BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Provinsi Maluku Utara 4.1.1 Kondisi Geografis Provinsi Maluku Utara secara geografis terletak antara 30 Lintang Utara – 30 Lintang Selatan dan 1240-1290 Bujur Timur. Provinsi Maluku Utara merupakan provinsi kepulauan yang dibatasi oleh: - Samudra Pasifik di sebelah utara - Laut Halmahera di sebelah timur - Laut Maluku di sebelah barat - Laut Seram di sebelah selatan Luas wilayah Provinsi Maluku Utara secara keseluruhan tercatat 145.801,10 km2, yang terdiri dari luas daratan sebesar 45.069,66 km2 dan luas lautan sebesar 100.731,44 km2. Provinsi Maluku Utara terdiri dari 395 pulau besar dan kecil. Pulau yang dihuni sebanyak 64 buah dan yang tidak dihuni sebanyak 331 buah. Wilayah Maluku Utara dengan hampir 70 persen wilayah lautan menjadikan Provinsi Maluku Utara sebagai provinsi bahari yang kaya akan potensi kelautan. Sebagian besar wilayah Maluku Utara bergunung-gunung dan berbukitbukit yang terdiri dan pulau-pulau vulkanis dan pulau karang, sedangkan sebagian lainnya merupakan dataran. Kondisi iklim di Maluku Utara dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim musim. Oleh karena itu, iklimnya sangat dipengaruhi
37
oleh lautan dan bervariasi antara tiap bagian wilayah yaitu iklim Halmahera Utara, Halmahera Tengah, Halmahera Barat, Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula.
Tabel 4.1. Luas Wilayah, Luas Wilayah Daratan dan Ibukota Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2009 Kabupaten/Kota
Ibukota Kabupaten/Kota
Luas Wilayah (Km2)
Luas Wilayah Daratan (Km2)
(1)
(2)
(3)
(4)
Halmahera Barat (Halbar)
Jailolo
14.235,66
2.612,24
Halmahera Tengah (Halteng)
Weda
8.381,48
2.276,83
Kepulauan Sula (Kepsul)
Sanana
24.082,30
9.632,92
Halmahera Selatan (Halsel)
Labuha
40.263,72
8.779,32
Tobelo
24.983,32
5.447,30
Halmahera Timur (Haltim)
Maba
14.202,02
6.506,20
Kota Ternate
Ternate
5.795,40
250,85
Kota Tidore Kepulauan (Tikep) Provinsi Maluku Utara (Malut)
Soa Sio
13.857,20
9.564,00
145.801,10
45.069,66
Halmahera Utara (Halut)
*
Sofifi
)
* Data masih tergabung dengan Kabupaten Pulau Morotai
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010.
4.1.2
Pemerintahan Provinsi Maluku Utara secara resmi terbentuk pada tanggal 12 Oktober
1999 melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Maluku Utara beribukota di Desa Sofifi tetapi mengingat infrastruktur yang tersedia di Desa Sofifi belum memadai, ibukota sementara berada di Kota Ternate. Namun sejak tanggal 4 Agustus 2010 Ibukota Provinsi Maluku Utara dipindahkan kembali dari Ternate ke Sofifi.
38
Pada awal terbentuk, Provinsi Maluku Utara hanya terdiri dari tiga kabupaten/kota (dua kabupaten dan satu kota) yaitu Kabupaten Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Tengah serta Kota Ternate. Pada tahun 2003 Maluku Utara terdiri dari delapan kabupaten/kota (enam kabupaten dan dua kota) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula dan Kota Tidore Kepulauan di Provinsi Maluku Utara. Sedangkan, Kabupaten Maluku Utara berubah nama menjadi Kabupaten Halmahera Barat. Pada tahun 2008 terbentuk Kabupaten Pulau Morotai yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Halmahera Utara melalui UU No.53 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Pulau Morotai di Provinsi Maluku Utara. Seiring dengan adanya pemekaran wilayah, saat ini Provinsi Maluku Utara terdiri dari sembilan kabupaten/kota (tujuh kabupaten dan dua kota), yaitu Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Tengah, Kepulauan Sula, Halmahera Utara, Halmahera Selatan, Halmahera Timur, Pulau Morotai, Kota Ternate serta Kota Tidore Kepulauan. Wilayah administratif Maluku Utara terbagi dalam 113 kecamatan dan 1.070 desa/kelurahan yang tersebar di sembilan kabupaten/kota.
4.1.3 Kependudukan Dalam pembangunan, penduduk harus dijadikan sebagai titik sentral yaitu sebagai subyek pembangunan dan sebagai obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan, penduduk merupakan motor penggerak bagi proses pembangunan, sedangkan sebagai obyek pembangunan berarti hasil-hasil pembangunan harus
39
sepenuhnya dinikmati oleh penduduk. Jumlah penduduk yang besar merupakan modal pembangunan apabila penduduk tersebut berkualitas, sedangkan penduduk yang besar tetapi tidak berkualitas justru akan menjadi beban bagi pembangunan. Tabel 4.2. Jumlah Penduduk Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota (jiwa) Kabupaten/Kota (1)
Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Halmahera Barat
95.662
96.205
96.724
97.424
97.971
Halmahera Tengah
33.159
33.289
33.410
34.410
34.821
Kepulauan Sula
128.437
128.781
129.090
129.871
130.290
Halmahera Selatan
175.966
180.383
184.860
188.156
192.312
Halmahera Utara
179.221
183.277
187.375
190.835
194.778
Halmahera Timur
58.763
61.774
64.922
66.965
69.912
162.247
164.385
166.506
170.016
172.604
80.671
81.040
81.389
81.921
82.302
Provinsi Maluku Utara 914.126 929.134 Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010.
944.276
959.598
974.990
Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan
Jumlah penduduk di Provinsi Maluku Utara dari tahun 2005-2009 selalu mengalami kenaikan di tiap tahunnya, hingga mencapai 974.990 jiwa di tahun 2009. Kenaikan penduduk juga terjadi di level kabupaten/kota. Kabupaten Halmahera Utara merupakan kabupaten dengan penduduk terbanyak yaitu 179.221 jiwa di tahun 2005 dan meningkat hingga mencapai 194.778 jiwa di tahun 2009. Kabupaten Halmahera Tengah hanya memiliki jumlah penduduk 33.159 jiwa di tahun 2005 dan meningkat menjadi 34.821 jiwa di tahun 2009 (Tabel 4.2).
40
Tabel 4.3. Persentase Luas Wilayah Daratan, Persentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2009 Kabupaten/Kota
Persentase Luas Wilayah Daratan
Persentase Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
(1)
(2)
(3)
(4)
Halmahera Barat
5,80
10,05
37,50
Halmahera Tengah
5,05
3,57
15,29
Kepulauan Sula
21,37
13,36
13,53
Halmahera Selatan
19,48
19,72
21,91
Halmahera Utara
12,09
19,98
35,76
Halmahera Timur
14,44
7,17
10,75
0,56
17,70
688,08
21,22
8,44
8,61
Provinsi Maluku Utara 100,00 Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010.
100,00
21,63
Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan
Persebaran penduduk antarkabupaten/kota di Provinsi Maluku Utara terlihat belum merata. Kota Ternate yang hanya memiliki luas daratan 0,56 persen dari seluruh luas daratan Maluku Utara, dihuni oleh 17,70 persen total penduduk Maluku Utara. Hal ini dapat disebabkan karena Kota Ternate merupakan pusat perekonomian di Maluku Utara, sehingga menjadikan Kota Ternate sebagai daya tarik bagi penduduk di kabupaten lain untuk bermigrasi. Kepadatan penduduk di Ternate mencapai 688 jiwa per km2, angka ini jauh di atas kabupaten/kota lain di Maluku Utara (Tabel 4.3). Kabupaten Halmahera Timur dengan 14,44 persen luas wilayah, hanya dihuni oleh 7,17 persen total penduduk Maluku Utara. Kota Tidore Kepulauan dengan 21,22 luas wilayah, hanya dihuni oleh 8,44 persen penduduk. Masalah persebaran penduduk yang tidak merata harus menjadi perhatian pemerintah, karena penduduk yang terlampau padat akan menimbulkan masalah-masalah
41
sosial seperti berkembangnya pemukiman kumuh, meningkatnya kriminalitas, pengangguran dan sebagainya.
4.1.4
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan dalam
melihat kondisi perekonomian suatu wilayah. Total PDRB Maluku Utara baik PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK)/PDRB Riil maupun PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)/PDRB Nominal dari tahun 2005-2009 mengalami kenaikan. PDRB Nominal Maluku Utara pada tahun 2009 mencapai 4,69 triliun rupiah, sedangkan secara riil, dengan mengeluarkan pengaruh inflasi, PDRB Maluku Utara sebesar 2,81 triliun rupiah (Gambar 4.1). PDRB ADHB
PDRB ADHK 4,69
5,00 3,86
Trilyun Rupiah
4,00 3,00
2,82 2,58 2,36 2,24
3,16 2,50
2,81
2,65
2,00 1,00 0,00 2005
2006
2007 Tahun
2008
2009
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
Gambar 4.1. PDRB ADHB dan PDRB ADHK Provinsi Maluku Utara
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor penyumbang PDRB terbesar, kemudian sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta urutan ketiga di sektor industri pengolahan. Pada tahun 2009, PDRB
42
Nominal sektor pertanian sebesar Rp.1,75 triliun, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar Rp. 1,07 triliun dan sektor industri pengolahan sebesar Rp. 611 miliar. PDRB Nominal ketiga sektor tersebut sebesar Rp.3,43 triliun dari total PDRB Nominal Maluku Utara Rp.4,69 triliun.
Tabel 4.4. PDRB ADHB dan PDRB ADHK Provinsi Maluku Utara Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2009 (juta rupiah) Lapangan Usaha (1)
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
PDRB ADHB 2008 2009 (2)
(3)
PDRB ADHK 2008 2009 (4)
(5)
1.529.507,82
1.751.392,06
951.726,34
995.698,21
194.451,94
238.896,18
126.936,22
117.186,04
466.869,49
610.889,28
339.297,14
352.601,54
24.192,68
27.892,60
12.890,03
13.163,75
89.106,85
127.754,71
47.166,48
50.798,65
844.473,54
1.069.036,19
668.172,70
733.421,84
323.099,53
375.106,84
209.209,85
228.831,21
131.359,79
173.305,68
92.465,28
101.673,46
259.181,49
316.294,19
203.243,71
218.071,07
TOTAL 3.862.243,13 4.690.567,72 Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
2.651.107,75
2.811.445,78
Laju pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara dari tahun 2005-2009 juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Hanya saja pada tahun 2008 laju pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara lebih lambat dari tahun sebelumnya (Gambar 4.2). Hal ini disebabkan adanya krisis finansial di dunia yang menurunkan permintaan ekspor Maluku Utara. Adanya kondisi pilkada gubernur
43
yang kurang kondusif pada tahun 2008, dapat diduga menjadi penyebab
Persen
penurunan laju pertumbuhan ekonomi. 6,20 6,00 5,80 5,60 5,40 5,20 5,00 4,80 4,60
6,01
5,99
6,05
2007 Tahun
2008
2009
5,48 5,10
2005
2006
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
Gambar 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009 4.1.5
Struktur Ekonomi Struktur ekonomi ditunjukkan melalui peran setiap sektor terhadap total
PDRB. Peran tersebut mencerminkan kemampuan setiap sektor dalam menciptakan barang dan jasa dalam rangka pembentukan nilai tambah. Informasi ini penting bagi perencana pembangunan untuk mengetahui sektor-sektor ekonomi yang menjadi penopang utama perekonomian Maluku Utara. Tabel 4.5 menggambarkan bahwa dalam kurun waktu 2005-2009 struktur perekonomian Maluku Utara masih didominasi tiga sektor besar yaitu sektor pertanian dengan kontribusi rata-rata sebesar 38,10 persen per tahun, sektor perdagangan hotel & restoran rata-rata sebesar 22,33 persen, dan sektor industri pengolahan 13,21 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor andalan di Provinsi Maluku Utara. Sehingga seharusnya potensi ini didukung dengan kebijakan pemerintah yang propertanian.
44
Tabel 4.5. Struktur Perekonomian Provinsi Maluku Utara (Persen) Tahun 2005
2006
2007
2008
2009
Kontribusi Sektor Rata-Rata
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
38,22
37,86
37,50
39,60
37,34
38,10
4,58
4,59
4,87
5,03
5,09
4,83
13,75
13,77
13,43
12,09
13,02
13,21
0,66
0,65
0,65
0,63
0,59
0,64
1,93
2,10
2,16
2,31
2,72
2,24
22,31
22,21
22,48
21,86
22,79
22,33
7,83
8,25
8,50
8,37
8,00
8,19
3,18
3,20
3,27
3,40
3,69
3,35
7,55
7,38
7,15
6,71
6,74
7,11
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Lapangan Usaha (1)
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa TOTAL
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
Bila dilihat tiap subsektor, sektor pertanian di Provinsi Maluku Utara didukung sebesar 42 persen oleh subsektor perkebunan seperti coklat (kakao), cengkeh, kelapa, pala dan sebagainya. Sedangkan sekitar 27 persen subsektor tanaman bahan makanan, 17 persen perikanan. Subsektor kehutanan dan peternakan masing-masing menyumbang sekitar 9 persen dan 5 persen terhadap nilai tambah sektor pertanian (Tabel 4.6).
45
Tabel 4.6. Kontribusi Subsektor terhadap PDRB Sektor Pertanian Provinsi Maluku Utara (Persen)
2005
2006
2007
2008
2009
Kontribusi Subsektor Rata-Rata
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
26,95
26,79
26,48
28,12
27,05
27,08
42,48
42,49
42,27
42,01
41,02
42,05
5,10
4,98
4,98
4,48
4,53
4,82
9,26
9,61
9,49
8,32
8,85
9,10
16,22
16,13
16,78
17,07
18,55
16,95
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100.00
Tahun Subsektor (1)
Tanaman Bahan Makanan Tanaman Perkebunan Peternakan dan hasil-hasilnya Kehutanan Perikanan Total
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
4.1.6
Kondisi Ketenagakerjaan Jumlah pengangguran merupakan indikator penting dalam melihat kinerja
pembangunan suatu wilayah. Gambar 4.3. menunjukkan jumlah pengangguran di Maluku Utara dari tahun 2005-2007 menunjukkan tren yang menurun yaitu 53,14 ribu jiwa ke 23,98 ribu jiwa. Namun, mulai tahun 2007-2009 kecenderungan jumlah pengangguran maupun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami peningkatan. Tingginya angka pengangguran pada tahun 2005 disebabkan PHK besar-besaran perusahaan industri pengolahan (PT. Taiwi di Sidangoli) pada tahun 2005. Kenaikan angka pengangguran pada tahun 2008 diduga merupakan efek kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008 serta kondisi pilkada pada tahun 2008 yang kurang kondusif.
46
60,00
53,14
50,00 40,00 28,84
30,00 20,00
23,98
27,32
28,56
13,09
10,00
6,90
6,05
6,48
6,76
2006
2007
2008
2009
0,00 2005
Tahun Jumlah Pengangguran (1000 Jiwa)
TPT
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
Gambar 4.3. Jumlah Pengangguran dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Maluku Utara Pada tahun 2009, jumlah pengangguran di Maluku Utara sebesar 28,56 ribu jiwa sedangkan TPT sebesar 6,76 persen. Hal ini berarti dari seluruh angkatan kerja di Maluku Utara masih ada 6,76 persen yang menganggur.
4.1.7
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan merupakan indikator penting untuk melihat kualitas
sumberdaya manusia di suatu wilayah. Tabel 4.7 menunjukkan indikator-indikator tingkat pendidikan di Kabupaten/Kota di Maluku Utara pada tahun 2009. Ratarata lama sekolah di Maluku Utara pada tahun 2009 sebesar 8,61 tahun. Hal ini berarti rata-rata penduduk Maluku Utara bersekolah sampai kelas 3 SMP. Bila dilihat tiap kabupaten/kota, rata-rata lama sekolah tertinggi di Kota Ternate yaitu 10,80 tahun atau sekitar kelas 2 SMA. Rata-rata penduduk di Kota Tidore Kepulauan dan Halmahera Tengah bersekolah sampai kelas 3 SMP, sedangkan penduduk di lima kabupaten lainnya rata-rata bersekolah hanya sampai kelas 2 SMP.
47
Tabel 4.7. Indikator-Indikator Pendidikan di Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009 RataRata Lama Sekolah (Tahun)
Angka Melek Huruf (%)
(1) Halmahera Barat Halmahera Tengah Kepulauan Sula Halmahera Selatan Halmahera Utara
(2) 7,79
(3) 95,31
Penduduk 10 Tahun ke atas menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan (persen) Tidak/ Belum SD SMP SMA PT Tamat SD (4) (5) (6) (7) (8) 27,18 30,48 20,19 17,08 5,07
8,08
96,73
33,04
29,42
20,07
12,56
4,91
7,80
97,34
28,27
35,82
18,78
13,31
3,81
7,47
95,83
33,55
36,53
16,93
10,93
2,07
7,33
95,91
35,08
30,85
16,40
14,87
2,80
Halmahera Timur
7,89
95,59
32,20
36,64
19,33
9,76
2,08
Kota Ternate Kota Tidore Kepulauan
10,80
98,95
11,28
15,02
15,80
43,92
13,98
8,66
98,04
13,58
31,65
20,53
24,41
9,83
8,61 95,74 26,46 29,99 Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2010 (diolah).
17,78
20,01
5,76
Kabupaten/Kota
MALUKU UTARA
Jumlah penduduk 10 tahun ke atas di Maluku Utara yang mampu membaca dan menulis sebesar 95,74 persen. Angka melek huruf terbesar di Kota Ternate (98,95 persen) dan Kota Tidore (98,04 persen). Kabupaten Halmahera Barat dan Hamahera Timur memiliki angka melek huruf di bawah Provinsi Maluku Utara yaitu masing-masing 95,31 persen dan 95,59 persen. Jumlah penduduk menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan merupakan indikator penting dalam menggambarkan mutu sumberdaya manusia di suatu wilayah. Pada tahun 2009, jumlah penduduk 10 tahun ke atas di Maluku Utara yang telah memenuhi wajib belajar sembilan tahun hanya sebesar 17,78
48
persen, 20 persen lulus pendidikan menengah atas dan hanya 5,76 persen yang tamat Perguruan Tinggi. Kota Ternate memiliki kualitas pendidikan yang paling baik, dengan jumlah lulusan SMA mencapai 43,92 persen dan lulusan Perguruan Tinggi sebesar 13,98 persen. Demikian pula dengan Kota Tidore Kepulauan, penduduk lulusan SMA sebesar 24,41 persen dan lulusan Perguruan Tinggi sebesar 9,83 persen. Sedangkan di kabupaten/kota lainnya persentase lulusan SMA dan Perguruan Tinggi masih tergolong rendah. Hal ini mengindikasikan kurang meratanya pembangunan sektor pendidikan di Maluku Utara.
4.2 Gambaran Pola Kemiskinan di Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009 4.2.1
Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Provinsi Maluku Utara Perkembangan persentase penduduk miskin di Provinsi Maluku Utara dari
tahun 2005-2009 mengalami penurunan, yaitu 13,23 persen pada tahun 2005, menurun menjadi 12,73 persen tahun 2006, hingga mencapai mencapai angka 10,34 persen pada tahun 2009. Demikian pula dengan jumlah penduduk miskin yang mengalami penurunan dari 118,6 ribu jiwa pada tahun 2005 menjadi 99,10 ribu jiwa pada tahun 2009 (Gambar 4.4). Hal ini mengindikasikan adanya perbaikan dalam pencapaian pembangunan ekonomi di Provinsi Maluku Utara.
49
140 120
Jumlah Penduduk Miskin (1000 jiwa) Persentase Penduduk Miskin 118,6
116,8
109,9
107,9
100
99,10
80 60 40 20
13,23
12,73
11,97
11,51
10,34
2005
2006
2007
2008
2009
0
Tahun
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
Gambar 4.4. Persentase dan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009 Tabel 4.8 menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di Maluku Utara dari tahun 2005-2009 cukup bervariasi antarkabupaten/kota. Namun secara umum dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kota Ternate memiliki persentase penduduk miskin yang paling rendah dengan tingkat pengurangan persentase penduduk miskin rata-rata per tahun sebesar 3,4 persen. Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Utara memiliki tingkat kemiskinan yang relatif rendah pula. Kedua kabupaten/kota tersebut mampu menurunkan persentase penduduk miskin lebih dari tujuh persen tiap tahun. Kabupaten Halmahera Tengah memiliki persentase penduduk miskin tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yaitu di atas 25 persen. Kabupaten Halmahera Timur juga memiliki persentase penduduk miskin rata-rata di atas 20 persen. Namun, laju penurunan persentase penduduk miskin di kedua kabupaten tersebut cukup tinggi yaitu 4,3 persen di Halmahera Tengah dan 5,4 persen di Halmahera Timur. Diharapkan upaya pengentasan kemiskinan di kedua kabupaten tersebut dapat segera teratasi.
50
Tabel 4.8. Persentase Penduduk Miskin (HCI) Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2005-2009 Tahun Kabupaten/Kota
Rata-rata pengurangan HCI per tahun
2005
2006
2007
2008
2009
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Halmahera Barat
16,85
17,12
16,19
16,12
14,34
-3.8
Halmahera Tengah
31,83
31,81
30,18
28,52
26,64
-4.3
Kepulauan Sula
16,08
15,14
14,07
13,71
11,51
-7.9
Halmahera Selatan
14,09
13,36
12,95
12,54
10,97
-6.0
Halmahera Utara
11,32
10,36
9,63
8,90
7,93
-8.5
Halmahera Timur
24,48
22,68
21,54
21,13
19,55
-5.4
Kota Ternate
4,85
4,54
4,26
4,15
4,22
-3.4
Kota Tidore Kepulauan
8,32
8,31
7,43
6,54
6,01
-7.7
Provinsi Maluku Utara
13,23
12,73
11,97
11,51
10,34
-5.9
(1)
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula di tahun 2005 memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Namun, laju penurunan persentase penduduk miskin di Kabupaten Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula cukup tinggi, sehingga pada tahun 2009 kedua kabupaten tersebut mampu menurunkan angka kemiskinan hingga tinggal sekitar 11 persen. Kabupaten Halmahera Barat hanya mampu menurunkan tingkat kemiskinannya rata-rata 3,8 persen tiap tahun, sehingga di tahun 2009 penduduk miskin di Halmahera Barat masih 14,34 persen.
51
4.2.2
Perkembangan Tingkat Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009 Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar jumlah atau persentase
penduduk miskin. Namun, perlu dilihat tingkat kedalaman (poverty gap) dan keparahan kemiskinan (poverty severity). Selain memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan harus dapat mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan (P1) menggambarkan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, Dengan kata lain, Indeks Kedalaman Kemiskinan melihat seberapa miskin orang miskin itu. Sedangkan indeks keparahan kemiskinan (P2) menggambarkan penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Angka P1 dan P2 yang besar menunjukkan buruknya kondisi kemiskinan di suatu wilayah. Disaat persentase penduduk miskin di Maluku Utara yang mengalami penurunan tiap tahunnya, hal ini tidak selalu diikuti dengan penurunan tingkat kedalaman kemiskinan. Kedalaman kemiskinan di Maluku Utara dari tahun 20052009 tercatat cukup berfluktuasi. Hal ini mengindikasikan penurunan persentase penduduk miskin secara jumlah tidak selalu diikuti dengan perbaikan kualitas kehidupan penduduk miskin. Gambar 4.5 menunjukkan tingkat kedalaman kemiskinan di Provinsi Maluku Utara dari tahun 2005-2009 cukup berfluktuatif. Tingkat kedalaman kemiskinan dari tahun 2005-2008 cenderung mengalami kenaikan, hanya pada tahun 2006 sedikit menurun dari tahun sebelumnya. Kemudian pada tahun 2009 kedalaman kemiskinan menurun hingga sebesar 1,93. Bila dilihat pencapaian dari
52
tahun 2005-2009 menunjukkan bahwa penduduk miskin makin mendekati garis kemiskinannya. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) 3,00 2,50
2,04
2,01
2,23
2,47 1,93
2,00 1,50 1,00
0,42
0,57
0,64
0,76
2006
2007
2008
1,00
0,50 0,00 2005
2009
Tahun
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
Gambar 4.5. Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Keparahan Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009 Tingkat keparahan kemiskinan dari tahun 2005-2009 menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari 0,42 pada tahun 2005 menjadi 1,00 pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan penurunan persentase penduduk miskin justru diikuti dengan kesenjangan pendapatan antarpenduduk miskin yang makin melebar.
4.2.2.1 Perkembangan Tingkat Kedalaman Kemiskinan Kabupaten/Kota Tingkat kedalaman kemiskinan dari tahun 2005-2009 tiap kabupaten/kota mengalami kenaikan dan penurunan secara fluktuatif. Secara rata-rata kabupaten/kota yang memiliki tingkat kedalaman kemiskinan tertinggi yaitu Halmahera Tengah (6,38) dan Halmahera Timur (4,99). Hal ini berarti kesenjangan antara pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan relatif lebar. Dengan kata lain, jarak pendapatan orang miskin dengan batas pendapatan
53
minimal untuk hidup layak cukup jauh. Tentu hal ini mengindikasikan kondisi kemiskinan yang buruk di kedua wilayah tersebut. Tabel 4.9. Kedalaman Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2005-2009 Tahun Kabupaten/Kota
Rata-rata Kedalaman Kemiskinan (7)
2005
2006
2007
2008
2009
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Halmahera Barat
3,68
3,88
3,07
3,28
3,21
3,42
Halmahera Tengah
9,54
5,58
5,58
5,90
5,30
6,38
Kepulauan Sula
2,54
2,15
2,03
2,16
2,31
2,24
Halmahera Selatan
2,44
1,80
1,94
1,82
1,68
1,94
Halmahera Utara
1,97
1,19
1,08
2,04
1,41
1,54
Halmahera Timur
3,82
5,46
3,03
9,61
3,02
4,99
Kota Ternate
0,70
0,53
0,81
0,75
0,65
0,69
Kota Tidore Kepulauan
0,67
1,47
1,08
0,80
0,61
0,93
Provinsi Maluku Utara 2,04 2,01 2,23 Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
2,47
1,93
2,14
(1)
Kabupaten/kota yang memiliki rata-rata tingkat kedalaman kemiskinan yang rendah yaitu Kota Ternate (0,69) dan Kota Tidore Kepulauan (0,93). Hal ini menunjukkan kondisi orang miskin di Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan lebih baik dibandingkan dengan kondisi orang miskin di kabupaten/kota lainnya di Maluku Utara (Tabel 4.9).
Persentase Penduduk Miskin (P0)
54
P1 Provinsi Malut 1,93
30,00
Halteng
25,00 20,00
Haltim
15,00
Halsel
10,00
Halut Tidore Ternate
5,00
Halbar Kepsul P0 Provinsi Malut 10,34
0,00 0,00
2,00
4,00
6,00
Kedalaman Kemiskinan (P1)
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
Gambar 4.6. Persentase Penduduk Miskin dan Indeks Kedalaman Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Tahun 2009 Gambar 4.6 menunjukkan sebaran tingkat kemiskinan dan kedalaman kemiskinan menurut kabupaten/kota tahun 2009. Kabupaten Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Halmahera Barat dan Kepulauan Sula memiliki tingkat kemiskinan dan kedalaman kemiskinan di atas kemiskinan Provinsi Maluku Utara. Hal ini menunjukkan buruknya kondisi kemiskinan di kabupatenkabupaten tersebut, dimana persentase orang miskin yang besar dan jarak pendapatan orang miskin dengan pendapatan minimal agar tidak miskin relatif jauh. Diperlukan upaya yang lebih keras untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah tersebut. Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara memiliki kondisi kemiskinan yang cukup baik. Tingkat kemiskinan di wilayah tersebut rendah dan kesenjangan pendapatan penduduk miskin dengan garis kemiskinan rendah pula.
55
4.2.2.2 Perkembangan Tingkat Keparahan Kemiskinan Kabupaten/Kota Tingkat keparahan kemiskinan dari tahun 2005-2009 tiap kabupaten/kota menunjukkan pencapaian yang fluktuatif. Kabupaten Halmahera Tengah memiliki tingkat keparahan kemiskinan yang paling besar yaitu 3,82 pada tahun 2005, kemudian menurun menjadi 1,47 pada tahun 2007, namun kembali meningkat pada tahun 2008 (1,63) dan 2009 (1,73). Hal ini menunjukkan distribusi pendapatan antarpenduduk miskin yang semakin tidak merata (Tabel 4.10). Tabel 4.10. Keparahan Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2005-2009 2005
2006
2007
2008
2009
Rata-rata Keparahan Kemiskinan
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Halmahera Barat
1,26
1,24
0,95
1,08
1,07
1,12
Halmahera Tengah
3,82
1,54
1,47
1,63
1,73
2,04
Kepulauan Sula
0,55
0,47
0,50
0,49
0,78
0,56
Halmahera Selatan
0,70
0,35
0,52
0,37
0,39
0,47
Halmahera Utara
0,48
0,21
0,20
0,52
0,42
0,37
Halmahera Timur
1,10
1,73
0,59
4,48
0,73
1,73
Kota Ternate
0,13
0,12
0,21
0,15
0,18
0,16
Kota Tidore Kepulauan
0,10
0,39
0,25
0,12
0,12
0,20
Provinsi Maluku Utara
0,42
0,57
0,64
0,76
1,00
0,68
Tahun Kabupaten/Kota (1)
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
Persentase Penduduk Miskin (P0)
56
P2 Provinsi Malut 1,00
30,00
Halteng
25,00
Haltim
20,00 15,00
Halsel
10,00
Kepsul
Halbar
Halut Tikep Ternate
5,00
P0 Provinsi Malut 10,34
0,00 0,00
0,50 1,00 1,50 Keparahan Kemiskinan (P2)
2,00
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
Gambar 4.7. Persentase Penduduk Miskin dan Indeks Keparahan Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Tahun 2009 Berdasarkan persentase dan keparahan kemiskinan tahun 2009, Kabupaten Halmahera Tengah memiliki kondisi kemiskinan yang paling parah yaitu persentase penduduk miskin yang tinggi dan distribusi pendapatan antarpenduduk miskin yang tinggi pula.
Begitu pula dengan Kabupaten Halmahera Barat
walaupun tidak separah Halmahera Tengah. Wilayah yang memiliki kondisi kemiskinan yang paling baik yaitu Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara. Kabupaten Halmahera Selatan, Halmahera Timur dan Kepulauan Sula memiliki angka persentase penduduk miskin di atas Provinsi Maluku Utara, namun kesenjangan antarpenduduk miskin relatif rendah.
57
4.2.3
Perkembangan Garis Kemiskinan BPS menggunakan pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar
(basic needs approach) dalam mengukur kemiskinan. Berdasarkan pendekatan ini disusunlah garis kemiskinan yang menggambarkan batas pendapatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan minimal kalori makanan dan kebutuhan dasar nonmakanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan serta kebutuhan dasar lainnya. Penduduk miskin merupakan penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita di bawah garis kemiskinan. Maluku Utara
Indonesia
250.000
217.349 194.262
Rupiah
200.000 150.000 100.000
137.010
150.812
165.039 166.697
152.847
182.636
200.262
129.108
50.000 0 2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Sumber: BPS RI, 2009 (diolah).
Gambar 4.8. Perkembangan Garis Kemiskinan Indonesia dan Provinsi Maluku Utara Tahun 2005-2009 Gambar 4.8 menunjukkan bahwa garis kemiskinan Provinsi Maluku Utara dari tahun 2005-2009 mengalami kenaikan, yaitu Rp.137.010,00 per kapita per bulan pada tahun 2005 meningkat menjadi Rp.217.349,00 per kapita per bulan pada tahun 2009. Hal ini berarti pada tahun 2009 seorang penduduk Maluku Utara dikatakan miskin apabila pengeluaran/pendapatannya kurang dari Rp.217.349,00 per bulan atau Rp.7.245,00 per hari. Apabila seorang kepala rumahtangga (KRT) memiliki dua anak dan satu istri, berarti pendapatan minimal agar ia dapat
58
memenuhi kebutuhan dasar untuk dia dan keluarganya adalah Rp. 869.396,00 per bulan atau Rp.28.979,00 per hari. Sedangkan di tahun 2005, suatu rumahtangga dengan empat ART (anggota rumahtangga) agar kebutuhan dasar terpenuhi, minimal harus memiliki pendapatan Rp.548.040,00 per bulan atau Rp.18.268,00 per hari. Kenaikan garis kemiskinan di Maluku Utara sejalan dengan kenaikan garis kemiskinan nasional yaitu Rp.129.108,00 di tahun 2005 meningkat menjadi Rp.200.262,00 per kapita per bulan. Hal ini berarti bahwa di tahun 2009 pendapatan per kapita minimal seorang peduduk Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dasar agar dapat hidup layak sebesar Rp.200.262,00 per bulan atau Rp.6.675,00 per hari. Tabel 4.11. Perkembangan Garis Kemiskinan Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota tahun 2005-2009 Tahun
Kabupaten/Kota (1)
2005
2006
2007
2008
2009
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Halmahera Barat
122.948
132.678
142.708
167.364
193.436
Halmahera Tengah
152.564
165.062
163.618
197.098
255.844
Kepulauan Sula
144.254
153.946
148.239
191.633
198.491
90.832
107.607
138.083
177.239
177.674
Halmahera Utara
118.380
124.885
107.690
139.961
151.693
Halmahera Timur
168.542
187.298
205.514
276.959
282.667
Kota Ternate
205.196
219.906
228.202
253.491
313.322
Kota Tidore Kepulauan
122.578
144.504
165.039
204.196
250.690
165.039
194.262
217.349
Halmahera Selatan
Provinsi Maluku Utara 137.010 150.812 Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2009 (diolah).
Tabel 4.11 menunjukkan bahwa garis kemiskinan mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Kota Ternate memiliki garis kemiskinan yang tertinggi
dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Hal ini berarti di Kota Ternate
59
pendapatan minimal yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya.
4.3 Analisis Regresi Data Panel Analisis regresi data panel dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Maluku Utara. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain PDRB (Produk Domestik Regional Bruto, MYS (Mean Years School/Rata-Rata Lama Sekolah), Share PDRB pertanian dan jumlah pengangguran. Variabel dependen adalah jumlah penduduk miskin.
4.3.1
Pemilihan Model Analisis regresi data panel ada tiga pendekatan yaitu Common Effect,
Fixed Effect dan Random Effect. Dari ketiga pendekatan di atas akan dipilih satu yang terbaik melalui uji Chow dan uji Hausman. Dari hasil uji Chow disimpulkan bahwa model fixed effect lebih baik daripada Common Effect. Pengujian dilanjutkan dengan Uji Hausman untuk memilih antara Fixed Effect dan Random Effect dan disimpulkan bahwa Fixed Effect lebih baik daripada Random Effect. Analisis regresi data panel dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Fixed Effect.
60
4.3.2
Uji Asumsi
4.3.2.2 Homokedastisitas Untuk medeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode General Least Square (Cross section Weight) yaitu dengan membandingkan sum square Residual pada Weighted Statistics dengan sum square Residual Unweighted Statistics. Jika sum square Residual pada Weighted Statistics lebih kecil
dari
sum
square
heteroskedastisitas.
Hasil
Residual output
Unweighted
Statistics,
memperlihatkan
maka
adanya
terjadi indikasi
heteroskedastisitas. Treatment pelanggaran asumsi homoskedastisitas ini dapat dilakukan dengan mengestimasi GLS dengan white-heteroscedasticity.
4.3.2.2 Autokolerasi Hasil estimasi menunjukkan nilai statistik Durbin Watson sebesar 1,785111. Nilai Durbin Watson tersebut berada pada interval dU < DW < 4-dU (1,721 < 1,785111< 2,279). Hal ini menunjukkan tidak adanya autokolerasi.
4.3.2.3 Multikolinearitas Tabel 4.12. Matriks Korelasi Antarvariabel Independen Variabel PDRB MYS Share_Pertanian Pengangguran
PDRB 1 0,347285 -0,580666 0,612862
MYS
Share_Pertanian
Pengangguran
1 -0,749964 0,590386
1 -0,698824
1
Model yang dipilih harus terbebas dari multikolinieritas, atau dapat dikatakan bahwa tidak ada korelasi tinggi antara variabel-variabel independen.
61
Berdasarkan matriks korelasi antarvariabel independen terlihat bahwa korelasi antarvariabel kurang dari 0,8, sehingga dapat disimpulkan model telah memenuhi asumsi terbebas dari multikolinieritas.
4.3.3
Intepretasi Model
Tabel 4.13. Hasil Regresi Data Panel Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan di Provinsi Maluku Utara Variabel Koefisien p-value (1) (2) (3) C 11.38855 0.0000 LOG(PDRB) -0.517855 0.0000 LOG(MYS) -1.091039 0.0004 SHARE_PERTANIAN -0.002860 0.0888* LOG(PENGANGGURAN) 0.027069 0.0011 F-statistic 349.0327 0.000000 R-squared 0.992760 Adjusted R-squared 0.989916 *Signifikan pada α= 10% Pengujian parameter secara keseluruhan melalui uji F menghasilkan nilai probability (p-value) 0,000000 lebih kecil dari α = 0,05 sehingga kesimpulan yang dapat diambil dari hasil pengujian tersebut adalah minimal ada satu peubah bebas yang signifikan memengaruhi perubahan jumlah penduduk miskin. Besarnya proporsi keragaman perubahan kemiskinan yang mampu dijelaskan oleh model adalah sebesar 99,2 persen, artinya model sudah representatif. Berdasarkan probability t-statistic dengan tingkat keyakinan 99 persen, dapat disimpulkan bahwa tiga variabel yang signifikan memengaruhi perubahan jumlah penduduk miskin di Maluku Utara yaitu perubahan PDRB (pertumbuhan ekonomi), rata-rata lama sekolah (MYS) dan jumlah pengangguran. Sedangkan dengan tingkat keyakinan 90 persen, keempat variabel signifikan memengaruhi perubahan jumlah
62
penduduk miskin yaitu perubahan PDRB (pertumbuhan ekonomi), rata-rata lama sekolah (MYS), jumlah pengangguran dan share PDRB pertanian.
4.3.3.1 PDRB Besarnya pengaruh perubahan PDRB terhadap jumlah penduduk miskin di Maluku Utara dapat dilihat dari nilai koefisien parameternya yang juga menunjukkan nilai elastisitasnya. Nilai koefisien PDRB sebesar -0,518 berarti peningkatan PDRB sebesar satu persen akan mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 0,518 persen dengan asumsi pengaruh variabel lain konstan. Pengaruh pertumbuhan dengan kemiskinan ini dikenal melalui proses trickle down effect yaitu pertumbuhan ekonomi diyakini akan memperluas penciptaan
lapangan
menumbuhkan
kerja,
kondisi
yang
membuka
peluang-peluang
menyebabkan
pemerataan
ekonomi
dan
distribusi
hasil
pertumbuhan ekonomi dan sosial, sehingga pada akhirnya pertumbuhan ekonomi mampu menurunkan kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hasil ini sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu antara lain penelitian Hajiji (2010) di Provinsi Riau yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan faktor penentu dalam pengentasan kemiskinan. Siregar dan Wahyuniarti (2007) juga menyimpulkan bahwa pertumbuhan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan kemiskinan, namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar.
63
4.3.3.2 Rata-Rata Lama Sekolah Variabel tingkat pendidikan yang didekati dengan rata-rata lama sekolah signifikan secara statistik memengaruhi penurunan jumlah penduduk miskin di Maluku Utara. Nilai koefisien rata-rata lama sekolah sebesar -1,091 berarti peningkatan rata-rata lama sekolah sebesar satu persen akan mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 1,091 persen dengan asumsi pengaruh variabel lain konstan. Elastisitas penurunan jumlah penduduk miskin karena peningkatan ratarata lama sekolah lebih tinggi bila dibandingkan dengan penurunan jumlah penduduk miskin karena pertumbuhan ekonomi. Pendidikan erat kaitannya dengan kemiskinan. Pendidikan yang rendah identik dengan rendahnya pengetahuan dan ketrampilan sehingga produktivitas kerja rendah dan akhirnya upah yang diterima rendah pula. Upah yang rendah identik dengan kemiskinan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Siregar dan Wahyuniarti (2007) yang menemukan bahwa pendidikan merupakan variabel yang signifikan dan relatif paling besar pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan.
4.3.3.3 Jumlah Pengangguran Jumlah penduduk yang menganggur signifikan berpengaruh positif terhadap perubahan jumlah penduduk miskin. Nilai koefisien pengangguran sebesar 0,027 berarti peningkatan jumlah pengangguran sebesar satu persen akan menambah jumlah penduduk miskin sebesar 0,027 persen dengan asumsi pengaruh variabel lain konstan. Demikian pula dengan penurunan satu persen
64
penduduk yang menganggur akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0,027 persen. Pengangguran menyebabkan hilangnya kesempatan seseorang untuk memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga pengangguran erat kaitannya dengan kemiskinan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu antara lain penelitian Prasetyo (2010) tentang kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2003-2007 menyimpulkan bahwa terhadap terdapat hubungan positif antara tingkat pengangguran dengan tingkat kemiskinan.
4.3.3.4 Share PDRB Sektor Pertanian Variabel share PDRB sektor pertanian signifikan secara statistik memengaruhi penurunan jumlah penduduk miskin di Maluku Utara. Nilai koefisien share PDRB sektor pertanian sebesar -0,0028 berarti peningkatan sebesar satu persen share sektor pertanian terhadap PDRB Maluku Utara akan mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 0,0028 persen dengan asumsi pengaruh variabel lain konstan. Hal ini sejalan dengan penelitian Siregar dan Wahyuniarti (2007) yang menyimpulkan bahwa peningkatan share pertanian akan menurunkan jumlah kemiskinan. Penelitian Suselo dan Tarsidin (2008) juga menunjukkan bahwa penurunan share pertanian akan memperburuk kemiskinan di Indonesia.