BAB IV BENTUK PENGATURAN PENYELENGGARAAN INVESTASI SEMI KELOLA DALAM BIDANG JASA AKOMODASI WISATA
4.1 Karakteristik Kebutuhan Hukum yang Timbul dari Akibat Penerapan Model Invetasi Semi Kelola dalam Bidang Jasa Akomodasi Wisata Menurut McDougal, perumusan norma hukum dapat dilakukan dengan baik hanya jika perumusan norma itu dimulai dari pengidentifikasian karakteristik obyek yang akan diatur oleh norma itu dan pengidentifikasian karakteristik kebutuhan pengaturan yang timbul dari akibat karakteristik obyek yang akan diatur. Bagian ini akan mengeksplorasi karakteristik kebutuhan pengaturan atau kebutuhan hukum yang timbul dari akibat karakteristik penerapan model investasi semi kelola dalam pengembangan akomodasi wisata, sebagai dasar yang akan digunakan dalam memformulasikan norma yang tepat bagi pengaturan terhadap penerapan model investasi semi kelola dalam pengembangan akomodasi wisata. Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
(selajutnya:
UUP3)
menentukan
bahwa
penyusunan program legislasi harus didukung dengan naskah akademik. Lampiran I UUP3 mengartikan naskah akademik sebagai naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum mengenai obyek pengaturan dari produk hukum yang dibuat. Suatu naskah akademik harus menggambarkan kebutuhan hukum dan solusi hukum melalui pengaturan yang yang diperlukan. Angka 1 Lampiran I UUP3 selengkapnya menyatakan: Naskah akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah 132
133
tersebut dalam suatu rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. (cetak tebal penulis) Pengertian ini menunjukkan bahwa pemetaan kebutuhan hukum dan rancangan norma sebagai jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi merupakan prasyarat perencanaan pengaturan suatu obyek hukum melalui undang-undang maupun peraturan daerah. Kegiatan investasi semi kelola di dalam bidang jasa akomodasi wisata banyak diminati oleh para penanam modal, khususnya bagi para penanam modal asing. Investasi semi kelola dalam bidang jasa akomodasi wisata memiliki ciriciri, yaitu (1) Merupakan kegiatan perencanaan dan pengembangan akomodasi oleh pengembang (developer) yang kemudian difungsikan sebagai akomodasi wisata; (2) Merupakan kegiatan investasi dalam bentuk pembiayaan oleh pemilik modal, sekaligus sebagai pemilik proyek, terhadap akomodasi yang direncanakan dan dikembangkan oleh developer yang kemudian difungsikan sebagai akomodasi wisata; serta (3) Kegiatan pengelolaan akomodasi yang dikembangkan oleh developer, dengan biaya dari pemilik modal (investor) yang difungsikan sebagai akomodasi wisata oleh developer atau penyedia jasa sekaligus bertindak sebagai manajemen pengelola akomodasi wisata. Kegiatan
perencanaan
dan
pengembangan
suatu
akomodasi
diselenggarakan oleh pihak pengembang berdasarkan berdasarkan UndangUndang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UU JK). UU JK mengatur, antara lain tentang:
134
(1) Usaha jasa konstruksi yang meliputi (a) jenis, bentuk dan bidang usaha; (b) persyaratan usaha, keahlian dan keterampilan; (c) tanggung jawab profesional; dan (d) pengembangan usaha; (2) Pengikatan pekerjaan konstruksi yang meliputi (a) para pihak; (b) pengikatan para pihak; serta (c) kontrak kerja konstruksi; (3) Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; (4) Kegagalan bangunan; serta (5) Penyelesaian sengketa yang meliputi (a) penyelesaian sengketa secara umum; (b) penyelesaian sengketa di luar pengadilan; dan (c) gugatan masyarakat. Hingga saat ini, kegiatan investasi yang dilakukan oleh investor dalam bentuk
pembiayaan
dikembangkannya
terhadap
tidak
akomodasi
diselenggarakan
yang
direncanakan
berdasarkan
dan
Undang-Undang
Penanaman Modal melainkan diselenggarakan berdasarkan UU JK. Akomodasi yang dikembangkan oleh developer kemudian difungsikan sebagai akomodasi wisata. Pengembangan akomodasi seharusnya diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang
Nomor
10
Tahun
2009
tentang Kepariwisataan
(UU
Kepariwisataan). UU Kepariwisataan tidak mengatur secara eksplisit mengenai investasi dalam bidang jasa pariwisata. UU Kepariwisataan, dalam kaitannya dengan investasi di bidang usaha jasa pariwisata, hanya mengatur tentang: (1) (2) (3) (4) (5)
Kawasan strategis; Usaha pariwisata; Hak, kewajiban, dan larangan; Kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah; dan Standarisasi usaha jasa pariwisata.
Kegiatan investasi bidang pariwisata di Indonesia diatur dalam beberapa aturan umum tentang investasi di bidang pariwisata dalam UU Kepariwisataan. Kegiatan investasi dalam UU Kepariwisataan disebut “usaha pariwisata”. Pasal 1 Angka 7 UU Kepariwisataan menyatakan bahwa “Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan
135
dan penyelenggaran pariwisata”. Berdasarkan pada pengertian tersebut maka usaha pariwisata dilakukan oleh para pengusaha di bidang pariwisata. Usaha-usaha pariwisata diatur lebih lanjut dalam Pasal 14 Ayat (1) UU Kepariwisataan, dimana salah satunya adalah usaha penyediaan akomodasi (Pasal 14 Ayat (1) huruf f UU Kepariwisataan). Usaha penyediaan akomodasi menurut UU Kepariwisataan adalah usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan pariwisata lainnya. Usaha penyediaan akomodasi ini dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan pariwisata (Penjelasan Pasal 12 Ayat (1) huruf f UU Kepariwisataan). Namun hingga tesis ini dibuat dan penelitian yang penulis lakukan, UU Kepariwisataan tidak mengatur tentang investasi dalam bidang usaha jasa akomodasi wisata termasuk model investasi semi kelola. Pasal 1 Angka 8 UU Kepariwisataan menyatakan bahwa “Pengusaha pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata.” Para pengusaha yang melakukan kegiatan usaha pariwisata tentu membutuhkan modal untuk menyediakan barang dan/atau jasa demi memenuhi kebutuhan para wisatawan. Berdasarkan Pasal 1 Angka 7 UU Kepariwisataan maka kegiatan usaha pariwisata yang dijalankan oleh pengusaha pariwisata selalu diikuti dengan unsur penanaman modal atau investasi. Menghasilkan suatu barang dan/atau jasa membutuhkan modal serta bahan baku untuk memproduksi suatu barang maupun jasa. Hal penting lainnya adalah suatu tempat yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 1
136
Angka 9 UU Kepariwisataan menyatakan bahwa “Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaran pariwisata.” Setiap kegiatan usaha pariwisata di Indonesia wajib memiliki standar usaha dan tertentu yang ditentukan oleh lembaga mandiri yang berwenang. Pasal 54 Ayat (1) UU Kepariwisataan menyatakan bahwa “Produk, pelayanan, dan pengelolaan usaha pariwisata memiliki standar usaha.” Setiap usaha pariwisata yang ada di Indonesia wajib memiliki suatu standar usaha yang dilakukan melalui sertifikasi usaha serta melalui lembaga mandiri yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah-daerah di Indonesia memiliki lembaga standarisasi usaha pariwisata yang berbeda-beda. Lembaga Standarisasi Usaha (LSU) Bidang Pariwisata yang berada di Bali adalah Lembaga Standarisasi Usaha Pariwisata Bali Mandiri (selanjutnya disebut LSU Pariwisata Bali Mandiri). Lembaga ini telah resmi ditetapkan oleh Menteri Perekonomian dan Ekonomi Kreatif pada tanggal 15 Oktober 2014 sebagai lembaga standarisasi usaha untuk wilayah Bali. LSU Pariwisata Bali Mandiri ditetapkan dengan Penetapan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor : KM.49/HK.501/MPEK/2014 tentang Penunjukan dan Penetapan PT Pariwisata Bali Mandiri (PBM) sebagai Lembaga Sertifikasi Usaha Bidang Pariwisata. Tujuan dilakukan sertifikasi usaha pariwisata adalah memberi kepastian kepada usaha pariwisata itu sendiri dan pelanggan, serta pihak-pihak yang
137
berkepentingan. Sertifikasi yang dilakukan oleh pihak LSU Pariwisata Bali Mandiri ini mencakup 3 (tiga) aspek audit, yaitu (1) aspek produk; (2) aspek pelayanan; dan (3) aspek pengelolaan, sebagaimana dalam Pasal 54 Ayat (1) UU Kepariwisataan tersebut diatas. Aspek audit yang telah memenuhi uji standar pihak LSU Pariwisata selanjutnya akan mendapatkan “Sertifikat Usaha Pariwisata” sebagai bentuk pengesahan kesesuaian terhadap standar usaha yang bersangkutan. Setiap pihak yang menjadi bagian dalam kegiatan pariwisata di Indonesia harus menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, termasuk hak, kewajiban dan larangan menurut UU Kepariwisataan. Dalam bidang investasi di bidang kepariwisataan, pemerintah telah mengatur beberapa hak, kewajiban serta larangan tersebut dalam UU Kepariwisataan. Setiap orang yang memiliki keinginan untuk berusaha dalam bidang pariwisata telah dijamin haknya oleh UU Kepariwisataan ini. Bagi para pelaku usaha, UU Kepariwisataan telah mengatur tentang hak mereka dalam bidang penanaman modal atau investasi. Pasal 19 Ayat (1) UU Kepariwisataan menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk: (a) memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata; (b) melakukan usaha pariwisata; (c) menjadi pekerja atau buruh pariwisata; dan/atau (d) berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan.” Perlindungan hak bagi mereka yang ingin melakukan usaha di bidang pariwisata telah diatur dalam Pasal 19 Ayat (1) huruf b UU Kepariwisataan, yaitu memiliki hak untuk melakukan kegiatan usaha di bidang pariwisata.
138
Tidak hanya para pelaku usaha, para wisatawan pun mendapat hak yang sama untuk berinvestasi di bidang pariwisata. Pasal 20 UU Kepariwisataan menyatakan bahwa “Setiap wisatawan berhak memperoleh (a) informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata; (b) pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar; (c) perlindungan hukum dan keamanan; (d) pelayanan kesehatan; (e) perlindungan hak pribadi; dan (f) perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi.” UU Kepariwisataan telah memberikan kepastian hukum bagi para wisatawan yang ingin melakukan investasi di Indonesia sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 20 huruf c UU Kepariwisataan bahwa setiap wisatawan berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan keamanan. Setiap wisatawan yang ingin berinvestasi di Indonesia pasti mendapatkan perlindungan hukum. Para pengusaha pariwisata yang ingin memiliki sebuah usaha dalam daerah tujuan pariwisata harus memperhatikan suatu letak atau kawasan yang mampu meningkatkan usahanya. Kawasan ini diharapkan mampu membantu meningkatkan nilai penjualan barang dan/atau jasa yang ditawarkan sehingga menghasilkan keuntungan yang lebih banyak. Pasal 1 Angka 10 UU Kepariwisataan menyatakan bahwa “Kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang
memiliki fungsi utama
pariwisata
atau
memiliki potensi untuk
pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.”
139
UU Kepariwisataan menegaskan pengaturan kawasan strategis secara lebih lanjut. Pemerintah maupun pemerintah daerah wajib memperhatikan beberapa aspek untuk menentukan sebuah kawasan strategis. Pasal 12 Ayat (1) UU Kepariwisataan menyatakan bahwa “Penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan beberapa aspek : a) Sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik pariwisata; b) Potensi pasar; c) Lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan wilayah; d) Perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; e) Lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya; f) Kesiapan dan dukungan masyarakat; dan g) Kekhususan dari wilayah.” Penetapan suatu kawasan strategis memiliki tujuan tertentu. Penetapan ini digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan strategis tersebut dan berpartisipasi untuk menumbuhkan dan mengembangkan perekonomian Indonesia terutama dalam kegiatan usaha dan investasi di bidang pariwisata. Hal lain yang harus diperhatikan dalam menentukan kawasan strategis pariwisata adalah memperhatikan beberapa aspek lain, yaitu (1) aspek budaya; (2) aspek sosial; dan (3) aspek agama masyarakat (Pasal 12 Ayat (3) UU Kepariwisataan). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut dengan UU PM) merupakan dasar aturan kegiatan penanaman modal di Indonesia. UU PM mengatur tentang beberapa aturan yang
140
menjadi dasar para pelaku kegiatan investasi dalam melakukan kegiatannya tersebut. Adapun beberapa hal yang diatur dalam UU PM, antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal; Kebijakan dasar penanaman modal; Bentuk badan usaha dan kedudukan; Perlakuan terhadap penanam modal; Bidang usaha; Pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi; 7. Hak, kewajiban dan tanggung jawab penanam modal; 8. Fasilitas penanam modal; 9. Pengesahan dan peijinan perusahaan; 10. Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan penanaman modal; 11. Penyelenggaraan urusan penanaman modal; 12. Kawasan ekonomi khusus; 13. Penyelesaian sengketa; 14. Sanksi. Pemerintah
telah
mengatur
tentang
ketentuan-ketentuan
bidang
penyelenggaraan investasi di Indonesia. Pasal 4 Ayat (1) UU PM menyatakan bahwa “Pemerintah menetapkan kebijakan dasar penanaman modal untuk (1) mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan (2) mempercepat peningkatan penanaman modal.” Pemerintah menetapkan bahwa pemerintah harus memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal, baik penanam modal asing maupun penanam modal dalam negeri dengan memperhatikan kepentingan nasional. Pasal 4 Ayat (2) huruf b UU PM menyatakan bahwa “Pemerintah menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perijinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
141
undangan.” Berdasarkan pada pengertian tersebut maka penanam modal yang berinvestasi di Indonesia seharusnya tidak perlu khawatir dengan perlindungan hukum terhadap modal investasi maupun usaha-usaha mereka yang telah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Bagi para penanam modal yang ingin berinvestasi di Indonesia sepatutnya memperhatikan ketentuan bentuk badan usaha mereka. Penanam modal yang ingin berinvestasi dapat berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 Ayat (1) UU PM). Penanam modal asing yang ingin berinvestasi di Indonesia memiliki aturan yang ditambahkan pada Pasal 5 Ayat (2) UU PM. Pasal 5 Ayat (2) UU PM menyatakan bahwa “Penanam modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan Hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undangundang.” Maka berdasarkan pada ketentuan tersebut, setiap penanam modal asing yang ingin berinvestasi di Indonesia harus terlebih dahulu berbentuk badan hukum. UU PM menentukan bahwa setiap pelaku kegiatan investasi di Indonesia juga memiliki hak, kewajiban dan tanggung jawab. Pasal 14 UU PM menentukan bahwa “Setiap penanam modal berhak mendapat (1) kepastian hak, hukum, dan perlindungan; (2) informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankannya; (3) hak pelayanan; dan (4) berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Apabila dikaitkan dengan kegiatan investasi di bidang jasa akomodasi wisata, saat ini belum ada
142
pengaturan maupun informasi dari pemerintah yang mampu menjangkau tentang konsep investasi semi kelola. Dampaknya adalah bahwa saat ini para penanam modal, khususnya penanam modal asing, belum mendapat pemahaman yang sesuai terkait kegiatan investasi semi kelola yang ada di Indonesia. Disamping hak-hak yang diterima oleh penanam modal, UU PM juga mengatur tentang kewajiban-kewajiban para penanam modal. Hal ini bertujuan untuk memberi acuan kepada penanam modal untuk ikut berpartisipasi dalam menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut dan tidak merugikan negara dan pihak lainnya di bidang investasi. Pasal 16 UU PM menyatakan bahwa “Setiap penanam modal bertanggung jawab : a. Menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; d. Menjaga kelestarian lingkungan hidup; e. Menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan f. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Terkait dengan pengesahan dan perijinan perusahaan, UU PM telah mengatur ketentuan umum tentang hal tersebut. Ketentuan ini mewajibkan para penanam modal untuk mendirikan perusahaan dan mendapat ijin atas perusahaan yang dibentuknya. Pasal 25 Ayat (3) UU PM menyatakan bahwa “Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal asing yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan.”
143
Setiap pengembangan akomodasi wisata yang dibiayai oleh investor seharusnya juga diselenggarakan berdasarkan UU PM. UU PM hingga saat ini hanya mengatur tentang penanaman modal asing yang harus membentuk sebuah perseroan terbatas. Hal ini menimbulkan kekosongan hukum, berkaitan dengan aturan, pengesahan ataupun perijinan tentang investasi asing yang dilakukan perorangan, seperti dalam bentuk investasi semi kelola di bidang jasa akomodasi wisata. Berkaitan dengan pendaftaran penyediaan akomodasi, pemerintah telah mengaturnya dalam sebuah Keputusan Menteri pada tahun 2010. Peraturan ini disahkan
oleh
Menteri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
dengan
Nomor:
PM86/HK.501/MKP/2010 tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyediaan Akomodasi
(selanjutnya
disebut
dengan
PerMen
Nomor
PM86/HK.501/MKP/2010). Adapun hal-hal yang diatur dalam PerMen Nomor PM86/HK.501/MKP/2010 antara lain: 1. Tempat pendaftaran, obyek dan tanggung jawab; 2. Tahapan yang meliputi (a) Tahapan pendaftaran usaha pariwisata; (b) pemeriksaan berkas permohonan; (c) pencantuman ke dalam daftar usaha pariwisata; (d) penerbitan tanda daftar usaha pariwisata; serta (e) pemutakhiran daftar usaha pariwisata; 3. Pembekuan sementara dan pembatalan, yang meliputi (1) Bagian pertama : Pembekuan sementara; dan (2) Bagian kedua : Pembatalan; 4. Pendanaan; 5. Pelaporan; dan 6. Sanksi administratif. PerMen Nomor PM86/HK.501/MKP/2010 menyatakan bahwa yang termasuk dalam bidang usaha penyediaan akomodasi dalam peraturan ini adalah (1) hotel; (2) bumi perkemahan; (3) persinggahan karavan; (4) vila; dan (5) pondok
wisata.
Pendaftaran
akomodasi
ini
menurut
PerMen
Nomor
144
PM86/HK.501/MKP/2010 bertujuan untuk (1) menjamin kepastian hukum dalam menjalankan usaha pariwisata bagi pengusaha; dan (2) menyediakan informasi bagi semua pihak yang berkepentingan mengenai hal-hal yang tercantum dalam Daftar Usaha Pariwisata. Pengertian vila dalam PerMen Nomor PM86/HK.501/MKP/2010 apabila dikaitkan dengan konsep jasa akomodasi wisata dengan konsep semi kelola, maka konsep vila dalam peraturan ini tidak mampu menjangkau konsep jasa akomodasi dengan konsep semi kelola yang selama ini dilakukan di Indonesia. Pasal 1 Angka 6 PerMen Nomor PM86/HK.501/MKP/2010 memberi pengertian tentang vila, bahwa “Vila adalah penyediaan akomodasi berupa keseluruhan bangunan tunggal yang dapat dilengkapi dengan fasilitas, kegiatan hiburan serta fasilitas lainnya.” Konsep vila tersebut hanya menglasifikasi pengertian vila berdasarkan pandangan umum bangunan vila pada umumnya. Hal ini pun berdampak pada tidak diaturnya konsep manajemen waktu penggunaan vila maupun kontrak manajemen penyelenggaraan vila sebagaimana dalam penyelenggaraan akomodasi dengan konsep semi kelola. PerMen Nomor PM86/HK.501/MKP/2010 tidak mengatur secara eksplisit mengenai tata cara pendaftaran jasa akomodasi wisata lainnya, salah satunya adalah jasa akomodasi wisata dengan konsep semi kelola. Peraturan ini tidak mengatur klasifikasi jasa akomodasi wisata dengan konsep semi kelola dalam peraturan ini. PerMen Nomor PM86/HK.501.MKP/2010 juga tidak mengatur tentang pengaturan perjanjian manajemen pengelolaan akomodasi wisata.
145
Kegiatan investasi dengan mengklasifikasi akomodasi dengan bentuk hotel telah diatur dalam Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM.3/HK.001/MKP.02 tentang Penggolongan Kelas Hotel yang telah diganti dengan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia Nomor PM.53/HM.001/MPEK/2013 tentang Standar Usaha Hotel (selanjutnya disebut PerMen SUH). PerMen SUH mengatur tentang : 1. Usaha Hotel; 2. Penilaian standar hotel, yang meliputi (a) Unsur penilaian standar usaha hotel; (b) penilaian hotel bintang dan hotel nonbintang; (c) sertifikasi usaha hotel; (d) penilaian mandiri; 3. Pembinaan dan pengawasan; serta 4. Sanksi administratif. Analisis normatif terhadap norma yang mengatur penanaman modal dan kegiataan penyediaan jasa akomodasi wisata menunjukkan bahwa pengaturan tersebut belum menyediakan ketentuan yang dapat digunakan sebagai instrumen hukum untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan pengambangan properti yang digunakan dan dikelola sebagai akomodasi wisata yang menggunakan modal asing sebagai sumber pembiayaan. Kekosongan norma ini menimbulkan kebutuhan untuk mengatur pengembangan properti yang akan digunakan dan dikelola sebagai akomodasi wisata yang sumber pembiayaannya berasal dari sumber pembiayaan asing. Kebutuhan pengaturan itu mencakup identifikasi kebutuhan sebagai berikut: (a) Identifikasi karakteristik pengembangan properti yang menjadi obyek pengaturan; dan (b) Kewajiban untuk memenuhi seluruh persyaratan penanaman modal asing sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal asing.
146
Kebutuhan
tersebut
merupakan
upaya
untuk
memecahkan
masalah
penyelenggaraan pengembangan properti untuk penyediaan jasa akomodasi. Kebutuhan sebagaimana tersebut diatas merupakan kebutuhan-kebutuhan penyediaan jasa akomodasi yang menggunakan modal asing sebagai sumber pembiayaan yang tidak mengikuti ketentuan penanaman modal dan merugikan negara serta masyarakat dari segi manfaat penanaman modal asing.
4.2 Bentuk Pengaturan Penyelenggaraan Model Investasi Semi Kelola dalam Bidang Penyediaan Jasa Akomodasi Wisata 4.2.1 Obyek Pengaturan Penyelenggaraan Investasi Semi Kelola dalam Penyediaan Jasa Akomodasi Wisata Myres S. McDougal menjelaskan bahwa suatu produk hukum yang dibuat harus memperhatikan karakteristik obyek yang diaturnya. Tujuan memberi perhatian yang memadai terhadap karakteristik obyek pengaturan adalah untuk menghindarkan problem diskorelasi antara norma dengan obyek norma yang diaturnya, yang lebih jauh merupakan sebab tidak atau kurang berfungsinya pengaturan.122 Pasal 5 UUP3 menentukan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi beberapa persyaratan asas, yaitu: (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g)
Kejelasan tujuan; Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; Kesesuaian antara jenis, hierarkhi, dan materi muatan; Dapat dilaksanakan; Kedayagunaan dan kehasilgunaan; Kejelasan rumusan; dan Keterbukaan.
122
Myres S. Mc Dougal, Law as a Process of Decision: A Policy-Oriented Approach to Legal Study, (cited 2015 April 19th), available from : URL : http://digitalcommons.law.yale.edu/fss_papers/2464, hal. 53 dan 68
147
Asas pada huruf (a), huruf (c), huruf (d), dan huruf (e) merupakan asas yang mensyaratkan identifikasi yang cermat terhadap obyek yang diatur, yang menentukan apakah suatu ketentuan hukum yang dibuat itu dapat dilaksanakan atau tidak dan selanjutnya berdayaguna atau tidak bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut selanjutnya dilengkapi oleh ketentuan tentang asas materi muatan sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 UUP3 menentukan bahwa, materi muatan peraturan perundang-undangan harus menceminkan asas, antara lain: keadilan (huruf g), ketertiban dan kepastian hukum (huruf i), dan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan (huruf j). Ketentuan ini mensyaratkan identifikasi obyek yang lebih baik dalam rangka membangun rumusan norma yang menjamin kepastian hukum. Untuk memenuhi asas yang ditentukan UUP3, maka identifikasi secara lebih terinci terhadap model investasi semi kelola dalam penyediaan jasa akomodasi wisata sebagai obyek pengaturan merupakan identifikasi yang sangat diperlukan. Karakteristik pengembangan properti dengan model ROI dalam penyediaan jasa akomodasi wisata sebagai obyek pengaturan yang dikembangkan dengan sumber pembiayaan asing dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1)
kegiatan tersebut merupakan kegiatan pengembangan properti;
(2)
kegiatan pengembangan itu bertujuan untuk mengembangkan properti yang akan digunakan dan dikelola untuk akomodasi wisata;
(3)
pengembangan properti itu direncanakan dan dipasarkan oleh pengembang;
148
(4)
perencanaan tersebut mencakup: desain bentang alam lokasi pengembangan,
desain
rancang
bangun
properti
yang
akan
dikembangkan, besaran biaya dan model pembiayaan properti yang dikembangkan, penyelenggaraan pembangunan, penyerahan kepada pembeli/pemilik, penyerahan kembali kepada pengembang untuk dikelola, pengelolaan, dan prospek penghasilan dari pengelolaan sebagai bentuk pengembalian biaya pembelian/investasi; (5)
pengembangan itu dilakukan oleh pengembang dan sepenuhnya dibiayai oleh pembeli, baik secara individual maupun kolektif;
(6)
pembeli merupakan pihak asing;
(7)
kesepakatan antara pihak pengembang dengan pihak pembeli dirumuskan dalam bentuk ROI; dan
(8)
properti
yang
dikembangkan
itu
diserahkan
kembali
kepada
pengembang untuk dikelola; (9)
pembeli/pemilik memperoleh penghasilan dari pengelolaan itu, yang diterima sebagai bentuk pengembalian biaya yang dibayarkan untuk biaya pembangunan properti.
Setiap pengembangan properti atau pengembangan akomodasi wisata yang memenuhi ciri-ciri demikian itu seharusnya mengikuti ketentuan tentang penanaman modal asing. Namun kekosongan pengaturan berkenaan dengan identifikasi itu telah mengakibatkan ketentuan investasi dan ketentuan pariwisata tidak dapat menjangkau kegiatan pengembangan properti dengan identifikasi demikian itu. Bagian lain yang juga sangat penting dalam suatu pengaturan adalah
149
bagian ketentuan tentang sanksi sebagai bentuk upaya memaksa agar setiap subyek hukum yang berada dalam ruang lingkup pengaturan itu menaati ketentuan yang berlaku, atau dalam hal melanggar, kepada mereka telah disediakan untuk memaksa penaatan. 4.2.2 Model dan Materi Pengaturan Penyelenggaraan Investasi Semi Kelola dalam Penyediaan Jasa Akomodasi Wista Hans Kelsen seperti juga Austin memandang sanksi (coercion) atau elemen pemaksa sebagai elemen esensial hukum. Austin dan para pengikutnya menempatkan ciri memaksa sebagai ciri utama hukum. Hukum merupakan norma yang dapat dipaksakan oleh otoritas yang diberi wewenang untuk itu.123 Tujuan pengaturan pengembangan akomodasi wisata dengan model ROI adalah untuk memastikan bahwa pengembangan demikian itu mengikuti peraturan perundangundangan yang berlaku, yaitu untuk mencegah ketidakadilan dan kerugian negara dan masyarakat dari manfaat investasi. Berkenaan dengan urgensi pengaturan itu, maka pengaturan model itu perlu dilengkapi dengan pengaturan tentang sanksi yang dapat ditimpakan terhadap pengembang yang mengabaikan ketentuan tersebut. Pasal 15 UUP3 menentukan bahwa ketentuan tentang sanksi hanya dapat dimuat di dalam undang-undang dan peraturan daerah, baik peraturan daerah kabupaten maupun provinsi. Karena itu, alternatif pertama jenis peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam mengatur penanaman modal dalam bidang pengembangan properti untuk akomodasi wisata dengan model ROI adalah 123
Hans Kelsen, 2011, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, hal. 326.
150
UUPM. Pasal 5 ayat (2) UU PM telah menentukan bahwa badan usaha untuk penanaman modal asing wajib berbentuk perseroan terbatas (PT), dibentuk berdasarkan hukum Indonesia dan harus berkedudukan di Indonesia. Pasal 12 ayat (1) UU PM menentukan bahwa semua bidang dan jenis usaha terbuka bagi penanaman modal asing kecuali dinyatakan tertutup berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (selanjutnya: Perpres DBUTB-PM)) menentukan bahwa bidang usaha yang tidak tercantum dalam daftar usaha tertutup merupakan bidang usaha terbuka bagi penanaman modal asing. Lampiran II Perpres DBUTB-PM menentukan bahwa jasa konstruksi dan penyediaan akomodasi wisata adalah bidang usaha yang terbuka terhadap penanaman modal asing. Pasal 25 ayat (4) UUPM menentukan bahwa perusahaan PMA yang akan melaksanakan usahanya wajib memperoleh izin dari instansi yang berwenang. Dalam rangka menjamin pelaksanaan ketentuan tentang kewajiban bentuk dan lokasi badan usaha, bidang usaha yang terbuka bagi PMA, dan wajib izin bagi PMA, UUPM telah mengatur ketentuan tentang sanksi di dalam Pasal 33 UUPM. Oleh karena pengaturan penanaman modal asing dalam bidang pengembangan properti untuk akomodasi wisata memerlukan sanksi, maka model pengaturan kegiatan ROI semestinya diatur dalam beberapa cara. Model pengaturan kegiatan tersebut adalah dengan cara mengatur kegiatan tersebut di dalam UU PM, khususnya dalam ketentuan tentang jenis usaha, yaitu dengan memasukkan ketentuan tentang jenis usaha yang berkarakteristik campuran dari
151
beberapa jenis kegiatan. Sepanjang menggunakan modal asing sebagai sumber pembiayaan kegiatan, wajib mengikuti persyaratan dan prosedur penanaman modal asing. Ketentuan tersebut dapat menggunakan formulasi norma sebagai berikut: Kegiatan usaha yang bersifat campuran dari beberapa bidang atau jenis usaha, sepanjang menggunakan modal asing sebagai sumber pembiayaan kegiatan merupakan kegiatan usaha penanaman modal asing. Ketentuan demikian ini dapat dimasukkan sebagai tambahan materi pengaturan Bidang Usaha, termasuk jenis usaha, sebagaimana diatur di dalam Pasal 12 UU PM sebagai tambahan dari lima ayat yang sudah diatur saat ini. Pengaturan ini perlu dijelaskan lebih jauh di dalam penjelasan pasal demi pasal di dalam UU PM tentang apa yang dimaksud dengan kegiatan usaha bersifat campuran itu. Penjelasan itu harus menyebut pengembangan properti untuk penyediaan jasa akomodasi wisata dengan model ROI sebagai contoh dari materi norma itu. Penempatan ketentuan demikian itu dengan sendirinya meletakkan kegiatan pengembangan properti untuk akomodasi wisata dengan model ROI sebagai obyek pengaturan penanaman modal asing, termasuk persyaratan dan prosedur, serta perijinannya.