BAB III PRIBADI PERFEKSIONIS
A. Pengertian Pribadi Perfeksionis Menurut Admin, pribadi perfeksionis merupakan pribadi yang begitu takut, penampilannya tidak memuaskan (penampilan fisik/hasil karyanya).1 Senada dengan pendapat di atas, Nella Safitri lebih jauh menjelaskan bahwa pribadi perfeksionis merupakan pribadi yang berkeinginan serba sempurna, bukan karena penentuan standar yang tinggi. Namun permasalahan tersebut lebih bersumber pada hambatan untuk merasa gembira (karena puas) dan takut berbuat salah secara berlebihan. Kekhawatiran terhadap penampilan dan adanya perasaan antara percaya diri dan ragu-ragu. Selain itu rasa tertekan, frustasi, kecewa, sedih, marah dan takut dihina kerap muncul terutama jika masalah yang dihadapi meninggalkan perasaan bahwa orang-orang yang di sekitarnya kurang mampu.2 Perasaan tidak pernah puas dalam pembahasan ini tidak berkaitan dengan mabuk kerja, meskipun para workaholit (orang yang keranjingan kerja) jelas akan memahami perasaan itu. Itu juga perasaan yang terbatas hanya pada overachiever (orang yang keranjingan mengejar ambisi dan prestasi) yang dalam prosesnya justru ambruk terpuruk. Siapapun juga bisa menjadi korban dari pemikiran merasa tidak pernah puas dengan memiliki ambisi.3 Menurut Laurie Ashner dan Mitch Meyerson, ada perbedaan antara perasaan tidak pernah puas dengan memiliki rasa ambisi. Dalam hal ini rasa tidak puas tersebut cenderung didominasi oleh sosok yang berkepribadian perfeksionis. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut: 4
1
Admin, Apakah Inferiotas itu? Atau Lebih Dikenal Sebagai Perasaan Minder, Copyright @ 2003_psikolog.net. 2
Nella Safitri Cholid, Alangkah Lelah Menjadi Si Perfeksionis, (Jakarta: Nirmala, Maret 2004, hlm. 40 3
Laurie Ashneer, Mitch Meyerson, When is enough, enough? (What you do if Never Fell Statisfied)? Terj. Bern Hidayat when is enough, enough? (Yang bisa Anda lakukan jika Anda merasa tak pernah puas), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. xiv-xv 4
Ibid.
35
36
1. Orang-orang yang ambisius merasa bertambah semangat ketika mereka semakin mendekati tujuan mereka. Sebaliknya orang-orang yang tak pernah puas merasa kering. 2. Orang-orang yang ambisius merasa bangga pada prestasi mereka. Orangorang yang tak pernah puas menjadi cemas karena keberhasilan mereka dan terobsesi dengan kekhawatiran. Dapatkah aku melakukannya lagi? Apakah ini cuma kebetulan? Atau, lalu apa? Ini mah bukan apa-apa; tiap orang bisa melakukannya. 3. Orang-orang yang ambisius membuat pilihan secara sadar dan bertindak dengan tegar. Orang-orang yang tidak pernah puas bertindak secara kompulsif. Karena tidak yakin pada apa yang sebenarnya mereka inginkan, mereka bergerak terus tanpa pernah berhenti. 4. Orang-orang yang ambisius bertindak karena gairah, passion. Orang-orang yang tak pernah puas bertindak karena paranoia. Apa kata mereka kalau aku gagal ? Mengapa dia tidak menyadari bahwa aku pantas mendapatkan penghargaan itu?
B. Latar Belakang Yang Mempengaruhi Terbentuknya Pribadi Perfeksionis Kita semua kadang-kadang merasa tidak puas atau kecewa. Tetapi barangkali itu adalah untuk pertama kalinya kita menyadari bahwa kita tidak pernah merasa cukup kaya, cukup langsing, cukup cakep, atau cukup berbakat sehingga kita mengatakan, lalu “kapan cukupnya?” Atau hal itu menjadi jelas ketika akhirnya kita memperoleh segala sesuatu yang pernah kita inginkan tetapi toh tetap merasa tidak bahagia. Kita bertanya-tanya apa yang membuat kita merasa tidak enak ini? 5 Lalu bagaimana sebenarnya dengan orang-orang yang merasa puas meskipun mereka menghadapi berbagai kegagalan, konflik dan masalah. Apakah yang mereka ketahui dan yang seharusnya juga harus diketahui kelompok orangorang yang tak pernah merasa puas.
5
Ibid.
37
Laurie Ashner dan Mitc Meyerson menjelaskan bahwa keadaan merasa tidak pernah puas itu tidak berhubungan dengan apa yang kita mikili atau tidak kita miliki. Namun mereka beranggapan bahwa perasaan tidak pernah puas menunjukkan kepada kita, bahwa kita perlu menyesuaikan cara kita mendekati tujuan-tujuan kita.6 Menurut Monica Ramirez Basco, penulis Never Good Enough: Freeing Your Self the Chains of Perfectionism (Tidak pernah cukup baik: Bebaskan diri Anda
dari
jeratan
kesempurnaan),
yang
dikutip
oleh
Nella
Safitri;
“Kecenderungan yang dimiliki pribadi perfeksionis bisa timbul karena bawaan sejak lahir. Bisa juga muncul kemudian, karena tuntutan orang tua atau lingkungan yang tidak stabil, seperti konflik rumah tangga.7 Menurut psiko-analisis, kecenderungan yang dimiliki oleh pribadi perfeksionis, pada umumnya tumbuh sejak masa kanak-kanak yang seringkali dilupakan, juga sering tumbuh karena sikap atau perilaku orang dewasa yang kurang tepat terhadap anak-anak.8 Kemudian Karen Horney tokoh psiko-analisis sosial menjelaskan, perasaan kecemasan yang normal muncul pada masa bayi, ketika bayi yang lahir dalam keadaan tak berdaya dan rentan itu dihadapkan dengan kekuatan alam yang keras dan tidak bisa dikontrol. Bimbingan yang penuh kasih sayang dan cinta pada awal kehidupan membantu bayi belajar menangani situasi bahaya itu. Sebaliknya, tanpa bimbingan yang memadai bayi akan mengembangkan basic anxiety, basic hostility, dan terkadang neurotic distress, yang dalam hal ini sebagian besar ada dalam tipe kepribadian perfeksionis.9 Kecemasan dasar (Basic Anxiety) berasal dari takut, suatu peningkatan yang berbahaya dari perasaan tak berteman dan tak berdaya dalam dunia penuh ancaman. Kecemasan dasar selalu dibarengi oleh permusuhan dasar (Basic Hostility), berasal dari perasaan marah, suatu predisposisi untuk mengantisipasi 6
Ibid., hlm. xvi
7
Nella Safitri Cholid, op. cit., hlm. 41
8
Alwisol, Psikologi Kepribadian, (Malang: UMM Press, 2004), Cet. 1, hlm. 28-29
9
Ibid., hlm. 168
38
bahaya dari orang lain dan untuk mencurigai orang lain itu. Bersama-sama, kecemasan dan permusuhan membuat orang yakin bahwa dirinya harus dijaga untuk melindungi keamanannya.10 4 Kecemasan dasar dan permusuhan dasar terus diperkuat kalau lingkaran kecemasan – permusuhan – represi berlanjut
5 Kebutuhan kasih sayang dan cinta semakin kuat
3 represi permusuhan agar tidak kehilangan cinta dan keamanan yang hanya sedikit
6 Semakin marah karena kebutuhannya semakin banyak tidak terpenuhi
9 Tegangan kemarahan yang semakin kacau
7 Perasaan permusuhan semakin kuat 8 Represi semakin kuat untuk mempertahankan kasih sayang yang hanya sedikit
2 Permusuhan dan kemarahan karena diperlakukan 1 Kurang kehangatan dan cinta orang tua
Gambar 1 : Lingkaran Setan Kecemasan 11 Kecemasan dan permusuhan cenderung direpres, atau dikeluarkan dari kesadaran, karena menunjukkan rasa takut bisa membuka kelemahan diri, dan meniunjukkan rasa marah beresiko dihukum dan kehilangan cinta dan keamanan.
10
Ibid.
11
Ibid.
39
Bayi kemudian mengalami proses melingkar, yang oleh Horney dinamakan Lingkaran Setan atau Vilious Circle (Gambar 1).12 Dimulai sejak lahir, bayi membutuhkan kehangatan dan kasih sayang untuk dapat menghadapi tekanan lingkaran (1) kalau kehangatan cinta dan kasih sayang ini tidak cukup diperoleh, Æ (2) bayi menjadi maran dan muncul perasaan permusuhan karena diperlakukan secara salah itu, Æ (3) tetapi kemarahan harus direpres agar perolehan cinta dan rasa aman yang hanya sedikit (tidak cukup) itu tidak hilang sama sekali, Æ (4) perasaan menjadi kacau, muncul kecemasan dasar dan kemarahan dasar, Æ (5) kebutuhan kasih sayang dan cinta semakin besar, Æ (6) kemungkinan akan semakin banyak. Kebutuhan kasih sayang yang tidak terpenuhi, sehingga semakin kuat pula perasaan marah yang timbul, Æ (7) perasaan permusuhan menjadi semakin kuat, Æ (8) represi harus semakin kuat dilakukan agar perolehan kasih sayang yang hanya sedikit itu tidak hilang, Æ (9) tegangan perasaan kacau, marah, gusar, mengamuk semakin kuat, Æ kembali ke (4) ini akan membuat kecemasan dasar dan permusuhan dasar semakin kuat, dana kan terus semakin parah kalau lingkaran 4 Æ 5 Æ 6 Æ 7 Æ 8 Æ 9 Æ 4 dan seterusnya terus menerus terjadi. Teori Horney tentang neurosis didasarkan pada konsep gangguan psikis yang membuat orang terkunci dalam lingkungan yang membuat tingkah laku tertekan.13 Dalam hal ini, adakalanya orang tua sengaja membandingkan seorang anak dengan yang lain untuk membuat malu si anak dengan harapan si anak mengubah perilakunya. Tetapi yang diperoleh bukan perubahan perilaku positif, melainkan rasa tidak aman, minder dan rasa tidak mampu. Perfeksionisme dari orang tua inilah yang juga bisa menjadi dasar terbentuknya perasaan minder anak. Banyak orang tua mematok standar yang terlalu tinggi dan tidak realistis
12
Ibid., hlm. 169
13
Ibid.
40
terhadap anak.14 Akibatnya, ketika ternyata harapan itu tidak dapat terpenuhi, si anak jadi merasa dirinya tidak berguna lalu minder.15 Menurut Humanisme, yang dipelopori oleh Abraham Maslow, adalah sebagai berikut: Rata-rata kebutuhan aktualisasi diri hanya terpuaskan 10 %. Kebutuhan aktualisasi ini jarang terpenuhi karena orang sukar menyeimbangkan antara kebanggadan dengan kerendahan hati, antara kemampuan memimpin dengan bertanggung jawab yang harus dipikul, antara mencemburui kebesaran orang lain dengan perasaan kurang berharga. Orang akhirnya menyangkal dan menarik diri dari kebutuhan aktualisasi diri karena perkembangan pribadi justru menimbulkan sejenis perasaan takut, terpesona, lemah, dan tidak mampu. Orang menyangkal dan menolak kemampuan dan potensi tertingginya dan kreativitasnya.16 Maslow menamakan perasaan takut, gamang, perasaan tidak berharga dan meragukan kemampuan diri memperoleh kemasyhuran dan aktualisasi diri sebagai kompleks junus-jonah complex-(diambil dari kisah Nabi Junus, yang menolak mengingatkan umatnya yang kafir/penyembah setan, dan melarikan diri naik kapal. Tuhan kemudian mengirim badai dan ikan paus untuk memakannya.17 Menurut Behaviorisme yang dipelopori oleh B.F. Skinner adalah sebagai berikut : “Konsep impuls id yang tertekan, inferiocity complexes, anxiety, ego defense, krisis identitas, konflik ego-superego adalah penjelasan yang menghayal. Kelainan tingkah laku itu adalah kegagalan belajar membuat seperangkat respon yang tepat”.18 Kesimpulan yang diperoleh bahwa tingkah laku abnormal harus dipahami melalui sejarah resforsemen yang diterima seseorang. Tingkah laku abnormal itu dapat diganti dengan cara sederhana, yakni dengan memanipulasi resforsemen lingkungan, meliputi kondisioning operan dan kondisioning responden. Dari beberapa perbedaan prinsip di atas, satu hal yang sangat krusial yang memiliki kesamaan diantara pendapat satu dengan lainnya adalah lingkunganlah 14
Kartini Kartono, Psikologi Perkembangan, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1995), Cet V, hlm. 42-45 15
Paul Henry Messen, dkk., Development and Child Personality, Terj. FX. Budianto, dkk., Perkembangan dan Kepribadian Anak, (Jakarta: Arlan, 1994), Cet. 11, hlm. 561-562 16
Alwisol, Psikologi Kepribadian, op. cit., hlm. 260
17
Ibid.
18
Ibid., hlm. 415
41
yang begitu besarnya dalam proses pembentukan karakter atau kepribadian seseorang. Dengan demikian nampak semakin jelas, bahwa walaupun faktor generika memainkan peran tidak langsung dalam peningkatan (pribadi yang tidak sehat).19 Namun demikian, hubungan keluarga, dan teman sebaya ditambah pengaruh psikologi dan sosial lainnya, tampaknya memainkan peran yang jauh lebih penting. Menurut Laurie Ashnerr dan Mitch Meyerson, sebagian besar dari kita mempunyai berbagai hal di masa lampau yang tidak ingin kita ingat. Tetapi orang-orang yang secara konstan merasa ada sesuatu yang kurang seringkali berusaha mengingkari pribadi mereka yang sejati. Sungguh, mereka kehilangan pribadi tadi, di tengah perjalanan menuju kehidupan orang dewasa.20 Orangorang ini adalah orang-orang yang : -
Merasa terluka, tetapi menyembunyikannya. Menekan perasaan-perasaan marah dan jengkel yang normal. Mengatakan segala sesuatu beres, padahal sebenarnya tidak. Tidak pernah minta tolong, bahkan ketika mereka membutuhkannya. Lebih tertarik “menunjukkan kesan enak” dari pada merasa enak. Percara sampai sejauh tertentu bahwa jika pribadi sejati dalam diri mereka terungkap orang-orang akan menjauhi mereka.21 Lanjut Laurie Ashneer dan Mitch Meyerson, tidak seorangpun akan
memahami seberapa besar bagian dari diri kita yang tersembunyi do balik topeng kepercayaan dan kendali diri ini, atau memahami seberapa keras kita menggarap topeng ini.22 Usaha ini bisa mengakibatkan stress dan selusin pusing kepala, insomania, sakit pinggang, gampang lesu, selain perasaan yang selalu hadir bahwa ada sesuatu yang kurang. Itu adalah topeng defensive yang menyembunykan siapa diri kita yang sebenarnya, apa yang sebenarnya kita rasakan.
19
Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992), Cet. II, hlm. 169 20
Laurie Ashneer dan Mitch Meyerson, op. cit., hlm. 17
21
Ibid.
22
Ibid.
42
Ketika, kita mengenakan topeng itu sebagai orang dewasa, kita mempertahankan diri sendiri dari luka-luka dalam, yaitu luka-luka yang mengingatkan pada luka-luka pertama yang kita rasakan dalam masa kanakkanak karena tidak diterima secara apa adanya dan sepenuhnya oleh orang-orang yang sangat kita butuhkan dan pedulikan.
C. Permasalahan-permasalahan Yang Dihadapi Oleh Pribadi Perfeksionis Nella Safitri mengisahkan beberapa sampel seseorang yang memiliki kecenderungan perfeksionis diantaranya sebagai berikut : 23 Widi adalah seorang editor senior sebuah majalah berita. Sebagai editor, sudah menjadi tugas Widi mengedit semua laporan yang masuk. Masalahnya ia selalu mengedit tulisan berulang kali sehingga nyaris menembus tenggat waktu. Walaupun pimpinannya berkali-kali mengingatkannya, ia masih terus melakukan kebiasaannya. “Bagaimana saya bisa membiarkan kata-kata yang keliru penempatannya? Selain sebagai editor, orang kan mengenal saya sebagai penulis sastra”, alasannya selalu. Suatu waktu hasil editannya melampaui target waktu, sehingga bagian isi majalah terlambat dicetak. Pemimpin redaksi tidak dapat memaklumi hal ini lagi. “Anda tinggal pilih, bekerja sesuai deadline atau saya bebaskan Anda agar bisa menulis novel, tegurnya ketus. Jika Widi mendorong dirinya agar tampil sempurna, lain lagi Yon, ia merasa nyaman dengan dirinya, tapi ia sering merasa kecewa dengan orangorang di sekitarnya. Sebagai konsultan bisnis, Yon terbiasa mengumpulkan data selengkap-lengkapnya dan memberikan pelayanan terbaik kepada klien. Ia sulit menerima jika orang lain berlaku cerobh. Hubungan dengan kekasihnya pun pudar gara-gara ia selalu memaksakan segala hal sesuai dengan ukurannya.24 Suatu hari ia mencoba berlibur mengikuti acara tur yang diselenggarakan sebuah biro perjalanan. Ini perjalanan yang pertama diatur pihak lain, 23
Nella Safitri Cholid, op. cit., hlm. 40
24
Ibid., hlm. 41
43
karena biasanya ia mengatur perjalanannya sendiri. Tapi ia bukan merasa santai, karena ada saja acara tur yang dirasanya kurang memuaskan. Akhirnya ia tidak bisa menahan kemarahannya ketika acara tur ke suatu tempat eksotik tertunda beberapa jam. Tanpa bertanya lagi ia langsung “menceramahi” pimpinan tur yang dianggapnya kurang professional, sementara peserta tur yang lain menatapnya bingung. Dikisahkan kemudian, seorang penyanyi terkenal pernah menuturkan bagaimana beratnya menjadi seorang perfeksionis. Untuk menunjang penampilannya ia tak ragu melakukan diet ketat sampai olahraga berat. Ia juga gemar melakukan eksperimen untuk mempercantik wajahnya yang sebenarnya sudah cantik. Walau demikian, ia selalu merasa tidak puas terhadap penampilannya, sampai-sampai ia berniat melakukan operasi plastik ths wajahnya, untunglah suaminya melarangnya.25 Ketika
ditanya
alasannya,
melakukan
berbagai
hal
demi
penampilannya, jawabannya singkat saja, ia merasa hanya akan diterima jika berpenampilan baik, yaitu bertubuh langsing, wajah cantik, pakaian indah. Sebaliknya, ia khawatir terhadap penilaian orang jika tidak tampil sempurna. Akibatnya, dalam sehari-hari pun ia merasa tidak nyaman jika tampil tanpa riasan wajah. Kemudian, Wahyuni kepala perpustakaan sebuah perguruan tinggi karena dedikasi dan kemampuannya berkomunikasi, selalu dipercayai menyelenggarakan berbagai seminar di kampus. Sebagai kepala perpustakaan, tugasnya cukup banyak apalagi masih harus mengurusi seminar yang juga melibatkan berbagai instansi. Masalahnya, Wahyuni tidak bisa mempercayai anak buahnya, sampai-sampai menentukan menu makananpun dilakukannya sendiri. Bila ada pelaksanaan tidak sesuai harapan, ia menjadi sangat frustasi dan menyalahkan bawahannya yang tidak bisa diandalkan.26 Dita, seorang ibu rumah tangga, selalu memberikan ceramah pada setiap pembantu rumah tangga yang diterimanya bekerja. Selama beberapa 25
Ibid., hlm. 42
26
Ibid., hlm. 43
44
minggu ia selalu mengawasi apa yang dilakukan pembantunya dan segera memberikan koreksi panjang lebar jika pembantu melakukan kesalahan. Walau Dita memberikan gaji tinggi, pembantunya biasanya tidak bertahan lama.27 Sandra adalah bintang kelas di SMU-nya. Dia selalu tampil rapid an nilai-nilainya selalu mendekati sempurna. Suatu hari, gurunya memberi tugas pada seluruh muridnya untuk membuat karangan dengan judul dan tema bebas. Saat teman-temannya sudah mengumpulkan tugasnya, Sandra hanya diam terpaku, ternyata ia belum menuliskan karangannya. “Bagaimana saya bisa membuat karangan jika belum bisa menemukan judul yang sempurna,” keluhnya.28 Menurut Laurie Ashneer dan Mitch Meyerson, perasaan tidak pernah puas adalah suatu kebiasaan, suatu watak dan suatu pertumbuhan yang liar dari dorongan-dorongan yang dominant yang membentuk kepribadian kita. Ada sebelas cirri khas diantara orang-orang yang mereka teliti. Ciri-ciri tersebut penulis kelaskan sebagai berikut .29 1. Keberhasilan tidak memberikan kegembiraan, keberhasilan hanya membuat bertanya-tanya : Dapatkah saya melakukan lagi? 2. Di satu pihak merasa berbakat dan istimewa, tetapi di lain pihak meragukannya : Kalau kupikir-pikir, aku ini siapa? 3. Kita merasa usaha-usaha kita tidak cukup diakui; kita mengharapkan pujian, tetapi pujian itu membuat kita tidak enak atau malahan membuat kita was-was. 4. Kita seringkali menjadi orang nomor dua; vice president, asisten administrasi, “konco wingking”. Kita merasa ketinggalan, sementara orang-orang lain dengan ketrampilannya dan ambisi lebih kecil mencapai tujuan-tujuan mereka.
27
Ibid.
28
David D. Burn, Sukses dan Prestasi, (Jakarta: Mitra Utama, 1989), hlm. 19
29
Laurie Ashneer dan Mitch Meyerson, op. cit., hlm. vi-xii
45
5. Merasa tidak cukup untuk berhasil secara biasa-biasa sajal sesuatu yang biasanya biasa membuat kita merasa gagal. 6. Setelah
diajar
untuk
tidak
bergantung
pada
orang
lain,
kita
mempersalahkan diri secara berlebihan atas apa yang tidak beres dalam hubungan pribadi kita, di tempat kerja dan dalam keluarga kita. 7. Kita terjerat dalam situasi-situasi yang menciptaka kebutuhan bagi kita untuk membuktikan diri. 8. Secara tidak sadar membangkitkan kembali kekecewaan masa lampau; urusan yang tidak terselesaikan dengan orang tua dan teman-teman kembali berperan dalam hubungan-hubungan kita di masa kini. 9. Menekankan kecemasan dan depresi yang kita rasakan mengenai kehidupan kita. Kita sudah begitu terbiasa dengan hal itu, sehingga hal itu menjadi identik dengan diri kita. 10. Karena menggapai orang lain itu sulit, kita berusaha memperkuat diri kita sendiri dengan sistem pendukung yang bersifat tempelan dari luar (uang di bank, pekerjaan yang aman, kontak-kontak dalam masyarakat). 11. Kecanduan kerja dan kecnduan frustasi emosional. Kembali Laurie Ashner dan Mitch Meyerson menjelaskan, bahwa sakitnya pada setiap orang yang menderita akibat sindroma ketidakpuasan, satu atau lebih masalah inti ini cenderung mendominasi. Masalah inti yang dimaksudnya disusunnya dalam bentuk sembilan pertanyaan paling umum yang dibawa klien ke ruang terapi yaitu sebagai berikut : 30 1. Mengapa saya selalu merasa ada yang kurang? 2. Mengapa saya tidak mewujudkan dan menuntaskan impian-impian saya? 3. Mengapa saya tidak dapat menemukan orang yang tepat? 4. Mengapa saya selalu menginginkan hal yang tidak dapat saya miliki? 5. Mengapa saya tidak bisa berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain?
30
Ibid., hlm. XXIV
46
6. Mengapa akhirnya saya selalu mendapatkan lebih kecil dari pada yang saya berikan? 7. Mengapa saya begitu bosan dan gelisah? 8. Mengapa saya tidak dapat santai? 9. Apa sebabnya tidak satu hal pun membuat saya bahagia untuk jangka waktu panjang?