BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Perlindungan Mental terhadap Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan Kasus pencabulan saat ini tentu sudah menghebohkan seluruh masyarakat
Indonesia terutama anak-anak yang jadi korban percabulan. Tak hanya di lingkup nasional, di daerah juga sudah terjadi pencabulan pada anak. Tentu kita sebagai masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Gorontalo merasa prihatin terhadap anak korban pencabulan. Sejak tahun 2011 hingga Aagustus 2013 Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Polres Gorontalo mencatat 39 kasus pencabulan di Kabupaten Gorontalo. Dalam hal ini korban tentu mengalami trauma dan menderita fisik serta mental setelah mengalami kejadian tersebut. Korban dalam pemeriksaan penyidik lebih sering diposisikan tidak jauh beda dengan tersangka yang harus diperiksa (dimintai keterangan) dalam waktu berjam-jam. Pihak korban yang sudah tersiksa secara psikologis masih harus dihadapkan dengan suasana yang kurang mendukung secara fisik dan psikologisnya.1 Proses perlindungan mental terhadap anak korban tindak pidana pencabulan di Kabupaten Gorontalo masih belum sepenuhnya dilaksanakan, dimana korban hanya menjadi saksi dalam hal ini adalah saksi korban, korban hanya merupakan saksi guna memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan
1
Drs.Abdul Wahid,et al., op. cit. hlm 75
39
pelaku, dijadikan barang bukti guna mendapatkan visum untuk membuktikan kesalahan pelaku bahwa kejahatan tersebut dilakukan oleh pelaku. Pihak korban masih dituntut secara detail menjelaskan kasus yang dialaminya, menceritakan mengenai kronologis peristiwa yang melecehkannya atau mengupas ulang tragedi yang baru menimpanya. Hal ini selain disampaikan di depan pemeriksa (penyidik), juga masih dikupas oleh pers secara detail. Selain itu juga Pihak penyidik dalam menangani perkara belum memperhatikan aspek pikologis korban, namun lebih terfokus pada problem teknis-formal, dan pada saat pemeriksaan korban tidak didampingi oleh ahli psikolog dikarenakan di Polres Gorontalo belum ada ahli psikolog. Prosedur pemeriksaan semata-mata mengacu pada perundang-undangan, dan mengabaikan kepentingan kejiwaan korban, dan tidak memperhatikan keadaan mental korban setelah mengalami perlakuan pencabulan. Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 korban pencabulan yang kasusnya ada dalam Polres Gorontalo.2 Sebagaian besar kasus pencabulan di Polres Gorontalo sebagaian hanya sampai pada proses sidik dan juga kasusnya di cabut karena keluarga korban tidak keberatan dimana pelaku sudah akan bertanggung jawab menikahi korban. Namun ada korban yang ditinggalkan pelaku setelah beberapa bulan menikah bahkan setelah menikah pelaku tidak membiayai korban sebagaimana mestinya seorang suami. Pelaku berfikir bahwa mereka telah bertanggung jawab dengan menikahi
2
Hasil wawancara dengan korban
40
korban. Hasil wawancara dengan Ibu Indrawaty selaku penyidik pembantu pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) di Polres Gorontalo. Dalam konteks perlindungan terhadap korban, adanya upaya yang dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukum), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan .3 Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung pada penderitaan atau kerugian yang diderita korban. Seperti halnya untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi atau uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan pemulihan mental korban. 4 Oleh karena itu, dengan mengacu pada pemulihan mental korban, ada beberapa bentuk perlindungan terhadap mental korban yang diberikan, antara lain sebagai berikut: a.
Terapi Psikososial/Terapi Perilaku Terapi psikososial atau terapi perilaku sendiri, seperti pelatihan
kemampuan sosial atau terapi individual, terapi perilaku sendiri dapat dianjurkan sebagai terapi awal. Banyak orang tua mendapatkan bahwa cara terbaik untuk
3
Drs. Dikdik M.Arif Mansur, S.H., M.H, etal , op cit, hlm 161
4
Ibid , hlm 166
41
menggunakan tehnik ini adalah dengan bekerja sama dengan seorang terapis yang berpengalaman dalam masalah perilaku.5 b.
Konseling Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai akibat
munculnya dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana. Selain menderita secara fisik, korban juga mengalami tekanan secara batin misalnya karena merasa dirinya kotor, berdosa, dan tidak punya masa depan lagi. Dengan memperhatikan kondisi korban seperti diatas, tentunya bentuk pendampingan atau bantuan konseling yang sifatnya psikis relatif lebih cocok diberikan kepada korban yang menyisakan trauma berkepanjangan daripada hanya ganti kerugian dalam bentuk uang. Konseling akan dilakukan psikolog anak yang disiapkan KPAID guna mencegah trauma dampak perlakuan seks menyimpang tersangka. ‘’Kita tak mau menunggu berlama-lama untuk melakukan mengingat dampak yang mungkin ditimbulkan akibat kejadian itu, kejadian tersebut dapat menimbulkan trauma psikologis, salah-satunya si korban bisa melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Dari hasil konseling itu, dapat disimpulkan tingkat kejiwaan korban dan kemudian dapat melakukan tindakan lanjutan terkait apakah si korban harus dilakukan rehalibitasi khusus atau tidak. Bila memang diperlukan rehabilitasi, maka korban akan ditempatkan di tempat rehabilitasi guna pemulihan. Namun,
5
http://sukaesih46.wordpress.com/2010/03/02/terapi-psikososial-terapi-perilaku/
42
bila tidak ditemukan indikasi seperti itu, maka korban akan dilakukan konseling atau pemulihan secara rutin dalam kurun 4 – 6 bulan ke depan.6 c. Pelayanan atau Bantuan Medis Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama korban hendak melaporkan kejahatan yang menimpanya keaparat kepolisian untuk di tindak lanjuti.7 Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Indrawaty selaku penyidik pembantu di Polres Gorontalo perlindungan mental terhadap anak sebagai korban tindak pidana pencabulan belum sepenuhnya dilakukan karena untuk memulihkan mental anak harus memerlukan ahli psikolog anak sementara di Polres Gorontalo belum ada ahli psikolog anak. Jadi untuk memulihkan mental anak, anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya. Upaya yang dilakukan oleh petugas Polres Gorontalo pada saat penyidikan agar supaya korban tidak akan trauma lebih dalam lagi, petugas menjahukan korban dengan tersangka dan memberikan nasihat baik kepada orang tua korban maupun lingkungan dimana korban tinggal untuk tidak memberikan sanksi sosial terhadap korban dengan menjauhi korban. Korban seharusnya di perlakukan seperti halnya kehidupan sehari-hari.8 6
http://www.riaupos.co/daerah.php?act=full&id=538#.Uqbz7ay8rFw
7
Drs. Dikdik M.Arif Mansur, S.H., M.H, et.al, op cit, hlm 171
8
hasil wawancara dengan Ibu IndraWaty selaku penyidik pembantu Di Polres Gorontalo pada tanggal 14 November 2013
43
Data kasus pencabulan di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) di Polres Gorontalo dari tahun 2011 sampai Agustus 2013 tercatat 39 kasus pencabulan namun dari korban pencabulan belum mendapatkan perlindungan mental secara utuh. Bentuk perlindungan mental korban pencabulan seperti terapi psikososial/terapi perilaku yang dijelaskan di atas belum spenuhnya atau maksimal diterapkan disebabkan oleh belum adanya petugas khusus yang melayani korban pencabulan dan untuk memberikan konseling terhadap korban pencabulan belum diterpakan karena belum adanya konselor di Polres Gorontalo. Namun hanya bantuan medis yang dapat dilakukan pada saat korban pencabulan sesaat atau setelah mendapatkan perlakuan pencabulan, tapi hal ini mendapatkan hambatan disebabkan petugas khusus yang melayani tidak selalu siap pada saat dibutuhkan apalagi bertepatan pada saat hari libur. Hal lain yang disampaikan oleh Aipda Sarno selaku Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Gorontalo terhadap perlindungan mental korban pencabulan dalam pemeriksaan korban harus didampingi oleh Balai Pemasyrakatan Anak (BAPAS) dan ahli Psikolog namun untuk hal ini juga mendapatkan kendala dimana pada saat penyidik membutuhkan petugas bapas tidak bisa hadir pada saat korban pencabulan perlu untuk di dampingi disebabkan kurangnya petugas bapas. Selain itu tidak ada unit khusus yang disediakan di Polres Gorontalo seperti petugas dari Dinas Pemberdayaan Peremuan serta tim medis yang ditugaskan untuk melayani korban pencabulan. Semuanya hanya berjalan sendiri-sendiri karena kurangnya koordinasi antara Polres Gorontalo dengan para petugas tersebut.
44
Menurut peneliti secara teoritis perlindungan mental terhadap korban pencabulan telah dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun hal ini belum sepenuhnya diterapkan karena pada kenyataannya perlindungan pada anak belum secara maksimal diterapkan, hal ini disebabkan karena masih ada faktor-faktor yang menghambat perlindungan mental terhadap korban diantaranya tidak tersedianya tim khusus atau tim medis yang ditugaskan untuk melayani korban pencabulan serta belum adanya ahli psikolog anak untuk memulihkan kesehatan mental anak yang mengalami trauma setelah mendapatkan perlakuan pencabulan. 4.1.1 Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Menjadi Korban Pencabulan Pencabulan merupakan kejahatan kesusilaan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Kejahatan ini cukup kompleks penyebabnya dan tidak berdiri sendiri. Penyebabnya dapat dipengaruhi oleh kondisi yang mendukung, keberadaan korban yang secara tidak langsung mendorong pelakunya dan bisa jadi ada unsur-unsur lain yang mempengaruhinya. Beberapa faktor ini terkait dengan posisi korban dalam hubungannya dengan pelakunya. Artinya sudah ada relasi lebih dulu (dalam ukuran intensif tertentu) antara korban dan pelakunya. kalaupun ada diantara korban yang tidak pernah terkait dengan pelakunya, maka prosentasenya cukup kecil.9 Pencabulan juga dapat terjadi karena berbagai macam sebab, seperti adanya rasa dendam pelaku pada korban, karena rasa dendam pelaku pada korban, karena rasa dendam pelaku pada seseorang wanita sehingga
wanita lain menjadi
sasaran
9
Ibid hlm 66
45
kemarahannya, korban sebagai kompensasi perasaan tertekan atau stres pelaku atas berbagai permasalahan yang dihadapinya. Dalam kasus seperti pencabulan atau perkosaan paling tidak melibatkan tiga hal, yakni pelaku, korban, dan situasi serta kondisi. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, masingmasing mempunyai andil dan timbulnya suatu tindak pidana.10 Kedekatan hubungan antara lawan jenis (laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya) merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap terjadinya pencabulan atau perkosaan. Pihak pelaku memang bersalah, namun kesalahan yang diperbuat itu bisa disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang secara tidak langsung diperbuat oleh korban. Dari berbagai hal penyebab pencabulan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya pencabulan setidak-tidaknya sebagai berikut: 1.
Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat.
2.
Gaya hidup atau mode pergaulan diantara laki-laki dengan permpuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah ahlak mengenai hubungan laki-laki dengan permpuan.
3.
Rendahnya pengamalan dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin meniadakan
10
Ibid, hlm 67
46
peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seorang berbuat jahat dan merugikan orang lain. 4.
Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
5.
Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggotaanggota masyarakat lainnya unbtuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yanga akan diterima.
6.
Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan komprnsasi pemuasannya.
7.
Keinginan pelaku untuk Melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan (keputusan) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikan.11 Berdasarkan hasil wawancara langsung penulis dengan Bapak Aibda
Sarno selaku Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) terhadap faktorfaktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pencabulan sebagai berikut:
11
Ibid hlm 72
47
1) Faktor teknologi Kemajuan teknologi mempunyai dampak positif dan negatif, dampak positifnya masyarakat dapat dengan mudahnya memperoleh informasi, tetapi tidak dipungkiri. Adanya dampak negatif dari perkembangan dibidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya serta pengaruh teknologi yang saat ini sudah dapat diakses melalui internet seperti menonton film atau gambar-gambar porno tentunya dapat membawa pengaruh terhadap kehidupan. Pengaruh teknologi tersebut membawa pengaruh positif dan negatif namun hal itu tergantung dari diri kita sendri bagaimana agar supaya tidak terpengaruh. 2) Faktor Lingkungan Faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap timbulnya perlakuan pencabulan dimana faktor lingkungan merupakan satu kesatuan yang penting sekali bagi pembentukan dan perkembangan jiwa dan perilaku seseorang, baik lingkungan keluarga serta situasi dan kondisi lingkungan korban maupun pelaku yang memungkinkan terjadinya pencabulan seperti jauh dari keramaian, sepi dan ruang tertutup yang memungkinkan pelaku leluasa menjalankan aksi jahatnya. Belum lagi kurangnya pengawasan orang tua terhadap pergaulan anaknya. 3) Peranan korban dan keinginan pelaku Peranan korban juga sangat menentukan terjadinya perlakuan pencabulan pada diri korban. Dimana korban yang sering berpakain yang bisa menimbulkan keinginan pelaku untuk menyalurkan dorongan seksualnya yang tidak bisa ditahan
48
oleh pelaku. Jadi pada dasarnya korban juga yang membuat pelaku berbuat jahat terhadapnya atau.12 Menurut Hentig yang dikutip (Rena Yulia, 2010: 81) beranggapan bahwa peranan korban dalam menimbulkan kejahatan adalah: 1. Tindakan kejahatan memang dikehendaki si korban untuk terjadi. 2. Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikan si korban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. 3. Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerja sama antara pelaku dan korban. 4. Kerugian akibat tindak kejahatan atau terjadinya kejahatan akibat adanya provokasi oleh si korban. Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan Menurut Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu: 1) Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan
dan
penjahat
tetapi
tidak
turut
berpartisipasi
dalam
penanggulangan kejahatan. 2) Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu. 3) Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan. 12
Heri Rusyaman selaku kanit reskrim polres limboto, wawancara pada tanggal 14 november 2013
49
4) Particapcing victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban. 5) False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.13
4.2
Faktor-Faktor yang Menghambat Penyidik dalam Menangani Kasus Pencabulan pada Anak Korban mempunyai peran yang fungsional dalam terjadinya suatu
kejahatan. Perbuatan pelaku dapat mengakibatkan orang lain menjadi korban, sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa hubungan antara korban dan pelaku, yaitu suatu kejahatan dan korban yang menjadi objek sasaran perbuatan pelaku menyebabkan korban harus menderita karena kejahatan. Bagi korban, penderitaan yang dialaminya tidak hanya penderitaan fisik tetapi terlebih pada penderitaan psikis (jiwa) dan mental serta dengan terjadinya perlakuan pencabulaan yang menimpa dirinya tentu akan menghancurkan sistem kepercayaan diri. Dengan kata lain dapat merupakan suatu bentuk trauma kehilangan kepercayan terhadap masyarakat dan ketertiban umum, yang munculnya gejala-gejala rasa takut, gelisah, rasa curiga, sinisme, despresi dan berbagai perilaku penghindaran yang lain. Dari hasil penelitian yang menjadi faktor penghambat penyidik dalam menangani kasus pencabulan pada anak, setelah melakukan wawancara dengan Bapak Aibda Sarno Selaku Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA)
13
(http://replaz.blogspot.com/2008/09/viktimologi.html).
50
Polres Gorontaalo beserta Bapak Wahyudin Mohamad sebagai penyidik dan Indrawaty selaku penyidik pembantu yaitu sebagai berikut: 1) Sulit mencari saksi Saksi di dalam KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Serta keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya. Dalam mencari saksi dalam kasus ini sangat sulit dimana kurangnya saksi karena perbuatan yang semacam pencabulan biasa hanya dilakukan oleh si pelaku dan si korban, kadang sekali disaksikan oleh orang lain dan biasanya saksi yang ada hanyalah petunjuk dan alat bukti yang sudah ada yaitu visum. Tidak adanya saksi dari luar korban maupun pelaku. Hal ini tidak seimbang dengan penderitaan korban. 2) Korban tidak terbuka Korban juga biasanya tidak terlalu terbuka dengan penyidik, ada korban yang terbuka dan ada juga korban yang tidak terbuka dimana korban tidak memberikan keterangan yang sebenarnya atau tidak menceritakan semua kejadian yang dialami karena korban merasa malu dengan aib dirinya dan keluarganya atau masih merasa trauma dengan pencabulan yang baru saja dialaminya. Dalam hal ini yang menjadi faktor penghambat penyidik dalam menangani kasus pencabulan sebagian juga disebabkan ahli psikolog ataupun ahli kandungan yang memeriksa
51
keadaan mental dan keadaan fisik korban belum disediakan dan belum adanya perhatian pemerintah untuk menyediakan para ahli anak tersebut. 3) Kurangnya Dana Hambatan lain yang menjadi penghambat penyidik dalam menangani kasus pencabulan kurangnya dana karena dana yang disediakan tidak cukup untuk membiayai pemeriksaan kesehatan atau visum untuk sebagai alat bukti. Hal ini dikarenakan banyaknya perkara di yang ada di Polres Gorontalo yang perlu biaya. Biasanya jika Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) sudah kehabisan dana untuk pembayaran hasil visum atau lainnya akan dibebankan kepada orang tua korban. Namun jika keluarga korban adalah orang yang tidak mampu akan dibiayai oleh para penyidik. Apalagi untuk membiayai ahli psikolog anak untuk memeriksa keadaan mental korban pencabulan. Menurut Aibda Sarno selaku Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) perlindungan mental korban atau untuk memulihkan kesehatan mental korban masih dibutuhkan dana agar perkara tersebut dapat segera selesai dengan cepat tanpa membebankan kepada orang tua korban. Korban juga dapat sembuh dengan cepat dari trauma akibat perlakuan pencabulan yang dialami korban. Berdarkan faktor-faktor yang menjadi penghambat penyidik di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hambatan penyidik adalah mencari saksi guna penyidikan dan kondisi korban yang masih dalam keadaan trauma atau korban merasa malu dengan aibnya sehingga korban tidak terbuka untuk mengatakan hal yang sebenarnya atas perlakuan pencabulan yang baru saja dialaminya. Selain itu hambatan lain yang menjadi penghambat penyidik adalah kurangnya dana yang
52
ada untuk membiayai perkara, yaitu untuk membiayai hasil visum korban guna digunakan sebagai alat bukti ataupun untuk ahli psikolog anak. Akibat dari pencabulan korban akan mengalami penderitaan yaitu: a) Penderitaan secara psikologis, seperti merasa tidak berharga lagi akibat kehilangan keperawanan (kesucian) dimata masyarakat, atau pihak-pihak lain yang terkait dengannya. Penderitaan psikologis lainnya dapat berupa kegelisahan, kehilangan percaya diri, tidak lagi ceria. Sering menutup diri atau menjauhi kehidupan yang ramai, tumbuh rasa benci terhadap lawan jenis dan curiga berlebihan terhadap pihak-pihak lain yang bermaksud baik padanya. b) Kehamilan yang dimungkinkan dapat terjadi. Hal ini dapat berakibat lebih fatal lagi bilamana janin yang tumbuh menjadi besar (tidak ada keinginan untuk diabortuskan). Artinya, anak yang dilahirkan akibat pencabulan tidak memiliki kejelasan statusnya secara yuridis dan norma keagamaan. c) Penderitaan fisik artinya akibat perkosaan itu akan menimbulkan luka pada diri korban. Luka ini hanya tidak terkait dengan alat vital (kelamin perempuan) yang robek, namun tidak menutup kemungkinan ada organ tubuh lainnya yang luka bilamana korban lebih dulu melakukan perlawanan lebih keras yang sekaligus mendorong pelakunya untuk berbuat lebih kasar dan kejam guna menaklukan perlawanan dari korban. d) Tumbuh rasa kekurang percayaan pada penanganan aparat praktisi hukum, bilamana kasus yang ditanganinya lebih banyak menyita perhatiannya, sedangkan penanganan terhadap tersangka terkesan kurang sungguh-
53
sungguh.
Korban
merasa
diperlakukan
secara
diskriminasi
dan
dikondisikan makin menderita kejiwaannya atau lemah mentalnya akibat ditekan secara terus-menerus oleh proses penyelesaian perkara yang tidak kunjung berakhir. e) Korban yang dihadapkan pada suatu sulit seperti tidak lagi merasa berharga dimata masyarakat, dapat saja terjerumus dalam dunia prostitusi. Artinya, tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga korban adalah orang yang menderita karena perbuatan (hawa nafsu) sendiri atau orang lain. 14 Oleh karena itu, perlindungan terhadap korban sangat diperlukan tidak hanya dari si pelaku itu sendiri melainkan juga dari pihak-pihak yang cenderung tidak menyukai korban maupun perbuatan si korban dengan melaporkan si pelaku. Kerugian yang dialami oleh korban akibat terjadinya suatu kejahatan tidak selalu berupa kerugian materil, atau penderitaan fisik saja, tapi paling besar pengaruhnya adalah kerugian atau dampak psikologis atau mental.
14
W.j.s Poerwardamita, 2003, Kamus Umum Bahasa IndonesiaEdisi Ketiga, Jakart, Balai Pustaka, hlm 615
54