50
51
BAB IV KECENDERUNGAN TEMATIK DAN TOKOH GURU DALAM KARYA PENGARANG BALI
Di dalam bab ini diuraikan dua topik yang berkaitan dengan karya pengarang Bali, yaitu: (1) kecenderungan tematik karya pengarang Bali rentang waktu 19102010; dan
(2)
tokoh guru dalam karya pengarang Bali. Dua topik ini untuk
mencermati kecenderungan pengarang Bali dalam merespon wacana atau perubahan yang terjadi di
dalam masyarakat Bali. Ketika
memanfaatkan wacana
masyarakat dalam karya sastranya, pengarang sebagai subjek
kreator
sosial dapat
menempatkan tokoh guru dalam merespon wacana perubahan sosial tersebut. Hal ini menjadi landasan dalam menemukan citra dan perjuangan guru sekaligus menjadi dasar untuk memaknai tokoh guru dalam karya-karya yang diteliti. Teori yang digunakan untuk membahas kedua topik ini adalah teori sosiologi sastra, baik sosiologi karya sastra dan sosiologi pengarang terutama dalam kaitannya dengan merespon wacana sosial yang berkembang di masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan J. Duvignaud (1972) yang mengatakan bahwa analisis karya seni termasuk sastra dihubungkan dengan perkembangan sosial (Yunus, 1986: 3).
4.1 Kecenderungan Tematik Karya Pengarang Bali Kecenderungan tematik karya pengarang Bali dalam rentang waktu 19102010 adalah pendidikan, karmapala, dan kawin paksa. Sejak ahli sastra menyepakati kelahiran SIM pada 1920-an, pengarang-pengarang daerah yang kemudian namanya 61
62
dibaptis sebagai pengarang Indonesia sesungguhnya telah menjadikan dinamika sosial daerahnya dikaitkan dengan kehadiran penjajah sebagai tema karya. Kawin paksa adalah tema menonjol pada awal kelahiran SIM pada dekade 20-an. Hal itu tidak terlepas dari respon pengarang terhadap situasi dan kondisi zamannya. Hal demikian juga terjadi pada pengarang Bali sejak zaman penjajah Belanda. Jika diperhatikan perkembangan SBM, sejak awal abad ke-20, kelahirannya dimulai dari kebutuhan akan buku pelajaran di sekolah. Oleh karena itu, pengarang Bali pada awal kelahiran SBM umumnya berprofesi sebagai guru. Kebutuhan akan cerita untuk materi pembelajaran telah menjadi inspirasi yang ditangkap oleh para guru. Hal ini terdokumentasi dalam buku-buku pelajaran sekolah seperti terungkap dalam buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern (2005; 2010) karya Darma Putra. Darma Putra (2010: 10) menegaskan di Bali dekade 1920-1930 ada banyak buku yang terbit dalam bentuk cerita pendek, yang memiliki tiga keistimewaan. Pertama, buku-buku tersebut sebagian besar ditulis oleh para guru. Ini berarti gurulah intelektual terdepan pada masyarakat zaman itu. Kedua, buku-buku tersebut diterbitkan oleh penerbit pemerintah kolonial di Batavia dan penerbit lain di Jawa. Ketiga, buku-buku itu digunakan sebagai bahan bacaan di sekolah-sekolah. Ketiga keistimewaan di atas menandakan gigihnya para guru berjuang melahirkan bahan ajar untuk menuntun anak-anak sekolah di bawah pemerintah Belanda yang berkuasa pada saat itu. Bahan ajar yang ditulis para guru dalam bentuk cerpen berisi sisipan tuntunan sebagai bekal hidup bagi siswa. Cerpen-cerpen itu berfungsi edukatif selain rekreatif. Fungsi edukatif diniatkan untuk mendirikan
63
semangat, keinsyafan, harapan, ideologi
atau gedung kejiwaan sebagaimana
dikatakan Bung Karno (1933). Cerpen berfungsi rekreatif diniatkan oleh pengarangnya untuk menghibur pembaca/penikmatnya dengan gaya jenaka, seperti tersirat dalam cerpen “Anak Ririh” (Anak Sakti) karya Mas Nitisastro. Dua guru yang produktif melahirkan karya SBM, menurut Darma Putra [2000: 9 ; 2010: 10], adalah I Made Pasek (Bali) dan Mas Nitisastro (non-Bali). Dari temuan karya-karya kedua pengarang inilah Darma Putra memberikan judul Tonggak Baru Sastra Bali Modern untuk bukunya.
Sebelumnya I Gusti Ngurah Bagus
menyebut tonggak SBM dimulai dengan terbitnya novel Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah 1930-an. Bahkan, pendapat Bagus ini sampai dimitoskan sampai memasuki tahun 2000, sebagaimana diakui Darma Putra. Jika Darma Putra sampai pada simpulan tonggak baru SBM bermula dari karya-karya I Made Pasek dan Mas Nitisastro pada dekade 1910-1920, maka tidak berlebihanlah kiranya dikatakan tonggak baru sastra Bali modern dirintis oleh guru. Simpulan ini nyaris sama dengan temuan Mahayana (2005:26) yang mengatakan guru bukan saja telah menjadi pelopor bagi Indonesia merdeka, melainkan juga menjadi titik awal bagi pertumbuhan kesusastraan Indonesia. Dalam konteks SBM, Darma Putra menilai I Made Pasek adalah sosok guru paling produktif di antara mereka. Tema-tema yang diangkat I Made Pasek dalam karya-karyanya, antara lain: orang mabuk-mabukan, pentingnya pendidikan, kejujuran, penghargaan terhadap manusia, dan karmapala.
Cerpen dengan tema
mabuk-mabukan dilukiskan oleh I Made Pasek dalam cerpen berjudul “Pemadat”
64
(Pemabuk).
Pentingnya pendidikan digambarkan dalam cerpen “Ajam Mepalu”
(Ayam Bertarung), “Anak Ririh” (Anak Sakti), “I Keliud teken I Teragia” (I Keliud dan I Tragia), “Keneh Joejoer Dadi Moejoer” (Jujur Jadi Mujur). Tema karma pala tersirat dalam cerpen “Djelen Anake Demen Nginem Inoeman -Inoeman ane Mekada Poenjah, Loiere: Djenewer, Berandi Teken ane len-lenan” (Buruknya Orang Suka Minum minuman yang Menyebabkan Mabuk, seperti Djenewer, Berandi dan Lainlain). Karma pala tersirat dalam karya Mas Nitisastro dalam cerpen berjudul “Loba” Semua cerpen di atas dimuat utuh oleh Darma Putra (2000; 2010) dalam buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Selain memuat cerita aslinya dari pengarang dengan menggunakan ejaan Van Opuysien
juga memuat terjemahannya dalam
bahasa Indonesia, dengan ejaan yang disempurnakan. Dengan demikian, buku ini menjadi pantas untuk meruntuhkan mitos kelahiran Sastra Bali Modern pada 1930an sejak kemunculan novel Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah sebagaimana diungkapkan I Gusti Ngurah Bagus. Berikutnya, ditemukan tema kawin paksa dengan motif hutang budi dalam novel Nemoe Karma (1930) karya I Wayan Gobiah (Darma Putra, 2010 : 25). Darma Putra juga menemukan adanya persamaan dan perbedaan antara novel terbitan Balai Pustaka khususnya Siti Nurbaya karya Marah Rusli (1922) dan novel Salah Asuhan karya Abdul Muis (1928) dengan Nemoe Karma karya Gobiah. Kesamaanya tampak dari isu kawin paksa dengan motif hutang budi. Siti Nurbaya dipaksa kawin oleh ayahnya dengan Datuk Maringgih untuk melunasi utang (karena tuntutan Datuk Maringgih), sedangkan dalam Salah Asuhan, Hanafi didesak (mula-mula menolak,
65
lalu terpaksa mau) oleh ibunya menikah dengan Rafiah (anak pamannya yang dulu membiayai sekolah Hanafi). Tema kawin paksa dengan motif balas budi pada Nemoe Karma terjadi ketika Pan Soedana menyerahkan Soedana kepada keluarga Pan Soekreni di Ubud untuk melunasi utangnya yang tidak mampu dibayar dengan uang. Dalam menangani isu kawin paksa, Gobiah dan pengarang Balai Pustaka memiliki sikap yang paralel, bahwa kawin paksa lebih banyak mendatangkan petaka daripada kebahagiaan. Darma Putra (2010: 26) juga menemukan perbedaan antara Nemoe Karma dengan Siti Nurbaya dan Salah Asuhan. Walaupun lahirnya novel ini pada masa penjajahan Belanda, pembaca tidak menemukan motif politik penguasa pada Nemoe Karma. Di dalam Nemoe Karma
ditemukan gambaran tipikal kehidupan sosial
masyarakat Bali pada zaman itu. Berbeda dengan Siti Nurbaya dan Salah Asuhan yang menggambarkan sikap pengarangnya yang mendukung perjuangan masyarakat lokal berhadapan dengan penjajah. Absennya perlawanan terhadap penjajah dalam Nemoe Karma menurut Darma Putra (2010: 26) diperkirakan karena Gobiah sebagai pengarang berlatar belakang guru dan dari biografinya menunjukkan pengarang tidak tertarik pada masalah politik. Putu Wijaya (2001: 152) melukiskan guru sebagai manusia yang tidak tegas berpolitik dan nyaris tidak berani berseberangan dengan pakem-pakem yang digariskan dalam buku teks ketika Merdeka bertanya, “apa makna kemerdekaan bagi seorang guru”. Buku yang ditulis sebagai bentuk pertanggungjawaban proses kreatif itu ternyata juga diperkuat oleh Putu Wijaya dalam cerpen berjudul “Guru”
66
(2001) dengan tokoh Taksu. Ditemukan benang merah, bahwa profesi guru sejak zaman pra kemerdekaan sesungguhnya independen terhadap kekuasaan hingga kini seperti dilukiskan oleh Widiasa Keniten dalam cerpen “Mutasi” (2013: 10). Di dalam cerpen ini, dikatakan, “Guru tak boleh terpengaruh oleh politik,” bisiknya. Guru tetaplah guru. Menjadi teladan bagi anak didik tercinta bukan terikat pada salah satu calon.” Independensi guru sebagaimana dilukiskan oleh pengarang Bali itu sejalan dengan semangat lahirnya organisasi PGRI, 25 November 1948 di Solo. Walaupun motif politik tidak tampak dalam Nemoe Karma, gambaran sosial budaya masyarakat Bali pada masa itu menjadi potret yang memberikan nilai tambah pada novel ini. Gambaran tipikal masyarakat Bali yang digambarkan, antara lain: kegemaran laki-laki bermain judi, pro-kontra melaksanakan upacara adat dengan biaya besar, pro-kontra kawin paksa dan pemakaian guna-guna, pentingnya pendidikan, kerja keras, dan kepercayaan kepada Tuhan. Dengan demikian, Nemoe Karma
dapat memenuhi
keinginan untuk mengetahui keadaan sosial budaya
masyarakat Bali di luar konteks penjajahan. Pada dekade 1930-an, selain novel Nemoe Karma juga terbit novel Mlantjaran ka Sasak karya I Gde Srawana. Darma Putra (1998a: 24) mengatakan novel ini pertama kali dipublikasikan sebagai cerita bersambung di Majalah Djatadjoe pada 1939. Kisah cinta tidak sampai dalam novel ini juga mirip dengan kisah Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, yaitu sama-sama dilatarbelakangi oleh balas budi dari dua insan berbeda kasta. Balas budi ditunjukkan oleh Ida Ayu Priya dengan I Made Sarati, ketika Dayu ditolong oleh Made pada saat kecelakaan di Bandung,
67
yang sama-sama merantau menuntut ilmu. Dayu Priya jatuh cinta kepada Made Sarati, hanya karena perbedaan kasta, Dayu Priya dijodohkan dengan Ida Kade Ngurah. Kalau novel sebagai ukuran, rentang waktu sejak terbitnya novel Nemoe Karma dan Mlantjaran ka Sasak , SBM sempat mandeg setidaknya sampai terbitnya novel Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (1981)
karya Djelantik Santha.
Dengan demikian, SBM sempat mandeg dalam rentang waktu lebih dari 40 tahun. Jika mencermati temanya, novel ini juga bertema percintaan. Kisahnya mirip dengan Mlantjaran ka Sasak melalui tokoh protagonis I Nyoman Santosa dan Made Arini. Walaupun keduanya saling mencintai, tetapi atas nama kasta (kekuasaan) cinta Arini dirampok oleh Anak Agung Alit Sudendi dengan menggunakan guna-guna dan melegandang (memperkosa). Namun,SBM tidak hanya menyangkut novel, tetapi juga cerpen, puisi, dan drama. Hanya saja data drama itu minim. Made Sanggra telah berhasil mencatatkan generasi muda Bali tentang kelahiran puisi Bali modern pertama berjudul “Basa Bali” karya Suntari Pr. yang dimuat Majalah Medan Bahasa Yogyakarta 1959. Sebagai wujud penghormatan dan penghargaan itu, Made Sanggra lalu menerbitkan kumpulan puisi “Suling” 1999 untuk mengenang 40 tahun lahirnya puisi Bali modern. Istimewanya, dalam mengenang 40 tahun puisi Suntari Pr itu, Made Sanggra malah melipatgandakan Basa Bali-nya Suntari Pr dengan 40 puisi lagi. Itu artinya,antologi “Suling” yang diterbitkan Yayasan Wahana Dharma Sastra Sukawati Gianyar dalam jumlah yang terbatas dan khusus dihadiahkan kepada orang-orang dekatnya yang
68
peduli terhadap keberadaan bahasa Bali khususnya SBM merupakan kerja orang “gila” di tengah kepungan dan tuntutan global yang mengedepankan material profit. “Tiang nak buduh, Nyoman”, (Saya orang gila,Nyoman) katanya pada peneliti ketika berkunjung ke rumahnya (24/10/2003) di Banjar Gelulung Sukawati. Hutomo (1976: 45) mencatat sajak berbahasa Bali berjudul “Bali” karya Ngurah Jupa dari Banjar Taensiat, Denpasar. Sajak ini dinobatkan sebagai pemenang pertama lomba mengarang sajak, cerita pendek, dan drama bahasa Bali 1968 yang diselenggarakan oleh Direktorat Bahasa dan Kesusastraan Cabang Singaraja. Penelusuran Darma Putra (2011: 42) menyebutkan bahwa akhir tahun 1940an hingga 1960-an identitas ke-Indonesia-an banyak mewarnai kegiatan kesenian dan publikasi di Bali. Hal ini tercermin dalam penamaan surat kabar pertama di Bali pasca kemerdekaan, yaitu Suara Indonesia. Kelak berubah menjadi Suluh Marhaen dan akhirnya menjadi Bali Post. Selain koran itu, ada dua majalah yang terbit di Bali, yaitu Bhakti (1952-1954) terbit di Singaraja dan Damai (1953-1955) terbit di Denpasar. Dari media inilah perkembangan karya pengarang Bali dapat dilacak, terutama karya bermedium bahasa Indonesia.
Darma Putra mencontohkan puisi
berjudul “Pemilihan Umum” karya Wayan Yarsa (1955) yang kental dengan semangat ke-Indonesia-an juga melontarkan kritik sosial, yaitu praktik korupsi. Soal korupsi pada dekade 1950-an juga dapat ditemukan dalam karya pengarang Indonesia, dalam novel Korupsi karya Toer (Yunus,1986: 62). Dengan melihat minimnya karya novel yang lahir pada dekade 1950-an, baik dalam karya bermedium bahasa Indonesia maupun bahasa Bali yang tidak dapat
69
dilacak hingga kini, wajarlah jika Yunus (1986:62) menilai masa itu sebagai krisis kesusastraan. Alasannya, hanya puisi, cerpen, dan drama yang tetap banyak dihasilkan pada saat itu, bukan novel. Barangkali juga karena konsentrasi untuk melahirkan novel memerlukan waktu yang relatif panjang dibandingkan dengan puisi, cerpen, dan drama. Darma Putra (2011: 362) juga menegaskan pengarang-pengarang Bali pada akhir dekade 1950-an hingga awal 1960-an terutama yang bergabung dalam LKN sangat aktif mempublikasikan karya sastra. Nama-nama seperti Raka Santeri, Arthanegara, Judha Paniek, Rugeg Nataran, dan Naniek Berata menerbitkan banyak puisi dan cerpen mereka di Suara Indonesia (kini Bali Post) dalam bahasa Indonesia. Dalam dekade itu, semangat nasionalisme menjadi tema mayor karya pengarang Bali, termasuk kekaguman pengarang Bali terhadap Presiden Soekarno yang dicintai. Begitu pula pergolakan politik Indonesia terhadap Malaysia yang melahirkan istilah terkenal dari Bung Karno, “Ganyang Malaysia” juga menjadi inspirasi para pengarang Bali kala itu. Darma Putra ( [2008: 24] ; [2011: 43] ; [2011: 363] ) juga mencatat tema nasionalisme dalam karya pengarang Bali pada saat itu termasuk lagu pop Bali berjudul “Merah Putih” karya Gede Dharna paralel dengan berita surat kabar. Eddy (1995: 191) menyebutkan Gede Dharna banyak mengangkat tema semangat patriotik, terutama yang digali dari nilai-nilai perjuangan Angkatan 45. Jadi, dapat disimpulkan cerita di balik berita sebagai respon pengarang Bali terhadap kondisi Indonesia saat itu. Yunus (1986:3) melihat karya sastra seperti itu sebagai dokumen sosiobudaya.
70
Di luar novel, ditemukan pula karya pengarang Bali berupa puisi dan cerpen, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali dengan tema yang beragam sesuai dengan konteks zamannya. Dalam bidang puisi, misalnya Darma Putra (1998a: 145) mencatat isu sosial menjadi tema mayor dalam sajak-sajak penyair Bali pada dekade 1990-an seiring dengan terjadinya perubahan sosial sebagai dampak industri pariwisata. Tema besar perubahan sosial dalam karya penyair Bali berkisar pada persoalan tanah yang makin rumit dengan datangnya investor (Jakarta) berebut lahan ke Bali untuk melakukan investasi di bidang pariwisata. Di luar persoalan tanah yang menjadi tema karya penyair Bali pada dekade 1990-an, Darma Putra (1998: 161) juga mencatat fenomena mendewakan benda pada manusia Bali makin kuat, seperti tersirat dalam puisi Widiyazid Soethama dan Yuliarsa Sastrawan. Secara umum, Darma Putra (1998: 165) menyimpulkan tema besar dari karya penyair Bali dekade 1990-an adalah protes sosial yang dipicu oleh industri pariwisata. Tema perubahan sosial juga masih dominan pada SBM memasuki dekade awal abad ke-21, di samping tema korupsi yang juga menjadi wacana publik. Tema perubahan sosial dipicu oleh makin pudarnya nilai sakral tanah di Bali. “Pohonpohon” berjualan tanah ditemukan di mana-mana dalam arti bahwa media iklan tidak hanya melalui media cetak dan elektronik, tetapi juga dipasang dan dipaku di pohon, dengan bahasa benar-benar iklan. “Dijual tanah 5 are, view laut. Hubungi 081336605xxx”. Iklan demikian dengan mudah ditemukan di Bali sampai saat ini. Hal itu banyak menginspirasi pengarang Bali dalam berkarya.
71
Hasilnya adalah karya SBM yang mencerminkan kegelisahan dan harapan bagi manusia Bali. Dari tokoh-tokoh yang ditampilkan pengarang, cenderung menimbulkan kecemasan bagi generasi tua akan terkikisnya budaya Bali. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang berharap itu sebagai tantangan yang menyiapkan peluang untuk lebih banyak menjadi pemenang dalam persaingan tanpa batas.
4.2 Tokoh Guru dalam Karya Pengarang Bali Tokoh guru dalam karya pengarang Bali ditemukan dalam cerpen dan novel baik dari SBM maupun SIM. Jika diperhatikan karya pengarang Bali pada awal abad ke-19 khususnya pada dekade sebelum 1930-an, sebelum terbitnya novel Nemoe Karma, yang ditandai dengan kelahiran sejumlah cerpen, tokoh Absennya
guru absen.
tokoh guru sebagaimana dikatakan Darma Putra [2000; 2010], justru
kelahiran cerpen-cerpen itu dari para tokoh pendidik. Tentang hal ini, Yunus (1986 : 101) mencatat bahwa kehadiran karya sastra (novel, cerpen, drama, puisi) pada awal kelahirannya disebabkan oleh dua faktor. Pertama, keinginan untuk memberikan bacaan kepada rakyat. Dalam konteks pendidikan, rakyat adalah para siswa, sedangkan dalam konteks bernegara rakyat adalah warga Negara. Kedua, keinginan untuk mendidik rakyat ke arah satu pemikiran. Walaupun tokoh guru absen dalam cerpen-cerpen awal perkembangan SBM, ada niat pengarang menjadikan cerita sebagai guru. Eddy (1995: 188) menegaskan tradisi bersastra dalam masyarakat Bali menunjukkan bahwa seorang sastrawan menulis karya sastra dengan motivasi yang jelas, yaitu menyiapkan konsumsi rohani
72
bagi publiknya. Luxemburg (1989: 25) menunjukkan sastra harus berperan sebagai guru, harus menjalankan fungsi didaktik. Sastra hendaknya tidak hanya membuka mata orang bagi kekurangan-kekurangan di dalam tata masyarakat, tetapi juga menunjukkan jalan ke luar. Pandangan ini sejalan dengan makna guru sebagai pelita dalam kegegelapan, seperti syair lagu Hymne Guru karya Sartono. Dalam konteks ini, menarik pula analogi Yasin (1983:15) tentang makanan dengan bacaan. Sebagaimana makanan kemudian dicernakan dan menjadi sebagian dari tulang, daging, dan darah, demikian pula bacaan makanan rohaniah yang kemudian menjadi sebagian dari pikiran,perasaan, roh dan jiwa. Untuk tubuh yang kuat diperlukan makanan yang bergizi, untuk jiwa yang sehat diperlukan bacaan yang anekaragam dan bermutu. Pernyataan Yasin itu, sejalan dengan pendapat Poyk (Kompas,3/3/2013) yang mengatakan sebagai berikut. …dengan menyelami sastra, jiwa seseorang akan membuka pintu bagi pengenalan akan keindahan jasmani,keindahan moral,keindahan akal,dan memuncak pada keindahan Ilahi. Batinnya yang terdalam akan memiliki getaran intuisi puitis atau intuisi kreatif yang bisa membuat bangsa ini maju di bidang ekonomi,politik,sosial,sains, dan teknologi. Sadar akan terbatasnya bahan bacaan untuk pembelajaran, dua pengarang Bali pada awal kelahiran SBM, I Made Pasek dan Mas Nitisastro yang berprofesi sebagai guru telah berhasil mengarang 7 cerpen (Darma Putra, 2000; 2010) sebagai bahan pembelajaran di kelas-kelas awal. Ketujuh cerpen asli berbahasa Bali yang dilengkapi terjemahannya dalam bahasa Indonesia itu menyiratkan usaha seorang guru yang gigih berjuang mendidik anak dengan cerita. Melalui tujuh judul cerpen awal SBM itu, (Ajam Mepaloe,I Kelioed teken I Teragia, Pemadat, Keneh Moejoer Dadi Moejoer,Djelen Anake Demen Nginem Inoem-inoeman ane Mekada Poenjah, Loiere :
73
Djenewer, Berandi, Teken Ane len-lenan, Anak Ririh dan Loba), dijadikan bahan pembelajaran oleh guru Made Pasek dan Mas Nitisastro. Artinya, pembelajaran pada saat itu berbasis cerita. Cerita itu berkisah. Dari tokoh-tokoh yang berkisahlah, guru menanamkan nilai-nilai moral. Dengan kalimat lain, cerpen awal SBM pada dekade 1910-1920 umumnya bertema didaktik edukatif. Tema itu dititipkan melalui para tokoh, baik manusia sebagai tokoh maupun binatang sebagai tokoh. Dari cerita itulah budi pekerti siswa ditanamkan, pendidikan agama dan akhlak mulia dibenihkan, pendidikan sebagai warga Negara yang baik dan bertanggung jawab disuburkan. Perkembangan berikutnya, dalam SBM tercatat novel pertama yang secara eksplisit menampilkan tokoh guru adalah Mlantjaran ka Sasak
(Berwisata ke
Lombok, 1939) karya Gde Srawana. Novel yang lahir setelah delapan tahun lahirnya Nemoe Karma ini menampilkan I Made Sarati sebagai tokoh guru. Dalam perjalanan wisata ke Lombok, I Made Sarati dipercaya mendampingi
Dayu Priya oleh
orangtuanya, Ida Bagus Kumara. Hal ini menarik karena walaupun kedua saling jatuh cinta tetapi dikisahkan I Made Sarati berpegang teguh pada ajaran agama dan kode etik guru. Padahal, Dayu Priya secara implisit memberi peluang untuk membangun tali kasih, apalagi Dayu Priya sebagai wanita berpendidikan menolak kawin paksa. Lagi pula, Dayu Priya berutang budi pada Made Sarati yang telah menolongnya pada saat kecelakaan di Bandung. Sebagai seorang guru, gaya humor yang muncul antara tokoh jaba ( Made Sarati) dan menak ( Ida Ayu Priya) menjadi bumbu cerita yang mengandung nilai edukatif dengan daya kritis kedua tokoh yang sempat menimba ilmu di Jawa. Jassin
74
(1986:32) menyebutkan, humor jadi bumbu yang enak dalam cerita. Humor yang mempunyai keseimbangan sehingga tidak berat sebelah menjadi sinisme dan sarkasme. Tidak ada kepahitan dan pendendaman hati. Hadirnya dialog-dialog yang merepresentasikan pertentangan kasta dalam novel Mlantjaran ka Sasak
secara humoris
jauh dari kesan patron atas-bawah
melalui dialog Dayu Priya dengan Made Sarati. Dialog humor mereka disajikan dalam bentuk permainan kata (rima aliterasi) seiring dengan kondisi zaman itu. Bentuk aliterasi itu misalnya, “...Kenten kocap, Dagang dagingin degeng!”… Desak desek… Dayu dayanin…” Artinya, Begitu katanya, pedagang diisi keinginannya diam!” … Desak didekati… Dayu diperdaya…” Nilai humor dalam novel ini seiring dengan polemik kasta dalam surat kabar Surjakanta dan Bali Adnjana yang terbit menjelang 1930-an. Penelusuran Darma Putra (2011:40-41) menunjukkan, Surjakanta dikelola oleh kalangan guru dari kaum jaba yang banyak menyuarakan pentingnya orang Bali mengejar kemajuan, membuka wawasan melalui pendidikan. Sementara itu, Bali Adnjana diasuh oleh golongan triwangsa yang menekankan agar masyarakat Bali berhati-hati karena pengaruh komunisme akan membuat kebudayaan Bali terancam. Polemik dua surat kabar ini diakhiri dengan tekanan pemerintah kolonial Belanda dengan memberangus kedua surat kabar itu. Surjakanta gulung tikar 1927/1928 disusul Bali Adnjana pada 1929. Dengan kilas balik sejarah itu, menarik juga untuk melihat bagaimana kasta direpresentasikan oleh pengarang dalam Mlantjaran ka Sasak terkait polemik kasta itu. Paling tidak ada tiga hal menariknya tokoh Made Sarati sebagai guru dalam novel
75
ini. Pertama, Made Sarati memiliki jiwa keguruan yang kuat sehingga dipercaya oleh Ida Bagus Kumara mengantar Dayu Priya bertamasya ke Lombok. Made Sarati sebagai tokoh jaba dan Dayu Priya sebagai tokoh triwangsa tidak memperlihatkan kebencian di antara keduanya. Malah kedua tokoh membangun dialog untuk mengkritisi sistem kasta yang diwarisi, tanpa menimbulkan benci dan dendam. Dialog-dialognya murni merepresentasikan hubungan kemanusiaan yang harmonis sebagai gambaran rasional tokoh intelektual pada zamannya. Walaupun disela-sela kisah juga ditemui benih-benih kesalahpahaman, mereka pada akhirnya kembali ke jalan yang benar sesuai dengan hakikatnya sebagai manusia.
Semua bentuk
kesalahpahaman diakhiri dengan penyelesaian yang rasional, mendalam, dan berwawasan budaya. Ini mengingatkan dinamika tentang polemik kebudayaan pada dekade 1930-an. Kedua, Made Sarati mempunyai motivasi maju yang tinggi walaupun orangtuanya tidak memerhatikannya. Orangtuanya adalah perbekel yang penjudi. Oleh karena itu, ia ditelantarkan sehingga sekolahnya dibiayai oleh Anak Agung Punggawa sampai di Holland Inlandse Kweekschool (HIK) Bandung. Penyelamatan Made Sarati oleh Anak Agung Punggwa hingga sampai HIK adalah bentuk kepedulian sosial yang mengandung nilai humanis. Nilai humanis ini makin mengokohkan Made Sarati sebagai guru yang mengayomi, mengedepankan etika didaktik metodik tidak saja terhadap murid yang diajarnya di sekolah, tetapi juga dalam pergaulan di masyarakat, ketika ia dipercaya Ida Bagus Kumara mendampingi Dayu Priya berlibur ke Lombok. Jadi, Made Sarati menjiwai ilmu keguruan dalam
76
hidup bermasyarakat. Ia bukanlah guru yang kepepet, sebagaimana sering diberitakan pada zaman modern. “Selama ini guru cenderung dianggap sebagai profesi kelas dua. Sebagian besar orang tidak mau menjadi guru, kecuali karena kepepet alias daripada menganggur”, kata Sriyanto (2007: 58). Ketiga, Made Sarati memiliki jati diri yang kuat dengan bekal pendidikan yang memadai pada zamannya. Walaupun Made Sarati telah mengenyam pendidikan di Jawa (Bandung), nilai-nilai budaya Bali yang diwariskan para tetuanya tidak ditinggalkan. Ia telah berguru sampai ke Bandung untuk memperkuat jati diri budaya asalnya. Jadi, Made Sarati memupuk semangat nasionalisme tanpa meninggalkan nilai lokal yang membesarkannya. Ini merupakan bagian dari embrio pembentukan dan penguatan karakter budaya bangsa. Selain bertamasya ke Lombok, mereka bertiga juga menemui tokoh guru di Lombok, yaitu Guru Ketut Gunawan, seorang pemimpin perguruan di sana. Dikisahkan, Guru Ketut Gunawan adalah teman Made Sarati, sehingga rencana mereka menginap pada malam pertama di rumah Guru Ketut Gunawan. Ini memberikan isyarat bahwa pada zaman itu, orang berwisata bukan semata-mata bersenang-senang, melainkan untuk memperkuat tali persaudaraan, jauh dari motifmotif ekonomis bisnis sebagaimana saat ini pariwisata dimaknai. Dalam hal ini, yang dikedepankan adalah persahabatan sehingga prioritas menginap lebih memilih madunungan „menginap‟ di rumah teman, yang sama-sama berprofesi guru. Terimplisit juga maksud saling membelajarkan dalam bahasa kontemporer disebut studi banding.
77
Dalam rentang waktu lebih dari 40 tahun, sejak novel Mlantjaran ka Sasak karya I Gde Srawana, hanya ditemukan satu novel SBM karya Djelantik Santha berjudul Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang (1981). Penelitian Sancaya (1985) menunjukkan bahwa rencana awal novel ini diberi judul Made Arini
dengan
pertimbangna bahwa pengarang memperhitungkan kehadiran tokoh Made Arini sebagai tokoh penting yang menjadi cikal-bakal plot cerita yang menentukan nasib tokoh-tokoh yang lain. Dengan kisah yang mirip dengan Mlantjaran ka Sasak, novel Djelantik Santha juga menampilkan
guru sebagai tokoh utama dalam ceritanya.
Dalam Mlantjaran ka Sasak, Made Sarati dan Dayu Priya sama-sama tahu kalau cintanya tidak mungkin dipersatukan karena keduanya sudah sama-sama mengetahui posisinya masing-masing, berbeda kasta tetapi mereka justru bersenang-senang ke Lombok untuk mengungkapkan isi hatinya. Jadi, mereka bertamasya ke Lombok sesungguhnya untuk mengobati rasa sedihnya karena di rumahnya tidak tersedia obat untuk menyembuhkan luka hatinya. Bedanya, dalam
Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, perjuangan
Nyoman Santosa sebagai guru dalam meraih cintanya selalu dihadang oleh keadaan, baik hadangan manusia maupun karena alam. Hadangan manusia terjadi ketika cinta Santosa dengan Made Arini dirampas oleh Anak Agung Alit Sudendi atas nama kasta. Bagi Anak Agung Alit Sudendi, dengan kuasa triwangsa merasa berhak untuk mempersunting Made Arini, walaupun dengan cara memaksa (mlegandang). Hadangan alam terjadi ketika pacar Nyoman Santosa, Gusti Ayu Jinar meninggal secara tragis dalam peristiwa banjir yang menimpa kota Singaraja, setelah
78
sebelumnya cinta mereka berdua dihadang oleh Gusti Ketut Rai dan Gusti Ayu Srati dengan alasan beda kasta. Dari segi motif, tokoh guru Made Sarati dalam Mlantjaran ka Sasak dan Nyoman Santosa dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, memiliki motif yang sama. Dalam Mlantjaran ka Sasak, cinta Dayu Priya tumbuh setelah diselamatkan oleh guru Made Sarati dalam kecelakaan di Bandung, begitu juga dalam Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang cinta Gusti Ayu Jinar tumbuh setelah sebelumnya diselamatkan oleh guru Nyoman Santosa dalam perkemahan di tepi pantai. Dalam kedua novel ini, tokoh guru sebagai penyelamat generasi. Pada 2002, SBM juga mencatat novelet Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah karya Nyoman Manda. Novel ini juga bertema cinta tidak sampai yang dibingkai dalam acara perkemahan siswa SMU Sukawati ke Toyobungkah, Kintamani. Dalam acara perkemahan itu, terlibat dua guru muda, yaaitu Pak Sukata sebagai guru kelas dan Ibu Wartini sebagai guru Pembina seni sastra. Dua guru muda ini juga saling jatuh cinta, tetapi tidak sampai ke jenjang perkawinan. Walaupun di mata para siswa SMU Sukawati mereka akan jadi pasangan yang serasi, lebih-lebih dalam perkemahan di Toyobungkah mereka selalu tampak bersama-sama dengan gerak-gerik sebagaimana layaknya orang berpacaran. Dari deskripsi cerita ini, kedua guru muda ini adalah guru yang penuh perhatian, menjaga etika, dan peduli pada lingkungan. Sebagai guru sastra, Ibu Wartini selalu bersama-sama dengan Pak Sukata. Namun, karena Ibu Wartini hanya anak tunggal, orangtuanya menjodohkan dengan
79
saudara sepupunya agar ada yang mewarisi tradisi keluarganya. Pilihan itu diterima oleh Pak Sukata karena sebagai guru yang sama-sama berasal dari Bali memahami betul agar sedapat mungkin keluarga tidak putung (putus keturunan). Bahkan, Pak Sukata yang telah jatuh cinta kepada Ibu Wartini melarang jika pilihan sampai kawin lari. Ketokohan Pak Sukata sebagai guru melebihi batas-batas ruang sekolah. Dia memahami betapa budaya dan tradisi keluarga perlu dipertahankan demi mewariskan dan meneruskan titah para leluhur. Senada dengan novel Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah, pada 2004, SBM juga mencatat novelet Bukit Buung Bukit Mentik karya Wiyat S.Ardhi. Novel ini juga bertema cinta tidak sampai dalam kerangka pendidikan dengan dua tokoh Luh Tri Prayatni (guru SD) dan Gung De Ambara (guru SMP, pindahan dari Yogya ke SMPN Selat) yang saling jatuh cinta. Tema ini dibungkus dalam acara lomba Utsawa Dharma Gita yang dilaksanakan di GWK. Walaupun keduanya sama-sama jatuh cinta, pilihan orang tua Tri Prayatni untuk mempertahankan keluarga agar tidak putung, akhirnya Tri Prayatni dijodohkan kepada sepupunya I Nyoman Semadi. Pilihan ini diterima dengan ikhlas oleh Gung De Ambara, tanpa perlawanan. Dari segi motif memertahankan keluarga dari ke-putung-an, tokoh guru Gung De Ambara dalam Bukit Buung Bukit Mentik dan tokoh guru Sukata dalam Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah mempunyai pandangan yang sama. Pentingnya menyelamatkan keluarga dari putung diterima sebagai bagian yang wajib diperjuangkan. Hal ini terkait dengan keputusan-keputusan adat yang berpijak pada hukum purusa dengan laki-laki sebagai pengambil keputusan. Ketika dalam keluarga
80
yang ada hanya seorang gadis perempuan, tradisi Bali mengangkat waris laki-laki untuk menjadi sentana. Solusi itu sudah berlangsung bertahun-tahun di Bali. Selain novel, pengarang SBM juga banyak yang menulis cerpen (satua cutet). Bahkan, setelah reformasi bermunculan majalah sastra Bali, di antaranya Burat Wangi, majalah Satua, Bali Orti sisipan Bali Post berbahasa Bali yang terbit setiap hari Minggu sejak 2006. Pondok Tebawutu di Gianyar yang digawangi oleh I Made Sanggra (almarhum) dan Nyoman Manda dan Pustaka Ekspresi yang terbit di Tabanan dikomandoi oleh I Made Sugianto. Walaupun dengan modal seadanya, para pengembang sastra Bali ini telah menujukkan kreativitasnya yang membanggakan. Ini merupakan jawaban atas tudingan akan punahnya bahasa Bali pada awal dekade 1990-an. Dari media itulah, SBM khususnya cerpen mendapat tempat terhormat. Bahkan, beberapa di antara mereka telah berhasil meraih penghargaan Rancage dari Yayasan Rancage Ayip Rosidi. Namun sebelum media itu ada, beberapa sastrawan Bali sesungguhnya terus berkarya, seperti dilakukan Made Sanggra, Nyoman Manda, dan Djelantik Santha. Di luar itu, dari kalangan akademisi tercatat IB Agastia, Windhu Sancaya, Made Suarsa yang semuanya beralmamater di Unud. Di antara karya mereka yang menjadikan guru dalam tokoh-tokoh cerpennya antara lain Djelantik Santha, Nyoman Manda, dan I Made Sugianto. Sancaya (1985: 73) menyebutkan cerpen pertama Djelantik Santha berjudul Kulkul Bulus Tengahing Wengi (1976) menampilkan tokoh guru Nyoman Darmana, seorang guru agama, tamatan PGA Hindu bergaji sedikit. Walaupun demikian, ia jadi pilihan Made
81
Dastri. Pilihan Made Dastri pada Nyoman Darmana menjadi menarik bukan karena kekayaan, melainkan karena nilai-nilai dan kesederhanaan serta bakti pada orangtua (kawitan). Cerpen “Gamia Gamana” (1979) juga menampilkan tokoh guru bernama I Wayan Rawan (Iwan). Tokoh guru yang ditampilkan adalah guru agama Hindu yang diangkat di daerah transmigrasi di Sulawesi Selatan. Liku-liku dan perjuangan guru sangat kentara dalam cerpen ini. Jika memerhatikan tahun kelahiran cerpen-cerpen Djelantik Santha pada dekade 1970-an, dengan asumsi bahwa karya sastra lahir dari fakta sosial yang menyertai (Yunus,1985: 3) atau dalam pandangan Damono ( 2000: 651) seni adalah cermin masyarakatnya, maka dapat dibandingkan bahwa pada masa itu profesi guru masih dipandang sebagai pijakan nilai-nilai di dalam masyarakat. Hill (Kompas,20 Agustus 2011) menyebutkan pada 1971 betapa penting dampak seorang guru yang bisa membuka wawasan anak muda tentang berbagai hal. Damono (2000:48) menyebutkan guru adalah makhluk saleh dan bijak yang hidupnya tidak pernah berkecukupan. Cerpen karya Nyoman Manda yang berkisah tentang guru adalah cerpen berjudul
“Guru Made” (1995). Guru Made selain menjadi judul cerpen juga
sekaligus menjadi tokoh utama dalam cerpen ini. Kisahnya tentang dilema kesulitan guru mengatasi persoalan siswa-siswa di sekolahnya yang tidak mampu membayar SPP dan kesulitan yang dihadapi oleh Guru Made dalam membiaya kuliah anaknya di Fakultas Kedokteran Unud. Muncullah semangat perjuangan guru yang penuh dilematis.
82
I Made Sugianto (2010), dalam cerpen berjudul Sertifikat(-si) juga menampilkan tokoh guru pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Dalam cerpen ini, I Made Sugianto
menampilkan tokoh
guru I Ketut Lanus, S.Pd. yang menerabas dengan memalsu sertifikat/piagam demi memenuhi portofolio untuk mengikuti sertifikasi guru melalui jalur portofolio. Inilah sosok guru yang berbeda dalam SBM yang ditampilkan pasca sertifikasi guru. Selain cerpen “Sertifikat(-si)”, I Made Sugianto juga menulis cerpen “Surat Sakti” (2010) dengan tokoh guru
Nyoman Dobyot dan cerpen “Semara Dudu”
(2011) dengan tokoh guru I Made Kapuk. Cerpen “Sertifikat(-si)” dibukukan dalam kumpulan cerpen Bikul (2010) diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi Tabanan Bali. Cerpen “Surat Sakti” dibukukan dalam kumpulan cerpen Preman (2010) diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi Tabanan, Bali. Cerpen “Semara Dudu” dibukukan dalam kumpulan Bunga Valentine (2011) diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi Tabanan, Bali. Tokoh guru yang ditampilkan Sugianto bertolak belakang dengan tokoh guru yang
ditampilkan
pengarang-pengarang
sebelumnya.
Sugianto
menurut
penuturannya mulai menulis cerpen SBM sejak 2009 dan telah banyak melahirkan cerpen dan novel. Prestasinya sebagai penulis SBM telah mengantarkan dirinya sebagai penerima penghargaan Rancage untuk karya noveletnya berjudul Sentana „Anak‟ (2012) dan Rancage untuk tokoh berjasa bidang penerbit buku dalam SBM (2011). Perubahan cara Sugianto menampilkan tokoh guru dalam karya-karyanya sejalan dengan berita-berita di koran tentang guru yang terbit di Bali. Cerpen
83
“Sertifikat(-si), misalnya sejalan dengan berita media massa tentang plagiat di kalangan intelektual di negeri, tidak terkecuali para guru. Kompas pada bulan Februari 2010 misalnya memuat tulisan seputar plagiat di kalangan intelektual Indonesia secara berturut-turut. Nugroho (Kompas, 16/2/2010) menulis “Plagiarisme dan Intelektual Publik” Damanik (Kompas,19/2/2010) menulis “Epidemi Plagiarism” Buchori
(Kompas,22/2/2010) menulis “Guru Profesional dan Plagiarisme”.
Sarwindaningrum (Kompas,19/2/2010) juga menulis “Meraih Gelar dengan Skripsi Pesanan”, Riyanto (Kompas, 24/2/2010) menulis “Kutuk Plagiarisme,Lalu ?” Di dalam cerpen “Semara Dudu” (Cinta Terlarang) yang berkisah tentang guru olahraga yang bernama Gede Kapuk yang menghamili siswinya, bernama Luh Bunga disertai ancaman. “Da nyen ngorta. Da nyen orang-oranga, yan bani ngorta, I Luh tusing lakarang menek kelas!” (Preman,2010: 2). Artinya, “jangan bilangbilang. Jangan bilang-bilang, kalau berani bilang, I Luh akan tinggal kelas!” Ancaman menakutkan telah ditebarkan oleh sosok guru olahraga yang seharusnya membina dan melindungi siswanya yang lemah, tetapi justru memangsanya. Tak ubahnya, pagar makan tanaman. Ancaman juga terjadi dalam cerpen “Surat Sakti” dalam konteks berbeda. Jika dalam “Semara Dudu” guru mengancam siswa, maka dalam “Surat Sakti” pejabat mengancam guru dalam penerimaan siswa baru. Model politik pecah belah tanpa disadari telah terjadi dalam pendidikan. Guru di sekolah negeri dibenturkan dengan guru di sekolah swasta oleh penguasa yang memililiki jabatan strategis. Dalam posisi
84
lemah, guru tidak berani melawan. Tugas sebagai guru menjadi tugas melayani kekuasaan yang sulit dilawan. Berita tentang guru melecehkan siswi dan maraknya surat sakti menjelang penerimaan siswa baru di sekolah negeri adalah berita koran yang hangat ketika Sugianto menulis cerpen-cerpen dengan tokoh guru. Cara Sugianto menampilkan tokoh guru, cenderung menampilkan sisi gelap guru yang merupakan penyimpangan etika sebagai penyandang profesi guru. Sugianto berupaya mengingatkan dan menyadarkan guru ke posisi yang diamanahkan. Berbeda dengan karya pengarang Bali berbahasa Indonesia, seperti
Putu
Wijaya dan Gde Aryantha Soethama. Putu Wijaya dalam novel Tiba-tiba Malam (1977) menampilkan tokoh guru Sunatha dan dalam cerpen “Guru (1)” dengan tokoh guru Arif yang diberikan tugas tambahan sebagai kepala sekolah, serta cerpen “Guru (2” dengan tokoh Pak Guru. Pada Tiba-tiba Malam, Sunatha sebagai guru yang ditugaskan di Kupang harus meninggalkan istrinya di Bali sesaat setelah malam pertama perkawinan, tanpa pernah menyentuh istrinya, yang bernama Utari. Dibandingkan cinta kepada Utari, Sunatha lebih mencintai tugasnya sebagai guru daripada istrinya. Itulah sebabnya, Sunatha percaya diri meninggalkan istrinya di Tabanan Bali demi menunaikan tugas sebagai guru di Kupang. Sementara itu, Aryantha Soethama menampilkan tokoh guru dalam novel Senja di Candi Dasa dan cerpen “SPP” (1972) dan cerpen “Ibu Guru Anakku” (1993). Tokoh guru pada cerpen “SPP” adalah tokoh guru tanpa nama, hanya disebut Guru itu. Guru dikisahkan oleh narator sebagai sosok yang lemah lembut, jauh dari
85
kesan kasar. Lukisan tokoh guru yang demikian, juga ditemukan dalam cerpen berbahasa Bali karya Nyoman Manda berjudul “Guru Made” (1995). Pada cerpen “Ibu Guru Anakku”, Aryantha Soethama menghadirkan tokoh guru bernama Bu Rahayu yang terpaksa menjadi guru TK di Bali karena tidak dapat kerja di sektor pariwisata. Guru ini justru berbohong kepada orangtuanya di Jawa, padahal kerjanya di Bali hanya sebagai guru TK dengan penghasilan yang tidak layak. Novel Aryantha Soethama
berjudul Senja di
Candi Dasa menampilkan
tokoh guru Nengah Diarsa yang menikmati pekerjaan sebagai guru, tetapi ketika bertemu dengan sahabat lamanya bernama Suwitri yang bekerja di bidang pariwisata kecintaannya sebagai guru menjadi goyah sehingga mengajukan permohonan berhenti menjadi guru SMA, lalu menuruti tawaran Suwitri untuk menjadi manager Klumpu Cottage. Bekerja sebagai manager tidak membuatnya nyaman, senyaman ketika menjadi guru. Dari profesi sebagai manager inilah, Nengah Diarsa memperoleh tugas membuat
brosur untuk promosi Klumpu Cottage. Datanglah
Nengah Diarsa ke Percetakan Prasasti di Denpasar. Secara kebetulan ada orang yang juga membuat promosi di percetakan prasasti dengan menggunakan lukisan “Bisma Gugur” sebagai folder. Dari sinilah lalu muncul ide kembali memburu lukisan Bisma Gugur yang telah lama dilupakan. Satu-satunya buku kumpulan cerpen SIM karya pengarang
Bali yang
menguraikan tokoh guru dengan aneka persoalan adalah buku Pohon Jiwa (2013) karya IB Widiasa Keniten diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi. Buku ini memuat 12 cerpen dengan tokoh guru yang idealis dan kritis mewakili semangat zaman. Semua
86
cerpen dalam Pohon Jiwa menggambarkan ketegaran guru menghadapi keadaan yang cenderung berubah dengan intrik politik yang kuat. Tusti Edy (2013: vi) dalam kata pengantar buku ini, mengatakan, “Semua tokoh protagonis cerpen dalam Pohon Jiwa adalah guru yang ideal dan beridealisme tinggi. Ungkapan idealismenya nyaris hiperbolis. Semua tokoh protagonistnya berwatak “putih,” meskipun tokoh antagonisnya tak selalu berwatak “hitam”. Untuk memberikan gambaran ringkas terhadap kehadiran tokoh guru dalam cerpen SBM karya pengarang Bali, berikut ini disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 4.1 Cerpen SBM Karya Pengarang Bali dengan Tokoh Guru No. Judul/Tahun 1. Kulkul Bulus Tengah Wengi (1976) 2. Gamia Gamana (1979) 3. Guru Made (1995) 4. Guru Gara (2002) 5. Sertifikat(-si) (2010) 6. Semara Dudu (2010) 7. Surat Sakti (2011)
Tema Guru dipermainkan
Tokoh Guru yang Nyoman Darmana
Cinta terlarang
I Wayan Rawan
Guru yang dilema
Guru Made Warsa
Guru yang lemah Guru Gara ekonomi Guru yang menerabas I Ketut Lanus, S.Pd. Cinta terlarang Guru dipermainkan
Gede Kapuk yang Nyoman Dobyat
Pengarang Djelantik Santha Djelantik Santha Nyoman Manda I Made Suata I Made Sugianto I Made Sugianto I Made Sugianto
Tabel 4.1 menunjukkan pada dekade 1980-an tokoh guru dalam cerpen SBM tidak muncul. Hal itu sempat menimbulkan pesimisme di kalangan ahli sastra seperti I Gusti Ngurah Bagus yang pada dekade 1990-an menyebutkan SBM di ambang kematian, yang ditentang oleh Darma Putra (2010: 57) sebagai kecemasan berlebihan.
87
Bahkan, Darma Putra dalam Seminar Nasional Sastra (29-30 Oktober 2014) di Hotel Ina Sanur Beach menyebut masa kecemasan SBM telah beralih ke masa keemasan. Tokoh guru juga hadir dalam SIM seperti ditemukan dalam cerpen-cerpen Putu Wijaya, Aryantha Soethama, IB Widiasa Keniten. Ketiga pengarang ini mengapresiasi guru dalam beberapa karya cerpen. Mereka tidak saja menjadi cerpenis, tetapi juga menjadi novelis dan esais. Bahkan IB Widiasa Keniten berkarya dengan dua medium berbeda, bahasa Bali (SBM) dan bahasa Indonesia (SIM). Untuk lebih jelasnya, karya mereka ditampilkan dalam tabel berikut. Tabel 4.2 Cerpen SIM Karya Pengarang Bali dengan Tokoh Guru No. Judul/Tahun Tema Tokoh Guru Pengarang 1. Guru (1) /1995 Protes sosial Arif Putu Wijaya 2 Guru (2)/1995 Perubahan sosial Pak Guru idem 3. Guru /2001 Guru yang idealis Taksu idem 4. SPP /1972 Guru yang humanis Guru Aryantha 5. Ibu Guru Anakku Guru yang Bu Rahayu idem /1992 dipermainkan 6. Warisan Guru Kritik sosial I Made Adi IB Widiasa Keniten 7 Mutasi Guru korban politik Nyoman Sedeng idem 8. Ayu Partami Guru korban suami Ayu Partami idem 9. Kursi Fenomena Aku, Kepala idem kesurupan Sekolah 10. Kado Mengenang Rupawan, Aku idem nostalgia 11. Bos Guru yang berubah Aku, Made idem Yogadiprana Jayadiningrat 12. Bu Guru Astuti Guru terlibat Astuti idem ekstasi 13. Pohon Jiwa Guru yang Aku idem perhatian 14 Baju Putih Guru yang Made Sulastra idem menghilang 15 Cerita dari Balik Guru yang Aku idem
88
16. 17.
Bukit Derai-derai Mimpi Berguru Matahari Rembulan
perhatian Perjuangan menjadi Susanti guru pada Mencari guru sejati Aku dan
idem idem
Cerpen Widiasa Keniten tentang guru yang berjumlah 12 buah tersebut dibukukan dalam kumpulan cerpen Pohon Jiwa diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi Tabanan (2013). Tusti Edy (2013: vi) dalam kata pengantar buku Pohon Jiwa menilai sebagai cerpen yang tokoh-tokoh gurunya cenderung tetap memegang teguh idealisme. Hal ini menarik karena tokoh guru yang dikisahkan ditulis oleh Widiasa Keniten ketika masih menggeluti profesi sebagai guru. Sejak, 3 Februari 2014, ia dimutasi menjadi pengawas pendidikan di lingkungan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Karangasem setelah meraih Juara 1 Lomba Guru Berprestasi Tingkat Nasional (2013). Selain menulis cerpen, pengarang Bali juga menulis novel tentang guru baik dalam SBM maupun SIM. Novel SBM zaman kolonial Belanda yang menampilkan tokoh guru adalah Mlantjaran ka Sasak karya Gde Srawana (I Wayan Bhadra). Berikut ini disajikan novel pengarang Bali yang menampilkan tokoh guru dalam bentuk tabel. Tabel 4.3 Novel Pengarang Bali dengan Tokoh Guru No. Judul/Tahun 1. Mlantjaran ka Sasak (1939) * 2. Tiba-Tiba Malam (1977)
Tema Cinta tak sampai Perlawanan terhadap
Tokoh Guru Pengarang Made Sarati, Gde Srawana Ketut Gunawan Sunatha, Made Putu Wijaya Badung, Suki
89
3.
4. 5.
6.
7.
** Tresnane Lebur Ajur Satonden Kembang, (1981) * Senja di Candi Dasa (1992) ** Manah Bungah Lenyah di Toyobungkah (2002) * Bukit Buung Bukit Mentik (2004) * Kasih Bersemi di Danau Batur (2004) **
Catatan :
Adat Cinta sampai
tak Nyoman Santosa
Djelantik Santha
Perubahan Nengah Diarsa Sosial Cinta tak Sukata, Wartini sampai
Aryantha Soethama
Cinta sampai
tak Luh Tri Prayatni, Gungde Ambara
A Wiyat S. Ardhi
Yan Ariana
Nyoman Manda
Percintaan
* Novel Sastra Bali Modern ** Novel Sastra Indonesia Modern
Nyoman Manda
90
90