BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Batik memang sudah lama dikenal sebagai warisan budaya nusantara. Kesenian batik diyakini telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit secara turun-temurun. Wilayah kerajaan Majapahit yang sangat luas menyebabkan batik akhirnya dikenal luas di Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan penemuan arca dalam candi Ngrimbi dekat Jombang yang menggambarkan sosok Raden Wijaya, raja pertama Majapahit (memerintah 1294-1309), memakai kain batik bermotif Kawung. Seperti yang telah diketahui, bahwa di masa lampau, kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa (Trowulan, Mojokerto), pada masa kejayaannya memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas. Bahkan tidak hanya meliputi wilayah nusantara melainkan juga di beberapa negara seperti Tumasik (Singapura), Malaysia, Laos, Brunei, Papua Nugini dan beberapa daerah lainnya. 1 Dengan kemajuan seni budaya Majapahit pada masa itu, tidaklah mengherankan jika semua wilayah kekuasaannya juga terpengaruh oleh seni dan budaya Majapahit yang dalam hal ini adalah kesenian Batik. Batik adalah bagian dari budaya Jawa yang mencerminkan filosofi kehidupan masyarakat Jawa yang biasanya digunakan untuk menandai adanya peristiwa-peristiwa penting di dalam kehidupan manusia Jawa2. Melalui kekuasaan Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan yang besar, makmur dan mengalami masa kejayaan selama beberapa
1
Wulandari, Ari.2011. Batik Nusantara-Makna Filosofis, Cara Pembuatan & Industri Batik.Yogyakarta:ANDI.Hlm:12&69 2 Ibid.2011.Hlm:20
abad, telah membuat tradisi dan kebudayaan ini mengakar kuat di wilayah nusantara. Di berbagai daerah di Indonesia dapat dengan mudah ditemukan kesenian ini dengan ragam dan corak yang menonjolkan karakter masing-masing daerah seperti batik Mojokerto, Tulungagung, Ponorogo, Kebumen, Banyumas, Pekalongan, Tegal, Purworejo, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Garut, Jakarta, Padang, Riau, Jambi, Lampung, Pontianak, Toraja, Makassar, Bali, Flores, Ambon, Papua (Abepura), Solo dan Yogyakarta.3 Apabila berbicara mengenai batik sebagai bagian dari entitas budaya Jawa, maka tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan batik keraton sebagai awal mula perkembangan batik sebagai bentuk majunya peradaban di nusantara. Batik keraton sangat erat kaitannya dengan falsafah kebudayaan Jawa dan bersumber pada pemikiran masyarakat Jawa yang sentral atau berpusat di keraton. Batik keraton ini adalah batik Jawa yang sarat dengan makna perlambangan dan simbolsimbol filosofis, sehingga batik ini memiliki kandungan rohaniah yaitu sebagai media perenungan dan meditasi.4 Daerah yang sangat kental dan lekat dengan batik Jawa atau keraton adalah Yogyakarta. Yogyakarta merupakan daerah cikal-bakal batik dengan adanya batik keraton. Selain itu, Yogyakarta adalah kiblat industri batik di nusantara hingga saat ini. Keberadaan batik Yogya tentu tidak lepas dari sejarah berdirinya
Kerajaan
Mataram
Islam
oleh
Panembahan
Senopati
(Hamengkubuwono I). Setelah memindahkan pusat kerajaan dari Pajang ke 3 4
Ibid.2011.Hlm:12-47 Ibid.2011.Hlm:54
Mataram. Semenjak perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, segala macam tata adibusana, termasuk di dalamnya adalah batik, diserahkan sepenuhnya oleh Keraton Surakarta kepada Keraton Yogyakarta. Hal inilah yang kemudian menjadikan keraton Yogyakarta sebagai kiblat perkembangan budaya, termasuk pula khasanah batik.5 Yogyakarta sendiri adalah salah satu propinsi di Indonesia yang merupakan sebuah Daerah Istimewa karena memiliki struktur pemerintahan yang berbentuk kesultanan. Propinsi ini memiliki 4 Kabupaten dan 1 Kotamadya yaitu Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, Sleman, Kulonprogo dan Kota Yogyakarta dimana di tiap daerah memiliki keunggulan masing-masing baik dari dalam sektor pariwisata maupun kapasitas dalam sektor industri terutama dalam industri kerajinan.6 Yogyakarta juga dikenal dengan kota yang kaya akan hasil budaya di mana salah satu hasil budaya yang ada di Yogyakarta adalah kerajinan batik. Selain dalam negeri, batik di Yogyakarta bahkan sudah dikenal oleh masyarakat dunia dan telah diakui pula sebagai bagian dari ragam batik di Indonesia yang menjadi kekayaan warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh Unesco pada tanggal 2 Oktober 2009 7. Di kota ini sendiri terdapat Museum Batik yang masih menyimpan beragam kerajinan batik dari masa ke masa8. Pada jaman dulu
5
Ibid.2011.Hlm:55 http://portal.jogjaprov.go.id diakses pada tanggal 16 Januari 2014 7 http://www.unesco.org/culture/ich/index.php?RL=00170 diakses pada tanggal 16 Januari 2014 8 Museum Batik Yogyakarta terletak di Jl. Dr. Sutomo No. 13 A Yogyakarta dan didirikan pada tanggal 12 Mei 1977 atas prakarsa keluarga Hadi Nugroho. Masih adanya perhatian yang besar dari masyarakat termasuk wisatawan asing pada batik, mendorong keluarga ini merintis 6
semenjak kerajaan Mataram ke I, kesenian batik di Yogyakarta adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton saja oleh para pembantu ratu dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal di luar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka ke luar keraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing. Daerah pembatikan pertama kali adalah di desa Pleret yaitu kawasan kerajaan Mataram Kerto yang sekarang termasuk dalam wilayah Kabupaten Bantul.9 Kerajinan batik yang dikembangkan di luar keraton kemudian melahirkan potensi ekonomi yang mengubah sifat batik dari ekspresi seni menjadi sumber ekonomi masyarakat. Terjadinya perubahan ekonomi dan meningkatnya kebutuhan akan batik yang melambung tinggi, menyebabkan industri rumah tangga ini berkembang menjadi industri yang dikelola oleh para pengusaha dan pedagang batik hingga sampai saat ini. Di propinsi Yogyakarta, industri batik tersebar di seluruh wilayah kota dan kabupaten. Berdasarkan data Disperindagkop dan UKM DIY, jumlah unit usaha batik yang terdaftar di kantor Disperindagkop dan UKM sebanyak 739 unit dengan skala usaha kecil menengah, menengah mau pun skala besar, sedangkan untuk skala kecil bahkan skala kecil menengah juga masih banyak yang belum terdaftar karena belum memiliki ujin usaha. Masing-masing kabupaten dan kota
pengumpulan kain batik. http://www.museumbatik.com/page/Profil.html diakses pada tanggal 16 Januari 2014 9 http://pesonabatik.site40.net/Sejarah_Batik.html dan www.bantulkab.go.id/kecamatan/Pleret.html diakses pada tanggal 16 Januari 2014
memiliki daerah sentra industri batiknya sendiri yaitu daerah Tirtodipuran, Panembahan, Prawirotaman di kota Yogyakarta; Hargomulyo, Kulur, Sidorejo, Lendah di kabupaten Kulonprogo; Nitikan, Ngalang, Mengger di kabupaten Gunung Kidul; Nogotirto, Mojorejo di kabupaten Sleman; serta Wijirejo, Wukirsari/Giriloyo, Murtigading di kabupaten Bantul.10 Geliat industri kerajinan batik di Yogyakarta memang tampak dari berbagai upaya promosi yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun dari para pengusaha batik sendiri. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya website para pengusaha batik untuk mempromosikan kerajinan tersebut. Batik-batik ini dijual dengan harga yang bervariatif tergantung dari proses pembuatan batik tersebut, untuk batik printing dengan ukuran 2x1 meter dibrandol dengan kisaran harga mulai dari 15.000 sampai 40.000 rupiah, batik cap berkisar dari harga 25.000 hingga 100.000 rupiah, sementara harga yang fantastis dapat dilihat dari harga batik tulis yang harganya berkisar 300.000 hingga 10 juta rupiah tergantung pada kerumitan motif.11 Fenomena batik yang mendunia dengan kisaran harga variatif bahkan dapat mencapai puluhan juta rupiah tampaknya sangat ironis dengan kondisi yang dialami oleh para buruh batik tulis di Yogyakarta. Rata-rata kisaran upah yang mereka dapatkan untuk selembar kain batik ukuran 2x1 meter hanya dihargai sekitar 20.000 hingga 70.000 rupiah tergantung kerumitan motif. Padahal dalam pengerjaan selembar kain batik ini sangat memerlukan keahlian, kesabaran dan ketekunan yang luar biasa dalam setiap proses pembatikan yang dikerjakan 10
http://batik.go.id/batik diakses pada tanggal 16 Januari 2014 http://jogjanews.com/cara-membedakan-batik-tulis-cap-dan-printing diakses pada tanggal 16 Januari 2014 11
berminggu-minggu bahkan dapat berbulan-bulan tergantung kerumitan motif yang diinginkan para pemesan.12 Upah murah yang diperoleh para pembatik cenderung dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yaitu tingkat pendidikan yang rendah dimana rata-rata tingkat pendidikan buruh batik hanya dari lulusan SD hingga SMP bahkan ada yang tidak bersekolah atau tidak tamat SD. Faktor yang kedua adalah tidak adanya keterampilan lain sehingga pada akhirnya mereka tetap dalam kepasrahan menjadi buruh batik meski upah yang diterima hanya cukup untuk makan. Faktor ketiga adalah tidak adanya pilihan pekerjaan lain di daerahnya sehingga menjadi buruh batik merupakan pilihan terakhir. Para buruh batik pada akhirnya hanya bisa nrima dan pasrah terhadap nasib yang mereka dapatkan.13 Penjelasan yang sedikit berbeda disampaikan oleh Nurul Friskadewi seorang mahasiswi S2 Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gajah Mada dalam karya ilmiahnya yang berjudul “Relasi Patron Klien Dalam Menciptakan Jaminan Sosial Informal (studi tentang pekerja industri batik Topo HP di Wijirejo-Pandak,Bantul)”. Dalam studinya, Nurul menjelaskan bahwa tidak adanya upaya dari buruh batik untuk memperjuangkan perbaikan upah salah satu faktornya juga dapat didasarkan pada relasi patron-klien yang tercipta antara buruh dan majikan yang memberikan implikasi jaminan sosial informal lain di luar upah dimana Patron memiliki kewajiban untuk mensponsori pesta-pesta perkawinan, mensponsori kegiatan-kegiatan keagamaan setempat,
12
http://rrijogja.co.id/headline-news/3812-malam-penganugerahan-sidji-batik-awards-di-hotelhyatt-yogyakarta-teruntuk-10-pembatik-berusia-lanjut diakses pada tanggal 16 Januari 2014 13 http://www.lp3y.org/index.php?pilih=newsletter&task=show&id=469 diakses pada tanggal 16 Januari 2014
mempunyai lebih banyak tanggungan dan pembantu daripada rumah tangga biasa serta menanggung kebutuhan hidup klien dan keluarganya. Sebaliknya dari apa yang didapatkan oleh para klien (buruh batik) tersebut mengharuskan mereka untuk membalas budi dengan tenaga kerja mereka.14 Apa yang telah dijelaskan oleh Nurul Friskadewi memang merupakan faktor penentu sikap buruh batik terhadap minimnya upah yang mereka terima. Namun hal yang juga harus diperhatikan adalah apakah jaminan sosial informal dari relasi patron-klien yang didapatkan para buruh batik tersebut menjadi satusatunya faktor penentu sikap kepasrahan mereka atas rendahnya upah yang mereka dapatkan. Beberapa kasus lain, seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Karina Rima Melati dari artikelnya yang berjudul “Buruh Batik Perempuan Dalam Pusaran Kapitalisme”, disampaikan bahwa telah ada upaya dari pemerintah untuk
meningkatkan
kemandirian para pembatik
tersebut
dengan cara
memberikan seminar dan workshop agar memperbesar peluang para pengrajin batik untuk mendapatkan order-an langsung dari para konsumen batik. Namun ternyata usaha tersebut tidak signifikan dalam memberdayakan para pembatik ini agar lebih mandiri. Alasannya beragam, mulai dari tidak adanya ruang untuk melakukan proses pembatikan secara utuh (seperti pewarnaan dan pelorotan) juga karena kekecewaan mereka pada usaha yang sebelumnya telah dirintis. Sehingga
14
Friskadewi, Nurul.2013. Relasi Patron Klien Dalam Menciptakan Jaminan Sosial Informal (studi tentang pekerja industri batik Topo HP di Wijirejo-Pandak,Bantul). Yogyakarta:Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM
pada akhirnya para buruh batik ini hanya bisa menahan rasa kecewa dan pasrah serta nrima atas kenyataan yang ada.15 Mengacu pada banyaknya fenomena buruh batik, dapat dilihat bagaimana sikap kepasrahan dan nrima para buruh batik merupakan sikap khas mereka terhadap kondisi yang mereka alami. Bisa jadi sikap kepasrahan yang sering mereka tunjukkan merupakan cerminan dari budaya Jawa yang menjadi identitas mereka sebagai orang Jawa. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa sejarah batik Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari representasi sosio-kultural masyarakat yang selain dicerminkan dari berbagai macam ragam gambar batik juga dapat dicerminkan dari proses pengerjaan batik itu sendiri. Representasi sosio-kultural tersebut tidak dapat dipungkiri adalah berasal dari budaya Jawa. Budaya Jawa, sebagaimana yang diketahui, merupakan budaya adiluhung yang terkenal dan memiliki pengaruh cukup besar bagi nusantara. Hal ini dikarenakan, Jawa adalah kelompok etnis terbesar di Asia Tenggara. Etnis ini berjumlah kurang lebih empat puluh persen dari sekitar dua ratus juta penduduk Indonesia16. Di Indonesia sendiri, etnis Jawa mendominasi tidak hanya dari segi kuantitas tapi juga dalam identitas kebangsaan Indonesia. Hal ini dapat dilihat bagaimana Jawa mendominasi dalam perpolitikan hingga kebudayaan Indonesia. Di beberapa literatur, seperti hasil penelitian para Indonesianis yakni Niels Mulder dan Benedict Anderson17 yang membahas tentang Jawa, praktik Jawanisasi di Indonesia sendiri telah lama berlangsung sejak periode awal 15
http://etnohistori.org/edisi-genealogi-gerakan-dan-studi-perempuan-indonesia-buruh-batik-tulisperempuan-dalam-pusaran-kapitalisme-oleh-karina-rima-melati.html diakses pada tanggal 16 Januari 2013 16 Mulder, Niels.2001. Mistisisme Jawa, Ideologi di Indonesia.Yogyakarta:Lkis.Hlm:7 17 Anderson, Benedict.2008. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist
kemerdekaan. Banyak tokoh-tokoh penting di Indonesia yang berasal dari etnis Jawa dan secara otomatis menjadikan Jawa sebagai dasar budaya Indonesia.18 “Orang Jawa, dan dengan sendirinya Jawanisasi, merebak kemana-mana. Mereka mengajari semua orang tentang apa dan bagaimana menjadi orang Indonesia. Program indoktrinasi ini menjadi bagian dari seluruh proses persekolahan dan kurikulum nasional....”19
Pada masa Orde Baru, praktik-praktik Jawanisasi ini begitu terasa seperti fakta bahwa tata cara Jawa mempopulerkan kostum Jawa sebagai pakaian nasional20; sebagian besar perwira, pegawai negeri eselon atas dan para gubernur berasal dari Jawa. Bahkan praktik Jawanisasi ini ditandai pula dengan program transmigrasi orang-orang Jawa ke daerah-daerah luar Jawa yang kekurangan penduduk. Istilah luar Jawa ini sudah menjelaskan sendiri: Jawa adalah pusat, jantung dan batin negeri ini sehingga tidak heran jika Jawa kemudian mendominasi ke seluruh daerah.21 Praktik Jawanisasi tersebut menunjukkan bagaimana entitas budaya Jawa memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pengaruh budaya ini dalam praktiknya juga dapat dilihat pada bagaimana para pemimpin bangsa Indonesia menjadikan budaya Jawa sebagai falsafah hidup, misalnya pada zaman Orde Baru diterbitkannya buku yang berjudul “Butir-Butir Budaya Jawa” oleh Presiden Soeharto yang menjelaskan bagaimana keluhuran
18
Mulder, Niels.2001.Hlm:103-105 Ibid.2001.Hlm:5 20 Mulder, Niels.2000. Wacana Mereka.Yogyakarta:Kanisisus.Hlm:29 21 Mulder, Niels.2001.Hlm:107 19
Publik
Indonesia,
Kata
Mereka
Tentang
budaya Jawa patut diterapkan dalam setiap kehidupan masyarakat Indonesia22. Tak dipungkiri juga, buruh batik di Yogyakarta yang notabene berasal dari suku Jawa tersebut tentunya pun turut menjadikan nilai-nilai budaya jawa sebagai pedoman dan dasar mereka dalam berperilaku. Novel berjudul “Canting” karya Arswendo Atmowiloto adalah salah satu contoh Novelis yang cukup gamblang menggambarkan bagaimana nilai-nilai budaya Jawa terepresentasi melalui sikap hidup seseorang khususnya dalam konteks ini adalah buruh batik. novel yang memakai bahasa Indonesia serta menggunakan ungkapan-ungkapan dari bahasa Jawa ini mengisahkan berbagai hal tentang Jawa. Representasi nilai-nilai budaya Jawa ini dapat dilihat pada kutipankutipan novel “Canting” berikut ini:23 ―Mereka ulet dan temen, atau jujur. Keuletan yang diperoleh karena untuk mendapatkan diperlukan keuletan yang luar biasa liat. Satu senti demi satu senti, atau bahkan satu mili demi satu mili—seperti membuat cecek— dari satu proses yang panjang. Sejak masih kain sampai bisa dipakai sebagai kain, melibatkan puluhan tenaga dan waktu yang bisa mencapai tiga bulan‖.(hlm: 358) ―Sumangga, terserah. Semua diserahkan kepadanya. Ke tangan Ni. Ini yang memberati dan membuatnya letih. Dalam segala hal selalu ada sumangga atau mangga kersa, sebagai penyerahan yang total. Sebagai pemberian kepercayaan yang mutlak dan menyeluruh, karena yakin yang di atas akan berbuat baik. Sebagaimana mereka berbuat. Sumangga bukan sikap yang terpengaruh oleh inflasi, devaluasi, pertimbangan, dan kecurigaan. Sumangga adalah sikap pasrah membahagiakan lahir maupun batin. Semua berjalan dengan sendirinya. Mengalir begitu saja seperti air sungai. Kesetiaan air sungai walau menjauhi sumbernya, kesetiaan ketika mengalir ke muara.‖ (Hlm: 361) ―Mereka inilah sesungguhnya manusia-manusia perkasa yang masih bisa mendongak menatap matahari, dengan wajah menunduk. Mereka inilah 22
Soeharto.1990. Butir-Butir Budaya Jawa- Anggayuh Kasampurnaning Hurip, Berbudi Bawaleksana, Ngudi Sejatining Becik. Jakarta: Purna Bakti Pertiwi 23 Atmowiloto, Arswendo.2013. Canting.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
yang menemukan cara hidup yang tetap terhormat, dengan menenggelamkan diri. Mereka inilah sesungguhnya gambaran dan jalan bagi Batik Canting kalau mau hidup dan terus berkembang.‖ (Hlm :401)
Sistem nilai budaya adalah pedoman tertinggi bagi tingkah laku manusia24. Begitu juga sistem nilai budaya Jawa pastinya akan menjadi pedoman tertinggi bagi tingkah laku masyarakat Jawa pada umumnya dan buruh batik pada khususnya. Berkaitan dengan hal itu, terdapat konsep sentral nilai-nilai budaya Jawa yakni Harmonis dan Struktural fungsional25. Ke semua sumber nilai ini berimplikasi pada sikap hidup dan tingkah laku orang Jawa baik itu hubungannya dengan tuhan, alam dan juga kepada sesama manusia. Sumber nilai budaya Jawa ini adalah seperangkat pengetahuan yang senantiasa direproduksi oleh seseorang sehingga disebut sebagai orang Jawa. Apabila dilihat dari kacamata Foucault, sebagai daerah yang sangat lekat dengan kekuasaan Keraton sebagai pusat peradaban Jawa, budaya Jawa di Yogyakarta berikut dengan nilai-nilai budayanya adalah sebuah kuasa/pengetahuan yang tetap terpelihara dalam masyarakat Yogyakarta ke dalam setiap tindakan dan interaksi sosial masyarakatnya. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa kuasa/pengetahuan ini pun dapat tereproduksi ke dalam proses perkembangan Industri Batik di Yogyakarta khususnya dalam sistem perburuhan di industri batik yang kemudian akan berpengaruh terhadap pembentukan wacana mengenai buruh batik, terutama pada hal tentang bagaimana budaya Jawa membentuk dan memposisikan buruh dalam struktur masyarakat Jawa terutama posisi buruh dalam pola hubungan kerja. Oleh karena itu, 24
Koentjaraningrat.1999. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru Daryono.2007. Etos Dagang Orang Jawa, Pengalaman Raja Mangkunegara IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Hlm:84 25
penelitian ini berusaha untuk melihat proses penerapan/strategi kuasa nilai-nilai budaya Jawa tersebut dalam sistem perburuhan di industri batik di Yogyakarta.
1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kuasa pengetahuan mengenai nilai-nilai budaya Jawa membentuk wacana perburuhan dalam industri batik? 2. Bagaimana proses reproduksi wacana perburuhan dalam industri batik tersebut di dalam praktik kerja buruh batik Yogyakarta? 3. Adakah bentuk eksploitasi dari sistem perburuhan yang demikian? Jika ada bagaimana bentuk eksploitasinya?
1.3. Tujuan Dari penelitian ini, tujuan yang hendak dicapai adalah: 1.
Untuk mendeskripsikan dan menganalisis relasi kuasa yang bekerja di balik wacana buruh batik Yogyakarta melalui pelacakan historis wacana perburuhan batik yang muncul dan berkembang di Jawa.
2.
Untuk menganalisis bagaimana wacana mengenai perburuhan batik tersebut direproduksi oleh buruh batik di Yogyakarta.
3.
Untuk mencari tahu dan menganalisis bagaimana bentuk eksploitasi dari sistem perburuhan batik di Yogyakarta.
1.4. Manfaat 1.
Memperkaya wacana dan deskripsi komprehensif tentang genealogi buruh batik di Jawa terutama pada hal-hal mengenai relasi kuasa yang bekerja di balik wacana perburuhan batik serta proses reproduksi wacana tersebut oleh buruh batik di Yogyakarta.
2. Sebagai bahan koreksi dan pertimbangan bagi pemangku kebijakan terkait praktik perburuhan dalam Industri Batik di Yogyakarta dan bentuk-bentuk eksploitasinya.
1.5. Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada genealogi buruh batik di Yogyakarta terutama pada hal-hal mengenai reproduksi kuasa nilai-nilai budaya Jawa yang bekerja di balik wacana perburuhan batik serta proses reproduksi wacana tersebut oleh buruh batik di Yogyakarta.
1.6. Penelitian Terdahulu Kajian mengenai buruh batik sebenarnya telah banyak dilakukan oleh kalangan peneliti sosial serta para akademisi. Tiga di antaranya adalah penelitian yang berjudul “Buruh Batik Tulis Perempuan Dalam Pusaran Kapitalisme” yang dilakukan oleh seorang peneliti yang bernama Karina Rima Melati pada tahun 2013 dan “Relasi Patron Klien Dalam Menciptakan Jaminan Sosial Informal (studi tentang pekerja industri batik Topo HP di Wijirejo-Pandak, Bantul)” yang dilakukan oleh Nurul Friskadewi juga pada tahun 2013 serta “Sistem Produksi
Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Produksi Batik di Surakarta” oleh Mahendra Wijaya pada tahun 2009. Pertama-tama penulis akan membicarakan mengenai penelitian dari Karina Rima Melati. Dalam penelitiannya, Karina berusaha menelusuri jejak mengenai narasi para buruh batik tulis sebagai pelaku budaya beserta pergeseran kebudayaan yang mengiringi keberadaannya di saat siklus industri kapitalis global memasuki relung kehidupan mereka. Lebih jelasnya, Karina berusaha meneliti tentang nasib buruh batik tulis di tengah-tengah sistem kapitalisme yang memunculkan komodifikasi budaya batik yang ada di Yogyakarta serta menganalisis eksistensi kerja mereka yang kian tergusur oleh munculnya berbagai teknologi produksi batik (cap dan printing) dan juga upah yang minim karena rendahnya posisi tawar para buruh batik. Dalam hal ini, Karina menggunakan teori Karl Marx sebagai kerangka berpikir dan pisau analisa dalam membedah praktik komodifikasi budaya serta praktik dehumanisasi buruh batik oleh para kapitalis. Industri global telah mengubah paradigma pelaku budaya dalam pemahaman proses bekerja dan juga membawa eksistensi diri mereka sebagai manusia yang determinis terhadap ekonomi. Selain itu, ketika akumulasi kerja dibuat berdasarkan rasionalisasi produksi menjadi barang jadi, para buruh batik tidak mendapatkan tempat sebagaimana sebuah unit pekerjaan utuh sehingga mereka tidak dapat berbuat banyak dalam hal menuntut upah selayaknya. Hasil penelitian Karina menunjukkan bahwa dehumanisasi buruh batik terjadi karena praktik komodifikasi budaya dimana semula batik yang merupakan
karya seni dan bentuk perwujudan dari eksistensi pengrajinnya kemudian terkomodifikasikan hingga hanya sekedar menjadi barang dagangan yang tereduksi nilai esensialnya. Praktik industrialisasi batik ini tidak hanya merubah esensi nilai dari batik itu sendiri melainkan juga telah merubah pola pengerjaan batik hingga terdeferensiasi ke dalam unit-unit kerja sehingga memperlemah posisi tawar buruh dalam memperjuangkan upah yang layak. Penelitian dari Karina Rima Melati cukup menyuguhkan analisis tajam tentang kapitalisme dan praktik industrialisasi batik yang memberikan dampak pada pergeseran nilai esensi batik menjadi barang komoditas serta dehumanisasi buruh batik di mana mereka teralienasi dari barang yang mereka buat sendiri. Namun yang perlu juga dikaji adalah mengapa buruh batik tetap diam dengan minimnya upah yang mereka terima, padahal dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa sudah terdapat upaya dari pemerintah untuk memberdayakan mereka namun upaya ini tidak dapat optimal karena tidak adanya motivasi dari para buruh batik sendiri untuk bangkit. Sikap yang selalu diperlihatkan oleh para buruh adalah sikap kepasrahan dan nrima terhadap apa yang terjadi pada mereka. Pada dasarnya, sikap pasrah para buruh tentunya tidak lepas dari bagaimana relasi kuasa bekerja dan terus-menerus membentuk wacana mengenai buruh batik itu sendiri, dalam hal ini, Karina luput untuk mengkaji narasi buruh batik tidak hanya dari wacana kapitalisme dan industrialisasi melainkan juga dari wacana-wacana lain yang beredar dari masa ke masa dan membentuk panoptik bagi reproduksi wacana buruh batik itu sendiri.
Penelitian kedua adalah tesis mahasiswa S2 Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gajah Mada Yogyakarta yang bernama Nurul Friskadewi mengenai buruh batik di Wijirejo Bantul. Nurul meneliti tentang hubungan Patron-Klien yang terjadi dalam indutri batik serta kaitannya dengan jaminan sosial informal bagi buruh batik. Menurut Nurul, hubungan Patron-klien yang terjadi antara pemilik dan buruh batik memberikan jaminan sosial bagi para buruh untuk tetap bertahan dalam kondisi upah yang minim. Hubungan Patronklien ini terjalin melalui relasi sosial yang terjalin antara pemilik dengan pekerjanya. Proses seleksi tenaga kerja berdasarkan rasa saling percaya, karena relasi tersebut dilakukan tatap muka, langsung dan intensif yang menimbulkan keakraban. Hal ini melicinkan dan memperluas pertukaran serta jangkauan relasi itu. Dimana relasi ini tidak terjadi pada aspek ekonomi saja tapi aspek kehidupan lain seperti keagamaan, kekeluargaan yang tidak akan putus karena elastis. Kedudukan keduanya sama sehingga tidak memikirkan upah. Dalam industri ini biasanya tenaga kerja berasal dari keluarga, tetangga, atau kerabat. Dalam penelitiannya, Nurul menggunakan teori dari James Scott sebagai kerangka berpikir dan pisau analisa dalam menganalisis pola relasi patron-klien yang terjadi antara majikan dan buruh batik, di mana dalam pola tersebut tersimpan sebuah etika yang menjamin kehidupan buruh secara informal dan memberikan keuntungan ekonomis pada majikan. Jaminan-jaminan itu lah yang membuat para buruh tidak terlalu mementingkan masalah upah. Hasil penelitian Nurul menunjukkan bahwa dengan adanya ikatan patron klien berarti lekatnya hak-hak dan kewajiban di antara ke dua belah pihak. Patron
berkewajiban untuk mensponsori pesta-pesta pada perkawinan, mensponsori kegiatan-kegiatan keagamaan setempat, dan mempunyai lebih banyak tanggungan dan pembantu daripada rumah tangga biasa. Patron berkewajiban untuk menanggung kebutuhan hidup klien dan keluarganya. Apa yang menjadi kewajiban patron merupakan hak bagi kliennya. Dengan menunjukkan sikap kedermawanan yang lebih besar terhadap kerabat dan tetangga-tetangga mereka kedudukannya akan semakin dihargai. Kemurahan hati yang dituntut dari orang kaya bukannya tanpa imbalan. Derma-derma yang telah diberikan itu merupakan sekian banyaknya piutang sosial yang dapat diperolehnya kembali dari klienkliennya dalam wujud barang dan jasa apabila diperlukan. Pada umumnya klien mengimbalinya dengan tenaga kerja dan loyalitasnya. Penelitian dari Nurul Friskadewi telah memberikan nuansa yang berbeda dalam analisis kondisi sosial buruh batik di Yogyakarta. Ia memang telah sedikit banyak memberikan jawaban atas tetap bertahannya para buruh batik di tengahtengah minimnya upah yang mereka terima yaitu melalui bentuk-bentuk jaminan sosial informal yang didapatkan melalui relasi patron-klien. Hubungan patronklien yang terbentuk antara majikan dan buruh batik merupakan transformasi dari sistem patron-klien yang telah diterapkan dalam sistem kerja pertanian di Yogyakarta sebelum menjamurnya industri batik. Mereka hidup dengan gaya tradisional yakni dalam sistem ketergantungan, di mana kaum berpunya harus memainkan peranan sebagai pelindung yang mempunyai persamaan dengan polapola kegotongroyongan di desa, mengutamakan keluarga, ramah dengan orang lain, menghargai sesama atau mencintai sesama, senantiasa menghindari konflik
dan mengutamakan pergaulan dalam kehidupan masyarakat. Namun hal yang luput dari penelitian Nurul adalah mengapa masyarakat masih mempertahankan pola tradisional patron-klien yang demikian di tengah-tengah kuatnya arus modernisasi yang biasanya juga membawa perubahan dalam pola pikir dan perilaku individu atas tingginya kebutuhan hidup, sehingga jaminan-jaminan sosial informal tersebut tentunya tidak akan mampu untuk selamanya memenuhi kebutuhan hidup para buruh. Tidak hanya sekedar faktor ekonomi, tentunya masih bertahannya pola tradisional tersebut juga didasari oleh sistem nilai budaya Jawa yang tertanam kuat di dalam masyarakat. Sistem nilai budaya ini yang mempengaruhi struktur masyarakat serta perilaku mereka dalam bekerja maupun berinteraksi terhadap sesama dan hal inilah yang tidak dikaji lebih lanjut oleh Nurul. Penelitian dari Nurul, tentunya cukup jelas dalam menjelaskan alasan mengenai bertahannya para buruh batik di tengah upah yang cukup minim. Namun sikap pasrah para buruh batik tersebut tentunya tidak dapat lepas dari genealogi wacana perburuhan batik yang telah beredar dari masa ke masa. Hal ini lah yang lepas dari kajian Nurul, bahwa di balik sikap buruh yang pasrah dan nrima tentunya terdapat suatu relasi kuasa yang perlu dilacak prosesnya. Penelitian terakhir yang menjadi bahan dalam tinjauan pustaka ini adalah penelitian yang berjudul “Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Produksi Batik di Surakarta” dari Mahendra Wijaya seorang dosen Sosiologi dari Universitas Sebelas Maret Surakarta. Mahendra meneliti tentang proses perkembangan teknologi dan sistem produksi batik di Surakarta berikut
pengaruh peningkatan sistem produksi dalam menumbuhkan unit-unit usaha dan kompleksitas jaringan hubungan produksi. Dalam penelitiannya, Mahendra menggunakan perspektif budaya ekonomi untuk memahami pola tindakan dan pola pikiran para anggota masyarakat dalam mengorganisasi produksi, distribusi dan pertukaran barang atau jasa melalui pasar. Hasil penelitian Mahendra menunjukkan bahwa perkembangan teknologi perbatikan dari teknologi batik tulis ke batik cap dan batik printing menumbuhkan sistem produksi yang berkembang dari industri rumah tangga batik tulis ke pabrikan batik cap dan manufaktur batik printing. Perkembangan sistem produksi tersebut disertai dengan keragaman jaringan hubungan produksi antara industri rumah tangga, pabrikan dengan manufaktur. Jaringan hubungan produksi yang dilandasi keahlian khusus cenderung bersifat fungsional, sebaliknya hubungan produksi yang dilandasi pertimbangan menekan upah tenaga kerja cenderung dominatif. Hubungan produksi berdasarkan spesialisasi terjadi transfer teknologi, modal dan manajemen dari industri besar ke industri rumah tangga, sehingga industri rumah tangga cenderung semakin tergantung dengan upah-upah yang semakin rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Mahendra memberikan gambaran yang unik mengenai perkembangan industri batik. Industrialisasi dan modernisasi telah memberikan efek yang cukup besar terhadap dunia perbatikan sehingga batik tidak hanya diproduksi melalui batik tulis tetapi juga berkembang menjadi batik cap dan printing. Berkembangnya teknologi dalam produksi batik juga memicu munculnya produsen-produsen batik skala besar/pabrik/manufaktur yang lebih
modern. Namun hal yang menarik dari perkembangan industri batik adalah meskipun produsen-produsen skala besar ini muncul namun tetap berjejaring dengan produsen-produsen skala rumahan yang masih bersifat tradisional sehingga memicu timbulnya keragaman jaringan hubungan produksi di mana ada jaringan hubungan yang bersifat dominatif dan ada juga yang bersifat mutualisme. Jaringan hubungan produksi ini muncul berdasarkan karakteristik sosial dari hubungan relasional yang ada seperti kultur yang berkembang dalam masyarakat. Namun sayangnya, Mahendra tidak menganalisis lebih jauh tentang pendekatan kultur/budaya tersebut dalam menjelaskan keragaman jaringan hubungan produksi dalam
industri
batik.
Bagaimana
pengaruh
budaya
masyarakat
dalam
memunculkan jaringan hubungan produksi yang masih bersifat tradisional dengan hubungan produksi yang telah bersifat modern. Mengapa pola-pola hubungan kerja yang bersifat tradisional masih tetap dipertahankan oleh masyarakat dalam industri batik di tengah-tengah gencarnya modernisasi. Tentunya hal ini sangat dipengaruhi oleh adanya relasi kuasa wacana yang beredar di tengah-tengah praktik industri batik yang tampaknya belum diungkap oleh Mahendra. Dari beberapa hal yang tidak dikaji lebih lanjut oleh ketiga penelitian terdahulu yang telah penulis paparkan di atas, diharapkan penelitian yang akan penulis lakukan dapat melengkapi hal-hal yang tidak terdapat dalam penelitianpenelitian terdahulu tersebut terutama pada masalah relasi kuasa yang bekerja dan mereproduksi wacana buruh batik dalam dunia perbatikan di Jawa. Hal ini juga sekaligus menjadikan perbedaan terhadap penelitian yang akan penulis lakukan di mana pada penelitian-penelitian sebelumnya wacana perburuhan batik dikaitkan
dengan kapitalisme, sistem patron-klien dan jaringan sosial maka dalam penelitian kali ini penulis berusaha meneliti relasi kuasa Jawa yang beredar di balik wacana perburuhan dalam industri batik di Jawa khususnya di Yogyakarta. Untuk lebih jelasnya, berikut susunan perbandingan tabel antar penelitian: Tabel 1. Perbandingan Penelitian No
1.
2.
3.
Judul Penelitian “Buruh Batik Tulis Perempuan Dalam Pusaran Kapitalisme” oleh Karina Rima Melati
“Relasi Patron Klien Dalam Menciptakan Jaminan Sosial Informal (studi tentang pekerja industri batik Topo HP di WijirejoPandak,Bantul)” oleh Nurul Friskadewi
“Sistem Produksi Batik dan Keragaman Jaringan Hubungan Produksi Batik di Surakarta” oleh Mahendra Wijaya
Teori
Materialisme Historis (Karl Marx)
Patron-klien (James Scott)
Jaringan Sosial (Granovetter)
Temuan dehumanisasi buruh batik terjadi karena praktik komodifikasi budaya. Praktik industrialisasi batik juga telah merubah pola pengerjaan batik hingga terdeferensiasi ke dalam unitunit kerja sehingga memperlemah posisi tawar buruh dalam memperjuangkan upah yang layak. Terdapat ikatan Patron-klien dalam hubungan kerja antara majikan dan buruh batik. Patron memberikan jaminan secara informal bagi kliennya seperti mensponsori pesta perkawinan, kegiatan keagamaan setempat dan menanggung kebutuhan hidup klien dan keluarganya. Apa yang menjadi kewajiban patron merupakan hak bagi kliennya. Derma yang telah diberikan itu merupakan sekian banyaknya piutang sosial yang dapat diperoleh Patron kembali dari klien-kliennya dalam wujud barang/jasa apabila diperlukan. Pada umumnya klien mengimbalinya dengan tenaga kerja dan loyalitasnya. Perkembangan sistem produksi batik (batik tulis, cap dan printing) memicu munculnya keragaman jaringan hubungan produksi antara industri rumah tangga, pabrikan dengan manufaktur. Jaringan hubungan produksi yang dilandasi keahlian khusus cenderung bersifat fungsional, sebaliknya hubungan produksi yang
Kuasa Budaya Jawa dalam Industri Batik (Studi Tentang Reproduksi Kuasa Nilai-nilai budaya Jawa dalam Praktik Perburuhan di Industri Batik Yogyakarta) oleh Dewi Puspita Rahayu
Kuasa Pengetahuan (Michel Foucault)
4.
dilandasi pertimbangan menekan upah tenaga kerja cenderung dominatif. -Berdasarkan hasil pelacakan historis wacana perburuhan di dalam industri batik Yogyakarta ditemukan bahwa nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup masyarakat Jawa yakni Harmoni dan Struktural fungsional direproduksi ke dalam dua bentuk yakni kolektivisme dan sistem paternalisme. Dalam hal ini bahasa Jawa dan batik adalah alat utama untuk mereproduksi nilai-nilai Jawa tersebut. -pandangan dunia Jawa yang strukturalis ternyata dapat memperkuat keberadaan sistem kelas dan memicu dominasi kaum kapitalis terhadap kaum pekerja sehingga posisi buruh batik sangat rentan terhadap eksploitasi - wacana perburuhan di dalam industri batik ternyata tidak sertamerta terbentuk sendiri melainkan ada kuasa lain yakni sistem kapitalisme yang berelasi dan saling berkelindan dalam melanggengkan wacana perburuhan dalam industri batik di Yogyakarta
1.7. Nilai Moral dan Prinsip Budaya Jawa yang Menjadi Dasar Perilaku Masyarakat Jawa Di dalam masyarakat Jawa terdapat nilai moral budaya yang menjadi dasar perilaku masyarakat Jawa sehari-hari. Analisis dan pemahamannya masingmasing sebagai berikut: - Harmonis: karakteristik inti dari pandangan harmonis adalah menciptakan dan menjaga kesesuaian atau keselarasan hubungan antar sesama manusia,
masyarakat dan dengan alam. Ketiganya merupakan sistem yang disebut sebagai “Pandangan dunia Jawa”. Tolok ukur arti pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya agar tercapai suatu keadaan psikis tertentu yakni ketenangan,
ketentraman
dan
keseimbangan
batin.
Selanjutnya
maksud
pandangan dunia Jawa ini erat kaitannya dengan istilah kejawen.26 Niels Mulder menjelaskan, kejawen merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa atau sebagai kategori yang khas Jawa27. Kejawen bukanlah kategori keagamaan (religius), namun ia lebih menunjuk pada sebuah etika dan gaya hidup yang diilhami oleh pemikiran Jawa. Elemen-elemen dalam kejawen umumnya diduga berasal dari periode Hindu-Budha dalam sejarah Jawa, yang kemudian menyatu dalam sebuah filsafat dalam arti sebuah sistem tertentu mengenai prinsip-prinsip bertindak dalam kehidupan. Sebagai sebuah sistem pemikiran, kejawen itu cukup rumit dan luas, meliputi kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang mistis pada hakikatnya dan hal-hal lain yang serupa itu.28 Sikap mental kejawen antara lain condong pada sinkretisme dan toleransi yang keduanya merupakan dasar sikap baik yang dapat menciptakan sikap hormat terhadap berbagai agama formal yang mewujudkan kesatuan hidup Jawa29. Para pengkaji dari luar negeri dan orang-orang Jawa yang terdidik semakin bersepaham
26
Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. Hlm:82 27 Mulder, Niels. 2001. Hlm:8 28 Ibid. Hlm:9 29 Ibid. Hlm:10
mengenai sebutan sinkretisme dan meresapnya sikap toleransi bagi masyarakat Jawa. 30 Menurut Anderson, orang Jawa memiliki cara mengungkapkan sikapnya yang sinkretis dan toleran, sebagai simbol penting dalam acuan identifikasi pemikiran tentang cara hidupnya. Salah satu cara pengungkapannya adalah seperti yang secara mendalam diungkapkan melalui mitologi dalam pementasan wayang31. Menurut Soemarsaid Moertono, wayang adalah cermin kehidupan orang Jawa. Lakon wayang, selain melukiskan suatu kehidupan kenegaraan yang diidamkan, juga melukiskan kebijaksanaan dan kebiasaannya.32 Cara hidup dan sikap-sikap yang diperlihatkan oleh para tokoh dalam wayang merupakan acuan identifikasi pemikiran orang Jawa sejak kecil. Orang Jawa memiliki sejumlah besar kemungkinan identifikasi moral dari padanya. Ia bebas memilih suatu model yang cocok, yang dapat diharapkan akan diterima dalam masyarakatnya33. Penjelasan tentang wayang tersebut, di satu pihak sebagai acuan analisis untuk mengkaji sikap hormat dan sikap rukun masyarakat Jawa terhadap apa saja dan siapa saja sesuai dengan tradisi Jawa yang diungkapkan dalam pertunjukan wayang. Menurut Hilderd Geertz34, nilai-nilai harmonis ini tersirat dalam kaidah yang menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah ini yaitu bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap
30
Anderson, Benedict. 2003. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya. Hlm:2 31 Suseno, Franz Magnis. 1984. Hlm: 56 32 Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: YOI. Hlm:13 33 Suseno, Franz Magnis.1984.Hlm:164 34 Geertz, Hildred.1961. The Javaneze Family, a Study of Kinship and Socialization. The Free Press og Glencoe. Hlm:146
sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah ini disebut juga dengan prinsip kerukunan. Tujuan dalam sikap rukun adalah agar tercipta suasana atau keadaan hubungan yang harmonis, yaitu bersikap saling ngemong dan saling kasih (tresno) kepada sesama. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras, tenang dan tenteram tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. Keadaan rukun terdapat dimana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima dalam suasana tenang dan sepakat. Rukun adalah keadaan yang ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, keluarga, tetangga, desa dan sebagainya. Suasana seluruh masyarakat seharusnya bernafaskan semangat kerukunan.35 Kata rukun juga menunjukkan pada cara bertindak. Berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadipribadi sehingga hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Rukun mengandung usaha terus-menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama lain dan untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan perselisihan dan keresahan. Tuntutan kerukunan merupakan kaidah penata masyarakat yang menyeluruh. Segala apa yang dapat mengganggu keadaan rukun dan suasana keselarasan dalam masyarakat harus dicegah.36
35 36
Mulder, Niels. 2001. Hlm:39 Suseno, Franz Magnis. 1984. Hlm: 39
Dalam pandangan Jawa, tuntutan kerukunan yang dimaksud bukan pada penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang telah ada. Dalam perspektif Jawa, ketenangan dan keselarasan sosial merupakan keadaan normal yang akan terdapat dengan sendirinya selama tidak diganggu. Selain itu, prinsip kerukunan pertama-tama tidak menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan penjagaan keselarasan dalam pergaulan, yang diatur adalah permukaan hubungan-hubungan sosial yang kentara dan yang perlu dicegah adalah konflik-konflik yang terbuka. Oleh karena itu Hildred
Geertz
menyebut
keadaan
rukun
sebagai
harmonious
social
appearances.37 Suatu konflik biasanya pecah apabila kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan itu bertabrakan. Sebagai cara bertindak, kerukunan menuntut agar individu bersedia untuk menomorduakan bahkan jika perlu untuk melepaskan kepentingan pribadinya demi kesepakatan bersama. Namun bahaya yang sebenarnya bagi kerukunan dalam masyarakat tidak terletak dalam kepentingan-kepentingan yang bertentangan itu sendiri. Antara kebanyakan kepentingan yang bertentangan dapat tercapai suatu kompromi. Kepentingankepentingan yang bertentangan berkembang sampai ke konflik yang terbuka biasanya merupakan akibat emosi-emosi yang melekat pada pertentangan itu. Oleh karena itu masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-norma kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi yang bisa menimbulkan konflik terbuka. Norma-norma itu berlaku dalam semua lingkup hidup
37
Geertz, Hildred.1961.Hlm: 146
masyarakat. Norma itu dapat dirangkum dalam tuntutan untuk selalu mawas diri dan menguasai emosi-emosi (seni kontrol diri). Dalam seni kontrol diri juga termasuk tuntutan untuk selalu bersikap tenang, tidak mudah bingung, tidak menunjukkan rasa kaget atau gugup dan sebaliknya orang harus selalu berlaku sedemikian rupa sehingga orang lain tidak sampai merasa kaget atau bingung.38 Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh orang Jawa adalah kemampuan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung. Berita yang tidak disenangi, peringatan dan tuntutan jangan diajukan langsung kepada seseorang melainkan harus dipersiapkan dan dibungkus sedemikian rupa agar tidak timbul reaksi-reaksi emosional. Bagi orang Jawa, kekasaran bukanlah watak yang terpuji. Suatu teknik lain untuk menghindari kekecewaan adalah kebiasaan untuk berpura-pura (ethok-ethok). Kemampuan untuk berethok-ethok adalah suatu seni yang tinggi dan dinilai positif. Hal ini dilakukan terutama untuk menutupi perasaan negatif misalnya dalam kesedihan harus tetap bisa tersenyum atau harus terlihat gembira ketika bertemu dengan orang yang tidak disukai. Namun selain perasaan negatif, perasaan-perasaan positif yang kuat juga hendaknya ditutupi kecuali dalam lingkungan yang sangat akrab. Usaha ini adalah untuk menjaga tingkat keakraban agar sedang-sedang saja.39 -
Struktural Fungsional: di dalam masyarakat Jawa terdapat
pemahaman bahwa setiap orang atau lembaga memiliki tempatnya masing-masing sehingga ia harus berperilaku atau bekerja sesuai dengan tempat keberadaannya. Pemahaman tentang „tempat‟ dalam hal ini bukanlah pemahaman final atau 38 39
Suseno, Franz Magnis. 1984. Hlm: 41 Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Hlm: 331
mutlak, melainkan sebagai sesuatu yang kondisional atau relatif. Pemahaman itu termasuk tentang nilai-nilai moral budaya Jawa sebagaimana yang diidealkan atau yang dipikirkan oleh para cendekiawan Jawa (pujangga Jawa) yang tertuang dan tersebar dalam berbagai karya sastranya. Identifikasi sebutan bagi kesusastraan Jawa tersebut antara lain suluk, wirid, primbon, serat dan lain sebagainya. Mencermati penjelasan tersebut maka istilah „struktural fungsional‟ tidak dimaksudkan sebagai struktur dalam arti sebagai penggolongan masyarakat Jawa seperti menurut pendapat Clifford Geertz yang membagi masyarakat Jawa menjadi priyayi, santri dan abangan. Alasan pertama karena pembagian orang Jawa dari penafsiran Geerts tidak berdasar pada kriteria yang sama. Geertz telah mengacaukan dua pembagian yang termasuk pada susunan yang berlainan yaitu ia mencampuradukkan antara pembagian horisontal dan vertikal. Priyayi merupakan status sosial dalam komunitas Jawa, sehingga tidak menunjukkan status keagamaan khusus seperti golongan santri dan abangan. Seorang priyayi bisa muslim saleh dan muslim statistik (santri dan abangan dalam istilah Geertz) sekaligus juga dapat termasuk orang Hindu, Budha atau Kristen.40 Oleh karena itu, yang dimaksud dengan istilah “struktural fungsional” dalam hal ini adalah bangunan ide tentang nilai-nilai moral dan praktiknya dalam konsep hubungan antar individu di dalam dunia atau realitas sosial masyarakat Jawa. Bangunan ide tentang nilai moral ini terepresentasi dari penjelasan Hildred Geerts tentang prinsip kedua dalam masyarakat Jawa yakni kaidah yang menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap 40
Muchtarom, Zaini. 2002. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan. Jakarta: Salemba Diniyah. Hlm:17
hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kaidah ini sering disebut dengan prinsip hormat. Prinsip ini menerangkan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Akan sangat penting apabila dua orang Jawa bertemu maka bahasa, pembawaan dan sikap mereka harus mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan masingmasing dalam suatu tatanan sosial yang tersusun dengan terperinci mengikuti aturan-aturan tatakrama yang sesuai dengan mengambil sikap hormat atau kebapaan yang tepat.41 Prinsip hormat didasarkan pada pendapat bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis, bahwa keteraturan secara hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya. Pandangan itu sendiri berdasarkan citacita tentang suatu masyarakat yang teratur dimana setiap orang mengenal tempat dan tugasnya dan dengan demikian ikut menjaga agar seluruh masyarakat menjadi satu kesatuan yang selaras. Kesatuan itu hendaknya diakui oleh semua dengan membawa diri sesuai dengan tuntutan tatakrama sosial. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus diberi hormat, sementara mereka yang berkedudukan rendah diberi sikap kebapaan atau keibuan dan rasa tanggung jawab. Jika setiap orang menerima kedudukannya itu maka tatanan sosial terjamin. Oleh sebab itu orang tidak boleh mengembangkan ambisi-ambisi dan persaingan, melainkan hendaknya setiap orang puas dengan kedudukan yang telah
41
Suseno, Franz Magnis. 1984. Hlm: 60
diperolehnya dan berusaha untuk menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Ambisi, persaingan, kelakuan kurang sopan dan keinginan untuk mencapai keuntungan material pribadi dan kekuasaan merupakan sumber bagi segala perpecahan, ketidakselarasan dan kontradiksi yang seharusnya dicegah dan direduksi.42 Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kehidupan orang-orang Jawa. Dalam bahasa Jawa tidak ada kemungkinan untuk menyapa seseorang dan berbicara dengannya sekaligus tanpa memperlihatkan bagaimana kita menaksirkan kedudukan sosial kita dibandingkan dengan dia. Adalah tidak mungkin untuk bicara dalam bahasa Jawa tanpa mengacu pada tinggi-rendahnya kedudukan lawan bicara terhadap kedudukan pembicara. Dalam gradasi-gradasinya yang sulit dan formal yang begitu banyak, pilihan kata-kata mencerminkan kedudukan, keakraban, umur, jarak sosial dan pangkat sekaligus dengan nuansa harapan satu sama lain, kewajiban dan hak-hak. Indikatorindikator status sosial sudah tertanam dalam bahasa Jawa sendiri.43 Dalam hal ini, karakteristik model baku dalam komunikasi sosial Jawa cenderung bersifat feodalistik. Sartono Kartodirjo menjelaskan, ciri etos feodalistik seperti orientasi kepada atasan dalam melaksanakan tugas hanya menunggu perintah, melaksanakan dan patuh penuh pada perintah atasan. Loyalitasnya tinggi, namun penghormatan yang diberikan berlebihan sehingga dirinya direndahkan karena pelayanannya demi memberi kepuasan dan kekuasaan
42
Mulder, Niels. 1978. Mysticism and Everyday Life in Cintemporary Java-Cultural Persistence and Change. Singapore: Singapore University Press. Hlm: 41 43 Suseno, Franz Magnis. 1984. Hlm: 60-62
kepada atasannya44. Sebaliknya, perhatian atasan atau majikan terhadap bawahannya bagaikan seorang tuan atau ayah yang mengasuh anak-anaknya dalam pola kekeluargaan.45 Kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat dikembangkan pada orang Jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga. menurut Hildred Geertz, pendidikan itu dicapai melalui 3 perasaan yang dipelajari oleh anak Jawa dalam situasi-situasi yang menuntut sikap hormat, yakni wedi, isin dan sungkan. Wedi berarti takut, baik sebagai reaksi terhadap ancaman fisik maupun sebagai rasa takut terhadap akibat kurang enak suatu tindakan. Pertamatama anak belajar untuk merasa wedi terhadap orang yang harus dihormati. Anak dipuji jika bersikap wedi terhadap orang yang lebih tua dan terhadap orang asing. Bentuk-bentuk pertama kelakuan halus dan sopan dididik pada anak dengan menyindir pada segala macam bahaya mengerikan dari pihak-pihak asing dan kekuatan di luar keluarga yang mengancamnya.46 Setelah itu mulailah pendidikan untuk merasa isin. Isin berarti malu, juga dalam arti malu-malu, merasa bersalah dan sebagainya. Belajar untuk merasa malu (ngerti isin) adalah langkah pertama ke arah kepribadian Jawa yang matang. Rasa isin dikembangkan pada anak dengan membuat dia malu dihadapan tetangga, tamu dan sebagainya apabila ia melakukan sesuatu yang pantas ditegur. Isin dan sikap hormat merupakan satu kesatuan. Orang Jawa merasa isin jika ia tidak dapat menunjukkan sikap hormat yang tepat terhadap orang yang pantas dihormati. Perasaan isin dapat muncul dalam semua situasi sosial, kecuali dalam 44
Kartodirjo, Sartono. 1993. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: UGM Press. Hlm:67 Moertono, Soemarsaid. 1985.Hlm:30 46 Geertz, Hildred.1961.Hlm: 115-117 45
lingkungan keluarga inti (ayah belum tentu termasuk) di mana terdapat suasana akrab.47 Selanjutnya adalah perasaan sungkan. Sungkan adalah suatu perasaan yang dekat dengan rasa isin, tetapi berbeda dengan cara anak merasa malu terhadap orang asing. Sungkan adalah perasaan malu dalam arti yang lebih positif. Hildred Geertz menggambarkan sungkan sebagai rasa hormat yang sopan terhadap atasan atau sesama yang belum dikenal, sebagai pengekangan halus terhadap kepribadian sendiri demi hormat terhadap pribadi lain. Rasa sungkan juga erat kaitannya dalam membatasi sikap agar tidak membuat orang lain merasa sakit hati atau tidak nyaman. Wedi, isin dan sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaanperasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat. Penginternalisasian perasaan-perasaan itu adalah tanda kepribadian yang matang. Mengerti isin, sungkan dan rukun juga mengerti kapan dan bagaimana perasaan-perasaan itu dimainkan adalah cita-cita umum untuk menjadi orang Jawa.48
1.8. Kerangka Konseptual Sikap kepasrahan dan nrima yang senantiasa ditunjukkan oleh para buruh batik di Jawa tidak bisa secara komprehensif dijelaskan hanya dengan mengandalkan analisa kondisi psikis; ketidakberdayaan para buruh batik juga terlalu sederhana jika disimpulkan hanya merupakan imbas dari munculnya 47 48
Ibid. 1961. Hlm: 113 Ibid. 1961. Hlm: 152
kapitalisme yang menyebabkan dehumanisasi buruh batik di mana pola pengerjaan batik terdeferensiasi ke dalam unit-unit kerja. Lebih dari itu, sikapsikap yang ditunjukkan oleh para buruh batik pastinya juga dipengaruhi oleh relasi dan kelindan kuasa yang terdapat di dalam wacana perburuhan batik. Dalam tulisan ini, penyebab-penyebab, alasan-alasan yang akhirnya menyebabkan sikap nrima dan pasrah para buruh batik akan ditelusuri melalui konsep kekuasaan Michel Foucault. Konsep kekuasaan yang digunakan dalam tulisan ini bukanlah kekuasaan yang dibayangkan seperti lazimnya: berasal dari satu sumber dan memiliki struktur yang rapi. Sebaliknya, kekuasaan yang dibayangkan di sini adalah kekuasaan yang berasal dari banyak sumber dan lepas dari struktur yang rapi. Menurut Michel Foucault49 kekuasaan bukanlah kekuasaan dengan huruf kapital K yang merupakan himpunan lembaga dan perangkat untuk menjamin kepatuhan warga negara dalam suatu negara tertentu. Kekuasaan juga bukanlah cara penundukan berbentuk aturan dan sangat berbeda dengan kekerasan. Kekuasaan bahkan bukan suatu sistem dominasi global yang dilakukan oleh suatu unsur atau kelompok atas unsur atau kelompok lain secara terus-menerus sehingga masyarakat seutuhnya terkena dampaknya. Sebaliknya, kekuasaan harus dipahami sebagai hubungan berbagai kekuatan yang bersifat imanen. Berbagai kumpulan kekuatan itu mengalami proses tiada henti untuk memperbaharui, memperkuat, bahkan mengurangi kekuasaan. Proses ini merupakan strategi kekuasaan untuk bertahan sehingga 49
Foucault, Michel. 1978. The History of Sexuality: An Introduction. Pantheon Books: New York. Hlm: 92
dapat mewujud dalam institusi seperti aparat negara, hukum dan berbagai macam hegemoni sosial.50 Kekuasaan bersifat omnipresent; bukan karena kekuasaan mampu mengontrol segalanya di bawah kesatuannya yang tak terkalahkan, tetapi karena kekuasaan “produced from one moment to the next, at every point, or rather in every relation from one point to another.” Oleh sebab itu “…power is everywhere; not because it embraces everything, but because it comes from everywhere”. Lalu kekuasaan yang permanen, berulang, lambat dan bereproduksi, hanyalah efek keseluruhan yang muncul dari semua mobilitas sumber kekuasaan; kekuasaan adalah sebuah „gerakan‟ yang bertumpu pada berbagai sumber kekuasaan, sehingga kekuasaan bukanlah sebuah institusi, bukan pula struktur, apalagi sesuatu yang dapat diberikan. Kekuasaan adalah “…the name that one attributes to a complex strategical situation in a particular society”.51 Dapat dijelaskan disini bahwa bagi Foucault kekuasaan tidak bersifat dari atas ke bawah, melainkan ada di mana-mana dan menyebar ke setiap elemen, metode, lapisan masyarakat, rangkaian alat-alat dan di mana pun termasuk dalam diri manusia. Dengan konsep kekuasaan yang menyebar tadi maka tidak ada satu pun hal atau individu yang luput dari pengaruh kekuasaan. Kekuasaan dapat diamati dari bagaimana ia dilaksanakan atau bagaimana ia bekerja, salah satunya di dalam wacana. Wacana menurut Foucault bukanlah serangkaian kata atau proposisi dalam teks melainkan merupakan aturan-aturan, mekanisme-mekanisme tertentu terhadap objek tertentu pula yang diproduksi, dikontrol, diatur dan 50 51
Ibid.1978. Hlm: 92-93 Ibid.1978. Hlm : 93
diredistribusikan dalam suatu masyarakat menurut sejumlah prosedur dengan maksud menghindari kekuasaan objek tertentu, bahaya objek tertentu dan untuk mengatasi peristiwa yang tidak bisa diprediksi.52 Sejumlah prosedur yang mengatur dan mengontrol wacana adalah prinsip dari luar wacana dan prinsip dari dalam wacana. Prinsip dari luar wacana terdiri dari tiga hal yaitu larangan (prohibition), pembagian dan penolakan (division and rejection) dan oposisi antara yang benar dan salah (opposition between true and false). Tipikal dari larangan seperti menabukan suatu objek tertentu, ritual dalam satu keadaan tertentu dan hak istimewa atau hak eksklusivitas untuk membicarakan objek tertentu. Contoh dari tipikal wacana seperti ini seperti wacana seksualitas. Sedangkan pembagian dan penolakan adalah logika untuk membedakan satu objek dengan objek lain dengan cara membenturkan ketidaksamaan atau perbedaan ciri kedua objek tersebut seperti yang dicontohkan oleh Foucault tentang wacana orang gila sebagai antitesis orang normal. Lalu prinsip oposisi antara yang benar dan salah adalah mempertanyakan kembali tentang kebenaran setelah kebenaran selalu berubah-berubah dan secara historis dikondisikan. Kebenaran telah bergeser dari “..what discourse was or in what it did, but in what it said.” Atau dalam istilah Foucault, kebenaran telah bergeser dari “..the enunciation (énonciation), the ritualized act, to the statement (énoncé), to its meaning and to its reference to the world”.53 Kemudian wacana dapat terbentuk dari seperangkat prosedur yang berada di dalam tubuh wacana itu sendiri. Berbeda dari prinsip-prinsip yang membentuk 52 53
Sheridan, Alan. 1980. Michel Foucault: The Will to Truth. Routledge: London. Hlm: 119 Ibid. 1980. Hlm: 119-121
wacana dari luar, prinsip yang membentuk wacana dari dalam “..operate from within discourse itself, classifying, ordering, distributing” dan membentuk dimensi berbeda dari wacana yaitu : “discourse as irruption, (discourse) as unpredictable event”54. Prinsip yang pertama adalah commentary atau ekplanasi dalam teks tertulis. Teks, entah dari sumber primer seperti eksplanasi agama, hukum atau sains maupun sumber sekunder seperti teks media massa, membangun wacana dan memuat wacana. Tentu yang dimaksud bukan soal wacana yang tersembunyi dalam kata per kata, melainkan soal terbukanya kemungkinan pelipatgandaan wacana dan tersebarnya wacana. Teks yang memuat wacana membolehkan terulang dan tersebarnya wacana sekalipun sangat berbeda dari teks itu sendiri; tetapi secara paradoks prinsip ini, melalui teks wacana yang dibuat, membuat wacana tetap berada dalam koridor teks itu sendiri; teks berfungsi sebagai referensi wacana. Wacana yang baru bukan terletak pada apa yang dikatakan teks, tetapi pada event (apa) ketika wacana tersebut kembali diulang. Prinsip kedua yang bekerja dari dalam wacana adalah principle of rarefaction. Prinsip ini mengharuskan untuk melihat wacana dari ide, gagasan atau maksud dari „author‟ yang menciptakan wacana. Prinsip ini membuat wacana memiliki „identitas‟. Artinya wacana yang dibuat sangat berkaitan dengan kepentingan si „author‟; wacana yang dibangun sangat tergantung kepada pencipta
54
Ibid. 1980. Hlm: 122
wacana. Prinsip inilah yang kemudian membuat wacana tidak akan pernah persis sama dari waktu ke waktu.55 Prinsip ketiga yang bekerja dalam wacana adalah disiplin. Disiplin adalah prinsip kontrol dalam produksi wacana. Disiplin sangat berbeda dari dua prinsip sebelumnya. Disiplin memiliki bentuk, memiliki anatomi, bahkan dalam disiplinlah kekuasaan dapat memiliki wujud56. Disiplin meliputi seperangkat proposisi yang dianggap benar, seperangkat aturan dan definisi, serta berbagai teknik dan instrumen. Dalam disiplin tidak ada makna tersembunyi maupun tidak ada identitas. Setiap disiplin terbuat dari kekeliruan yang tidak hanya mendorong keluar tubuh-tubuh asing dari waktu tetapi juga memainkan peran aktif dan penting dalam sejarah. Disiplin harus mengenai objek yang spesifik yang berubah dari satu periode ke periode berikutnya.57 Disiplin memiliki „bentuk‟ karena disiplin bersinggungan, menyasar pada sesuatu yang memiliki wujud fisik pula: tubuh. Dalam disiplin, tubuh bukanlah properti melainkan adalah strategi yang memiliki efek dominasi dengan tujuan untuk “..dispositions, manoeuvres, tactics, techniques, functioning”58. Tubuh yang dikenai disiplin adalah productive body and subjected body. Subjek disiplin adalah subjek yang berada dalam kekuasaan wacana. Teknik disiplin yang mengenai tubuh atau subjek yang berada dalam kekuasaan wacana berbeda-beda dan bermacam-macam. Hal ini dikarenakan kekuasaan yang variatif dan juga berkembang. Foucault juga secara gamblang 55
Ibid.1980. Hlm: 123 Foucault, Michel. 1998. Discipline and Punish: The Birth of The Prison. Vintage Books: New York. Hlm: 215 57 Sheridan, Alan.1980. Hlm: 124 58 Foucault, Michel. 1998. Hlm: 26 56
tidak menyebutkan tipologi atau macam dari disiplin. Foucault hanya mengatakan bahwa teknik disiplin terdiri dari dua yaitu teknik disiplin yang menggunakan fungsi negatif yaitu sangat koersif, sarat akan benturan, kontak langsung pada tubuh dan mekanisme disiplin yang memaksimalkan pelaksanaan kekuasaan dengan desain koersif yang subtil, sama sekali tidak perlu kontak langsung pada tubuh yang disebut Foucault sebagai mekanisme panoptik. Dalam pelaksanaannya kedua teknik disiplin ini berjalan beriringan untuk saling mengukuhkan, mereproduksi, mempertahankan kekuasaan. Foucault mengatakan bahwa tubuh merupakan tempat dominasi berbagai jenis kekuasaan; tubuh merupakan tempat bagi relasi kekuasaan. Salah satu konsep terbesar Foucault adalah penjara panoptik yang cukup merepresentasikan adanya sebuah bentuk penyebaran kekuasaan di mana kekuasaan dapat mempengaruhi seseorang tanpa adanya sebuah sistem kekuasaan dari atas ke bawah. Penjara panoptik membuat seseorang selalu terus merasa diawasi tanpa peduli dengan ada atau tidaknya pengawasan yang nyata dari menara pengawas, sehingga pengendalian dilakukan oleh individu yang merasa diawasi, pengendalian tidak lagi bersifat top down atau dari pihak penguasa kepada pihak yang dikuasai. Kekuasaan pada hakikatnya telah menyebar ke dalam diri setiap manusia. Oleh karena itu, Foucault memandang bahwa manusia merupakan hasil pengaruh dari kekuasaan. Baginya manusia tidak dapat lepas dari „pengawasan-pengawasan‟ baik secara langsung atau pun tidak dan baik disadari atau tidak, sehingga pada dasarnya manusia itu „dipenjara‟. “Foucault mengatakan kekuasaan bukanlah kepemilikan ataupun kemampuan. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang tunduk pada atau
melayani kepentingan ekonomi (seperti yang diutarakan oleh Karl Marx)59. Foucault menekankan bahwa pola hubungan kekuasaan tidak berasal dari penguasa atau negara; kekuasaan tidak dapat dikonseptualisasikan sebagai milik individu atau kelas. Kekuasaan bukanlah komoditas yang dapat diperoleh atau diraih. Kekuasaan bersifat jaringan; menyebar luas kemana-mana” Foucault tidak mempertanyakan siapa yang memiliki kekuasaan atau pun apa tujuan atau maksud dari pemegang kekuasaan tersebut karena menurutnya kekuasaan bukan berasal dari dalam struktur atau institusi pada posisi utama atau puncak, bukan pula diciptakan oleh individu atau kelas yang berusaha menjalankan dominasi. Kekuasaan baginya telah tersebar sejak kekuasaan tersebut menunjukkan manfaat politis bagi pihak yang ingin mendominasi. Baginya kekuasaan bukanlah milik melainkan strategi dan oleh karena itu, sebaliknya yang difokuskan Foucault adalah analisis kekuasaan yang dipusatkan pada poin penerapan kekuasaan, “bagaimanakah proses yang membentuk subyek/individu sebagai hasil pengaruh dari kekuasaan”. “.....Strategi kuasa itu berlangsung di mana-mana. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, di situ pun kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar, tetapi menentukan susunan aturan-aturan dan hubungan-hubungan itu dari dalam.....”.60 Selanjutnya, Foucault juga memusatkan perhatian pada hubungan kekuasaan dengan ilmu pengetahuan. Selama ini terdapat fakta bahwa pelaksanaan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan obyek
59
Karl Marx menganggap bahwa kekuasaan bisa dicapai melalui kepemilikan ekonomi, dalam arti pihak atau kelas yang dapat menguasai aset-aset produksi atau akumulasi modal-lah yang bisa berkuasa (Sarup, Madan. 2008. Postrukturalisme dan Postmodernisme.Yogyakarta: Jalasutra.. Hlm:112). 60 Bertens, K. 2006. Filsafat Barat Kontemporer – jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama..hlm: 354-355
pengetahuan yang baru. Sebaliknya, pengetahuan menciptakan pengaruhpengaruh kekuasaan. Tanpa pengetahuan, kekuasaan tidak mungkin dijalankan, pengetahuan tidak mungkin tidak melahirkan kekuasaan.61 Foucault mendisiplinkan
mengkritik
cara
anggota-anggota
masyarakat dengan
modern
mengontrol
mendukung klaim
dan
dan
praktik
pengetahuan ilmu manusia. Ilmu manusia telah menetapkan norma-norma tertentu dan norma tersebut direproduksi serta dilegitimasi secara terus-menerus melalui praktik para aparatus62 dan norma/aturan yang telah direproduksi dan dilegitimasi kemudian dirasionalisasikan menjadi sebuah kebenaran63 secara terus-menerus. Pengetahuan yang telah melahirkan kekuasaan ini tersebar luas dalam bentuk bahasa, wacana, atau representasi ke setiap aspek kehidupan sosial, budaya, dan politik serta melibatkan semua bentuk posisi individu yang sering kontradiktif, dan menjaga kesepakatan dalam masyarakat bukan dengan ancaman sanksi hukuman melainkan dengan membujuk manusia untuk menginternalisasi normanorma dan nilai-nilai yang berlaku dalam tatanan sosial.64 Oleh karena itu, strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi melainkan melalui normalisasi dan regulasi. Normalisasi dan regulasi ini bekerja pada suatu taraf kehidupan manusia serta masyarakat dan berfungsi bagaikan semacam alat penyaring atau mesin sortir. Salah satu bidang normalisasi
61
Sarup.2008. hlm:113 Yang dimaksud aparatus dalam tulisan ini adalah seluruh pelaku yang menjaga dan melestarikan ilmu pengetahuan manusia. 63 Terdapat beberapa strategi kuasa menyangkut kebenaran: beberapa diskursus diterima & diedarkan sebagai benar. Ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara benar & tidak benar. Ada macam-macam aturan & prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran. (Bertens. 2006. .hlm: 355) 64 Sarup.2008.hlm:113 62
adalah tubuh, strategi kuasa memberdayakan tubuh di mana manusia akan mendisiplinkan tubuhnya sebagai efek penerapan kekuasaan. Untuk dapat mewujudkan normalisasi perlu dikembangkan suatu sistem kontrol yang amat kompleks, malah kontrol yang dilakukan untuk semua orang dari semua orang. Biasanya sistem kontrol ini mendapat bentuk hierarki (ada yang di atas dan ada yang di bawah). Dari pemaparan ini, dapat dilihat sebuah pandangan yang melihat bahwa kuasa itu tidak bersifat destruktif melainkan bersifat produktif. Kuasa itu menghasilkan sesuatu dalam masyarakat, kuasa memungkinkan segala sesuatu dalam masyarakat. Budaya Jawa yang terjadi di dalam masyarakat adalah salah satu perwujudan atau bukti dari adanya strategi kuasa yang bersifat produktif dan tidak bekerja secara represif. Kuasa dalam hal ini adalah pengetahuan mengenai budaya Jawa yang beredar di dalam masyarakat. Pengetahuan ini beredar melalui serangkaian relasi kuasa yang terjalin satu sama lain di dalam masyarakat sehingga menjadikan pengetahuan tersebut senantiasa ada. Ketika terdapat individu yang mengidentifikasikan dirinya melalui serangkaian pendisiplinan tubuh sesuai dengan pengetahuan budaya Jawa yang beredar di dalam masyarakat, maka disinilah letak kuasa memainkan strateginya kembali. Kuasa yang diterima kemudian direproduksi melalui serangkaian normalisasi dan pembentukan aturanaturan yang merepresentasikan pengetahuan tersebut.
1.9. Alur Pemikiran Inti dari teori kekuasaan Foucaut adalah kekuasaan tidak dilihat sebagai suatu bentuk kekuasaan besar/makroskopis yang disentralisasikan dalam struktur dan institusi apapun seperti yang diutarakan oleh Karl Marx. Kekuasaan cenderung dilihat secara mikroskopis yaitu kekuasaan yang ada di mana-mana tersebar dalam rangkaian alat dan metode-metode, dalam seluruh lapisan masyarakat dan muncul dalam bentuk mikro di mana pun termasuk dalam diri manusia. Oleh karena kekuasaan yang menyebar tadi maka kekuasaan bukanlah dimiliki atau muncul dari sebuah struktur teratas atau dari pihak atau kelas yang berusaha menjalankan dominasi. Seperti yang dikatakan oleh Foucault, kekuasaan tersebar sejak menunjukkan manfaat politis bagi pihak yang ingin mendominasi sehingga dalam permasalahan ini kekuasaan hanya bisa dimanfaatkan bagi pihak yang dapat memanfaatkan dan mendapatkan keuntungan dari kekuasaan yang tersebar tadi. Dan oleh karena itu, kekuasaan merupakan strategi yang senantiasa dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana terdapat banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Dalam proses strategi kuasa, manusia merupakan subyek sekaligus obyek kekuasaan. Subyek kekuasaan bilamana manusia mengeksplorasi dirinya sendiri untuk kepentingan pengetahuan, sedangkan obyek kekuasaan adalah bilamana manusia telah dikuasai oleh kekuasaan yang berwujud pengetahuan kemudian manusia menjalankan kekuasaan itu dengan cara melestarikan pengetahuan dan membentuk aturan serta struktur untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan. Manusia tidak pernah tidak bisa untuk tidak dikuasai oleh kekuasaan,
ketika manusia tidak dipengaruhi oleh suatu pengetahuan maka dia telah dipengaruhi oleh pengetahuan lainnya dalam arti ketika seseorang tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan maka disaat itu juga dia dipengaruhi oleh kekuasaan lainnya. Oleh karena itu tidak ada kekuasaan tunggal, yang ada adalah banyak kekuasaan yang menyebar ke dalam setiap kehidupan dan jiwa manusia. Pengetahuan mengenai nilai-nilai budaya Jawa adalah salah satu dari sekian banyak pengetahuan/kuasa yang ada dalam masyarakat. Ketika seseorang telah dipengaruhi oleh budaya Jawa, maka berarti dia telah memilih pengetahuan tersebut untuk diobyektifikasikan dalam dirinya. Agar pengetahuan tersebut senantiasa ada, maka orang jawa perlu untuk menetapkan aturan-aturan yang merepresentasikan pengetahuan tersebut (meskipun tidak tertulis). Norma dan aturan tersebut kemudian secara terus-menerus direproduksi (dalam arti norma dan aturan tersebut dipelihara, dipertahankan, diperlihatkan, disebarkan dan diperkokoh) serta dilegitimasikan menjadi kebenaran yang dirasionalisasikan secara terus-menerus dan tersebar luas dalam bentuk bahasa, praktik atau representasi oleh masyarakat Jawa. Terdapat suatu proses normalisasi dan regulasi dalam proses reproduksi aturan dan norma tersebut, sehingga pengetahuan tidak direproduksi melalui jalan represif atau tekanan. Proses normalisasi aturan tersebut
menyebabkan
orang
jawa
menginternalisasikannya
kemudian
mencerminkannya dalam pola pikir dan sikap dalam kehidupan sehari-hari. Legitimasi pengetahuan tersebut dilakukan melalui serangkaian institusi dan lembaga seperti sekolah, departemen kebudayaan, perindustrian, dan lain-lain. Dalam kaitan antara kuasa Jawa dengan praktik perburuhan dalam industri batik,
berikut penulis menggambarkannya dalam sebuah bagan pada halaman setelah ini: STRATEGI KUASA
Masyarakat
memunculkan
Pengetahuan mengenai Budaya Jawa
memproduksi
Kuasa Jawa
Norma&aturan hubungan kerja dalam industri batik
Rezim/Keraton
Industri Batik
Reproduksi
Legitimasi Normalisasi & Regulasi
Wacana tentang buruh batik
Rasionalisasi
Diinternalisasi
Gambar 1. Alur pemikiran Penelitian Berangkat dari uraian di atas, peneliti sebenarnya ingin menjelaskan bahwa mekanisme kekuasaan dapat dilihat melalui hubungan timbal balik antara pengetahuan dan kekuasaan. Pertama, pola hubungan ini dapat dilihat dalam proses pengetahuan yang menghasilkan kekuasaan dalam arti melalui serangkaian
proses normalisasi dan regulasi tersebut sebenarnya pengetahuan tentang nilainilai budaya Jawa telah mempengaruhi praktik perburuhan dalam industri batik di Yogyakarta melalui norma dan aturan yang ada di dalam pola hubungan kerja industri batik. Pola hubungan yang kedua adalah kekuasaan yang menghasilkan pengetahuan, hal ini dapat dilihat dari proses strategi kuasa Jawa dalam membentuk dan menghasilkan wacana mengenai buruh batik. Jika dikaitkan dengan penelitian ini maka hal yang ingin diketahui adalah bagaimana wacana buruh diproduksi dan direproduksi di Jawa. Hal ini berarti peneliti berusaha melihat bagaimana budaya Jawa memandang dan memposisikan buruh dalam struktur masyarakat Jawa terutama posisi buruh dalam pola hubungan kerja di industri batik. Proses strategi kuasa ini berjalan melalui serangkaian relasi kuasa antara otoritas ahli yakni rezim keraton sebagai pusat pelestari budaya Jawa dengan para pelaku industri batik. Hasil dari proses strategi kuasa Jawa dalam membentuk wacana mengenai buruh batik dapat dilihat melalui internalisasi dan reproduksi nilai-nilai budaya Jawa oleh buruh batik ketika mereka bekerja dan berinteraksi dalam lingkungan kerja. Berdasarkan alur pemikiran ini, penelitian ini difokuskan kepada bagaimana genealogi wacana buruh batik dalam kuasa Jawa sehingga mempengaruhi buruh dalam meregulasi dirinya sendiri melalui reproduksi nilai-nilai budaya Jawa.
1.10. Metode Penelitian 1.10.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang menekankan pada usaha untuk mencari keunikan masing-masing individu sebagai produser of reality. Pendekatan ini berusaha menangkap kenyataan sosial secara keseluruhan, utuh dan tuntas sebagai satu kesatuan kenyataan. Obyek penelitian dilihat sebagai sesuatu yang dinamis, memiliki pikiran dan perasaan65. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut agar dapat lebih mudah dilakukan penyesuaian-penyesuaian apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, pendekatan ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan, sehingga memberi peluang pada peneliti untuk mengungkap kesejatian makna dari keterangan yang diberikan oleh informan; ketiga, pendekatan ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola yang dihadapi66. Selain itu, karakteristik pokok penelitian kualitatif memprioritaskan makna, proses penelitian lebih berbentuk siklus dan proses, pengumpulan data berlangsung secara simultan dan lebih mementingkan kedalaman dari pada keluasan cakupan penelitian. Data yang diperoleh melalui penelitian kualitatif juga tidak selalu berupa angka-angka atau data-data yang bisa diangkakan, tetapi lebih banyak berupa deskripsi,ungkapan atau makna-makna tertentu yang harus diungkap oleh peneliti.
65 66
Moleong, Lexy J. 1999. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Ibid.1999. hlm: 6
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu meneliti dan menemukan seluas-luasnya obyek penelitian pada suatu masa atau saat tertentu. Kata ini berasal dari kata descriptivus yang artinya bersifat uraian, uraian disini berarti lukisan atau penggambaran tentang keadaan obyek pada suatu waktu tertentu67. Berkaitan dengan jenis penelitian ini yaitu kualitatif maka deskripsi yang dihasilkan harus sangat rinci (thick description) untuk memperoleh suatu penggambaran yang lengkap dan menyeluruh mengenai obyek yang diteliti. Dalam penelitian ini, akan dijabarkan kondisi konkret dari obyek penelitian, menghubungkan satu variabel atau kondisi dengan variabel atau kondisi lainnya dan selanjutnya akan dihasilkan deskripsi tentang obyek penelitian. Terdapat beberapa bentuk metode yang dapat digunakan dalam pendekatan kualitatif, dan karena penelitian ini berfokus pada penerapan kekuasaan (pengetahuan) dalam relasi kerja antara majikan dan buruh maka metode yang digunakan adalah genealogi. Menurut Foucault, genealogi merupakan metode riset yang berorientasi mencatat singularitas di dalam realitas sosial tanpa harus menjadi totalitas. Genealogi adalah analisis hubungan historis antara kekuasaan dan diskursus, meskipun kritisisme diarahkan pada proses yang terdapat pada kontrol diskursus68. Sehingga yang menjadi pusat perhatian genealogi adalah hubungan timbal balik antara sistem kebenaran dan mekanisme kuasa (mekanisme yang di dalamnya suatu „rezim politis‟ memproduksi kebenaran).69
67
Ndraha, Taliziduhu. 1981. Research, Teori, Metodologi, Administrasi. Jakarta: PT. Bina Aksara. Hlm: 125. 68 Ritzer, George. 2006. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.hlm:80 69 Tantarto, Dhini Dewiyanti. Disiplin Tubuh Foucault, Suatu Pendekatan Genealogi Untuk Menghadirkan Konsep Ruang Kekuasaan. http://jurnal.unikom.ac.id/ed9/11-Dhini.pdf diunduh pada tanggal 16 Januari 2014.
Genealogi adalah pendekatan yang menggunakan sejarah sebagai data primer. Walaupun menggunakan sejarah sebagai data primer, penulisan dan maksud digunakan genealogi sangat berbeda dengan sejarah. Menurut Foucault70 sejarah meletakkan asal-usul pada tempat yang tidak begitu dimengerti, menunjukkan letak kebenaran pada wacana tentang kebenaran, membuat artikulasi wacana tidak begitu jelas dan akhirnya menghilangkan semuanya. Sejarah dengan kejam memutarbalikan relasi hal-hal tersebut dengan penyelidikan yang tidak matang sehingga pada akhirnya sejarah hanya membuat proliferasi kesalahan-kesalahan. Sejarah hanya menuliskan hal-hal yang „wah‟, kejadian-kejadian hebat atau tokoh-tokoh terkenal. Sejarah bahkan ditulis dengan mengekslusikan dan menekankan pada hal-hal tertentu sesuai dengan perspektif dan preferensi sejarawan. Sejarah tidak sensitif dengan hal-hal yang menjijikan atau bahkan sejarah “…especially enjoys those things that should be repugnant”71. Sejarah juga meletakkan sesuatu dalam kontinuitas seakan-akan apa yang terjadi hari ini merupakan hasil linear dari masa lalu. Sejarah melupakan hal-hal remeh. Sebaliknya,
genealogi
merupakan
“…gray,
meticulous,
and
patiently
documentary. It operates on a field of entangled and confused parchments, on documents that have been scratched over and recopied many times”72. Genealogi
70
Foucault, Michel. 1977. Nietzche, Genealogy and History dalam In Language, Counter Memory Practice: Selected Essays and Interviews, diedit oleh D. F. Bouchard. Itacha: Cornel University Press. Hlm: 143 71 Ibid. 1977. Hlm: 157 72 Ibid. 1977. Hlm: 140
melihat sejarah dalam penyebaran, disparitas, perbedaan dan pembagian daripada melihat sejarah sebagai moment asal-usul yang linear dan tunggal.73 Genealogi berusaha menyingkap rahasia bahwa tidak ada esensi atau kesatuan orisinal yang harus ditemukan. Genealogi berusaha menemukan awalawal dari pembentukan diskursus melalui pencarian aksiden-aksiden, kesempatankesempatan, kejutan-kejutan serta kebetulan-kebetulan yang memunculkan dan menjadikan sebuah pengetahuan dapat senantiasa ada dalam masyarakat. Genealogi berusaha menguraikan pergeseran dan perluasan diskursus dengan bantuan kejadian-kejadian yang tidak terbilang banyaknya dan dengan bantuan satu-satunya hipotesis bahwa satu-satunya yang benar adalah kuasa yang selalu muncul dalam topeng yang baru melalui perubahan proses-proses penundaan yang anonim. Foucault mengatakan bahwa awal-awal historis yang ingin dicari dalam genealogi itu bersifat rendahan dalam arti awal-awal historis itu bersifat remehtemeh.74 Genealogi yang bekerja secara historis akan membantu menganalisis berdasarkan konsep diskontinuitas, bahwa tidak ada yang universal, tidak ada yang konstan untuk sebuah pengertian. Kemudian genealogi akan fokus pada even, yaitu pada karakteristik dan manifestasi even yang bukan merupakan produk takdir, bukan mekanisme regulasi dan juga bukan niatan dari subjek. Tetapi even merupakan “effect of haphazard conflicts, chance, and error, of relations of power and their unintended consequences”75. Lalu objek analisis
73
Smart, Barry. 2002. Michel Foucault (Key Sociologist). New York: Routledge. Hlm: 47 Foucault, Michel.1997. Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern-penyunting:Petrus Sunu Hardiyanta. Yogyakarta:LkiS.hlm:14-15 75 Foucault, Michel. 1977. Hlm: 154 74
genealogi bukan, seperti dalam sejarah tradisional, “the noblest periods, the highest forms, the most abstract ideas, the purest individualities, but neglected, ‗lower‘ or more common forms of existence and knowledge”.76 Melalui metode genealogisnya, Foucault membuat beberapa aturan umum untuk studi tentang kuasa. Aturan-aturan tersebut antara lain adalah tidak mempelajari kuasa hanya sebagai bentuk represi atau larangan melainkan juga melihat efek-efek positifnya, kedua adalah analisa kekuasaan dan tekniktekniknya harus dilakukan dalam kerangka kekhususan mereka sendiri dan jangan direduksi sebagai suatu konsekuensi dari adanya hukum dan struktur sosial. Aturan yang kedua ini mendorong Foucault untuk menuliskan suatu mikro-fisika dari kuasa, artinya kekuasaan tidak dilihat sebagai dominasi homogen dari kelompok atau kelas yang satu terhadap yang lain, melainkan sebagai organisasi yang saling berhubungan seperti jaringan.77 Satu hal yang menjadi tema sentral kekuasaan adalah tubuh. Tubuh bagi para genealogis menjadi penting karena di sana terdapat nilai kultural yang memiliki khasanah kekuasaan78. Oleh karena itu, genealogi memfokuskan diri kepada pengamatan mengenai strategi kuasa yang menormalisasikan dan memberdayakan tubuh melalui produksi dan kontrol ilmu pengetahuan di dalam ruang sosial. Artinya genealogi berusaha melihat bagaimana kemunculan pengetahuan atas tubuh seseorang ternyata tidak dapat lepas dari berbagai bentuk kuasa pengetahuan yang tersebar, saling berhubungan dan terkadang berbentuk 76
Smart, Barry. 2002. Hlm: 52-53 Foucault, Michel.1997. Hlm:15-16 78 Rabinow& Dreyfus, dalam Raditya, Ardhie. 2008. Kekuasaan Bhejing Madura. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada .hlm: 29 77
oposisi biner di mana pengetahuan yang satu dilawankan dengan pengetahuan yang lain. Terdapat dua tugas genealogis, pertama adalah tugas kritik yang berkaitan dengan “bentuk-bentuk pengecualian”, imitasi dan penyelewengan, bagaimana semua itu terbentuk dalam menjawab kebutuhan, bagaimana hal tersebut dimodifikasi dan diganti, membatasi secara efektif yang digunakan, seluas apa semua itu diterapkan. Dan tugas kedua adalah untuk memeriksa “bagaimana rangkaian diskursus dibentuk, meskipun melalui atau dengan tujuan pembatasan sistem ini: apa yang menjadi norma tertentu masing-masing, dan bagaimana sebuah kondisi muncul dan tumbuh dengan variasinya”.79 Metode genealogi digunakan sebagai teknik dalam melihat bagaimana mekanisme kekuasaan atau strategi kuasa dalam praktik perburuhan batik di Jawa melalui reproduksi pengetahuan yang dinormalisasi dan diregulasikan dalam diri tiap individu buruh. Hal ini berarti peneliti mencari aksiden-aksiden atau kebetulan-kebetulan yang membuat pengetahuan tersebut senantiasa dilestarikan di dalam lingkungan kerja. Sebagaimana Foucault dalam memaknai kekuasaan, dalam penelitian ini pengetahuan dilihat sebagai sebuah bentuk kekuasaan yang ada dalam praktik perburuhan buruh batik dan dari hal tersebutlah kekuasaan memperlihatkan manfaatnya bagi mereka. Metode genealogi juga digunakan untuk menelusuri perkembangan wacana perburuhan batik dari masa ke masa dan membantu melacak diskursus pada masing-masing periode, episteme yang muncul dan dilestarikan oleh para pelaku industri batik.
79
Foucault, dalam George Ritzer.2006.hlm:80
Hubungan antara keraton, pengusaha/majikan dan buruh tidak dilihat dalam bentuk hubungan antara penguasa dan yang dikuasai melainkan sebagai sebuah relasi kuasa dalam suatu ruang lingkup sosial sesuai dengan pandangan Foucault bahwa setiap orang pun bisa terlibat di dalam proses kekuasaan selama mereka itu merupakan bagian dari pihak yang merdeka dan mampu memainkan strategi kekuasaannya masing-masing80. Hal ini berarti, masing-masing pihak dilihat sebagai subyek yang menjalankan dan mereproduksi kekuasaan yang bekerja di dalam praktik perburuhan batik tanpa adanya represi.
1.10.2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian merupakan tempat di mana peneliti melakukan kegiatan penelitian guna memperoleh data-data yang diperlukan sebagai bahan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan riset yang telah ditetapkan81. Lokasi penelitian ini bertempat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebagai penggambaran Jawa, Yogyakarta dianggap sangat relevan untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian mengenai relasi kuasa Jawa dalam industri perbatikan. Yogyakarta yang merupakan daerah swapraja (kesultanan) yang tetap mempertahankan banyak tatanan feodal lama yaitu sejak datangnya penjajah Belanda membuat Yogyakarta memiliki subkultur yang berbeda dengan masyarakat Jawa lainnya.
80
Latif, Yudi. 2005. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke 20. Yogyakarta: Mizan. Hlm:39-42 81 Bungin,Burhan.2001. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta:Rajawali Press
Kata sifat „Jawa‟ (Javanese) dan „Yogya‟ (Jogjanese) seringkali digunakan seolaholah dapat saling menggantikan.82 Dalam kaitannya dengan dunia perbatikan, Yogyakarta adalah lokasi dimana Mataram kuno sebagai kerajaan cikal-bakal berkembangnya industri batik berada. Selain itu, perjanjian Giyanti tahun 1755 yang melahirkan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta menerangkan bahwa segala macam tata adibusana, termasuk di dalamnya adalah batik, diserahkan sepenuhnya oleh Keraton Surakarta kepada Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu, penulis kemudian mengambil Yogyakarta sebagai tempat yang cukup relevan untuk meneliti relasi kuasa Jawa dalam kaitannya dengan perkembangan industri batik terutama dalam hal sistem perburuhan batik. Dalam pelaksanaannya, peneliti membagi situs penelitian berdasarkan wilayah administrasi yang ada di DIY yaitu kota Yogyakarta dan 4 kabupaten di DIY yang terdiri dari Bantul, Gunung Kidul, Kulonprogo dan Sleman. Alasan peneliti mengambil empat wilayah ini sebagai lokasi penelitian adalah karena peneliti ingin melihat bagaimana pola praktik perburuhan batik berkembang di masing-masing wilayah serta ingin mengetahui adakah perbedaan yang signifikan antara pola praktik perburuhan batik antara wilayah kota dan kabupaten. Peneliti mengasumsikan wilayah kota Yogya sebagai daerah yang dekat dengan keraton dengan sebaran masyarakat priyayi, sedangkan wilayah kabupaten adalah wilayah pedesaan yang identik dengan sebaran masyarakat wong cilik. 82
Bagian-bagian Pulau Jawa lainnya telah diperintah oleh kekuasaan asing tanpa perantaraan pemuka-pemuka tradisional pribumi yang menyerupai raja. Yogyakarta adalah satu-satunya wilayah di Indonesia yang kepala daerahnya secara turun-temurun diperintah oleh Sultan. (Soemardjan, Selo. 2009. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Hlm: xxvi)
1.10.3. Teknik Penentuan Informan Dalam penelitian ini, penulis haruslah menentukan informan kunci (key informan) yakni orang yang mengetahui tentang topik penelitian ini dan dia kemudian menjadi kunci pembuka proses perolehan data pada tahap berikutnya83. Informan kunci ditentukan dengan cara purposive, yaitu informan dipilih berdasakan pertimbangan-pertimbangan tertentu dengan sifat-sifat yang bisa diketahui sebelumnya yang sesuai dengan tujuan peneliti.84 Informan yang akan ditemui merupakan informan yang mempunyai potensi dalam memberikan informasi mengenai tema penelitian ini dengan syarat yaitu keterlibatan langsung seorang informan dalam masalah penelitian karena dengan keterlibatan langsung seorang informan tentu saja dapat menjamin keakuratan informasi. Sehingga dalam hal ini informan utama yang peneliti ambil adalah orang-orang yang terlibat langsung dalam industri batik dari wilayah kota Yogya dan kabupaten baik itu pengusaha/ pemilik pabrik batik, buruh batik dari berbagai divisi (nyorek, mbatik, ngecap, nyolet, nembok, celup dan nglorot), perwakilan kelompok batik dan pembatik independen. Adapun informan tambahan dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang mengetahui seputar budaya Jawa dan industri batik seperti Dinas Perindustrian, Balai Besar Kerajinan dan Batik, Tembi Rumah Budaya Jawa, Museum Batik dan Galeri studio batik Brahma Tirta Sari.
83
Suyanto,Bagong; dan Sutinah (ed).2007. Metode Penelitian Sosial-Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm:72 84 Wisadirana,Darsono.2005. Metode Penelitian dan Pedoman Penulisan Skripsi Untuk Ilmu Sosial. Malang: UMM Press.hlm:89
Dalam hal ini, data perusahaan batik maupun kelompok batik peneliti dapatkan melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM DIY yang kemudian perusahaan-perusahaan tersebut peneliti pilah berdasarkan daerah untuk menjadi perwakilan dari masing-masing wilayah baik di kota maupun kabupaten. Selanjutnya ketika turun lapangan, perusahaan-perusahaan maupun kelompok batik yang peneliti jadikan lokasi penelitian ditentukan berdasarkan kesediaan perusahaan batik maupun kelompok batik atau pembatik independen untuk diobservasi dan diwawancara.
1.10.4. Teknik Pengumpulan Data Data penelitian adalah fakta atau keterangan-keterangan yang ingin diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti. Pengumpulan data dalam suatu penelitian dapat diartikan sebagai penelitian lapangan. Penelitian lapangan ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan jalan mengamati secara langsung terhadap gejala-gejala sosial yang diteliti, berusaha memahami gejala yang belum diramalkan sebelumnya dan mengembangkan kesimpulan umum sementara yang mendorong pengamatan lebih lanjut. Setelah melewati berbagai proses sesuai dengan prosedur penelitian yang dilakukan secara mendalam, maka akan ditemukan fakta-fakta yang dapat digunakan sebagai bahan analisis. Dari data yang terkumpul, akan ditemukan konsep-konsep pokok berupa hasil penelitian untuk selanjutnya akan dibahas sebagai temuan penelitian. Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang berasal dari sumber data utama yaitu
diperoleh langsung dari informan yang akan diteliti, yang berwujud tindakantindakan serta situasi tertentu dan data sekunder adalah data yang diperoleh dari lembaga atau hal-hal yang dapat mendukung data primer85. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari informan kunci, informan utama dan pendukung. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari kajian pustaka, surat kabar, internet yang membahas dan juga berkaitan dengan industri kerajinan batik. Selain itu, penelusuran dokumen dan teks-teks tertulis juga dilakukan untuk mengumpulkan dan menyusun narasi sejarah tentang perburuhan batik di Jawa khususnya di Yogyakarta sejak jaman kerajaan Mataram kuno hingga periode pasca reformasi. Dalam pengumpulan data primer, dilakukan observasi terhadap situasi dan wawancara terhadap subyek penelitian sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Proses observasi dan wawancara mendalam bersifat sangat utama dalam pengumpulan data. Dari kegiatan observasi diharapkan mampu menggali praktik sosial, kebiasaan dan ungkapan sehari-hari dikalangan buruh dan majikan. Observasi ini juga digunakan untuk mengecek kesesuaian informasi yang didapat di dalam metode wawancara. Artinya, penulis tidak percaya begitu saja dengan yang dikatakan oleh informan, namun perlu dicek melalui suatu teknik pengumpulan data secara observasi. Teknik observasi ini bukanlah sebagai landasan untuk memutlakkan realitas yang ada, namun sebagai representasi atas realitas yang diteliti secara lokalitas.
85
Suyanto,Bagong; dan Sutinah (ed).2007
Pada langkah selanjutnya, observasi lebih ditekankan pada pemahaman lebih lanjut untuk menemukan makna dibalik apa yang terjadi dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview). Wawancara mendalam ini bersifat terbuka, cara seperti ini memungkinkan peneliti untuk memberikan kesempatan yang luas bagi informan untuk mengungkapkan pandangan-pandangannya menurut perspektif yang mereka yakini. Wawancara dimulai dari informan pendukung/tambahan
kemudian
berkembang
kepada
informan
utama.
Pelaksanaan wawancara ini tidak hanya dilakukan sekali, melainkan berulangulang secara intensif hingga mencapai redundancy atau tidak adanya data yang baru86 dengan latar tempat dan waktu yang berbeda-beda berdasarkan accesibility. Dalam proses wawancara nantinya diharapkan terjadi diskusi, obrolan spontan dengan subjek penelitian sehingga situasi wawancara dapat hidup dan menghasilkan pengetahuan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan jenis wawancara tidak terstruktur untuk memberikan peluang kepada peneliti dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian. Wawancara tidak terstruktur ini bukan merupakan wawancara yang isinya berusaha keluar dari konteks penelitian tersebut. Wawancara ini tetap menggunakan pedoman wawancara (guide interview) akan tetapi peneliti berusaha untuk tidak terikat dengan pedoman yang ada. Namun meskipun demikian, peneliti berusaha untuk tetap fokus terhadap pertanyaan yang diajukan, sehingga pertanyaan yang diajukan tersebut tidak sampai keluar dari konteks penelitan.
86
Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta:Rajawali Press. Hlm:62
Di dalam jenis wawancara tidak terstruktur ini, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selain berasal dari pedoman wawancara yang sudah dibuat sebelum wawancara dilakukan dan juga pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul ketika wawancara dilakukan. Pertanyaan dalam guide interview bersifat fleksibel dan dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan peneliti. Pembauran peneliti dengan subyek penelitian sangat perlu dilakukan sehingga dalam proses wawancara tidak bersifat formal dan kaku agar para informan tidak merasa diinterogasi. Diharapkan dengan cara seperti ini, peneliti dapat melakukan penggalian data secara mendalam untuk memperoleh gambaran tentang realitas sosial, terutama dalam perspektif buruh dan majikan agar terhindar dari bias-bias hasil penelitian, kesimpulan, serta saran yang diberikan akan sesuai dengan kondisi dalam kehidupan sosial. Pencatatan data wawancara dengan para informan dilakukan dengan menggunakan alat bantu seperti recorder (smartphone) dan pencatatan dari ingatan. Setelah dilakukan wawancara, kemudian hasilnya diubah dalam bentuk catatan. Catatan dalam konteks ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu catatan deskriptif dan catatan reflektif. Catatan deskriptif lebih menyajikan secara rinci tiap kejadian dari pada ringkasan dan bukan evaluasi. Mengutip pernyataan orang, bukan meringkas apa yang dikatakan. Sedangkan catatan reflektif lebih mengetengahkan kerangka pikiran, ide dan perhatian dari sang peneliti dan lebih menampilkan komentar peneliti.87
87
Muhajir, Noeng. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.hlm:102
Dalam hal ini peneliti berusaha untuk menjalin hubungan komunikasi yang setara dengan informan, peneliti lebih banyak mendengar dan informan diberi keleluasaan untuk mengungkap dan mengapresiasikan pengalamannya. Setelah itu data hasil wawancara diubah dalam bentuk transkrip untuk keperluan analisa selanjutnya.
1.10.5. Teknik Analisa Data Pengertian analisis data, sebagaimana diungkapkan Masri Singarimbun (1987) yaitu analisis data merupakan proses penyederhanaan data dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Data hasil wawancara dan pengamatan/observasi akan dicatat dan dikumpulkan menjadi cacatan lapangan atau fieldnotes, data tersebut kemudian dibaca, dipelajari, ditelaah, direduksi dan kemudian diklasifikasikan menurut tema-tema yang relevan dan diberi tema umum, kemudian diklasifikasi lagi dalam tema yang lebih spesifik. Hal ini mengacu pada pandangan Muhajir yang mengatakan bahwa ada dua langkah awal sebelum kita masuk pada proses penulisan laporan. Pertama, membuat kategorisasi temuan dan menyusun kodenya. Kategori tersebut tentunya menggunakan pola pikir tertentu. Kedua, menata urutan penelaahannya. Dari data yang sudah ada, selanjutnya disusun ke dalam pola tertentu, fokus tertentu, tema tertentu atau pokok permasalahan tertentu. Kemudian dilakukan pengorganisasian atau pengolahan data.88
88
Ibid.1998.hlm:105
Pada tahap melakukan analisis data, hasil-hasil klasifikasi dalam proses pengkategorian tersebut kemudian dihubungkan dengan referensi atau teori yang berlaku di antara sifat-sifat kategori. Pemaparan kerangka teori yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bukan dimaksudkan sebagai hipotesis yang hendak diuji kebenarannya ketika di lapangan. Namun lebih dimanfaatkan oleh peneliti sebagai bekal pengetahuan agar terarah dalam melakukan penelitian dan penggalian data informasi. Hal ini berarti, kerangka pemikiran digunakan sebagai batasan agar peneliti tetap berjalan pada koridor sesuai dengan fokus penelitian. Selain itu, peneliti juga sedapat mungkin menghindari sikap bias, kecenderungan untuk memihak, baik kepentingan pribadi atau pun memihak informan89 sehingga data yang disajikan nanti akan bersifat obyektif sesuai dengan kondisi yang ada pada lokasi penelitian. Untuk memudahkan peneliti melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian maka dalam penelitian ini data disajikan dalam bentuk uraian yang naratif. Peneliti berusaha untuk menggambarkan dari data yang dikumpulkan dan dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentative, tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus akan dapat ditarik kesimpulan. Langkah ini, berinteraksi sampai diperoleh kesimpulan yang benar-benar mantap. Apabila kesimpulan dirasa kurang memadai, peneliti kembali mengumpulkan data ke lapangan dengan sasaran yang telah terfokus. Dengan demikian, aktivitas analisis merupakan siklus sampai dengan kegiatan penelitian selesai. Prosedur analisis berikutnya akan
89
Moleong, Lexy J. 1999.hlm:246
dapat berkembang setelah melihat kondisi di lapangan lebih cermat dan mendalam.
1.10.6. Keabsahan Data Langkah-langkah yang dilakukan dalam menguji keabsahan data adalah melalui strategi Triangulasi. Langkah pertama dalam teknik triangulasi adalah dengan cara triangulasi pengumpul data yang artinya penulis mengkomparasikan hasil data yang diperoleh dari observasi dengan wawancara. Kemudian dengan cara triangulasi dari berbagai sumber dalam arti mengkomparasikan hasil temuan data dari informan yang satu dengan yang lainnya di tempat dan waktu yang berbeda. Langkah selanjutnya adalah menggunakan triangulasi teoritik dalam arti data yang diperoleh saat di lapangan dan setelah dari lapangan diabstraksikan dengan perspektif teoritik yang relevan.90
90
Suyanto, Bagong; dan Sutinah (ed). 2007. hlm:166