BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Tindak Pidana Terorisme Yang Mengatasnamakan Agama Masalah teroris bukan hanya sekedar masalah pelanggaran dan penegakan hukum semata. Aksi teror sendiri dilakukan pasti dilatar belakangi oleh masalah idiologi. Idiologi ditangkap dengan pengertian yang negatif, karena dikonotasikan dengan sifat totaliter, yaitu memuat pandangan dan nilai yang menentukan seluruh segi kehidupan manusia secara total dan secara nutlak menuntut manusia hidup dan bertindak sesuai dengan apa yang digariskan oleh ideologi tersebut, sehingga dapat mengingkari kebebasan pribadi manusia serta mambatasi ruang geraknya yang dibelakang arti ideologis tersebut terdapat kepentingan-kepentingan kekuasaan yang tersembunyi Setiap aksi teror juga dipastikan mempunyai tujuan politik tertentu, korban jiwa dan kerusakan yang luas tentu juga akan berdampak buruk dalam bidang ekonomi. Akibat destruktif yang lebih serius akan terjadi dalam bidang sosial-budaya, yaitu dengan munculnya patologi sosial yang berupa trauma luas dan tumbuhnya budaya kekerasan di dalam masyarakat Perlu untuk disadari pula, bahwa terorisme terutama yang terjadi di tanah air yang didukung oleh terorisme global tidak akan pernah berhenti bermanuver melakukan indoktrinasi, mengembangkan jaringan serta mencari kesempatan untuk melakukan aksi mereka. Penanganan terorisme harus dilihat dalam konteks yang lokal, tidak hanya sekadar permasalahan global. Faktor-faktor utama yang
memicu tindakan teror di setiap negara dan daerah berbeda-beda. Perbedaan ini ditimbulkan karena perbedaan tingkat kesejahteraan. Terorisme merupakan suatu bentuk kejahatan global yang tidak dapat disangkutpautkan hanya kepada negara tertentu kelompok tertentu, ataupun kepada agama tertentu. Terorisme dapat terjadi dimanapun dan kapanpun, motif dari aksi terorisme itu sendiri juga sangat beragam yang terus berkembang dengan motif dan modus yang sangat beragam pula. Motif terorisme yang sangat kompleks tersebut dapat pula dilatar belakangi motif politik, ekonomi, budaya, atau agama. Terorisme merupakan tindak pidana yang unik, karena motif dan faktor penyebab dilakukannya tindak pidana ini sangat berbeda dengan motif-motif dari tindak pidan lain. Tidak jarang tinda pidana terorisme dilakukan berdasarkan motif-motif tetentu yang patut di hormati. Salahuddin wahid sebagaiman dikutip oleh Abdul Zulfikar Akaha mengatakan bahwa terorisme dapat di lakukan dengan berbagai motivasi, yaitu karena alasan agama, alasan idiologi, alasan untuk memperjuangkan
kemerdekaan,
alasan
untuk
membebaskan
diri
dari
ketidakadilan, dank arena adanya kepentingan tertentu. Dengan kompleksnya motif dilakukanya terorisme, maka fenomena politik kekerasan dan pengaturan terorisme tidak dapat dengan mudah dirumuskan. Tindak kekerasan itu dapat dilakukan oleh individu, kelompok atau Negara. Motivasi pelaku dapat bersumber pada alas an-alasan yang sangat kompleks seperti idiosingkretik, criminal maupun politik . Sasaran atau korban sebagai
bagian dari taktik intimidasi, koersif, atau propaganda untuk mencapai tujuantujuan mereka. Dengan demikian, terorisme merupakan akumulasi dari beberapa faktor, bukan hanya oleh faktor psikologis, tetapi juga faktor politik, agama, sosiologis, dan faktor lain, sehingga terlalu simplistic apabila melihat aksi terorisme hanya melihat dari satu faktor saja.1 Karena
faktor
penyebab
terorisme
tidak
tunggal,
maka
upaya
penanggulangan terorisme dengan motif yang komplek dan beragam tersebut harus dilakukan dengan tidak hanya mengandalkan satu pendekatan saja, melainkan harus dengan pendekatan-pendekatan lain yang sesuaikan berdasarkan motif dilakukannya terorisme. Jika motif terorisme adalah karena dengan alasan agama, maka penggunaan hukum pidana dalam konteks ini tidak akan banyak membantu mengurangi kuantitas aksi-aksi terror pelaku. Demikian halnya dengan terorisme yang dilakukan dengan ketidakadilan, seperti ketidakadilan sosial dan ekonomi global, maka strategi utama yang perlu diambil adalah dengan menciptakan keseimbangan dan keadilan baik di bidang sosial maupun ekonomi. Ketidakadilan social dan ekonomi dapat dilihat dari tingginya angka kemiskinan
dan
proses
pemiskinan
Negara-negara
selatan
(berkembang/terbelakang) yang muncul akibat penguasaan sumber-sumber daya alam dan semakin tingginya derajat kemerosatan ekologis untuk menopang proses industrilisasi dan produktifitas global yang di dominasi oleh Negara-negara di 1
Kompleksibilitas dan faktor terjadinya tindak terorisme (online) http://bagasandysetiyawan.blogspot.com/2011/10/fenomena-kompleksibilitas-tindak.html (6 januari 2014)
utara. Kondisi tersebut menjadi sala satu penyebab terjadinya terorisme, atau dengan kata lain, akar dari terorisme adalah besarnya ketimpangan atau ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber global baik yang terjadi ditingakat local,regional, dan internasional. Meskipun penilaian ini tampaknya lebih mewakili pandangan Negara-negara selatan dan mereka yang menentang globalisasi, tetapi penilaian ini bukan berarti tidak berdasarkan sama sekali. Dunia internasional sendiri secara kelembagaan melalui forum internasional yang difasilitasi oleh perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) seperti FAO,forum konfrensi tingkat tinggi bumi dan Bank dunia (world bank) mengakui bahwa gelombang globalisasi yang menjadi citra peradaban modern telah membawa ongkos socialekonomi yang di tanggung oleh mayoritas penduduk dunia yang tinggal di selatan.2 Berikut ini Beberapa aksi teror yang telah terjadi di Indonesia adalah : 1. Peledakan digedung Atrium Senen tanggal 1 Desember 1998 2. Peledakan di Plaza Hayam Wuruk tanggal 15 April 1999 3. Peledakan di Masjid Istiqlal 1999 4. Peledakan di Gereja (GKPI) Medan tanggal 28 Mei 2000 5. Peledakan di Gereja Katolik Medan tanggal 18 Mei 2000 6. Peledakan di Rumah Dubes Filipina tanggal 1 Agustus 2000 7. Peledakan di Gedung Atrium Senen (tanggal 1 Agustus 2001 dan tanggal 23 April 2001)
2
Mahrus ali”hukum pidana terorisme teori dan praktik”gramata publishing.jakarta.2012.hlm 1214
8. Peledakan di beberapa Gereja di Malam Natal (2000 dan 2001) 9. Peledakan di Kuta-Bali tanggal 12 Oktober 2002 10. Peledakan di Menado, November 2002 11. Peledakan di Mc Donald Makasar tanggal 5 Desember 2002 12. Peledakan di Hotel JW Marriot Jakarta, tanggal 5 Agustus 2003 13. Peledakan di depan Kedubes Australia di Jakarta tanggal 9 September 2004 14. Peledakan Bom Bali II tanggal 1 Oktober 2005. Dari kasus-kasus tersebut disinyalir faktor penyebab munculya tindak pidana terorisme, diantaranya : 1. Dimensi internasional. Para teroris memandang pihak Barat, terutama Amerika Serikat, selalu berpihak kepada Israel dalam konflik Timur Tengah. Kemudian diperburuk perang Afganistan dan Irak. Barat dan AS akan terus menjadi sasaran kelompok radikal kecuali jika mereka mengubah kebijakkannya terhadap Timur Tengah.. Hal ini membentuk karakteristik psikologis teroris sebagai berikut : (a) Bahwa Teroris umunya mempunyai persepsi tentang kondisi yang menindas terus-menerus oleh pihak Barat pimpinan AS pada Islam; (b) Para teroris menganggap bahwa kondisi tersebut adalah ketidakadilan yang harus diubah; (c) Para teroris menganggap bahwa proses damai untuk mendapatkan perubahan tidak akan diperoleh;
(d) Dan oleh karenanya cara kekerasan sah dilakukan, yang penting tujuan tercapai; (e) Pilihan tindakan pada hakekatnya berkaitan dengan ideologi yang dianut dan tujuan yang oleh pelaku dirasakan sebagai kewajiban. 2. Masalah internal, salah satu faktor penting yang mendorong terorisme adalah kesalahan penafsiran dan pemahaman ajaran agama Islam. Ideologi dan mind set para teroris memandang bahwa tindakan mereka dapat dibenarkan agama, oleh sebab itu resiko apapun akan mereka hadapi. Tindakan ini tidaklah mengenal batas negara. Ideologi kelompok radikal telah menjadi prinsip perjuangannya.3 4.2 Pertanggungjawaban pidana dalam Undang-undang Terorisme Menurut bahasa, istilah istilah tanggung jawab berarti: keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa dapat dituntut dan diperselisikan atau diperkarakan). Konsep tanggung jawab menurut Suwoto mengandung aspek internal dan eksternal. Tanggung jawab internal hanya diwujudkan
dalam
bentuk
laporan
pelaksanaan
kekuasaan.
Sedangkan
pertanggungjawaban denga aspek eksternal merupakan pertanggungjawaban kepada pihak ketiga apabila dalm melaksanakan kekeuasaan itu menimbulkan derita. Jadi tanggungjawab pada hakekatnya adalah keseimbangan antara suatu kewenangan dan hak, tatkala aparat pemerintah/pemerintah daerah menjalankan kewenangan yang diembanya dalam rangka optimalisasi pelayanan kepentingan
3
Faktor penyebab tindak pidana terorisme berkedok agama (online) https://www.google.com/search?q=faktor+penyebab+tindak+pidana+terorisme&oq=faktor (6 januari 2014)
warga,
iapun
mempunyai
hak
untuk
menafsirkan
berbagai
instrumen
penyelenggaraan pemerintahan. Bila mana kemudian dalam pelaksanaan kewenangan tersebut ternyata melanggar aturan sehingga berakibat kepentingan atau hak-hak warga masyarakat menjadi terabaiakan maka warga masyarakat dapat menggugat.4 Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin, ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Dokrin mens rea dilandaskan dalam suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bermasalah, kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa inggris dokrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person gulity, unless the mind is legally blameworthy, berdasarkan asas tersebut, adadua syarat yang harus di penuhi untuk dapat memidana seseorang,yaitu ada perbuatan lahiria yang terlarang/perbuatan pidana (actus reas) dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).5 Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memindana seseorang tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan perna ada. Makanya tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld). Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam
4
Johan Jasin (Disertasi)”tanggung jawab pemerintah daerahterhadap perlindungan hukum hak anak dalam memperoleh pendidikan”program pascasarjana.program studi s3 ilmu hukum.universitas hasanudin.makasar.2010.hlm 102 5 Mahrus ali”hukum pidana terorisme teori dan praktik”gramata publishing.jakarta.2012.hlm221
hukum pidan, demikian fundamentalnya asas ini sehinnga meresap dan menggema dalam dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana.6 4.3 Pengaturan Tindak Pidana/Kejahatan Terorisme di Indonesia. Kejahatan terorisme itu dapat di kategorikan sebagai tindak pidana. Unsurunsur untuk memasukkan terorisme sebagai tindak pidana dapat di ketahui dari aspek yang mendasar dulu, khususnya pemahaman tindak pidana dan aspek-aspek lainnya. Secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu: a.
perbuatan yang dilarang;
b.
orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu;
c.
pidana
yang
diancamkan
terhadap
pelanggar
itu
(sudarto,19983:62). Dari penggunaan salinan istilah yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan dalam isi pengertian, yang berakibat pula adanya perbedaan dalam isi pengertian itu. Dengan kata lain, tiap pengertian memiliki esensi atau unsur yang berbeda. Demikian anggapan pada umumnya, tetapi dalam penggunaan istilah yang berbeda tidak menjadi kemutlakan bahwa istilah yang berbeda memiliki isi yang berbeda pula. Misalnya antara”straf” dan “maatregelen” adalah berbeda, sedang
6
antara”beveigingsmaatregelen”
Ibid hlm 222
dan
“maatregelen”
adalah
sama,
meskipun hal ini ada dilapangan sanksi hukum pidana. Istilah bestandelen dan elemen, disalin dalam bahasa indonesia dengan unsur-unsur.7 Berdasarkan wawancara dengan ketua umum M.U.I Kabupaten Gorontalo yaitu bapak Drs.H.Samsudin D.noho beliua mengatakan bahwa terorisme di Indonesia adalah kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, maka dilarang keberadaanya. Dan terorisme yang mengatasnamakan agama dengan alasan apapun tidak dibenarkan, sebab semua agama tidak menghendaki adanya kekerasan dan itu ada ajaran dalam agama. Penegakan hukum di Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta perundang-undangan yang berlaku sebab indonesia bukun negara Islam. Tidak ada foktor secara resmi yang menyebabkan si pelaku melakukan tindak pidana terorisme yang mengatasnamakan agama sebab agama tidak mengajarkan hal tersebut. Umat Islam sebaiknya tidak melibatkan diri dan harus menghindari terorisme dalam bentuk apapun, oleh karena perbuatan tersebut dilarang dalam agama. Umat Islam seharusnya melaksanakan aktivitas tidak keluar dari bingkai ajaran Islam sebagai agama Rahmatanlillalamin, menjujung persatuan dan kesatuan sertah patuh dan taat terhadap pengaturan perundangundangan yang berlaku.8 Masalah pertanggungjawaban pidana dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan keadaan-keadaan mental tersangka. Hubungan antara keadaan mental itu dengan perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa sehingga 7
Abdul wahit, Sunardi & Muhammad imam sidik”Kejahatan terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum”refika aditam.bandung.2011.hlm 67 8 Samsudin d noho.ketua M.U.I.wawancara tanggal 8 januari 2014
orang itu dicelah karenanya. Pertanggungjawaban pidana itu sendiri selalu behubungan drngan kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealpaan, (Hanafi,1999:28).9 4.4 Upaya-Upaya Yang Harus Dilakukan Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Terorisme. 4.4.1 Pencegahan Dan Penanggulangan Terorisme Peran Pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menanggulangi terorisme sudah menunjukan keberhasilan yang cukup berarti, tetapi masih banyak yang perlu dihadapi untuk menciptakan perasaan aman di masyarakat dari aksi-aksi terorisme. Tragedi ledakan bom belum lama ini menunjukan bahwa aksi terorisme harus terus diwaspadai, yang bentuk gerakan dan perkembangan jaringannya terus berubah sehingga sukar untuk dilacak. Sulitnya penyelesaian permasalahan terorisme ini terjadi karena masih banyak faktor yang menyebabkan terorisme dapat terus berkembang. Dari faktor perbedaan ideologis dan pemahaman tentang agama yang berbeda-beda sampai kesenjangan sosial dan pendidikan yang membuat masyarakat lebih mudah untuk disusupi oleh jaringanjaringan teroris. Pengaruh terorisme dapat memiliki dampak yang signifikan, baik segi keamanan dan keresahan masyarakat maupun iklim perekonomian dan parawisata yang menuntut adanya kewaspadaan aparat intelijen dan keamanan untuk pencegahan dan penanggulangannya.
9
Ibit hlm 96
dalam rangka pembaharuan hukum pidana materiil, mengenai bagian khusus yang perlu mendapat perhatian adalah penentuan perbuatan kriminal. Penentuan perbuatan kriminal yang dimaksudkan merupakan suatu proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses kriminalisasi secara formal dimulai dengan terbentuknya Undang-undang dimana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Perbuatan tertentu yang mengalami proses kriminalisasi dalam arti faktual adakalnya secar materiil masyarakat sudah menganggap perbuatan jahat berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat dan mendapatkan keputusan oleh petugas hukum yang berwenang sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum.10 Berdasarkan wawancara dengan ketua umum M.U.I yaitu bapak Drs.H.Samsudin D.noho beliua mengatakan bahwa terorisme di Indonesia adalah kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka dilarang keberadaanya. Dan terorisme yang mengatasnamakan agama dengan alasan apapun tidak dibenarkan, sebab semua agama tidak menghendaki adanya kekerasan dan itu ada ajaran dalam agama. Penegakan hukum di Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta perundangundangan yang berlaku sebab indonesia bukun negara Islam. Tidak ada foktor secara resmi yang menyebabkan si pelaku melakukan tindak pidana terorisme yang mengatasnamakan agama sebab agama tidak mengajarkan hal tersebut. Umat Islam sebaiknya tidak melibatkan diri dan harus menghindari terorisme dalam bentuk apapun, oleh karena perbuatan tersebut dilarang dalam agama. 10
Arun sakidjo & bambang poernomo”hukum pidana dasar aturan umum hukum pidana kodifikasi”ghalia indonesia.jakarta.1990.hlm 60
Umat Islam seharusnya melaksanakan aktivitas tidak keluar dari bingkai ajaran Islam sebagai agama Rahmatanlillalamin, menjujung persatuan dan kesatuan sertah patuh dan taat terhadap pengaturan perundang-undangan yang berlaku.11 4.5 Terorisme Dalam Perspektif Agama Keterkaitan antara kekerasan dan agama nampak jelas, dan dibuktikan oleh fakta-fakta yang tidak terhitung jumlahnya dari sejarah masalalu dan masa kini. Sosiologi dan psikologis agama telah menyelesaikan investigasi rinci. Tidak ada agama besar yang lepas dari tuduhan kekerasan.12 Sementara itu, dari sudut pandang agama, Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Negeri Jakarta mengatakan bahwa terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan agama Islam. Islam mengajarkan etos kemanusiaan yang sangat menekankan kemanusiaan universal. “Islam mengnjurkan umatnya
untuk berjuang mewujudkan
perdamaian,
keadilan, dan kehormatan, akan tetapi, perjuangan itu haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Setiap perjuangan untuk keadilan harus dimulai dengan premis bahwa keadilan adalah konsep universal yang harus diperjuangkan dan dibela setiap manusia. Islam memang menganjurkan dan memeberi justifikasi kepada muslim untuk berjuang berperang(harb), dan menggunakan kekerasan (qital) terhadap para penindas, atau tidak mau hidup berdampingan secara damai dengan Islam dan kaum Muslim.
11
Samsudin d noho.ketua M.U.I.wawancara tanggal 8 januari 2014 Wim beuken & kari josef kuscehel”Agama sebagai sumber kekerasan?”pustaka pelajar.yogyakarta.2003.hlm 167 12
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan demi untuk mencapai tujuan-tujuan (Al-ghoyat), termasuk tujuan yang baik sekalipun. Sebuah kaidah Ushul dalam islam menegaskan al-ghayah la tubarrir al wasilah (tujuan tidak bias menghalalkan segala cara). Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula. Tidak ada alas an etik dan moral sedikitpun yang biasa membenarkan suatu tindakan kekerasan, terlebih terror. Dengan demikian kalau ada tindakan-tindakan terror yang dilakukan oleh kolompok Islam tertentu, maka sudah pasti alasanya bukan ajaran etik moral Islam, melainkan agenda lain yang tersembunyi dibalik tempurung tindakan tersebut.13 Dari uraian di atas, terorisme secara faktual dapat menimbulkan bahaya bagi nyawa dan perekonomian. Secara lebih luas, Abdullah Sumrahadi mengemukakan bahwa terorisme dapat menimbulkan bahaya yang komleks, antara lain. 1.
Kehidupan sosial dan masyarakat menjadi tertekan, tidak aman, dan selalu di hantui oleh kekhawatiran dalam melakukan aktivitas. Kondisi ini dapat mengakibatkan terlanggarnya hak-hak individu maupun kolompok dalam masyarakat.
13
Abdul wahit, Sunardi & Muhammad imam sidik”Kejahatan terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum”refika aditam.bandung.2011.hlm 41-42
2.
Merusak sendi-sendi politik, karena politik dijadikan sebagai alat atau sarana untuk melakukan kejahatan oleh pihak tertentu serta kesewenang-wenangan oleh penguwasa.
3.
Kehidupan ekonomi menjadi carut marut karena sentimen pasar cenderung mengikuti prilaku dan kejadian politik nasional maupun internasional. Terjadinya terorisme di suatu wilayah menunjukan bahwa keamanan suatu wilayah tersebut tidak aman sehingga kepercayaan pasar menjadi rendah.
4.
Terorisme mengakibatkan pengembangan atau pembumian nila-nilai budaya menjadi menipis karena seolah budaya masyarakat larut dalam suasana anarkis.
5.
Kehidupan agama menjadiberada dalam bayang-bayang kekuasaan dan ketertindasan. Agama yang idealnya menjadi jalan pembebas dari penindasan justru keberadaan terorisme yang bermotif agama menjadikan sebaliknya.14
4.6 Kejahatan Terorisme sedang Menguji Kemampuan “Negara Hukum” dan Jati Diri “Negara Agama”. sebelum kita membahas tentang kejahatan terorisme sedang menguji kemampuan “negara hukum” dan jati diri “negara agama” kita terlebih dahulu mengkaji apa yang di maksud dengan “negara hukum” dan “negara agama” 4.6.1 Negara Hukum Pasal 1 ayat 3 Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia Adalah Negara Hukum”. 14
Ari wibowo”hukum pidana terorisme-kebijakan formulatif hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana terorisme di indonesia”Graha ilmu.yogyakarta.2012.hlm 77
Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan
kebenaran
dan
keadilan
dan
tidak
ada
kekuasaan
yang
dipertanggungjawabkan. Berdasarkan uraian diatas yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepeda warga negaranya. Keadilan merupakan syarat terciptannya kebahagiaan hudup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada juika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya. Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negar hukum, selalu berlakunya prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law). Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan khusus, misalnya, anak-anak yang dibawah umur 17 tahun mempunyai hak berbeda dengan anak-anak diatas usia 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak bolwh jika tanpa alasan yang logis, misalyan perbedaan warna kulit, gender agama dan kepercayaan, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan petani miskin, meskipun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti
ini sampai saat ini masih banyak terjadi diberbagai negara, termasuk di negara hukumnya sudah maju sekalipun.15 Pengertian
negara
hukum
secara
sederhana
adalah
negara
yang
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahnya didasarkan atas hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintah berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum. Dengan demikian dalam negara hukum, kekuasaan negara berdasar atas hukum, bukan kekeuasaan belaka serta pemerintahan negara berdassar pada konstitusi yang berpaham konstitusionalisme, tanpa hal tersebut sulit disebut sebagai negara hukum. Supermasi hukum harus mencakup tiga ide dasar hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Oleh karena itu di negara hukum, hukum harus tidak boleh mengabaikan “ rasa keadilan masyarakat”. 4.6.2 Ciri-ciri negara hukum Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah Rechtsstaat atau Rule of Law. Friedrich julius stahl dari kalangan ahli hukum Eropa kontidental memberikan ciri-ciri Rechtsstaat sebagai berikut. 1, Hak asasi manusia 2. pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia yang biasa di kenal sebagai trias politika.
15
Teori negara hukum (online) http:/ /adedidikirawan.wordpress.com/teori-negara-hukumrechtstaat ( 28-nov-2013)
3. pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan 4. peradilan administrasi dalam perselisihan. 4.6.3 Indonesia sebagai negara hukum Dasar pijakan bahwa negara indonesia adalah negara hukum tertuang pada pasal 1 ayat 3 Undang-undang dasar 1945, yang menyebutkan bahwa”Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dimasukannya ketentuan dalam bagian pasal Undang-undang Dasar 1945 menunjukan semakin kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara, bahwa negara indonesia adalah dan harus merupakan negara hukum. Berdasarkan perumusan diatas, negara indonesia memakai sistem Rechsstaat yang kemungkinan di pengaruhi oleh konsep hukum belanda yang termasuk dalam wilayah Eropa Kontidental. Konsep hukum Indonesia dapat dimasukan Negara Hukum Materiil, yang dapat dilihat dari pembukaan Undangundang Dasar 1945 alinea IV. Dasar lain yang dapat dijadikan landasan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum yakni pada Bab XIV tentang perekonomian negara dan kesejahteraan sosial pada pasal 33 dan 34 Undangundang Dasar 1945 mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. norma hukumnya bersumber pada pancasila sebagai hukum dasar nasional. 2. Sistem yang di gunakan adalah sistem konstitusi. 3. Kedaulatan rakyat atau prinsip demokrasi. 4. Prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (pasal 27(1)UUD 1945).
5. Adanya organ pembentuk Undang-undang (presiden dan DPR). 6. Sistem pemerintahan adalah presidensil. 7. Kekuasaan kehakiman yag bebas dari kekuasaan lain (eksekutif) 8. Hukum bertujuan untuk melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dan 9. Adanya jaminan akan hak asasi dan kewajiban dasar manusia (pasal 28A-J UUD 1945).16 ; 4.6.4 Nomokrasi Islam Istilah nomokrasi Islam dimaksudkan untuk menyebut konsep negara hukum dari sudut Islam atau menunjukan kaitan negara hukum dengan hukum Islam. Nomokrasi Islam mrupakan kekuasaan yang didasarkan kepada hukumhukum Islam yang berasal dari Allah, karena tuhan itu abstrak dan hanya hukumnya yang konkret. Suatu pandangan yang keliru konsep negara dari sudut Islam adalah penyebutanya sebagai teokrasi. Teokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang mengakui tuhan atau dewa sebagai raja atau penguasa dekat. Oleh karenya teokrasi lebih tepat ditujukanya kepada negara yang di pimpin oleh Paus, di Vatikan. Ajaran Islam sangat egaliter atau mengutamakan persamaan, sehingga 16
Pengertian negara hukum (online)http://yogifajarpebrian13.wordpress.com/2011/04/12/pengertian-negarahukum/(22-11-2013)
tidak mungkin dapat di benarkan sekolompok ahli agama mengklaim dari mereka sebagai “wakil tuhan” untuk berkuasa dalam suatu negara. Menurut Azhari karakteristik nomokrasi Islam adalah memiliki prinsipprinsip sebagai berikut: a. Kekuasaan sebagai amanah. b. Musyawarah. c. Keadilan. d. Persamaan. e. Pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. f. Peradilan bebas g. Perdamaian. h. Kesejahteraan dan i. Ketaatan rakyat. Memperhatikan prnsip-prinsip ini ada kecenderungan nomokrasi Islam relevan dengan sistem ketatanegaraan Indonesa, meskipun demikian negara Indonesia bukan negara agama yang mendasarkan falsafah pada islam. Kemiripan prinsip ini dengan nilai-nilai pancasila karena para pendiri negara sepakat menggali nilai pancasila dasar negara dari budaya bangsa serta praktek kehidupan beragama yang moyoritas masyarakatnya menganut Islam. Dengan demikian nilai keagamaan dan budaya masyarakat mengilhami dan menjiwai semangat serta pemikiran para tokoh nasional ketika menetapkan dasar negara
sehingga nilai pancasila pada hakekatnya merupaka cerminan budaya maupun nilai keagamaan.17 4.7 Kejahatan Terorisme sedang Mengkaji Kemampuan “Negara Hukum” dan Jati Diri “Negara Agama” Dengan terjadinya peledakan Bom di Bali dan Manado dan berbagai tempat lainnya telah mendorong pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang (perpu) guna mengisi kekosongan Hukum (Rechtsvacuum) tentang
penindakan
kejahatan
terorisme.
Pemerintah
bahkan
langsung
menerbitkan dua perpu, yakni perpu nomor 1 tahun 2002 tentang penyelidikan, penyelidikan, dan penuntasan kasus peledakan bali, Pemerintah menerbitkan perpu (sekarang sudah disahkan menjadi Undangundang) guna pemberantasan tindak pidana terorisme yang sejak awal telah mengundang konverensi dari berbagai pihak dan kalangan entah dari kalangan akademisi, praktisi, plitisi dan pakar-pakar lain khususnya pakar Hukum. Hal itu bisa dilihat dengan adanya kekewatiran semantara pihak bahwa perangkat hukum dalam penindakan terhadap kejahatan terorisme, sekalipun diperlukan, akan menimbulkan penyalahgunaan kekeuasaan (abuse of pawer) bagi pemegang kekeuasaan tertentu. Sementara pihak lain ada yang berpendapat bahwa dengan adanya Undang-undang (UU) Nomor 12/drt/1951 yang ditetapkan menjadi UU Nomor 1/1991 tentang senjata api, UU No.39/1999 tentang HAM, UU
17
Johan Jasin (Disertasi)”tanggung jawab pemerintah daerahterhadap perlindungan hukum hak anak dalam memperoleh pendidikan”program pascasarjana.program studi s3 ilmu hukum.universitas hasanudin.makasar.2010.hlm 66-68
NO.26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan KUHP sudah cukup, sehinnga tidak diperlukan lagi perangkat Hukum yang bersifat khusus dalam penindakan kejahatan terorisme. Ada indikasi kelemahan perpu NO. 1 dan 2 tahun 2002 tentang terorisme dan penanganannya, itu ketika perpu disahkan menjadi Uundang-undang. Di samping perpu tersebut, juga adanya pengajuan draf amandemen atas Undang-undang yang baru di sahkan itu menunjukan bahwa eksistensi yuridis normatif masih perlu dikaji lebih lanjut.18 4.8 Batas berlakunya Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dari segi Waktu. Batas berlakunya hukum pidana dapat dilihat dari segi waktu dan tempat. Dari segi waktu, asas yang sangat mendasar dalam Hukum Pidana adalah asas legalitas yang mengajarkan bahwa tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan (nullum delictum nulla poena sine praevia lege peonali). Asas legalitas juga menjadi asas pokok dalam hukum pidana di Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 KUHP yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat di pidana,kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.Begitu pokoknya asas legalitas, sehingga di letakkan pada pasal KUHP. Pasal 46 Undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme menentukan penyimpangan terhadap asas Legalitas, yaitu melalui asas Rektroaktif yang memungkinkan Undang-undang pemberantasan tindak pidan terorisme 18
Abdul wahit, Sunardi & Muhammad imam sidik”Kejahatan terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum”refika aditama.bandung.2011.hlm 9
untuk berlaku secara surut, berdasarkan
pasal 46 tersebut, pemberlakuan
Undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme secara surut harus ditetapkan dengan Undang-undang atau perpu tersendiri, oleh karenanya ketikan akan diberlakukan terhadap kasusu bom bali 1 dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang pemberlakuan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 pada peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Perpu ini kemuduian mendapat persetujuan dari DPR dan di tetapkan menjadi Undang-undang melalui Undangundang Nomor 16 Tahun 2003 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tenteng pemberlakuan perpu Nomor 1 Tahun 2002 pada peristiwa peledakan bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-undang. Namun setelah di sahkan, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 kemudian diajukan uji materi (judicial riview) ke mahkama konstitusi (MK) oleh Masykur Abdul Kadir yang merupakan salh seorang terdakwah dalam kasus bom Bali 1. Berdasarkan putusan perkara Nomor:013/PUU-1/2003, MK mengabulkan permohonan dan menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahu 2003 bertentangan dengan Undang-Unndang Dasar 1945, sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MK didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain a. Pada dasarnya hukum harus berlaku kedepan (prospectiveli), sehingga tidak fair apabila seseorang di hukum karena perbuatan yang pada saat dilakukannya merupakan perbuatan yang sah.
b. Pemberlakuan asas reroaktif membuka peluang bagi rezim penguasa tertentu untuk menggunakan hukum sebagai sarana balas dendam (revenge) terhadap lawan-lawan politiknya. c. Pemberlakuan asas retroaktif telah dilarang oleh berbagai intrumen HAM, baik dalam linkup nasional maupun internasional. d. Asas retroaktif bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28i ayat (1) yang berbunyi:”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragam, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak di tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangidalam keadaan apapun”. e. Asas retroaktif dalam hukum pidana hanya dapat diberlakukan terhadap pelanggaran HAM yang berat (gross violationon human rights) dan menurut statuta Roma, terorisme tidak masuk dalam kategori pelanggaran HAM yang berat.19
19
Ari wibowo”hukum pidana terorisme kebijakan formulatif hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana terorisme di indonesia”.graha ilmu.2012.hlm 95-96
BENTUK-BENTUK ATAU TIPOLOGI TERORISME YANG DIKEMUKAKAN OLEH PAUL WILKINSON TIPE
TUJUAN
CIRI-CIRI
Terorisme epifenomenal (teror dari bawah)
Tanpa tujuan khusus,suatu hasil sampingan kekerasan horisontal berskala besar
Terorisme revolusioner (teror dari bawah)
Revolusi atau perubahan radikal atas sitem yang ada
Tak terencana secara rapi,terjadi dalam konteks perjuangan yang sengit Selalu merupakan fenomena kolompok, struktur kepemimpinan, program, idiologi, konspirasi, elemen paramiliter
Terorisme subrevolusioner
Terorisme represif (teror dari atas/terorisme negara) 20
20
Motif politik, menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan atau hukum, perang politisi dengan kelompok rival, menyingkirkan pejabat tertentu
Dilakukan oleh kolompok kecil, bisa individu, sulit diprediksi, kadang sulit dibedakan apakah psikopatologis atau kriminal
Menindas individu atau kolompok (oposisi) yang tidak di kehendaki oleh kelompok penindas (rezim otorite/totaliter) dengan cara likuidasi
Berkembang menjadi teror massa, ada aparat tero, polisi rahasia, tehnik penganiyaan, penyebaran rasa curiga dikalangan rakyat, wahan untuk pranoia pemimpin
Mahrus ali”hukum pidana terorisme teori dan praktik”
Mahrus ali”hukum pidana terorisme teori dan praktik”gramata publishing.jakarta.2012.hlm 12