BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Tanaman tembakau merupakan tanaman yang mempunyai potensi di Pulau Madura khususnya pada Kabupaten Pamekasan dan Sumenep. Hal ini dapat dibuktikan dengan luas areal perkebunan yang terluas menempati urutan pertama untuk Kabupaten Pamekasan sebesar 24.465 ha dan Kabupaten Sumenep sebesar 16.798, sedangkan Kabupaten Bangkalan menempati urutan kelimabelas dengan luas area sebesar 30 ha dan Kabupaten Sampang menempati urutan keenam dengan luas area sebesar 5.062 ha dari 38 kota dan kabupaten yang ada di Jawa Timur (Jawa Timur dalam Angka, 2006). Bagi sebagian besar masyarakat Madura menanam tembakau merupakan mata pencaharian yang menjanjikan, bernilai ekonomi tinggi dan ditanam sejak beberapa generasi yang lalu secara turun temurun hingga saat ini. Menyikapi nilai ekonomi tembakau di Madura pemerintah sudah seharusnya melakukan upaya strategis guna meningkatkan produktifitas petani tembakau. Untuk itu, sudah seharusnya pemerintah kabupaten Pamekasan melakukan beberapa terobosan untuk mengtoptimalkan benefisitas tanaman tembakau bagi masyarakat. Langkah strategis yang dilakukan pemerintah adalah merumuskan, menerapkan kebijakan. Kebijakan ini berupa program, regulasi dan pendanaan. Kebijakan program pemerintah adalah memberikan bantuan berupa bibit tembakau dan subsidi pupuk. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi terjadinya monopoli dan permainan harga oleh distributor ketika terjadi krisis pupuk dan bibit tembakau. Selanjutnya pemerintah dengan otoritasnya merumuskan kebijakan regulasi yang ditujukan untuk mengatur tataniaga tembakau untuk melindungi petani dari monopoli tengkulak. Regulasi ini dituangkan dalam Peraturan daerah tentang tataniaga tembakau di kabupaten Pamekasan. Peraturan daerah ini didasari latar belakang bahwa tanaman Tembakau Madura merupakan 1
produk unggulan Daerah yang hasilnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap peningkatan perekonomian daerah. Namun dalam perkembangannya
pelaksanaan penatausahaan Tembakau Madura
masih banyak ditemukan permasalahan yang berdampak pada kerugian petani. pengaturan Tembakau Madura dengan beberapa Peraturan Daerah yang selama ini dilakukan dipandang kurang efektif dalam pelaksanaannya sehingga perlu disempurnakan. Seacra historis, setidaknya pemerintah daerah Pamekasan telah mengeluarkan peraturan daerah nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Tembakau Madura dan peraturan daerah nomor 6 tahun 2002 tentang izin pembelian tembakau dan izin pengusahaan Gudang tembakau. Beberapa tahun kemudian pemerintah daerah Pamekasan melakukan penyempurnaan dengan mengundangkan peraturan daerah nomor 6 tahun 2008 tentang penatausahaan tembakau. Artinya peraturan daerah no 6 tahun 2008 ini merupakan penyempurnaan dari peraturan daerah penatausahaan tembakau diPamekasan sebelumnya yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Tembakau Madura ; dan Peraturan Daerah Kabupaten Pamekasan Nomor 6 Tahun 2002 tentang Izin Pembelian Tembakau dan Izin Pengusahaan Gudang Tembakau Tujuan dari perumusan peraturan daerah ini adalah peningkatan kesejahteraan petani tembakau melalui meningkatnya pendapatan petani dari penjualan hasil panen tembakaunya. Perlindungan petani dari monopoli perdagangantembakau ini dijelaskan dalam penjelasan umum dari peraturan daerah no 6 tahun 2008 ini. Bahwa petani sebagai subyek, pemilik barang dan produsen sudah seharusnya menjadi subyek penentu dalam proses jual beli tembakau. Oleh karena itu dengan peraturan daerah tersebut diharapkan petani akan terlindungi dari eksploitasi grader-grader pabrikan yang selama ini memonopoli proses jualbeli tembakau di Pamekasan. Dengan demikian pendapatan petani akan meningkat dan secara ekonomis akan meningkatkan kesejahteraan petani.
2
Secara garis besar tujuan regulasi baru dalam tataniaga tembakau di Pamekasan ini adalah: pertama proteksi terhadap orisinalitas tembakau Madura dari upaya pencampuran dengan tembakau dari luar Madura. Kedua melindungi petani dari monopoli dan ketidakadilan proses tataniaga tembakau. Ketiga berkaitan dengan izin usaha pembelian tembakau serta retribusinya kepada pendapatan daerah (peraturan daerah no 6 tahun 2008) Realita dilapangan sebelum disahkannya peraturan daerah no 6 tahun 2008, yakni tahun 2001, Thomas Santoso (2001) menemukan ketidak berdayaan petani dan hubungan yang eksploitatif antara petani dengan gudang dalam tataniaga tembakau. Ketidak berdayaan petani tembakau dalam tataniaga tembakau meliputi penentuan harga, penentuan kualitas tembakau dan penentuan berat tembakau. Kondisi ini menimbulkan kerugian bagi petani karena para juragan dapat dengan mudah mempermainkan harga. Dengan peraturan daerah baru tentang tataniaga tembakau diharapkan monopoli harga tidak lagi terjadi pada proses jual beli tembakau. Namun demikian, pasca disahkannya peraturan daerah no 6 tahun 2008 beberapa kajian menemukan realita yang tak ubahnya sama seperti halnya pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu masalah ketidakadilan dan monopoli perdagangantembakau oleh para grader pabrikan. Satriawan (2009) mengidentifikasi masalah petani tembakau di Madura dan menemukan permasalahan penentuan harga jual tembakau. Menurutnya kualitas tembakau dan harganya ditentukan oleh grader yang mewakili gudang (Satriawan, 2009) Temuan lain ditunjukkan oleh handaka bahwa kendala utama petani tembakau adalah masalah penentuan kualitas dan harga tembakau. Seringkali terjadi perbedaan klaim kualitas tembakau antara petani dengan pihak pembeli. Ketidakpastian dan tidak adanya standard ini yang menyebabkan petani menjadi merugi. Oleh karena itu Santoso memaknai Petani sebagai “Penderita Tata Niaga” (Handaka, 2010). Hasan dan Dwidjono (2013), menambahkan permasalahan petani tembakau Madura sebagai permasalahan eksternal dan permasalahan
3
internal. Permasalahan eksternal mencakup gerakan anti tembakau/rokok, peraturan perundangan dan Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), sebagai hukum internasional yang telah diresmikan tahun 2005, maka posisi kelompok anti tembakau menjadi makin kuat. Sedangkan permasalahan internal mencakup sistem tataniaga tembakau itu sendiri Fuad Hasan dan Dwidjono (2013). Permasalahan external lain (diluar sistem tataniaga tembakau) terbukanya peluang manipulasi atau permainan mafia dari kalangan elit. Dalam perspektif ekonomi politik, peran birokrat pengusaha cukup signifikan akan mempengaruhi proses ekonomi hingga kebijakan. Artinya kemudian, bahwa monopoli dalam tataniaga tembakau Madura ini sangat memungkinkan adanya peran-peran tersembunyi oleh pihak yang tidak secara langsung terlibat dalam transaksi tataniaga tembakau. Pamekasan sebagai sentra penyerapan tembakau Madura dari seluruh kabupaten yang ada di Madura, Sekitar 80 % tembakau dari seluruh Madura di serap oleh gudang perwakilan dari
Pamekasan.
Banyaknya
pengusaha
tembakau,
dan
besarnya
omzet
mereka
memungkinkan terjadinya permainan yang dilakukan oleh “invisible actor” yang tidak secara langsung terlibat didalam proses tataniaga tembakau. Gap antara realita dan harapan yang tertuang dalam rasional peraturan daerah Pamekasan no 6 2008 menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis untuk kajian lebih mendalam mengapa hal tersebut bisa terjadi. Serta merumuskan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Kajian dalam penelitian adalah mengapa monopoli masih terjadi dalam proses tataniaga tembakau di kabupaten Pamekasan meskipun petani telah dilindungi oleh peraturan daerah nomor 6 tahun 2008 tentang penata usahaan tembakau.
4
B. Rumusan Masalah Sesuai dengan penjelasan diatas, bahwa proses tataniaga tembakau di Pamekasan merugikan petani dengan adanya monopoli dan permainan harga serta kualitas tembakau oleh para grader dari gudang. Menyikapi hal tersebut pemerintah daerah Pamekasan berusaha melindungi petani dari kerugian yang terus menerus dengan mengesahkan peraturan daerah no 6 tahun 2008 tentang tataniaga tembakau. Ralitanya dalam beberapa kajian sesudah pengesahan peraturan daerah tersebut ditemukan beberapa permasalahan klasik dalam tataniaga tembakau. permasalahan dalam penelitian adalah: 1. Bagaimana efektifitas peraturan daerah nomor 6 tahun 2008 kabupaten Pamekasan dalam menciptakan perlindungan terhadap petani tembakau dari monopoli perdagangan tembakau? 2. Mengapa monopoli tataniaga tembakau masih terjadi dikalangan petani tembakau kebupaten Pamekasan pasca implementasi peraturan daerah no 6 tahun 2008 kabupaten Pamekasan tentang penata usahaan tembakau di kabupaten Pamekasan? C. Tujuan dan manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Sebuah penelitian obyektif idealnya mempunyai dua arah tujuan, setidaknya mampu menjawab fenomena atau permasalahan yang sedang diteliti dengan analisa
kerangka
teorinya. Disamping itu setiap penelitian mempunyai peluang untuk menemukan konsep, generalisasi atau bahkan teori baru.Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan menjawab permasalahan seperti yang tercantum dalam perumusan masalah diatas. Secara substansial penelitian ini bertujuan:
5
1. Mengetahui mengapa monopoli dalam tataniaga tembakau di kabupaten Pamekasan masih terjadi pasca implementasi Peraturan daerah no 6 tahun 2008 tentang penatausahaan tembakau di Kabupaten Pamekasan 2. Mengetahui bagaimana solusi teoritis dan alternatif agar kebijakan peraturan daerah no 6 tahun 2008 memberikan perlindungan terhadap petani tembakau di kabupaten Pamekasan dari monopoli dalam tata niaga tembakau. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini mempunyai dua arah yaitu internal peneliti untuk menambah wawasan dan pengetahuan pribadi. Adapun manfaat eksternal dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat bagi Akademik dan pendidikan o Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu sosial. o Sebagai acuan bagi para peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian secara lebih lanjut tentang hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian ini 2. Manfaat bagi Pemerintah dan instansi terkait o Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan bagi pemerintah daerah Pamekasan dalam rangka evaluasi kebijakan pemerintah daerah serta upaya peningkatan kesejahteraan petani tembakau 3. Manfaat bagi masyarakat
6
o Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap masyarakat dengan adanya peningkatan kesejahteraan petani tembakau D. Tinjauan Pustaka Dalam kajian penelitian ini digunakan kajian pustaka dari penelitian terdahulu. Namun dalam sub-bab ini data masih sangat terbatas mengingat studi yang relevan masih sangat terbatas pula. Hal ini disebabkan karena kebijakan peraturan daerah nomor 6 tahun 2008 tersebut baru ditetapkan pada tanggal 23 Juni 2008 dan diundangkan pada 2 september 2008. Penelitian terdahulu yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian oleh Bondan Satriawan (2009) mengenai Evaluasi dampak kebijakan pemerintah daerah terhadap kesejahteraan petani tembakau di Madura. Selain itu untuk sedikit menggambarkan situasi dan permasalahan pada masa sebelum kebijakan peraturan daerah tersebut di undangkan, digunakan penelitan Thomas Santoso (2001) tentang tataniaga tembakau di Madura. Selain itu Penelitian oleh Tatag handaka (2009) tentang jaringan komunikasi petani tembakau sebagai basis penyusunan kebijakan pemberdayaan ekonomi politik kerakyatan masyarakat lokal, juga relevan menggambarkan permaslahan yang dihadapi oleh petani tembakau di Pamekasan. Penelitian yang dilakukan Satriawan menjaring persepsi masyarakat (secara umum) terhadap kebijakan pemerintah yang dirancang untuk mengatasi permaslahan yang dihadapi petani tembakau. Dari data yang terkumpul khusus petani tembakau Pamekasan menyatakan sangat baik sebanyak 2.4 %, yang menyatakan Baik sebanyak 16,7 %, yang mengatakan kurang baik sebanyak 76,2 % dan yang mengatakan tidak baik sebanyak 4.8 %. Dalam penelitian ditemukan beberapa masalah yang dihadapi yaitu, masalah pupuk, bibit, air, hujan dan masalah yang sangat mendasar yaitu masalah tataniaga yang menyebabkan kerugian petani. Dalam penelitian Handaka (2009) juga ditemukan permasalahan yang relatif sama dengan masalah yang mendasar yaitu masalah pemasaran. Standart yang tidak pasti 7
menyebabkan ketidakpastian harga. Oleh karena itu petani dari tahun ketahun terus merugi. Kondisi demikian tidak jauh berbeda dengan penemuan santoso (2001) dimana petani mengalami ketidakadilan dalam tataniaga tembakau. Ketidak berdayaan petani tembakau menurut santoso meliputi: penentuan harga, penentuan kualitas tembakau dan penentuan berat tembakau. Kondisi ini menimbulkan kerugian bagi petani karena para juragan dapat dengan mudah mempermainkan harga. Dari tiga penelitian diatas, yang dijadikan acuan utama adalah penelitian Satriawan (2009). Penelitian tersebut mengidentifikasi permasalahan yang sedang dihadapi petani tembakau di kabupaten sumenep dan Pamekasan. Selain itu dalam penelitian tersebut juga melihat dampak kebijakan publik terhadap kesejahteraan petani tembakau. Namun demikian penelian ini juga di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh handaka dkk mengenai jaringan komunikasi petani tembakau di kabupaten Pamekasan. Dari kedua penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa kendala petani tembakau secara umum terbagi menjadi dua bagian, pertama permasalahan yang memang given dan berkaitan dengan kondisi alam, permasalahan ini mencakup bibit tembakau, musim, air, hujan dan permasalahan teknis lain yang berkaitan dengan cuaca dan alam. Kedua permasalahan artifisial, artinya permasalahan yang sengaja di kondisikan oleh puhak-pihak tertentu
sehingga
merugikan
petani.
Permasalahan
ini
meliputi
monopoli
perdagangantembakau oleh para grader pabrikan. Kiranya perlu dicermati, bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Perbedaan mendasar antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah: Pertama penelitian terdahulu melihat permasalahan secara universal, yakni permasalahan yang disebabkan oleh iklim, cuaca atau masalah yang berkaitan dengan alam serta permasalahan tataniaga yang secara signifikan berpengaruh pada pendapatan petani. Sedangkan dalam penelitian ini difokuskan kepada permasalahan artifisial lebih spesifik lagi 8
masalah monopoli perdagangantembakau sehingga merugikan petani. Kedua penelitian terdahulu, dalam memandang permasalahan hanya berusaha mengungkap bagaimana permasalahan tersebut terjadi dan bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan petani. Dalam penelitian ini selain melihat proses permasalahan juga melihat mengapa permasalahan tersebut tetap terjadi meskipun telah dilakukan upaya perlindungan terhadap petani tembakau. Efektifitas kebijakan penatausahaan tembakau mulai dipertanyakan yang kemungkinan menimbulkan temuan-temuan baru yang lebih sistematis. Ketiga, penelitian terdahulu melihat dan menjaring kepuasan masyarakat khususnya petani tembakau terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pertembakauan. Kajian tersebut membutuhkan pendalaman dalam aspek apa ketidakpuasan tersebut dan sejauh mana pemahaman dan pengetahuan masyarakat atas kebijakan tersebut. Hal inilah yang akan ditambahkan dalam penelitian ini. Hal esensial dalam penelitian selain menyoal bagaimana dan mengapa permasalahan muncul dalam tataniaga tembakau, juga menyoal solusi teoritis dan alternatif guna mengatasi permasalahan tersebut. E. Landasan Teori 1. Kebijakan publik sebagai upaya perlindungan terhadap petani tembakau 1.1. Definisi dan pengertian kebijakan dan urgensitasnya bagi perlindungan petani tembakau dari monopoli perdagangan Kebijakan publik dalam arti luas dapat kita pahami sebagai Whatever Government choose to do or not to do, merupakan pilihan bagi pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (Young & Quinn, dikutip dalam suharto, 2008). Pada prakteknya kebijakan publik ini seringkali merujuk pada aspek-aspek yang spesifik dan berkaitan dengan kepentingan bersama. Dalam konteks ini kebijkan publik seringkali berkaitan dengan fasilitas umum, transportasi, pendidikan, kesehatan perumahan dan kesejahteraan. Secara dimensional kebijakan publik mempunyai tiga dimensi yang saling interdependen, kebijakan publik 9
sebagai tujuan (objective), sebagai pilihan legal (authoritative choice) dan kebijakan sebagai hipotesis (hypothesis). Tiga dimensi kebijakan publik diatas, pada prakteknya akan saling terkait antara satu dengan lainnya. Dimensi Legalnya menunjukkan bahwa kebijakan publik dibuat berdasarkan kajian yang menghasilkan Hipotesis yang kemujdian di sahkan secara legal-formal (dengan payung hukum) untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan Secara substansial Young &Quinn mendefinisikan kebijakan publik dengan beberapa unsur. Yaitu: a. Kebijakan publik sebagai tindakan otoritas pemerintah yang mempunyai kewenangan hukum, politis dan finansial b. Sebagai respon atas realita/fakta sosial yang ada dalam masyarakat sebagai warga negara c. Serangkaian pilihan tindakan yang berorientasi pada tujuan dan kepentingan umum. d. Sebuah keputusan pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan sebagai respon atas permasalahan e. Merupakan justifikasi yang dibuat para ahli sebagai representasi lembaga negara guna merumuskan langkah-langkah/tindakan strategis pemerintah untuk kepentingan bersama Lima elemen definif kebijakan sosial tersebut secara simultan, sistematis membentuk definisi yang utuh dan secara praktis diterapkan dalam kehidupan bernegara (Suharto, 2008). Terdapat definisi menarik dari kebijakan publik yang sekiranya relevan dengan fokus penelitian ini. Yaitu definisi yang rumuskan oleh Friedrik , menurutnya kebijakan publik adalah:
10
serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan ancaman dan peluang yang ada. kebijakan yang diusulkan tersebut untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan dalam rangka mencapai tujuan bersama (Friedrik, 1963) Dalam pengertian ini kebijakan publik menjadi sarana untuk mencapai tujuan sekaligus mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi. Dalam kaitannya dengan penelitian ini potensi yang dimaksudkan adalah Tanaman tembakau, sedangkan permasalahannya adalah proses jual beli yang dimonopoli oleh pihak grader pabrikan sehingga merugikan petani. Untuk memaksimalkan potensi yang ada (tembakau) dan mengatasi permasalahan (ketidakadilan tataniaga tembakau, ketidak berdayaan petani) maka pemerintah daerah Pamekasan mengeluarkan kebijakan publik yang berupa peraturan daerah nomor 6 tahun 2008 (Nugroho, 2009) logika yang dibangun atas pengertian kebijakan sebagai perlindungan terhadap petani tembakau adalah bagaimana kebijkan tersebut meregulasi tatanan baru dalam tataniaga tembakau sehingga proses tersebut tidak merugikan petani. Berdasarkan temuan di lapangan pada penelitian terdahulu, petani tembakau telah menjadi korban monopoli dalam tataniaga tembakau. Hal ini telah dijelaskan oleh Santoso (2001) bahwa petani tembakau di Madura mengalami ketidakberdayaan dalam hal tataniaga tembakau khususnya dalam penentuan kualitas dan harga tembakau. Merujuk pada pengertian kebijakan publik, maka sekiranya sangat diperlukan respon positif dari pemerintah untuk melindungi petani dari monopoli perdagangan oleh para grader pabrikan. dengan otoritasnya kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mengatur proses tataniaga sehingga tidak merugikan petani. Dalam perspektif ekonomi politik, keberadaan
11
pengambil kebijakan menjadi sangat strategis dimana kebijakan tersebut akan mengendalikan perilaku ekonomi termasuk didalamnya petani dan pengusaha tembakau. Sebagaimana kita ketahui bersama, kebijakan dapat mengandung makna sebagai alat dan sebagai tujuan. Tujuan utama kebijakan adalah memanfaatkan potensi dan mengatasi permasalahan. Oleh karena itu kiranya diperlukan pemahaman akan potensi sumberdaya dan permasalahan yang membelitnya. Berdasarkan identifikasi masalah, atau dalam istilah kebijakan disebut dengan analisis kebijakan yang telah dilakukan maka sebuah kebijakan akan dirumuskan. Sehingga perumusan kebijakan ini melibatkan beberapa stakeholder yang baik langsung maupun tidak langsung akan bersinggungan dengan manfaat dan dampak dari kebijakan tersebut. Secara historis, di indonesia tidak ada satu sektor ekonomi pun yang lebih menderita daripada sektor pertanian (petani), masa lalunya suram dan masa depan tiak jelas. Kondisi demikian sesungguhnya telah mengundang banyak perhatian dari pemerintah, namun demikian entah mengapa petani masih saja menempati posisi subordinat dalam proses ekonomi. Permasalahan klasik dalam pertanian selalu muncul kemudian menjadi hal baru yang seakan tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Pertama masalah kepemilikan lahan, hal ini menjadi penting ketika dikaitkan dengan kwantitas hasil produksi pertanian. Kedua kondisi-kondisi artifisial yang selalu memaksa petani berada pada posisi sub-ordinat, terutama ketika dihadapkan pada pemilik modal. Kondisi inilah yang kemudian membutuhkan campur tangan pemerintah untuk melindungi petani sehingga tidak selalu menjadi pihak yang dirugikan (Yustika, 2003) . Mengacu pada potensi tembakau di Madura, khususnya kabupaten Pamekasan sekaligus permasalahannya, pemerintah daerah Pamekasan telah melakukan langkah kebijakan dengan peraturan daerah no 6 tahun 2008. Hal ini didasarkan pada rasional bahwa
12
tembakau adalah tanaman potensial di Pamekasan namun pendapatan petani terus mnurun tiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidakadilan sistem tataniaga tembakau yang ada. Kiranya menarik menyimak apa yang ditulis oleh Todaro (2000) bahwa petani terbagi menjadi dua kelompok, yaitu petani yang efisien dan petani yang tidak efisien. Petani tidak efisien berskala kecil, penuh ketidakpastian dan hasilnya bersifat subsisten dengan resiko yang tinggi. Sedangkan petani yang efisien adalah petani yang berkarakteristik maju dan bertautan dengan industri. Menurutnya terdapat tiga komponen mendasar yang dapat mempercepat kemajuan dibidang pertanian. Ketiga hal tersebut adalah, inovasi teknologi, kebijakan-kebijakan pemerintah yang tepat dan institusi sosial yang mendukung. (Todaro, 2000 dalam Satriawan, 2009) Kebijakan pemerintah sebagai salah satu motor percepatan kemajuan dalam bidang pertanian sebagaimana Todaro (2000) sampaikan, merupakan hal yang sangat rasional. Dalam mata rantai perdagangan hasil pertanian, tidak hanya petani yang mengambil keuntungan, melainkan pengusaha, pemerintah baik pusat maupun daerah juga ikut mendapatkan keuntungan dalam proses tersebut. Perdagangan tembakau misalnya, pemerintah mendapatkan retribusi dari tiap transaksi yang dilakukan, pada level selanjutnya pemerintah juga mendapatkan cukai tembakau yang nilainya selalu naik tiap tahunnya, bahkan melampaui prosentase yang ditargetkan. Misalnya target dan realisasi cukai tahun 2009 target cukai hasil tembakau Rp 54,545 trilyun dan ternyata realisasinya mencapai Rp 55,381 trilyun atau sebesar Rp 103,99%. penerimaan negara dari cukai dan pajak rokok cukup besar bahkan mengalahkan penerimaan negara dari hasil pertambangan yakni Freeport yang dalam satu tahun tidak pernah melebihi angka Rp3 triliun. Oleh karenanya kebijakan yang pro petani tembakau menjadi sebuah keniscayaan dalam proses tataniaga tembakau.
13
1.2. Efektifitas Kebijakan publik dalam menciptakan perlindungan terhadap petani tembakau Kebijakan sebagai respon atas permasalahan yang dialami kelompok masyarakat tidak serta merta menyelesaikan permasalahan secara instant. Sebuah kebijkaan membutuhkan banyak instrument untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan dalam kebijakan tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah implementasi kebijakan serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya termasuk pandangan masa lampau, sekarang dan masa yang akan datang. Kebijakan sebagai sebuah instrumen yang digunakan untuk mengoptimalkan potensi dan mengatasi hambatan-hambatannya. Oleh karena itu sudah sewajarnya efektifitas kebijakan menjadi pertanyaan utama dalam proses dan dinamikanya. Efektifitas kebijakan ini kemudian di pengaruhi oleh bagaimana implementasi kebiijakan tersebut. Karena dengan implementasi ini tujuan dari pembuatan kebijakan akan dicapai. Tahap implementasi ini merupakan keharusan dalam proses kebijakan. Logikanya adalah efektifitas kebijakan bagi kelompok sasaran tergantung pada bagaimana implementasi dari kebijakan itu sendiri. Van Meter dan van horn memberikan batasan akan implementasi kebijakan publik guna meningkatkan efektifitas bagi kelompoks sasaran. menurutnya Implementasi kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh individu maupun kelompok baik representasi pemerintah maupun swasta yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut. Pengertian menunjuk pada peran aktor-aktor yang berkaitan dengan kebijakan tersebut, baik langsung maupun tidak langsung. Tindakan tersebut merupakan operasional dari apa yang telah ditetapkan dalam kebijakan yang dimaksud (Winarno, 2008). Efektifitas
kebijakan
dipengaruhi
oleh
implementasi
kebijakan,
sedangkan
implementasi kebijakan ditentukan oleh beberapa faktor. Pandangan mengenai determinasi 14
faktor-faktor tersebut bersifat relatif. Artinya tergantung model dan pendekatan konseptual yang diterapkan. George C. Edward III menyatakan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu Komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi. Empat faktor tersebut saling interdependen dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Kinerjanya dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Komunikasi
Sumber daya Implementasi Disposisi Struktur birokrasi
Efisiensi dan efektifitas implementasi kebijakan ditentukan oleh empat faktor tersebut dijelaskan bahwa: Pertama Komunikasi: sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa kebijakan mempunyai sasaran dan tujuan. Oleh karena itu implementor harus mengetahui substansi kebijakan dan mengkomunikasikannya dengan kelompok sasaran (target group) agar tidak terjadi resistensi dari kelompok sasaran. Kedua sumberdaya: meskipun kebijakan telah dikomunikasikan dengan baik, apabila tidak didukung dengan sumberdaya yang memadai maka implementasi kebijakan akan mkurang efektif dan efisien. Sumberdaya dimaksdu dapat berupa sumberdaya manusia maupun sumberdaya material. Ketiga Disposisi: merupakan watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor. Misalnya kejujuran, komitmen dan sifat demokratis. Keempat Struktur birokrasi: salah satu aspek penting dalam struktur organisasi adalah standard operational prosedure (SOP), struktur birokrasi yang rumit dan panjang
15
menyebabkan lemahnya pengawasan dan secara otomatis akan mengurangi efktifitas dan efisiensi implementasi kebijakan (Subarsono, 2009). Pokok permasalahannya bukanlah mempelajari proses dan dinamika pembuatan kebiajakan, dalam hal ini adalah peraturan daerah no 6 tahun 2008 kabupaten Pamekasan. Akan tetapi kajian yang dibangun adalah efektifitas peraturan daerah tersebut dalam menciptakan perlindungan terhadap petani tembakau dari monopoli dalam tataniaga tembakau. Setelah dipahami bahwa efektifitas kebijakan dipengaruhi oleh implementasi kebijakan, persoalan selanjutnya adalah mengetahui sejauhmana efektifitas kebijakan tersebut. Untuk mengetahui hal tersebut dibutuhkan nilai-nilai yang digunakan untuk mengevaluasi kebijakan. Mengacu pada pengertian kebijakan publik, evaluasi ditujukan untuk melihat sejauh mana efektifitas dan efisiensi kinerja dalam pencapaian tujuan atau outcome sebuah kebijakan. Winarno (2008) menjelaskan bahwa evaluasi kebijakan merupakan estimasi atau penilaian kebijakan yang menyangkut substansi kebijakan, implementasi dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut. Untuk mengukur tingkat keberasilan dan efektifitas kebijakan dalam peneilitian ini digunakan ukuran (indikator) yang dirumuskan oleh Dunn. Menurutnya keberhasilan sebuah kebijakan dapat dinilai dengan lima indikator. Yaitu Efektifitas, kecukupan, pemerataan, responsifitas dan ketepatan. Secara teknis, dalam penelitian ini ukuran tersebut diterjemahkan dalam konsep berikut: No Kriteria
Penjelasan
1
Pencapaian hasil: terciptanya pola tata niaga tembakau yang
Efektifitas
sehat, jujur dan terbuka (penjelasan umum peraturan daerah),
16
perlindungan petani tembakau 2
Kecukupan
Seberapa jauh pencapaian hasil dapat memecahkan masalah: Posisi petani dalam sistem tataniaga.
3
Pemerataan
Apakah manfaat dari kebijakan didistribusikan secara merata: Pengusaha pembelian tembakau, petani dan pemerintah daerah
4
Responsifitas
Hasil yang dapat memuaskan kelompok berdasarkan nilai masing masing
5
Ketepatan
Apakah hasil yang dicapai bermanfaat: sejauhmana pola tata niaga tembakau yang sehat, jujur dan terbuka bermanfaat bagi petani tembakau
1.3.Telaah kritis atas efektifitas kebijakan 1.3.1. Perpektif ekonomi politik Pemahaman universal melihat urgensitas kebijakan bagi petani tembakau merupakan sebuah keniscayaan. Meskipun demikian, realita di lapangan selalu menyisakan gap antara harapan dan realita itu sendiri. Secara konseptual kebijakan membutuhkan instrument pendukung guna mencapai outcomes yang diharapkan. Pemerintah membutuhkan peran pengusaha untuk mengeksekusi kebijakan yang idealnya ditujukan untuk kemakmuran bersama. Logika ini kemudian membangun hubungan simbiosis mutualisme antara pemerintah dengan pengusaha dimana keduanya saling membutuhkan guna menjalankan peran masing-masing. Secara teknis hubungan pemerintah dengan pelaku ekonomi dalam hal ini pengusaha sangatlah strategis. Mengingat pemerintah juga membutuhkan pengusaha untuk memajukan ekonomi dengan menciptakan pasar. Pasar dibutuhkan untuk menciptkan transaksi dan ruang 17
pengembangan ekonomi rakyat, kemajuan suatu negara di tentukan oleh geliat perekonomian suatu negara. Pengusaha dibutuhkan untuk melakukan investasi dan pengelolaan sumber daya alam, memproduksi kebutuhan masyarakat, serta menciptakan pasar. Logika inilah yang kemudian menempatkan pengusaha dan pemerintah mempunyai hubungan simetris yang saling menguntungkan. Relasi keduanya memang tidak dapat dipisahkan, pemerintah mempunyai program dan pengusaha sebagai eksekutor. Namun permasalahannya kemudian ketika hubungan keduanya menjadi patron-client yang merugikan pihak ketiga dalam hal ini adalah masyarakat. Ke-eratan hubungan penguasa dan pengusaha ini dibangun di atas logika saling menguntungkan, sehingga tidak sedikit pengusaha yang menunggangi kebijakan untuk melanjutkan eksistensinya. Dan penguasa membutuhkan modal untuk melanggengkan kekuasaannya. Ikrar Nusa Bhakti menyatakan, dalil yang dipakai politisi, penguasa tak ubahnya pedagang adalah M-P-MM-MP. Dengan uang (M-Money), maka akan memiliki kekuasaan (P-Power), dengan kekuasaan dia mendapat tambahan uang (MM-More Money). Dan dengan tambahan uang, dia dapat meraih lebih banyak kekuasaan (MP-More Power), dan seterusnya (Seputar Indonesia, 27 Juli 2010). Relasi antara pemerintah dengan pengusaha sebagaimana dijelaskan diatas, pada perkembangannya akan memunculkan apa yang oleh William Reno (1995) dan Barbara Harriss – White (2003) sebagai shadow state dan informal economy. Meskipun tujuan pembangunan relasi tersebut pada awalnya adalah untuk melaksanakan program pemerintah termasuk masalah ekonomi, namun selanjutnya kekuatan eksternal pemerintah akan mendikte kebijakan untuk kepentingan mereka. Shadow state dapat dipahami bermula dari melemahnya fungsi Negara baik karena perang maupun karena krisis ekonomi. Oleh karenanya Negara membutuhkan relasi guna
18
membangun kembali sektor ekonomi dalam hal ini adalah dengan pengusaha. Konsep awal relasi Negara – Pengusaha ini adalah untuk pembangunan ekonomi. Namun selanjutnya terjadi degradasi fungsi Negara dan penguatan dominasi pengusaha dengan mendikte setiap kebijakan. Hal ini terjadi karena terjadi pertukaran sumberdaya finansial oleh pengusaha dengan sumberdaya kekuasan oleh Negara sehingga memunculkan kekuasaan informal (oleh pengusaha) yang melebihi kekuatan kekuasaan formal (Negara), (Reno, 1995) Fenomena ralasi penguasa dengan pengusaha di Indonesia sudah terjadi sejak lama, terlihat begitu mencolok pada masa kekuasaan orde baru. Oligarki kapitalisme begitu jelas mengiringi pembangunan ekonomi di Indonesia. Hadiz (2005) menengarai bahwa praktek kapitalisme oligarki pada masa orde baru dengan memanfaatkan kekuatan koersif Negara sebagai instrument pencapaian tujuan klien penguasa. Selain itu melemahnya kelompok masyarakat yang ditandai dengan disorganisasi sitematis kekuatan civil society. Puncaknya Soeharto sebagai manifestasi sistem patronase menguat keseluruh bagian di Indonesia. Pasca Orde baru sentralisasi telah digantikan dengan desentralisasi. Element-element yang telah terbentuk melalui sistem patronase orde baru mulai mengorganisir diri dalam bentuk baru. Perebutan kekuasaan tingkat lokal, munculnya oportunis ekonomi dan kekuasaan baru mulai tampak pada tingkat lokal. Relasi pengusaha dan penguasa ditingkat lokal semakin erat dan muncul elit-elit lokal baru baik yang mandiri maupun berafiliasi dengan kekuatan yang lebih besar yang kemudian mendominasi kekuatan Ekonomi – Politik di Indonesia (Hadiz, 2005) Berkaitan dengan petani tembakau di Pamekasan Madura, monopoli perdagangan yang berlangsung sejak dahulu kala mempunyai potensi adanya ersatz capitalism (kapitalisme semu). Hubungan pengusaha dan penguasa relatif lebih terjalin mesra daripada hubungannya dengan rakyat. Realita ini dibangun atas dasar saling membutuhkan. Kekuatan uang
19
pengusaha mampu menekan pemerintah untuk melupakan suara rakyat yang telah memilihnya. Kebijakan yang di undangkan disinyalir hanyalah isapan jempol semata. Kalaupun itu ada maka implementasi di lapangan masih jauh dari ideal dengan kata lain efektifitas kebijakan juga di pengaruhi oleh pola hubungan antara penguasa (pengambil kebijakan) dengan pengusaha. Kunio menengarai bahwa praktik kapitalisme saat ini telah memasuki babak baru, tidak hanya menggunakan kekuatan modal, tapi juga meminjam kekuatan regulasi pemerintah yang diterjemahkan dalam kebijakan. Meskipun pandangan demikian masih bersifat relatif, akan tetapi kiranya cukup menjadi sebuah pisau analisis dalam menjelaskan problematika monopoli yang merugikan petani tembakau. Kebenarannya akan ditemukan dilapangan setelah diadakan penelitian dan kajian mendalam. 1.4. Monopoli dalam tataniaga tembakau Konsep dasar monopoli adalah adanya dominasi kelompok tertentu dalam proses ekonomi sehingga menghilangkan adanya persaingan sehat diantara competitor. Proses ini selalu melahirkan dikotomi kelompok dominan dan kelompok marginal (kamus ilmu sosial, 2002). Dalam konteks pertanian monopoli ini dapat diterjemahkan secara luas hingga kedalam kebijakan yang mengintervensi sektor tersebut. Sehingga sudah lazim didengar bahwa petani adalah kelompok yang selalu kalah dalam segala situasi dan kondisi. Soetomo (1997) dalam Yustika (2003) menegaskan bahwa petani adalah kelompok yang selalu kalah. Kekalahan ini bukan berarti dalam sebuah kompetisi memperebutkan kejuaraan. Akan tetapi kekalahan yang menyebabkan petani selalu merugi dalam proses ekonomi. Menurutnya kekalahan petani meliputi: pertama kekalahan petani dari alam, meskipun alam Indonesia sangat kaya sumberdaya pertanian, akan tetapi disatu sisi justeru menyebabkan ketergantungan petani terhadap alam. Ironisnya disuatu saat alam tidak berpihak pada
20
kepentingan petani, sehingga petani seringkali gagal panen gara-gara gejolak alam. Kedua kekalahan dalam sistem kekuasaan dan politik, dinamika masyarakat selalu melahirkan kelompok baru dalam masyarakat. Petani modern mulai menggeser petani tradisional. Pemasaran hasil pertanian tunduk pada hukum permintaan dan penawaran dan hasil pertanian dapat dikendalikan oleh sekelompok individu dengan kekuatan otoritasnya. Sehingga harga jual hasil pertanian terancam oleh praktik rekayasa ekonomi makro.ketiga ilmu pengetahuan yang sedianya digunakan untuk membantu mereka justeru sebaliknya, menciptakan competitor baru yang secara telak memarginalkan petani (Yustika, 2003). Proses tataniaga tembakau setidaknya melibatkan beberapa pihak baik langsung maupun tidak langsung yaitu Petani, Tengkulak, Pihak Gudang dan Pabrikan. Perihal proses tataniaga tembakau ini telah diatur oleh pemerintah terutama oleh pemerintah daerah yang tujuannya menciptakan keadilan dan bebas dari monopoli dalam tataniaga. Namun kenyataannya masih banyak terjadi monopoli dan ketidak adilan dalam tataniaga tembakau. Ironisnya Petani selalu menjadi pihak yang dirugikan. Konsep monopoli tidak dapat dilepaskan dari konteks ruang dan waktu. Pengertian dasarnya adalah adanya dominasi individu, kelompok tertentu dalam sebuah proses sehingga tidak ada persaingan yang sehat. Konsep monopoli dalam perkembangannya digunakan untuk melihat proses pasar, pemerintahan, pelayan publik dan proses ekonomi secara luas. Monopoli juga diartikan sebagai A company or group having exclusive control over a commercial activity dimana terdapat kelompok yang secara eksklusif mengendalikan aktifitas komersial yang mencakup mekanisme pasar, kegiatan ekonomi, perdagangandan sebagainya (http://www.thefreedictionary.com/monopoly). Mengacu pada konsep monopoly capitalism dimana akumulasi modal dpat menciptakan sistem kartel dan manipulasi pekerja sehingga meniadakan persaingan dalam pasar. Konsep
21
ini merupakan pandangan Marxism yang melihat monopoli sebagai akibat dari adanya akumulasi modal dan modal adalah faktor utama yang memicu adanya monopoli tersebut (Jary&Jary, 1991). Hal inilah yang kemudian menjadi permasalahan dalam realita proses tataniaga
tembakau.
Monopoli
dalam
perdagangantembakau
ini
menyebabkan
ketidakberdayaan petani tembakau. Monopoli dalam tataniaga tembakau menyebabkan adanya ketidakadilan bagi petani. Petani tembakau selalu dirugikan dalam setiap transaksinya. Santoso (2001) menemukan ketidak berdayaan petani dan hubungan yang eksploitatif antara petani dengan gudang dalam tataniaga tembakau. Ketidak berdayaan petani tembakau dalam tataniaga tembakau meliputi penentuan harga, penentuan kualitas tembakau dan penentuan berat tembakau. Kondisi ini menimbulkan kerugian bagi petani karena para juragan dapat dengan mudah mempermainkan harga. Perbedaan pendapat dalam menentukan mutu tembakau menjadi sebab utama dalam monopoli ini. Ironisnya penentuan kualitas tembakau ini ditentukan oleh pendapat dari pihak pembeli, kondisi demikian sangat merugikan petani. Monopoli dalam tataniaga tembakau tidak hanya dapat dipahami sebagai fenomena ekonomi sebagai dampak dari dinamika ekonomi semata. Kemungkinan adanya pihak selain petani yang dengan sengaja menciptakan sistem tataniaga yang merugikan petani patut dikritisi sebagai pertimbangan dalam melihat permasalahan ini secara komplek.
22