1
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini dipaparkan hasil penelitian yang meliputi karakteristik responden, karakteristik pasien pasca stroke, analisis deskriptif, perbedaan skor kemandirian antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi pelayanan home care, dan pengaruh pelayanan home care terhadap tingkat kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan pasca stroke. Juga dilakukan pembahasan hasil penelitian yang dikaitkan dengan teori dan hasil penelitian sebelumnya.
4.1. Gambaran Lokasi Penelitian Samarinda sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur dengan luas wilayah 749.06 KM2 yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kertanegara. Kota Samarinda terdiri dari 6 Kecamatan, dan 52 Kelurahan. Jumlah Penduduk Kota Samarinda sebanyak 770.170 jiwa terkosentrasi di aliran sungai Mahakam, sungai Karang Mumus, sungai Karang Asam, dan sungai Palaran dengan mata pencaharian sebagai Pedagang, Buruh Industri, Petani, Nelayan, Pegawai Negeri dan lain-lain (Profil Kota Samarinda) Penduduk Kota Samarinda cukup heterogen seperti suku Bugis, Banjar, Kutai, Jawa dll. Sehingga menambah keaneragaman budaya dan agama, sehingga memerlukan penanganan atau pendekatan khusus yang akhirnya berdampak pada kemajuan pembangunan di Kota Samarinda, khususnya Bidang Kesehatan (Profil
2
Dinkes Kota Samarinda)
Dinas Kesehatan Kota Samarinda mempunyai Visi, mewujudkan masyarakat Samarinda sehat, mandiri dan prima dalam pelayanan, dengan Misi yaitu: 1). mewujudkan lingkungan sehat; 2). mendorong perilaku hidup bersih dan sehat; 3). mewujudkan pelayanan kesehatan yang prima; 4) mewujudkan manajemen kesehatan yang bermutu; dan 5). Profesionalisme. Memiliki beberapa sarana pelayanan kesehatan antara lain 21 Puskesmas dan 43 Puskesmas Pembantu. (Profil Dinkes Kota Samarinda). Melaui proses perizinan dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda terdapat 1 (satu) Balai Asuhan Keperawatan yaitu Home Care Nursing Cahaya Husada Kaltim yang berbadan hukum Yayasan dengan akte notaris, berdiri sejak tahun 2006 dengan Visi: memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif, paripurna dan profesional berbasis di rumah, dan mempunyai Misi: 1) memberikan pelayanan kesehatan bio, psiko, sosial dan spiritual; 2). memberikan pelayanan dengan mengutamakan promotif dan preventif tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif; 3). memberikan pelayanan sesuai dengan kewenangan dan kompetensi (Profil Home Care Cahaya Husada Kaltim)).
4.2. Hasil Penelitian. 4.2.1. Karakteristik Responden Penelitian dilakukan terhadap 60 (enam puluh) responden yang dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok perlakuan yang mendapatkan intervensi pelayanan home care dengan pendekatan asuhan keperawatan keluarga dan kelompok
3
kontrol yang tidak mendapatkan pelayanan home care dengan pendekatan asuhan
4
keperawatan keluarga. Besar sampel menggunakan rumus pendekatan estimasi proporsi dari Ariawan (2008), sehinggga besar sampel untuk masing-masing kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebesar 30 responden. Gambaran karakteristik responden pada kelompok perlakuan (intervensi) dan kelompok kontrol diuraikan berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan dan hubungan dengan pasien, dan penghasilan rata-rata per bulan dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel
4.1.
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Karakteristik Usia ( tahun) : 21-30 31-40 41-50 51-60 Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan Pendidikan : SMP SMA DIII Status Pernikahan : Menikah Tidak Menikah Hubungan dengan pasien : Istri Anak Penghasilan rata-rata per bulan : < Rp 900.000,00 Rp 900.000,00- Rp 1.500.000,00 Rp 1.500.000,00-Rp 2.500.000,00
pada
Kelompok
Kelompok Kontrol (%) Frekuensi
(%)
7 7 12 4
23,3 23,3 40,1 13,3
6 7 14 3
20 23,3 46,7 10
2 28
6,7 93,3
1 29
3,3 96,7
16 12 2
53,3 40 6,7
15 14 1
50 46,7 3,3
21 9
70 30
23 7
76,7 23,3
16 14
53,3 46,7
17 13
56,7 43,3
4 22 4
13,3 73,3 13,3
7 20 3
23,3 66,7 10,0
Perlakuan Frekuensi
5
Berdasarkan tabel 4.1, tergambar bahwa pada dua kelompok penelitian hampir setengah dari responden berusia 41-50 tahun yaitu 40 % pada kelompok perlakuan, dan 46,7 % pada kelompok kontrol. Berdasarkan jenis kelamin, hampir semua responden berjenis kelamin perempuan yaitu 93,3 % pada kelompok perlakuan, dan 96,7 % pada kelompok kontrol. Berdasarkan pendidikan setengah dari responden tingkat pendidikannya SMP, yaitu 53,3 % pada kelompok perlakuan, dan 50 % pada kelompok kontrol. Berdasarkan status pernikahan lebih dari setengah responden sudah menikah yaitu 70 % pada kelompok perlakuan, dan 76,7 % pada kelompok kontrol. Berdasarkan hubungan dengan pasien lebih dari setengah responden sebagai istri, yaitu 53,3% pada kelompok perlakuan, dan 56,7 % pada kelompok kontrol. Berdasarkan penghasilan rata-rata per bulan lebih dari setengah responden antara Rp 900.000,00-Rp 1.500.000, yaitu 73,3 % pada kelompok perlakuan, dan 66,7 pada kelompok kontrol.
4.2.2. Karakteristik Pasien Pasca Stroke Gambaran karakteristik pasien pasca stroke pada kelompok perlakuan (intervensi) dan kontrol diuraikan berdasarkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan dan frekuensi serangan stroke dapat dilihat pada tabel 4.2.
6
Tabel 4.2. Distribusi Karakteristik Pasien Pasca Stroke pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol. Karakteristik Usia (tahun) : 41-50 51-60 Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan Pendidikan : Tidak sekolah SD SMP SMA Status Pernikahan : Menikah Frekuensi Serangan Stroke : 1 Kali 2 Kali
Perlakuan Frekuensi
Kelompok Kontrol Frekuensi %
%
5 25
16,7 83,3
4 26
13,3 86,7
18 12
60 40
17 13
56,7 43,3
7 12 6 5
23,3 49 20 16,7
6 14 6 4
20 46,7 20 13,3
30
100
3
100
26 4
86,7 13,3
27 3
90 10
Berdasarkan tabel 4.2, tergambar bahawa pada kedua kelompok penelitian berdasarkan usia hampir semua pasien berusia 51-60 tahun yaitu 83,3 % pada kelompok perlakuan, dan 86,7 % pada kelompok kontrol. Berdasarkan jenis kelamin lebih dari setengah pasien berjenis kelamin laki-laki yaitu 60 % pada kelompok perlakuan, dan 56,7 % pada kelompok kontrol. Berdasarkan pendidikan hampir setengan dari pasien memiliki latar belakang pendidikan SD, sebesar 40 % pada kelompok perlakuan, dan 46,7% kelompok kontrol. Berdasarkan status pernikahan semua pasien sudah menikah yaitu 100 % pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Berdasarkan frekuensi serangan stroke hampir semua pasien frekuensi serangan strokenya 1 (satu) kali, yaitu 86,7 %
7
pada kelompok perlakuan, dan 90 % pada kelompok kontrol.
4.2.3. Tingkat Kemandirian Keluarga Gambaran deskriptif variabel tingkat kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan pasca stroke pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi (pelayanan home care ) dapat dilihat pada diagram 4.3. Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Tingkat Kemandirian Keluarga Pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Sebelum dan Sesudah Dilakukan
Intervensi (Pelayanan Home Care)
Tingkat Kemandirian Keluarga 1. Keluarga Mandiri I
Kelompok Kontrol Sebelum Setelah F % F % 22 73,3 21 70
Kelompok Perlakuan Sebelum Setelah F % F % 25 83,3 0 0
2. Keluarga Mandiri II
8
26,7
9
30
5
16,7
0
0
3. Keluarga Mandiri III
0
0
0
0
0
0
30
100
Berdasarkan tabel 4.3, tergambar bahwa tingkat kemandirian keluarga pada kelompok kontrol sebelum dan setelah tetap berada pada Keluarga Mandiri I dan II, yaitu sebelum, lebih dari setengah responden (73,3%) berada pada Keluarga Mandiri I, kurang dari setengah responden ( 26,7 %) berada pada Keluarga Mandiri II, dan setelah, lebih dari setengah responden (70%) berada pada Keluarga Mandiri I , kurang dari setengah responden (30%) berada pada Keluarga Mandiri II. Sedangkan pada kelompok perlakuan sebelum dan setelah diberikan intervensi pelayanan home care terjadi peningkatan tingkat Kemandirian Keluarga dari Keluarga Mandiri I ke Keluarga Mandiri III, yaitu sebelum diberikan intervensi pelayanan home care lebih setengah responden
8
(83,3%) berada pada Keluarga Mandiri I, kurang dari setengah responden (16,7%)
9
berada pada Keluarga Mandiri II, dan setelah diberikan intervensi pelayanan home care semua responden (100 %) berada pada Keluarga Mandiri III 4.2.4. Perbedaan Karakteristik Responden antara kedua kelompok penelitian Perbedaan karakteristik responden antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol dipaparkan pada tabel 4.4, di bawah ini. Tabel 4.4. Hasil Uji Beda Karakteristik Responden antara Kelompok P e r l a kuan dan Kelompok Kontrol.
Karakteristik Responden
P value*
Usia
0,374
Jenis Kelamin
0,351
Pendidikan
0,591
Status Pernikahan
0,341
Hubungan dengan Pasien
0.067
Penghasilan rata-rata per bulan
1,056
*Chi Square test Berdasarkan tabel 4.4. Hasil uji perbedaan karakteristik antara kelompok perlakuan dan kontrol , semua karakteristik responden didapatkan nilai p > 0,05, artinya karakteristik responden pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan adalah sama atau tidak ada perbedaan. 4.2.5. Perbedaan Karakteristik Pasien Pasca Stroke antara kedua kelompok penelitian. Perbedaan karakteristik pasien pasca stroke antara kelompok perlakuan
10
dengan kelompok kontrol dipaparkan pada tabel 4.4, di bawah ini.
Tabel 4.5. Hasil Uji Beda Karakteristik Pasien Pasca Stroke antara K e lompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol. K a rakteristik Pasien Pasca Stroke Usia
P value* 0,131
Jenis Kelamin
0,069
Pendidikan
0,342
Status Pernikahan Frekuensi Serangan
0,162
* Chi Square test Berdasarkan tabel 4.5. Hasil uji perbedaan karakteristik antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, semua karakteristik pasien pasca stroke didapatkan nilai p > 0,05, artinya karakteristik pasien pasca stoke pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan adalah sama atau tidak ada perbedaan.
4.2.6. Tingkat Kemandirian Keluarga Sebelum dan Setelah Intervensi Pelayanan Home Care Pada Kelompok Perlakuan. Skor kemandirian keluarga sebelum dan setelah intervensi pelayanan home care pada kelompok perlakuan digambarkan pada tabel 4.6 dan gambar 4.1, di bawah ini. Tabel 4.6. Skor Kemandirian Keluarga Sebelum dan Setelah Intervensi P e layanan Home Care pada Kelompok Perlakuan Waktu Median Minimun Maximun SD
11
Sebelum
4,00
2
5
0,785
Setelah
9,00
8
10
0,556
Skor Kemandirian
12
Gambar 4.1 Skor Kemandirian Keluarga Sebelum dan Setelah Intervensi Pelayanan Home Care pada Kelompok Perlakuan Berdasarkan tabel 4.4. Skor Kemandirian sebelum intervensi pelayanan home care didapat nilai minimun skor 2, maximun skor 5, median skor 4 dengan SD 0,785 dan setelah intervensi pelayanan home care didapat nilai minimun skor 8, maximun skor 10, median skor 9 dengan SD 0,556. Sehingga terlihat bahwa terdapat perbedaan bermakna skor kemandirian keluarga sebelum dan setelah intervensi pelayanan home care pada kelompok perlakuan. Peningkatan skor kemandirian keluarga juga dapat dilihat secara jelas pada gambar 4.1, garis biru memperlihatakan skor kemandirian sebelum intervensi pelayanan home care dan garis merah memperlihatkan skor kemandirian keluarga setelah intervensi pelayanan home care pada masingmasing responden yang berjumlah 30 responden, tampak jarak antara garis biru dan merah terpisah jauh.
13
4.2.7. Skor Kemandirian Keluarga Sebelum dan Setelah pada kelompok Kontrol. Skor kemandirian keluarga sebelum dan setelah pada kelompok kontrol digambarkan pada tabel 4.7 dan gambar 4.2, di bawah ini.
Skor Kemandirian
Tabel 4.7. Skor Kemandirian Keluarga Sebelum dan Setelah pada
Kelompok Kontrol. Gambar 4.2 Skor Kemandirian Sebelum dan Setelah pada Kelompok Kontrol Berdasarkan tabel 4.7. Skor Kemandirian sebelum dan setelah didapat nilai skor yang sama yaitu minimun skor 2, maximun skor 5, median skor 4 dengan SD 0,898. Sehingga terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna skor kemandirian keluarga sebelum dan setelah pada kelompok kontrol. Keadaan tersebut terlihat jelas pada gambar 4.2, sebelum dan sesudah jarak antara garis biru dan merah saling berhimpitan bahkan saling timpang tindih menandakan tidak terjadi peningkatan skor kemandirian keluarga.
14
4.2.8. Pengaruh Pelayanan Home Care Terhadap Tingkat Kemandirian Keluarga Dalam Merawat Anggota Keluarga Dengan Pasca Stroke. Pengaruh pelayanan home care terhadap tingkat kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan pasca stroke, dapat dilihat pada tabel 4.8, di bawah ini. Tabel 4.8. Hasil Uji Beda Tingkat Kemadirian Keluarga antara kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Sebelum dan Setelah d i l a kukan Intervensi Pelayanan Home Care
K e lompok Penelitian
Z
P Value*
Kelompok Perlakuan
-6,809
0,000
Kelompok Kontrol
-0,047
0,962
Mann-Whitney U Test
*
Berdasarkan tabel 4.8. Tingkat Kemandirian Keluarga sebelum dan setelah intervensi pelayanan home care pada kelompok perlakuan dari hasil uji statistik Mann Whitney didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) maka Ho ditolak, yang artinya Intervensi pelayanan home care berpengaruh secara bermakna terhadap kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan Pasca Stroke. Sedangkan tingkat Kemandirian Keluarga sebelum dan setelah pada kelompok kontrol dari hasil uji statistik Mann Whitney didapatkan nilai p = 0,962 (p > 0,05) maka Ho diterima, yang artinya tidak terdapat perbedaan bermakna tingkat kemandirian keluarga sebelum dan setelah pada kelompok kontrol.
15
4.3. Pembahasan Pada bagian ini diuraikan interpretasi dan diskusi hasil penelitian, termasuk keterkaitan dengan teori dan hasil penelitian lain yang telah dilakukan sebelumnya serta menjelaskan keterbatasan penelitian.
4.3.1. Analisis Karakteristik 4.3.1.1. Analisis Karakteristik Responden. Berdasarkan hasil uji perbedaan mengunakan uji Chi Square, karakteristik responden responden berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, dan hubungan dengan pasien pasca stroke antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol didapatkan nilai p > 0,05, artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara karakteristik kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Berdasarkan hal tersebut, Peneliti berpendapat bahwa karakteristik responden memiliki persamaan (homogenitas) antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Bila diamati berdasarkan usia, didapatkan hampir setengah dari responden berusia 41-50 tahun yaitu 40 % pada kelompok perlakuan, dan 46,7 % pada kelompok kontrol. Hasil tersebut didukung oleh penelitian Lui, Ross & Thompson ( 2005) yang menemukan karakteristik Responden rata rata berusia 47,9 tahun. –
Namun berbeda dengan penelitian Steiner et al (2008), bahwa karakteristik responden sebagian besar berusia 51- 60 tahun 31,5 %, selanjutnya yang berusia
16
41-60 tahun (19,2 %).
Hasil tersebut sejalan yang dikemukakan (Robbins, 2001), semakin meningkatnya usia, semakin berpengalaman dan semakin meningkat kemampuan profesionalnya. Hasil di atas sejalan dengan hasil penelitian Nurachmah (2000), menyebutkan faktor usia memberikan justifikasi yang lebih beralasan pada faktor karatif “ dukungan akan harapan” dan “ sensitivitas” dipengaruhi oleh signifikan oleh usia. Berdasarkan uraian di atas peneliti berpendapat bahwa dengan bertambahnya usia seseorang semakin bertambah pengalaman dan semakin dekat dengan keluarga untuk memberikan dukungan, harapan dan membantu secara langsung merawat anggota keluarga dengan pasca stroke. Berdasarkan jenis kelamin, hampir semua responden berjenis kelamin perempuan yaitu 93,3 % pada kelompok perlakuan, dan 96,7 % pada kelompok kontrol.. Data tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan lebih banyak jadi family care giver dibanding laki-laki. Hasil diatas didukung dari beberapa penelitian sebelumnya yakni, penelitian Bugge, alexander & Hagen (1999), bahwa family care giver lebih banyak berjenis kelamin perempuan yaitu 73 %, sealain itu juga ditemukan pada penelitian Steiner et al ( 2008), bahwa karakteristik family care giver lebih banyak perempuan (female) yaitu 81,1 % pada non web user group, 69,4 % pada web user group, dan temuan penelitian dari Lui, Ross & Tompson (2005), bahwa karakteristik family care givers lebih banyak berjenis kelamin perempuan yaitu 63 %, serta di dukung oleh penelitian Sit et al (2004), bahwa dari 102 responden family care givers, sebagian besar
17
berjenis kelamin perempuan (female) 72 %, laki-laki (male) 29,4 %.
18
Kondisi di atas dapat disebabkan karna perempuan lebih sensitif, dan subjektif dari pada laki-laki. Hal ini ditegaskan Caplan (1996) pria sifatnya lebih agresif dan wanita lebih sensitif serta subjektif dibanding pria yang cenderung rasional. Dengan kata lain wanita dalam menentukan sifatnya lebih didasarkan pada penghayatan dibanding pengetahuan terhadap objek tertentu. Menurut Natoatmojo (1996) dalam menentukan sikap seseorang tidak hanya memerlukan penghayatan saja tetapi diperlukan pengetahuan atau keyakinan tentang konsep atau gagasan dari suatu objek. Berdasarkan uraian di atas peneliti berpendapat berdasarkan pengamatan peneliti bahwa perempuan lebih sabar dalam merawat anggota keluarga dengan pasca stroke dibanding dengan laki-laki. Namun pada dasarnya dalam merawat anggota keluarga dengan pasca stroke dapat dilakukan dengan baik oleh perempuan atau laki-laki, karena merawat pada anggota keluarga dapat dipelajari sebagai suatu pengetahuan. Dengan kata lain baik laki-laki maupun perempuan yang mempelajari pengetahuan dan keterampilan cara merawat anggota keluarga dengan pasca stroke maka ia akan dapat memahami dan melaksanakan secara baik. Tingkat pendidikan responden dalam penelitian setengah dari responden tingkat pendidikannya SMP, yaitu 53,3 % pada kelompok perlakuan, dan 50 % pada kelompok kontrol. Hasil tersebut berbeda dengan temuan Sit et al (2004), dari 102 responden family care givers, hampir setengah dari responden, tingkat pendidikan ( education level) SD (Primary School), yakni 38, 2 %.
19
Kaitannya dengan merawat anggota keluarga dengan pasca stroke tidak hanya berhubungan dengan tingkat pendidikan keluarga yang tinggi akan tetapi terkait dengan kemauan, kemampuan, dan kesadaran keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan pasca stroke. Effendi (1998) mengemukakan bahwa dalam memecahkan masalah kesehatan keluarga sangat dipengeruhi adanya kesadaran keluarga untuk mengetahui masalah kesehatan yang terjadi pada anggota keluarga. Berdasarkan status pernikahan, Berdasarkan status pernikahan lebih dari setengah responden sudah menikah yaitu 70 % pada kelompok perlakuan, dan 76,7 % pada kelompok kontrol. Berdasarkan data tersebut, didukung oleh temuan dari Sit et al (2004), bahwa responden family care givers, sebagian besar status pernikahan (marital status), yakni menikah (married) 81,4 %. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan Robbins (2001), mengemukakan bahwa tampaknya pernikahan memaksakan peningkatan tanggung jawab yang dapat membuat suatu pekerjaan yang tetap (steady) menjadi lebih berharga dan penting. Berdasarkan uraian di atas, peneliti berpendapat bahwa dengan pernikahan, keluarga merasa bertanggung jawab dan empati untuk terlibat merawat keluarga dengan pasca stroke. Memperhatikan karakteristik responden hubungan dengan pasien pasca stroke, didapatkan lebih dari setengah responden sebagai istri , yaitu 53,3% pada kelompok perlakuan, dan 56,7 % pada kelompok kontrol. Berdasrkan data tersebut, didukung beberapa penelitian sebelumnya yaitu penelitian Sit et al
20
(2004), bahwa sebagia besar hubungan dengan pasien stroke (relationship with stroke patient), yakni istri (spouse) 61 %, dan penelitian McCullagh, Brigstocke, Doanaldson & Kalra (2005). Bahwa karakteristik Responden, lebih dari setengah responden hubungan dengan pasien stroke adalah istri (spouse/partner) yaitu 70,6 %, serta penelitian dari Steiner et al (2008), lebih dari setengah dari reponden hubungan dengan pasien pasca stroke yakni istri (wife) pada non web user group (51,4 %), web user group (41,7 %). Hal tersebut sejalan yang dikemukakan oleh Effendi (1998) bahwa keluarga merupakan sistem pendukung utama memberi pelayanan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) anggota keluarga. Oleh karena itu, asupan pelayanan/perawatan yang berfokus pada keluarga bukan hanya memulihkan keadaan pasien, tetapi juga bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan dalam keluarga tersebut. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berpendapat bahwa orang yan terdekat dengan pasien dalam hal ini istri ketika suami yang sakit yang perlu memberikan dukungan utama dan memberikan pelayanan langsung berupa perawatan pasca stroke di rumah. Berdasarkan penghasilan rata-rata per bulan lebih dari setengah responden antara Rp 900.000,00-Rp 1.500.000,00 yaitu 73,3% pada kelompok perlakuan, dan 66,7% pada kelompok kontrol. Berdasarkan hal tersebut penghasilan rata-rata perbulan responden dikategorikan penghasilan dengan upah minimun dan belum
21
dikategorikan sebagai Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Menurut Dirjen
2
2
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsostek (2012) bahwa standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yaitu ≥ Rp 1.540. 330,00 dan standar Upah Minimun yaitu Rp 1,084,000 tahun 2012 untuk Provinsi Kalimantan Timur. Berdasarkan hal tersebut, berdasarkan pengamatan peneliti, dengan adanya anggota keluarga yang sakit terutama Kepala Keluarga, dapat menyebabkan terjadi perubahan peran formal dalam pencari nafka untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan beban masalah ekonomi pada keluarga. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Feigin (2009), anggota keluarga yang terkena stroke membutuhkan waktu untuk pemulihan status kesehatan, selain menimbulkan beban emosional, fisik, juga beban ekonomi atau keuangan pada keluarga.
4.3.1.2. Analisis Karakteristik Pasien Pasca Stroke Berdasarkan hasil uji perbedaan mengunakan uji Chi Square, karakteristik responden responden berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, dan hubungan dengan pasien pasca stroke antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol didapatkan nilai p > 0,05, artinya tidak ada perbedaan yang bermakna antara karakteristik kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Berdasarkan hal tersebut peneliti berpendapat bahwa karakteristik pasien pasca stroke memiliki persamaan (homogenitas) antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Bila diamati berdasarkan usia, didapatkan hampir semua pasien berusia 51-60 tahun yaitu 83,3 % pada kelompok perlakuan, dan 86,7 % pada
2
3
kelompok kontrol. Hasil data tersebut agak berbeda dengan beberapa penelitian
sebelumnya antara lain penelitian Lui, Ross and Thompson ( 2005) yang menemukan karakteristik pasien stroke berusia antara 61-94 tahun, juga dari penelitian McCullagh, Brigstocke, Doanaldson & Kalra (2005). Bahwa karakteristik pasien pasca stroke rata berusia 74,2 tahun (SD 10,5). Hasil penelitian ini didukung yang dikemukakan oleh Feigin (2009), bahwa Resiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setelah mencapai usia 50 tahun, setiap penambahan usia tiga tahun meningkatkan risiko stroke sebesar 11-20 %, dengan peningkatan bertambah seiring usia. Orang berusia lebih dari 65 tahun memiliki risiko paling tinggi, tetapi hampir 25 % dari semua stroke terjadi pada orang berusia kurang dari 65 tahun. Wiwit (2010), bahwa 2/3 serangan stroke terjadi pada usia di atas 65 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, lebih dari setengah pasien berjenis kelamin laki-laki yaitu 60 % pada kelompok perlakuan, dan 56,7 % pada kelompok kontrol. Hasil diatas didukung dari beberapa penelitian sebelumnya antara lain penelitian Bugge, alexander & Hagen (1999), bahwa karakteristik pasien pasca stroke lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu 54,5 % (n=60), selain itu juga ditemukan pada penelitian penelitian McCullagh, Brigstocke, Doanaldson & Kalra (2005) bahwa karakteristik pasien pasca stroke lebih banyak berjenis kelamin laki-laki 51,7 % (n=120). Hasil penelitian ini didukung oleh Feigin (2009), laki-laki memiliki resiko terkena stroke iskemik atau perdarahan intraserebellum pada usia sekitar 65 tahun
2
4
lebih tinggi sekitar 20 % daripada wanita dan Mulyatsih (2010), jenis kelamin laki-laki lebih sering terkena stroke dibandingkan dengan perempuan, salah
satunya adalah faktor kebiasan merokok pada laki-laki. Kebiasaan merokok telah terbukti antara lain dapat mengganggu kemampuan darah untuk mengikat oksigen dan merusak kelenturan sel darah merah serta Nikotin dan karbondioksida yang ada pada rokok menyebabkan kelainan pada dinding pembuluh darah, disamping itu juga mempengaruhi komposis darah sehingga mempermudah terjadinya proses penggumpalan darah (stroke non haemoragik) serta Wiwit (2010), bahwa pria lebih banyak terkena daripada wanita, yaitu mencapai kisaran 1,25 kali lebih tinggi. Berdasarkan tingkat pendidikan hampir setengan dari pasien memiliki latar belakang pendidikan SD, sebesar 40 % pada kelompok perlakuan, dan 46,7% kelompok kontrol. Hal ini didukung oleh beberapa teori antara lain menurut Natoamodjo (2002), bahwa makin tinggi pendidikan seseorang maka makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki. Ha ini dikemukakan oleh Sofwan (2010), bahwa serangan stroke dapat terjadi tiba tiba, umumnya karena –
pasien tidak mengetahui dan kurangnya pengetahuan pasien tentang gejala terjadinya serangan stroke dan tidak melakukan upaya yang tepat untuk mengurangi terjadinta stroke. Memperhatikan berdasarkan frekuensi serangan stroke hampir semua pasien frekuensi serangan strokenya 1 kali, yaitu 86,7 % pada kelompok perlakuan, dan 90 % pada kelompok kontrol. Berdasarkan hasil data tersebut,
2
5
agak berbeda dari penelitian sebelumnya yaitu Lui, Ross and Thompson ( 2005), bahwa untuk karakteristik pasien pasca stroke sebagian besar yakni 90 %
diikutkan dalam penelitiannya serangan stroke lebih dari 1 (satu) kali mulai dari cacat ringan sampai cacat berat.
4.3.2. Tingkat Kemandirian Keluarga sebelum dan setelah intervensi pelayanan home care pada kelompok perlakuan. Skor Kemandirian sebelum intervensi pelayanan home care didapat nilai minimun skor 2, maximun skor 5, median skor 4 dengan SD 0,785 dan setelah intervensi pelayanan home care didapat nilai minimun skor 8, maximun skor 10, median skor 9 dengan SD 0,556. Sehingga terlihat bahwa terdapat perbedaan bermakna skor kemandirian keluarga sebelum dan setelah intervensi pelayanan home care pada kelompok perlakuan. Hasil penelitian tersebut didukung oleh teori dan beberapa penelitian sebelumnya. Dalam penelitian ini, pada kelompok perlakuan, peneliti melakukan pelayanan home care berupa pendidikan kesehatan dengan metode ceramah dan tanya jawab pada keluarga tentang penyakit stroke sehingga keluarga dapat mengetahui tentang penyakit stroke; mengajarkan keterampilan perawatan dasar pasien stroke dengan metode demonstrasi pada keluarga sehingga keluarga mampu melakukan perawatan sederhana pada anggota keluarga dengan stroke. Hal tersebut di atas sesuai yang dikemukakan Mulyatsih (2010), bahwa dengan memberikan pengetahuan kepada keluarga tentang penyakit stroke dan
2
6
mengajarkan pada keluarga tentang perawatan dasar pasca stroke di rumah terutama dalam hal mengatasi kelemahan dan kelumpuhan, melatih keseimbangan duduk dan berdiri, melatih cara berkomunikasi atau berbicara, mengajarkan cara
makan dan minu melalui oral dan melalui selang atau mengajarkan cara pasien buang air besar dan kecil dan cara memandikan (personal higiene), keluarga dapat mandiri dalam merawat anggota keluarga pasca stroke sehingga meminimalkan kecacatan seringan mungkin, dan mencegah terjadinya serangan berulang. Hal senada yang dikemukakan Stenhope & Lancaster (1998) bahwa perawat memberikan pendidikan kesehatan untuk menyajikan pendidikan membantu keluarga untuk melihat bagaimana perilaku mempengaruhi anggota keluarga. Salah satu pendidikan kesehatan yang diberikan yaitu cara makan, mobilisasi, minum, penyesuaian dengan stress dan penggunaan obat-obatan Hal di atas juga sejalan yang dikemukakan Suprajitno, (2004), menyampaikan bahwa dalam melakukan perawatan anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan penting untuk diberikan pengetahuan keluarga tentang penyakit yang dialami anggota keluarga (sifat, penyebaran, komplikasi, kemungkinan setelah tindakan dan cara perawatan), tujuan memberikan pemahaman kepada keluarga supaya keluaraga dapat berpartisipasi dan mandiri dalam mengatasi masalah anggota keluarganya. Berdasarkan uraian di atas peneliti berpendapat bahwa memberikan pelayanan home care dengan pendekatan asuhan keperawatan keluarga berupa
2
7
pendidikan kesehatan kepada keluarga untuk mengetahui penyakit stroke dan dan memahami perawatan dasar pemulihan pasien pasca stroke, keluarga dapat mandiri dalam mengatasi masalah anggota keluarga dengan pasca stroke.
4.3.3. Tingkat Kemandirian Keluarga sebelum dan setelah pada kelompok kontrol Skor Kemandirian sebelum dan sesudah didapat nilai skor yang sama yaitu minimun skor 2, maximun skor 5, median skor 4 dengan SD 0,898. Sehingga terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna skor kemandirian keluarga sebelum dan setelah pada kelompok kontrol. Hal ini didukung oleh beberapa teori dan penelitian sebelumnya. Dalam penelitian ini, pada kelompok kontrol, peneliti tidak melakukan pelayanan home care dengan pendekatan asuhan keperawatan keluarga sehingga keluarga tidak atau kurang mengetahui tentang penyakit stroke serta tidak memahami perawatan dasar pemulihan pasca stroke, sehingga keluarga tidak atau kurang mampu merawat anggota keluarga dengan pasca stroke. Hal tersebut sesuai yang dikemukakan oleh Sudiharto (2007), bahwa kemandirian dari keluarga sangat tergantung pada pola-pola yang diaktualisasikan keluarga, tingkat maturitas dan perkembangan individu, pengetahuan yang didapat, kesehatan dan budaya komunitas setempat. Berdasarkan uraian di atas peneliti berpendapat bahwa kemandirian keluarga tidak tercipta ketika tidak diberikan pelayanan home care dengan pendekatan asuhan keperawatan keluarga berupa pengetahuan tentang penyakit
2
8
stroke dan cara perawatan dasar untuk pemulihan pasien pasca stroke di rumah sehingga bisa menimbulkan ketergantungan keluarga kepada tenaga kesehatan yaitu Perawat.
2
9
4.3.4. Pengaruh Pelayanan Home Care terhadap Tingkat Kemandirian Keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan pasca stroke. Tingkat Kemandirian Keluarga sebelum dan setelah intervensi pelayanan home care pada kelompok perlakuan dari hasil uji statistik Mann Whitney didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) maka Ho ditolak, yang artinya Intervensi pelayanan home care berpengaruh secara bermakna terhadap kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan Pasca Stroke. Hal ini didukung oleh beberapa teori dan penelitan sebelumnya. Kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga dapat diwujudkan dengan pemberian pelayanan home care, hal ini dikemukakan oleh Warhola, (1980) dan Serwen, (1991) dalam Sumijatun, dkk (2006) bahwa Pelayanan home care merupakan komponen dari rentang pelayanan kesehatan yang komprehensif yaitu bio, psikologis, sosial dan spiritual di tempat tinggal mereka dengan tujuan untuk memandirikan individu dan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatannya. Dalam mewujudkan kemandirian keluarga melalui pelayanan home care sangat diperlukan peran perawat, hal ini dikemukakan oleh Rice (2001), bahwa Perawat yang melakukan pelayanan keperawatan di rumah (home care) mempunyai peran untuk meningkatkan kemampuan keluarga untuk mencegah penyakit dan pemeliharaan kesehatan sehinga penerapan proses keperawatan di rumah, terjadi proses alih peran dari perawat kepada klien dan keluarga (sasaran), dan diharapkan secara bertahap dapat mencapai kemandirian klien
0
beserta keluarga sasaran dalam menyelesaikan masalah kesehatannya.
3
3
1
Pada penelitian ini ditemukan pasien stroke pasca perawatan rumah sakit, semuanya masih mempunyai gejala sisa, yaitu kehilangan fungsi motorik (hemiparese), kesulitan berbicara (disatria), keadaan masih bedrest total, sehingga berdampak pada pemenuhan kebutuhan dasar seperti mandi, keramas, makan, minum, buang air besar, buang air kecil, dan mobilisasi, sehingga peran keluarga sangat dibutuhkan untuk pemulihan atau rehabilitasi pasien pasca stroke dan keluarga sangat membutuhkan pengetahuan dan keterampilan untuk melaksanakan pemenuhan kebutuhan dasar teersebut dari tenaga kesehatan terutama perawat yang melakukan pelayanan home care Hal ini di dukung penelitian dari Ostwald, Hearsch, Kelley & Godwin (2008) bahwa rehabilitasi pasca stroke membutuhkan waktu yang cukup panjang sehingga dibutuhkan kolaborasi antara perawat dan keluarga. Keluarga sangat membutuhkan informasi seperti pendidikan kesehatan tentang pencegahan stroke berulang, serta cara meningkatkan gaya hidup seperti diit, latihan dan manajemen stress, sehingga pasien pasca stroke dapat meningkat kualitas hidupnya. Perawat dalam melakukan pelayanan home care selain memberikan pendidikan kesehatan tentang stroke dan mengajarkan keterampilan perawatan dasar pasca stroke, perlu juga memberikan dukungan atau support pada keluarga. Hal ini sesuai penelitian steinner et al (2008), bahwa perlu adanya dukungan emosional dan bantuan fisik pada keluarga yang menjadi care giver dalam merawat pasien stroke tertama pada tahun pertama. Hal ini juga di tekankan
3
2
Dossey. et al. (2005). Bahwa dalam proses penyembuhan atau pemulihan pasien,
perlu diperhatikan manusia secara menyeluruh (holism), yaitu bio, psiko, sosial kultural, dan spiritual. Dalam penelitian ini, ditemukan peran keluarga terdekat seperti istri dan anak dari pasien stroke sangat bermakna dalam proses penyembuhan dan pemulihan pasien pasca stroke di rumah, istri dan anak sebagai care giver melaksanakan fungsi keluarga yaitu fungsi perawatan kesehatan keluarga. Seperti yang dikemukakan oleh Fredman (2002) bahwa terdapat 5 (lima) fungsi keluarga yaitu 1). fungsi afektuf (the affectice function); 2). Fungsi sosial dan tempat bersosialisasi (socialization and social placement function); 3). Fungsi perawatan kesehaan (the health care function), fungsi reproduksi (the reproductive function), dan fungsi ekonomi (the economic function). Fungsi perawatan kesehatan kelauarga yang dilakukan oleh istri dan anak dari pasien pasca stroke dalam penelitian ini adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh keluarga untuk mengatasi masalah kesehatan yang berhubungan dengan penyembuhan dan pemulihan pasien pasca stroke di rumah dengan melaksanakan lima (5) tugas kesehatan keluarga dalam bidang kesehatan. Hal tersebut sesuai yang dikemukakan oleh Tinkham dan Voorhies, (1984), dalam Friedman(2002) bahwa untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi kelurga. keluarga mempunyai tugas kesehatan dalam mengatasi masalah kesehatanya yang dikenal 5 (lima) tugas keluarga dalam bidang kesehatan yaitu : 1) mengenal masalah kesehatan anggota keluarganya; 2) mengambil kepetusan yang
3
3
tepat untuk mengatasi masalah kesehatan anggota keluarganya; 3) merawat anggta keluarga yang sakit atau yang memerlukan bantuan untuk mengatasi masalah
kesehatannya; 4) memeodifikasi lingkungan rumah yang bisa mempengaruhi kesehatan anggota keluarganya; 5) memamfaatkan fasilitas kesehatan dan sumber daya keluarga yang tersedia untuk mengatasi masalah kesehatan anggota keluarganya. Kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan pasca stroke dalam penelitian ini yaitu istri dan anak yang menjadi care giver melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga yaitu : 1) Keluarga dapat mengetahui masalah kesehatan pasien stroke, dengan kriteria : (1) keluarga dapat menyebutkan pengertian stroke, tanda dan gejala dari stroke; (2) keluarga dapat menyebutkan penyebab dari stroke; (3) keluarga dapat menyebutkan faktor risiko yang dapat menimbulkan terjadinya stroke; (4) keluarga memiliki persepsi positif terhadap pemulihan pasien stroke. Setelah diberikan pendidikan kesehatan kepada istri dan anak dari pasien pasca stroke sebagai care giver dalam penelitian ini, 86% - 100% dapat mengetahui masalah kesehatan pasien stroke. Hal ini didukung pendapat dari Bailon & Maglaya (1978), dalam Friedman (2002) bahwa ketidak sanggupan keluarga dalam mengenal masalah dapat diakibatkan oleh adanya ketidaktahuan tentang fakta fakta, rasa takut akan akibat jika masalah diketahui baik secara –
fisik, psikologis, sosial ekonomi dan dan falsafah hidup. 2) Keluarga dapat mengambil keputusan untuk mengatasi masalah masalah, dengan
3
4
kriteria : (1) masalah anggota keluarga dengan stroke dirasakan oleh keluarga; (2) keluarga dapat menyebutkan akibat/komplikasi dari pasien pasca stroke; (3)
keluarga dapat mengambil keputusan yang tepat tentang penanganan masalah anggota keluarga dengan stroke. Setelah diberikan pelayanan home care dengan pendidikan kesehatan di rumah kepada istri dan anak dari pasien pasca stroke sebagai care giver dalam penelitian ini, sekitar 86 %-90 % dapat mengetahui cara mengambil keputusan untuk mengatasi masalah kesehatan anggota keluarga dengan stroke. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Scanzoni dan Szinovacs (1980) dalam Friedman (1998), bahwa pengambilan keputusan merupakan proses pencapaian persetujuan dan komitmen anggota keluarga untuk melakukan serangkaian tindakan atau menjaga status quo, dengan kata lain pengambilan keputusan merupakan alat untuk menyelesaikan segala sesuatu. 3) Keluarga mampu merawat anggota keluarga dengan pasca stroke, dengan kriteria : keluarga terampil melaksanakan perawatan sederhana pada anggota keluarga dengan stroke terdiri dari : (1) melakukan keterampilan kebutuhan memandikan pasien di tempat tidur, (2) melakukan keterampilan keramas dengan benar, (3), melakukan perawatan mulut dan gigi, (4) melakukan keterampilan kebutuhan eliminasi Buang air kecil menggunakan urinal pot atau perawatan kateter, (5). melakukan keterampilan kebutuhan eliminasi Buang air besar menggunakan pispot, (6) melakukan keterampilan kebutuhan cairan melalui oral atau NGT atau perawatan NGT, (7) melakukan keterampilan kebutuhan nutrisi melalui oral atau NGT atau perawatan NGT, (8). melakukan
3
5
pemenuhan kebutuhan mobilisasi dengan pemberian posisi tubuh, (9) melakukan pemenuhan kebutuhan mobilisasi dengan latihan rentang gerak,
(10) melakukan keterampilan kebutuhan psikologi : manajemen stress dengan teknik relaksasi progresif, dan (11) melakukan keterampilan pemberian obat melalui oral atau sublingual atau topical. Dari 11 (sebelas) aspek keterampilan dasar yang diberikan kepada keluarga, rata- rata aspek nomor 1 (satu), 6 (enam), dan 7 (tujuh) merupakan aspek yang sangat mudah untuk dipahami oleh keluarga yang menjadi care giver, sedangkan rata-rata aspek nomor 9 (sembilan), 11 (sebelas) yang sangat susah dipahami oleh keluarga yang menjadi care giver. Hal tersebut menurut Peneliti keterampilan seperti memandikan, memberikan makan, dan minum menjadi hal yang muda dilakukan oleh keluarga karena keluarga sudah berpengalaman melakukan hal tersebut sehingga diberikan setu kali di demonstrasikan keterampilan tersebut keluarga sudah mampu melaksanakannya, sedangkan keterampilan manajemen stress dan latihan rentang gerak menjadi hal yang susah dilakukan oleh keluarga karena keluarga belum berpengalaman melakukan hal tersebut sehingga didemonstrasikan beberapa kali, baru keluarga mampu melaksanakannya. Berdasarkan hal tersebut di atas setelah diberikan pelayanan home care dengan mendemonstasikan 11 (sebelas) aspek keterampilan perawatan dasar tersebut di rumah kepada istri dan anak dari pasien pasca stroke sebagai care giver dalam penelitian ini, sekitar 86 %-100% dapat terampil dalam melakukan perawatan sederhana pada pasien pasca stroke.
3
6
Hal tersebut di atas dikemukakan oleh Bailon & Maglaya (1978), dalam Friedman, (2002) bahwa Kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga
3
7
yang sakit dapat terhambat jika keluarga tidak mengetahui keadaan penyakit (sifat, penyebaran, komplikasi, prognosa, dan perawatannya), tidak mengetahui tentang sifat dan perkembagan perawatan yang dibutuhkan, tidak adanya fasilitas yang diperlukan untuk perawatan, kurang pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan prosedur perawatan/pengobatan, ketidak seimbangan sumbersumber yang ada pada keluarga untuk perawatan (anggota keluarga yang bertanggung jawab, sumber keuangan/finansial dan fasilitas fisik), sikap negatif terhadap yang sakit, dan adanya konflik individu, sikap/pandangan hidup dan perilaku mementingkan diri sendiri . 4) Keluarga mampu memodifikasi lingkungan yang mendukung pemulihan anggota keluarga dengan stoke, dengan kriteria: (1) keluarga dapat melakukan modifikasi lingkungan rumah dikamar tidur anggota keluarga dengan stroke; (2) keluarga dapat melakukan lingkunagn rumah di kamar mandi. Setelah diberikan pelayanan home care dengan mengajarkan keluarga memodifikasi lingkungan rumah di kamar tidur dengan cara : (1) kamar tidur pasien stroke sebaiknya berada di lantai bawah, (2) ventilasi harus cukup dan sinar matahari dapat masuk kekamar tidur pada pagi hari, (3) tempat tidur sebaiknya tunggal (bila ada) dan ditempatkan di tengah supaya dapat dihampiri dari kedua sisi, (4) tersedia meja disamping tempat tidur dari pasien, letak meja sebaiknya ditempatkan pada sisi anggota gerak yang sehat, (5) bila keseimbangan duduk pasien telah baik maka meja sebaiknya diletakkan disisi yang lemah agar membiasakan pasien menggunakan sisi yang lemah juga mencegah terjadinya kekakuan.
3
8
Mengajarkan keluarga memodifikasi lingkungan rumah di kamar mandi dengan cara : (1) harus tersedia keset yang tidak licin di depan kamar mandi, (2). Kloset sebaiknya berbentuk duduk (bila ada), bila tidak dapat di buatkan dudukan penyambung antara kloset jongkok dengan posisi duduk pasien, (3) lantai kamar mandi dijaga agar tidak licn, (4) sediakan kursi plastik di dalam kamar mandi. Dalam penelitian ini, semua (100%) responden dapat memodifikasi lingkungan rumah di kamar tidur dan di kamar mandi. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Suprajitno (2004), bahwa penting bagi keluarga untuk memiliki pengetahuan tentang sumber yang dimiliki oleh keluarga di sekitar lingkungan rumah, kemampuan keluarga melihat keuntungan dan manfaat pemeliharaan lingkungan, pengetahuan keluarga tentang pentingnya dan sikap keluarga terhadap sanitasi lingkungan yang hygienis sesuai syarat kesehatan, pengetahuan keluarga tentang upaya pencegahan penyakit yang dapat dilakukan keluarga, dan kebersamaan anggota keluarga untuk meningkatkan dan memelihara lingkungan rumah yang menunjang kesehatan keluarga. 5) Keluarga mampu menfaatkan sumber daya keluarga dan fasilatas kesehatan yang terdekat serta fasilitas yang diperlukan untuk merawat anggota keluarga dengan kriteria : (1) melakukan pemanfaatan atau penyedian sumber daya keluarga, (2) melakukan pemamfaatan fasilitas pelayanan kesehatan puskesmas dan atau rumah sakit dan penyedian peralatan yang dibutuhkan anggota keluarga dengan pasca stroke di rumah.
3
9
Setelah diberikan pelayanan home care dengan mengajarkan keluarga melakukan penyediaan sumber daya keluarga yaitu (1) sumber daya manusia terdiri dari personal yaitu empati merawat anggota keluarga pasca stroke, interpersonal yaitu kerjasama dan keterbukaan dengan keluarga yang lain; (2) sumber daya materi yaitu keluarga menyiapkan biaya pengobatan lanjut (kontrol kesehatan) di sarana kesehatan; (3) sumber daya waktu yaitu keluarga mempunyai waktu untuk merawat anggota keluarga dengan pasca stroke; (4) sumber daya fisik yaitu keluarga menyiapkan tempat yang layak untuk merawat anggota keluarga dengan pasca stroke. Mengajarkan pada keluarga cara melakukan penyediaan peralatan yang dibutuhkan di rumah seperti peralatan papan kaki digantikan dengan karton tebal yang dilipat dengan bagian kaki berada di bawah matras; urinal pria di ganti dengan botol soda plastik bekas, potong untuk membuat lubang besar tepi yang dipotong diplaster; alat mencegah foot drop diganti dengan sepatu karet yang pas dengan ujung tinggi; bel panggil di ganti dengan kaleng soda yang diisi dengan batu-batu kecil; alat untuk mengatur dan menggolongkan obat diganti dengan karton tempat telur, nampan tempat kue muffin; dan pelindung tumit atau siku diganti dengan kaus kaki keras yang diberi simpul pada bagian tumit dan bagian jari kaki dipotong. Serta memotivasi untuk kontrol kesehatan, apabila terjadi perubahan kondisi atau obat habis ke puskesmas dan atau rumah sakit. Dalam penelitian ini semua (100%) responden dapat memfaatkan dan
4
0
menyediakan sumber daya keluarga dan fasilitas pengganti peralatan di rumah
yang dibutuhkan oleh pasien pasca stroke serta menfaatkan sarana pelayanan kesehatan yaitu puskesmas dan atau rumah sakit. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bailon, Maglaya (1978) dalam Friedman ( 2002) bahwa Pemanfaatan pelayanan kesehatan dan sumber daya keluarga dapat mengalami hambatan jika keluarga tidak tahu atau tidak sadar bahwa fasilitas kesehatan dan sumber daya keluarga itu ada, tidak memahami keuntungan keuntungan yang diperoleh dari fasilitas kesehatan dan sumber –
daya keluarga, kurang percaya terhadap petugas kesehatan dan fasilitas kesehatan, adanya pengalaman yang kurang baik dari petugas kesehatan, rasa takut akibat dari tindakan terhadap fisik/psikologis, keu angan dan sosial, tidak terjangkaunya fasilitas kesehatan dikarenakan ongkos, fisik dan lokasi, tidak adanya fasilitas kesehatan yang diperlukan, tidak ada atau kurangnya sumber daya keluarga, rasa asing atau tidak adanya dukugan dari masyarakat. Dalam penelitian ini setelah diberikan pelayanan home care pada pasien pasca stroke dengan pendekatan asuhan keperawatan keluarga terjadi peningkatan kemandirian keluarga yaitu dari Keluarga Mandiri I dan II menjadi semua (100%) responden famili care giver Keluarga Mandiri III, hal ini sesuai yang dikemukakan Friedman (2002) bahwa hasil akhir yang diharapkan pada keluarga setelam diberikan pengetahuan yaitu terjadi kemandirian keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami sakit dan memerlukan bantuan.
4
1
Pada penelitian ini, semua pasien pasca stroke yang ditindak lanjuti di rumah berasal dari pasca rawat inap rumah sakit, pada saat pengukuran awal
4
2
berdasarkan observasi, Peneliti mendapatkan kondisi kesehatan pasien berada dalam kondisi; kelemahan (hemiparese) pada ekstermitas kanan atau kiri dengan rata-rata skala kekuatan otot 2 (dua) sampai 3 (tiga), kesulitan berbicara (disatria), personal higiene sangat kurang, kondisi kamar tidur dan kamar mandi pasien di rumah belum tertata dengan baik; kondisi emosi pasien labil, dan ekspresi wajah murung. Setelah dilakukan intervensi pelayanan home care dengan pendekatan asuhan keperawatan keluarga selama 7 (tujuh) hari kunjungan, berdasarkan hasil obeservasi pada pengukuran akhir penelitian, terjadi peningkatan yang bermakna kondisi kesehatan pasien baik secara fisik, psikologi, sosial, dan spiritual yang ditampilkan dengan penampilan pasien rapi, bersih dan segar, kekuatan otot ekstremitas kanan dan kiri terjadi peningkatan yang signifikan menjadi rata-rata kekuatan otot 4 (empat), kondisi kamar tidur dan kamar mandi sudah di modifikasi lingkungannya sehingga tertata dengan baik; kondisi emosi pasien sudah mulai stabil, ekspresi wajah ceria, sudah bersosialisasi dengan orang lain dengan rutin melakukan kontrol perkembangan kesehatannya bersama keluarga baik di puskesmas maupun di rumah sakit, dan sudah melaksanakan shalat atau ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing.
4.4. Keterbatasan Penelitian Instrumen penelitian ini berupa kuesioner dan observasi. Kuesioner tentang pengetahuan keluarga tentang stroke dan kemampuan keluarga mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi masalah anggota keluarga
3
4
dengan stroke, dan observasi tentang kemampuan keluarga dalam merawat secara sederhana pada anggota keluarga dengan pasca stroke, kemampuan keluarga memodifikasi lingkungan yang mendukung pemulihan pasien pasca stroke, dan kemampuan keluarga menggunakan dan memfaatkan sumber daya dan failitas sarana kesehatan dan peralatan yang dibutuhkan di rumah pasien pasca stroke. Peneliti memodifikasidari kuesioner Evidence-Based Educational Guidelines for stroke Survivosrs After Discharge Home oleh Sit, Wong, Clinton, Li & Fong. (2004). Walaupun kuesioner ini telah di gunakan beberapa kali di luar negeri dan memiliki koefisien relibilitas yang baik, namun dalam proses penterjemahannya telah dilakukan penyesuaian karena pertimbangan aspek budaya dan kondisi tempat penelitian.
44