BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Konflik bisa terjadi karena perbedaan dalam pemaknaan yang disebabkan karena
perbedaan pengalaman. Perbedaan pengalaman dapat dilihat dari perbedaan latar belakang kebudayaan yang membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan karakter individu yang dapat memicu konflik. Dalam setiap organisasi/perusahaan, perbedaan pendapat sering kali disengaja atau dibuat sebagai salah satu strategi para pemimpin untuk melakukan perubahan. Perubahan tersebut dapat dilakukan dengan menciptakan sebuah konflik. Akan tetapi, konflik juga dapat terjadi secara alami karena adanya kondisi obyektif yang dapat menimbulkan terjadinya konflik. Seperti yang dikemukakan oleh Hocker dan Wilmot, konflik terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik memiliki tujuan yang berbeda. Konflik bisa juga terjadi karena tujuan pihak yang terlibat konflik sama tapi cara untuk mencapainya berbeda.1 Konflik merupakan masalah hubungan dalam komunikasi antar pribadi. Jika hubungan dalam komunikasi antar pribadi sudah tidak berjalan dengan baik, maka kemungkinan besar hubungan komunikasi dalam skala yang lebih besar tidak akan berjalan baik pula. Dalam komunikasi antar pribadi komunikan dan komunikator harus dapat memahami maksud atau pesan yang disampaikan supaya pesan yang diterima sama 1
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi dan Penulisan, Jakarta: Salemba Humanika,2010, hlm. 8.
dengan pesan yang disampaikan. Perbedaan pesan yang diterima dengan pesan yang disampaikan inilah yang menjadi penyebab utama timbulnya konflik. Ketika dua orang sepakat mengenai interpretasi satu sama lain, mereka dikatakan telah mencapai makna interpersonal. Makna interpersonal saling diciptakan oleh para partisipan dalam komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal merujuk pada komunikasi yang terjadi antar dua orang. Dalam komunikasi terjadi pertukaran pesan yang memiliki makna interpersonal. Makna interpersonal adalah makna yang terbentuk oleh pribadi-pribadi dengan pengalaman hidupnya yang berbeda-beda. Pesan yang disampaikan oleh komunikan kepada komunikator dapat memiliki makna yang berbeda, oleh karena itu dapat menimbulkan sebuah permasalahan baru. Setelah komunikasi interpersonal, ada level yang lebih luas yaitu komunikasi kelompok kecil. Kelompok kecil terdiri dari beberapa orang yang ingin mencapai tujuan bersama. Kelompok kecil biasanya terdiri dari tiga sampai tujuh orang, apabila jumlah anggota bertambah, maka akan terdapat sedikit kesempatan bagi hubungan personal untuk berkembang. Hal ini mempengaruhi kelompok untuk tetap berfokus pada tujuan mereka dan tetap merasa puas dengan pengalaman mereka. 2 Beberapa kelompok kecil sangat kohesif artinya memiliki tingkat kebersamaan yang tinggi dan ikatan yang kuat. Sifat kohesif ini mempengaruhi apakah kelompok ini dapat befungsi dengan efektif dan efisien. Dalam konteks kelompok kecil, para anggotanya diberi kesempatan untuk mendapatkan berbagai perspektif terhadap satu persoalan. Dalam konteks kelompok kecil ini, banyak orang memiliki potensi untuk berkontribusi dalam pencapaian tujuan kelompok.
2
Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 2. Edisi 3, Jakarta: Salemba Humanika, 2009, hlm. 37
Manfaat yang didapat dari kelompok kecil adalah pertukaran sudut pandang yang disebut sebagai sinergi dan hal ini menjelaskan alasan kelompok kecil dapat menjadi lebih efektif dibandingkan dengan seseorang individu dalam mencapai tujuan. Misalnya dalam hal penyelesaian masalah, kelompok kecil dapat menyelesaikan masalah secara efektif karena dilihat dari sudut pandang beberapa orang. Penyelesaian masalah antar pribadi apabila sudah tidak dapat diselesaikan antar pribadi yang terlibat masalah maka bisa diselesaikan oleh kelompok kecil, apabila melalui kelompok kecil masih belum dapat terselesaikan maka akan diserahkan ke organisasi. Komunikasi organisasi mencakup komunikasi yang terjadi di dalam dan di antara lingkungan yang besar dan luas. Jenis komunikasi ini sangat bervariasi karena komunikasi organisasi juga meliputi komunikasi interpersonal, kesempatan berbicara di depan publik, kelompok kecil dan komunikasi dengan menggunakan media.3 Organisasi yang terdiri dari berbagai kelompok kecil diarahkan kepada tujuan yang sama. Pengalaman hidup yang berbeda itu juga dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang berbeda. Tiap manusia berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakatnya. Jenis kelamin, ras, kelas dan identitas agama memiliki keterkaitan terhadap nilai-nilai budaya. Setiap budaya pasti memiliki unsur nilai yang terkandung dalam budaya masingmasing. Beda budaya pasti beda pula unsur nilai yang ada di dalamnya, begitu pula dengan organisasi, budaya organisasi satu berbeda dengan budaya organisasi yang lainnya. Selain perbedaan nilai-nilai yang terkandung, visi dan misi organisasinya pun berbeda. Budaya organisasi didefinisikan sebagai suatu nilai yang memedomani sumber daya manusia dalam menghadapi permasalahan eksternal dan upaya penyesuaian
3
Wirawan, Op. Cit., hlm. 38
integrasi ke dalam perusahaan, sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada serta mengerti bagaimana mereka harus bertingkah laku. Semua sumber daya manusia harus dapat memahami dengan benar budaya organisasinya, karena pemahaman ini sangat berkaitan dengan setiap langkah ataupun kegiatan yang dilakukan berdasarkan budaya organisasi. Perilaku individu dalam organisasi juga sangat berpengaruh pada berjalannya sebuah organisasi. Individu yang sesuai dengan budaya organisasi akan cenderung memiliki kepuasan kerja dan komitmen yang tinggi pada organisasinya. Sebaliknya, individu yang tidak sesuai dengan budaya organisasinya akan cenderung tidak memiliki kepuasan kerja dan komitmen yang rendah pada budaya organisasinya. Individu yang berasal dari organisasi yang berbeda dan kemudian harus bergabung dengan individu yang berasal dari organisasi lainnya dan tergabung menjadi anggota organisasi yang baru tidak lah mudah. Proses merger melibatkan dua institusi perbankan terkemuka di Indonesia yaitu Bank Niaga dan Bank Lippo, menjadi Bank CIMB Niaga. Merger ini berawal dari kebijakan BI mengenai kepemilikan tunggal di Indonesia, dimana pemegang saham mayoritas dari Bank Niaga maupun Bank Lippo memilih merger sebagai opsi terbaik demi kepentingan seluruh stakeholder. Merger ini membentuk bank keenam terbesar di Indonesia berdasarkan aset. Perpaduan keunggulan kedua bank menciptakan sebuah bank yang lebih baik dan bersaing serta tumbuh di tengah makin ketatnya persaingan sektor perbankan Indonesia. Bagi CIMB Group, merger ini akan memperkokoh posisi dan meningkatkan prospek pertumbuhannya sebagai kelompok bisnis terkemuka di Asia Tenggara. Selama tahap perencanaan merger, terjadi beberapa peristiwa penting di sektor industri keuangan di Indonesia.
Dengan mempertimbangkan kesejahteraan dan kepentingan karyawan dan stakeholder, Direksi dan Dewan Komisaris Bank Niaga dan Bank Lippo mengambil langkah merger untuk memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat. Langkah merger merupakan opsi yang sesuai dengan preferensi Pemerintah Indonesia, serta konsisten dengan kebijakan maupun komitmen investasi jangka panjang Khazanah di indonesia. Paska merger, Khazanah tetap menjadi pemegang saham di Bank CIMB Niaga. Di Bank CIMB Niaga, Khazanah memiliki kepemilikan saham secara langsung dan tidak langsung melalui anak perusahaan BCHB/CIMB Group. Langkah merger menciptakan penggabungan tiga kekuatan yang komplementer untuk bertumbuh dalam skala usaha, dengan duplikasi minimal dan potensi sinergi yang signifikan. Bank CIMB Niaga menggabungkan keunggulan Bank Niaga dan Bank Lippo, didukung oleh sinergi dari skala bisnis yang lebih besar serta jaringan regional CIMB Group (www. Cimbniaga.com) Bank Lippo menilai segala bentuk konflik antar karyawan merupakan kepentingan dari organisasi. Pihak Bank Lippo menilai keharmonisan antar karyawan merupakan sesuatu yang harus dijaga karena dapat mempengaruhi profesionalisme. Disini, hubungan antar karyawan dapat meningkatkan moral karyawan dalam bekerja. Bank Niaga menilai tidak semua konflik yang terjadi merupakan tanggung jawab organisasi. Apabila terjadi konflik antar karyawan yang dinilai tidak relevan dengan kepentingan organisasi, maka Bank Niaga mengharapkan pihak yang terlibat konflik untuk menyelesaikan masalahnya diluar tanpa adanya campur tangan dari organisasi. Disini, pihak Bank Niaga menuntut karyawannya untuk bersifat profesional dalam menjalankan tugasnya dengan tidak mencapuradukkan masalah pribadi dengan masalah pekerjaan.
Sebelum proses merger, Bank Niaga merupakan bank terbesar ketujuh di Indonesia. Hal ini membuktikan Bank Niaga merupakan organisasi yang lebih besar daripada Bank Lippo berdasarkan jumlah aset, nasabah, dan kekuasaan yang dimiliki. Pada saat periode merger, hal ini mempengaruhi hirarki yang ada dimana mayoritas manajer atau lebih tinggi di CIMB Niaga didominasi oleh karyawan ex Niaga. Berbeda dengan mayoritas cabang kantor CIMB Niaga yang dikepalai oleh karyawan ex Niaga, Bank CIMB cabang Yogyakarta dikepalai oleh karyawan ex Lippo. Hal ini yang membuat bagaimana proses manajemen konflik di cabang Yogyakarta berbeda dengan mayoritas cabang Bank CIMB Niaga lainnya.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan diatas, maka ditarik suatu rumusan
masalah sebagai berikut:
a.
Bagaimana manajemen konflik di Bank CIMB Niaga Cabang Yogyakarta dan hasil konflik dikomunikasikan semenjak pasca merger sampai saat ini?
b.
Apa yang membedakan proses penyelesaian konflik Bank CIMB Niaga yang dilakukan di cabang Yogyakarta dengan cabang-cabang lainnya?
C.
1.
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui apa saja konflik antar karyawan ex Niaga dan ex Lippo yang terjadi dari awal pasca merger sampai saat ini.
2.
Untuk mengetahui menajemen konflik di Bank CIMB Niaga Cabang Yogyakarta semenjak pasca merger sampai saat ini.
3.
Untuk menganalisis Bank CIMB Niaga sebagai salah satu bentuk penelitian mengenai manajamen konflik dalam perusahaan yang melakukan merger.
4.
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi CIMB Niaga dalam melakukan manajemen konflik pasca merger dengan menggunakan nilai-nilai organisasi.
D.
Kerangka Teori
1. Komunikasi Konflik Cahn mendefinisikan komunikasi konflik sebagai proses pertukaran pesan verbal dan nonverbal dalam situasi konflik yang dimulai dengan pendahuluan, berberkembang melalui tahapan-tahapan, dan berakhir dengan konsekuensi.4 Proses penyelesaian konflik melalui komunikasi tidak akan mengakhiri konflik untuk selamanya. Komunikasi akan melahirkan konflik yang nantinya dapat diselesaikan dengan komunikasi itu sendiri. Manusia tidak dapat menghindari konflik karena manusia akan selalu melakukan proses komunikasi. Pandangan proses komunikasi konflik memiliki implikasi untuk membantu melihat situasi konflik dan perilaku manajemen konflik. Keduanya tertanam dalam serangkaian peristiwa yang saling mengikuti satu sama lain (orang bertemu, berbicara, dan berangkat). Pandangan realitas tersebut mencerminkan kesadaran di dalam diri bahwa kehidupan merupakan sebuah cerita yang terdiri dari rangkaian peristiwa yang sifatnya berlanjut.5 Dari pandangan ini, situasi dan perilaku mulai dapat dilihat sebagai rangkaian
4
Dudley Cahn, ‘Komunikasi Konflik’ dalam V.S. Ramachandran (Ed.) Encyclopedia of Human Behaviour, San Diego: CA Academy, 2012, hlm. 10 5 Kenneth W. Thomas, The Handbook of Industrial and Organizational Psychology, Chicago: Rand McNally, 1979, hlm. 893.
fase atau tahapan, mencerminkan peralihanproses orientasi. Jika situasi terus terulang (seperti mesin gerak abadi) pada akhirnya akan menjadi sebuah siklus. Dalam beberapa kasus, situasi konflik menjadi siklus karena mereka terjebak dalam tahapan tertentu yang berulang-ulang. Manajemen konflik yang efektif dapat mengkonversi pesan berpotensi merusak ke komunikasi konflik yang produktif. Pada awalnya, para peneliti hanya membedakan tipe komunikasi konflik menjadi dua yaitu afektif (affective) dan kognitif (cognitive) sampai Jehn
mengkategorikan
komunikasi konflik menjadi tiga tipe yaitu hubungan (relationship), tugas (task), proses (process).6 Relationship atau hubungan memiliki sifat interpersonal dan konflik yang ditimbulkan memiliki sifat yang merusak dan dapat menghasilkan ketidakpuasan antar anggota
organisasi.
Bagaimana
hubungan
antar
anggota
didalam
organisasi
mempengaruhi bagaimana anggota saling memandang dan menilai satu sama lain. Relationship atau hubungan merupakan sesuatu yang harus diperhatikan dalam mengatur kehidupan didalam dan diluar dunia organisasi karena apabila ada ketidak seimbangan dalam mengatur salah satu dunia, maka dunia lainnya juga akan ikut terpengaruh. Contohnya saja, individu yang mendedikasikan mayoritas waktunya di tempat dia bekerja cenderung memiliki kondisi sosial diluar organisasi (contohnya pernikahan) yang buruk sehingga akan menimbulkan konflik-konflik diluar organisasi yang dapat menurunkan semangat dan konsentrasi pada saat di dalam organisasi sehingga dapat menurunkan kinerja anggota. Begitu juga dengan sebaliknya, individu yang terlalu sibuk dalam mengurus kehidupan sosialnya cenderung membawa permasalahannya ke dalam organisasi tempat dia bekerja sehingga konflik-konflik baru di dalam organisasi dan 6
Karen. A. Jehn, “International Journal of Conflict Management: The influence of proportional and perceptual conflict composition on team performance”, Pasadena: Administrative Science Quarterly, 1997, hlm. 530.
menurunkan kinerja anggota. Jehn menjelaskan bahwa siklus ini akan terus terjadi sampai individu meninggalkan organisasi atau perusahaan tempat dia bekerja.7 Task atau tugas melahirkan konflik-konflik yang apabila dimanajemeni secara tepat dapat memberikan hasil yang konstruksif seperti meningkatkan kreatifitas, memberikan solusi yang inovatif untuk kedepannya, serta membiasakan anggota yang terlibat konflik untuk dapat membuat keputusan yangefektif. 8 Melihat efek yang ditimbulkan dari konflik yang berpusat pada task atau tugas, para peneliti menganjurkan bagi organisasi untuk menimbulkan konflik ini dengan tujuan menstimulus anggotanya. Analisis studi dari De Dreu dan Weingart menyatakan korelasi antara task (tugas) dan performa anggota menghasilkan sesuatu yang positif, tetapi mereka juga menyatakan bahwa konflik yang timbul hanya dapat menghasilkan sesuatu yang positif apabila kepercayaan antar anggota, keterbukaan, serta keamanan secara psikoligis berada di tingkatan yang tinggi.9 Process atau proses merupakan tipe komunikasi konflik yang berpusat pada strategi pelaksanaan serta delegasi dari tugas dan sumber daya organisasi. Sederhananya, hal ini mempengaruhi perbedaan dari bagaimana anggota harus menjalankan tugas yang diberikan. Jehn menjelaskan bahwa konflik yang terjadi memberikan dampak demetrial bagi performa anggota dan apabila tidak diselesaikan akan mengarah kepada konflik relationship (hubungan).10
7
Ibid., hlm. 24 D. Tjosvold, The conflict-positive organization: Stimulate diversity and create unity, New York: Addison Wesley, 2000,hlm. 8 9 C. K. De Dreu dan L. R. Weingart, ‘A Contingency Theory of Task Conflict and Performance in Groups and Organizational Teams’, dalam M. A. West, D. Tjosvold & K. G. Smith (ed), International handbook of organizational teamwork and cooperative working, West Sussex: John Wiley & Sons, 2006, hlm. 21-26. 10 K. A. Jehn, Op. Cit., hlm. 58-59. 8
Menurut kebanyakan peneliti, setidaknya ada tiga cara di mana komunikasi konflik dapat berkembangmenjadi hal yang bersifat merusak (destructive).11 Pertama, semakin besar dan semakin memanasnya komunikasi konflik, semakin lemah hubungan antar anggota selama beberapa tahun ke depan. Kedua, beberapa pola komunikasi konflik (seperti menolak terlibat dalam konflik dan lebih bersifat netral untuk menjaga hubungan dan posisinya) lebih merusak untuk hubungan dalam jangka panjang meskipun tampaknya lebih menguntungkan di awal. Ketiga, perilaku nonverbal tertentu selama komunikasi konflik (misalnya favouritism, perilaku yang merujuk ke pelecehan seksual, dll) menjurus ke arah putusnya hubungan antar anggota. Fakta bahwa perilaku komunikasi tertentu dan cara menangani konflik yang terkait dengan hubungan ketidakpuasan dan putus memerlukanpemahaman yang lebih baik dari komunikasi konflik. Di sisi lain, komunikasi konflik dapat berkembang menjadi hal yang bersifat produktif ketika anggota merasa puas mengenai hasil yang didapat dari proses penyelesaian konflik. Namun, perasaan anggota mengenai hasil konflik tidak cukup untuk menentukan produktif atau tidaknya komunikasi konflik. Beberapa konflik, meskipun tidak terlalu dirasa berguna dalam jangka pendek, dapat berguna dalam jangka panjang bahkan mungkin dapat berguna untuk orang lain di luar organisasi atau masyarakat pada umumnya. Ini masuk akal, terutama untuk orang-orang yang tidak nyaman terlibat dalam komunikasi konflik di awal.
11
Courtney W. Miller, Michael E. Roloff, dan Rachel S. Maris, Understanding Interpersonal Conflicts that Are Difficult to Resolve: A Review of Literature and Presentation of an Integrated Model, New Jersey: Lawrence Erlbaum, 2007, hlm. 118–171.
2. Konflik di dalam Organisasi Di dalam setiap organisasi, sebagian besar konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu. Hal itu lalu menimbulkan perbedaan yang menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Kebanyakan pemimpin melihat konflik sebagai pengalaman negatif. Hal ini yang menjadi kunci dari masalah. Jika dibiarkan terlalu lama, konflik dapat memberikan dampak negatif seperti dapat mengalihkan tenaga dari tujuan asli organasasi, menghancurkan moral anggota, membagi individu dan kelompok, serta mempertajam perbedaan antar individu. Dampak yang paling merugikan bagi organisasi adalah efek negatif konflik akan mengganggu bentuk kerjasama antar anggota dengan menciptakan adanya ketidak percayaan antar anggota dan perilaku ketidak patuhan yang nantinya akan mengurangi pendapatan organisasi.12 Tapi disisi lain, konflik juga dapat memberikan dampak yang positif dan nilai kreatif dalam jangka panjang. Dampak positif dari konflik dapat membuka hal mengenai perilaku dalam berkonfrontasi, mengembangkan klarifikasi dari sebuah permasalahan, dan menyediakan variasi bentuk spontanitas bagi anggotanya dalam berkomunikasi. Hal ini dapat meningkatkan kualitas dari solusi permasalahan dan meningkatkan keterlibatan tiap anggota dalam keperluan organisasi. Apabila dapat deselesaikan secara baik, konflik dapat memperkuat hubungan antar anggota yang mengarah pada perkembangan produktifitas organisasi.13 Meskipun konflik dapat memberikan efek yang positif bagi perusahaan, tidak semua konflik yang terjadi di dalam organisasi membantu anggotanya dalam mencapai Gordon L. Lippitt, “Managing Conflict in Today’s Organization”, dalam Kevin L. Hutchinson (ed), Reading in Organizational Communication, Dubuque, IA: Wm. C Brown Publisher, 1992, hlm. 335. 13 Ibid. 12
tujuan. Ada konflik yang dinilai tidak perlu karena tidak memberikan dampak positif dan hanya membuang waktu dan sumber daya yang dimiliki organisasi. Beberapa faktor dalam organisasi yang mempengaruhi individu untuk terlibat dalam konflik yang tidak perlu adalah:14
a.
Kurang baiknya pekerjaan tetap, tugas, tanggung jawab dan otoritas (authority) yang diberikan kepada anggota.
b.
Riwayat konflik antara dua atau lebih orang atau kelompok dalam organisasi.
c.
Hubungan buruk antar dua departemen yang sejak dahulu dianggap saling bertentangan, seperti bagian penjualan (sales) dengan bagian teknikal (engineering), produksi (production) dengan jaminan kualitas (quality assurance), atau kantor cabang (district office) dengan kantor pusat regional (regional headquarters).
d.
Tingginya tuntutan kerja bagi anggota organisasi.
e.
Menurunnya kondisi ekonomi yang membahayakan asuransi pekerjaan anggota organisasi.
f.
Tingginya tingat kompetisi antar anggota yang diterapkan oleh kelas manajer atau lebih tinggi.
g.
Perlakuan khusus (favoritism) yang ditunjukkan oleh pihak manajer kepada bebeberapa anggotanya.
14
Karl Albrecht, Stress and the manager, Englewood Cliff, New Jersey: Karl Albrecht International, 2008, hlm. 273
h.
Standar yang tidak jelas atau sewenang-wenang bagi sistem promosi di dalam organisasi; politik organisasi yang telalu kompetitif sehingga banyak informasi yang disembunyikan dari anggotanya.
i.
Tidak jelasnya informasi mengenai perubahan besar di dalam organisasi yang menyebabkan kepanikan didalam organisasi. Adanya pihak yang menang dan pihak yang kalah harus dihindari dalam sebuah
konflik. Pemimpin harus dapat mengkondisikan anggotanya yang terlibat konflik agar bekerja sama dalam mencari kebenaran (mengumpulkan semua fakta yang ada). Hal ini dapat memunculkan ide-ide baru yang mendorong anggotanya dalam menemukan sistem penyelesaian masalah baru. Hal ini tentu saja bukan merupakan hal yang absolut. Pemimpin yang berpengalaman mengerti bahwa cara ini tidak selalu bekerja sebagai mana mestinya, karena itu seorang pemimpin harus dapat membedakan antara anggotanya yang secara pasif menolak untuk berkontribusi di dalam konflik, yang menjadikan konflik sebagai sarana persaingan antar anggota yang memiliki hubungan buruk, serta yang dapat memandang sebuah konflik sebagai sarana untuk membantu organisasinya berkembang. Proses peyelesaian konflik organisasi yang kreatif memerlukan empati (empathy) dan kesetaraan (equality), tapi tidak boleh bersifat netral (neutrality). Memiliki posisi yang netral justru dianggap merugikan karena dinilai memilih untuk tidak ikut campur pada konflik yang terjadi. Dilain sisi, empati (empathy) berarti pemimpin menerima pernyataan dan pemikiran dari semua pihak yang terlibat konflik, tanpa perlu memihak siapapun. Kesetaraan (equality) berarti tidak ada satupun diantara pihak yang terlibat konflik yang akan diberi perlakuan khusus karena nantinya akan menimbulnya rasa
perlakuan yang tidak adil antar anggotanya. Berdasarkan hal diatas, terdapat 5 (lima) ragam proses manajemen konflik:15
a. Kompetisi (competing) Kompetisi memiliki nilai ketegasan yang tinggi dan kerja sama yang rendah. cara ini berorientasi pada kekuasaan yang dipegang oleh tiap anggota dan konflik memiliki pihak yang menang dan pihak yang kalah. Kompetisi juga menekan, mengintimidasi, dan menarik pihak lain kedalam konflik. Sisi positifnya adalah saat diperlukan, kompetisi memberikan hasil yang tepat dalam kurun waktu yang cepat. Kompetisi biasanya dibutuhkan pada kondisi “saya tahu saya benar” mempengaruhi konflik. Sistem kompetisi dinilai masuk akal untuk digunakan ketika dampaknya pada keefektifan manajemen organisasi relatif ringan. Jadi, pemimpin organisasi menggunakan cara ini dengan anggapan meskipun kompetisi mengurangi keefektifan manajemen, dampaknya akan lebih merusak apabila tidak dilakukan.
b. Akomodasi (accommodating) Akomodasi memiliki nilai kerja sama yang tinggi dan nilai ketegasan yang rendah. Orang yang menggunakan pendekatan akomodasi cenderung kurangnya kepedulian dalam mencapai tujuan hidup. Kurangnya minat ini berdampak kurangnya pengaruh dan pengakuan di dalam organisasi. Itu artinya konflik tidak diselesaikan dengan cara dimana pihak yang bersangkutan saling memaksakan sudut pandangnya satu sama lain.
15
Kenneth. W. Thomas, Op. Cit., hlm. 900
Akomodasi berguna apabila pentingnya konflik memiliki nilai yang berbeda untuk salah satu pihak dengan pihak lainnya. Disini, keharmonisan anggota lebih dipentingkan, karena itu akan lebih menguntungkan apabila salah satu pihak dimenangkan dalam konflik agar memiliki pengalaman lebih, serta untuk menaikkan semangat anggota dalam menghadapi masalah yang lebih penting.
c. Kompromisasi (compromise) Untuk sebagian orang, kata “kompromi” dinilai memiliki posisi yang lemah dan kurangnya komitmen. Proses kompromisasi mengorbankan tujuan jangka panjang demi mendapatkan solusi yang lebih singkat. Kompromisasi memposisikan setiap pihak yang terlibat konflik merasakan kemenangan sekaligus kekalahan pada tingkatan tertentu. Penting untuk memahami nilai dari kompromi karena pendekatan ini sesuai untuk menggambarkan situasi yang sesungguhnya terjadi di kehidupan organisasi sehari-hari. Kata “sesuai” dimaksudkan ketika konflik yang terjadi tidak terlalu penting bagi semua pihak yang bersangkutan untuk menghabiskan waktu dan tenaganya dalam memanajemen konflik. Selain itu kompromisasi merupakan cara yang paling praktis bagi para pihak yang sama kuatnya serta pihak yang lebih persuasif untuk saling bekerja sama dalam mencari solusi.
d. Mengelak (avoiding) Jika dilihat, mungkin pendekatan ini dinilai tidak berguna dalam proses manajemen konflik. Pendekatan ini mencerminkan kegagalan dalam menunjuk permasalah penting dan membuat orang cenderung untuk menolak berkontribusi dan memilih bersikap netral pada saat terjadi konflik.
e. Kolaborasi (collaborating) Kolaborasi memiliki nilai yang tinggi di bidang ketegasan maupun kerja sama. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan apabila semua pihak yang bersangkutan menjadikan konflik sebagi sarana untuk menemukan sistem pemecahan masalah. Pendekatan ini memerlukan beberapa kondisi:
Ada usaha dari semua pihak yang terlibat konflik untuk tidak menganggap konflik sebagai sesuatu yang personal. Pihak yang terlibat konflik tidak saling menjatuhkan melainkan saling bekerja sama dalam mencari solusi permasalahan.
Tujuan, pendapat, tingkah laku, serta pemikiran semua pihak adalah murni bentuk kepedulian terhadap konflik dan semua pihak memiliki peran dalam proses penyelesaian konflik.
Semua
pihak
menyadari
bahwa
konflik
dapat
membantu
dalam
meningkatkan kualitas hubungan manusia apabila dilaksanakan di lingkungan yang mendukung (dimana opini dan perbedaan dapat ditunjukkan secara bebas).
3. Komunikasi dalam Manajemen Konflik Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik, berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Di dalam organisasi, komunikasi yang jujur dan terbuka membantu manajemen konflik dalam mengatasi masalah yang
ada. Forsyth menjelaskan beberapa metode komunikasi yang membantu manajemen konflik seperti:16
a.
Negotiation Konflik dapat muncul ketika anggota di dalam kelompok merasa yakin dengan
posisinya dan tidak ada keinginan untuk mengalah satu sama lain, namun konflik dapat diredakan ketika anggota kelompok memutuskan untuk bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan yang dapat menguntungkan seluruh pihak. Negosiasi adalah proses komunikasi timbal balik yang dilakukan oleh dua anggota atau lebih untuk mencari tahu masalah-masalah secara lebih spesifik, menjelaskan posisi mereka dan saling bertukar gagasan. Negosiasi terkadang lebih dari sekedar tawar-menawar atau saling berkompromi. Seperti negosiasi distributif, kedua belah pihak menyembunyikan orientasi kompetitif mereka dan secara bergantian sampai salah satu pihak mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari pihak yang lainnya.
b.
Understanding Konflik sering terjadi karena pihak yang mengajak bekerja sama justru dicurigai
oleh pihak yang diajak kerja sama dengan anggapan pihak yang mengajak kerja sama ingin berkompetisi dengan pihak yang diajak kerja sama. Mereka mengira ketika pihak lain mengkritik ide-ide mereka, pihak yang mengajak kerja sama sedang mengkritik mereka secara personal. Mereka percaya bahwa motif pihak lain mengajak kerja sama adalah hanya untuk menguntungkan diri sendiri. Anggota kelompok harus menghilangkan pola pikir seperti itu dengan cara berkomunikasi secara aktif terkait motif dan tujuan mereka di dalam diskusi. Komunikasi tidak hanyadapat menyelesaikan konflik, tetapi juga membuat kesalahpahaman serta tipu 16
Donelson R. Forsyth, An Introduction to Group Dynamics,Pacific Groove, California: Brooks/Cole Publishing Company, 2009, hlm. 37
muslihat. Komunikasi dapat membuka peluang anggota kelompok untuk saling percaya, namun itu juga dapat menjadi boomerang bagi kelompok dengan adanya ungkapan dari anggota kelompok yang menunjukkan kebencian maupun ketidaksukaan pada anggota lain.
c.
Downward Conflict Spiral Kerjasama yang konsisten diantara orang untuk jangka waktu yang panjang dapat
meningkatkan rasa saling percaya. Tetapi ketika anggota kelompok terus bersaing satu sama lain, rasa saling percaya akan menjadi lebih sukar dipahami. Ketika seseorang tidak dapat mempercayai orang lain, maka mereka akan bersaing untuk mempertahankan hal yang menguntungkan dirinya atau hal yang dapat menghilangkan persaingan, yang disebut tit-for-tat. Tit-for-tat atau TFT adalah strategi tawar menawar yang berawal dari kerjasama, tapi kemudian meniru pilihan yang dibuat orang lain. Dengan kata lain, pihak A akan bersaing jika pihak B bersaing dan akan bekerjasama pihak lain bekerjasama.
d.
Neutrality Individu yang tidak terlibat dalam masalah tidak seharusnya memihak salah satu
pihak melainkan harus menjadi mediator dalam konflik tersebut. Pihak ketiga (netral) dapat membantu meredakan konflik dengan cara:
1) Memperhalus komunikasi antar kedua belah pihak dengan tujuan meredakan frustasi dan kebencian; 2) Jika komunikasi tidak lancar, pihak ketiga dapat membantu untuk meluruskan masalah; 3) Pihak ketiga dapat mengajukan proposal alternatif yang dapat diterima oleh kedua pihak;
4) Pihak ketiga dapat memanipulasi aspek-aspek meeting seperti lokasi, tempat duduk, formalitas komunikasi, batasan waktu, hadirin dan agenda; 5) Pihak ketiga dapat membimbing semua pihak untuk menggunakan proses penyelesaian masalah secara integratif.
Seringkali, anggota organisasi mengerti bagaimana cara menghadapi suatu masalah, tetapi memilih untuk tidak membagi pengetahuannya dengan pihak manajer atau lebih tinggi. Ini adalah contoh bukti kurangnya komunikasi secara terbuka didalam organisasi. Hasilnya, terlalu sering, informasi yang tidak valid atau tidak akurat mengarah kepada tindakan yang bertentangan dengan kepentingan organisasi. Anggota organisasi mengalami rasa frustasi, amarah, dan ketidakpuasan-dimana nantinya hal ini menjadi siklus yang terulang-ulang kembali. Jerry Harvey17 menjelaskan bahwa orang cenderung merasa nyaman atau canggung ketika harus bersikap berbeda dari apa yang mereka yakini. Jika individu secara positif dan terbuka membenarkan hal yang dianggap salah, maka hal ini memungkinkan terciptanya masalah baru. Kehidupan di luar organisasi mempengaruhi bagaimana seseorang bersikap didalam konflik. Hal ini mempengaruhi kinerja, keamanan, serta peranan di dalam organisasi. Jika seseorang bersifat terlalu “terbuka”, maka ia akan mengancam penerimaannya di dalam kelompok. Rasa takut akan terjadinya konflik, baik nyata (real) ataupun buatan (artificial). Konflik nyata (real) terjadi karena adanya perbedaan yang jelas antara dua atau lebih pihak. Sedangkan konflik buatan (artificial) terjadi apabila semua pihak telah mencapai kesepakatan dalam bertindak dan ada yang justru melakukan hal yang berbeda dari kesepakatan sebelumnya. Konflik ini disebut buatan (artificial) karena tidak didasarkan karena perbedaan yang
17
Jerry B. Harvey, The abilene paradox: The management of agreement. Organizational Dynamics, Lexington, MA: DC Heath & Co., 1974, hlm. 75
nyata. Adanya kelompok di dalam organisai merasa puas dengan hal yang ada sehingga menolak adanya inovasi dan kreatifitas sehingga menghambat perkembangan organisasi.
E.
Kerangka Konsep Konflik adalah suatu proses yang terjadi antar manusia, kelompok, atau
organisasi dalam interaksinya dengan orang lain yang disebabkan perbedaan kebutuhan, perbedaan aktivitas dan perbedaaan pandangan dalam suatu masalah. Di dalam setiap organisasi, sebagian besar konflik dilator belakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu. Hal itu lalu menimbulkan perbedaan yang menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Komunikasi konflik merupakan proses pertukaran pesan verbal dan nonverbal dalam situasi konflik yang dimulai dengan pendahuluan, berkembang melalui tahapantahapan,
dan
berakhir
dengan
konsekuensi.
Sebagaimanapun
masyarakat
menginginkannya, proses penyelesaian konflik melalui komunikasi tidak akan mengakhiri konflik untuk selamanya. Manusia akan menciptakan siklus dimana komunikasi akan melahirkan konflik yang nantinya dapat diselesaikan dengan komunikasi, tetapi tidak dapat menghindari konflik karena manusia akan selalu melakukan proses komunikasi. Pandangan proses komunikasi konflik memiliki implikasi untuk membantu melihat situasi konflik dan perilaku manajemen konflik. Keduanya tertanam dalam serangkaian peristiwa yang saling mengikuti satu sama lain (orang bertemu, berbicara, dan berangkat). Pandangan realitas tersebut mencerminkan kesadaran di dalam diri masyarakat bahwa kehidupan merupakan sebuah cerita yang terdiri dari rangkaian peristiwa yang sifatnya berlanjut. Dari pandangan ini, situasi dan perilaku sebagai
rangkaian fase atau tahapan dapat mencerminkan peralihan proses orientasi. Jika situasi terus terulang (seperti mesin gerak abadi) pada akhirnya akan menjadi sebuah siklus. Dalam beberapa kasus, situasi konflik menjadi siklus karena mereka terjebak dalam tahapan tertentu yang berulang-ulang. Manajemen konflik yang efektif dapat mengkonversi pesan berpotensi merusak ke komunikasi konflik yang produktif. Konflik dalam setiap organisasi, besar maupun kecil memiliki sifat yang tak terelakkan, karena itu cara yang paling tepat bukanlah untuk meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya sehingga tidak memberikan dampak yang menjurus pada perpecahan anggota. Untuk itulah manajer atau pimpinan dalam organisasi harus mampu mengelola konflik yang terdapat dalam organisasi secara baik agar tujuan organisasi dapat tercapai tanpa hambatan-hambatan yang menciptakan terjadinya konflik. Terdapat banyak cara dalam penanganan suatu konflik. Manajer atau pimpinan harus mampu mendiagnosis sumber konflik serta memilih strategi pengelolaan konflik yang sesuai sehingga diperoleh solusi tepat atas konflik tersebut. Dengan pola pengelolaan konflik yang baik maka akan diperoleh pengalaman dalam menangani berbagai macam konflik yang akan selalu terus terjadi dalam organisasi. Dalam proses penyelesaian konflik, empati (empathy) dan kesetaraan (equality) merupakan dua faktor dalam mencari solusi yang kreatif dari konflik yang terjadi di dalam organisasi. Empati berarti semua pihak yang terlibat konflik dapat didengar dan diterima pernyataan dan pemikirannya oleh pemimpin dan pihak luar yang tidak terlibat konflik tanpa memihak siapapun. Kesetaraan berarti tidak ada satupun diantara pihak yang terlibat konflik yang akan diberi perlakuan khusus karena nantinya akan menimbulnya rasa perlakuan yang tidak adil antar anggotanya. Berdasarkan hal diatas, terdapat 5 (lima) macam proses manajemen konflik:
a. Kompetisi Kompetisi dapat memberikan hasil yang tepat dalam kurun waktu yang cepat. Sayangnya, cara ini berorientasi pada kekuasaan yang dipegang oleh tiap anggota yang terlibat konflik dan membagi anggota yang terlibat konflik menjadi pihak yang menang dan pihak yang kalah. Pemimpin organisasi menggunakan cara ini apabila dampaknya terhadap keefektifan manajemen organisasi relatif lebih ringan karena sifatnya yang dapat menyelesaikan masalah secara cepat.
b. Akomodasi Akomodasi berguna apabila pentingnya konflik memiliki nilai yang berbeda untuk salah satu pihak dengan pihak lainnya. Disini, keharmonisan anggota lebih dipentingkan, karena itu akan lebih menguntungkan apabila salah satu pihak dimenangkan dalam konflik agar memiliki pengalaman lebih, serta untuk menaikkan semangat anggota dalam menghadapi masalah yang lebih penting.
c. Kompromisasi Proses kompromisasi mengorbankan tujuan jangka panjang demi mendapatkan solusi yang lebih singkat. Meskipun prosesnya memakan waktu dan tenaga, kompromisasi membuat pihak yang terlibat konflik untuk saling bekerja sama dalam memecahkan masalah. Kompromisasi digunakan karena dapat memposisikan setiap pihak yang terlibat konflik merasakan kemenangan sekaligus kekalahan pada tingkatan tertentu.
d. Mengelak Pendekatan ini dinilai tidak berguna dalam proses manajemen konflik karena mencerminkan kegagalan dalam menunjuk permasalah penting dan membuat orang cenderung untuk menolak berkontribusi dan memilih bersikap netral pada saat terjadi konflik.
e. Kolaborasi Kolaborasi dapat dilakukan apabila pihak yang terlibat konflik tidak saling menjatuhkan melainkan saling bekerja sama dalam mencari solusi permasalahan. Karena itu, semua bentuk pemikiran dan tingkah laku adalah murni bentuk kepedulian terhadap konflik tanpa menganggapnya sebagai sesuatu yang personal.
F.
Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian Jenis penelitianan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif mampu menjelaskan fenomena melalui pengumpulan data yang diperoleh saat wawancara. Pendekatan kualitatif tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya. Dalam pendekatan ini yang ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data, bukan banyaknya (kuantitas) data. Penulis kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penulisan, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas semuanya. Sebelum masalah yang diteliti jelas, maka dalam penulisan kualitatif belum dapat dikembangkan instrumen penulisan. Oleh karena itu dalam penulisan kualitatif “the researcher is the key instrument”. Seperti yang disampaikan oleh Sugiyono:18 “Dalam penulisan kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penulisan utama. Alasannya ialah bahwa, segala 18
Sugiyono, Metode Penulisan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta. 2009, hlm. 223
sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penulisan, prosedur penulisan, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penulisan itu. Dalam keadaaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu, tidak ada pilihan lain dan hanya penulis itu sendiri sebagai alat satu-satunya yang dapat mencapainya”.
2. Metode Penelitianan Metode penelitian yang dipergunakan adalah studi kasus. Studi kasus dipilih karena sejumlah kriteria yang dimilikinya dianggap sangat sesuai dengan apa yang dituju pada penelitian ini, yakni:
a. Studi kasus memusatkan perhatian pada kasus secara intensif dan mendetail. Kasus yang diselidiki dapat terbatas pada satu orang, satu lembaga, maupun satu peristiwa yang dipandang sebagai kesatuan unit atau satu kesatuan unit. Termasuk yang harus diperhatikan adalah segala sesuatu yang mempunyai arti dalam riwayat kasus, misalnya peristiwa, terjadinya, perkembangannya, dan perubahannya. Karena sifatnya yang mendasar dan mendetail studi kasus
umumnya
menghasilkan
gambaran longitudinal,
yaitu hasil
pengumpulan dan analisis kasus dalam satu jangka waktu.19 b. Studi kasus merupakan pemeriksaan empiris yang melakukan investigasi terhadap suatu fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata, dimana batas-batas antara fenomena dan konteks tidak benar-benar jelas terlihat, serta dalam pelaksanaannya memanfaatkan beragam sumber untuk 19
Faisal Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Dasar-Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: Rajawali Pers, 1992, Hal. 31
mendapatkan bukti yang mendukung pengungkapan kasus. Pemanfaatan strategi studi kasus sangat sesuai untuk penelitian dimana peneliti hanya melakukan sedikit kontrol atau bahkan tidak melakukan sama sekali, serta ketika penelitian yang dikembangkan menggunakan pokok pertanyaan yang dibangun dengan “How” dan ”Why”.20 c. Studi kasus memiliki tujuan untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus.21
3. Lokasi Penelitian Penulisan ini dilakukan di dua tempat yaitu kantor bekas Bank Lippo yang berada di Jl. Jend. Sudirman No. 50 sebelah toko roti Holland dan kantor pusat CIMB Niaga yang berada di Jl. Jendral Sudirman 13 sebelah Hotel Santika. 4. Subjek Penelitian Dalam penulisan kualitatif, subyek penulisan dipilih secara purposif dan snowball lsampling. Penentuan subyek penulisan pada laporan ini berkembang setelah penulis turun ke lapangan. Subyek penulisan yang diteliti adalah karyawan yang memiliki usia kerja lebih dari 10 tahun dan berdasarkan rekomendasi dari informan lainnya, diperoleh satu informan yang usia kerjanya baru memasuki kurang lebih lima tahun kerja.
20 21
Robert K Yin, Studi Kasus Desain dan Metode, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hlm. 13 Muhammad Nadzir, Metode Penelitian, Jakarta: PT. Galia Indonesia, 1988, hlm. 66
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Dokumentasi Dalam studi kasus, penggunaan dokumen yang paling penting adalah mendukung dan menambah bukti dari sumber-sumber lain. Dokumentasi memiliki fungsi:22
1) Membantu proses verifikasi ejaan dan judul atau nama yang benar dari organisasi-organisasi yang telah disinggung dalam wawancara. 2) Menambah rincian spesifik lainnya guna mendukung informasi dari sumbersumber lain; jika bukti dokumenter bertentangan dan bukannya mendukung, peneliti mempunyai alasan untuk meneliti lebih jauh topik yang bersangkutan. 3) Membuat inferensi dari dokumen-dokumen - sebagai contoh, dengan mengobservasi pola tembusan karbon dari dokumen tertentu, seorang peneliti dapat mulai mengajukan pertanyaan baru tentang komunikasi dan jaringan kerja suatu organisasi.
Namun begitu, inferensi-inferensi ini harus diperlakukan hanya sebagai ramburambu bagi penelitian selanjutnya dan bukan temuan definitive, sebab inferensi ini pada suatu saat bisa menghasilkan arah keliru. Penelusuran yang sistematis terhadap dokumen yang relevan karenanya penting sekali bagi rencana pengumpulan data.
b. Wawancara Salah satu sumber informasi studi kasus yang sangat penting ialah wawancara. Metode wawancara adalah “proses tanya jawab dalam penulisan yang berlangsung secara
22
Sugiyono, Op. Cit., hlm. 79
lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi
atau
keterangan-keterangan”.
23
Esterberg
dalam
Sugiyono
mengemukakan wawancara terbagi dari tiga macam, antara lain:24
1) Wawancara Terstruktur Wawancara jenis ini digunakan apabila penulis telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu penulis telah menyiapkan intsrumen penulisan berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya pun telah disiapkan. Dengan wawancara jenis ini setiap responden diberi pertanyaan yang sama dan pengumpul data mencatatnya. Dengan wawancara terstruktur ini pengumpulan data dapat menggunakan beberapa pewawancara sebagai pengumpul data.
2) Wawancara Semiterstruktur Wawancara jenis ini dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, penulis dituntut untuk mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan.
3) Wawancara tak berstruktur Wawancara jenis ini adalah wawancara yang bebas di mana penulis tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garisgaris besar permasalahan yang akan ditanyakan.
23 24
Ibid., hlm. 99 Ibid., hlm. 233
Dalam penilitian ini penulis menggunakan wawancara semi terstruktur. Penulis menggunakan pedoman wawancara tetapi juga ada beberapa pertanyaan situasional yang dilontarkan. Wawancara semi terstruktur dirasa sesuai dengan tujuan penulisan, karena penulis mendapatkan informasi lebih diluar pedoman wawancara. Dalam penulisan ini penulis juga menggunakan wawancara mendalam. Penggunaan metode ini didasarkan pada dua alasan: pertama, dengan wawancara mendalam ini penulis dapat menggali tidak hanya yang diketahui dan dialami subjek yang diteliti, tetapi juga apa yang tersembunyi di dalam diri subjek penulisan. Kedua, apa yang ditanyakan kepada subjek yang diteliti bisa mencakup hal-hal yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang, dan juga masa mendatang. Wawancara mendalam dapat dikatakan hampir sama dengan survei yaitu metode yang memungkinkan pewawancara untuk bertanya pada responden dengan harapan untuk memperoleh informasi mengenai fenomena yang ingin diteliti. Tetapi wawancara mendalam berbeda dari survei dalam banyak hal. Pertama, wawancara mendalam kebanyakan dibuar semi terstruktur oleh pewawancara. Wawancara mendalam dilihat oleh penulis sebagai sebuah kolaborasi antara pewawancara dan partisipan, di mana apa yang didiskusikan oleh partisipan sama pentingnya dengan apa yang ingin didiskusikan oleh pewawancara. Para penulis yang memilih wawancara mendalam tertarik terhadap arah yang ingin ditentukan oleh responden dalam wawancara penulis tidak mementingkan pengujian hipotesis melainkan mencari tahu pengalaman-pengalaman responden. Kedua, wawancara mendalam biasanya dilakukan antara satu sampai tiga jam. Penulis lebih tertarik dalam memperoleh data dan gambaran yang mendalam daripada
mengumpulkan informasi dari ratusan responden. Wawancara mendalam biasanya dilakukan langsung oleh penulis sendiri.25 Wawancara memiliki banyak tipe, tetapi secara keseluruhan wawancara merupakan sumber bukti yang esensial bagi studi kasus, karena studi kasus umumnya berkenaan dengan urusan kemanusiaan. Urusan-urusan kemanusiaan ini harus dilaporkan dan diinterpretasikan melalui penglihatan pihak yang diwawancarai dan para responden yang mempunyai informasi dapat memberikan keterangan-keterangan penting dengan baik ke dalam situasi yang berkaitan.
6. Teknik Analisis Data Analisis data telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penulisan. Analisis data menjadi pegangan bagi penulisan selanjutnya sampai jika mungkin, teori yang grounded. Namun dalam penulisan kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data. Dalam penulisan ini, tahapan analisis data yang penulis lakukan adalah sebagai berikut : 1.
Dalam penulisan kualitatif, penulisan sudah dimulai saat dilakukannya pendataan awal sebelum penulis memasuki lapangan. Pendataan awal ini dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data sekunder. Namun demikian fokus penulisan ini masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penulis masuk dan selama di lapangan.
2.
Analisis data dalam penulisan kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada
25
Richard West dan Lynn H. Turner, Op.Cit., hlm. 83
saat wawancara, penulis sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka penulisakan melanjutkan pertanyaan lagi sampai tahap tertentu dan diperoleh data yang dianggap kredibel. 3.
Proses penulisan kualitatif setelah memasuki lapangan, dimulai dengan menetapkan seorang informan kunci (key informan) yang merupakan informan yang berwibawa dan dipercaya mampu “membukakan pintu” kepada penulis untuk memasuki obyek penulisan. Setelah itu penulis melakukan wawancara kepada informan tersebut dan mencatat hasil wawancara. Berdasarkan hasil dari analisis wawancara selanjutnya penulis melakukan analisis domain.