BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Perlindungan Hukum
Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam
Proses Peradilan Pidana Secara umum, adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang salah satu tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Hal ini berarti, hukum jugu bertujuan untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan sebelum kejahatan itu terjadi. Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan yang tidak hanya ditujukan pada korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap korban memperoleh perhatian yang serius tidak hanya dari masing-masing negara, tetapi juga dunia. Deklarasi PBB memberi perlindungan terhadap korban dengan memberikan restitusi, sehingga korban mendapatkan ganti kerugian atas apa yang telah dideritanya. Perlindungan terhadap korban perkosaan membutuhkan partisipasi masyarakat yang berempati terhadap apa yang telah dialaminya, sehingga memenuhi rasa kemanusiaan seperti yang tertuang dalam Pancasila sila ke-2 yang berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, yang memuat butir-butir nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang antara lain sebagai berikut:
34
1.
Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Mengakui persamaan hak, persamaan derajat dan persamaan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
3.
Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4.
Mengembangkan sikap tenggang rasa dan teposliro.
5.
Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6.
Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Berdasarkan hasil wawancara saya dengan korban berinisial Rini bahwa untuk perlindungan korban masih banyak mengalami kekurangan dan belum maksimal, terutama dari pihak medis atau lembaga kesehatan belum sepenuhnya memberikan yang terbaik buat korban itu sendiri, artinya dalam hal ini korban belum mendapatkan pelayanan kesehatan misalkan apabila ada permintaan visum etrepectum terhadap korban tidak diberikan pelayanan secara gratis artinya korban dibebani biaya dalam hal visum, bahkan untuk pengobatan lanjutpun tetap dikenakan biaya pengobatan sendiri pada korban. Kedua, pada saat setelah persidangan stelah putusan berakhir korban akan dikembalikan kepada orangtuanya atau kepada keluarganya. Ketika korban mengalami penderitaan fisik maupun psikis yang menanggung derita korban adalah korban sendiri, artinya korban tidak mendapatkan ganti rugi maupun bantuan hukum secara optimal. Kemudian korban tidak mendapatkan rehabilitasi untuk kejiawaan, hal ini bukan tanggung jawab dari pengadilan. Dan ketiga dalam lembaga sosial pada
35
rehabilitasi untuk korban-korban asusila belum mendapatkan akses tersebut secara optimal, dikarenakan lembaga sosial tersebut belum berfungsi di kota gorontalo. Menurut saya berdasarkan seluruh ketentuan perlindungan hukum terhadap korban perkosaan tersebut, terdapat kekuatan dan kelemahannya masing-masing Pasal dalam KUHP dan KUHAP, seperti tidak adanya batas minimum khusus pidana penjara, tidak adanya penjelasan yang tegas pada pengertian persetubuhan dan pemaksaan kekerasan seksual, serta tidak ada aturan langsung mengenai ganti rugi sesuai Pasal 98 KUHAP, perlindungan hukum terhadap korban perkosaan belum memadai apabila diliat dan disinkronkan dengan konvensi-konvensi Internasional dan prinsip-prinsip victomologi hal ini dikarenakan perlindungan hukum dalam hukum nasional
tidak adanya pengkategorian korban, bentuk-
bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan, dan kategori keadaan serta tempat terjadinya perkosaan. Tidak adanya keharusan bagi pelaku kejahatan untuk memberikan ganti rugi pada korban dan keluarga korban yang mengalami kerugian. Tidak adanya kompensasi dari Negara apabila pelaku tidak sanggup untuk memberikan kompensasi karena alasan ekonomi. Tidak adanya keutamaan korban di dalam kasus tindak pidana pemerkosaan. Korban tindak pidana perkosaan selain mengalami penderitaan secara fisik juga mengalami penderitaan secara psikis yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat penderitaan yang dialami korban tindak pidana perkosaan tidak ringan dan membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk bisa memulihkannya, maka aparat penegak hukum berkewajiban memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan yang diimplementasikan
36
dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum yang memihak korban. Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah
(melalui
aparat
penegak
hukumnya),
seperti
pemberian
perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrumen penyeimbang. Dari sinilah dasar filosofis di balik pentingnya korban kejahatan (keluarganya) memperoleh perlindungan. Dari hasil penelitian data korban pemerkosaan di Pengadilan Negeri Gorontalo di jelaskan pada tabel di bawah ini: Tabel 1 Jumlah kasus pemerkosaan di Kota Gorontalo Tahun 2010-2012 KASUS NO
TAHUN
PRESENTASE PEMERKOSAAN
1
2010
18 Kasus
15,0 %
2
2011
9 kasus
5,3%
3
2012
9 kasus
5,3%
36
100%
JUMLAH
Sumber Data, Pengadilan Negeri Gorontalo tahun 2013
37
Dari data kasus pemerkosaan di kota gorontalo dapat dilihat bahwa jumlah kasus sebanyak 36 dan terbanyak yaitu pada tahun 2010 sebanyak 18 kasus sedangkan pada tahun 2011sebanyak 9 kasus pemerkosaan serta tahun 2012 sebanyak 9 kasus, hal ini jelas bahwa menggambarkan jumlah kasus tersebut elum menimbulkan efek kerja. Berdasarkan daftar tabel diatas dari hasil penelitian maka peneli menganalisis bahwa dalam kasus tindak pidana pemerkosaan ini banyak mengalami kendala dalam melakukan pemanggilan terhadap pelaku masih agak terhamdap dengan adanya administrasi yang harus melalui prosedur yang ada. Pemerkosan tersebut terjadi karena berbagai bentuk konflik, nafsu, dan ekonomi sehingga berujung pada tindak pemerkosaan. Selama ini dalam KUHP khususnya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perempuan, kaum perempuan hanya dilihat secara parsial, yakni hanya melindungi bagian-bagian tertentu dari tubuhnya. Bahkan beberapa pasalnya berangkat dari asumsi bahwa perempuan itu lemah dan berada dalam satu tarikan nafas dengan laki-laki. Pada tahun 1984 telah diratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan dengan Undang- Undang No. 7 Tahun 1984 (karena kebijakan umum serta berbagai peraturan yang ada saat ini masih mencerminkan kuatnya nilai patriarki), tetapi dalam pelaksanaannya masih terjadi diskriminasi dan eksploitasi. Bentuk perlindungan hukum yang ideal terhadap anak sebagai korban perkosaan, dilakukan secara preventif dan represif. Secara preventif
38
Dilakukan dengan pemberian sanksi pidana terhadap pelaku sebaiknya diberikan hukuman seberat-beratnya. Pemberian sanksi berat tersebut harus diperhatikan pada motif pelaku, tujuan pelaku melakukan tindak pidana, cara pelaku melakukan tindak pidana dan motif korban. Pasal 81 (1) UU No.23 Tahun 2002 mengatur ketentuan pidana bagi pelaku yang melakukan persetubuhan di luar perkawinan dengan pidana minimum 3 tahun dan maksimum 15 tahun. Adanya pidana tambahan berupa ganti kerugian, Menuntut ganti rugi akibat suatu tindak pidana/kejahatan yang menimpa diri korban melalui cara penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana (Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP). Hak ini diberikan guna memudahkan korban untuk menuntut ganti rugi pada tersangka/terdakwa. Kemudian dibentuknya lembaga yang berskala nasional untuk menampung anak yang menjadi korban tindak kekerasan seperti perkosaan yang didirikan pada masing-masing daerah. Sedangkan secara Represif diperlukan Perlindungan hukum berupa pemberian restitusi dan kompensasi bertujuan mengembalikan kerugian yang dialami oleh korban baik fisik maupun psikis, sebagaimana diatur dalam pasal 98-101 KUHAP. Konseling diberikan kepada anak sebagai korban perkosaan yang mengalami trauma berupa rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 64 (3) UU Perlindungan Anak. Secara eksplisit, KUHAP memang telah mengatur tentang ganti kerugian. Tetapi ganti kerugian tersebut ditujukan bagi tersangka, terdakwa atau terpidana karena adanya kekeliruan dalam penangkapan. Sedangkan pengaturan ganti kerugian secara umum diatur dalam pasal 98 s/d 101 dengan cara penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Namun penggabungan perkara gugatan ganti
39
kerugian ini tidak efektif karena jarang digunakan. Bahkan dari hasil penelitian penulis, penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam kasus tindak pidana perkosaan di Semarang belum pernah ada. Ini disebabkan karena penggabungan perkara gugatan ganti kerugian sangat rumit dan memakan waktu lama karena harus menggabungkan kasus pidana dan perdata. Hal ini tentu saja menambah daftar ketidakefektifan peraturan perundang-undangan karena sekalipun telah diatur namun tidak diaplikasikan dalam prakteknya. Sekali lagi bahwa yang dibutuhkan dalam perlindungan terhadap korban (khususnya tindak pidana perkosaan) tidak hanya peraturan tertulis saja, tetapi juga realisasinya dalam masyarakat. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tentunya membawa konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan melalui kehidupan saling menghormati dan menghargai bahwa diantara mereka terkandung adanya hak dan kewajiban. Salah satu akibat dari korban yang mendapat perhatian viktimologi adalah penderitaan, kerugian mental, fisik, sosial, serta penanggulangannya58. Adapun manfaat viktimologi antara lain sebagai berikut: 1.
Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan fisik, mental dan sosial. Tujuannya untuk memberikan beberapa penjelasan
58
Arief Gosita. Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan), Jakarta, IND.HILL-CO,1987
40
mengenai kedudukan dan peran korban dan hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain. 2.
Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk mengatasi masalah kompensasi pada korban, pendapat-pendapat viktimologis dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal yang juga merupakan suatu studi mengenai hak asasi manusia.59
Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat dikemukakan Muladi saat menyatakan: korban kejahatan perlu dilindungi karena pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust).60 Kepercayaan ini terpadu melalui normanorma yang diekspresikan di dalam struktur kelembagaan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. Kedua, adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh dikatakan monopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan, maka negara harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban yang biasa dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa 59 60
Arief Gosita. Loc. Cit,1987 Muladi, Perlindungan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana: Sebagaimana dimuat dalam Kumpulan Karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), hal.172
41
damai dalam masyarakat. Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Adapun asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Asas manfaat Artinya, perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat. 2. Asas keadilan Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang juga harus diberikan pada pelaku kejahatan. 3. Asas keseimbangan Karena
tujuan
hukum
disamping
memberikan
kepastian
dan
perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban. 4. Asas kepastian hukum
42
Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugas-tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan.61 Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak diserta dengan upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara materiil, pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu berlebihan. Mengacu pada uraian di atas, ada beberapa perlindungan terhadap korban kejahatan yang lazim diberikan, antara lain sebagai berikut: 1.
Pemberian Restitusi dan Kompensasi Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 memberikan
pengertian kompensasi, yaitu kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi, yaitu ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganyaoleh pelaku atau pihak ketiga.62 Menurut Stephen Schafer, terdapat 4 (empat) sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan, yaitu antara lain:
61 62
Muladi Dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, PT Alumni, 1992, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
43
a.
Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana
b.
Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses pidana.
c.
Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, tidak diragukan sifat pidana (punitif) nya.
d.
Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana, dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di sini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap.63
4.2 Hambatan Yang Di Hadapi Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan Hasil wawancara Oleh Noldy Takasanakeng, Majelis Hakim Anggota Pengadilan Negeri Gorontalo, (Tanggal 03 Oktober 2013,Jam 10:00) mengemukakan; Majelis Hakim menjelaskan Hambatannya yaitu persidangan karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh. Hal ini tentu saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Disaat korban dipanggil untuk proses 63
Dikdik M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta, PT.RadjaGrafindo Persada, 2007
44
pemerikasaan dan persidangan sering kali tidak mau menghadiri saat diminta memberikan keterangan dan kesaksian disaat terjadinya tindak pidana perkosaan, di karenakan trauma yang dialami setelah kejadian tersebut. Ini menjadi hambatan pihak Penyelidik dan penyidik untuk memperoleh informasi dalam proses penyidikan hingga persidangannya. Namun disaat pemerikasaan dan sampai di persidangan korban di perlakukan dengan baik agar tidak tertekan Psikologisnya yang mana akan bisa memperlambat proses peradilan.64 Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain. Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke Pengadilan, tapi dari kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasal 285) yang menyatakan: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
64
Hasil wawancara Oleh Noldy Takasanakeng, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gorontalo
45
Sudarto berpendapat bahwa untuk menanggulangi kejahatan diperlukan suatu usaha yang rasional dari masyarakat, yaitu dengan cara politik kriminal.65 Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari politik criminal adalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Menurut saya dari beberapa hambatan perlindungan hukum bagi anak sebagai korban perkosaan di atas, ternyata terdapat kelemahan, yang tidak sesuai diberikan oleh undang undang. Seperti Pertama, sebelum persidangan dalam hal pemenuhan hak korban/ perlindungan dari pihak / lembaga kesehatan (Rumah sakit atau Puskesmas) terhadap korban perkosaan di wilayah hukum PN Gorontalo, belum maksimal, artinya dalam hal ini korban belum mendapatkan pelayanan kesehatan misalkan apabila ada permintaan visum et repertum terhadap korban tidak diberikan pelayanan secara gratis artinya korban dibebani biaya dalam hal visum, bahkan untuk pengobatan lanjutanpun tetap dikenakan biaya pengobatan sendiri pada korban. Kedua, pada saat setelah persidangan setelah putusan berakhir anak sebagai korban akan dikembalikan kepada orangtuanya atau kepada keluarganya. Ketika korban mengalami penderitaan fisik maupun psikis yang menanggung derita korban adalah korban dan pihak keluarga korban sendiri, artinya korban tidak mendapatkan ganti rugi maupun bantuan hukum secara optimal. Kemudian anak sebagai korban tidak mendapatkan rehabilitasi, hal ini dikarenakan bukan tanggung jawab dari pengadilan. Dan Ketiga dalam
65
Barda Nawawi Arief Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti 2002
46
lembaga sosial pada rehabilitasi untuk korban-korban asusila belum mendapatkan akses tersebut secara optimal. Sedangkan perlindungan Hukum di PN Gorontalo, Pertama, sebelum persidangan pada proses penyidikan, anak korban dimintai keterangan oleh pihak kepolisian yang dilakukan oleh polisi wanita unit PPA. Dalam memberikan pertanyaan kepada korban, tidak bersifat memojokan korban. Dalam permintaan visum untuk menemukan bukti, anak tidak dibebani biaya. Dalam persidangan, sidang tertutup untuk umum. Kemudian anak sebagai korban dilindungi dari berbagai ancaman maupun tekanan dari pihak lain, misalkan ada pendampingan dan ketika anak korban memberikan keterangan dia takut pada pelaku, maka hakim dengan bijaksana untuk meminta pelaku untuk keluar dari ruang sidang. Dan korban tidak diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Dari beberapa kelemahan tersebut di atas menunjukkan bahwa adanya ketidaksesuaian antara norma dan penerapan di lapangan,hal ini ditunjukkan pada proses peradilan pidana anak sebagai korban tidak mendapatkan hak sepenuhnya sebagaimana yang diberikan oleh undang-undang. Dalam penanganan kasus perkosaan terhadap anak sebagai korban seharusnya bersifat holistik dan terintegrasi. Semua sisi memerlukan pembenahan dan penanganan, baik dari sisi medis, sisi internal penghayatan individu, aspek hukum yang masih banyak mengandung kelemahan, dukungan sosial, dukungan ekonomis, maupun langkahlangkah politis dan avokasi. Tujuan dalam memberikan kebutuhan hukum secara holistik tersebut adalah untuk memberikan keadilan. Ketidakadilan yang menimpa golongan-golongan sosial yang lemah seperti anak sebagai korban perkosaan,
47
dalam hal ini negara dibebani tanggung jawab sosial, artinya negara tidak boleh sekedar netral terhadap semua golongan, melainkan harus berpihak pada mereka yang lemah dan memerlukan bantuan. Berpihak dalam arti bahwa negara harus mengambil tindakan khusus untuk menjamin tuntutan keadilan. Untuk itu, bagi golongan-golongan lemah harus dibuka kemungkinan berpartisipasi aktif dalam menuntut hak-hak yang telah merugikan mereka. Sebagaimana filosofi Indonesia di negara yang berlandaskan pancasila, hakikat keadilan manusia sebagai makhluk yang beradab (sila II). Manusia pada hakikatnya adalah adil dan beradab, yang berarti manusia harus adil terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap orang lain dan masyarakat serta adil terhadap lingkungan alaminya. Dengan keadilan yang berlandaskan dalam sila kedua pancasila tersebut berhak didapat bagi si pelaku maupun korban pada kasus perkosaan. Keadilan dalam hal ini bukan hanya dimaksudkan untuk sama-sama mendapatkan pada bagian sama, namun keadilan dalam kasus ini adalah untuk keadilan yang merupakan struktur kekuasaan yang menguasai golongan-golongan yang menderita ketidakadilan yakni pihak yang menderita atau dirugikan (korban). Sila kedua dalam Pancasila menunjuk kepada nilai-nilai dasar manusia, yang diterjemahkan dalam hak-hak asasi manusia, taraf kehidupan yang layak bagi manusia, dan sistem pemerintahan yang demokratis serta adil. Nilai-nilai manusiawi merupakan dasar dari apa yang sekarang disebut sebagai hak-hak asasi manusia. Terlebih pada hak yang dimiliki oleh pelaku dan korban, bila terkait dalam persoalan ini artinya hak yang didapat masing-masing harus diwujudkan karena merupakan bagian dari hak asasi manusia. Namun persoalan hak asasi
48
dalam hal ini tidak terlepas pada kewajiban yang di laksanakan oleh pelaku maupun korban. Karenanya tanpa adanya kewajiban maka tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Selain itu, hak anak sebagai korban perkosaan yang menderita secara fisik perlu mendapatkan restitusi maupun kompensasi atas akibat penderitaan yang dialaminya.
49