MORAL PRIBADI DIKTAT R
PRIBADI
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO - MAUMERE 2016/2017
i
PENDAHULUAN
Sebuah kuliah tentang ajaran Gereja Katolik berkaitan dengan moralitas seksual dan perkawinan masih tetap terasa aktual terutama dalam dunia dewasa ini, ketika banyak orang bahkan dari kalangan umat katolik sendiri serta orang-orang yang beragama lain seringkali tidak memiliki suatu pandangan yang jelas tentang ajaran ini. Bahkan mereka yang telah mengetahui posisi Gereja Katolik berhadapan dengan pelbagai isu kontroversial berkaitan dengan etika seksual sekalipun, seringkali tidak mengerti akar atau pendasaran dari ajaran Gereja ini dan nilai terdalam dari pribadi manusia itu sendiri yang mau dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh Gereja Katolik. Kebanyakan orang melihat bahwa ajaran Gereja Katolik tentang etika seksual lebih merupakan sejumlah larangan atau tabu yang diciptakan oleh otoritas manusiawi yang pada masa kini acapkali tidak banyak dibutuhkan lagi oleh banyak orang. Memang ajaran Gereja tentang etika seksual atau moralitas seksual hanya bisa dimengerti jika seseorang sungguh-sungguh secara tepat memahami penekanan aspek personalistiknya. Gereja sepanjang sejarahnya telah mengajarkan bahwa seks secara fundamental adalah baik dan merupakan karunia yang sangat 1
istimewa dari Tuhan dan bahwa menata secara benar setiap tindakan seksual dapat menyempurnakan pribadi manusia bersangkutan dan bahkan bisa menguduskannya. Sikap tegas dan hukuman yang diberikan gereja atas beberapa tindakan, pilihan, dan sikap terhadap seksualitas merupakan konsekwensi dari keyakinan utama ini, yakni: kebaikan dan keutamaan mendasar dari seksualitas itu sendiri. Karena itu tindakan-tindakan yang dihukum oleh gereja tidak lain adalah pelbagai perilaku seksual atau sikap-sikap yang merendahkan dan merusak kebajikan utama dari tindakan seksual manusia. Semua tindakan yang merusak itu dikatakan salah karena kebajikan seksual dalam pemahaman teologi Kristiani itu begitu melekat pada integritas diri persona, dan terutama dalam relasi persona itu dengan Allah. Pandangan gereja Katolik tentang moralitas seksual dewasa ini memang seperti berada berdampingan dengan pelbagai pendangan lain tentang sekualitas yang tengah berkembang dan hidup dalam masyarakat dan dunia kita. Ada yang mengatakan bahwa seks merupakan urusan pribadi dan karena itu tidak bisa diatur oleh apapun selain oleh pribadi bersangkutan. Yang lain beranggapan bahwa seks merupakan bagian integral dari diri yang bebas dan karena itu tidak ada satu larangan pun yang bisa membatasi tindakan seksual. Maka muncullah tindakan free sex atau perzinahan, dsb. Atau 2
ada yang melihat seks sebagai sesuatu yang memalukan dan mesti disembunyikan. Dari persepektif semacam ini kita melihat bahwa ternyata ada sekian banyak pandangan yang salah dan keliru tentang seksualitas yang manusiawi. Gereja mengajarkan bahwa karakter relasional dari aktifitas seksual merupakan aspek yang sangat penting, dan dari situ muncul suatu kriteria moral dalam mengevaluasi tindakan seksual. Lebih jauh bisa dikatakan bahwa pandangan gereja tentang moralitas seksual boleh dicirikan oleh konsep “relasi yang bertanggung jawab.” Sebab bagaimanapun setiap bentuk relasi manusia harusnya bertanggung jawab dan bukan eksploitatif. Memang bagi kebanyakan orang dewasa ini, ajaran yang jelas dan pasti dari Gereja tentang moralitas seksual tidak serta merta menjawabi segala persoalan tentang kehidupan seksual. Berhadapan dengan godaan budaya hedonisme dan eksploitasi seksualitas manusia yang besar-besaran saat ini, kita memang terus diminta untuk menunjukkan sikap dan jalan yang benar bagi sekian banyak orang, terutama orang beriman katolik itu sendiri. Ketika seorang teolog atau mereka yang pernah mendalami ajaran Gereja tentang etika seksual tidak bisa menunjukkan dengan jelas apa keunikan dan kekhasan dari pemahaman Kristiani atas seksualitas, maka jelas akan makin banyak orang disesatkan dan bahkan hidup dengan konsep yang salah tentang seksualitas. 3
Karena itu studi tentang teologi moral seksualitas dan perkawinan merupakan suatu hal yang esensial dan mesti dipaparkan dalam cara yang tepat sehingga terungkaplah kebenaran dari ajaran moral Gereja Katolik itu sendiri tentang seksualitas. Atau mengulang apa yang dikatakan oleh mendiang Paus Yohanes Paulus II supaya studi tentang moralitas seksual hendaknya bisa menemukan dan mempresentasikan pendasaranpendasaran biblis, pendasaran-pendasaran etis dan personalistis dari kebajikan seksualitas manusia sebagaimana dikehendaki oleh Allah sendiri dan yang dipercayakan kepada Gereja untuk senantiasa diwartakan kepada semua orang.1 Karena itu kuliah ini akan membahas dinamika perkembangan Gereja Katolik, tentang makna seksualitas manusia yang berdimensi unitif, prokreatif, dan relasional tentu dalam kaitannya dengan cinta dan perkawinan. Seksualitas yang pada awal kekristenan dipahami secara negatif, destruktif, sumber dosa, kemudian mengalami perubahan pemahaman. Seksualitas dilihat sebagai anugerah Allah dan
1 Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Familiaris Consortio, no. 31, R. Hardawiryana (penterj.), (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993), pp.51-52. Lihat juga Ronald Lawler, Joseph Boyle & William E. May, Catholic Sexual Ethics, (Indiana: Our Sunday Visitors Publishing Division, 1998), p.15.
4
merupakan bagian dari keberadaan manusia, mempengaruhi cara berada manusia. Seksualitas dipahami dalam artinya yang utuh. Ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan memberi kontribusi pada perubahan pemahaman tersebut. Dalam kuliah ini dibahas kontribusi pada perubahan pemahaman moral seksualitas dari zaman para bapa Gereja sampai Konsili Vatikan II yang secara dominan dipengaruhi filsafat neoplatonis dan stoisisme melalui pemikiran Agustinus. Di samping itu, kuliah ini juga membahas masalah-masalah aktual seperti kontrasepsi, hubungan seks pranikah, masturbasi, fenomena homoseksualitas, ketegangan antara ajaran moral Gereja di satu sisi, dan realitas konkret yang dihadapi umat di lain pihak. Persoalan terakhir ini misalnya telah menjadi sorotan utama oleh Paus Fransiskus dalam Anjuran Apostolik Amoris Laetitia (Sukacita Kasih, April 2016). Dalam dokumen ini Paus Fransiskus secara khusus menyoroti makna dan keindahan kehidupan berkeluarga sambil tetap mengkritisi pelbagai tantangan yang dihadapi oleh keluarga-keluarga dewasa ini seperti: perceraian, pengabaian terhadap praktek kehidupan beragama yang berdampak luas pada keluarga, termasuk persoalan pornografi, aborsi, teori gender dan homoseksualitas. Pada bagian akhir kuliah ini kita akan mengkaji tentang sikap dan ajaran gereja katolik sendiri tentang kemurnian yang seringkali sulit dan bahkan salah 5
dimengerti oleh kebanyak orang. Penekanan yang diberikan adalah perlunya pemahaman yang benar tentang keluhuran martabat pribadi manusia dan untuk itu mengapa perlu mengembangkan suatu bentuk hidup murni seturut status dan pilihan hidup masing-masing dengan pelbagai tantangan dan kesulitan nyata yang dihadapi Sejumlah literatur akan saya cantumkan pada akhir setiap bab dan sedapat mungkin bisa ditemukan di perpustakaan STFK Ledalero.
6
BAB I SEKS, SEKSUALITAS: PRIBADI, CINTA DAN DORONGAN SEKSUAL
BAGIAN I: PENGERTIAN, PERKEMBANGAN DAN MAKNA SEKS DAN SEKSUALITAS 1. 1. Definisi Seks dan Seksualitas 1. 1. 1. Seks Kata seks yang digunakan secara etimologis berasal dari kata sexus (Latin) yang berarti: jenis kelamin.2 Term sexus diturunkan dari kata kerja secare (Latin) yang berarti memotong, membagi. membelah atau memisahkan. 3 Dalam konteks identitas jenis kelamin, secare bisa dimengerti sebagai usaha untuk menggolongkan atau membagi makhluk hidup atas dua jenis kelamin, yakni wanita dan pria (manusia), jantan atau betina (binatang). 1. 1. 2. Seksualitas
2
K.Prent, J.Adisubrata dan W.J.S Poerwadarminta, Kamus Latin-Indonesia, (Jogyakarta: Kanisius,1969), p. 789. 3
Ibid., p. 774. 7
Istilah seksualitas merupakan arti realis dari pengertian seks itu sendiri. Sebab seksualitas memiliki pengertian yang jauh lebih luas dari pengertian seks dalam arti etimologisnya (jenis kelamin). Seksualitas berarti ”segala sesuatu yang menentukan seseorang sebagai pria atau wanita.” Aspek kepriaan dan kewanitaan ini turut menentukan pola perilaku seseorang, khususnya dalam relasi antar pribadi. Maka peranan seksualitas dalam relasi antar pribadi adalah: mengada secara manusiawi, yaitu secara badani dan rohani, bagi orang lain.” Untuk mengada bagi orang lain tidak mungkin seseorang terpaku pada aspek jenis kelamin (seks) saja, tetapi mesti melibatkan seluruh pribadi manusia itu. Keinginan untuk berada bagi orang lain ini berakar pada inti kepribadian seseorang dan kemudian menyata dalam badan (nafsu, birahi) dan jiwa (yang ingin mengenal dan dikenal serta dikasihi).4 Seksualitas juga menyangkut pengenalan dan penerimaan diri seseorang sebagai pria dan wanita, sebagai manusia yang diciptakan Tuhan. Ron Rolheiser mendefinisikan seksualitas sebagai ”energi yang indah, baik, sangat kuat, dan suci, yang diberikan oleh Tuhan dan dialami dalam seluruh hidup kita, sebagai suatu dorongan yang tidak dapat ditekan, yang mendorong untuk mengatasi ketidaklengkapan, menuju kesatuan 4
Kees Maas, Teologi Moral Seksualitas, (Ende: Nusa Indah, 1998), p. 13. 8
yang utuh. Seksualitas adalah energi dalam diri kita yang mendorong kita untuk dapat mencintai, berkomunikasi, membangun persahabatan, gembira, mempunyai afeksi, compassion, membangun intimitas, dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain, alam dan Tuhan.”5 Jadi, unsur penting yang muncul dari pengertian seksualitas ini adalah: hubungan antar pribadi. Sebab hubungan antar manusia merupakan tempat perjumpaan dan interaksi seksualitas. 1. 2. Aspek-Aspek Seksualitas Pria dan Wanita6 1. 2. 1. Aspek Biologis 1. 2. 1. 1. Alat Reproduksi Pria
Menurut letaknya alat reproduksi pria dibagi atas dua, yaitu pertama, alat reproduksi luar yang terdiri dari zakar atau penis dan kantong buah zakar. Kedua, alat reproduksi dalam yang terdiri dari buah zakar (testis), anak buah zakar, saluran mani (vas deferens), kantung air mani (vesicula seminalis), kelenjar prostat dan saluran kencing. Buah zakar adalah sepasang kelenjar
5
Ron Rohlheiser, The Holy Longing: The Search for A Christian Spirituality, (New York: Doubleday, 1999), pp.202. 6
Kees Maas, Op.Cit., pp. 35-39. 9
yang memproduksi sel mani dan hormon atau kelenjar testoteron yang berguna bagi pertumbuhan laki-laki. Sel mani mengandung kromosom Y. 1. 2. 1. 2. Alat Reproduksi Wanita Dari letaknya, alat reproduksi wanita ada dua. Pertama, alat reproduksi bagian luar yang disebut vulva. Bagian ini terdiri dari clitoris, bibir kemaluan kecil (labia minora), bibir kemaluan besar (labia mayora), bukir kemaluan (mons pubis), selaput darah (hymen) dan kelenjar bertholessi. Kedua, alat reproduksi bagian dalam yang terdiri dari vagina (liang senggama), semacam tabung berotot yang menghubungkan rahim dan bagian luar kemaluan dan yang berfungsi sebagai jalan masuk penis selama persetubuhan dan jalan keluar bayi pada waktu melahirkan. Rahim (uterus) yang berfungsi sebagai tempat perkembangan sel telur (ovum) yang telah dibuahi. Saluran indung telur atau tubae falopi yang menhubungkan antara ovarium dan rongga rahim. Indung telur (ovarium) merupakan kelenjar yang berbentuk biji kenari dan terletak di sebelah kiri dan kanan di bawah saluran telur. Indung telur menghasilkan hormon estrogen dan progesteron. Leher rahim yang menghubungkan liang peranakan atau liang senggama dengan rahim. Sel telur mengandung kromosom X.
10
1. 2. 1. 3. Ciri-Ciri Kelamin7 Ketika seseorang menjalani masa pubertas (pria ± 12 tahun – Wanita ± 11 tahun), kelenjar menghasilkan hormon FSH dan LH (Folicle Stimulating Hormone dan Luteinizing Hormone) yang begitu banyak. FSH merangsang buah zakar dan LH merangsang indung telur yang kemudian menghasilkan hormon estrogen pada pria dan hormon progesteron pada wanita. Proses kerja kelenjar kelamin dan kelenjar hormon-hormon kelamin itu (hypofise) kemudian menyebabkan munculnya ciriciri kelamin primer dan sekunder. Ciri-ciri kelamin primer: pada pria organ seksnya mulai meningkat pesat baik menyangkut pertumbuhan dan pembesaran penis maupun proses pembentukan sperma. Pria kemudian mulai mengalami wet dreams (mimpi basah atau polusi pertama). Sementara pada saat pubertas, seorang perempuan mulai melepaskan sel telur sebagai bagian dari siklus bulanannya (menstruasi). Kira-kira sekali dalam sebulan, saat ovulasi ovarium melepaskan sel telur yang sangat kecil, bergerak menuju uterus melalui salah satu tuba fallopi. Jika sel telur tidak dibuahi oleh sel sperma saat ada di tuba fallopi, sel telur akan menjadi matang
7
Fransiskus Xaverius Byre, Teologi Moral Seksualitas (Diktat), Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero Maumere, 1998, pp. 4-6. 11
dan lepas dari uterus setelah dua minggu, melalui siklus menstruasi. Darah dan jaringan dalam uterus keluar dari vagina, terjadi dalam 3 sampai 5 hari. Ciri-ciri kelamin sekunder: pada pria mulai tumbuh bulu-bulu pada ketiak, sekitar alat kelamin dan tubuh mulai berkembang pesat, otot-otot bertambah besar dan kuat, kulit menjadi kasar, wajahnya tidak jernih (pucat) dan pori-pori kulitnya mulai membesar. Sedangkan pada perempuan: pinggul, pantat dan bahunya bertambah bulat, payudara mulai membesar, tumbuh bulu-bulu pada ketiak dan di sekitar alat kelamin, nada suaranya juga lebih penuh. 1. 3. Aspek Psikologis 1. 3. 1. Beberapa Sifat Pria dan Wanita ♦ Perasaan: pria cenderung mengendalikan perasaan dengan akal budinya dan cenderung datar serta gampang mengungkapkan perasaan. Sedangkan wanita lebih perasa dan lebih cenderung beralih dari satu perasaan ke perasaan yang lain atau dari satu soal ke soal lain. Laki-laki lebih tertarik pada fisik, sedangkan perempuan lebih pada hubungan emosi. Laki-laki mengungkapkan perasaan melalui tindakan, sedangkan perempuan melalui pembicaraan dan perasaan. Laki-laki lebih perhatian pada tugas, peran, orientasi pada tujuan atau peralatan, sedangkan perempuan lebih pada ungkapan, kata-kata, relasi, proses. 12
♦ Pikiran: pria berpikir obyektif, global dan menaruh pada garis besar saja. Bila menghadapi persoalan biasanya dia memepelajari kenyataan dan pelan-pelan mengambil kesimpulan. Wanita lebih berpikir pada hal-hal kecil, detail, lebih cenderung intuitif, berpikir sesaat serta sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur subyektif. Wanita agak sulit menerangkan apa yang dia ketahui. ♦ Daya tahan: wanita lebih terbiasa dengan sakit dan penderitaan, maka daya tahannya jauh lebih kuat dari pria. Pria umumnya kurang sabar dari pada wanita, pria lebih agresif sedangkan wanita lebih suka menerima, pria lebih berani sedangkan wanita lebih tenang dan malu-malu. Dalam hal inisiatif pria berinisiatif, sedangkan wanita bersifat merawat, memelihara dan menjaga. Pria cenderung tidak setia (menipu), sedangkan wanita pada umumnya setia dan biasanya jujur.
1. 3. 2. Dorongan Seks ♣ Alun Seks: sejak masa pubertas sampai dengan menopause wanita akan terus menerus mengalami haid (menstruasi), sehingga siklus dan alun seksnya cenderung pasang surut dan tidak pernah stabil. Faktor yang mempengaruhinya adalah kehamilan, perasaan cemas, takut dan pelbagai perasaan lain yang cenderung 13
tidak tetap dalam dirinya. Untuk itu dalam hidup perkawinan memang wanita sangat membutuhkan pengertian dan kesetiaan dari pasangannya (suaminya). ♣ Selera Seks: untuk bisa mengalami seks, wanita lebih cenderung melibatkan dan mengutamakan perasaan, iklim kemesraan, suasana intim (akrab), penuh kebahagiaan, pengertian dan tenggang rasa. Hubungan seksual, secara khusus dalam perkawinan bagi wanita merupakan pemberian diri yang total, puncak dari kebersamaan yang tidak bisa hilang, sedangkan pada pria hubungan seksual seringkali terbatas pada sentuhan fisik, erotisme dan pemenuhan dorongan hawa nafsu. Untuk itu dalam ikatan perkawinan hubungan seksula mestinya diangkat pada tingkatan yang lebih manusiawi di mana suami dan istri saling menghargai masing-masing pribadi dan bukan menjadikan yang lain sebagai obyek atau sarana semata-mata. 1. 4. Perkembangan Psikoseksual Perkembangan psikoseksual menunjukkan perkembangan psikologis seseorang dipengaruhi oleh faktor perkembangan seksualnya, dipengaruhi oleh perkembangan tubuhnya. Manusia adalah makhluk seksual dalam seluruh perjalanan hidupnya, sejak dari kandungan ibu sampai dengan kematiannya. Dalam perkembangan psikoseksual itu, ada tahap-tahap yang
14
harus diselesaikan jika seseorang ingin berkembang menjadi manusia yang lebih utuh dan integral. 1. 4. 1. Masa Kanak-Kanak (dari lahir sampai usia 7 tahun) Ada tiga ciri utama dalam masa kanak-kanak, yaitu ketidaksadaran seksual, identitas gender, dan sosialisasi. Sejak lahir sampai berusia kira-kira 1,5 tahun anak belum sadar akan seksualitasnya. Memang benar bahwa jika anak disentuh, dibelai tubuhnya, ia merasa senang, namun itu tidak merujuk pada kesenangan seksual tertentu. Relasi yang baik dengan orang tua atau orang lain sangat menentukan kesenangan ini. Meski anak tidak menyadari kesenangan seksual jika disentuh, mereka tetap dapat merasakan apakah mereka disentuh dengan baik atau tidak baik. Jika dia diperlakukan dengan tidak baik, maka pengalaman ini akan menimbulkan pengalaman traumatis di masa dewasa. Pada umur sekitar 1,5 sampai 5 tahun, anak menemukan identitas gendernya, identitas bahwa dirinya adalah laki-laki atau perempuan. Pada usia ini anak mulai memahami bahwa dirinya berbeda dengan teman lain lewat saling memperhatikan alat kelamin masingmasing. Umumnya mereka merasa bahwa tubuhnya dan juga alat kelaminnya adalah baik. Maka usia ini merupakan usia yang paling tepat bagi orang tua untuk menanamkan pada diri anak pengertian dan penerimaan 15
yang positif terhadap seks. Memarahi anak yang telanjang, memukuli tangannya karena menyentuh kemaluan atau sikap negatif lainnya terhadap seks yang ditunjukkan orang tua akan turut membentuk gambaran anak terhadap seks di kemudian hari. Selanjutnya pada usia sekitar 6 tahun sampai pubertas, terjadi beberapa perkembangan baru. Pada usia ini aspek yang menonjol adalah perkembangan sosialisasi psikoseksual. Dari segi fisik, alat kelamin anak berkembang biasa, mereka sadar akan kelaminnya, dan merasakan bahwa alat kelamin itu khusus, dan mereka menutupi alat kelaminnya. Mereka belajar untuk mengambil peran tertentu sesuai jenis kelaminnya ketika bermain dan berada bersama teman lain. Dan dari sana mereka belajar untuk semakin yakin akan identitas kelaminnya yang turut menentukan bagaimana ia mesti berkomunikasi dan berelasi. Menurut Kees Maas, pada tahap kanak-kanak ini masih ada beberapa fase yang mesti dilalui oleh seorang anak, yakni: fase oral (0-1 tahun) di mana seorang anak merasakan kesenangan seksual melalui mulutnya, fase anal (1-3 tahun) di mana seorang banyak anak menemukan pusat kesenangan seksual pada daerah sekitar anusnya, fase genital (2-5 tahun) di mana seorang
16
anak menemukan pusat kesenenangan seksual pada alat kelaminnya.8 1. 4. 2. Masa Remaja Masa ini dibedakan antara masa pada rentang usia 8-12 tahun dan 13-19 tahun. Pada umur 8-12 tahun banyak anak mulai bergaul terpisah. Anak laki-laki bermain dengan laki-laki, anak perempuan bermain dengan perempuan. Mereka lebih belajar tentang dirinya sendiri secara lebih mendalam, termasuk mengenal identitas gender lewat teman sejenis. Pada usia 13-19 tahun, mulai perkembangan lain. Mereka mulai mau bergaul lagi dengan lawan jenis, mau saling berkenalan, bahkan membangun relasi yang lebih mendalam. Biasanya anak perempuan menjadi lebih matang dan dewasa daripada anak laki-laki dalam hal ini. Masa remaja, terutama pada usia 13-19 tahun menjadi masa kritis karena ada banyak perubahan dan pertumbuhan dalam diri remaja. Mereka harus menghadapi ketidakjelasan perkembangan fisik mereka. Tugas mereka adalah membangun independensi atau otonomi, juga membangun relasi keluar. Maka tidak heran jika remaja lebih suka keluar rumah, tidak tahan berada di rumah, suka konflik dengan orang tua, dan lebih suka bertemu dengan teman-teman di luar.
8
Kees Maas, Op.Cit., pp.87-88. 17
Pada masa remaja ini, ada beberapa ciri perkembangan psikoseksual yang dapat diamati, seperti fantasi seks, terobsesi dengan tubuh, dan perhatian pada relasi dengan lawan jenis. Disebabkan oleh dorongan seksual yang mulai muncul, maka mereka pun mulai membayangkan relasi dengan orang lain. Jika yang pria berfantasi tentang seks (hubungan seks secara fisik), maka wanita lebih berfantasi pada relasi yang romantis. Perilaku masturbasi banyak terjadi pada usia ini sebagai penyaluran dorongan seksual. Penilaian terhadap tindakan ini akan kita bahas pada uraian mengenai bentuk-bentuk penghayatan seksualitas. Masa remaja ini bisa dibagi lagi ke dalam dua tahap, yakni: pertama, prapubertas (Wanita: 10-13 tahun – Pria: 12-14 tahun). Hal yang menonjol pada masa ini adalah perkembangan kesadaran seksual. Secara biologis ada mulai tampak pertumbuhan ciri-ciri seksual sekunder yang mencirikan seorang pria dan wanita. Kedua, pubertas di mana ada pertumbuhan biologis yang pesat (wanita hingga usia 15 tahun dan pria 16 tahun) dan juga perkembangan psikologis yang membuat pria dan wanita itu merasa saling tertarik satu sama lain dan mulai mencari kelompok untuk menggabungkan diri atau beraktifitas.9
9
Ibid., pp.88-89. 18
1. 4. 3. Masa Dewasa10 Ciri umum masa dewasa adalah kematangan menyeluruh, termasuk fisik, psikis, emosi, pikiran, sosial, spiritual, dan moral. Dalam perkembangan psikoseksual, masa dewasa ditandai dengan mutuality dan integrasi berkelanjutan. Mutuality psychosexual adalah kemampuan orang untuk bertanggung jawab atas hidupnya dan mempertaruhkan hidupnya bagi orang lain dalam cinta. Ini merupakan kemampuan untuk berkembang dalam persahabatan yang autetentik, entah dia menikah entah dia selibat. Pada masa remaja, seseorang menyenangi orang lain demi dirinya sendiri, sedangkan pada masa dewasa kalau dia menyenangi orang lain, juga demi kebahagiaan orang lain itu. Dalam hal ini ada unsur altruis yang besar, bukan egois. Ciri kedua masa dewasa adalah integrasi yang berkelanjutan. Menjadi dewasa tidak ada batasnya. Menjadi dewasa adalah proses yang harus terus diusahakan sampai kita meninggal dunia. Secara sederhana, kedewasaan psikoseksual dapat dicirikan antara lain: ● Kesadaran dan pengenalan diri yang sungguh mendalam. Menerima kekuatan, kelemahan, dan kemampuannya.
10
Ibid., p. 92. 19
● Orang menerima tubuhnya sendiri apa adanya dan dapat mensyukurinya. ● Punya pengetahuan yang tepat tentang seksualitas, tidak berat sebelah tetapi integral. ● Kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat dan komitmen menyangkut seksualitas. ● Bertanggung jawab terhadap ungkapanungkapan seksual dan tingkah lakunya. ● Setia pada komitmen utama. ● Tidak terlalu men-spiritual-kan kenyataan seksualitas, atau menolak hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. 1. 5. Enam Dimensi Perkembangan Psikoseksual Ferder dan Heagle menyebut enam dimensi perkembangan psikoseksual dalam diri manusia yang perlu dikembangkan secara seimbang. Dimensi-dimensi itu adalah dimensi biologis, kognitif, emosi, sosial, moral dan spiritual. 1. Perkembangan unsur biologis: menyangkut perkembangan alat kelamin, tubuh, perasaan, hormon, gen, ukuran tubuh kita, organ seks. Ini menyangkut semua unsur genetik. Perkembangan ini penting karena menyangkut penerimaan kita terhadap tubuh kita sendiri.
20
2. Dimensi kognitis: menyangkut perkembangan pengetahuan kita yang akurat dan kuat tentang seksualitas, pandangan positif tentang tubuh kita sendiri, pemahaman tentang diri kita sendiri. Cukup banyak tingkah laku seksual yang tidak benar dan juga penerimaan diri yang kurang baik disebabkan oleh pengertian kita tentang seksualitas yang salah. 3. Unsur Emosi: menjadikan kita kerasan dengan tubuh kita, sadar dan merasa nyaman dengan perasaan seksual yang ada, dan mempunyai perasaan yang sehat terhadap orang lain. Semua emosi yang berkaitan dengan diri kita sebagai makhluk bergender dan relasi kita dengan orang lain, masuk dalam kategori ini. 4. Dimensi Sosial: menyangkut bagaimana hubungan kita dengan orang lain, apakah kita memiliki kemampuan untuk membuka diri dan berelasi secara mendalam dengan orang lain, membangun persahabatan dan intimacy dengan orang lain. 5. Unsur Moral: menyangkut kemampuan untuk menilai tingkah laku dan tindakan yang perlu dalam proses integrasi seksual, bagaimana menjaga keseimbangan dalam mengekspresikan energi seksual secara baik, hormat, saling memperkaya dan menyempurnakan. 6. Dimensi Spiritual: menyadari relasi kita dengan Tuhan dalam kedirian kita yang berseksual; bagaimana kita menjadi sadar bahwa seksualitas tidak bertentangan dengan spiritualitas, tetapi 21
justru saling membantu dan menguatkan; bagaimana menyadari kehadiran Tuhan dalam misteri seksual diri kita. 11
Dalam pengalaman, kehilangan satu dimensi atau tidak mempedulikannya maka proses integrasinya akan terganggu dan malah menimbulkan kendala. Misalnya, orang tidak mampu menilai secara tepat ekspresi seksualnya terhadap orang lain, tidak merasa nyaman dengan keadaan dirinya, sulit menerima diri dengan gembira, tidak dapat membangun relasi dengan orang lain dan bahkan melakukan pelecehan seksual terhadap orang lain. 1. 6. Identitas Seksual Pencarian identitas seksual sebagai seorang perempuan atau sebagai seorang laki-laki merupakan suatu proses yang akan dilalui oleh setiap orang. Siapapun akan selalu mencari identitas seksualnya, entah dirinya seorang perempuan atau seorang laki-laki. Orang yang tidak dapat menemukan apakah dirinya laki-laki atau perempuan, biasanya akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan dirinya kepada orang lain yang akan turut mempengaruhinya juga dalam menjalin relasi, 11
Fran Ferder & John Heagle, Your Sexual Self: Pathway to Authentic Intimacy, (Notre Dame, Indiana: Ave Maria Press, 1992), p. 10. 22
komunikasi yang mendalam dengan orang lain. Banyak orang yang bingung dengan kepriaan atau kewanitaannya, menjadi minder, menjadi tidak memiliki harga diri. Karena itu ada empat komponen penting yang perlu diperhatikan dalam proses pencarian dan penemuan identitas seksual ini. 1. Kronologis Seks (Chronological sex). Komponen ini lebih berkaitan dengan fisik biologis. Unsur yang menentukan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan dalam hal ini adalah kromosom, genes, dan biologisnya. Karena kromosom X dan X, orang menjadi perempuan; karena X dan Y, orang secara fisik menjadi laki-laki. Dan ini semua mengakibatkan pertumbuhan yang berbeda. Hal ini bisa tampak dalam perbedaan fisik pria dan wanita. 2. Identitas gender. Identitas ini berdasarkan gender sudah dimulai sejak kecil, sejak anak mencari dirinya, apakah laki-laki atau perempuan. Mereka mulai mencari perbedaan dengan yang lain, menyadari bahwa berbeda, dan akhirnya memang merasakan menjadi lain, menjadi laki-laki atau perempuan. Pencarian identitas gender ini terus menerus berkembang baik secara fisik, psikis, dan nantinya juga sosial.
23
3. Peran sosial gender. Menjadi laki-laki atau perempuan turut dipengaruhi juga oleh peran yang diharapkan dalam masyarakat tentang laki-laki dan perempuan. Kita dibentuk lewat peran itu pula. Kadang kita mendengar bahwa laki-laki itu kuat, berpikir sedangkan wanita itu lebih halus, mencintai dan penuh kasih. Memang tidak selamanya anggapan ini tepat zaman. Terkadang peran dan karakter itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosio kultural. 4. Orientasi Seksual. Setiap orang juga memiliki oritentasi seksual yang terkadang sudah dikembangkan sejak kecil, tetapi juga dapat dibentuk dalam perjalanan hidup. Orientasi itu ada yang bersifat heteroseksual dan ada homoseksual. Heteroseksual lebih menunjukkan ketertarikan kepada jenis yang berlawanan, sedangkan homoseksual kepada jenis yang sama. Orientasi terakhir ini seringkali banyak mendapat sorotan dari Gereja Katolik sendiri.
1. 7. Makna Seksualitas Seksualitas dalam diri manusia memiliki beberapa makna yang boleh disebut sangat fundamental bagi kehidupan pribadi manusia itu sendiri. Seksualitas bermakna sebagai:
24
1. Ekspresi eksistensi manusia sebagai pribadi (laki-laki atau perempuan). Melalui seksualitas kita mengenal beberapa karakter yang membentuk manusia sebagai pria dan wanita. Seksualitas di sini mencakup juga kehidupan afeksi atau penghargaan terhadap sesama atau lawan jenis. Penghargaan yang tepat terhadap tubuh orang lain berakar juga pada penerimaan dan penghargaan kita terhadap keberadaan dan tubuh kita sendiri. Dengan ini seksualitas merupakan seluruh sejarah manusia sejak kelahiran sampai pada kematian. Maka perbedaan pria dan wanita tidak bisa hanya berhenti pada dimensi tubuh atau dorongan seksual semata-mata, tetapi hendaknya diarahkan juga pada dimensi persona yang menjadi dasar kepribadian manusia. Tentang hal ini, Karol Wojtyla menulis: Tujuan yang sebenar-benarnya dari dorongan seksual adalah eksistensi dari spesies Homo, keberlanjutannya (procreatio), dan cinta antar pribadi, antar pria dan wanita, yang dibentuk oleh tujuan itu....” 12 Melalui kenyataan seksualitas tampak jelas eksistensi seseorang sebagai laki-laki dan sebagai perempuan.
12
Karol Wojtyla, Love & Responsibility, H.T Willets (trans.), (San Francisco: Ignatius Press, 1981), pp. 52-53.
25
2. Tempat komunikasi diri dan ekspresi kasih sayang. Kita telah melihat bahwa seksualitas merupakan energi yang mendorong manusia untuk mewujudkan diri sendiri dalam suatu relasi dengan yang lain. Suatu tanda keterbukaan terhadap yang lain. Status biseksual pada manusia menjadi dasar dan alasan utama dari kebutuhan manusia untuk menjalin relasi dengan yang lain sampai pada relasi antar pribadi. Hal yang paling nyata dari relasi antar pribadi ini adalah ketika orang saling mengungkapkan kasih sayang melalui seksualitas mereka, secara khusus dalam ikatan perkawinan.
3. Tanda kekayaan dan keterbatasan manusia sebagai individu. Tidak semua hal yang berkaitan dengan seksualitas menjadi jelas bagi kita. Banyak hal dalam seksualitas kita sebagai manusia yang tetap tinggal sebagai misteri. Seksualitas memang tidak bisa dipahami sepenuhnya dalam diri sendiri. Ia hanya bisa dipahami dalam perjumpaan dengan yang lain, dalam perjumpaan antar pribadi. Kenyataan bahwa seksualitas itu merupakan misteri mendorong manusia untuk senantiasa berusaha untuk mencapai pribadi yang lain, mendekati mereka baik secara fisik maupun spiritual.
4. Sarana prokreasi. Kebenaran ini tidak bisa ditolak dari seksualitas manusia. Bahwa 26
seksualitas merupakan sarana bagi manusia untuk mengabadikan dirinya melalui prokreasi, yang bisa juga dilihat sebagai peran sertanya dalam penciptaan. Seksualitas memang baru bermakna demikian jika ia diwujudkan dalam perkawinan dengan keterbukaan terhadap kemungkinan bagi penerusan keturunan. Di luar ikatan perkawinan makna ini kehilangan nilainya dan seksualitas hanya menjadi obyek kesenangan semata-mata.
5. Anugerah yang menuntut tanggung jawab. Seksualitas adalah anugerah dari Tuhan bagi manusia dan karena itu membutuhkan tanggung jawab. Seksualitas yang dihayati entah dalam pergaulan sehari-hari, dalam selibat maupun dalam ikatan perkawinan mestinya disyukuri sebagai anugerah yang memperkaya manusia dan memberi kebahagiaan padanya. Seksualitas juga menjadi suatu tugas karena dia bukan barang jadi yang bisa langsung digunakan, melainkan seksualitas perlu proses pengintegrasian terus menerus sepanjang hidup.
1. 8. Unsur-Unsur Seksualitas13 Seksualitas manusia memang tidak bisa dipahami seutuhnya. Kita mungkin hanya bisa menambah
13
Kees Maas, Op.Cit., pp.15-16 27
pemahaman kita tentangnya terus menerus dalam perjalanan waktu. Untuk maksud itu baiklah kita mengkaji tiga unsur utama yang turut membentuk seksualitas manusia: 1. Sexus Dimensi pertama seksualitas adalah sexus. Sexus merupakan nafsu atau penggerak atau dorongan dasar dan pertama. Ini merupakan dorongan yang ada dalam diri pria dan wanita (bisa juga pria dengan pria atau wanita dengan wanita) untuk bersatu. Hal yang paling menentukan dimensi ini (sexus) adalah alat kelamin. Penghayatan sexus mencapai puncaknya dalam persetubuhan, secara khusus dalam puncak syahwat. Penghayatan sexus yang terpisah dari relasi personal dan disertai komitmen untuk saling mengasihi, hanya akan memperlakukan orang lain atau badannya sendiri sebagai obyek pelampiasan hawa nafsu. Maka hanya dalam perkawinan, sexus bisa mendapatkan tempat yang pantas, sebagai pernyataan dari cinta yang murni dengan dilandasi komitmen yang kuat. 2. Eros Eros merupakan salah satu dimensi yang muncul antara sexus dan agapè. Seringkali kita mendengar pemakain kata ini dalam hidup sehari-hari: Eros atau erotis yang seringkali menjurus pada hal-hal jorok dan porno. Namun pada sisi lain makna istilah ini bisa serupa 28
dengan agapè. Kertertarikan seksual antara pria dan wanita bisa juga melibatkan apa yang disebut daya tarik erotik, di mana seorang pria merasa tertarik oleh psikè dan sifat seorang wanita dan juga wanita merasa tertarik pada psikè atau sifat seorang pria. Eros dalam bahasa Yunani berarti CINTA. Dengan ini kita kemudian mengenal apa yang disebut cinta erotik. Cinta semacam ini muncul dalam diri seseorang oleh karena ketertarikan pada orang lain atau lawan jenis dengan sifat-sifat tertentu. Misalnya pada gerak-gerik, kecantikan, ketampanan, nada suara, tutur kata atau cara penampilannya. Namun mesti disadari bahwa cinta erotik ini hanya mengarah pada hal-hal lahiriah saja dari jenis kelamin lain (atau mungkin sesama jenis), bukan pada keseluruhan kepribadian dari orang yang dikasihi itu. Cinta erotik umumnya labil dan bisa menghilang bila segala daya tarik psikis yang muncul pada awal mula pertemuan (relasi) berkurang atau hilang. Kedua pihak saling mencintai oleh karena rasa tertarik pada ketampanan atau kecantikan dari pasangan lain. Karena Eros itu berada di antara Sexus dan Agapè, maka Paus Benediktus XVI dalam ensiklik Deus Caritas Est menulis: Eros yang direduksi kepada seks semata-mata, telah menjadikan seks suatu komoditi, menjadi barang untuk dijual dan dibeli, atau terlebih lagi manusia itu sendiri menjadi suatu komoditi (Deus Caritas Est, No. 5). 29
Inti dari penalaran ensiklik ini adalah bahwa eros ’cinta seksual manusiawi’ merupakan cerminan yang indah dari kasih Allah yang mendalam terhadap umat manusia. Artinya dalam pemahaman Paus Benediktus XVI, eros bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Sebaliknya, eros mengundang kita keluar dari diri kita sendiri untuk menuju sesuatu yang lebih tinggi lagi. Eros harus diubah bentuknya melalui ’suatu jalan naik, penyangkalan, pemurnian, dan penyembuhan’ menuju agapé. Jadi prinsip utamanya adalah bukan merusak eros itu dengan membuat seseorang menjadi malu akan seksualitasnya, merepresi seks sebagai sesuatu yang mesti dikontrol dan ditakuti, melainkan membebaskan eros itu sendiri dengan menunjukkan jalan menuju kepada kepenuhannya yang sejati.14 Karena itu, aspek erotis belum bisa memberikan dasar yang kokoh untuk suatu hubungan yang matang.
3. Agapè Eros yang adalah cinta dalam bahasa Yunani berbeda dari agapè (kasih). Agapè tidak lain merupakan
14
Benedetto XVI, Deus Caritas Est, Città del Vaticano: Libreria Editrice Vaticana, 2006, pp.10-11. 30
daya (ilahi) dalam diri seseorang (bukan daya tarik pada obyek tertentu, eros). Daya ini mendorong seseorang untuk keluar dari dirinya, melepaskan dirinya, untuk mengasihi, meskipun secara fisik orang lain yang mau dikasihi itu sama sekali tidak menarik, misalnya karena sakit atau tua. Kasih semacam ini bisa bersifat sepihak, hanya mau memberi dari dirinya sendiri dan tidak mau merebut apapun atau sesuatu bagi dirinya. Cinta agapè itu pertama-tama membuka diri bagi yang lain seperti apa adanya. (lihat buku Deshi R., hlm 91-92) Cinta agapè digerakan oleh daya tarik ilahi. Cinta ilahi adalah cinta yang menghendaki agar yang dikasihi itu berkembang dan bertumbuh supaya dapat merealisasikan dirinya sendiri apa adanya. Cinta agapè ditandai dengan cinta yang merangkul, memiliki sekaligus mampu melepaskan orang yang dikasihi untuk bertumbuh dan berkembang menjadi dirinyas sendiri. Memang eros dan agapè tampak sangat berbeda, tetapi keduanya tidaklah saling berseberangan. Agapè dapat menemukan bentuk konkret dalam eros, tetapi tidak melebur menjadi satu sehingga agapè bergantung pada eros. Dalam Deus Caritas Est, No. 6, Paus Benediktus XVI mengatakan bahwa antara eros (cinta manusiawi atau ascending love) dan agapè (cinta ilahi atau descending love) tidak bisa dipisah-pisahkan secara total.
31
.15 Bisa juga keduanya disebut sebagai cinta yang naik (menumbuhkan gairah) dan cinta yang turun (melepaskan diri). Berdasarkan kriteria yang sama ini pula bisa dikatakan bahwa eros adalah cinta yang posesif dan agape adalah cinta dalam pemberian diri dengan penuh kemurahan hati.16 Semakin keduanya berbeda dan kemudian menemukan persatuan yang sempurna dalam sebuah realitas cinta, semakin cinta yang utuh dan sejati dijumpai dan diaktualisasikan 1. 9. Seksualitas dan Afeksi17 1. 9. 1. Pengertian Afeksi Afeksi merupakan keseluruhan kehidupan emosional yang terdapat dalam struktur psikis manusia dan yang merupakan kekuatan-kekuatan yang menuntut setiap orang untuk mengarahkannya kepada satu tujuan yakni mencintai, walaupun untuk itu dia mesti melewati suatu proses perubahan dan pematangan yang terus menerus (proses kematangan afeksi). Afeksi turut membentuk dan menentukan arti psikis dan seluruh perkembangan diri manusia.
15
Ibid., pp. 12-14
16
Telesphorus K. Cahyadi, Gereja dan Pelayanan Kasih, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), p. 28. 17
Fransiskus Xaverius Byre, Op. Cit., pp.9-12. 32
1. 9. 2. Unsur-Unsur Afeksi Setidaknya ada dua unsur yang turut membentuk afeksi seseorang, yakni:
1. Unsur-Unsur Bawaan Unsur ini terdiri dari emosi dan kemauan atau kehendak. Emosi adalah perasaan yang kuat akan sesuatu berupa cinta, kegembiraan, kesedihan, kekecewaan, benci dan sebagainya. Emosi merupakan sesuatu yang sangat unik pada diri setiap orang dan sangat bergantung pada pengalaman akan situasi yang dihadapi. Sedangkan kemauan adalah kekuatan yang mengarahkan seseorang pada sesuatu yang lain. Kemauan dapat mendorong emosi secara kreatif dan mengontrol dorongan-dorongan emosi itu tetapi dapat pula menghalangi untuk terealisir atau keluar.
2. Unsur-Unsur Perolehan Kemauan-kemauan yang diperoleh dapat dibentuk lewat pengalaman-pengalaman masa lalu (berupa perhatian dan cinta) dan juga lewat relasi dengan orang lain (proses sosialisasi). Unsur-unsur ini dapat menentukan perkembangan dan pengintegrasian afeksi seseorang. Apabila lingkungan hidup baik dan 33
menyenangkan, apabila ada keharmonisan hidupnya, seseorang akan lebih mudah berkembang menuju kematangan pribadi.
dalam untuk
1. 9. 3. Seksualitas dan Kehidupan Afeksi Manusia Afeksi merupakan bagian dari kehidupan psikologis manusia. Perkembangan menuju kepada kematangan baik fisik maupun psikologis tetap membutuhkan satu proses yang panjang malah seumur hidup. Berkaitan dengan ini, maka seksualitas dan agresivitas adalah dua kekuatan dasar dalam dinamika pertumbuhna afeksi seseorang. Kedua unsur ini sangat mempengaruhi proses sosialisasi seseorang dengan sesamanya yang tetap membutuhkan pengontrolan dan penyaluran yang sepadan. Seluruh perkembangan kepribadian ke arah kematangan ditentukan oleh kemampuan untuk mencintai atau melepaskan orang lain. Dan seksualitas mendorong manusia untuk keluar dari dirinya, untuk menciptakan relasi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam suatu komunitas atau masyarakat tertentu. 1. 9. 4. Kematangan Seksualitas: Ciri Kematangan Afeksi Apabila seksualitas merupakan satu unsur hakiki yang menggerakkan kemampuan afeksi manusia, maka kematangan afeksi mengandaikan kematangan seksualitas dan cinta. Kematangan seksualitas dapat 34
ditunjukkan oleh pandangan tentang konsep-konsep penghayatan cinta yang tepat dalam relasi dengan diri sendiri, sesama dan dengan Tuhan. Kematangan seksual seseorang bisa terlihat dari beberapa aspek berikut: 1. Berkaitan dengan kematangan seksual pribadi ● Seseorang menyadari dirinya sebagai pribadi yang terdiri dari badan dan jiwa dengan segala sifat dan tuntutan kodratnya (daya tarik, kebutuhan untuk mencintai dan diperhatikan). ● Memiliki konsep yang tepat tentang diri sebagai laki-laki atau perempuan dengan segala ciri biologis dan psikologis kepriaan dan kewanitaan. ● Menerima, menghargai dan mencintai diri sendiri sebagai pria dan wanita dengan segala keunikannya. Menerima berarti merasa puas, gembira dan bersyukur karena terlahir sebagai seorang pria atau seorang wanita. Sikap menerima kodrat dan kenyataan seksualitas ini akan sangat mempengaruhi penghargaan dan penerimaan terhadap orang lain apa adanya.
2. Berkaitan dengan sesama di sekitar ● Memiliki konsep seksualitas yang benar dan tepat.
35
● Menghargai, menerima dan mencintai orang lain apa adanya. ● Bersikap realistis terhadap seksualitas orang lain. ● Mampu membangun relasi interpersonal dan mengungkapkan kasih sayang secara benar dan wajar sesuai dengan status hidup yang dijalani. 3. Berkaitan dengan Tuhan (Aspek Spiritual) ● Menerima diri dan sesama sebagai gambar dan rupa Tuhan sendiri. ● Bersyukur selalu atas anugerha hidup dan seksualitas yang diberikan Tuhan. ● Mangakui dan menghormati keluhuran harkat dan martabat pria dan wanita sebagai ciptaan Tuhan. 1. 10. Seksualitas dalam Persona18
18
Dionigi Tettamanzi, Bioetica – Diffendere le Frontiere della Vita, Casale Monferrato (AL): Edizioni Piemme, 1996), pp. 128-130. Dalam buku ini Tettamanzi menulis pada bab V tentang Sessualita Umana e Procreazione Responsabile (Seksualitas manusia dan tanggung jawab prokreasi) untuk menegaskan kembali kesatuan erat antara seksualitas dan pribadi, baik di antara pribadi pria dan wanita yang bersatu secara seksual dalam perkawinan maupun tanggung jawab terhadap kehadiran pribadi 36
Ada hubungan yang sangat erat antara seksualitas dan persona. Seksualitas baru memiliki makna yang sesungguhnya apabila benar-benar diintegrasikan ke dalam diri manusia sebagai pribadi. Dalam konteks persona ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: Pertama, seksualitas perlu selalu dipahami sebagai ‘ada’ dari seseorang (to be) dan bukan ‘milik’ atau ‘untuk dimiliki’ (to have). Itu berarti keberadaan sebagai pria (maskulinitas) atau wanita (femininitas) bukanlah hal yang diupayakan oleh seseorang, melainkan yang terberi oleh Pencipta sendiri. Karena itu tidak pernah dibenarkan untuk mereduksi seksualitas kepada suatu ‘barang’ atau obyek/materi tertentu. Seksualitas melekat erat dengan pribadi tertentu yang membuatnya berada sebagai pria atau sebagai wanita. Satu-satunya sikap yang tepat adalah menerima kenyataan seksualitas itu sebagai keberadaan diri yang unik. Penolakan terhadap keberadaan seksual jelas merupakan juga suatu ancaman atau penolakan terhadap pribadi itu sendiri. Sedangkan penerimaan keberadaan seksual akan menolong seseorang untuk benar-benar bertumbuh sebagai pribadi dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat.
manusia yang baru, yang merupakan buah dari persatuan antar pribadi itu. 37
Kedua, seksualitas manusia selalu menyangkut pribadi manusia itu sendiri sebagai satu totalitas (totalitas yang unik). Apabila seksualitas itu dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari ‘keberadaan seseorang’ (to be) dan bahwa keberadaan seorang manusia itu merupakan suatu keberadaan utuh/total (tubuh/jiwa atau Jasmani/Rohani – Jiwa yang membadan) maka seksualitas merangkum seluruh komponen dari pribadi itu sendiri dalam kebertubuhannya juga dalam keseluruhan afeksi, emosi dan spiritualitas seseorang. Berhadapan dengan praktekpraktek hidup dalam masyarakat yang merosotkan dan memiskinkan nilai-nilai seksualitas hanya kepada kenikmatan dan egoisme semata-mata, maka Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio No. 37 menekankan pentingnya pendidikan seksualitas yang sungguh dan bersifat pribadi. Sebab seksualitas memperkaya pribadi pribadi seutuhnya: badan, alam, perasaan dan jiwa dan menampakkan maknanya yang terdalam dengan menghantar manusia kepada penyerahan/pemberian diri dalam cinta kasih. 19 Karena itu setiap bentuk hubungan seksual yang menolak kebaikan pribadi sebagai satu kesatuan dan hanya menekankan aspek kesenangan seksual/biologis adalah tidak manusiawi. Karena itu dalam konteks moral pribadi, seksualitas manusiawi hanya bisa diterima
19
Yohanes Paulus II, Op. Cit., p. 63. 38
dengan penuh hormat dan dalam konteks keseluruhan pribadi sebagai satu kesatuan. Segala bentuk pereduksian atau keterpecahan pandangan tentang seksualitas atau dualisme (yang memisahkan seksualitas dari pribadi) sudah pasti mengancam dan menyerang kebaikan dari pribadi itu sendiri. Ketiga, seksulitas manusia memiliki karakter interpersonal (terarah kepada hubungan antar pribadi). Apabila seorang pribadi adalah ‘aku’ dan terbuka terhadap ‘engkau’ maka sekarang keduannya berada dalam suatu relasi. Karena itu seksualitas dalam dirinya memiliki karakter atau dimensi relasional. Seksualitas menjadi ‘tanda atau tempat’ terbuka untuk menjumpai, berdialog, berkomunikasi atau bersatu dengan yang lain. Dengan ini seksualitas memencarkan satu kerinduan terdalam dari pribadi itu sendiri, yakni: kebutuhan untuk keluar dari kesendiriannya untuk berinteraksi dengan yang lain, untuk menjumpai yang lain untuk saling melengkapi (ada tanda kekurangan dari pribadi yang rindu untuk diperkaya oleh pribadi yang lain). Di sini bisa dipahami tentang kerinduan pribadi untuk saling memberi dan menerima satu sama lain, untuk mengasihi dan untuk dikasihi.
39
BAGIAN II: PRIBADI, CINTA DAN DORONGAN SEKSUAL Keseluruhan bagian ini akan diambil dan diringkas dari salah satu karya besar Karol Wojtyla yang kemudian menjadi Paus Yohanes Paulus II, Love and Responsibility.
1.2.1 Catatan Pengantar Tentang Responsibility’ dari Karol Wojtyla
‘Love
and
Buku ini diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Polandia pada tahun 1960 dan dalam edisi Bahasa Inggris pada tahun 1981, sebagai suatu karya monumental, karya filosofis tentang kodrat, tentang pribadi manusia, tentang seksualitas manusia, cinta dan perkawinan. Namun, bagaimanapun, buku ini tetap merupakan suatu buku yang tidak mudah untuk dipahami, menempatkan pembaca pada tantangantantangan yang tidak Karya besar ini tetap merupakan kumpulan buah-buah pemikirannya yang layak dan mesti diketahui oleh sebanyak mungkin orang. Di sana saya coba menyimpulkan sejauh dapat pokok-pokok utama dalam buku ini dengan harapan agar bisa menolong kita untuk memahaminya. Buku ini terbagi dalam lima bab: Pertama: Pribadi dan Dorongan Seksual; Kedua: Pribadi dan 40
Cinta; Ketiga: Pribadi dan Kemurnian; Keempat: Keadilan terhadap Pencipta; dan Kelima: Seksologi dan Etika. Kita akan melihat pada bagian ini dua bab pertama, yakni: pribadi dan dorongan seksual, pribadi dan cinta. 1.2.2. Pribadi dan Dorongan Seksual Bab ini terbagi dalam dua bagian utama: (1) Analisa tentang Kata Kerja “Memakai/Menggunakan”; dan (2) Interpretasi/Penafsiran atas Dorongan Seksual. 1.2. 2. 1. Analisa terhadap kata kerja “Menggunakan atau Memakai” Bagian pertama ini lebih terfokus pada ‘Pribadi sebagai Subyek dan Obyek dari tindakan.’ Sebagai subyek, pribadi dicirikan oleh suatu keunikan pribadi (inner self) yang khas dan kehidupan; sebagai obyek pribadi adalah ‘entitas’ (identitas/ciri-ciri khusus), seseorang, dan bukan sesuatu. Wojtyla menegaskan bahwa manusia secara radikal berbeda dari binatang oleh karena dia adalah pribadi dan karena itu memiliki keunikan tersendiri (inner self) dan karena memiliki kehidupan batiniah (interior life). Sebagai pribadi, setiap manusia itu unik dan tak tergantikan (irreplaceable). Perhatikan bahwa pada salah satu bagian kemudian, Wojtyla dengan jelas menegaskan bahwa ‘seorang anak, bahkan yang masih dalam kandungan, tidak dapat disangkali kepribadiannya dalam arti yang paling ontologis objektif, meskipun benar bahwa ia belum mencapai pribadi sempurna, tapi perlahan-lahan, banyak ciri-ciri akan membuatnya secara psikologis dan etis 41
menjadi seorang pribadi yang berbeda (unik). Hal ini sangat penting mengingat keyakinan Wojtyla sendiri bahwa anak yang belum lahir benar-benar adalah pribadi dan bukan baru menjadi pribadi setelah melewati tahap-tahap perkembangan tertentu. Bagian kedua, ‘Arti pertama dari kata kerja ‘Menggunakan/memakai’ adalah dalam konteks sebagai alat yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan akhir tertentu, yang berarti alat itu lebih rendah, tersubordinasi. Hubungan manusia dengan ciptaan lain tampak dalam kenyataan ‘menggunakan’ seperti ini. Meskipun ada pembatasan atau pengaturan tentang apa yang boleh secara benar dilakukan manusia; dalam memperlakukan hewan misalnya, manusia dituntut untuk memastikan agar ciptaan-ciptaan ini tidak pernah dimaksudkan untuk menderita atau dilukai secara fisik’. Sekarang bagaimanapun tampak benar bahwa manusia juga sering memakai atau menggunakan sesama manusia yang lain sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu selain tujuan dari pribadi bersangkutan. Karena itu Wojtyla menegaskan bahwa ‘seorang pribadi tidak bisa semata-mata menjadi alat atau sarana demi mencapai tujuan akhir tertentu dari pribadi yang lain,” karena memang itu ditentang oleh ‘kodrat yang paling hakiki dari kepribadian’. Pada satu sisi, Wojtyla menegaskan juga bahwa ‘pendidikan untuk anak-anak merupakan sebuah upaya untuk menolong mereka guna mencari dan mencapai tujuan akhirnya yang sejati, yakni kebaikan-kebaikan hakiki sebagai akhir dari tindakan-tindakannya, dan dengan menemukan serta menunjukkan kepada yang lain cara-cara yang tepat dalam merealisasikan kebaikan-kebaikan itu .
42
Bagian ketiga, ‘Cinta sebagai lawan (oposisi) dari ‘Memakai/Menggunakan’. Di sini Wojtyla bermaksud mencari suatu solusi positif atas persoalan mengenai sikap dan perilaku yang tepat terhadap seorang pribadi. Wojtyla menegaskan bahwa cinta itu hanya mungkin jika ada sebuah kebaikan bersama (common good) yang mengikat dan mempersatukan pribadi-pribadi. Sesungguhnya kesanggupan manusia untuk mengasihi bergantung pada kehendaknya yang secara sadar mau mencari suatu kebaikan bersama dengan dan bersama yang lain, dan untuk bersikap rendah hati, menyangkal dirinya sendiri demi kebaikan yang lain, atau bagi yang lain demi kebaikan itu sendiri. Cinta secara eksklusif merupakan bagian dari pribadi manusia. Demikian pula ia menegaskan bahwa cinta berawal sebagai prinsip atau ide agar semua orang mesti menikmatinya. Dia menerapkan semuanya ini dalam hidup perkawinan, yang merupakan salah satu aspek yang sangat penting di mana prinsip bahwa cinta itu mungkin hanya jika ada kebaikan bersama yang mau dijaga. Dalam perkawinan, dia mengatakan, pria dan wanita dipersatukan dalam suatu cara yang istimewa hingga mereka menjadi ‘satu daging’, artinya menjadi satu subyek bersama, sebagaimana menyata dalam hubungan seksual. Untuk menjamin agar mereka tidak menjadi semata-mata obyek atau alat bagi satu sama lain, mereka mesti saling berbagi tentang tujuan akhir yang sama. Tujuan akhir itu, sebagaiman dimaksudkan oleh perkawinan itu sendiri, adalah kelahiran anak (prokreasi), generasi mendatang, sebuah keluarga, dan pada saat yang sama mematangkan terus menerus relasi antar dua orang
43
pribadi, dalam setiap aspek aktifitas yang termasuk dalam kehidupan perkawinan . 20 Sebagai penutup dari bagian ini, Wojtya menjelaskan hubungan pria-wanita dalam artinya yang paling luas dan menegaskan bahwa cinta yang sedang dibahasnya diidentikkan dengan sebuah kesediaan terus menerus untuk mengalahkan diri sendiri demi kebaikan, di mana nilai kemanusiaan atau lebih tepatnya, nilai pribadi yang nyata dari fakta perbedaan jenis kelamin (seks) itu dihadirkan dan dihargai. Dengan kata lain, nilai pribadi manusia itulah yang menjadi ‘kebaikan bersama,’ yang mempersatukan pria dan wanita dalam cinta. Bagian Keempat,’Arti kedua dari kata kerja ‘Menggunakan/Memakai’ menunjuk pada makna kedekatan kata itu dengan ‘menikmati,’ seperti perasaan kenikmatan atau pengalaman kesenangan. Pada kenyataan pribadi manusia merupakan sumber dari kenikmatan dan kesenangan. Di sinilah moralitas seksual berperan,’tidak hanya karena pribadi menyadari tujuan dari kehidupan seksualnya, tetapi juga karena mereka sadar bahwa dirinya adalah seorang pribadi. Keseluruhan masalah moral dari tindakan ‘menggunakan/memakai’ sebagai antitesis dari cinta berkaitan erat dengan pengetahuan mereka tentang diri ini. Manusia dapat menjadikan kesenangan, kenikmatan sebagai tujuan dari aktifitas atau tindakannya (menggunakan dalam pengertian yang kedua). Seseorang dapat ‘memakai’ pribadi lain sebagai sarana untuk mendapatkan kesenangan bagi dirinya. Tesis Wojtyla 20
Karol Wojyla, Op. Cit., pp. 21-30. 44
adalah ‘keyakinan bahwa seorang manusia adalah pribadi menghantar seseorang kepada pengakuan atas kebenaran ini: bahwa kesenangan itu lebih rendah kedudukannya dari mencintai’. Hal ini menghantar Wojtyla untuk memberikan sebuah analisa kritis atas konsep ulitilitarianisme. Bagian kelima adalah ‘Kritiknya terhadap Utilitarianisme.’ Norma utama bagi kaum utilitarian adalah bahwa sebuah tindakan harus mendatangkan kesenangan maksimum bagi sebanyak mungkin orang, dengan seminimum mungkin sisi ketaksenangan atau kepedihan. Wojtyla kemudian menjelaskan kedangkalan yang terdapat dalam pengalaman subyektif akan kesenangan, yang kemudian dijadikan sebagai ‘kebaikan bersama’ (common good) demi mengikat kedua pribadi dan berargumen bahwa yang dibutuhkan justru sebaliknya harus ada sebuah kebaikan bersama yang obyektif yang menjadi dasar untuk cinta sejati antar pribadi. Kaum utilitarian kemudian menanggapi kritik semacam ini dengan menegaskan bahwa kesenangan yang mereka cari sebesar-besarnya adalah demi dinikmati secara subyektif oleh sebanyak mungkin orang. Kesulitan dengan pernyataan ini adalah bahwa ‘cinta dalam konsep utilitarian berarti perpaduan dari pelbagai egoisme, kesenangan yang dapat dipegang bersama hanya dalam kondisi atau keadaan ketika mereka bertemu satu sama lain atau ketika tidak ada hal yang tak menyenangkan, tanpa ada konflik antar kesenangan di antara mereka satu sama lain. Hal ini secara sederhana berarti manusia hanya memperlakukan satu sama lain semata-mata sebagai sarana untuk mencapai pengalaman subyektif sendiri akan
45
kesenangan. Pribadi menjadi instrumen untuk mencapai pengalaman-pengalaman kesenangan belaka . Bagian keenam, ‘Perintah untuk Mengasihi, dan Norma Personalistik,’ yang berawal dengan sebuah penegasan kembali tentang perintah untuk saling mengasihi dalam Kitab Suci. Wojtyla menandaskan bahwa utilitarianisme tidak sebanding atau sejalan dengan perintah ini; tetapi untuk membuatnya semakin tak sebanding secara eksplisit, maka perlu sekali menunjukkan bahwa perintah untuk saling mengasihi itu diakarkan pada apa yang oleh Wojtyla disebut sebagai norma personalistik. Menurut dia, ‘perintah itu tidak perlu dirumuskan dalam banyak kata, khususnya mengenai prinsip dasar bagaimana semestinya cinta antar pribadi itu harus dipraktekkan.’ Prinsipnya hanya satu yakni: norma personalistik, yang dalam aspek negatifnya, menegaskan bahwa pribadi itu tidak akan mau digunakan atau diperlakukan sebagai sebuah obyek untuk dipakai demi tujuan-tujuan akhir tertentu. Dalam pengertian positif, norma personalistik menegaskan ini: pribadi itu baik adanya dan sikap atau tindakan yang tepat dan pantas terhadapnya hanyalah CINTA”. Norma ini, demikian ditandaskan oleh Kaum Kantian, dijelaskan lagi demikian: cinta merupakan suatu syarat bagi keadilan, dan pada saat yang sama ia bergerak melampaui keadilan, karena keadilan lebih berkaitan dengan sesuatu dalam hubungan antar pribadi sementara cinta lebih berkaitan secara langsung dan secara tepat dengan pribadi-pribadi. Seluruh uraian ini kemudian dihubungkan dengan kenyataan seksualitas.21 21
Ibid., pp. 31-42 46
1.2. 2. 2. Penafsiran atas Dorongan Seksual Bagian dari Bab I ini terdiri atas 7 pokok kecil lagi. Yang pertama, adalah tentang ‘Insting atau Hawa Nafsu’ atau sebenarnya ‘Insting atau Dorongan’, yang berisi argumetasi bahwa dalam diri manusia dorongan seksual itu lebih pantas kalau dinamakan sebagai hawa nafsu atau impuls (dorongan) dari pada sebagai sebuah insting. Insting semata-mata merupakan suatu bentuk refleks dari tindakan, dan tidak bergantung pada pikiran dan kesadaran. Karena manusia, bagaimanapun, merupakan makhluk yang oleh kodrat alamiahnya ‘sanggup bertindak melampaui instingnya, dan ia pun dapat bertindak demikian dalam bidang seksual sebagaimana juga pada bidang-bidang lain, maka adalah lebih tepat berbicara tentang hawa nafsu seksual dalam dirinya. Ketika berbicara tentang hawa nafsu seksual dalam diri manusia, yang muncul dalam benak tentu bukanlah tindakantindakan tertentu yang akan terealisir dalam kenyataan, melainkan suatu orientasi tertentu, suatu arah tertentu dalam hidup manusia yang secara implisit ada dalam kodratnya yang terdalam. Nafsu seksual dalam konteks ini adalah suatu dorongan alamiah yang tertanam dalam diri setiap manusia, sebuah petunjuk aspirasi yang menghantar kepada pengembangan eksistensi mereka dan demi menyempurnakan dirinya sendiri dari dalam. Dorongan seksual menciptakan suatu dasar bagi tindakan definitif, dan mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan sebagai ekspresi penguasaan diri dari manusia. Hal ini - yang memang meresapi keseluruhan eksistensi manusia merupakan suatu kekuatan yang menyatakan dirinya 47
sendiri tidak hanya dalam apa yang terjadi di luar kehendak bebas tubuh manusia, perasaan dan emosiemosinya, tetapi juga dalam apa yang terjadi melalui pertolongan kehendak bebas . Pada bagian berikutnya, tentang “Dorongan Seksual sebagai suatu Atribut dari Individu,” Wojtyla menekankan bahwa setiap manusia merupakan makhluk seksual, dan bahwa menjadi salah satu bagian dari dua jenis kelamin berarti bahwa keseluruhan eksistensi pribadi memiliki orientasi khusus yang menampakkan diri sendiri dalam perkembangannya yang nyata (aktual).” Orientasi ini dirasakan masing-masing secara pribadi (internal) dan muncul keluar, menemukan sebagai obyeknya ‘jenis kelamin lain’ sebagai suatu kekayaan tersendiri yang kompleks. Wojtyla mengatakan bahwa jika seks itu dilihat secara eksklusif dari luar, maka seks itu merupakan suatu sintesis khusus dari pelbagai atribut yang menampakkan diri mereka sendiri secara jelas dalam struktur psikologis dan fisiologis dari pribadi manusia tertentu; fenomena ini memperlihatkan secara jelas bahwa ketertarikan seksual itu terarah pada sifat saling melengkapi antar jenis kelamin. Dia kemudian mengajukan pertanyaan: “Apakah atribut-atribut dari masing-masing jenis kelamin itu memiliki suatu nilai bagi yang lain, dan bahwa apa yang disebut sebagai dorongan seksual menjadi kenyataan oleh karena adanya atribut-atribut itu, ataukah sebaliknya atribut-atribut itu sendiri memang bernilai dan menarik dalam dirinya karena adanya dorongan seksual?”. Wojtyla yakin bahwa alternatif kedua itu tepat, yakni bahwa karena adanya dorongan seksual itu maka atribut-atribut 48
psikologis dan fisiologis (seksual) yang ada pada pria dan wanita itu menjadi menarik. Akan tetapi, dorongan seksual tidak bisa semata-mata dimengerti sebagai sebuah orientasi terhadap atribut-atribut dari jenis kelamin lain: sebab mesti selalu disadari bahwa dorongan seksual itu diarahkan kepada keseluruhan pribadi manusia yang lain. Apabila hanya diarahkan semata-mata terhadap atributatribut seksual, maka hal ini bisa disebut sebagai pengrendahan atau malah menjadi suatu kelainan dari hawa nafsu (homoseksualitas atau bestialitas)...Jadi, keterarahan kodrati dari nafsu seksual adalah seharusnya terhadap seorang manusia dari jenis kelamin lain (opposite sex) dan tidak semata-mata terhadap ‘kelamin dari yang lain (other sex).’ Hanya karena itu diarahkan kepada seorang manusia tertentu, maka dorongan seksual dapat menjamin adanya kerangka tertentu yang di dalamnya dan melaluinya terbuka kemungkinan bagi cinta untuk bertumbuh. Dorongan seksual dalam diri manusia memiliki tendensi natural untuk berkembang menuju cinta karena kedua obyek itu dilibatkan..keduanya adalah pribadi manusia.” Cinta, bagaimanapun, mendapatkan bentuk definitifnya lewat aktus-aktus dari kehendak pada tingkatan pribadi. Dorongan seksual pada manusia ‘berfungsi secara berbeda dari dorongan seksual pada binatang, yang memang sumber aktifitas instinktifnya dikuasai oleh kodrat semata-mata. Dalam manusia hawa nafsu secara kodrati berada di bawah kehendak, dan ipso facto merupakan bagian dari dinamika-dinamika khusus kebebasan yang dimiliki oleh kehendak.’
49
Dorongan Seksual dan Eksistensi, merupakan sub ketiga dari bagian ini, yang menekankan bahwa puncak dari dorongan seksual, akhirnya per se, adalah ‘sesuatu yang supra-personal, eksistensi dari spesies Homo, penerusan berkelanjutan dari eksistensinya. Ini merupakan bagian yang secara istimewa amat penting. Wojtyla menekankan bahwa ‘eksistensi merupakan kebaikan utama dan mendasar dari setiap ciptaan,’ dan bahwa dorongan seksual dalam diri manusia memiliki suatu ‘makna eksistensial, karena ia melekat erat dengan keseluruhan eksistensi dari spesies Homo.’ Namun homo adalah seorang pribadi, dan karena itu dorongan seksual mengarah kepada eksistensi dari spesies manusia sebagai tujuan akhirnya yang sejati, yang secara mendalam personal. Hal ini sangat berarti. Tidak seperti beberapa kaum personalis, Wojtyla tidak menilai makna prokreatif dari seksualitas manusia sebagai sesuatu yang semata-mata biologis yang mesti diintegrasikan ke dalam kesadaran supaya menjadi personal; tetapi sebaliknya karakter prokreatif dari seksualitas manusia itu bersifat personal, sebab inilah makna seksualitas manusia yang diarahkan kepada penerusan spesies, kepada kelahiran pribadipribadi yang baru.”Jika dorongan seksual memiliki sebuah karakter eksistensial, jika itu melekat erat dengan eksistensi terdalam dari pribadi manusia – yang merupakan kebaikan yang utama dan mendasar – maka ia mesti tunduk pada prinsip-prinsip yang penting demi menghormati pribadi itu. Oleh karena itu, meskipun dorongan seksual itu ada pada manusia untuk digunakan, namun ia tidak pernah boleh digunakan dalam ketiadaan, atau lebih buruk lagi, dalam suatu cara yang bertentangan dengan CINTA terhadap Pribadi. Dia kemudian 50
menegaskan bahwa upaya-upaya sengaja untuk merendahkan makna eksistensial (prokreatif) dari dorongan seksual akan memiliki efek merusak dan menghancurkan cinta kasih antar pribadi . Dalam penilaian Wojtyla, oleh karena ada keterkaitan erat antara dorongan seksual dan eksistensi dari pribadi manusia inilah, maka dorongan seksual pun memiliki kepentingan dan makna obyektifnya’. Hal ini kemudian tercermin dalam karakter cinta perkawinan yang sejati antar pribadi yang selalu menaruh penghormatan terhadap eksistensi dari pribadi lain yang hadir secara konkrit, yaitu anak-anak, darah dan daging mereka sendiri. Anak adalah (seorang) pribadi..yang pertama-tama menjadi penegasan dan penerusan dari cinta antara suami istri itu sendiri.’ Pada bagian berikutnya, Wojtyla membuat: Penafsiran Religius. Di sini dia menekankan bahwa cinta di antara pria-wanita mengatasi realitas material, dan menjadi subur baik dalam pengertian biologis karena dorongan seksual, dan juga dalam bidang spiritual, moral dan personal. Dorongan seksual dalam diri manusia, yang adalah makhluk yang diciptakan, berkaitan erat dengan tatanan ilahi ‘sejauh itu direalisasikan dibawah tuntunan yang terus menerus dari Allah Pencipta.’ Pria dan wanita, melalui hidup perkawinan dan hubungan seksual yang total, mengikat diri mereka sendiri dengan tatanan itu, dan setuju untuk mengabil suatu peran khusus dalam karya penciptaan.’ Generasi pribadi manusia yang baru sesungguhnya merupakan buah dari suatu tindakan prokreasi (kesuburan yang disyukuri): ‘Dorongan seksual memiliki kepentingan objektif tersendiri dalam hubungannya dengan karya Ilahi penciptaan 51
ini...Kesuburan biologis yang diterima akan berbuah juga dalam kesuburan spiritual, khususnya kasih dan pendidikan terhadap anak-anak yang terlahir. Aspek penting inilah yang sering kali hilang dari pemikiran manusia, yang banyak kali hanya dipenuhi oleh tatanan kodrati biologis.’ Bagian berikutnya, Penafsiran Rigorist. Di sini Wojyla menolak penafsiran tentang dorongan seksual dari kaum rigorist dan puritanis, di mana mereka mengatakan bahwa dengan menggunakan pria dan wanita untuk melanjutkan eksistensi dari spesies homo, maka sesungguhnya Allah sendiri pun sedang ‘menggunakan atau memakai’pribadi sebagai sarana untuk tujuan-tujuan tertentu (dari Allah sendiri), dengan syarat bahwa kehidupan perkawinan dan persatuan konjugal (persetubuhan) hanya merupakan kebaikan-kebaikan instrumental. Pendapat ini keliru, sebab persatuan pria dan wanita dalam persetubuhan, jika dipilih atau dilakukan dengan bebas dan diperkuat oleh cinta kasih sejati (perkawinan) antar pribadi, selalu merupakan suatu kebaikan dalam dirinya sendiri. Karena itu pendapat kaum rigorist dan puritanis ini tidak dapat diterima bahwa Allah menggunakan pria dan wanita sebagai obyek untuk bersatu dalam perkawinan demi memenuhi kehendak-Nya menciptakan pribadi manusia yang baru. Kehendak Pencipta bukan hanya untuk mempertahankan kelangsungan spesies melalui persetubuhan, melainkan terutama agar suami-isteri menghormati pribadi manusia baru yang diciptakan oleh-Nya itu berdasarkan cinta kasih.
52
Pada bagian berikutnya, Penafsiran kaum Libidinist. Wojtyla mengkritik pandangan ini (umumnya dari Freud dan kebanyakan orang dewasa ini), yang menyatakan bahwa dorongan seksual secara esensial merupakan suatu dorongan untuk kesenangan, untuk kenikmatan semata-mata. Menurut Wojtyla, manusia itu mampu memahami bagian dari dorongan seksual yang berperan dalam tatanan ilahi dan menyadari makna eksistensial dan personal dari dorongan seksual itu. Dorongan seksual tidak bisa dipisahkan dari kebaikan yang paling luhur, yakni pribadi dan pribadi tidak bisa direduksi kepada persoalan dorongan libido dan kesenangan semata-mata. Pada observasi terakhirnya, Wojtyla berbicara tentang tujuan ‘akhir’ dari perkawinan: prokreasi dan pendidikan anak-anak, saling membantu dalam mengatasi dosa asal. Tujuan ini direalisasikan di atas dasar norma personalistik: moralitas seksual dan karena itu moralitas perkawinan merupakan suatu perpaduan yang tetap dan matang antara intensi-intensi alamiah (kodrati) dengan norma personalistik. Norma ini merupakan suatu ‘prinsip dasar agar setiap tujuan yang disebutkan di atas bisa terealisir secara benar, dan terutama agar pada semuanya itu manusia benar-benar diperlakukan sebagai seorang pribadi. Untuk merealisasikan tujuan akhir ini secara tepat, maka keutamaan cinta sangat penting karena ‘hanya sejauh menjadi suatu keutamaanlah, maka cinta bisa menggenapi perintah Injil dan tuntutan-tuntutan norma personalistuk yang terkandung dalam perintah itu.”22 22
Ibid., pp. 45-67 53
Kesimpulan yang bisa diberikan di sini adalah Yohanes Paulus II mau menekankan bahwa dorongan seksual pada akhirnya tertuju kepada seorang pribadi manusia. Sehingga dorongan seksual itu dalam dirinya sendiri tidaklah buruk. Namun karena dorongan itu menggerakkan seseorang menuju kepada seorang pribadi lain, maka dorongan seksual dapat menjamin satu kerangka yang autentik bagi pengembangan cinta kasih di antara mereka. Ini tidak berarti bahwa dorongan seksual bisa disamakan dengan cinta itu sendiri. Cinta melibatkan banyak aspek jauh melampaui reaksi sensual dan emosional semata-mata; cinta yang autentik menuntut tindakan-tindakan dari kehendak yang diarahkan kepada kebaikan dari pribadi yang lain. Doronga seksual dapat menyediakan ‘sumber-sumber’ penting bagi tindakan cinta kasih itu supaya dapat bertumbuh – jika itu disertai dengan rasa tanggu jawab yang besar kepada pribadi lain.23
1.2.3 Pribadi dan Cinta Bab ini mengandung kajian yang amat kaya dan juga terkadang sangat sulit untuk dipahami. Saya akan mencoba untuk memberikan catatan atas beberapa observasi penting dari Wojtyla sendiri. Bab yang panjang ini, masing-masing terbagi dalam beberapa bagian, yaitu: “Analisa Metafisis atas Cinta,” “Analisa Psikologis atas Cinta” dan “Analisa Etis atas Cinta.”
23
Edward Sri, Men, Women and The Mistery Of Love, (Cincinati, Ohio: St.Anthony Messenger Press, 2007), p. 24. 54
1.2.3.1. Analisa Metafisis atas Cinta Setelah pengantar singkat tentang kekayaan makna yang tak pernah habis terpahami seperti terkandung dalam kata “CINTA” itu sendiri, Wojtyla lalu memfokuskan perhatiannya pada tiga elemen dasar yang ada dalam setiap cinta antara pribadi pada manusia, yakni cinta sebagai ketertarikan (attraction), sebagai hasrat (desire), dan sebagai kehendak baik (good will). Dia kemudian mendalami persoalan cinta timbal balik antar pribadi manusia, pergerakan dari cinta menuju simpati, dan menyimpulkan bagian ini dengan sebuah diskusi tentang cinta perkawinan. 1. ‘Cinta’ Wojtyla mengawali uraiannya dengan menegaskan secara pasti kenyataan bahwa ‘cinta itu selalu merupakan sebuah relasi timbal balik antar pribadi,’ sebuah relasi yang didasarkan atas ‘sikap dan tindakan khusus demi kebaikan, yang dialami oleh masing-masing mereka secara pribadi dan juga secara bersama-sama’.24 Dia kemudian memberikan uraian secara proporsional pada bab ini tentang perlunya menghadirkan sebuah analisa metafisis, psikologis dan etis yang merupakan elemen-elemen penting dari cinta dalam relasi antar pribadi, secara khusus antara seorang pria dan seorang wanita. 2. Cinta sebagai suatu ketertarikan (attraction)
24
Karol Wojtyla, Op.Cit., 73. 55
Di sini Wojtyla memfokuskan perhatiannya pada salah satu elemen mendasar dari cinta manusiawi, yakni ketertarikan (attraction). Dia, secara singkat, memfokuskan perhatian pada apa yang selalu disebut pada abad pertengahan sebagai ‘amor complacentiae.’ Cinta sebagai suatu ketertarikan di sini berarti seorang pria, misalnya tertarik kepada seorang wanita, atau sebaliknya, bukan semata-mata karena nilai-nilai seksual tetapi sebagai seorang pribadi dari jenis kelamin lain. Sebagai suatu ketertarikan, cinta melibatkan unsur kognitif – sebuah komitmen kognitif dari subyek – namun ada juga dalam ketertarikan itu ada juga komitmen dari kehendak. Namun karena pribadi manusia adalah juga ada yang bertubuh, maka ketertarikan itu mencakup juga perasaan-perasaan dan selalu bergerak melampaui perasaan-perasaan itu untuk terfokus pada pribadi yang merupakan sumber utama dari ketertarikan itu. Wojtyla menyatakan bahwa ketertarikan merupakan esensi dari cinta dan dalam beberapa hal merupakan cinta itu sendiri, meskipun ‘cinta itu sendiri bukan semata-mata suatu ketertarikan’. Ketertarikan merupakan ‘salah satu dari beberapa aspek esensial cinta sebagai suatu keseluruhan’. Pada prinsipnya suatu ketertarikan mengandung sejumlah tanggapan atas nilai-nilai yang berbeda-beda. Karena nilai-nilai ini bersumber pada seorang pribadi, maka ketertarikan memiliki ‘sebagai obyeknya seorang pribadi, dan sumbernya adalah keseluruhan pribadi.’ Seseorang merasa tertarik dengan suatu nilai yang ditemukannya dalam diri seorang pribadi tertentu; suatu nilai tertentu dari pribadi yang lain, yang secara khusus terasa sensitif baginya.
56
Namun Wojtyla menegaskan bahwa cinta sebagai suatu ketertarikan mesti diakarkan pada kebenaran, dan bahwa reaksi-reaksi afektif emosional (yang obyeknya adalah bukan kebenaran) dapat mengalihkan atau memalsukan ketertarikan itu – yang kalau demikian, cinta emosional itu akan dengan gampang beralih menjadi kebencian. Karena itu dalam setiap ketertarikan ‘pertanyaan tentang kebenaran dari pribadi bagi mereka yang merasa saling tertarik adalah sangat penting...kebenaran tentang pribadi yang obyeknya harus berperan sebagai bagian dari - atau setidak-tidaknya sama pentingnya dengan - kebenaran sentimen-sentimen itu – dan tentu saja nilai-nilai seksual dapat membangkitkan ketertarikan. Oleh karena itu penting sekali, Wojtyla menegaskan lebih lanjut bahwa ‘ketertarikan tidak pernah bisa dibatasi pada nilai-nilai khusus, pada salah satu nilai yang melekat dalam pribadi, tetapi seharusnya pada nilai pribadi itu sebagai suatu keseluruhan. Harus ada suatu ketertarikan langsung kepada pribadi: dengan kata lain, menanggapi kualitaskualitas khusus yang melekat pada pribadi harus sejalan dengan suatu respons timbal balik pada kualitas dari pribadi itu, suatu kesadaran bahwa seorang pribadi memiliki nilai, dan bukan semata-mata menarik (atraktif), bernilai karena sejumlah kualitas atau kelebihan yang dimilikinya’. Dalam pengembangan atas tema ini Wojtyla membuat salah satu komentar berikut ini yang amat penting: “Seorang manusia itu indah dan selalu tampak indah bagi manusia yang lain”. Dan keindahan itu jauh melampaui warna kulit: cinta antar pribadi, dan cinta antara seorang pria dan seorang wanita memiliki salah satu komponennya yakni ketertarikan (attraction), yang berakar 57
bukan hanya pada reaksi atas keindahan fisik yang tampak nyata, melainkan terutama pada keseluruhan dan apresiasi yang mendalam atas keindahan dari pribadi.’ 25 3. Cinta sebagai suatu Hasrat (Desire) Wojtyla kemudian mengkaji tentang cinta sebagai suatu hasrat, atau apa yang disebut pada abad pertengahan sebagai amor concupiscentiae. Hasrat melekat erat dengan esensi terdalam dari cinta, dan memang demikian karena pribadi manusia adalah makhluk yang terbatas dan bukan diri yang sempurna, selalu membutuhkan manusia yang lain. Secara khusus, seorang pria sebagai makhluk dari jenis kelamin laki-laki selalu membutuhkan seorang wanita sebagai manusia dari jenis kelamin perempuan dan sebaliknya; keduanya ‘saling melengkapi,’ contohnya, mereka menolong untuk saling mengisi satu sama lain, dan dorongan seksual diarahkan untuk saling melengkapi satu sama lain. Inilah ‘cinta sebagai hasrat’ karena itu memang berakar pada suatu kebutuhan dan tujuan untuk menemukan kebaikan yang masih kurang pada dirinya. Bagi seorang pria, kebaikan itu adalah seorang wanita, bagi seorang wanita kebaikan itu adalah seorang pria.’ Dengan ini cinta sebagai suatu hasrat berarti suatu ‘need love’: seorang pribadi berada dalam rasa butuh akan sesuatu – dalam konteks ini seseorang – supaya memenuhi atau menyempurnakan dirinya sendiri. Hal ini bukan berarti sesorang ingat diri, meski bisa saja terarah ke situ; namun hal ini merupakan suatu bentuk esensial dari cinta manusiawi, suatu cinta akan sesuatu atau seseorang yang bisa menyempurnakan. 25
Ibid., pp. 76-80. 58
Hasrat sekali lagi termasuk bagian esensial dari cinta, karena pribadi manusia, sebagai makluk yang terbatas, benar-benar membutuhkan kehadiran orang lain. Jadi cinta sebagai suatu hasrat itu berakar pada suatu kebutuhan dan maksud tertentu untuk mendapatkan suatu kebaikan yang masih kurang dalam diri pada yang lain. Kebenaran ini berakar pada Kitab Suci karena setelah menciptakan Adam, Tuhan Allah bersabda:’Adalah tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan seorang penolong yang sepadan baginya’ (Kej 2:18). Namun, dan memang inilah yang amat penting, ‘ada..suatu perbedaan mendalam antara cinta sebagai hasrat (amor consupiscentiae) dan hasrat itu sendiri (concupiscentiae), secara khusus hasrat sensual.” Hasrat yang terakhir ini menerapkan suatu tindakan atau perilaku utilitarian. Karena itu cinta sebagai suatu hasrat tidak bisa direduksi kepada hasrat sensual atau seksual itu sendiri. Cinta sebagai hasrat secara sederhana merupakan suatu kristalisasi dari kebutuhan obyektif seseorang yang ditujukan kepada yang lain, yakni semata-mata merindukan kebaikan sebagai obyek utama yang paling pantas baginya (pribadi yang lain). Dalam pemikiran subyek itu sendiri, cinta sebagai hasrat tidak bisa dirasakan semata-mata sebagai birahi (hasrat). Cinta sebagai hasrat lebih merupakan suatu kerinduan akan kebaikan-kebaikan bagi orang yang dicintai (demi dirinya sendiri)...cinta karenanya dipahami sebagai suatu kerinduan terhadap pribadi, dan bukan semata-mata suatu hasrat sensual, concupiscentia. Hasrat berjalan bersamaan dengan kerinduan ini, tetapi hasrat diliputi olehnya.’ Wojtyla menegaskan bahwa ‘untuk menjadi berguna itu tidak sama 59
dengan menjadi obyek pemakaian..dengan demikian, cinta sebagai hasrat yang sejati tidak bisa menjadi utilitarian dalam tindakannya dan dalam sikapnya yang sejati (meski hasrat itu menggebu-gebu) mesti selalu tetap berakar dalam prinsip personalistik.’26 Dalam Teologi Tubuh, Yohanes Paulus II, sebagaimana dijelaskan kembali oleh Christopher West, mengembangkan lagi apa yang sudah dikatakannya ini tentang cinta sebagai ketertarikan dan hasrat. Di sana dia menegakan bahwa eros – ketertarikan terhadap apa yang baik – tidak boleh dikacaukan dengan hasrat seksual dan eros juga tidak bisa berseberangan dengan ethos injili. Dengan ini tidak ada kontradiksi antara cinta sebagai eros dan nilai-nilai etis, secara khusus nilai-nilai hakiki dari pribadi manusia. Selanjutnya, dia menegaskan bahwa ‘panggilan kepada apa yang benar, baik dan indah (=eros) berarti…menuntut upaya mengatasi hal-hal yang lahir dari hasrat atau nafsu seksual dan terutama kesombongan yang lahir dari dosa asal.27
4. Cinta sebagai suatu Kehendak Baik (Good Will) Cinta sebagai kehendak baik berarti seseorang menghendaki yang lain itu berkembang, yakni segala kebajikan dari eksistensi manusia itu bertumbuh dalam diri orang yang dicintai, dan seseorang sama sekali tidak menghendaki kebajikan-kebajikan ini terpisah dari hidup orang yang dikasihi. 26
Ibid., pp. 80-82.
27
Christopher West, Theology of the Body Explained, (Boston: Pauline Books & Media, 2007), p.244. 60
Di sini Wojtyla membahas tentang apa yang pada abad pertengahan dinamakan sebagai amor benevolentiae. “Cinta adalah realisasi sempurna dari kemungkinankemungkinan inheren (yang tertanam atau melekat) dalam diri manusia...Sebuah cinta sejati adalah sesuatu yang di dalamnya terealisasi esensi yang benar dari cinta – sebuah cinta yang diarahkan kepada suatu kesempurnaan...kepada yang baik karena melalui jalan yang benar.’ Cinta sebagai kehendak baik ini nyata terutama dalam pemberian diri yang total, yang sumber utama dan terakhirnya adalah Allah sendiri, yang melalui Putera-Nya Yesus menyanggupkan manusia untuk mengasihi sebagaimana manusia itu dikasihi oleh Allah sendiri. Cinta sebagai kehendak baik atau kehendak baik itu sendiri merupakan sesuatu yang esensial untuk cinta antar pribadi. Cinta sebagai kehendak baik bukanlah cinta yang ingat diri, sebab kehendak baik itu mestinya bebas dari pemusatan pada kepentingan diri sendiri dan sesungguhnya ‘sama sekali tak dibenarkan mementingkan diri sendiri dalam cinta..Cinta sebagai kehendak baik, amor benevolentiae, karena itu merupakan cinta dalam suatu pengertian yang tak bersyarat daripada cinta sebagai hasrat.’28 5. Cinta Persahabatan (Friendship) Cinta persahabatan merupakan suatu cinta timbal balik, suatu cinta yang mengasihi pribadi lain sebagai ‘dirinya yang lain’, yang baginya seseorang berkehendak untuk memberikan dan mengorbankan dirinya. Ini merupakan bentuk cinta yang paling sempurna. 28
Karol Wojtyla, Op. Cit., pp.82-83. 61
Wojtyla di sini menandaskan bahwa cinta persahabatan, dan secara khusus cinta antara suami dan isteri, merupakan sebuah cinta yang exist di antara mereka, artinya bahwa ‘cinta itu bukan hanya sesuatu yang ada (exist) dalam diri pria dan sesuatu yang ada dalam diri wanita – melainkan sesuatu yang lazim (biasa) untuk mereka dan unik.’ Dengan ini kita tiba pada komunikasi yang tak dapat dihapus, dialienasi atau tergantikan dari pribadi-pribadi. Bagaimana mungkin pribadi-pribadi yang tak tergantikan (unik) masuk dalam communio seperti ini? Bagaimana bisa “I” (Aku) dan “Thou” (Engkau) menjadi sebuah “We” (Kita). Jawabannya terletak dalam kehendak. Artinya kita dapat memilih dengan bebas untuk memberikan diri kita kepada yang lain dalam sebuah cinta pesahabatan. “Faktanya jelas yakni bahwa seorang pribadi yang menginginkan yang lain sebagai suatu kebaikan, menghendaki pertama-tama agar cinta pribadi menjadi balasan dari cintanya juga, menghendaki untuk menyatakan kepada pribadi lain pertama-tama sebagai cocreator dari cinta, dan bukan semata-mata sebagai obyek kesenangan. Wojtyla kemudian mengutip kembali pemikiran Aristoteles tentang persahabatan dan resiprositas. Aristoteles membedakan berbagai bentuk resiprositas, bergantung pada ‘kebaikan yang padanya resiprositas dan persahabatan sebagai suatu keseluruhan didasarkan...Jikalau itu adalah kebaikan yang sejati...resiprositas merupakan sesuatu yang mendalam, matang dan hampir tak termusnahkan...Sehingga kemudian...jikalau yang diberikan oleh masing-masing dari kedua pribadi dalam cinta resiprokal mereka adalah cinta personalnya sendiri, suatu cinta dengan nilai etisnya 62
yang paling tinggi, cinta yang luhur, maka resprositas itu mengandaikan karakteristik bertahan (daya tahan, tahan uji) dan dapat dipercaya (menghantar kepada kebenaran). Suatu sikap utilitarian, yang berakar pada semata-mata kebaikan yang berguna dan bukan kebaikan yang sejati, menghancurkan kemungkinan relasi timbal balik yang sesungguhnya. Cinta persahabatan menuntut suatu komitmen sempurna dari kehendak seseorang kepada pribadi lain dengan suatu konsep utama yakni kebaikan pribadi lain itu. 29 Cinta antara pria dan wanita, khusus antara suami dan isteri mesti berakar pada cinta persahabatan ini. 6. Dari Simpati menuju Persahabatan Di sini Wojtyla pertama-tama menganalisa simpati sebagai suatu bentuk emosional dari cinta yang melaluinya seseorang merasa bersama dengan yang lain dan menunjuk kepada pengalaman-pengalaman yang dibagikan oleh pribadi itu secara subyektif. Bahaya yang mesti diwaspadai di sini adalah bahwa apa yang akan diutamakan semata-mata nilai dari emosi yang dialami secara subyektif (the sympathy) dan bukan nilai dari pribadi itu sendiri. Namun simpati memiliki kekuatan untuk membuat orang merasa akrab satu sama lain; dan karena itu juga menjadi sangat penting sebagai suatu manisfestasi yang paling nyata dari cinta. Akan tetapi sebetulnya elemen yang paling penting dari cinta adalah kehendak, dan simpati mesti diintegrasikan ke dalam pribadi melalui kehendak itu; jika persahabatan, berakar 29
Ibid., pp. 84-92. 63
pada nilai obyektif dari pribadi, maka: simpati harus ditransformasi ke dalam persahabatan, dan persahabatan ditopang oleh simpati.” Namun, ‘persahabatan...terletak dalam suatu komitmen utuh dari kehendak demi pribadi lain dengan fokus utama pada kebaikan pribadi itu. Sementara cinta selalu suatu hal subyektif, karena di dalamnya mesti berdiam subyek-subyek,’dan pada saat yang sama’ cinta itu mesti bebas dari subyektifitas. Cinta mesti menjadi sesuatu yang obyektif dalam diri subyek, artinya memiliki serentak karakter obyektifitas sebagaimana juga profil subyektifitas itu.’ Cinta, dengan kata lain, diakarkan pada persahabatan. Persahabatan, sementara ia lebih mendalam dari sekedar simpati dan pertemanan, dapat menjadi matang dan dewasa sejauh ia memberikan kepada seorang pria dan wanita sebuah ketertarikan obyektif bersama.’30 7. Cinta Perkawinan Bentuk unik dari cinta persahabatan, bentuk cinta yang mempersatukan suami dan isteri, yang menjadi mungkin hanya karena pribadi manusia dapat dengan bebas memilih untuk memberikan dirinya secara total kepada seorang lain. Jadi dalam karakter utama cinta perkawinan adalah ”pemberian diri dari pribadi itu sendiri (kepada yang lain).” Esensi dasarnya adalah ‘pemberian diri sendiri, penyerahan ‘AKU’ seseorang.’ Inilah cinta
30
Ibid., pp. 90-94. 64
antar pribadi, sesuatu yang sebenarnya lebih mendalam daripada sekedar persahabatan.’31 Dalam memberikan diri mereka kepada satu sama lain lewat perkawinan dan dalam sikap saling menerima satu sama lain sebagai suami dan isteri, seorang pria dan seorang wanita membangun komitmen mereka sendiri secara tak tergantikan kepada satu sama lain dan dalam perkawinan, suatu relasi intim atau perjanjian hidup dan cinta, dan komitmen terhadap ’kebaikan’ dari perkawinan itu sendiri: kesetiaan cinta suami isteri, anak-anak, dan pelbagai upaya untuk saling menolong satu sama lain mencapai kekudusan. Sebuah paradoks dijumpai di sini, karena seorang pribadi itu unik tak tergantikan, dalam arti bahwa Aku adalah Aku dan Kamu adalah Kamu. Aku seorang pribadi, isteri/suami adalah pribadi yang sama sekali berbeda denganku, dan Aku tidak akan pernah bisa menjadi dia atau dia menjadi saya. Karena itu dalam cinta pekawinan ada suatu komunikasi utuh antar pribadi, apa yang kemudian Wojtyla sebut dengan communio personarum – sebuah pemberian diri yang utuh dari seorang pribadi kepada yang lain tanpa kehilangan dirinya sendiri. Apa yang menjadi paradoks di sini adalah bahwa ‘dalam memberikan diri sendiri, kita menemukan bukti yang jelas bahwa kita memang memiliki diri kita sendiri.’ Konsep cinta perkawinan terkandung dalam pemberian pribadi dari
31
Christopher West, Op. Cit., pp. 339-344. Cinta perkawinan dalam konteks ‘Love & Responsibility’ adalah apa yang Yohanes Paulus II sebut sebagai ‘cinta suami isteri (spousal love)’ dalam ‘Theology of the Body’, dan maknanya justru memperdalam kembali tema yang telah dijelaskannya dalam topik ini. 65
individu tertentu kepada pribadi lain yang dipilih. 32 Perkawinan diakarkan pada cinta suami isteri ini, yang memang memenuhi tuntutan norma personalistik.
1. 2. 3. 2. Analisa Psikologis atas Cinta Setelah sedikit pengantar untuk membedakan antara analisa atas ‘perasaan tertarik dan emosi, Wojtyla kemudian mengembangkan analisa yang mengagumkan tentang sensualitas dan sentimen (afektivitas), yang menurutnya disebut sebagai ‘bahan mentah’ bagi cinta manusia dan kemudian juga menjadi tantangan bagi cinta yang integral. Bagian dari bab dua ini menyiapkan jalan untuk diskusi di bab tiga berkaitan dengan integrasi antara sensualitas dan sentimen sebagai ‘bahan mentah’ dari cinta. 1. Sensualitas Karena laki-laki dan perempuan merupakan makhluk bertubuh, makluk seksual, mereka pun secara kodrati tertarik satu sama lain sebagai pribadi dan merindukan sebuah tanggapan. Dari sekian banyak tanggapan itu adalah sensualitas, sebuah tanggapan terhadap nilai-nilai seksual dari tubuh-pribadi dan sebuah jawaban terhadap pribadi sebagai suatu ‘obyek potensial dari kegembiraan.” Karena itu sensualitas memiliki suatu ‘orientasi konsumerisme’,’diarahkan ‘pertama-tama dan secara langsung kepada sebuah ‘tubuh,’ dan menyentuh pribadi hanya secara ‘tak langsung.’ Karena memang 32
Karol Wojtla, Op. Cit., pp. 96-98. 66
sensualitas diarahkan kepada penggunaan tubuh sebagai sebuah obyek meski itu terbaur dengan pemahaman tubuh sebagai keindahan – sebagai sebuah objek kognisi kontemplatif dan kesenangan dalam dirinya seperti yang dimaksudkan kaum Agustinian. Namun sangat penting untuk disadari bahwa ‘orientasi pemakaian (penggunaan) dari sensualitas adalah suatu soal refleks spontan,’ dan hal itu ‘pertamatama bukan sesuatu yang jahat, melainkan sematasemata suatu kenyataan alamiah (natural). “Sensualitas mengekspresikan dirinya sendiri sebagian besar dalam bentuk dorongan (appetitive): seorang pribadi dari seks yang lain dilihat sebagai suatu ‘obyek kesenangan’ secara khusus karena nilai seksual yang terkandung dalam tubuh itu sendiri; karena memang dalam tubuhlah perasaan itu menemukan adanya kenyataan perbedaanperbedaan seksual, seksual yang lain (sexual ‘otherness’). Pribadi manusia, bagaimanapun, tidak dapat menjadi suatu obyek untuk digunakan. Sekarang, tubuh merupakan satu bagian integral dari pribadi itu sendiri, dan karena itu haruslah tidak diperlakukan seolah-olah ia terpisah dari keseluruhan pribadi: nilai tubuh dan nilai seksual yang ada dalam tubuh itu keduanya bergantung pada nilai dari pribadi itu sendiri...sebuah reaksi sensual di mana tubuh dan seks berkemungkinan menjadi obyek penggunaan mengancam nilai pribadi manusia.’ Karena itu sensualitas, meskipun tidaklah jahat dalam dirinya sendiri, memiliki suatu ancaman dan suatu godaan. Hal itu, bagaimanapun, ‘menjadi suatu bahan kasar (mentah) menuju kepada kebenaran, yakni cinta perkawinan.’ Namun karena sensualitas ‘itu samar bagi pribadi dan 67
diarahkan hanya kepada nilai seksual yang terikat dengan tubuh,’ ia akan berubah-ubah, berpaling ke mana saja ia menemukan maknanya, ke mana saja ada suatu kemungkinan obyek kesenangan itu muncul.’ 33 Namun tanggapan kodrati seorang pribadi kepada nilai seksual tubuh seorang pribadi dari jenis kelamin lain secara moral tidaklah salah dalam dirinya sendiri. Sensualitas berkaitan erat dengan nilai-nilai seksual yang ada pada tubuh seorang pribadi dari jenis kelamin lain. Karena itu reaksi sensual dimaksudkan untuk mengarahkan seseorang kepada communio personarum dan bukan semata pada persatuan seksual. Dengan demikian sensualitas dapat menjadi cinta yang sejati apabila ia diintegrasikan dengan nilai-nilai cinta yang lebih tinggi, seperti kehendak baik, persahatan, keutamaan atau komitmen untuk memberi diri. Dari catatan di atas terlihat bahwa ketertarikan sensual bisa saja membawa pada bahaya, seperti: pertama, karena sensualitas itu tidak bisa disamakan dengan cinta, maka dia bisa mengarahkan seseorang pada sikap utilitarian. Ketika seseorang dikuasai oleh dorongan sensual, maka sudah pasti dia akan melihat pribadi lain sebagai obyek untuk digunakan/dinikmati. Ada tindakan mereduksi pribadi kepada karakter/penampilan fisiknya semata-mata: penampilannya, tubuhnya dan melihat pribadi hanya dari sudut pandang kenikmatan seperti terlihat dari kualitas-kualitas itu. Dengan demikian sensualitas tidak lagi mengarahkan orang kepada cinta akan pribadi lain, tetapi sebaliknya menjauhkannya dari sikap hormat dan cinta terhadap pribadi yang lain. Jadi, 33
Ibid., pp. 106-108. 68
sensualitas dalam dirinya sendiri memili karakter ‘konsumtif’ di mana pertama-tama selalu terarah semata pada tubuh: artinya sensualitas itu menyentuh pribadi secara tak langsung dan cenderung menghindari suatu pertemuan atau kontak secara langsung dengan pribadi lain.34 2. Sentimen dan Cinta Sentimentalitas, suatu reaksi perasaan lainnya yang mendalam terhadap tubuh-pribadi, berbeda dari sensualitas karena ia lebih diarahkan kepada ‘nilai seksual yang ada dalam ‘seluruh pribadi dari jenis kelamin lain,’ kepada feminitas atau maskulinitas.’ Sentimentalitas merupakan sumber dari afeksi. Sementara sentimentalitas, didasarkan pada sensualitas, pada suatu intuisi panca indera, kandungannya tetap, yakni ‘keseluruhan pribadi dari jenis kelamin lain,’ keseluruhan diri perempuan atau laki-laki. Dalam sensualitas, salah satu bagian dari keseluruhan ketertarikan atas tubuh secara cepat terpisah dari dan tak terkait lagi dengan yang lain (yang disebut, nilai seksual), sementara dalam sentimen semua ketertarikan itu tetap terpaut erat dengan keseluruhan individu dari seks lain . Karena itu afeksi tampaknya bebas dari concupiscentia (dosa asal) yang memang amat nyata dalam sensualitas. Namun di sini suatu bentuk lain dari keinginan dihadirkan, ‘suatu ‘kerinduan untuk kedekatan, kelekatan,...eksklusivitas atau intimitas.’ Semua ini menghantar kepada kelembutan hati (kesabaran), tapi bahayanya adalah bahwa ia dapat dengan mudah jatuh ke wilayah sensualitas, dan di sini sebuah sensualitas 34
Edward Sri, Op.Cit., pp. 33-34. 69
disamarkan sebagai sentimen. Hal itu akan menghantar kepada ‘cinta sentimental’ atau apa yang biasa disebut sebagai ‘cinta romantis’. Masalah di sini adalah bahwa hal ini akan bisa membawa kepada suatu idealisasi obyek cinta – seseorang mengidealisasi obyek dari cinta sentimental karena dia ingin agar obyek itu menjadi sesuatu yang bisa memberikan perasaan subyektif tentang intimitas, dsb. Walaupun hanya ‘bahan mentah’ dari cinta, sentimen bukanlah cinta karena dia masih samar dan gelap bagi pribadi dan ditentukan oleh perasaan-perasaan subyektif bahwa pribadi yang diidealkan itu dapat memberikan cinta. Karena itu, jika cinta tetap berada pada tataran sensualitas..seputar daya tarik seksual, itu tidak akan pernah menjadi cinta sama sekali, tetapi justru akan berhenti pada penggunaan atau pengobyekkan seorang pribadi oleh yang lain, atau oleh kedua pribadi itu satu sama lain. Sementara itu jika cinta berhenti semata-mata pada sentimen, maka ia pun tidak akan bisa disebut cinta dalam arti yang sebenarnya sebagai terkandung dari kata itu sendiri. Sebab kedua pribadi itu akan tetap berada sama sekali terasing dari satu sama lain, meski secara nyata tampaknya mereka kelihatan akrab satu sama lain. Keakraban ini hanya karena mereka dengan penuh hasrat mencari kedekatan (intimitas); tapi intimitas yang dicari itu tidak dicari karena pribadi itu dikasihi, tapi lebih karena perasaan subyektif dari afeksi, yakni bahwa apa yang diberikan oleh pribadi lain itu, itulah yang dikasihi. 35
35
Karol Wojtla, Op.Cit., pp. 110-114. 70
3. Masalah Pengintegrasian Cinta: Cinta yang Integral Pokok utama dari bagian ini adalah bahwa sensualitas dan sentimen dapat diintegrasikan ke dalam cinta antar pribadi yang sejati, secara khusus antara pria dan wanita, hanya dalam terang kebenaran dan hanya melalui kebebasan, pilihan untuk menentukan diri sendiri: ‘proses pengintegrasian cinta terletak pertama-tama pada elemen-elemen penting manusiawi – semangat kebebasan dan kebenaran.’36 1. 2. 3. 3. Analisa Etis atas Cinta Pada bagian ini Wojtyla menegaskan bahwa adalah tidak mungkin memadukan pelbagai elemen cinta secara sempurna. Artinya kepenuhan psikologis dari cinta itu baru bisa diperoleh, kalau kepenuhan etis sudah dicapai. Hal ini mungkin hanya dengan memahami cinta sebagai suatu kebajikan atau keutamaan yang digapai ketika seseorang menempatkan pilihannya dalam terang kebenaran, secara khusus dalam terang kebenaran dari norma personalistik. Hal ini pertama-tama menuntut penegasan dan pengakuan akan nilai pribadi, dan ketertarikan kepada nilai-nilai seksual dari pribadi harus ditempatkan lebih rendah dari martabat pribadi yang luhur dan tak tergantikan. Cinta ‘diarahkan bukan kepada tubuh saja, dan juga bukan hanya kepada manusia dari seks lain, tetapi terutama dan seharusnya kepada seorang pribadi. Apa yang lebih, adalah bahwa hanya kalau itu diarahkan
36
Ibid., p.116. 71
kepada pribadi, maka cinta itu akan benar-benar menjadi cinta. Hal ini akan menghantar kepada ‘karakter pemberian diri’ dari ‘cinta perkawinan,’ sebuah cinta yang didasarkan pada pemberian diri timbal balik, persahabatan dan diakarkan pada komitmen untuk kebaikan yang dialami bersama-sama. Hubungan seksual akan sejalan dengan norma personalistik hanya jika hubungan itu terjadi di antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang telah dengan total dipadukan dalam jenis cinta ini (cinta perkawinan). Sebelum cinta dari seorang pria dan seorang wanita ‘mengenakan bentuk definitifnya, menjadi ‘cinta perkawinan’, pria dan wanita masing-masing menghadapi pilihan pada pribadi manakah dia akan memberikan dirinya sendiri...obyek pilihan adalah pribadi lain, tetapi hal itu seolah-olah seseorang yang sedang memilih “AKU” yang lain, memilih dirinya dalam yang lain, dan yang lain dalam dirinya. Hanya kalau pilihan itu secara obyektif baik bagi kedua pribadi untuk bisa berada bersama, maka mereka pun bisa saling merindukan satu sama lain.’37
37
Ibid., pp. 123-131. 72
BAB II
SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN DALAM KITAB SUCI 2. 1. Seksualitas Dalam Kitab Suci Kitab Suci tidak menyediakan suatu kajian khusus yang komprehensif dan detail tentang seksualitas manusia, karena memang maksud penulisannya bukan untuk hal ini. Hal utama yang dijumpai dalam Kitab Suci adalah kajian atas relasi timbal balik antara Allah dan manusia (pria dan wanita) dalam bentuk dialog, di mana Allah menyampaikan undangan-Nya untuk menyelamatkan manusia dan respons manusia terhadap undangan itu. Maka manusia yang dibicarakan dalam Kitab Suci adalah manusia konkret, pria dan wanita, dengan segala masalah hidupnya sesuai dengan tempat dan zaman di mana mereka hidup. Dengan meneliti Kitab Suci perlu juga memahami sifat historis teks-teks tertentu dan tempatnya dalam kebudayaan di mana teks itu ditulis. Tentu tidak ada visi yang homogen, bahkan sebaliknya akan ditemukan visi yang fragmentaris dan terbatas. Meski
73
demikian Kitab Suci perlu menjadi dasar dan pencerahan dalam membicarakan ajaran gereja tentang seksualitas. 38 2. 1. 1. Konteks Pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama Tentang Seksualitas Konsep yang paling kuat di antara umat Perjanjian Lama adalah bahwa mereka melihat dan sungguh menyadari kehadiran Allah, kekudusan-Nya dan terutama kesetiaan-Nya pada perjanjian dengan Israel dan dengan demikian seluruh umat manusia. Allah Israel jauh berbeda dari dewa/i di sekitar mereka. Dia adalah Allah yang kudus. Dia baik dan karena itu Dia menuntut kualitas moral tertentu dari umat Israel dalam sikap dan tindakan mereka. Untuk itu dalam Perjanjian Lama semua hal yang berkaitan dengan seksualitas dalam kehidupan umat Israel sangat diperhatikan, berbeda dengan bangsa-bangsa kafir di seputar mereka. Hukum-hukum yang berkaitan dengan seksualitas sangat ketat dijalankan di antara umat Israel dibandingkan dengan bangsa-bangsa di sekitar mereka. Hal ini bukan sesuatu yang aneh, sebab memang Allah Israel berbeda
38
Dokumen Konsili Vatikan II, Dei Verbum, No. 21, R.Hardawiryana (penterj.) (Jakarta: Obor, 1996), p.327. 74
dengan dewa/i lain. Allah menghendaki kesetiaan juga dalam praktek dan tindakan seksual.39 Jadi umat Israel memahami seksualitas pertamapertama dalam kerangka moralitas dan hal ini berkaitan erat dengan iman mereka kepada Yahwe dan pada apa yang telah diajarkan oleh Yahwe kepada mereka untuk dilaksanakan. Moralitas seksual dimengerti sebagai suatu cara untuk menjawabi revelasi diri Allah yang mahakudus dalam bentuk perjanjian-perjanjian dengan mereka. Seluruh hidup manusia, termasuk juga kehidupan seksual merupakan suatu ekspresi tindakan penghormatan kepada Yahwe. Sebab Allah sendirilah yang mengaruniakan kepada manusia rahmat hidup dan seksualitas dan Dia menghendaki umat-Nya menjadi kudus, sama seperti Dia sendiri adalah kudus.40 2. 1. 1. 1. Penciptaan Manusia Menurut Gambar dan Rupa Allah (Kej 1: 26 -27) Kisah penciptaan manusia pada Kejadian 1:26-27 merupakan kisah versi kelompok imam (priest/P). Kisah
39
John L.McKenzie,”Aspects of Old Ttestament Thoughts,” dalam New Jerome Biblical Commentary, Raymond E.Brown, Joseph Fitzmyer dan Roland E. Murphy (ed.), (Englewood Cliffs,N.J: Prentice-Hall, inc., 1990), p.1305. 40
Ronald Lawler, Joseph Boyle & William E. May, Catholic Sexual Ethics, (Indiana: Our Sunday Visitor Publishing Division, 1998), p. 34. 75
pertama ini menjadi dasar utama bagi pemahaman akan tubuh dan seksualitas manusia. Kita membaca di sana bahwa Allah sendiri berkata:”Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…”(Kej 1:26a). Dan sebagai tindak lanjutnya: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; lelaki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Dengan dua informasi penting ini tertera kebenaran dasar yang sangat penting bagi pemahaman akan tubuh dan seksualitas manusia, yakni bahwa Allah ingin menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupa-Nya sendiri, dan yang dilakukan-Nya adalah menciptakan lelaki dan perempuan. Dengan kata lain, lelaki dan perempuan dengan segala perbedaan yang tetap terkait di antara mereka itulah yang menciptakan keutuhan manusia sebagai gambar dan rupa Allah sendiri. Penekanan pada lelaki saja, atau penekanan pada perempuan semata-mata, akan membuat pemahaman atas manusia sebagai gambar dan rupa Allah menjadi pincang, tidak utuh. Pria dan wanita saling melengkapi sehingga semakin berkembang menjadi gambaran Allah yang integral. Jadi seksualitas manusia yang demikian ini pada asalnya adalah baik. Yohanes Paulus II, sebagaimana dijelaskan kembali oleh Chrispother West, menyebut kisah versi ini sebagai kisah obyektif penciptaan. 76
Artinya, kisah ini menunjuk pada penciptaan manusia sebagai sesuatu yang bisa diamati dari luar seolah sebagai obyek pengamatan. Selain itu dalam kisah penciptaan ini, kesamaan martabat pria dan wanita amat ditonjolkan: keduanya bersama-sama merupakan spesies manusia. 41 Lebih lanjut kita akan menarik beberapa catatan penting dari kisah penciptaan ini: Pertama, narasi Kejadian I secara terang-terangan menegaskan kesamaan fundamental antara pria dan wanita sebagai pribadi yang dibentuk berdasarkan gambar dan rupa Allah, dengan menggunakan kata Ibrani `adam (manusia) sebagai sebuah term umum, bukan nama yang sebenarnya, untuk menunjuk baik kepada pria maupun wanita. ”Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Masingmasing memang berbeda tetapi saling melengkapi dan menampakkan pewahyuan diri Allah sendiri, yang mana gambaran utuh-Nya dijumpai dalam persatuan mereka. Hal kedua yang diekspresikan oleh Kejadian I adalah bahwa tindakan seksual manusia bukan sesuatu yang ilahi. Itu bukan sesuatu yang Allah pergunakan, juga bukan suatu cara untuk menarik perhatian Allah, 41
Christopher West, The Theology of the Body Explained, (Boston: Pauline Books & Media, 2003), p. 70. 77
sebagaimana itu dipahami dalam kultus kesuburan dari bangsa-bangsa di sekitar Israel (mengkultuskan atau dikeramatkannya hal-hal seksual). Seksualitas, lebih merupakan sebuah kebaikan besar yang dikaruniakan Allah kepada pribadi manusia, pria dan wanita. Melalui seksualitas mereka, pria dan wanita menjadi gambaran Allah di dunia ini. Lebih dari itu melalui pemakaian yang bertanggung jawab dari kekuatan seksualitas ini, dengan mengarahkannya pada kebajikan-kebajikan yang lebih besar sesuai kehendak Allah atas seksualitas manusia, mereka menghormati Allah.
2. 1. 1. 2. Penciptaan Perempuan dan Kesatuan LakiLaki dan Perempuan (Kej 2: 18-25). 2. 1. 1. 2. 1. Penciptaan Perempuan Kisah dalam Kejadian II, berpangkal pada tradisi kelompok Jahwis (J), dan berkarakter lebih puitis. Kisah Kejadian II ini mengandung banyak kebenaran tentang keberadaan manusia, seksualitas manusia dan perkawinan. Tidak seperti pada teks Kejadian I, yang berbicara tentang keserentakan penciptaan pria dan wanita dengan menggunakan istilah umum `adam (manusia) untuk menunjuk keduanya, bagian ini berbicara pertama-tama penciptaan manusia sebagai pria dengan menggunakan kata `adam untuk memberi kekhasan pada pria. Manusia ini sekarang sendirian di 78
dunia (alam ciptaan), sama sekali berbeda dan mengatasi segala binatang yang lain. Tak satu pun dari ciptaan lain yang serupa dan sama; dia berkuasa atas mereka semua. Kekuasaan disimbolkan lewat pemberian wewenang untuk menamai segala binatang (bdk. Kej 2:19-20). Untuk memberikan kepada manusia pertama ”seorang penolong yang sepadan dengannya”, yakni seorang manusia yang sama martabat dengannya, Tuhan Allah kemudian membuat wanita, dibentuk dari tulang rusuk manusia itu sendiri.42 Ada beberapa kebenaran tentang seksualitas yang bisa ditemukan dari kisah penciptaan ini. Pertama tentang karakter saling melengkapi antara pria dan wanita yang diciptakan untuk satu sama lain dan mengarah pada hidup dalam sebuah persatuan intim antar pribadi. Kata-kata pertama yang diucapkan oleh manusia ( `adam) dalam teks ini: ”inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” merupakan ekpresi singkat yang agak puitis, dalam kegembiraan yang menakjubkan; suatu penglihatan atas relasi yang berarti untuk berada antara pria dan wanita. Penolong yaitu wanita, adalah seorang pribadi yang sama sederajat dengan pria (`adam), tetapi dia bukanlah jenisnya. Dia adalah wanita (ishshah) karena dia diambil dari pria (ish), tetapi berbeda darinya. Komunio atau 42
Ronald Lawler, Joseph Boyle & William E. May, Op.Cit.,
p. 35. 79
persatuan terjadi antara dua yang sama namun tetap berbeda. Lebih lanjut, dalam menamai wanita, pria itu (adam) sendiri mengambil nama baru (ish). Berbagi tulang dan daging menunjuk kepada kebutuhan utama manusia, yakni perlunya sebuah relasi interpersonal dan mengikat yang dibuat mungkin oleh tindakan Allah. Wanita diberikan kepada pria oleh Allah. Tanpa wanita, pria dalam kesendiriannya, berada dalam suatu keadaan yang tidak baik. Wanita diambil dari pria dan diberikan kembali kepadanya sehingga bersamasama mereka tidak merasa sendirian. Ada satu sifat saling melengkapi antara mereka yang memungkinkan mereka membentuk suatu persatuan antara pribadi yang sejati ketika mereka menjadi satu daging, bergantung satu terhadap yang lain sebagai suami dan istri. Baiklah untuk diperhatikan di sini bahwa baru dalam perjumpaan dengan wanita (ishshah) manusia ('adam) mengenal dan mewujudkan dirinya sebagai pria (ish). Baru dalam perjumpaan dengan wanita, wakil dari jenis kelamin yang lain, pria menemukan dirinya sendiri, merasakan dirinya sungguh sebagai pria. Begitu juga dengan wanita yang dibentuk oleh Tuhan itu baru mengenali dirinya hanya dalam perjumpaan dengan pria (ish) asal mulanya. Sejak penciptaan ini cara manusia berada dengan tubuhnya senantiasa melekat dengan cara berada dengan 80
tubuhnya sebagai lelaki (ish) dan sebagai perempuan (ishshah). Setiap manusia ada dengan tubuhnya masingmasing sebagai lelaki atau perempuan. Tubuh manusia sebagai lelaki atau perempuan selalu mencerminkan satu pribadi yang nyata.43 2. 1. 1. 2. 2. Kesatuan Pria dan Wanita (Gagasan Satu Daging, Kej 2: 24)44 Teks kitab Kejadian 2:24 berbunyi: ”Sebab itu seorang lelaki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Gagasan “satu daging” ini kemudian dikutip kemabli oleh banyak penulis secara khusus dalam Kitab Suci Perjanjian Baru (Mt 19:5, Mrk 10:8, Ef 5:31, bdk juga I Kor 7:10-11). Ada beberapa gagasan penting yang dijumpai di sini: Pertama, bahwa daya tarik antara pria dan wanita diterangkan dengan penciptaan wanita secara istimewa. Pria terdorong kembali kepada wanita, yang adalah sebagian dari dirinya. Ia bersedia meninggalkan orang-orang yang dikasihinya untuk bersatu dengan wanita. Ini berarti bahwa perkawinan itu terjadi ketika seorang pria dan seorang wanita memberikan diri mereka satu kepada yang lain lewat sebuah tindakan bebas dan dari
43
Ibid.
44
Christopher West, Op. Cit., p.77. 81
kesediaan pribadi yang tak terbatalkan. Paus Yohanes Paulus II berbicara tentang teks ini sebagai berikut: Perumusan yang paling tepat dari Kejadian 2:24 menunjukkan bahwa tidak hanya manusia itu tercipta sebagai pria dan wanita dan diciptakan untuk bersatu, tetapi juga bahwa persatuan ini melalui mana mereka menjadi satu daging, telah sejak dari permulaan memiliki suatu karakter persatuan yang dibangun atas sebuah pilihan. Kita membaca jelas di sana bahwa seorang pria akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya. Jika seseorang terikat oleh kodrat pada ayah dan ibunya karena kelahiran (prokreasi), maka pada konteks ini pria terikat atau bersatu dengan istrinya oleh karena suatu pilihan (atau istri dengan suaminya).45 Istilah satu daging dalam bahasa Ibrani (basar ekhad) mencakup tiga unsur penting, yakni: gagasan hubungan darah, persekutuan hidup di mana wanita sebagai penolong yang sepadan, dan persetubuhan. Namun yang dimaksudkan dengan menyatunya lelaki dan perempuan di sini sebagai satu daging bukanlah terutama menyatunya satu tubuh lelaki dan satu tubuh perempuan dalam tindakan persetubuhan. Karena tubuh 45
John Paul II, Man and Woman He Created Them, (Boston: Pauline Books & Media, 2006), pp. 162-163. 82
dalam konteks ini selalu berarti tubuh yang mengungkapkan pribadi (persona), persetubuhan dalam arti bersatunya dua tubuh (lelaki dan perempuan) selalu berarti bersatunya dua persona (lelaki dan perempuan). Tubuh yang mengungkapkan persona itu adalah tubuh yang diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi tempat di mana Tuhan yang tidak kelihatan itu menjadi kelihatan. Dengan demikian, persetubuhan bukan hanya sesuatu yang bersifat biologis, melainkan juga selalu berarti teologis. Karena dengan bersatunya dua tubuh, yang selalu berarti bersatunya dua persona itulah terlihat kenyataan Allah yang tersembunyi. Inilah yang disebut sebagai kebersatuan asali (original unity). Persetubuhan dalam batasa tertentu bisa dipahami sebagai suatu tindakan teologis, karena pada dasarnya dalam tindakan khas suami isteri ini diungkapkanlah kenyataan Allah yang merupakan sebuah communio, sebuah kesatuan, dalam kesatuan Tritunggal Mahakudus.46 2. 1. 1. 3. Beberapa Kesimpulan Dari Kejadian I terungkap kebenaran bahwa perbedaan jenis kelamin merupakan sesuatu yang dikehendaki oleh Pencipta, sesuatu yang konstitutif bagi
46
Deshi Ramadhani, Lihatlah Membebaskan Seks Bersama Yohanes (Yogyakarta: Kanisius, 2009), pp. 62-63. 83
Tubuhku: Paulus II.
manusia. Makna dari perbedaan ini kemudian dijelaskan dalam Kejadian II. Berikut ini beberapa kesimpulan dari kedua teks ini. 2. 1. 1. 3. 1. Perbedaan Jenis Kelamin dan Kesamaan Martabat Bahwa perbedaan jenis kelamin menunjukkan suatu kebutuhan untuk saling melengkapi. Ada sesuatu yang belum sempurna dalam diri pria dan juga dalam diri wanita. Pria dan wanita saling memerlukan untuk membuat diri mereka masing-masing menjadi lengkap. Karena manusia memang tidak dapat dilengkapi begitu saja oleh setiap makhluk hidup lain. Ia membutuhkan penolong yang sepadan pada tingkat antropologis. Dibutuhkan manusia lain yang semartabat. Karena itu kerinduan akan perjumpaan antara satu persona dengan persona yang lain tidak akan pernah terjadi terpisah dari tubuh masing-masing yang memacarkan persona itu. Maka yang dimaksud dengan lelaki akan bersatu dengan istrinya tidak lain adalah lelaki akan bersatu dengan perempuannya. Artinya ish akan bersatu dengan ishshah. Persatuan lelaki dan perempuan itu berarti persatuan kembali ish dan ishshah. Perempuan disebut ishshah karena diambil dari ish. Hal ini digambarkan secara sangat hidup dalam ungkapan satu daging. Ada kesan seolah-olah dalam Kejadian II ini wanita dibahas dari sudut pandang pria dan untuk pria. 84
Namun ini bukan berarti wanita merupakan obyek untuk pria, melainkan hanya karena konteks masyarakat patriarkat Israel pada waktu itu. Karena yang dimaksudkan dengan meninggalkan ayah dan ibunya juga berlaku untuk wanita, sehingga mereka bisa menjadi satu daging. Konteks inilah yang menekankan kesamaan martabat pria dan wanita.
2. 1. 1. 3. 2. Persekutuan Hidup Hal utama yang ditekankan dari kisah penciptaan manusia dalam Kitab Kejadian ini adalah hubungan kepartneran pria-wanita dalam persekutuan menjadi satu daging dan bukannya prokreasi. Ini memang menarik meskipun peranan prokreasi dalam bangsa Israel sangat penting. Hubungan kepartneran pria dan wanita dalam dirinya sendiri sudah memiliki makna tersendiri dan bukan baru berarti karena prokreasi. Kesendirian asali (original solitude) dari Adam tidak dijawab dengan kehadiran anak, melainkan dengan diciptakannya wanita sebagai penolong yang sepadan, yang dihantar sendiri oleh Tuhan kepada Adam, dan dengan tercapainya persekutuan menjadi satu daging. Dengan ini pribadi manusia yang diciptakan oleh Allah selalu membawa karakter maskulin dan feminin untuk saling melengkapi. John Murphy, dalam komentarnya atas pendapat Yohanes Paulus II tentang karakter ini mengatakan: 85
”Pria dan wanita adalah dua inkarnasi dari kesendirian yang sama, dua cara untuk mengada secara badani, mengada sebagai manusia, dua dimensi kesadaran diri yang saling melengkapi. Karena itu, feminitas menemukan dirinya di hadapan maskulinitas dan maskulinitas ditegaskan melalui feminitas.” 47 Gagasan ini penting untuk diperhatikan mengingat Yesus sendiri kemudian menegaskan sekali lagi kehendak Pencipta yang harus dipulihkan. Yesus menghubungkan Kej 2:24 dengan Kej 1:27 dalam Mat 19: 4-5:”Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan (Kej 1:27) dan ‘sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya…(Kej 2:24). Kata-kata ini menunjukkan bahwa Yesus sama sekali tidak memahami seksualitas dari segi prokreasi. Dalam pandangan Yesus sendiri pria dan wanita tidak bersatu dengan satu-satunya maksud untuk mengadakan prokreasi, tetapi terutama untuk saling bertemu secara personal. Maka arti seksualitas ternyata jauh lebih dalam dari pada sekedar fungsi prokreatif, yakni hubungan kepartneran antara pria dan wanita. Pria dan wanita – tidak diciptakan untuk berada sendiri dengan kenyataan seksualitasnya – tetapi terutama untuk
47
Joseph Murphy, “Human Solidarity and the Church in the Thought of John Paul II” dalam John M.McDermott (ed.), The Thought of Pope John Paul II, (Rome: Editrice Pontificia Universita Gregoriana, 1993), p. 132. 86
bersatu dalam ikatan pribadi yang mendalam dengan yang lain.48 Meski demikian bukan berarti Yesus sendiri menolak fungsi prokreatif yang muncul dari persekutuan pria dan wanita dalam ikatan perkawinan. Malah sebaliknya fungsi ini mesti dihormati dan dipelihara dengan hubungan yang saling menghormati dan saling mengasihi dalam ikatan hidup perkawinan. Sebab apabila laki-laki dan perempuan bersekutu dalam ikatan perkawinan hanya untuk tujuan prokreasi, maka jelas yang satu akan menjadikan yang lain sebagai obyek tanpa ikatan personal dan saling menghargai satu sama lain sebagai pribadi. 2. 1. 1. 4. Kejadian III dan Disorientasi Seksualitas Manusia Bab ketiga dari Kitab Kejadian, juga dari kelompok tradisi Jahwis, berkisah tentang dosa asal yang dilakukan oleh pria dan wanita. Sebagaia akibat dosa itu – mereka melawan Allah – pria dan wanita itu menemukan diri mereka terasing dari Allah, dari satu sama lain, dan bahkan dari seksualitas mereka sendiri. Mereka sekarang merasa malu atas ketelanjangan 48
Kenneth Schmitz, At the Center of the Human Drama: The Philosophical Anthropology of Karol Wojtyla/Pope John Paul II, (Washington, DC: The Catholic University of America Press, 1993), p. 101. 87
mereka, segera setelah mereka berbuat dosa ”...mata mereka pun terbuka, dan mereka mengetahui bahwa mereka telanjang” (Kej 3:7). Dosa asal telah merasuki hati manusia. Sebagai akibatnya manusia bukan lagi diri yang sempurna dalam memandang tubuh orang lain, secara khusus tubuh dari lawan jenis. Tubuh dan seksualitas dapat membangkitkan dalam dirinya sematamata suatu kesukaan yang dangkal yang kemudian berkembang menjadi sebuah afeksi yang salah. Praktisnya, hal itu menimbulkan dosa asal, atau suatu keinginan untuk bersenang-senang atas seksualitas tanpa menghargai keluhuran martabat pribadi manusia. Makna nupsial (the nuptial meaning) dari tubuh pria maupun wanita sebagaimana mestinya sekarang telah ditutupi; dosa asal merusakkannya. Pria mulai menjadi tuan atas istrinya, yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya pelbagai tekanan sosial dan budaya. Perlakuan terhadap wanita sebagai yang kedua, lebih rendah dari pria dalam masyarakat Israel sendiri merupakan konsekwensi dari dosa ini. Padahal sudah sejak awam mula penciptaan, Allah telah berkehendak agar pria dan wanita hidup harmonis, dalam damai dan persatuan. Kejahatan yang menggangu keseharian hidup mereka, malah dalam aspek hidup mereka yang paling intim merupakan akibat dari dosa manusia pertama ini.
88
Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa dosa asal bukanlah dosa seksual. Meski demikian dosa asal telah mempengaruhi segala bidang hidup manusia, termasuk hubungan antara pria dan wanita, sampai pada seksualitasnya. Pada awal mula manusia terpanggil untuk saling membahagiakan melalui seksualitas; namun setelah kejatuhan dalam dosa, yang terjadi malah sebaliknya: seksualitas menjadi sumber kecelakaan dan kebencian. Seksualitas yang hakikatnya amat bagus, kini malah telah berubah menjadi hal yang memalukan. Bahkan lebih dari itu seksualitas menimbulkan rasa birahi untuk mendominasi, yang pada akhirnya mengarah pada penderitaan dan kematian (Kej 3:16). Semua ini menunjukkan bahwa relasi pria dan wanita kini dalam aspek seksualitas telah menjadi tidak seimbang lagi seperti sediakala.49 2. 1. 1. 5. Ajaran-Ajaran Kunci Perjanjian Lama Tentang Seksualitas Hampir sepanjang Kitab Perjanjian Lama bisa ditemukan pandangan yang melihat seksualitas pertamatama dalam pemahaman prokreasi. Kesuburan merupakan nilai tertinggi yang mengatasi semua yang lain. Banyak anak merupakan anugerah dari Allah, dan menjadi alasan untuk bersukacita (Mz 127:3-5;128: 3-6). 49
J.Brian Bransfield, The Human Person According to John Paul II, (Boston: Pauline Books & Media, 1989), pp.120-121. 89
Sebaliknya kemandulan merupakan suatu petaka dan siksaan Allah (Im 20:20; I Sam 1:1-20; Yes 47: 9). Dalam keadaan seperti ini kebutuhan untuk tinggal dalam persekutuan mendapatkan prioritas utama melampaui keinginan dan kepentingan pribadi. Para Nabi mulai dari Nabi Hosea dan selanjutnya Nabi Yesaya, Yeremia, dan Yehezkiel melihat dalam perkawinan sebuah simbol yang tepat dari perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Dalam menggunakan simbol ini, para nabi lebih tertarik pada pengungkapan kebenaran tentang cinta Tuhan, pengampunan, dan belaskasihan daripada sekedar menekankan kodrat dari sebuah cinta perkawinan. Meski demikian, sebagaimana dikatakan oleh Edward Schillebeeckx seorang teolog berdarah Belanda, bahwa penggunaan gambaran ini oleh para Nabi mencakup sebuah iluminasi resiprokal (timbal balik) dari makna perkawinan manusia itu sendiri. Penggunaan simbol ini mengungkapkan tidak hanya kesetiaan cinta Allah yang besar kepada umat-Nya, tetapi juga menjadi karakter normatif dari persetubuhan – bahwa tindakan itu bertujuan ilahi, memupuk kesetiaan serta persatuan eksklusif antara suami dan istri.50 Adalah benar bahwa pemahaman perkawinan di antara bangsa Yahudi sendiri pada waktu itu memang 50
Edward Shillebeeckx, Marriage: Human Reality and Saving Mystery (New York: Sheed and Ward,Inc., 1965), p.33. 90
sangat keliru. Seorang suami diperbolehkan untuk menceraikan istrinya, tetapi istri sama sekali tidak diperbolehkan untuk menceraikan suaminya; wanita dilihat lebih rendah dari pria; dan ada standar ganda untuk menilai perzinahan. Seorang pria beristri baru dinilai berzinaha apabila dia melakukan hubungan seksual dengan wanita yang telah bersuami atau yang telah bertunangan, dan dia tidak akan disebut berzinah jika memiliki hubungan seksual dengan seorang budak wanita yang belum bersuami, seorang pelacur, atau perempuan budak. Tetapi setiap relasi seksual dari wanita yang sudah bersuami dengan pria lain selain suaminya langsung dihukum sebagai perzinahan. Ketaksejajaran perlakuan ini berakar pada faktor sosial ekonomi dalam bangsa Yahudi sendiri dan merefleksikan sistem partiarkatnya. Sementara itu adalah wajar bahwa seorang suami yang berelasi dengan wanita pelacur, hamba perempuan yang diceraikan, atau gadis budak tidak dianggap berzinah, dan ketidaksetiaan mereka ini seringkali banyak dikritik oleh para nabi, misalnya Nabi Maleakhi 2:14-15 dan dalam literatur Kebijaksanaan (mis. Kebij. 5:15-20). Ada banyak juga teks dalam Perjanjian Lama yang menekankan bahwa kodrat dan tujuan utama dari seksualitas manusia menuntut suami dan istri untuk senantiasa setia satu sama lain. Kisah tentang Yusuf dan Istri Potifar (Kej 39), episode Abimelekh dan Sara (Kej 20), dan secara khusus 91
ajaran yang diuraikan dalam Kitab Literatur Kebijaksanaan memberikan alasan mengapa perzinahan bertentangan dengan kehidupan perkawinan. Karenanya menjadi jelas bahwa, contoh dari sebuah tulisan Kitab Kebijaksanaan 1-9 dikatakan ”kesetiaan seksual merupakan...sebuah simbol dari cinta seseorang terhadap gadis bijaksana, dan pria Israel yang tulus akan tertarik untuk mengasihi gadis bijaksana.” Lebih lanjut, desakan para nabi (terutama Nabi Hosea, Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel) bahwa perkawinan seorang pria dan seorang wanita merupakan sebuah tanda kesetiaan cinta Allah yang besar kepada umat-Nya menghantar pada ide bahwa kesetiaan merupakan pusat dari ikatan perkawinan. Kesetiaan lalu sangat dihargai da untuk itu dikembangkanlah pelbagai larangan, sehingga seorang istri tidak lagi dengan gampang ditinggalkan oleh pasangan mereka. Perkawinan, di atas segalanya, dialami dari pokok utamanya yakni iman dan keyakinan tak bersyarat kepada Yahwe. Meskipun perzinahan tidak secara eksplisit dihukum dalam Perjanjian Lama, namun makna persatuan seksual yang kaya diapresisasi dengan sangat mendalam oleh para nabi dan pengarang literatur Kitab Kebijaksanaan. Kitab Kebijaksanaan dengan terus menerus menasihati agar suami dan istri saling setia satu terhadap yang lain dan berbicara dengan penuh antusias 92
tentang kebahagiaan dari sebuah perkawinan yang ditandai oleh kesetiaan yang abadi. Nasihat ini terutama diberikan kepada orang muda, secara khusus dalam literatur kebijaksanaan, dengan dorongan yang kuat untuk melihat dan mengevaluasi tindakan perzinahan dan hubungan seksual sebelum pernikahan. Perjanjian Lama juga menghukum setiap bentuk bestialisme dan homoseksual sebagai sesuatu yang tercela dan buruk. Karena seksualitas manusia dimaksudkan untuk relasi personal dalam perkawinan dan demi kebaikan anak-anak, maka penyalahgunaan seksual dengan seekor binatang adalah sama sekali menjijikan. Berhubungan dengan binatang (bestialisme) adalah melakukan sebuah dosa yang sangat berat (Keluaran 22:19, Imamat 18:23,20:15-16); Ulangan 27:21) Tradisi Katolik klasik (Bapa-Bapa Gereja, kaum skolastik, buku-buku pengangan moral) dengan cukup sering menampilkan kisah Onan (Kej 38:8-10) untuk menunjukkan bahwa Perjanjian Lama menghukum masturbasi dan kontrasepsi. Sejumlah ekseget kontemporer menilai bahwa Onan dihukum bukan karena suatu dosa seksual yang dilakukannya melainkan karena dia menghina dan merusak hukum Levi (Levirate), yang mana dia wajib untuk menolong istri kakaknya yang menjanda supaya bisa meneruskan garis keturunan bagi kakaknya itu. Penafsiran ini, meski 93
begitu populer dewasa ini, secara tajam ditantang oleh ekseget lain. Sebagai analisa terakhir tentang bahasa yang digunakan untuk melukiskan perbuatan Onan, mereka (para ekseget) menekankan bahwa Allah menghukum dia baik karena apa yang dipilih Onan untuk dilakukan – membuang mani ke tanah merupakan sebuah tindakan seksual yang jahat – maupun karena dia melakukan itu untuk sebuah tujuan dasar atau akhir, yakni, untuk menghilangkan keturunan dari saudaranya yang telah meninggal itu.51 2. 1. 2. Pandangan Perjanjian Baru Perjanjian Baru tetap selalu mempertahankan ajaran Perjanjian Lama tentang kebaikan seksualitas. Namun Perjanjian Baru di atas segalanya lebih menekankan bahwa seksualitas dan semua yang ada pada manusia telah ditransformasi secara mendalam dan utuh lewat kehidupan baru yang dibawa kepada umat manusia oleh Kristus. Untuk itu cara manusia manusia untuk memahami seksualitasnya mesti selalu berakar dan berpusat pada diri Kristus, sebagaimana ditulis ole Paul M. Quay: ”Dia (Kristus) adalah kodrat kemanusiaan kita yang sempurna. Dia adalah norma untuk segala sesuatu yang kita lakukan, pikirkan dan harapkan. Misteri seksualitas manusia adalah misteri keserupaannya 51
Ronald Lawler, Joseph Boyle & William E. May, Op.Cit.,
pp. 37-39. 94
dengan Kristus sendiri.” 52 Untuk itu baiklah kalau diperhatikan terlebih dahulu bagaimana sikap Yesus sendiri terhadap seksualitas manusia. 2. 1. 2. 1. Sikap Yesus Terhadap Seksualitas Ajaran Yesus tentang kebaikan seksualitas manusia perlu ditempatkan dalam konteks ajaran-Nya tentang hidup moral secara umum. Hal ini muncul dalam Kotbah-Nya di bukit (Mt 5:1-7:28) dan secara khusus ajaran-Nya tentang Sabda Bahagia. Kotbah di Bukit adalah kerangka acuan bagi Yesus untuk mengembangkan ajaran-Nya – singkat namun sangat berarti – mengenai bagaimana semestinya seksualitas yang manusiawi itu. Dalam ajaran-Nya tentang perceraian (Mt 19:3-12; Mk 10:2-12;Lk 16:18) Yesus pertama-tama menegaskan kembali kebaikan seksualitas seperti diajarkan oleh Kitab Kejadian. Dengan membuatnya menjadi suatu ajaran, maka Yesus secara eksplisit mengambil referensi-referensi biblis, baik pada Kejadian 1 (Mt 19:4;Mk 10:6) maupun pada Kejadian 2:24 (Mt 19:5; Mk 10:7). Dengan ini para penginjil menunjukkan bahwa bagi Yesus perbedaan seksual antara manusia menjadi laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari rencana penciptaan Allah dan
52
Paul M.Quay, The Christian Meaning of Human Sexuality, (San Francisco: Ignatius Press, 1985), p.10. 95
bahwa perkawinan adalah satu-satunya tempat yang benar dan tepat bagi berlangsungnya persekutuan seksual itu. Yesus memperlihatkan sikap wajar alami berhadapan dengan seksualitas, dan tidak memberikan tempat kepada sikap dualistis manikheistis. Artinya dalam ajaran dan sikap-Nya, sama sekali tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa Ia bersikap negatif terhadap perempuan dan perkawinan. Satu sisi lain dari pandangan Yesus mengenai seksualitas adalah panggilan untuk menjalani hidup murni (perawan). Dengan menisbikan perkawinan dan tidak lagi menjadikannya sebagai satu-satunya jalan yang mungkin bagi manusia di dunia ini untuk mengasihi; Yesus menawarkan jalan hidup wadat sebagai bentuk kehidupan kedua untuk member diri kepada sesama (Mt 19:11-12). Dengan demikian Yesus mengajarkan bahwa keutuhan seksualitas manusiawi dihayati bukan semata-mata dalam hidup perkawinan, melainkan juga dalam hidup selibat yang 53 dipersembahkan bagi Allah. 2. 1. 2. 1. 1. Yesus dan Kesamaan Martabat Wanita dengan Pria.
53
Ronald Lawler, Joseph Boyle & William E. May, Op.Cit.,
pp. 41-42.
96
Penghargaan Yesus yang tinggi terhadap wanita dalam kisah Injil menunjukkan perhatian-Nya pada martabat pribadi dan manusiawi mereka serta kesamaan fundamental mereka dengan pria. Sebagai contoh, perlakuan-Nya pada perempuan Samaria pada sumur Yakub, jelas mengungkapkan suatu hubungan relasi yang sama sekali tidak mungkin pada abad pertama di Palestina (Yoh 4:27). Begitu pula dengan tanggapan-Nya terhadap wanita yang kedapatan berzinah. Pada dasarnya Yesus mengajarkan bahwa berzinah merupakan sebuah kesalahan serius. Namun di sisi lain Dia menunjukkan kebaikan dan belaskasihan-Nya dalam suatu konteks di mana seringkali kemarahan atau merasa diri lebih baik telah menjadi reaksi yang paling utama. Jadi Yesus sebetulnya lebih mengecam kesombongan, kebencian dan kemunafikan yang mempengaruhi segala bidang hidup manusiawi, daripada kelemahan-kelemahan di bidang seks. Prinsipnya adalah kelemahan di bidang seksual tidak bisa merusak dan menghacurkan pribadi manusia. Tampaknya Yesus justru selalu memperlakukan wanita sama seperti pria. Penekanan Yesus pada keluhuran pribadi manusia, khususnya kaum wanita meluruskan kembali konsep yang bertumbuh pada masa hidup-Nya bahwa wanita adalah kelompok manusia kelas dua dengan martabat yang berbeda dari pria. Untuk itu Yesus melakukan sejumlah tindakan yang tidak 97
’lazim’ bagi seorang Guru pada masa itu. Ia memperkenankan sejumlah perempuan menjadi murid dan sahabat-Nya (Mat 27:55-56; Luk 8:2-3, 10:38-42; Yoh 10:20-36). Ia tidak membiarkan bahwa tradisi Yahudi menjadi penghalang bagi sikap-Nya terhadap perempuan, atau menjadi beban dalam perwartaan-Nya sebagai pembebas juga bagi kaum perempuan (Mat 9:2022; Luk 7:36-50; Yoh 4:7-27). Dengan berkata: ”Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan Dia di dalam hatinya” (Mat 5: 28) sekali lagi Yesus mau menekankan bahwa perempuan sesungguhnya memiliki martabat yang sama dengan pria sebagaimana dikehendaki oleh Allah sendiri sejak awal mula. Tidak ada pihak yang boleh dilecehkan, direndahkan martabatnya apalagi menjadi obyek kesenangan seksual semata-mata. Wanita tetap memiliki martabat yang mulia dan sama dengan pria sejak awal mula mereka diciptakan oleh Allah sendiri. 2.1. 2.1.2. Penekanan Yesus akan Disposisi dan Tindakan-Tindakan dari Dalam Hati. Perhatian pada disposisi batin (internal) dan penekanan pada moralitas yang mengalir dari hati, dari inti terdalam seorang pribadi, secara absolut berpusat pada ajaran Yesus tentang moralitas seksual. Hal itu tampak jelas dalam sejumlah kejahatan yang Yesus paparkan (Mt 15:19; Mk 7:21-22). Kejahatan-kejahatan 98
ini berakar pada hati manusia dan secara mendalam mencemarkan pribadi manusia. Seringkali tradisi Yahudi menekankan pencemaran dalam kaitannya dengan makanan dan minuman. Namun Yesus justeru melihat bahwa makanan dan minuman sama sekali tidak dapat mencemarkan diri pribadi seseorang. Dalam daftar kesalahan yang diberikan oleh Markus disebutkan beberapa dosa seksual di sana, diantaranya adalah percabulan (moicheia), perzinahan (porneia), dan sensualitas (aselgeia). Perzinahan tentu saja tidak bisa dipahami sebatas sebagai dosa seksual, tetapi lebih jauh telah berakar dari dalam hati manusia untuk menentang rencana cinta dan kebajikan Allah atas hidup manusia. 54 2.2. Perkawinan Dalam Kitab Suci: Dasar Biblis Perkawinan Berhadapan dengan Sabda Allah yang berbicara tentang perkawinan perlu dibedakan hal-hal yang inti atau pokok dari hal-hal yang merupakan tambahan. Ketegaran hati (khususnya dalam PL) adalah faktor pemicu timbulnya konsep-konsep yang bertentangan dengan kehendak Allah, seperti perceraian. Untuk itu kedatangan Yesus menjadi kabar baik untuk menengaskan kembali kehendak Allah yang otentik dalam kaitannya dengan perkawinan.
54
Ibid., pp.42-43. 99
Selain itu perlu juga mengklasifikasi yang tegas mana hal-hal (aturan-aturan) yang bersifat kodrati dari yang bersifat adikodrati. Perkawinan sebagai realitas kodrati tidak identik dengan realitas perkawinan sebagai sakramen (adikodrati). Meski demikian keduanya tetap mempunyai hubungan yang erat. Sebagai realitas manusiawi (kodrati/manusiawi) perkawinan dikemukakan juga oleh penulis-penulis Kitab Suci terutama dalam Kej. 1, 27, dstnya, Kej. 2,24, dan dalam Perjanjian Baru: Mt. 19,5; Mk. 10, 7-8 dan Ef. 5, 21-32.
2.2.1. Perkawinan Lama 1.
Dalam
Kitab
Suci
Perjanjian
Arti Perkawinan
Perkawinan adalah realitas manusiawi yang ditetapkan oleh Allah sendiri. 55 Perjanjian Lama menunjukkan realitas perkawinan dan konsekwensi yang berasal dari padanya. Pertama, Perjanjian Lama melihat perkawinan sebagai sebuah lembaga khas manusiawi yang 55
Jorge Cardinal Medina Estévez, Male and Female He Created Them – On Marriage and the Family (San Francisco: Ignatius Press, 2003), p.100. 100
dikehendaki dan diciptakan oleh Allah. Hal ini nampak dalam kisah Penciptaan (Kej. 1-2). Perkawinan sejauh dikehendaki dan diciptakan Tuhan itu baik adanya. Dalam kisah penciptaan manusia ditampilkan kesamaan esensial antara pria dan wanita: Mereka diciptakan sesuai dengan gambar atau citra Allah (Kej. 1,27); dan wanita diambil dari tulang rusuk dan daging pria (Kej. 2, 23). Semuanya menunjuk pada kesatuan di antara mereka. Kedua, Dosa mengganggu keharmonisan perkawinan. Akibatnya wanita bukan saja bertindak sebagai penolong pria dalam hidupnya, melainkan juga menuntun pria kepada kejahatan (Kej. 3, 6). Sebagai ganti untuk mempertahankan, melindungi dan membela wanita, pria menuduh dan mempersalahkannya (Kej.3,12). Ketidakharmonisan ini terus berlangsung dalam sejarah keselamatan berupa ketidaksetiaan dan perzinahan dalam hidup perkawinan, misalnya dalam kisah Daud dan Isteri Uria. 2.
Isi Perkawinan
Tradisi para Imam (P) menekankan penerusan keturunan sebagai arti dan tujuan perkawinan yang paling utama (Kej. 1, 28). Selain itu disinyalir juga peranan penting harta benda dalam melangsungkan perkawinan (keluarga Patriarkat) serta hubungan dan urusan perkawinan yang menjadi urusan orang tua
101
(keluarga). Jadi bukan urusan dan pilihan pribadi dari pasangan. Tradisi Yahwista (Y) menekankan pentingnya cinta konyugal sebagai pemenuhan relasi timbal balik antara pasangan suami isteri (Kej. 2, 18. 23a. 24). Hal ini membuktikan bahwa cinta konyugal sudah mendapat perhatian dalam Perjanjian Lama. Untuk itu orientasi perkawinan tidak lagi secara eksklusif terbatas pada penerusan keturunan. Sudah sejak zaman bapa-bapa bangsa cinta konyugal mendapat penekanan (Kej. 24, 67: Isaak – Rebecca; kej. 29. 19-20.30 : Yacob – Rachel). Ideal cinta konyugal yang personal ini dikaburkan oleh praktek poligami dan perceraian pada waktu itu. 3.
Karakter Religius Perkawinan
Perjanjian Lama tidak mengenal sakralitas mitologis perkawinan, tetapi tetap melihat hubungannya dengan Allah. Perkawinan dan keluarga dikehendaki dan didirikan oleh Allah. Karena itu perkawinan antara suami isteri selalu dirujuk pada hubungan Perjanjian antara Yahwe dan umat-Nya Israel. Yahwe adalah pengantin Pria yang selalu setia dan tidak pernah menolak/meninggalkan Israel mempelai wanita-Nya. Sementara Israel sebagai mempelai wanita-Nya sering berlaku tidak setia dan melakukan percabulan dalam
102
bentuk tindakan penyembahan berhala (Hos. 1-3; Yer. 3, 1-13; Hez. 16; Yes. 54, 4-10). Perjanjian Allah dengan bangsa-Nya memberikan warna ilahi bagi perjanjian perkawinan anntara suami isteri. Dari sinilah muncul sifat sakral perkawinan dalam Perjanjian Lama. Untuk itu perkawinan dengan orang kafir dipandang sebagai penyelewengan bahkan beberapa kali dengan tegas dilarang (Ul. 7, 1-14; Kel, 910). Hubungan perjanjian antara Allah dan umat-Nya menegaskan juga bahwa monogami adalah bentuk perkawinan yang sungguh sesuai dengan kehendak Allah. Selain itu dikemukakan juga tuntutan-tuntutan etis Perjanjian Lama sehubungan dengan perkawinan dan hidup berkeluarga. Pada dasarnya realitas perkawinan dan keluarga diciptakan oleh Allah. Secara singkat ajaran Perjanjian Lama tentang perkawinan dapat diringkas dalam beberapa butir pokok, antara lain: 1. Perjanjian Lama melindungi perkawinan dengan melarang serta menghukum praktek-praktek perzinahan. Allah bersabda: “Jangan berzinah….Jangan menginginkan isteri sesamamu “ (Kel. 20, 14. 17.). Meski demikian masih ada diskriminasi dalam kaitannya dengan perzinahan. Pria melakukan perzinahan hanya bila ia mengadakan hubungan intim dengan seorang wanita yang telah menikah atau bertunangan. Perzinahan 103
yang demikian harus dikenai sangsi hukuman mati (Im. 20,10; Ul. 22,22). Perceraian ditolerir, dan untuk mengelakkan kecelakaan yang lebih besar, maka perlu diatur secara yuridis (Ul. 24, 1-4). Oleh karena itu para nabi melancarkan kritikan ini : “ Aku membenci perceraian, firman Tuhan, Allah Israel” (Mal. 2, 16). 2. Perkawinan menjadi sebuah persatuan cinta. Sehubungan dengan hal ini dihadirkan beberapa contoh perkawinan yang baik, seperrti perkawinan antara Ishak dan Rebecca dan antara Yakob dan Rachel. Selanjutnya wahyu Perjanjian Lama sering mengulangi undangan untuk saling mengasihi dalam perkawinan. Pria diajak untuk menghormati wanita. Buku Tobit secara baik menjelaskan peranan cinta dalam perkawinan. Edna, mertua Tobit menyerahkan putrinya Sara kepada Tobit dengan berkata: “Di hadapan Allah saya mempercayakan putriku pada pengawalnya. Janganlah membuat ia sedih dalam hari-hari hidupnya”. (Tobit 10, 13). Ajakan yang serupa dapat ditemukan juga dalam Kitab Kebijaksanaan (Kebj. 518-23) dan kitab Imamat (Im. 26, 1-3; 40, 23). 3. Orang tua harus mengasihi dan memelihara anak-anak. Kewajiban ini tidak hanya melalui ajaran moral, tetapi terutama berupa teladan cinta orang tua yang besar. Misalnya cinta kebapaan Yakub terhadap putra-putranya. Selain itu kitab Imamat secara tegas mengajak para orang tua untuk mengasihi anak-anak
104
mereka dengan cinta yang bertanggungjawab (Im. 7, 23 s; 30, 1-13). 4. Anak-anak harus menghormati dan mencintai orang tua. Dekalog memuat perintah ini : “Hormatilah ayah dan ibumu” (Kel 20,12). Kitab Kebijaksanaan berulangkali mengajak anak-anak untuk menghormati dan mencintai orang tua. “Dengarkanlah ayahmu, yang telah memberikan hidup, jangan mengabaikan ibumu, jika ia menjadi tua. Gembirakanlah ayah dan ibumu dan senangkanlah hati dia yang telah melahirkanmu (Keb. 23, 22. 25; Bdk. Kebjk 6, 20-23; 10,1; Im. 3, 1-16. ; 7, 27).56 2.2.2. Perkawinan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru 2.2.2.1. Dalam Injil Sinoptis: Perkawinan yang Satu dan Tak Terceraikan Dalam ketiga Injil dapat dijumpai sikap dasar positif Yesus tentang hidup perkawinan dan keluarga. Yesus menilai secara positif perkawinan dan keluarga . Ia membandingkan Kerajaan Allah yang akan datang (eskatologis) dengan sebuah perjamuan nikah (Mt. 22, 14; 25, 1-13). Yesus menyebut diri-Nya sendiri sebagai Pengantin Pria dari umat Allah Perjanjian Baru (Mt. 9, 15), Dia menjadi pemenuhan Perjanjian Lama:
56
Ibid., pp.18-25. 105
perjanjian Allah dengan bangsa pilihan.Yesus menilai secara positif perkawinan dan keluarga dengan mengemukakan bahwa nilai saat ini menunjuk juga pada masa mendatang. “Sebab pada saat orang-orang mati bangkit, tidak akan ada lagi orang yang kawin dan dikawinkan, tetapi mereka akan hidup seperti malaikatmalaikat” (Mt. 12, 25). Lebih dari itu, motip pelayanan dan pengabdian demi kerajaan Allah membenarkan pilihan hidup selibat secara sukarela (Mt. 19, 12; Lk. 18, 29). Sebab perkawinan bisa juga menjadi halangan bagi seseorang untuk menerima Kerajaan Allah, masuk dalam perjamuan kawin anak domba. “Saya baru saja menikah, karena itu saya tidak dapat datang (Lk. 14, 20). Yesus juga menekankan sifat ketakterceraian perkawinan serta kesamaan martabat pria dan wanita dalam perkawinan. Pernyataan Yesus ini dapat dijumpai dalam teks-teks Sinoptik. Beberapa teks bisa disebutkan di bawah ini: 1. Markus 10, 11-12: “Siapa yang menceraikan isterinya dan kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si Isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah” Dari teks ini ini tampak jelas bahwa perceraian dan pernikahan dengan wanita lain adalah dosa zinah. 106
Hanya saja dalam teks Markus ini terdapat tambahan berupa ‘terhadap isterinya.’ Isteri yang dimaksudkan di sini adalah isteri yang pertama. Seorang pria terikat padanya secara tak terbatalkan dan tentu saja hal ini berseberangan dengan konsep Yahudi tentang perzinahan. Di kalangan orang Yahudi, seorang pria tidak dapat berzinah terhadap isterinya sendiri. Jadi penegasan Yesus di sini justeru mau mengungkapkan kembali satu hal yang amat penting, yakni: kesederajatan suami dan isteri dalam perkawinan. Tidak hanya isteri yang mesti setia kepada suami, melainkan suami juga mesti setia kepada isterinya. Selain itu hukum Yahudi pun tidak membenarkan seorang isteri menceraikan suaminya. Sehingga dalam teks di atas Yesus juga berbicara tentang seorang isteri yang ‘lari’ dari suaminya dan kawin dengan pria lain. Tindakan seperti ini sama berdosanya dengan seorang suami yang menceraikan isterinya. Jadi pada dasarnya teks ini menekankan relasi yang sejajar antara suami dan isteri. Tidak ada relasi yang benar apabila salah satu pihak memandang yang lain lebih rendah.57 2.
Lukas 16, 18
57
Stefan Leks, Tafsir Injil Markus, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), p. 329. 107
“Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barang siapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah”. Dalam perbandingan dengan Markus, secara bersamaan terungkap suatu batasan, karena teks ini hanya membicarakan pria yang menceraikan isterinya, dan bukannya tentang isteri yang menceraikan suaminya, serta perluasannya pada orang-orang yang belum kawin, yang mengawini seorang wanita yang diceraikan, melakukan zinah.
3. Mateus 5, 32 Dalam perikop ini terdapat pembatasan serta perluasan makna dalam perbandingan dengan teks Lukas di atas, dan lebih jauh lagi terdapat sebuah tambahan atau sisipan yang dikenal dengan “kekecualian Mateus” : “Tetapi aku berkata kepadamu: setiap orang yang menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan ia berbuat zinah” (Mt. 5,32)
108
Di sini Mateus tidak ingin mengemukakan bahwa pria yang menceraikan isterinya boleh kawin lagi, tetapi ia menempatkan isterinya dalam bahaya untuk melangsungkan perkawinan baru, yang dipandang sebagai perbuatan zinah. Sebaliknya dalam teks Mateus 19,9, Yesus berbicara tentang pria yang menceraikan isterinya dan melangsungkan perkawinan baru: “Tetapi aku berkata kepadamu, barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah”. Dalam teks ini dan dalam Markus 10, kata-kata yang berkenaan dengan ketakterceraian perkawinan diucapkan dalam konteks perdebatan dengan kaum Farisi. Dalam perdebatan itu Yesus mengatakan secara jelas kepada mereka bahwa perceraian dalam Perjanjian Lama merupakan sebuah izinan karena ketegaran hati yang bertentangan dengan kehendak /rencana Allah dalam penciptaan. “Justru karena ketegaran hatimulah , maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu. Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mk. 10, 5-9). 109
Kata-kata ini mengungkapkan secara jelas bahwa perkawinan yang tak terceraikan itu sesuai dengan kehendak Allah Pencipta. Perkawinan yang dikehendaki Allah Pencipta itu adalah perkawinan yang monogam (keduanya bukan lagi dua, tetapi menjadi satu daging.). Selanjutnya ada berbagai tafsiran mengenai Kekecualian (persyaratan) Mateus. Kata-kata Mateus : “kecuali karena zinah” menjadi obyek diskusi para ekseget dewasa ini. Yesus sendiri tidak membuat syarat apapun terhadap ketakterceraian perkawinan. Ada beberapa tafsiran atau pemahaman terhadap kekecualian Mateus tersebut: Mereka yang melihat suatu kekecualian dalam syarat itu secara sederhana menjelaskannya sebagai pemisahan, tetapi bukanlah suatu perkawinan baru karena ketidaksetiaan (perzinahan) pasangan atau pengandaian akan perkawinan konkubinat, yang tidak hanya dapat dipilih tetapi sudah dipilih, atau sebagai pelanggaran sederhana (tidak bermaksud membicarakan hal perzinahan) atau sebagai larangan negatif (juga dalam hal perzinahan). Orang lain melihat persyaratan itu sebagai suatu kekecualian riil. Dalam hal ini perzinahan (ketidaksetiaan) salah satu partner dapat menjadi alasan bagi pemisahan yang disertai perkawinan baru. Perkawinan baru itu sah adanya. Menurut pendapat sementara orang, Yesus tidak bermaksud menempatkan hukum kekecualian apapun 110
yang mengurangi sifat ketakterceraian perkawinan. Persoalan ini diangkat karena kata-kata ini diulangi lagi dalam Kotbah di Bukit. Dalam kotbah di Bukit Yesus menentang legalisme kaum Farisi dan menekankan kesempurnaan hati yang murni dan tak terbagi dalam mencintai Allah. Yesus menyatakan kesetiaan absolut dalam perkawinan sebagai hal yang sesuai dengan semangat Kerajaan Allah. Lalu bagaimana dengan pandangan tentang persyaratan (kekecualian) Mateus ini? Di sini tampaknya tidak ada kekecualiaan apapun atas ketakterceraian perkawinan. Kata-kata “kecuali karena zinah” itu mengacu kepada kasus orang-orang kristen bekas kafir. Mereka merasa terbelenggu oleh sebuah perkawinan antara kerabat yang secara tegas dilarang dalam Perjanjian Lama oleh Kitab Imamat 18. Hal ini juga bertentangan dengan Konsili para Rasul dalam hubungan dengan orang-orang kristen bekas kafir (Kisah Para Rasul 15, 20.29). Kekecualian itu tidak mengacu pada perzinahan dalam arti biasa. Persoalan tersebut dapat dipahami merujuk pada kasus khusus yang dikondisikan oleh waktu dalam konteks kehidupan gereja perdana. Gereja perdana terdiri juga atas orang-orang Kristen bekas kafir, yakni mereka yang bertobat dari kekafiran dan mengimani Kristus. Dalam adat kebiasaan kafir sering terjadi perkawinan incest atau perkawinan antara orang111
orang yang berkerabat yakni orang-orang yang masih memiliki hubungan darah yang dekat (Consanguinis). Adat kebiasaan ini sudah mendarah daging dan sulit dilepaskan Atas dasar itulah, maka ada dua kata yang dipakai untuk menjelaskan ungkapan zinah dalam kekecualian Mateus ini: yakni Moichea dan Porneia. Kata moicheia menujukkan perzinahan dalam arti yang biasa yaitu ketidaksetiaan, penyelewengan salah seorang partner atau kedua-keduanya dengan orang lain di luar pernikahan. Sedangkan kata Porneia dipakai untuk menunjukkan hubungan perkawinan incest atau consanguinis yang masih membelenggu kehidupan orang-orang kristen bekas kafir. Dalam konteks kekceualian Mateus, kata zinah itu harus dipahami dalam konteks porneia, yakni hubungan perkawinan incest. Hubungan perkawinan ini dengan tegas ditolak atau dilarang. Orang-orang kafir yang hendak masuk kristen harus melepaskan atau menceraikan suami atau isteri yang masih bertalian darah dekat untuk memulai suatu perkawinan kristen. Mereka harus membebaskan dirinya dari belenggu ikatan perkawinan incest. Dengan demikian ungkapan kecuali
112
karena zinah itu hanya berlaku dalam hubungan dengan perkawinan incest (porneia).58
2.2.2.2. Perkawinan dalam Pandangan St. Paulus: Sakramentalitas Perkawinan Injil Sinoptis dalam pewartaannya menegaskan ketakterceraian Perkawinan. Pembicaraan Santu Paulus tentang perkawinan merujuk pada dua hal mendasar yakni: 1. Perkawinan ditempatkan dalam konteks keperawanan (I Kor 7:1-16). Keperawanan merupakan sebuah jalan hidup dan panggilan kristiani, melaluinya manusia memberikan dirinya secara total dan tak terbagikan kepada Kristus. 2. Perkawinan dilihat sebagai pengambilan bagian dalam cara khusus melalui hubungan penuh rahasia yang berlangsung antara Kristus dan Gerejanya (Ef. 5,22-33). Teks ini memberikan dasar yang penting bagi proses evolusi teologis yang panjang tentang sakramentalitas perkawinan antara orang-orang yang dibaptis yang dianut gereja dewasa ini.
58
Stefan Leks, Tafsir Injil Matius, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), pp.157-158. 113
Ajaran St. Paulus tentang sakramentalitas perkawinan kristiani dalam teks Ef. 5, 22-32 ini mengandung beberapa unsur penting, a.l. 1. Ungkapan “ Rahasia ini besar “ : “Sacramentum hoc magnum est “ (Ef. 5, 32) mengacu pada konsep aktual tentang sakramen. Perkawinan antara orang-orang kristen berada dalam suatu hubungan khususdengan persatuan yang terjadi antara Kristus dengan Gereja. Hal ini bukan sekedar sebuah perbandingan. Orang-orang kristen adalah anggota dari tubuh Kristus (Ef. 5,30). Karena itu pasangan suami isteri juga merupakan anggota dari tubuh Kristus. Dalam relasi perkawinan yang timbal balik mereka dimasukkan ke dalam cara yang khusus dari hubungan Kristus dengan Gereja. 2. “Suami adalah kepala isteri” (Ef. 5, 22). Ungkapan ini harus dimengerti dalam konteks pemahaman kristologis. Kristus adalah kepala jemaat (1 Kor, 11, 3). Sebutan kepala adalah sebutan khas untuk menyatakan hubungan Kristus dengan jemaat, tubuhnya sendiri. Relasi Kristus dan Gereja adalah relasi Kepala – tubuh: relasi keselamatan. Kristus sebagai kepala menyelematkan dan menebus Gereja sebagai tubuh. Bila tdeiterapkan kepada relasi suami isteri, maka hubungan itu adalah relasi keselamatan. Kristus menyelamatkan tubuhNya. 114
Oleh karena itu maka kata kepala dalam ungkapan suami adalah kepala isteri sama sekali tidak bernuansa sosiologis, yakni suatu kedudukan suami yang lebih tinggi secara sosiologis, tetapi lebih pada membangun relasi cinta kasih.59 Dengan demikian persatuan antara Kristus dan Gereja merupakan suatu model moral bagi hubungan yang harus menjiwai hubungan suami isteri aygn sudah dibaptis. Dengan demikian hubungan suami isteri benar sejauh mereka menampakkan atau menghadirkan Kristus dalam Gerejanya. 3.
Kompleksitas teks Ef. 5, 22-33.
Penjelasan Paulus tentang kompleksitas perikope ini dihubungkan dan diteguhkan dengan oleh Teks 1 Kor. 7, 14. Dalam teks ini Paulus berbicara tentang kewajiban dan tindakan pengudusan suami- atau isteri kristen berhadapan dengan orang-orang yang bukan kristen. “Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya”. (1 Kor. 7, 14).
59
Tom Jacobs, Paulus, Hidup, Karya dan Teologinya (Yogyakarta : Kanisius, 1983), p. 371. 115
Karakter sakramental perkawinan juga terdapat dalam Perjanjian antara Yahwe dengan umat pilihan-Nya dalam Perjanjian Lama. Dalam relasi perjanjian itu pengalaman perkawinan yang bersifat manusiawi diangkat ke tingkat ilahi (religius) perjanjian. Dari sini ditemukan banyak petunjuk tentang perkawinan dan keluarga yang terkandung dalam hukum perjanjian. Dalam Perjanjian Baru, persautan Allah di dalam Kristus dengan Gereja (Umat Allah Perjanjian Baru) dinyatakan dengan lebih intensip ketimbang yang dilaksanakan dalam Perjanjian Lama. Hubungan antara misteri Kristus dan Gereja yangmenyelamatkan dan perkawinan , terutama perkawinan antara dua orang yang sudah dibaptis, lebih kuat dan mendalam dari Perjanjian Lama. Perkawinan secara baru didasarkan dalam Allah dan dalam kehendakNya yang menyelamatkan. Inilah ciri sakramental perkawinan kristiani. 4. Unsur Cinta dalam Pewartaan Paulus tentang Perkawinan.60 Hubungan erat antara misteri Kristus – Gereja dan Perkawinan antara suami- isteri melahirkan kewajiban untuk saling mencintai.
60
Jorge Cardinal Medina Estévez, Op.Cit., pp.30-33. 116
“Hai suami kasihilah isterimu, sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat, dan telah menyerahkan diriNya baginya…. Demikian juga suami harus mengasihi isterinyasama seperti tubuhnya sendiri……. Bagaimanapun juga bagi kamu masing-masing berlaku : kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaknya menghormati suaminya” (Ef. 5, 25. 26. 33.) Cinta sejak awal sudah mendapat tempat dan perhatian dalam Kitab Suci. Cinta bukanlah hal baru yang menjadi kekhasan manusia moderen. Wanita dalam zaman Paulus selalu merasa berada di bawah dominasi kaum pria. Perikop Ef. 5, 22-33 ditulis bertolak dari situasi penindasan terhadap wanita. Boleh jadi posisi wanita akan menjadi lebih sulit dalam cinta timbal balik ini, selagi kaum pria belum membebaskan dirinya dari kecenderungan sikap dominasi atas diri wanita, Namun itu tidak berarti bahwa pemenuhan cinta timbal balik itu tidak mungkin. Emansipasi wanita yang memperjuangkan kesamaan antara wanita dengan pria cenderung lebih berpihak pada hubungan kesamaan cinta sejati. Namun cinta sejati bukan hanya sebatas persoalan hubungan kesamaan antara pria dan wanita. Cinta sejati sangat tergantung juga dari iman dan persatuan mereka dengan Kristus. Unsur-unsur inilah yang memungkinkan cinta perkawinan menjadi sempurna. Cinta yang melibatkan pribadi-pribadi. 117
2.3 Kesimpulan Keseluruhan kitab suci baik perjanjian lama maupun perjanjian baru sama-sama menekankan kebaikan seksualitas manusia. Allah menciptakan pria dan wanita dengan kenyataan seksualitas yang istimewa supaya mereka sanggup masuk ke dalam persekutuan hidup bersama dan membangun komitmen untuk saling mengasihi satu sama lain sebagai pribadi. Masuknya dosa asal telah mengacaukan kesetaraan di antara pria dan wanita dan menjadikan mereka ‘terasing’ satu sama lain. Pria cenderung menjadi pihak yang mendominasi wanita dan bahkan merendahkan martabatnya. Karena itu melalui peristiwa inkarnasi, Allah telah mengambil inisiatif untuk mengembalikan hubungan yang telah rusak ini. Pemberian diri Kristus yang total kepada Gereja seperti diungkapkan St. Paulus menjadi model bagaimana semestinya relasi antara suami-istri atau antara pria dan wanita itu harus dibangun. Kitab Suci selalu menekankan juga agar seksualitas tidak dipisahkan dari kenyataan manusia 118
sebagai gambar dan rupa Allah. Manusia bukan hanya memiliki daya tarik atau dorongan seksual, melainkan juga makluk seksual yang berpribadi dan bermartabat luhur.
119
BAB III HAKIKAT SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN DALAM AJARAN GEREJA KATOLIK Pada bagian ini akan dijelaskan ajaran gereja Katolik tentang seksualitas dan perkawinan. Oleh karena seksualitas itu melekat dengan pribadi manusia, maka gereja Katolik pun merasa perlu menetapkan normanorma yang mengatur seksualitas itu agar nilai dan martabat pribadi manusia tidak dilecehkan, khususnya dalam ikatan hidup perkawinan. Untuk itu akan dijelaskan arti perkawinan itu sendiri, tujuan dan hakikatnya serta bagaimana gereja Katolik memahaminya dalam setiap konteks perkembangan zaman tanpa sedikit pun mengubah kebenaran tentang pribadi manusia. 3.1.
Arti Perkawinan Kristiani
Ada banyak definisi tentang perkawinan kristiani yang menekankan perkawinan sebagai persatuan hidup antara pria dan wanita yang dikehendaki secara bebas. Persahabatan suami isteri itu oleh Aristoteles timbul secara kodrati. Secara kodrati manusia terarah untuk hidup berpasangan. 3.1.1 Definisi Klasik :
120
“Persatuan konjugal antara seorang pria dan seorang wanita yang bebas dari halangan-halangan yang mengikat mereka untuk suatu kehidupan bersama”.61 Beberapa unsur yang perlu diperhatikan: *. Persatuan konjugal antara dua orang yang sudah dibaptis. Karena itu bersifat sakramental. *. Persatuan dapat dimengerti secara Aktif dan Pasif. Secara Aktif: Perwujudan suatu tindakan batin dan persetujuan lahiriah melaluinya pria dan wanita saling menjanjikan kesetiaan perkawinan. Secara Pasif: Perkawinan adalah akibat yang dihasilkan, keadaan hidup sebagai konsekuensi yang timbul dari persetujuan yang berhubungan dengan status perkawinan (in facto esse) dan merupakan ikatan aktual perkawinan. Persatuan Konjugal yang sah adalah tujuan khusus persetujuan perkawinan.
Persatuan konjugal terjadi antara seorang pria dan seorang wanita, bukan seorang pria dan beberapa wanita atau sebaliknya (sifat monogam perk.).
61
Katekismus Gereja Katolik, No. 1625. 121
Bebas dari halangan-halangan (Bdk KHK 1983 no. 1083-1094). Bebas = tanpa paksaan. Halangan dapat berupa rintangan kodrati maupun dari Gereja. Halangan umur: Pria 16 – wanita 14 (1083) Impotensi: untuk melakukan persetubuhan sejak sebelum nikah dan -bersifat tetap : Impotensi Ceundi (bukan Imp.generandi (1084) Ikatan Perkawinan yang sah (1085) Tahbisan suci, kaul kemurnian (1087-1088) Perkawinan dengan maksud pembunuhan atau juga kerjasama fisik dan moril dalam melakukan perlawanan terhadap suami/isteri (1090) Hubungan darah yang dekat ( hubungan ke atas dan ke bawah, ke samping sampai tingkat ke empat inklusif) Adopsi dihitung sebagai garis lurus dan menyamping tingkat II.62
3.1.2. Perkawinan Menurut Kitab Hukum Kanonik: Perkawinan adalah persatuan konjugal antara seorang pria dan wanita yang dibabtis untuk membentuk kebersamaan hidup yang pada hakekatnya terarah kepada kesejahteraan suami isteri, kelahiran dan
62
Kitab Hukum Kanonik, No. 1083-1094. 122
pendidikan anak, yang oleh Kristus telah diangkat menjadi sakramen.63 3.2.
Hakekat Perkawinan Kristiani
3.2..1. Perkawinan sebagai Contractus (Kontrak) dan Perkawinan sebagai “foedus” (Perjanjian) Lembaga perkawinan disyahkan berdasarkan konsensus dua pribadi. Hubungan ini dalam perjalanan sejarah selalu dilihat sebagai “contractus” (CIC 1057, 1081, 1087). Dalam perkembangan sejarah selanjutnya sampai dengan tahun 1918, ada beberapa hal yang dilihat sebagai elemen konstitutif suatu perkawinan yang sah dan tak terceraikan antara lain persetujuan (Ius Romanum), penyerahan wanita oleh orang tua kepada suami/pria, dan “cohabitatio” (hidup bersama). 3.2.1.1. Perkawinan Sebagai Perjanjian Dalam Sejarah
Kontrak
Dan
1. Sejarah Profan Pada abad VII sebelum masehi perkawinan dibangun dalam arti religius. Karena itu perkawinan bersifat sakral. Yang menjadi elemen konstitutif perkawinan adalah penyerahan wanita kepada keluarga pria. Pada masa kekaisaran Romawi pertunangan resmi yang ditandai oleh penyerahan cincin merupakan elemen konstitutif sebuah perkawinan. Elemen ini dilengkapi 63
Ibid, No. 1055. 123
dengan “Donum ductio” yakni penghantaran isteri ke rumah pria (Codex Theodosianum 428 seb. Masehi). Proses perkawinan yang sah harus melibatkan saksi. Bangsa Jerman mengenal dua bentuk elemen konstitutif sebuah perkawinan yaitu pertunanganan dan penyerahan wanita/calon isteri kepada keluarga pria/calon suami.64 2. Dalam Gereja hingga 1918 Dalam sejarah Gereja tidak ditemukan uniformitas dalam menentukan elemen konstitutif pernikahan. Hieronimus (420M) melihat “consumatio” atau “Actus Conjugalis” sebagai sebagai elemen konstitutif. St. Agustinus(430) menekankan “consensus” (kesepakatan) kedua mempelai sebagai unsur konstitutif perkawinan kristiani. Dalam perkembangan selanjutnya yaitu pada abad 11 muncullah teori Copula (Grasianus 1150). Sebuah perkawinan menjadi sah oleh adanya “copula” yakni hubungan seksual atas dasar “consensus”. Berdasarkan teori ini dapatlah dibedakan antara matrimonium initiatum (perkawinan permulaan yang dapat diceraikan) dan matrimonium perfectum (perkawinan sempurna yang berdasarkan consensus dan actus conjugalis). Setelah itu muncul Teori Consensus (Lombardus) yang melihat persetujuan sebagai unsur konstitutif 64
P.Piva, Matrimonio, dalam Leandro Rossi e Ambrogio Valsecchi, Dizionario Enciclopedico di Teologia Morale (Milano: Edizioni Paoline, 1987), pp. 633-634. 124
perkawinan. Oleh karena itu perkawinan yang belum dilengkapi dengan actus conjugalis (consumatum) juga tidak dapat diceraikan. Alexander III berusaha menggabungkan kedua pendapat ini dengan melihat consensus dan consumatum sebagai unsur konstitutif sebuah perkawinan kristiani. Karena itu perkawinan berdasarkan konsensus yang belum dilengkapi oleh actus conjugalis masih dapat diceraikan.65
3. 2.1.2. Perkawinan Sebagai Contractus (Kontrak) Perkawinan sebagai contractus mengandung kesepakatan dua orang yang saling berjanji untuk hidup bersama, saling membantu dan mengadakan keturunan. Contractus in sui generis mengandung pengertian bahwa kedua partner tidak dapat mengubah isi kontrak itu sesuka hati. Sebab wujud perkawinan dan sifat-sifatnya sudah ditentukan baik oleh hukum ilahi maupun oleh hukum positip. Hukum ilahi mengandung pengertian bahwa dalam perkawinan suami isteri mengambil bagian dalam karya Penciptaan Allah sendiri. Hukum positip mengandaikan suatu perkawinan diatur oleh hukum yang sudah disepakati baik menyangkut “ius in corpus”(hak atas tubuh) maupun “debitum matrimoniale” (belis).66
65
Ibid.
66
John J. Collins, Marriage in the Old Testament dalam Todd A. Salzman, Thomas M. Kelly & John J. Keefe (Eds.), Marriage in Catholic Tradition (New York: The Crossroad Publishing Company, 2004), pp. 12-15 125
3. 2.1.3. Perkawinan Sebagai “Foedus” (Perjanjian) Konsili Vatikan II tidak menggunakan istilah “contractus” dalam perkawinan tetapi “foedus” (Perjanjian). Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan sebagai berikut. Kata contractus bersifat legalistis-yuridis karena mengandung tuntutan hak atas tubuh dan belis. Selain itu penggunaan kata contractus kurang menggambarkan suasana perkawinan sebagai persekutuan cinta dan kurang bersifat pastoral. Sedangkan “foedus” secara lebih tepat menggambarkan partisipasi umat manusia dalam hubungan perjanjian dengan Allah dan hubungan mesrah dengan Gereja. Selain itu “foedus” lebih tepat mengungkapkan persekutuan cinta ketimbang “contractus” (Bdk. GS 48, Hos. 2, Ef. 5,27, Yes. 54). Inti Perjanjian terletak pada pendekatan (inisiatip) Allah dan jawaban manusia (Ul. 16,17). Hukum menjadi unsur kedua dan tidak mengalahkan komitmen dasar pribadi dalam kesetiaan dan spontanitas. (Yos. 24: 19-20). Oleh karena itu perjanjian dalam Kitab Suci adalah hubungan personal dan komitmen mutual walau disertai oleh hukum dan sangsi bila diingkari. Perjanjian antara Allah dan manusia dilakukan dalam terang janji setia dan kebaikan cinta Allah yang tidak dapat dirusakan. Melalui kedua kebajikan ini Allah secara kontinu menyerahkan cinta yang kreatip, memaafkan dan menebus (Mal. 2,14) Dalam PB : Ef. 5: 21-32 kita menemukan aplikasi nyata dari misteri perjanjian cinta Kristus dan 126
realitas perkawinan manusia. Perkawinan antara dua orang beriman merupakan pantulan dari Perjanjian cinta Kristus yang menyelamatkan, kesetiaanNya terhadap Gereja, dan sebagai sebuah tanda atau sakramen perjanjian. Oleh karena itu, Perkawinan adalah tanda/simbol Perjanjian antara Kristus dengan GerejaNya.67 Dengan kata lain perkawinan menjadi relasi interpersonal manusiawi yang secara sangat tepat mencerminkan Perjanjian antara Allah dengan umatNya, antara Kristus dengan GerejaNya. Allah adalah Penciptanya, saksi dan penjamin dari hubungan yang tak terputuskan. Konsili Vatikan II menegaskan perkawinan sebagai upaya/tindakan saling memberi diri; keseluruhan persatuan hidup dan cinta yang merupakan pemberian diri secara timbal-balik. Kemantaban perjanjian berasal dari penetapan ilahi ketimbang persiapan faktual. Oki, perkawinan juga dapat disebut sebagai hubungan partnership yang intim dari kehidupan dan cinta konjugal yang berakar dari pertemuan konjugal (persetujuan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali). Hubungan ikatan suci ini timbul melalui tindakan manusiawi: pemberian dan penerimaan diri secara mutual bagi penerusan keturunan dan pendidikan anak dalam persatuan total hidup dan cinta: saling membantu, melayani. Perjanjian Perkawinan dibangun oleh persetujuan (consensus) pasangan nikah. Mereka sendirilah yang mendirikan/ menciptakan persatuan (bukan Kristus). 67
Ibid., p. 166. 127
Dalam mukjizat di Kana, Kristus tidak mendirikan sakramen pernikahan, tapi hanya memperkaya dengan rahmatNya. Merekalah yang saling menerimakan sakramen itu. Imam hanyalah saksi Gereja dalam meresmikan perkawinan. Perkawinan harus dilihat juga sebagai realitas manusiawi. Hakekat keberadaan manusia sebagai makhluk spiritual harus dinyatakan juga dalam kesanggupan untuk menjadi setia. Kesetiaan di sini adalah bagian dari hidup harian yang ditunjukan dalam kemampuan saling berjanji dengan teguh. Kewajiban perkawinan harus timbul secara kodrati dari perkawinan itu. Kemantapan dan esklusivitas perkawinan hendaknya tidak hanya menjadi gagasan yuridis tetapi menjadi bagian integral pemahaman pasangan itu sendiri. Karena itu kata “Covenant” kiranya lebih tepat untuk melukiskan realitas ini ketimbang “contract”. Janji adalah sesuatu yang ingin dibuat oleh seseorang dengan segenap hati. Dalam hal ini perlulah mempertimbangkan bantuan mutual, masyarakat dan peneguhan melalui suka duka hidup. Aspek hukum dan kelembagaan secara kodrati merupakan bantuan bagi perkawinan. Aspek hukum dan kelembagaan tidak mendirikan perkawinan, tetapi sebagai sendi-sendi formal (termasuk di dalamnya tata perayaan dan berkat, adat istiadat) kita perlu memilahmilah manakah dari unsur-unsur itu yang menghidupi perkawinan dan mana yang menghalangi persetujuan mutual dalam perkawinan. Hukum menjelaskan kapan perkawinan itu dibuat.
128
3.3. Perkawinan sebagai Persekutuan Cinta68 3.3.1. Alasan Perkawinan Disebut Sebagai Persekutuan Cinta Hidup perkawinan dialami dan dikembangkan atas dasar cinta. Seluruh hidup diresapi oleh cinta. Cinta menjiwai setiap hak dan kewajiban. Dengan demikian hidup perkawinan bukanlah hanya persekutuan hidup bersama dalam cinta. Karena besarnya peranan cinta maka hidup perkawinan tidak dipandang lagi hanya sebagai sebuah “contractus”, tetapi sebagai sebuah persekutuan cinta yang mengambil bagian dari cinta ilahi (Bdk. Kej. 1, 27-28; Ef. 5, 22-23 dan Mt. 19, 6). Mengapa perkawinan disebut sebagai persekutuan cinta ? Ada beberapa hal yang patut mendapat pertimbangan, a.l. Pertama, pengalaman hidup manusia. Hidup sebagai suami isteri adalah kenyataan alamiah yang ditemukan dalam setiap bangsa dan pada segala zaman. Kenyataan ini didukung oleh psikologi dan filsafat yang menunjukkan adanya dorongan kodrati manusiawi untuk menghayati hidup ini. Pada dasarnya setiap manusia baru dapat merealisasikan dirinya secara baik dalam pertemuan dan persatuan dengan pribadi lain. Manusia membutuhkan seorang partner untuk mengarahkan cintanya. 68
Walter J. Schu, The Splendor of Love – John Paul II’s Vision for Marriage and Family (Hartford, CT: New Hope Publications, 2003), pp. 59-61. 129
Kedua, alasan biblis. Cinta adalah dasar kehidupan. Perkawinan adalah sesuatu yang sudah ditanamkan Allah dalam kodrat manusia (Bdk. Kej. 1,22-28; kej. 2,18). Cinta manusia itu hendaknya diarahkan dan dikembangkan menuju cinta sejati yakni persatuan dengan Allah. Suami isteri mempunyai peranan untuk menterjemahkan cinta Allah dalam kehidupan keluarga. Ketiga, bahasa/ungkapan cinta. Cinta manusia perlu diungkapkan dalam berbagai cara seperti lewat kata, perbuatan dan pernyataan simbolis. Pernyataan simbolis badan manusia adalah bahasa cinta yang berfungsi untuk menterjemahkan dan menyalurkan cinta. Dalam pengertian ini setiap tindakan seksual baik dalam arti luas maupun arti sempit tidak boleh merupakan luapan hawa nafsu belaka tetapi sebagai ungkapan cinta/bahasa cinta. Dalam hal ini penghargaan terhadap tubuh manusia sangat ditekankan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa bahwa perkawinan sebagai persekutuan cinta mengandaikan beberapa hal antara lain, cinta suami isteri yang merupakan pengalaman, dasar dan jaminan kelangsungan adalah hasil usaha bersama yang merupakan terjemahan cinta Allah dan mengarah kepada persatuan dengan Allah. 3.3.2. Pentingnya Perkawinan sebagai Persekutuan Cinta Peranan Cinta konjugal tidak selalu dikenal sebagai unsur esensiil perkawinan. Hukum Kanonik 130
1917 menempatkan hak atas tubuh sebagai hal yang esensiil, tanpa referensi kepada persatuan konjugal. Paus Pius XI “Casti Conubii” : perkawinan sebagai kontrak dan perkawinan sebagai persatuan hidup. Dalam pembicaraan ttg perkawinan sebagai kontrak cinta konjugal menjadi tujuan sekunder. Dalam pembicaraan tentang perkawinan sebagai persatuan hidup cinta konjugal nampak sebagai dimensi yang lebih tinggi dari pengudusan mutual. Cinta konjugal dihubungkan pada sebab dan alasan primer perkawinan. Konsili Vatikan II memberi tekanan pada cinta konjugal suami isteri. Persatuan intim suami isteri merupakan konsekuensi cinta konjugal. Ia menuntut keteguhan dan eksklusivitas, dengan berbagi rasa dalam tindakan-tindakan dan pembentukan kesadaran bersama. Cinta konjugal harus menjadi keintiman yang produktip, pemenuhan dan pengudusan mutual dan harus terbuka kepada cinta yang menghasilkan buah. Cinta konjugal, prokreasi dan pendidikan anak bukanlah unsur-unsur yang saling terpisah, tetapi semuanya terjalin menjadi satu kesatuan yang saling berhubungan dan bersifat hakiki. Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes no. 49 menegaskan bahwa cinta konjugal suami isteri diangkat dan dikukuhkan menjadi cinta ilahi dalam cinta Kristus. Cinta ini dilaksanakan secara istimewa dalam hubungan seksual. Paus Paulus VI dalam Ensikliknya Humanae Vitae membicarakan perkawinan dalam hubungan dengan pengaturan kelahiran (tujuan prokreatif). Dalam Ensiklik ini (no. 9-10) Paus menegaskan sifat-sifat khas cinta manusiawi suami isteri (cinta konyuga), a.l. 131
1. Cinta konjugal haruslah sungguh-sungguh bersifat manusiawi. Cinta manusiawi haruslah menjadi sebuah pernyataan perasaan-perasaan dan semangat. Cinta konjugal timbul dari kesatuan hati dan jiwa, dihadirkan dalam terang visi integral keselamatan manusiawi. 2. Cinta konjugal haruslah bersifat total. Cinta yang total dengan murah hati membagikan segala sesuatu dalam semangat cinta yang berkorban, cinta yang melupakan diri dan cinta yang tanpa syarat. 3. Cinta konjugal adalah cinta yang dapat dipercayai, ekslusip dan setia sampai mati. 4. Cinta konjugal haruslah cinta yang menghasilkan buah, yakni cinta yang diarahkan untuk menumbuhkan hidup baru. 5. Cinta konjugal harus menjadi cinta yang bermoral. Cinta tersebut harus diwujudkan dalam kebapakibuan yang bertanggungjawab. Hal ini mengandaikan bahwa suami isteri sungguhsungguh mengetahui kewajibannya terhadap Tuhan, diri mereka, terhadap keluarga dan masyarakat seturut tingkatan nilai yang benar. Paus Paulus VI melihat cinta konjugal sebagai hal yang lebih dari sekedar tujuan sekunder. Cinta konjugal adalah bagian integral dari perkawinan. Cinta konjugal menjadi begitu esensial karena cinta ini sangat penting untuk mengembangkan persatuan hidup dan cinta. Karena kedua unsur yakni perjanjian dan cinta konjugal yang memberikan pertimbangan hukum bagi
132
pembaharuan teologi berupa pemberian diri dalam persatuan hidup dan cinta.69 3.3.3. Pemberian Persekutuan Cinta
diri
sebagai
Perwujudan
Ajaran Konsili tentang pemberian diri dalam perkawinan lebih bersifat yuridis. Ia menitikberatkan kesatuan hidup dengan hak-hak dan kewajibankewajiban dari persatuan mendalam yang memiliki unsur-unsur khusus yakni persatuan intim pribadipribadi melaluinya seorang pria dan seorang wanita menjadi satu daging. Atas dasar ini persetujuan perkawinan dapat diartikan sebagai sebuah tindakan kehendak melaluinya seorang pria dan wanita membangun perjanjian mutual antara keduanya. Persetujuan mutual itu tidak dapat dibatalkan. Persatuan hidup konjugal yang terbentuk atas persetujuan itu bersifat eksklusif dan kekal. Karena itu obyek substansial formal persetujuan ini tidak hanya ditemukan dalam hak kekal dan ekslusip atas tubuh, tetapi juga mencakupi hak atas persatuan cinta. Persatuan cinta yang pantas adalah persatuan cinta perkawinan yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Persatuan cinta itu juga berhubungan dengan hak atas hubungan intim antarpribadi dan tindakan-tindakan yang dilakukan satu
69
Bernard Cooke, Casti Conubii to Gaudium et Spes – The Shifting Views of Christian Marriage dalam Todd A. Salzman, Thomas M. Kelly & John J. Keefe (Eds.), Op. Cit., pp. 110-113. 133
terhadap yang lain dihubungkan dengan Tuhan dalam penerusan keturunan dan pendidikan anak. Tujuan fundamental perkawinan dapat dilihat terutama dalam pemenuhan dan penerusan nilai cinta yang mengangkat dan mempersatukan suami isteri dengan Tuhan sebagai sumber cinta. Hukum Gereja menegaskan perkawinan sebagai hubungan partnership yang intim dalam seluruh kehidupan antara seorang pria dan seorang wanita yang dari kodratnya terarah kepada prokreasi dan pendidikan anak. 70
3.3.4. Unsur-Unsur Hakiki dalam Persatuan Hidup Konjugal Konstitusi pastoral Gaudium et Spes no 48 menggariskan hak-hak yang berhubungan dengan “consortium vitae coniugalis” (persatuan hidup konjugalis). Dalam perkembangan selanjutnya G. Lesage dalam studi tentang hukum perkawinan mengemukakan beberapa syarat pasangan dapat memiliki hak persatuan hidup konjugalis kristiani, a.l. 1. Keseimbangan dan kematangan bagi tingkahlaku manusiawi yang sungguh. Manusia sebagai pribadi individu harus sanggup bertingkahlaku sebagai makhluk yang berakal budi. Kematangan tingkahlaku pribadi berhubungan dengan hidup harian seperti penguasaan diri yang penting bagi tingkah laku yang bersifat rasional dan 70
Ibid., p. 114. 134
manusiawi; kemantapan tingkah laku dan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan. 2. Kemampuan menjalin persahabatan interpersonal dan heteroseksual. Seseorang harus mampu mencintai dengan cinta heteroseksual dan konjugal; perasaan hormat akan tanggungjawab suami isteri dalam persahabatan konjugal, penguasaan kecenderungan-kecenderungan, dorongan-dorongan naluriah, atau insting-insting irasional yang dapat membahayakan hubungan timbal-balik satu terhadap yang lain. 3. Kepekaan, kemampuan untuk bekerjasama dan menjadi penolong satu bagi yang lain. Seseorang harus sanggup bertindak sebagai makhluk sosial. Ia harus memiliki semangat cinta yang berkorban. Cinta yang berkorban adalah cinta yang tidak mencari kepuasan diri sendiri tetapi kebaikan dan kebahagiaan partnernya. Ia juga harus menghormati kepribadian atau perasaanperasaan dari pihak lain sesuai dengan tuntutantuntutan afektip dan seksual; kebaikan dan keramahan karakter dan cara-cara dalam hubungan timbal balik. 4. Keseimbangan mental dan rasa tanggungjawab bagi kesejahteraan jasmani keluarga. Yang dibutuhkan di sini adalah rasa tanggungjawab baik suami maupun isteri dalam mengusahakan kesejahteraan material rumah tangga melalui pekerjaan yang tetap, rencana dan anggaran belanja, dll. Selain itu sharing timbal balik,
135
konsultasi hal-hal penting menyangkut hidup perkawinan dan keluarga juga penting. 5. Kemampuan fisik untuk turut serta memajukan kesejahteraan anak-anak. Setiap partner harus mampu menjadi orang tua dengan rasa tanggungjawab secara moral dan psikologis terhadap keturunan, perawatan, cinta dan pendidikan anak-anak. Jika salah seorang dari pasangan sungguh-sungguh tidak mampu betapapun ia memiliki kemauan baik untuk memenuhinya secara mencukupi, maka ia tidak berhak untuk melangsungkan perkawinan. Seorang yang tidak dapat memenuhi tuntutantuntutan janji perkawinan masuk dalam persatuan yang tidak sah. Ini adalah cacat-cacat hukum dalam perkawinan.71 3.4. Perkawinan sebagai Sakramen Menurut ajaran Gereja perkawinan antara dua orang kristen adalah sakramen, yang bukan saja berlangsung pada saat pemberkatan tetapi berlangsung sepanjang hidup. Apa artinya perkawinan sebagai sakramen ? Konsili Trente menegaskan bahwa rahmat perkawinan kristen didasarkan pada paska Kristus yang menyempurnakan cinta kodrati suami isteri, memperkuat dan memeteraikan kesatuan yang tak terceraikan dan menguduskan suami isteri. Perkawinan sebagai 71
G.Lesage & F.G. Morrisey (eds), Documentation on Marriage Nulity Cases (Ottawa: St.Paul University, 1973), pp.15-17. 136
sakramen pada hakekatnya merupakan rahmat Allah. Melalui sakramen perkwinan pasangan suami isteri dapat memperoleh kekudusan. Namun kenyataan ilahi hanya dapat dipahami berpijak pada kenyataan dan tanda tanda manusiawi (hal ini berlaku untuk setiap sakramen).72 1. Tanda dan Rahmat Sakramental Sakramen dalam kehidupan kristiani dilihat sebagai suatu pertemuan antara Allah dengan manusia melalui tanda-tanda insani. Sejak saat penciptaan pertemuan antara manusia dengan Allah diteguhkan lewat tanda-tanda insani, dalam bentuk cinta. Kenyataan ilahi tidak dapat dipahami tanpa berpijak pada kenyataan manusiawi. Misalnya Ekaristi tidak dapat dipahami tanpa suatu perjamuan.73 Dalam konteks ini pengertian ilahi mengandung pengertian manusiawi. Manusia dapat bertemu dengan Allah lewat tanda-tanda lahiriah, upacara ritual simbolis, doa, tobat. Dari pihakNya Allah menyampaikan dirinya lewat berbagai tanda, a.l.: Dalam Perjanjian Lama Allah menyatakan dirinya dalam bentuk perjanjian (foedus) yang diadakannya dengan bangsa Israel sebagai umat pilihannya. Pemilihan dan penetapan Israel sebagai bangsa terpilih merupakan tanda cinta Allah kepada
72
Jorge Cardinal Medina Estevez, Op. Cit., p.113.
73
Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid II, A.Armanjaya, Y. M. Florisan, G.Kirchberger (penterj.) (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), p. 493. 137
manusia. Pemilihan ini menjadi juga tanda bagi bangsabangsa lain. Dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus merupakan tanda cinta Allah yang terbesar, tanda yang mempertemukan Allah dengan manusia. Melalui Yesus Allah menyelamatkan manusia. Pertemuan Allah dengan manusia berlanjut dalam kehidupan Gereja melalui sakramen-sakramen. Segala bangsa dipanggil Allah untuk menerima dan menjawabi undangan keselamatannya. Perkawinan adalah sebuah tanda yang kelihatan. Sakramen itu didirikan Kristus untuk menyalurkan rahmat sakramental. Hal ini dilakukan dengan menjadikan perjanjian sebagai sebagai sarana melaluinya rahmat sakramental disalurkan dalam perayaan. Tanda ini terdiri dari materi dan forma. “Penyerahan tubuh secara timbal balik dan sah ditunjukkan melalui kata-kata atau tanda-tanda yang menyatakan keadaan bathin adalah materi sakramen, sedangkan penerimaan tubuh timbal balik dan sah adalah formanya” (Paus Benediktus XIV). Dengan demikian yang menjadi materi sakramen perkawinan adalah pemberian mutual yang dibuat melalui kata-kata atau tanda-tanda yang menyatakan persetujuan bathin yang asli atas perjanjian. Sedangkan yang menjadi forma dari sakramen perkawinan adalah konsensus yakni penerimaan mutual yang dinyatakan dengan cara yang serupa. Bagi sebuah perjanjian yang sah, persetujuan haruslah dinyatakan baik secara lahiriah maupun secara bathiniah. Di antara hubungan-hubungan manusiawi, perkawinanlah yang merupakan hubungan yang secara 138
khusus menggambarkan realitas ilahi, karena ia bersifat spiritual dan fisis. Manusia adalah pribadi yang menjadi tujuan dari segala hubungan personal. Hubungan personal yang paling dalam dinyatakan melalui saranasarana fisik, sebagai ekspresi cinta yang paling tepat. Dalam pernyataan cinta secara fisik, pria dan wanita membentuk dan menyatakan kesatuannya Lebih dari itu kesatuan pria dan wanita (suamiisteri) adalah kesatuan dalam pluralitas. Dalam persatuan itu individualitas mereka sebagai pribadi yang terpisah tidak dihilangkan tetapi diperkaya. Persatuan mereka menjadi satu daging (aspek unitip perkawinan) adalah salah satu hal yang esensiil. Kualitas kekudusan setiap perkawinan ditekankan nampak dalam sejarah kuno yang dipelajari dalam terang akal budi dan kesadaran manusia, dalam lembaga dan hukum-hukum moral (Pius XI : Casti Conubii). Perkawinan sebagai suatu kenyataan kodrati yang dikehendaki Allah juga ditekankan oleh Paus Innocentius III dan Paus Honorius III. Hal ini selalu mengandaikan perkawinan itu dari kodratnya dikehendaki Allah dan karena itu bersifat suci (bdk Pius XI : Casti Conubii). Paus Pius XI selanjutnya menegaskan bahwa sifat kekudusan perkawinan adalah akibat efektif dari asalnya yang ilahi.74 2. Makna khusus Sakramen perkawinan
74
Thomas Knieps-Port Le Roi, Sacramental Marriage and Holy Orders dalam Todd A. Salzman, Thomas M. Kelly & John J. Keefe (Eds.), Op.Cit., pp.135-138. 139
Sakramen perkawinan mempunyai makna yang mendalam baik sebagai anugerah ilahi maupun sebagai tugas, baik sebagai ungkapan maupun sarana cinta dan rahmat. 1. 2.
3. 4.
5.
Suami isteri menjadi tanda kasih Allah Sakramen berarti tanda efektif yang menunjukkan dan menyalurkan rahmat. Suami isteri sendiri dalam kasih yang menyatukan menunjukkan rahmat/kasih ilahi sendiri yang menyelamatkan, menebus, menyatukan manusia dengan Allah. Dengan kata lain suami isteri diberi anugerah dan tugas untuk memperjelas dalam dirinya sendiri kasih Tuhan kepada dunia . Suami isteri menghadirkan kasih Tuhan Sakramen tidak hanya menunjukkan tetapi juga secara efektif mendatangkan, menghadirkan kasih Tuhan secara konkrit dalam kasih suami isteri sendiri secara menyeluruh baik secara rohaniah mapun jasmaniah. Suami isteri mendapatkan kekuatan
Sakramen perkawinan juga memberikan bantuan rahmat agar suami isteri dapat melaksanakan tugas-tugas berat yang khas bagi status mereka sebagai suami isteri dan orang tua, terutama dalam menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan hidup perkawinan dan keluarga mereka.
140
Surat St. Paulus kepada umat di Efesus, bab 5 menggunakan hubungan Kristus dengan Gereja sebagai model bagi hubungan perkawinan. Seperti Gereja taat kepada Kristus demikian hendaknya isteri taat kepada suami. Pada sisi lain, kepada suami tidak diberikan otoritas tuan, tetapi dinasehatkan untuk mencintai isterinya seturut teladan Kristus. “para suami, cintailah isteri-isterimu, seperti Kristus mencintai GerejaNya” (ay. 25). Penyerahan total cinta Kristus kepada Gereja dan Gereja bagi Tuhannya, adalah model dan ukuran bagi cinta mutual pria dan wanita dalam perkawinan. Tanggungjawab Gereja dalam hal ini menjaga tatanan dan kesucian sakramen tersebut sesuai dengan kehendak Allah. Untuk itu pasangan suami isteri harus mentaati hukum Gereja yang menyangkut perkawinan, kecuali mendapat dispensasi dalam hal-hal tertentu. Gereja juga harus menciptakan ruang rohani dan persekutuan yang menumbuhkembangkan spiritualitas suami isteri. Gereja harus mendampingi dengan penuh kepekaan akan kebutuhan dan perjuangan suami isteri Katolik dalam menghayatai hidup perkawinan mereka.75 Dalam refleksi mistik surat Perjanjian Baru yang sama Gereja Ortodoks mendasari doktrin karakter sakramental perkawinan. Karena apa yang dikatakan pengarang dalam perikope ini lebih dari sekedar memberikan motivasi bagi suatu ajakan moral dalam hubungan dengan hubungan antara Kristus dan Gereja, 75
Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III, A. Armanjaya, Y. M. Florisan, G.Kirchberger (penterj.) (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), pp. 353-355. 141
sebagai mana misalnya ia mendesak para hamba melayani/mengabdi tuannya seperti dalam Kristus (Ef. 6,5-8). Ia melukiskan hubungan perkawinan sebagai sebuah rahasia (misteri). Ikatan abadi perkawinan adalah lambang dari persatuan abadi Kristus dengan Gereja dan membentuk hidup bersama oleh kehadiran Kristus. Konsili Vatikan II juga menegaskan realitas sakramental perkawinan dalam konteks persatuan Kristus dengan Gereja sebagai berikut: “Cinta kasih suami isteri yang sejati diangkat ke dalam cinta kasih ilahi dan dipimpin serta diperkaya oleh daya penyelamatan Kristus dan karya keselamatan Gereja, agar suami isteri dihantar kepada Allah secara tepat guna dan dibantu serta dikuatkan dalam tugas luhur ayah dan ibu. Oleh sebab itu suami isteri dikuatkan dan ditahbiskan untuk tugas dan martabat statusnya dengan sakramen khusus” (GS 48).76 Suami isteri kristen sendiri saling menerimakan sakramen itu melalui janji dan persetujuan mutual. Tetapi dibalik semua sakramen terdapat pengalaman Gereja yang lebih luas. Karena itu sakramen dasar bukanlah pasangan nikah, tetapi Gereja yang di dalamnya mereka menghidupi berbagai kehidupan spiritualnya. Oleh karena itu sakramen perkawinan bukanlah perayaan meriah sehari, tetapi terutama hendak 76
Dokumen Konsili Vatikan II, R.Hardawiryana (penterj.) (Jakarta: Obor,1996), p. 569. 142
menciptakan kondisi berkat sakramental yang permanen dan kesatuan dalam Gereja. 77 Dengan menggunakan sakramen ini semua cinta, keintiman dalam perkawinan, kelembutan, bantuan dan nasehat yang diberikan pasangan nikah kepada satu sama lain menjadi sumber rahmat dan kehadiran Kristus. Sakramen ini juga melengkapi pasangan dengan pelayanan imami kepada anak-anak yang akan diberikan Tuhan kepada mereka. 3.5.
Sifat-Sifat Perkawinan
Perkawinan kristen Katolik bersifat Monogam dan Indisolubilis (tak terceraikan). Kedua sifat ini memperoleh kekuatan dalam sakramentalitas perkawinan. Perkawinan sebagai sakramen menuntut penyerahan diri total. Hal ini hanya dapat dilaksanakan dengan baik dalam perkawinan yang bersifat monogam dan indisolubilis. 3.5.1. Sifat Monogam Perkawinan - Satu dan setia 1. Pengertian Sifat monogam perkawinan mengandaikan bahwa seorang suami memiliki hanya seorang isteri dan sebaliknya. Perkawinan terjadi hanya antara seorang pria dan seorang wanita. Perkawinan monogam dihayati dengan setia dan pada hakekatnya bersifat eksklusif. Kesetiaan adalah 77
C. Callagher, et.al., Embodied in Love (New York: Crossroad, 1989), p. 64. 143
salah satu isi kandungan dari sifat monogam. Kesetiaan di sini tidak hanya berarti tidak melakukan penyelewengan. Kesetiaan di sini juga berarti dapat dipercaya, dapat diandalkan, berpegang teguh pada janji. Memiliki keteguhan hati, ketaatan dan kepatuhan. Kesetiaan pada pasangan berarti saling menaruh kepercayaan yang teguh, saling dan saling mengandalkan. Sedangkan sifat eksklusif menyangkut ada atau tidaknya keterlibatan pihak ketiga dalam relasi perkawinan itu. Eksklusif berarti bahwa kesetiaan itu hanya ditujukan pada suami atau isteri saja dan tidak ada pihak ketiga (Pria Idaman Lain PIL atau Wanita Idaman Lain). Kesetiaan itu secara ekplisit dinyatakan dalam janji. Janji itu mempunyai kekuatan moral yang mengikat ke dalam (antara pasangan itu) maupun secara ke luar dengan pihak lain. Kesetiaan itu mengandaikan kebersamaan dalam hidup dan nasib (totius vitae consortium). Kesetiaan juga berarti setia pada diri sendiri pada apa yang telah dinyatakan di hadapan Tuhan dan sesama (Janji Kesetiaan Perkawinan). Dasar kesetiaan sumai isteri terutama terletak pada ikatan persatuan bathiniah seperti: penghargaan kepada partner, sikap percaya, saling memperhatikan kepentingan bersama, kesediaan hati untuk bersamasamamengahadapi dan mengatasi persoalan-persoalan hidup, dll. Perkawinan monogam bertentangan dengan bentuk perkawinan poligi (poligini dan poliandri) dan berbagai bentuk hubungan intim dengan pihak ketiga (zinah, love affair, dll.).
144
2. Dasar-Dasar Sifat Monogam Perkawinan Katolik Dasar Biblis Monogami Dalam Perjanjian Lama Praktek bentuk perkawinan poligami sudah dikenal dalam kehidpan bangsa Israel (PL), sebagai akibat dari pengaruh sosio-budaya bangsa-bangsa tetangga. Dikenal juga sistem perkawinam levirat, perseliran (1 Sam. 1,8) hubungan antara isteri dalam perkawinan poligami (Ul. 21, 15-17). Ada tendensi mentolerir perkawinan poligami (Bdk. Kej. 4, 19.22; Hak 8,30-31; Hak. 9, 2-51 Sam. 1,2; 1 Raj. 11,1-8). Dalam perkawinan poligami terjadi perbedaan perlakuan terhadap isteri utama dan para gundik/selir. (Kej. 16, 4-5; 29,30-31; 30,1; Ul. 21,15-17; Yes. 60,15; I Sam. 1-6). Namun di samping itu ada juga tendensi monogami. Hal itu nampak dalam kritik para nabi terhadap perkawinan poligami. Dasarnya adalah kesetiaan Kepada Yahwe (1 Raj. 11, 5-8; 18, 4-19). Tradisi Yahwis menunjukkan bahwa dalam Kisah Penciptaan, Allah mendirikan lembaga perkawinan yang bersifat monogam (Ams. 12, 12,4 Am. 19,14). Prinsip yang mendasari kesetiaan suami isteri adalah kesetiaan tunggal Yahwe terhadap umatNya atas dasar Perjanjian. (mulai dari Abraham sampai pada Yesus Kristus). Model kesetiaan itulah yang harus diterapkan dalam relasi suami isteri, sebagai jawaban atas kesetiaan Yahwe terhadap mereka. 3. Monogami Dalam Perjanjian Baru
145
Dasar teologis Perjanjian Baru bagi sifat monogam perkawinan adalah aspek keselamatan universal. Kesetiaan Tuhan tidak hanya terbatas pada bangsa Israel tetapi terhadap seluruh umat manusia yang menerima Sabda Allah. Kesetiaan Tuhan pada umat manusia secara sempurna terpenuhi dalam pribadi Yesus Kristus. Kedatangan Yesus Kristus memberikan aspek baru bagi hidup perkawinan dan keluarga. Ia memberikan penghargaan terhadap kaum wanita. Ia menekankan kesamaan hak dan kewajiban dalam perbedaan fungsional (peran yang diemban sebagai pria dan wanita). Kaum wanita diundang serta dalam karya penyelamatan. Wanita dilihat sebagai partner pria. Ia bukan sebagai barang atau pemuas kebutuhan pria. Mateus Bab 19 menekankan sifat monogam sebagai sifat ideal perkawinan yang dikehendaki Allah sendiri (Voluntas Dei). Ajaran Yesus tentang perkawinan tidak dapat dipahami di luar konteks sifat monogam. Dengan demikian Kristus mengembalikan perkawinan kepada arti dan sifat yang sebenarnya. Ia memandang sebagai zinah setiap orang yang membangun hidup perkawinan baru setelah menceraikan isteri yang sah. Kesetiaan Tuhan dalam diri Kristus yang setia mencintai GerejaNya itu menjadi inspirasi, motivasi dan kekuatan bagi manusia, khususnya suami isteri untuk menghayati kesetiaan mereka satu sama lain dalam hidup perkawinan. 4. Monogam Dalam Ajaran Gereja, Teologi dan Hukum Gereja 146
A. Ajaran Gereja: Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes no. 4978 Dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, Gereja mengajarkan bahwa perkawinan monogam adalah satu-satunya bentuk perkawinan yang diterima Gereja. “Cinta kasih ini yang berdasarkan kesetiaan timbal balik dan secara khusus diteguhkan sakramen, berarti kesetiaan yang tak terputuskan, yang dalam suka dan duka mencakupi jiwa dan raga dan karenanya menentang zinah dan perceraian “ (GS 49). Sifat monogam perkawinan juga secara implisit dibicarakan dalam hubungan dengan karakter personal perkawinan. Cinta perkawinan berasal dari pribadi seseorang dan diarahkan kepada pribadi yang lain. Ia merangkul secara timbal balik kesejahteraan seluruh pribadi. Dengan kata lain karakater personal perkawinan menunjukkan sifat monogam perkawinan. Hubungan yang unik antara Kristus dan GerejaNya dalam perkawinan sakramental memperkuat sifat monogam perkawinan. Tantangan terhadap sifat monogam perkawinan sebagai satu-satunya bentuk perkawinan yang sesuai dengan aturan penciptaan dan penebusan ini terjadi 78
Dokumen Konsili Vatikan II, R. Hardawiryana (penterj.) (Jakarta: Obor, 1996), p. 571. 147
dalam negara-negara yang mengizinkan perkawinan poligami. Ensiklik Humanae Vitae Paus Paulus VI (no. 9)79 Ensiklik ini juga menyoroti cinta suami isteri yang bersifat utuh dan menyeluruh, setia dan eksklusif. Suami isteri dalam persahabatannya yang khusus dengan segenap hati saling berbagi kasih (sharing kasih) bukan karena apa yang diperoleh tetapi demi pribadi itu sendiri. Cinta mereka itu adalah setia dan eksklusif. Kesetiaan itu selaras dengan hakekat perkawinan, bahkan merupakan sumber kebahagiaan yang mendalam dan lestari (HV 9). Anjuran Apostolik Familiaris Consortio Paus Yohanes Paulus II Dalam anjuran apostolik ini ditegaskan persekutan hidup suami isteri yang dibangun atas dasar perjanjian dan kasih yang menjadikan keduanya samasama dipanggil untuk menghayati kesatuan tersebut dalam keunikannya. “Persekutuan pertama ialah yang terbentuk dan berkembang antara suami isteri berdasarkan perjanjian kasih perkawinannya di mana suami isteri bukanlah dua melainkan satu dan dipanggil untuk senantiasa tumbuh dalam kesatuannya dengan kesetiaan; dengan ini setiap hari mereka 79
Paus Paulus VI, Ensiklik Humanae Vitae, No. 9. 148
berpegang teguh pada janji perkawinan lewat penyerahan diri timbal balik” (FC no. 19). 80 B. Ajaran Teologi: Martabat Pribadi Manusia (Wanita) Salah sartu ciri khas martabat pribadi manusia adalah memiliki makna dan tujuan dalam dirinya yang diciptakan Allah menurut citraNya. Manusia bukan alat untuk mencapai tujuan lain di luar dirinya. Hal ini bertentangan dengan pandangan, sikap dan perlakuan terhadap wanita sebagai barang atau alat yang dapat diganti bila dirasakan sudah tidak berguna lagi. Dalam situasi ini justru wanita (isteri) membutuhkan perhatiaan dan kasih sayang suami yang dapat hilang oleh kehadiran wanita lainnya
Paham Perkawinan
Perkawinan:
Sakramentalitas
Hakekat perkawinan sebagai sakramen menuntut sifat monogam. Yakni sikap yang tunggal dan kesatuan dari perkawinan. Karena perkawinan merupakan aktualisasi dari kesatuan Kristus dengan Gereja (Bdk Ef. 5, 21-32). Dalam Perkawinan, suami isteri menyerahkdan diri dalam hubungan partnership sesuai 80
Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolik Familiaris Consortio, R. Hardawiryana (penterj.) (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2004), p. 35. 149
teladan Yesus dan Gereja. Karena itu poligami harus dihindari.81 Gereja perlu dengan sabar mengatasi bentuk perkawinan poligami, mengingat alasan-alasan tertentu yang melatarbelkanginya (kemandulan, hindari prostitusi, nasib para janda). Gagasan Satu daging Gagasan ini ditemukan baik dalam Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Kitab Suci Perjanjian Baru a.l. Kej. 2,14; Injil Markus 10,8; Injil Mateus 19,5 dan Surat Rasul Paulus Kepada Umat di Efesus 5,31. Ungkapan satu daging menunjukkan perkawinan Kristen Katolik yang bersifat monogam: satu dan utuh.
C. Kitab Hukum Kanonik 1983: Kanon 1056 paragraf 2 menegaskan sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik yakni kesatuan (bonum fidei) dan tak terputuskan (bonum sacramentum). Sifat-sifat ini begitu hakiki sehingga harus dikehendaki dalam memberikan konsensus perkawinan (Kanon 1101 par. 2). Namun perlulah diingat bahwa walaupun sifat-sifat itu dikehendaki, tetapi karena alasan psikologis seseorang tak mampu menepatinya, perkawinan itu menjadi tidak sah (Kanon 1095 par 3: ketakutan, paksaan, gangguan emosi, neureose, gangguan kepribadian: tidak dapat menyesuaikan diri, dll).
81
Kitab Hukum Kanonik, No.1059. 150
Sifat Ekslusif Artinya “penyerahan diri timbal balik hanya terjadi antara keduanya” (KHK 1057 par. 2 : sese mutuo tradunt, yang dalam KHK 1917 kanon 1081 masih digunakan istilah “ius in corpus, perpetuum et exclusivum”) Dari konsep ini timbullah hubungan eksklusif: vinculum natura sua perpetuum et exclusivum, Kanon 1134, yang tak dapat terjadi dengan pihak ketiga. Karena itu hak untuk memberikannya kepada orang lain dicabut dari suami isteri, sehingga prinsip “suka sama suka” tidak berlaku untuk hubungan dengan orang lain, di luar hubungan sebagai suami isteri Kebersamaan nasib dalam seluruh hidup Perkawinan merupakan “totius vitae consortium” (Kanon 1055). Kata “seluruh” harus dimengerti baik secara kuantitatif (seumur hidup) maupun secara kualitatif (menyangkut manusia seutuhnya dalam historisitas dan dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek: jiwa badan, masa lampau – sekarang, untung malang, suka duka, sukses gagal). Dalam hal ini mereka mesti saling memandang dan memperlakukan sebagai subyek kebersamaan dan bukannya obyek. 3.5.2. Sifat Indisolubilis/Ketakterceraian Perkawinan Dalam hidup perkawinan dan keluarga, perceraian merupakan suatu kenyataan yang ditempuh sebagai jalan keluar dari ketidakharmonisan hidup suami isteri. Boleh dikatakan bahwa melangsungkan 151
pernikahan mengandung sebuah resiko untuk selalu siap akan kemungkinan perceraian sebagai alternatip dalam mengatasi persoalan-persoalan hidup perkawinan. Hal ini disebabkan oleh alasan-alasan seperti: perzinahan, kemandulan isteri, kekbebasan yang besar atas seksualitas, Fungsi kontrol keluarga besar telah diganti oleh kebebasan mengatur keluarga-keluarga inti, suasana hidup terpisah jauh dari suami/isteri, Undangundang perceraian yang membawa angin segar bagi perceraian dll. Namun dalam banyak kasus terbukti bahwa perceraian bukanlah satu-satunya jalan yang baik. Banyak pasutri yangmengakui bahwa perkewinan mereka sebenarnya masih bisa diselamatkan tanpa harus bercerai 3.5.2.1. Pengertian Perjanjinan pernikahan itu tidak dapat dibatalkan atas kehendak atau dengan persetujuan pihak-pihak yang melakukan perjanjian itu, kecuali oleh kematian salah satu pihak. Sejak ditetapkan oleh kristus , perkawinan itu adalah perkawinan Kristen yang sah dan tidak dapat diganggugugat oleh kekuasaan manusiawi manapun dan dengan alasan apapun. 3.5.2.2. Ketakterceraian dalam Perjanjian Lama Dalam PL masalah perceraian hanya satu kali disinggung dalam Kejadian 21, 1 –14. Abraham mengusir Hagar atas permintaan Sarah. Dalam penolakan seorang isteri, mas kawin pengantin 152
perempuan tidak diambil lagi. Pria harus bekerja sebagai jaminan perlindungan bagi wanita yang diceraikan secara sewenang-wenang. Membebaskan wanita berarti meninggalkan harta benda. Jadi ketakterceraian lebih dibaca dalam konteks demi keamanan harta benda.
3.5.2.3. Ketakterceraian dalam Perjanjian Baru Dalam PB penegasan tentang ketakterceraian perkawinan itu ditemukan dalam kata-kata Kristus sendiri, misalnya seperti dijumpai dalam Mt 19, 6. Kristus mengatakan bahwa sifat ketakterceraian ini bukan ditetapkan oleh hukum manusia, melainkan dikehendaki oleh Allah sendiri sejak awal mula. Sifat ini kemudian menunuk kepada persatuan-Nya sendiri dengan Gereja yang tak terpisahkan oleh apapun. Bahkan Kristus senantiasa menguduskan gereja-Nya dengan pemberian diri-Nya yang terus menerus. St.Paulus dalam surat-surat-Nya secara khusus dalam suratnya kepada Jemaat di Efesus 5:22-33 menggarisbawahi persatuan Kristus dengan Gereja yang tak terceraikan ini sebagai model atau teladan persatuan suami dan isteri. Singkatnya, Kitab Suci Perjanjian Baru sangat menekankan ketakterceraian perkawinan. 3. 6. Tujuan Perkawinan Tujuan-tujuan perkawinan sangat berhubungan erat dengan tujuan cinta seksual. Namun tujuan 153
perkawinan tidak identik dengan tujuan cinta seksual. Tujuan perkawinan tidak terbatas pada aspek prokreasi tetapi juga pendidikan anak. Selain itu perkawinan kristiani juga bertujuan menciptakan suatu bantuan mutual antara suami isteri dan suatu bentuk pengintegrasian seksual. 1.
Prokreasi dan Pendidikan Anak.
Perkawinan dikehendaki Allah untuk memperoleh turunan. Kitab Suci secara jelas menunjukkan maksud esensial perkawinan Dalam Perjanjian Lama (Kej. 1,28), Allah memberkati pasangan suami isteri pertama pada hari ke enam dan berkata “Berkembangbiak dan beranakcuculah”. Berkat ini memberikan kesuburan kepada perkawinan dan terbuka bagi pengadaan keturunan. Keturunan dilihat sebagai buah dan kepenuhan dari hubungan suami mesra isteri dan isteri. Berkat perkawinan Allah adalah sebuah ungkapan iman Israel bahwa anak-anak adalah hadiah Allah dan bahwa perkawinan seturut kehendak Allah terbuka bagi perkembangan dan penyebaran umat manusia. Berkat keturunan ini mempunyai hubungannya dengan harapan akan almaseh (Kej. 17, 15-16). Pandangan Perjanjian Baru masih dipengaruhi oleh pandangan oleh Perjanjian Lama, walaupun tujuan untuk berketurunan nampaknya kurang ditekankan. Yesus hanya menekankan persatuan yang erat antara suami isteri atas dasar kesetiaan. Pria dan wanita dikehendaki dan diciptakan Tuhan, demikian pula persatuan antara keduanya. Apa yang sudah dipersatukan 154
Allah tidak boleh diceraikan (bdk. Mk. 10,6-8; Mt. 19,46). Dalam bukunya “ De bono Coniugali” (400 AD) Agustinus, seperti dikutip oleh Al. Purwa Hadiwardoyo, menegaskan bahwa perkawinan kristiani mempunyai tiga tujuan yang luhur (“bonum”) yakni “bonum prolis” (makna prokreatif); “bonum fides” (makna kesetiaan) dan “bonum scramentum ( kesatuan erat karena ciri sakramental yang yang melambangkan hubungan cinta Gereja dengan Kristus kepalanya). Istilah “sacramentum” ini tidak hanya dikenai bagi hubungan Kristus dengan GerejaNya tetapi juga hubungan suami dan isteri. Bagi Agustinus “bonum proles” merupakan dasar yang utama dan sah dari perkawinan. Setiap tindakan seksual hanya dibenarkan dalam konteks perkawinan. Karena itu perkawinan dibuat demi memperoleh keturunan (penerusan hidup manusia “propter generationem prolis: cohonestatio). Itulah kehendak Allah. Pandangannya ini bertolak dari relfleksinya atas teks Kej. 2,18 dan 1 Tim. 5:14. Perkawinan disebut “matrimonium” karena isteri/wanita dimaksudkan untuk menjadi “mater”, ibu. Hal ini membawa beberapa konsekuensi lanjut seperti : 1. Prokreasi menjadi satu-satunya motip sanggama. 2. Untuk sanggama dituntut motip prokreatif 3. Sanggama melampaui keperluan prokreasi dipandang sebagai dosa.
155
4. Minta bersanggama bertentangan dengan 1 Kor. 7)
adalah
dosa
(Ini
Demi kesetiaan pasangan boleh memenuhi kewajiban suami/isteri agar pihak yang lain jangan berdosa. Boleh memberi tak boleh meminta. Pandangan St. Agustinus sangat mempengaruhi ensiklik “Casti Conubii dan Bapak-bapak Konsili Vatikan II.82 St. Thomas Aquinas, sebagaimana dikutip Al. Purwa Hadiwardoyo, berusaha menjelaskan hubungan antara tujuan prokreatif dan tujuan unitip perkawinan. Hubungan seksual menurut kodratnya yang khas manusiawi (antara suami isteri) pada keturunan dan pendidikan dari anak-anak yang dilahirkan itu. Pendidikan anak menuntut adanya kesatuan suami isteri yang tetap (stabil). Dengan kata lain, perkawinan menurut kodratnya mempunyai tiga unsur yakni: unsur prokreatif yang berasal dari “officium naturae”; unsur sosial yang berasal dari “officium communitatis” ; dan unsur religius yang berasal dari “sacramentum”. Unsur sosial perkawinan mencakupi juga cinta kasih antara suami isteri yang saling mencintai dan bersedia bersamasama mendidik anak-anak mereka. Bagi Thomas, unsur yang berasal dari kodrat umum (procreatio) disebut sebagai tujuan “primer” sedangkan unsur yang berasal dari kodrat khas manusiawi (kesatuan suami isteri) dipandang sebagai 82
Al. Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan dalam Tradisi Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), pp.33-34. 156
tujuan “secunder”. Karena kesatuan itu toh akhirnya terarah kepada anak-anak yakni pendidikan mereka. Istilah primer dan sekunder di sini tidak menunjukkan hierarki nilai. Dengan demikian tujuan prokreatif tidak lebih tinggi dari tujuan unitip. Ia bahkan menekankan unsur sakramental, melaluinya cinta suami isteri mengambil bagian dalam cinta kasih Kristus dan Gereja sebagai nilai tertinggi. Thomas hanya mau menegaskan bahwa dilihat dari segi kodrati (biologis) dan segi obyektip perkawinan mempunyai tujuan primer pada proles /anak/keturunan.83 Para tokoh Katolik abad XVI-XIX tidak tertarik untuk membicarakan tujuan perkawinan. Kalaupun ada mereka hanya mengulangi pikiran-pikiran terdahulu dari zaman Skolastik, terutama pandangan St. Thomas Aquinas. Mereka juga masih menggunakan istilah tujuan primer dan sekunder seturut pemahaman St. Thomas. Namun ada juga yang menggunakan istilah itu secara berbeda yakni yang bernuansa hierarkis nilai. St. Alfonsus Liguori (Abad XIX) berbicara tentang tujuan perkawinan yang beragam baik yang bersifat intrinsik maupun tujuan-tujuan yang bersifat ekstrinsik. Tujuan intrinsik dapat dibedakan lagi atas tujuan intrinsik esensial perkawinan dan tujuan intrinsik aksidental perkawinan. Tujuan intrinsik esensial perkawinan adalah “serah diri” yang membawa hak dan kewajiban atas hubungan seksual dan ikatan tak terceraikan. Tujuan instrinsik aksidental perkawinan
83
Ibid., pp.45-48. 157
adalah keturunan dan pemenuhan nafsu seks. 84 Mereka yang menikah dan mengabaikan tujuan intrinsik esensial perkawinan menikah dengan tidak sah, sedangkan yang mengabaikan tujuan intrinsik aksidental, tetap menikah secara sah (misalnya pernikahan antara dua orang yang sudah uzur/lansia). Tradisi Gereja Katolik umumnya mengakui tiga tujuan penting perkawinan yakni keturunan, persatuan erat suami isteri dan pemenuhan kebutuhan seksual secara benar. Kitab Hukum Kanonik 1917 menunjukkan tingkatan tujuan-tujuan perkawinan dengan menggunakan istilah tujuan primer dan tujuan sekunder. Tujuan primer perkawinan adalah kelahiran dan pendidikan anak. Tujuan sekunder perkawinan adalah kerja sama suami isteri dan pemenuhan kebutuhan seksual (CIC 1917 no. 1013). Paus Pius XI pada tahun 1930 mengeluarkan ensiklik “Casti Conubii”. Ia mempertahankan pandangan tradisional tentang perkawinan, sambil memasukan nilai personal dari perkawinan yakni unsur cinta kasih suami isteri. Cinta suami isteri dilihat sebagai sebab dan pendorong utama perkawinan sejauh perkawinan dilihat sebagai persekutuan hidup (AAS 1930). Tetapi sebagai lembaga prokreatif dan edukatif, tujuan pokok perkawinan ialah kelahiran dan pendidikan anak. Perkawinan adalah institusi ilahi dengan tujuan utama keturunan. Ensiklik ini menegaskan kembali tiga bonum coniugi yang dikemukakan oleh Agustinus. Proles mendorong suami isteri menerima anak-anak dengan penuh cinta, memberi nafkah secara layak, dan mendidik 84
Ibid., p.60. 158
secara agamawi; fides memberikan kesetiaan sehingga suami isteri tidak mempunyai ikatan dengan orang lain, dan sacramentum menyatukan mempelai sehingga tak bercerai. Paus Pius XII kembali menegaskan tujuan utama perkawinan yakni menurunkan dan mendidik anak seperti yang dirumuskan dalam KHK 1917: “Perkawinan sebagai lembaga kodrati atas kehendak pencipta mempunyai tujuan pertama untuk melahirkan dan mendidik anak, bukan untuk menyempurnakan pribadi suami isteri. Tujuan lain bersifat sekunder dan harus tunduk pada tujuan pertama….” Hal ini dinyatakan dalam pidatonya di hadapan Ikatan Bidan Italia (29 Oktober 1951, art. 41). Cinta suami isteri harus diabdikan bagi penerusan umat manusia, dan perlu bagi pendidikan anak. Paus menolak tekhnik prokreasi inseminasi artifisial karena bertentangan dengan sifat unitip perkawinan. Paus juga menekankan penghormatan terhadap martabat kehidupan baru sebagai anugerah Allah melalui perkawinan yang harus dihormati dan diperjuangkan, dibela dalam menjalankan profesi sebagai bidan. Mereka harus membantu suami isteri untuk melihat anugerah dan kebaikan Allah dalam hidup baru dan menerima, memelihara dan merawatnya dengan penuh rasa syukur. Kitab Hukum Kanonik 1983 menghindari pemakaian istilah tujuan primer dan tujuan sekunder. Dalam kanon 1055 ditegaskan bahwa “ Perjanjian perkawinan dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak”. Pemenuhan kebutuhan seksual tidak 159
lagi disebut sebagai tujuan perkawinan. Maka hubungan seksual harus lebih dimengerti sebagai salah satu sarana untuk mencapai kesejahteraan suami isteri dan untuk prokreasi. Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes dalam artikel-artikelnya (47-52) berbicara juga tentang perkawinan kristiani. Di antaranya adalah tentang tujuan prokreatif dari persatuan seksual yang merupakan salah satu tujuan dasar perkawinan. “Perkawinan dan cinta kasih suami isteri dari kodratnya diarahkan untuk mengadakan dan mendidik keturunan. Memang anak-anak adalah anugerah perkawinan yang paling utama dan sangat membantu kebahagiaan orang tua… Maka tanpa mengesampingkan tujuan-tujuan perkawinan yang lain, pembinaan cinta kasih suami isteri yang sejati dan seluruh cara hidup keluarga yang bersumber padanya, bertujuan agar suami isteri bersedia dengan jiwa yang mantap bekerjasama dengan cinta kasih Pencipta dan Juruselamat, yang makin hari makin memperluas dan memperkaya keluargaNya dengan perantaraan. Orang tua harus menyadari tugas perutusan utamanya untuk menyalurkan hidup manusiawi baru dan mendidik mereka (GS 50; bdk. GS 48). Meskipun keluarga dewasa ini membatasi jumlah anak-anak dengan alasan-alasan yang mendasar, dan meskipun aspek cinta dan bantuan mutual dalam perkawinan dewasa ini sangat ditekankan dari pada sebelumnya, banyak pasangan dengan penuh antusias menginginkan keturunan. Hal itu terbukti dari banyaknya pasangan mandul yang begitu bersemangat untuk memperoleh anak juga melalui adopsi. Kenyataan ini membuktikan bahwa seksualitas dan lembaga 160
perkawinan melihat anak sebagai salah satu tujuan penting yang melekat pada hakekat perkawinan itu sendiri. Lembaga perkawinan dan keluarga menciptakan kondisi yang penting bagi prokreasi dan pemeliharaan anak-anak. Mereka mempersiapkan hal-hal yang penting bagi cinta perkawinan dan buah-buahnya, yakni anakanak. Karena itu hubungan seksual secara hukum sah hanya dalam sebuah ikatan perkawinan. Karena alasan-alasan yang mencukupi orangorang yang menikah diijinkan menghindari keturunan oleh persetujuan bersama, walaupun hal ini hanya merupakan kasus yang sangat langkah terjadi. Dengan demikian sebuah perkawinan sah jika kedua belah pihak setuju untuk mengadakan hubungan seksual pada masa tidak subur sebab mereka menderita sakit bawaan dan mereka ingin mengelahkan penderitaan bagi keturunan yang mungkin terlahir dari hubungan seksual mereka itu. Hal ini harus selalu dilakukan melalui persetujuan bersama, bukannya menghalangi hak asasi akan persatuan dalam masa subur (Bdk. CIC 1096 par.1 dan CIC 1101 par.2). Menegaskan pandangan pendahulunya Pius XII, Paus Paulus VI menegaskan bahwa setiap tindakan seksual suami isteri harus tetap terbuka terhadap adanya keturunan. Sebab dari kodratnya hubungan seksual harus mempunyai dua makna yakni makna prokreatif dan makna unitip. Karena itu pembatasan kelahiran dengan menggunakan alat-alat kontrasepsi yang bersifat abortif dan memandulkan dilarang. 85 85
Ibid., pp.63-71. 161
Namun dari segi teologi Paulus VI mengemukakan pandangan baru. Ia tidak lagi menggunakan istilah tujuan primer dan sekunder. Pertama-tama ditegaskan bahwa perkawinan harus didasarkan dan dijiwai oleh cinta suami isteri. Cinta suami isteri itu harus mempunyai sifat-sifat seperti, manusiawi, penuh, setia dan ekslusif dan terbuka pada turunan (HV 9). Anak-anak dilihat sebagai mahkota dan anugerah perkawinan.
2. Bantuan Mutual dan Pemenuhan Cinta Tujuan penting lainnya diperoleh melalui perjanjian perkawinan adalah bantuan mutual dan pemenuhan cinta dari pasangan suami isteri itu. Dalam perkawinan, pria dan wanita “saling membantu dan melayani dalam persatuan pribadi dan karya yang mesra (GS 48.). Pria dan wanita dengan karunia dan kemampuannya yang berbeda-beda saling melengkapi secara sempurna dalam perjanjian ini. Tujuan perkawinan ini diteguhkan dalam pernyataan di taman Firdaus dalam kitab Kejadian. Alasan mengapa Tuhan memberikan isteri kepada suami adalah untuk saling membantu dan sebagai teman. “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia (Kej. 2,18-25). Demikianlah Allah menjadikan wanita. Ketika melihatnya Adam berseru: “Inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” dan Kitab Suci mengakhirinya dengan “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan 162
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2,23f). Perkawinan dikehendaki Allah untuk menyatukan pria dan wanita seerat-eratnya, agar mereka saling menolong dalam kesamaan martabat. Karena itu dikisahkan bagaimana manusia pertama tidak bahagia berada sendirian di tengah taman Eden. Ungkapan satu daging menegaskan secara sangat konkrit dan hidup cara persatuan timbal baik suami isteri sebagai akibat dari perkawinan. Hal itu mengandaikan bahwa perkawinan bukan hanyalah suatu ikatan, tetapi membangun suatu keberadaan baru, kebersamaan, suatu aktualitas yang tidak pernah dapat dipisahkan. Kitab Suci Perjanjian Baru menegaskan persatuan erat antara suami isteri yang monogam dan tak terceraikan (Bdk. Mk. 10,6-8; Mt. 19, 4-6). Bantuan mutual yang saling diberikan oleh pria dan wanita dalam ikatan perkawinan bagaimanapun juga tidak boleh hanya dimengerti sebagai kebersamaan dalam kegembiraan dan keceriaan, tetapi juga dalam solidaritas yang mendalam dalam penderitaan dan kesusahan ( untung malang, sakit-sehat, dll.). Perbandingan antara perkawinan manusiawi dan persatuan antara Kristus dan Gereja yang dikutip dari surat St. Paulus kepada umat di Efesus (5,21-33). “Hanyalah dapat dibenarkan sejauh cinta dalam keluarga menunjukkan jenis cinta yang Kristus ajarkan dan ilhamkan. Itu adalah cinta seseorang akan yang lain seperti dirinya sendiri. Itu adalah cinta di dalamnya salib mendapatkan tempat. Dengan demikian itu adalah cinta yang tahan uji terhadap kekecewaan, cinta yang loyal, cinta yang tahan uji terhadap kegagalan – kegagalan, 163
cinta yang memenuhi yang diharapkan satu sama lain, untuk menciptakan kegembiraan, untuk menemukan cinta yang memuaskan. Itu adalah cinta dan loyalitas yang tetap berlangsung juga ketika pembicaraan manusia itu terasa tanpa alasan, seperti salib Kristus yang dalam pandangan manusia sia-sia, tetapi mendatangkan keselamatan dan kebaikan. St. Bonventura (Teolog Skolastik abad XIIIXV), seperti dikutip oleh Hadiwardoyo, berpendapat bahwa perkawinan menyatukan suami isteri dalam dua segi, yakni segi rohani dan segi jasmani. Berdasarkan teladan perkawinan keluarga Kudus dapatlah disimpulkan bahwa keturunan bukanlah satu-satunya tujuan perkawinan. Sebab perkawinan juga ditujukan pada kesetiaan, cinta kasihdan penyempurnaan timbal balik suami isteri . Semakin suami isteri bersatu secara rohani, semakin pula mereka disatukan dengan Allah dan dengan Kristus. Paus Pius XI melihat perkawinan juga merupakan sebuah persekutuan hidup. Dengan demikian aspek personal perkawinan , yakni cinta suami isteri mendapat perhatian. Cinta suami isteri adalah sebab dan pedorong utama perkawinan. Inilah keseluruhan perkawinan dalam Tuhan. Tentu saja kebenaran bahwa salib mempunyai tempat dalam perkawinan kristen tidak berarti takhluk kepada ketidakbahagiaan dan kegagalan. Orang kristen selalu melakukan apa saja untuk membangun dan menjaga suatu kehidupan keluarga yang bahagia. Tetapi itu berarti juga belajar dari kemalangan dan menjadikan hidup perkawinan dan keluarga sebagai sekolah cinta dan sumber buah berlimpah bagi kerajaan Allah. 164
3. Pengintegrasian seksualitas Tujuan lain dari perkawinan sering disebut sebagai obat dan pengendalian hawa nafsu (remedium concupiscentiae). Dalam rumusan yang lebih positip tujuan ketiga ini dapat disebut sebagai sebuah usaha dan bentuk pengintegrasian seksualitas. Sehubungan dengan ini perkawinan dipandang sebagai bantuan untuk mengatur dan mengarahkan hawa nafsu, untuk mencegah penghayatan seksualitas yang salah menuju kepada suatu penghayatan seksualitas benar dalam cinta perkawinan. Tujuan perkawinan ini dikemukakan St. Paulus dalam Surat pertamanya kepada umat di Korintus (1 Kor. 7). Dia menghimbau orang-orang yang tidak nikah dan para janda yang masih single untuk hidup sesuai dengan statusnya. Namun “jika mereka tidak dapat menahan diri, hendaknya mereka kawin. Karena lebih baik kawin dari pada hangus oleh hawa nafsu (ay. 9). Surat pertama kepada Timoteus juga memberikan anjuran senada yakni agar para janda muda tidak kawin. Sebaliknya, penulis menghendaki mereka nikah karena beberapa darinya telah menyimpang (I Tim. 5,11-15). Alasan mengapa mereka hendaknya kawin adalah pemenuhan nafsu. Kedua jenis kelamin diciptakan sedemikian bijaksana sehingga mereka tidak hanya saling melengkapi, tetapi juga mereka saling menginginkan secara seksual. Melalui dukungan kodrati stabilitas perkawinan, yang diinginkan anak-anak dan yang juga memberikan suatu jaminan yang lebih besar akan 165
bantuan pasangan yang tetap. Keinginan akan pemenuhan kebutuhan seks akan terus berada juga bila pasangan itu tidak dikaruniai anak. Satu-satunya tempat pemenuhan pemuasan yang teratur dan bersamaan dengan itu kebutuhan-kebutuhan emosional dan material bagi pemenuhan mutual dan bantuan secara pasti adalah ikatan persatuan yang tetap, seperti perkawinan. Karena alasan ini pria dan wanita memiliki hak untuk kawin. Benar bahwa tidak semua orang mempunyai kecenderungan seksual yang sama kuat dan berada dalam cara yang sama membutuhkan bantuan-bantuan dari perkawinan. Bagaimanapun juga haruslah menjadi perhatian masyarakat untuk menawarkan kemungkinan perkawinan kepada anggota-anggotanya karena sebagian besar pria dan wanita membutuhkan hal ini. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya persoalan-persoalan besar dalam hal orang-orang yang diceraikan yang ditinggalkan tanpa partner, seringkali bukan karena kesalahan mereka. Masalah tersebut harus dibicarakan secara mendetail dalam pembicaraan tentang perceraian. Pengaturan hawa nafsu tentunya tidak boleh dimengerti secara terpisah dan sederhana terbatas pada pemenuhan insting seksual. Pasutri harus menunjukkan perhatian bagi kebutuhan seksual dan emosional dari partnernya, melaluinya tercapailah cinta dan perhatian yang timbal-balik. Pemenuhan dorongan naluri seksualitas yang berarti akhirnya harus sesuai dengan pelayanan terhadap tujuan-tujuan perkawinan lainnya seperti yang dimaksudkan Pencipta.
166
3.7. Seksualitas dan Perkawinan Dalam Tradisi Kristen: Sebuah Rangkuman Dalam sejarah Gereja, seksualitas dan perkawinan tidak hanya ditemukan dalam uraian dan pandangan Kitab Suci,tetapi juga dalam sejumlah pandangan dan refleksi dari para teolog dan Bapa-Bapa Gereja. Berikut ini akan dijelaskan pandangan dan refleksi dari para teolog dan Bapa-Bapa Gereja itu dari abad ke abad. 3.7. 1. Pandangan Bapa-Bapa Gereja (Abad II-V) ● Pada umumnya Bapa-Bapa Gereja dari abad II – V sungguh menyadari hakikat perkawinan sebagaimana dijelaskan oleh Kitab Suci. Namun karena adanya pandangan dari orang-orang sezaman yang bukan Kristen tentang seksualitas dan perkawinan, maka mereka berusaha memberikan pandangan yang khas Katolik tentang seksualitas dan perkawinan itu sendiri. ● Di kalangan Kristen sendiri waktu itu ada dua kelompok yang cukup ekstrem dalam menilai perkawinan. Kelompok pertama, antara lain kaum Gnostik dan Montanist memiliki pandangan yang rigoristik. Perkawinan dan hubungan seksual dinilai rendah, karena memang mereka menilai badan dan seks adalah penjara jiwa yang bersifat luhur. Kelompok kedua, memilliki pandangan yang laksistik. Artinya, mereka begitu mengagungkan perkawinan dan seksualitas serta menyebutnya lebih luhur dari pada bentuk hidup selibat demi Kerajaan Allah. Kelompok ini diwakili oleh Elvidius, Yovinianus dan Vigilantus. 167
● Berhadapan dengan kedua ekstem ini para Bapa Gereja memberikan sikap dengan menegaskan kesucian martabat perkawinan, dan sekaligus menggarisbawahi pokok ajaran Yesus sendiri tentang keluhuran hidup tidak menikah demi Kerajaan Allah. Menurut Bapa Gereja perkawinan itu luhur karena melambangkan hubungan cinta antara Kristus dan Gereja. Sikap ini tampak dalam diri Ambrosius (Uskup Milan) dan Origenes. ● Perkawinan adalah lambang (dalam pengertian Platonis) artinya: perkawinan membuat suami isteri berpartisipasi dalam hubungan cinta antara Kristus dan Gereja, dan mewujudkan hubungan cinta tersebut. Dengan ini Bapa-Bapa Gereja mengamini karakter Sakramental dari Perkawinan Kristiani. Akan tetapi dengan tidak menggunakan daya-daya seksual dalam ikatan perkawinan, mereka yang memilih selibat demi Kerajaan Allah pun melambangkan secara lebih jelas relasi cinta antara Kristus dan Gereja itu. Perlu diketahui bahwa para Bapa Gereja abad II-V hidup pada zaman yang kuat dipengaruhi oleh pemikiran Yunan dan Romawi; yang menilai perkawinan sebagai lembaga sosial dengan tujuan utama pembagian warisan dan demi mendapatkan keturunan yang sehat serta sah di mata masyarakat umumnya. Anak menjamin terpeliharannya harta benda serta warisan dalam keluarga. Ikatan cinta kasih memang ada, tapi itu hanya bersifat sekunder. Realitas ini memunculkan padangan sebagai berikut: a) Clemens dari Alexandria: perkawinan bertujuan untuk menurunkan anak-anak secara sah (Stromathesis, II, 17,1). Dengan ini maka 168
hubungan seksual yang dilakukan bukan demi tujuan prokreatif adalah pemerkosaan terhadap kodrat. Di samping itu ia juga menandaskan terciptanya ikatan kebersamaan hidup dalam perkawinan, yang memberi peluang bagi pengembangan kepribadian suami dan isteri. Jadi perkawinan tidak semata-mata untuk tujuan prokreasi. b) Yohanes Chrisostomus. Baginya perkawinan merupakan jalan untuk menata hawa nafsu seksual. Dia bahkan menganjurkan para isteri untuk berupaya memenuhi kebutuhan seksual suami mereka, agar mereka tidak jatuh ke dalam perzinahan (De Virginitate, 48). Di sisi lain aspek keharmonisan dan unitas antara suami dan isteri (homonoia) merupakan manfaat tertinggi dari perkawinan. Meski masyarakat pada zaman itu membolehkan perceraian, namun bapa-bapa Gereja tetap menekankan sifat eksklusif dan tak terceraikan dari perkawinan. ● Poligami ditentang keras oleh Bapa-Bapa Gereja pada zaman itu. Hal ini bisa terlihat dalam ajaran Yustinus: mereka yang menikah untuk kedua kalinya adalah pendosa (1Ap. 15,5). Clemens dari Alexandria pun mengatakan bahwa Gereja hanya mengakui sah perkawinan yang pertama saja (Stromatheis II, 137). Teofilus menulis: di antara keutamaan-keutamaan Kristen yang dapat disebut antara lain bahwa perkawinan mereka bersifat monogami (ad Aut. 3,15). ● Para Bapa Gereja juga menegaskan karakter tak terceraikan dari perkawinan Katolik. Meski ada pelbagai 169
perbedaan penafsiran atas teks Mat 19:9, toh para bapa Gereja menegaskan bahwa perkawinan berciri tak terceraikan dan monogam, karena perkawinan melambangkan dan menghadirkan hubungan cinta antara Allah dan manusia dan terutama hubungan cinta antara Kristus dan Gereja. ● Agustinus dari Hippo. Dia menentang konsep manikheisme yang meremehkan martabat perkawinan dan juga Yovinianus yang lebih mengagungkan hidup perkawinan daripada selibat demi Kerajaan Allah. Begitu juga melawan Pelagianisme yang mengatakan bahwa hawa nafsu seks seluruhnya itu baik, Agustinus pun mengkategorikan hawa nafsu seks sebagai jahat kalau itu berada di luar dari tujuan atau naluri prokreatif yang luhur, suci. Berikut ini kita akan melihat beberapa pandangan Agustinus tentang seksualitas dan perkawinan: a) Meski perkawinan itu lebih rendah dari selibat demi Kerajaan Allah, ia tetap memiliki martaba yang luhur, karena didirikan dan diberkati oleh Allah dan direstui Kristus serta terbukti dalam Kitab Suci. Dengan ini perkawinan pun bisa menjadi jalan keselamatan, sebab melalui komunitas suci ini suami dan isteri masuk ke dalam Masyarakat Allah (Civitas Dei), yakni kelompok orang-orang yang telah diselamatkan. b) Ada 3 (tiga) makna luhur dari setiap perkawinan Kristiani sebagaimana dirumuskan oleh St.Agustinus dalam buku ‘De Bono Coniugali’ (400 AD), yakni: bonum prolis (makna prokreatif), bonum fides (makna kesetiaan), dan bonum sacramentum (makna kesatuan atau ikatan yang erat, karena
170
melambangkan hubungan cinta sempurna antara Kristus dan Gereja-Nya). ● Agustinus sama sekali tidak membahas tujuan dari perkawinan secara jelas. Namun konsepnya tentang ‘bonum’ perkawinan ini sudah cukup menjelaskan pemahamannya atas tujuan dari perkawinan itu. Tentang bonum prolis dia menulis: ‘keturunan merupakan dasar yang utama dan sah dari perkawinan’ (De Coniugis Adult.’, XII, 12). Alasan utamanya adalah kenyataan perbedaan seksual laki-laki dan perempuan, yang menurut Agustinus tidak lain dimaksudkan demi keturunan. ● Argumen yang digunakan Agustinus untuk membenarkan pendapatnya ini adalah teks Kej 2:18 dan I Tim 5:14. Allah menghendaki agar perkawinan itu terarah demi penerusan hidup manusia. Sebab kata Matrimonium yang adalah perkawinan itu sendiri tidak lain karena kenyataan isteri yang kemudian disebut ‘mater’ oleh kehadiran dan kelahiran anak-anak. Dengan ini dia menegaskan agar para suami kristiani hanya melakukan hubungan seksual dengan isteri mereka demi alasan menjamin kemurnian cinta perkawinan dan perlindungan terhadap manusia baru yang lahir dari perkawinan itu. 3.7. 2. Permulaan Abad Pertengahan (Abad V-X) ●Sejak abad V ada semacam peralihan proses peneguhan perkawinan dari pemerintahan sipil kepada kewenangan gereja. Hal ini dikarenakan adanya peraturan-peraturan yang lebih terinci dan tegas dalam perkawinan Kristen.
171
●Pada abad ini pula ada keterpecahan pandangan di kalangan tokoh gereja tentang keabsahan perkawinan. Kelompok pertama menegaskan bahwa perkawinan itu sah jika suami isteri sudah menyarakan ‘consensus’ secara sah. Sementara kelompok lain menyatakan bahwa perkawinan baru menjadi sah apabila sudah ada hubungan seksual (consummatio) atau juga disebut copula carnalis. ● Para tokoh gereja pada awal abad pertengahan tetap mempertahankan makna perkawinan yang telah disampaikan oleh para Bapa Gereja, yakni: makna sakramental (dalam arti luas) dari perkawinan, yang diteguhkan melalui upacara liturgis yang dihadiri oleh seorang imam. Tokoh yang amat berperan pada abad ini adalah Isidorus dari Sevilla. Meski menekankan makna sakramental, para tokoh gereja abad ini pun mempertahankan makna prokreatif dari perkawinan. Isidorus dari Sevilla secara jelas mengatakan bahwa sebelum ada dosa, wanita memang diciptakan untuk ‘menemani’ pria sehingga berbahagia di dunia; namun setelah ada dosa wanita diberikan kepada pria bukan untuk kebutuhan seksual, melainkan untuk meneruskan keturunan. Itu berarti perkawinan terarah pada kelanjutan keturunan. ● Perhatian utama yang diberikan oleh para tokoh gereja abad V-X adalah litrugi pernikahan dan aspek-aspek hukum dari perkawinan itu sendiri: soal consensus dan consummatio. Ciri perkawinan tetap sama yakni: monogami dan tak terceraikan. ●Meski ada kesulitan dalam penafsiran teks Mat 19:9 (Mat 5:27-32) toh semua sepakat bahwa perkawinan melambangkan ikatan cinta antara Kristus dan Gereja, 172
karena itu bersifat monogam dan tak terceraikan. Ciri ini mendapat tantangan terutama dari hukum sipil yang membolehkan perceraian (seturut hukum Romawi) dan perkawinan baru dalam kasus seperti perzinahan. Hukum ini ditetapkan oleh Kaisar Yustinus I (527-565). 3.7. 3. Menjelang Zaman Skolastik (Abad XI-XII) ● Pada masa ini ada kesepakatan bahwa perkawinan berbada di bawah wewenang hukum gereja, sehingga ada tendensi pemahaman perkawinan sebagai peristiwa keagamaan. Meski demikian tetap ada perbedaan pendapat tentang keabsahan perkawinan: antara consensus dan consummatum. Para pendukung tentang perlunya consensus adalah: Petrus Damianus; Ivo dari Chartes (+1116); Hugo dari San Vitore (+1141); Petrus Lombardus. Para pendukung perlunya consummatum: Anselmus (+1117) dan para pengikutnya; Wilhelm Champeaux (+1121); Gratianus (+1140). ● Perbedaan pendapat ini kemudiaan didamaikan oleh Paus Alexander III (+1181) yang mengatakan bahwa melalui consensus perkawinan itu disahkan, namun menjadi tak terceraikan setelah ada ‘consummatio.’ ●Selanjutnya ada refleksi teologis tentang makna sakramental perkawinan di samping peneguhannya secara gerejani dengan suatu upacara liturgis khusus. Namun kebanyakan teolog abad XI-XII sepakat bahwa perkawinana merupakan simbol kesatuan Kristus dan Gereja. Lebih jauh dari itu Anselmus dari Lahon (+1117) dan para pendukungnya lebih melihat tidak hanya unusur ‘sacramentum’ dalam perkawinan tapi juga ‘res sacramenti’ dalam perkawinan kristen: aspek 173
sacramentum perkawinan menunjuk pada kesatuan Kristus dan Gereja dan ‘res sacramenti’ karena suami isteri berpartisipasi dalam kenyataan luhur yang dilambangkan itu, artinya sejauh suami isteri menjadi anggota Gereja, Tubuh Kristus itu sendiri. ●Perkawinan akhirnya untuk pertama kali diakui sebagai salah satu sakramen dalam konsili Verona (1184) sama seperti baptis, tobat dan ekaristi (DS 761). Selama abad XI-XII pemahaman tentang tujuan perkawinan dalam konteks sejarah keselamatan tidaklah sama: artinya sebelum manusia jatuh dalam dosa, perkawinan secara ‘ad officium’ bertujuan untuk melanjutkan keturunan; namun setelah kejatuhan dalam dosa, perkawinan merupakan tugas ‘ad officium’ yang terarah kepada tujuan prokreasi, dan sekaligus sarana ‘ad remedium’ yakni untuk menata nafsu seksual. ●Para tokoh gereja pada abad XI-XII umumnya mendasarkan pendapat mereka tentang ‘unitas’ dan ‘indissolubilitas’ perkawinan Kristiani pada ‘sakramentalitas’-nya: sama seperti hubungan Kristus dan Gereja itu total dan tak terpisahkan, maka demikianlah perkawinan Kristiani pun menghadirkan dan melambangkan ciri itu: monogam dan tak terceraikan. Pertanyaannya tetap sama: kapan perkawinan itu disebut benar-benar sah dan tak terceraikan? Sejak consensus atau sejak ada consummatio? Di antara sekian banyak perbedaan pendapat, misalnya Petrus Damianus (Abad XI) yang menekankan keabsahana perkawinan sejak ada consensus dan Anselmus (+1117) yang mengatakan keabsahan perkawinan sejak ada conssumatio, maka Paus Alexander III (+1181) mengajarkan demikian: 174
perkawinan Kristiani sudah sah sejak ada ‘consensus’, namun baru sepenuhnya tak terceraikan apabila sudah ada conssumatio. Dan mulai saat inilah perkawinan Kristiani dikatakan tak terceraikan kalau sudah merupakan: matrimonium ratum et conssumatum. 3.7. 4. Zaman Skolastik (Abad XIII-XV) ● Melalui kesepakatan dan ketetapan dari tiga orang paus: Alexander III (1159-1181), yang kemudian ditegaskan lagi oleh Paus Innocentius III (1198-1216) dan Gregorius IX, maka gereja menegaskan bahwa perkawinan itu sah jika ada consensus, dan menjadi tak terceraikan apabila telah disempurnakan dengan consummatio. ●Peranan para teolog Skolastik adalah kontribusinya terhadap pemahaman akan arti sakramentalitas perkawinan, yakni dengan menjelaskan relasi antara perkawinan dan rahmat, entah itu rahmat yang memang ada pada setiap sakramen, maupun rahmat yang terkandung dalam perkawinan sakramental. Ada beberapa pendapat: Wilhelm dari Auxerre (+1231): Perkawinan kristen adalah sakramen yang mempertahankan adanya rahmat dalam diri orang Kristen, walau tidak menambah rahmat yang baru. Bonaventura: perkawinan tidak hanya mempertahankan rahmat yang sudah ada, tetapi juga memberikan rahmat baru, meski hanya bersifat ‘medicinalis’ yakni menyembuhkan suami isteri dari hawa nafsu yang tidak teratur. Albertus Magnus dan Thomas Aquinas: Sakramen Perkawinan tidak hanya memberi rahmat ‘medicinalis’, tapi juga memberi rahmat ‘in ordine ad 175
bonum’ artinya bantuan adi kodrati bagi suami isteri agar bisa menjalankan tugas mereka sebagai suami isteri (Contra Gentiles IV,78; ST III, 65, 1). ●Tentang forma dan materia dari sakramen perkawinan, Thomas Aquinas menjelaskan: materia dari sakramen perkawinan adalah semua tindakan lahiriah yang dilakukan demi peneguhan nikah, sedangkan forma dari sakramen itu adalah ucapan dari suami dan isteri yang menyatakan ‘consensus’ mereka. ●Mengenai peranan perkawinan dalam sejarah keselamatan, para teolog Skolastik menjelaskan: sebelum ada dosa, perkawinan ditetapkan Allah ‘ad officium’ untuk memberi tugas pada pria dan wanita untuk tujuan prokreasi, meneruskan generasi manusia, citra Allah sendiri; setelah kejatuhan dalam dosa, perkawinan diperkenankan Allah sebagai ‘remedium concupiscentiae’; dan akhirnya oleh Kristus sendir perkawinan itu diangkat menjadi ‘signum efficax’ dari rahmat Allah dan ‘sacramentum Novi Testamenti’ ●Tokoh penting pada zaman skolastik yang membicarakan tujuan perkawinan adalah: Bonaventura dan Thomas Aquinas. Bonaventura melihat bahwa perkawinan menyatukan suami –isteri dalam dua aspek, yakni: rohani dan jasmani. Merujuk pada perkawinan Yosef dan Maria, maka prokreasi bukanlah tujuan satusatunya dari perkawinan, meski tetap utama. Ada tujuan lain perkawinan, yakni: kesetiaan, cinta kasih, dan penyempurnaan timbal balik suami dan isteri. Semakin mereka bersatu secara rohani, maka semakin mereka dipersatukan dengan Allah dan dengan Kristus. ● St.Thomas Aquinas kemudian memberikan uraian yang lebih terperinci mengenai korelasi antara tujuan 176
prokreatif dan tujuan unitif dari perkawinan. Menurutnya hubungan seksual , yang secara umum merupakan kenyataan kodrat juga pada binatang, terarah kepada keturunan. Namun, sebagai suatu kenyataan yang manusiawi (kodrat yang khas manusiawi), hubungan seksual pun terarah kepada pendidikan dari anak-anak yang dilahirkan itu. Pendidikan ini hanya mungkin kalau ada kesatuan yang stabil di antara suami dan isteri. Untuk itu perlu ada perkawinan. Singkatnya, menurut Thomas ada tiga unsur penting yang terlahir dari kodrat perkawinan itu sendiri, yakni: unsur prokreatif (officium naturae), Unsur sosial (officium communitatis), dan Unsur religius yang lahir dari sacramentum. Cinta kasih antara suami isteri dan kesediaan mendidik anak masuk dalam unsur sosial. ● Meski demikian Thomas tetap menyatakan bahwa tujuan prokreatif merupakan ‘tujuan primer’ dari perkawinan dan kesatuan suami isteri merupakan ‘tujuan sekunder.’ Ini bukan berarti tujuan prokreatif lebih utama (lebih tinggi) dari tujuan unitif, sebab menurut Thomas nilai tertinggin dari perkawinan adalah nilai sakramentalnya (cinta kasih suami isteri mengambil bagian dalam cinta kasih Kristus kepada Gereja) ● Ada kesepakatan di antara para tokoh-tokoh pada zaman skolastik ini, tentang ciri tak terceraikan dari perkawinan jika sudah merupakan ‘matrimonium ratum et consummatum.’ Mereka melihat bahwa perkawinan yang telah melewati tahap ‘ratum’, tetap belum disempurnakan dengan ‘consummatum’ masih bisa diceraikan dengan persetujuan Paus. Aspek tak terceraikan pada perkawinan Kristen, menurut St.Thomas Aquino lebih merujuk pada perkawinan 177
Kristus sendiri dengan gereja yang tak terceraikan, yang dilambangkan dan dihadirkan oleh setiap perkawinan Kristen. Malah dilihat dari segi kesatuan suami isteri, indissolubilitas perkawinan merupakan ‘bonum’ perkawinan yang paling penting. ●Dengan mengakui sakramentalitas perkawinan, maka para tokoh skolastik juga secara implisit menegaskan ciri ‘monogam’ dari perkawinan kristen. Hal ini menunjuk pada hubungan Kristus dengan Gereja yang setia, total, dan karena itu cinta suami dan isteri pun mesti berciri eksklusif. Ciri eksklusif inilah yang oleh Thomas Aquinas disebut sebagai salah satu ‘bonum’ dari perkawinan. 3.7. 5 Gereja Reformasi (Abad XVI) ● Pada umumnya para perintis Gereja Reformasi memisahkan perkawinan dari sakramentalitas dan peranannya dalam karya keselamatan. Malah perkawinan disebut sebagai lembaga kodrati yang amat luhur, melebihi hidup selibat. Luther melihat perkawinan sebagai panggilan yang lebih luhur dari panggilan lain di dunia ini. Walaupun luhur, menurut Luther perkawinan bukan merupakan sakramen, karena dalam Kitab Suci tidak disebutkan demikian. ● Calvin dan Melancton berpandangan serupa. Menurut mereka walaupun perkawinan merupakan lembaga yang diadakan dan diberkati oleh Allah, toh bukan merupakan sakramen, karena tidak dinyatakan demikian dalam Kitab Suci. Melancton kemudian menambahkan bahwa perkawinan itu sesuatu yang baik, karena disucikan oleh Allah sendiri. Dalam bukunya “De potestate et primatu 178
Papae” Melancton menegaskan: perkawinan itu dikehendaki oleh Allah agar berada di bawah wewenang hukum pemerintahan sipil, sehingga campur tangan gereja merupakan penyalahgunaan. ●Martin Luther melihat perkawinan sebagai lembaga yang sudah diciptakan oleh Allah sebelum adanya dosa, yang dibebani tugas untuk meneruskan umat manusia seperti tampak dalam Sabda Tuhan dalam Kitab Kejadian bab pertama. Termasuk dalam tugas ini: tugas untuk mendidik anak-anak, supaya nama Tuhan makin dimuliakan. Setelah adanya dosa, maka tujuan perkawinan menurut Luther ada dua: keturunan dan pengaturan nafsu seksual. ● Calvin menyebut perkawinan sebagai lembaga yang diberkati oleh Allah dan didirikan atas kehendak-Nya. Mak tujuan perkawinan menurut Calvin sama seperti Luther: keturunan dan pengaturan nafsu seksual. Namun Calvin menambahkan perkawinan itu bertujuan juga pada kesatuan suami – isteri itu sendiri. ●Salah satu ciri yang membedakan mereka dengan Gereja Katolik, yakni: mereka mengakui ciri unitas dalam arti ‘tidak mengizinkan poligami serentak.’ Artinya ada ijinan untuk perceraian dan pernikahan lagi. Dengan itu mereka pun mengakui ‘polygamia successiva. Jadi, para perintis Reformasi pun tidak bersikap tegas berkaitan dengan ‘indissolubilitas’ perkawinan. Meski mereka mengakui teks Mat 10:1-12 tentang indissolubilitas, tapi dalam praktek mereka menginzinkan perceraian untuk alasan-alasan tertentu (perzinahan, impotensi, penolakan berhubungan seksual secara terus menerus atau kalau bertindak kasar, menurut Melancton) 179
3.7. 6. Konsili Trente (1547-1563) ● Konsili ini muncul demi menanggapi bangkitnya gerakan Reformasi terutama dalam kaitan dengan konsep mereka tentang keluhuran dan makna martabat Perkawinan. Dalam sidang yang keenam tahun 1547, Konsili menegaskan bahwa: sakramen perkawinan merupakan satu dari ketujuh sakramen Perjanjian Baru yang diadakan oleh Kristus (Canon 1: DS 1601). ●Beberapa ajaran tentang perkawinan kemudian dirumuskan secara lebih jelas dalam sidangnya yang ke XXIV. Berkaitan dengan hakikar perkawinan Kristen, Konsili menyebut: ― perkawinan merupakan suatu ikatan priawanita yang dipersatukan oleh Allah sendiri (DS 1797) ―Yesus Kristus, pendiri dan pembaharu sakramen-sakramen, menganugerahkan melalui sakramen perkawinan rahmat yang menyempurnakan cinta kodrati suami –isteri itu, meneguhkan dan memperkuat takterceraikannya ikata perkawinan mereka, dan menyucikan mereka (DS 1799). ― Seperti yang telah ditegaskan oleh Bapa-Bapa Gereja, Konsili-konsili, dan tradisi gereja universal, perkawinan Kristiani benar-benar merupakan sakramen (DS 1800) ― Perkawinan Kristen didirikan oleh Yesus Kristus dan bukan oleh Gereja, dan membuahkan rahmat. Karena itu ia merupakan sakramen (DS 1801). ― Sebagaimana gereja berwenang secara hukum atas perkawinan kristen, demikian pula ia berwenang
180
dalam menentukan halangan-halangannya (DS 18031804). ― Hidup selibat demi kerajaan Allah lebih luhur daripada hidup perkawinan, seperti telah diterima oleh umat beriman (sensus ecclesiae) – DS 1810. ― Bentuk-bentuk tradisional dari perayaan perkawinan diakui dan dibela oleh Konsili (DS 1811), namun untuk peneguhan nikah di masa mendatang perlu dilakukan dengan ‘forma canonica’, yakni di hadapan pastor paroki (atau imam lain yang ditugaskan olehnya/seijin ordinaris) dan dengan sekurangkurangnya dua orang saksi (DS 1816). Dengan ini Konsili Trente secara jelas menegaskan bahwa perkawinan Kristen adalah benarbenar sakramen dalam arti sepenuhnya. Pokok-pokok yang ditegaskan lagi oleh konsili adalah: perkawinan tetap berciri takterceraikan oleh alasan-alasan manusiawi apapun. Juga perceraian atau pernikahan baru karena alasan kasus perzinahan tidak dapa dibenarkan (DS 1808). Juga ciri unitas ditegaskan lagi (monogami, DS 1798). 3.7. 7. Pasca Konsili Trente (Abad XVI-XIX) Konsili Trente membuahkan sikap yang semakin membedakan pandangan protestan dan katolik.tokohtokoh protestan semakin menolak pandangan resmi gereja,yang dipertahankan dengan tegas oleh tokohtokoh katolik. Tokoh–tokoh yang penting ialah Pedro de Ledesma, Robertus Bellarminus, Thomas Sanchez, dan J.M. Scheeben.
181
Tentang rahmat yang di anugerahkan dalam sakremen perkawinan,pada umumnya di rumuskan seperti pada rahmat yang ada pada sakremen-sakremen lainnya,yaitu bahwa sakremen itu memberikan rahmat pengudus,memberikan rahmat istimewa yang menyempurnakan cinta kodrati suami istri,serta memberikan hak atas rahmat yang perlu untuk melajksanakan tugas sebagai suami istri. Mengenai ‘kodrat perkawinan dan ‘berkat perkawinan’ Robertus Bellarminus memberikan penjelasan tersendiri yang kemudian diadopsi oleh magisterium gereja. Penjelasannya secara singkat bisa dicatat sebagai berikut: • Gratia perficit, non destruit naturam! Karena itu, kalau Kristus mengangkat perkawinan menjadi sakramen,itu berarti bahwa Kristus mengangkat perkawinan yang dibangun dengan “kontrak” itu dengan rahmat-Nya sehingga menjadi sakramen. Kristus tidak mengubah kodratnya perkawinan sebagai kontrak, melainkan mengangkatnya menjadi sakramen. Maka,tidak ada kontrak perkawinan yang sah antara suami-istri kristen,apabila kontrak itu tidak sekaligus merupakan sakramen! • J. M. Scheeben, kemudian memberikan penjelasan teologis yang lebih mendalam lagi. Menurut dia dalam sakramen perkawinan ada 3 (tiga) unsur penting, yakni: 1) “sacramentum tantum” yakni kontrak perkawinan sebagai tanda yang kelihatan dari sakramen perkawinan. 2) ”sacramentum simul et res” yakni akibat atau buah yang khas dari sakramen perkawinan bagi 182
suami-istri yang menerima ikatan adikodrati antara suami-istri, yang melambangkan dan menghadirkan hubungan cinta antara Kristus dan gereja, menyucikan keduanya, menjadikan keduanya anggota vital dari gereja,dan membuat mereka mampu hidup dari Kristus. 3) ”res tantum” yakni rahmat sakramen yang membuat mereka mampu melaksanakan tugas hidup mereka sebagai suami-istri kristen; rahmat itu memurnikan atau “menyembuhkan”cinta mereka, mengangkat cinta mereka sehingga menyerupai cinta Kristus sendiri. Pius IX (1846-1878) menjelaskan bahwa sakramen perkawinan tidak boleh dilihat hanya sebagai suatu tambahan saja pada kontrak perkawinan, melainkan sebagai sesuatu yang “hakiki” bagi perkawinan itu sendiri;”kontrak perkawinan”tidaklah terpisahkan dari “sakramen perkawinan”, sebab kontrak itulah yang telah di angkat oleh Kristus menjadi sakramen. Akhirnya, Paus Leo XIII (1878-1903) menyatakan dengan lebih tegas lagi, bahwa dalam perkawinan sah antara orang kristen,”kontrak perkawinan” sama dengan “sakramen perkawinan”. Seperti konsili Trente, para tokoh katolik pada abad XVI-XIX tidak tertarik untuk berbicara tentang tujuan perkawinan. Kalaupun membicarakan tentang hal itu, pada umumnya mereka cukup puas dengan mengulangi pandangan yang sudah di kemukakan oleh tokoh-tokoh skolastik, terutama Thomas Aquino.
3.7. 8. Abad XX 183
• Pada tahun 1917 Tahta Suci menyampaikan kitab hukum gereja yang mulai diberlakukan pada tahun 1918. Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa hakikat perkawinan menurut CIC 1917 ialah kesatuan tetap seorang pria dan seorang wanita yang diangkat menjadi sakramen oleh Yesus Kristus, yang diteguhkan dengan persetujuan kedua pihak secara sah. • Paus Pius XI mengeluarkan ensiklik ”casti connubii” untuk mengenang terbitnya ensiklik ”arcanum” 50 tahun sebelumnya. Di dalamnya beliau mempertahankan pandangan tradisional tentang perkawinan, Namun mulai memasukkan segi personal dari perkawinan, yakni unsur cinta kasih suami-istri. Cinta suami –istri dikatakan sebagai sebab dan pendorong utama perkawinan sejauh perkawinan dilihat sebagai persekutuan hidup (AAS 1930). Tetapi sejauh perkawinan merupakan lembaga prokreatif dan edukatif, harus dikatakan bahwa tujuan pokok perkawinan ialah kelahiran dan pendidikan anak-anak. Tujuan Perkawinan dibicarakan dalam CIC 1917, khususnya kanon 1013, yakni tujuan primer adalah keturunan dan tujuan sekunder adalah saling membantu dan pemenuhan hawa nafsu. • Ciri ”monogam” dari perkawinan tetap dipertahankan oleh tokoh-tokoh gereja abad XX, walaupun ciri itu semakin dihubungkan dengan”sacramentalitas” perkawinan dan cinta suamiistri. Paus Pius XI menegaskan dalam ensiklik ”Casti Connubii” (1930) bahwa perkawinan berciri “monogam” berdasarkan hukum ilahi, dan perlu dilaksanakan berdasarkan cinta yang kuat. Maka suami atau istri
184
jangan tergoda untuk mempunyai hubungan cinta dengan pria atau wanita lain. • Ciri ”tak-terceraikan” juga banyak dihubungkan dengan sifat cinta suami-istri. Paus Pius XI menyatakan bahwa Yesus menolak sama sekali penceraian, tetapi juga menegaskan kembali bahwa hanyalah ”matrimonium ratum et consummatum” yang sepenuhnya tak dapat diceraikan. • Paus Pius XII, dalam pidatonya di depan para bidan italia pada tanggal 29 oktober 1951, menegaskan lagi ajaran tradisional. Dinyatakannya bahwa perkawinan merupakan lembaga yang mempunyai tujuan primer untuk kelahiran dan mendidik anak-anak, bukan untuk menyempurnakan pribadi suami-istri. Tujuantujuan lain bersifat sekunder, dan harus tunduk pada tujuan yang primer itu.Hal ini juga berlaku bagi perkawinan yang tidak subur. Maka, pembatasan hubungan seksual hanya pada saat tidak subur hanya dibenarkan secara moral apabila ada alasan yang berati. Dan, apabila suami-istri tidak dapat membatasi jumlah anak dengan pantang berkala, pembatasan kelahiran hanya dapat dijalankan dengan pantang mutlak. • Paus Paulus VI menegaskan kembali ajaran Pius XII bahwa pembatasan kelahiran hanya dapat dijalankan dengan pantang berkala atau pantang mutlak, dan berdasarkan alasan yang memadai. Hal itu disampaikannya dalam ensikliknya yang berjudul ”Humanae Vitae”(1968). Paus Paulus VI menyatakan bahwa bukan hanya perkawinan sebagai keseluruhan,melainkan bahkan setiap hubungan seksual antara suami-istri harus tetap terbuka terhadap adanya keturunan. Sebab dari 185
kodratnya,hubungan seksual harus mempunyai dua makna yang tak terpisahkan, yakni makna prokreatif, dan makna unitif. Maka,pembatasan kelahiran yang menggunakan alat-alat kontrasepsi, apalagi yang bersifat memandulkan atau menggugurkan anak, tidak dapat dibenarkan secara moral. • Dari segi teologi mengenai tujuan perkawinan, Paus Paulus VI memelopori cara pemikiran yang baru. Ia tidak lagi menggunakan istilah “tujuan primer” dan “tujuan sekunder”. Lebih dahulu ditegaskan, bahwa perkawinan harus didasarkan dan dijiwai oleh cinta suami-istri. Kemudian dikatakan bahwa cinta suami-istri itu harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut yakni manusiawi, penuh, setia dan eksklusif dan terbuka pada keturunan(HV 9). Dengan cara itu, keturunan tidak lagi dilihat sebagai suatu tujuan yang ditempelkan pada perkawinan, melainkan sebagai salah satu sifat dari cinta kasih suami-istri, yang menjadi dasar dan jiwa perkawinan seluruhnya. Mengutip ”Gaudium et Spes”(50) Paus Paulus VI menyebut anak-anak sebagai mahkota perkawinan dan anugerah perkawinan dan tidak sebagai”tujuan primer” lagi (HV 9). • Akhirnya Paus Yohanes Paulus II dalam seruan apostoliknya menekankan lagi hakikat perkawinan sakramental sebagai lambang dan perwujudan hubungan cinta antara Kristus dan gereja. Karena itu, cinta suamiistri merupakan unsur hakiki dalam perkawinan. Namun seperti sudah ditegaskan oleh paus Paulus VI dalam “humanae vitae”, cinta suami-istri harus bersifat “terbuka pada keturunan”, karena secara kodrati diarahkan pada kelahiran dan pendidikan anak-anak (lihat “familiaris consortio”1981,a.13-14).Perkawinan 186
merupakan dasar hidup berkeluarga, yang didasarkan atas cinta. Cinta itulah yang menciptakan”comunio”, kesatuan hati, yang memungkinkan tumbuhnya ”communitas” pribadi-pribadi dalam keluarga. Kontrasepsi bersifat immoral, sebab mengingkari keterbukaan yang berasal dari kodrat itu (FC 32). Pembatasan kelahiran hanya boleh dijalankan dengan pantang mutlak. Walaupun gereja memahami kesulitan banyak keluarga dalam hal ini, gereja tidak dapat mengingkari ajaran itu (FC 33). 3.7. 9. Perkawinan Menurut Konsili Vatikan II (19621965) • Dalam konstitusi pastoral”Gaudium et spes”1752 hakikat perkawinan dirumuskan sebagai “komunitas hidup dan cinta” yang secara kodrati di arahkan pada keturunan. Dalam rumusan semacam itu, tujuan unitif dan tujuan prokreatif dari perkawinan disatukan. Akan tetapi ,tetap kurang jelas, bagaimana kedua tujuan itu berhubungan satu sama lain. Para bapa konsili Vatikan II menghindari penggunaan istilah “tujuan primer” dan ”tujuan sekunder” dari perkawinan. Dalam konstitusi pastoral ”gaudim et spes” hanya dikatakan bahwa Allah sendiri menganugerahi perkawinan dengan banyak manfaat dan tujuan, misalnya: penerusan generasi manusia, pengembangan pribadi, kesejahteraan abadi bagi anggota keluarga, bagi seluruh keluarga dan seluruh masyarakat manusia (GS 48). • Walaupun prokreasi dan pendidikan anak dikatakan sebagai “arah kodrati” dari perkawinan(GS 48), juga dikatakan bahwa perkawinan tidak hanya 187
ditujukan pada prokreasi dan bahwa tekanan pada prokreasi tidak berarti kurang menghargai tujuan-tujuan lain dari perkawinan (GS 50). • Karena itu dapat disimpulkan bahwa konsili Vatikan II tidak menetapkan lagi hirarki yang jelas dari berbagai tujuan perkawinan. Baik tujuan prokreatif maupun tujuan unitif dari perkawinan kelihatannya diletakkan pada tingkat yang kurang-lebih sama. Sikap konsili Vatikan II tersebut menimbulkan keragu-raguan pada banyak pihak, terutama dalam menilai tujuan atau makna hubungan seksual antara suami-istri, berhubungan dengan pengaturan kelahiran anak. Konsili Vatikan II menyebut penceraian sebagai kenyataan yang mengaburkan keluhuran perkawinan, dan menegaskan bahwa kesatuan suami–istri dan kepentingan anak-anak menuntut ”tak terceraikan”-nya perkawinan (“Gaudium et Spes”47-52). Ditegaskan pula, bahwa poligami mengaburkan martabat perkawinan, dan bahwa monogami dituntut oleh kesetiaan cinta suami-istri, diajarkan oleh Kristus sendiri, dan jelas dari kesamaan derajat pria dan wanita. 3.8. Anjuran Apostolik Amoris Laetitia (Sukacita Kasih) Paus Fransiskus Dalam anjuran Apostolik yang dipromulgasikan pada 19 Maret 2016 ini, Paus Fransiskus berbicara secara jelas tentang perkawinan dan keluarga dalam dunia dewasa ini. Amoris Laetitia sebetulnya adalah kesimpulan dari Sinode Para Uskup sedunia tentang keluarga di Vatikan pada tahun 2013 dan 2015. Dalam 188
dua sinode ini pelbagai tema sensitif tentang keluarga dan perkawinan dibahas sebagai topic utama, misalnya: sikap Gereja Katolik terhadap pasangan yang telah bercerai dan menikah lagi (secara sipil), peran perempuan dan awam dalam gereja, juga sikap terhadap pernikahan sesama jenis. Penekanan yang diberikan oleh Paus Fransiskus berhadapan dengan pelbagai soal dalam keluarga katolik dan perkawinan adalah pastoral kehadiran dan sikap belaskasihan dalam pelayanan. Sambil tetap berpijak pada hukum dan norma fundamental Gereja, Paus Fransiskus meminta keluargakeluarga Kristiani untuk membangun jalinan kasih saying yang kokoh dan menghindari sedapat mungkin permusuhan dalam keluarga. Setidaknya ada beberapa hal penting yang bisa ditemukan dalam Amoris Laetitia berkaitan dengan perkawinan: 1. Berhadapan dengan persoalan yang dihadapi keluarga dewasa ini, maka diperlukan pemahaman atas masing-masing keluarga dan individu. Gereja perlu memahami setiap keluarga dan individu dengan pelbagai kompleksitas persoalan yang mereka hadapi. Hal yang perlu dilakukan terutama oleh pelayan pastoral adalah menjumpai mereka di mana mereka berada. Para imam hendaknya menghindari pola penilaian yang tidak mempertimbangkan kompleksitas dari pelbagai situasi. Jadi pendekatan pastoral sangat diutamakan.
189
2. Berhadapan dengan pilihan-pilihan yang rumit dalam perkawinan dan keluarga, maka hati nurani sangat penting dalam membuat keputusan moral.
3. Dalam hubungannya dengan pasangan Katolik yang telah bercerai dan menikah lagi, Paus Frasiskus menekankan bahwa mereka perlua selalu dintegrasikan ke dalam gereja dan tidak diasingkan. Mereka yang demikian tetap menjadi bagian dari gereja.
4. Perlunya kesungguhan untuk menghidupi iman Kristiani. Setiap keluarga katolik perlu secara konsisten menjalani kehidupan Kristiani, sehingga dapat menerapkan dengan sungguh cinta kasih, tanggung jawab atas keluarga dan anak-anak.
5. Dari ajaran Gereja yang diterima, setiap orang Katolik tidak bisa dengan mudah memberikan penilaian terhadap sesamanya sebagai pihak yang hidup dalam dosa. Ada banyak keluarga yang ‘harus’ hidup dalam situasi tidak wajar, misalnya orang tua tunggal. Mereka ini perlu dihibur dan dikuatkan dan diterima.
190
6. Perlunya pastoral perkawinan sesuai konteks. Sebab apa yang sesuai dengan tempat tertentu belum tentu sesuai pada tempat yang lain. Untuk itu Paus Fransiskus mengatakan bahwa setiap negara atau daerah bisa mencari solusi yang baik yang sesuai dengan kebudayaan dan peka terhadap tradisi serta kebutuhan setempat.
7. Posisi Gereja tetap tegas mengenai perkawinan. Meski demikian Gereja tidak bermaksud membebani umat dengan ekspekstasi yang tidak realistis. Para pelayan pastoral perlu lebih kompeten dalam memahami kompleksitas kehidupan berkeluarga.
8. Paus menekankan pentingnya pendidikan seks dan seksualitas. Anak-anak dalam dunia dewasa ini mestinya diberi pemahaman yang benar dan baik tentang seksualitas. Seks hendaknya selalu dimengerti sebagai karunia atas kehidupan baru.
9. Paus meminta perlunya penghargaan terhadap kaum Gay dan Lesbian. Meski demikian dia menolak pernikahan sejenis. Untuk itu Paus tidak mengambil sikap menolak kaum Gay dan Lesbian, tetapi supaya martabat mereka dihormati dan diperlakukan dengan sebaikbaiknya.
191
10. Gereja mesti senantiasa membantu keluargakeluarga dan memahami ketidaksempurnaan mereka dan tetap meyakinkan bahwa mereka juga dikasihi oleh Allah dan dengan demikian melalui kesulitan yang mereka hadapi mereka pun dapat menolong sesama keluarga yang lain yang juga mengalami kesulitan dalam kehidupan perkawinan mereka.
3. 9. Kesimpulan Ajaran Gereja tentang kebaikan dan kekudusan seksualitas dan perkawinan secara amat esensial berkaitan dengan kebaikan besar yang diwariskan oleh seksualitas dan perkawinan itu sendiri: kelahiran dan pendidikan anak-anak dan kesetiaan cinta konjugal. Ini tepat sekali agar melindungi dan memperkenalkan kebaikan manusiawi yang besar ini yakni bahwa Allah menciptakan seksualitas dan perkawinan. Dalam diri Kristus seksualitas dan perkawinan itu diangkat ke martabat sebuah Sakramen, tanda yang paling tepat dari pemberian hidup, perpaduan cinta yang saling memberi antara diri-Nya sendiri dengan Gereja. Maka tidak heran jika ketika menegaskan kebaikan dan kekudusan seksualitas dan perkawinan, Gereja secara teratur menegaskan tuntutan penting yang lahir dari seksualitas dan perkawinan itu untuk kelahiran dan pendidikan anak-anak, dan untuk semakin mengembangkan dan mendalami cinta kasih antara suami dan istri. Karakter ini sangat penting dewasa ini, karena mereka yang hendak mengubah ajaran Gereja tentang 192
moralitas seksual dan perkawinan justru berlawanan dengan dengan sikap gereja Katolik yang menilai bahwa moralitas ini penting untuk memelihara kebaikan pribadi manusia yang agung dan tak terkira.
193
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Allen L. John. 10 Things Pope Benedict Wants You to Know. USA: Liguori Publications, 2007. Benedetto XVI. Deus Caritas Est. Città del Vaticano: Editrice Vaticana, 2006. Lawler Ronald, Josef Boyle Jr., William E. May. Catholic Sexual Ethic. Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor, 1998. Maas, Kees. Teologi Moral Seksualitas. Ende: Nusa Indah, 1998. Ramadhani, Deshi. Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Suparno, Paul. Seksualitas Kaum Berjubah. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Wojtyla, Karol. Love & Responsibility. San Francisco: Ignatius Press, 1981.
194
195