai Aminah. Ayahnya amat memanjakannya, sehingga sifatnya menjadi angkuh dan penindas terhadap rakyat jelata, licik dan tamak. Hampir semua kekayaan Sultan Muda Abdurahman akhirnya jatuh ke tangannya. Ia suka bergaul dengan Belanda. Karena pergaulan dengan Belanda ia menjadi peminum dan pemabok, sehingga dia tidak disukai rakyat, golongan bangsawan dan ulama.17 Jabatan Putra Mahkota, ini merupakan jabatan untuk menggantikan sultan, karena Putra Mahkotalah yang nantinya menjadi sultan. Tugasnya adalah membantu raja (sultan) dalam melaksanakan pemerintahan. Sebagai kesultanan yang di bawah pengawasan Belanda, maka untuk jabatan tersebut Belanda ikut berperan dalam menentukannya.18 Setelah jabatan tersebut kosong dengan kematian Sultan Muda Abdurahman secara tiba-tiba, maka jabatan tersebut menjadi ajang perebutan di antara 3 orang keluarga raja yaitu, pertama oleh Prabu Anom, kedudukannya tidak terlalu kuat, sejak kecil biasa dimanja orang tua. Sudah dewasa amat angkuh suka memeras dan menindas rakyat. Ia dapat bertindak leluasa, karena rakyat segan terhadap sultan. Pendukungnya adalah Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari, Kedua oleh Pangeran Tamjidillah Pendukungnya adalah Belanda dan surat yang ada di tangannya dari almarhum ayahnya, untuk mengisi jabatan tersebut, pengganti ayahnya. Tetapi Dewan Mahkota dan rakyat 17 18
Saleh. Sedjarah Bandjarmasin, h. 97-99 Surat-surat Perjanjian, h. 228-247
247
tak mendukungnya. Ketiga oleh Pangeran Hidayatullah, ia mendapat dukungan dari Sultan Adam, Dewan Mahkota, dan rakyat, sehingga kedudukannya kuat sekali. Sultan Adam mencalonkannya sebagai putra mahkota, dan mengusulkan kepada Belanda. Belanda melalui Residen Zuid-en 0osterafdeeling van Borneo, Van Hengst, yang menggantikan Residen Gallois pada tahun 1851, sangat menentang usul Sultan Adam tersebut. Alasan yang dikemukakan Van Hengst adalah, bahwa Pangeran Hidayatullah tidak pernah berkunjung ke Banjarmasin dan tertutup dalam pergaulannya dengan orang-orang Eropa. Juga dikatakan bahwa ia selalu mengasingkan diri, dan selalu mengutamakan kesenangan pribadi dengan jalan berburu dan menunggang kuda. Karena ia mengabaikan panggilan residen, maka ia dianggap melawan Belanda.19 Juga Belanda menolak usul Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari agar Prabu Anom menjadi putra mahkota, dengan alasan Prabu Anom kejam tak disenangi rakyat.20 Arah untuk Pangeran Tamjidillah menjadi penguasa sudah terang, karena ia mendapat dukungan yang kuat dari Residen Van Hengst. Walaupun sebenarnya menurut adat kebiasaan, ia tak memenuhi syarat untuk jabatan tersebut. Hal ini disebabkan karena anak selir, dari ibu keturunan Cina. Sedangkan yang seharusnya menduduki tahta kesultanan Banjarmasin menurut adat kebiasaan adalah putra mahkota raja dari ayah dan ibu keturunan raja (sultan). Tetapi residen tidak memperhatikan latar belakang demikian, karena ia beranggapan adalah bahwa beberapa sultan yang terakhir memerintah Kesultanan Banjarmasin antara lain, Sultan Sulaiman, Sultan Adam, dan Sultan Muda Abdurrahman adalah anak-anak Nyai,21 dukungan itu terjadi, karena Pangeran Tamjidilah memberi jaminan kepada Van Hengst bahwa bila ia diangkat sebagai putra mahkota, maka dia akan membantu politik Belanda. Janji ini terbukti dengan surat Tamjidillah kepada gubernur jendral di Batavia tanggal 6 Maret 1852, yang dilanjutkan bersama-sama dengan surat permohonan dari Residen Van Hengst. Isinya mengusulkan agar gubenrur jendral mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai putra mahkota merangkap pejabat mangkubumi, hingga pangeran lainnya terpilih untuk jabatan mangkubumi. Di samping itu antara lain Tamjidillah menulis, bahwa ia akan menyerahkan daerah-daerah yang ada tambang batu baranya kepada Belanda, dan membantu politik Belanda.22 Belanda melalui Residen Van Hengst menerima permohonan Pangeran Tamjidillah tersebut, dan menyetujui usul Residen Van Hengst. Residen menjumpai Sultan Adam di Martapura23 untuk menyampaikan persetujuan dari gubernur jendral, dan memanggil Hidayatullah untuk menghadap. 19
Verslag Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik Indonesia, HIstorisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. ; Lihat juga Amir Hasan Kiai Bandan, Suluh Sejarah Kalimantan, (Banjarmasin: Fajar, 1953), h. 35. 20 Verslag van Gallois van 1847 en verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. ; Lihat juga Amir Hasan Kiai Bandan, Suluh Sejarah Kalimantan, (Banjarmasin: Fajar, 1953), h. 35. 21 Verslag van Gallois van 1847 en verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. ; Lihat juga Amir Hasan Kiai Bandan, Suluh Sejarah Kalimantan, (Banjarmasin: Fajar, 1953), h. 35. 22 Missive residen Bandjermasin van 15 April 1852, l s II geheim. In beskuit 10 Juni l c I, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140; Lihat juga E.B. Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, (Leiden: E. J. Brill, 1892), h. 17. 23 Di Martapura terdapat salah satu kesultanan Banjarmasin, yang lainnya terletak di Banjarmasin. Sejak Sultan Muda Abdurahman masih hidup Sultan Adam berdiam di Martapura , sedangkan istana
248
Tetapi Pangeran Hidayatullah menolak panggilan tersebut, kemudian residen marah, dan ia menulis surat kepada gubernur jendral di Batavia tertanggal 4 September 1852, agar Hidayatullah diusir dari Karang Intan. Di Banjarmasin residen menyerahkan penguasaan Kesultanan Banjaramasin kepada Pangeran Tamjidillah.24 Pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai putra mahkota dan pejabat mangkubumi mendapat reaksi dari kalangan masyarakat baik dari kalangan istana, maupun dari kaum agama dan rakyat.25 Dari kalangan istana yaitu, oleh Sultan Adam dan Dewan Mahkota, yang menganggap Pangeran Tamjidillah sebagai musuh dalam selimut, karena ia memihak Belanda. Sultan Adam menghendaki Pangeran Hidayatullah sebagai putra mahkota sesuai dengan janjinya terhadap ayahnya (Sultan Sulaiman) dan terhadap besannya (ayah dari Ratu Siti). Di samping itu reaksi dari Prabu Anom dengan dukungan Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari, yang juga memperebutkan jabatan putra mahkota tersebut. 26 Kemudian Sultan Adam dan Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari kirim surat protes kepada gubernur jendral di Batavia atas pengangkatan tersebut. Selain itu juga eks residen Banjarmasin, Gallois, yang pada waktu itu menjabat residen di Rembang (Jawa), ia banyak mengetahui tentang Pangeran Hidayatullah. Maka ia protes kepada gubernur jendral di Batavia, bahwa Pangeran Pangeran Hidayatullah berhak atas jabatan tersebut, karena tak pernah mengecewakan Belanda, dan dicintai rakyat, sehingga ia banyak pengikutnya. Juga anjuran administrator tambang batu bara di Pengaron, W. van Os, yang mendapat pertolongan dari Pangeran Hidayatullah dan telah mengetahui keadaan diri Pangeran Hidayatullah dari dekat. Ia melaporkan tentang Hidayatullah ke Batavia dan mengemukakan keadaan yang sebenarnya tentang Pangeran Hidayatullah.27 Berdasarkan laporan-laporan ini Van Hengst kurang teliti dalam menanggapi masalah yang terjadi di kesultanan. Ia berpihak berat sebelah condong kepada Pangeran Tamjidillah karena janji-janji Tamjidillah, yang ambisi akan kekuasaan. Di samping itu pribadi Van Hengst lemah, cepat terpengaruh, sehingga Belanda merasa keliru mengirimnya sebagai residen Banjarmasin. Maka pada awal Desember 1852, Raad van Nederlandsch Indië memecat Van Hengst sebagai residen Banjarmasin, yang digantikan oleh A. Van der Ven, yang pada waktu itu sedang menjabat asisten residen di Sumedang (Jawa).28 Tetapi peranan Pangeran Tamjidillah sebagai putra mahkota dan pejabat mengkubumi tetap berlangsung, walaupun Belanda telah mengetahui, bahwa ia kurang berhasil dalam mengatur kesultanan. Dengan pengangkatan Tamjidillah sebagai putra mahkota pada tahun 1853, berdasarkan surat keputusan 10 Juni 1852 l c¹, ia tetap berdiam di Banjarmasin, Banjarmasin dikelola oleh Sultan Muda Abdurahman. Setelah kematian Sultan Muda Abdurahman, istana Banjarmasin dikelola oleh Tamjidillah , baik sebagai mangkubumi maupun sampai ia menjadi sultan Banjarmasin yang terakhir. 24 Missive 4 September 1852 l s II geheim in besluit 14 Januari 1853 No. 3. Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140; 25 Surat Sultan Adam tahun 1853, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140; 26 E.B. Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, (Leiden: E.J. Brill, 1892), h. 10. 27 Verslag van Gallois van 1847, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140; Lihat juga Kementrian Penerangan, Republik Indonesia Propinsi Kalimantan, 1953, hal 370. 28 Missive Raad van Nederlandsch Indië van 17 Desember, 30 Desember 1852. Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
249
sedangkan Sultan Adam yang sudah agak tua (sekitar 84 tahun) tetap menetap di istana Martapura bersama-sama dengan istri-istrinya. Di Martapura yang berpengaruh adalah Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari, yang memegang stempel kesultanan. Sultan Adam karena pribadinya lemah tak banyak berbuat atas tindakan permaisuri tersebut. Ia tak ingin melepaskan penguasaan istana Martapura kepada Tamjidillah, dan tak rela tunduk kepada Sultan Muda Tamjidillah.29 Sementara itu Sultan Muda Tamjidillah sebagai putra mahkota tidak bisa berbuat apa-apa, sewaktu Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari dan pengikutnya merampas atas hak Sultan Muda Tamjidillah dalam memungut 1/10 dari hasil padi di daerah sisi kanan Sungai Barito ( di Alalah dan sekitarnya), dengan menggunakan stempel kesultanan yang dikuasai oleh Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari. Selain itu juga Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari merampas tanah warisan Tamjidillah, tanah kepunyaan almarhum ayahnya. Tamjidillah hanya melapor semua ini kepada residen.30 Demikian gencarnya Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari memusuhi Tamjidillah, sehingga ia tak berani datang ke istana Martapura. Di samping itu ia khawatir akan diracun oleh Prabu Anom dan serangan rakyat, yang tak suka padanya. Sedangkan menurut perjanjiaan antara Sultan Adam dengan Gubernur Jendral Weddik, yang diwakili oleh penguasa tinggi di Zuider-en 0oster afdeeling van Borneo, Martinus Henricus Halewijn, antara lain, siapa pun yang menjadi mangkubumi harus berdiam 6 bulan di Banjarmasin dan 6 bulan di Martapura dan harus menghadir pesta-pesta besar (antara lain, maulid Nabi). Yang dihadiri oleh pembesar-pembesar kesultanan, ketua agama, dan rakyat, juga jika bepergian harus diwakilkan pada wakilnya. Hal ini tak dijalankan oleh Tamjidillah, dia hanya menetap di Banjarmasin di bawah perlindungan residen. Akibat kesultanan dalam keadaan resah, kemudian sultan berulang kali dalam suratnya, agar gubernur jendral mengembalikan keadaan seperti semula, yaitu, dengan mencabut kembali keputusan yang telah dikeluarkan, dan mengangkat Hidayatullah sebagai putra mahkota serta Prabu Anom sebagai mangkubumi.31 Tetapi jawaban gubernur jendral adalah, bahwa apa yang telah diputuskan dengan keputusan 10 Juni 1852 l c¹, yaitu tentang Tamjidilah sebagai putra mahkota dan pejabat mengkubumi adalah tak dapat ditarik kembali, karena sudah merupakan politik Belanda.32 Keresahan dalam kesultanan tersebut menjalar keluar kesultanan, karena Belanda tetap bertahan meneruskan pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai putra mahkota dan pejabat mangkubumi, walaupun ini nyata-nyata bertentangan dengan kebiasaan, Dewan Mahkota dan rakyat. Juga karena kepercayaan dan rasa hormat terhadap Belanda hilang akibat segala usul dan tindakan Sultan Adam tak dihiraukan. Bahkan utusan kesultanan ke Batavia membawa surat-surat dari segala kalangan
29
Arsip Nasional Repulik Indonesia, Missive Raad van Nederlandsch Indië van 17 Desember, 30 Desember 1852. Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. 30 Maandrapport Residen Zuid-en 0oster afdeeling van Borneo/bulan September 1853, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. 31 Surat Sultan Adam tanggal 16 April 1853, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140; 4 surat Sultan Adam yang terdiri darii 2 surat dari Sultan Adam dan 2 surat lainnya dari berbagai pembesar kesultanan yang ditujukan kepada Sultan Adam. Surat-surat ini, kemudian dibawa oleh 3 orang utusan ke Batavia, yang berangkat tanggal 28 April dari Banjarmasin dan tiba di Batavia tanggal 18 Mei 1853. Para utusan tersebut adalah, 1. Muhammad Amin (disebut juga Gusti Bagus yang diangkat anak oleh Ratu Keramat, cucu Sultan Adam 32 E.B. Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, (Leiden: E.J. Brill, 1892), h. 40.
250
masyarakat untuk mencalonkan Hidayatullah sebagai putra mahkota ditolak Belanda. Hal ini menyebabkan rakyat semakin marah kepada Belanda.33 Di samping itu pihak penguasa kesultanan di Benua Lima (yaitu, Negara, Alabiu, Sungai Benar, Amuntai, Kalua), merupakan daerah pertanian sebagai sumber beras yang utama bagi Kesultanan Banjarmasin. Diperintah oleh Kiai Adipati Danuraja, adalah kemenakan Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari. Ia bergelar Kiai Tumenggung, bersama-sama ayahnya, Pembekal Karim diserahi tugas mengatur pemerintahan di Benua Lima. Tetapi mereka tak disenangi rakyat, karena kesewenangan mereka antara lain, Danuraja pernah melepaskan berpuluh sapinya di ladang para petani, sehingga tanaman mereka rusak, hal mana membawa penderitaan bagi petani. Di samping itu juga Kiai Adipati Danuraja menaikkan pajak kepala, pajak tanah, dan pajak hasil panen menjadi 2 kali lipat, mengorganisir perampokan lada dan budak untuk dibawa ke Pasir (daerah Tanah Bambu). Meskipun rakyat menderita mereka tak ada yang berani melaporkan kepada sultan dan residen, hanya ada seorang saja yang berani melawan Kiai tersebut, yaitu Jalil (sepupunya), yang adalah pengikut Pangeran Tamjidillah. Ia menjabat sebagai kepala Batang Balangan.34 Jalil mengajukan permohonan kepada residen di Banjarmasin untuk pindah dari Benua Lima ke daerah kekuasaan Belanda bersama lebih kurang 150 0rang, di samping itu ia pun mengadukan tindakan Kiai Adipati Danuraja terhadap rakyat yang membuat rakyat menderita. Namun permohonan dan pengaduannya tak ada hasil, karena ditolak oleh residen. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1854. Ia tidak melapor kepada sultan, karena ia merasa sia-sia, disebabkan adanya ikatan kekeluargaan dari Kiai Adipati Danuraja dengan Permaisuri Nyai Ratu Sari. Akibat keluhan dan penderitaan rakyat tak dihiraukan oleh residen, apalagi oleh sultan, maka Jalil sangat dendam terhadap Kiai Adipati Danuraja. Dendam tersebut lebih mendalam, karena ayahnya dihukum mati oleh Kiai tersebut.35 Keresahan ini terjadi karena tak ada kerja sama antara Sultan Adam dan Pejabat Mangkubumi Tamjidillah. Hal ini menyebabkan daerah-daerah kesultanan antara lain, Benua Lima kurang pengawasan dari pusat, sehingga para penguasa di sana seenaknya menaikkan pajak-pajak. Akibatnya daerah ini berdiri sendiri lepas dari kesultanan. Karena Tamjidillah sebagai pejabat mangkubumi tak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka residen Banjarmasin A. Van der Ven mengusulkan kepada gubernur jendral pada tahun 1854, agar Hidayatullah menduduki jabatan mangkubumi tersebut. Alasan A. Van der Ven adalah, bahwa ia melihat hubungan yang akrab antara Sultan Adam dan Hidayatulah, dan juga ia melihat pribadi Hidayatullah yang berbudi bahasa luhur, di mana mereka bertempat tinggal di Martapura. Untuk mendatangkan ketenangan dan keamanan dalam kesultanan diperlukan kerja sama yang baik antara sultan dan mangkubumi. Usul Residen A. Van der Ven ini bertentangan dengan kehendak Sultan Adam, yang menginginkan Hidayatullah sebagai putra mahkota. Walaupun Sultan Adam telah menjelaskan para residen dengan surat tanggal 8 Juli 1854, bahwa ia telah menulis surat pada gubernur jendral agar Hidayatulah menjadi 33
E.B. Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, (Leiden: E.J. Brill, 1892),, h. 40. Arsip Nasional Republik Indonesia, Borneo Z & O. 137/2., Lihat juga W.A. Van Rees, De Bandjermasinche Krijg van 1859-1863 Nader Toegelicht, (Arnhem: D.A. Thieme, 1867), h. 33-34. 35 Arsip Nasional Republik Indonesia, Borneo Z & O. 137/2., Lihat juga W.A. Van Rees, De Bandjermasinche Krijg van 1859-1863 Nader Toegelicht, (Arnhem: D.A. Thieme, 1867), h. 33-36. 34
251
putra mahkota. Jika tidak demikian kesultanan akan mengalami kehancuran.36 A. Van der Ven bersifat lebih netral, tidak memihak dan lebih tanggap dalam melihat situasi yang ada di lingkungannya. Residen menganjurkan agar masalah pertentangan ini diselesaikan dengan baik, dan ia berusaha untuk mendamaikan perselisihan, sehingga kesultanan dapat tenang kembali. Usaha untuk menyatukan dari residen A. Van der Ven dengan mengangkat Hidayatullah sebagai mangkubumi kesultanan ditolak oleh Belanda. Juga usul Sultan Adam pada gubernur jendral melalui residen pada tahun 1854, agar Prabu Anom diangkat menjadi mangkubumi kesultanan tetap ditolak. Sultan Adam memberi usulan tersebut, karena desakan Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari.37 Di Martapura, Sultan Adam tak dapat mengelak desakan Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari, agar ia mengangkat Prabu Anom sebagai putra mahkota. Maka Sultan Adam pada bulan Juni 1855 tanpa memberitahukan kepada residen, ia melantik Prabu Anom sebagai putra mahkota di mesjid Martapura.38 Reaksi Residen Banjarmasin A. Van der Ven atas tindakan Sultan Adam tersebut, ia sangat terpukul setelah mengetahui bahwa Prabu Anom telah diangkat oleh Sultan Adam sebagai putra mahkota. Residen meminta penjelasan pada sultan atas pengangkatan tersebut, yang tanpa seiizinnya. Tetapi jawaban Sultan Adam adalah, bahwa pengangkatan putra mahkota adalah hak sultan.39 Keterangan Sultan Adam yang demikian ini membuat residen marah dan mengambil tindakan agar Prabu Anom diasingkan, tetapi tindakan ini tak disetujui oleh gubernur jendral di Batavia, bahkan tanggal 29 Novenber 1855 A. Van der Ven dipindahkan ke Palembang (Sumatra) sebagai residen di sana. Jabatan residen untuk sementara dipegang oleh sekretaris residen yaitu, R. Wijnen.40 Prabu Anom bertindak sebagai putra mahkota pada perayaan maulid Nabi di Martapura. Perayaan ini dihadiri oleh para menteri, kaum ulama, dan rakyat, mereka yang hadir ini diharuskan menghormatinya sebagai putra mahkota. Selain itu tindakan lebih lanjut dari Prabu Anom adalah, karena ia merasa berkuasa, maka ia menggunakan stempel kesultanan yang dikuasai Permasuri Nyai Ratu Kamala Sari. Dia bertindak atas nama kesultanan memungut pajak kepala di daerah Kalua, yang dikuasai oleh Pembekal Kamal dan Said atas kepercayaan Hidayatullah, yang merupakan tanah lungguh Hidayatullah. Prabu Anom mengirim utusan ke Kalua dengan membawa surat yang telah distempel kesultanan untuk menarik pajak. Oleh pembekal dan rakyat di sana utusan ini ditolak maka terjadilah perlawanan. Akibatnya Said dibunuh oleh para utusan Prabu Anom, ia dicap sebagai penghianat melawan pada kesultanan. Juga di daerah Negara, Prabu Anom menaikkan 2 kali lipat pajak kepala, serta di daerah Benua Lima lainnya. Bahkan Prabu Anom hendak membunuh ayahnya dengan sebilah keris, 36
Missive 8 Juli 1854 No. 715 geheim (in besluit 19 okober 1854 l s¹ , Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. 37 Maandrapport over September 1854, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. 38 Maandrapport over Januari 1855 Residen Zuid-en Ooster afdeeling van Boreno, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. 39 Missive Skretaris Gubernemen 17 Agustus 1855 lT² , Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. 40 Missive 12 Januari 1856 No. 30 geheim, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
252
sewaktu perjalanan ke Tanah Laut di mesjid Tabanio. Karena dia menginginkan ayahnya, Sultan Adam, mensahkannya sebagai putra mahkota. 41 Berkenaan dengan makin rumitnya urusan politik kesultanan dengan meninggalnya Sultan Muda Abdurakhman dan Ratu Anom Mangkubumi Kencana, berarti jabatan putra mahkota dan mangkubumi menjadi rebutan para keluarga kesultanan. Sementara Belanda mencari peluang siapa di antara keluaraga kesultanan yang lebih menguntungkan Belanda, tentu yang menjadi pemenang di mata Belanda. Sebelumnya baik Sultan Sulaiman maupun Sultan Adam telah melihat pertentangan keluarga kesultanan yang terjadi semenjak Susuhunan Nata Alam (17611801). Sementara Belanda selalu mencampuri urusan pemerintahan kesultanan, sehingga mempersempit ruang gerak sultan. Belanda berusaha untuk selalu menghidupkan pertentangan keluarga sesuai denga politik strategi penjajah divide et empera, pecah belah dan kuasai. Dari pertentangan dan perebutan kekuasaan ini, Belanda akan memperoleh keuntungan. Pihak Belanda telah memperhitungkan dari Prabu Anom, Pangeran Tamjidillah dan Pangeran Hidayatullah yang bersaing ini, hanya Pangeran Tamjidillah yang dapat diharapkan keuntungan itu, dan dari Pangeran Tamjidillah dapat diharapkan akan memperoleh konsesi tambang batu bara “Oranye Nassau.” Oleh karena itu, Residen Van Hengst di Banjarmasin (1851-1853), Residen Belanda yang berkedudukan di Banjarmasin mengusulkan pada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia agar Pangeran Tamjidillah diangkat sebagai sultan muda. Dalam bulan April 1853, Sultan Adam telah mengirim utusan ke ke Batavia untuk minta diberikan keadilan terhadap permintaannya menjadikan Pangeran Hidayatullah sebagai sultan muda dan Prabu Anom sebagai mangkubumi dan menolak pengangkatan Pangeran Tamjidillah. Permintaan ini ditolak oleh Belanda, bahkan utusannya pun tidak diterima secara resmi dan tidak diberi kesempatan bicara. Oleh Sekretaris Gubernemen dikirim kembali utusan tersebut dengan tangan hampa, sebab pemerintah mengira, bahwa para utusan itu bukan dikirim oleh Sultan Adam, tetapi oleh Permaisuri Sultan Adam, yaitu Nyai Ratu Kumala Sari beserta anak kesayangannya, yaitu Prabu Anom.42 Belanda bertindak hanya mengganti Residen van Hengst dengan Residen A. van der Ven. Sehingga tidak ada pilihan lain dari Sultan Adam, selain membuat ‘Surat Wasiat” yang hanya dibuka dan dibaca bila sultan telah meninggal dunia.43 Suasana politik bertambah keruh, maka Sultan Adam mengambil tindakan agar Pangeran Hidayatullah menjadi penggantinya. Hal mana dalam bulan Desember 1855 Sultan Adam membuat surat wasiat (testament van Sultan Adam) sebanyak 4 rangkap. Lampiran pertama diberi meterai dan dilak diserahkan kepada mufti di Martapura dengan permintaan dan perjanjian, janganlah surat tadi dibuka sebelum Sultan Adam meninggal dunia. Lampiran kedua kepada mufti dari ketua mesjid di Benua Lima untuk tetap disimpan di dalam mesjid sampai Sultan Adam meninggal dunia. Lampiran ketiga digunakan untuk Pangeran Hidayatullah. Lampiran keempat (yang asli) dikirim oleh R. Wijnen (sekretaris residen kepada gubernur jendral di Batavia). Isi surat wasiat (testament van Sultan Adam) antara lain: a. Sultan Adam Alwassih Billah memberi 41
W.A. Van Rees, De Bandjermasinche Krijg van 1859-1863 Nader Toegelicht, (Arnhem: D.A. Thieme, 1867), h. 30-31; Lihat juga Arsip Nasional Republik Indonesia, Borneo Z & O. 137/2. 42 Kiaibondan, Suluh Sejarah Kalimantan, h. 35. 43 E.B. Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, (Leiden: E.J. Brill, 1892), h. 87-88
253
gelar kepada Pangeran Hidayatullah dengan gelar Sultan Hidayatullah; b. Sultan Adam Alwassih Billah mengangkat Pangeran Hidayatullah menjadi penguasa agama, mewariskan semua tanah kesultanan dan semua padang (tanah lapang) perburuan; c. Sultan Adam Alwassih Billah memerintahkan kepada seluruh rakyat untuk mentaati hal ini dan jika perlu mempertahankannya dengan kekerasan. Selanjutnya Surat Wasiat tersebut ditambah lagi dengan 3 (tiga) ayat tambahan yang berbunyi sebabagi berikut: (a). Pangeran Hidayatullah menggantikan Sultan Adam Alwassih Billah bila ia meninggal dunia, dan memerintahkan rakyat dengan penuh keadilan, dan benar-benar mengikuti perintah agama Islam; (b). Sultan Adam Alwassih Billah memerintahkan kepada semua Pangeran lainnya untuk mengikuti Pangeran Hidayatullah sebagai sultan, dan mengutuknya sampai anak cucunya bila hal ini dilanggar; (c). Perintah yang sama kepada para haji, ulama, dan tetuha kampung.44 Argumentasi Sultan Adam adalah, bahwa dengan cara menggunakan surat wasiat itulah, ia dapat meluluskan maksudnya, yaitu mengangkat Pangeran Hidayatullah sebagai penggantinya bilamana ia telah meninggal dunia, dengan gelar Sultan Hidayatullah Halililah. Kepada putranya sendiri yaitu, Prabu Anom serta cucunya yang bernama Pangeran Tamjidillah diancam mati bila menghalang-halangi maksudnya itu. Selanjutnya kepada siapa pun juga yang tidak menuruti maksud Sultan Adam itu, disumpah agar mendapat kutukan.45 Surat wasiat ini mengandung keterangan tambahan agar para pangeran, para pembesar kesultanan, ketua-ketua, dan rakyat, serta para haji, supaya mendukung Pangeran Hidayatullah sebagai sultan. Ternyata surat wasiat ini sangat besar pengaruhnya pada rakyat dan yang lainnya, karena Sultan Adam seorang pengikut agama yang baik, bahkan dipandang sebagai ulama yang berpengaruh, oleh karena itu ia disegani dan dipatuhi oleh rakyatnya.46 Surat wasiat ini pun mendapat reaksi dari Belanda, yaitu dengan diajukannya usulan oleh Sekteraris Residen R. Wijnen dan Pejabat Tinggi Belanda di Banjarmasin, Wijnmalen, dan eks Residen Banjarmasin A. Van der Ven kepada gubernur jendral di Batavia. Mereka mengusulkan yaitu agar gubernur jendral memerintahkan kepada sultan, dalam mengatur kesultanan Banjarmasin harus berunding dengan residen. Dengan pedoman pembatasan dari perjanjian tanggal 4 Mei 1826. Agar gubernur jendral menyerahkan akte pengakuan Pangeran Tamjidillah sebagai putra mahkota. Juga agar gubernur jendral memberi petunjuk kepada residen Banjarmasin dalam mengelola Kesultanan Banjarmasin, dan mengangkat Pangeran Hidayatullah sebagai mangkubumi.47 Sementara itu selama residen pengganti belum datang, maka untuk sementara dijabat oleh R. Wijnen (sekretaris residen). Ia mengirim surat kepada sultan tertangal 21 Februari 1856 untuk mengingatkan kembali perjanjian yang telah dibuatnya bersamasama pada tahun 1826. Juga ia meminta agar sultan dapat bekerja sama dengan
44
Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, h. 87. Missive 12 Januari 1856 No. 30 geheim, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. 46 Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, h. 87. 47 Missive 9 Januari 1856 l T. geheim / in besluit 21 April 1856 l A¹ , Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. 45
254
Pangeran Tamjidillah. Tetapi oleh Sultan Adam dijawab bahwa ia tak mengakui Pangeran Tamjidillah sebagai putra mahkota maupun sebagai pejabat mangkubumi.48 Pada tanggal 10 Maret 1856 residen Banjarmasin, yang menggantikan A. Van der Ven tiba di Banjarmasin, bernama Van de Graaf. Tindakannya yang pertama adalah mempelajari perselisihan-perselisihan tentang penggantian tahta. Kemudian dia berhasil membuat persetujuan pembatasan tentang penggalian batu bara di Banyu Irang dengan Sultan Adam pada tanggal 30 April 1856.49 3. Tindakan Pemerintah Hindia Belanda. Dengan timbulnya perselisihan tersebut dalam kesultanan, maka untuk mengatasinya Belanda melakukan tindakan, yaitu dengan mendatangkan sebuah kapal api ke Banjarmasin dengan nama admiral van Kinsbergen pada tanggal 13 Mei 1856. Kapal tersebut membawa surat keputusan tanggal 22 April Lª A² geheim yaitu, mengenai pengesahan Pangeran Tamjidillah sebagai putra mahkota. Juga membawa surat yang menyatakan bahwa Prabu Anom diharuskan tinggal di Banjarmasin, dan surat yang ditujukan pada Sultan Adam, isinya antara lain meminta agar sultan mengakui Pangeran Tamjidillah sebagai putra mahkota dan melarang sultan menghalangi lebih lanjut tentang peranan putra mahkota. Selain itu juga agar sultan menetapkan pengangkatan mangkubumi difinitif untuk menggantikan pejabat mangkubumi, yang dipegang oleh Pangeran Tamjidillah.50 Sultan Adam membalas surat pada residen tertanggal 4 Juni 1856, yang isinya mengajukan Hidayatullah menjadi mangkubumi. Gubernur Jendral dan Residen Van de Graaf menyetujui pengajuan Sultan Adam tersebut, berdasarkan usulan dari eks Residen Banjarmasin A. Van der Ven, R. Wijnen dan Wijnmalen. Kemudian dikeluarkan surat keputusan tanggal 23 Agustus 1856 l T¹ sebagai pengakuan pengesahan Hidayatullah menjadi mangkubumi, dan ia mendapat tunjanan jabatan f. 1000,- setiap bulan. Tunjangan ini sudah berlaku pada mangkubumi sebelumnya. Pada tanggal 9 0ktober 1856 Pangeran Hidayatullah dilantik di hadapan para pembesar kesultanan maupun para pembesar Belanda, di istana Banjarmasin.51 Di Martapura Prabu Anom menolak perintah Belanda, agar dia diharuskan tinggal di Banjarmasin. Ia tahu bahwa di Banjarmasin ia tak bebas bergerak selalu dicurigai. Di samping itu, di Martapura, ia bebas bertindak dengan menggunakan pengaruh Permaisuri Nyai Ratu Kamala Sari. Untuk usaha ini. Belanda telah mengerahkan Sultan Muda Tamjidillah dan Mangkubumi Hidayatullah, namun Prabu Anom tak hendak pergi ke Banjarmasin.52 Setelah menghadiri pelantikan Hidayatullah di Banjarmasin sebagai mangkubumi, Sultan Adam mulai agak sakit di Banjarmasin. Oleh karena itulah Prabu 48
E.B. Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, (Leiden: E.J. Brill, 1892),, h. 92.; Lihat juga Arsip Nasional Republik Indonesia, Borneo Z & O. 137/2 49 Surat-surat Perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan Pemerintah-pemerintah VOC., Bataafse Republik, Inggris dan Hindia-Belanda 1635-1860, (Djakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1965), h. 254-257. 50 E.B. Kielstra, De Ondergang van het Bandjemasinsche Rijk, (Leiden: E.J. Brill, 1892), h. 93-94. 51 Maandrapport over 1856, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. 52 Missive 14 0ktober 1856 in 1492/in besluit 4 Januari 1857 N o. 41., Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
255
Anom datang ke Banjarmasin. Mulai saat itu Prabu Anom tidak diizinkan meninggalkan Banjarmasin oleh residen, dan selalu diawasi. Karena keadaan Sultan tidak membaik, maka sultan pindah ke Martapura, disertai oleh Prabu Anom. Namun residen tidak mengizinkan Prabu Anom ke Martapura, tetapi hal itu tak dihiraukannya. Maka tidak berapa lama setelah Sultan Adam menetap di Martapura, dia meninggal dunia dalam usia 90 tahun pada tanggal 1 November 1857.53 Setelah Sultan Adam meninggal dunia, kembali kesultanan dihadapkan pada kesulitan-kesulitan lagi. Secara diam-diam Prabu Anom melawat ke Martapura untuk memberikan penghormatan terakhir kepada jenazah ayahandanya. Residen ketakutan dan mengirim tentara untuk menangkapnya, tetapi tidak berhasil. Baru atas jasa Pangeran Hidayatullah akhirnya Prabu Anom diserahkan kembali kepada Gubernemen dengan permintaan supaya diperbolehkan tetap tinggal di Banjarmasin. Permintaan ini ternyata tidak diluluskan dan Prabu Anom dibuang ke Jawa. Pangeran Hdayatullah sangat kecewa dan mengajukan permintaan untuk berhenti sebagai mangkubumi. Permintaan tersebut ditolak, karena Belanda masih memerlukan Pangeran Hidayatullah sebagai mangkubumi.54 4. Kesimpulan. Pertikaian dalam pemerintahan kesultanan, mengakibatkan kesultanan Banjarmasin diambang kehancurannya. Hal ini memang tujuan Pemerintah Hindia Belanda ingin menguasai hasil tambang kesultanan Banjarmasin dengan jalan mengangkat mangkubumi dan sultan yang berpihak kepada Pemerintah Hindia Belanda, yang tentunya menguntungkan mereka sehingga Kesultanan Banjarmasin dapat dikuasainya.
DAFTAR PUSTAKA Arsip Borneo Z & O. 137/2. Arsip Nasional Republik Indonesia. Maandrapport Residen Zuid-en 0oster afdeeling van Borneo/bulan September 1853, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. Maandrapport over September 1854, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. Maandrapport over Januari 1855 Residen Zuid-en Ooster afdeeling van Boreno, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. Maandrapport over 1856, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
53 54
Arsip Nasional Republik Indonesia, Borneo Z & O. 137/2. Kolonial Verslag tahun 1857; juga lihat Kartodirdjo, Sejarah Perlawanan-perlawanan, h. 168-169.
256
Missive residen Bandjermasin van 15 April 1852, l s II geheim. In beskuit 10 Juni l c I, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. Missive Raad van Nederlandsch Indië van 17 Desember, 30 Desember 1852. Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. Missive 4 September 1852 l s II geheim in besluit 14 Januari 1853 No. 3. Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. Missive 8 Juli 1854 No. 715 geheim (in besluit 19 okober 1854 l s¹, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. Missive Sekretaris Gubernemen 17 Agustus 1855 lT², Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. Missive 9 Januari 1856 l T. geheim / in besluit 21 April 1856 l A¹, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. Missive 12 Januari 1856 No. 30 geheim, Arsip Nasional Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
Republik Indonesia,
Missive 14 0ktober 1856 in 1492/in besluit 4 Januari 1857 N o. 41, Arsip Nasional Republik Indonesia, Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. Surat tgl 29 September 1849, zeer. Geh. Kab. La B. Arsip Nasional Republik Indonesia. Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. Surat Sultan Adam tanggal 16 April 1853, Arsip Nasional Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
Republik Indonesia,
Verslag van Gallois van 1847 en verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Republik Indonesia, HIstorisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140. Verslag van Resident Van Hengst van 1851, Arsip Nasional Historisch Note, Borneo Z & O 1850 No. 140.
Republik Indonesia,
Buku-Buku Hasan Kiaibondan, Amir. Suluh Sejarah Kalimantan. Banjarmasin: Fajar, 1953. Idwar Saleh, . M. ed. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: (?), 1977/1978. Idwar Saleh, . M. ed. Sejarah Bandjarmasih. Bandung: KPPK Balai Pendidikan Guru, 1958. ------------------------------ Pangeran Antasari. Jakarta: P.D.K., 1982/11983. Kementerian Penerangan. Republik Indonesia Propinsi Kalimantan, VII, 1935. Kielstra, E.B. De Ondergang van het Bandjermasinsche Rijk. Leiden: E.J. Brill, 1892. ------------------------------De Indische Archiepel Geschiedkundige Schetsen. Harlem: (?), 1917.
257
Kielstra, E.B. “De 0ndregang van het Bandjermasinsche Rijk, “ I.G. II (1890). Ras, J.J. Hikayat Banjar. A Study in Malay Historiography. Leiden: The Martinus Nijhoff, 1968. Rees, W.A. Van. De Bandjermasinsche Kriig van 1859-1863, I, II. Arnhem: D. A. Thieme, 1865. ----------------------------De Bandjermasinsche Kriig Toegelicht. Arnhem: D. A. Thieme, 1865.
van 1859-1863, Nader
Soeroto Soeri, M.A. “Perang Banjar.” A. Sartono Kartodirdjo. Sejarah Perlawananperlawanan Terhadap Kolonialisme. Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1973. Surat-surat Perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan Pemerintahpemerintah VOC., Bataafse Republik, Inggris dan Hindia-Belanda 16351860. Djakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1965.
258