Edisi I Januari - Maret 2013
Perempuan Bergerak Membangun Komunitas Yang Egaliter
Payung Hukum Pemenuhan Hak-hak Perempuan
Menagih Komitmen Negara Dalam Keadilan Gender Bagaimana Komitmen Negara Indonesia dalam memenuhi keadilan gender diulas dalam rubrik Fokus Utama
Mengapa Perlu UU Kesetaraan dan Keadilan Gender Kenapa UU Kesetaraan dan Keadlan Gender penting diwujudkan?
1
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
Perempuan Bergerak Edisi I Januari - Maret 2013
Menagih Komitmen Negara dalam Keadilan Gender
4
Negara Indonesia pasca Soeharto adalah kelanjutan rezim otoriter yang berbulu demokrasi elektoral. Perlakuan rezim reformasi atas perempuan tak banyak berubah meskipun produksi UU bernuansa hak asasi perempuan begitu banyak.
Mengapa Perlu UU Kesetaraan dan Keadilan Gender
8
UU KKG diharapkan dapat melindungi hak-hak kelompok marginal dari bentuk-bentuk diskriminasi akibat perbedaan gender, kekerasan berbasis gender, dan pelanggaran hak asasi
2
12
RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender
15
Kekerasan Terhadap Perempuan
18
Luviana: Buruh Perempuan Masih Mengalami Diskriminasi
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
Hadirnya RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender merupakan langkah untuk mewujudkan relasi manusia yang setara dan berkeadilan. ................................................................................................
Di tingkat komunitas kekerasan terhadap perempuan masih saja terus terjadi. Kekerasan tersebut menjadi salah satu bentuk nyata ketiadilan gender yang selama ini terus dialami oleh perempuan ................................................................................................
Luviana merupakan seorang mantan wartawan Metro TV yang diberhentikan sepihak oleh perusahaan tempatnya bekerja ketika ia mempertanyakan soal kondisi pekerja ditempatnya bekerja. .................................................................................................
REMBUG PEREMPUAN Perempuan Bergerak Membangun Komunitas Yang Egaliter
Penanggung Jawab: Listyowati Pemimpin Redaksi: Hegel Terome Redaktur Pelaksana: Joko Sulistyo Dewan Redaksi: Naning Ratningsih, Rena Herdiyani, Nani Ekawaty, Rakhmayuni, Ika Agustina Desain visual: Joko Sulistyo Distribusi: Joko Sulistyo Perempuan Bergerak merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif. Redaksi menerima kritik, saran dan sumbangan berupa surat pembaca, artikel dan foto jurnalistik. Naskah, artikel dan foto jurnalistik yang diterima redaksi adalah yang tidak anti demokrasi, anti kerakyatan, diskriminatif dan bias gender. Naskah tulis diketik pada kertas A4, spasi satu, huruf Arial 12, maksimal 3 halaman dalam bentuk file atau print-out. Alamat Redaksi dan Iklan: Jl.SMA 14 No. 17 RT/RW 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630. Telp: 021-8004712; Fax: 021-8004712; Email:
[email protected]; Website: www.kalyanamitra.or.id Untuk berlangganan Perempuan Bergerak secara rutin, kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Redaksi menerima sumbangan pengganti biaya cetak Rp. 10.000,- dan biaya pengiriman di rekening sesuai kota tujuan. Transfer ke Rekening Bank Bukopin Kantor Kas Plaza Kalibata, No. Rekening 4206200202 a/n. Yayasan Kalyanamitra.
Payung Hukum Pemenuhan Hak-hak Perempuan
R
ancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) merupakan salah satu prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2013 dan menjadi inisiatif DPR RI. Draft Naskah Akdemik RUU KKG saat ini sedang disusun oleh Komisi VIII DPR RI. RUU KKG menjadi salah satu RUU dari 70 RUU yang masuk dalam prolegnas 2013. Masuknya RUU KKG dalam Prolegnas 2013 menunjukkan komitmen anggota legislatif, terutama Komisi VIII DPR untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, mengingat Indonesia telah meratifikasi CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination AgainstWomen) melalui UU No. 7 Tahun 1984 tentang Undang-Undang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Walaupun belum ada draft resmi yang dikeluarkan Komisi VIII DPR, namun rencana pembahasan RUU KKG ini menuai pro kontra di masyarakat. Pihakpihak yang kontra terhadap RUU KKG sengaja melempar isu bahwa RUU KKG ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam, karena melegalkan perkawinan sesama jenis, menyamakan hak waris laki-laki dan perempuan, dan lainnya. Padahal dalam kenyataannya, RUU KKG yang saat ini sedang disusun Komisi VIII DPR tidak seperti yang diisukan oleh pihak-pihak yang kontra. RUU KKG tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. RUU KKG selaras dengan ajaran Islam karena dalam konteks Islam, kesetaraan manusia, penghormatan atas martabatnya dan keharusan mewujudkan keadilan sosial bagi semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, adalah nilai-nilai hakiki yang harus dijunjung tinggi dalam Islam. Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender menjadi salah satu kebijakan yang sangat penting dan dibutuhkan Masyarakat Indonesia. Secara filosofis, semangat RUU KKG untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender sejalan dengan Pancasila, khususnya Sila ke-2 tentang Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan Sila ke-5 tentang Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. RUU KKG juga sesuai dengan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 yang menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan tiap orang. Berdasarkan Pembukaan UUD 1945, negara menjamin hak tiap orang untuk bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan. Buletin Perempuan Bergerak edisi kali ini mengangkat topik mengenai kesetaraan dan keadilan gender. Mengapa RUU itu menjadi penting diadvokasi dan mengapa pula banyak masyarakat yang kontra terhadap pembahasannya, maka kami harapkan edisi kali ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat luas tentang kesetaraan gender yang ada di Indonesia, karena kondisinya masih menjadi tugas besar kita semua untuk mewujudkannya. APBD sangat minim dan menindas. Buletin Perempuan Bergerak edisi kali ini mengupas bagaimana politik anggaran APBN/APBD yang dikerjakan Pemerintah dan DPR/DPRD dirancang untuk kesejahteraan rakyat? Semoga terbitan ini membuka kesadaran bagi kita semua! Selamat membaca! Jakarta, 28 Maret 2013 Joko Sulistyo Redaktur Pelaksana
Januari - Maret 2013 Perempuan Bergerak
3
Menagih Komitmen Negara dalam Keadilan Gender Negara Indonesia pasca Soeharto adalah kelanjutan rezim otoriter yang berbulu demokrasi elektoral. Perlakuan rezim reformasi atas perempuan tak banyak berubah meskipun produksi UU bernuansa hak asasi perempuan begitu banyak. Namun begitu, pertumbuhan kebijakan-kebijakan diskriminatif juga kian meningkat.
44Perempuan Perempuan Bergerak Bergerak Januari Januari - Maret - Maret 2013 2013
FOKUS
Konteks sejarah
M Di zaman Soekarno, ideologi gender negara telah mencatumkan persamaan hak perempuan di UUD 1945, meskipun tidak tegas-tegas dinyatakan struktur teksnya. Orang harus menafsirkan lagi teks-teks yang ada untuk memperoleh maknanya.
asalah keadilan gender di Indonesia bila ditelisik lebih dalam bukanlah hal baru, karena sejarah panjang telah membuktikannya. Sejak kolonisasi Belanda, ideologi gender negara sudah diterapkan dengan mempertahankan nilainilai feudal dalam sistem kemasyarakatan dan kebudayaan serta kekuasaan. Pemerintahan Hindia Belanda tidak serta merta mengubah struktur penindasan lokal terhadap kaum perempuan yang berlaku di nusantara karena ingin mempertahankan keberlangsungan kekuasaan kolonialnya. Corak hubungan kekuasaan lama antara perempuan dan laki-laki dalam kekuasaan feudal raja-raja, priyayi, kalangan bangsawan, kaum kulit putih serta kaum saudagar asing yang bercokol di nusantara senantiasa dipelihara dalam konsepsi harmoni keluarga dan harmoni sosial. Namun konsepsi itu hanya berlaku untuk kalangan bawah dan marjinal, tidak untuk kalangan bangsawan dan sejenisnya. Gerakan emansipasi perempuan di tanah Belanda sendiri pada gilirannya memberikan andil besar bagi terbukanya wacana dan wacaan untuk kalangan kaum
terdidik di tanah jajahan, seperti Hindia Belanda. Dengan demikian, arus pertukaran pemikiran antara kaum cerdik cendekia di Hindia Belanda mengalir pula. Beberapa perempuan, seperti Kartini dan kawankawannya, merupakan angkatan awal yang menanggapi arus pemikiran dan gerakan emansipasi secara positif dan produktif, dengan menulis surat-suratnya, membuat sekolah, dan lainnya, yang dipandang mampu mengekspresikan kegayutan terhadap wacana itu. Gerakan emansipasi diwujudkan dalam kebangkitan kesadaran kaum perempuan pribumi sehingga mampu menyelenggarakan kongres perempuan pada 22 Desember 1928, tak lama berselang waktunya dengan kongres pemuda pada 28 Oktober 1928. Hal ini memperlihatkan betapa benih-benih perlawanan perempuan tumbuh di tanahtanah kesadaran yang subur. Di zaman Soekarno, ideologi gender negara telah mencatumkan persamaan hak perempuan di UUD 1945, meskipun tidak tegas-tegas dinyatakan struktur teksnya. Orang harus menafsirkan lagi teks-teks yang ada untuk memperoleh maknanya. Tentu saja bisa muncul kekeliruan tafsir apabila konteksnya tidak dipahami. Dan apa yang paling menarik ialah, bahwa Soekarno secara aktif mewacanakan kontekstualisasi gerakan Januari - Maret 2013 Perempuan Bergerak
5
FOKUS perempuan dalam bingkai kepentingan nasionalisme. Jelas tak semua perempuan sepaham dan sepakat dengan visi yang demikian, meskipun arus besar kebangsaan dan kenegaraan Indonesia tengah berada dalam status pemulihan traumatis atas kolonisasi yang menyengsarakan rakyat. Indonesia tengah meneruskan revolusinya. Hubungan negara dan perempuan mengalami masalah besar ketika Orde Baru menerapkan politik domestik bagi perempuan. Politik kepentingan perempuan dikalahkan dengan pertamatama memberangus organisasi-organisasi yang secara ideologis berlawanan dengan kepentingan Orde Baru. Perempuan di taruh sebagai pembantu suami bagi para pegawai negeri dan pejabat negara sehingga memastikan karir suami meningkat dan proses pembangunan ala Orde Baru akan berjalan mulus. Ideologi gender ini menimpangkan proses kesetaraan dan emansipasi yang sudah dikerjakan di zaman Soekarno, karena negara secara legal melalui UU Perkawinan mengesahkan persoalan itu. Orde Baru lebih jauh mengadopsi demikian banyak instrumen HAM internasional dan kesepakatannya untuk membangun citra positif bahwa negara dan perempuan relasi politiknya setara. Pun di dalam negeri dibuat banyak UU atau kebijakan dan norma sosial lainnya untuk memastikan bahwa gagasan pembangunanisme dijalankan secara murni dan konsekuen. Akan tetapi, hal itu menjadi masalah besar ketika ideologi gender negara mengkomodifikasi perempuan menjadi mesin uang bagi pendapatan negara, yang hasil uangnya dikorupsi oleh aparat negara. Secara aktif negara mempromosikan eksploitasi perempuan sebagai tenaga kerja yang murah. Indonesia menjadi pemasok tenaga kerja perempuan murah terbesar di ASEAN untuk pertama kali di zaman Soeharto. Ideologi gender negara belum mengalami perubahan bermakna sejak kejatuhan Soeharto, karena proses eksploitasinya atas perempuan makin intensif dan terbungkus rapi. Dengan berkembangnya demokrasi elektoral ala Amerika Serikat, ruang penindasan atas perempuan kian meluas dan melebar, karena terbuka persepsi keliru atas kebebasan yang semena-mena untuk menghancurkan 6
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
Ideologi gender negara belum mengalami perubahan bermakna sejak kejatuhan Soeharto, karena proses eksploitasinya atas perempuan makin intensif dan terbungkus rapi. Dengan berkembangnya demokrasi elektoral ala Amerika Serikat, ruang penindasan atas perempuan kian meluas dan melebar, karena terbuka persepsi keliru atas kebebasan yang semena-mena untuk menghancurkan perempuan
perempuan melalui proses-proses sosial yang berkonflik, terselubungkan nilai-nilai moral dan tafsir agama keliru. Negara Indonesia pasca Soeharto adalah kelanjutan rezim otoriter yang berbulu demokrasi elektoral. Perlakuan rezim reformasi atas perempuan tak banyak berubah meskipun produksi UU bernuansa hak asasi perempuan begitu banyak. Namun begitu, pertumbuhan kebijakankebijakan diskriminatif juga kian meningkat. Reformasi yang membuahkan otonomi daerah menghalalkan pemda-pemda dan elit-elit lokal melancarkan politik kotor, yakni memadukan kepentingan atau motifmotif pribadi dengan kamuflase klaimklaim agama. Akibatnya ialah, perempuan disempitkan ruang emansipasinya dan kembali ke arah lama politik domestik yang makin mentraumatik.
Menyimak Fakta Capaian negara reformasi dalam kerangka keadilan gender sesungguhnya tidak memadai dibandingkan dengan perilakunya yang menciptakan banyak kebijakan (UU, dll) dan mengadopsi banyak kesepakatan internasional, sebagai politik pencitraan rezim, tidaklah mengalami kemajuan berarti. Pengarusutamaan gender di kalangan aparat negara hanya lebih fokus kepada kalangan perempuan pegawai bawahnya daripada kepada laki-laki
FOKUS mulai dari presiden sampai kepala desa, RW dan RT. Hal ini menunjukkan betapa biasnya negara dalam memberlakukan produk pengetahuan dan kebijakan. Negara hanya sebatas kata-kata, tak ada yang harus dipercaya daripadanya. Bila dibuka laporan pencapaian MDGs 2010, sejak program ini diluncurkan tahun 2000, maka secuil perubahan baru terjadi. MDGs tujuan 1,3,6, demikian pula MDGs tujuan 1,2,3,4,8. Angka kematian ibu dan anak masih sangat tinggi yakni 300 per 100.000 kelahiran. Tingkat pendapatan 2 dollar per hari masih tinggi dialami perempuan. Masih banyak yang buta aksara di kota maupun di desa. Indeks pembangunan menduduki ranking 124. Indeks kemampuan dasar Indonesia (BCI) hanya 88, termasuk kategori rendah. Angka busung lapar dan kekurangan gizi terus meluas. Terdampak HIV/AIDs juga merebak mendera perempuan. Angka kekerasan dalam rumah tangga meningkat setiap tahunnya mencapai 150 ribu kasus, demikian pula perkosaan, pelecehan, bahkan pembunuhan terhadap perempuan di kotakota dan di desa-desa terus membubung tinggi. Belum lagi perempuan yang menjadi korban bencana dan konflik sosial. Inilah tanda bahwa negara memang tiada peduli pada perempuan, sehingga keadilan gender menjadi hampa makna.
Perubahan Paradigma Gerakan emansipasi perempuan memperoleh tantangannya pada dominannya ideologi gender negara, apalagi negaranya kapitalistik. Komodifikasi perempuan akan menguat untuk memenuhi kebutuhan pasar liberal di mana negara tak mampu lagi mengendalikan kepentingannya. Pasar liberal Indonesia tentu berkelindan dengan pasar liberal dunia. Oleh karenanya, pokok persoalan perempuan di ranah nasional menjadi pokok persoalan di ranah dunia pula (global). Gerakan emansipasi nasional harus beriringan dan sejalan pula dengan gerakan dunia, dan sebaliknya, gerakan dunia harus memperkuat kebutuhan gerakan nasional. Negara reformasi sebagai mitra gerakan kapital dunia jelaslah menempatkan perempuan hanya sebatas tenaga kerja dan komoditi. Eksploitasi modal tak hanya menyesaki ruang di pabrik-pabrik namun
Angka kekerasan dalam rumah tangga meningkat setiap tahunnya mencapai 150 ribu kasus, demikian pula perkosaan, pelecehan, bahkan pembunuhan terhadap perempuan di kota-kota dan di desa-desa terus membubung tinggi. Belum lagi perempuan yang menjadi korban bencana dan konflik sosial. Inilah tanda bahwa negara memang tiada peduli pada perempuan, sehingga keadilan gender menjadi hampa makna.
pula menghimpit ruang-ruang kemerdekaan perempuan di rumah-rumah tangga atau keluarga. Maka demikian, mengubah paradigma ideologi gender negara harus menjadi fokus analisa dan aksi perempuan agar tak tersimpangkan oleh bias-bias moderasi yang dipolitikkan negara. Kita jangan berpuas diri menerima fakta-fakta kosong mengenai capaian negara dalam memajukan perempuan, karena substansinya sering tidak demikian adanya. Politisasi negara melalui aparat negara demikian kuat sehingga keadilan gender tak pernah diterapkan secara konsisten dan konsekuen. Permainan-permainan politik kotor amat popular di kalangan aparat negara dan aparat agama serta aparat modal—ketiganya adalah tritunggal!*****(HG)
Januari - Maret 2013 Perempuan Bergerak
7
OPINI
Mengapa Perlu UU Kesetaraan dan Keadilan Gender
R
UU Kesetaraan dan Keadilan Gender menjadi salah satu RUU yang diprioritaskan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2013, yang sedang dibahas di DPR RI, khususnya di Komisi 8. Sampai kini belum ada draft resmi yang dikeluarkan oleh Komisi 8, karena mereka masih mendiskusikan RUU KKG di tingkat Panja (Panitia Kerja). Inisiatif pembahasan RUU KKG adalah langkah maju DPR RI yang patut kita hargai, mengingat Indonesia membutuhkan UU yang secara komprehensif memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Perempuan, dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Meskipun Indonesia telah memiliki berbagai perangkat UU, hukum, peraturan, dan kebijakan yang secara langsung dan tidak langsung mengarah pada tercapainya kesetaraan dan keadilan gender, namun belum dapat menyelesaikan berbagai masalah diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat. Sampai sekarang, kondisi dan posisi perempuan masih belum setara sengan laki-laki dan masih banyak perempuan yang mengalami berbagai praktik diskriminasi gender. Persoalan kesetaraan dan keadilan
Persoalan kesetaraan dan keadilan gender juga menjadi perhatian serius negara-negara lain, karena realitas berbagai bentuk kesenjangan dan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
gender juga menjadi perhatian serius negaranegara lain, karena realitas berbagai bentuk kesenjangan dan ketimpangan antara lakilaki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Saat ini, sekitar 150 negara di dunia yang memiliki UU terkait kesetaraan gender. Memiliki UU terkait kesetaraan dan keadilan gender merupakan strategi pilihan beberapa negara untuk mengatasi persoalan ketidakadilan gender di negaranya. Sebagai contoh di kawasan Asia Tenggara, negaranegara yang memiliki UU Kesetaraan Gender, yakni Philippines (The Magna Carta of Women, 2009), Vietnam (Law on Gender Equality, 2006), Lao PDR (Law on Development and Protection of Women, 2004). Sama seperti Indonesia, Thailand juga sedang merancang sebuah UU Kesetaraan Gender (The Promotion of Opportunity and Gender Equality Bill). Tingkat kesetaraan gender merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan di Indonesia. RUU KKG ini menjadi harapan baru bagi perempuan dan masyarakat Indonesia, karena dapat mewujudkan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, serta berbangsa dan bernegara yang setara dan adil. Oleh karena itu, RUU KKG yang sedang dibahas oleh Komisi 8 DPR RI memerlukan dukungan berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dengan alasan berikut: Pertama, RUU KKG ini memiliki landasan yuridis yang kuat sesuai dengan yang diamanatkan UUD 1945 bahwa “Negara menjamin hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif” (Pasal 28 I (2)). Selain itu, RUU KKG sejalan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, seperti UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 tentang
OPINI Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Kedua, RUU KKG adalah peluang strategis untuk memberikan definisi yang jelas terkait dengan istilah gender, serta memberikan pemahaman apa yang dimaksud kesetaraan dan keadilan gender kepada masyarakat luas, karena selama ini gender sering disalah-artikan sebagai jenis kelamin perempuan. Gender adalah pembedaan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang dibentuk atas dasar perbedaan biologis dan hasil konstruksi sosial budaya. Gender dapat dipelajari, berubah setiap waktu, dan berbeda untuk setiap budaya dan tempat. RUU KKG bukan RUU yang berorientasi kebarat-baratan (western oriented), karena disusun dengan dilatarbelakangi oleh landasan sosiologis, yakni berbagai realitas persoalan yang ada dalam kehidupan perempuan dan masyarakat Indonesia. Tingginya kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, baik yang terjadi di ranah domestik (Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sunat perempuan) maupun ranah publik (perdagangan perempuan, eksploitasi buruh migran perempuan, kekerasan seksual di ruang publik, pernikahan perempuan di usia dini, putus sekolah anak perempuan, eksploitasi ketubuhan dan seksualitas perempuan di media, kematian Ibu dan bayi melahirkan, rendahnya partisipasi dan representasi perempuan dalam lembaga-lembaga perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif), semuanya contoh yang masih dihadapi perempuan kini. Faktor-faktor penyebab terjadinya persoalan tersebut ialah karena kemiskinan, tradisi, norma dan nilai sosial budaya yang patriarkis serta interpretasi ajaran agama yang bias gender. Di sinilah negara sebagai aktor utama yang memegang kewajiban dan tanggung jawab (duty holders) pemenuh hak asasi perempuan, penting segera merumuskan RUU KKG untuk memastikan pelaksanaan pemenuhan itu. Ketiga, RUU KKG bertujuan membangun relasi setara dan berkeadilan antara laki-laki dan perempuan, pada
dasarnya sejalan dengan nafas agama Islam yang mendukung kesetaraan dan keadilan gender. Masalahnya, RUU KKG diinterpretasikan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan kacamata agama Islam yang sempit. Pemahaman terhadap ayat-ayat dalam Al-Quran maupun Hadis sering dilakukan secara literal dan parsial tanpa melihat konteks saat lahirnya ayat-ayat itu. Akibatnya, lahir pemahaman yang merendahkan dan membatasi hak-hak perempuan. Pasal-pasal dalam RUU KKG dimaknai secara berlebihan. Sebagai contoh, interpretasi terhadap pasal tentang tiap orang berhak memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau istri secara bebas. Pasal ini dimaksudkan untuk menjawab persoalan maraknya perkawinan paksa oleh orangtua atau keluarga yang terjadi atas perempuan terutama perempuan yang masih berusia dini/ anak, yang berdampak pada kesehatan reproduksi dan psikologis mereka. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mampu mengatasi persoalan ini bahkan melegalisasi perkawinan usia anak (usia minimum menikah bagi perempuan adalah 16 tahun). Oleh karena itu, RUU KKG penting menjadi rujukan revisi UU Perkawinan dengan mengangkat pasal yang menjamin hak tiap orang untuk menentukan sendiri suami atau istri mereka secara bebas, tanpa paksaan, dan tekanan oleh siapapun. Keempat, RUU KKG merupakan bukti nyata komitmen negara Indonesia untuk memperkuat implementasi UU No. 7 Tahun 1984 tentang ratikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Konvensi CEDAW). Produk UU yang merupakan ratifikasi konvensi internasional tidak bersifat implementatif, karena tidak mengatur mekanisme sanksi. Oleh karena itu, RUU KKG diharapkan bersifat imperatif (perintah) dengan mengatur mekanisme implementasi dan sanksi hukum yang jelas. Sebagai negara peratifikasi Konvensi CEDAW, penting bagi Indonesia untuk menggunakan perspektif hak asasi perempuan dan mengintegrasikan prinsip-prinsip Konvensi CEDAW dalam RUU KKG, yakni prinsip non diskriminasi, prinsip kesetaraan/persamaan substantif, dan kewajiban negara. Prinsip kesetaraan/ persamaan substantive yakni memberikan hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki atas akses, kesempatan untuk berpartisipasi, kontrol terhadap pengambilan keputusan,
RUU KKG penting menjadi rujukan revisi UU Perkawinan dengan mengangkat pasal yang menjamin hak tiap orang untuk menentukan sendiri suami atau istri mereka secara bebas, tanpa paksaan, dan tekanan oleh siapapun
Januari - Maret 2013 Perempuan Bergerak
9
OPINI
dan penikmatan manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan. Kesetaraan atau persamaan substantif yang dimaksud berbeda dengan “kesamaan” (“sameness”) yang sering disalah-artikan menuntut segala kondisi dan posisi yang sama antara laki-laki dan perempuan tanpa pembedaan berdasarkan apapun. Istilah kesetaraan atau persamaan dalam RUU KKG tetap mengakui adanya perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, di mana perempuan dapat atau lebih rentan mengalami diskriminasi yang sering dijustifikasi, karena perbedaan biologisnya tersebut, dibanding laki-laki. Oleh karena itu, negara wajib membuat kebijakan guna mempercepat kesetaraan perempuan dan laki-laki, melalui kebijakan tindakan khusus sementara (temporary special measures) dan tindakan khusus (special measures) untuk perlindungan maternitas. Kewajiban negara untuk membuat kebijakan Tindakan Khusus Sementara atau sering disebut Affirmative Action untuk perempuan diharapkan diatur dalam RUU KKG agar kebijakan tersebut tidak hanya di bidang politik, tetapi juga diterapkan di semua bidang di mana terjadi kesenjangan gender. Kelima, RUU KKG ditujukan untuk
10
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
memperkuat implementasi kebijakan kesetaraan gender yang telah ada, khususnya di tingkat lembaga eksekutif. Indonesia telah memiliki beberapa kebijakan yang mengatur strategi Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan, yakni Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 67 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di daerah. Kebijakan PUG ini bertujuan untuk menurunkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam mengakses dan memperoleh manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan kontrol perempuan terhadap proses pembangunan. Anggaran Responsif Gender (ARG) atau Perencanaan dan Pengangggaran Responsif Gender (PPRG) yang diterapkan di tiap instansi pemerintah merupakan alat untuk memperkuat implementasi strategi PUG tersebut. Kebijakan PUG mengharuskan semua instansi pemerintah di tingkat nasional dan daerah mengarusutamakan gender dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi seluruh kebijakan dan program, namun implementasi kebijakan PUG ini masih sangat lemah. Hal ini akibat antara lain oleh: (1) Status hukum kebijakan PUG rendah karena berupa Instruksi Presiden ataupun Peraturan Menteri, bukan Undang-Undang; (2) Posisi dan wewenang Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KNPPPA) yang menjadi leading sector koordinasi pelaksanaan PUG sangat terbatas, akibatnya anggaran dan sumberdayanya juga terbatas untuk memonitor pelaksanaan PUG; (3) Kurangnya pemahaman dan keahlian gender di tingkat instansi pemerintah untuk mengumpulkan data terpilah kesenjangan gender dengan tepat sebagai dasar penyusunan program dan anggaran, akibatnya program-program PUG bersifat netral gender atau malah bias gender. Oleh karena itu, diharapkan RUU KKG menjadi landasan hukum yang kuat untuk mendorong pelaksanaan strategi PUG oleh instansi pemerintah pusat dan daerah secara konsisten di seluruh wilayah Indonesia. Keenam, selain memperkuat pelaksanaan
OPINI strategi PUG, RUU KKG ini juga diharapkan dapat: (1) Mengakui dan menjamin secara tegas hak-hak perempuan termasuk hak-hak kelompok perempuan marginal (perempuan adat, perempuan pedesaan, perempuan penyandang disabilitas, perempuan miskin) sebagai hak asasi manusia; (2) Melindungi hak-hak kelompok marginal dari bentuk-bentuk diskriminasi akibat perbedaan gender, kekerasan berbasis gender, dan pelanggaran hak asasi, (3) Memenuhi terlaksananya penikmatan hak asasi perempuan, anak dan minoritas (perempuan etnis tertentu, perempuan asli, perempuan dengan agama, kepercayaan, dan/atau orientasi seksual minoritas), termasuk akses, kesempatan, proses, kontrol dan penikmatan manfaat; dan (4) Mewujudkan kehidupan masyarakat yang demokratis, mengakui, menghargai, memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan, anak dan minoritas tanpa diskriminasi. Hak-hak perempuan yang perlu dijamin dalam RUU KKG diantaranya: 1. Hak Perempuan dalam Kehidupan Politik dan Publik; 2. Hak Perempuan atas Pekerjaan dan Kehidupan yang Layak; 3. Hak Perempuan atas Pendidikan; 4. Hak Perempuan atas Kesehatan; 5. Hak Perempuan atas Manfaat Ekonomi dan Sosial; 6. Hak Perempuan atas Persamaan Kedudukan di Depan Hukum; 7. Hak Perempuan untuk Bebas dari Kekerasan Berbasis Gender; 8. Hak Perempuan atas Kewarganegaraan; 9. Hak Perempuan atas Lingkungan yang Berkelanjutan; 10. Hak Perempuan Kelompok Marjinal; 11. Hak Perempuan di Daerah Konflik dan Bencana; 12. Hak Perempuan untuk Bebas dari Eksploitasi Seksual dan Perdagangan Orang; 13. Hak Perempuan Berpartisipasi di Tingkat Internasional; 14. Hak Perempuan untuk Menikah dan Mendapatkan Kehidupan Perkawinan dan Keluarga yang Bebas dari Diskriminasi;
15. Hak Perempuan untuk Bebas dari Stereotip dan Eksploitasi Ketubuhan Perempuan dalam Media; 16. Hak Perempuan Kelompok Minoritas.
Selama ini, belum ada satupun UU yang mengatur kewajiban yudikatif, legislatif, dan lembaga-lembaga tersebut untuk melakukan strategi PUG sesuai peran dan fungsinya. Padahal sebagaimana kita ketahui bersama, praktik diskriminasi dan kekerasan berbasis gender juga banyak terjadi di lembagalembaga tersebut.
Ketujuh, selain menegaskan kewajiban negara untuk melaksanakan PUG di tingkat eksekutif/pemerintah, RUU KKG diharapkan juga menyasar kewajiban lembaga penyelenggara lainnya seperti lembaga yudikatif dan legislatif, bahkan partai politik, koorporasi, lembaga adat, lembaga agama, lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, media, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga sosial. Peran dan kerjasama berbagai pihak sangat dibutuhkan guna mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang. Selama ini, belum ada satupun UU yang mengatur kewajiban yudikatif, legislatif, dan lembaga-lembaga tersebut untuk melakukan strategi PUG sesuai peran dan fungsinya. Padahal sebagaimana kita ketahui bersama, praktik diskriminasi dan kekerasan berbasis gender juga banyak terjadi di lembaga-lembaga tersebut. RUU KKG ini diharapkan mengatur mekanisme kelembagaan dan sanksi yang jelas agar dapat diimplementasikan dengan baik. Dalam hal pelaksanaan, UU dapat dikoordinir oleh KNPPPA, sedangkan dalam hal pemantauan dan pelaporan pelaksanaan UU, idealnya dilakukan oleh sebuah badan yang independen agar wewenangnya lebih kuat. Dengan berbagai alasan tersebut, sangat jelas bahwa UU KKG diperlukan oleh bangsa ini dan penting mendapat dukungan masyarakat luas. Dengan mendukung RUU-nya berarti tujuan pembangunan yang adil gender dapat segera diwujudkan serta peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup perempuan maupun laki-laki akan meningkat. Dukung dan pantaulah proses penyusunan UU KKG di DPR agar nantinya benar-benar bermanfaat untuk mengatasi persoalan ketidakadilan gender di Indonesia. *****(RH)
Januari - Maret 2013 Perempuan Bergerak
11
WARTA PEREMPUAN
RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender
H
ingga kini, perempuan Indonesia masih mengalami berbagai macam ketidakadilan. Dalam kehidupan politik, perempuan jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan. Jumlah perempuan yang diperkirakan 50,8% dari total penduduk Indonesia (BPS, 2007) sangat tidak terefleksikan dalam keterwakilan dan Berdasarkan data Komnas partisipasinya dalam politik dan publik Peremuan, selama tahun di segala tingkatan. Demikian juga dalam 2012 terjadi 216.156 pekerjaan dan kehidupan yang layak, pekerja kasus kekerasan terhadap perempuan masih mengalami diskriminasi perempuan di Indonesia. dalam kerja, pemutusan hubungan kerja, Dari data itu sebanyak kriteria seleksi, promosi jabatan, tunjangan 203.507 adalah kasus dan fasilitas kerja, kesehatan seksual dan kekerasan terhadap istri. reproduksi, serta kondisi kerja. Berdasarkan data yang Selain ketidakadilan dalam bidang politik ditangani lembaga pengada dan pekerjaan, masih banyak ketidakadilan layanan, ada 12.649 yang dialami perempuan seperti bidang kasus kekerasan terhadap pendidikan, kesehatan, manfaat ekonomi perempuan. Dari data dan sosial, hukum, kekerasan terhadap tersebut, 66% atau 8.315 perempuan, kewarganegaraan, praktik adalah kasus kekerasan lingkungan yang berkelanjutan. dalam rumah tangga
12
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
Ketidakadilan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga di ruang privat atau domestik. Di ranah domestik banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Berdasarkan data Komnas Peremuan, selama tahun 2012 terjadi 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Dari data itu sebanyak 203.507 adalah kasus kekerasan terhadap istri. Berdasarkan data yang ditangani lembaga pengada layanan, ada 12.649 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari data tersebut, 66% atau 8.315 adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kondisi perempuan kini Jika dilihat secara fisik memang ada kemajuan yang dicapai perempuan Indonesia baik di kota maupun pedesaan. Dalam bidang pendidikan, banyak perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi, bahkan mendapatkan gelar doktor
WARTA PEREMPUAN maupun profesor. Sementara di tingkat pengambilan keputusan, ada perempuan yang sanggup membuktikan kapasitasnya sebagai pemimpin, baik di tingkat komunitas desa maupun parlemen mulai dari kabupaten/kota, propinsi bahkan nasional dan internasional. Selain itu, ada perempuan yang menjadi gubernur maupun bupati/walikota, bahkan Indonesia pernah dipimpin oleh presiden perempuan. Namun, kondisi tersebut tidak serta merta menghapuskan ketidakadilan yang dialami perempuan. Walaupun banyak perempuan yang bergelar doktor maupun profesor, nyatanya angka buta hutuf perempuan masih sangat tinggi dibandingkan laki-laki. Demikian juga dalam bidang politik dan pemerintahan, ada perempuan di sana namun belum mampu melahirkan kebijakankebijakan yang melindungi perempuan. “Adanya perempuan di posisi strategis baik dari sisi jumlah apalagi perspektifnya, tidak selalu dapat merepresentasikan perempuan,” demikian AD Kusumaningtyas dari Rahima mengungkapkan. Nining, demikian perempuan ini disapa, menambahkan bahwa akibat keadaan tersebut belum banyak undang-undang dan aturan lain yang berperspektif keadilan dan kesetaraan gender. Harus diakui beberapa undang-undang yang melindungi perempuan, seperti UU No.7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Saksi Korban dan lainnya, tetap tidak sebanding dengan banyaknya kebijakan yang dilahirkan oleh DPR.
Walaupun banyak perempuan yang bergelar doktor maupun profesor, nyatanya angka buta hutuf perempuan masih sangat tinggi dibandingkan laki-laki. Demikian juga dalam bidang politik dan pemerintahan, ada perempuan di sana namun belum mampu melahirkan kebijakankebijakan yang melindungi perempuan.
Kondisi perempuan diperparah dengan berbagai kebijakan di tingkat lokal yang mendiskriminasi perempuan. Berbagai kebijakan tersebut lahir sebagai imbas otonomi daerah. “Situasi diskriminasi ini akan lebih parah bila perempuan yang mengalaminya berada dalam kondisi diskriminasi yang berlapis. Entah karena kemiskinan, pilihan-pilihan hidup yang berbeda, lokasi seperti jauh-dekatnya dengan akses layanan di kota yang serba metropolitan atau daerah terpencil. Pasti situasi yang mereka hadapi akan lebih sulit,” Nining menjelaskan. Berbagai ketidakadilan yang dialami perempuan adalah akibat budaya patriarki yang masih dianut oleh masyarakat. Akibatnya, perempuan masih dianggap sebagai kelompok nomor dua yang tidak dianggap keberadaannya. Padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 jelas-jelas menjamin dan melindungi hak asasi manusia tanpa adanya pembedaan baik ras, agama, jenis kelamin maupun gender. Harapan pada RUU KKG Dengan masih banyaknya ketidakadilan gender yang dialami perempuan tersebut kemudian melahirkan inisiatif pemerintah untuk membuat undang-undang kesetaraan dan keadilan gender. Dalam perjalanannya, RUU ini menjadi inisiatif DPR RI. Saat ini, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) merupakan salah satu prioritas dari 70 RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2013. Draft Naskah Akademik RUU KKG kini sedang disusun oleh Komisi VIII DPR RI. Masuknya RUU KKG dalam Prolegnas 2013 menunjukan komitmen Komisi VIII
Januari - Maret 2013 Perempuan Bergerak
13
WARTA PEREMPUAN
DPR RI untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, mengingat Indonesia telah meratifikasi CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) melalui UU No. 7 Tahun 1984 tentang Undang-Undang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Hadirnya RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender merupakan langkah untuk mewujudkan relasi manusia yang setara dan berkeadilan. “Inisiatif dan usaha membuat/merumuskan UU atau kebijakan publik lain guna mengatur relasi antar manusia dengan perspektif kesetaraan dan keadilan gender sangatlah patut diapresiasi oleh semua pihak. UU semacam ini di samping merupakan bentuk komitmen memenuhi amanat konstitusi UUD 1945 dan sejumlah instrumen hukum yang terkait dengan hak-hak asasi manusia, itu juga merupakan cara atau jalan yang niscaya bagi perwujudan cita-cita berbangsa dan bernegara, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” demikian Kyai Husein Muhamad, Komisioner Komnas Perempuan mengungkapkan. Senada dengan Kyai Husein, Chairun Nisa, anggota DPR RI berpendapat bahwa Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender diperlukan dalam mendorong upaya peningkatan kepemimpinan perempuan diberbagai bidang, seperti peningkatan 14
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
“Inisiatif dan usaha membuat/merumuskan UU atau kebijakan publik lain guna mengatur relasi antar manusia dengan perspektif kesetaraan dan keadilan gender sangatlah patut diapresiasi oleh semua pihak. UU semacam ini di samping merupakan bentuk komitmen memenuhi amanat konstitusi UUD 1945 dan sejumlah instrumen hukum yang terkait dengan hak-hak asasi manusia, itu juga merupakan cara atau jalan yang niscaya bagi perwujudan cita-cita berbangsa dan bernegara, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,”
keterwakilan perempuan di lembaga legislatif baik di pusat maupun di daerah dengan kebijakan kuota 30%. “Meskipun kuota tersebut belum terpenuhi, namun jumlah keterwakilan perempuan mengalami peningkatan. Kebijakan upaya sementara ini tidak hanya dibutuhkan di lembaga perwakilan, tetapi jumlah kepemimpinan perempuan di eksekutif dan judikatif juga memerlukan dorongan dan dukungan tersebut,” demikian mantan anggota Komisi VIII DPR RI ini berpendapat. Faktor penting lain yang menjadi dasar pembentukan UU KKG adalah dalam rangka pencapaian tujuan MDG’s. Dalam delapan poin tujuan MDG’s, salah satu poinnya adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. “Untuk mencapai hal tersebut, DPR sebagai legislator berkomitmen dalam pencapaian MDG’s dan penegakan HAM untuk untuk menyediakan akses yang setara bagi semua pihak dengan memproduksi undang-undang yang responsif gender. Dengan demikian, UU KKG diharapkan akan menjadi sarana percepatan dalam pembangunan responsif gender di Indonesia,” demikian Chairun Nisa menambahkan. Sementara menurut Nining, RUU KKG diharapkan dapat menjadi rumusan produk hukum yang bagus agar prinsip “kesetaraan substantif” dapat memayungi semua aturan perundang-undangan yang lainnya. Selain itu, semestinya RUU tersebut juga dapat menekankan pentingnya “kewajiban negara” dalam menghargai, melindungi dan memenuhi hak-hak perempuan. Akan tetapi, bila RUU ini sekedar menaikkan status Inpres untuk mengatur kewenangan lembaga tertentu untuk melaksanakan program pengarusutamaan gender, saya pikir manfaatnya menjadi kurang optimal. Sehingga baik tidaknya, tergantung sejauh mana rumusan yang bisa dihasilkan,” demikian Nining mengungkapkan. Pro kontra RUU KKG Walaupun belum ada draft resmi yang dikeluarkan Komisi VIII DPR RI, rencana pembahasan RUU KKG telah menuai pro kontra di masyarakat. Pihak-pihak yang kontra terhadap RUU KKG sengaja
melempar isu bahwa RUU KKG ini bertentangan dengan nilainilai Islam karena melegalkan perkawinan sesama jenis, menyamakan hak waris laki-laki dan perempuan, dan lainnya. Dalam kenyataannya, RUU KKG yang kini sedang disusun Komisi VIII DPR RI tidak seperti yang diisukan pihak-pihak yang kontra. RUU KKG tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. RUU KKG selaras dengan ajaran Islam. karena dalam konteks Islam, kesetaraan manusia, penghormatan atas martabatnya dan keharusan mewujudkan keadilan sosial bagi semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan, merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Menanggapi hal itu, Nining berharap agar masyarakat tidak alergi dengan hadirnya undangundang tersebut. “Kita tidak perlu alergi dengan hadirnya undang-undang ini, seolah-olah adalah produk impor. Ini adalah ‘ijtihad’ kita, upaya kita untuk bisa mengatur Indonesia secara lebih baik dengan menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan yang menjadi “ruh” atau “spirit” RUU ini. Dan bukankah melihat sesama manusia secara setara, memperjuangkan keadilan adalah inti ajaran agama sebagai ekspresi atas kepercayaannya kepada Tuhan. Kalau boleh sedikit mengutip wacana yang berkembang dalam bahasa agama, RUU ini adalah produk untuk mengatur “hablum minannas” kita, sebagai ekspresi dari “hablum minallah” (relasi transenden kita kepada Allah),” demikian pendapat Nining. Menurut Nining, masyarakat yang kontra menolak habis-habisan, barangkali karena mereka tidak tahu, sehingga terjebak untuk matimatian mempertahankan pendapat mereka yang belum tentu benar mengenai RUU KKG. “Kengototan ini juga karena mereka belum mengerti apa makna RUU ini.
15
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
Namanya juga rancangan, belumbelum sudah ditolak,” tambah Nining. Pentingnya kesetaraan gender Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender menjadi kebijakan yang sangat penting dan dibutuhkan masyarakat Indonesia. Secara filosofis, semangat RUU KKG yakni mengatasi masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender sejalan dengan Pancasila, khususnya Sila ke-2 tentang kemanusiaan yang adil dan beradab, dan Sila ke-5 tentang Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. RUU KKG juga sesuai dengan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 yang menjamin Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, dan tiap orang. Berdasarkan Pembukaan UUD 1945, negara menjamin hak tiap orang untuk bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Secara yuridis, Indonesia memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan terkait isu kesetaraan dan keadilan gender, seperti UU No. 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-Hak Politik Perempuan, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Konvensi CEDAW), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Pemerintah Indonesia juga memiliki Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG)
dalam Pembangunan Nasional. Menurut Kyai Husein, hal paling penting dan krusial dikemukakan mengenai aspek perlindungan dalam undang-undang kesetaraan dan keadilan gender adalah ia harus dimaknai bukan melalui pendekatan proteksionistik, melainkan pendekatan substantif. Hal ini karena pendekatan proteksionis memiliki kecenderungan membatasi, mengucilkan atau mensubordinasi. Dalam konteks budaya patriarki pendekatan aturan-aturan hukum cenderung atau acap kali tidak melibatkan perempuan dalam ruang-ruang publik yang dianggap tidak aman atau tidak cocok baginya. “Ini berbeda dengan pendekatan substantif. Pendekatan ini lebih mencari jalan keluar bagi tercapainya prinsip kesetaraan dan keadilan serta pemenuhan atas hak-haknya. Ini misalnya melalui aturan-aturan/ kebijakan-kebijakan yang memfasilitasi kesetaraan dalam akses atau memperoleh kesempatan dan/atau memperkuat kemampuan atas kekurangan-kekurangan atau kelemahan-kelemahan pihak-pihak yang kurang atau tidak beruntung atau diuntungkan, baik laki-laki maupun perempuan,” tutup Kyai Husein.*****(JK)
WARTA KOMUNITAS
Kekerasan Terhadap Perempuan
S
iang itu cuaca di ibukota begitu panas membakar. Matahari seperti berada tepat di atas kepala orangorang yang lalu lalang di jalanan Jakarta. Bulir-bulir keringat membanjiri tubuh tiap pejalan kaki, namun tidak begitu halnya dengan mereka yang melenggang nyaman dengan mobil-mobil ber-AC. Jakarta tetaplah Jakarta, kota yang telah menjadi magnet bagi tiap orang untuk bertandang. Meskipun cuaca panas menyengat, namun hal tersebut tak menyurutkan aktivitas orang-orang di sebuah gang di bilangan utara Jakarta. Pedagang air keliling terlihat hilir mudik mendorong gerobaknya, anak-anak kecil bermain berlarian di ujung gang, hingga pemandangan orang-orang
mencuci pakaian di sisi kiri kanan jalan. Suasana di gang itu begitu riuh rendah oleh berbagai aktivitas orang-orangnya. Di sebuah rumah yang juga digunakan sebagai tempat usaha salon, sekumpulan ibu tengah asik berbincang dan bercekikikan dengan bahagia, seolah tidak terpengaruh dengan suasana sekitarnya. Siang itu redaksi Buletin Perempuan Bergerak mendatangi sekumpulan ibu muda tersebut untuk berbincang seputar kehidupan perempuan di wilayah Gang Marlina, Muara Baru, Jakarta Utara. Perbincangan dibuka dengan
16
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
menanyakan soal-soal kekerasan yang banyak dialami para perempuan di wilayah ini. “Kalau di sini yang lebih banyak soal menikah dini dan kasus hamil duluan”, ujar seorang ibu muda, Leni namanya. Kasus-kasus ini menurut ibu berputra dua ini banyak dialami perempuanperempuan muda usia 14-17 tahun. “Banyak yang usia masih sekolah SMP atau SMA hamil terus dinikahkan. Kalau sudah hamil mereka dikeluarkan dari sekolah jadi banyak yang tidak lanjut sekolahnya”, jelasnya. Sementara untuk kasus yang banyak dialami ibu-ibu adalah kekerasan ekonomi. “Paling banyak ya dikasih uang pas-pasan tetapi suami banyak nuntut. Kalau nggak dipenuhi istrinya ditendang dan dipuku. Kalau sampai disiksa tidak banyak”, tambahnya. Dari perbincangan yang kami lakukan dengan lima orang ibu-ibu ini, diperoleh gambaran bahwa di daerah ini ketika muncul kasus menikah muda akibat kehamilan yang tidak diinginkan, banyak rumah tangganya tidak berjalan baik. “Ya sampai anaknya lahir saja”, ungkap ibu Ipoh, sang pemilik rumah yang juga membuka salon ini. Bahkan menurut cerita ibu Ipoh, pernah ada kasus di mana baru 3 hari menikah langsung diceraikan, karena masing-masing masih ingin melanjutkan sekolahnya. Tapi rupanya, kasus kehamilan dan nikah dini yang banyak terjadi di wilayah ini berdampak pula pada munculnya praktik prostitusi yang dilakukan para perempuan korban pernikahan dini ini. Betapa tidak, ketika remaja, perempuan yang seharusnya masih mengenyam bangku pendidikan, tibatiba harus dihadapkan pada kenyataan harus menikah dan mengandung bayi, sementara pasangannya juga masih belum bisa bertanggungjawab secara ekonomi. “Di sini banyak yang hamil dan menikah dengan teman sebayanya yang juga masih sekolah. Namanya masih muda, mereka banyak yang tidak langgeng rumah tangganya. Habis menikah cerai terus yang perempuannya tidak mungkin kembali sekolah, karena sudah punya bayi. Mereka akhirnya banyak yang jadi pekerja seks. Kalau yang laki-lakinya mereka nyari pacar lagi”,
WARTA KOMUNITAS
terang ibu Elsa yang juga menjadi pelaku nikah dini. Menurut perempuan muda ini, maraknya kasus hamil di luar nikah dan nikah dini di wilayahnya akibat pergaulan bebas yang belakangan ini lagi nge-trend di kalangan anak-anak muda, selain pengawasan yang kurang oleh para orang tua. Namun perempuan berusia 19 tahun ini menyayangkan perlakuan masyarakat yang lebih sering menyalahkan para perempuan, jika terjadi kasus-kasus seperti ini. Padahal menurut pendapatnya, perempuanlah yang justru menjadi korban dalam hal ini. “Saya dulu juga menikah muda usia 16 tahun saat masih sekolah SMP karena hamil sama pacar saya. Sempat juga dulu orangorang menyalahkan saya. Saya sudah hamil, menanggung malu dan masih disalahkan”, ujarnya. “Padahal yang salah bukan hanya si perempuan, si laki-laki juga salah tapi kenapa yang banyak disalahkan itu perempuan?” ujarnya. Meskipun begitu, dia merasa bersyukur tidak sampai mengalami peristiwa perceraian maupun KDRT oleh suaminya. “Alhamdulilah suami saya bertanggungjawab dan baik hingga rumah tangga saya sampai sekarang masih baik-baik” tambahnya. Lain halnya dengan cerita yang diurai ibu Leni. Ibu muda ini memang tidak mengalami nikah dini dan kehamilan di luar nikah, namun pernah menjadi korban kekerasan oleh suaminya. “Waktu itu, suami saya pulang malam dalam keadaan mabuk. Sebagai istri saya kesal karena uangnya dipakai buat mabuk. Padahal kalau dipakai belanja kan bermanfaat buat saya dan anak-anak. Saya protes dan marah-marah waktu itu, tapi suami malah memukul kepala saya pakai helm. Ini bekasnya juga masih ada”, papar ibu Leni seraya menunjukan bekas luka di kepalanya. Menurut cerita ibu-ibu tersebut, kasuskasus kekerasan di wilayahnya memang terbilang banyak, namun tak banyak yang mau ikut membantu. Menurut mereka, karena masyarakatnya yang cuek, sehingga kasus-kasus kekerasan seperti itu dibiarkan begitu saja. “Kalau kasus kekerasan di rumah tangga itu masalah pribadi ya. Kadang kita mau bantu juga takut dikira mau ikut campur”, ujar ibu Ipoh saat ditanya mengapa ikut membiarkan kasus kekerasan yang terjadi selama ini. Sementara saat diminta
“Di sini banyak yang hamil dan menikah dengan teman sebayanya yang juga masih sekolah. Namanya masih muda, mereka banyak yang tidak langgeng rumah tangganya. Habis menikah cerai terus yang perempuannya tidak mungkin kembali sekolah, karena sudah punya bayi. Mereka akhirnya banyak yang jadi pekerja seks. Kalau yang laki-lakinya mereka nyari pacar lagi”
tanggapannya tentang alasan membiarkan maraknya pernikahan dini dan kehamilan di luar nikah, mereka menjawab ada persoalan yang terkadang tidak bisa mereka awasi , seperti teknologi yang mampu mendorong pergaulan bebas. “Susah sih kadang di rumah sudah diawasi, di luar kan kita tidak tahu. Sekarang apa-apa bisa dilihat di hp atau di warnet”, ujar ibu Masniah, seorang perempuan berusia 41 tahun, yang anaknya sekarang duduk di bangku SMP. *****(NR)
Januari - Maret 2013 Perempuan Bergerak
17
SOSOK
Luviana:
Buruh Perempuan Masih Mengalami Diskriminasi Buruh perempuan merupakan satu kelompok yang terus mengalami berbagai macam diskriminasi. Diskriminasi tersebut dialami buruh perempuan tidak hanya di pabrik-pabrik, tetapi juga di perusahaanperusahaan besar, tak terkecuali di media massa. Berbagai macam diskriminasi yang sering dialami oleh pekerja perempuan adalah upah yang sangat rendah, tidak adanya jenjang karir, buruh kontrak hingga menjadi korban pelecehan seksual. Atas kondisi yang demikian itulah, serikat pekerja di sebuah perusahaan menjadi hal yang sangat penting. Namun sayangnya perusahaan mempunyai ketakutan jika ada serikat pekerja di lingkungan usahanya. Pemilik perusahaan cenderung akan melarang adanya serikat pekerja. Maka tak
18
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
heran jika sampai saat ini, keberadaan serikat pekerja di Indonesia tidak terlalu banyak. Minimnya serikat pekerja juga terjadi di perusahaan media. Jumlah media yang melonjak pesat sejak tahun 1998 menjadi lebih dari 2000 hingga akhir 2012, serikat pekerja yang ada hanya sekitar 35. Tingginya ketimpangan antara jumlah perusahaan media dan serikat pekerja ini merupakan sebuah ironi, karena terjadi di perusahaan media yang selama ini kerap menyuarakan nilai demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia. Ada sejumlah penyebab dari minimnya jumlah serikat pekerja di media. Kurangnya kesadaran untuk menggunakan hak berserikat menjadi salah satu faktor. Selain itu, yang paling utama dan tak kalah penting adalah masih kuatnya penolakan manajemen perusahaan media untuk menerima serikat pekerja atau inisitiaf pembentukannya. Hal tersebutlah yang dialami oleh Luviana, seorang wartawan Metro TV yang di PHK sepihak tanpa keterangan yang jelas dari perusahaannya. Selain menjadi jurnalis di Metro TV Luviana juga menjadi anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Luvi, demikian ia biasa disapa, bergabung dengan Metro TV sejak tanggal 1 Oktober 2002 sebagai jurnalis. Kemudian mulai tahun 2007 Luvi diangkat menjadi asisten produser.
SOSOK Sejak menjadi asisten produser itulah, ia dan sejumlah karyawan Metro TV menemukan beberapa hal krusial yang dianggap sebagai sumber persoalan di manajemen redaksi Metro TV. Macetnya saluran komunikasi antara manajemen redaksi dengan para jurnalis, terutama dengan para produser/asisten produser merupakan satu hal yang ia temukan. Selain itu juga ketiadaan penilaian terhadap kinerja karyawan yang dilakukan oleh manajemen redaksi. Kondisi tersebut berakibat pada tidak adanya indikator yang secara obyektif bisa digunakan untuk mengevaluasi kinerja karyawan. Penilaian yang dilakukan perusahaan lebih didasarkan pada rasa suka atau tidak suka. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan terhambatnya jenjang karir dan penyesuaian gaji karyawan. “Fakta yang kami temukan yang juga menjadi pengalaman pribadi saya antara lain, ada karyawan yang mulai bekerja di tahun yang sama, namun kemudian mendapatkan posisi dan gaji berbeda. Saya menerima perbedaan dalam contoh kasus tersebut,” ungkapnya. Pada dasarnya Luvi juga tidak mempermasalahkan perbedaan pelakuan yang dilakukan oleh perusaan jika didasarkan pada kemampuan dan kinerja karyawan. Namun sayangnya, manajemen redaksi tempatnya bekerja tidak bisa menyampaikan alasan pembeda mengapa seorang karyawan mendapatkan posisi yang baik dengan gaji yang meningkat atau tidak. Berdasarkan situasi yang demikian itulah, Luvi, yang juga sudah aktif di kegiatan-kegiatan sosial sejak masih kuliah bersama dengan beberapa rekannya kemudian melakukan upaya bersama untuk membuat perubahan di tempatnya bekerja. “Kami mempertanyakan soal sistem penilaian terhadap para assisten produser dan beberapa jurnalis lainnya kepada manajemen redaksi, namun pertanyaan kami tidak mendapatkan jawaban” demikian Luvi mengungkapkan. Selanjutnya, bersama dengan beberapa assisten produser lainnya, pada bulan
Agustus 2011 Luvi mengajukan surat untuk mempertanyakan persoalan tersebut kepada pihak manajemen redaksi. Lebih kurang sebulan lamanya ia dan rekannya tidak mendapatkan jawaban dari manajemen redaksi soal draft penilaian untuk para produser/assisten produser. Lantas mereka kemudian berupaya untuk menemui Direktur Utama Metro TV. Dari pertemuan tersebut Dirut Metro TV berjanji akan memperbaiki manajemen redaksi dan membentuk tim untuk memperbaikinya. Dengan adanya berbagai kasus itulah maka Luvi dan beberapa temannya membentuk organisasi karyawan untuk menyelesaikan beberapa persoalan di redaksi Metro TV, karena persoalan tersebut tidak hanya menimpa assisten produser dan produser, tetapi juga dialami oleh teman-temannya yang lain. Organisasi karyawan tersebut dibentuk sebagai wujud keprihatinan atas buruknya manajemen redaksi. “Kami berharap dengan adanya organisasi ini, ke depannya bisa menjembatani komunikasi yang sehat antara manajemen dan karyawan seperti halnya yang ada dalam organisasi pekerja,” Luvi menjelaskan. Keberadaan organisasi karyawan teryata Ada sejumlah penyebab dari minimnya jumlah membawa persoalan baru bagi Luvi yang serikat pekerja di kemudian dipindah ke program acara media. Kurangnya Metro Malam pada tanggal 22 Desember kesadaran untuk 2011. Pada saat itulah, Luvi memberikan menggunakan hak evaluasi pada program Metro Malam yang berserikat menjadi menurutnya banyak melakukan pelanggaran salah satu faktor. Selain HAM dan tidak sensitif gender, misal itu, yang paling utama menayangkan wajah tersangka secara dan tak kalah penting terbuka, menayangkan wajah Pekerja adalah masih kuatnya Seks yang dikejar-kejar petugas keamanan penolakan manajemen secara terbuka dan menayangkan tayanganperusahaan media tayangan kekerasan secara vulgar. “Saya untuk menerima serikat ungkapkan bahwa tayangan tersebut pekerja atau inisitiaf melanggar Keputusan Komisi Penyiaran pembentukannya Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran serta melanggar Kode Etik Jurnalistik,” demikian Luvi mengungkapkan. Karena peryataan-peryataan itulah,
Januari - Maret 2013 Perempuan Bergerak
19
ia di anggap membangkang dan banyak mengkritik. Padahal kritikan yang diberikan tersebut didasari untuk pebaikan program siaran agar memiliki perspektif yang lebih baik. Namun demikian akhirnya pada tanggal 26 Desember 2011, Luvi mulai bertugas di program Metro Malam. Sementara beberapa pembenahan dilakukan oleh Direktur Utama, mulai dari pembenahan kedudukan/ organisasional, menajemen redaksi, pemberian assesment pada semua karyawan hingga pembenahan ruangan yang lebih terbuka. Pada awal Januari 2012, manajemen redaksi juga memberikan kenaikan gaji kepada beberapa karyawan. Kenaikan gaji yang dilakukan hanya untuk beberapa asisten produsen dan dilakukan secara tertutup dengan menggunakan surat khusus dari manajemen redaksi. Kenaikan gaji tersebut tentu disambut baik oleh Luvi, namun sekali lagi nuraninya kembali terusik dengan adanya ketidakadilan didepan mata. Kenaikan gaji yang dilakukan tidak transparan dan hanya terjadi pada beberapa orang saja. Demikian juga ketika pada tanggal 27 Januari 2012 manajemen membagikan bonus dari perusahaan, hanya sebagian orang saya yang menerimanya. Ada karyawan yang mendapatkan bonus hanya 0,25 kali gaji, tapi ada juga karyawan yang mendapatkan bonus hingga 5 kali gaji. Namun ada juga karyawan yang tidak mendapatkan bonus sama sekali. Luvi dan beberapa temannya kemudian mempertanyakan soal surat khusus kenaikan gaji beberapa orang assisten produser dan soal pemberian bonus kepada kepala produksi berita. Luvi menginginkan diadakan pertemuan untuk memberi penjelasan tentang hal tersebut. Namun teryata kepala produksi menolaknya dan hanya mau bertemu secara personal. Dari pertemuan tersebut Luvi dan dua rekannya tetap tidak mendapatkan
20
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
jawaban. Maka iapun meminta untuk diadakan pertemuan dengan manajemen HRD Metro TV. Pada proses selanjutnya, ia dan beberapa rekannya membuat notulensi soal perkembangan dan rencana pertemuan dengan manajemen redaksi. Notulensi tersebut ia kirimkan ke dua orang teman melalui sms. Namun sms tersebut disebarluaskan oleh beberapa teman ke banyak karyawan di Metro TV. Bahkan ada yang menggunggahnya ke situs jejaring sosial. Maka pertemuanpun dibatalkan tanpa ada alasan yang jelas. Dengan adanya kejadian tersebut, Luvi dipanggil oleh Manager HRD dan diminta untuk mundur karena manajemen redaksi akan menon-aktikannya. Ia dan dua rekannya dijanjikan akan diberi pensangon sesuai UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. “Saat itu saya menyatakan menolak dan melaporkan kasus ini kepada AJI Jakarta” demikian ungkap Luvi. Pada tanggal 1 Februari 2012 kedua rekan Luvi menandatangani surat pesangon. Sementara ia mengambil surat pesangon dan belum menandatangani apapun karena belum ada kejelasan soal alasan mengapa dirinya disuruh mundur. Pada saat yang sama kepala redaksi memberitahukan kepada tim produser bahwa sejak tanggal 1 Februari 2012 Luvi sudah dinyatakan mundur dari Metro TV. Sejak saat itulah ia sudah tidak diberikan tugas apapun di redaksi dan ia dianggap menjadi tanggung jawab HRD perusahaan. Dari hasil pertemuannya dengan manajemen redaksi, Luvi tidak pernah mendapatkan alasan yang jelas mengapa manajemen memintanya mundur. Informasi yang ia peroleh bahwa ia tidak dipecat sebagai karyawan Metro TV, hanya saja tidak lagi bekerja di bagian redaksi. Dengan adanya kasus tersebut, maka pada 6 Februari
2012, AJI Jakarta berinisiatif menghubungi tempat Luvi bekerja untuk melakukan pertemuan atas kasus yang menimpanya. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Manajemen Metro TV yang diwakili oleh Manager HRD dan Kepada Departemen Redaksi. Dalam pertemuan tersebut manajemen redaksi tidak menemukan kesalahan terhadap dirinya. Manajemen Metro TV menyatakan akan mendiskusikan dan mengupayakan agar Luvi dapat kembali bekerja di bagian redaksi. Kemudian pada tanggal 17 Februari 2012, Luvi kembali menemui manajemen Metro TV. Dari pertemuan tersebut ia mendapatkan jawaban bahwa pihak manajemen belum menemukan posisi yang pas untuknya di redaksi. Ia masih akan berusaha menanyakan kembali kepada manajemen redaksi Metro TV agar dirinya bisa kembali bekerja di bagian redaksi. Pada kesempatan tersebut Luvi juga menanyakan kembali tentang kesalahan yang dilakukannya sehingga ia dinonjobkan. Namun kembali pihak manajemen menyatakan bahwa Luvi tidak melakukan kesalahan, tapi manajemen redaksi memang tidak mau menerimanya kembali dengan tanpa alasan. Pada tanggal 24 Februari 2012, Luvi dengan didampingi rekan-rekannya di AJI Jakarta kembali mengadakan pertemuan dengan manajemen Metro TV. Dalam pertemuan tersebut pihak manajemen kembali menyatakan bahwa pihak redaksi Metro TV tidak mau menerimanya kembali dengan tanpa alasan. Ketika ia kembali menanyakan apa kesalahannya, pihak manajemen HRD kembali menyatakan bahwa dari sisi tugas jurnalistik maupun dari sisi administratif, ia tidak melakukan kesalahan apapun. Pada tanggal 5 Juni 2012, Luviana dengan didampingi Ketua AJI Jakara, tim litigasi dan nonlitigasi Aliansi Menolak
Topeng Restorasi (Aliansi Metro), bertemu dengan Suryo Paloh sebagai pemilik perusahaan di Kantor Nasdem. Dalam pertemuan tersebut Surya Paloh mengatakan, akan mempekerjakan kembali Luviana di Metro TV. Namun janji tersebut tidak pernah terealisasi, bahkan pada tanggal 27 Juni 2012, manajemen Metro TV mengirim surat pemecatan. Atas kasusnya tersebut Luvi sudah mengadu ke ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan serta ke Komisi IX DPR RI. Selain itu, pada tanggal 6 Oktober 2012 Luvi juga melakukan pengaduan ke Polda Metro Jaya. Luvi mengadukan terkait upah yang hampir lima bulan tidak dibayar oleh pihak manajemen. Luvi juga mendatangi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 2 November 2012 yang lalu, ia meminta Ketua PN Jakarta Pusat memberikan penetapan eksekusi atas kasusnya. Luvi tak pernah berhenti memperjuangkan keadilan bagi dirinya. Pada tanggal 23 November 2012 ia melakukan aksi seorang diri di Bunderan HI dengan membawa spanduk untuk mengajak masyarakat agar tidak menonton Metro TV pada tanggal 25 November 2012, bertepatan dengan HUT televisi tersebut. Kemudian pada tanggal 25 November 2012 Luvi bersama Aliansi Metro (Melawan Topeng Restorasi) dan Aliansi Sovi (Solidaritas Perempuan for Luviana) juga mengkampanyekan “Stop Nonton Metro TV Sehari Pada 25 November 2012″. Kampanye stop nonton Metro TV dilakukan selama seminggu dari tanggal 20 November 2012 sampai 25 November 2012. Perjuangan Luvi tidak pernah berhenti, pada tanggal 16 Januari 2013 yang lalu
21
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
Luvi bersama dengan rekanrekannya mendatangi kantor Partai Nasdem, dimana ketua partai ini adalah Surya Paloh yang sekaligus sebagai pemilik perusahaan tempat Luvi bekerja. Namun yang terjadi adalah rekan-rekan Luvi mengalami kekerasan dari orang-orang yang ada di tempat tersebut. Perjuangan yang sedang dilakukan Luvi saat ini mengingatkan kita pada perjuangan Marsinah, seorang seorang aktivis dan buruh pabrik PT Catur Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Marsinah dikenal sebagai salah satu aktivis buruh di kawasan industru Prorong, Sidoarjo ini diduga dibungkam terkait dengan kegiatannya. Semua berawal ketika awal tahun 1993, Gubenur Jawa Timur mengeluarkan Surat Edaran No. 50/1992 yang berisi imbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji pokok sebesar 20 persen gaji pokoknya. Pada pertengahan April 1993, karyawan PT Catur Putera Surya (CPS) membahas surat edaran tersebut dan menilai besaran kenaikan yang ditetapkan gubenur kurang besar. Karyawan PT CPS pun memutuskan untuk berunjuk rasa pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Marsinah terlibat dalam aksi tersebut dan juga terlibat dalam pembahasan rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggulangin. Pada tanggal 3 Mei, aksi mogokpun digelar. Kemudian pada tanggal 4 Mei 1993 para buruh mogok total dengan mengajukan 12 tuntutan temaksuk tuntutan perusahaan harus menaikkan upah pokok dari 1.700 per hari menjadi Rp. 2.250. Selain itu
juga tunjangan tetap Rp. 550 per hari mereka perjuangan agar bisa diterima, termasuk oleh buruh absen. Sampai tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundinganperundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak karyawan. Pada tanggal 5 Mei 1993, tanpa Marsinah, 13 buruh dianggap menghasut unjuk rasa dan digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinahpun sempat medatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 mei 1993. Luvi dan Marsinah memang beda generasi, namun apa yang mereka perjuangkan adalah sama, dimana buruh harus disejahterakan. Perusahaan memiliki tanggung jawab untuk membuat buruh sejahtera. Selain itu perusahaan juga harus bisa memberikan keadilan kepada semua karyawannya, termasuk jenjang karir yang jelas dan dengan penilaian yang jelas. Tidak melakukan tindakan semena-mena kepada buruh menjadi salah satu kewajiban dari perusahaan****(JK)
PUISI
Nikah Pisau
Nikah Bulan
Oleh: Dorothea Rosa Herliany
Oleh: Dorothea Rosa Herliany
aku sampai entah dimana. berputar-putar dalam labirin. perjalanan terpanjang tanpa peta. dan inilah warna gelap paling sempurna. kuraba gang di antara sungai dan jurang
kutemukan untukmu, bulan yang runtuh dalam kolam. kutemukan memeluk ranjang - wajah yang terlipat, dan terpatah pedar air di permukaan. (sedang kau dalam menunggu, sendirian menghitung getar waktu).
ada jerit, serupa nyanyi. mungkin dari mulutku sendiri. kudengar erangan, serupa senandung. mungkin dari mulutku sendiri. tapi inilah daratan dengan keasingan paling sempurna: tubuhmu yang bertaburan ulat-ulat, kuabaikan. sampai kurampungkan kenikmatan sengama. sebelum merampungkanmu, dalam segala ngilu
suara yang purba itu, siapa memanggil-manggil namamu? jarak pun terlipat antara genang kolam dan awan yang sembunyikan bulan. tinggal suara yang kabur di dasar kolam, merahasiakan suara-suara. kutemukan untukmu, Kekasih! sebab lebih dekat mendekapmu, ketimbang menikam agar lebih luka.
PUISI-PUISI Dorothea Rosa Herliany
1992 1986
Cincin Kawin
Oleh: Dorothea Rosa Herliany seumpama bunga kami adalah telah terlanjur kupenggal sebagian gambar kepalamu. wajahmu tetap berlumut. tak bisa kujilat sajak-sajak yang menetes dari lelehan darah itu. dan ketika tumbuh bunga yang aneh, seperti ada yang memijarkan sejarah kemanusiaan kita yang tak pernah utuh.
rupanya terlalu singkat kutebak luka pada kaca dibalik gorden: wajah yang selalu diulang-ulang. tanpa gairah pertempuran.
siapa yang membiarkan bunga-bunga itu tumbuh? tangan gelap telah menyebarkan racun yang menyuburkannya. dan matahari, tak terlalu bijak menatapnya.
luka demi luka tumbuh dalam pot: menjelmakan bacin nafas dunia. kesegaran hidup yang terkurung usia singkat embun di atas daun -jauh di luar kaca!
jadi, biarlah kita merimbun bagai taman dengan racun-racun itu. aku hanya rumput yang tak bakal dipetik, menunggu sendiri waktu menua.
seperti menutup kembali album yang melipat waktu di luar usia, kututup kembali gorden. sekelebat bayangan gugur ke luar pigura. kemudian mengabut pada meja.
1987
Solitude
Oleh: Dorothea Rosa Herliany
kita seperti menangkap kembali gairah kepedihan. lalu di luar percakapan: menanamnya dalam vas bunga. dalam liang luka! 1987
22
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
BEDAH BUKU
Menguak Identitas Perempuan
B
uku ini berisi kumpulan tulisan dengan topik beragam yang merupakan hasil studi para penulisnya. Studi ini menggambarkan identitas perempuan dalam situasi ekonomi politik Indonesia saat ini. Tulisan berjudul Bu Carik dan Pak Carik: Autonomy and the Creation of Fluid Patriarchy in Jangkaran, Kulon Progo,Yogyakarta, adalah hasil riset Yulianingsh Riswan selama dua bulan di desa Jangkaran, Kulon Progo, Yogyakarta. Riset ini menggunakan metode refleksi yang mengungkapkan perubahan relasi gender di keluarga dan di kampung yang sebagian besar perempuannya menjadi buruh migrant. Riset dilakukan di keluarga Pak Carik dan Bu Carik, yang merupakan salah satu keluarga terpandangan di desa Jangkaran. Penulis memaparkan relasi suami istri di keluarga tersebut, interaksi sehari-hari, hubungan dan komunikasi yang dibangun dengan keluarga lain, serta interaksi dalam kegiatan publik yang dilakukan oleh keduanya, terutama oleh Bu Carik, yang menjadi fokus riset. Desa Jangkaran merupakan wilayah yang penduduk perempuannya banyak menjadi buruh migran ke Arab Saudi. Keinginan untuk memperbaiki ekonomi keluarga menjadi alasan utama. Dalam perkembangannya, banyak faktor menyebabkan terjadinya migrasi transnasional tersebut sangat diminati, misalnya untuk mandiri, mapan, dan tidak bergantung kepada suami. Yang menarik, bahwa perempuan yang pulang bekerja dari luar negeri memiliki posisi tawar yang cukup kuat di keluarga, karena kemapanan ekonominya. Mereka telah mampu membangun rumah, membeli ternak, kendaraan, perhiasan, bahkan peralatan rumah tangga yang moderen karena hasil bekerja di luar negeri. Dengan meningkatnya taraf hidup maka turut mem-
Judul Penulis Penerbit Cetakan Halaman ISBN
: Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender : Aris Arif Mundayat, Edriana Noerdin, Sita Aripurnami : Women Research Institute (WRI) : Tahun 2006 : 191 halaman : 979-99305-5-3
pengaruhi peran dan posisi perempuan dalam keluarga maupun di masyarakat. Selain itu, tampak bahwa terjadi pergeseran pola gaya hidup perempuan di Jangkaran, terutama budaya konsumerisnya. Gaya hidup Bu Carik misalnya, dari pakaian, perhiasan, sampai perabotan rumah tangganya adalah barang impor yang dibeli mahal. Tentu gaya hidup Bu Carik itu telah mendapat pengaruh kondisi lingkungan masyarakat lain, yakni Arab Saudi, yang terinternalisasi dalam kehidupan sehari-harinya. Juga perempuan lain yang pernah atau sedang menjadi buruh migran di Arab Saudi. Menyoal gaya hidup perempuan, ini pun menjadi bahasan Heru Prasetia dalam tulisannya yang berjudul Pakaian, Gaya, dan identitas Perempuan Islam. Penulis secara apik memaparkan kontak awal busana Islam mulai dari kesultanaan hingga saat ini, serta perbandinganya di berbagai belahan dunia. Tulisan tersebut juga akhirnya mendeskripsikan makna sosial jilbab yang berkembang di Indonesia dari masa ke masa. Jilbab identik dengan ekspresi keagamaan. Pada masa Orde Baru, negara tidak memperkenankan Islam menjadi
Januari - Maret 2013 Perempuan Bergerak
23
basis ideologi politik. Karena itu, represi terhadap Islam, termasuk kendali terhadap simbol-simbol keislaman seperti jilbab. Dalam konteks masa itu, pemakaian jilbab menjadi simbol perlawanan. Dalam era otonomi daerah saat ini, sejumlah daerah memaknai Islam sebagai elemen penting dalam identitas nasional. Oleh karenanya, muncul sejumlah Perda Syariah yang mewajibkan perempuan memakai jilbab. Dalam konteks yang berbeda, pemakaian jilbab akhirnya berbenturan dengan pilihan individual, karena dalam perkembangannya pemaknaan jilbab tak lagi menjadi simbol perlawanan, namun menjadi trend gaya hidup dan budaya busana global. Dapat diamati, bahwa perkembangan pakaian muslim akhir-akhir ini sangat pesat. Ini tidak lepas dari pengamatan penulis, bahwa perkembangan mulai dari jenis pakaian yang beragam maupun omset penjualan mengalami peningkatan signifikan. Industri pakaian muslim
yang dipopulerkan dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam ranah dunia hiburan menjadi faktor penting pemakaian jilbab oleh perempuan. Oleh karenanya, lagi-lagi dalam hal ini perempuan menjadi target pasar global. Pasar telah menunjukan kecerdikannya dalam menyiasati perkembangan sosial ekonomi kaum santri di Indonesia. Perempuan menjadi konsumen industri fesyen jilbab yang tengah menjadi trend. Maka makna sosial jilbab pun berubah-ubah, tidak hanya sebagai identitas keagamaan, melainkan menjadi komoditas. Tulisan berikutnya ditulis oleh Naning Ratningsing (dari Kalyanamitra) yang berjudul Peran Ekonomi Perempuan Nelayan: Studi tentang Pola Relasi Gender dalam Keluarga Perempuan Nelayan di Muara Baru. Tulisan ini merupakan hasil kajian di wilayah dampingan Kalyanamitra, di Muara Baru, Jakarta Utara (wilayah pesisir di Jakarta). Secara umum, hasil kajian ini menggambarkan transformasi perempuan nelayan di Jakarta Utara yang awalnya meng-
gantungkan kehidupannya pada laut sebagai sumber ekonomi mereka. Kini menggantungkan beaya hidup sehariharinya dengan berdagang kecil-kecilan dan menjadi kerja upahan. Transformasi ini terjadi diawali dengan pengerukan besar-besaran lokasi pemukiman mereka tahun 1962 untuk dijadikan waduk Pluit. Pemukiman penduduk tergusur, demikian pula sumber mata pencaharian mereka hilang karena itu. Kejayaan sebagai nelayan telah hilang ketika masuknya perusahaan-perusahaan, gudang-gudang industri, dan hotel. Sehingga, pekerjaan perempuan nelayan mengalami perubahan menjadi pekerja upahan dan membuka usaha dagang kecil-kecilan. Penulis mengamati telah terjadi perubahan relasi gender dalam keluarga perempuan nelayan yang dipengaruhi oleh perubahan wilayah. Hal lain tampak dalam pembagian kerja dan pengambilan keputusan yang berubah ke arah kesetaraan. Perubahan itu terjadi karena perempuan menghasilkan pendapatan sehingga tidak bergantung
Januari - Maret 2013 Perempuan Bergerak
24
pada suaminya. Perempuan memiliki kekuasaan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga meskipun masih keputusan dalam lingkup domestik. Kondisi ini hampir mirip dengan tulisan sebelumnya mengenai buruh migran di desa Jangkaran. Perempuan memiliki power tatkala mapan secara ekonomi dan tidak bergantung pada suaminya. Penetrasi Kapitalisme Pertambangan dan Ketidakadilan Gender: Studi Kasus atas Pertambangan PT. Inco dan Dampaknya terhadap Perempuan di Desa Soroako, Kab. Luwu Timur, Sulawesi Selatan menjadi tulisan berikutnya dalam buku ini. Tulisan ini juga hasil riset Idham Arsyad yang merefleksikan kasus konflik antara PT. Inco dengan masyarakat desa Soroako, khususnya yang berdampak pada perempuan di lokasi tersebut. Secara kronologis, penulis mengungkapkan konflik dan kemiskinan yang melanda desa tersebut dengan titik tumpu utama ialah kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami perempuannya. Pertanian menjadi sumber pendapatan utama masyarakat Soroako dan menjadi basis produksi perempuan di wilayah tersebut. Oleh karenanya, ketergantungan perempuan terhadap tanah dan sumber-sumber agraria sangat tinggi. Masuknya PT. Inco secara spesifik mengubah drastis basis penghidupan perempuan. PT. Inco mengonversi lahan pertanian secara besar-besaran menjadi wilayah tambang yang tentunya untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan. Dengan adanya pertambangan tersebut secara langsung merusak hubungan produksi perempuan, yang akhirnya menciptakan ketidakadilan gender. Hilangnya pekerjaan di sektor agraria menjadikan perempuan melakukan migrasi besar-besaran dari desa ke kota bahkan ke luar negeri untuk tetap mempertahankan hidup. Beban ganda perempuan tak terhindarkan. Di satu sisi, mereka harus mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya, namun saat bersamaan, perempuan harus menan-
25
gani urusan domestik. Secara umum, penulis menyimpulkan bahwa PT. Inco mengakibatkan adanya eksploitasi beban kerja dan peran ganda perempuan. Dalam konteks ini, peran dan posisi mereka di masyarakat dipaksa oleh sistem yang kapitalis untuk memasuki reproduksi ekonomi yang tidak adil bagi perempuan. Amin Mudzakkir juga berbicara mengenai peran dan posisi perempuan dalam tulisannya. Sorotan Amin Mudzakkir tertuju pada perempuan Bali dalam kehidupan politik dan gerakan demokrasi Indonesia pasca Orde Baru. Dalam risetnya yang berjudul Perempuan dan Demokrasi Lokal di Bali, penulis melacak gagasan identitas perempuan Bali, khususnya keterlibatan perempuan dalam panggung sejarah yang menjadikannya sebagai subjek konstruksi identitas ke-bali-an. Pasca Orde Baru, Bali dibangun sebagai komoditas industri pariwisata sehingga Bali menjaga hubungan baiknya dengan pemerintahan pusat untuk menjaga keunggulannya. Namun saat yang bersamaan, ada resistensi yang ditunjukkan masyarakat Bali terhadap industriindustri yang mengancam menggusur budaya dan tradisi Bali. Resistensi tersebut mewujud dalam gerakan “Ajeg Bali.” Walaupun banyak wacana yang berkembang mengenai konsep ‘Ajeg Bali’ yang dianggap maskulin. Di sisi lain, berkembang perdebatan mengenai pelibatan perempuan dalam mempertahankan identitas ke-bali-an. Dalam riset ini, peran penting kelas menengah dalam politik identitas ini untuk mengangkat dan mengakselerasi keterlibatan perempuan Bali, baik dalam dunia sosial maupun politk yang lebih luas. Maka ‘Ajeg Bali’ dapat bermakna dua, di satu sisi memberi apresiasi terhadap kemajuan perempuan, namun di sisi lain, berusaha menempatkan perempuan sesuai dengan konsep ke-bali-an yang phallocentris.
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
Gagasan resistensi perempuan juga mengemuka dalam tulisan Hilma Safitri yang berjudul Pemetaan Partisipatif dan Peran Perempuan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Penulis memaparkan kasus komunitas yang berhasil melakukan perlawanan terhadap kekuatan yang mencerabut sumber daya alam yang menjadi basis hidup perempuan. Pemetaan partisipatif dapat menjadi strategi perjuangan untuk membangun kembali kemandirian dan kedaulatan rakyat. Selain sebagai alat resistensi terhadap desakan industrial, metode ini juga bisa menggalang kaum perempuan dan kelompok tertindas lain merebut kembali pemilikan wilayah, sumber daya alam, serta pengetahuan untuk mengelola hal tersebut. Kata penutup buku ini menjelaskan bahwa tulisan-tulisanyang ada telah berhasil menunjukan peta persoalan perempuan. Pergeseran-pergeseran peran perempuan yang terjadi di tingkat lokal terefleksikan dalam tulisan-tulisan itu. Dalam pendahuluan buku ini, disebutkan bahwa keluarga sebagai agen sistem ekonomi global untuk mengubah individu di dalamnya sebagai tenaga kerja produktif dan pelaku konsumtif ekonomi uang. Sesungguhnya ekonomi global menjadi penyebab terjadinya pergeseran-pergeseran itu, sehingga identitas perempuan mengalami perubahan. Dari refleksi tulisan-tulisan dalam buku ini, kerangka pergeseran peran perempuan di tingkat lokal maupun global, perempuan tetap berperan penting dalam tiap perjuangan untuk mempertahankan hidupanya.*****(IK)
BEDAH FILM
Perempuan Bukan Mesin Anak
M
enikah menjadi salah satu tahapan yang biasa dilalui dalam kehidupan manusia. Menikah menjadi salah satu hal yang “harus” dilakukan oleh seseorang ketika sudah menginjak usia yang dirasa tepat. Ketika dalam usia tertentu belum menikah, maka berbagai macam pertanyaan akan ditujukan pada dirinya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak hanya disampaikan oleh keluarga atau teman dekat saja, tetapi juga masyarakat. Seseorang yang tidak menikah pada usia tertentu dianggap aneh dan nyeleneh dan keluar dari “idealnya” sebuah kehidupan. Dengan adanya berbagai tekanan tersebut, sering seseorang tidak berpikir panjang apa yang ingin dicapai dari sebuah pernikahan. Tanpa adanya pemikiran yang matang tentang pernikahan tersebutlah yang membuat tingginya angka perceraian. Karena pernikahan dilakukan hanya untuk menyenangkan keluarga dan masyarakat tanpa ada tujuan yang jelas, maka ketika rintangan datang, kata cerai menjadi sebuah pilihan. Ada berbagai alasan yang sering diberikan ketika seseorang memutuskan
26
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
untuk menikah, misalnya melanjutkan keturunan, karena perintah agama/ibadah, karena mau ada yang mengurus, dan lain sebagainya. Bahkan sering pula pernikahan itu dilaksanakan dengan terpaksa karena terjadi kehamilan tidak diinginkan. Atau bisa juga perkawinan tersebut terpaksa dilakukan, karena memang sudah dijodohkan oleh orang tua karena berbagai hal, misalnya karena lilitan hutang, hutang budi dan lain sebagainya. Padahal pernikahan yang dilakukan tanpa ada persiapan dan pemikiran yang matang justru kerap menjerumuskan seseorang ke jurang kesengsaraan. Bagi mereka yang sudah menginjak usia tertentu dan belum menikah tentu mempunyai alasan tersendiri, seperti misalnya ingin berkarir atau belum ketemu jodoh. Namun demikian, ketika seseorang telah menginjak usia tertentu dan belum menikah mereka akan mendapat berbagai stigma negatif di masyarakat. Stigma ini lebih sering dilekatkan pada perempuan daripada laki-laki. Pada perempuan misalnya, ketika ia sudah berusia sangat matang dan belum juga menikah, maka sering di cap sebagai “perawan tua”. Stigma negatif terhadap perempuan yang belum menikah di usia yang cukup
Judul: Test Pack: You are My Baby Sutradara: Monty Tiwa Penulis: Adhitya Mulya Pemain: Reza Rahadian, Acha Septriasa, Renata Kusmanto, Dwi Sasono, Uli Herdinansyah, Meriam Belina Durasi: 109 menit Produksi: Kharisma Starvision Plus dan NHK Enterpises
matang, ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Di China misalnya, seorang perempuan yang tidak menikah saat berusia diatas 27 tahun, maka akan disebut sebagai “perempuan sisa”. Sebutan sheng-nu atau perempuan sisa ini telah dimulai tahun 2007, tahun yang sama saat pemerintah setempat memperingatkan tidak imbangnya jumlah perempuan dan laki-laki karena aborsi, akibat adanya kebijakan satu anak. Dalam kehidupan bermasyarakat, pertanyaan kapan menikah tidak menjadi pertanyaan penutup. Ada pertanyaan selanjutnya yang biasanya disampaikan oleh keluarga atau masyarakat kepada seseorang, baik perempuan maupun laki-laki yang telah menikah, yakni kapan mempunyai anak. Adanya anak menjadi “keharusan” dalam kehidupan berumah tangga. Ketika belum ada anak, sebuah keluarga belum dianggap lengkap. Mempunyai anak menjadi keharusan yang hakiki setelah melangsungkan pernikahan. Jika sudah menikah cukup lama belum mempunyai anak, maka akan mendapatkan tekanantekanan baik dari keluarga mau-
27
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013
pun dari masyarakat. Akan ada banyak nasihat ini dan itu agar segera punya anak. Ketika anak tak kunjung hadir, pihak perempuanlah yang sering disalahkan. Pihak perempuan yang harus berusaha mati-matian. Sering yang dianggap mandul hanya perempuan, sementara laki-laki selalu dianggap kuat dan perkasa dan pasti mampu untuk memiliki anak. Selain itu, perempuan yang tidak punya anak tidak dianggap sebagai perempuan sempurna. Ketika perempuan tak juga punya anak, menjadi pembenaran bagi laki-laki untuk menikah lagi. Bahkan, hal tersebut dibenarkan oleh Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terutama pasal 4 ayat (2) yang mengatakan: “Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: (a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; (b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c) istri tidak dapat melahirkan keturunan”. Apa yang diatur dalam Undang-Undang tersebut memberi penegasan bahwa laki-laki dianggap sebagai makluk yang paling sempurna dan sudah pasti bisa membuahi indung telur perempuan. Ketika anak tak kunjung tiba dalam sebuah rumah tangga, maka laki-laki berhak untuk menikah lagi. Sementara jika lakilaki yang mengalami persoalan dengan kondisi kesehatannya, perempuan tidak mempunyai hak untuk menceraikannya. Bahkan perempuan yang meninggalkan suaminya, sering dicap sebagai perempuan yang tidak benar. Masyarakat tidak pernah berpikir
bahwa laki-laki juga bisa mandul, sama dengan perempuan. Karena perempuan dan laki-laki adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Apapun terkait dengan kemandulan bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan. Problem dalam rumah tangga tentang kehadiran anak inilah yang diangkat dalam film Test Pack: you are my baby. Film ini menceritakan tentang pasangan suami istri, Rahmat (diperankan oleh Reza Rahardia) dan Tata (diperankan oleh Acha Septriansa) yang sudah menikah selama 7 tahun lamanya, tetapi belum dikaruniai anak. Awalnya memang anak bukan menjadi persoalan utama dalam kehidupan rumah tangga pasangan ini, tetapi seiring berjalannya waktu dan juga tekanan dari keluarga, kehadiran anak menjadi satu hal yang sangat diidam-idamkan. Berbagai macam usaha pun dilakukan termasuk makan makanan yang dianggap dapat memberi kesuburan, seperti taoge, gingseng dan sebagainya. Tetapi usaha tersebut tidak cukup, hingga akhirnya pasangan ini menyerah dan memeriksan diri ke dokter kandungan. Sekali lagi, seperti anggapan masyarakat pada umumnya bahwa ketika anak tidak kunjung hadir dalam kehidupan berumah tangga, maka pihak perempuan yang dipersalahkan dan dia harus menjalani berbagai macam ritual. Demikian juga yang diceritakan dalam film ini, Tata, sang istrilah yang kemudian memeriksakan diri ke dokter kandungan untuk mengetahui kadar kesuburannya. Berbagai tes pun dilaksanakan dan hasilnya semua baik-baik saja. Demikian dalam kehidupan di masyarakat, ketika anak tak
kunjung tiba dalam kehidupan di rumah tangga, maka yang akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu atau disuruh untuk memeriksakan diri adalah perempuan. Karena sudah lazim perempuan dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kehadiran seorang anak. Inisiatif untuk memeriksakan kondisi kesehatan tersebut tak pernah hadir dari pihak laki-laki. Hal ini terjadi karena budaya patriarki yang masih kuat dianut dalam masyarakat. Laki-laki dianggap sebagai makluk yang paling sempurna maka tak mungkin dia mandul. Dia pasti bisa membuahi indung telur yang ada di rahim perempuan. Maka tak ada di dalam kamus laki-laki untuk mempunyai inisiatif memeriksakan diri, ketika anak tak juga hadir dalam kehidupan rumah tangga. Kesadaran akan pentingnya memeriksakan konsidi kesehatan seharusnya hadir dari kedua belah pihak, baik laki-laki mapun perempuan, karena segala kemungkinan itu pasti ada. Hal tersebut jugalah yang hadir dalam film ini, setelah sang istri melakukan berbagai tes, dan dokter mengatakan semuanya baik-baik saja, maka ada ketakutan dalam diri Rahmat jangan-jangan dirinya yang memang tidak bisa membuahi. Walau ada ketakutan seperti itu, Rahmat tak berani mengakuinya. Namun demikian, tanpa sepengetahuan istrinya, ia-
pun memeriksakan diri ke dokter, dan hasilnyapun disimpan rapatrapat. Ada perbedaan proses pemeriksaan antara Rahmat dan Tata. Tata, sebagai seorang istri, ketika anak tak kunjung datang ia merasa bersalah dan berusaha memeriksakan diri ke dokter dengan terlebih dahulu konsultasi dengan suami. Sebaliknya, Rahmat sebagai seorang suami, ketika mengetahui hasil pemeriksaan dari dokter kondisi istrinya baikbaik saja mempunyai kekhawatiran dirinya yang mandul, tetapi ia tidak berani berkonsultasi dengan istrinya, maka ia memilih memeriksakan diri dengan sembunyisembunyi tanpa sepengetahuan Tata. Masyarakat pun sering membenarkan bahwa perempuan yang tidak dapat memberikan anak layak untuk diceraikan. Hal tersebutlah yang dialami oleh Sinta (diperankan oleh Renata Kusmanto), seorang model yang reputasinya sangat mendunia. Shinta diceraikan oleh suaminya Heru (diperankan oleh Dwi Sasono) karena tidak dapat memberikan anak. Shinta divonis mandul oleh dokter. Walaupun masih cinta, namun karena tekanan dari keluarga, terutama ibunya, Heru bersedia menceraikan Shinta. Apa yang diceritakan dalam film ini memberikan gambaran nyata kehidupan dalam masyara-
kat, bahwa sampai hari ini perempuan masih dianggap sebagai alat produksi, terutama untuk memproduksi anak. Ketika ia tidak dapat memproduksi anak, maka ia dapat di “buang” dan diganti yang lainnya. Sementara jika laki-laki yang mengalami kemandulan, masyarakat masih menganggap sebagai suatu hal yang wajar dan bisa dimaklumi dan tidak membolehkan perempuan untuk meninggalkannya. Seharusnya ketika anak tidak kunjung datang, para pasangan ini merefleksikan lagi akan tujuan pernikahan itu sendiri. Kalau tujuan pernikahan itu adalah melanjutkan keturunan memang kehadiran anak menjadi sangat penting, lantas setelah anak lahir apakah juga berakhir pula hubungan perkawinan? Pertanyaanpertayaan kritis tentang tujuan seseorang menikah menjadi salah satu hal yang sangat penting, karena hal tersebutlah yang kemudian akan menjadi pondasi dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Adanya anak sebenarnya juga tidak dianggap penting bagi Rahmat, karena baginya kehadiran Tata disampingnya sudah merupakan kebahagiaan baginya. Karena ia menikah memang bukan karena anak semata, namun karena rasa sayangnya yang dalam terhadap Tata. Namun ternyata pernikahan bukan hanya hubungan dua orang manusia, namun juga hubungan keluarga. Ada campur tangan keluarga dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Namun terlepas dari itu semua, kalau sejak awal pondasi yang dibangun sudah kuat, maka ada goyangan apapun tidak akan roboh. *****(JK)
Januari - Maret 2013 Perempuan Bergerak
28
KOSA KATA
Diskriminasi
Penyiksaan
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. (UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 angka (3))
Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk sesuatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik (UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 ayat (4)). Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia, Pasal 1)
Diskriminasi Terhadap Perempuan Diskriminasi terhadap perempuan adalah setiap pembedaan, pengesampingan, pembatasan apapun, yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan (Konvensi CEDAW, pasal 1).
Diskriminasi Rasial Diskriminasi rasial adalah segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pengutamaan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau kebangsaan atau suku bangsa, yang mempunyai maksud atau dampak meniadakan atau merusak pengakuan, pencapaian atau pelaksanaan, atas dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, atau bidang kehidupan masyarakat yang lain (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Pasal 1)
Kekerasan Seksual Kekerasan seksual adalah serangan yang mengarah kepada seksualitas seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) yang dilakukan dibawah tekanan. Kekerasan seksual adalah termasuk, tapi tidak terkecuali pada perkosaan, perbudakan seksual, perdagangan orang untuk eksploitasi seksual, pelecehan seksual, sterilisasi paksa, penghamilan paksa dan prostitusi paksa (International Criminal Tribuanal for Rwanda, Chamber 1)
Penghamilan Paksa Penghamilan paksa adalah penahanan tidak sah terhadap perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Definisi ini betapa pun tidak dapat ditafsirkan sebagai mempengaruhi hukum nasional yang berkaitan dengan
Januari - Maret 2013 Perempuan Bergerak
29
kehamilan (Statua Roma, Pasal 7:2(f))
Perbudakan Seksual Perbudakan seksual adalah tindakan kejahatan. Pelapor Khusus PBB mengenai bentuk-bentuk Perbudakan Masa Kini mendefinisikan perbudakan seksual sebagai “status atau kondisi seseorang yang kepadanya dilakukan semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan, termasuk akses seskual melalui pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual”. Perbudakan seksual juga mencakup situasi-situasi dimana perempuan dewasa dan anak-anak dipaksa untuk “menikah”, memberikan pelayanan rumah tangga atau bentuk kerja lainnya yang pada akhirnya melibatkan kegiatan seksual paksa, termasuk pemerkosaan oleh penyekapnya (Chega1, Bab 7.7, Paragraph 162)
Perbudakan Seksual Prostitusi paksa adalah penggunaan kekerasan, ancaman, lilitan hutang, dsb., yang dilakukan seseorang atau sindikat yang menyebabkan perempuan tidak melihat adanya pilihan lain kecuali melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk memperoleh keuntungan dari biaya yang dikelaurkan oleh orang ketiga untuk dapat berhubungan seksual dengan perempuan tersebut. Praktik ini merupakan salah satu tujuan dari perdagangan perempuan.
setujuannya, atau berada di bawah tekanan, ancaman atau lilitan hutang. Praktik ini dapat dikategorikan sebagai bentuk perbudakan.
Pelecehan Seksual Pelecehan seksual adalah perilaku seksual yang tidak diinginkan yang disampaikan melalui kontak fisik maupun mengambil keuntungan tertentu dengan menggunakan ucapan-ucapan yang bernuansa seksual, mempertunjukkan materi-materi pornografi dan keinginan seksual. Perilaku tersebut mengakibatkan perendahan martabat seseorang dan mungkin sampai menyebabkan masalah kejahatan dan keselamatan. Pelecehan seksual merupakan tindakan diskriminasi bila seorang perempuan tahu bahwa ketidaksetujuannya terhadap tidakan tersebut akan membahayakan pekerjaannya, termasuk untuk direkrut maupun dipromosikan, ataupun ketika perilaku itu menyebabkan suasana kerja yang mengesalkan (Rekomendasi Umum Komite CEDAW, Pasal 11).
Sterilisasi Paksa Sterilisasi paksa adalah proses untuk mengakhiri atau menghilangkan kemampuan atau fungsi reproduksi seseorang secara permanen tanpa persetujuan dari orang yang bersangkutan. Tindakan kekerasan ini dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki. Pemaksaan sterilisasi ini dapat merugikan kesehatan fisik dan mental perempuan, serta melanggar hak perempuan untuk menentukan jumlah dan jarak kehamilannya.***(JK)
Kawin Paksa Kawin paksa adalah perkawinan yang dilakukan seorang perempuan tanpa per-
Januari - Maret 2013 Perempuan Bergerak
30
31
Perempuan Bergerak Januari - Maret 2013