KESULTANAN BANJARMASIN DALAM LINTAS PERDAGANGAN NUSANTARA ABAD KE-XVIII
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh: IBNU WICAKSONO NIM: 105022000839
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
KESULTANAN BANJARMASIN DALAM LINTAS PERDAGANGAN NUSANTARA ABAD KE-XVIII
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh IBNU WICAKSONO NIM: 105022000839
Pembimbing,
Dr. Amelia Fauzia, M.A. NIP: 197103251999032004
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi
Berjudul
KESULTANAN
BANJARMASIN
DALAM
LINTAS
PERDAGANGAN NUSANTARA ABAD KE-XVIII telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 28 Januari 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Humaniora (S.Hum) pada Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 28 Januari 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M.A. NIP:195912221991031003
Drs. Usep Abdul Matin, S.Ag.,MA.MA. NIP: 196808071998031002 Anggota,
Penguji,
Pembimbing,
Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.A. NIP: 195608171986031006
Dr. Amelia Fauzia, M.A. NIP: 197103251999032004
ABSTRAKSI
Ibnu Wicaksono Kesultanan Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad keXVIII Perdagangan Nusantara semenjak abad XVII mulai mengalami kemunduran, yang diakibatkan oleh dua faktor, Pertama, ekspansi Kesultanan Mataram di wilayah pantai Utara Jawa, ekspansi Kesultanan Mataram bertujuan untuk melakukan sentralisasi kekuasaan agar semua wilayah-wilayah yang berada di pantai Utara Jawa di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Akibat ekspansi Kesultanan Mataram di pantai Utara Jawa perdagangan di wilayah ini menjadi tidak aman, yang mengakibatkan sebagian para pedagang mencari wilayah baru untuk berdagang. Faktor Kedua, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mulai menguasai pusat-pusat perdagangan di Nusantara seperti, Aceh, Palembang, Jambi, Banten dan Makassar. Akibat monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC telah mengakibatkan berbagai pedagang mencari wilayah perdagangan baru yang belum tersentuh oleh VOC. Kedua faktor diatas mengakibatkan munculnya wilayah-wilayah pusat perdagangan baru termasuk Banjarmasin. Akibat kedua faktor diatas Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII menjadi penampung baik para pedagang dari sebagian wilayah Nusantara yang telah dikuasai oleh VOC dan pedagang dari pantai Utara Jawa. Pelabuhan Banjarmasin mulai banyak disinggahi oleh para pedagang antara lain dari Jawa, Sulawesi, Cina dan sebagian bangsa Eropa untuk berlabuh. Sumber daya alam berupa lada, emas, intan dan hasil hutan merupakan komoditi utama yang di perdagangkan. Perdagangan di Kesultanan Banjarmasin dapat berkembang karena peran sultan Banjarmasin dalam menerapkan kebijakannya. Kebijakan sultan Banjarmasin diantaranya, Pertama, Kesultanan Banjarmasin melakukan perluasan ekspansi ke pedalaman untuk mendapatkan komoditi perdagangan. Kedua, peran aktif Sultan sebagai pemain aktif dalam perdagangan, selain ikut serta dalam perdagangan sultan telah memberikan kenyamanan para pedagang. Skripsi ini bertujuan untuk memahami seberapa besar pengaruh kemunduran perdagangan di Nusantara yang telah memberikan kemajuan terhadap Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian sejarah heuristik, kritik, Interpretasi dan Historiografi dan Pendekatan yang penulis lakukan adalah pendekatan dengan menggunakan Multidimensional Approach (Pendekatan Multidimensional) diantaranya, ekonomi, politik, sosial dan ekologi. Pendekatan multidimensional digunakan untuk dapat memberikan gambaran sejarah tentang Kesultanan Banjarmasin secara menyeluruh, sehingga dapat dihindari kesepihakan atau determinisme.
i
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus menyeru kepada iman, menuntun kepada jalan lurus, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari segala yang munkar. Selanjutnya, selama penyusunan skripsi ini, banyak sekali hambatan yang penulis hadapi baik dari segi teknis maupun keterbatasan waktu, meskipun begitu semua ini tidak menyurutkan keinginan penulis untuk tetap menyelesaikan kewajiban serta tanggung jawab penulis sebagai mahasiswa di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir dalam perkuliahan di Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, adapun tujuan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Humaniora (S.Hum). Sehubungan dengan penulisan skripsi ini,
penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Dr. H. Abdul Chair, MA. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan seizinnya skripsi ini dapat dibuat dan diujikan.
ii
2. Bapak Drs. H. Ma’ruf Misbah, MA., Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, yang telah banyak memberi kemudahan dalam pengajuan judul hingga pendaftaran ujian skripsi. 3. Bapak Drs. Usep Abdul Matin, S Ag.,MA.,MA. Sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, yang telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini. 4. Ibu Dr. Amelia Fauzia, MA. yang telah dengan sabar dan teliti dalam memberikan bimbingan kepada penulis. 5. Ibu Dra. Hj. Tati Hartimah, MA. Dosen Penasehat Akademik, yang telah banyak memberikan nasehat-nasehat selama penulisan. 6. Seluruh staf dosen dan karyawan Fakultas Adab dan Humaniora, khususnya dosen jurusan Sejarah dan Peradaban Islam. 7. Staff perpustakaan pusat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora dan perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), yang telah memberikan data referensi kepada penulis. 8. Kedua orangtua, ayahanda Sukidal dan Ibunda Pudji Astuti, yang telah banyak memberikan bantuan moril maupun materil serta do’a restu yang tak pernah putus beliau panjatkan, agar penulis dapat terus dan kuat untuk menyelesaikan skripsi, rasa cinta dan kasih sayang beliau yang begitu besar. 9. Kakak-kakakku, Edi Soenarto dan istri, Astarika Retno Setiati S.Pd dan suami, dan adikku Efi Widiyanti, yang telah memberikan do’a, semangat, dan dukungan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
iii
10. Teman-teman seperjuangan SPI angkatan ‘05, khususnya, yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini. Penulis
hanya
dapat
berdo’a
semoga
bantuan dan
amal baik
Bapak/Ibu/Sdr/i mendapat imbalan dari Allah Swt. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu, penulis mohon kritik dan saran yang membangun dalam rangka saling mengingatkan antar sesama manusia untuk menuju kearah kehidupan yang lebih baik. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Jakarta, 8 Januari 2010 Muharram 1431 H
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ....................................................................................................... i KATA PENGANTAR ........................................................................................ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... v DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ........................................................ vii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1 B. Batasan dan Perumusan Masalah .................................................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................................... 7 D. Tinjauan Kepustakaan .................................................................................... 8 E. Metodologi Penelitian .................................................................................. 10 F. Sistematika Penulisan ................................................................................... 13
BAB II PELABUHAN BANJARMASIN PADA ABAD XVII A. Letak Geografis........................................................................................... 16 B. Sumber Daya Alam ..................................................................................... 17 C. Demografi dan Mata Pencaharian Penduduk ............................................... 17 D. Iklim ........................................................................................................... 21 E. Letak dan Fungsi Pelabuhan ........................................................................ 22 F. Posisi Banjarmasin dalam Dunia Perdagangan ............................................ 24
BAB III KESULTANAN BANJARMASIN A. Awal Masuknya Islam ke Banjarmasin........................................................ 28 B. Berdirinya Kesultanan Banjarmasin ............................................................ 30 C. Struktur Pemerintahan ................................................................................. 33 D. Struktur Masyarakat .................................................................................... 37 E. Perkembangan Agama Islam ....................................................................... 39
v
BAB IV PERAN KESULTANAN BANJARMASIN DALAM LINTAS PERDAGANGAN NUSANTARA ABAD XVIII A. Tumbuhnya Perdagangan di Kesultanan Banjarmasin sebelum Abad XVIII .......................................................................................................... 44 B. Peran Kesultanan Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad XVIII .......................................................................................................... 49 C. Hubungan Perdagangan Banjarmasin dengan Bangsa Lain .......................... 61 D. Mundurnya Perdagangan Kesultanan Banjarmasin Akhir Abad XVIII ........ 67
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan ................................................................................................. 74
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3
vi
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
ANRI
: Arsip Nasional Republik Indonesia
EIC
: East India Company
ENI
: Encyclopaedie van Nederlandsch Oost-Indië
JSAH
: Journal of Southeast Asian History
KITLV
: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
m.
: Memerintah
TBG
: Tijdschrift van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap
VOC
: Vereenigde Oost-Indische Compagnie
Real
: Mata uang yang terbuat dari perak, atau sama dengan 61 4 dollar
Amerika pada tahun 1960-an.* Pikul
: Ukuran berat, pada sekitar abad ke-XVIII 1 pikul sama dengan 125 pon (0,5 kg)
*
J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society Lessays in Asian Social and Economic History (The Hague/Bandung: Van Hoeve, 1960).
vii
Daftar Gambar
Gambar 1. Peta Indonesia Gambar 2. Wilayah Kesultanan Banjarmasin pada Abad XVIII Gambar 3. Peta Kalimantan abad XVII
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII telah menjadi sebuah kesultanan yang dipengaruhi oleh perdagangan. Kesultanan Banjarmasin menjadi sebuah pusat perdagangan karena letak geografisnya memang berada di pesisir pantai pulau Kalimantan, sehingga kehidupan dan mata pencaharian penduduknya secara normal menitikberatkan pada perdagangan. Perdagangan merupakan salah satu ciri penting kota maritim.2 Kesultanan Banjarmasin atau terkadang disebut “Kesultanan Banjar” yang merujuk pada nama suku Banjar,3 letaknya sangatlah menguntungkan untuk aktifitas perdagangan, karena letaknya yang strategis di tepi laut Jawa dan selat Makassar yang menjadi jalur perdagangan di Nusantara. Maka, pelabuhan Tatas yang terletak di muara sungai Barito, tumbuh menjadi pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal dagang yang melewati jalur tersebut.4 Kesultanan Banjarmasin memiliki sumber daya alam yang cukup besar, berupa hasil pertanian, tambang dan hutan. Di antaranya, lada, emas, intan, rotan, kayu besi dan damar,5 yang dihasilkan di wilayah pedalaman Banjarmasin.
2
Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia (Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 46. 3 Suku Banjar adalah suku pendatang yang berasal dari pulau Sumatera atau sekitarnya, tidak diketahui kapan awal mereka tiba di Banjarmasin. nenek moyang orang Banjar inilah yang membentuk pusat-pusat kekuasaan di Kalimantan Selatan. Lih. Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar (Jakarta: Rajagrafindo, 1997), h. 3. 4 M. Idwar Saleh, Bandjarmasin (Bandung: K.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1970), h. 5. 5 Han Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 1600-1880 (Leiden: KITLV Press, 2001), h. 67.
1
2
Sumber daya alam tersebut yang kemudian diperjual-belikan di pasar-pasar pusat perdagangan, baik di Banjarmasin sendiri dan ke wilayah lain di Nusantara. Munculnya Kesultanan Banjarmasin sebagai salah satu pusat perdagangan pada abad XVII disebabkan dua faktor eksternal penting. Pertama, ekspansi Kesultanan Mataram ke pantai utara Jawa. 6 Akibat ekspansi Kesultanan Mataram ini perdagangan di pantai utara Jawa praktis mati, karena kota-kota perdagangan dihancurkan oleh Kesultanan Mataram. Inilah yang menyebabkan migrasi para pedagang secara besar-besaran ke daerah yang lebih aman, termasuk ke Banjarmasin.7 Kedua, adanya monopoli VOC atas beberapa pusat perdagangan di Nusantara. Pada abad XVIII Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) melakukan monopoli di wilayah Aceh, Palembang, Jambi, Banten dan Makassar (1669).8 Kesulitan para pedagang Cina untuk mendapatkan rempah-rempah berupa lada di bagian barat Nusantara, menyebabkan mereka mencari pusat perdagangan lada di tempat lain yang belum tersentuh oleh VOC, yaitu Banjarmasin. Situasi di atas pada akhirnya dimanfaatkan oleh Kesultanan Banjarmasin yang dipimpin oleh Sultan Inayatullah (memerintah. 1637-1642) untuk mengadakan hubungan perdagangan bebas dengan pedagang-pedagang Cina, Bugis, Jawa, Belanda dan Inggris.9 Pelabuhan Tatas berkembang menjadi
6
H.J. de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 288-289. 7 D.H. Burger, Sedjarah Ekonomi Sosiologis Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), h. 64. 8 J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society Essays in Asian Social and Economic History (The Hague/Bandung: W. van Hoeve, 1960), h. 5. 9 Bernard H.M. Vlekke, Nusantara (Jakarta: KPG 2008), h. 225. Lihat juga, J.C. Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw, (Leiden: Dubbeldeman, 1935), h. 5.
3
pelabuhan pembongkar dan pemuat barang dagang dari dan ke Banjarmasin. Para pedagang dari luar membawa porselin, beras, garam, teh dan budak. Sebaliknya Banjarmasin menyediakan hasil hutan, emas, intan dan lada.10 Pada abad XVIII, Sultan Hamidullah (m. 1700-1734) berupaya untuk mengembangkan perdagangan di Banjarmasin, direalisasikan antara lain dengan mencari daerah dan tenaga kerja baru. Ini dilakukan antara lain dengan melakukan ekspedisi militer ke daerah pedalaman, seperti ke Tanah Dusun pada tahun 1740. Dengan melaksanakan ekspedisi militer sultan memaksa penduduk di pedalaman untuk menyerahkan tanah dan menanam komoditi perdagangan. Guna mengembangkan perdagangan Kesultanan Banjarmasin menjalin hubungan perdagangan yang erat dengan para pedagang Eropa, di antaranya Inggris dan Belanda. Inggris dengan Bandar dagangnya East India Company (EIC) pada tahun 1702 diizinkan oleh Sultan Hamidullah untuk mendirikan kantor dagangnya di Banjarmasin. Namun, tidak berlangsung lama. Pada tahun 1707 kantor dagang Inggris di Banjarmasin dihancurkan oleh rakyat Banjarmasin di bawah perintah Sultan Hamidullah akibat sikap orang Inggris yang mencoba menguasai perdagangan di Banjarmasin. 11 Bangsa Belanda sudah cukup lama menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Banjarmasin. Namun upaya Belanda untuk membangun perusahan dagang di Banjarmasin berkali-kali mengalami kegagalan. Tantangan yang hebat setidaknya pernah terjadi peristiwa pembunuhan orang Belanda di Banjarmasin pada tahun 1607 dan 1638. Selain berusaha mendirikan perusahaan dagang, Belanda telah melakukan perjanjian kontrak beberapa kali dengan Kesultanan 10
A.A. Cense, De Kroniek van Banjarmasin (Santpoort: C.A. Mees, 1928), h. 93-94. P. Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, K. G. Treganning, ed., JSAH, vol. IV (Singapore: 1964), h. 70. 11
4
Banjarmasin pada tahun 1635, 1660, 1664, dan 1733. Semua perjanjian bertujuan menjamin tersedianya rempah-rempah untuk VOC dengan imbalan Belanda akan memberikan perlindungan terhadap sultan jika mendapat serangan dari luar.12 Namun, semua perjanjian kontrak itu selalu mengalami kegagalan. Hal di atas telah
membuktikan
kuatnya
kedudukan
sultan
dalam
mempertahankan
kekuasaanya dari pengaruh asing. Inilah yang membuat Banjarmasin tetap ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negeri hingga pertengahan abad XVIII. Kemunduran perdagangan di Banjarmasin terjadi pada akhir abad XVIII yang disebabkan oleh perpecahan politik antar penguasa di istana. Gejala kemunduran perdagangan terlihat ketika Sultan Natadilingga (1761-1801) harus menghadapi kemenakannya sendiri Pangeran Amir. Pangeran Amir ingin mengambil haknya sebagai sultan yang di warisi oleh ayahnya Sultan Muhammad (m. 1759-1761). Pangeran Amir melakukan penyerangan terhadap Sultan Natadilingga pada tahun 1784 sampai 1786. Namun, penyerangan ini dapat dihentikan oleh Sultan Natadilingga dengan bantuan dari VOC. Karena khawatir akan kekuasaannya, Sultan Natadilingga akhirnya mengadakan perjanjian dengan VOC pada tahun 1787. Dalam perjanjian tersebut sultan Natadilingga mengakui kedaulatan VOC atas Kesultanan Banjarmasin, dengan jaminan VOC memberikan pengakuan hak atas tahta kerajaan turun temurun kepada keturunan sultan Natadilingga. 13
12 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, Jilid 1, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986), h. 255. 13 Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC, Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860 (Jakarta: ANRI, 1956), h. 89.
5
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa berkembangnya Banjarmasin menjadi salah satu bandar niaga terpenting abad XVIII tidak dapat dipisahkan dari beberapa faktor. Pertama, faktor eksternal berupa pertumbuhan bandar-bandar lain di Nusantara khususnya Asia Tenggara, dan Asia Timur pada umumnya. Kedua, adanya kemampuan untuk mengembangkan perdagangan didorong oleh kondisi fisik berupa letak geografis dan sumber daya alam yang dimiliki oleh Kesultanan Banjarmasin. Dengan memanfaatkan sumber daya alam yang melimpah perdagangan telah menjembatani majunya perekonomian. Ketiga, adanya peran Kesultanan Banjarmasin dalam mengembangkan perdagangan. keempat, adanya hubungan perdagangan dengan bangsa lain baik antar perorangan maupun antar kelompok yang telah turut serta dalam pelaksanaan perdagangan.
Karena hal di atas maka studi ini diberi judul,
Kesultanan
Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad ke-XVIII .
B. Batasan dan Perumusan Masalah Untuk pembahasan mengenai Kesultanan Banjarmasin dalam lintas perdagangan Nusantara abad XVIII, tidak dapat dipisahkan dari dinamika perdagangan yang telah terjadi di Nusantara. Periode yang diteliti di sini pada abad XVIII, yakni dalam masa empat pemerintahan sultan yaitu: Sultan Hamidullah (1700-1734), Sultan Tamjidillah (1734-1759), Sultan Muhammad Aliudin Aminullah (1759-1761), dan Sultan Natadilingga (1761-1801). Periode ini diambil karena pada abad ini Kesultanan Banjarmasin telah menjadi bandar pelabuhan perdagangan di Nusantara, pada abad ini juga telah terjadi pasang surut perdagangan di Banjarmasin akibat intervensi oleh orang Eropa. Selain itu, akibat
6
dari perdagangan juga telah membawa perubahan dan pembaharuan terhadap kondisi sosial masyarakat Banjar. Ruang lingkup penelitian ini bersifat ekonomi, topik utama yang akan di analisis dalam penyelidikan ini, secara khusus terfokus pada hal-hal yang bertalian dengan perdagangan, seperti komoditi perdagangan berupa barang ekspor dan impor, alat transaksi dan pelaksanaan perdagangan. Faktor penguasa yakni Kesultanan Banjarmasin dalam kekuasaan dan monopoli perdagangan sangat menentukan pertumbuhan perdagangan di Banjarmasin, terlebih mempengaruhi kegiatan dagang di Kota Banjarmasin. Hal tersebut juga merupakan faktor pendorong yang mengundang usaha perebutan hak monopoli perdagangan dari pihak luar. Perebutan monopoli perdagangan merupakan salah satu unsur penting yang membawa perubahan perdagangan Banjarmasin. Merujuk pada lingkup di atas studi ini difokuskan pada tiga pertanyaan. 1. Bagaimana peran Kesultanan Banjarmasin dalam memainkan kebijakan politiknya dalam perdagangan pada abad XVIII? 2. Faktor internal serta eksternal apa saja yang mempengaruhi perdagangan di Kesultanan Banjarmasin? 3. Komoditi apa sajakah yang diperdagangkan di Banjarmasin dan bagaimanakah Banjarmasin?
aktifitas
perdagangan
yang
terjadi
di
Kesultanan
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Selama ini penelitian sejarah banyak terpusat di Jawa mungkin karena sumber-sumbernya lengkap. Di wilayah-wilayah luar Jawa belum banyak diteliti memang karena sumber-sumbernya kurang. Sekarang tiba waktunya untuk mengusahakan penelitian sejarah di luar Jawa perlu dikembangkan, sehingga gambaran
sejarah
nasional
menjadi
makin
lengkap,
disamping
untuk
mengimbangi penelitian sejarah Jawa. Oleh karena itu studi sejarah lokal di luar Jawa seperti pengkajian sejarah Banjarmasin ini sangat penting artinya terutama dalam rangka penelitian sejarah Indonesiasentrisme. Seperti sejarah lokal lainnya sejarah Banjarmasin memiliki lokalitas dan karakteristik tersendiri, sehingga unik dan komplek. Namun demikian sepanjang pengetahuan penulis belum banyak sarjana Indonesia meneliti sejarah Banjarmasin, lebih-lebih mengenai aspek Kesultanan Banjarmasin dalam lintas perdagangan Nusantara abad XVIII. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Menambah wawasan intelektual khususnya wawasan kesejarahan, terkait sejarah Nusantara. Khususnya mengenai Kesultanan Banjarmasin dalam lintas perdagangan Nusantara abad XVIII. 2. Memahami sejarah perdagangan di Nusantara di abad XVIII, dimana hasil bumi Nusantara pernah menjadi sebuah komoditi terpenting dalam perdagangan internasional. 3. Menyumbang hasil karya penelitian bagi UIN Syarif Hidayatullah pada umumnya dan fakultas Adab dan Humaniora jurusan Sejarah dan Peradaban Islam khususnya.
8
D. Tinjauan Kepustakaan Seperti telah diungkapkan di atas penulisan tentang sejarah Nusantara khusunya di luar Jawa masih sangatlah minim. Namun ada beberapa sejarahwan asing dan lokal yang telah melakukan penelitian tentang daerah Banjarmasin. Sumber lokal penting bagi kajaian Banjarmasin adalah Hikayat Banjar . J.J. Ras telah menyunting dan menerjemahkan naskah ini dalam bukunya berjudul Hikayat Banjar .14 Namun sayang tulisannya tidak menyinggung masalah peranan Kesultanan Banjarmasin dalam perdagangan. Pembahasannya cenderung membahas tentang keterkaitan antara cerita Hikayat Banjar versi Jawa dengan cerita Hikayat Banjar versi Melayu. Hikayat Banjar ini merupakan satu-satunya sumber lokal yang memuat cerita tentang sejarah awal kerajaan-kerajaan di Kalimantan Selatan. Meskipun berbentuk hikayat yang kebenarannya sulit untuk dibuktikan. Ras, dalam karyanya ini telah mengkritisi naskah ini sehingga relevan untuk digunakan sebagai sumber sejarah. A.A. Cense dalam bukunya yang berjudul Kroniek van Bandjarmasin
15
telah memberikan informasi tentang situasi dan kondisi masyarakat Banjarmasin sejak masa kerajaan Hindu (Negara Dipa dan Negara Daha) hingga masa kerajaan Islam (Kesultanan Banjarmasin). Ada beberapa aspek yang diteliti, antara lain masalah hubungan Banjarmasin dengan Demak, usaha VOC menanamkan kekuasaan di Banjarmasin dan sebagainya. Uraian lain tentang sejarah Banjarmasin telah ditulis dalam kisah perjalanan yang pernah dilakukan oleh Daniel Beeckman, dalam bukunya yang
14
J.J. Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography (The Hague: Martinus Nijhoff, 1968), h. 7-10. 15 A.A. Cense, De Kroniek van Bandjarmasin, (Leiden: Santpoort, 1928), h. 91.
9
terbit tahun 1718, berjudul A Voyage to and from the Island of Borneo .16 Isi buku ini antara lain menginformasikan pengalaman Daniel Beeckman waktu berkunjung di Banjarmasin. Ia menginformasikan tentang keadaan iklim, penduduk, perdagangan di kota Banjarmasin. Kisah perjalanan juga pernah ditulis oleh Carl Bock dengan bukunya berjudul The Head-hunters of Borneo
17
yang
menceritakan tentang sumber daya alam di Banjarmasin. Tulisan lain tentang Banjarmasin juga telah dilakukan oleh P. Suntharalingan, dalam Jurnal of Southeast Asian History, dengan judul, The British in Banjarmasin: An Abortive Attempt at Settlement 1700-1707,18 dalam jurnal ini banyak memberikan gambaran tentang hubungan perdagangan antara Kesultanan Banjarmasin dengan maskapai perdagangan Inggris setelah diberikan izin oleh Sultan untuk mendirikan perusahaan dagangnya di Banjarmasin pada tahun 1615, dan mendapat saingan terbesar yakni pedagang dari Cina dan Belanda. Namun pada tahun 1707 setelah Banjarmasin lepas dari kendali kerajaan Jawa, untuk melindungi pengaruh dari luar maka Inggris diusir keluar dari Banjarmasin. Ditandai dengan penyerangan perusahaan-perusahaan dagang yang berada di Banjarmasin. Sejarah Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII, pernah ditulis oleh Sulandjari dalam tesisnya
Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan
Banjarmasin 1747-1787 .19 Tulisan ini berisikan tentang bagaimana perdagangan lada yang meningkat pada abad XVIII berpengaruh terhadap kondisi politik 16
Daniel Beeckman, A Voyage to and from the Island Of Borneo, In The East-Indies, (London. 1718), h. 1-3. 17 Carl Bock, The Head-hunters of Borneo (London: Sampson and Low 1882), h. 31-39. 18 P. Suntharalingan, the British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, K. G. Treganning, ed., Journal of Shoutheast Asian History, vol. IV (Singapore: T.pn., 1964), h. 50-70. 19 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1774-1787 (Tesis Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 1991), h. 8-9.
10
Kesultanan Banjarmasin. Karya Sulandjari ini cukup relevan digunakan oleh penulis, karena di dalam tesis ini Sulandjari menggunakan arsip-arsip yang berada di Den Haag, Belanda. Namun jika dilihat karya ini hampir sama dengan disertasi yang ditulis oleh J.C. Noorlander, yang berjudul “Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw .20 Jadi, jika melihat dari berbagai tulisan yang telah membahas tentang Banjarmasin, belum banyak yang terfokus khususnya sejarah Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad XVIII, meskipun sudah ada seperti yang ditulis
oleh
Sulandjari,
namun
pembahasannya
lebih
memfokuskan
pembahasannya terhadap perdagangan lada, tidak melihat komoditas lain seperti intan, emas, dan hasil hutan yang telah menjadi komoditi perdagangan pada abad XVIII. Dengan penulisan sejarah Banjarmasin yang dilakukan oleh penulis ini diharapkan dapat melacak sejarah perdagangan di Banjarmasin, khususnya tentang peran Kesultanan Banjarmasin hingga berbagai aktifitas perdagangan yang terjadi disana.
E. Metodologi Penelitian Untuk pembahasan “Kesultanan Banjarmasin dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad XVIII
diperlukan konsep-konsep ilmu politik, sosial, dan
ekonomi. Dengan demikian diharapkan dapat membantu menjelaskan tentang Kesultanan Banjarmasin dalam lintas perdagangan Nusantara pada abad XVIII, sebagai contoh, konsep kekuasaan untuk membantu menjelaskan hubungan raja dengan rakyat. Konsep elite, untuk membantu menjelaskan pelapisan sosial. 20
J.C. Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie In de Tweede Helft der 18de Eeuw (Leiden: Dubbeldeman, 1935), h. 1-4.
11
Konsep sistem demand dan supply, membantu menerangkan hubungan monopoli perdagangan, hubungan pasar dengan komoditi, dan sebagainya. Pendekatan ekologi diharapkan dapat menjelaskan dinamika masyarakat Banjarmasin, sebagai akibat interaksi antara masyarakat dengan lingkungan. Dalam penulisan ini penulis menggunakan pendekatan multidimensional. Dengan
menggunakan
pendekatan
multidimensional
diharapkan
dapat
memberikan gambaran sejarah menjadi lebih bulat dan menyeluruh sehingga dapat dihindari kesepihakan atau determinisme. Karena hubungan antara suatu aspek memberikan pengaruh terhadap aspek lainnya.21 Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif Analitis, yang dalam hal ini penulis berusaha mendeskripsikan dan atau menggambarkan suatu peristiwa atau kondisi yang terjadi di Nusantara sekitar abad XVIII yang telah membawa pengaruh kepada perkembangan perdagangan di Kesultanan Banjarmasin. 22 Teknik Bibliographical Survey penulis gunakan sebagai langkah awal pengumpulan data/sumber terkait tema yang akan dibahas dengan menggunakan beberapa sumber pustaka baik primer maupun sekunder, seperti arsip, buku-buku, laporan penelitian dan jurnal. Ada berberapa tahap yang penulis gunakan untuk menulis skripsi ini, pertama, pengumpulan data. Untuk pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Bibliographical Survey (penelitian kepustakaan), yaitu dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari serta
21
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 87. 22 iIbid.,
12
menelaah buku-buku dan dokumen yang berkaitan dengan pembahasan yang penulis teliti. Dalam usaha mendapatkan data dengan metode ini, penulis melakukan kunjungan ke beberapa perpustakaan antara lain: Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia,
Perpustakaan
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia
(LIPI),
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan juga ke Arsip Nasional Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan arsip-arsip Belanda, ataupun tempat-tempat lain yang dapat penulis manfaatkan untuk mencari sumber-sumber yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini. Baru setelah itu, data-data dihimpun dan diseleksi guna dijadikan sebagai rujukan utama dalam upaya penulis mendeskripsikan tentang tema yang telah penulis angkat. Tahap kedua, pengolahan data, setelah data-data diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah mengklasifikasikan data-data berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data-data tekstual seperti arsip, buku, dan jurnal yang telah didapatkan, kemudian diolah serta dimasukkan sebagai data penunjang untuk tema yang sedang dibahas. Tahap ketiga, analisa data, metode analisis dilakukan dengan cara pendekatan kualitatif yakni dengan merinci pokok masalah yang diteliti, kemudian melacak, mencatat, mengorganisasikan setiap data yang relevan dengan fokus penelitian, terakhir menyatakan penelitian dari apa yang dapat dipahami memakai “bahasa kualitatif” yang deskriptif dan interpretatif. Penyajian meliputi
13
hasil penelitian, kesimpulan dan penutup, yang setiap bagiannya terjabarkan dalam bab-bab dan sub bab, yang jumlahnya tidak ditentukan.
F. Sistematika Penulisan Skripsi ini tersusun dari lima bab di antaranya: Bab I adalah pendahuluan berisi tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metodologi penelitian, survey kepustakaan, serta sistematika penulisan. Bab II menjelaskan tentang bagaimana akar-akar pelabuhan Banjarmasin ini dapat terbentuk. Karena letaknya yang strategis di antara laut Jawa dan selat Makassar telah menjadikan Banjarmasin banyak disinggahi oleh para pedagang dari luar antara lain Cina, Bugis, Inggris dan Belanda untuk menjalin hubungan dagang. Ketertarikan para pedagang asing untuk singgah ke Banjarmasin adalah karena sumber daya alam yang dimiliki oleh Kesultanan Banjarmasin cukup besar di antaranya intan, emas, hasil hutan dan paling terutama lada. Bab III, bab ini memberikan penjelasan tentang sejarah awal terbentuknya Kesultanan Banjarmasin. Serta membahas struktur pemerintahan dan masyarakat yang telah terbentuk di Kesultanan Banjarmasin. Hal ini diperlukan untuk melihat siapakah yang memegang peran utama dalam perdagangan di Kesultanan Banjarmasin, maka di dalamnya membahas struktur masyarakat Banjarmasin dari tingkat paling atas hingga bawah. Bab IV membahas tentang periode dimana Kesultanan Banjarmasin telah berperan dalam perdagangan di Nusantara, pokok bahasan dalam bab ini membahas seberapa besar peran Kesultanan Banjarmasin dalam memajukan
14
perdagangan. Serta melihat bagaimana aktifitas perdagangan yang terjadi di Kesultanan Banjarmasin, disajikan juga gambaran umum barang impor dan ekspor Kesultanan Banjarmasin, alat transaksi perdagangan dan pelaksanaan perdagangan di Kesultanan Banjarmasin. Bab ini juga membahas hubungan yang terjalin antara Kesultanan Banjarmasin dengan bangsa asing dan meninjau pengaruh perdagangan terhadap kondisi politik Kesultanan Banjarmasin, yang mengakibatkan mundurnya perdagangan di Banjarmasin. Bab V Berisi tentang kesimpulan penelitian serta saran-saran untuk penelitian lanjutan.
BAB II PELABUHAN BANJARMASIN PADA ABAD XVII
Alfred Thayer Mahan, seorang ahli yang membahas pengaruh laut terhadap sejarah, menyatakan bahwa apabila keadaan pantai suatu negeri memungkinkan orang turun ke laut maka penduduk negeri itu akan bergairah mencari hubungan ke luar untuk berdagang, kecenderungan ini selanjutnya memunculkan kebutuhan untuk memproduksi komoditas.1 Pendapat Mahan tersebut mengacu pada dua hal penting, yaitu kondisi wilayah dan penduduk. Kondisi wilayah bukan hanya menyangkut letak dan keadaan alam tetapi juga kedudukannya dalam dunia perdagangan. Sementara yang terakhir menyangkut matapencaharian penduduk serta pemerintahan. Telah dipahami bahwa pada masa-masa awal kerajaan-kerajaan yang berada di Nusantara memiliki dua corak yaitu, kerajaan yang bercorak maritim karena letaknya yang berada di pesisir pantai, dan kerajaan yang bercorak agraris karena letaknya yang berada di pedalaman. Kerajaan maritim biasanya lebih menitikberatkan kehidupannya pada perdagangan yaitu suatu ciri yang erat kaitannya dengan kenyataan bahwa para pedagang lebih sesuai hidup dalam masyarakat kota bercorak maritim. Ini adalah suatu ciri penting pula dan erat hubungannya dengan suasana politik serta perluasannya.2 Ciri kerajaan maritim ini biasanya dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Islam. Sebaliknya kerajaan yang bercorak agraris dalam kehidupan ekonominya lebih menitikberatkan pada
1 J.C. van Leur dan F.R.J. Verhoeven, Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia (Jakarta: Bharatara, 1974), h. 6. 2 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 46.
15
16
pertanian, sedangkan kekuatan militernya lebih dititik beratkan pada angkatan darat. Ciri ini biasanya dimiliki oleh kerajaan-kerajaaan pada zaman Indonesia Hindu. Namun, tidak semua kerajaan pada zaman Indonesia-Hindu bercorak agraris, contoh kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang bercorak campuran agraris-maritim.3
A. Letak Geografis Banjarmasin adalah sebuah kota yang terletak di wilayah Kalimantan Selatan. Asal kata Banjarmasin dalam Daghregister Batavia sebagaimana dikutip oleh Idwar Saleh, Banjarmasin disebut Bandjermassih atau Bandjermassingh. Sementara itu menurut Van der Ven dalam artikelnya di Majalah TBG no. 9, Banjarmasin berasal dari kata Bandar Massih yang merupakan nama ibukota Kesultanan Banjarmasin pertama di bawah pemerintahan Sultan Suriansyah (m. 1526-1550).4 Kesultanan Banjarmasin terletak di tepi aliran sungai Kuin (Cerucuk) yang bermuara ke sungai yang besar, yaitu sungai Barito, dan sungai Martapura, serta berada pada posisi 3 0 18’ Lintang Selatan 114 0 35’ Bujur Timur dengan luas wilayah 9.291,975 km2,5 dengan tanahnya yang berawa-rawa dan banyak terdapat sungai-sungai yang mengitari wilayah kesultanan. Kesultanan ini meliputi Tanah Laut di sebelah selatan, di sebelah timur daerah sekitar gunung Pamaton, ke Utara daerah sekitar sungai Negara serta di sebelah barat meliputi daerah sekitar aliran sepanjang sungai Barito. Kemudian kesultanan ini bertambah luas, sehingga pada 3 4
Ibid. M. Idwar Saleh, Bandjarmasin (Bandung: K.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1970), h.
24. 5
J. Paulus, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, Bagian I,’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1917, h. 137. Lihat gambar peta Kalimantan Selatan pada lampiran.
17
akhir abad XVIII meliputi seluruh selatan dan timur Kalimantan, yaitu Pasir, Pulau Laut, Tabanio, Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin.6
B. Sumber Daya Alam Potensi sumber daya alam yang dimiliki Kesultanan Banjarmasin cukup besar hal ini dapat dibuktikan dengan adanya lapisan tanahnya yang banyak mengandung bahan tambang antara lain, intan dan emas. Intan misalnya terdapat di Martapura, emas di sepanjang sungai Bahan. Hasil-hasil hutannya adalah rotan, kayu besi, damar, sedangkan sarang burung terdapat di daerah pedalaman sekitar sungai Negara dan sungai Barito. Hasil-hasil pertaniannya adalah, lada, sayursayur yang terdapat di daerah Tanah Laut, Negara, Tabalong, dan Alai. Untuk cerana dan lilin terdapat di daerah Dusun dan Bakumpai. Beras terdapat di daerah Hulu sungai (yaitu, daerah Benua Lima dan Margasari). Danau dan sungai banyak pula menghasilkan ikan, umpamanya dari danau Telaga, sungai Halalak, sungai Martapura, dan sungai Barito. Di samping hasil bumi terdapat pula kerajinan anyaman berupa tikar, dan kerajinan alat-alat rumah tangga di Tabalong. Pembuatan perahu terdapat di daerah Negara. Pembuatan senjata api dan senjata lainnya seperti keris, pisau dan mandau, terdapat di daerah sungai Barito dan sungai Negara.7
C. Demografi dan Mata Pencaharian Penduduk Untuk menentukan populasi penduduk di Banjarmasin pada awal abad XVIII sangat sulit sekali, karena dalam abad XVIII perhatian terhadap masalah 6
Ita Syamsitah, Kerajaan Banjarmasin di ambang keruntuhannya (1825-1859), (Skripsi Fakultas Ilmu Budaya: Universitas Indonesia, 1984), h. 1. 7 Saleh, Bandjarmasin, h. 25-27.
18
kependudukan merupakan pemikiran teoritis belaka dan belum sampai pada usaha untuk melakukan pencacahan jumlah penduduk.8 Laporan tentang jumlah penduduk di Banjarmasin baru dilakukan pada akhir abad XVIII, sekitar tahun 1790 ketika Kesultanan Banjarmasin berada di bawah kekuasaan VOC. Sersan F.J. Hartman, telah melaporkan bahwa populasi penduduk di Banjarmasin pada tahun 1790 sekitar 65.000 jiwa yang berada di sepanjang sungai Barito dan sungai Negara. Namun, menurut Han Knapen mungkin jumlahnya lebih besar lagi sekitar 100.000 jiwa, jika ditambahkan dengan populasi penduduk yang berada di anak sungai dari Negara dan Martapura.9 Di wilayah pedalaman sepanjang anak sungai Teweh, Hartman melaporkan populasi penduduknya lebih sedikit sekitar 1.500 jiwa. 10 Penduduk tersebut terdiri dari berbagai macam suku bangsa yaitu, suku Dayak, Melayu, Bugis, Cina dan Jawa yang bercampur baur. Mereka menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, namun bahasa komunikasi ini bercampur dengan dialek asalnya.11 Penduduk Banjarmasin yang tinggal di sepanjang sungai hingga yang berdiam di daerah cabang-cabang sungai yang jauh di pedalaman untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, masyarakat Banjarmasin hidup dengan cara bertani, berkebun, meramu hasil hutan, penambangan dan berdagang. Usaha-usaha pertanian, padi dan berjenis-jenis palawija, sudah sejak zaman kuno diusahakan oleh penduduk daerah dataran rendah aluvial sepanjang
8
P. Creutzberg, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, penerjemah: Kustiniyati Mochtar dkk., (Jakarta: Obor, 1987), h. 8. 9 Han Knapen, Forest of Fortune? the Environmental History of Southeast Borneo, 16001880, (Leiden: KITLV Press, 2001), h. 107. 10 Ibid. 11 Syamsitah, Kerajaan Banjarmasin di ambang keruntuhannya (1825-1859), h. 5. Lihat juga C.A.L.M. Schwaner, Borneo Beschrijving van het Stroomgebied van den Borneo en Reizen langs eenige voorname Rivieren van het Zuid Oostelijk Gedeelte van Dat Eiland, (Amsterdam, 1853), h. 55.
19
sungai Bahan dan cabangnya. Merekalah yang secara tradisional mencukupi kebutuhan akan bahan makanan bagi daerah sekitar Banjarmasin dan kota-kota pelabuhan lainnya.12 Wilayah yang dijadikan persawahan, yaitu rawa sekittar sungai Barito bagian selatan. Bertani dan berkebun merupakan salah satu cara masyarakat Banjarmasin memanfaatkan sumber daya alamnya. Antara lain dengan membudidayakan berbagai jenis tanaman, baik yang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk dijual ke luar kesultanan. Hal ini mencerminkan bahwa telah dikenalnya dua tipe kegiatan pertanian, yaitu kegiatan pertanian yang menggarap tanaman subsistem dan yang menggarap tanaman perdagangan.13 hasil pertanian dan perkebunan di antaranya adalah beras, lada, sayur mayur, kopi dan lain-lain.14 Selain bertani penduduk Banjarmasin juga memanfaatkan hasil hutannya. Karena luasnya areal hutan di Kalimantan Selatan adalah 2.013.600 ha, mengakibatkan penduduk memanfaatkan hasil hutan ini. Produk hasil hutan berupa kayu bulat, rotan, damar, jati dan lain-lain. Wilayah Banjarmasin juga mengandung bahan tambang yang sudah dikenal sejak lama ialah intan dan emas. Penambangan intan dan emas telah dilakukan secara turun temurun. Wilayah penambangan intan yang paling terkenal ialah Martapura dan emas adalah Tanah Laut. Di wilayah ini para penambang intan melakukan proses penambangan dengan dua cara, yang diistilahkan dengan, luang dalam (lubang dalam) dan luang surut (lubang dangkal). Luang dalam
12
Untuk padi hanya cukup memenuhi keperluan daerah setempat, sedangkan untuk kebutuhan Banjarmasin dan wilayah-wilayah pantai, diperlukan impor dari luar. 13 Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi (Yogyakarta: Penerbit Aditya), 1991, h. 15. 14 Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 107.
20
adalah penambangan yang dilakukan apabila lapisan batu-batu yang mengandung intan terletak di kedalaman lebih dari 3 meter di bawah permukaan tanah. Luang dangkal adalah apabila lapisan batu-batuan tersebut dalamnya kurang dari tiga meter.15 Intan juga termasuk dalam penguasaan monopoli dari sultan, karena para pendulang intan diwajibkan untuk menjual intannya kepada para bangsawan yang mempunyai hak atas pungutan daerah tersebut dengan harga tertentu.16 Khusus untuk intan-intan yang besar-besar wajib dijual kepada sultan sendiri dengan harga yang ditentukan terlebih dahulu. Biasanya sultan memiliki pertambangan intanya sendiri, jika ada yang menambang di tempat ini diperlukan izin dari sultan dan intan harus dijual kepada sultan.17 Selain dari bertani, berkebun, dan penambangan, usaha perdagangan telah dilakukan oleh penduduk Banjarmasin. Usaha perdagangan besar dan menengah telah dilakukan oleh para bangsawan tinggi, pembesar-pembesar kerajaan dan kelas saudagar, di samping tentu saja saudagar-saudagar asing.18 Para bangsawan tinggi dan pembesar kesultanan mungkin sekali menjadi pembeli tunggal atas barang-barang hasil produksi rakyat daerah yang dikuasainya, yang menjualnya kembali kepada kelas saudagar atau bangsawan yang akan mengekspornya ke luar, atau menjualnya ke pedagang asing. Kelompok kelas saudagar melakukan usaha perdagangan luar negeri, baik mengekspor barang-barang hasil produksi rakyat maupun mengimpor barang-barang kebutuhan rakyat, yang mereka lakukan 15 16
Ibid., h. 121. A. Van der Ven, Aanteekeningen omtrent het Rijk Bandjarmasin (TBG, IX, 1860), h.
112-113. 17
Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, h.
18
Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan (Banjarmasin: Fajar, 1953), h.
136. 89-90.
21
dengan kapal-kapal mereka sendiri. Usaha ekspor dan impor ini juga dilakukan oleh pedagang-pedagang pendatang, yaitu pedagang-pedagang Eropa, Cina, Jawa, Arab, dan lain-lain, tetapi mereka tidak pernah berhubungan dengan para produsen.19
D. Iklim Wilayah Kalimantan Selatan merupakan wilayah beriklim tropis dengan hawa panas dan sangat lembab dengan temperatur relatif antara 250 Celcius dan 35 0 Celcius, curah hujan di wilayah ini tidaklah merata di sebagian wilayah Kalimantan Selatan, khususnya hulu sungai dimana kondisi curah hujan dipengaruhi oleh gunung Meratus, iklimnya agak lebih rendah dari lainnya. 20 Per-tahun curah hujan cukup banyak rata-rata 2000-2700 mm per-tahun, dengan frekuensi hujan rata-rata 6-15 hari sebulan. Banjarmasin sama dengan wilayah di Nusantara lainnya, mengenal musim kemarau dan hujan. Perubahan musim ini bergantung pada keadaan muson. Musim hujan berlangsung antara November hingga April berkat angin muson barat, musim penghujan berakhir pada bulan Mei hingga Oktober ketika angin muson barat berhenti dan digantikan oleh angin muson timur. Angin muson tidak hanya mempengaruhi perubahan musim tetapi juga pelayaran dan perdagangan. Perubahan angin yang terjadi di Indonesia setiap setengah tahun dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, peredaran bumi mengitari matahari yang menyebabkan “daerah angin mati” berpindah-pindah dari Lintang Mengkara (Tropic of Cancer) ke Lintang padayat (Tropic of Capricorn). Maka, 19
Ibid. Knapen, Forest of Fortune? The Environmental History of Southeast Borneo, 16001880, h. 34. 20
22
angin pasat tenggara pada waktu melintas garis khatulistiwa akan berubah menjadi barat daya, sedangkan apabila angin pasat timur laut melintas khatulistiwa dalam perjalanan ke selatan ia akan berubah menjadi angin laut. Faktor kedua ialah lokasi Indonesia di antara dua kontinen, Asia dan Australia. Iklim panas di salah satu benua ini akan mengakibatkan suatu tekanan rendah yang cukup mempengaruhi daerah angin mati tersebut bergeser lebih jauh ke selatan atau utara menurut musimnya sehingga merubah arah angin yang bersangkutan. Dengan demikian terjadilah angin musim yang berubah tujuan setiap setengah tahun sehingga angin memutar haluannya 1800. 21 Perubahan musim ini sudah lama dikenal pelaut-pelaut Nusantara. Dengan memanfaatkan perubahan angin, pada bulan Oktober kapal-kapal sudah berangkat dari Maluku menuju pusat-pusat perdagangan di kota-kota sebelah barat. Adapun pada bulan Maret dengan menggunakan angin barat biasanya dimanfaatkan oleh pedagang yang berada di bagian barat seperti Malaka, Riau, Johor, dan Batavia, untuk berlayar kearah timur. 22
E. Letak dan Fungsi Pelabuhan Dalam dunia perdagangan maka tempat untuk kapal dagang berhenti adalah pelabuhan. Ramai atau tidaknya pelabuhan di suatu wilayah tergantung dari berbagai faktor, di antaranya yang penting sekali adalah faktor ekologi. Pelabuhan bukan saja tempat berlabuh, tetapi tempat kapal berlabuh dengan aman, terlindung dari ombak besar, angin dan arus yang kuat seperti yang tersirat dalam arti kata harbour (Inggris) dan Haven (Belanda). 21
Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 3. 22 Ibid.
23
Tempat yang paling baik untuk berlabuh adalah pada sebuah sungai, agak jauh ke dalam. Namun, dalam hal ini lebar sungai membatasi perkembangan pelabuhan bersangkutan. Oleh sebab itu, banyak pelabuhan terletak di muara yang agak terbuka, atau meskipun kurang terlindung di dalam sebuah teluk. Dalam jaringan lalulintas di sebuah negeri kepulauan seperti di Nusantara, fungsi pelabuhan adalah sebagai penghubung jalan maritim dan jalan darat.23 Kesultanan Banjarmasin merupakan daerah yang banyak dialiri oleh sungai yang menghubungkan daerah pantai dengan pedalaman. Sungai menjadi jalur transportasi yang sangat vital bagi kepentingan ekonomis sekaligus politis karena jalan darat masih sangat sulit disebabkan hutan yang lebat.24 Sungai Barito yang merupakan sungai terbesar di Kesultanan Banjarmasin merupakan sungai yang terpenting, karena pengangkutan barang dagangan dari pedalaman ke pantai dan sebaliknya serta operasi militer sering dilakukan melalui sungai ini. Cabang terpenting dari sungai Barito yang menghubungkan daerah pantai dengan pedalaman adalah sungai Banjarmasin dan sungai Negara. Di pusat pertemuan sungai Barito dengan sungai Banjarmasin terletak pelabuhan Tatas (Banjarmasin). Lebih kurang 20 km kearah timur dari kota pelabuhan Tatas terletak Kayutangi, tepatnya di tepi sungai Banjarmasin dimana istana sultan
23
Ibid. Telah dipahami bahwa sungai merupakan akses masuk untuk memudahkan pengangkutan barang dari wilayah pedalaman ke pelabuhan. Semua kerajaan di Asia Tenggara pada zaman perdagangan telah menggunakan fungsi sungai sebagai akses masuk. Lihat: The Cambridge History of Southeast Asia from early time to 1800, volume I, editor: Nicholas Tarling (Cambridge: Cambridge University Press 1992), h. 479. 24
24
berada. Pada tahun 1771 istana dipindahkan lagi kearah timur, lebih kurang 18 km dari Kayutangi yaitu ke Martapura yang sering disebut sebagai Bumikencana.25
F. Posisi Banjarmasin Dalam Dunia Perdagangan Hall yakin bahwa pada sekitar abad XIV dan permulaan abad XV terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Langka, Birma (kini Myanmar), dan pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisr timur Semenanjung Malaka, Thailand dan Vietnam Selatan (untuk memudahkan, kita sebut jaringan perdagangan laut Cina Selatan). Keempat, jaringan perdagangan laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan yang di sebut terakhir berada di bawah hegemoni Majapahit.26 Wilayah Banjarmasin tidak disebut atau masuk dalam kelima jaringan perdagangan tersebut. Kendati demikian, daerah-daerah Kalimantan Utara dan Barat telah masuk dalam jaringan perdagangan tersebut yang sebagian besar berada di bawah pengawasan pedagang di Jawa. Salah satu hal yang menguntungkan bagi Kesultanan Banjarmasin adalah letaknya yang strategis di antara jalur perdagangan di kepulauan pada saat itu. Di
25 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1774-1787 (Tesis Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 1991), h. 26. 26 Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia, (Honolulu: University of Hawaii Press. 1985) h. 24.
25
bagian selatan daerah ini dibatasi oleh laut Jawa, dan di bagian Timur oleh Selat Makassar. Sedangkan di bagian Barat dan Utara masing-masing dibatasi oleh Kotawaringin dan pegunungan Meratus. Oleh karena letaknya yang diapit oleh Laut Jawa dan Selat Makassar itu maka Banjarmasin banyak didatangi oleh pedagang-pedagang dari luar antara lain dari Jawa, Sulawesi, Cina dan Gujarat. Kedudukan Banjarmasin yang berada di bawah pengaruh Demak pada akhir abad-XVI,27 menyebabkan terjadinya hubungan perdagangan antara kedua daerah itu. Emas, intan, lada dan hasil hutan merupakan mata dagang penting yang dicari oleh pedagang dari daerah pantai Utara Jawa dan ditukar dengan bawang merah, beras, asam dan garam. Sampai pada pertengahan abad-XVII, bersamaan dengan runtuhnya pusat perdagangan di pantai Utara Jawa, seperti Demak, Tegal dan Jepara, Banjarmasin tumbuh sebagai pelabuhan dagang yang ramai, karena semakin banyak disinggahi oleh pedagang dari daerah itu dalam usahanya untuk mencari pelabuhan bebas. bersamaan dengan itu, kedatangan orang-orang Belanda dan Inggris di Banjarmasin pada belahan pertama abad XVII telah menempatkan Banjarmasin sebagai pelabuhan yang terpenting di Asia.
27
P. Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, K. G. Treganning, ed., JSAH, vol. IV (Singapore: 1964), h. 49.
BAB III KESULTANAN BANJARMASIN
Penyebaran Islam di Nusantara pada umumnya berlangsung melalui dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan pemeluk agama Islam yang datang ke wilayah Nusantara kemudian penduduk pribumi menganut agama Islam. Kedua, orang-orang asing, seperti Arab, India dan Cina yang telah beragama Islam bertempat tinggal secara permanen di suatu wilayah Nusantara, melakukan perkawinan campur dan mengikuti gaya hidup lokal, kedua proses itu mungkin sering terjadi secara bersamaan.1 Ada juga yang berpendapat Islam didakwahkan di Nusantara melalui tiga fase yakni oleh para pedagang Muslim dalam jalur perdagangan yang damai, kemudian datangnya para pendakwah Islam yang datang dari wilayah India atau Arab yang sengaja mengIslamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman, dan terakhir dengan kekuasaan atau memaklumkan perang terhadap negara-negara penyembah berhala.2 Seiring dengan ramainya perdagangan yang terjadi di Nusantara proses Islamisasi juga terdorong oleh motif ekonomi dan politik. Para penguasa menerima Islam agar mereka dapat memperoleh dukungan dari para pedagang Muslim dengan segenap sumber ekonomi mereka. Dengan menjadi Muslim, para penguasa
di Nusantara
bisa
berpartisipasi
dalam
kancah
perdagangan
internasional, dengan menjadi Muslim dan meraih dukungan dari para pedagang,
1
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2008), h. 27. H. J de Graaf, Southeast Asian Islam To The Eighteenth Century, dalam P.M. Holt, The Cambridge History of Islam, vol. 2A, (London: Cambridge University Press: 1987), h. 123. 2
26
27
penguasa-penguasa dapat melegitimasi kekuasaan mereka dan dapat menahan pengaruh kerajaan Hindu Majapahit.3 Lebih jauh lagi motif penyebaran Islam merupakan akibat dari ancaman agama Kristen yang mendorong penduduk Nusantara masuk Islam. Jadi, masuknya Islam akibat dari persaingan antara Islam dan Kristen untuk memenangkan pemeluk baru di Indonesia. Penyebaran Islam di Nusantara terjadi ketika persaingan dan konflik semakin sengit di antara bangsa Portugis dan para pedagang Muslim.4 Namun, secara umum proses masuk dan berkembangnya agama Islam ini disepakati berjalan secara damai, meskipun ada juga penggunaan kekuatan oleh penguasa Muslim untuk mengIslamkan rakyat atau masyarakat. Secara umum mereka menerima Islam tanpa meninggalkan kepercayaan praktek keagamaan lain. Perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan “Islam”, ada yang memberikan pengertian Islam dengan kriteria formal yang sangat sederhana seperti pengucapan dua kalimat syahadat atau pemakaian nama Islam, sebagian lain mendefenisikan Islam secara sosiologis, yakni masyarakat itu dikatakan telah Islam, jika prinsip-prinsip Islam telah berfungsi secara aktual dalam lembagalembaga sosial, budaya dan politik, jadi mereka menganggap bacaan kalimat syahadat tidak dapat dijadikan bukti adanya penetrasi Islam dalam suatu masyarakat.5
3
J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society (The Hague/Bandung: Van Hoeve, 1955),
110-117. 4 B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, vol II (The Hague dan Bandung: W. van Hoeve, 1957), h. 232-237. 5 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 30.
28
Hal tersebut menyebabkan konsep masuknya Islam atau Islamisasi masih dicampuradukkan antara “datang” (terdapat bekas Islam disuatu tempat), “berkembang”(mesjid ditemukan) dan munculnya Islam sebagai kekuatan Politik (sultan memerintah).6 Beberapa konsep proses Islamisasi di atas coba dikompromikan untuk menentukan
proses
Islamisasi
di
Banjarmasin.
Dari
data
yang
ada,
berkembangnya Islam di Banjarmasin seiring dengan ramainya perdagangan yang telah terjalin di Nusantara. Masuknya Islam ke wilayah Kalimantan Selatan seiring dengan ramainya lintas perdagangan ke wilayah timur pada waktu itu. Muarabahan yang telah menjadi pusat perdagangan di Kalimantan Selatan telah banyak dikunjungi oleh orang-orang Keling, Cina, Melayu, Bugis, Bajao dan Gujarat.7
A. Awal Masuknya Islam ke Banjarmasin Kedatangan Islam ke Kalimantan Selatan diperkirakan telah ada sejak sekitar pertengahan abad XV, sekitar tahun 1475-1500 dimana telah adanya orang-orang Muslim di wilayah itu. Kesulitan akan sumber untuk pembanding dalam menentukan kapan awal masuknya Islam di Banjarmasin dikarenakan tidak adanya sumber asing yang menceritakan tentang awal hadirnya Islam di Banjarmasin. Salah satu sumber lokal yang didapat hanyalah Hikayat Banjar.
6
Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja Dan Perkembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1979), h. 1. 7 M. Idwar Saleh, Bandjarmasin, (Bandung : B.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1975), h. 35. Keterangan telah adanya kaum Muslim sebelum berdirinya Kesultanan Banjarmasin juga telah diyakini, bahwa di Banjarmasin sebelum Islam menjadi agama negara, Islam telah ada di kota-kota pelabuhan atau pemukiman-pemukiman yang lebih dekat di pantai. Lihat: Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar:Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 48.
29
Dalam sumber lokal yaitu, Hikayat Banjar diceritakan mengenai proses Islamisasi Kesultanan Banjarmasin. Ketika itu Pangeran Samudera memerlukan bantuan untuk memerangi Pangeran Tumenggung yang telah merebut takhta kerajaan Negara Daha dari Pangeran Samudera yang merupakan cucunya Raja Sukarana (raja Negara Daha sebelumnya). Untuk mengalahkan Pangeran Tumenggung, Pangeran Samudera meminta bantuan kepada sultan Demak. Namun, bantuan ini dijanjikan dengan syarat bahwa ia memeluk agama Islam. Pangeran Samudera menerima syarat tersebut dan sultan Demak kemudian mengirim 10.000 pasukan bersenjata di bawah pimpinan seorang penghulu, dengan jumlah tersebut pasukan Pangeran Samudera menjadi 40.000. selama 40 hari 40 malam berperang tidak ada juga pemenangnya. Kemudian diputuskan untuk mengadakan pertarungan antara kedua orang yang berambisi menduduki takhta, tetapi sebelum sempat bertarung Pangeran Tumenggung mengakui kesalahannya dan keduanya dapat berdamai, kemudian Pangeran Samudera diangkat menjadi sultan Banjarmasin.8 Setelah kemenangan, Pangeran Samudera memeluk Islam pada sekitar tahun 936 H/1526 M dan diangkat sebagai sultan pertama di Kesultanan Banjarmasin. Seorang Arab memberi gelar Surian Allah9 kepada Pangeran Samudera dan dikenal dengan sebutan Sultan Suriansyah (m. 1526-1550).10 Setelah itu, rombongan pasukan Demak dan penghulunya kembali pulang, dengan 8
J.J. Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography, (The Hague: Martinus Nijhoff, 1968), h. 439-443, A. Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan, Surabaya: Bina Ilmu, 1986, 10-33, Kesultanan Banjar , dalam Ensiklopedia islamdi Indonesia, Jakarta: Departemen Agama, 1987, II, 487-493. 9 Gelar Surian Allah (berjalan di jalan Allah) diberikan kepada Pangeran Samudera oleh Penghulu Demak yang bernama Khatib Dayyan ketika mengislamkan Pangeran Samudera. Lihat, Khoiril Umam, Pemikiran Akidah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007), h. 35. 10 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, (Jakarta: Kencana 2005), h. 315.
30
membawa banyak hadiah. 11 Selanjutnya, semua raja Banjarmasin menggunakan nama Arab. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa Islam telah berada di Banjarmasin sejak mulai ramainya arus perdagangan ke arah timur. Masuknya Islam terlebih lagi berkembang dengan cepat ketika Pangeran Samudera memeluk agama Islam. Agama Islam sangatlah berpengaruh terhadap kondisi keagamaan di Kesultanan Banjarmasin. Jika di analisis konversi penguasa Banjarmasin ke agama Islam lebih terpengaruh oleh faktor politik, yaitu terdorong oleh motif perebutan kekuasaan. Berbeda dengan penguasa di bagian Indonesia Timur yang mengalami persaingan agama antara Islam dan Kristen.12 Di Banjarmasin tidak ditemukan persaingan agama ini, walaupun data yang ada menyebutkan adanya penyebaran agama Kristen oleh pastur Portugis pada tahun 1688 namun agama ini tidak berkembang dikalangan orang Banjar.13
B. Berdirinya Kesultanan Banjarmasin Sebelum lahirnya Kesultanan Banjarmasin, wilayah Kalimantan Selatan telah terlebih dahulu dipengaruhi oleh kerajaan Hindu-Budha. Hikayat Banjar dan Kotaringin telah menceritakan mengenai kerajaan yang pertama berdiri di wilayah ini. Dalam hikayat diceritakan tentang kehadiran saudagar besar yang sangat kaya
11
Ibid. Van Leur, Indonesian Trade and Society, h. 117. 13 Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, h. 12
51.
31
yang berasal dari Keling, 14 namanya Saudagar Mangkubumi. Saudagar Mangkubumi ini memiliki anak yang bernama Ampu Jatmaka yang setelah ayahnya meninggal mencari wilayah baru untuk membangun sebuah kerajaan. 15 Ampu Jatmaka membuat kerajaan di Kalimantan yang diberi nama Negara Dipa.16 Kerajaan Negara Dipa adalah kerajaan yang bercorak Jawa,17 didirikan sekitar abad ke–XV. Kerajaan Negara Dipa ini kemudian dilanjutkan dengan Negara Daha yang letaknya di pedalaman Muarabahan sampai sekitar tahun 1540. Kerajaan Negara Daha mengalami kehancuran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara keluarga raja. Sewaktu Maharaja Sukarana memerintah kerajaan Negara Daha pada awal abad XVI, ia mencalonkan cucunya, yaitu Pangeran Samudera, untuk menduduki tampuk pemerintahan kerajaan Negara Daha sebagai penggantinya. Namun setelah Maharaja Sukarana meninggal dunia, jabatan tersebut menjadi rebutan para paman Pangeran Samudera, tetapi Pangeran Samudera dapat melarikan diri ke tempat kediaman Patih Masih18 di daerah muara sungai Kuin (Cerucuk). Sementara itu salah seorang pamannya, Pangeran Tumenggung, berhasil menjadi
14 Menurut analisa van der Tuuk yang dikutip oleh Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography, bahwa orang-orang Jawa itu, adalah orang-orang Keling yang berasal dari kerajaan Kuripan atau Jenggala di Jawa Timur. 15 Roasyadi, Sri Mintosih dan Soeloso, Hikayat Banjar dan Kotaringin (Jakarta: Depdikbud, 1993), h. 14. 16 Ibid. 17 Pengaruh Jawa dalam wilayah Banjarmasin telah muncul sebelum terbentuknya kerajaan Banjarmasin. Pengaruh Jawa terjadi dengan muculnya orang-orang Jawa pada abad ke14, yang dipimpin oleh seorang pedaganag bernama Ampu Jatmaka, jalur lain masuknya pengaruh Jawa adalah dengan melalui perkawinan antara Putri Junjung Buih dari Negara Dipa dengan pangeran Surianata (Raden Putra) dari Kerajaan Majapahit. Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography, h. 183. 18 Patih Masih yaitu Patih yang mengepalai daerah Banjarmasin dan sekitarnya serta mengakui Pangeran Samudera sebagai raja yang sah kerajaan Negara Daha.
32
raja terakhir Negara Daha, dengan membunuh saingannya, yaitu saudara kandung Pangeran Tumenggung sendiri (Pangeran Mangkubumi).19 Di tempat kediaman Patih Masih, Pangeran Samudera menyusun kekuatan untuk merebut kekuatan dari pamannya. Ia memperoleh bantuan dari para Patih selain Patih Masih, yaitu dari Patih Balit, Patih Balitung, Patih Muhur dan Patih Kuin. Hal ini kemungkinan karena Patih Masih merupakan pemimpin para patih di daerah tersebut.20 Wilayah kekuasaan para patih tersebut disebut Banjarmasin. Sementara itu Pangeran Samudera menjadikan daerah Banjarmasin sebagai pusat pemerintahan dan tempat kediaman Patih Masih dijadikan istana, maka berdirilah kerajaan Banjarmasin pada sekitar tahun 1526. Setelah Kesultanan Banjarmasin berdiri Kerajaan Negara Daha yang letaknya di pedalaman menjadi taklukan Kesultanan Banjarmasin, dan diharuskan membayar upeti. Sedikit demi sedikit kerajaan Negara Daha ditinggalkan rakyatnya yang pindah ke Kesultanan Banjarmasin. Pangeran Samudera kemudian memindahkan pusaka maupun perlengkapan kerajaan Negara Daha ke kerajaannya, yang mana tindakan ini mengakhiri kerajaan Negara Daha. Kerajaan ini semakin dikenal sebagai kerajaan Islam dengan Pangeran Samudera sebagai rajanya. Perkembangan selanjutnya Kesultanan Banjarmasin dapat menaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya antara lain Sukadana, Sampit dan Kotawaringin.21
19
Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, M. Idwar Saleh, ed. (Jakarta: Depdikbud. 1977/1978), h. 37-38., lihat juga Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography, h. 378382. 20 Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography,h. 45. 21 Saleh, Banjarmasih, h. 45-56., lihat juga Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography, h. 426-438.
33
C. Struktur Pemerintahan Dalam struktur pemerintahan, Sultan dibantu oleh mangkubumi, yang bertindak sebagai kepala pelaksana pemerintahan. Jabatan ini biasanya dipegang oleh seorang bangsawan keluarga dekat raja seperti putra mahkota atau saudara Sultan. Di bawah jabatan mangkubumi terdapat jabatan mantri panganan, mantri pangiwa, mantri bumi dan sejumlah 40 orang mantri sikap. Tiap-tiap mantri sikap mempunyai petugas bawahan sebanyak 100 orang. mantri panganan dan mantri pangiwa mempunyai tugas mengurus bidang militer, sedang mantri bumi dan mantri sikap bertugas untuk mengurus perbendaharaan istana dan pemasukan pajak sebagai penghasilan kesultanan. Pada tahun 1759, jabatan mantri sikap dijabat oleh saudara tiri Sultan yang bernama Gusti Wiranggala, mantri panganan dan mantri pangiwa dipegang oleh dua orang keponakan Sultan yaitu Pangeran Jiwakusuma dan Pangeran Jiwanegara. Jabatan tertinggi di bawah raja adalah mangkubumi, dan selain itu jabatan di bawah mangkubumi ada lagi yaitu, pangapit mangkubumi yang terdiri dari penghulu sebagai pemuka agama.22 Di samping pejabat-pejabat tersebut di atas, raja masih mempunyai beberapa pejabat khusus untuk mengurus rumah tangga istana. Untuk keamanan istana diserahkan kepada sarawisa mereka mempunyai anggota sekitar 50 orang yang dikepalai oleh seorang sarabraja. Petugas yang melakukan pekerjaan membersihkan kompleks istana diserahkan kepada para mandung yang anggotanya juga sekitar 50 orang dan dipimpin oleh seorang pejabat bernama Raksyayuda. Kelompok pengawal raja dan pengawal istana disebut managasari yang terdiri dari 40 orang dan dikepalai seorang bernama Sarayuda. Petugas
22
Ibid.
34
khusus yang mengerjakan pemeliharaan dan membersihkan senjata disebut saragani. Semua jenis senjata mulai dari meriam, bedil, tombak, keris, parang, panah, perisai dan sebagainya diurus, dipelihara dan dibersihkan oleh kelompok saragani ini. Kepala kelompok bernama saradipa atau kadang-kadang disebut wangsanala.
Untuk pelaksanaan upacara
kerajaan maka petugas
yang
dipercayakan mengerjakan pekerjaan tersebut adalah kelompok mangumbara.23 Dalam hal kedudukan Sultan dan sistem penggantiannya. Sultan memegang kedudukan pusat, namun dalam pelaksanaan pemerintahannya ia dibatasi oleh sebuah Dewan Mahkota yang beranggotakan sementara bangsawan keluarga terdekat Sultan dan pejabat birokrasi tingkat atas seperti mangkubumi, para mantri dan kyai. Dewan Mahkota ini berfungsi sebagai penasehat Sultan dalam memecahkan persoalan-persoalan penting seperti soal pemerintahan, penggantian takhta, pengumuman perang dan damai, hubungan dengan kekuasaan luar dan sebagainya. Pengaruh Dewan Mahkota terhadap sikap dan tindakan Sultan sangat besar.24 Sultan berhak untuk mengangkat, memindahkan ataupun memecat pejabat-pejabat pemerintahan, namun untuk pejabat pemerintahan tingkat atas, Sultan meminta nasehat pada Dewan Mahkota. Pengangkatan didasarkan atas jasa atau kecakapan seseorang. Pengangkatan seseorang pada jabatan birokrasi yang penting biasanya disertai dengan pemberian gelar. Pemecatan dilakukan terhadap pejabat-pejabat yang melalaikan tugas atau menunjukan sikap menentang terhadap Sultan. 23
Ibid., h. 51-52. Ita Syamsitah, Kerajaan Banjarmasin di ambang keruntuhannya (1825-1859), (Skripsi Fakultas Ilmu Budaya: Universitas Indonesia, 1984), h. 9. 24
35
Menurut adat kebiasaan dalam Kesultanan Banjarmasin, pengganti Raja adalah putra mahkota yang diangkat dari putera tertua Sultan dengan permaisuri dari golongan bangsawan. Dengan demikian putra dari isteri bukan golongan tersebut tidak berhak naik sebagai Sultan. Keruwetan timbul dalam istana, apabila di antara bangsawan keluarga raja ada yang mempunyai pendirian yang berbeda mengenai penunjukan pengganti Sultan. Timbulnya kericuhan dalam istana mengenai pengganti Sultan kerap kali terjadi dalam sejarah Kesultanan Banjarmasin. Penunjukan putra mahkota oleh raja belum tentu diterima oleh seluruh bangsawan.25 Dalam upacara kerajaan ada beberapa petugas yang memegang alat-alat keperluan raja seperti payung, tombak, tikar, tempat sirih dan para pembawa alatalat ini disebut payong bawat, pamarakan atau pangadapan dan kelompok ini dikepalai oleh rasajiwa. Kelompok pamarakan yang berjumlah 50 orang ini harus selalu dekat dengan Sultan karena mereka umumnya bertugas melaksanakan perintah Sultan. Yang bertugas mengurus bidang seni dan tari ialah pergamelan dan kelompok seniman ini dikepalai oleh seorang astrapana. Jika Sultan hendak berburu ia dikawal oleh para tuhaburu yang dipimpin oleh seorang puspawana. Para petugas yang mengawasi dan sekaligus menjaga keamanan Sultan ialah pariwala atau singabana. Urusan bea cukai di pelabuhan dikepalai oleh seorang bernama anggarmata yang membawahi para petugas yang disebut jurubandar. Di bidang perdagangan umum kerajaan dibantu oleh seorang pejabat bernama Wiramartas. Para pejabat di luar istana yang dapat disebut sebagai pejabat daerah ialah lalawang yang mengepalai daerah setingkat kawedanan yang membawahi 25
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, (Jakarta: Balai Pustaka 1993), h. 54.
36
kesatuan daerah yang lebih kecil setingkat kecamatan yang dikepalai oleh lurah/mantri. Tiap-tiap lurah membawahi beberapa desa, sedangkan desa dikepalai oleh seorang pembekal. Desa-desa masih mempunyai daerah yang lebih kecil lagi disebut kampung yang dikepalai oleh tetuha kampung.26 Untuk melakukan pemeriksaan urusan pemerintahan Sultan memerlukan laporan pelaksanaan pekerjaan. Untuk
itu Sultan melakukan peraturan
mengadakan seba atau sidang setiap hari sabtu bertempat di sitilohor. Disini Sultan sekaligus mengkontrol terhadap semua pejabat pemerintahan. Karena semua pejabat penting diwajibkan hadir pada acara seba ini.27 Dalam adat kebiasaan kerajaan-kerajaan di Indonesia seba juga dimaksudkan sebagai kontrol terhadap daerah yang dikuasainya. Jika wakil suatu daerah yang berada di bawah naungan kerajaan tidak hadir dalam acara seba maka dapat menimbulkan kecurigaan sang raja apalagi kalau tidak ada pemberitahuan maka dapat dianggap sebagai pembangkang. Pada umumnya susunan jabatan dalam pemerintahan Kesultanan Banjarmasin tidak banyak berubah hingga akhir abad XIX. hanya terjadi beberapa perubahan misalnya pada masa pemerintahan Sultan Adam (1825-1857), yaitu adanya jabatan mufti atau kyai yang berfungsi sebagai hakim tertinggi, yang mengepalai hakim tingkat bawah yaitu penghulu. Tingkatan sesudah penghulu adalah: kaliba, kemudian lebai, khatib, dan bilal.28 Penghulu merangkap hakim dan bertugas memutuskan hukuman. Selain itu, ia juga merupakan pemuka agama, serta menjadi kepala masjid besar di kota kerajaan.
26
Ibid. Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography, h. 376. 28 A van der Ven, Aanteekeningen omtrent het Rijk Bandjarmasin (TBG, IX, 1860), h. 27
115.
37
D. Struktur Masyarakat Dalam struktur masyarakat tradisional, struktur masyarakat memiliki dua pembagian kelas. Kelas elite dan non-elite. Mayoritas adalah non-elite yang diperintah, dan minoritas adalah kelas elite yang memerintah. Secara garis besar masyarakat Banjarmasin dapat digolongkan ke dalam empat lapisan: Pertama, golongan bangsawan, merupakan golongan yang memerintah terdiri dari Sultan dan sanak keluarganya. Mereka mempunyai gelar pangeran, puteri, ratu, raden, gusti, dan andin. Pangeran dan puteri adalah gelar untuk anak-anak dari pihak ayah dan ibu keturunan raja, yang pria disebut pangeran dan yang wanita disebut puteri, yang bila sudah menikah bergelar ratu. Raden adalah gelar untuk anak seorang pangeran dengan isteri orang biasa; Gusti adalah gelar yang biasa digunakan oleh anak-anak raja, yang berasal dari selir, dan andin adalah gelar untuk anak-anak dari seorang gusti atau raden dengan isteri keturunan biasa. Golongan ini merupakan golongan yang dihormati dalam masyarakat. Kedua, golongan agama, termasuk dalam golongan elite, terutama mereka yang berkedudukan sebagai pemimpin agama. Mereka tidak memiliki kekuasaan politik. Namun, golongan ini sangat berpengaruh dalam masyarakat. Di antara mereka ada yang bergabung dalam pemerintahan kerajaan, sehingga mempunyai kekuasaan yang syah dalam kerajaan. Tetapi jumlah ini tidak banyak. Sebagian besar golongan agama tersebar di pedesaan, mereka hidup di antara rakyat sebagai elite pedesaan, antara lain sebagai guru agama, juga sebagai wiraswasta (antara lain, membuat anyaman-anyaman tikar dan alat-alat rumah tangga, membuat perahu) dan pedagang, sehingga mereka memiliki kekayaan yang akan menambah mereka dihormati dan dipercayai rakyat.
38
Ketiga, golongan penduduk biasa. Mayoritas penduduk Banjarmasin adalah orang-orang Banjar dan Dayak.29 Orang Dayak dianggap sebagai penduduk asli di pulau Kalimantan yang mempunyai kebudayaan yang berbeda dibanding dengan orang Banjar. Ini terlihat dari bentuk mata pencaharian hidup dan kepercayaan mereka. Pada umumnya orang Banjar yang tinggal di pantai hidup sebagai pedagang dan memeluk agama Islam. Sebaliknya orang Dayak kebanyakan tinggal di pedalaman hidup dari bercocok tanam serta mengumpulkan hasil hutan. Mayoritas orang Dayak memeluk keprcayaan asli mereka yakni Kahariyangan. 30 Orang Banjar menempati status sosial ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Dayak karena mereka memegang jabatan tinggi dalam struktur pemerintahan di Kesultanan Banjarmasin, seperti sultan dan mantri (kepala desa). Sedangkan orang Dayak jika ingin masuk kedalam struktur pemerintahan mereka harus memeluk agama Islam, dan hanya bisa menjabat sebagai Pembekal (kepala kampung). Dengan demikian agama Islam memegang peran penting bagi orang Dayak untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi dalam struktur sosial masyarakat di Kesultanan Banjarmasin. Penduduk pada golongan ini kebanyakan hidup dari perdagangan, pertanian, menangkap ikan, kerajinan dan sebagainya.31 Golongan pedagang sangat besar jumlahnya, sebagian besar cukup kekayaannya. Golongan pedagang cukup dihargai di masyarakat, penghormatan pada seorang pedagang kaya akan
29
Han Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 1600-1880 ( Leiden: KITLV Press, 2001), h. 77. 30 Carl Bock, The Head-hunters of Borneo, (London: Sampson and Low, 1882), h. 164, lihat juga Victor King, People of Borneo, (Cambridge: Blackwell, 1953), h. 31-32. 31 Alfred B. Hoedson, The Padju Empat Ma anyan Dayak in Historical Perspective, (Cornell University, 1976), h. 12.
39
makin bertambah apabila pedagang tersebut masih ketururnan bangsawan. Penghormatan terhadap golongan pedagang biasanya dilihat dari besar kecilnya usaha ataupun kaya atau tidaknya pedagang tersebut. Keempat,
golongan
Pandeling
yaitu,
mereka
yang
kehilangan
kemerdekaan, akibat hutang-hutang yang tidak bisa mereka bayar. Biasanya merekalah yang menjalankan perdagangan dari golongan saudagar, bila hutangnya lunas mereka menjadi orang-orang yang merdeka, disebut mardika. Selain itu terdapat pula golongan budak yang berasal dari nasibnya dan sebagai tawanan perang. Susunan masyarakat tesebut merupakan susunan masyarakat sampai abad XIX di Kesultanan Banjarmasin.32 Dalam zaman perdagangan yang paling berperan dalam memainkan hak monopoli berada di tangan penguasa yaitu Sultan dan para pegawainya. Sultan berperan sebagai penguasa atas barang yang dihasilkan oleh penduduk di pedalaman.
E. Perkembangan Agama Islam Semenjak abad XVIII agama Islam menjadi agama resmi kerajaan. 33 Penerapan hukum Islam di Kesultanan Banjarmasin adalah sejalan dengan terbentuknya Kesultanan Banjarmasin dan dinobatkannya Sultan Suriansyah sebagai raja pertama
yang beragama
Islam.
Terbentuknya
Kesultanan
Banjarmasin menggantikan kerajaan Negara Daha yang beragama Hindu, dan merubah menjadi kerajaan yang bercorak Islam.
32 Soeri Soeroto, Pergerakan Sosial dan Perang Banjarmasin, Seminar Sejarah Nasional II, 26-29 Agustus 1970 Jogyakarta, hlm. 4-5. lihat juga, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, h. 62. 33 Lihat h. 30.
40
Islam terus berkembang, awal dari upaya Sultan Suriyansyah menyebarkan dan mengembangkan Islam secara luas kepada masyarakat ialah dengan mendirikan sebuah Masjid. Namanya masjid “Sultan Suriyansyah” yang merupakan masjid pertama di Kesultanan Banjarmasin pada abad XVI. Masjid ini berdiri hasil musyawarah Sultan dan para pembesar kesultanan masjid ini masih ada hingga kini di kampung Kuin, dan sudah beberapa kali dipugar.34 Dalam hal ini sultan tidak bertindak atas kemauannya sendiri, tetapi dibatasi oleh para petinggi kesultanan dan diatur dengan ketentuan kesultanan.35 Hal yang penting dalam menyebarkan Islam adalah peran dari para Sultan Banjarmasin yang selalu menjadi tauladan rakyatnya yaitu antara lain dengan senantiasa memakai nama-nama Islam dan bertindak sesuai dengan cara-cara Islam. Tersebarnya Islam di daerah ini tidak dengan paksaan maupun kekerasan.36 Dengan berkuasanya Sultan dan didukung oleh para petinggi, maka Islam berkembang tanpa halangan melalui perdagangan, melalui jalan sungai yang menghubungkan antara pedalaman dan kota pelabuhan Banjarmasin. Rakyat Kesultanan Banjarmasin yang letaknya di pedalaman dapat dikunjungi oleh para pedagang yang juga merupakan guru agama, sehingga para petani, peternak dan nelayan dapat memeluk agama Islam.37 Hasil dari penyebaran Islam bukan saja tampak dalam bidang politik, sosial, keagamaan, tetapi juga dalam bidang budaya. misalnya huruf Arab yang digunakan dalam pelajaran membaca al-Qur’an dan menghafal bacaan shalat, juga digunakan untuk menulis perjanjian. Perjanjian yang dibuat antara sultan 34
Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan, h. 35-36. Ita Syamtasiyah Ahyat, Perkembangan Islam di Kesultanan Banjarmasin, (Laporan Penelitian prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, 2009), h. 6. 36 Basuni, Nur Islam di Kalimantan Selatan, h. 40. 37 Ibid. 35
41
Banjarmasin dengan VOC dan Inggris pada abad XVII ditulis dengan huruf Arab Melayu. Perkembangan Islam yang sangat berarti di Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII adalah di masa Sultan Natadilingga (1761-1801), yaitu dengan datangnya seorang ulama besar yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, setelah menuntut ilmu di Haramayn. Dalam menyebarkan agama Islam Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat dukungan dari kesultanan. Ia mendapatkan segala sarana dan fasilitas dalam menyebarkan ajaran Islam. 38 Setelah dihadiahkan sebidang tanah oleh Sultan Natadilingga (1761-1801) di luar ibukota Kesultanan. Hal pertama yang dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang sangat penting untuk mendidik kaum Muslimin guna meningkatkan pemahaman mereka atas ajaran-ajaran dan praktik-praktik Islam. Syekh Arsyad al-Banjari bersama Abdul Wahhab al-Bugisi, membangun sebuah pendidikan Islam yang serupa dengan surau atau pesantren. Pusat pendidikan ini terdiri atas ruang-ruang untuk kuliah, pondokan para murid, rumah para guru dan perpustakaan.39 Beberapa hasil pemikiranya telah menambah berkembangnya ajaran agama Islam di Banjarmasin, antar lain; a. mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat Banjarmasin, b. mengusulkan kepada sultan agar sultan mengangkat mufti dan qadi di kesultanan, dan mengangkat pengurus mesjid seperti khatib, imam, muadzim dan penjaga mesjid, c. mengusulkan kepada sultan agar di kesultanan diberlakukan hukum Islam, bukan hanya terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana Islam. Misalnya hukuman mati bagi pembunuh, 38
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, h.
39
Ibid.
319.
42
potong tangan bagi pencuri, hukum cambuk bagi penzina, dan hukum mati bagi orang Islam yang murtad; d. untuk melakukan hukuman secara Islam tersebut, Ia mengusulkan dibentuknya Mahkamah Syariah, semacam pengadilan tingkat banding, di samping lembaga keqadian. Untuk memimpin mahkamah syariah ditunjuk seorang Mufti. Mufti pertama adalah Abu Za’ud anak al-Banjari. 40 Untuk kemudian sultan mengangkat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, sebagai Musytasyar Kesultanan (Mufti Besar Kesultanan) untuk mendampingi sultan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Keberhasilan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam mendirikan pendidikan Islam telah melahirkan ulamaulama baru yang turut serta dalam mengembangkan Islam dengan syiar dan dakwah Islam di Kalimantan, di antaranya Syekh Syihabudin, Syekh Abu Za’ud (keduanya putra al-Banjari), dan Syekh Muhammad As’ad (cucu al-Banjari).41 Selain hal di atas Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga telah menulis beberapa kitab ajaran-ajaran agama Islam yang murni dan benar sebagai pegangan dan pedoman bagi umat Islam. Di antara kitab-kitabnya yang terkenal dan menjadi rujukan dakwah adalah, Kitab Usuluddin, Luqthatul 'AjIan fi Bayan Haid wa istihadhati wa nifas al-Niswan (kitab tentang Haid dan Nifas), Kitab Tuhfat al-Raghibin (pemberian bagi orang-orang yang gemar, kitab ini berisi tentang masalah tauhid), Kitab
al-Qawl
al-Mukhtasar fi
'Alamat
al-Mahdi
al-
Muntazar (kitab tentang ringkasan tanda-tanda datangnya Imam Mahdi), Kitab Ilmu Falak, Kitab al-Nikah, Kitab Kanzul Ma'rifah, Kitab Sabil al-Muhtadin. Kitab Perukunan (rukun-rukun, yang tersimpul dalam rukun Islam dan rukun
40
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang 1994), h. 94. 41 Kesultanan Banjar Ensiklopedia Islam, h. 229.
43
Iman), merupakan bukti dari pengaruh Syekh Arsyad al-Banjari. Hingga kini kitab ini masih digunakan di kampung-kampung Banjarmasin. 42 Sebagai kata penutup dalam bab ini, maka telah dapat diketahui bahwa, Banjarmasin yang awalnya merupakan suatu kampung orang Melayu, menjadi pelabuhan yang disinggahi oleh para pedagang-pedagang Muslim, menjadi kota Muslim dan berlanjut menjadi kota kerajaan. Kesultanan Banjarmasin yang terletak di tepi pantai ini telah memungkinkan sekali terjadinya kontak sosial dalam masyarakat. Sultan dan masyarakat mengembangkan agama Islam, dengan demikian agama Islam di Kesultanan Banjarmasin mangalami perkembangan yang cukup menyeluruh di segala bidang, baik bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. terlebih lagi setelah kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, kesadaran agama Islam di kalangan kerajaan dan penduduk awam telah diperdalam dengan intensitasnya yang besar sehingga melahirkan suatu perkembangan Islam di Kesultanan Banjarmasin.
42
54.
Daud, Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, h.
BAB IV PERAN KESULTANAN BANJARMASIN DALAM LINTAS PERDAGANGAN NUSANTARA ABAD XVIII
Dalam bab ini, akan membahas mengenai tiga pembahasan. Pertama akan diawali dengan melihat latar belakang munculnya Kesultanan Banjarmasin pada abad XVII. Kedua, akan melihat seberapa jauh peran Kesultanan Banjarmasin dalam mengembangan perdagangan pada abad XVIII dengan melihat dua faktor, yaitu kebijakan Sultan terhadap perdagangan dan Sultan sebagai pemain aktif dalam perdagangan. Dibagian akhir akan dijelaskan kemunduran perdagangan yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan yang terjadi dikalangan istana.
A. Tumbuhnya Perdagangan di Kesultanan Banjarmasin Sebelum Abad XVIII Kesultanan Banjarmasin tumbuh sebagai bandar perdagangan di Nusantara dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain, pertama, dijadikannya Banjarmasin sebagai sebuah daerah taklukan Demak. Hal ini berakibat mulai dikenalnya wilayah Banjarmasin. Kedua, meluasnya ekspansi Mataram di pesisir pantai utara Jawa pada pertengahan pertama abad XVII. Ketiga, penguasaan wilayah penghasil lada oleh VOC di wilayah lain di Nusantara seperti, Banten, Palembang dan Jambi. Hal ini mengakibatkan para pedagang mulai mencari daerah penghasil lada di wilayah lain yang belum tersentuh oleh pengaruh VOC. Ketiga faktor tersebut yang mengakibatkan Banjarmasin mulai dikenal sebagai bandar perdagangan di Nusantara.
44
45
Sebelum periode abad XVIII, Kesultanan Banjarmasin telah menjadi sebuah kesultanan yang bercorak maritim di Kalimantan Selatan. Dalam beberapa periode Kesultanan Banjarmasin masih merupakan daerah taklukan dari kerajaankerajaan Jawa seperti, Demak dan Mataram. Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin lebih kepada faktor ekonomi. Karena Banjarmasin memiliki produk hutan yang sangat baik seperti, damar, lilin, myrabolans untuk industri batik, rotan, dan barang anyaman.1 Sedangkan Jawa sendiri telah dikenal sebagai pemegang kekuasaan ekonomi yang paling besar sebagai daerah penghasil beras. Selain itu, beras juga dianggap sebagai senjata politik yang dipegang oleh Jawa.2 Di Banjarmasin sendiri beras merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat. Namun, di Banjarmasin beras hanya ditanam oleh orang Dayak pedalaman, dimana surplus penanamanya juga sangatlah kecil sehingga kurang mencukupi kebutuhannya sendiri dan perlu memasoknya dari Jawa.3 Hegemoni Jawa di Banjarmasin diawali dengan dijadikannya Banjarmasin sebagai daerah taklukan dari Demak di tahun 1526. Seperti telah diketahui dalam bab sebelumnya, adanya hubungan kesultanan Demak dengan Banjarmasin diawali dengan hubungan antara Kesultanan Demak yang telah membantu Pangeran Samudera untuk mengambil alih kekuasaannya yang telah diambil oleh pamannya Pangeran Tumenggung.4 Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Sultan Trengganu (memerintah 1521-1546) telah mewajibkan Kesultanan Banjarmasin yang dipimpin oleh Sultan
1
B.J.O. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, vol. I (Bandung: The Hague van Hoove, 1955), h. 29. 2 P. Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, K. G. Treganning, ed., Journal of Shoutheast Asian History, vol. IV (Singapore: 1964), h. 50-51. 3 Ibid. 4 Lihat Bab III,” Masuknya Islam ke Banjarmasin”
46
Suriansyah (m. 1526-1550) memberikan upeti kepada kesultanan Demak antara lain berupa intan, emas dan hasil hutannya. Selama berada di bawah kekuasaan Demak, dengan dibantu kekuatan militer dari Demak, Kesultanan Banjarmasin berhasil menaklukan daerah-daerah di pedalaman seperti Sukadana, Sambas, Sampit, dan Mendawai.5 Penguasaan
Demak atas Kesultanan Banjarmasin akhirnya berakhir,
ketika kekuasaan Demak yang dipegang oleh Sultan Trengganu berpindah kepada Sultan Prawata (m. 1546-1561). Pada masa pemerintahan Sultan Prawata merupakan zaman kekacauan dan perpecahan.6 Karena lemahnya kekuatan administratif yang dipimpin oleh Sultan Prawata mengakibatkan wilayah-wilayah taklukan akhirnya melepaskan diri dari kesultanan Demak pada akhir abad XVII, termasuk juga Banjarmasin.7 Selama kurang lebih 20 tahun Kesultanan Banjarmasin berada di bawah hegemoni dari kesultanan Demak. Selama di bawah hegemoni Kesultanan Demak, Kesultanan Banjarmasin baru mulai dikenal sebagai bandar dagang yang telah disinggahi oleh para pedagang Cina dan Jawa.8 Di permulaan abad XVII, dengan kekuatan armada darat dan lautnya yang kuat, kesultanan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung (m. 1613-46), dapat menguasai kerajaan-kerajaan pantai di Jawa seperti, Jepara, Cirebon, Tuban, dan Gersik, Sultan Agung melanjutkannya hingga ke seberang laut yakni Kalimantan.9 Pada tahun 1622, dengan menggunakan kekuatan lautnya Sultan Agung
5
J.J. Ras, Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography (The Hague: Martinus Nijhoff), h. 430-440. 6 Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 36. 7 Ibid. 8 M. Idwar Saleh, Banjarmasih, (Banjarmasin: K.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1975), h. 39. 9 Melink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in Indonesian Archipelago Between 1500 and about 1630 (The Hague: Martinus Nijhoff), h. 269.
47
melancarkan penyerangan yang pertama ke Sukadana yang dengan mudah dapat ditundukkan. Pada tahun 1631 beredar rumor bahwa Kesultanan Mataram akan menaklukan Banjarmasin sebagai target selanjutnya. Untuk mencari kekuatan baru agar tidak di kuasai oleh Kesultanan Mataram, Kesultanan Banjarmsin menjalin hubungan dengan Belanda. Namun, karena kuatnya Kesultanan Mataram, pada tahun 1637 Kesultanan Banjarmasin memilih berdamai dengan Mataram dan menyatakan diri sebagai daerah taklukan Mataram.10 Pengakuan Banjarmasin sebagai daerah taklukan Mataram ditandai dengan pengiriman utusan Banjarmasin yang membawa upeti untuk Mataram pada tahun 1641.11 Pada akhir tahun 1650-an, Banjarmasin dan Sukadana menghentikan pemberian upeti kepada Mataram. Pada tahun 1661 Sukadana menyatakan diri sebagai daerah taklukan Banjarmasin dan berjuang bersama Banjarmasin untuk melawan Mataram.12 Kebijakan yang dijalankan oleh Sultan Mataram Amangkurat I (m. 1646-1677), telah memberikan banyak keuntungan untuk Kesultanan Banjarmasin. Sentralisasi administrasi yang dilakukan oleh Sultan Amangkurat I, dengan cara menghancurkan pusat-pusat perdagangan di pesisir wilayah Jawa Timur agar hanya beralih kepada Mataram, telah mengakibatkan migrasi yang besar ke wilayah Banjarmasin. Banjarmasin menjadi penampung baik pedagang dari kota-kota pesisir Jawa termasuk aktifitas perdagangan mereka.13 Gelombang baru dari pengungsi yang datang ke Banjarmasin semakin
10
H.J. de Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Saultan Agung, (Jakarta: Pustaka Uatama Grafiti, 1990), h. 288-289. 11 Utusan Banjarmasin yang dikirim ke Mataram untuk penyerahan upeti membawa merica, rotan, barang-barang anyaman, dan lilin. Kemudian sebagai imbalannya Sultan Mataram mengirim beras, gula, asam, garam, bawang merah dan sebagainya. Ibid., 290. 12 H.J. de Graaf, Disintegrasi Mataram di bawah Mangkurat I (Jakarta: Pustaka Grafiti, h.78. 13 A.A. Cense, De Kroniek van Bandjarmasin (Santpoort, 1928), h. 117.
48
bertambah sejak pecah perang Makassar, di antaranya banyak pedagang Melayu yang datang. Faktor yang sebelumnya, adalah kedatangan para pedagang Cina ke Banjarmasin untuk pembelian lada. Patani dan Banten merupakan penyuplai terbesar permintaan lada Cina. Namun di awal dekade abad ketujuhbelas, Cina mendapat rintangan pada bandar dagang Banten dan Patani. Di Patani, suplai lada dihentikan ketika perkebunan lada dirusak oleh Kesultanan Aceh karena persaingan dengan bangsa Belanda untuk memperoleh monopoli lada di Patani, yang akhirnya pada tahun 1615, Belanda beralih ke Jambi. Dan berhasil menguasai Jambi, dan penyuplai lainnya seperti Palembang, Pidie juga telah berhasil dikuasai Belanda.14 Di Banten, pemboikotan terhadap lada yang dilakukan oleh Belanda benar-benar mempengaruhi penyuplaian lada: pada 1620-1628, pemboikotan Belanda terhadap lada Banten mengakibatkan beralihnya pengolahan lada ke pertanian. Pada sekitar tahun 1610, kebijakan perdagangan bebas yang dijalankan oleh Sultan Ranamanggala (m. ? – 1624)15 tidak disenangi oleh Belanda, yang ingin menerapkan sistem monopoli perdagangan lada di Banten. Setelah, Belanda berhasil memperkuat kedudukannya di Batavia pada tahun 1618, Belanda mulai menerapkan kebijakan pengepungan pelabuhan Banten dan memblokade setiap kapal yang akan menuju Banten agar beralih ke Batavia. 16
14
Schrieke, Indonesian Sociological Studies, vol I, h. 54-55. Tidak diketahui berapa lama Ranamanggala memerintah. Ranamanggala sebelum menjadi sultan menjabat sebagai Mangkubumi, yang pada akhirnya diangkat menjadi wali sultan, karena yang seharusnya menjadi sultan adalah Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir (1624-1651) yang masih belum cukup umur. Lih, Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1604 (Depok: Komunitas Bambu, 2007). h. 36-37. 16 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad (X-XVII),Penerjemah: Hendra setiawan dkk (Jakarta: KPG, 2008), h. 249. 15
49
Akibat pemblokadean Belanda terhadap Banten, Sultan Ranamanggala pada akhirnya mengambil keputusan untuk mengubah pertanian negerinya dengan menanam padi dan ubi. Karena, menurutnya selama masih ada lada, Belanda akan terus melancarkan pemblokadean terhadap Banten. Dampak dari kebijakan ini telah mengakibatkan para pedagang yang ingin ke Banten untuk mendapatkan lada akhirnya beralih ke tempat lain.17 Peristiwa tersebut di atas mendorong produksi lada di Banjarmasin, meningkatnya produksi lada di Banjarmasin telah mendorong para pedagangan tidak hanya Cina tetapi juga Belanda, Inggris, Portugis, Denmark, Jawa dan Makassar jumlahnya mulai meningkat berdatangan ke Banjarmasin. Kombinasi yang secara kebetulan bagaimanapun kemudian meningkatkan Banjarmasin ke posisi pusat perdagangan terpenting di Nusantara pada pertengahan abad ketujuhbelas.18
B. Peran Kesultanan Banjarmasin Dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad XVIII Situasi dan kondisi seperti telah disebutkan di atas, agaknya telah memberikan kesempatan baik bagi Kesultanan Banjarmasin di awal abad XVIII untuk mengembangkan perdagangan. hal ini terbukti dari usaha Sultan melakukan ekspansi ke wilayah pedalaman yang merupakan sumber komoditi perdagangan. Dengan penguasaan daerah seperti, Kutai, Pasir, Kotawaringin, Sambas dan
17
Ibid., h. 250. Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, h. 52. lihat juga Han Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 16001880 (Leiden: KITLV Press, 2001), h. 67-68. 18
50
lainnya,19 melalui wilayah-wilayah taklukan inilah sumber ekonomi pusat kekuasaan induk mendapatkan sokongan baru, baik dalam bentuk barang, jasatenaga, maupun pajak. Daerah ini pada gilirannya juga dapat dijadikan ujung tombak bila sewaktu-waktu ada serangan dari luar. Daerah yang ditaklukan dibagi-bagi di antara keluarga sultan atau para bangsawan dengan menggunakan hukum adat atau tradisi, setelah itu sultan dan para bangsawan memerintahkan rakyat menanam komoditi perdagangan yang amat dibutuhkan yaitu lada. Lada merupakan barang ekspor yang paling utama di Banjarmasin.20 Hal lain yang mendorong ramainya perdagangan di Banjarmasin adalah karena sikap sultan yang memperlakukan para pedagang asing dengan baik. Sikap sultan Banjarmasin terhadap para pedagang menurut sumber Cina termasuk sangat baik.21 Sultan selalu berusaha agar para pedagang itu dapat berdagang dengan aman dan memperoleh pelayanan yang sebaik-baiknya. Untuk itu ia melarang putra-putranya, yang dikatakan cukup banyak, keluar rumah menggangu mereka. Oleh sebab itu tidak mengherankan bahwa pada abad XVIII, pelabuhan Banjarmasin banyak dikunjungi oleh pedagang dari berbagai daerah. Seperti pedagang Melayu, Jawa, Bugis, Cina, Arab, Portugis, Belanda, Inggris dan Denmark.22 Kesultanan Banjarmasin yang telah menjadi sebuah negeri yang bertumpu pada perdagangan sebagai sumber mata pencaharian. Maka, tentunya di negeri 19
Cense, De Kroniek Van Banjarmasin, h. 109. Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 16001880, h. 263. 21 W.P. Groeneveldt. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Penerjemah Gatot Triwira (Depok: Komunitas Bambu, 2009), h. 150. 22 Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 16001880, h. 68. 20
51
Kesultanan Banjarmasin akan terjadi suatu aktifitas perdagangan yang meliputi pertukaran barang eksport dan Import, penggunaan alat tukar barang dan terkait juga dengan pelaksanaan perdagangan. 1. Jenis Barang Ekspor dan Impor Sejalan dengan penyebaran barang perdagangan yang diduga dibuat di dalam maupun di luar kesultanan, maka didapatkan sistem ekspor dan impor. Sistem ekspor dimaksudkan adalah penjualan barang-barang keluar wilayah dari Kesultanan Banjarmasin. Baik berupa hasil pertanian dan non-pertanian. Sedangkan sistem impor adalah penjualan barang-barang yang didatangkan dari luar wilayah kekuasaan Kesultanan Banjarmasin, baik berupa bahan makanan seperti beras, benda seni seperti keramik yang didatangkan dari Cina, dan peralatan sehari-hari. Mengacu pada sumber-sumber yang ada saat ini. Sulit sekali untuk mendapatkan rincian tertulis mengenai komoditi ekspor dan impor di Banjarmasin. telah diketahui bahwa pada umumnya barang yang diekspor oleh Kesultanan Banjarmasin antara lain, lada, damar, lilin, sarang burung, kayu ulin, rotan, emas dan intan. Kesulitan data ini mengakibatkan pengambaran komoditi ekspor dan impor ini hanya di pilih beberapa saja. Dari sumber yang ada, barang ekspor antara lain lada, intan, rotan dan tembikar. Barang impor yaitu beras. Lada. Kebutuhan akan lada ini agaknya seiring dengan berbagai manfaat yang terkandung di dalam biji lada. Khasiat biji lada ini sangat banyak, antaranya untuk pengobatan, penyedap makanan dan sebagai sumber minyak lada. Karena hal inilah banyak pedagang asing ataupun Nusantara bersaing dalam pencarian wilayah penghasil lada. Setelah Portugis berhasil mendapatkan monopoli lada di
52
pantai barat India di Abad ke XV, karena kondisi inilah banyak pedagang Arab dan India mencari lada ke berbagai pulau di Nusantara. Akibatnya budidaya lada berkembang pesat, di Sumatera, Pidie, Pariaman, Silebar, Indrapura, Jambi, Indragiri, Kampar, Palembang dan Lampung. Di pulau Jawa Banten dan sekitarnya, dan lebih belakangan di Kalimantan yaitu Banjarmasin.23 Di abad XVIII Kesultanan Banjarmasin makin meningkatkan penanaman ladanya di wilayah pedalaman. Ekspansi yang di lakukan Kesultanan Banjarmasin ke wilayah pedalaman, telah menambah daerah penghasil lada. Wilayah penanam lada yang telah ada lebih awal seperti Martapura, khususnya diwilayah sekitar Riam Kiwa dan Riam Kanan. Dari sini, penanaman meluas hingga ke wilayah Hulu Sungai dan Tanah Laut. Wilayah lain yang tidak kalah penting sebagai penghasil lada adalah Amandit, Pemangkih, Tapin, dan Kelua. Sekitar pertengahan abad XVIII, wilayah sekitar Hulu Sungai telah menjadi daerah terpenting penghasil lada hingga membanjiri wilayah kota Negara dan Amuntai yang menjadi pusat transit barang perdagangan dari pedalaman.24 Besaran hasil lada ini dapat diketahui dengan melihat berapa banyak hasil lada yang telah di ekspor oleh Kesultanan Banjarmasin kepada pedagang Belanda dan CIna. Dari data yang ada pada tahun 1747-1761 Belanda telah membawa lada dari Banjarmasin sebanyak 83.276 pikul (20.819 ton) dan Cina sekitar 32.213 pikul (8.053,25 ton),25 perbedaan lada yang dibawa antara VOC dan Cina pada tahun ini dikarenakan Kesultanan Banjarmasin telah melakukan perjanjian dengan
23
J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society (The Hague/Bandung: Van Hoeve, 1955), h. 101-102. 24 Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 16001880, h. 260. 25 J.C. Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw, (Leiden: Dubbeldeman, 1935), h. 192.
53
VOC, yang telah menjadikan Cina hanya boleh mengangkut lada hanya dengan satu jung saja dan pedagang Cina juga dibatasi hanya boleh datang ke Banjarmasin 1-2 kali per-tahun.26 Dalam transaksi pembelian lada, para penanam lada tidak dapat menentukan harga, yang menentukan harga adalah sultan. sultan biasanya membeli lada dari pedalaman sekitar 2 real Spanyol untuk setiap pikul (125 kg), Sultan biasanya menjual lada kepada VOC sekitar 6 real Spanyol, untuk setiap pikul. Lada akan semakin meningkat harganya apabila sultan menjualnya kepada para pedagang Cina yang membayar 8 real Spanyol untuk setiap pikulnya. 27 Ini berarti sultan mendapatkan keuntungan sekitar 4 sampai 6 real Spanyol untuk setiap pikul lada, atau sekitar 100-200% dari harga beli. Besarnya keuntungan yang didapat dari perdagangan lada telah menjadikan raja dan para bangsawan cepat kaya, lada sangat laku dan banyak membawa keuntungan. Kekayaan ini tercermin dari gaya hidupnya. Misalnya, menurut berita Cina sultan Banjarmasin memiliki ratusan dayang-dayang yang berpakaian indah-indah. Kalau raja berpergian, maka ia naik gajah dan diiringi oleh pengiring yang membawa pakaian, sepatu, pusaka kerajaan dan tempattempat sirih.28 berita lain menyebutkan, karena perdagangan lada inilah sultan sering mengadakan pesta besar, membiayai kehidupan istana dan keluarganya setiap hari, membiayai pengawal dan membangun istana yang indah. Kemewahan
26
Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC, Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860 (Jakarta: ANRI, 1965), h. 36 dan 41. 27 Tidak diketahui dengan jelas mengapa sultan memberi harga berbeda, namun data ini diambil dari Surat-surat antara kesultanan Banjarmasin dengan Belanda, yang di dalamnya menyatakan harga yang dijual untuk VOC adalah 6 real Spanyol dan Cina 8 real Spanyol untuk setiap pikul lada. Lih. Ibid. 28 Groeneveldt. Nusantara dalam Catatan Tionghoa, h. 149.
54
ini telah disaksikan oleh utusan VOC, Andreas Pravinci yang datang ke Kesultanan Banjarmasin pada tahun 1756.29 Intan. Beralih dari hasil pertanian, barang ekspor yang paling dikenal dari Banjarmasin adalah hasil pertambangan intannya. Intan merupakan bahan tambang yang telah dikenal sejak dahulu. Tidak diketahui kapan awal penambangan intan ini dilakukan. Intan adalah barang tambang yang dimanfaatkan untuk pembuatan perhiasan seperti cincin, kalung ataupun gelang. Penambangan intan ini telah banyak dilakukan di wilayah Martapura.30 Pada periode perdagangan abad XVIII intan hanya disuplai oleh para pedagang besar saja seperti Cina dan Eropa. Belanda misalnya, pernah membawa intan dari Banjarmasin ke Amsterdam untuk diolah menjadi perhiasan. Namun, semenjak ditemukannya sumber intan di Afrika Selatan, eskpor intan dari tempat ini lambat laun terhenti.31 Selain Belanda, para pedagang Cina juga telah menyuplai intan Banjarmasin ke Cina, diperkirakan 10.000 intan pernah dikirim ke Cina. 32 Rotan. Hasil ekspor lain yang juga cukup menarik bagi pedagang asing adalah produk hutan dari Banjarmasin. Kawasan Kalimantan Selatan adalah wilayah yang kaya akan hasil hutannya, karena luasnya areal hutan di wilayah ini. Wilayah yang paling banyak menghasilkan hasil hutan berupa rotan diketahui ialah Riam Kiwa dan Riam Kanan, selain itu juga tanah laut dan Pulau laut, wilayah inilah yang dikenal sebagai penghasil rotan dengan kualitas terbaik.33
29
Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1774-1787 (Tesis Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 1991), h. 67. 30 Carl Bock, The Head-hunters of Borneo (London: Sampson and Low, 1882), h. 170. 31 Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo. h. 261. 32 Ibid. 33 Ibid.
55
Pada abad XVIII, para pedagang Cina dan Eropa mulai tertarik terhadap produksi hutan ini. 34 Meskipun perdagangan rotan ini muncul tidak terlalu signifikan, dikarenakan tertutup oleh perdagangan lada saat itu. Namun rotan juga tercatat sebagai komoditi eskpor dari Kesultanan Banjarmasin. Tercatat dari tahun 1724-1777 Banjarmasin telah mengeskpor rotan ke Makassar sebanyak
581
ikat,35 kemudian di tahun 1788 dan 1789, rotan yang dihasilkan Banjarmasin sebanyak 200.000 ikat, ini dikirim untuk memenuhi kebutuhan pasar di wilayah lain Nusantara, Cina dan VOC. Tembikar. merupakan salah satu barang ekspor Kesultanan Banjarmasin lainnya. Kendati barang ekspor ini bukanlah sebuah barang produksi yang dihasilkan oleh Banjarmasin melainkan didatangkan dari Cina. Barang tembikar ini merupakan salah satu barang yang banyak diminati oleh para pedagang yang berasal dari Makassar. Pada tahun 1720-an Banjarmasin penting sekali bagi Makassar. Perngiriman barang tembikar dari tanah, khususnya mangkuk, piring dan pot, dikirim ke Makassar sekitar 33.000 buah per-tahun.36 Beras. Barang impor terpenting yang didatangkan dari luar contohnya adalah beras. Beras merupakan salah satu hasil pertanian terpenting. Untuk masyarakat Indonesia beras merupakan bahan makanan pokok yang dikonsumsi sehari-hari. Telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, beras merupakan salah-satu komoditi perdagangan yang didatangkan dari luar Banjarmasin, pembelian beras dari luar ini diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk di Kesultanan Banjarmasin. 34
Groeneveldt. Nusantara dalam Catatan Tionghoa., h. 150. Gerrit Knaap dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ships, Skippers and Commodities in Eighteenth-Century Makassar (Leiden: KITLV, 2004), h. 241. 36 Gerrit J. Knaap, Shallow Waters, Rising Tide; Shipping and Trade in Java around 1775 (Leiden: KITLV, 1996), h. 122-124. 35
56
Di Banjarmasin penanaman beras diusahakan oleh penduduk di daerahdaerah rendah aluvial sepanjang sungai Bahan dan cabangnya, disamping itu Amuntai juga telah menjadi daerah penghasil beras yang setiap panen menghasilkan beras sebanyak kurang lebih 119.712 kg.37 Namun penanaman beras ini hanya mencukupi kebutuhan akan bahan makanan daerah pedalama sekitar Banjarmasin saja, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan makanan di wilayah pantai atau wilayah sekitar pelabuhan yang telah banyak ditempati oleh para pedagang mengakibatkan Kesultanan Banjarmasin harus mengimpornya dari wilayah lain. Pada abad XVII, Kesultanan Banjarmasin lebih banyak memasok beras dari Jawa, khususnya dari Mataram. Pasokan beras ini dibeli dari beberapa wilayah seprti Jepara, Tuban, Pajang, dan Mataram. Di abad XVII, Jepara telah menjadi sebuah gudang beras karena dari tempat inilah beras telah diekspor ke berbagai daerah di Nusantara termasuk Banjarmasin.38 Pada abad XVIII, semakin bertambahnya para pedagang dari luar, mengakibatkan Kesultanan Banjarmasin tidak hanya memasoknya dari Jawa, namun juga dari Makassar. Sekitar tahun 1724-1726 Makassar telah mengimpor beras ke Banjarmasin sekitar kurang lebih 312 pikul dan di tahun 1774-1777, jumlahnya menurun hanya sekitar 213 pikul.39 Selain beras impor dari Makassar antara lain, garam, agar-agar, pakaian Bugis dan Pakaian Selayar.
37
Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787, h.
28. 38 J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society Essays in Asian Social and Economic History (The Hague/Bandung: W. van Hoeve, 1960), h. 207-209. 39 Gerrit Knaap dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ships, Skippers and Commodities in Eighteenth-Century Makassar, h. 241.
57
Selain beras Banjarmasin juga mengimpor porselin, garam, teh dan budak. Barang-barang ini didatangkan terutama oleh para pedagang dari Cina, Jawa dan Makassar. Tidak didapatkannya banyak data mengenai komoditi impor di Kesultanan Banjarmasin namun komoditi tersebut sangat bernilai penting untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di Kesultanan Banjarmasin. Semua barang ekspor dan impor tersebut sangatlah berpengaruh bagi kehidupan Kesultanan Banjatmasin dan masyarakatnya. Karena misalnya, ekspor lada yang telah mendatangkan kemakmuran bagi Kesultanan Banjarmasin, dan impor beras yang amat penting peranannya untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok masyarakat Banjarmasin. Kesemuanya itu merupakan barang-barang yang diperdagangkan di Banjarmasin. 2. Alat Tukar Perdagangan Di Banjarmasin juga telah dikenal penggunaan mata uang yang telah di gunakan sebagai alat transaksi pembelian suatu barang. Namun, berbeda dengan Aceh pada zaman Iskandar Muda (m. 1607-1636), yang menggunakan mata uang kesultanan yang dibuat oleh pemerintah yang berupa mata uang emas untuk menggantikan mata uang real Spanyol.40 Sedangkan di Banjarmasin tidak ditemukan penggunaan mata uang seperti ini.41 Kesultanan Banjarmasin sama seperti bandar dagang di Nusantara lainnya, bertransaksi dengan penggunaan mata uang real Spanyol,42 terkadang juga
40
Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: Kepusatakaan Populer Gramedia, 2006), h. 152-156. 41 Walaupun diperkirakan orang-Orang Inggris telah memasuk Timah ke Banjarmasin yang biasa digunakan untuk pembuatan uang. Namun di Banjarmasin tidak ditemukan penggunaan mata uang lokal seperti di Aceh. Lihat, Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R.Z. Leirissa, P. Soemitro ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 129. 42 Real Spanyol mata uang yang terbuat dari perak. Satu real = 6 ¼ dollar lihat, Van Leur, Indonesian Trade and Society, h. 368.
58
mengunakan mata uang gulden Belanda, karena hal ini lebih memudahkan dalam transaksi baik didalam maupun keluar. Hal ini wajar karena mata uang real Spanyol telah banyak beredar dan berlaku di berbagai tempat, seperti Malaka, Banten, Sulawesi, Maluku dan tempat lain. Penggunaan mata uang real Spanyol ini dapat dilihat ketika sultan menjual komoditi perdagangannya, seperti telah disebutkan di atas. 3. Sultan dan Pelaksanaan Perdagangan Perdagangan yang terjadi di Kesultanan Banjarmasin, baik secara langsung maupun tidak langsung pasti akan melibatkan tenaga kerja. Tenaga kerja ini bisa tenaga kerja kasar dan tenaga kerja halus, atau tenaga kerja administrasi pemerintahan. Dalam masalah tenaga kerja ini hanya akan menjelaskan tenaga kerja yang hanya terbatas pada tingkat pemerintahan, walaupun dalam mekanisme kerjanya tidak dapat lepas dari tenaga kerja kasar. Guna menanggulangi berbagai masalah dalam perdagangan di Pelabuhan, sejak awal berdirinya Kesultanan Banjarmasin sudah berupaya memanfaatkan berbagai tenaga kerja yang bergerak di sektor administrasi. Untuk mengurus masalah hubungan dengan pedagang asing maka Kesultanan Banjarmasin menugaskan kepada Syahbandar. Peran Syahbandar sebagai kepala pelabuhan memegang peran penting bagi perkembangan suatu pemerintahan, jadi bisa diartikan syahbandar bertindak sebagai duta besar dari istana. Tugas dari Syahbandar sendiri antara lain, sebagai perantara antara raja dan orang asing, bertugas memperjuangkan agar kepentingan orang asing diperhatikan penuh oleh pemerintah setempat, selain itu Syahbandar bertindak
59
juga sebagai hakim, karena menjalankan peradilan istimewa terhadap perkara yang menimpa orang asing dan berhak membuat kontrak-kontrak dengan orang asing.43 Proses hubungan antara sultan dengan orang asing lewat Syahbandar Kyai Martajaya misalnya dapat diketahui pada tahun 1747, kedatangan utusan VOC Van den Burg. Setelah sampai di Pelabuhan, rombongan segera bertemu dengan Syahbandar untuk menyampaikan maksud kedatangannya dan meminta izin untuk menyampaikan surat kepada sultan. Syahbandar memberitahukan maksud itu kepada sultan melalui seorang utusan. Proses itu menghabiskan waktu beberapa hari, setelah mendapat persetujuan sultan, maka beberapa hari kemudian Syahbandar kyai Martajaya mengantar utusan itu dengan perahu milik sultan untuk menghadap ke istana. Perundingan dihadairi oleh Syahbandar, Dewan Mahkota dan sultan. ini berarti Syahbandar mengetahui jelas permasalahan mengenai hubungan sultan dengan orang asing.44 Jadi dapat diasumsikan tumbuh kembangnya perdagangan sangat ditentukan oleh fasih tidaknya seorang Syahbandar menangani kaum pendatang tersebut. Jika ditengok lebih dalam maka jasa yang telah diberikan oleh Syahbandar bertujuan akhir mendatangkan keuntungan di pihak kesultanan, baik dari pajak masuk maupun dari pelayaran berupa kemudahan-kemudahan yang diperoleh oleh bangsa asing dinegeri tersebut. Setelah mendapatkan izin, lebih lanjut transaksi perdagangan pun dilakukan. Transaksi ini berlangsung, setelah terjadi penawaran terhadap barang dagang, maka sultan akan mangirim contoh barang yang akan dijual. Persetujuan 43 44
73-74.
Purnadi Purbatjaraka, Shahbandars in the Archipelago,JSAH, Vol: 2, 1961 h. 1-8. Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787, h.
60
mengenai barang dagang biasanya diikuti oleh pengiriman barang dari pedalaman ke pelabuhan. Pengiriman barang dari pedalaman ke pelabuhan ini biasanya dilakukan pada musim kering menjelang musim hujan, karena saat itulah jalur dari pedalaman ke pelabuhan lebih mudah dilalui karena terhindar oleh banjir. 45 Barang yang di bawa dari pedalaman tadi akan sampai kepada Syahbandar dan pembongkaran muatan dilakukan oleh sejumlah pekerja upahan yang disebut kuli. Kemudian barang tersebut diperiksa untuk memastikan keadaanya. Setelah sepakat maka pembayaran langsung dilakukan.46 Selain dari Syahbandar, golongan istana yang berperan sebagai distributor atau pengangkut barang dari pedalaman adalah mantri (kepala daerah).47 Pada setiap musim panen lada misalnya, sultan akan membeli lada melalui perantara mantri terlebih dahulu selanjutnya di pedalaman mantri mendapatkan hasil lada dari para pembekal (kepala desa), pembekal ini bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pengolahan kebun lada milik sultan dan penyerahan wajib ke istana melalui perantara para mantri.48 Pola perdagangan di Banjarmasin pada waktu itu menunjukan corak yang sama dengan perdagangan yang dilakukan oleh wilayah lain di kepulauan Nusantara pada umumnya. Perdagangan barang dalam jumlah banyak dikuasai oleh golongan penguasa, serta perdagangan barang yang lebih sedikit jumlahnya,
45
Ibid., h. 78. Ibid. 47 Mantri adalah pejabat tinggi istana yang berkedudukan di pusat maupun daerah. 48 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787, h. 46
65.
61
dijajakan secara berkeliling disepanjang pantai sampai ke pedalaman yang dilakukan oleh pedagang pengecer yaitu para penduduk Banjarmasin itu sendiri.49 Pada sekitar tahun 1707, disepanjang tepi pantai terdapat pasar tempat terjadinya trasaksi jual-beli antara penduduk Banjar dan pedagang dari luar yang berdatangan di Banjarmasin. Pasar itu merupakan tempat berkumpulnya para pedagang yang membentuk deretan di tepi pantai sambil menjajakan barang dagangannya.50 Selain pedagang Banjar, pedagang Cina juga banyak berjualan di tempat ini. Adapun beberapa cara perdagangan di Banjarmasin adalah sebagai berikut; 1.
Jual beli barang dilakukan di pasar
2.
Para pedagang membeli barang perdagangan di rumah-rumah penduduk, yang telah menyediakan barang perdagangannya di serambi depan.
3.
Untuk para pedagang asing harus menggunakan kontrak pembelian barang dengan sultan melalui Syahbandar.51
C. Hubungan Perdagangan Banjarmasin Dengan Bangsa Lain Dalam sebuah lintas perdagangan, akan didapati keterlibatan berbagai kelompok bangsa yang berperan penting dalam kehidupan ekonomi suatu kota perdagangan. Karena mereka itu merupakan pemain yang aktif dalam perdagangan baik lokal maupun internasional. Hal ini telah menjadikan sebuah
49
William Milburn, Oriental Commerce: Containing a Geographical Description of the principal Places in The East Indies, China, and Japan, with their Produce, Manifacture, and Trade (London 1813), h. 415. 50 Daniel Beeckman, A Voyage to and From the Island of Borneo, in the East-Indies (London. 1718), h. 233. 51 Ibid., 105-139.
62
kota perdagangan yang bersifat pluralistik menjadi titik temu antar bangsa-bangsa dari seluruh wilayah.52 Pada awal abad XVIII, yang merupakan puncak kemakmuran Kesultanan Banjarmasin, telah banyak didatangi oleh berbagai bangsa yang ikut meramaikan perdagangan. Seringnya mereka melakukan perdagangan, lambat laun mereka berdomisili di Banjarmasin. Berbagai bangsa itu datang dari kawasan sekitar Nusantara maupun asing, antara lain bangsa: Cina, Siam, Johor, Jawa, Arab, Sunda, Palembang, Pegu, Kedah, Kamboja, Bangka, Brunei, Bugis, Maluku, Jambi, Aceh, Portugis, Inggris dan Belanda.53 Jika melihat dari data yang ada dalam abad XVIII, dari semua bangsa di atas, bangsa Cina, Bugis dan Eropa-lah yang memiliki peran yang amat berarti bagi perdagangan di Kesultanan Banjarmasin. Peran penting ini dapat dilihat dari sejauh mana mereka dapat memainkan pengaruh dalam faktor ekonomi dan politik. Dengan alasan tersebut maka di bawah ini hanya akan menguraikan ketiga bangsa tersebut. 1. Bangsa Cina Kehadiran kapal-kapal Cina di Pelabuhan Banjarmasin sekurangkurangnya sudah ada pada abad XV. Pada umumnya orang-orang Cina membawa porselin, teh, kain sutera, dan beras serta membeli lada dan hasil hutan, tripang, agar-agar yang dibawa dari pedagang Makassar serta rempah-rempah dari Maluku. Karena mereka memiliki modal yang kuat maka mereka mampu menyewa perahu kecil dari penduduk untuk digunakan berlayar sampai ke 52
Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, h. 88. 53 R.Z. Leirissa, Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,1984), h.70.
63
pedalaman. Disana mereka dapat menjual barang dagangannya kepada penduduk di pedalaman.54 Pada tahun 1736 dengan izin Sultan Hamidullah (m. 1700-1734), orangorang Cina mendirikan perkampungan untuk tempat tinggal dekat pelabuhan Tatas. Perkampungan orang-orang Cina ini dikepalai oleh seorang kapiten Cina yang setiap bulan harus membayar sejumlah uang sewa kepada sultan.55 Disamping itu dalam keadaan mendesak misalnya terjadi perang, kapiten wajib membantu sultan dengan meminjamkan perahu kepada sultan bila diperlukan. Hubungan yang cukup erat dengan sultan merupakan salah satu mengapa sultan pada belahan pertama abad XVIII mengangkat seorang Cina yang bernama Lin Bien Ko sebagai Syahbandar yang berkedudukan di pelabuhan Tatas.56 2. Bangsa Bugis Bangsa Bugis lebih dikenal sebagai pelaut yang ulung. Orang-orang Bugis sudah datang dan menetap di Banjarmasin sejak masa Negara Dipa sekitar akhir abad XV. Terutama pada pertengahan abad XVII migrasi orang Bugis di Banjarmasin semakin ramai, karena dorongan untuk mencari pelabuhan bebas di daerah lain sejak jatuhnya Makassar ke tangan VOC pada tahun 1624.57 Selain itu keahlian orang Bugis sebagai pelaut dan karena letak pantai Banjarmasin yang langsung berbatasan dengan selat Makassar, memudahkannya untuk datang ke Banjarmasin. 54
Milburn, Oriental Commerce: Containing a Geographical Description of the principal Places in The East Indies, China, and Japan, with their Produce, Manifacture, and Trade, h. 414. 55 Tidak di dapatkan data mengenai besaran uang sewa yang diberikan orang Cina kepada Sultan. 56 James Urry, Goods for the Oriental Emperium: Beschrijving Van T Groot Eijland Borneo 1780. h. 401. Syahbandar yang dijabat oleh orang Cina ini dimasa Sultan Hamidullah (1700-1745), sedangkan Kyai Martajaya adalah Syhabandar pada masa Sultan Tamjidillah memerintah (1747-1759). 57 Joginder Singh Jessay, Malaysian, Singapore, and Brunei 1400-1965 (Malaysia: T.np. 1974), h. 141.
64
Selain aktivitas perdagangan orang Bugis di banjarmasin yang sudah cukup lama terjalin misalnya, diperkuat dengan perkawinan yang terjadi antara wanita keturunan Bugis
dengan putera Sultan Inayatullah (m. 1678-1685)
menjadi salah satu faktor terjalinnya hubungan yang cukup erat antara orang Bugis dan keluarga sultan. Oleh karenanya, orang Bugis mendapat izin dari Sultan Hamidullah (1700-1745) untuk mendirikan semacam daerah koloni di Pegaten (daerah pantai di bagian utara dekat pasir) pada tahun 1733. berikutnya pada tahun 1750, orang-orang Bugis mendirikan lagi daerah koloni di Pasir.58 Di Banjarmasin orang-orang Bugis mempunyai posisi yang agak unik sekali di samping perdagangan, mereka sering menjadi kekuatan laskar atau tentara yang bisa digunakan oleh salah satu pihak dari golongan penguasa bila sedang terjadi konflik fisik antara mereka. 59 3. Bangsa Eropa Banjarmasin di abad XVI belum dikunjungi oleh bangsa Eropa. Banjarmasin mulai dikenal oleh bangsa Eropa semenjak kehadiran orang Banjarmasin yang datang ke Banten pada tahun 1596 untuk berdagang yang membawa beras, ikan kering dan lilin,60 barang bawaan tersebut merupakan hasil penukaran barang-barang mereka yang berupa intan, emas dan hasil hutan. Setibanya di pelabuhan Banten para pedagang Banjamrasin mengalami perampasan barang dagangan oleh Belanda.61
58
Gerrit Knaap dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ships, Skippers and Commodities in Eighteenth-Century Makassar, h. 141. 59 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787, h. 40. 60 Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw, h. 5. 61 Ibid.
65
Hubungan Banjarmasin dengan bangsa Eropa selalu mengalami pasang surut, hal ini dikarenakan sikap sultan yang selalu berhati-hati akan monopoli yang dilakukan oleh bangsa Eropa agar tetap terjaganya kestabilan politik dan ekonomi kesultanan. Hubungan awal bangsa Eropa diawali dengan kehadiran bangsa Belanda, pada 7 Juni 1607 di pelabuhan Banjarmasin, dikirimnya Koopman Gillis Michielszoon. Diundang turun ke darat beserta anak buahnya, namun kemudian dibunuh semuanya dan barangnya dirampas.62 Lima tahun kemudian barulah pembalasan Belanda tiba, pada tahun 1612 istana sultan yang terletak di Banjarmasin hancur terbakar oleh tembakan-tembakan dari kapal-kapal Belanda. Sultan akhirnya memindahkan pusat kerajaan lebih ke pedalaman, ke Kayutangi. Hubungan ini kemudian baru membaik di tahun 1636 dibuat kontrak yang pertama antara Banjarmasin dengan Belanda, namun ini tidak berlangsung lama. Karena pada tahun 1638 terjadi lagi pembunuhan oleh rakyat Banjarmasin terhadap orang-orang Belanda akibat sikap anti terhadap Belanda.63 Dalam perjanjian baru antara Belanda dan Banjarmasin tertanggal 18 Desember 1660, Belanda meminta penggantian rugi kepada Banjarmsin sebesar 50.000 real.64 Di tahun 1666 perusahaan dagang Belanda di Banjarmsin di tarik mundur ketika sultan berjanji untuk menjual semua lada ke Batavia.65
62
Pembunuhan ini mungkin adalah sebuah aksi balasan yang dilakukan oleh Sultan, akibat perampasan jung Banjarmasin di Banten pada tahun 1596 oleh Belanda. 63 Saleh, Banjarmasih, Banjarmasin: 1975, h. 66. 64 Ibid., h. 74. 65 Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw, h. 12. Lihat juga, Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, h. 55.
66
Bangsa Inggris sendiri mendirikan perusahaan dagang di Banjarmasin di tahun 1615, akibat Belanda memblokade Banten 1620-1628.66 Hubungan perdagangan yang semakin erat antara Banjarmasin dengan Inggris terjadi pada masa pemerintahan Sultan Saidillah (1685-1700). Henry Watson dan Captain Cotesvorth tiba di bulan April 1700 kemudian sultan mengizinkan orang-orang Inggris mendirikan kantor dagangnya di Pasir dengan syarat membayar sejumlah uang sewa kepada sultan.67 Pada Tahun 1701-1706 Inggris telah mengekspor lada sebanyak 3.421 ton untuk Eropa.68 Produk lainnya seperti sarang burung dan emas merupakan barang komoditi kedua. Keterangan-keterangan di atas cukup menunjukan betapa besarnya perdagangan di Kesultanan Banjarmasin sejak abad XVI hingga abad XVIII. Kehadiran bangsa asing yang telah ikut meramaikan perdagangan di sana boleh dikatakan betapa pentingnya Kesultanan Banjarmasin dalam lintas perdagangan di Nusantara. Hubungan dagang baik antar berbagai bangsa, adanya persaingan asing dalam hal perolehan komoditi perdagangan, dan bagaimana sikap sultan untuk mempertahankan diri dari monopoli perdagangan asing, dan sikap perlawanan terhadap bangsa asing, kesemuanya itulah yang menjadikan Banjarmasin tetap dipandang sebagai sebuah pelabuhan bebas hingga pertengahan kedua abad XVIII.
66
Suntharalingan, The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, h. 57. Ibid., menurut Suntharalingan, yang mengutip dari Arsip Inggris “Company to Council at Banjarmasin, 29 August 1701” : Inggris diizinkan berdagang dengan Bea Cukai $ 350/,- per Vassal. 68 Ibid., h. 67. 67
67
D. Mundurnya Perdagangan Kesultanan Banjarmasin Pada Akhir Abad XVIII Kemunduran sebuah pusat perdagangan khusunya kerajaan di masa lalu, dapat dibagi menjadi dua faktor yaitu eksternal dan internal. 69 Faktor eksternal yang mendorong kemunduran perdagangan adalah penguasaan jaringan perdagangan yang semula berada ditangan raja atau sultan kemudian direbut oleh kelompok-kelompok dagang bangsa Eropa. Kemunduran perdagangan di Banjarmasin terjadi sesudah VOC mendapatkan hak penuh atas monopoli perdagangannya di tahun 1787. Faktor internal, yang menyebabkan kemunduran perdagangan pada kerajaan-kerajaan di masa lalu yaitu disebabkan oleh konflik politik antar keluarga penguasa. konflik ini biasanya dipicu oleh faktor ekonomi yang pada umumnya mengakibatkan keguncangan dalam suatu lembaga politik. Dalam kerangka ini pertikaian keluarga di Kesultanan Banjarmasin sendiri sering terjadi perselisihan paham antar golongan penguasa, terutama antar putra mahkota dengan mangkubumi, perselisihan ini sering terjadi terkait masalah pergantian sultan. di tahun 1734 setelah sultan Hamidullah meninggal, peristiwa ini terjadi antara Sultan Tamjidillah (m. 1734-1759) dengan Sultan Muhammad (m. 17591761), dan berlanjut terus hingga keturunan keduanya. Dalam adat kebiasaan kerajaan Banjar, pergantian sultan seharusnya adalah putra mahkota yang diangkat dari putera sulung Sultan dari permaisuri.70 Seharusnya yang menjadi pengganti dari Sultan Hamidullah adalah putra mahkota
69 Supratikno Rahardjo, Kota-Kota Prakolonial Indonesia Pertumbuhan dan Keruntuhan (Depok: Komunitas Bambu, 2007) h. 63. 70 M. Idwar Saleh, Suksesi di Kerajaan Banjar pada pertengahan kedua abad ke-18: dari Pangeran Tamjidillah samapai Pangeran Muhammad (Banjarmasin: UNLAM, 1989), h. 21.
68
bernama Muhammad. Namun, Pangeran Tamjidillah yang sebelumnya menjabat sebagai mangkubumi pada masa pemerintahan Sultan Hamidullah, setelah kematian sultan
telah mengangkat dirinya sebagai Sultan pada tahun 1747.
Pengangkatan Pangeran Tamjidillah ini dikarenakan Sultan Muhammad belum dewasa untuk menjabat menjadi sultan, hal ini memang diperbolehkan dalam tradisi Banjar. Namun, jika Sultan Muhammad sudah dewasa tahta itu harus dikembalikan lagi kepada keturunan sultan sebelumnya yaitu pangeran Muhammad.71 Namun, setelah pangeran Muhammad cukup umur sultan Tamjidillah tidak ingin melepas tahta yang dipegangnya. Sebagai seorang yang memiliki hak atas tahta pemerintahan, pangeran Muhammad ingin mengambil kembali haknya. Untuk merealisasikan keinginannya ini Pangeran Muhammad meminta bantuan Belanda dalam hal ini adalah VOC. Berlawanan dengan Pangeran Muhammad. Pangeran Tamjidillah bersikap anti-Belanda dalam hal ini dia mendapatkan banyak dukungna dari para pembesar, antara lain Tumenggung Jayanegara, mertua dari Pangeran Natanegara anak dari Pangeran Tamjidillah. Tumenggung Jayanegara terkenal sebagai sahabat bangsa Inggris.72 Sikap anti Belanda yang dikeluarkan oleh Tamjidillah berakibat pada pembakaran 1000 pohon lada. Karena menurut Pangeran Tamjidillah “Selama ada lada, Belanda akan tetap berada di Banjarmasin”.73 Tindakan lebih jauh ketika diadakannya larangan penjualan lada secara bebas, semuanya dimonopoli oleh 71 72
Ibid. Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787 h.
81. 73 Saleh, Suksesi di Kerajaan Banjar pada pertengahan kedua abad ke-18: dari Pangeran Tamjidillah sampai Pangeran Muhammad, h. 24. Lihat juga, Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium, jilid 1 (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 256.
69
kelompoknya dengan menekan harga serendah-rendahnya. Hal ini mengakibatkan Pangeran Tamjidillah tidak disenangi oleh rakyat. 74 Dalam pada itu, Pangeran Muhammad memilih mengerahkan pengikutnya ke daerah Tabanio.75 Suatu tempat strategis yang mana pelabuhan Banjarmasin dapat diawasi. Selama di Tabanio pangeran Muhammad beralih profesi menjadi bajak laut, pangeran Muhammad merampas setiap kapal yang melewati daerah ini.76 Di tempat ini pangeran Muhammad menghimpun kekuatan untuk selanjutnya dapat merebut tahta dari Pangeran Tamjidillah. Dengan kekuatan senjata yang besar pada tahun 1759 Pangeran Muhammad dengan pasukannya berhasil memaksa Pangeran Tamjidillah untuk menyerahkan tahta kepadanya. Maka pada tangga 3 Agustus 1759 dia naik tahta dengan gelar Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah.77 Pemerintahanya hanya berlangsung singkat hanya satu tahun, kemudian meninggal karena sakit. Dalam masa pemerintahanya yang singkat sultan Muhammad mejalankan politik menentang VOC, sebab diketahui bahwa VOC memihak Pangeran Tamjidillah dan Pangeran Natadilingga. Pasca peninggalan Sultan Muhammad, Pangeran Tamjidillah dengan berbagai inttrik berusaha meneruskan tahta Kesultanan Banjarmasin kepada keturunannya dengan dukungan dari para pembesar kesultanan. Pangeran
74 Kartodirjo, Pengantar sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, h. 257. 75 Menurut Ringholm Tabanio merupakan sarang penyelundupan yang terbesar di Kalimantan. Lihat Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw, h. 39 lihat juga Saleh, Banjarmasih, h. 94. 76 Bajak Laut secara umum didefinisikan sebagai seorang individu yang melakukan tindakan kekerasan dilaut. Defenisi lain bajak laut adalah orang yang melakukan kekerasan di laut dan bertindak atas nama negaranya. Dengan istilah lain pengeran Muhammad menjadi oposisi secara fisik terhadap kekuasaan pangeran Tamjidillah. Lih. Adrian B. Lapian. Orang Laut Bajak Laut, Raja Laut, (Depok: Komunitas Bambu, 2009). 77 Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw, h. 40.
70
Tamjidillah mengangkat putranya yang bernama Pangeran Natadilingga (m. 17611801), sedangkan anak-anak almarhum Sultan Muhammad mati terbunuh, kecuali Pangeran Amir yang berhasil lari ke Pasir. Di Pasir dengan bantuan orang Bugis Pangeran Amir menyusun kekuatan untuk merebut kembali tahta kerajaanya. Sedangkan Sultan Nata meminta bantuan kepada VOC, dan disanggupi. Konflik fisik perebutan kekuasan akhirnya tidak dapat dihindarkan, Pangeran Amir yang ingin mengambil haknya atas tahta kerajaan. Akhirnya melancarkan serangan ke istana pada tahun 1785, dengan 3000 pasukan Bugis yang mendarat di Tabanio untuk serangan ke Banjarmasin. Pasukan pengeran Amir menderita kekalahan karena kuatnya pertahanan Pangeran Nata yang dibantu oleh VOC yang dipimpin oleh Hoofman.78 Melihat situasi seperti ini Pangeran Nata akhirnya membersihkan semua keturunan Pangeran Hamidullah, karena semakin dirasakan sebagai bahaya yang dapat mengancam kekuasaanya. Usahanya menanggulangi bahaya terebut, dijadikannya kekuatan VOC sebagai pelindungnya ditinjau dari segi politik dan ekonomi merugikan, namun mungkin yang diutamakannya adalah kelestariannya menduduki tahta kerajaan, turun temurun. Oleh karena itu ia menginginkan agar VOC tetap terikat padanya. 79 Sultan Nata memberikan kedaulatannya kepada VOC dan menjadikan Banjarmasin sebagai daerah vassal saja. Hal ini ditandai dengan perjanjian kontrak pada tahun 1787. 80 dengan sebuah kontrak yang isinya antara lain:
78
“Perang Banjar” dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, Jilid 1 (Jakarta: Djambatan 2002),
h. 170. 79
Saleh, Banjarmasih, h. 96. Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC, Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860, h. 80-89. Lihat juga dalam lampiran Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw, h. 182. 80
71
1. Sultan menyerahkan semua daerah kepada VOC, kecuali Kayutangi, Martapura, Tanah Dusun, Amuntai dan Sampit. Daerah-daerah tersebut tetap di bawah kekuasaan sultan sebagai daerah pinjaman VOC. Sedangkan Tatas, Tabanio, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotawaringin diserahkan sepenuhnya kepada VOC. 2. Sultan sebagai vasal VOC mempunyai mempunyai daerah pemerintahan sendiri yang langsung diperintahnya 3. Putra Mahkota, Mangkubumi diangkat oleh VOC. 4. Jaminan bahwa kerajaan Banjarmasin hanya diperintah untuk selanjutnya oleh keturunan Natadilaga.
Perjanjian ini telah mengakibatkan Sultan Natadilaga kehilangan sejumlah daerah kekuasannya dan berada di bawah pengaruh VOC. Berdasarkan nama daerah yang diberikan kepada VOC hampir semua daerah itu terletak di pantai. Tatas yang merupakan pelabuhan terbesar di Banjarmasin, Kotawaringn, Tabanio, Tanah Laut juga terletak di tepi pantai yang merupakan pintu gerbang untuk pedagang luar yang ingin berdagang ke Banjarmasin. Semua daerah tersebut oleh VOC dimanfaatkan untuk memperkuat kedudukannya di Kesultanan Banjarmasin dengan didirikannya pos militer dengan sejumlah serdadu dan kapal patroli. Akibatnya bertambah kuatnya kedudukan VOC di Kesultanan Banjarmasin.81 Akibat dari monopoli dan penguasaan Belanda terhadap Banjarmasin sejak perjanjian tahun 1787 telah mengakibatkan mundurnya perdagangan di 81
118.
Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787 h.
72
Banjarmasin. Ketidak senangan rakyat terhadap hal ini terkadang menimbulkan konflik fisik antara Sultan dan rakyat. Rakyat yang tidak senang dengan monopoli yang dilakukan Belanda akhirnya melakukan pengrusakan terhadap perkebunan lada pada tahun 1783 di daerah Margasari. Namun, akhirnya dapat dihentikan oleh sultan dengan bantuan VOC.82 Akibat perang perebutan kekuasaan seperti disebutkan di atas berdampak, rakyat pergi kedaerah lain yang lebih aman. 83 Hal ini menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap hasil komoditi perdagangan, karena penduduk tidak hanya meninggalkan rumahnya namun juga lahan pekerjaan mereka. Korban jiwa dikalangan rakyat akibat perang juga mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja. Mundurnya perdagangan pada akhir abad XVIII, juga disebabkan penanaman lada yang membuat ekosistem tidak seimbang. Terjadinya erosi, 84 mengakibatkan pendangkalan terhadap sungai yang berakibat sulitnya kapal memasuki wilayah Banjarmasin. di tambah lagi terjadinya kemarau panjang dari tahun 1776 juga menjadi sebab permukaan air sungai menurun.85 Dapat disimpulkan, bahwa monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC hingga pertikaian antar kerabat istana dalam perebutan tahta telah menjadi sebab mundurnya perdagangan, pada akhirnya mendorong sebagian rakyat untuk mengalihkan usahanya dan mulai menanam lahan pertanian lain seperti, karet, tembakau dan paling terutama adalah menanam padi untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
82
Ibid., h. 104. Knapen, Forest of Fortune? The Environmental History of Southeast Borneo, 16001880, h. 265. 84 Ibid. 85 Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1747-1787, h. 110. 83
73
Jadi, dapat diketahui bahwa pada Abad XVIII Kesultanan Banjarmasin merupakan salah satu pusat perdagangan di Nusantara. Berkembangnya perdagangan disebabkan oleh peran sultan yang telah berupaya mengembangkan perdagangan dengan berbagai cara. Di antaranya dengan cara, perluasan ekspansi ke pedalaman, keamanan dan kenyamanan yang diberikan oleh sultan terhadap para pedagang dalam melakukan transaksi perdagangan di Banjarmasin dan juga akibat monopoli hasil bumi, dengan cara mewajibkan kepada rakyatnya untuk menyerahkan hasil buminya kepada sultan, yang kemudian hasil bumi ini dijual oleh sultan kepada para pedagang yang datang ke Banjarmasin. Semuanya itu telah menjadi bukti bahwa peran sultan sangat menentukan berkembang perdagangan di Kesultanan Banjarmasin.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab-bab terdahulu yang telah menjelaskan mengenai tahap-tahap berkembangnya Kesultanan Banjarmasin dalam lintas perdagangan Nusantara pada abad XVIII, maka dapatlah diketahui bahwa berkembangnya Kesultanan Banjarmasin sebagai salah satu pusat perdagangan di Nusantara diakibatkan oleh peran Sultan Banjarmasin yang turut bermain dalam pengembangan perdagangan. Sultan mengembangkan perdagangan di Kesultanan Banjarmasin dengan cara melakukan politik ekspansi kepedalaman dan juga dengan berupaya memberikan keamanan dan kenyamanan bagi para pedagang. Politik ekspansi kepedalaman yang berfungsi tidak hanya sebagai perluasan wilayah, tetapi juga dimanfaatkan untuk mencari wilayah sokongan baru penghasil komoditi perdagangan. Selanjutnya, keamanan dan kenyamanan yang telah diberikan oleh Kesultanan Banjarmasin kepada para pedagang agar transaksi perdagangan berjalan lancar juga telah menjadi pemicu pesatnya perdagangan di Banjarmasin. Ditambah juga
dengan kepemimpinan Sultan
Banjarmasin
yang
memerintah pada tahun 1700-1747, dengan memiliki kepemimpinan yang baik telah mampu mempertahankan eksistensinya dari pengaruh luar, khususnya orangorang Eropa. Hal ini berarti selama dapat mempertahankan dari pengaruh asing maka kestabilan pemerintahan akan terjaga dengan baik. Jadi dapat diasumsikan,
74
75
selama kurang lebih setengah abad secara politis Kesultanan Banjarmasin masih berdaulat penuh, sehingga dalam bidang ekonominya masih bersifat independen. Sebagai kata penutup, kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini hanya menyingkap sebagian dari keseluruhan mengenai peran Kesultanan Banjarmasin dalam perdagangan pada abad XVIII. Hal ini disebabkan keterbatasan data tertulis yang penulis peroleh. Akan tetapi terlepas dari hambatan tersebut, hasil penelitian ini telah menambah pengetahuan tentang perdagangan yang terjadi di Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII, sehingga dapat mengisi kekosongan tentang pengetahuan sejarah khususnya di luar pulau Jawa
76
GAMBAR 1 Peta Indonesia1
1
Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia, (Singapore: Cambridge University Press, 2005), h. 8.
77
GAMBAR 2 Wilayah Kesultanan Banjarmasin pada abad XVIII2
2
M. Idwar Saleh, Bandjarmasin (Bandung: K.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1970), h.
78
GAMBAR 3 Peta Kalimantan oleh Olivier van Noort, yang mengunjungi pulau ini pada tahun 16013
3
Han Knapen, Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 1600-1880 ( Leiden: KITLV Press, 2001)
79
DAFTAR PUSTAKA
Buku Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana 2005. ______________ Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Beeckman, Daniel. A Voyage to and from the Island of Borneo, in the East-Indies, London: T.pn., 1718. Bock, Carl. The Head-hunters of Borneo. London: Sampson and Low 1882. Bondan, Amir Hasan Kiai. Suluh Sedjarah Kalimantan. Banjarmasin: Fajar, 1953. Burger, D.H. Sedjarah Ekonomi Sosiologis Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1983. Cense, A. A. De Kroniek van Banjarmasin. Santpoort: C.A. Mees, 1928. Creutzberg, P. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Penerjemah: Kustiniyati Mochtar dkk., Jakarta: Obor, 1987. Daud, Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar. Jakarta: Rajagrafindo, 1997. de Graaf, H.J. Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung. Jakarta: Pustaka Uatama Grafiti, 1990. ___________ Southeast Asian Islam to the Eighteenth Century, dalam P.M. Holt, the Cambridge History of Islam, vol. 2A. London: Cambridge University Press: 1987. Groeneveldt, W.P. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Penerjemah Gatot Triwira. Depok: Komunitas Bambu, 2009.
80
Guillot, Claude. Banten: Sejarah dan Peradaban Abad (X-XVII). Penerjemah: Hendra Setiawan dkk. Jakarta: KPG, 2008. Hall, Kenneth R. Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai Press. 1985. Hoedson, Alfred B. The Padju Empat Ma anyan Dayak in Historical Perspective. Cornell University, 1976. Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Penerbit Aditya, 1991. Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992. ______________. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900
dari
Emporium Sampai Imperium. Jilid 1, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986. King, Victor. People of Borneo. Cambridge: Blackwell, 1953. Knaap, Gerrit J. dan Heather Sutherland, Monsoon Traders: Ships, Skippers and Commodities in Eighteenth-Century Makassar. Leiden: KITLV, 2004. Knaap, Gerrit J. Shallow Waters, Rising Tide; Shipping and Trade in Java around 1775. Leiden: KITLV, 1996. Knapen, Han. Forest of Fortune? The environmental history of Southeast Borneo, 1600-1880. Leiden: KITLV Press, 2001. Lapian, Adrian B. Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
81
Leirissa, R.Z. Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,1984. Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepusatakaan Populer Gramedia, 2006. Melink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630. The Hague: Martinus Nijhoff. Milburn, William. Oriental Commerce: Containing a Geographical Description of the principal Places in The East Indies, China, and Japan, with their Produce, Manifacture, and Trade. London: T.pn., 1813. Nasuhi, Hamid. Dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Noorlander, J.C. Bandjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18de Eeuw. Leiden: Dubbeldeman, 1935. Paulus, J. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, Bagian I, ’s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1917. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka 1993. Rahardjo, Supratikno. Kota-Kota Prakolonial Indonesia Pertumbuhan dan Keruntuhan. Depok: Komunitas Bambu, 2007. Ras, J.J. Hikayat Banjar: a Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus Nijhoff, 1968.
82
Reid, Anthony. Dari Ekspansi hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680, Penerjemah: R. Z. Leirissa, P. Soemitro ed., Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2008. Roasyadi, Sri Mintosih dan Soeloso, Hikayat Banjar dan Kotaringin. Jakarta: Depdikbud, 1993. Saleh, M. Idwar. Bandjarmasin. Bandung: K.P.P.K. Balai Pendidikan Guru, 1970. Schrieke, B.J.O. Indonesian Sociological Studies, vol I & II. The Hague/ Bandung: W. van Hoeve, 1957. Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, M. Idwar Saleh, ed. Jakarta: Depdikbud. 1977/1978. Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang 1994. Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC, Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860. .Jakarta: ANRI, 1956. The Cambridge History of Southeast Asia from Early Time to 1800. Volume I, editor: Nicholas Tarling. Cambridge: Cambridge University Press 1992. Tjandrasasmita, Uka. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia. Kudus: Menara Kudus, 2000. Untoro, Heriyanti Ongkodharma. Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1604. Depok: Komunitas Bambu, 2007. Van Leur, J.C. dan F.R.J. Verhoeven, Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia. Jakarta: Bharatara, 1974.
83
Van Leur, J.C. Indonesian Trade and Society Lessays in Asian Social and Economic History. The Hague/Bandung: Van Hoeve, 1960. Vlekke, Bernard H.M. Nusantara. Jakarta: KPG, 2008.
Arsip Acte Van Renovatie 20 October 1756 , dalam Daftar Arsip Kontrak antara Pemerintaha Kolonial (VOC, Hindia-Belanda) dengan Raja-Raja Pribumi di Kalimantan, Bali, Surakarta dan Sumatera Jilid I, Katalog K.89. ANRI No 35. Acte Van Onderwerping 27 October 1756 , dalam Daftar Arsip Kontrak antara Pemerintaha Kolonial (VOC, Hindia-Belanda) dengan Raja-Raja Pribumi di Kalimantan, Bali, Surakarta dan Sumatera Jilid I, Katalog K.89. ANRI No 36. Tractat 13 Agustus 1787 , dalam Daftar Arsip Kontrak antara Pemerintaha Kolonial
(VOC,
Hindia-Belanda)
dengan
Raja-Raja
Pribumi
di
Kalimantan, Bali, Surakarta dan Sumatera Jilid I, Katalog K.89. ANRI No 37. Artikel A.Van der Ven, Aanteekeningen omtrent het Rijk Bandjarmasin. TBG, IX, 1860. Purnadi Purbatjaraka, Shahbandars in the Archipelago,JSAH, Vol: 2, 1961. Suntharalingan, P. The British in Banjarmasin: an Abortive Attempt at Settlement, K. G. Treganning, ed., JSAH, vol. IV Singapore: 1964. Skripsi/Tesis/Disertasi Seminar dan Laporan Penelitian
84
Sulandjari. Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 17741787. Tesis Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 1991. Saleh, M. Idwar. Suksesi di Kerajaan Banjar pada pertengahan kedua abad ke18: dari
Pangeran
Tamjidillah
samapai Pangeran
Muhammad.
Banjarmasin: UNLAM, 1989. Syamsitah, Ita. Kerajaan Banjarmasin di ambang keruntuhannya (1825-1859). Skripsi Fakultas Ilmu Budaya: Universitas Indonesia, 1984. Umam, Khoiril. Pemikiran Akidah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Soeroto, Soeri. Pergerakan Sosial dan Perang Banjarmasin, Seminar Sejarah Nasional II, 26-29 Agustus 1970 Jogyakarta hlm. 4-5. lihat juga, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV.
85
Lampiran 1 Silsilah Sultan Banjarmasin sampai tahun 1801* 1. Sultan Suriansyah (1526-1550) 2. Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah (1550- ±1570) 3. Sultan Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah (1570- ±1595) 4. Sultan Mustainbillah bin Sultan Hidayatullah (1595-1620) 5. Sultan Innayatullah bin Sultan Mustaimbillah (1620-1637) 6. Sultan Saidullah bin Sultan Innayatullah (1637-1642) 7. Sultan Riayatullah bin Sultan Mustaimbillah (1642-1660) 8. Sultan Tahmidullah bin Sultan Saidullah (1660-1663) 9. Sultan Agung/Pangeran Suryanata bin Sultan Innayatullah(1663-1679) 10. Sultan Amrullah bin Sultan Saidullah (1679-1700) 11. Sultan Hamidullah bin Sultan Tahmidullah (1700-1734) 12. Sultan Tamjidillah bin Tahilullah (1734-1759) 13. Sultan Muhammad Aliudin Aminullah bin Sultan Hamidullah (1759-1761) 14. Sultan Natadilingga bin Sultan Tamjidillah (1761-1801)
*
J.C. Noorlander, Bandjarmasin en de Compagnie In de Tweede Helft der 18de Eeuw, (Leiden: Dubbeldeman, 1935).
86 Bagan Struktur Pemerintahan1
Lampiran 2
SULTAN DEWAN MAHKOTA
MANGKUBUMI
SYAHBANDAR MANTRI SIKAP
MANTRI PANGANAN
MANTRI PANGIWA
SARADIPA
MANTRI BUMI
SARADIPA
PRAJUTRIT ISTANA
MANTRI
PEMBEKAL
RAKYAT 1
Sulandjari, Politik dan Perdagangan Lada di Kesultanan Banjarmasin 1774-1787 (Tesis Fakultas Pascasarjana UI, Depok: Universitas Indonesia, 1991), h. 147
87
Lampiran 3. Salah Satu Contoh Surat Perjanjian Antara VOC dengan Kesultanan Banjarmasin VERNEUWD CONTRACT 18 MEI 1747* Bahwa inilah surat perniagaan dan persahabatan yang telah dimufakatkan oleh Sultan Tamdjidallah serta Ratu Anom dan sekalian orang besar2 yang ada memerintah dalam negeri Banjar, maka sekalian itu mufakatlah dengan Kompeni Wilandia titah dari pada Gurnadur Jendral Gustap Wilem Baron pan Imhop serta dengan Raden pan India yang telah berbuat titah perintah kepada tiga orang Wilandia dan yang menjadi kepada perintah itu yaitu komandur Astipan Markus pan der Hiden dan dua orang pitur besar yang seorang Jan pan Suchtelen dan yang seorang Danil pan de Beruh, maka yang tiga orang itu sama juga menangung titah itu. Syahdan maka tersebutlah perjanjian yang telah lalu itu tatkala pada zaman itu adalah Seri Sultan sangat kasih berkasihan dengan Kompeni Wilandia maka tiba2 tiada orang Banjar menurut seperti perjanjian yang telah lalu itu. Syahdan kemudian dari pada yang telah tersebut itu maka membuat perlu Kompeni Wilandia surat perjanjian tatkala pada zaman Seri Sultan Chamidullah maka pada zaman itu adalah seri Sultan sangat berkasih kasihan dengan Kompeni Wilandia maka se-kunjung2 tiada orang Banjar mengikut seperti perjanjian yang dahulu itu adalah seolah-olah tiada surat perjanjian yang tinggal lagi pada sekarang ini. Syahdan maka tersebutlah dalamnya Gurnadur Jendral dan segala Raden2 pan India dengan segalanya juga menitahkan tiga orang Wilandia akan memahami surat perjanjian yang lebih patut pada antara kedua pihak itu supaya kekal berkekalan selama-lamanya dari pada sahabat-bersahabat tiada berubahubahan dalam kedua pihak itu dan adapun titah Kompeni itu tertanggung atas tiga orang Wilandia yaitu Komandir Astipan Markus pan der Hiden dan dua orang pitur besar yaitu Jan pan Suchtelen dan Danil pan der Breuh ialah yang akan membikin surat perjanjian yang baru ini. Fasal yang pertama adalah Seri Sultan Tamjidullah dan Ratu Anom serta sekalian orang besar2 yang ada memerintahkan dalam negeri Banjar maka sekalian itu adalah bertetap-tetapan dengan Kompeni dari pada sahabat-sahabat antara kedua pihak itu tiada beruabah-ubah dalam keduniaan itu. Fasal yang kedua adalah Kompeni Wilandia membuat perjanjian jikalau ada musuh dalam negeri banjar datang dari laut atau didarat itu maka adalah kompeni Wilandia menolong dari pada bahaya itu barang siapa2nya orang *
Surat-surat Perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan Pemerintahan VOC, Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1635-1860. .Jakarta: ANRI, 1956, h. 33-38.
88
Kompeni yang tinggal dalam negeri Banjar dengan seboleh2 jua menjauhkan dari bahaya sekalian itu tiada dibilang seperti harga obat dan pelor. Fasal ketiga adalah Seri Sultan dan Ratu Anom membuat perjanjian dengan Kompeni Wilandia jikalau ada raja2 berbantah dengan saudaranya atau dengan ananknya itu maka jikalau minta tolong pada Kompeni salah seorang tiada beroleh menolong melainkan barang siapa yang menang maka ia menjadi raja disanalah tempat Kompeni bersahabat. Fasal yang keempat adalah Seri Sultan dan Ratu Anom berjanji dengan Kompeni daripada memelihara akan hamba sahaya Kompeni yang tinggal dalam negeri Banjar maka sekalian kedua pihak itu pada menghukum dan membicarakan daripada aniaya orang Banjar adalah seri Sultan dan Ratu Anom membuat perjanjian yang demikian itu dengan orang Kompeni Wilandia dan jikalau ada umpamanya orang yang berbuat susah dalam memberi mudharat atas kedua pihak dan jikalau Kompeni membuat yang demikian itu melainkan Kompenilah yang menghukum dia dan jikalau orang Banjar berbuat aniaya kepada orang Wilandia melainkan Seri Sultan yang menghukumkan dia dengan bagaimanapun patut hukuman atasnya supaya jangan ada yang berbuat bencana dalam kedua pihak itu. Fasal yang kelima adalah Seri Sultan dan Ratu Anom telah berjanji pada hal memberi perniagaan dengan Kompeni Wilandia dan menjual sekalian lada yang didalam negeri Banjar maka sekalian lada itu sekali-kali jangan dijualkan kepada tempat yang lain maka hendaklah Seri Sultan dan Ratu Anom mengerasi atas rakyat sekalian dalam negeri Banjar supaya jangan ada yang menjual pada pannya melainkan Kompeni jua yang membeli sekalian lada itu. Fasal yang keenam adalah Seri Sultan dan Ratu Anom membuat perjanjian dengan kompeni Wilandia daripada melarangkan jenis orang putih yang datang berniaga kenegeri Banjar daripada menjual dagangan atau membeli dagangan dan jikalau ada suruhannya dan jenis sekalipun sama juga dan jikalau ada umpamanya melawan dari pada lapangan hendak dilakukan dengan bagaimana patut hukuman atasnya. Fasal yang ketujuh mengikat juga kiranya kompeni Wilandia seperti Bicara Seri Sultan dan Ratu Anom daripada sebuah wangkang Cina yang supaya boleh ia datang ke Banjar pada tiap2tahun satu wangkang dan akan dagangannya itu mena sekehendak orang memilih akan tetapi menjual lada itu sekali-kali tiada ia boleh orang Banjar menjual lada itu melainkan Kompeni juga yang boleh menjual lada dengan orang Cina dengan putus harga delapan real dalam sepikul.
89
Fasal yang kedelapan Kompeni Wilandia telah memutuskan harga lada dengan Seri Sultan dan Ratu Anom yang dalam sepikul itu enam real putus harganya selama-lama tiada berubah akan tetap yang dalam sepikul itu adalah seratus koti atau seratus dua puluh lima pun dacin Kompeni yang dipakai dan hendaklah lada itu kering dan bersih dalamnya jangan ada seperti ciri pasir atau batu yang kecil2 dan jikalau menimbang lada itu hendaklah ada dua orang pihak dari pada Seri Sultan dan dua orang pula daripada pihak Kompeni ialah yang akan menghadapi timbangan itu supaya jangan ada cidra-menyidrai dia dalam keduanya itu dan jikalau ada umpamanya bersalah-bersalahan dalam keduanya itu melainkan Seri Sultan sendiri memutuskan dia dengan barang siapa Kompeni Wilandia yang tinggal menjadi kepala dalam tanah banjar. Fasal yang kesembilan adalah Seri Sultan dan Ratu Anom memberi kuasa dengan Kompeni Wilandia yang tinggal dalam negeri Banjar daripada memeriksa sebuah2 perahu yang keluar dari negeri Bandjar dengan tiada menyusahi atas perahu itu melainkan jikalau ada ia lada yang termuat dalamnya itu maka adalah Kompeni mengambil lada yang didalam perahu itu serta membagi untung kepada jurutulis Sultan dan setengahnya kepada Kompeni. Fasal yang kesepuluh adalah kompeni berjanji barang siapa orang yang suka berlayar maka adalah kompeni memberi hingga melainkan di Batavia dan di Jawa sekaliannya sampai Gresik dan Surabaya tiada boleh lebih daripada sebelah timur seperti ke Bali dan ke Bawean dan ke Sumbawa dan Lombok lain daripadanya itupun tiada jua boleh dan lagi yang sebelah barat dan utama seperti ke Palembang dan Malaka dan Johor dan Belitung lain daripadanya itupun tiada boleh maka hendaklah Seri Sultan dan Ratu Anom memberi titah kepada sekalian rakyat yang belajar itu supaya jangan ia mendapat kerugian yang demikian itu dan jikalau tiada ia menurut titah itu adalah ia mendapat seperti kerugian yang demikian itu. Fasal yang kesebelas jikalau ada barang seperti perahu yang datang berniaga dalam negeri banjar serta membawa dagangan yang dilarangkan oleh Kompeni seperti opium dan buah pala dan bunga pala dan cengkeh kayu manis Seri Sultan dan Ratu Anom memberi kuasa atas Kompeni daripada memeriksa perahu itu dan jikalau ada ia mendapat seperti larangan itu maka adalah kompeni menagkap orang yang berbuat demikian itu serta mengirimkan Kompeni kepada orang itu ke Batavia dan menghukumkan Kompeni dengan bagaimana patut hukuman atas orang yang berbuat demikian itu. Fasal yang keduabelas Seri Sultan dan Ratu Anom berjanji dengan Kompeni Wilandia daripada memberi suatu tempat yang baik boleh ia orang Kompeni duduk dan menyimpan barang suatunya perniagaan itu dan rumah itu
90
dibayar harganya dengan bagaimana patut dan seperti loji itu man kehendak Kompeni membuat dia karena perjanjian yang dahulu itu tatkala pada zaman Seri Sultan Chamidullah boleh kompeni membuat loji demikian pada zaman Seri Sultan Tamjidullah dan Ratu Anom sama jua memberi dia berbuat loji itu. Tamat surat ini perjanjian yang telah jadi didalam istana Seri Sultan dan Ratu Anom di Kayutangi yang telah mufakat dengan Kompeni Wilandia dalam Hidjrat Seribu seratus enam puluh tahun kepada tahun Ba dan kepada bulan Rabi’alawal dan pada hari Kamis dan yaitu dua surat yang telah jadi dan dalam keduanya itu sama jua serta dengan tiapnya dan tapak tangan dan satu surat yang tinggal dibawah Seri Sultan dan Ratu Anom dan yang satu sama tinggal dibawah Kompeni. (Cap lak coklat tua tidak pecah tetapi tak kelihatan huruf2 nya)
(Cap lak merah muda retak2: bentuk segi delapan didalmnya dua bujursangkar yang berpotonagan merupakan segi delapan dan didalamnya terbaca huruf Arab dari atas ke Bawah Allah Tamjid Sultan)
Gurnadur Jendral Gustap Wilem Baron pan Inhof dan segala Rad pan India telah memandang dan melihat serta membacanya surat perjanjian perniagaan sahabat bersahabat yang karib daripada kedua pihak yaitu Sultan Tamjidullah dan Ratu Anom bersama2 dengan orang besar2 dinegeri Banjarmasin maka yaitu Kompeni telah menyuruh membaharui pula seperti mana operkupman Stephan Markus pan der Hiden serta dua Kupman yaitu Djan pan Suchtelen dan Danil pan de Beruh ialah yang telah disuruh membawa titah perintah pada waad perjanjian yang mutlak damai maka adalah kami dengan surat ini akan mangkabulkan dan mangastajabatkan bunyi surat waad perjanjian itu padahal berkekalan dengan tiada berkeputusan daripada pihak Kompeni mengikut dan memeliharakan tambahan pula barang siapa2nya yang ada tinggal dibawah chadamat Kompeni itupun mengikut dan menurut serta mangusahakan dan memeliharakan perihal ichwal yang demikian itu maka perjanjian itu akan sekarang ini adalah sesungguhnya kami mentakadkan dan meneguhkan serta meredakan akan perihal ichwal itu sebab itulah maka kami sekalian masing-masing menaruh tanda tapak
91
tangan dalam warkah ini serta dimeteraikan dengan cap Kompeni atasnya yaitu tanda berteguh2an jua adanya. Terbuat dan tersurat dalam bilik musyawarah kami dalam kota intan Bataviah pada enambelas bari bulan Juni tahun seribu tujuh ratus empat puluh tujuh. Cap lak Kompeni (tak Terbaca) Ter ordonnantie van haar Eds Den Gouverneur Generaal en de Raden van India Ttd. J.A v.d. Parra