Bab IV Data, Simulasi, Dan Analisis
IV.1
Data Feedstock
Percobaan injection molding yang dilaksanakan dengan menggunakan tiga jenis feedstock Fe-2%Ni dan parameter pemrosesan yang sama menghasilkan kualitas produk yang berbeda. Ketiga jenis feedstock tersebut tidak diketahui jenis dan komposisi binder-nya. Feedstock yang pertama berasal dari Amerika dengan perbandingan volume serbuk terhadap binder adalah 50%:50%. Sedangkan dua feedstock yang lain berasal dari Korea, masing-masing dengan perbandingan serbuk terhadap binder 50%:50% dan 49%:51%. Temperatur proses untuk ketiga jenis feedstock tersebut sama, yaitu 167 oC. Percobaan terhadap feedstock produksi Amerika menghasilkan produk cacat. Produk yang dihasilkan dari proses tersebut mengalami defleksi yang sangat besar. Percobaan dengan feedstock produksi Korea dengan fraksi volume serbuk terhadap binder 49%:51% juga menghasilkan produk cacat. Hasil percobaan terbaik diperoleh dari percobaan dengan menggunakan feedstock produksi Korea dengan fraksi volume serbuk terhadap binder 50%:50%. IV.2
Data Pengujian Feedstock
IV.2.1 SEM (Scanning Electron Microscopy)
(a) Feedstock Dalam Bentuk Gumpalan Berdiameter 1–8mm
27
Serbuk Fe-2%Ni
Binder
(b) Partikel Fe dan Binder Dalam Satu Gumpalan Feedstock
Gambar IV.1 Hasil SEM Feedstock Fe-2%Ni Fraksi Volume 50%:50%
Gambar IV.1 merupakan hasil SEM feedstock Fe-2%Ni dengan fraksi volume 50%:50%. Gumpalan feedstock berukuran sekitar 7-8 mm (Gambar IV.1 (a)), sedangkan serbuk terdiri dari beberapa ukuran antara 2-7 μm dengan bentuk bulat (Gambar IV.1 (b)). IV.2.2 TGA (Thermogravimetry Analysis)
Pengujian TGA terhadap feedstock produksi Korea (Gambar IV.2 (a)) menunjukkan adanya dua dekomposisi material yaitu di sekitar 180 oC dan 420 oC. Sampel pengujian tersebut diambil dari feedstock Fe-2%Ni produksi Korea yang tidak diketahui jenis dan komposisi binder-nya. Temperatur tertinggi pengujian tersebut adalah 550 oC, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dekomposisi tersebut adalah dekomposisi binder, sedangkan serbuk logam masih tersisa dalam sampel. Dari grafik TGA tersebut diketahui bahwa komponen binder dengan komposisi tertinggi feedstock produksi Korea terdekomposisi pada temperatur sekitar 180 oC hingga sekitar 280 oC. Komponen binder yang kedua terdekomposisi mulai dari temperatur sekitar 420 oC dan telah habis pada temperatur sekitar 460 oC. Dengan menghitung fraksi berat yang hilang pada dua dekomposisi tersebut maka 28
dapat diperoleh fraksi volume jenis polimer yang bersangkutan jika diketahui jenis polimernya.
(a) Hasil Pengujian TGA Feedstock Produksi Korea
29
(b) Hasil Pengujian TGA Feedstock Produksi Amerika
Gambar IV.2 Hasil Pengujian TGA
30
Pengujian TGA terhadap feedstock produksi Amerika menunjukkan hasil yang mirip dengan feedstock produksi Korea, akan tetapi terdapat sedikit perbedaan pada temperatur dekomposisi pertama dan kedua. Dekomposisi pertama feedstock produksi Amerika terjadi pada temperatur 130-280 oC, sedangkan dekomposisi kedua terjadi pada 430-465 oC. Temperatur pemrosesan yang diterapkan pada proses injection molding feedstock tersebut adalah 167 oC. Pada feedstock produksi Korea, dekomposisi pertama terjadi di atas 167 oC. Oleh karena itu, temperatur 167 oC aman untuk melaksanakan injection molding feedstock tersebut. Pada feedstock produksi Amerika, kurva TGA menunjukkan bahwa pada 167 oC sudah mulai terjadi dekomposisi. Dekomposisi pada temperatur operasi ini menyebabkan permasalahan pada waktu proses injection molding dilaksanakan karena pengaruh produk dekomposisi polimer menjadi sulit ditebak.
IV.2.3 FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy)
1.05
1
0.95
Transmittance
0.9
C=O 0.85
0.8
OH OH
0.75
Perbedaan di daerah finger print
0.7
0.65
Scan FTIR SHIMADZU 8400 ZUL: Fe-2%Ni S-KOREA(26-03-07) Scan FTIR SHIMADZU 8400 ZUL: Fe-2%Ni USA(26-03-07)
0.6
0.55 3900
3400
2900
2400
1900
1400
900
400
Wavenumbers [1/cm]
Gambar IV.3 Spektrum FTIR Feedstock Gambar IV.3 merupakan spektrum FTIR feedstock produksi Korea dan feedstock produksi Amerika. Masing-masing spektrum FTIR di atas menunjukkan adanya banyak peak yang dimiliki oleh beberapa jenis polimer. Peak-peak yang 31
terdapat dalam spektrum di atas dirangkum dalam Tabel IV.1. Dalam spektrum tersebut terlihat adanya beberapa bagian yang sama dan beberapa bagian yang berbeda. Perbedaan yang mencolok antara keduanya adalah bahwa pada feedstock produksi Korea terdapat campuran yang lebih komplek terutama dengan ditemukannya gugus C=O pada 1724 1/cm, O–H bending pada 1234 1/cm, dan peak pada daerah finger print (902-933 1/cm). Perbedaan spektrum FTIR ini menunjukkan bahwa jenis binder yang terdapat dalam feedstock produksi Korea berbeda dengan yang terdapat dalam feedstock produksi Amerika. Tabel IV.1 Gugus Kimia yang Ada dalam Spektrum FTIR Feedstock Wavenumber (1/cm) 3429.2 2916.2 2846.7 1724.2 1631.7 1461.9 1377.1 1234.4 1099.3 902.6
Produksi Korea OH CH3 stretching CH2 stretching C=O C=C CH3 dan CH2 bending C–C bending OH bending C–O finger print
Produksi Amerika OH CH3 stretching CH2 stretching C=C CH3 dan CH2 bending C–C bending C–O -
IV.2.4 DSC (Differential Scanning Callorimetry)
Kurva DSC feedstock produksi Korea dan Amerika diberikan pada Gambar VI.4. Kurva DSC feedstock produksi Korea menunjukkan dua titik leleh yang mudah teramati, yaitu pada temperatur sekitar 150 oC dan sekitar 50 oC. Selain itu, juga masih terdeteksi adanya dua titik leleh pada temperatur rendah (antara 37– 42 oC). Sedangkan pada kurva DSC feedstock produksi Amerika lebih jelas terlihat adanya tiga titik leleh yaitu di sekitar 140 oC, 115 oC, dan 40 oC. Jika grafik TGA dan DSC di atas dibandingkan terlihat bahwa pengujian DSC memberikan hasil yang lebih sensitif dibandingkan TGA. Pengujian TGA hanya mendeteksi dua jenis zat baik pada feedstock produksi Korea maupun Amerika, sedangkan pengujian DSC mendeteksi adanya empat zat pada feedstock produksi Korea dan tiga zat pada feedstock produksi Amerika. Hal itu mungkin disebabkan bahwa fraksi berat zat
32
yang tidak terdeteksi pada TGA tersebut sangat kecil dibandingkan dengan zat yang lain sehingga pengurangan beratnya tidak terlihat pada kurva hasil pengujian TGA.
(a) Hasil Pengujian DSC Feedstock Produksi Korea
33
(a) Hasil Pengujian DSC Feedstock Produksi Amerika
Gambar IV.4 Hasil Pengujian DSC
34
IV.2.5 Analisis Jenis Polimer Penyusun Binder
Pemeriksaan terhadap sifat termal berbagai material binder yang umum digunakan sebagai campuran binder pada Lampiran A menghasilkan kesimpulan bahwa komponen utama binder, baik feedstock produksi Korea maupun Amerika, adalah dari kategori paraffin wax dan PE/HDPE. Hal tersebut dijelaskan dalam Tabel IV.2. Khusus untuk PE/HDPE tidak bisa dipastikan apakah gugus tersebut PE atau HDPE mengingat selisih sifat termal keduanya sangat kecil. Untuk memastikan apakah PE atau HDPE maka perlu dikarakterisasi dengan GPC (Gel Permeation Chromatography) untuk mengetahui berat molekul masing-masing unsur yang terdapat dalam binder tersebut. Tabel IV.2 Analisis Kemungkinan Zat Penyusun Binder Zat
Referensi
PE/HDPE - Td : 430 oC - Tm : 139 oC
Feedstock Produksi Korea -
-
Paraffin wax
- Td : 188 oC - Tm : 47-64 oC
-
-
Td direpresentasikan oleh kurva TGA, dekomposisi pada temperatur 420–460 o C. Tm ditunjukkan kurva DSC oleh puncak endotermik pada temperatur 150 oC. Td direpresentasikan oleh kurva TGA, dekomposisi pada temperatur 180–280 o C. Tm ditunjukkan kurva DSC oleh puncak endotermik pada temperatur 59 oC.
-
-
-
-
Feedstock Produksi Amerika Td direpresentasikan oleh kurva TGA, dekomposisi pada temperatur 430–465 o C. Tm ditunjukkan kurva DSC oleh puncak endotermik pada temperatur 140 oC. Td direpresentasikan oleh kurva TGA, dekomposisi pada temperatur 145–280 o C. Tm ditunjukkan kurva DSC oleh puncak endotermik pada temperatur 49 oC.
Pada PE/HDPE, titik leleh menurut literatur hanya 139 oC, sedangkan dari kurva DSC menunjukkan sekitar 150 oC pada feedstock produksi Korea dan 140 pada feedstock produksi Amerika. Perbedaan ini bisa terjadi karena setelah dicampurkan dengan zat lain, titik leleh polyethylene bisa bergeser. Melihat kecenderungan itu, dugaan yang paling kuat adalah HDPE, bukan LDPE, karena titik
35
leleh setelah pencampuran lebih tinggi dari titik leleh sebelum dicampur. Dugaan tersebut selanjutnya diuji dengan spektrum FTIR. Dalam Gambar IV.5, terlihat bahwa seluruh puncak yang dimiliki oleh HDPE maupun paraffin wax terdapat pada spektrum feedstock. Oleh karena itu, analisis adanya HDPE dan paraffin wax di atas adalah benar. Namun demikian, penjumlahan spektrum HDPE dan paraffin wax saja belum sepenuhnya dapat menyerupai spektrum feedstock. Dalam Lampiran A, campuran untuk binder dari HDPE dan paraffin wax adalah asam stearat (stearic acid). Asam stearat mempunyai rumus molekul CH3(CH2)16COOH. Semua gugus dalam rumus molekul asam stearat dapat dijumpai pada spektrum FTIR feedstock produksi Korea; yaitu CH3 pada panjang gelombang 2916.2 (1/cm), C=O pada panjang gelombang 1724.2 (1/cm), dan OH pada panjang gelombang 3429.2 (1/cm). Oleh karena itu selain HDPE dan paraffin wax, diduga juga terdapat asam stearat dalam binder feedstock produksi Korea. Dugaan ini diperkuat bahwa secara teoritis dalam campuran binder diperlukan surfaktan yang berfungsi untuk memperbaiki wetability antara binder dan partikel-partikel logam. Surfaktan juga berfungsi sebagai pelumas yang dapat menurunkan gesekan antar serbuk logam dan antara serbuk logam dengan dinding barell atau cetakan sehingga feedstock dapat lebih mudah mengalir pada waktu proses injeksi berlangsung. Selain dugaan adanya asam stearat, gugus C=C di 1631.7 (1/cm) pada feedstock produksi Korea menunjukkan adanya senyawa turunan alkohol tak jenuh yang dalam feedstock juga biasa dipergunakan sebagai force repulsive agent yang berfungsi sebagai deaglomerator. Namun demikian, fraksi asam stearat maupun senyawa turunan alkohol tak jenuh tersebut tidak bisa ditentukan karena tidak terdeteksi oleh TGA. Sebaliknya, pada feedstock produksi Amerika gugus zat aditif yang dimiliki oleh feedstock produksi Korea tersebut tidak ditemukan. Spektrum FTIR feedstock produksi Amerika tersebut terlihat lebih pure sebagai campuran antara HDPE dan paraffin wax. Ada kemungkinan adanya zat lain selain HDPE dan paraffin wax dalam feedstock produksi Amerika, yang ditunjukkan pada peak endotermik pada temperatur 117 oC pada kurva DSC. Akan tetapi fraksi zat tersebut juga tidak bisa dikenali karena tidak terdeteksi oleh kurva TGA. Jenis zat tersebut 36
juga belum dapat dikenali karena data dari karakterisasi yang dilakukan dalam penelitian ini tidak mencukupi untuk menyimpulkan jenis zat tersebut.
Gambar IV.5 Gambar Analisis Spektrum FTIR Feedstock 37
IV.2.6 Analisis Perbandingan Feedstock
Dari pengujian TGA, DSC, dan FTIR di atas dapat disimpulkan beberapa fakta yang menyebabkan feedstock produksi Korea dengan fraksi volume 50%:50% memberikan hasil paling baik pada percobaan injection molding terhadap ketiga jenis feedstock tersebut: a. Temperatur operasi 167 oC merupakan temperatur ideal untuk pemrosesan feedstock produksi Korea karena berada antara 15–20 oC di atas titik leleh binder. Sebaliknya, pada temperatur tersebut feedstock produksi Amerika telah mulai mengalami dekomposisi. Jika proses injeksi dilaksanakan di atas temperatur dekomposisi binder maka produk degradasi polimer terperangkap di dalam green compact. Hal tersebut menyebabkan cacat dalam green compact karena produk dekomposisi polimer terhadap green compat menjadi sulit ditebak. Jika produk dekomposisi binder tersebut tertinggal sebagai deposit maka deposit tersebut tidak bisa hilang dengan proses debinding. Jika terbawa pada pemanasan yang lebih tinggi, yaitu pada akhir tahap debinding atau sintering, deposit tersebut dapat mengganggu fenomena difusi sehingga produk akan mengalami shrinkage tidak homogin sehingga menyebabkan cacat pada produk akhir. b. Selain dua zat utama yang terdeteksi pada pengujian TGA, masih ada zat lain dalam feedstock. Zat yang tidak terdeteksi oleh TGA tersebut dapat dideteksi oleh pengujian DSC dan FTIR. Diduga zat-zat tersebut adalah zat aditif yang jumlahnya dalam fraksi volume sangat kecil. Zat aditif tersebut ditambahkan ke dalam feedstock untuk memperbaiki sifat campuran, yaitu untuk pelumas atau untuk deaglomerator. c. Hasil pengujian FTIR menunjukkan bahwa feedstock produksi Korea mempunyai campuran yang lebih komplek. Dibandingkan dengan feedstock produksi Amerika, feedstock produksi Korea memiliki gugus C=O pada 1724 1/cm, O–H bending pada 1099 1/cm dan kemunculan peak di daerah finger print pada 902933 1/cm. Gugus tersebut diduga dimiliki oleh senyawa turunan alkohol yang sering dicampurkan ke dalam feedstock sebagai force repulsive agent untuk mengurangi terjadinya aglomerasi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa feedstock Korea mempunyai homogenitas distribusi penempatan serbuk karena adanya campuran zat deaglomerator. Homogenitas penempatan serbuk tersebut
38
menentukan homogenitas densitas green compact. Gradien densitas green compact menyebabkan non-uniform shrinkage pada proses debinding dan sintering sehingga menyebabkan terjadinya defleksi pada produk akhir. Hal ini menjelaskan mengapa produk akhir percobaan injection molding dengan feedstock Korea lebih baik dibandingkan dengan produk akhir yang dihasilkan dari feedstock produksi Amerika. d. Feedstock produksi Korea dengan fraksi volume 50%:50% memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan feedstock serupa tapi fraksi volume 49%:51% berarti campuran feedstock produksi Korea dengan komposisi 50%:50% adalah yang paling optimal. Komposisi serbuk–binder ini sangat berpengaruh pada sifat rheologis feedstock sehingga sangat mempengaruhi keberhasilan proses injection molding. Sifat rheologis feedstock yang baik akan memberikan pola alir pengisian cetakan yang lebih baik sehingga feedstock dapat mengalir kedalam seluruh rongga cetak dengan lebih mudah. Sifat rheologis yang baik dapat mengurangi cacat air traps (udara terperangkap) dan weld lines. Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa komposisi feedstock produksi Korea dengan fraksi volume 50%:50% adalah lebih baik dibandingkan dengan fraksi volume 49%:51%. e. Perbedaan binder system antara feedstock produksi Korea dan feedstock produksi Amerika terletak pada tambahan zat-zat aditif yang ada di dalam keduanya. Feedstock produksi Korea diduga mempunyai dua jenis zat aditif, yaitu asam stearat sebagai pelumas dan senyawa turunan alkohol sebagai deaglomerator, sedangkan feedstock produksi Amerika hanya memiliki satu jenis zat aditif. Pencampuran zat aditif tersebut dengan paraffin wax dan HDPE menyebabkan pergeseran sifat termal paraffin wax dan HDPE sehingga temperatur dekomposisi dan temperatur leleh paraffin wax dan HDPE dalam campuran menjadi berbeda. IV.3
Fraksinasi Penyusun Binder
Dalam penelitian ini, simulasi hanya dilakukan menggunakan feedstock yang memberikan hasil terbaik dalam percobaan injection molding, yaitu feedstock produksi Korea dengan fraksi volume 50%:50%. Fraksinasi komponen polimer penyusun binder ditentukan dengan hasil pengujian TGA. Sebagaimana disebutkan
39
di atas, bahwa TGA hanya mendeteksi dua kejadian dekomposisi, sedangkan menurut spektrum FTIR dan analisis DSC masih ada unsur lain yang terdapat dalam campuran binder. Oleh karena itu, fraksinasi dalam penelitian ini sifatnya masih pendekatan. Fraksinasi yang pertama diperoleh dari kurva TGA adalah fraksi berat. Dengan diketahuinya dua unsur yang terdekomposisi pada kurva TGA tersebut adalah paraffin wax dan HDPE maka fraksi volume paraffin wax dan HDPE dapat ditentukan. Dari perhitungan pada Lampiran B diperoleh bahwa fraksi volume paraffin wax dan HDPE binder feedstock produksi Korea di atas adalah 63,5%:36,5%. Fraksi volume tersebut digunakan untuk mendekati sifat campuran binder. Sifat campuran binder dan serbuk logam ditentukan dengan rules of mixture. Perhitungan fraksi volume dari kurva TGA dan penggunannya dalam rules of mixture untuk menentukan sifat campuran binder-serbuk logam dicantumkan dalam Lampiran B. IV.4
Inventarisasi Data Simulasi
IV.4.1 Basis Data Material
Perhitungan sifat-sifat feedstock secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran B, sedangkan inventarisasi data penting sifat material untuk keperluan simulasi dengan Moldflow adalah sebagai berikut : a. Data sifat termal -
melt temperatur
: 150 oC (diambil dari data percobaan DSC)
-
transition temperature
: 70 oC (diambil dari data percobaan DSC)
-
specific heat
: 1305.4 J/kgC
-
thermal conductivity
: 40,366 W/mC (Rule of mixture, Lampiran B)
(Rule of mixture, Lampiran B)
Khusus untuk konduktifitas termal, harga konduktifitas termal feedstock jauh di atas harga yang wajar untuk polimer. Moldflow membatasi harga konduktifitas termal yang bisa diinputkan dalam kisaran antara 0 dan 10 W/mC. b. Koefisien Cross-WLF Viscosity Model (Lampiran B) -
n
: 0,3386
-
Tau*
: 100000 Pa
-
D1
: 1010 Pa.s 40
-
D2
: 263 K
-
D3
:0
-
A1
: 17,44
-
A2~
: 51,6 K.
Jika parameter hasil iterasi di atas dimasukkan ke dalam Moldflow akan diperoleh plot Cross-WLF Viscosity Model adalah sebagai berikut :
Gambar IV. 6 Plot Cross-WLF Viscosity Model
c. Data 2-Domain Tait PVT Model Properties (Lampiran B) -
Melt Density
: 4,41 g/cm3
-
Solid Density
: 4,47 g/cm3
-
b5
: 359.9705335 K
-
b6
: 1.76851E-07 K/Pa
-
b1m
: 0.001060483 m3/kg
-
b2m
: 7.32239E-07 m3/kg-K
-
b3m
: 173066389.9 Pa
-
b4m
: 0.005372341 1/K
-
b1s
: 0.000977654 m3/kg
-
b2s
: 3.89313E-07 m3/kg-K
41
-
b3s
: 289161859.1 Pa
-
b4s
: 0.002117674 1/K
-
b7
: 8.27562E-05 m3/kg
-
b8
: 0.087255048 1/K
-
b9
: 2.31997E-08 1/Pa.
Plot 2-Domain Tait PVT Model feedstock adalah sebagai berikut :
Gambar IV.7 Plot 2-Domain Tait PVT Model
d. Data sifat mekanik (Rule of mixture, Lampiran B) -
1st principle direction E1
: 634444 MPa
-
2nd principle direction E1
: 634444 MPa
-
poisson ration (v12)
: 0.324
-
poisson ration (v23)
: 0.324
-
Į1 (thermal expantion coefficient)
: 0.0001119 1/C
-
Į2 (thermal expantion coefficient)
: 0.0001119 1/C
e. Data Filler Properties Berdasarkan contoh yang terdapat dalam basis data material Moldflow, untuk mensimulasikan injection molding dengan material campuran antara polimer dan serbuk padat, maka serbuk logam didefinisikan sebagai filler. Dalam kasus ini, 42
serbuk Fe-2%Ni dalam kondisi prealloyed. Oleh karena itu, Fe-2%Ni didefinisikan sebagai satu kesatuan. Berdasarkan perhitungan yang terlampir dalam Lampiran B, diperoleh persen berat Fe-2%Ni sebesar 88 %Wt. Dalam simulasi ini, sifat mekanik lain dari filler didekati dengan sifat mekanik serbuk besi (Fe) yang terdapat dalam basis data Moldflow.
IV.4.2 Basis Data Spesifikasi Mesin Injection Molding
Mesin injection molding yang digunakan adalah NISSEI seri PN-60. Berikut adalah data yang diperlukan dalam basis data spesifikasi mesin yang digunakan dalam simulasi: a. Injection Unit maximum injection stroke
: 85 mm
maximum injection rate
: 177cm3/s
machine screw diameter
: 36 mm
b. Hydraulic Unit maximum injection pressure
: 169 MPa
intensification ratio
: 10
machine hydraulic respon time
: 0,2
c. Clamping Unit maximum machine clamp force
: 64.1 Ton.
IV.4.3 Basis Data Controller
Parameter operasi didefinisikan dalam basis data controller sebagai berikut: -
Fill time
: 1,6 detik
-
Stroke volume determination
: Automatic
-
Cooling time
: 20 s
-
Velocity/pressure (tergantung mana yang tercapai terlebih dulu) : Velocity/pressure switch-over by % volume
: 99 % Volume
Velocity/pressure switch-over by injection time
: 1,6 s
-
Packing/holding time
-
Pack/hold pressure profile :
: 20 s
43
Tabel IV.3 Packing/Holding Pressure Profile Duration (s)
% Filling Pressure
0
80
20
80
-
Ambient temperature
: 25 oC
-
Melt temperature (temperatur nozel)
: 167 oC
-
Mold cavity temperature
: 60 oC.
IV.5
Simulasi dan Analisis
IV.5.1 Deskripsi Model
Penjelasan model komponen yang digunakan dalam analisis ini adalah sebagai berikut : a. Model Komponen Moldflow tidak disertai dengan interface pembuatan model yang baik. Oleh karena itu model dibuat dengan perangkat lunak CAD lain. Dalam penelitian ini, model dikerjakan dengan Solid Works 2004. Model tersebut kemudian di-import ke dalam Moldflow dan didefinisikan dengan fusion elemen mesh. Gambar teknik komponen yang dianalisis dalam penelitian ini terlampir pada Lampiran D, sedangkan gambar model yang telah di-import dan didefinisikan dengan fusion elemen mesh (model elemen hingga) diberikan pada Gambar IV.9. b. Gating System Dalam simulasi ini digunakan cetakan dengan dua rongga cetak. Gating system didesain simetris untuk memperoleh aliran yang seimbang ke dalam kedua rongga cetak tersebut. Dalam simulasi ini, lokasi gate disesuaikan dengan percobaan injection molding yang telah dilaksanakan. Geometri sprue, runner, dan gate diberikan pada Gambar IV.8.
44
Gambar IV.8 Gating System
c. Data Model Elemen Hingga
Gambar IV.9 Model Elemen Hingga -
Mesh type
: fusion
-
Jumlah rongga cetak
:2
-
Jumlah total elemen
: 12586 elemen
-
Jumlah nodal
: 6362 nodal
-
Jumlah beam element
: 18 (sprue, runner, dan gate) 45
-
Volume komponen total (2 cavity) : 11 cm3
-
Volume sprue, runner, dan gate
: 1,57 cm3
IV.5.2 Hasil Simulasi
Dalam simulasi ini, input data di atas disimpan dalam user database Moldflow. Tiga buah basis data dibuat, masing-masing basis data material, spesifikasi mesin, dan controller. Basis data dalam Moldflow disimpan dengan file berekstensi .udb (user database). Basis data lainnya mengikuti default basis data Moldflow atau dibuat secara langsung pada waktu pemodelan dilaksanakan. Output simulasi adalah sebagai berikut : a. Filling Time
Gambar IV.10 Simulasi Filling Time Hasil simulasi filling time diberikan pada Gambar IV.10. Dengan pendefinisian input waktu pengisian selama 1,6 detik maka diperoleh bahwa keseluruhan rongga cetak baru akan terisi dalam waktu 1,913 detik. Simulasi tersebut juga menunjukkan material mengalir ke dalam kedua rongga cetak dengan seimbang. Akan tetapi, hasil ini juga menunjukkan bahwa penentuan lokasi gate kurang
46
tepat karena menyebabkan lokasi yang terisi terakhir kali mengarah ke salah satu sisi saja, yaitu pada bagian bawah rongga cetak. Hal ini dapat menyebabkan overpacking, yaitu adanya bagian yang sudah terisi dan terkompresi lebih dengan material sementara ada bagian lain yang masih mengalir. Terjadinya overpacking dapat menyebabkan terjadinya warpage. Kondisi ini bisa diperbaiki dengan memilih lokasi gate yang lebih baik sehingga diperoleh aliran dalam cetakan yang lebih seimbang. Aliran pengisian cetakan yang baik adalah yang dapat mengisi seluruh bagian terjauh secara bersamaan. b. Pressure At V/P Switchover
Gambar IV.11 Plot Distribusi Tekanan pada Saat Terjadi V/P Switchover
V/P switchover adalah kondisi peralihan kontrol pergerakan mandrel yang semula berdasarkan kecepatan injeksi beralih ke tekanan dalam nozel. Hasil simulasi V/P switchover diberikan pada Gambar IV.11. V/P switchover pada umumnya didefinisikan pada kondisi 99% volume rongga cetak telah terisi. Dalam simulasi ini, V/P switchover didefinisikan dengan 99% volume dan waktu injeksi 1,6 detik. Kedua kondisi ini akan digunakan salah satunya tergantung mana yang tercapai lebih dulu. Hasil analisis menunjukkan bahwa V/P 47
switchover terjadi pada detik ke 1,6 dimana baru 91,48% volume rongga cetak terisi [Lampiran C]. c. XY Plot of Pressure At Injection Location Distribusi tekanan pada titik injeksi terhadap waktu diberikan pada Gambar IV.12. Tekanan naik dengan sangat cepat pada saat pengisian rongga cetak. Puncak tekanan yang terjadi adalah 81,78 MPa. Setelah itu tekanan dijaga konstan hingga produk dalam rongga cetak membeku. Sesuai dengan pengaturan pack/holding pada basis data controller, tekanan yang diperlukan untuk penahanan selama pembekuan didefinisikan sebesar 80% tekanan maksimum yaitu sebesar 65,42 MPa. Waktu pembekuan sesuai dengan yang ditentukan dalam controller, yaitu selama 20 detik.
Gambar IV.12 Plot Distribusi Tekanan Terhadap Waktu pada Titik Injeksi
d. Pressure at End of Fill Distribusi tekanan pada setiap lokasi pada akhir langkah injeksi diberikan pada Gambar IV.13. Tekanan nozel pada saat akhir langkah injeksi adalah 65,42 MPa. Tekanan pada rongga cetak sebelum terisi oleh cairan adalah nol (1 atm absolut).
48
Tekanan ini naik baru setelah terjangkau oleh muka aliran (flow front). Tekanan ini terus naik seiring dengan semakin jauhnya posisi itu dari muka aliran. Cairan dapat mengalir jika ada gradien tekanan. Oleh karena itu tekanan paling besar adalah pada nozel. Pada akhir langkah injeksi, tekanan pada posisi terjauh harus lebih dari nol agar material dapat mengisi seluruh rongga cetak. Udara dalam rongga cetak terdorong ke luar dari rongga cetak dan tergantikan dengan feedstock.
Gambar IV.13 Plot Distribusi Tekanan pada Akhir Injeksi
e. Volumetric Shrinkage At Ejection Hasil analisis Volumetric shrinkage pada saat produk dikeluarkan dari cetakan diberikan pada Gambar IV.14. Volumetric shrinkage yang terjadi adalah berkisar antara 3,249% - 4,017%. Dari kisaran itu, distribusi volumetric shrinkage yang terjadi pada rongga cetak kurang dari 3,4%. Sedangkan volumetric shrinkage 3,4% hingga 4,017% terjadi pada gating system. Kisaran shrinkage yang kecil dan distribusi yang seragam ini menunjukkan bahwa produk hasil cetakan dapat dikeluarkan dari rongga cetak dengan baik dan kecil kemungkinan terjadi warpage dan defleksi.
49
Gambar IV.14 Plot Volumeric Shrinkage pada Setiap Titik
f. Air traps
Gambar IV.15 Plot Lokasi Kemungkinan Terjadi Shrinkage
50
Hasil analisis lokasi kemungkinan terjadi air traps diberikan pada Gambar IV.15. Dalam simulasi ini, semua lokasi kemungkinan terjadinya udara terperangkap ada di lokasi dengan geometri komplek. Produk hasil injeksi harus dicermati dari kemungkinan adanya cacat ini, jika diperlukan dapat dilakukan venting untuk mengalirkan udara keluar atau dengan diberikan air trapper, yaitu rongga kecil pada ujung tempat terjadinya air trap yang berfungsi untuk menampung udara yang terperangkap pada lokasi tersebut. g. Clamp Force
Gambar IV.16 Plot Clamp Force Terhadap Waktu
Gambar IV.16 merupakan distribusi clamp force yang harus ditahan oleh clamping unit terhadap waktu. Gambar insert menunjukkan lokasi pusat beban cekam akibat proses pencetakan. Clamping unit berfungsi untuk menahan tekanan pada rongga cetak pada tahap packing, yaitu penahanan tekanan dalam rongga cetak setelah seluruh rongga cetak tersisi selama proses pembekuan. Clamp force merupakan integral dari tekanan pada rongga cetak terhadap luas bidang yang sejajar dengan clamping unit. Dalam simulasi ini, gaya pencekaman naik dan mencapai puncaknya sebesar 8,6439 Ton pada akhir tahap packing. 51
h. Recommended Ram Speed Kecepatan mandrel dalam mendorong material ke dalam cetakan tidak konstan sepanjang proses injeksi berlangsung. Mandrel berjalan lambat pada awalnya, kemudian meningkat ketika material mulai mengisi rongga cetak, dan kemudian melambat kembali setelah rongga cetak sudah hapir penuh. Kecepatan mandrel yang direkomendasikan selama proses pengisian cetakan diberikan pada Gambar IV.17.
Gambar IV.17 Plot Rekomendasi Kecepatan Mandrel i. Sink Index Gambar IV.18 berikut merupakan prediksi terjadinya sink mark dan void. Sink mark dan void bisa terjadi sebagai akibat dari geometri di sisi belakangnya. Suatu lokasi dengan volume yang besar akan mengalami shrinkage lokal lebih besar sehingga menyebabkan sisi di depannya mengalami void atau sink mark. Sink index adalah suatu ukuran indikasi kemungkinan terjadinya shrinkage lokal yang didasarkan pada perhitungan volume bagian yang telah dan yang belum membeku dari waktu ke waktu. Sink index dipengaruhi oleh jenis material, geometri, dan posisi relatif terhadap titik injeksi. Semakin tinggi sink index, semakin tinggi kemungkinan terjadi shrinkage di lokasi itu. Pada simulasi ini,
52
diperoleh sink index nol dan merata di semua bagian. Hal ini menunjukkan bahwa potensi terjadinya ketidakderagaman shrinkage sangat kecil. Hasil ini sejalan dengan poin e (volumetric shrinkage at ejection) dimana shrinkage yang terjadi cenderung seragam di seluruh bagian. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya defleksi sebagai akibat dari ketidak seragaman shrinkage sangat kecil.
Gambar IV.18 Plot Distribusi Sink Index
j. Weld lines Gambar IV.19 adalah hasil analisis prediksi lokasi terjadinya weld lines. Weld lines adalah cacat yang terjadi ketika dua aliran bertemu. Dalam simulasi di atas, prediksi lokasi weld lines terjadi pada permukaan atau pada rusuk bagian produk dimana banyak terdapat variasi bentuk. Pada bagian tersebut terdapat core yang menyebabkan aliran feedstock harus terpecah dan bertemu kembali untuk mengisi penuh seluruh rongga cetakan. Geometri yang komplek pada bagian itu sangat riskan dengan terjadinya weld lines apalagi jika tekanan pada waktu pengisian terlalu kecil sehingga tidak cukup kuat memberikan tekanan pada aliran feedstock. Hal ini dapat diatasi dengan memindahkan titik injeksi atau memvariasikan tekanan injeksi sehingga diperoleh pola aliran yang lebih baik.
53
Gambar IV.19 Plot Lokasi Kemungkinan Terjadi Weld lines
k. % Shot Weight
Gambar IV.20 Plot % Shot Weight Terhadap Waktu
54
Gambar IV.20 adalah perkiraan berat feedstock dalam rongga cetak mulai dari saat injeksi hingga membeku menjadi komponen solid. Selama proses injeksi berlangsung, berat material yang telah mengisi rongga cetak bertambah seiring dengan waktu. Hasil analisis ini menunjukkan persen berat material yang ada dalam rongga cetak terhadap berat total keseluruhan komponen. Berat material dalam analisis ini dihitung berdasarkan volume material yang ada dalam rongga cetak dan berat jenis feedstock pada temperatur kamar. l. Bulk Temperature
Gambar IV.21 Plot Bulk Temperature
Bulk temperature merepresentasikan energi yang dipindahkan pada suatu lokasi. Hasil analisis bulk temperature diberikan pada Gambar IV.21. Bagian dengan aliran yang kontinyu memberikan harga bulk temperature yang lebih tinggi, sedangkan jika aliran berhenti pada suatu daerah maka bulk temperature akan turun dengan cepat. Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa bulk temperature selama pengisian cetakan cenderung seragam. Bulk temperature yang seragam menunjukkan bahwa shrinkage yang terjadi juga seragam. Oleh karena itu kemungkinan terjadi warpage juga sangat kecil. Hal ini sejalan dengan hasil
55
sebelumnya, yaitu poin e (volumetric shrinkage at ejection) dan poin i (sink index). m. Temperature at Flow Front
Gambar IV.22 Plot Distribusi Temperatur Muka Alir
Plot temperature at flow front pada gambar IV.22 berikut ini menggambarkan distribusi temperatur pada muka aliran pada berbagai tempat selama proses pengisian rongga cetak. Temperatur ini merupakan temperatur muka alir saat melewati lokasi yang bersangkutan. Dalam gambar ini terlihat bahwa temperatur muka aliran yang paling kecil terjadi pada lokasi yang paling akhir terisi. Dalam analisis ini tidak terjadi short shot, artinya temperatur muka alir pada seluruh lokasi lebih besar dari temperatur transisi feedstock. Short shot adalah suatu kejadian dimana temperatur muka alir lebih kecil dari temperatur transisi material, akibatnya aliran akan terhenti sebelum semua rongga cetak terisi material. Namun demikian, distribusi temperatur pada titik terjauh terlihat mengumpul di satu tempat, yaitu pada lokasi berwarna biru. Hal ini masih dapat diperbaiki dengan mengubah posisi gate sehingga temperatur pada posisi terjauh menjadi tidak terlalu rendah.
56
n. Circuit Coolant Temperature Cairan pendingin yang dipergunakan dalam simulasi ini adalah air (sudah tersedia di dalam basis data Moldflow) dengan temperatur awal 25 oC dan bilangan Renold 104. Sirkuit pendingin didesain menggunakan dua saluran dengan saluran masuk dan keluar seperti pada Gambar IV.23. Diameter saluran adalah 6 mm dengan kekasaran 0,05 mm. Hasil analisis pada Gambar IV.23 menunjukkan bahwa perbedaan temperatur air masuk dan keluar sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa desain sirkuit tersebut telah mencukupi untuk kebutuhan pendinginan pada injection molding ini.
Gambar IV.23 Plot Distribusi Temperatur Cairan Pendingin
o. Circuit Metal Temperature Plot distribusi temperatur pada permukaan saluran pendingin pada Gambar IV.24 di atas menunjukkan bahwa temperatur permukaan saluran yang paling besar adalah pada daerah di dekat sprue. Hal ini menunjukkan bahwa pembuangan panas yang paling besar terjadi di daerah tersebut.
57
Gambar IV.24 Plot Distribusi Temperatur Permukaan Sirkuit Pendingin
p. Deflection
Gambar IV.25 Plot Total Defleksi pada Setiap Posisi
58
Plot all effect deflection pada Gambar IV.25 menjelaskan prediksi deformasi setiap titik pada keseluruhan model. Moldflow memberikan output secara best fit overlay, yaitu geometri sebelum deformasi dan sesudah terjadinya deformasi digambarkan secara bertumpukan dengan penempatan terbaik. Dalam komponen yang dianalisis ini, bagian yang paling kritis adalah bawah karena bagian komponen tersebut berpasangan dengan komponen lain. Jika defleksi yang terjadi terlalu besar maka dapat mengganggu fungsi mekanisnya. Dalam plot total defleksi pada arah sumbu Y (Gambar IV.26), terlihat bahwa defleksi yang terjadi pada bagian tersebut cukup kecil, yaitu maksimal sebesar 0,0038 mm. Harga ini cukup kecil sehingga tidak akan mengganggu fungsi komponen ini secara mekanis. Namun demikian, defleksi yang timbul pada saat debinding dan sintering juga masih harus diantisipasi.
Gambar IV.26 Plot Defleksi Pada Arah Sumbu Y
IV.6
Diskusi
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dari simulasi di atas diantaranya:
59
a. Pesan error dalam analysis report summary Dalam analysis report summary pada Lampiran C terdapat dua pesan error sebagai berikut : ** WARNING 98321 ** The thermal conductivity of the polymer has the wrong order of magnitude. The polymer thermal conductivity should be about 0.1 W/m K. Please check the thermal conductivity of the polymer on the Thermal Properties tab of the Thermoplastics Material properties dialog. ** WARNING 98361 ** The polymer mechanical properties are of the wrong order of magnitude. The elastic modulus (E) should be about 10^9 Pa, and Poisson's ratio (MU) for isotropic materials should be about 0.3 - 0.5.
Kedua pesan di atas, warning 98321 dan 98361, merupakan peringatan yang disampikan oleh Moldflow karena harga input property material di luar kisaran kewajaran sifat plastik. Warning 98321 merupakan peringatan mengenai konduktifitas termal yang tidak wajar. Harga konduktifitas termal plastik yang wajar adalah sekitar 0.1 W/mK. Dalam perhitungan, konduktifitas termal feedstock yang digunakan dalam simulasi ini adalah 40 W/mC. Karena Moldflow membatasi kisaran harga konduktifitas termal material antara 0–10 W/mC, maka dalam simulasi ini diinputkan 9,9 W/mC. Harga ini adalah harga paling besar yang bisa diinputkan ke dalam basis data material Moldflow. Dengan harga yang masih dalam kisaran ijin Moldflow pun peringatan tersebut muncul. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa peringatan tersebut akan selalu muncul jika digunakan untuk mensimulasikan metal injection molding. Hal ini sejalan dengan penelitian serupa [3] yang dilakukan oleh tim peneliti dari CISP (Center for Innovatif Centered Product) – Pensylvania State University. Warning 98361 merupakan peringatan harga sifat mekanik yang tidak wajar. Peringatan 98361 muncul karena input sifat mekanik feedstock dinilai jauh melebihi kewajaran sifat mekanik polimer. Sama dengan peringatan 98321 di atas, hal ini disebabkan Moldflow menjadikan sifat polimer sebagai acuan. Jika Moldflow diberi input dengan harga yang terlalu besar maka Moldflow akan memberikan peringatan seperti di atas. Oleh karena itu, peringatan seperti ini tidak bisa dihindari. Namun demikian, besaran sifat mekanik tidak dibatasi oleh Moldflow sehingga tidak akan mengganggu hasil analisis. 60
b. Pengaruh pembatasan kisaran input konduktifitas termal Konduktifitas termal merupakan laju perpindahan panas per satuan panjang per derajat Celcius secara konduksi. Sifat ini merupakan suatu ukuran kemampuan material untuk mendisipasikan panas. Pembatasan kisaran input pada basis data sifat material dalam Moldflow dapat menyebabkan perhitungan tidak dilaksanakan dengan semestinya. Menurut Tabel II.3, konduktifitas termal diperlukan baik untuk analisis aliran maupun pendinginan. Oleh karena itu ouput hasil simulasi metal injection molding dengan Moldflow pasti terpengaruh. Kesalahan input konduktifitas termal dapat menyebabkan kesalahan perhitungan pendinginan, perhitungan viskositas, perhitungan aliran, dan perhitungan pembekuan. Oleh karena itu, semua output simulasi dapat terpengaruh. Keterbatasan Moldflow ini juga ditemui oleh Binet [3] yang melakukan penelitian serupa pada tahun 2005. Binet melakukan simulasi injection molding Stainless Steel 316L dengan 35 Vol% binder, terdiri dari campuran polyethylene, wax, dan lubricant. Selain melakukan simulasi dengan Moldflow, Binet melakukan komparasi dengan eksperimen. Dalam studi komparasi tersebut, Binet membuktikan bahwa simulasi Moldflow dapat merepresentasikan proses injeksi dengan baik. Oleh karena itu, untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kesalahan input konduktifitas termal terhadap akurasi simulasi yang dihasilkan oleh Moldflow masih perlu diteliti lebih jauh. c. Perbaikan Sistem Cetakan Dalam hasil analisis prediksi lokasi air traps dan weld lines terlihat bahwa diprediksikan akan terjadi air traps dan weld lines pada rongga cetak bagian bawah. Bagian tersebut merupakan bagian dengan geometri paling komplek karena terdapat core dan banyak variasi geometri. Lokasi tersebut adalah lokasi dimana terjadi pertemuan aliran feedstock dari arah yang berbeda karena sebelumnya terpecah oleh core. Pada lokasi tersebut juga terjadi banyak perubahan arah aliran feedstock, oleh karena itu lokasi tersebut memang rawan dengan air traps dan weld lines. Untuk mengatasi hal ini maka diperlukan aliran dengan tekanan yang lebih besar sehingga dapat mengurangi akibat adanya weld lines serta dapat lebih menekan udara untuk keluar dari daerah tersebut. 61
Hasil analisis flow front temperature menunjukkan bahwa temperatur muka alir pada lokasi yang diprediksikan akan terjadi air traps dan weld lines sudah mendekati temperatur transisi. Pada kondisi itu, viskositas feedstock sangat tinggi. Jika gradien tekanan pada saat feedstock mengisi lokasi tersebut terlalu kecil maka aliran feedstock berjalan terlalu lambat. Aliran lambat tersebut berarti hanya mampu menyebabkan shear rate yang rendah. Sesuai dengan sifat rheologis feedstock (Gambar IV.6), jika shear rate terlalu rendah maka viskositas menjadi sangat besar. Hal itulah yang menyebabkan mengapa pada lokasi ini menjadi sangat rawan dengan terjadinya air traps dan weld lines. Hal itu semakin parah dengan banyaknya variasi geometri sehingga aliran harus selalu berubah arah untuk dapat mengisi penuh rongga cetak. Akibat lain dari aliran yang buruk di atas adalah kemungkinan terjadinya gradien densitas. Densitas pada lokasi tersebut lebih rendah dari densitas pada lokasi lain yang terisi lebih dulu. Akibatnya, pada lokasi ini juga rawan terjadi defleksi pada saat di-debinding dan sintering. Untuk dapat memperbaiki kondisi di atas, harus diusahakan supaya lokasi di daerah tersebut dapat terisi lebih cepat. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian tekanan injeksi yang lebih besar atau dengan memindahkan lokasi injeksi ke lokasi yang lebih optimal. Pemberian tekanan injeksi yang lebih besar akan memperbesar kemungkinan terjadinya fenomena jetting yang dapat mengakibatkan terjadinya air traps dan weld lines pada lokasi dekat gate. Oleh karena itu, pemindahan lokasi gate lebih baik. Pada analisis filling time (Gambar IV.10) terlihat bahwa aliran pada lokasi terjauh dari titik injeksi berlangsung tidak seimbang. Rongga cetak bagian atas telah terisi terlebih dulu sementara rongga cetak bagian bawah belum terisi. Oleh karena itu, lokasi titik injeksi dapat diturunkan untuk memperoleh pola pengisian cetakan yang lebih seimbang. Penentuan lokasi terbaik dapat dilakukan dengan Moldflow. Hasil analisis penentuan lokasi titik injeksi terbaik (best gate location) pada model di atas adalah seperti pada Gambar IV.27. Hasil analisis lokasi titik injeksi terbaik ditunjukkan pada lokasi dengan warna biru pada Gambar IV.27. Oleh karena itu, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya air traps dan weld lines serta untuk mengurangi terjadinya short shot pada
62
lokasi tersebut maka lokasi gate perlu dipindah ke bawah (mendekati lokasi dengan warna biru). Dengan demikian diharapakan lokasi terjadinya air traps dan weld lines dapat terisi lebih cepat, dengan tekanan yang lebih besar, dan dengan viskositas yang lebih rendah.
Titik injeksi optimal
Titik injeksi awal
Gambar IV.27 Hasil Analisis Best Gate Location
63