BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Bioetanol Tebu Tebu Indonesia yang terletak antara 390 0-4000 Lintang Utara dan antara 3500-
3800 Lintang Selatan merupakan negara beriklim panas dan iklim sedang sehingga tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik. Dalam proses pertumbuhan, tanaman tebu membutuhkan banyak air hujan sedangkan pada waktu masak membutuhkan keadaan kering. Tebu merupakan suatu tanaman yang berasal dari India, namun ada beberapa sumber yang menyebutkan bahwa tebu merupakan tanaman yang berasal dari Polynesia. Nama tebu hanya dikenal di Indonesia, di lingkungan internasional tebu lebih dikenal dengan nama ilmiah Saccharum Officinarum L. (Rukmana, 2004). Tanaman ini termasuk famili graminae atau kelompok rumputrumputan. Tanaman tebu tinggi kurus, tidak berbatang dan tumbuh tegak. Pada umumnya tebu atau air tebu dimanfaatkan sebagai bahan baku gula tebu, dan menghasilkan hasil samping berupa molasses (tetes tebu) yang tidak dapat dikristalkan lagi menjadi gula tebu (Puncu, 2014). Salah satu bioetanol dihasilkan dari tetes tebu ini karena mengandung kadar gula sangat tinggi >50% (Nugroho, 2014), sehingga dapat digunakan sebagai sumber yang baik untuk pembuatan etanol. Molase berbentuk cairan kental berwarna cokelat ini dapat dimanfaatkan
sebagai
bahan
baku
etanol, pembentuk asam
sitrat, MSG,
dan gasohol. Proses produksi etanol tetes tebu dilakukan dengan beberapa proses meliputi tahap fermentasi, destilasi dan dehidrasi sampai berkadar > 90 %.
5
6 Bioetanol merupakan alkohol atau etanol yang diperoleh dari tumbuhan (biomassa) dengan cara fermentasi. Proses fermentasinya menggunakan bantuan mikroorganisme yang artinya melibatkan proses biologis sehingga produk etanolnya dikenal dengan bioetanol. Bahan baku biomassa meliputi bahan baku sumber gula, bahan baku sumber pati, serta bahan baku sumber serat (lignoselulosa). Secara umum bioetanol dapat digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, campuran bahan bakar. Sifat fisik-kimia etanol disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Sifat Fisika-Kimia Etanol Etanol Masa Molekul Relatif (Mr) Kelarutan dalam air Kerapatan / massa jenis Titik didih Titik beku Titik nyala Suhu nyala
Sifat Fisik-Kimia 46,07 g/mol Larut 0,789 kg/L 78,50 C -1170 C 12,80 C 4250 C
Sumber : Walker, 2010 ; Balat dkk, 2007 2.1.1. Proses Destilasi dan Dehidrasi Pada umumnya hasil fermentasi adalah bioetanol dengan kemurnian <30%, dan belum dapat dikategorikan sebagai fuel based etanol. Agar dapat mencapai kemurnian di atas 95% , maka alkohol hasil fermentasi harus melalui proses destilasi. Destilasi merupakan proses pemisahan dan pemurnian produk hasil fermentasi etanol. Hasil fermentasi selanjutnya didestilasi untuk memisahkan etanol dengan larutan lainnya. Pemurnian etanol merupakan bagian yang memerlukan banyak energi. Sekitar 50 % energi total fermentasi digunakan untuk proses destilasi (Maiorella, 1984).
7 Cairan hasil fermentasi mengandung sekitar 6,5%-12% v/v etanol. Untuk mendapatkan etanol 95% v/v perlu dilakukan pemekatan kolom konsentrasi dalam unit destilasi. Destilasi merupakan proses pemisahan campuran antara dua atau lebih cairan berdasarkan perbedaan fase antar dua cairan, yaitu volatilitas relatif dan perbedaan titik didih. Proses destilasi yang dilakukan pada beberapa industri dapat melibatkan dua komponen. Menurut prinsip umum destilasi kolom multikomponen, masing-masing komponen dalam campuran terdapat satu keseimbangan massa. Proses destilasi dapat berjalan sempurna jika digunakan sistem destilasi bertingkat dengan refluks (fraksionasi atau rektifikasi), yang terdiri dari dua buah atau lebih kolom destilasi. Masing-masing kolom tersebut memurnikan etanol secara bertahap. Hasil fermentasi didestilasi pada kolom penyuling dan alkohol diproduksi dalam kolom rektifikasi (Paturua,1982). Etanol merupakan cairan yang bersifat azeotropik dengan air. Untuk memperoleh alkohol yang bebas air (di atas 95%), azeotrop dipisahkan dengan proses dehidrasi. Metode dehidrasi yang biasa digunakan dalam pemisahan ini adalah: a. Destilasi azeotrop Dapat dilakukan pada kolom destilasi berefluks dengan penambahan bahan pelarut seperti benzena atau n-heksana. Dengan penambahan bahan pelarut tersebut, azeotrop dapat dipisahkan dalam campuran dengan pemanasan pada proses destilasi sampai diperoleh etanol yang lebih murni.
8 b. Penggunaan bahan kimia Bertujuan untuk memudahkan pemisahan etanol dengan kandungan air yang bersifat azeotrop. Bahan kimia ini bereaksi dengan air dan tidak bereaksi (inert) terhadap alkohol, sehingga menghasilkan panas yang dipertahankan dalam sistem. c. Filtrasi molekuler Menggunakan filter kristal aluminium silika yang mempunyai susunan kompak yang dapat mengabsorpsi air karena mempunyai pori yang lebih besar daripada molekul air dan lebih kecil dari molekul alkohol. Dengan demikian molekul air yang terikat dengan kristal sampai mencapai tingkat jenuh (tidak dapat menyerap lagi). Etanol yang telah dipisahkan kemudian dimampatkan pada kolom dan air yang terikat pada kristal dapat dihilangkan dengan evaporasi, sehingga kristal aluminium silika tersebut dapat dimanfaatkan kembali.
2.2
Biodiesel Biodiesel adalah bahan bakar alternatif pengganti solar. Biodiesel
merupakan senyawa kimia sederhana dengan kandungan enam sampai tujuh macam ester asam lemak. Biodiesel didefinisikan sebagai metil ester dengan panjang rantai karbon 12 sampai 20 dari asam lemak turunan dari lipid contohnya minyak nabati atau lemak hewani. Minyak nabati atau minyak hewani dapat dibuat biodiesel dengan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi menggunakan alkohol. Komposisi dan sifat kimia dari biodiesel tergantung pada kemurnian, panjang pendek, derajat kejenuhan, dan struktur rantai alkil asam lemak penyusunnya. Melalui proses-proses tersebut beberapa trigliserida akan terurai
9 menjadi senyawa-senyawa lain, salah satunya Free Fatty Acid (FFA) atau asam lemak bebas. Kadar Free Fatty Acid merupakan salah satu faktor penentu pembuatan biodiesel. Kandungan trigliserida dan asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak jelantah inilah yang kemudian diolah menjadi biodiesel. Kandungan asam lemak bebas dapat diubah menjadi biodiesel melalui reaksi esterifikasi, sedangkan kandungan trigliseridanya dapat diubah melalui reaksi transesterifikasi (Ketaren, 1996; Zandy, 2007). 2.2.1
Minyak Jelantah Minyak jelantah adalah minyak yang dihasilkan dari sisa penggorengan,
baik dari minyak kelapa maupun minyak sawit. Minyak jelantah yang digunakan untuk menggoreng menimbulkan asap atau busa dan berwarna cokelat, serta rasa yang tidak disukai dari makanan yang digoreng (Hambali dkk., 2007). Minyak goreng memang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat, makanan yang digoreng biasanya lebih gurih dan lezat, tanpa membutuhkan bumbu bermacam-macam. Berbeda dengan masakan yang dimasak dengan cara lain seperti dikukus, direbus dan dipanggang. Dengan demikian menggoreng adalah cara yang paling praktis untuk memasak. Selain merupakan penyedap masakan, minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas dan penambah nilai kalori bahan pangan. Akhir-akhir ini di munculkan jenis-jenis minyak goreng nabati yang dipromosikan mengandung asam lemak tak jenuh yang dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah, dan pembuluh jantung, dengan alasan inilah Asosiasi Kedelai Amerika Serikat (ASA) pernah berusaha mencegah masuknya minyak goreng dari negara-negara
10 tropis yang berbahan kelapa dan sawit. Asosiasi ini menganggap minyak tropis mengandung asam lemak jenuh lebih dari 25%. Suhu minyak goreng digunakan untuk menggoreng dengan suhu minyak mencapai 200-3000 C menyebabkan ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh rusak, sehingga yang tersisa tinggal asam lemak jenuh. Bila minyak goreng jenuh dikonsumsi maka sebagai resiko meningkatnya kolesterol darah yang berpengaruh negatif terhadap tubuh. Minyak goreng yang telah digunakan, akan mengalami beberapa reaksi yang menurunkan mutunya. Mutu minyak goreng tergantung dari titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein. Akrolein adalah sejenis aldehid yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Minyak yang telah digunakan untuk menggoreng akan mengalami peruraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya turun, bila minyak digunakan berulang kali, maka semakin cepat terbentuknya akrolein sehingga membuat batuk orang yang memakan hasil gorengannya. Jelantah juga mudah mengalami reaksi oksidasi sehingga jika disimpan cepat berbau tengik. Selain itu jelantah juga disukai jamur aflatosi sebagai tempat berkembang biak. Jamur ini menghasilkan racun aflatoksin yang dapat menyebabkan berbagai penyakit, terutama pada gangguan fungsi hati atau penyakit liver. Salah satu yang paling berbahaya, minyak goreng yang dipanaskan hingga 300o C kemudian teroksidasi dapat memacu pertumbuhan sel kanker pada hati.
11 Sampai saat ini, minyak jelantah belum dimanfaatkan dengan baik dan hanya dibuang sebagai limbah rumah tangga ataupun industri. Jika limbah ini dibuang ke lingkungan maka dapat menyebabkan pencemaran. Namun, jika digunakan untuk menggoreng lagi maka akan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemanfaatan minyak goreng bekas, yaitu dengan mengolahnya menjadi biodiesel. (Hambali dkk., 2007). Sebelum diolah menjadi biodiesel minyak jelantah ditentukan kadar % FFA (Free Fatty Acid) untuk mengetahui asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak jelantah. Semakin kecil kadar FFA dalam minyak jelantah maka kualitas dari minyak tersebut masih baik (%FFA ≥ 0,2 – 5 %) (Erliza, 2007), kadar asam lemak bebas yaitu: Persen FFA =
(
)
x 100%
Keterangan: N = Normalitas KOH BM asam lemak = Berat molekul asam lemak 2.2.2
Proses Esterifikasi dan Transesterifikasi Proses konversi diawali dengan persiapan bahan baku, lalu melakukan
reaksi esterifikasi, dilanjutkan dengan proses pencucian I dan proses pemisahan I, hasilnya direaksikan secara transesterifikasi. a. Esterifikasi Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester. Esterifikasi mereaksikan asam lemak dengan alkohol. Tahap ini biasanya dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar asam lemak bebas
12 tinggi (>5% ), seperti minyak jelantah, CPO low grade, dan minyak jarak. Katalis-katalis yang cocok adalah asam kuat seperti asam sulfat dan asam klorida. Untuk mendorong agar reaksi dapat berlangsung kereaksi yang sempurna pada suhu rendah, reaktan alkohol ditambahkan dalam jumlah yang berlebih dan air sebagai produk reaksi harus disingkirkan. Reaksi esterifikasi asam lemak bebas dan mekanisme reaksinyadapat dilihat pada Gambar 2.2 (Hambali dkk., 2007; Nimitz, 1991).
Gambar 2.1 Reaksi esterifikasi asam lemak menjadi etil ester
b. Transesterifikasi Transesterifikasi adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester (R1,R2, R3), melalui reaksi dengan alkohol dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam
13 reaksinya. Katalis yang biasa digunakan adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi. (Hambali dkk., 2007) Reaksi transesterifikasi gliserida menjadi etil ester serta mekanisme reaksinya dilihat pada Gambar 2.3 (Nimitz, 1991).
Gambar 2.2 Reaksi transesterifikasi dari gliserida menjadi etil ester asam-asam lemak, R1,R2,R3 = alkil ester
2.2.3
Karakteristik Biodiesel Untuk mengetahui biodiesel yang dihasilkan, maka perlu dilakukan
beberapa uji biodiesel sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Persyaratan mutu biodiesel di Indonesia telah dibakukan dalam SNI-04-71822006, yang telah disahkan dan diterbitkan oleh Badan Standarisasi Nasional
14 (BSN) tanggal 22 Februari 2006. Adapun standar mutu biodiesel di Indonesia menurut SNI-04-7182-2006, dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Soerawidjaja, 2006). Tabel 2.2 Standar mutu biodiesel Indonesia menurut SNI-04-7182-2006 No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Parameter Massa jenis pada suhu 15oC Viskositas kinematik pada suhu 40 oC Angka setana Titik nyala (mangkok tertutup) Titik kabut Korosi bilah tembaga (3 jam, 50 oC)
Satuan Kg/m3 mm2/s o
C C
o
Batas Nilai 850 – 890 2,3 – 6,0 min. 51 min. 100 maks. 18 maks. No. 3
7.
Residu karbon maks. 0,05 - Dalam contoh asli maks. 0,03 %-massa - Dalam 10% ampas destilasi 8. Air dan sedimen %-vol maks. 0,05 o 9. Temperatur destilasi 90% C maks. 360 10. Abu tersulfatkan %-massa maks. 0,02 11. Belerang ppm-m (mg/kg) maks. 100 12. Fosfor ppm-m (mg/kg) maks. 10 13. Angka asam mg-KOH/g maks. 0,8 14. Gliserol bebas %-massa maks. 0,02 15. Gliserol total %-massa maks. 0,24 16. Kadar ester alkil %-massa min. 96,5*) 17. Angka iodium g-I2/(100 g) maks. 115 18. Uji Halphen negatif *) dihitung berdasarkan angka penyabunan, angka asam, serta kadar gliserol total dan gliserol bebas Sumber : Soerawidjaja, 2006. Dikutip dari Zandy dkk., 2007 Untuk mengetahui biodiesel yang telah dihasilkan maka perlu dilakukan beberapa uji parameter biodiesel sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Uji biodiesel tersebut antara lain densitas, viskositas, titik tuang, titik nyala, korosi bilah tembaga, kadar air dan sedimen. a.
Densitas minyak Densitas minyak adalah massa minyak per satuan volume pada suhu
tertentu. Berat jenis (specific gravity) minyak adalah perbandingan antara rapat minyak pada suhu tertentu dan rapat air pada suhu tertentu (Hardjono, 2001).
15 Densitas merupakan nilai yang menunjukkan besarnya perbandingan antara berat benda dengan volume benda tersebut. Berat jenis suatu benda bersifat tetap artinya jika ukuran benda diubah berat benda tidak berubah. Walaupun ukuran benda tersebut makin besar tetapi berat jenisnya tetap, hal ini disebabkan oleh kenaikan berat benda atau sebaliknya. Kenaikan volume benda diikuti secara linier dengan kenaikan berat benda atau volume benda (Beyer dan Clutsom, 2004). Beragam jenis zat dibedakan oleh berat jenisnya dan perbandingan antara berat benda dengan volume benda pada densitas secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
= m / V Keterangan:
= berat jenis zat (kg/dm3)
m = berat zat (kg) V b.
= volume berat (dm3)
Viskositas Viskositas adalah suatu angka yang menyatakan besarnya suatu hambatan
dari suatu bahan cair untuk mengalir atau ukuran besarnya tahanan geser dari cairan. Makin tinggi viskositasnya, makin kental dan makin sukar mengalir (Wardan dan Zainal, 2003). Setiap zat cair mempunyai karakteristik yang khas, berbeda dengan zat cair yang lain dan dinyatakan sebagai peristiwa gesekan antara satu bagian dan bagian yang lain dalam fluida. Viskositas adalah suatu sifat dari suatu zat cair (fluida) disebabkan adanya gesekan antara molekul-molekul zat cair dengan gaya kohesi pada zat cair tersebut. Gesekan-gesekan inilah yang
16 menghambat aliran zat cair (Chou, et al., 2007). Besarnya kekentalan zat cair (viskositas) dinyatakan dengan rumus:
x
tx x t0 0
Keterangan:
x = viskositas cairan yang ditentukan (Pa.s) 0 = viskositas air (Pa.s) tx
= waktu alir cairan yang ditentukan (detik)
t0
= waktu alir (detik)
0 = berat jenis air (g/mL) x = berat jenis cairan yang ditentukan (g/mL) Penentuan viskositas suatu fluida sebagai larutan digunakan metode Ostwald dan dapat ditentukan dengan alat viskosimeter seperti pada Gambar 2.3. Viskositas cairan ditentukan dengan mengukur waktu yang dibutuhkan cairan untuk lewat antara 2 tanda dari a ke b ketika mengalir karena gaya gravitasi melalui viskosimeter Ostwald. Cairan yang akan ditentukan viskositasnya dituangkan secara perlahan-lahan pada tanda batas c. Waktu alir dari cairan yang diuji dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan bagi suatu alat yang viskositasnya sudah diketahui, contohnya air (Fingas dan Fieldhouse, 2004).
17
Gambar 2.3 Viskosimeter Ostwald (Mukesgohel, 2007)
Viskositas dapat diukur dengan mengukur laju aliran cairan melalui tabung berbentuk silinder berupa jumlah volume cairan yang mengalir melalui pipa per satuan waktu. Faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas, yaitu: suhu, konsentrasi larutan, berat molekul, dan tekanan. Viskositas berbanding terbalik dengan suhu dan berbanding lurus dengan konsentrasi larutan, berat molekul, dan tekanan. Semakin besar viskositas maka semakin kecil suhu dan semakin besar konsentrasi larutan, besar molekul, dan tekanan (Cannon Instrument Company, 2005). c.
Titik tuang Titik tuang (pour point) adalah suhu terendah dimana minyak bumi dan
produknya masih dapat dituang atau mengalir apabila didinginkan pada kondisi tertentu (ASTM D 97-87). d.
Titik nyala Titik nyala (flash point) merupakan angka yang menyatakan suhu
terendahdari bahan bakar minyak dapat terbakar jika permukaan minyak tersebut
18 didekatkan dengan nyala api. Titik nyala diperlukan untuk keperluan keamanan dalam penanganan minyak terhadap bahaya kebakaran (Wardan dan Zainal, 2003) e. Kadar air dan sedimen Negara yang mempunyai musim dingin, kandungan air yang terkandung dalam bahan bakar dapat membentuk kristal yang bisa menyumbat aliran bahan bakar. Keberadaan air juga bisa menyebabkan korosi dan memicu pertumbuhan mikroorganisme yang tentu dapat menyumbat aliran bahan bakar Kadar air yang nilainya di atas ketentuan akan menyebabkan reaksi yang terjadi pada konversi minyak nabati tidak sempurna (terjadi reaksi penyabunan). Bisa juga terjadi proses hidrolisis pada biodiesel sehingga akan meningkatkan sifat korosif. Pada temperatur rendah air, air dapat mendorong terjadinya pemisahan pada biodiesel murni dan dalam proses blending. Sementara itu, sedimen pada biodiesel dapat menyumbat dan merusak mesin (Prihandana, 2006).
2.3
Kromatografi Gas Untuk Pengukuran Kadar Etanol dan Etil Ester (Biodiesel) Kromatografi gas merupakan suatu metode pemisahan campuran yang
didasarkan pada distribusi diferensial dari komponen sampel di antara dua fase. Pada umumnya menggunakan fase diam berupa cairan sehingga sering disebut dengan kromatografi gas-cair (GLC) dengan fase mobilnya adalah gas (Gritter et al., 1991). Secara garis besar kromatografi gas mempunyai dua kegunaan utama yaitu analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif pada kromatografi gas cair bertujuan untuk mengidentifikasi komponen senyawa yang terdapat dalam suatu cuplikan. Identifikasi kualitatif didasarkan pada perbandingan waktu retensi
19 cuplikan dengan waktu retensi komponen yang dikenal dengan standar. Standar yang digunakan adalah etil palmitat karena banyak terdapat pada minyak jelantah yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan dari jenis palma. Waktu retensi adalah waktu yang diukur dari titik penyuntikan sampai titik maksimum puncak (Gritter et al., 1991). Senyawa yang diidentifikasi harus mudah menguap dan stabil pada suhu pengujian berkisar 50 0- 3000 C. Dalam kromatografi gas, sampel diuapkan dan diinjeksikan ke dalam kolom kromatografi. Sebelum memasuki kolom, sampel cair terlebih dahulu diubah menjadi fase gas dengan pemanasan. Elusi terjadi karena aliran fase gerak berupa gas inert. Berbeda dengan kromatografi lainnya, fase gerak tidak berinteraksi dengan molekul-molekul analit, fase gerak hanya mengangkut analit melewati kolom (McNair dan Bonelli, 1988). Penentuan kadar alkohol yang terdapat dalam sampel dan biodiesel yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi gas. Instrumen kromatografi gas terdiri dari tabung gas pembawa, tempat injeksi sampel, kolom, detektor, dan analisis data. a.
Gas pembawa Tangki gas bertekanan tinggi berlaku sebagai sumber gas pembawa.
Nitrogen, helium, argon, hydrogen dan karbondioksida adalah gas yang paling sering dipakai sebagai gas pembawa karena tidak reaktif serta dapat dibeli dalam keadaan murni dan kering dalam tangki bervolume besar dan bertekanan tinggi. Hal yang paling menentukan adalah gas dengan kemurnian tinggi untuk mengurangi kesalahan pada detektor.
20 b. Tempat injeksi sampel Microsyringe adalah cara yang paling umum untuk menginjeksikan sampel cair atau gas. Sampel biasanya kurang dari 1 mg (ekivalen dengan 1 µl zat cair atau 5 cm3 gas). Sampel yang sedikit ini memerlukan teknik penanganan khusus untuk disuntikkan ke dalam injektor dan dimonitor hingga masuk ke dalam kolom. Penyuntikan biasanya lebih baik dengan peralatan syringe yang disisipi sekat karet silikon untuk pengambilan sampel dengan ukuran tertentu. c. Kolom Kolom pada kromatografi gas mempunyai peran yang amat penting dan berfungsi untuk memisahkan komponen-komponen yang ada dalam sampel. Ada dua jenis kolom yaitu packed column dan capillary column. Kolom ditempatkan dalam thermo stated oven yang perlu diatur suhunya. Suhu optimum kolom tergantung pada titik didih sampel dan resolusi yang diharapkan. Secara umum, suhu kolom diatur sedikit lebih tinggi dari titik didih sampel. Sehingga menghasilkan waktu resolusi tidak begitu lama, sekitar 2-30 menit. d. Detektor Detektor kromatografi gas berfungsi untuk mengenali senyawa-senyawa dan menentukan jumlah masing-masing senyawa dalam sampel. Yang sering digunakan yaitu FID (flame ionization detector), ECD (electron capturedetector), dan TCD (thermal conductivity cell detector) . FID merupakan detektor yang berguna untuk analisis senyawa organik, memiliki sensitifitas yang tinggi, berbagai respon besar linier, dan kebisingan yang rendah. Kromatografi gas selain dapat mengidentifikasi jenis komponen (analisis kualitatif) dari suatu campuran, juga dapat memberikan informasi kuantitatif. Analisis kuantitatif dengan
21 kromatografi gas didasari oleh salah satu pendekatan tinggi puncak atau luas puncak. e. Pendekatan tinggi puncak Tinggi puncak kromatogram dapat diperoleh dengan membuat base line pada suatu puncak dan mengatur tinggi garis tegak lurus yang menghubungkan base line dengan puncak. Pendekatan ini berlaku kalau lebar puncak standard dan analit tidak berbeda. Dengan kata lain, variasi kondisi kolom tidak mengakibatkan perubahan lebar puncak. Oleh karena itu, beberapa variabel harus dikontrol seperti suhu kolom, laju aliran eluen dan laju injeksi cuplikan. Selain itu, volume injeksi yang berlebih (overloading) harus dicegah. Kesalahan dengan pendekatan ini antara 5-10%. f. Pendekatan luas puncak Luas area dapat memperhitungkan lebar puncak sehingga lebar puncak yang berbeda antara standar dan analit tidak menjadi masalah. Oleh karena itu, pendekatan ini lebih baik dan umum digunakan dari tinggi puncak. Namun, tinggi puncak lebih mudah diukur dan lebih teliti ditentukan untuk puncak yang runcing. Biasanya instrumen kormatografi gas selain mutakhir juga dilengkapi dengan komputer yang dapat menghitung luas puncak secara tepat. Selain secara manual, luas puncak dihitung dengan mengalikan tinggi puncak dengan lebar puncak pada setengah tinggi puncak. Standar deviasi relatif dengan cara komputerisasi dan cara manual masing-masing adalah 0,44% dan 2,6%.