1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pesantren telah mulai dikenal di bumi Nusantara ini dalam periode abad ke 13-17 M, dan pulau Jawa terjadi dalam abad ke 15-16 M. Melalui fakta masuknya Islam di Indonesia, terhitung sedikitnya pesantren di Indonesia telah ada sejak 300-400 tahun lampau. Dengan usianya yang panjang, dapat menjadi alasan untuk menyatakan bahwa pesantren telah menjadi milik bangsa dalam bidang pendidikan, dan turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam abad ke-18-an, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat terasa semakin berbobot terutama dalam bidang penyiaran agama. Kelahiran dan kehadiran pesantren dengan jumlah santri yang banyak datang dari berbagai daerah, menyebabkan terjadi kontak budaya dengan masyarakat sekitar. Kehidupan ekonomi masyarakat semakin ramai, banyak pedagang-pedagang kecil lahir serta geliat kehidupan ekonomi lainnya semakin berkembang. Kehadiran pesantren di tengah masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan tetapi juga sebagai lembaga penyiaran agama, dan sosial keagamaan. Pesantren berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan pengembangan Islam secara universal, termasuk di
2
dalamnya pelesatarian nilai-nilai kebudayaan keislaman dan terlebih nilai-nilai Tawhid. Bahkan di zaman modern ini, pesantren mampu mengembangkan seniseni tradisi-kontemporer, sebagai sarana atau media penanaman nilai di tengah “masyarakat pesantren” tersebut. Penanaman nilai tersebut merupakan bagian dari esensi pendidikan umum. Nilai dapat dibinakan dalam berbagai bentuk, seperti nilai doktrin atau ajaran, nilai budaya, nilai sastra dan nilai musik. Seperti pesantren-pesantren pada umumnya, melalui sistem pendidikan yang ditempuh dengan pola 24 jam, pesantren Al Ittifaq berusaha mengoptimalkan nilai-nilai agama khususnya Tawhid dalam diri santri. Nilai-nilai teologis (ushul al-din) ditanamkan dengan tujuan untuk mengkontruksi paradigma keimanan santri, sehingga mampu konsisten terhadap ajaran al Quran dan Sunnah secara murni, beriman kepada Allah Yang Maha Esa, tanpa ditulari perilaku bid’ah, khurafat dan takhayul. Proses belajar terhadap norma sering dinamakan dengan proses internalisasi yaitu proses yang membantu individu melalui proses belajar dan penyesuaian diri, bagaimana cara hidup dan bagaimana cara berpikir anak didik dari kelompoknya. Setiap muslim seyogianya menjadikan tawhid sebagai nilai dominan yang menjadi sumber pikiran dan akhlaknya, karena tawhid merupakan intisari agama samawi, intisari ajaran Islam, inti pengalaman agama, fitrah dasar manusia, dasar sejarah manusia, satu-satunya bagian terpenting doktrin Islam.
3
Elemen kognitif dari nilai tawhid itu adalah pemahaman atau opini (belief) tentang pengertian, kedudukan, dan fungsi tawhid. Elemen afektifnya adalah kesadaran dan penghayatan betapa pentingnya setiap manusia memiliki, membina, mengembangkan nilai tawhid pada dirinya serta menghayati pentingnya membantu orang lain untuk menginternalisasi dan mempersonalisasi nilai tawhid tersebut. Adapun elemen visionalnya adalah tindakan nyata sebagai perwujudan elemen kognitif dan afektif, misalnya dengan usaha nyata untuk melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupannya sendiri dan berbagai anugerah ilahiah terhadap orang lain agar melaksanakan ajaran Islam itu dalam kehidupannya. Nilai tawhid itu sungguh-sungguh ada, dalam arti bahwa ia operatif dan efektif di dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif dalam masyarakat (muslim). Nilai tawhid ini sungguh-sungguh suatu realitas, dalam arti ia valid sebagai suatu cita-cita yang benar, yang berlawanan dengan cita-cita yang palsu atau yang bersifat khayali. Sejarah umat Islam secara nyata telah membuktikan sangat efektifnya tawhid mempengaruhi cara berfikir dan berperilaku seorang muslim. Fungsi utama pendidikan umum adalah menyiapkan peserta didik untuk menjadi pribadi, anggota masyarakat, dan warga negara yang baik sehingga hidupnya bahagia dan sejahtera. Di sisi lain “pendidikan
nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
4
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 2 Pasal 3). Tantangan pengembangan pendidikan nasional saat ini adalah pelayanan pendidikan berkualitas yang dapat diakses oleh sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia.
Pengembangan
pendidikan
nasional
yang
berkualitas
akan
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas pula. Semakin banyak rakyat yang mampu mengakses pendidikan berkualitas, diharapkan terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia secara signifikan (Ali, 2009). Pada umumnya, dalam sebuah negara ketersediaan pendidikan yang berkualitas akan ekuivalen dengan kesejahteraan rakyatnya. Jadi, cita-cita kesejahteraan rakyat Indonesia harus dimulai dari kesungguhan dalam pengembangan pendidikan nasional yang berkualitas. Pemerinatah sebagai pemegang kuasa pengembangan pendidikan nasional harus sungguh-sungguh dan cerdas agar tetap sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan nasional harus didasarkan pada perundang-undangan dasar dan pokok yang telah ditetapkan. Undang-undang Dasar (UUD) 1945 (amandemen)
5
menjelaskan bahwa pengembangan pendidikan nasional diorentasikan “...untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” (pasal 31 Ayat 3). Pada pasal 31 ayat 3 diatas, menjelaskan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa kecerdasan harus didasari oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt serta akhlak mulia. Pada bagian ini, menjelaskan bagaimana pendidikan dilaksanakan dengan sebuah ketentuan agar terwujud kecerdasan peserta didik yang penuh keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Dalam ajaran Islam, yang terpenting adalah akhlak yang seimbang yaitu seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi dan seimbang dalam menerima hak dan melaksanakan kewajiban (Beni, AS dan A. Hamid, 2010: 229). Fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan menurut Dhofier dalam Ubaidillah (2003: 8) memiliki tiga hal: pertama, sebagai lembaga tafaquh fi al din. Pada dasarnya pembangunan lembaga pondok pesantren untuk menjawab persoalan-persoalan pendidikan agama, mempersiapkan kader-kader ulama, maka ciri utama dalam pondok pesantren adalah pengkajian dan pembinaan keagamaan. Ciri ini tetap dipertahankan meskipun lembaga pesantren sudah mengalami perubahan. Dengan demikian pesantren mempunyai kedudukan penting untuk mewujudkan pribadi muslim yang paripurna, oleh karenanya secara kelembagaan
6
diharapkan menjadi pusat pembinaan keimanan dan ketaqwaan. Kedua, sebagai lembaga pengembangan kemasyarakatan. Di samping sebagai wahana pendidikan, pondok pesantren memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat sekitar, sehingga berdampak dan berpengaruh terhadap perikehidupan masyarakat setempat, dalam hal ini
peran seorang kiyai sangat signifikan. Ketiga, sebagai lembaga
pengembangan sumber daya manusia. Pondok pesantren selain berfungsi menyiapkan kader ulama dan tokoh masyarakat, juga dapat berfungsi penyiapkan tenaga kerja. Sebagaimana kita maklumi bersama bahwa persoalan pengangguran dan rendahnya kualitas sumber daya manusia merupakan isu nasional yang perlu diambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasinya. Era global adalah abad yang sangat kompetitif, di tangan mereka yang berkualitas, berwawasan luas dan berakhlak mulia, era global akan menjadi harapan manusia. Pendidikan Islam yang bertujuan terbentuknya akhlak mulia yang berdasarkan Islam, dimana terlihat kaitan pendidikan Islam dengan perilaku sosial yang baik, sangat dibutuhkan di era global. Anak yang berakhlak mulia sangat diperlukan dalam menghadapi arus kemajuan teknologi serta pesatnya informasi yang membawa atau mempunyai sisi negatif, karena dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di tangan anak berakhlaklah kesejahteraan umat Islam segera terwujud. Kaitannya dengan ini tepatlah pikiran
7
beberapa ahli yang mengatakan, maju mundurnya suatu kaum tergantung kepada pendidikan yang berlaku dikalangan mereka, tidak ada satu kaum pun yang maju, melainkan sesudah mengadakan dan memperbaiki pendidikan ana-anak dan pemudanya. Dalam ajaran Islam pendidikan terhadap anak sangat diutamakan, karena anak merupakan amanah Allah Swt. Semua orang tua menginginkan anaknya menjadi anak yang saleh. Padahal untuk membentuk anak yang berakhlak mulia, diperlukan pendidikan Islam sejak dini pada anak-anak. Agama Islam merupakan dasar yang kuat bagi perkembangan pribadi anak. Islam diturunkan untuk membentuk kepribadian manusia yang sempurna, artinya pendidikan Islam dapat membentuk pribadi-pribadi manusia yang mampu mewujudkan
keadilan
ilmiah
dalam
komunitas
manusia
serta
mampu
mendayagunakan potensi alam dengan pemakaian yang adil. Dengan demikian, tidak ada kepatuhan pada sistem pendidikan lain selain dari pendidikan Islam, apalagi jika sistem pendidikan itu nyata-nyata telah mengalami kegagalan dalam menyelamatkan umat manusia dari kegelapan dan kezhaliman abad pertengahan. Tragisnya, kondisi seperti itu memburuk ke arah kehancuran, kesia-siaan dan pendangkalan kemanusiaan (An-Nahlawi, 1996:27). Dalam Islam anak merupakan amanah, karena itu orang tua harus bisa menjaga, membimbing dan mengarahkan anak menuju kehidupan indah, baik di
8
dunia maupun di akherat. Pendidikan Islam merupakan amanah yang harus diperkenalkan oleh suatu generasi ke generasi berikutnya, terutama dari orang tua atau pendidik kepada murid-muridnya. Untuk menghadapi arus globalisasi yang pesat dan cepat, dibutuhkan pendidikan Islam pada anak-anak. Sekaitan dengan itu, Allah Swt berfirman: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. Anisa: 9) Ayat tersebut menjelaskan bahwa, anak perlu dibekali dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan moral yang bernafaskan Islam. Esensi Islam adalah Nilai Tawhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah Swt sebagai Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada satu pun perintah dalam Islam yang tidak terkait nilai Tawhid. Pembinaan akhlak dalam era pembangunan ini sangat mutlak, sebab pembangunan tanpa didasari akhlakul karimah, tidak hanya akan menghambat tapi akan menghancurkan hasil pembangunan itu sendiri (Rasyid, 1990: 47). Oleh karena itu modernisasi di era globalisasi harus disertai akhlakul karimah. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam sangat terkait dalam mewujudkan anak berakhlak mulia. Keikhlasan, kemandirian, kesederhanaan,
9
pergaulan yang baik, dan kebebasan, sudah mentradisi dan harus dijalankan oleh santri dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupannya (Djamari, 1995: 96). Hasil penelitian Husen (1994: v) menyatakan bahwa komponen kyai, materi pembelajaran, nilai-nilai, norma, dan tradisi sistem pesantren mempengaruhi proses belajar pada diri santri dalam membentuk sikap mental, kecakapan, dan keterampilan wiraswasta. Mutakin (1994: iv) menemukan bahwa fanatisme santri pada pribadi ajengan dan tingginya solidaritas kelompok sepondokan telah menguatkan silaturahim serta ukhuwah Islamiyah di antara mereka. Djamari (1985) mengemukakan bahwa eksistensi pesantren sejak zaman pra Islam hingga kini menunjukan vitalitasnya dan adaptabilitasnya dalam konstelasi perubahan masyarakat dari masa ke masa. Berdasarkan pada uraian tersebut, peneliti sangat tertarik untuk mengkaji secara mendalam tentang, “Pengembangan Internalisasi Nilai Tawhid dalam Pembentukan Akhlakul Karimah Santri di Pondok Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al Ittifaq Bandung). B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang dapat diajukan yaitu Bagaimana Pengembangan Internalisasi Nilai Tawhid dalam Pembentukan Akhlakul Karimah Santri di Pondok Pesantren Al Ittifaq Bandung. Dari rumusan masalah yang diajukan, pertanyaan penelitiannya meliputi:
10
1. Pendidikan seperti apa yang dikembangkan di Pondok Pesantren Al Ittifaq Bandung? 2. Bagaimana proses internalisasi nilai Tawhid pada santri di Pondok Pesantren Al Ittifaq Bandung? 3. Bagaimana pengembangan internalisasi nilai Tawhid pada Santri di Pondok Pesantren Al Ittifaq Bandung? C. Fokus Penelitian Bagian-bagian utama penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Pengembangan Internalisasi Nilai Tawhid dalam Pembentukan Akhlakul Karimah Santri
Materi Kiyai/
Proses
Ustadz
Pembelajaran
u
(Internalisasi Nilai
Efek Instruksional Tujuan Pengorganisasian Nilai-nilai Utama
Tawhid dalam
Santri
Metode
Pembentukan Akhlakul Karimah)
Efek Pengiring Media
Pengorganisasian Nilai yang Diterima
Evaluasi
Area Eksternal
Gambar 1.1 Fokus Penelitian
Area Internal/Mind
11
Gambar di atas menggambarkan area-area atau ranah-ranah yang akan diteliti dalam penelitian ini. Materi pembelajaran merupakan komponen utama nilai tawhid dalam pembentukan akhlakul karimah. Tujuan, metode, media, dan evaluasi pembelajaran menjadi penopang untuk mencapai dampak pembelajaran yang ditetapkan (instructional effect) maupun yang diharapkan (nurturant effect). Proses pembelajaran merupakan area stimulasi lingkungan atau aktivitas yang bersifat eksternal. Respon santri atas stimulasi akan diproses dalam mind yang memberikan dampak, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik, yang akan dipilah menjadi dua bagian instructional dan nurturant effect, karena respon dan proses pengorganisasian stimulasi berada dalam mind individu, maka bagian ini menjadi area internal. Kedua dampak pembelajaran merupakan nilai-nilai yang berkembang dalam diri santri. Nilai bukan sesuatu yang berada di luar individu (eksternal), tetapi sebuah keyakinan atas sesuatu (internal). Walaupun demikian pembentukan dan pengembangan nilai dalam diri itu bersifat eksternal sekaligus internal. Bersifat eksternal, karena pembentukan dan pengembangan nilai-nilai dalam diri dipengaruhi juga oleh faktor-faktor eksternal yang dinamis. Dalam konteks ini, internalisasi nilai tawhid merupakan faktor yang mampu membentuk akhlakul karimah dalam diri santri. Namun demikian, faktorfaktor eksternal ini tetap diorganisasi dalam mind santri yang bersifat internal.
12
Kesatuan kerja antara faktor eksternal sebagai input, faktor internal sebagai proses, nilai-nilai sebagai output merupakan kerja sistem yang menopang kerja sebuah pengembangan model. D. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan menganalisis, dan mengembangkan internalisasi nilai tawhid dalam pembentukan akhlakul karimah santri di pondok pesantren. Secara
khusus,
penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui,
mendeskripsikan, menganalisis, dan menemukan: 1. Potret pendidikan pondok pesantren Al Ittifaq Bandung. 2. Proses internalisasi nilai tawhid dalam pembentukan akhlakul karimah santri. 3. Pengembangan internalisasi nilai tawhid pada santri di Pondok Pesantren Al Ittifaq Bandung. E. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini akan memberikan kegunaan sebagai berikut: a. Memberikan gambaran empirik tentang pengembangan internalisasi nilai tawhid dalam pembentukan akhlakul karimah santri di pondok pesantren Al Ittifaq. Gambaran empirik ini sangat berguna, sebagai bahan disamping
13
bagi
pengambilan
keputusan
atau
kebijakan
dalam
kerangka
pengembangan pendidikan di Al Ittifaq, juga dimungkinkan dapat diambil hikmah dan pelajarannya bagi pihak lain. b. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang pendidikan, khususnya pengembangan internalisasi nilai tawhid dalam pembentukan akhlakul karimah santri c. Temuan penelitian yang berupa pengembangan internalisasi nilai tawhid dalam pembentukan akhlakul karimah dapat dipertimbangkan (diambil sebagian) untuk mendesain internalisasi nilai tawhid di pesantren atau lembaga pendidikan lain. d. Masukan bagi dunia pendidikan pada umumnya. F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang diamati (Moleong, 1994: 90). Penelitian kualitatif berakar pada latar alamiah sebagai
keutuhan,
mengandalkan
manusia
sebagai
alat
penelitian,
memanfaatkan metode kualitatif, mengadakan analisis data secara induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori-teori dasar,
14
bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses dari pada hasil, membatasi studi dengan fokus memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat sementara dan hasil penelitiannya disepakati oleh kedua pihak (Moleong, 1994: 4-6). Bogdan dan Biklen (1982: 22) berpendapat bahwa penelitian kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis dan lisan serta perilaku yang dapat diamati. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi (Nasution, 1988: 49). G. Lokasi dan Subyek Penelitian Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah Pondok Pesantren Al Ittifaq Bandung di desa Alam Endah Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung Jawa Barat. Sedangkan subyek penelitiannya adalah kiyai sebagai pimpinan pondok pesantren, para santri pondok pesantren Al Ittifaq, keluarga besar civitas akademika pesantren Al ittifaq, para pendamping atau ustadzustadzah dan masyarakat sekitar pondok pesantren serta para alumni pondok pesantren Al Ittifaq.