BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Tinjauan Umum Kelurahan Melai Kelurahan Melai secara geografis berada pada 5˚26" - 5²26" Lintang
Selatan dan 122˚30" - 122˚38", Lokasi berjarak 3 Km dari pusat Kota Baubau, untuk menuju ke kawasan ini dapat ditempuh melalui transportasi darat baik menggunakan kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Kelurahan Melai terdiri dari 3 RW dan 9 RT dengan luas wilayah ± 0,37 Km2. Merupakan kelurahan dengan jumlah jiwa 1.904, yang wilayahnya keseluruhan dikelilingi oleh benteng terluas di dunia, sesuai catatan MURI 22,8 Ha (panjang keliling 2.740 m).
Gambar.4.1 Kelurahan Melai yang di kelilingi oleh benteng Sumber: Google Earth
52
53
Penduduk Kelurahan Melai merupakan masyarakat asli suku Buton (Miana Wolio) karena mereka keturunan Kaomu dan Walaka dalam stratifikasi masyarakat Buton semasa Kesultanan Buton. Jumlah penduduk dalam wilayah Kelurahan Melai sampai tahun 2010 sejumlah 1818 jiwa dengan 421 KK. Penggunaan lahan di kawasan benteng keraton Buton didominasi oleh permukiman (73%). Permukiman di kawasan benteng keraton Buton memiliki pola grid. Selain permukiman, jenis penggunaan lahan lainnya di kawasan benteng keraton antara lain, perkantoran, perdagangan dan jasa, ruang terbuka hijau (RTH) dan makam serta fasilitas umum lainnya. Perkantoran yang terdapat di kawasan benteng keraton Buton yaitu kantor Kelurahan Melai dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Baubau, sedangkan untuk jenis guna lahan RTH berupa taman, lapangan, kebun, dan tanah kosong. Sarana pendidikan yang terdapat di kawasan studi antara lain Sekolah Dasar dan Taman Kanak-Kanak serta sarana kesehatan berupa posyandu. Tabel.4.1 Penggunaan Lahan di Kelurahan Melai No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis penggunaan lahan Luas (Ha) Permukiman 17.0 Perkantoran 0.4 Perdagangan dan jasa 0.8 RTH dan makam 4.38 Fasilitas umum lainnya 0.8 Total 23.38 Sumber: Monografi Kelurahan Melai tahun 2012
54
Gambar 4.2 Persentase tiap jenis penggunaan lahan di Kelurahan Melai Sumber: Monografi Kelurahan Melai tahun 2012
Kelurahan Melai dibagi dalam 3 lingkungan yakni Lingkungan Baaluwu, Lingkungan Dete, dan Lingkungan Peropa. Dalam 3 lingkungan tersebut, wilayah ini dibagi ke dalam 9 Rukun Tetangga (RT) yang masingmasing lingkungan terdapat 3 RT.
Pemukiman penduduk mengikuti arah
jalan yang melingkar benteng dan beberapa jalan yang menghubungkan antara lingkungan. Rumah-rumah penduduk saling berhadapan mengikuti jalan raya, dengan lorong-lorong dan jalan setapak di tiap-tiap lingkungan. Rumah penduduk sebagian besar rumah panggung dengan tipe tradisional rumah adat Buton (bentuk Kamali, banua Tada, rumah biasa). Namun ada beberapa rumah penduduk yang menambahkan bangunan rumahnya berupa rumah batu di kolong dan bagian dapur.
55
4.2.
Ruang Publik Yaroana Masigi Ruang publik
Yaroana Masigi
berada di
dalam kawasan
permukiman tradisional Buton yang keberadaanya dikeliling oleh benteng, dan merupakan area paling terdepan dari permukiman. Ketika memasuki gerbang masuk permukiman, area ruang publik Yaroana Masigi ini bisa langsung terlihat.
Ruang publik Yaroana Masigi
Gambar.4.3 Kedudukan Ruang Publik Yaroana Masigi terhadap kawasan Sumber: Google Earth digambar ulang penulis Terdiri dari ruang terbuka halaman ditengah-tengah, Batu Popaua (batu pelantikan sultan) yang berada di Utara , Baruga (Balai pertemuan) disisi Timur berhadapan langsung dengan ruang terbuka dan masjid, Masjid Agung Keraton yang berada disisi Barat ruang terbuka, Kasulana Tombi (Tiang bendera kesultanan) yang berdiri disamping masjid, jangkar yang berada disisi Utara, Makam Sultan Murhum beserta Batu Wolio yang berada disisi timur. Berikut merupakan penjelasan mengenai obyek maupun bangunan di kawasan Yaroana Masigi :
56
A.
Batu Popaua (Batu Pelantikan Sultan)
Batu Popaua disebut juga batu ponu karena bentuknya yang menyerupai punggung penyu, letaknya di depan Masjid Agung Keraton. Setiap raja/sultan Buton dilantik di tempat ini oleh patalimbona/Siolimbona (dewan legislatif pada masa itu). Kondisi saat ini cukup terawat dimana sudah diberi pembatas disekelilingnya, disekitaran batu pelantikan ini juga sudah menjadi keramik yang sebelumnya hanya berupa semen biasa, Batu Popaua juga sudah diberi pelindung berupa atap.
Gambar 4.4
B.
Kondisi Batu Popaua saat ini Sumber: Penulis
Yaroana(Halaman) Halaman ini terletak ditengah-tengah di antara Masjid, Baruga dan
Batu Popaua, dengan luasan ± 1000m2 . Halaman ini telah ada sejak era pemerintahan Ratu Wakaaka di abad ke 13 berupa tanah kosong. Pada zaman kesultanan halaman ini dipergunakan sebagai ruang untuk mengumpulkan warga, mengabarkan sesuatu, ritual adat, menyambut tamu kesultanan, tempat prosesi pelantikan, mengumpulkan warga untuk melihat
57
prosesi pelantikan. Sampai saat ini fungsi tersebut masih berlangsung. Secara fisik menurut penuturan budayawan setempat yang juga warga dikelurahan Melai, bahwa di zaman dahulu halaman Yaroanamerupakan halaman berumput, dan saat ini halaman tersebut telah diberi perkerasan berupa paving.
Gambar 4.5
C.
Kondisi Yaroana saat ini Sumber: Penulis
Baruga Baruga dibangun dimasa pemerintahan Sultan Dayanu Ikhsanudin
atau Laelangi, yaitu pada tahun 1610. Baruga pada masa pemerintahan Laelangi berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat untuk bermusyawarah juga para sultan untuk melakukan upacara ataupun membahas masalah-masalah ekonomi, politik dan lain-lain yang di hadapi oleh masyarakat Buton. Di samping itu Baruga juga digunakan sebagai tempat prosesi pelantikan sultan-sultan. Merupakan bangunan panjang tanpa dinding yang berada tepat berhadapan dengan masjid, merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat dimana permasalahan-permasalahan di masa kesultanan diuraikan dan diselesaikan secara bersama. Fungsi tersebut masih berlaku hingga saat ini, seminar-seminar kebudayaan juga kerap
58
dilangsungkan di Baruga. Kondisi Baruga saat ini selain sudah lebih modern dengan lantai keramik dan tiang beton juga diketahui telah mengalami beberapa perubahan bentuk material maupun arsitektural. Dari wawancara dengan budayawan setempat yaitu Imran Kudus mengatakan bahwa bentuk Baruga yang dibangun oleh pemerintah sekarang tidak sesuai dengan arsitektur Baruga yang seharusnya, terutama pada bentuk atap serta desain lantai.
Gambar 4.6 Bentuk Baruga pada tahun 2007 sebelum dipugar Sumber: Penulis
Bentuk Baruga di zaman kesultanan yang pernah disinggung dalam riwayat lisan orang-orang tua terdahulu disebutkan tidak beratap lapis seperti sekarang, karena atap lapis merupakan simbol dari kepemilikan sultan seperti yang terlihat pada bentuk rumah-rumah sultan yang semuanya beratap lapis, sedangkan atap Baruga cuma satu saja sebagai perwujudan kepemilikan bersama sesuai fungsinya sebagai tempat musyawarah dan berkumpulnya masyarakat. Selain bentuk atap, juga bentuk lantai yang saat ini menggunakan keramik dan menyatu dengan tanah, padahal menurut riwayat lisan bahwa bentuk lantai Baruga adalah berbentuk panggung .
59
Perubahan besar yang terjadi pada Baruga ini sempat menjadi alasan masyarakat di kelurahan Melai merubah beberapa bagian rumah tradisionalnya menjadi modern.
Gambar 4.7
Kondisi Baruga saat ini Sumber: Penulis
D.
Masjid Agung Keraton
Masigi atau Masjid Agung Keraton Buton adalah salah satu benda cagar budaya Indonesia yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No: KM.8/PW.007/MKP.03 Tanggal 4 Maret 2003. Masjid ini dibangun pada 1712 oleh Sultan Buton ke-19, Sultan Zaqiyuddin Darul Alam.
60
Masjid berada di tengah-tengah kawasan, menjadi zona inti dan landmark kawasan Benteng Keraton, dengan halaman yang luas, dengan tiang bendera kesultanan masih berdiri utuh di sampingnnya. Secara fisik kondisi masjid masih terawat, fungsinya juga belum berubah sejak masa kesultanan hingga saat ini.
.
Gambar 4.8
Masjid Agung Keraton
Sumber: Penulis
Fisik dinding masjid terbuat dari tembok batu yang disusun rapi dengan pewarna putih masih menggunakan batu kapur, dan atap terbuat dari material seng berbentuk limas dua tingkat. Masjid dengan ukuran 20 x 20 Meter ini sampai sekarang tetap digunakan sebagai tempat beribadah dan juga sebagi pendidikan Islam bagi masyarakat sekitar. Sejak didirikan, Masjid Agung Keraton Buton telah mengalami perubahan sebanyak 5 kali. Perubahan pertama pada 1878, yaitu mengganti bagian atapnya dengan seng yang semula hanya menggunakan atap daun nipah. perubahan kedua pada 1930, yaitu mengganti sebagian rangka kayu yang sudah mulai lapuk dan mengganti lantainya dengan semen. Perubahan ketiga dan keempat pada 1978 dan 1986, yakni mengganti atap seng yang sudah mulai usang.
61
perubahan kelima pada 2002, yaitu mengganti lantai masjid dengan marmer. Kelima renovasi yang dilakukan tersebut tidak mengubah bentuk asli Masjid Agung Keraton Buton.
Gambar 4.9
Penampakan Masjid Agung Keraton pada tahun 1950 (atas) 1960 (kiri) dan pada tahun 2012 (kanan) Sumber: Pusat Kebudayan Wolio
Terdapat 12 pintu masuk ke dalam masjid yang salah satu di antaranya berfungsi sebagai pintu utama. Pada bagian depan masjid di sebelah timur masjid, terdapat serambi terbuka kayu yang digunakan untuk membangun masjid berjumlah 313 potong sesuai dengan jumlah tulang pada manusia. Jumlah anak tangga masuk masjid 17 buah, sama dengan jumlah rakaat salat dalam sehari. Bedug masjid yang berukuran panjang 99 cm dianalogikan dengan asmaul husna dan diameter 50 cm dimaknai sama
62
dengan jumlah rakaat salat yang pertama kali diterima Rasulullah. Pasak yang digunakan untuk mengencangkan bedug tersebut terdiri dari 33 potong kayu yang dianalogikan dengan jumlah bacaan tasbih sebanyak 33 kali. Di depan pintu utama di antara dua selasar terdapat sebuah guci bergaris tengah 50 sentimeter dengan tinggi 60 sentimeter. Guci itu terhujam ke lantai semen berlapis marmer. Guci tersebut telah ditempatkan di situ sejak adanya masjid ini sebagai penampungan air untuk berwudu.
Gambar 4.10 Penampakan dalam Masjid Agung Keraton Sumber: Penulis
Adapun untuk ruang bagian dalamnya mampu menampung jamaah dengan panjang saf 13, dan 40 orang persafnya. Masjid tidak memilik plafon sehingga penghawaan udara langsung alami berasal dari sela-sela antara dinding dan atap. Di dalam masjid terdapat sebuah mihrab dan mimbar yang terletak secara berdampingan. Keduanya terbuat dari batu bata yang di bagian atasnya terdapat hiasan dari kayu berukir corak tumbuhtumbuhan yang mirip dengan ukiran Arab.
63
E.
Kasulana Tombi (Tiang Bendera Kesultanan)
Pada sisi sebelah utara bangunan masjid Keraton berdiri sebuah tiang bendera yang ujungnya lebih tinggi dibanding puncak masjid. Tiang bendera itu didirikan tidak lama setelah masjid dibangun. Kayu yang digunakan untuk tiang bendera tersebut dibawa oleh pedagang beras dari Pattani, Siam .
Gambar 4.11 Kasulana Tombi Sumber: Penulis Dahulu setiap Jumat dipasang bendera kerajaan yang berwarna kuning, merah, putih, dan hitam di tiang tersebut. Masjid Keraton tidak memiliki menara layaknya masjid-masjid pada umumnya, yang ada adalah tiang bendera yang berdiri disamping masjid. Kasulana Tombi merupakan salah satu simbol identitas dari kesultanan Buton yang menjadi tempat dikibarkannya bendera kesultanan. Tiang ini berdiri tepat di sebelah Masjid Keraton. Keberadaannya masih utuh dan bertahan, meski terlihat mulai sedikit miring. Didirikan pada abad ke-17 untuk mengibarkan Tombi
64
(bendera) kerajaan Buton. Bahan dasarnya terbuat dari kayu jati dengan tinggi 21 M dari permukaan tanah yang berdiameter antara 25 cm hingga 70 cm. Fungsi utama tiang bendera ini adalah sebuah syarat utama sebuah kerajaan. Saat ini permukaan tempat pijakan tiang telah diberi perkerasan beton dan sekelilingnya dibiarkan bebas tanpa dipagari.
F.
Makam Sultan Murhum dan Batu Wolio
Gambar 4.12 Makam Sultan Murhum Sumber: Penulis Makam Sultan Murhum terletak di puncak bukit lele mangura. Sultan Murhum merupakan raja ke VI dan Sultan Buton yang pertama. Berdasarkan beberapa sumber, Murhum dilantik menjadi Sultan Buton I pada tahun 948 Hijriah dan wafat pada tahun 1584 Masehi. Lokasi makam Berada di sebelah timur masjid. Berada di dataran yang lebih tinggi. Jirat makam diperbaiki pada tahun 1989, dibuatkan sarana jalan yang menuju situs. Untuk mencapainya
dapat menggunakan anak tangga yang
disediakan. Ada anak tangga juga yang disediakan di samping makam untuk melihat sekeliling makam, namun tangga yang berada di samping makam kurang terawatt, sehingga jarang digunakan.
65
Gambar 4.13 Tangga di depan makam dan di samping makam Sumber: Penulis Batu Wolio berada di samping makam Sultan Murhum, batu setinggi ± 1m ini dapat mengeluarkan air pada waktu-waktu tertentu kecuali pada musim kemarau, yang dipergunakan untuk tempat membasuh/ memandikan para raja dan sultan yang akan di lantik. Batu Wolio diperkirakan telah ada bersamaan dengan periode keberadaan Batu Popaua . Akses terhadap Batu Wolio sudah terkelola dengan baik sehingga kondisinya fisiknya cukup baik dengan disediakannya pagar batu yang mengelilingi obyek.
Gambar 4.14 Batu Wolio Sumber: Penulis
66
4.3
Karakteristik Fisik Eksisting Ruang Publik Yaroana Masigi Ruang publik Yaroana Masigi merupakan kawasan inti dari
permukiman di kelurahan Melai, yang kedudukannya terhadap permukiman dianggap paling penting. Karakteristik fisik Yaroana Masigi selain terdiri dari obyek-obyek penting yang menjadi satu kesatuan dengan ruang, karakter ini juga tercermin dari bentuk tata letak, hirarki, orientasi, besaran dan batasan ruangnya. 4.3.1
Tata Letak (Setting) , Hirarki, Orientasi, besaran ruang dan batasan ruang.
Tata letak adalah posisi keberadaan seluruh komponen pembentuk ruang (Ronald. 2005). Tata letak pada Yaroana Masigi terdiri atas tata letak makro dan mikro. Tata letak secara makro yaitu keberadaan atau posisi Yaroana Masigi terhadap lingkungan sekitarnya. Letak Yaroana Masigi sendiri terletak di tengah-tengah permukiman yang dikelilingi oleh benteng sepanjang 22,8 Ha. Posisi ini di pengaruhi oleh konsep kosmologis orang Buton yang meyakini bahwa Masjid Agung Keraton merupakan inti kosmos dan area Yaroana Masigi adalah bagian dari inti tersebut. Yaroana Masigi digambarkan sebagai alam batin manusia, yang dimana alam batin harus senantiasa menjadi pusat dan inti dari kehidupan. Sehingga berada di pusat/ tengah-tengah, dengan benteng keraton sebagai cangkang (pelindungnya) serupa filosofi telur, yang kemudian menjelaskan tradisi lisan tentang benteng keraton yang terbuat dari butih telur. Adapun di luar dari cangkang
67
tersebut digambarkan adalah alam dunia serta alam semesta, yang jika disederhanakan dalam gambar 4.15 berikut.
Yaroana Masigi (Alam Batin)
Benteng Keraton (Pelindung)
Alam Dunia
Alam Semesta
Gambar.4.15 Konsep Kosmologis pada Tata Letak Yaroana Masigi Sumber: Wawancara dengan Mudjirudin (2014)
Konsep ini juga ikut menjelaskan status hirarki Yaroana Masigi sebagai ruang dengan hirarki sakral. Sehingga kegiatan yang dianggap sakral atau penting kerap di gelar di area ini. Sedangkan untuk orientasinya tidak berorientasi pada arah manapun kecuali arah kiblat Masjid Agung Keraton untuk ibadah shalat yang tetap mengarah ke kiblat yaitu barat. Tata letak mikro menjelaskan letak komponen obyek-obyek dalam lingkup Yaroana Masigi . Posisi obyek-obyek tersebut dipengaruhi oleh urutan sejarah keberadaanya. Secara hirarki, ruang Yaroana Masigi itu sendiri adalah area paling sakral dalam kawasan Benteng Keraton Buton, namun jika dibuatkan hirarki lagi maka Masjid Agung Keraton berada dihirarki teratas karena maknanya tidak hanya sebagai representasi ketuhanan sesuatu yang bersifat ruhani dan batiniah.
68
U
Kasulana Tombi Batu Popaua
Masigi
Halaman
Baruga
Makam Sultan Murhum
Batu Wolio
Gambar.4.16 Tata letak eksisting ruang publik Yaroana Masigi Sumber: Penulis
Batasan Yaroana Masigi dari Utara ke selatan dibatasi oleh jalan setapak, sedangkan timur ke barat adalah Makam Sultan Murhum dan Masjid Agung Keraton dengan luasan keseluruhan area ±3600m2 . Aspek besaran ruang (size) berhubungan langsung dengan konsep keterbukaan ruang. Keterbukaan tercermin pada kualitas jarak pandang antar bangunan, ruang publik Yaroana Masigi secara umum bersifat terbuka sehingga jarak
69
pandang antar bangunan tidak terganggu. Batas-batas antar bangunan pada ruang publik Yaroana Masigi berupa jalan-jalan setapak serta ruang-ruang terbuka antar obyek/bangunan.
4.4
Nilai Sejarah dan Signifikansi Budaya pada Ruang Publik Yaroana Masigi
4.4.1
Tinjauan Sejarah Kawasan Benteng Keraton Buton Ruang publik Yaroana Masigi berada dalam kawasan Benteng
Keraton Buton, kawasan yang di dalamnya merupakan permukiman tradisional dan bersejarah. Keberadaan Ruang Publik Yaroana Masigi tidak lepas dari sejarah kerajaan Buton dan Benteng keratonnya.
Berikut
merupakan periode sejarah kawasan Benteng Keraton Buton yang mencakup keberadaan Yaroana Masigi . 4.4.1.1 Akhir Abad ke-13 Masehi Menurut sumber sejarah tertulis, terbentuknya kerajaan Buton tidak terlepas dari peran Mia Patamiana (empat orang), yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo dan Sijawangkati. Empat orang ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke Pulau Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat orang (Mia Patamiana) tersebut terbagi dalam dua kelompok, yakni Sipanjonga dan Sijawangkati dalam kelompok pertama, sedangkan lainnya Simalui dan Sitamanajo. Sipanjonga dan para pengikutnya meninggalkan tanah asal di Semenanjung Melayu menuju kawasan timur dengan menggunakan sebuah perahu pada bulan Sya‟ban 634 Hijriyah
70
(1236 M). Dalam perjalanan itu, mereka singgah pertama kalinya di Pulau Malalang, terus ke Kalaotoa dan akhirnya sampai di Pulau Buton, mendarat di daerah Kalampa. Sementara itu Simalui dan para pengikutnya mendarat di Teluk Bumbu, kemudian masuk dalam daerah Wakarumba. Kelompok pertama beserta para pengikutnya menguasai daerah Gundu-Gundu, sementara kelompok kedua dengan para pengikutnya menguasai daerah Barangkatopa. Pola hidup mereka berpindah-pindah hingga akhirnya kelompok Simalui berjumpa dengan kelompok Sipanjonga. Sipanjonga kemudian menikah dengan Sibaana, saudara Simalui dan memiliki seorang putera yang bernama Betoambari. Setelah dewasa, Betoambari menikah dengan Waguntu, putri Raja Kamaru. Dari perkawinan ini, kemudian lahir seorang anak bernama Sangariarana. Seiring perjalanan waktu, Betoambari kemudian menjadi penguasa daerah Peropa, dan Sangariarana
menguasai
daerah
Baluwu.
Dengan
terbentuknya
perkampungan Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat perkampungan yang memiliki ikatan kekerabatan, yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu. Keempat
wilayah
perkampungan
ini
kemudian
disebut
patalimbona/empat Limbo, dan para pimpinannya disebut Bonto. Selain empat limbo di atas, pada masa itu di Pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Dalam perjalanannya, kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas kemudian bergabung dan membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama kerajaan Buton. Pada saat itu setelah melalui proses musyawarah
71
kemudian memilih seorang wanita yang yang berasal dari kerajaan-kerajaan kecil tersebut bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja pertama kerajaan Buton. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1332 M. Setelah Wa Kaa kaa mangkat, kemudian digantikan oleh Bulawambona sebagai raja Buton yang ke-2. Kondisi ruang publik saat pemerintahan Ratu Wakaka diketahui telah difungsikan sebagai ruang untuk prosesi pelantikan raja, hal ini diperkuat oleh keberadaan batu Popa’ua yang keberadaannya telah ada di zaman itu sebagai batu pijak pelantikan para raja/ratu Buton, dan mulai difungsikan saat pelantikan raja Buton pertama ratu Wakaaka . Batu ini dipercaya merupakan batu tumbuh yang kemunculannya berasal dari dalam tanah, tidak di ketahui tahun pasti keberadaan batu tersebut, namun diperkirakan telah ada sejak abad ke 13. Sedangkan batu petirtaan atau Batu Wolio Batu Wolio merupakan tugu batu setinggi 1 m, berfungsi sebagai tempat pengambilan air suci (Tirta) untuk dimandikan kepada Calon Raja/sultan sebelum beliau dilantik. Batu Wolio di perkirakan muncul setelah Batu Popaua yaitu berasal sekitar abad 14 dan air batu tersebut berasal dari mata air Tobe-Tobe.
4.4.1.2 Abad ke 15 Masehi Seiring dengan perkembangan kerajaan Buton terutama dalam bidang perdagangan dan pelayaran, Islam kemudian masuk ke Buton pada akhir abad ke-15 M dibawa oleh seorang pedagang yang berasal dari Gujarat. Selama masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua diantaranya adalah wanita (Wa Kaa kaa dan Bulawambona).
72
Pada awal abad ke-16 M seorang ulama yaitu Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Fathani mulai menyebarkan agama Islam di Buton. Beliau merupakan salah seorang yang paling berjasa dalam perkembangan penyebaran Islam di Buton.
Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh
Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani berasal dari Gujarat, sebelum sampai di Buton beliau pernah tinggal di Johor, selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur), kemudian beliau sekeluarga berhijrah ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Buton. Di Pulau tersebut, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang sedang dalam perjalanan kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh).
Imam Pasai
menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton untuk menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran tersebut, lalu baliau datang menemui Raja Buton yang sedang memerintah saat itu yaitu Raja Mulae (Raja Buton ke-5) dan mendapat sambutan baik dari Raja dan masyarakat Buton. Beliau lalu mulai menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh masyarakat Buton yang pada saat itu mayoritas masih animisme. Namun disebutkan bahwa Raja Mulae wafat sebelum memeluk agama Islam. Beliau kemudian digantikan oleh Raja Halu Oleo atau dikenal pula dengan sebutan Raja Murhum.
Pada saat Raja Murhum mulai
memerintah Kerajaan Buton sebagai raja Buton ke 6 atau Sultan Buton yang pertama.
Kerajaan Buton resmi menjadi sebuah Kesultanan pada saat
dilantiknya Raja Murhum menjadi Sultan Buton yang pertama pada tahun
73
1511 M, pengangkatannya sebagai sultan mendapat persetujuan langsung dari Kekhalifahan Ustmaniah. Setelah dilantik beliau memiliki gelar Sultan Kaimuddin Khalifatul Kamis. Pada tahun 1584 Sultan Murhum wafat setelah dan di makamkan di puncak bukit lele mangura.
4.4.1.3 Abad ke 16 Masehi Kawasan bersejarah benteng keraton Buton yang merupakan kawasan pusat pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Buton dahulunya hanya berupa kawasan yang dibatasi oleh tanaman berduri sebagai pembatas kawasan dengan kawasan sekitarnya, kondisi tersebut berlangsung sejak masa pemerintahan raja I (Wa Kaa-kaa) hingga Sultan Buton ke II. Pada permulaan abad ke-16 peran Buton menjadi semakin penting karena letaknya yang berada di jalur perdagangan dan pelayaran menuju kepulauan Maluku yang merupakan penghasil rempah-rempah. Pulau Buton menjadi tempat transit bagi para pedagang baik pedagang dari nusantara (pedagang Aceh, Kalimantan, dan lainnya) maupun pedagang asing yang berasal dari Arab, Portugis, Spanyol dan Belanda, dimana kemudian timbul persaingan yang terjadi diantara sesama pedagang pribumi, sesama pedagang asing dan antara pedagang pribumi dengan pedagang asing. Persaingan tersebut memicu timbulnya bentrokan berupa perampokan di lautan yang sangat mengganggu keamanan di wilayah sepanjang jalur perdagangan termasuk wilayah Buton sendiri.
Melihat situasi tersebut
Sultan Buton yang memerintah pada masa itu yaitu Sultan Kaimuddin (Sultan Buton ke III 1566-1578 M) merasa perlu membangun benteng
74
pertahanan untuk melindungi wilayah Kesultanan Buton dari segala ancaman khususnya segala ancaman yang datang dari luar. Pada masa pemerintahan Sultan Kaimuddin
mulai membangun
boka-boka / bastion sudut namun, pada saat bastion-bastion tersebut hampir seluruhnya selesai dibangun terjadi musim paceklik di Buton sehingga penyelesaian pembangunannya terpaksa ditunda.
Pembangunan bastion
tersebut kemudian dilanjutkan oleh Sultan Buton ke IV yaitu Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Didirikan Bastion-bastion yang dibangun tersebut membentuk formasi dengan mengelilingi lokasi permukiman termasuk di dalamnya rumah tempat tinggal Sultan dan para petinggi Kesultanan Buton. Setiap bastion dilengkapi dengan meriam-meriam buatan Eropa yang dibeli dari kapal pedagang asing yang singgah di Buton. Di periode yang sama tepatnya pada tahun 1610 bangunan yang bernama Baruga di bangun dalam rangka menjadi wadah fisik untuk mengumpulkan aspirasi masyarakat dan tempat bermusyawarah. Pembangunan
benteng
keseluruhannya
selesai
pada
masa
pemerintahan Sultan Buton ke VI yaitu Sultan Gafur Wadudu.
Untuk
mempercepat penyelesaian benteng Sultan Gafur wadudu mewajibkan seluruh rakyat Buton untuk ikut berpartisipasi membantu penyelesaian pembangunan tembok benteng yang menghubungkan semua bastionnya. Pada masa itu (dalam rentang waktu 10 tahun) angka kelahiran di Buton sangat rendah karena semua laki-laki dewasa dan sehat harus bekerja siang dan malam untuk menyelesaikan pembangunan benteng. Selain itu, rakyat juga tidak memiliki banyak waktu untuk menggarap sawah dan
75
kebun. Saat itu Sultan Gafur Wadudu mendapat teguran dari Siolimbona (dewan legislatif di Kesultanan Buton) untuk menghentikan saja pembangunan benteng karena melihat sangat rendahnya angka kelahiran (selama kurun waktu 10 tahun hampir tidak ada kelahiran) namun, teguran dan peringatan tersebut tidak mengurungkan niat Sultan Gafur wadudu untuk menyelesaikan pembangunan benteng. Oleh karenanya setelah melakukan
musyawarah,
Siolimbona
kemudian
memutuskan
akan
memberhentikan beliau dari jabatannya sebagai Sultan Buton. Mengetahui adanya peringatan keras tersebut Sultan Gafur Wadudu kemudian meminta kepada Siolimbona agar rencana pemberhentian beliau sebagai Sultan ditunda dulu sampai pembangunan benteng keraton Buton selesai. Sultan Gafur Wadudu berjanji begitu pembangunan benteng selesai beliau akan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Sultan Buton. Permintaan tersebut diterima oleh Siolimbona sehingga pembangunan benteng tetap dilanjutkan hingga selesai. Setelah pembangunan benteng selesai, rakyat Buton segera bisa merasakan manfaat dari adanya benteng, rakyat dan para petinggi kesultanan merasakan suasana yang lebih aman dan tenteram setelah dibangunnya benteng, setelah merasakan langsung manfaat setelah adanya benteng, Siolimbona kemudian membatalkan rencana pengangkatan sultan yang baru dan meminta agar Sultan Gafur Wadudu terus melanjutkan tugasnya sebagai Sultan Buton namun, Sultan Gafur Wadudu tidak ingin mengingkari janjinya, beliau mengundurkan diri secara sukarela, beliau kemudian digantikan oleh Sultan Saparagau.
76
Pembangunan tembok benteng ketika itu memerlukan banyak batuan, sehingga bebatuan di sekitar kawasan tersebut termasuk batuan di sepanjang sungai hampir habis digunakan untuk pembangunan benteng. Pada saat itu salah satu kendala teknis dalam pembangunan benteng keraton Buton yaitu pada pembangunan tembok benteng pada sisi utara dan sebagian sisi timur karena pada sisi tersebut pondasi benteng berada diatas tebing yang curam. Selain baluara (bastion), benteng juga dilengkapi 12 (duabelas) Lawa (pintu gerbang) yang menghubungkan kawasan benteng keraton sebagai pusat pemerintahan dengan perkampungan penduduk diluar kawasan benteng . Benteng keraton Buton disebut juga Benteng Wolio berada di wilayah kelurahan Melai Kecamatan Murhum, yang berjarak 3 Km dari pusat kota. Benteng ini dibangun diatas sebuah bukit yang disebut bukit Tursina. Banteng ini mulai dibangun sejak pemerintahan Sultan Buton III, yaitu
Sultan
Kaimuddin
(1591-1596).
Pembangunannya
kemudian
diteruskan oleh Sultan Dayanu Ikhsanudin (Sultan Buton IV) dan dirampungkan oleh Sultan Gafur Wadudu (Sultan Buton VI). Benteng ini merupakan salah satu diantara sejumlah benteng yang ditemukan di Kota Baubau dan merupakan benteng terluas di Kota Baubau juga di seluruh nusantara.
Keliling benteng yaitu sebesar 2740 m.
Bangunan benteng terbuat dari batu-batu gunung yang agak porus yang direkatkan dengan kapur. Tinggi dan tebal dinding benteng tidak sama, tergantung pada kondisi tanah atau lereng bukit dimana dinding tersebut berada. Pada bagian bukit yang terjal tinggi dinding benteng mencapai 4
77
(empat) meter dan tebal dinding mencapai 2 (dua) meter. Pada dinding benteng bagian dalam sisi timur dan selatan terdapat turap-turap yang yang berfungsi ganda, yaitu sebagai penahan/penguat berdirinya dinding benteng dan tempat berdirinya laskar Buton yang mengintai dan mengawasi musuh diluar benteng melalui lubang-lubang pengintai. Benteng keraton Buton terdiri atas: 1.
Boka-boka atau bastion sudut
2.
Baluara atau bastion
3.
Lawa atas pintu gerbang
4.
Batu tondo atau tembok keliling
5.
Parit
6.
Alat persenjataan
1.
Boka-boka Boka-boka adalah bastion yang terdapat pada keempat sudut
benteng dimana ditempatkan meriam-meriam besi pada jendelajendelanya. Keempat boka-boka ini memiliki nama masing-masing yang diambil dari nama petugas atau nama jabatan petugas yang mengawasi pembangunan boka-boka tersebut. Boka-boka sebelah utara disebut Boka-boka matana eo atau Boka-boka gundu-gundu. Boka-boka gundu-gundu ini sedikit berbeda dari boka-boka lainnya karena bangunannya terdiri atas 3 (tiga) tingkat sehingga boka-boka ini lebih tinggi disbanding yang lainnya. Hal ini mungkin berkaitan dengan letaknya yang strategis karena berhadapan dengan teluk
78
Baubau. Boka-boka yang lainnya terletak di sebelah selatan yang lebih dikenal dengan sebutan godo yang diartikan gudang perlengkapan. Godo sebelah timur disebut godona oba yang berarti gudang mesiu, godo sebelah barat disebut godona batu yang berarti gudang peluru, karena disinilah disimpan peluru-peluru meriam yang terbuat dari besi.
Gambar 4.17 Boka-Boka Sumber: Penulis 2.
Baluara Baluara adalah bastion-bastion yang terletak pada keempat
sisi benteng, apabila dilihat dari atas bangunannya berbentuk bulat, namun adapula yang berbentuk persegi. Baluara berjumlah 12 (duabelas) buah, yaitu: a. Baluara Siompu b. Baluara Rakia
79
c. Baluara Gama d. Baluara Gandailolo/Waulima e. Baluara Barangkatopa/Silea f. Baluara Baluwu g. Baluara Dete h. Baluara Kalau i. Baluara Baria j. Baluara Tanailandu k. Baluara Melai l. Baluara Sambali Seperti halnya pada boka-boka maka pada setiap baluara ini terdapat jendela-jendela tempat meriam yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan, sebagian meriam-meriam tersebut masih ada di beberapa baluara.
Gambar. 4.18 Baluara Kalau Sumber: Penulis
80
3.
Lawa Benteng keraton Buton memiliki 12 (duabelas) buah lawa
atau pintu gerbang. Sesuai dengan fungsinya sebagai benteng pertahanan, maka pintu gerbang (lawana) ini dibangun sedemikian rupa dengan lorong dan gawang pintu dan pada beberapa lawana (pintu gerbang) terdapat semacam ceruk atau nis di kanan dan kiri lorong. Melihat pada bentuk dan ukurannya, kemungkinan ceruk atau nis tersebut adalah tempat berdirinya prajurit yang bertugas jaga. Kecuali pada pintu masuk dan keluar benteng, pada zaman kejayaan kesultanan Buton fungsi lawana ini berkaitan pula dengan hukum perang. Musuh-musuh kerajaan baik dari luar maupun dari dalam (para pemberontak) yang sudah dihukum mati dipertontonkan di kawasan Keraton agar diketahui oleh umum (masyarakat). Pertunjukkan ini biasanya dilaksanakan diiringi dengan tarian perang yang disebut maniu. Dilihat dari bentuk dan arsitekturnya, lawana-lawana ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: a. Lawana yang berbentuk paduraksa, dimana bagian atasnya langsung berfungsi sebagai atap. Diatas ambang pintu terdapat hiasan yang mengingatkan kita pada bentuk kalamakara pada candi di Jawa dan pura di Bali. Diantara kedua lapis pintu ada ruangan atau lorong sedangkan pada dinding ruangan (lorong) yang sebenarnya adalah pilar-pilar gapura terdapat ceruk atau nis sedalam 50 cm. Pintu gerbang
81
atau lawana yang termasuk dalam tipe ini, yaitu Lawana Rakia , Lawana Labunta, Lawana Kampebuni, Lawana Waborobo, Lawana Kalau,
Lawana Wajo (Baria), dan
Lawana Lantongau (Sambali).
Gambar 4.19 Lawana Waborobo Sumber: Penulis
b. Lawana yang pada bagian atasnya ditumpangi bangunan kayu seperti balkon yang berfungsi sebagai tempat jaga dan sekaligus sebagai atap gapura. Balkon-balkon tersebut seluruhnya terbuat dari kayu jati dan beratap sirap. Pada kedua ujung bubungan atapnya terdapat hiasan buah nenas, sedangkan pada ujung-ujung lisplank terdapat ragam hias floralistis. Atap balkon ditopang oleh 6 (enam) buah tiang yang diletakkan berjajar dua, lantainya dari papan dan pada kedua sisinya (sisi luar dan dalam) dilenagkapi dengan langkan (pagar). Pintu gerbang atau lawan ayang termasuk
82
dalam tipe ini dilengkapi dengan meriam-meriam karena di kanan dan kirinya terdapat bastion dimana meriam itu ditempatkan. Pada lawana jenis ini tidak ditemukan adanya ceruk atau nis pada pilar-pilarnya. Lawana taua pintu gerbang yang termasuk dalam jenis ini, yaitu Lawana Gundu-gundu, Lawana Lanto, Lawana Dete, Lawana Tanailandu (Burukene), dan Lawana Melai.
Gambar 4.20 Lawana Lanto Sumber: Penulis 4.
Batu Tondo Batu tondo merupakan sebutan untuk tembok keliling, batu
tondo dalam bahasa Indonesia berarti batu yang menghubungkan Boka-boka (bastion sudut), Baluara (bastion) dan Lawa (pintu gerbang) sehingga merupakan suatu tempat/bangunan yang terpagar sekelilingnya. Seperti dikatakan diatas tinggi tembok keliling ni tidak sama tergantung pada permukaan tanah atau lereng bukit dimana tembok tersebut ditempatkan. Pada bagian sebelah utara
83
misalnya tinggi tembok benteng berkisar antara 1,5 m sampai 2 m, pada sisi sebelah selatan dan barat berkisar antara 3 m sampai 5 m.
Gambar 4.21 Batu Tondo Sumber: Penulis 5.
Parit Sesuai dengan fungsinya sebagai tempat pertahanan, benteng
keraton Buton dilengkapi dengan parit pada sisi selatan dan barat , sekitar 20 sampai 30 m dari tembok benteng. Lebar parit sekitar 4 m dan kedalamannya mencapai 2 m. Penempatan parit pada sisi Selatan dan Barat berdasarkan pertimbangan bahwa pada sisi ini permukaan tanah diluar benteng cenderung datar sehingga mudah diterobos musuh, sedangkan pada bagian lain (sisi Timur dan Utara) permukaan tanah diluar tembok benteng amat curam dan terjal sehingga cukup sulit untuk diterobos musuh.
84
Gambar 4.22 Kondisi parit saat ini yang telah di tumbuhi semak dan pepohonan Sumber: Penulis
6.
Alat persenjataan Pembangunan benteng keraton Buton telah berada pada
zaman dimana senjata api telah digunakan sebagai persenjataan perang dan pertahanan, sehingga konstruksi benteng keraton telah disesuaikan dengan sistem persenjataan tersebut. Instalasi-instalasi senjata berat telah dibuatkan pada boka-boka, baluara dan lawana. Hingga saat ini pada beberapa boka-boka, baluara dan lawana masih dapat ditemukan meriam-meriam kuno buatan Eropa yang pada zaman Kesultanan Buton digunakan sebagai persenjataan benteng. Untuk mengetahui berapa jumlah meriam yang dipergunakan atau ditempatkan pada benteng keraton Buton dapat diketahui dari jumlah jendela yang terdapat pada boka-boka, baluara dan lawana, meskipun juga ada penempatan meriam-meriam tersebut di tempat lain di dalam kawasan benteng.
85
Gambar 4.23 Meriam Sumber: Penulis Saat ini meriam-meriam tersebut sebagian telah berpindah atau bergeser dari posisi aslinya, bahkan meriam-meriam tersebut sudah banyak yang hilang atau dipindahkan untuk kepentingan tertentu dan adapula yang sengaja diambil oleh para pandai besi. Pada tahun 1980 pernah dilakukan kegiatan pemugaran dan pemeliharaan peninggalan sejarah dan purbakala di kawasan benteng keraton Buton, Hingga kini Benteng keraton Buton telah tiga kali mengalami perubahan/pergeseran beberapa letak lawa (pintu gerbang), karena dianggap letaknya kurang sesuai dengan kondisi saat itu.
86
Dengan demikian pembangunan benteng keraton Buton berlangsung selama beberapa tahap atau periode, yaitu: 1) Tahap pembangunan boka-boka (bastion sudut) pada masa pemerintahan Sultan Buton ke III (Sultan Kaimuddin memerintah 1566- 1578 M) 2) Tahap pembangunan bastion tambahan pada masa pemerintahan Sultan Buton ke IV (Sultan Dayanu Ikhsanuddin memerintah 1578 – 1617 M) 3) Tahap penyelesaian pembangunan benteng (meliputi pembangunan tembok benteng dan 12 lawa/pintu gerbang) pada masa pemerintahan Sultan Buton ke VI (Sultan Gafur Wadudu memerintah 1632-1645 M).
Di masa pemerintahan Sultan Buton Dayanu Ikhsanudin pembangunan tidak hanya melanjutkan pembangunan Benteng atau Bastion tambahan saja tapi juga membangun Baruga. Pada tahun1610 Sultan Dayanu Ikhsanudin yang juga disebut Laelangi membangun
Baruga
sebagai
tempat
mengumpulkan
warga,
berkumpul, dan bermusyawarah, juga para sultan untuk melakukan upacara ataupun membahas masalah-masalah ekonomi, politik dan lain-lain yang di hadapi oleh masyarakat Buton.
87
Gambar 4.24 Bentuk Baruga di era kesultanan Sumber: Wawancara Imran Kudus (2014), digambar ulang penulis
Selain itu Baruga juga digunakan untuk bagian dari prosesi pelantikan sultan-sultan. Baruga saat dibangun pertama kali merupakan bangunan memanjang sederhana dari kayu dan berbentuk sedikit panggung, tanpa dinding yang tidak memiliki ornamen hiasan apapun pada bangunannya, atapnya terbuat dari daun nipah dan tidak berlapis layaknya Malige (rumah sultan) sebagai perwujudan kepemilikan bersama sesuai fungsinya sebagai tempat musyawarah dan berkumpulnya masyarakat. Pembangunan bangunan benteng keraton Buton selesai pada tahun 1645 M. Selama masa Kesultanan Buton kawasan benteng keraton Buton memiliki fungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat dakwah Islam, dan kegiatan sosial budaya.
Kawasan benteng
keraton Buton berfungsi sebagai pusat pemerintahan selain karena di dalam kawasan tersebut terdapat rumah tempat tinggal Sultan dan
88
keluarganya serta kediaman para petinggi kerajaan melainkan pula karena seluruh kegiatan politik dan pemerintahan berpusat di kawasan tersebut, seluruh proses pencalonan dan pemilihan sultan Buton hingga pelantikannya berlangsung di dalam kawasan benteng keraton Buton. Di dalam kawasan tersebut Sultan Buton dibantu para petinggi kerajaan menjalankan roda pemerintahan Kesultanan Buton.
Fungsi kawasan sebagai pusat pemerintahan hanya
berlangsung selama zaman Kesultanan Buton. Setelah Kesultanan Buton berakhir kawasan benteng keraton Buton tetap menjadi pusat dakwah Islam di Pulau Buton, di dalam kawasan benteng keraton Buton terdapat masjid agung keraton yang merupakan masjid pertama di Pulau Buton. Selain itu, kawasan benteng keraton Buton masih memiliki fungsi sosial-budaya yaitu sebagai tempat pusat penyelenggaraan berbagai tradisi atau upacara adat Buton. Hal ini masih berlangsung hingga sekarang. 4.4.1.3 Abad ke-17 Masehi Seperti halnya kerajaan lainnya di nusantara, pemerintahan Kesultanan Buton juga mengalami masa penjajahan Belanda. Gubernur jendral Belanda Pieter Both pertama kali mengunjungi Pulau Buton pada pertengahan abad ke 17. Pada saat itu Pieter Both selaku wakil pemerintah kolonial Belanda membuat perjanjian kerjasama dengan Kesultanan Buton, itu merupakan perjanjian pertama antara Kesultanan Buton dengan pemerintah kolonial Belanda, dan selanjutnya terdapat beberapa pejanjian lainnya antara Kesultanan Buton dan Belanda. Pemerintah kolonial Belanda
89
saat itu mendirikan permukiman di dekat pelabuhan Murhum dan berjarak sekitar 4 Km dari kawasan benteng keraton Buton, area bekas permukiman Belanda tersebut kini disebut “loji”. Berbeda halnya dengan kawasan keraton lainnya di nusantara dimana pada umumnya di kawasan keraton tersebut oleh kolonial Belanda sengaja dibangun benteng yang mengelilingi kawasan keraton dan menempatkan pasukannya di benteng tersebut dengan tujuan untuk mengawasi segala aktivitas raja atau penguasa pribumi.
Pada kawasan
benteng keraton Buton, bangunan benteng tidak dibangun dan digunakan oleh kolonial Belanda tetapi dibangun sendiri oleh rakyat Buton atas perintah rajanya dengan tujuan untuk kepentingan pertahanan dan sebagai pembatas fisik lingkungan ibukota kerajaan terhadap kawasan sekitarnya. Pembangunan benteng keraton Buton telah dimulai sebelum kolonial Belanda masuk ke Buton. Pada masa kolonial Belanda di Buton, benteng keraton Buton tetap dikuasai oleh pasukan Kesultanan Buton. Kurun waktu abad ke 15-17 adalah kurun waktu dimana kesultanan Buton sedang aktifnya membangun infrastruktur negerinya. Pembangunan bangunan benteng keraton Buton selesai pada tahun 1645 M. Kemudia pada tahun 1712 Masjid Keraton Buton pun di bangun oleh Sultan Buton ke-19, Sultan Zaqiyuddin Darul Alam. Para ahli meyakini Masjid ini adalah masjid tertua di Sulawesi Tenggara. Sejatinya ada masjid lain yang lebih tua dibangun pada masa Sultan pertama Buton Sultan Murhum (1491-1545), hanya saja masjid itu terbakar.
Lokasi bekas masjid tersebut berada
disekitar tempat dimakamkannya Sultan Murhum . Kemudian oleh Sultan
90
Zakiyuddin Darul Alam dibangun masjid dilokasi berbeda yaitu dilokasi yang ada sekarang. Dari segi fisik, perkembangan kawasan meliputi perubahan jumlah dan batas perkampungan penduduk yang terdapat di dalam kawasan benteng, perubahan pola permukiman, dan jaringan jalan.
Pada awal
Kesultanan Buton di dalam kawasan benteng keraton Buton hanya terbagi atas 9 (sembilan) kampung yaitu kampung Barangkatopa, Gundu-gundu, Peropa, Baluwu, Rakia, Silea, Dete, Kalau dan Melai, pada saat itu kondisi jaringan jalan di dalam kawasan benteng keraton masih berupa jalan tanah dan pola permukimannya memusat. Perkerasan jalan (pembangunan jalan aspal) di dalam kawasan benteng keraton mulai dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Buton ke 36 (tahun 1921-1928). Setelah Kesultanan Buton berakhir (tahun 1945) di dalam kawasan benteng terbagi menjadi 12 (duabelas) kampung. Seluruhnya berada dalam wilayah desa Melai Kecamatan Betoambari Kabupaten Buton.
4.4.1.5. Periode Kepemimpinan Periode pra Islam Kerajaan Buton berlangsung dari tahun 1332 M hingga 1511 M. Selama rentang waktu ini, Buton diperintah oleh enam orang raja, sedangkan periode Islam (Kesultanan Buton) berlangsung dari tahun 1511 M hingga 1945 M. Selama rentang waktu tersebut, telah berkuasa 38 orang Sultan. Sultan terakhir yang berkuasa di Buton adalah Sultan Muhammad Falihi Kaimuddin. Kekuasaannya berakhir pada tahun 1945 M. Wilayah kekuasaan Kerajaan/Kesultanan Buton meliputi seluruh
91
Pulau Buton dan beberapa pulau di sekitarnya (Pulau Muna, Kabaena, Wowini dan Kepulauan Wakatobi), wilayah tersebut terbagi menjadi 72 distrik (dalam bahasa Buton wilayah –wilayah tersebut disebut “kadie”. Meski berbentuk kerajaan, Kesultanan Buton sudah menganut sistem demokrasi dimana kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat, yang diwakili oleh dewan legislatif yang disebut Patalimbona/Siolimbona, dewan legislatif ini memiliki kewenangan untuk mimilih/mengangkat dan melantik Sultan Buton dan menurunkan seseorang dari jabatannya sebagai sultan apabila diketahui melakukan pelanggaran terhadap sumpah jabatan dan konstitusi.Berikut ini daftar raja dan sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja menunjukkan periode pra Islam, sementara gelar sultan menunjukkan periode setelah masuknya agama Islam. Raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Buton yaitu : 1) Ratu Wa Kaa Kaa, 2) Ratu Bulawambona, 3) Raja Bataraguru, 4) Raja Tuarade, 5) Raja Mulae , 6) Raja Murhum/Halu Oleo.
92
Tabel 4.2 Daftar Sultan dalam Pemerintahan Kesultanan Buton No. Sultan Masa 1. Sultan Murhum (Haluoleo) 1491-1545 M 2. Sultan La Tumparasi 1545-1566 M 3. Sultan Kaimuddin (Lasangaji) 1566-1578 M 4. Sultan Dayanu Ikhsanuddin (Laelangi) 1578-1617 M 5. Sultan Abdul Wahab (La Balawo) 1617-1632M 6. Sultan Gafur Wadudu (La Buke) 1632-1645M 7. Sultan La Saparagau 1645-1647 M 8. Sultan Mardan ali (La Cila) 1647-1654 M 9. Sultan Malik Sirullah (La Awu) 1654-1664 M 10. Sultan Adilil Rakhiya (La simbata) 1664-1669 M 11. Sultan La Tangkaraja 1669-1680 M 12. Sultan Zainuddin (La tumparasi) 1680-1689 M 13. Sultan Liyauddin Ismail (La umati) 1689-1697 M 14. Sultan Syaifuddin (La Dini) 1697-1702 M 15. Sultan Larabaenga 1702 M 16. Sultan Syamsuddin (La Sadaha) 1702-1709 M 17. Sultan Nasruddin (La Ibi) 1709-1711 M 18. Sultan Langkariyriy 1711-1712M 19. Sultan Sakiyuddin Darul alam 1712-1750 M 20. Sultan Lakarambau 1750-1752 M 21. Sultan Sakiyuddin 1752-1759 M 22. Sultan Rafiuddin 1759-1760 M 23. Sultan Himayatuddin ibnu sultani liyauddin 1760-1763 M 24. Sultan Lajampi 1763-1788 M 25. Sultan Alimuddin 1788-1791 M 26. Sultan Muhyuddin Abdul Gafur 1791-1799 M 27. Sultan Dayanu asraruddin 1799-1823 M 28. Sultan Muh. Anharuddin 1823-1824 M 29. Sultan Muh. Idrus 1824-1851 M 30. Sultan Muh Isa 1851-1871 M 31. Sultan Muh. Salihi 1871-1886 M 32. Sultan Muh. Umar 1886-1906 M 33. Sultan Muh. Asikin 1906-1914 M 34. Sultan Muh. Husain 1914 M 35. Sultan Muh. Ali 1914-1921 M 36. Sultan Muh. Saifu 1921-1928 M 37. Sultan Muh. Hamidi 1928-1937 M 38. Sultan Muh. Falihi 1937-1945 M Konstitusi yang berlaku di Darul Kesultanan Buton adalah UndangSumber: Sejarah dan adat Fiy Butuni (1977)
93
Undang –Undang Martabat Tujuh merupakan konstitusi wajib yang dipatuhi oleh seluruh rakyat Buton termasuk raja/sultan. Apabila parlemen menemukan adanya pelanggaran maka siapapun yang bersalah, dari rakyat jelata hingga sultan akan menerima hukuman. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya mendapat hukuman karena melakukan pelanggaran. Satu di antaranya, yaitu Sultan Mardan Ali (Sultan Buton ke-8) dihukum mati karena melanggar sumpah jabatan. Sistem demokrasi tercermin dengan jelas dalam tata cara pengangkatan Sultan Buton, hal ini pula yang membedakan Kesultanan Buton dengan kesultanan/kerajaan lainnya yang pernah ada di Nusantara. Seseorang diangkat menjadi Sultan Buton berdasarkan pada hasil musyawarah mufakat yang dilakukan oleh Patalimbona/Siolimbona. Oleh karena itu, dalam Kesultanan Buton tidak pernah mengenal istilah putra mahkota karena seseorang yang merupakan anak/keturunan raja/sultan bukanlah calon pewaris tahta kerajaan/kesultanan Buton. Siolimbona adalah dewan legislatif Kesultanan Buton yang terdiri atas 9 (sembilan) orang yang merupakan pemuka adat dan juga menguasai sembilan
kampung,
kesembilan
kampung
tersebut
merupakan
perkampungan penduduk yang didirikan oleh mia patamiana dan para pengikutnya. Mia patamiana dan para pengikutnya merupakan orang-orang yang pertama kali mendiami Pulau Buton.
94
Di jaman kerajaaan Buton bahwa kawasan Yaroana Masigi merupakan bagian dari obyek yang dijaga oleh Sapati (para patih) sebagai bagian dari Sara (aturan). Disebutkan dalam undang-undang kesultanan Buton bahwa jenis-jenis Sara yang di jaga Sapati itu ada delapan yaitu : (1) Kamali (rumah sultan) dan masjid, (2) Baruga dan pasar, (3) Baluara (Bastion) dan bedilnya, (4) batu pelantikan, (5) Pintu benteng dan kuncinya, (6) parit, (7) kapal dan bengkel pembutannya, (8) tiang bendera dan pos jaganya. Dari delapan jenis Sara yang di jaga oleh Sapati tersebut merupakan tiga diantaranya berada diarea Yaroana Masigi . Ketiga obyek tersebut adalah Masigi (masjid) , Baruga , dan Kasulana Tombi (tiang bendera kesultanan). Tiga obyek ini dianggap sebagai simbol bahwa kesultanan menjunjung tinggi agama, musyawarah, dan wibawa negara/ kesultanan yang masing-masing disimbolkan dalam obyek fisik bangunan tersebut. Dari uraian mengenai sejarah pada bahasan sebelumnya, berikut dirangkum nilai sejarah yang pada ruang publik Yaroana Masigi pada tabel 4.3 .
95
Tabel 4.3 . Nilai Sejarah Ruang Publik Yaroana Masigi Obyek/ unit ruang
Tahun Abad ke-13 M
Batu Popaua Abad ke13M
Nilai Sejarah Pertama kali digunakan oleh raja pertama yang bergelar Ratu Wakaaka. Kemudian difungsikan sebagai batu pelantikan para Raja dan Sultan Buton. Halaman tempat orang berkumpul untuk kegiatan ritual adat, budaya, dan prosesi pelantikan sultan
Halaman Yaroana Abad ke-14 M
Batu tempat mengambil air untuk mandi para sultan yang dilantik. Merupakan Batu petirtaan raja-raja Buton.
Batu Wolio Makam Raja Buton ke VI dan 1584 M merupakan Sultan Buton pertama
Makam Sultan Murhum
Baruga
Masjid Agung Keraton
Kasulana Tombi (Tiang bendera) Sumber: Analisis Penulis
Ruang musyawarah. Di bangun pada 1610 M masa kepemimpinan Sultan Dayanu Ikhsanudin. Merupakan salah satu Sara yangdisebutkan dalam Undangundang Martabat tujuh untuk dijaga para Sapati Dibangun oleh Sultan Buton ke-19, 1712 M Sultan Zaqiyuddin Darul Alam. Masjid pertama di tanah Buton, bagian dari identitas kesultanan. Merupakan salah satu Sara yangdisebutkan dalam Undangundang Martabat tujuh untuk dijaga para Sapati. Masjid keraton tidak memiliki 1712 M menara masjid seperti masjid umumnya, sebaliknya berdiri tiang bendera kesultanan. Merupakan salah satu Sara yang disebutkan dalam Undang-undang Martabat tujuh untuk dijaga para Sapati
96
Berdasarkan urutan sejarah keberadaannya, obyek pertama yang ada dalam Yaroana Masigi
adalah Batu Popoaua dari penelusuran dan
wawancara singkat dengan masyarakat setempat dan pakar budaya setempat yaitu H. La Ode Razinu (2014), menyebutkan bahwa batu tersebut merupakan batu tumbuh yang keberadaanya telah ada sebelum permukiman melai terbentuk, dan tidak diketahui tahun pastinya, namun pertama kali digunakan saat pelantikan Raja pertama yaitu Ratu Wakaaka. Sama halnya dengan keberadaan Batu Wolio yang juga tidak diketahui kapan kemunculannya, yang orang ketahui tentang Batu Wolio bahwa batu tersebut merupakan sumber mata air pada zamannya, dari dinas pariwisata bidang kepurbakalaan setempat mengatakan bahwa obyek Batu Wolio diperkirakan sudah ada sejak abad ke-14 M. Lalu obyek berikutnya adalah halaman Yaroana yang saat ini di kenal sebagai Yaroana Masigi . Halaman luas ini dipergunakan sebagai tempat menghimpun masyarakat untuk melihat prosesi pelantikan raja/sultan serta ritual kerajaan lainnya. Kemudian obyek berikutnya adalah Baruga, Masigi, Kasulana Tombi, dan terakhir adalah Makam Sultan Murhum. Berdasarkan urutan waktu tersebut dapat dilihat melalui gambar berikut:
97
Gambar 4.25 Periodesas Obyek pada Yaroana Masigi
98
Gambar. 4.26 Urutan Keberadaan Obyek pada Yaroana Masigi
99
4.4.2
Signifikansi Budaya Area ruang publik Yaroana Masigi memiliki arti penting sebagai
ruang baik secara pemanfaatan maupun makna, sejak zaman kesultanan, Area ini difungsikan untuk berbagai kegiatan adat dan budaya yang bersifat penting. Berikut merupakan aktifitas sosial budaya yang berlangsung secara tradisi pada Yaroana Masigi . 4.2.2.1 Prosesi Pelantikan Sultan/ Pemimpin Prosesi pelantikan Sultan Buton merupakan prosesi adat yang tujuannya untuk melantik/ meresmikan sultan sebagai pemimpin tanah Buton. Prosesi ini sudah lama tidak dilangsungkan secara utuh hanya sebagian saja yaitu pada proses pelantikan pemimpin di Buton (Bupati/ Walikota) secara seremonial yang dilangsungkan di Baruga, namun sebelum itu didoakan terlebih dahulu di Masjid Keraton Buton oleh para perangkat masjid (Sara Kidina)
Gambar 4. 27 Walikota dan Wakil Walikota Baubau sedang didoakan Sara Kidina di Masjid Agung Keraton. Sumber: Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Baubau (2013)
100
Gambar 4. 28
Pelantikan Walikota dan Wakil Walikota Baubau di Baruga Sumber: Disbudpar Kota Baubau (2013)
Kemudian pada tahun 2012 prosesi ini dihidupkan kembali dengan memilih Sultan Buton ke-39 yang fungsinya sebagai pemimpin adat ditanah Buton, dimaksudkan agar adat dan budaya Buton tetap lestari. Prosesi pelantikan sultan Buton merupakan kegiatan adat yang konektivitasnya terhadap area Yaroana Masigi paling besar dibandingkan dengan aktivitas adat lainnya. Prosesi tersebut meliputi: a.
Prosesi Memandikan Calon Sultan di Batu Wolio Pada prosesi memandikan calon sultan dilakukan di Batu
Wolio. Di tempat tersebut telah disiapkan air untuk memandikan sultan dan perangkat-perangkat adat yang bertugas memandikan. Pakaian lengkap kesultanan juga disiapkan
disini.
Dengan
dipakaikan jubah sultan diiringi oleh 11 kelompok yang kemudian diantar menuju Baruga.
101
Gambar 4.29 Prosesi memandikan calon sultan Disbudpar Kota Baubau (2012)
b.
Prosesi Pelantikan Sultan (Pemutaran Payung Pertama) di Masjid Agung Keraton Menjelang tengah hari, Sultan dan pengiringnya menuju
Masjid Agung Keraaton untuk melaksanakan shalat Jumat. Setelah shalat Jumat, prosesi pelantikan pun dimulai di dalam masjid, dimana salah seorang perangkat adat yang disebut Bisa Patamiana menuliskan sesuatu dipunggung sultan sebagai tanda kesultanan. Kemudian dimulai pemutaran payung diatas kepala sultan, dikisahkan bahwa payung tersebut merupakan hadiah pemberian raja Majapahit kepada kerajaan Buton sebagai tanda persahabatan. Proses pemutaran payung sebanyak delapan kali disebelah kanan dan sembilan kali disebelah kiri. Pelantikan yang dilakukan di masjid ini
102
dimaknakan bahwa selain sebagai Lakina Wolio
atau pemimpin
kerajaan Buton, juga merupakan Lakina Agama
atau pemimpin
agama.
Gambar 4.30 Prosesi pemutaran payung di dalam Masjid Agung Keraton Sumber: Disbudpar Kota Baubau (2012)
103
c.
Prosesi Pelantikan Sultan (Pemutaran payung kedua) di Batu Popaua
Gambar 4.31 Iring-iringan pengantar Sultan menuju Batu Popaua Sumber: Disbudpar Kota Baubau (2012)
Setelah prosesi pemutaran payung di Masjid Agung Keraton selesai, sultan kemudian dibawa menuju Batu Popaua untuk pemutaran payung yang kedua, disaksikan oleh seluruh masyarakat Buton. Pada Batu Popaua , Kaki kiri sultan di masukkan kedalam liang Batu Popaua sambil menghadap barat dan diputarkan payung sebanyak delapan putaran, kemudian kaki kanan diletakkan diliang yang sama sambil menghadap timur dan diputarkan payung sebayak Sembilan putaran oleh perangkat adat yang bernama Bontona Peropa.
104
Gambar 4.32 Prosesi pemutaran payung di Batu Popaua
Gambar 4.33 Prosesi pelantikan Sultan Buton ke-37 Sultan Muhammad Hamidi pada tahun 1928 Sumber: Pusat Kebudayaan Wolio
105
Gambar 4.34 Suasana Yaroana Masigi saat proses pelantikan Sumber: Disbudpar Kota Baubau (2012)
Gambar 4.35 Sultan dibawa menuju Baruga Sumber: Disbudpar Kota Baubau (2012) d.
Penerimaan Ucapan Selamat Kepada Sultan di Baruga Setelah prosesi pelantikan selesai, maka kemudian sultan
diantar bersama iring-iringannya menuju Baruga untuk menerima doa restu dan selamat dari seluruh rakyat, pejabat kesultanan, serta pemimpin adat dari berbagai daerah di wilayah Buton.
106
Gambar 4.36 Sultan menerima ucapan selamat di Baruga Sumber: Disbudpar Kota Baubau (2012)
Adanya elemen-elemen pada ruang yang berfungsi sebagai wadah kegiatan masyarakat menunjukkan keterkaitan antara tahapan kegiatan dan sirkulasi pergerakan pada aktivitas sosial budaya pada ruang.
107
Gambar 4.37 penggunaan ruang pada prosesi pelantikan walikota
108
109
4.4.2.2 Makna Ruang pada Proses Pelantikan Sultan Buton Prosesi tersebut merupakan penggambaran alur kehidupan manusia. Dari alam roh – alam dunia – alam kubur sampai akhirat (padang mashyar). Karena
sultan
merupakan
representasi
makhluk
(khalifah)
yang
menghubungkan alam akhirat dan alam dunia. Hal Ini yang kemudian digambarkan dalam pola proses pelantikan yang membentuk pola huruf hijaiyah yakni huruf “ha” (bentuk kedua yaitu “ ”). Atau seperti bentuk lingkaran. Masyarakat Buton juga menyakutpautkan pemilihan kesultanan dengan konsep kosmologi yang banyak dipengaruhi oleh unsur sufi dalam pemahaman Islam. Dalam prosesi pelantikan dan penyumpahan sultan dianggap mewakili alam batiniah dan alam ragawi. Halaman Yaroana dan Baruga dijaman kesultanan merupakan lapangan yang fungsinya tidak jauh berbeda dengan fungsi alun-alun, yang dimaknakan sebagai padang masyhar (batin/ roh), yang menjadi permulaan alur kehidupan manusia, sekaligus sebagai
padang arafah (jasad/dunia)
yang menjadi tempat hidupnya. Ada tiga pemaknaan disini, yakni sebagai alam dimana manusia itu pada awalnya berada, kemudian dilahirkan ke dunia dalam bentuk fisik manusia lalu berakhir di alam akhirat dan berkumpul di hari akhir di padang mahsyar Penjelasan konkritnya untuk semua tahapan dan tempat tersebut juga berkaitan dengan pemahaman (fahamu) di kesultanan Buton:
110
a. Alam azali atau alam arwah. alam ini digambarkan oleh halaman luas depan masjid (termasuk Baruga ) . Penjelasannya, bahwa sultan terpilih itu dibawa ke alam arwah sehingga seolah-olah dia adalah ruh yang disiapkan untuk terlahir didunia.
b. Alam Misali atau disebut alam ide, penjelasanya masih berkenaan dengan alur kehidupan manusia. Bahwa dari alam arwah bakal calon manusia ini dibentuk ke dunia ide sebagai embrio. Ditahapan ini roh mulai di idekan untuk menjadi manusia. Prosesi ini digambarkan pada tahapan pelantikan dalam Masjid Agung Keraton. Disini sultan terpilih dilantik (dilantik untuk menjadi manusia) dan digambarkan dalam pelantikan sultan terpilih.
c. Alam ajisamu atau alam rahim, setelah dilantik sultan dibawa ke Batu Popaua untuk di sumpah. Istilahnya dalam alur kehidupan disini manusia mulai hidup dalam rahim sebagai bayi. Dalam masyarakat buton meyakini, kalau di alam rahimlah manusia disumpah kepada Tuhannya sebelumnya dilahirkan ke dunia. Tidak mengherankan jika bentuk Batu Popaua atau Batu pelantikan Sultan berbentuk seperti rahim perempuan. . d. Terakhir Alam insani atau alam dunia. Setelah seorang manusia bersumpah
dengan
Tuhannya,
maka
dilahirkanlah
ia.
Ini
menggambarkan bahwa sultan terpilih resmi menjadi sultan setelah disumpah di Batu Popaua. Alam insani ini juga direpresentasikan tanah lapang Yaroana dan Baruga (yang juga dimaknai sebagai
111
padang arafah). Disini juga sultan kemudian diperkenalkan dengan masyarakat serta semua Bonto dan Kadie (pimpinan daerah) dari berbagai daerah dalam lingkup kekuasaannya. Dan jika di terjemahkan dalam lingkup ruang pelantikan kesultanan akan terbentuk pola sebagai berikut:
Gambar 4.39 Pola ruang pelantikan Sultan Buton Sumber: Wawancara Mudjirudin (2014) digambar ulang penulis
Dalam pola tersebut posisi Batu Wolio tidak disebutkan dikarenakan proses memandikan sultan dilakukan diwaktu yang berlainan (tidak sekaligus) dengan alur proses pelantikan Sultan. Aktivitas budaya yang mempengaruhi suatu ruang seperti di ungkapkan Rapoport (1969) tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja.
112
Lingkungan mencerminkan banyak pengaruh sosial-budaya yang meliputi religi, organisasi sosial, dan sebagainya. Hal-hal yang menurut Rapoport lebih memberikan variasi bentuk daripada kebutuhan biologis, kondisi iklim, peralatan membangun dan yang lainnya, yang menjadi sebab mengapa salah satu aspek dapat lebih berpengaruh dibanding lainnya pada suatu budaya dibanding aspek tersebut pada budaya lain. Sebuah indikasi simbolis alami dari ruang adalah fakta bahwa manusia membawa arsitekturnya bersama mereka, dan tepat dalam penggunaannya. Karakter simbolis sangatlah penting bagi mereka, bagaimanapun hal tersebut adalah sebuah bagian dari ciri kelokalan. Seperti halnya diungkapkan oleh teori Rapoport tersebut bahwa fisik ruang Yaroana Masigi juga dipengaruhi oleh aktivitas sosial budayanya, dan keduanya saling memperkuat eksistensi satu sama lain. Dimana ruang membutuhkan aktivitas budaya dan sebaliknya. Sehingga menjadikan Yaroana Masigi sebagai ruang budaya. Signifikansi budaya Yaroana Masigi selain bernilai lokal yaitu merupakan bagian dari bukti eksistensi identitas budaya setempat, bagi Sulawesi merupakan bagian dari sejarah dan keragaman budaya Sulawesi. Ruang yang tidak hanya sebagai ruang publik, tapi juga budaya,warisan sejarah, simbol, serta identitas dan wajah masyarakat Buton.
113
4.4.2.3 Qunua Upacara adat Qunua merupakan kegiatan sahur bersama di mesjid pada 15 Ramadhan. Pelaksanaan Qunua
dilakukan setelah pelaksanaan
shalat taraweh bersama. Setiap pegawai mesjid atau masyarakat yang ikut membawa makanan (seperti kelengkapan pada haroa). Upacara adat ini setiap tahun masih dilakukan di lingkungan Mesjid Agung Keraton.
Gambar 4.40 Suasana Qunua di Baruga Sumber: Disbudpar Kota Baubau (2012)
114
Gambar 4.41 peta Penggunaan Ruang pada Kegiatan Adat Qunua
115
4.4.2.4
Jum‟atan Ibadah shalat jumat merupakan ibadah wajib bagi laki-laki muslim, ruang yang digunakan selain Masjid Agung Keraton, juga ruang-ruang kosong di area Yaroana Masigi .
4.4.2.5
Rara-e-ya Mpu (Idulfitri) dan Rara-e-ya haji (Idul Adha) Hari raya Idulfitri dan Idul Adha merupakan hari raya besar umat Islam,
penggunaan
ruangnya
seperti
halnya
Jum‟atan
menggunakan Masjid Agung Keraton, juga memanfaatkan seluruh ruang Yaroana yang kosong dan Baruga untuk pelaksanaannya. 4.4.2.6 Pekande-kandea Pekande-kandea merupakan jamuan makanan tradisional yang biasa
dilakukan
oleh
masyarakat
Buton
dalam
rangka
penjemputan para tamu penting. Tradisi ini menggunakan area Yaroana Masigi
yang kosong sebagai tempat jamuannya
disesuaikan dengan kapasitas dan kebutuhan.
Gambar 4.42 Suasana Pekande-kandea Sumber: Disbudpar Kota Baubau (2012)
116
Gambar 4.43 Penggunaan Ruang pada kegiatan riraya
117
4.44Penggunaan ruang pada kegiatan pekande kandea
118
4.4.2.7
Tari-tarian Tari-tarian di ruang publik Yaroana Masigi selain ditujukan untuk atraksi penghormatan terhadap sultan, juga saat ini dipakai untuk tarian penyambutan tamu-tamu penting. a. Tari Galangi Merupakan tarian yang didedikasikan untuk Sultan, tari Galangi selalu
menyertai
setiap
perjalanan
sultan
ke
daerah
kekuasaannya. Pasukan Galangi merupakan pasukan pengawal Sultan Buton. Itulah sebabnya tari ini memperlihatkan kebesaran sultan. Tarian ini dipertunjukkan saat upacara pelantikan sultan.
Gambar 4.45 Pasukan Galangi Sumber: Disbudpar Kota Baubau (2012)
119
b. Tari Mangaru Tari Mangaru mempertontonkan kedigdayaan mamainkan senjata tajam. Tarian ini menunjukkan kekuatan militer kesultanan.
Gambar 4.46 Tari Mangaru
Sumber: Disbudpar Kota Baubau (2012)
4.2.2.4
Tradisi Kabanti Bangunan Baruga bagian belakang kerap dipergunakan anakanak untuk berlatih kabanti di sore hari. Kabanti merupakan tradisi lisan masyarakat Buton, berupa kidung-kidung sejarah maupun kisah tentang masyarakat Buton.
120
Gambar 4.47 Anak-anak yang berlatih Kabanti
Sumber: Penulis Gambar 4.48 penggunaan ruan gpada kegiatan tari-tarian
121
4.49
122
4.4.3
Karakteristik Non Fisik Ruang Publik Yaroana Masigi Ruang publik Yaroana Masigi berhubungan dengan persoalan
makna, ruang Yaroana Masigi dapat dibaca secara kontekstual atau diiterpretasi maknanya berdasarkan sejarah terbentuknya, fungsinya, serta elemen-elemen
pembentuknya.
Proses
pemaknaan
dalam
konteks
pelestarian seperti disebutkan dalam piagam Burra (1999) adalah bagaimana sebuah tempat dapat mengartikan, mengindikasikan, membangkitkan atau mengekspresikan sesuatu. Dari hasil penjabaran sebelumnya ditemukan bahwa terdapat karakteristik intangible pada ruang publik Yaroana Masigi berupa makna-makna sebagai berikut. 4.4.3.1 Bermakna Kekuasaan (identitas kerajaan) Yaroana Masigi merupakan ruang publik yang secara fungsi dan konsep tidak jauh berbeda dengan konsep Alun-alun yang banyak ditemukan di Jawa. Hal ini tidak mengherankan dikarenakan hubungan kerjasama kerajaan Buton dan kerajaan Majapahit yang telah lama berlangsung. Bukti-bukti hubungan baik itu dapat terlihat pada salah satu sudut pintu benteng keraton yang bernama Lawana Waborobo yang mirip dengan bentuk candi bentar di Jawa, lalu payung yang digunakan dalam proses pelantikan merupakan payung hadiah dari raja Majapahit. Karakteristik Alun-alun pada keraton Yogyakarta juga memiliki kesamaan dengan dengan Yaroana Masigi, yaitu sama-sama berasosiasi pada kesultanan, terletak berhadapan dengan masjid, dipergunakan untuk aktifitas kerajaan, dan bersifat publik.
123
Yaroana Masigi merupakan ruang yang sangat penting bagi alur ritual pelantikan Sultan. Tidak hanya ruang kosongnya tapi juga bangunan yang terdapat dalam lingkungan Yaroana Masigi juga ikut berperan dalam membangun karakter ruang sebagai ruang pelantikan sultan. Mulai dari Batu Wolio yang dipergunakan untuk tempat memandikan calon sultan, Masjid Agung keraton tempat sultan di berkati, Batu Popaua tempat sultan memijakkan kakinya untuk dilantik, serta Baruga tempat dimana masyarakat dapat memberi doa dan selamat kepada sultan. Semua alur tersebut cukup menjelaskan hubungan Yaroana Masigi dengan pemimpin/ penguasa.
4.4.3.2 Bermakna Religi Yaroana Masigi yang berada di depan Masjid Agung Keraton dapat dikatakan sebagai halaman masjid, halaman yang juga digunakan untuk perluasan penggunaan masjid untuk aktivitas sholat jika kapasitas masjid tidak dapat menampung jumlah jamaah. Aktivitas keagaamaan lainnya juga berpusat di area Yaroana Masigi . Hal ini senada dengan teori Rapoport (1969) bahwa masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat religius. Agama dan kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman tradisional.
124
4.4.3.3 Bermakna Kosmologis Dalam konsep kosmologis orang Buton yang banyak dipengaruhi oleh sufi menyebutkan bahwa lokasi keberadaan Yaroana Masigi yang berada di tengah-tengah permukiman menggambarkan alam batiniah. Alam batiniah yang seharusnya senantiasa berada di tengah-tengah dan menjadi inti Dari penjelasan mengenai karakteristik fisik, nilai sejarah dan signifikansi budaya pada Yaroana Masigi berikut merupakan temuan yang menggambarkan sifat ruang Yaroana Masigi : a. Ruang bersejarah, yang memuat sejumlah obyek dan bangunan peninggalan kesultanan Buton. b. Ruang budaya, yang memuat dan mewadahi kegiatan bernilai budaya dan tradisi peninggalan kesultanan Buton. c. Ruang publik, tempat berkumpulnya masyarakat sekitar. d. Ruang makna, bermakna sakral karena kedudukannya yang dianggap inti dalam konsep kosmologis Buton. Yaroana Masigi juga berperan melengkapi konsep kosmologi tentang pemaknaan pemimpin/sultan melalui proses ritual pelantikan.
125
4.4.4
Peran pemerintah dan masyarakat saat ini terhadap Yaroana Masigi Seperti sudah sempat disinggung pada pembahasan sebelumnya
terkait kondisi fisik, bahwa peran pemerintah terhadap kondisi fisik Yaroana Masigi diantaranya terkait pemeliharaan kondisi fisik obyek di area Yaroana Masigi . Cukup terpeliharanya obyek disekitar Yaroana Masigi adalah bukti bahwa pemerintah setempat melalui dinas pariwisata dan budaya cukup mengantisipasi kerusakan yang bersifat fisik pada obyek, seperti dengan membuat pagar pembatas pada area sekitar Batu Wolio dan Batu Popaua. Serta pembuatan akses jalan menuju makam, yang memudahkan para peziarah untuk berkunjung. Namun dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya bahwa kondisi akses tersebut ada yang berada dalam kondisi tidak baik. Dalam hal ini pemerintah sudah melakukan tugasnya hanya saja minim kontrol. Semangat konservasi yang dilakukan pemerintah terhadap fisik obyek di area Yaroana Masigi juga cukup baik namun tidak diimbangi dengan riset serta keterlibatan masyarakat atau orang yang ahli. Hal ini terlihat pada renovasi Baruga, yang kemudian menurut budayawan setempat menyalahi konsep arsitektur Baruga yang seharusnya.
Perubahan-
perubahan yang sifatnya esensial di area Yaroana Masigi sebisa mungkin dihindari karena segala bentuk perubahan fisik menjadi legitimasi bagi rumah-rumah tradisional adat lainnya untuk „boleh‟ berubah. Inilah
126
mengapa Yaroana Masigi perlu dijaga dari hal-hal yang merusak dalam bentuk fisik maupun makna. Peran pemerintah dan masyarakat dalam pelestarian non fisik pada area Yaroana Masigi terlihat pada event budaya yang berlangsung di area Yaroana Masigi . Kegiatan masyarakat tersebut didukung penuh oleh pemerintah dan menjadi event rutin. Dalam pelestarian yang bersifat budaya, sinergi dan peran serta pemerintah beserta masyarakat cukup baik.
4.4.5
Makna Kultural pada Ruang Publik Yaroana Masigi Dalam upaya pelaksanaan pelestarian terdapat proses penilaian
makna kultural yang dimiliki bangunan maupun kawasan tersebut. Tujuan dari penilaian makna kultural ini ialah untuk menentukan arah serta strategi pelestarian yang dirasa sesuai dengan kondisi bangunan maupun kawasan yang akan dilestarikan. Penentuan total nilai makna kultural tiap obyek pada tahap ini akan dihitung nilai makna kultural per obyek yang merupakan gabungan dari enam kiteria, penentuan obyek yang dilestarikan berdasarkan nilai potensialnya. Hasil analisis nantinya akan berguna dalam menyusun arahan pelestarian kawasan yaitu sebagai dasar penentuan bentuk pelestarian pada masing-masing obyek/bangunan pada Yaroana Masigi . Analisis ini menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan metode scoring berdasarkan 6 (enam) kriteria makna kultural dari Feilden (1982), yaitu estetika, kejamakan, kelangkaan, keluarbiasaan, peranan sejarah dan citra kawasan. Hasil akhir dari analisis ini nantinya berupa klasifikasi bangunan kedalam 3
127
(tiga) kelompok, yaitu bangunan kuno-bersejarah potensial tinggi, potensial sedang dan dan potensial rendah. Penjelasan mengenai nilai masing-masing kriteria pada setiap obyek di kawasan studi serta hasil skoring yang telah dilakukan dapat dilihat pada penjelasan berikut: 1
Masjid Agung Keraton
Gambar 4.50 Masjid Agung Keraton Sumber: Pusat Kebudayaan Wolio
Tingkat perubahan sangat kecil, dari segi estetika bentuk asli tetap bertahan. Kelangkaan usia yang dibangun pada tahun 1712 sekitar 300san tahun oleh sultan Buton ke-19 Zaqiyuddin Darul Alam. Dari segi keluarbiasaan terkait dengan peranan sejarahnya sebagai Masjid Kesultanan pertama. Peranan sejarahnya yang penting bagi kesultanan Buton. Keberadaan serta fungsinya yang sentral bagi aktifitas religi sejak jaman kesultanan menjadikannya obyek yang memperkuat citra kawasan sebagai ruang publik eks- kesultanan Buton. Penilaian makna kulturalnya dapat dilihat pada tabel berikut:
128
Tabel 4. Penilaian Makna Kultural Masjid Agung Keraton Makna Kultural Masjid Agung Keraton Estetika Karakter Kelangkaan Peranan Keluar Memperkuat Sejarah biasaan Citra Kawasan 3 3 3 (Sumber: Analisis Penulis)
2
3
3
3
Kasulana Tombi Tingkat perubahan tidak ada, dari segi estetika bentuk asli tetap bertahan. Segi kelangkaan usia yang dibangun sekitar 300san tahun sebagai pelengkap masjid dan tempat mengibarkan simbol/bendera kesultanan. Keluarbiasannya terkait pada material/bahannya yang bertahan lama dilihat dari segi usianya, serta peranan sejarahnya yang penting bagi Kesultanan Buton sebagai tempat mengibarkan bendera kesultanan.
Gambar 4.51 Kasulana Tombi (sumber: Penulis)
Nilai
18
129
Tabel 4.5 Penilaian Makna Kultural Kasulana Tombi Makna Kultural Kasulana Tombi Estetika Karakter Kelangkaan Peranan Keluar Sejarah biasaan
3 3 3 (Sumber: Analisis Penulis) 3
3
Memperkuat Citra Kawasan
Nilai
3
18
3
Halaman Yaroana Terjadi perubahan tapi tidak merubah karakter ruang. Dari segi kelangkaan, ada ruang terbuka lain di kawasan benteng keraton Buton namun fungsinya yang digunakan untuk berbagai prosesi penting menambah poin keluarbiasaannya. Peranan sejarahnya merupakan bagian dari perluasan masjid dan mendukung kegiatan kesultanan lainnya. Sifat dan fungsi ruangnya memperkuat citra kawasan.
Gambar 4.52 Halaman Yaroana (Sumber: Penulis)
130
Tabel 4.6 Penilaian Makna Kultural Halaman Yaroana Makna Kultural Halaman Yaroana Estetika Karakter Kelangkaan Peranan Keluar Sejarah biasaan
2 3 2 (Sumber: Analisis Penulis) 4.
3
3
Memperkuat Citra Kawasan
Nilai
3
16
Batu Popaua Tingkat perubahan sedikit berupa penambahan pagar batu keliling, namun tidak merubah bentuk estetikanya. Deri segi kelangkaan usia diperkirakan ada sejak abad ke 13M. Bentuknya berkarakter berbentuk seperti rahim perempuan dan sejatinya memang merepresentasikan alam rahim, dengan maksud sultan yang dilantik terlahir kembali sebagai manusia baru. Keluarbiasannya terkait dengan fungsi dan peran sejarahnya yang penting dalam proses pelantikan para raja dan sultan Buton. Keberadannya sangat penting dan memperkuat citra kawasan.
Gambar 4.53 Batu Popaua (Sumber: Penulis)
131
Tabel 4.7 Penilaian Makna Kultural Batu Popaua Makna Kultural Batu Popaua Estetika Karakter Kelangkaan Peranan Keluar Sejarah biasaan
3 3 3 (Sumber: Analisis Penulis)
5.
3
3
Memperkuat Citra Kawasan
Nilai
3
18
Baruga Dari segi estetika tingkat perubahan sangat besar sehingga menghilangkan karakter aslinya, mengingat bahwa perannya yang cukup penting, karena bentuknya yang berubah membuat fisiknya tidak terlihat langka, banyak bangunan serupa di luar kawasan yang seperti bangunan ini. Karena peran dan fungsinya yang memperkuat citra kawasan, maka strategi pelestariannya perlu dikembalikan ke bentuk aslinya.
Gambar 4.54 Baruga (Sumber: Penulis)
132
Tabel 4.8 Penilaian Makna Kultural Baruga Makna Kultural Baruga Estetika Karakter Kelangkaan Peranan Keluar Sejarah biasaan
1 2 1 (Sumber: Analisis Penulis)
6.
3
Memperkuat Citra Kawasan
Nilai
3
12
2
Makam Sultan Murhum Dari segi estetika tidak banyak kerusakan. Ada banyak makam para raja dan sultan di kawasan Benteng Keraton namun dari segi kelangkaan makam Sultan Murhum dianggap langka karena perannya sebagai tonggak berdirinya Kesultanan Buton. Peranan sejarahnya cukup penting sebagai penanda awal
dimulainya era
kesultanan, karena makam tersebut merupakan makam Sultan Buton pertama, sehingga keberadaanya ikut memperkuat citra kawasan.
Gambar 4.55 Makam Sultan Murhum (Sumber: Penulis)
133
Tabel 4.9 Penilaian Makna Kultural Makam Sultan Murhum Makna Kultural Makam Sultan Murhum Estetika Karakter Kelangkaan Peranan Keluar Memperkuat Sejarah biasaan Citra Kawasan 3 3 3 (Sumber: Analisis penulis) 7.
3
2
3
Nilai
17
Batu Wolio Secara estetika tingkat perubahan sedikit tidak mengubah bentuk aslinya, berupa penambahan pagar batu pengaman disekelilingnya, kelangkaannya diperkiraan ada sejak abad ke 14M, peranannya cukup penting dalam kesultanan sebagai tempat petirtaan para raja dan sultan.
Gambar 4.56 Batu Wolio Sumber: Penulis Tabel 4.10 Penilaian Makna Kultural Batu Wolio Makna Kultural Batu Wolio Estetika Karakter Kelangkaan Peranan Keluar Memperkuat Sejarah biasaan Citra Kawasan 3 3 3 (Sumber: Analisis Penulis)
3
3
3
Nilai
18
134
Setelah dilakukan penilaian terhadap makna kultural pada tiap elemen bangunan, maka selanjutnya dilakukan penggolongan kelas untuk menentukan tingkat potensial elemen tersebut.
1) Menentukan jumlah penggolongan kelas pada data dengan rumus Sturgess:
k= 1 + 3,22 log n
(1)
k = 1 + 3,22 log 6 k= 3 1. Potensial tinggi 2. Potensial sedang 3.Potensial rendah 2) Menentukan pembagian jarak interval dengan cara mencari selisih antara total nilai tertinggi dan total nilai terendah untuk kemudian dibagi dengan jumlah kelas.
i= jarak / k i
(2)
=2
Intervalnya adalah 2.
Dari hasil perhitungan tersebut,
didapatkan hasil berupa jarak
interval untuk masing-masing kelas yakni : Potensial rendah ( 12 – 14 ), Potensial sedang ( 15 – 17 ), Potensial tinggi ( 18 )
135
4.5
Arahan Pelestarian pada Ruang Publik Yaroana Masigi Pelestarian ruang publik Yaroana Masigi akan didasarkan pada
kriteria makna kultural (Feilden.1982) yang terdapat pada Yaroana Masigi . Kemudian akan ditentukan arahan pelestariannya berdasarkan nilai potensial obyeknya (tinggi-rendah) yang kemudian diarahkan pada tindakan pelestariannya baik itu preservasi, konservasi, rehabilitasi, rekonstruksi, atau restorasi. 4.5.1
Arahan Pelestarian Fisik Berdasarkan hasil penilaian makna kultural pada potensialitas nilai
makna kultural Yaroana Masigi yang terdapat pada masing-masing kelas menunjukkan tingkat prioritas dan bentuk penanganan fisik yang akan dilakukan. Arahan kebijakan berupa preservasi, konservasi dan restorasi, atau rehabilitasi yang akan diikuti dengan arahan teknis penanganan bangunan berupa preservasi, konservasi, restorasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Berdasarkan penilaian kriteria-kriteria makna kultural yang telah dilakukan dengan metode pembobotan, maka dapat diketahui bahwa dari 8 obyek yang diteliti terdapat 1 obyek yang memiliki tingkat potensial rendah, 4 obyek yang memiliki tingkat potensial sedang, dan 3 obyek yang memiliki tingkat potensial tinggi untuk dilestarikan. 4.3.1.1 Baruga
Nilai potensial rendah merupakan bangunan dengan tingkat perubahan yang sedang hingga besar, maka diperlukan
intervensi fisik
136
sedang-besar untuk dapat tetap menjaga nilai makna kultural yang terdapat pada elemen-elemen bangunan tersebut. Pelestarian untuk obyek dengan nilai potensial rendah harus tetap mendapatkan tindakan pelestarian. Bangunan yang termasuk dalam kelas potensial rendah ini adalah Baruga.
Baruga termasuk bangunan di area ruang publik Yaroana Masigi yang mengalami perubahan paling banyak diantara obyek yang lain. Secara fungsi bangunan tersebut tidak berubah, namun dalam perkembangannya bangunan tersebut telah mengalami banyak perubahan bentuk secara arsitektural dan simbol. Baruga saat dibangun pertama kali merupakan bangunan memanjang sederhana dari kayu dan berbentuk panggung, tanpa dinding yang tidak memiliki ornamen hiasan apapun pada bangunannya menunjukkan kesederhanaan simbol rakyat, atapnya terbuat dari daun nipah dan tidak bersusun layaknya Malige (rumah sultan) seperti yang ada sekarang. Baruga yang ada sekarang adalah bangunan yang telah beberapa kali dipugar oleh pemerintah. Untuk itu arahan pelestariannya adalah restorasi, dan rekonstruksi , yaitu mengembalikan bentuk Baruga yang sesuai fungsi dan makna arsitekturalnya. Dengan di kembalikannya bentuk Baruga pada bentuk aslinya, hal ini akan ikut memperkuat citra kawasan sebagai kawasan bersejarah. 4.3.1.2 Halaman Yaroana dan Makam Sultan Murhum Obyek bangunan dengan nilai potensial sedang diarahkan dengan tindakan pelestarian berupa konservasi dan rehabilitasi . Kebijakan konservasi merupakan kebijakan yang memungkinkan dilakukannya
137
intervensi dalam melakukan pelestarian obyek dengan tingkat intervensi kecil hingga sedang. Klasifikasi tersebut dilakukan berdasarkan pada tingkat penilaian makna kultural serta tingkat perubahannya yang relatif
kecil.
Obyek maupun bangunan yang berada pada kelas ini yaitu halaman Yaroana dan makam Sultan Murhum a. Halaman Yaroana Perubahan fisik yang terjadi pada halaman Yaroanaseperti mengubah halaman yang tadinya tanah berumput menjadi paving tidak banyak merubah fungsi maupun maknanya, sehingga Halaman Yaroanamasuk dalam kelas potensial sedang yang kebijakan konservasinya
merupakan
kebijakan
yang
memungkinkan
dilakukannya intervensi dengan tingkat intervensi kecil hingga sedang berupa konservasi atau rehabilitasi (pemeliharaan). Adapun kegiatan pemeliharaan ini dapat dibagi menjadi pemeliharaan yang bersifat rutin dan pemeliharan tak rutin yang dilakukan sewaktuwaktu jika ada kerusakan parsial dan perlu perbaikan. b. Makam Sultan Murhum Secara fisik kondisi makam tidak banyak berubah, hanya kondisi akses di utara makam yang kurang terawat sehingga jarang digunakan. Makam Sultan Murhum masuk dalam kelas potensial sedang dengan tingkat intervensi kecil berupa arahan pelestarian konservasi dan
rehabilitasi (perawatan) , yaitu perawatan rutin
terhadap kondisi obyek.
138
4.3.1.3. Masjid Agung Keraton, Kasulana Tombi, Batu Wolio dan Batu Popaua Tindakan yang dilakukan pada kelas nilai potensial tinggi hanya boleh melakukan sedikit perubahan hingga tidak melakukan perubahan sama sekali. bangunan dengan nilai potensial tinggi memiliki tingkat perubahan yang sangat kecil hingga tidak berubah yang dikarenakan pemeliharaan yang baik ataupun kualitas bahan bangunan tahan lama sehingga tidak diperlukan intervensi fisik yang besar dalam penanganannya. Arahan tindakan pelestarian bagi kelas ini adalah preservasi dan konservasi. Obyek atau bangunan yang termasuk dalam kelas ini yaitu Masjid Agung Keraton, Kasulana Tombi, dan Batu Popaua. a.
Masjid Agung Keraton Kondisi Masjid Agung Keraton tidak banyak berubah secara arsitektural selain perawatan-perawatan yang bersifat parsial seperti penggantian dan pengecatan atap dan memperbaharui cat temboknya. Masjid Agung Keraton masuk dalam kelas potensial tinggi dalam penilaian makna kultural sehingga tingkat intervensi terhadap bangunan sangat kecil dengan arahan pelestarian berupa konservasi/ perservasi.
b.
Kasulana Tombi Kasulana Tombi masuk dalam kelas potensial tinggi dengan tingkat intervensi kecil atau sangat kecil. Dengan arahan pelestarian preservasi. Mengingat usia Kasulana Tombi yang sudah cukup tua dan akses terhadap obyek belum dikelola dengan baik dikhawatirkan
139
dapat mengganggu kondisi fisik obyek, sehingga perlu dibuatkan pembatas, pagar atau papan peringatan disekitar obyek sebagai bentuk pengamanan. c.
Batu Wolio Kondisi fisik Batu Wolio cukup baik dengan adanya pagar batu yang mengitari obyek. Batu Wolio masuk dalam kelas potensial tinggi dengan tingkat intervensi kecil berupa arahan pelestarian konservasi.
d.
Batu Popaua Kondisi fisik Batu Popaua cukup baik dengan keberadaan pagar batu disekeliling obyek, sehingga kondisi batu cukup terlindungi. Batu Popaua masuk dalam kelas potensial tinggi yaitu tingkat intervensinya kecil atau sangat kecil, dengan arahan pelestarian preservasi dengan pemeliharaan seperlunya. Secara keseluruhan pelestarian fisik pada ruang publik Yaroana
Masigi dirangkum melalui Tabel 4.11 berikut.
140
Tabel 4.11 Arahan Pelestarian Fisik Ruang Publik Yaroana Masigi Klasifikasi Potensial rendah
Tingkat Intervensi SedangBesar
Potensial sedang
KecilSedang
Obyek Baruga
Halaman Yaroana
Makam Sultan Murhum
Potensial tinggi
Sangat kecilKecil
Masjid Agung Keraton Kasulana Tombi
Batu Wolio
Batu Popaua
Sumber: Analisis Penulis
Arahan Pelestarian Restorasi atau rekonstruksi
Penjelasan
Mengembalikan Baruga kepada Arsitektur aslinya sesuai konsep dan pemaknaanya Konservasi Tidak perlu ada dan perubahan, cukup Rehabilitasi pemeliharaan yang bersifat rutin dan pemeliharan tak rutin yang dilakukan sewaktuwaktu jika ada kerusakan parsial dan perlu perbaikan. Konservasi Tidak perlu ada dan perubahan, cukup Rehabilitasi pemeliharaan rutin dan perbaikan pada akses jalan menuju makam. Konservasi Tidak perlu ada atau perubahan, Preservasi dibiarkan seperti kondisi eksisting. Preservasi Tidak perlu ada perubahan, dibiarkan seperti kondisi eksisting. Konservasi Tidak perlu ada perubahan, dibiarkan seperti kondisi eksisting. Preservasi Tidak perlu ada perubahan, tetap seperti kondisi eksisting.
141
4.5.2
Arahan Pelestarian Non Fisik Arahan pelestarian non-fisik pada Yaroana Masigi ditujukan untuk
mempertahankan aktivitas budaya/adat yang dianggap penting bagi ciri khas dan karakter ruang sebagai ruang budaya dan sejarah yaitu hal berikut: Mempertahankan kegiatan yang selama ini dipertahankan oleh masyarakat setempat sejak jaman kesultanan yang berlangsung di Yaroana Masigi , dengan memberi informasi-informasi yang cukup berupa penambahan foto-foto kegiatan di tempat-tempat atau obyek dimana kegiatan berlangsung. Misal di Baruga, dipasang foto-foto dimana saat sultan mendapat ucapan doa dan selamat dari para kadie dan Bonto, serta kegiatan-kegiatan adat lainnya yang pernah berlangsung di Baruga. Memasang sign atau rambu-rambu penanda informasi mengenai alur kegiatan ritual pelantikan sultan. Sign tersebut di pasang di sepanjang alur ritual, mengingat kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang paling penting bagi citra kawasan serta porsinya paling banyak dalam memanfaatkan ruang dalam Yaroana Masigi .
Gambar 4.57 Sign dipasang di sepanjang jalur pelantikan sultan Sumber: Analisis Penulis
142
Mempertimbangkan karakter intangible dalam setiap kebijakan pelestarian ruang publik Yaroana Masigi. Dengan melakukan inventarisasi dan dokumentasi unsur
intangible pada setiap obyek yang akan
dilestarikan. 4.5.3
Arahan Kebijakan Arahan kebijakan pada ruang publik Yaroana Masigi ditujukan
untuk mempertahankan kondisi fisik, ciri khas dan karakter ruang sebagai ruang budaya dan sejarah yang kedudukannya sangat penting bagi kawasan Benteng Keraton Buton. Adapun arahan pelestarian kawasan Yaroana Masigi secara umum adalah sebagai berikut: 1.
Aspek peraturan Dimaksudkan untuk melindungi lingkungan ruang publik Yaroana
Masigi dalam bentuk arahan kebijakan. a)
Melaksanakan hukum dan peraturan pelestarian secara tegas dan adil, pelaksanaan pemberian sanksi bagi yang melanggar, pemberian sanksi yang tegas dan adil diharapkan mampu mengendalikan perubahan kawasan bersejarah.
b)
Menyusun pedoman tata cara pemeliharaan obyek bangunan pada ruang publik Yaroana Masigi yang melibatkan ahli. Hal ini bertujuan agar setiap bangunan memiliki perlindungan yang jelas, dan kejadian berubahnya bentuk arsitektur Baruga tidak terulang kembali.
143
2.
Aspek kesadaran dan inisiatif Dimaksudkan untuk mengingatkan pentingnya ruang publik Yaroana
Masigi karenakan memiliki nilai dan bahan pelajaran bagi generasi mendatang, bukan hanya menjadi tugas pemerintah tapi juga diperlukan dukungan dan peran serta masyarakat. a)
Memberikan insentif berupa penghargaan dan bantuan dana perawatan bangunan, penghargaan bagi masyarakat yang telah berperan aktif dalam kegiatan pelestarian ruang publik Yaroana Masigi . Penghargaan dapat berupa piagam, publikasi, subsidi untuk pemeliharaan bangunan.
b)
Memberikan pemahaman dalam rangka mengedukasi masyarakat dan pengunjung mengenai pentingnya pelestarian kawasan bersejarah.
c)
Memberikan informasi yang jelas mengenai pelestarian ruang publik Yaroana Masigi
kepada masyarakat melalui publikasi dalam
berbagai media dan mengajak masyarakat sekitar untuk ikut berperan aktif dalam pelestarian Yaroana Masigi . d)
Membangun dan memperkuat kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaan pelestarian ruang publik Yaroana Masigi, masyarakat dapat ikut mengawasi dan menjadi mitra pemerintah dalam pelaksanaan pelestarian.
e)
Mempertahankan event atau kegiatan budaya yang berlangsung di ruang publik Yaroana Masigi sehingga fungsi ruang budayanya tetap lestari, serta memberikan informasi kegiatan tersebut dalam bentuk publikasi dan jadwal kegiatan.
144
145