BAB IV HAK PRIBADI PEREMPUAN DALAM TAFSIR AL-SYA`RÂWÎ A.Hak Pribadi Islam menjaga hak-hak pribadi perempuan. Hak pribadi ialah hak yang dimiliki perempuan sendiri, tanpa campur tangan dari pihak lain, atau orang lain tidak ikut menentukannya, di antaranya adalah:
1. Hak Hidup Sebelum Islam datang, sebagian bangsa Arab sangat membenci dan menolak bayi perempuan. Anak perempuan yang lahir dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Pembunuhan bayi perempuan dilakukan antara lain untuk memenuhi ajaran yang diserukan oleh kepercayaan agama tentang pengorbanan, khawatir nantinya akan dikawin orang yang berkedudukan sosial rendah, untuk mengurangi jumlah perempuan pada masyarakat patriarkhi, dan karena motif ekonomi.1 Untuk sebab yang terakhir ini, tidak berlaku bagi masyarakat Arab bagian selatan yang tanahnya subur. Islam dengan kitabnya al-Qur`an melarang perbuatan tersebut. Allah berfirman dalam surat al-Nahl ayat 58-59 yang menerangkan tentang hak perempuan untuk hidup sebagai berikut:
1
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur`ân, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 136137
104
―Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan maka (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan padanya Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan atau menguburnya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang telah mereka tetapkan itu‖ (Al-Nahl/16: 58,59) Al-Sya`râwî menafsirkan ayat ini sebagai berikut: ―Bahwasanya ―bisyârah‖ (kabar gembira) senantiasa berkaitan dengan kebaikan. Oleh karenanya kewajiban untuk menyambutnya dengan senang hati. Akan tetapi realita berkata lain, bangsa Arab waktu itu justru menghadapinya dengan perasaan benci. Ketidakbahagiaan ini terlihat jelas di rona muka mereka ketika dikabarkan berita hadirnya seorang bayi perempuan dari darah dagingnya‖.2 Selanjutnya al-Sya`râwî menjelaskan bahwa: ― ambil dari kata yaitu menahan kemarahan. Oleh karenanya Allah berfirman pada akhir rentetan ayat tersebut dengan kazîm‖ bermakna menyembunyikan sesuatu dan merahasiakannya, seperti juga Allah berfirman dalam ayat lain yang terambil dari yaitu kapasitas tempat tampungan yang terbuat dari kulit ketika dipenuhi dengan air. berarti mengikatnya, maka didapatinya dengan penuh kemarahan. Ia mencapai titik klimaks dan darah merah mengalir mewarnai nuansa pada wajah‖3. Kemudian Allah mendeskripsikan nuansa hati yang diliputi oleh kemarahan pada ayat sesudahnya:
Menurut al-Sya`râwî makna‖ menyembunyikan diri karena ketakutan akan mendengar kelahiran perempuan , . Apabila kalimat ini ditinjau ulang, maka akan ditemukan pengulangan kata bisyarah‖. Hal ini mengindikasikan bahwa Allah menyuruh mereka untuk menyambut kedatangan seorang perempuan dengan senang hati‖.4
2
Muhammad Mutawallî Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya’râwî, (al-Qâhirah: Akhbâr al-Yawm, t.t), jilid 13,
3
Ibid.
h. 8014.
4
Ibid., h.8015
105
Sehubungan dengan itu, maka kelahiran bayi perempuan seharusnya di sambut dengan hati senang, tidak dibunuh. Pembunuhan bayi perempuan tidak diperkenankan oleh Allah pencipta manusia. apa yang harus dilakukan terhadap bayi ini, dipeliharanya dengan segala konsekuensinya ―merasa terhina‖, atau menguburnya hiduphidup. kedua-keduanya adalah tindakan bodoh, baik memelihara dan menjaganya dengan kehinaan atau menguburnya hidup-hidup.5 Sebagian bangsa Arab sangat membenci bayi perempuan, bahkan mereka tidak segan-segan menguburnya hidup-hidup kendati ia berasal dari darah dagingnya, karena rumor kesusahan dan kesengsaraan yang akan muncul dari anak perempuan. Menurut hemat penulis, dengan ayat tersebut menunjukkan bahwa membunuh dan mengubur hidup-hidup bayi perempuan merupakan tindakan yang dilarang Islam, hal ini tersirat adanya pemberian hak untuk hidup bagi perempuan di dunia. Ada suatu kejadian ketika isteri Abû Hamzah melahirkan bayi berjenis kelamin perempuan, Abû Hamzah meninggalkan dan memarahinya, kemudian isterinya menjawab:
6 ―Apa yang terjadi pada Abû Hamzah, ia datang kepada kami dengan marah-marah karena kami melahirkan bayi perempuan Demi Allah, hal tersebut bukan di tangan kami, kami bagaikan tanah yang dimiliki oleh petani Kami memberikan kepada mereka sebagaimana ia memberikan kepada kami‖. Allah SWT menginginkan keseimbangan di alam ini. Ia memulainya dari kebutuhan manusia. Tidak dapat dipungkiri lagi manusia sangat berkeinginan untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan yang terhormat. Akan tetapi terkadang salah 5 6
Ibid.
Ibid., h. 8016..
106
langkah dalam membangun dan menjalani arah menuju kedudukan ini. Mereka mengira mampu melakukan perubahan sesuai dengan kehendak tanpa andil Yang Maha Kuasa. Hanya saja, seandainya mereka memahami martabat dan kedudukan mulia hanya terjadi di luar kemampuan manusia yang diciptakan oleh-Nya, dengan kehendak-Nya, dan mengerti hakekat kehidupan, maka mereka akan menjalani kehidupan sesuai dengan ketentuan dari Allah. Adapun keagungan dan kebanggaan tidak bergantung dan berawal dari jenis kelamin. Keagungan hanyalah milik Allah. Menurut al-Sya`râwî: ―Adapun anugerah perempuan merupakan kodrat dari Allah, namun sangat disayangkan manusia selalu menggambarkan kebencian kepada perempuan, dan beranggapan kenikmatan tidak layak jikalau dialihkan ke pihak perempuan. Fenomena di atas adalah bias dari fanatisme genetik, artinya terlalu berpihak kepada kelamin laki-laki. Berangkat dari implikasi fanatisme genetik yang tidak bermakna, sangat layak dibuang jauh-jauh, dalam arti, umat Islam seyogyanya tidak terpaku 7 kepada jargon-jargon fanatisme tersebut.‖ Dari sini dapat diambil kesimpulan, perempuan dan laki-laki pada dasarnya adalah sama di mata Allah, manusia tidak diperkenankan membenci kepada manusia lain termasuk perempuan. Dalam kitab Al-Hayat wa al-Mawt, Al-Sya`râwî mengatakan bahwa: ―Allah ketika menciptakan kehidupan, juga menciptakan aturan mainnya. Adapun sebagian dari aturan ini, subyek kehidupan terdiri atas laki-laki dan perempuan, dan setiap makhluk hidup memberikan keturunan yang independen seperti manusia dan tumbuh-tumbuhan. Semua jenis makhluk hidup tercipta dari hasil hubungan intim laki-laki dan perempuan. Kendati demikian laki-laki dan perempuan ini tidak saling bergantungan‖8 Akhirnya,, kehidupan laki-laki dan perempuan sangat diperlukan, karena keduanya dapat menjadikan perantara kejadian manusia. Tidak diberinya kesempatan hidup bagi perempuan pada sebagian bangsa Arab sebelum Islam, disebabkan bayangan ketakutan yang tidak beralasan. Demikian juga genetik tidak dapat dijadikan standar kemuliaan, keagungan seseorang. 2. Hak Memperoleh Pendidikan Perintah menuntut ilmu pengetahuan atau belajar tidak hanya kepada kaum lakilaki, tetapi juga kepada kaum perempuan, masing-masing berhak memperoleh berbagai ilmu. 7
Ibid., h. 8016-8017
8
Muhammad Mutawalli al-Sya`râwî, Al-Hayât wa al-Mawt, (al-Qahirah: Akhbâr al-Yawm, t.t.), h. 98.
107
Memperoleh ilmu pengetahuan merupakan elemen esensial untuk peningkatan martabat perempuan, sehingga ia dapat menyempurnakan dirinya sendiri, kemudian dapat mengembangkan potensi kemanusiaannya. Al-Qur‘an dan hadis yang berbicara tentang kewajiban belajar ditujukan kepada laki-laki dan perempuan banyak sekali. Kalimat pertama yang diturunkan dalam AlQur‘an adalah kalimat perintah untuk membaca ( pertama Tuhan dalam Al-Qur‘an, yaitu
), kemudian disusul sumpah , Nun demi qalam dan apa yang
dituliskannya. Hal ini menjadikan bukti betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam Islam. Al-Qur‘an banyak memberikan pujian kepada laki-laki dan perempuan yang mempunyai prestasi dalam ilmu pengetahuan, diantaranya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kalian: ―Berlapanglapanglah dalam majlis‖, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan: ―Berdirilah kalian‖, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan derajat orang yang beriman diantara kalian dan orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan‖(Al-Mujâdilah/58:11) Dalam ayat lain disebutkan,
108
―Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.‖(Ali `Imrân/3:18) Al-Sya`râwî menafsirkan ayat ini sebagai berikut: ―Orang-orang yang memiliki ilmu telah mengambil dalil-dalil dan beristinbat tiada Tuhan selain Allah. Sesunggunya dalil-dalil ini merupakan kesaksian yang agung untuk sesuatu yang dipersaksikan. Allah berada di puncak, Muhammad SAW, malaikat, dan orang yang mempunyai ilmu telah mengambil kedudukan yang besar. Karena Allah telah menyertakan mereka yang berilmu dengan para malaikat. Dan orang yang duduk beri`tikaf, bertadabbur, atau menggunakan kecerdasan dan nalarnya, mereka akan mendapatkan petunjuk bahwa tiada Tuhan selain Allah.‖9 Al-Sya`râwî mengakui adanya hak untuk menuntut ilmu bagi perempuan dalam kaitannya dengan relasi jender, karena mereka yang berilmu atau berpendidikan baik perempuan maupun laki-laki, mendapat penghargaan dari Allah sejajar kedudukannya dengan malaikat. Akhirnya keduanya berkewajiban untuk mencari ilmu. Pendidikan bagi laki-laki dan perempuan adalah gerbang pembebasan dari kebodohan. Menurut `Aisyah `Abd al-Rahman10, pembebasan dari kebodohan bagi perempuan adalah perintah al-Qur`an, bukan ide-ide yang diimpor dari Barat.11 Menuntut ilmu bagi perempuan, bertujuan agar menghasilkan perempuan yang alim, pandai, mampu mendidik anak-anak, melaksanakan tugas rumah, keluarga dan masyarakat. Terbukti dengan banyaknya perempuan yang ahli dalam berbagai bidang ilmu, di antaranya adalah Aisyah ra. isteri Nabi, adalah salah seorang yang mempunyai pengetahuan
9
Al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwî, Jilid 3, h. 1344.
10 11
Sarjana Islam terkemuka, yang lebih dikenal dengan nama Bint Syâti`
Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam,, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKIS, 2001), cet. ke-1, , h. 171.
109
sangat dalam tentang fiqh, agama, sya`ir, adab. Hisyam berkata ―Saya tidak melihat orang yang ahli fiqh dan sya`ir selain `Aisyah.12 Demikian juga al-Sayyidah Sakinah putri al-Husain bin Ali bin Abi Talib13 ahli di bidang sastra, mempunyai pengetahuan yang sempurna serta kemasyhuran dalam kritik sastra. Al-Sayyidah Nafisah adalah guru Imam Syafii dalam bidang hadis, ikut mensalati Imam Syafii ketika meninggal. dan nama puluhan perempuan lain yang menghadiri masjid untuk mengkaji fiqh, tarikh, sastra serta memberikan kontribusi besar dalam ilmu tasafuf, tarikat seperti Rabîah Adawiyah, al-Syaikhah Syahidah yang bergelar ―Fakhr al-Nisa‖ (kebanggaan Perempuan), salah seorang guru Imam Syafi`i.14 Dari data tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan-perempuan banyak yang mencari ilmu dan ahli dalam berbagai disiplin ilmu, dari sini berarti perempuan diwajibkan belajar dan mencari ilmu. 3. Hak Waris Islam menunjukkan pentingnya kesejahteraan bagi perempuan, sehingga mereka berhak untuk mendapat waris. Hal ini merupakan perubahan yang mendasar pada masa sebelum Islam, karena waktu itu perempuan tidak berhak mendapat warisan, yang berhak hanyalah laki-laki, dengan turunnya ayat:
12
13
`Abbâs Karârah, Al-Dîn wa al-Mar`ah, (Makkah:Syirkah Fan al-Tibâ`ah, 1373 H), cet. ke-1, h. 129.
Sakînah binti al-Husain bin Ali bin Abi Thâlib bernama Âminah, pendapat lain menyebutkan bahwa Sakînah merupakan gelar yang hanya ditujukan padanya. Beliau adalah panel ahli di bidang adab dan fashahah. Kediaman Sakînah merupakan tempat mangkal para budayawan dan penyair. Beliau menikah dengan „Abdullah bin al-Hasan bin „Ali, namun dia terbunuh di Thâif sebelum mereka tinggal di satu atap. Sepeninggal „Abdullah, Sakînah dinikahi oleh Mas‟ab bin al-Zubair dengan mahar beribu-ribu dirham yang dipegang oleh saudaranya „Ali bin al-Husain, akhirnya dia memberinya 40.000 (empat puluh ribu)dinar. Perkawinannya dengan suami terakhir membuahkan seorang anak bernama al-Rabâb. Sakinah memakaikan intan di tubuh sang anak seraya berkata: “Aku memakaikan intan ini hanya untuk melapangkannya.” 14 Ibid., h. 130.
110
―Dan bagi kalian suami-suami seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isteri kalian, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isteri kalian itu mempunyai anak, maka kalian mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak. Jika kalian mempunyai anak maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutang kalian. Jika seseorang mati baik laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) maka masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya itu atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari‘at yang benar-benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun‖(AlNisa`/4:12) Bagian waris bagi anak laki-laki dan perempuan berbeda, yaitu 2:1, Al-Qur‘an menjelaskan dalam beberapa ayat, di antaranya:
111
―Allah mensyari'atkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian, yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tua kalian dan anak-anak kalian,, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana‖(Al-Nisa`/4:11) Al-Sya`rawi mengatakan bahwa ―Laki-laki mempunyai bagian satu, sedangkan perempuan setengahnya itulah keadilan. Sebab laki-laki kalau isterinya meninggal dunia, kemudian nikah lagi, ia tetap memberi nafkah kepada isterinya yang baru. Sedangkan perempuan yang ditinggal mati suaminya, ia mendapat harta waris, dan kalau nikah lagi ia mendapat sesuatu dari suami yang baru‖15 Tetapi perlu diketahui, kalau isteri meninggal, suami juga mendapat bagian waris, separuh dari harta isteri kalau tidak mempunyai anak, kalau mempunyai anak mendapat bagian seperempat. Sedangkan suami meninggal, bagian isteri seperempat, kalau tidak 15
Ibid., h. 2030
112
mempunyai anak, kalau mempunyai anak isteri mendapat bagian seperdelapan. Jadi kalau suami mau nikah lagi adakalanya isteri sudah mempunyai harta, tidak memerlukan nafaqak. Demikian juga kalau isteri nikah lagi adakalanya suami tidak mempunyai harta, sehingga isteripun
memberi
nafaqah.
Sehingga
alasan
al-Sya`râwî
tersebut
kurang
dapat
dipertanggungjawabkan. Ayat ini turun berkenaan dengan isteri Sa`ad bin al-Rabi menghadap Rasulullah SAW
―Dari Jabir bin `Abdillah berkata, ada perempuan datang dengan membawa dua anak perempuan kepada Rasul, kemudian berkata kepada Rasul:"Ya Rasulullah, kedua perempuan ini anak Sa`ad bin al-Rabi yang menyertai tuan dalam perang Uhud, ia telah gugur sebagai syahid. Paman kedua puteri ini mengambil harta bendanya, dan tidak meninggalkan sedikitpun, sedang kedua anak ini sukar mendapatkan jodoh kalau tidak berharta. "Rasulullah SAW bersabda: "Allah akan memutuskan persoalan tersebut." Maka turunlah ayat tersebut. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Turmizi, Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim, yang bersumber dari Jabir16. Dilihat dari sabab al-nuzûl ayat tersebut, ada kekawatiran bahwa perempuan yang tidak berharta akan sukar mendapat jodoh. Dari sini dapat dilihat bahwa perempuan juga memerlukan harta dalam hidupnya. Dalam riwayat lain dari Jabir, ketika Nabi Muhammad dan Abû Bakar mendatangi Jabir di Banî Salamah, ketika itu ia tidak sadarkan diri, keduanya berwudu dan airnya di
16
97.
Abî al-Hasan `Alî bin Ahmad al-Wâhidî al-Naisâburî, Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1991), h.
113
percikkan pada Jabir, kemudian ia sadar dan berkata: ‖Bagaimana harta saya ini ya Rasul?‖, kemudian turunlah ayat tersebut. Diriwayatkan Bukhari dan Muslim17. Yang menjadi persoalan terhadap ayat ini ialah ketentuan bagian waris laki-laki dan perempuan dua berbanding satu. Apakah ketentuan itu bersifat diskriminatif. Dan apakah ayat ini bersifat kontemporer atau permanen. Kalau dilihat dari sabâb al-nuzûl ayat tersebut, maka jelas karena anaknya Sa`ad bi alRabi` tidak diberi bagian harta waris sama sekali, dengan turun ayat tersebut berarti ada aturan hukum baru bahwa perempuan harus mendapat bagian waris. Menurut al-Alûsî, anak perempuan mendapat bagian kurang dibandingkan bagian laki-laki, karena kebutuhan mereka terhadap harta lebih sedikit dibanding kebutuhan anak laki-laki, serta karena suami mereka telah menjamin biaya hidupnya.18 Terhadap pendapat tersebut,
penulis kurang setuju, sebab sesama manusia
mempunyai kebutuhan hidup yang seimbang, baik laki-laki maupun perempuan, utamanya bagi perempuan yang tidak bersuami, sedangkan yang bersuamipun terkadang suami tidak mencukupi, apalagi situasi seperti saat ini banyak PHK, yang akibatnya justru suami meminta nafkah kepada isteri. Jadi alasan kebutuhan harta bagi perempuan lebih sedikit dibanding lak-laki adalah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terhadap ayat ini al-Sya`râwî berpendapat bahwa: ―
, kandungan ayat ini tidak mendiskreditkan perempuan, justeru
memuat penghargaan lebih kepada perempuan, dengan argumen perempuan mendapat bagian setengah dari laki-laki dalam hal warisan. Dengan kata lain laki-laki memperoleh bagian lebih daripada perempuan disebabkan tugas yang diemban lakilaki, yaitu memberi nafkah isteri dan anaknya. Sedangkan perempuan tidak mengemban tugas sebagaimana laki-laki. 17
Ibid., h. 96.
18
Al-Alûsî, Rûh al-Ma`ânî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), Jilid 2, h. 217.
114
Di samping itu, bagian perempuan separuh dari bagian laki-laki, karena perempuan kalau tidak bersuami, bagian itu untuk hidup sendiri, kalau bersuamipun bagian itu untuk dirinya sendiri. Tetapi laki-laki yang mempunyai isteri wajib memberi nafaqah pada isterinya. Itu lah keadilan dari Allah‖.19 Hal tersebut memang berlaku dan cocok di masyarakat Arab, sebab sampai saat inipun perempuan Arab masih menjadi tanggungan lak-laki atau suami, sedangkan masyarakat lain seperti Indonesia perempuan sudah banyak yang bekerja mendapat penghasilan. Selanjutnya al-Sya`râwî menjelaskan: ―Bagian warisan laki-laki pada gilirannya juga akan kembali kepada pihak perempuan (isteri), baik disengaja atau tidak, namun kenapa Allah mengkhususkan bagian ini (setengah dari laki-laki) pada perempuan?. Hal ini disebabkan posisi perempuan yang tidak akan terhindar dari dua kemungkinan, pertama apabila dia belum menikah, maka mampu menghidupi dirinya dengan bagian dari warisan, kedua jika dia sudah berumah tangga, maka bagian ini adalah anugerah dariNya‖20. Bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya, di samping mendapat warisan, ia juga berhak hidup di rumah suaminya, dan mendapat penghidupan suaminya
(Q.S.al-Baqarah/2:240).
Ini
dari
keluarga
berarti perempuan masih mendapatkan
perlindungan hidup. Hal itu semua menunjukkan bahwa Islam tidak menganggap rendah terhadap perempuan, tetapi menempatkan perempuan sesuai dengan posisinya, dengan memperhatikan kategori moral dan ekonomi.
19Al-Sya‘râwî,
20
Tafsir al-Sya’râwî, Jilid 4, h. 2025.
Muhammad Kâmil ‗Abd al-Samad, Al-Sya’râwî wa `Adâwat al-Bayân milk al-Ta’bîr Sina’at al-Hujjah
Khudûr al-Bidâyah, (al-Qâhirah: Dâr al-I‘tisâm, t.t), h. 23
115
Perlu diingat al-Qur‘an mengandung pesan-pesan yang merupakan manual of human life system (petunjuk sistem kehidupan manusia) dengan tanpa meninggalkan sisi edukatif. Sehubungan dengan hal tersebut, ada salah satu pembaca bertanya tentang bagian perempuan dalam waris dan wasiat kepada Syekh al-Sya‘rawi di majalah ―Liwa al-Islam‖, berikut pertanyaannya: ―Ayahku meninggal di saat aku berusia 15 tahun, aku mempunyai paman (saudara ayah) dan dia mempunyai anak, nenekku pada saat itu masih dianugerahi umur panjang,
nenekku –semoga Allah mengampuninya- menulis wasiat yang berisi
bahwa semua harta peninggalannya diserahkan secara totalitas kepada anaknya – pamanku-, tetapi dia tidak memberikan secuilpun dari hartanya kepadaku. Dalam kondisi demikian apakah aku mempunyai hak untuk menggagalkan isi wasiat dan meminta bagianku, sedangkan nenekku berbuat demikian dengan dalih sebagai langkah antisipatif agar ibuku tidak menikah dengan laki-laki lain?21 Al-Sya‘râwî menarik kesimpulan bahwa, perempuan ini (penanya) tidak mendapat bagian dari harta warisan, karena pamannya menahannya, lalu dia menjawab perempuan pada dasarnya tidak memiliki hak waris, hukum ini juga berlaku bagi laki-laki. Akan tetapi mereka berhak memperoleh sebagian harta melalui wasiat yang tidak boleh diambil lebih dari 1/3 dari harta kekayaan22 dengan syarat semua ahli waris menyetujuinya, dan perlu diingat wasiat tidak diperuntukkan bagi pewaris.23 21
Muhammad Mutawalli Al-Sya`râwî, Al-Fatâwâ, (al-Qâhirah: Akhbâr Al-Yawm, t.t.), h. 82. Al-wasiat al-wâjibah yang diambil dari 1/3 harta, diberlakukan di Mesir berdasarkan Qânûn al-Wasiat nomor 71 tahun 1946 M, dipraktekkan mulai awal Agustus tahun 1946 M, yaitu cucu laki-laki dan perempuan, atau anak perempuan dari ibu yang meninggal, dan ayah mereka dengan syarat masih hidup bisa memperoleh sebagian harta dengan jalan wasiat yang diambil dari 1/3 harta peninggalan. Lihat Mu`awad `Abd al-Tawwab, Al-Mawsû`ah al-Syâmilah fî al-ahwâl al-Syakhsiyyah, (al-Qâhirah: Maktabah `Âlim al-Fikr wa al-Qânûn linasyr wa al-Tawzî`, t.t) juz 5, cet ke-10, h. 2003. Undang-undang tentang Al-wasiat al-wâjibah di Mesir tampaknya 22
116
Menurut hemat penulis,
keseluruhan bagian perempuan dalam waris tidak
semuanya mencerminkan perbandingan 2:1. Hal ini terbukti dalam bagian laki-laki dan perempuan 2:1 itu ketika mereka sebagai anak. Ketika perempuan menjadi isteri bagiannya seperempat kalau suaminya yang meninggal tidak mempunyai anak, seperdelapan kalau mempunyai anak. Ketika menjadi ibu bagiannya sama dengan bapak, yaitu seperenam apabila
mempunyai anak. Apabila tidak mempunyai anak atau saudara, bagian ibu
sepertiga Ketika menjadi saudara, baik perempuan maupun laki-laki bagiannya sama yaitu seperenam. Disamping itu, pendapat al-Sya`râwî tentang bagian laki-laki dan perempuan 2:1 karena laki-laki memberi nafkah kepada isteri tersebut, tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk menyatakan keadilan Allah., karena bagaimana halnya kalau laki-laki tidak beristeri? Perlu diketahui bahwa al-Sya`râwî dalam menafsirkan ayat 11 dari surat al-Nisâ` masih menggunakan pendekatan konvensional yang tektual, oleh karena itu pertanyaan tersebut tidak dapat terjawab oleh pemikirann al-Sya`râwî di atas. Sebenarnya ayat ini dapat dipahami dalam konteks yang lebih luas dengan melihat lebih jauh terhadap latar belakang kondisi sosiologis masyarakat saat itu. Latar belakang sosio-historisnya adalah, mereka – para perempuan—dalam masyarakat Arab tidak memiliki hak apapun terhadap harta warisan. Bahkan dalam kondisi ekstrim jahiliyah mereka justru menjadi ―harta‖ warisan ketika suami mereka meninggal. Untuk mengubah kondisi itu, al-Qur'an mendobrak tradisi Arab yang sangat diskriminatif itu menuju tatanan masyarakat yang lebih berkeadilan,. dengan memberikan hak kepada perempuan atas warisan setengah dari bagian laki-laki. terinspirasi oleh adanya semangat untuk memposisikan hak laki-laki dan perempuan, khususnya dalam hal hak wirâsah pada tataran yang lebih mendekati keadilan. Menurut hemat penulis, konsep Al-wasiat al-wâjibah dalam konteks Indonesia tersebut sangat memungkinkan untuk dapat diadopsi dalam revisi Kompilasi Hukum Islam sehingga menjadi hukum yang berlaku di Indonesia. 23
Muhammad Mutawalli Al-Sya`râwî, Al-Fatâwâ, op.cit., h. 83.
117
Tentu saja, angka perbandingan 2:1 itu, dengan mempertimbangkan kondisi psikologis masyarakat Arab. Dengan melihat latar belakang itu, ayat tentang pembagian warisan harus dibaca sebagai proses awal menuju kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan, sehingga pada saat yang telah memungkinkan, bukan suatu hal yang bertentangan dengan nas jika perempuan diberikan bagian lebih dari setengah bagian laki-laki. Perempuan mendapat bagian lebih dari setengah bagian laki-laki tersebut, dengan cara musyawarah antara mereka yang mendapat
bagian waris, tetapi apabila yang
mendapat bagian waris itu ada yang belum balig, musyawarah tidak diperkenankan. Perubahan tersebut tidak berarti merubah teks al-Qur`an. 4. Hak Memperoleh Balasan dari Perbuatan Dalam melaksanakan ajaran agama serta balasan yang diberikan, antara kaum lakilaki dan perempuan tidak ada pembedaan. `Abbâs Karârah mengatakan, Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan, bahkan menyamakan kepada semua kaum muslimin yang bermacam jenis dan warna kulit untuk menjalankan kewajiban agama, hak-hak serta balasan.24 Hal tersebut dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur‘an diantaranya sebagai berikut:
―Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman, "Sesumgguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kalian, baik laki-laki maupun perempuan…"(Ali `Imrân/3:195)
24
`Abbâs Karârah, Al-Dîn wa al-Mar`ah, op. cit., h. 164.
118
Sabab al-nuzulnya sebagai berikut: Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Umu Salamah berkata: "Wahai Rasulullah, saya tidak mendengar Allah menyebut khusus tentang perempuan di dalam Al-Qur‘an mengenai peristiwa hijrah." Maka Allah menurunkan ayat tersebut diatas, sebagai penegasan atas pertanyaannya. Diriwayatkan oleh Abdurraraq, Sa`id bin Mansur, al-Turmizî, al-Hâkim, yang bersumber dari Umm Salamah25. Al-Sya`râwî menafsirkan ayat tersebut: ―Allah tidak berfirman
, melainkan menjadikan
dengan menerima amal sebagaimana firman Ayat ini bukan hanya cerita belaka
(pengkabulan) doa, .
tetapi Allah akan memasukkan permintaan-
permintaan dalam kenyataan. Jadi permintaan bukan angan-angan belaka, karena itu Allah memberikan syarat yang jelas bagi orang-orang yang ingin mendapatkan pengkabulan doa, dengan syarat mereka harus beramal‖.26 Hal ini menunjukkan bahwa baik perempuan maupun laki-laki doanya akan dikabulkan oleh Allah, dengan syarat keduanya mau beramal. Senada dengan ayat tersebut yaitu,
25 26
Abî al-Hasan `Alî bin Ahamd al-Wâhidî al-Naisâbûrî, Asbâb al-Nuzûl, op. cit., h.93
Al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya’râwî. Jilid 5, h. 1974.
119
―Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang beriman, maka mereka masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun‖. (Al-Nisa`/4:124) Menurut al-Sya`râwî: ―Kalimat
dan
yang dibarengi dengan kalimat
menghilangkan citra
perempuan tidak termasuk dalam hukum ini, karena sebagian orang berasumsi bahwa perempuan tidak ada kaitannya dengan hukum, sebab kata ganti yang digunakan adalah untuk laki-laki yaitu kata ganti dalam kalimat
, bukan
,
akhirnya dapat disimpulkan, hukum atas sesuatu tetap berlaku bagi kaum perempuan, kendati kata ganti yang disebutkan untuk kaum laki-laki. Hal ini mengindikasikan perempuan memang terangkum dalam sebuah kerangka yang serba tertutup, artinya tidak pernah disebutkan secara eksplisit.‖27 Penulis kurang setuju dengan pendapat tersebut, karena kalimat sebelumnya ada kata
yang
berlaku untuk semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan,
bukan berarti perempuan serba tertutup tidak disebut secara implisit, dengan kata lain, artinya kata
itu khitab untuk laki-laki dan perempuan. Disamping itu al-Sya`râwî tidak
melihat kalau rangkaian ayat ada kata
. Jadi perempuan dan laki-laki yang
menjalankan kebaikan asal beriman akan mendapatkan balasan yang sama yaitu surga. Namun demikian, al-Sya`râwî melanjutkan: ‖Ketika Allah menginginkan adanya penegasan pada hukum dan pemberlakuannya atas laki-laki dan perempuan, maka Dia akan menyebutkan dalam teks ayat sinyalsinyal yang mengarah kepada kedua jenis manusia ini secara eksplisit dan implisit seperti, dalam ayat ini ayat ini berstatus sebagai
27
Ibid., h. 2660.
. Adapun kata
dalam
tab’îdiyyah yang ditekankan kepada bagian dari
120
keseluruhan obyek, karenanya Allah menyebutkan dengan kalimat dan bukan
, karena Dia mengetahui kemampuan
hambaNya, oleh karena itu, manusia hanya dituntut mengerjakan amal kebajikan semampunya.28 Adapun amal kebajikan yang menduduki urutan pertama ialah membiarkan saudaranya untuk terus bergelut dengan amalan baiknya, dalam arti dia tidak mengganggu atau dengki dengan kebajikan saudaranya sendiri yang pada gilirannya akan merusak nuansa amalannya. Derajat kedua dari kebajikan adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas amalan yang sejalan dengan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi, seperti membangun ruangan untuk tempat berteduh, menyiapkan transportasi dan amalan lainnya. Menurut al-Sya`râwî: ―Setiap perbuatan yang membantu kelanjutan hidup manusia dinamakan amal saleh dan pihak-pihak tersebut mendapat balasan dari Allah‖29. Adapun pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara yang menganut paham atheis atau menganut agama politheis, menurut al-Sya`râwî, ―Mereka akan memperoleh balasan dari manusia saja, lain halnya dengan orang-orang mukmin mereka akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah‖.30 Barang siapa yang melakukan satu kebajikan sama dengan menanam sepuluh kebajikan, kemudian pahalanya dilipatgandakan sampai tujuh ratus, ini adalah anugerah dari Allah. Adapun korelasi ayat
(dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun)
dengan penambahan pahala atas amalan saleh adalah untuk menggambarkan bahwa rahmat 28 29
Ibid., h. 2662.
Ibid., h. 2663. 30
Ibid.
121
Allah sangat luas tanpa ada batasan, Allah tidak hanya membalas satu amal kebajikan dengan satu pahala, melainkan melipat gandakan pahalanya menjadi sepuluh kali dan kemudian tujuh ratus kali31 Dalam ayat lain disebutkan,
―Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan‖.(Al-Nahl/16:97) Dalam kaitannya dengan surat al-Nahl ayat 97, Allah menjelaskan kepada manusia sebuah permasalahan yang kontroversial, yaitu memberikan hak yang sama antara perempuan dan laki-laki kaitannya dengan relasi jender. Al-Sya`râwî menjelaskan: ―Potensi laki-laki dan perempuan dalam kebajikan adalah sama. Namun demikian, tidak terlepas dari syarat keimanan sebagaimana yang disinyalir dalam ayat di atas
, sehingga amalan tersebut diterima oleh-Nya dan bermanfaat
bagi kehidupan manusia‖32. Dari pendapat tersebut dapat dilihat bahwa al-Sya`râwî mengakui adanya kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki di dalam beramal asal mereka beriman.
31
Ibid..
32
Ibid., jilid 13, h. 8193
122
Adapun kaitannya dengan kemajuan tehnologi yang dimotori oleh orang-orang non muslim, al-Sya`râwî mengatakan, ―Allah tidak mengurangi eksistensinya, akan tetapi Dia akan membuatnya hancur secara perlahan-lahan dan mereka tidak berhak atas imbalan pahala di akhirat‖33.
Maksudnya Allah membiarkan mereka yang non muslim untuk
berkiprah di atas bumi, tetapi di sisi lain Allah menghukum mereka terutama di akhirat nanti. Adapun balasan bagi yang mengerjakan amal kebajikan dan dia beriman adalah kebahagian di dunia dan akhirat sebagaimana:
34
Jelaslah bahwa balasan amal yang diterima bagi laki-laki dan perempuan adalah sama.
5. Hak Hijâb Sebelum memulai pembahasan tentang hijâb, kiranya penting melihat makna hijâb. Hijâb pada era sekarang biasa digunakan untuk pakaian perempuan. Kata ini memberi makna ‗penutup’. Karena menunjuk kepada suatu alat penutup. Barangkali dapat dikatakan
33
Ibid., 34
Ibid., h. 8194.
123
bahwa, karena melihat asal katanya, maka tidak semua penutup adalah hijâb. Penutup yang dirujuk sebagai hijâb muncul di balik kata tabir.35 Hijâb, oleh para fuqaha atau ahli hukum Islam digunakan sebagai ganti kata satr, dalam arti ‗penutup‘. Kiranya yang terbaik adalah diartikan ‗penutup‘ atau satr. Kewajiban menutup, yang digariskan bagi perempuan dalam Islam, tidak mesti berarti mereka tidak boleh meninggalkan rumah. Islam tidak berkehendak memingit perempuan.36 Sedangkan menurut Qasim Amin hijâb adalah pengungkungan perempuan di rumah, melarangnya bertemu dengan laki-laki yang bukan mahram dan harus menutup seluruh badan.37 Hijab dalam arti seperti itu dipahami dari surat al-Ahzab ayat 53, sebagai berikut:
―…Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka…‖ 35
Murtadha Muthahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, terj. Agus Efendi dan Alwiyah Abd al-Rahman, (Bandung: Mizan, 1990), cet. ke-4, h. 11. 36
37Qasim
Ibid., h. 13.
Amin, Tahrîr al-Mar’ah, (al-Qâhirah: Dâr al-Ma‘ârif, t.t),. h. 80.
124
Dalam tulisan ini yang dimaksud hijâb adalah penutup. Al-Sya‘râwî menegaskan konsekuensi bagi orang yang menganut agama Islam adalah mematuhi hukum-hukumnya, kendati hukum syara‘ dirasakan sangat membatasi ruang geraknya, tetapi yang perlu diingat hukum yang diberlakukan Islam hanya demi kemaslahatan manusia.38 Hukum-hukum Islam merupakan formula yang ditawarkan Allah kepada hambaNya, oleh karena itu manusia dengan kapasitasnya sebagai makhluk ciptaanNya harus mematuhi instruksinya terlepas dari unsur keterpaksaan, adalah hijab salah satu instruksi yang wajib dilakukan oleh kaum perempuan. Hijab menurut al-Sya`râwî, adalah perintah untuk menutupi bagian tubuh perempuan yang tidak boleh diperlihatkan kepada lawan jenisnya. Adapun tujuan diwajibkan memakai hijab bagi perempuan untuk mengantisipasi pelecehan terhadap kaum perempuan dan menciptakan nuansa kehidupan yang sarat dengan ketenangan dan kedamaian terutama bagi perempuan39. Perbedaan tentang makna hijab selain menutupi aurat perempuan, lebih berhubungan dengan faktor-faktor lainnya, seperti budaya, politik, dari pada wahyu Ilahi, isu ini khususnya hijab yang menutup wajah dan kepala perempuan. Menutup wajah adalah praktik yang berawal pada masa pra–Islam, praktek ini memiliki sumber historis dari masa Byzantium Kristen dan India. Dalam dua kebudayaan ini setiap perempuan kaya mengenakan penutup kepala dengan maksud menghindarkan diri
38 39
Al-Sya`râwî, Al-Mar`ah fî al-Qur`ân, (al-Qâhirah:Akhbâr al-Yawm, t,t), h. 47 Ibid.
125
dari orang banyak, selain itu dalam kondisi alam padang pasir yang panas, laki-laki dan perempuan sering menutup wajah, agar terlindung dari debu dan pasir.40 Menurut Qasim Amin, perintah hijab adalah khusus untuk isteri-isteri Nabi, sebab perintah Allah tersebut diikuti dengan sebab hukum, yaitu: Isteri-isteri Nabi itu tidak seperti isteri-isteri orang lain, maka jika hukum itu khusus untuk isteri-isteri Nabi, tidak boleh diterapkan kepada selain mereka. Alasan penolakannya adalah firman Allah: surat al-Ahzab ayat 32 dan 33, sebagai berikut:
―Hai isteri-isteri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan yang lain, jika kalian bertakwa.
Maka
janganlah
kalian
tunduk41
dalam
berbicara,
sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kalian tetap dirumah kalian42 dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu…‖ Hubungannya dengan perintah berhijab, Allah membuat standar hukum yang mengatur cara berinteraksi dan bersosialisasi dengan lawan jenis. 40
Lynn Wilcox, Wanita dan al Qur`ân, terj. Dictia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001) cet ke-1, h. 164.
41Yang
dimaksud dengan ―tunduk‖ di sini ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang untuk bertindak yang tidak baik terhadap mereka. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1411 H), h.672. 42Perintah
ini menurut Al-Qur’an dan terjemahnya meliputi segenap mukminat.
126
Dalam kaitannya dengan tata cara tersebut adalah Allah melarang sikap dan tindak-tanduk yang dapat menganggu stabilitas rumah tangga dan masyarakat, dan memicu munculnya dekadensi moral yang sering terjadi, sebagai imbas dari kesewenangwenangan perempuan dalam melaksanakan perintah Allah untuk berhijab (menutup aurat). Hal ini dikuatkan dengan instruksiNya untuk tidak memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya kecuali kepada mahramnya, sebagaimana yang tersurat dalam al-Qur`an,
―Katakanlah kepada perempuan yang beriman: ―Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali (yang biasa)nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan hendaklah mereka menampakkan
127
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka atau ayah suami mereka atau putera-putera mereka atau putera-putera suami mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka atau putera-putera saudara laki-laki mereka atau perempuanperempuan Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan lakilaki mereka yang tidak memiliki keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung‖.(AlNûr/24:31)
Al-Sya`râwî menafsirkan ayat di atas43 yang memuat pesan bahwa perempuan selayaknya menutupi kepala, leher dan dada.
Mereka yang tersebut dalam ayat di atas adalah mahram bagi perempuan, hanya kepada
mereka
dibolehkan
membiarkan
hiasan
yang
dimilikinya,
karena
tidak
meninggalkan kesan apapun dan tidak menimbulkan gairah untuk melakukan hubungan seksual. Ada hadis dari `Aisyah, Rasulullah bersabda ketika Asma‘ binti Abu Bakar mengenakan pakaian transparan:
43
Al-Sya`râwî menafsirkan ayat tersebut tidak dalam tafsirnya, karena tafsirnya baru sampai surat Banî Isrâîl, tetapi dalam buku karyanya yang berjudul Al-Fatâwâ, (Al-Qâhirah: Maktabah al-Turâs al-Islâmî, t.t.) h. 103.
128
44
―Wahai Asma, apabila perempuan telah mencapai masa-masa menstruasi, tidak layak baginya memperlihatkan bagian tubuhnya kecuali ini dan ini, Rasulullah mengisyaratkan pada bagian wajah dan kedua telapak tangan‖. (H.R.Abû Dâwud)
`Aisyah Umm al-mukminin berkata :
45
―Pada masa Nabi, para perempuan muslimah mengerjakan salat subuh bersama nabi, mereka mengenakan pakaian serba tertutup, usai salat mereka pulang dan tidak mengetahui siapapun yang berada di tempat tersebut‖. (H.R.al-Bukhârî) Adapun perintah Allah lainnya untuk menjaga kehormatan perempuan adalah larangan memakai gelang kaki dengan tujuan untuk menampakkan bagian tubuh yang seharusnya ditutupi, dengan firmannya:
44
Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), jilid 4, h. 62. Al-Imâm Abû ‗Abdillah Muhammad bin Ismâ‘il al-Bukhâri, Sahih Bukharî, (Beirut: Dâr Ibn Kasîr, alYamâmah, 1987), juz 1, cet. ke-3, h. 210.
45
129
Instruksi-instruksi di atas diklaim memasung kebebasan perempuan oleh sebagian orang, kendati pada hakekatnya perintah tersebut merupakan protection bagi perempuan. Andaikata Allah tidak mewajibkan hijab, secara spontanitas perempuan akan mengenakan hijab dengan sendirinya karena fungsi hijab yang sangat dominan guna menjaga kehormatannya. Kisah berikut dapat dijadikan sebagai bahan kontemplasi betapa besar manfaat memakai hijab: ―Alkisah seorang isteri telah mencapai usia pasca masa pubertas46 dan kondisinya agak keriput. Di lain pihak sang suami sangat menjaga penampilannya, secara sepintas dia masih mampu menikah lagi. Kejadian berawal dari cerita ketika sang suami keluar rumah dan secara tiba-tiba mendapati perempuan lain dengan dandanan yang memperlihatkan bagian sensitif tubuhnya, dalam kondisi demikian apa yang akan terjadi? Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, pertama suami bersenang-senang dengan perempuan dan mencampakkan isterinya, kedua suami membandingkan penampilan isterinya dengan perempuan tersebut yang jauh berbeda, akhirnya suami secara perlahan-lahan mulai menjauhi isterinya‖.47
Hal ini tidak perlu terjadi, jika pihak perempuan mengenakan hijâb dan menutupi auratnya, kisah di atas diibaratkan dengan seorang petani yang sedang menjaga
46
Masa pubertas adalah masa remaja dimulai umur 13 tahun dan berakhir umur 20 tahun, tetapi umur tersebut tidak berlaku untuk setiap orang, karena ada yang remajanya mulai lebih awal 11 tahun ada yang lebih akhir yaitu 15 tahun, batasan itu (13-20) adalah batasan umum yang berlaku begi remaja di Indonesia. Lihat Nina Surtiretna, Bimbingan Seks Bagi Remaja, (Bandung: P.T. Remaja Rodakarya, 1997), cet. ke-1, h. 12 47
Al-Sya`râwî, Al-Fatâwâ, op. cit., h. 104
130
tanamannya, namun dia tidak memperhatikan perkembangannya, akhirnya dia melihat perubahan cepat pada tanaman setelah beberapa bulan. Demikian halnya dengan interaksi seorang suami dengan isterinya, di awal pernikahannya suami mendapati isterinya dengan kecantikan paripurna, namun lambat laun persepsi yang demikian akan berubah, terlebih ketika
suami menemui seorang
perempuan yang se usia dengan isterinya dan lebih cantik darinya, suami mulai membanding-bandingkannya dengan isterinya. Oleh karenanya, sebagai langkah antisipatif Allah mewajibkan hijab bagi perempuan, namun sangat disayangkan banyak perempuan tidak menyadari hikmah dibalik perintah berhijab, bahkan tidak sedikit perempuan berasumsi kewajiban ini sangat membatasi gerak langkahnya. Allah juga menegaskan bahwa segala sesuatu di dunia ini adalah perhiasan bagi yang melihatnya, dan tidak ada larangan bagi siapa saja untuk menikmatinya kecuali perempuan. Memandang perempuan bagi laki-laki menurut al-Sya`râwî hukumnya haram dan sebaliknya memandang laki-laki haram bagi perempuan. Kesimpulan ini diambil dari kemutlakan lafaz
dalam ayat di atas. Oleh karenanya Allah berfirman:
―Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ―Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat‖(AlNûr/24:30)
131
Sementara itu ada ketentuan tentang syarat hijab48sebagai berikut: 1.Pakaian yang dikenakan tidak dipermak dengan hiasan yang menimbulkan fitnah 2.Pakaian tersebut tidak transparan, sebagaimana yang disinyalir dalam hadis Nabi:
―Diakhir masa nanti, sebagian perempuan dari umatku bersolek dan memperlihatkan bagian tubuhnya, kepalanya seperti punggung unta, laknatlah mereka, karena mereka layak untuk dilaknat‖ 3.
Pakaian yang dipakai tidak memperlihatkan lekukan tubuh.
4.
Seyogyanya perempuan tidak memakai parfum yang baunya menyengat
5.
Tidak meyerupai pakaian laki-laki
6.
Tidak menyerupai pakaian orang-orang kafir. Akan tetapi hal yang perlu ditekankan dalam tata cara berpakaian adalah seyogyanya pakaian menutup aurat dan seluruh bagian tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan.
Ibid. Bandingkan dengan syarat-syarat jilbab dalam Muhammad Nâsir al-Dîn al-Albânî, Jibab alMar`ah al-Muslimah fî al-Kitâb wa al-Sunnah (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1994), h. 37, yaitu: Menutup seluruh badan, selain wajah dan telapak tangan. Tidak memperlihatkan perhiasan Baju tebal tidak transparan Pakaian tidak sempit Tidak memakai parfum Tidak menyerupai pakaian laki-laki Tidak menyerupai pakaian orang kafir Tidak pakaian selebriti. 48
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
132
Menurut hemat penulis, perempuan harus menjaga dan menutup auratnya, dengan tujuan menghindari mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan, ketika ke luar rumah, baik kerja, belajar ataupun kepentingan lain.
B. Hak Dalam Pernikahan Marital Right atau hak perkawinan, menjadi unsur yang penting dalam masyarakat, karena menyangkut hak pribadi yang berhubungan dengan masyarakat. Kebanyakan masyarakat dan sistem keagamaan memandang perempuan tidak mempunyai hak mandiri dalam masalah perkawinan. 1.
Hak Memilih Pasangan Islam sangat menghormati keberadaan perempuan, dengan
diberinya kebebasan
untuk memilih suami yang cocok baginya. Islam juga melarang wali menikahkan secara paksa anak gadis dan saudara perempuannya dengan orang yang tidak mereka sukai, karena dianggap kedaliman jahiliyah, serta mengakibatkan penderitaan dan kerusakan.49 Al-Qur`an menjelaskan sebagai berikut:
49
Muhammad Rasyid Rida, Panggilan Islam terhadap Wanita, (Bandung: Pustaka, 1986), h. 18
133
―Dan janganlah kalian nikahi perempuan-perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari perempuan musyrik. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik dengan perempuan mukmin, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu…‖(Al-Baqarah/2:221).
Terhadap ayat ini al-Sya`râwî menjelaskan sebagai berikut: ―
adalah merupakan awal batu pertama dalam
membangun keluarga dan masyarakat. Jika isteri bukan orang yang beriman, bagaimana jadinya? mereka akan merasa bangga dalam mendidik anak-anak dengan kemusyrikannya. Sedangkan laki-laki yang berperan sebagai ayah dan pendidik, tidak akan pernah menanamkan nilai-nilai kemusyrikan kepada anaknya pada usia dini. Setelah anak besar berada di pangkuan ayahnya, sementara nilai-nilai kemusyrikan sudah masuk dan menguasai dirinya. Karena itu jangan sampai orang laki-laki mukmin menikahi perempuan musyrik‖.50 Terhadap pendapat tersebut penulis kurang sependapat. Memang benar laki-laki dilarang nikah dengan perempuan musyrik, tetapi pendidik anak ketika masih kecil hanya oleh ibunya, kalau sudah besar pendidiknya adalah ayahnya, penulis tidak setuju, sebab
50
Al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwî, h. 971.
134
pendidik baik anak waktu kecil maupun besar adalah ibu dan ayah secara bersama, jadi tidak hanya dibebankan kepada ibu. Selanjutnya al-Sya`râwî menafsirkan: Ayat ini tidak ditujukan kepada perempuan yang beriman untuk tidak menikahi laki-laki musyrik, tetapi ditujukan kepada para wali perempuan dilarang menikahkan perempuan beriman dengan laki-laki musyrik. Karena laki-laki yang memiliki fungsi sebagai wali, dan perempuan tidak memiliki kekuasaan untuk menikahkan dirinya sendiri. Dalam kaidah syar`iyyah dikenal satu ungkapan
(tidak sah suatu pernikahn tanpa wali). Ungkapan itu tidak
di arahkan kepada perempuan, karena perempuan hanya menerima, sedangkan walinya yang melihat semua sisi persoalan untuk sikap (nikah atau tidak)‖.51
Berikutnya al-Sya`râwî menambahkan: ―Memang benar, wali harus meminta izin kepada perempuan gadis untuk menjamin agar perasaannya tidak tertekan dalam menjalankan perkawinan. Tetapi seorang bapak atau wali al-amri laki-laki memiliki pertimbangan lain yang tidak hanya mengikuti perasaan, tetapi juga pertimbangan yang rasional. Jika dibiarkan perempuan untuk mengikuti pertimbangan perasaan sendiri, maka akan gagallah kehidupan rumah tangga. Oleh karenanya Islam
meminta para walli untuk 51
Ibid., h. 973.
135
bermusyawarah dengan perempuan, agar wali tidak menghadirkan laki-laki yang dibenci perempuan tersebut. Akan tetapi yang berhak menikahkannya perempuan dengan seorang laki-laki adalah tetap walinya. Karena wali memiliki pertimbangan rasional, sosial, dan etis atau moral tidak dapat dilihat oleh seorang perempuan. Terkadang seorang perempuan tertarik kepada seorang pemuda hanya karena kebaikan fisiknya. Tetapi ketika menghadapi masalah-masalah hidup ternyata pemuda itu bukan orang yag cocok dengannya‖.52 Dari pendapat tersebut, terlihat bahwa satu sisi al-Sya`râwî menyatakan ayah atau wali yang menetukan jodoh perempuan,tapi di sisi lain, ayah atau wali seharusnya meminta izin kepada perempuan yang mau menjalankan perkawinan. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa al-Sya`râwî memberikan hak memilih pasangan hidupnya, dan tidak bias jender. Berhubungan dengan ayat tersebut ada hadis yang menjelaskan tentang perempuan berhak memilih pasangan sebagai berikut:
52
Ibid., h. 973.
136
53
―Dari Abî Salamah sesungguhnya Abû Hurairah bercerita, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW mengatakan: ―Seorang janda tidak boleh dikawinkan tanpa diajak dulu bermusyawarah, dan seorang gadis tidak boleh dikawinkan tanpa meminta persetujuannya lebih dahulu‖. Orang-orang lalu bertanya, ―Ya Rasulallah! Bagaimana kami mengetahui bahwa ia memberi izin?‖ Beliau menjawab: ―Sikap diamnya perempuan menunjukkan persetujuannya‖. (H.R.Bukharî) Dengan hadis tersebut, menunjukkan bahwa Islam menghormati hak dan memberi kebebasan perempuan dalam memilih pasangan hidup, yang pada akhirnya ia dapat melangsungkan kehidupan rumah tangganya dengan tenteram dan damai. Sementara ada hadis yang senada dengan tersebut di atas,
54
―`Ata` berkata:‖Ketika `Ali melamar Fatimah, Rasul mendatangi Fatimah dan berkata;‖`Ali melamar kamu, Fatimah diam, maka keluarlah Rasul dan menikahkan Fatimah dengan `Ali.‖ Hal ini menjadi bukti, bahwa dalam praktik Rasulullah SAW sangat menghargai kepada perempuan dalam menentukan suami sebagai pasangan hidupnya.
53
Al-Imâm Abû ‗Abdillah Muhammad bin Ismâ‘il al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhâri, op.cit., juz 5, h. 1974, pada bab lâ yankih al-Ab wa gairuh al-Bikr wa al-Sayb ilâ bi ridâhâ.
54
Abû Basyar Muhammad bin Ahmad bin Hamâd al-Daulâbî, Al-Zurriyah al-Tâhirah al-Nabawiyyah, (Al-Kuwait: Al-Dâr al-Sakafiyyah,1407 H), juz 1, h. 64. Lihat juga Muhammad bin Sa`ad bin Mani` Abû `Abdillah al-Basrî al-Zuhrî, Al-Tabaqât al-Kubrâ, (Beirut: Dâr Sâdir, t.t.), juz 8, h.20.
137
2.
Hak Mendapat Maskawin (Mahar) Konsep tentang maskawin/mahar adalah menjadi bagian yang esensial dalam pernikahan, tanpa maskawin/mahar tidak dinyatakan telah melaksanakan pernikahan dengan benar, maskawin/mahar harus ditetapkan sebelum pelaksanaan pernikahan. maskawin/mahar adalah menjadi hak eksklusif perempuan, perempuan berhak menentukan jumlahnya dan menjadi harta pribadi perempuan. Di sisi lain, al Qur`an memerintahkan kepada laki-laki yang akan menikahi perempuan,
dengan
memberi
maskawin/mahar,
karena
memperoleh
keuntungan
(baca;Kenikmatan). Al-Qur`an menjelaskan sebagai berikut,
―Dan (diharamkan juga kalian mengawini) perempuan yang bersuami, kecuali budakbudak yang kalian miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan harta kalian untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kalian nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
138
(dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kalian terhadap sesuatu yang bagi kalian telah merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana‖(Al-Nisa`/4:24)
Sabab al-nuzul ayat tersebut, dalam riwayat lain dikemukakan bahwa, orang Hadrami membebani kaum laki-laki dalam membayar mahar dengan harapan dapat memberatkannya (sehingga tidak dapat membayar pada waktunya untuk mendapatkan tambahan pembayaran). Maka turunlah ayat tersebut di atas sebagai ketentuan pembayaran mahar atas keridaan kedua pihak.55 Sementara di ayat lain disebutkan,
―Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya‖ Menurut al-Sya`râwî: ―Maksud adalah mahar, adapun adalah pemberian. Apakah sidâq itu pemberian, jawabnya ―tidak‖. Sidâq adalah hak dan ongkos pengganti digunakannya alat kelamin. Tetapi Allah ingin menjelaskan bahwa hendaklah pemberian mahar kepada perempuan seperti nihlah atau pemberian. Laki-laki menikah dengan perempuan bagi laki-laki mendapat kenikmatan pada dirinya, demikian juga perempuan. Keduanya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keturunan. Diharapkan seorang laki-laki tidak mengambil sesuatu dari mahar, karena 55
Abî al-Hasan `Alî bin Ahmad al-Wâhidî al-Naisâburî, Asbâb al-Nuzûl, op.cit., h. 98.
139
perempuan itu akan diambil kenikmatannya dan juga terkadang mendapat anak darinya. Dia akan bekerja di rumah dan laki-laki akan bersusah payah keluar rumah, tetapi pemberian ini ditetapkan oleh Allah untuk memuliakan perempuan.56 Penulis berpendapat, memang benar mahar hak perempuan calon isteri, tetapi bukan berarti memuliakan perempuan, tetapi hal tersebut memang menjadi haknya. Sedangkan perempuan kerja di dalam rumah saja, penulis kurang setuju, perempuan dapat juga kerja di luar rumah karena situasi dan kondisi menghendaki demikian. Sedangkan tentang anak. Anak bukan hanya anaknya laki-laki, tetapi juga perempuanp mempunyai hak mengatur dan memiliki anak, jadi anak adalah anaknya ibu dan bapak. Sementara itu, Murtadha Muthahhari berpendapat dalam bukunya Hak-hak Wanita dalam Islam sebagai berikut: ―Mahar adalah hak milik perempuan itu sendiri, bukan milik ayah atau saudara lakilakinya. Al-Qur`an telah menunjukkan tiga pokok dasar dalam ayat ini. Pertama, mahar disebut dengan saduqah, tidak disebut mahar. Saduqah berasal dari kata sadaq, mahar adalah sidaq atau saduqah karena ia merupakan suatu pertanda kebenaran dan kesungguhan cinta kasih. Kedua, kata ganti hunna/
(orang ketiga jamak feminis)
dalam ayat ini berarti bahwa mahar itu menjadi hak milik perempuan sendiri, bukan hak ayahnya, ibunya atau keluarganya. Ketiga, nihlat /
(dengan sukarela, secara
spontan, tanpa rasa enggan), menjelaskan dengan sempurna bahwa mahar tidak mengandung maksud lain kecuali sebagai pemberian, hadiah.‖57 Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa, perempuan kalau akan nikah berhak mendapat mahar dari calon suaminya, yang tidak ditentukan besar kecilnya, karena disesuaikan dengan kemampuan calon suami.
56
57
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, Jilid 4, h. 2014. Murtadha Muthahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, terj. M. Hashem, (Jakarta: Lentera, 2000), h. 128.
140
Hal demikian juga dijelaskan oleh al-Sya`râwî dalam menafsirkan ayat 241 surat alBaqarah bahwa:― ―Setiap perempuan yang diceraikan suami dalam bentuk apapun juga pasti dan harus mendapatkan hak mut‘ah (pemberian). Hanya saja Allah telah memperincikan pemberian-pemberian tersebut dalam ayat-ayat yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu jika kalian belum menentukan maskawin/mahar, maka berilah isteri kalian sesuai dengan keadaan kalian, yang kaya sesuai dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan yang miskin sesuai dengan kemampuannya. Tetapi jika kalian telah menentukan
maskawin/mahar
dan
memberikannya,
maka
isteri
kalian
mendapatkan seperdua darinya.58 Dari pendapat tersebut, berarti al-Sya`râwî membolehkan laki-laki menikah tetapi mahar belum ditentukan lebih dahulu. Menurut hemat penulis, sebelum nikah laki-laki harus menentukan jumlah mahar terlebih dahulu, meskipun cara membayarnya dengan hutang artinya dibayar nanti, sebab kalau belum menentukan jumlah mahar sebelum nikah, ketika akan cerai ia (suami) tidak mau membayarnya, atau mau membayar tetapi dalam jumlah yang sedikit, karena ia (suami) sudah merasa tidak senang. Maharnya Fatimah binti Rasulullah SAW adalah baju besinya `Ali Karramallah wajhah, karena `Ali tidak memiliki selainnya, lalu ia menjualnya, kemudian diberikan kepada
58
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, Jilid 2, h. 1029.
141
Fatimah sebagai mahar. Ada juga di antara perempuan sahabiyyah yang maharnya berupa cincin besi, ada juga yang maharnya berupa ayat-ayat al-Qur`an yang kemudian diajarkan oleh suaminya59 Dari penjelasan tersebut di atas, maka mahar dianggap sesuatu yang urgen dalam pernikahan, karena mahar menunjukkan keseriusan dan kecintaan calon suami kepada calon isterinya.
3.
Menjadi Isteri Islam bertujuan menciptakan kedamaian dan ketenteraman dalam pernikahan, suami isteri saling membantu. Tidak diragukan lagi, semakin kuat keluarga akan semakin kuat bangsa, karena bangsa terdiri dari kumpulan keluarga.
―Dialah yang menciptakan kalian dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah 59
Muhammad Albar, Wanita Karir dalam Timbangan Islam Kodrat Kewanitaan Emansipasi dan Pelecehan Seksual, terj. Amir Hamzah Fahruddin, (Jakarta; Pustaka Azzam, 1998), h.40.
142
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah ia merasa ringan (sampai beberapa waktu). Kemudian tatkala ia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: ―Sesungguhnya jika engkau memberi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur‖(Al-A`râf /7:189)
Mengenai ayat ini al-Sya`râwî menjelaskan bahwa: ―Perempuan merupakan tempat berteduh bagi laki-laki secara fisik dan emosianal sekaligus, seperti halnya posisi anak yang merupakan bagian dari ayah dan ibu, sehingga akibat ikatan ini tumbuh rasa kasih sayang terhadap anaknya. Perempuan berdasarkan kodratnya senantiasa tertutup, dalam arti kaum perempuan tidak pernah disebutkan dengan terang-terangan, sebagaimana fakta yang terjadi pada masyarakat petani di Mesir, yaitu mereka memanggil isterinya dengan panggilan atau
atau
dan tidak pernah memanggilnya dengan panggilan ―isteriku‖ atau
bahkan nama pasangan hidupnya. Seperti yang disebutkan di atas, bahwa laki-laki merupakan makluk independen dan tidak bergantung kepada perempuan, adapun perempuan adalah seakan (tempat pencari ketenangan) bagi pasangannya, hukum ini berlaku bagi anak cucu Adam dan Hawa, terlebih hukum yang mengindikasikan bahwa Hawa mengandung anak lakilaki dan perempuan. Demikian kondisi yang sangat berat yang dialami perempuan, terkadang kondisi seperti melalaikan tugas utamanya sebagai isteri, yaitu sebagai tempat berlabuh suami. Kalimat
mengandung pesan bahwa perempuan adalah tempat
berteduh dan berlabuh bagi suaminya, kendati demikian tidak benar jika dikatakan perempuan hanya merupakan
bagi suaminya yang selalu bergerak, sehingga
timbul kesan bahwa gerakan dalam sebuah kehidupan hanya dikuasai kaum laki-laki. Kemudian mencari ketenangan pada kaum perempuan dengan penuh kasih sayang,
143
jika perempuan tidak mampu menyuguhkan ketenangan yang dicari laki-laki, maka tidak salah apabila kaum laki-laki mencari ketenangan lain di luar rumah, karena baginya sikap tersebut lebih baik.60 Akhirnya, seakan (tempat mencari ketenangan) adalah tugas utama dan pertama bagi perempuan, apabila tugas ini dilupakan maka ketenangan dan kedamaian dalam rumah tangga akan hilang juga61. Terhadap pendapat tersebut, penulis sangat keberatan, sebab perempuan bukan tempat berteduh dan tempat mencari kedamaian laki-laki, karena perempuan juga hamba Allah yang juga mempunyai aktifitas sendiri dan mempunyai kebebasan dalam bertindak. Laki-laki dan perempuan posisinya sama termasuk dalam rumah tangga, artinya keduanya saling menghargai dan menghormati, serta mempunyai tanggungjawab yang sama Kalaupun bicara masalah berteduh, suami tempat berteduh isteri, demikian juga isteri tempat berteduh bagi suami. Artinya dalam rumah tangga keduanya mempunyai hak yang sama, saling membutuhkan dan saling dibutuhkan. Sementara dalam kitab-kitab klasik yang menjelaskan ajaran Islam seperti tafsir, tidak asing bagi laki-laki digambarkan lebih superior dari kaum perempuan. Ayat al-Qur`an yang dipergunakan sebagai argumen penguatan supremasi tersebut adalah:
60 61
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya’rawi, jilid 8, h. 4513.
Al-Sya`râwî, Al-Mar`ah fî al-Qur`a, op. cit., h. 27.
144
―Kaum laki-laki itu adalah bertanggungjawab bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka, sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara( mereka)…‖(al-Nisa/4:34) Sabab al-nuzul ayat di atas, dalam suatu riwayat dikemukkakan bahwa seorang perempuan mengadu kepada Nabi SAW karena telah ditampar suaminya. Rasul bersabda: "Dia mesti diqisas (dibalas)". Turunlah ayat tersebut di atas sebagai ketentuan dalam mendidik isteri yang menyeleweng. Setelah mendengar penjelasan ayat tersebut, pulanglah ia serta tidak menjalankan qisas. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari alHasan62 Dari riwayat lain dikemukakan bahwa, ada seorang isteri yang mengadu kepada Rasul karena ditampar oleh suaminya (orang Ansar) dan menuntut qisas (balas). Nabi kemudian mengabulkan tuntutan itu. Maka turunlah sebagai teguran kepadanya di atas, sebagai ketentuan pihak suami dalam mendidik isterinya. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari beberapa jalan, yang bersumber dari al-Hasan.63
62 63
Ibid.
Abî al-Hasan `Alî bin Ahmad al-Wâhidî al-Naisâburî, Asbâb al-Nuzûl, op. cit., h. 92.
145
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa seorang Ansar menghadap Rasul bersama isterinya. Isterinya berkata: "Ya Rasulullah ia telah memukul wajahku hingga berbekas". Maka bersabda beliau: "Ia tidak berhak berbuat demikian". Maka turnlah ayat tersebut sebagai ketentuan dalam mendidik isteri. Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari 'Ali.64 Al-Sya`râwî menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: ―Laki-laki bertanggung jawab kepada perempuan‖ pada awalnya sebagian mufassir tidak menafsirkan ayat ini, kecuali tentang seorang laki-laki terhadap isterinya, padahal sesungguhnya ayat ini berbicara tentang laki-laki dan perempuan secara mutlak (umum) bukan hanya laki-laki (suami) kepada isteri, juga bapak bertanggung jawab kepada anak perempuan,
saudara laki-laki kepada saudara
perempuan. Laki-laki itu sebagai penanggung jawab, artinya pemberian tempat yang tinggi, sementara perempuan
berada di rumah, yang demikian itu sebagai suatu
penghormatan atau diberinya tempat yang tidak menjadikan perempuan susah payah. Allah memerintahkan untuk menghormati masalah kauniyah (keadaan alam sebenarnya). Allah adalah Khalik dengan menjadikan segala sesuatu yang terbaik untuk
makhluknya
dan
menjelaskan
qadiyah
Imaniyah.
―Laki-laki
pemimpin/bertanggung jawab atas perempuan‖ kalau ada perbedaan akan dijelaskan perbedaan itu. Apa faktor perbedaannya.
64
Ibid.
146
Perempuan yang takut/khawatir dengan ayat ini, tetapi kalau tidak diberi anak laki-laki ia marah-marah dan ketika ditanya kenapa demikian? ia menjawab saya menginginkan anak laki-laki untuk menjadi penjaga dalam hidup saya.65 Ungkapan Qawwâmûn `alâ al-nisâ`, yakni pemimpin bagi kaum perempuan, mayoritas ahli tafsir menempatkan superioritas laki-laki atas perempuan. Dalam surat tersebut dijelaskan mengapa laki-laki (suami) pemimpin atas perempuan, karena ada dua alasan: 1. Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian kaum perempuan 2. Karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari sebagian hartanya. Terhadap alasan pertama, para mufassir memberikan penjelasan yang dianggap yang bias jender, seperti: Al-Nawawi, menyampaikan superioritas laki-laki atas perempuan, karena laki-laki memiliki kesempurnaan, matang dalam perencanaan, penilaian yang tepat, kelebihan kekuatan dalam amal dan ketaatan. Oleh sebab itu laki-laki diberi tugas istimewa sebagai nabi, imam, wali, menegakkan syiar-syiar, menjadi saksi dalam berbagai masalah, wajib melaksanakan jihad, salat jum`at dan lain sebagainya.66 Al-Tabari mengartikan
dengan : "Penanggung jawab" yang berarti laki-laki
bertanggung jawab mendidik, membimbing isteri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun kepada suaminya.67
65
66Muhamad 67Muhamad.Ibnu
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, jilid 4, h. 2201.
Nawawi al-Jawy, Tafsir Al-Nawâwî , (Beirut: Darul fikr, t.t.), Jilid 1, h. 149.
Jarir Al Tabari, Jami` Al-Bayan fî Tafsîr al-Qur`ân, (Beirut: Darul kutub,1988), juz 14, h.57.
147
Al-Zamakhsyari menekankan bahwa kata itu (
) berarti kaum laki-laki
berkewajiban melaksanakan amar makruf nahi munkar kepada perempuan, sebagaimana penguasa kepada rakyat.68 Sedangkan menurut al-Sya`râwî: ―Qawwâm adalah mubalagah dari
,
itu capai atau payah. Sehingga laki-laki yang
bertanggung jawab kepada perempuan, berarti berusaha untuk memperbaiki kehidupan
perempuan
dengan
susah
payah.
Laki-laki
sebenarnya
hanya
berkepentingan memperbaiki masalah andaikata laki-laki itu baik. Kata
itu umum,
juga kalimat umum, sesuatu yang khusus adalah Allah
memberikan keutamaan kepada sebagian mereka. Keutamaan atau tafdil disini yang dimaksud adalah laki-laki kerja dan berusaha di atas bumi untuk mencari penghidupan. Selanjutnya digunakan untuk mencukupi kehidupan perempuan yang di bawah naungannya.69 Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Qawwâmûn berarti lakilaki sebagai penjaga, penanggung jawab, pemimpin, pendidik kaum perempuan. Padahal penafsiran yang bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sosiokultural waktu tafsir al-Nawâwî, al-Tabarî. Al-Kasysyâf itu dibuat yang sangat merendahkan kedudukan kaum perempuan. Berbeda dengan mufassir terdahulu, sejumlah pemikir kontemporer berusaha menafsirkan, antara lain: a. Menurut Fazlur Rahman, laki-laki adalah bertanggung jawab atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain karena mereka (laki-laki) memberi nafkah dari sebagian hartanya, bukanlah hakiki melainkan fungsional, artinya 68Muhamad
Al Zamakhsyari, al-Kasysyâf I, (Beirut: Darul Kutub,1977), h. 523. 69
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, jilid 4, h. 2202.
148
jika seorang isteri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang.70 b. Aminah Wadud Muhsin, yang sejalan dengan Fazlur Rahman, menyatakan bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki qawâmûn atas perempuan, tidak dimaksudkan superior itu secara otomatis melekat pada setiap laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria AlQur‘an yaitu memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua laki-laki otomatis lebih utama daripada perempuan.71 c. Ashgar Ali Engineer berpendapat bahwa qawwâmûn
disebutkan sebagai pengakuan
bahwa, dalam realitas sejarah kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban, sementara laki-laki menganggap dirinya unggul, karena kekuasaan dan kemampuan mencari dan memmberikannya kepada perempuan. Qawwâmûn merupakan pernyataan kontektual bukan normatif, seandainya al-Qur`an menghendaki laki-laki sebagai qawwâmûn, redaksinya akan menggunakan pernyataan normatif, dan pasti mengikat semua perempuan dan semua keadaan, tetapi alQur`an tidak menghendaki seperti itu.72 Demikianlah diantara berbagai penafsir yang tekstual dan penafsir kontemporer terhadap surat al-Nisa/4:34. Sehingga kalau dihadapkan dengan realitas yang ada, maka yang terlihat sekarang posisi kaum laki-laki atas perempuan bersifat relatif tergantung pada kualitas masing-masing individu.
70Fazlur
Rahman, Mayor Themes of the Quran, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka,1996), h. 72. 71Aminah
72
Wadud Muhsin, Quran and Woman, (Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1992), h. 93.
Ashgar Ali Engineer, Hak-hak perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi, (Yogyakarta: Bentang, 1994), h. 701.
149
Sementara menurut Quraisy Shihab, hak kepemimpinan menurut Al-Qur‘an, dibebankan kepada suami. Pembebanan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu:73 1. Adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga, jika dibandingkan dengan isteri. 2. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada isteri dan anggota keluarganya. Karena suami menjadi pemimpin dalam rumah tangga, maka harus bersikap seperti yang tersebut dalam hadis:
74
―Dari Ali ra. berkata, bahwasannya Rasulullah saw. telah bersabda : Yang terbaik diantara kalian adalah yang lebih baik terhadap keluarganya, dan saya yang lebih baik kepada keluarga saya, tidaklah yang memuliakan perempuan, kecuali orang yang mulia dan tidak menghinakan perempuan kecuali orang yang hina‖. (HR. Ibnu ‗Asakir)‖ Rasulullah SAW menegaskan bahwa seorang isteri memimpin rumah tangga dan bertanggung jawab atas keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat dalam tugas-tugas yang harus dipenuhi, serta peran yang diembannya saat memelihara rumah tangga, baik dari segi kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan menu makanan, maupun pada keseimbangan anggaran, bahkan isteri ikut bertanggung jawab bersama suami untuk menciptakan ketenangan dalam rumah tangga. 73
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2000), h. 310. 74
Abû Isâ Muhammad in Isâ bin Surah, Al-Jami’ al-Sahîh /Sunan al-Turmuzî,, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), juz 3,. h. 11.
150
Pembagian kerja ini tidak membebaskan masing-masing pasangan untuk membantu pasangannya dalam hal yang berkaitan dengan kewajiban masing-masing, seperti Asma` putri Kholifah Abu Bakar dibantu suaminya dalam mengurus rumah tangga, Asma` juga membantu suaminya, antara lain memelihara kuda, menyabit rumput, menanam benih di kebun dan sebagainya. Kekhususan-kekhususan yang diberikan kepada laki-laki tersebut dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih, ketika ayat-ayat tersebut diturunkan. Dalam surat lain disebutkan, yaitu surat Al-Baqarah/2: 228 :
… ―…Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari perempuan (isterinya)…‖ Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas menurut al-Sya`râwî dijelaskan oleh surat al-Nisa 34 yang menyatakan bahwa laki-laki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan (isteri) sebagimana penjelasan di atas. Penulis melihat bahwa, derajat laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Ayat ini berhubungan dengan masalah talak, karena laki-laki berhak menentukan talak, meskipun perempuan juga mempunyai hak, bukan masalah kepemimpinan dalam rumah tangga. Disamping itu kata
pada ayat tersebut menurut Nasaruddin Umar ialah ―Laki-
laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu, karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan. Tuhan tidak mengatakan
151
karena jika demikian, maka secara alami semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan.‖75 Sementara menurut Ibn `Usfûr, para ulama membolehkan kata menjadi
atau
kalau
datang, bukan jenis, kalau
menjadi
menjadi
berarti
berarti
dalam
menunjukkan yang menunjukkan pembatasan.76 Dari
sini menjadi jelas bahwa, laki-laki dalam surat al-Baqarah ayat 228 berarti tidak semua lakilaki, tetapi laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu. Sedangkan menurut Al-Râgib al-Asfihâniy, Namun dapat juga perempuan disebut
menunjukkan arti khusus laki-laki.
apabila dalam sebagian ahwalnya menyerupai
laki-laki.77 Menurut hemat penulis, ayat 34 dari surat al-Nisa` bersifat fungsional, artinya laki-laki bertanggungjawab pada keluarga karena memberi nafaqah, artinya laki-laki yang berfungsi memberi nafaqah. Bagaimana halnya dewasa ini yang kerja dan yang memberi nafaqah adalah isteri atau perempuan, tentu lain lagi masalahnya, artinya perempuan yang ahwalnya menyerupai laki-laki, yang berfungsi menjadi laki-laki dan memberi nafaqah, berarti perempuan yang bertanggungjawab pada keluarga, karena kecenderungan di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, bahkan mengejutkan.
Berdasarkan
hasil
pemetaan
menunjukkan fenomena ulang
yang
dilakukan
yang sangat Kementerian
Pemberdayaan Perempuan bahwa, 60 % perempuan Indonesia harus menghidupi diri sendiri dan keluarganya.78 Melihat kenyataan ini, Sinta Nuriah Abdurahman Wahid
75 76
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur`ân, op. cit., h. 149-150.
Jamal al-Dîn bin Hisyâm al-Ansârî, Mugnî al-Labîb, (Beirut: Dâr al-Kutb al-Islâmiyyah, t.t), h. 49. 77
Al-Râgib al-Asfihâniy, Mu`jam Mufradât Alfâz al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), h. 194. 78
Harian Kompas, Selasa, 4 Juli 2000, h. 10, kol.5-9.
152
berkeyakinan bahwa, de fakto sesungguhnya kaum perempuanlah yang menjadi kepala rumah tangga atau keluarga.79 Kata Qanitât menurut al-Sya`râwî, untuk menggambarkan perempuan yang saleh. Seringkali diartikan dengan ―kepatuhan‖ dan kemudian dihubungkan menjadi isteri patuh terhadap suami. Dalam konteks keseluruhan ayat al-Qur`an, kata ini biasa digunakan untuk laki-laki dan perempuan. Kata ini digunakan untuk menyebut karakteristik kepribadian orang yang beriman kepada Allah. Keduanya cenderung saling kerjasama dan tunduk di hadapan Allah. Hal ini jelas berbeda dari sekedar tunduk atau patuh kepada sesama makhluk.80 Berarti qanitât tidak diartikan perempuan yang menerima pemberian apasaja dari suami, tetapi perempuan dan laki-laki yang taat kepada Allah. Dalam ayat lain dipaparkan,
―Dan jika seorang perempuan khawatir akan nusyûz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kalian bergaul dengan isteri kalian secara baik
79 80
Ibid.
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwi, jilid 4, h. 2202.
153
dan memelihara diri kalian dari (nusyûz dan sikap acuh tak acuh) maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan‖.(Al-Nisa`/4:128) Menurut al-Sya`râwî, Nusyûz dari berasal kata
yang berarti
perselisihan, digunakan bagi laki-laki dan perempuan, ketika dihubungkan dengan ta`at, nusyûz dalam ayat 34 dan 128 surat al-Nisâ` diartikan isteri harus taat dan patuh kepada suami, tetapi karena Al-Qur`an menggunakan kata nusyûz untuk laki-laki dan perempuan, maka tidak dapat diartikan sebagai kepatuhan isteri kepada suami. Al-Sya`râwî menganggap nusyûz
seperti ketika waktu mendengarkan musik,
kemudian menemukan orang membawakan lagu keluar dari nada keteraturan lagu.81 Artinya nusyûz tidak baik dan tidak enak, seperti kalau mendengarkan musik yang tidak sesuai dengan aturan. Sayyid Qutub menjelaskan kata ini merupakan terjadinya ketidakharmonisan dalam suatu
perkawinan.
Dalam
menghadapi
keretakan
dalam
perkawinan
al-Qur`an
merekomendasikan beberapa solusi antara lain: 1. Bantuan penengah 2. Memukul mereka 3. Boleh dipisahkan, dalam kasus yang ektrim, langkah terakhir yang diterapkan. Ada suatu kasus tentang nusyûz yaitu, seorang isteri mengeluh tidak kuat untuk meneruskan bahtera hidupnya dengan suami, karena suami mengidap penyakit hilang ingatan, di awal pernikahan mereka, suami tidak mengidap penyakit apapun, namun akhir-
81
Ibid., h. 2212.
154
akhir ini
suami terserang penyakit hilang ingatan, dan yang lebih tragis dampak dari
penyakit itu sangat mengganggu keharmonisan rumah tangga, yaitu suami sering memukul, terkadang menonjok isteri. Al-Sya‘râwî berpendapat bahwa, dalam kondisi demikian isteri boleh melaporkan dan menyerahkan permasalahan talak kepada hakim. Isteri juga berkata hal seperti ini merupakan a‘ib terselubung82 Menurut hemat penulis, nusyûz
adalah situasi dalam rumah tangga yang karena
sesuatu hal mengganggu keharmonisan rumah tangga. Kalau gangguan tersebut mengakibatkan fatal, seperti suami sakit yang menjadikan tidak dapatnya melakukan hubungan biologis, sementara isteri masih menginginkannya, maka isteri dapat mengajukan talak kepada hakim, dan hakim dalam memutuskan perkara harus arif. Demikian juga sebaliknya,
suami dapat mengajukan talak, artinya suami tidak boleh semena-mena
menjatuhkan talak secara sepihak.
4.
Mendidik dan Memelihara Anak Allah memerintahkan kepada orang tua untuk merawat dan mendidik anak dengan cara yang benar, serta menumpahkan perhatian kepada mereka, untuk menjadikan anak dewasa dengan baik, sehat, kuat dan mandiri.
82
Al-Sya`râwî, Al-Fatâwâ, op.cit., h. 169.
155
Al-Sya`râwî menjelaskan tentang pendidikan dan pemeliharaan anak sebagai berikut, ―Allah mendeskripsikan beban yang sangat berat yang diemban oleh perempuan dalam surat al-Ahqâf /46:15
―…Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan…‖ Ayat di atas menggambarkan bahwa perempuan yang sedang hamil membutuhkan kasih sayang, isteri yang hamil tidak layaknya isteri yang tidak sedang mengandung seorang bayi dalam perutnya, baik dalam tindak-tanduknya, gerakannya dan tata cara menjalani kehidupan ketika menunggu detik-detik kelahiran bayi, justeru ia merasa kecapekan yang lebih, setiap janinnya bergerak ke depan, ia merasakan beban beratnya bertambah.83 Allah menjelaskan hakekat kejadian ini dalam surat al-A’raf/7: 189
―…Maka setelah dicampurinya isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, 83
Al-Sya`râwî menjelaskan tentang mendidik anak ini di dalam kitabnya Al-Mar`ah fi al-Qur`ân, op. cit., h. 23.
156
keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: ―Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur‖ (Al-A`râf/7:189) Menurut al-Sya`râwî, ―Kalimat lain dari
kata
adalah ungkapan
yaitu aktifitas seksual yang dinilai sebagai ungkapan yang sesuai norma
edukatif,
berarti
yaitu ―lapisan untuk menutupi‖. Adapun aktifitas ini bertujuan
untuk kelanjutan hidup manusia dengan munculnya generasi-generasi rabbani sebagai akibat dari proses seksual ini‖84.
―…Dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: ―Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang sempurna tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur‖ Makna
menurut al-Sya`râwî adalah: ―Bahwa janin yang berada dalam
kandungan bergerak sehingga beban janin dirasakan ibu pada masa akhir kehamilan. Pada kesempatan ini calon ayah baru menyadari ia akan memperoleh keturunan, sehingga dengan segera berdoa dengan harapan keturunanya menjadi anak yang saleh dari segi amalan dan segi fisik‖85. Perempuan yang mengandung di awal perjalanannya terasa ringan, namun lambat laun akan merasa beban janin semakin bertambah berat yang menyebabkan kelincahan dalam setiap gerakan semakin berkurang. Hal ini berlangusng beberapa
84 85
Ibid., h. 25
Ibid., h. 27.
157
bulan sampai detik-detik menegangkan tiba, sehingga perlu diketahui perempuan pada dasarnya makhluk yang lemah, Allah berfirman dalam surat Lukman 14:
Allah menciptakan perempuan sebagai hambaNya yang lemah, dalam arti perempuan di waktu hamil merasa lemah, dan perasaan ini semakin dirasakan ketika usia kandungan semakin bertambah, beban ini memang konsekuensi yang harus ditanggung oleh perempuan. Akhirnya apabila beban mencari nafkah dan beban publik ditanggung olehnya jelas akan memberikan tanggungjawab yang kurang sesuai dengan kapasitasnya sebagai perempuan. Terlebih ketika pihak perempuan mengalami kontraksi yang sangat hebat, juga ketika melahirkan, menyusui, mengganti pakaian si bayi, dan menyiapkan makanannya, apabila kondisi demikian dibarengi dengan kesibukan di luar rumah seperti bekerja secara aklamasi dapat dikatakan konsentrasi ibu akan terbagi sehingga ia kurang mampu menjalankan pekerjaannya dengan maksimal.86 Menurut Al-Sya`râwî, polemik peran publik perempuan mengalihkan perhatian dan kasih sayang ibu terhadap anaknya, yang pada gilirannya ia akan tumbuh dalam kondisi psikis yang tidak stabil. Fenomena ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, banyak generasi berkembang dalam kehidupan yang jauh dari kasih sayang ibu dan jauh dari konsep normatif (akhlak). Bahkan survey menyebutkan bahwa: ―Peranan ibu sudah dapat diambilalih oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ditangani oleh pengawas yang berpendidikan. Al-Sya‘râwî berpendapat hasil survey 86
Ibid.
158
tersebut tidak sesuai dengan realita, tidak ada satupun perempuan mampu memberikan seluruh perhatiannya kepada beratus-ratus anak didik, karena jikalau perempuan mencurahkan kasih sayangnya kepada dua atau tiga anak, maka ia akan mengindahkan lainnya. Terlebih kasih sayang seorang ibu adalah perasaan alamiah yang tumbuh karena dorongan perasaan keibuan yang sangat urgen bagi perkembangan anak dan seorang perempuan tidak akan dapat memberi kasih sayang dan perhatian sama dengan yang diberikan oleh ibu kepada anak kandungnya.87 Akhirnya, kesimpulan dari paparan di atas adalah sebaik-baik dan sepintar-pintar seorang pendidik dalam suatu lembaga tidak akan mampu mencurahkan perhatian maksimal sebagaimana perhatian ibu kepada anaknya, namun pasti akan ditemukan sisi kekurangan dalam membagi kasih sayang. Bukti konkritnya adalah ketidakstabilan emosional remaja ketika ia tidak tumbuh dalam nuansa kasih sayang ibu, mereka menjalani kehidupan keras tanpa perasaan kasih sayang, dan perhatian serta tali asih antara anggota keluarga, juga tanpa norma-norma sosial,
sehingga
pada
gilirannya
akan
menumbuhkembangkan
generasi
tidak
berprikemanusiaan dan berperasaan kasih antara sesama.88 Dengan melihat pendapat al-Sya`râwî tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa, al-Sya`râwî menganjurkan ketika seorang ibu hamil itu tidak baik kalau kerja, demikian juga ketika anak masih kecil atau umur balita. Anak tidak baik apabila dititipkan di tempat penitipan. Penulis setuju dengan hal tersebut, apalagi bagi pegawai ada cuti hamil dan cuti melahirkan itu harus dipergunakan sebaik-baiknya. Tetapi ketika anak usia sekolah utamanya, seorang ibu perlu memperhatikan bagaimana anak di sekolah terhadap guru, 87 88
Ibid., h. 21.
Ibid., h. 22.
159
teman, dan pelajaran, atau dengan kata lain bagaimana aktifitas anak terhadap sekolahnya. Dalam hal ini terutama ibu harus tahu dan mengikuti, yang pada akhirnya ibu tidak hanya berpangku tangan di rumah saja, seperti yang disinyalir sebagian orang
, tetapi
yang penting perhatian harus dicurahkan untuk pendidikan anak bukan tempat, soalnya terkadang ada ibu di rumah tetapi sibuk membaca atau di muka komputer, sehingga perhatian berkurang, bahkan justeru tidak ada. Bagi ibu, yang paling dan sangat penting adalah berdoa untuk kesuksesan anak dalam segala bidang, baik yang ada hubungan dengan dunia maupun dengan akhirat. 5. Talak Dalam al-Qur`an talak tidak dianjurkan, tetapi diperlakukan sebagai realitas yang ada dalam kehidupan manusia. Al-Qur`an membolehkan praktik talak, dan menetapkan aturanaturan yang rinci dan spesifik tentang talak. Talak atau perceraian adalah pilihan halal dalam mengatasi perselisihan dalam rumah tangga yang tidak dapat didamaikan. Talak adalah perbuatan yang dimaksudkan untuk melepaskan tali perkawinan, sehingga harus ada niat sungguh-sungguh pada diri suami dan kehendak yang jelas, yaitu menginginkan berpisah dari isterinya, tidak seperti dipahami oleh para fuqaha dalam kitabkitab mereka sebagai pengucapan lafaz talak.89 Secara etimologi kata talak berasal dari kata ―al-ithlaq‖ yang berarti melepaskan ikatan, sedangkan menurut syara‘ adalah melepaskan ikatan perkawinan.90 Para ulama mengklasifikasikan talak dari segi menjatuhkannya menjadi dua macam, yaitu talaq sunni dan talaq bid’i.
89Qasim
90
Amin, Tahrîr al-Mar`ah, op. cit., h. 167.
Al-Asqalani, Fatkhul Bari, Jilid X, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 435
160
Talaq sunni adalah talak yang berkesuaian dengan sunnah rasulullah atau talak yang dijatuhkan suami sesuai petunjuk dalam syari‘at Islam. Seperti talak yang dijatuhkan pada isteri yang sedang hamil, talak yang dijatuhkan kepada isteri yang suci dan belum dicampuri dalam masa suci itu dan talak yang dijatuhkan secara bertahap (dimulai dengan talaq satu, dua dan tiga).91 Sedangkan talaq bid’i adalah talak yang tidak sesuai dengan sunnah rasulullah, seperti talak yang dijatuhkan secara berbilang dalam satu waktu, talak yang dijatuhkan kepada isteri yang sedang haid dan talak yang dijatuhkan kepada isteri pada waktu suci tetapi telah dicampuri.92 Adapun hadis yang mendeskripsikan ketidakbolehan talak bid’i sebagai berikut:
Artinya: ―Hadis Ibnu Umar RA bahwasanya ia menceraikan isterinya yang sedang haid pada masa rasulullah SAW, kemudian Umar bin Khattab menanyakan hal itu kepada rasulullah SAW, kemudian rasulullah SAW bersabda: suruhlah dia untuk ruju‘ kemudian hingga suci, kemudian haid dan suci lagi, kemudian setelah itu ia boleh menahan dan boleh mentalaqnya sebelum menyentuh (bersetubuh), karen aitulah iddah yang diperintahkan oleh Allah dalam mentalaq.‖93 Dalam Islam yang mempunyai hak talak atau cerai tidak hanya laki-laki, perempuanpun mempunyai hak,
dalam istilah fiqh dinamakan khulu`(talah tebus).
Khulu` yaitu talak atau perceraian dengan
91
cara isteri membayar kepada suami.
Kamal Mukhtar, Azas-Azas Hukum Islam tentang perkawinan, h. 170 Ibid., h. 170 93 M. Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu’ wa al-Marjan, jilid II, Terj. Muslih Shobir, (Semarang, Arridlo, 1993), 270
92
161
Hukumnya makruh, tetapi menurut jumhur ulama adalah mubah.94 Rujukan tentang khulu` adalah hadis berikut:
95
―Dari Azhar bin Jamil, dari `Abd al-Wahhâb al-Saqafîy, dari Khalid dari Ikrimah, dari Ibn `Abbâs bahwasanya isteri Sabit bin Qais mendatangi Rasulullah SAW lalu berkata: Ya Rasul, saya tidak mencela suami saya tentang perilaku atau agamanya, tetapi saya tidak mau menjadi kafir dalam keislaman karena ingkar terhadapnya, sebab hati saya benar-benar tidak dapat menyukainya.‖ Maka Rasul menjawabnya: ―Apakah kamu mau mengembalikan kebun maskawinnya itu? Tidak menjadi masalah ya Rasul, jawab si perempuan itu. Lalu dipanggillah Sabit dan Rasulullah berkata: ―Terimalah kembali kebunmu dan ceraikanlah isterimu‖ ( HR Bukhari)
94Zainuddin
95
bin Abdul Aziz al-Mulaibary, Fath al-Mu`în bi Syarh Qurrat al-`Ain (Surabaya:alHidâyah.t.t.), h. 16.
Al-Imâm Abû ‗Abdillah Muhammad bin Ismâ`il al-Bukhârî, Sahih Bukhârî, (Beirut: Dâr wa Mathabi` al-Sya`b, t.t),. Lihat hadis No. 4867 dalam CD al-Bayân.
162
Al-Qur`an tidak menganjurkan perceraian, tetapi karena hal itu merupakan realitas dalam kehidupan manusia, maka al-Qur`an membolehkan praktik perceraian, dan menetapkan aturan-aturan yang rinci.Q.S.Al-Nisa`/4:35,
―Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan diantara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberikan taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal‖
Al-Sya`râwî mengatakan bahwa: ―Mayoritas ulama berpendapat mukhâtab (obyek yang dituju) dalam kalimat para hakim. Adapun
terdiri atas satu orang dari pihak keluarga suami dan satu
orang dari pihak keluarga isteri yang diakui keseharian dengan sifat adil dan dewasa. Hal ini lebih disebabkan oleh interaksi keluarga yang dapat memberi kontribusi lebih tentang karakter pasangan suami dan isteri. Apabila tidak ditemukan orang yang memenuhi persyaratan di atas dari kedua keluarga tersebut, maka adalah kewajiban bagi hakim untuk mengutus dua orang adil dan alim guna menyelesaikan persengketaan antara suami dan isteri dan mengambil jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.
Kemudian Al-Sya`râwî menambahkan:
163
―Makna syiqâq. Syiqâq berasal al-syaqq, artinya menjauhkan sesuatu dari sesuatu yang lain. Dan difahami bahwa hakam adalah orang yang mendamaikan antara suami isteri. Apabila mereka tidak percaya dengan hukum, maka suami isteri tetap berada dalam keadaan syiqâq, tetapi tidak demikian, kemudian dipilih hakam dari pihak sini dan hakam dari pihak sana dengan tujuan untuk mendamaikan. Jadi tugas yang paling utama dari hakam adalah mendamaikan. Bagi hakamain harus masuk dalam persoalan syiqâq dengan niat islah.96 Dari sini jelaslah bahwa, al-Sya`râwî menganjurkan jangan sampai terjadi perceraian, dengan cara islah. Tetapi kalau terpaksa tidak dapat didamaikan, maka solusi terakhir adalah perceraian. Al-Sya‘râwî menegaskan: ―Jikalau seseorang yang berhasrat untuk menyempurnakan diennya menggunakan standar yang ditetapkan Islam, maka sinyal-sinyal perceraian tidak akan muncul, kendati demikian mengharamkan kebolehan mentalak isteri sebagaimana disebutkan dalam al-Qur‘an sebagai langkah terakhir dalam menanggulangi persengketaan yang tidak bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah, akan bertentangan dengan manhaj (sistem) yang ditentukan Allah dan akan mengikis ajaran-ajaran Islam secara perlahan-lahan97. Menyangkut perceraian, laki-laki mempunyai hak dan perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya, akan tetapi, laki-laki mempunyai satu tingkat
96 97
Al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwî, jilid 4, h. 2211.
Al-Sya`râwî, Al Mar`ah fî al-Qur`ân, op. cit., h. 28.
164
kelebihan dibanding perempuan, Q.S.Al-Baqarah 228, kelebihan laki-laki ada kemungkinan karena bertanggungjawab menafkahi perempuan.98 Sedangkan menurut Muhammad Baltaji dalam Makânat al-Mar’ah fî al- Qur’ân al-Karîm wa al-Sunnah al-Sahîhah, Islam memberi hak talak kepada laki-laki secara mutlak. Hal ini disebabkan
oleh
dua
dalih.
Pertama
karakter
laki-laki
yang
lebih
cenderung
mempergunakan teori akal dibanding dengan frekuensi penggunaan akal pada perempuan dalam
skala
mayoritas,
perempuan
dalam
tataran
praktik
selalu
menyelesaikan
permasalahan dengan permainan perasaan, oleh karena itu Islam tidak memberikannya hak untuk mencerai, sebab jika dia mendapat hak untuk mencerai dikawatirkan sering melontarkan kata-kata cerai yang berdampak negatif bagi keharmonisan rumah tangga. Kedua, suami bertanggungjawab atas kelangsungan rumah tangga seperti maskawin/mahar dan nafkah, maka dapat dikatakan laki-laki akan merugi jika talak disahkan, oleh karena itu laki-laki akan berpikir panjang ketika alternatif solusi guna menyelesaikan problem rumah tangga selain talak dengan tidak dapat dijangkau.99 Hal tersebut dianggap sebagai indikasi ketidakadilan, yakni laki-laki mempunyai kekuasaan untuk menjatuhkan cerai atau talak. Pertimbangan cerai ini sudah jelas dipandang dari sudut praktek di masa turunnya wahyu, bukan hanya untuk perkawinan orang muslim. Tidak ada sepihak untuk menjatuhkan cerai
98
99
itu
indikasi bahwa hak
perlu
Lynn Wilcox, Wanita & al-Qur`ân Dalam Perspektif Sufi, terj. Dicita, op. cit., h.132.
Muhammad Baltaji, Makânat al-Mar’ah fî al- Qur’ân al-Karîm wa al-Sunnah al-Sahîhah, (al-Qâhirah: Dâr al-Salâm, 1420H/2000M), cet.ke-1, h. 115.
165
dilanjutkan, kalaupun dilanjutkan, hal itu hanya perlu untuk pihak suami, 100 karena perempuan dalam perkawinan tidak menjadi subyek, tetapi patner yang memiliki kehendak penuh, terbukti dengan masalah rujuk dengan mengadakan perdamaian. Banyak ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan tentang talak, diantaranya:
―…Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.‖(Al-Nisa`/4:19)
Memahami surat al-Nisâ` ayat 19, yang khitabnya kepada laki-laki, yaitu apabila laki-laki tidak menyukai, dapat juga difahami kalau isteri tidak menyukai. Sementara itu Qasim Amin menuntut supaya isteri diberi hak cerai, disamping itu, Qasim Amin mengajukan beberapa aturan yang harus diterapkan oleh penguasa atau orang yang berwenang dalam masalah talak demi kebaikan umat, sebagai berikut: 1.
Setiap suami yang hendak menalak isterinya, harus datang ke hakim agama atau
orang yang berwenang pada suatu daerah untuk memberitahukan terjadinya syiqaq (perselisihan) antara dia dengan isterinya.
100
This consideration of repudiation is clear in view of the practices as they existed at the time of revelation, and not only for muslim marriages. Theres is no indication that the unilateral right to repudiation needs be continued, or if continued, that it need be only for the husband. Lihat Amina Wadud Muhsin, Qur`an and Woman, (Kuala Lumpur: Fajar Bakti SDN. BHD, 1992), h. 80.
166
2.
Bagi hakim agama atau orang yang berwenang hendaknya menasehati suami itu
dengan apa yang ada dalam Al-Qur‘an dan al-Sunnah bahwa talak itu sangat dibenci oleh Allah, kemudian memerintahkan berfikir selama satu minggu. 3.
Jika suami setelah satu minggu tetap pada niatnya untuk mentalak isterinya maka
bagi hakim agama atau orang yang berwenang mencari hakam (juru damai) dari pihak suami dan pihak isteri atau dua orang yang adil dari kedua belah pihak apabila tidak ditemukan keluarga untuk memperbaiki hubungan suami-isteri itu. 4.
Jika kedua hakam
tidak berhasil mendamaikan suami-isteri tersebut, maka
keduanya maju ke hakim atau orang yang berwenang, dan pada saat inilah hakim atau orang yang berwenang dibolehkan mengabulkan talak yang diinginkan suami. 5.
Talak tidak sah kecuali di depan hakim agama atau orang yang berwenang disertai
dua orang saksi, dan penetapan keputusannya dengan surat resmi 101.
Hal ini juga bermanfaat untuk memperkecil angka talak dan mengurangi kerusakan akhlak yang ditimbulkan dari para suami yang dengan seenaknya makan, minum, bersenang-senang, tertawa dan mabuk, sedangkan isterinya tinggal di rumah saja tanpa mengetahui keadaan suami di luar dengan sahabat-sahabatnya. Sebab keluarga yang di dalamnya ada suami isteri, menjadi dasar kemunculan suatu masyarakat yang baik, isteri atau perempuan sangat berperan dalam mewujudkan keluarga yang baik. Dengan demikian pada dasarnya perempuan merupakan ‗jantung‘ dari problemproblem sosial yang muncul. Sementara
Wahbah
al-Zuhailiy
berpendapat
bahwa,
seorang
isteri
berhak
mengajukan talak, karena ada sebab sebagai berikut:
101
Qasim Amin, Tahrîr Mar`ah, op. cit., h.181-182.
167
1. Suami tidak mampu memberi nafkah, tidak mencukupi
sandang, pangan, papan,
kesehatan yang diperlukan bagi kehidupannya. Jika isteri tidak dapat menerima keadaan ini, maka ia dapat meminta suami untuk menceraikannya. Adapun kalau suami menolak, pengadilan yang akan menceraikannya. 2. Suami cacat, yang menyebabkan tidak dapat memenuhi nafkah batin, misalnya impoten, atau putus alat vitalnya. 3. Suami bertindak kasar, misalnya suka memukul 4. Kepergian suami dalam waktu yang relatif lama, tidak pernah berada di rumah. Bahkan Imam Malik tidak membedakan apakah kepergian itu mencari ilmu, bisnis, atau yang lain, kalau isteri tidak mau menerimanya. 5. Suami dalam status tahanan atau kurungan, jika isteri tidak dapat menerima keadaan tersebut, maka secara hukum dapat mengajukan masalahnya ke pengadilan untuk diceraikan102. Ada beberapa ayat yang menjelaskan tentang talak, di antaranya;
―Apabila kalian mentalak isteri-isteri kalian, lalu mereka mendekati akhir iddahnya maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kalian rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kalian menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, 102
Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh al-Islâmî wa `Adillatuh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 728.
168
maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah nikmat Allah pada kalian, dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kalian yaitu al-Kitab (al-Qur‘an) dan alHikmah (al-Sunnah). Allah memberikan pengajaran dengan apa yang diturunkanNya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu‖(Al-Baqarah/2:232)
―Apabila kalian mentalak isteri-isteri kalian, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kalian (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf…‖(Al-Baqarah/2:232)
Sabab al-nuzul ayat-ayat tersebut: ―Dalam satu riwayat ada seorang laki-laki yang menceraikan isterinya, kemudian merujuknya sebelum habis masa iddahnya, kemudian menceraikannya lagi dengan maksud menyusahkan dan mengikat isterinya agar tidak dapat kawin dengan yang lain. Maka turunlah ayat tersebut di atas. Diriwayatkan dari Ibnu jarir dari al-'Aufi yang bersumber dari Ibnu 'Abbas. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat ini berkenannan dengan Sabit bin Yasar al-Ansari yang menalak isterinya. Tetapi setelah hampir habis masa iddahnya, ia merujuknya lagi, kemudian mencerainya lagi dengna maksud untuk menyakiti
169
isterinya. Diriwayatkan oleh Ibnu jarir yang bersumber dari al-Suddi. Dalam riwayat lain disebutkan pula bahwa, seorang laki-laki menceraikan isterinya sembari berkata: "Sebenarnya aku hanya main-main saja." Kemudian ia memerdekakan hambanya, tetapi kemudian ia berkata: "Aku hanya main-main saja." Maka turunlah ayat tersebut sebagai teguran atas perbuatan tersebut. Diriwaytkan oleh Ibnu Abi Umar di dalam Musnadnya yang bersumber dari abu Darda' 103
Pendapat al-Sya`râwî, ―Kedua ayat ini sama-sama didahului oleh kalimat , hanya berbeda ayat pertama dilanjutkan dengan kalimat sedang ayat kedua dilanjutkan dengan kalimat apakah rahasia perbedaan antara kedua ayat ini?‖104 Al-Sya`râwî mengatakan bahwa: ―Al-bulug, mempunyai dua makna. Pertama, al-bulug berarti dekat dan kedua berarti sampai yang sebenar-benarnya dan nyata. Dalam ayat pertama suami mentalak isterinya tapi masa ‘iddahnya belum habis. Masa ‘iddahnya mendekati penghabisan hingga memungkinkan suami untuk menceraikannya atau merujuknya dengan baik. Hikmahnya adalah bahwa, Allah berkehendak agar suami tetap berpegang teguh pada ikatan perkawinan hingga akhir kesempatan. Adapun pada ayat kedua Allah menghendaki agar pembicaraan tentang sebab-sebab perceraian atau kelanjutan meneruskan bahtera kehidupan rumah tangga hanya khusus antara suami dan isteri saja. Sedangkan pihak luar dilarang ikut campur walaupun itu ibu, bapak ataupun saudara‖105. Menurut al-Sya`râwî: 103 104
105
.
Abî al-Hasan `Alî bin Ahmad al-Wâhidî al-Naisâburî, Asbâb al-Nuzûl, op.cit., h. 42.
Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, jilid 2, h. 1002. Ibid.
170
―Al-bulug‖ di ayat kedua ini mempunyai arti sampai atau habis masa iddah. Jadi maksud ayat ini adalah jika masa iddah telah habis, suami belum bisa memanfaatkan kesempatan-kesempatan merujuk talak dan ia juga tidak mempunyai hak untuk mencampuri isterinya kecuali setelah akad dan mahar yang kedua-duanya baru, maka para kerabat, wali atau siapa saja yang berkepentingan dengan kemaslahatan mereka berdua hendaklah jangan melarang isteri untuk menikahi suami yang telah mentalaknya jika mereka berdua sama-sama rela dan ikhlas untuk kembali lagi dalam ikatan perkawinan‖106.
Dan disinilah hikmah disyari‘atkan untuk menjadikan talak sekali dan talak dua kali bagi suami yang tidak berhasil pada talak pertama. Allah Yang Maha Tahu atas jiwa-jiwa manusia menjadikan demikian adalah untuk memberikan beberapa kesempatan bagi siapa yang melakukan kesalahan pada kesempatan pertama agar supaya tidak melakukan kesalahan lagi pada kesempatan kedua, sehingga tidak sah dan tidak boleh seseorang pun menghalangi kembalinya kehidupan rumah tangga yang baru bagi suami isteri yang berpisah. Allah menisbahkan nikah pada isteri dalam firman Allah
adalah
untuk menunjukkan adanya keharusan rela isteri untuk kembali ke pangkuan suami, disebabkan tidak mungkin suami yang menalak isteri lebih dahulu, kemudian isteri tidak diberi hak pendapat untuk kembali,
selama mereka berdua saling
rela dan saling memandang bahwa kembali adalah suatu tindakan yang lebih utama.107 adalah jawaban bagi orang-orang yang mempertanyakan mengapa Allah melarang para kerabat dan orang lain menolak kehendak suami isteri menjalin ikatan
106 107
Ibid.
Ibid., h.1003.
171
keluarga kembali? Dijawab oleh Allah, ―Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui bahwa kembalinya kehidupan rumah tangga suami isteri adalah sesuatu yang lebih suci dan bersih‖.108 Sementara di ayat lain disebutkan:
―Jika kalian menceraikan isteri-isteri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal kalian sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kalian tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah…‖(Al-Baqarah/2:237)
Al-Sya`râwî memperhatikan bahwa ayat-ayat sebelumnya telah membicarakan tentang talak bagi isteri yang digauli atau isteri yang telah digauli suami kemudian ditinggal mati. Akan tetapi bisa jadi ada peristiwa talak terhadap isteri yang belum digauli dan ia ada dua golongan, yakni isteri yang belum diberi mahar oleh suami dan isteri yang sudah diberi mahar. Dalam ayat ini Allah menjelaskan hukum lain, yaitu jika kalian mentalak isteri yang belum mencampurinya,
sedangkan kalian telah
menentukan nilai mahar, maka isteri hendaklah menerima
setengah dari
keseluruhan mahar. Kecuali kalau isteri memaafkan, maka suami dibebaskan dari membayar yang seperdua. Sedangkan kalau suami yang memaafkan, maka ia membayar seluruh mahar.
108
Ibid., h. 1004.
172
Kemudian perlu diketahui bahwa ada perbedaan antara menghukum dengan hukum keadilan dan menghukum dengan hukum keutamaan. Supaya menjadi jelas al-Sya`râwî ceritakan sebuah peristiwa: ―Datang dua orang kepada seorang hakim guna meminta untuk dihakimi, mereka berdua bertanya,‖Hakimilah kami berdua dengan adil‖. Hakim berkata, ―Maukah kamu jika aku menghakimi dengan adil? Atau dengan sesuatu yang lebih baik dari keadilan? Mereka menjawab, Adakah sesuatu yang lebih baik dari keadilan? Jawab hakim: Ada, yaitu keutamaan. Sesungguhnya adil adalah memberikan setiap hak kepada orang yang berhak memilikinya, sementara keutamaan adalah menjadikan yang berhak melepaskan dengan rela seluruh haknya atau sebagian darinya.109
Di sinilah hikmah dan rahasia firman Allah
, keadilan mungkin
menjadikan hukuman yang memberatkan dan mengabadikan orang-orang yang benci dalam kebenciannya. Sedangkan keutamaan adalah menjauhkan dan menghilangkan kebencian, permusuhan dan kedengkian.110 Talak isteri yang belum digauli mempunyai dua hukum. Yaitu yang telah diberi mahar dan yang belum diberi mahar. Di sini seakan-akan pembayaran mahar bukanlah syarat nikah. Akan tetapi telah ditetapkan bahwa jika suami menikahi isteri dan belum membayar mahar, tetapi telah menentukan/menyebutkan bentuk dan harga mahar, maka akadnya menjadi sah, sebagaimana dalil Allah:
109
Ibid., h. 1018. 110
Ibid., h. 1019.
173
―Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan isteriisteri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kalain menentukan mahanya. Dan hendaklah kalian menentukan mahanya. Dan hendaklah kalian berikan mut`ah (pemberian) kepada mereka, orang yang mampu menurut kemampuannya,
orang
yang
miskin
menurut
kemampuannya
(pula)…‖(Al-
Baqarah/2:262)
yang seakan-akan artinya Allah berfirman bahwa tidak ada dosa bagi kalian jika menalak isteri, sedangkan kalian belum menggaulinya, dan kalian telah memberikan kepadanya mahar (maskawin) atau belum memberikan kepadanya mahar 111. Firman Allah
dalam ayat ini menunjukkan
suatu hukum bahwa jika kalian mentalak isteri sebelum digauli/dicampuri dan kalian belum menentukan mahar, maka berikanlah kepadanya mut‘ah (pemberian). Dan mut‘ah itu harus sesuai dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan jika miskin, maka ia harus memberikan sesuai kemampuan112. Dalam ayat lain disebutkan,
111
Ibid., h. 1016-1017. 112
Ibid., h. 1018.
174
―Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali dari sesuatu yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah…‖(Al-Baqarah/2:229)
Al-Sya`râwî menafsirkan
adalah:
―Dua kali yaitu sekali dan sekali. Jika dikatakan bagaimana talak menjadi dua kali, sedang dikatakannya tiga kali? Pertanyaan ini sesuai dengan apa yang ditanyakan kepada Rsulullah, ―Wahai Rasul, Allah berfirman: ―Talak adalah dua kali‖ maka mengapa kemudian menjadi tiga kali? Rasul menjawab sambil tersenyum, ―Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik‖. Seakan-akan makna
adalah bahwa kamu hanya mempunyai hak untuk
memilih antara dua talak, sedangkan talak ketiga, tidak dan kenapa?. Karena setelah talak ketiga akan menjadi talak bain besar, dimana isteri harus menjadi milik orang lain sebagaimana terdapat pada ayat selanjutnya
, hingga ia (isteri)
kawin dengan laki-laki lain.113
Al-Sya`râwî menambahkan:
―Ayat
, ―Tidak halal bagi
kalian mengambil sesuatu yang telah kalian berikan kepada mereka‖. Demikian ini dikarenakan suami wajib membayar mahar sebagai konsekwensi dari menikmati kelamin isterinya. Kemudian jika terjadi talak maka tidak halal bagi yang menceraikan 113
Ibid., h. 990.
175
untuk mengambil sedikitpun dari maharnya tersebut. Akan tetapi Allah memberikan pengecualian
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan isteri untuk menebus dirinya. Dalam ayat ini Allah seakanakan hendak memberikan jalan keluar bagi isteri jika suami menginginkan kemudaratan terjadi padanya, sedang ia (isteri) tidak menerima kemudaratan ini. Sehingga Allah mensyari‘atkan: Selama
mereka berdua khawatir tidak bisa
menjalankan hukum-hukum Allah, maka diizinkan
bagi isteri untuk menebus
dirinya dengan harta. Inilah yang dinamakan dengan khulu’, yaitu seorang isteri menebus dirinya dari suaminya yang dikhawatirkan ia tidak dapat melakukan hak suami dalam hubungan suami isteri.114
Menurut hemat penulis, talak dapat mengakibatkan banyak anak-anak terlantar karena tidak
ada yang mengurus atau paling tidak, kurang yang
bertanggung jawab, sehingga
mengurusi/yang
talak itu harus dipandang sebagai sesuatu yang harus
dihindari. Kehendak talak pada asalnya datang dari pihak suami dan tanpa ada biaya, tetapi kalau kehendak dari isteri, maka isteri harus mengeluarkan biaya untuk membayar kepada suami agar mau menalak atau menceraikannya.
6. Masa `Iddah Perempuan yang cerai dengan suaminya atau ditinggal mati, harus melaksanakan `iddah. 114
Ibid., h 991-1002.
176
`Iddah adalah rentang waktu yang harus dijalani oleh seorang perempuan yang cerai hidup atau cerai mati, sebelum ia diperbolehkan menikah lagi. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan keturunan dari kemungkinan terjadi kandungan perempuan, khususnya dalam kasus `iddah cerai, ia dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan terjadinya ruju` (penyatuan kembali suami isteri yang telah bercerai sebelum habis masa `Iddah) .115 Dan sistem masa ‘iddah mempunyai empat keadaan: 1.Jika perempuan itu tidak hamil sedang ia termasuk perempuan yang masih haid, maka masa ‘iddahnya adalah tiga qurû‘ (suci). 2.Jika perempuan itu hamil maka ‘iddahnya sampai ia melahirkan. 3.Jika perempuan itu tidak hamil sedang ia sudah memasuki/menopause dan tidak lagi bisa haid atau ia masih kecil belum haid, maka ‘iddahnya tiga bulan. 4.Perempuan yang ditinggal mati `iddahnya empat bulan sepuluh hari. Al-Qur`an mengatur tentang `iddah dengan ayat-ayat sebagai berikut:
115
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, terj. Ghufran A. Mas`adi (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada,1999), Cet. ke-2, h. 159.
177
―Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurû`. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang ada di dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka itu (para suami)menghendaki islâh. Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’rûf. Akan tetapi para suami mempunyai satu kelebihan tingkatan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana‖(Al-Baqarah?2:228)
Menurut al-Sya`râwî, ayat ini mencakup beberapa hukum taklifiyyah: “Pertama
Hukum ini datang dengan sigat khabar
bukan amr (perintah). Demikian ini lebih kuat dan lebih cocok dengan kenyataan masalah. Sebab Allah ketika memerintah, maka perintah tersebut membutuhkan pelaksanaan setiap segi-seginya hingga menjadi suatu totalitas, bukan pembebanan yang diminta. Dan selama perintah tersebut menjadi realitas, maka permaslahan itu sekan-akan masih menjadi syari‘ah yang diriwayatkan yaitu ―perempuan-perempuan yang diceraikan menunggu diri mereka selama tiga qurû‘‖. Maksud qurû‘ dapat berarti haid atau suci. Akan tetapi suci lebih kuat, karena lafaz telah diketahui bahwa sedangkan haid Kedua
dengan . Dan
pada huruf Arab menunjukkan muzakkar bukan mu’annas, ‖ itu mu’annas dan suci
adalah muzakkar.116 menunjukkan bahwa perempuanlah
yang paling berhak bersaksi atas dirinya dari pada orang lain dalam hal memutuskan 116
Ibid., h. 983.
178
apakah ia hamil atau tidak. Dan sebagai konsekwensinya ia tidak boleh menyembunyikannya. Adapun hikmah dilarangnya perempuan menyembunyikan sesuatu yang ada di rahimnya dalam ayat ini adalah: a.Agar jangan sampai perempuan mengaku tidak hamil, lalu nikah dengan laki-laki lain dan menisbahkan anaknya yang bukan hasil dari suami keduanya, hingga akan menimbulkan lebih banyak problem, diantaranya anak tersebut tidak mewarisi dari bapak pertama, yang sebenarnya menjadi mahramnya tidak lagi menjadi mahramnya, dan lain-lain. b.Adapun dari pihak bapak kedua, maka anak tersebut memperoleh warisan yang sebenarnya bukan menjadi haknya, dan lain-lain. Disamping
perempuan
itu
dilarang
menyembunyikannya,
ia
juga
dilarang
menyembunyikan haidnya agar masa ‘iddah dengan suaminya menjadi panjang.117 Ketiga
al-Ba’i artinya suami atau tuan, majikan. Namun
maksudnya adalah dalam masa-masa penantian/’iddah yang berhak merujuk atau mengembalikan isterinya dalam pangkuan suaminya adalah
suami itu sendiri.
Sehingga ketika itu tidak ada hak selain milik suaminya. Adapun isteri dan walinya tidak berhak untuk mengatakan ―tidak‖. Makanya jika seorang suami ingin merujuk kembali isterinya, sedang ia menolak maka wajib dikedepankan keinginan suami daripada keinginan isteri. Demikian ini dikarenakan suami lebih berhak dari isteri. Akan tetapi jika masa ‘iddah telah habis maka yang terjadi adalah sebaliknya wali isteri lebih berhak atas persetujuan isteri untuk mengadakan akad dan mahar yang kedua-duanya baru. demikian ini terjadi apabila semua pihak sama-sama menginginkan perbaikan. Dan keinginan adalah suatu tindakan yang 117
Ibid.
179
bersifat gaib, karenanya ia seakan-akan merupakan ancaman bagi pasangan suami isteri. Sesungguhnya syari‘at membolehkan bagi mereka untuk kembali, tetapi jika suami ingin merujuknya agar isterinya terkena suatu kemudaratan, maka agama melarangnya walaupun pengadilan hukum membolehkannya.118
Penulis berpendapat, untuk rujuk kembali, baik suami maupun isteri harus sama rela, tidak ada
salah satu pihak yang dikedepankan dan diutamakan, karena rumah tangga
dibangun dan dijalankan bersama antara suami dan isteri.
Keempat
artinya isteri dan suami mempunyai kesamaan
yaitu kesamaan dalam genus. Tiap-tiap dari mereka mempunyai hak sama sesuai dengan tabiatnya. Seorang suami harus memberikan bantuan dan pertolongan untuk kepentingan isterinya dan juga sebaliknya isteri harus memberikan bantuan untuk kepentingan suaminya, sebab kehidupan keluarga harus terbentuk berdasarkan pembagian tugas. Suami harus menjalankan tanggungjawab suami dengan tabiatnya sebagai laki-laki, demikian juga isteri harus menjalankan tanggungjawabnya dengan tabiatnya sebagai seorang perempuan dan lain-lain.119 Penulis setuju dengan pendapat tersebut, memang pada dasarnya ketentraman rumah tangga dapat tercapai, kalau anggota keluarga mengerti hak dan kewajiban masing-masing, terutama suami dan isteri. Sabab al-nuzûl, Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Asma` binti yazîd bin alSakan al-Ansâriyyah berkata mengenai turunnya ayat tersebut sebagai berikut: ―Pada zaman 118 119
Ibid., h. 985
Ibid., h.984.
180
Rasullah SAW aku ditalak oleh suamiku di saat belum ada hukum `iddah bagi perempuan yang ditalak. Maka Allah menetapkan hukum `iddah bagi perempuan, yaitu menunggu setelah bersuci dari tiga kali haid‖. Diriwayatkan oleh Abû Dâwûd dan Ibn Abî Hâtim, yang bersumber dari Asma` binti Yazîd bin al-Sakan120. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Ismâ`il bin `Abdillah al-Gifârî menceraikan isterinya, Qatilah, di zaman Rasulullah SAW. Ia sendiri tidak mengetahui bahwa isterinya itu hamil. Setelah ia mengetahuinya, iapun rujuk kepada isterinya. Isterinya melahirkan dan meninggal, demikian juga bayinya. Maka turunlah ayat tersebut yang menegaskan betapa pentingnya masa `iddah bagi perempuan, untuk mengetahui hamil tidaknya seorang isteri. Diriwayatkan oleh Al-Sa`lâby dan Hibatullah bin Salamah di dalam kitab Al-Nâsikh, yang bersumber dari Al-Kalby dan Muqâtil.121 Sedangkan tentang `iddah ditinggal mati sebagai berikut:
―Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan isteriisteri (hendaklah para isteri itu menanggauhkan) dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari…‖(Al-Baqarah/2:234)
Al-Sya`râwî menafsirkan sebagai berikut:
―Masa `iddah isteri yang ditinggal mati suami, al-Qur‘an telah menuliskan bahwa isteri harus menunggu empat bulan sepuluh hari selama ia tidak hamil. Tetapi bilamana hamil menurut al-Sya`râwî 120
`iddahnya adalah sejauh-jauh batas antara dua masa
H.A.A.Dahlan dan M.Zaka Alfarisi, Ed. Asbâb al-Nuzûl, (Bandung: C.V.Penerbit Diponegoro, 2001), h. 77. 121 Ibid.
181
`iddah. Jika waktu yang paling jauh adalah empat bulan sepuluh hari, maka itulah masa `iddahnya. Tetapi jika waktu yang paling jauh adalah masa kehamilan penuh maka `iddahnya adalah sehabis melahirkan. Bukankah memungkinkan suami meninggal sedangkan isteri mengandung sembilan bulan hingga melahirkan sebelum suaminya dikebumikan? Apakah berarti `iddahnya telah habis? Jawabannya ―tidak‖, karena sesungguhnya `iddahnya habis sejauh batas antara dua masa `iddah. Dalam keadaan demikian berarti `iddahnya adalah menunggu masa empat bulan sepuluh hari, walaupun sebagian ahli fiqh mengatakan bahwa masa `iddah isteri hamil adalah setelah melahirkan. Hikmah Allah mengkhususkan empat bulan sepuluh hari adalah semata-mata penghormatan bagi kehidupan rumah tangga mereka berdua dan pemenuhan hak suaminya122. Pendapat Al-Sya`râwî tersebut kurang dapat dipertanggungjawabkan, karena bagi perempuan hamil `iddahnya sampai melahirkan. Hal ini berdasarkan hadis Sabi‘ah binti alHaris di bawah ini:
Artinya: ―Hadis Subai‘ah binti al-Haris, bahwasanya ia adalah isteri Sa‘ad bin Khaula yang termasuk bani ‗Amir bin Lu‘ay, dia ikut dalam perang Badr, lalu meninggal ketika haji wada‘ sedangkan isterinya hamil yang tidak begitu lama melahirkan kandungannya sesudah suaminya wafat. Setelha nifasnya selesai, ia berhias siap-siap jika ada orang yang 122
Al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwî, jilid 2, h. 1008-1009.
182
meminangnya, lalu Abbas bin Sanabil bin Ba‘kak dari bani Abdud Dar masuk ke rumahnya, lantas berkata kepada Subai‘ah saya melihat kamu berhias siap-siap jika ada orang yang meminang. Kamu ingin menikah lagi, akan tetapi demi Allah kamu belum boleh menikah sehingga melalui masa 4 bulan 10 hari. Subai‘ah berkata: setelah ia berkata demikian kepadaku, maka aku segera mengenakan pakaian di waktu sore dan datang kepada rasulullah SAW lalu menanyakan hal itu, kemudian beliau memberi fatwa kepadaku bahwasanya saya boleh menikah sesudah melahirkan, dan beliau memerintahkan saya untuk kawin jika saya suka.‖ Hadis di atas termasuk hadis shahih, karena hadis tersebut bersumber dari nabi SAW. Adapun jalur periwayatannya bersambung (muttashil) dan para perawinya siqah. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa tidak ada ketentuan `iddah terpanjang, karena fungsi `iddah adalah menjelaskan bahwa kandungannya sudah kosong, artinya tidak hamil. Hal inipun digunakan untuk menentukan nasab dari anak yang dalam kandungan, berarti kalau sudah lahir
`iddahnya sudah selesei, dan dapat nikah lagi kalau perempuan
menginginkannya. Kemudian ayat berikutnya menjelaskan,
―Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada
183
dosa bagimu (wali atau waris yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makrûf terhadap diri mereka…‖
Menurut al-Sya`râwî: ―Ayat 240 dan ayat sebelumnya 234, menjelaskan dua hukum bagi para suami yang wafat meninggalkan isteri. Pertama isteri menanti empat bulan sepuluh hari. Kedua suami ketika akan meninggal dunia hendaklah berwasiat untuk isterinya agar supaya tetap tinggal di rumah selama setahun dan diberi nafkah. Sehingga masa empat bulan sepuluh hari sebagai suatu kewajiban dan sisa masa satu tahun darinya menjadi suatu wasiat, jika isteri berkehendak mengambilnya akan dipersilahkan, tetapi jika ia tidak mau mengambilnya maka tidak mengapa.
Seorang isteri diberi hak untuk memilih antara tetap tinggal di rumah selama setahun sesuai dengan wasiat suami atau keluar rumah dengan sendirinya tanpa dipaksa seorang pun setelah empat bulan sepuluh hari 123. Penulis sangat setuju dengan pendapat tersebut, yaitu isteri yang ditinggal mati suami, ia ber`iddah empat bulan sepuluh hari. Sedangkan sisanya sampai satu tahun tinggal di rumah suami yang telah meninggal dan mendapat nafkah, adalah dalam rangka menjalankan wasiat. Untuk itu suami yang merasa mau meninggalkan isteri, misalnya sakit 123
Ibid., h. 1028.
184
yang tidak mungkin dapat sembuh, ia harus berwasiat seperti tersebut. Di sisi lain, pihak keluarga suami harus memakluminya. Sabab al-nuzûlnya, dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa, seorang laki-laki dari Taif datang ke Madinah bersama anak, isteri dan kedua orang tuanya, yang kemudian meninggal dunia di sana. Hal ini disampaikan kepada Nabi SAW. Beliau membagikan harta peninggalannya kepada anak-anak dan ibu bapaknya, sedang isterinya tidak diberi bagian. Hanya saja mereka yang diberi bagian diperintahkan untuk memberi belanja kepadanya dari tirkah (peninggalan) suaminya itu selama satu tahun. Maka turunlah ayat tersebut yang membenarkan tindakan Nabi SAW untuk memberi nafkah selama satu tahun kepada isteri yang ditinggal mati suaminya. Diriwayatkan oleh Ishâq bin Rahawaih yang bersumber dari Muqâtil bin Hibbân124. Sedang tentang `iddah perempuan hamil maka ‘iddahnya sampai ia melahirkan. dan kalau perempuan itu tidak hamil sedang ia sudah memasuki/menopause dan tidak lagi bisa haid atau ia masih kecil belum haid, maka ‘iddahnya tiga bulan. Hal itu dijelaskan dalam surat al-Talâq/65, sementara tafsir al-Sya`râwî berakhir pada surat al-Isra` ayat 4. Perlu diketahui bahwa di kalangan bangsa Arab waktu itu perkawinan bukan hanya bersifat kontraktual, tetapi, janda karena suaminya mati dikawin lagi adalah hal yang biasa, janda tersebut mendapatkan suami baru tanpa ada kesulitan.
124
Abî al-Hasan `Alî bin Ahmad al-Wâhidî al-Naisâburî, Asbâb al-Nuzûl, op.cit., h. 52.
185