42
Bab IV Analisis dan Pembahasan
IV.1
Hasil Pra Pengolahan Citra Ikonos
Kegiatan yang dilakukan adalah pengecekan koreksi radiometrik, pemotongan citra (cropping) dan penajaman citra. Hasil pengecekan koreksi radiometrik menunjukkan bahwa nilai minimum citra 0 dan maksimumnya 255 seperti ditunjukkan histogram dari Gambar IV.1 berikut ini ;
Gambar IV. 1. Histogram band citra
Pemotongan citra dilakukan untuk memperoleh citra sesuai dengan daerah penelitian yang dijadikan kajian. Hasil pemotongan citra (cropping) seperti pada gambar IV.2 berikut ini :
Gambar IV.2. Citra hasil pemotongan (cropping)
43
IV.2
Hasil Klasifikasi Citra Ikonos
Hasil klasifikasi citra Ikonos seperti tampak pada gambar dibawah ini ;
Gambar IV.3 Hasil klasifikasi areal perkebunan kelapa sawit
IV.3
Analisis Data Hasil Klasifikasi
Analisis yang dilakukan adalah data luasan tiap kelas hasil klasifikasi dibandingkan dengan data luasan peta WP dan interpretasi visual menurut tutupan lahan maupun penggunaan lahan. IV.3.1 Analisis Luas Areal Kebun Hasil Klasifikasi Perbandingan akumulasi luas areal kebun hasil klasifikasi dengan peta WP seperti pada Tabel IV.1 ;
44
Tabel IV.1 Perbandingan akumulasi luas areal kebun menurut Peta WP dan hasil klasifikasi Areal Kebun Penjumlahan luas blok sampel
Peta WP (m²) 59.532.813
Hasil Klasifikasi Citra (m²) 59.526.986
RMSe (m²) 412,97
Selisih beda luas blok sampel sebesar 5.827 m² dengan RMSe 412,97 m², memenuhi ketentuan batas toleransi beda luas 10%. Toleransi yang diperbolehkan menurut ketentuan adalah 10% X 59.532.813 = 5.953.281 m², dimana diasumsikan laporan WP merupakan data SISMIOP dan hasil penjumlahan menurut citra adalah peta digital. Toleransi tersebut sebenarnya sangat besar apabila diterapkan pada objek pajak sektor perkebunan yang rata-rata memiliki areal kebun sangat luas.
IV.3.2 Analisis Beda Luas Kelas Klasifikasi Berdasarkan Tutupan Lahan (Land Cover) Hasil klasifikasi berdasarkan tutupan lahan (land cover) menghasilkan luas masing-masing kelas klasifikasi seperti pada tabel IV.2 berikut ini.
Tabel IV.2 Luas kelas klasifikasi berdasarkan tutupan lahan Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10.
Kelas Menurut Tutupan Lahan (Land Cover) Areal Kebun Klasifikasi A Areal Kebun Klasifikasi B Areal Kebun Klasifikasi C Areal Kebun Klasifikasi D Areal Kebun Klasifikasi E Areal Kebun Klasifikasi F Areal Kebun Klasifikasi G Awan Batas Blok Luas Areal Kebun Bangunan Luas Objek
Luas (m²) 3.437.365 14.284.433 12.203.092 22.206.046 1.600.464 1.707.111 2.843.844 379.361 802.619 59.464.335 62.651 59.526.986
45
Apabila dibandingkan dengan luasan menurut peta WP maka hasilnya seperti pada tabel berikut :
Tabel IV.3 Perbandingan luas kelas hasil klasifikasi dengan luas menurut peta WP berdasarkan tutupan lahan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8.
Luas berdasarkan Tutupan Lahan (Land Cover ) Areal Kebun Klasifikasi A Areal Kebun Klasifikasi B Areal Kebun Klasifikasi C Areal Kebun Klasifikasi D Areal Kebun Klasifikasi E Areal Kebun Klasifikasi F Areal Kebun Klasifikasi G
Luas (m²) Peta WP Hasil klasifikasi 4,144,402 3,437,365 10,116,053 14,284,433 13,680,346 12,203,092 29,443,115 22,206,046 356,800 1,600,464 1,165,215 1,707,111 626,882 2,843,844
Luas Areal Kebun
59,532,813
58,282,355
1,250,458
23,157
62,651
39,482
Bangunan
Selisih (m²) 707,037 4,168,380 1,477,254 7,237,069 1,243,664 541,896 2,216,962
Terdapat perbedaan luas yang sangat besar antara peta WP
dengan
% 17.06 41.21 10.80 24.58 348.56 46.51 353.65
170.5
hasil
klasifikasi, dengan demikian selisih luas antar kelas yang diperoleh melebihi batas toleransi 10%.
IV.3.3 Analisis Beda Luas Kelas Klasifikasi Berdasarkan Penggunaan Lahan (Land Use) Berdasarkan penggunaan lahan apabila dibandingkan antara hasil klasifikasi dengan peta WP maka menunjukkan hasil akumulasi sebagaimana disajikan pada Tabel IV.4 :
Tabel IV.4 Perbandingan penggunaan lahan (land use) yang sesuai/tidak sesuai antara peta WP dengan hasil klasifikasi No 1 2 3 4 5 6 7
Penggunaan Lahan (Land Use ) Klas A Klas B Klas C Klas D Klas E Klas F Klas G
Notasi 1 11 121 40 288 4 6 0
Jumlah 0 59 65 157 70 1 1 2
70 186 197 358 5 7 2
% 1 15.71 65.05 20.30 80.45 80.00 85.71 0.00
0 84.29 34.95 79.70 19.55 20.00 14.29 100.00
46
Selanjutnya apabila hasil klasifikasi dibandingkan dengan interpreatasi visual menurut penggunaan lahannya maka hasilnya seperti pada tabel berikut ;
Tabel IV.5 Perbandingan penggunaan lahan (land use) yang sesuai/tidak sesuai antara interpretasi visual dengan hasil klasifikasi
No 1 2 3 4 5 6 7
Penggunaan Lahan (Land Use ) Klas A Klas B Klas C Klas D Klas E Klas F Klas G
Notasi 1 14 149 72 403 4 12 0
Jumlah 0 83 87 241 200 4 3 9
97 236 313 603 8 15 9
% 1 14.43 63.14 23.00 66.83 50.00 80.00 0.00
0 85.57 36.86 77.00 33.17 50.00 20.00 100.00
Tabel IV.4 dan IV.5 menunjukkan bahwa hasil klasifikasi citra lebih mendekati kesesuaian dengan peta WP untuk kelas tanaman kelapa sawit (kelas A, B, D, E, dan F) dibandingkan dengan interpretasi visual walaupun dengan selisih tidak besar. Namun demikian luasan hasil klasifikasi masing-masing kelas tidak memenuhi batas toleransi seperti yang disyaratkan KEP-533/PJ/2000 yaitu sebesar 10%.
IV.4
Analisis Uji Ketelitian Klasifikasi
Analisis dilakukan dengan menggunakan rumus II.1 dan II.2. Hasil uji ketelitian klasifikasi sebagaimana pada Tabel IV.6 berikut :
47
Tabel IV.6 Uji ketelitian klasifikasi
Hasil Uji A B C D E F G
A B 907,065 593,561 44,503 7,419,746 4,733 8,560,731 - 3,134,617 15,855 -
Hasil Interpretasi Digital C D E 841,757 577,800 24,231 2,460,111 176,805 3,101,981 1,989,765 474,747 25,833,563 - 340,992 332,661 626,737 -
Jumlah
Omisi
F G 504,569 696,546 4,145,529 3,238,464 18,684 - 10,119,849 2,700,103 - 12,634 13,669,844 10,567,863 - 29,442,927 3,609,364 356,847 15,855 832,592 - 1,165,253 332,661 626,737 626,737
MA % 21.62 33.09 16.85 80.26 89.48 49.31 -
Jumlah 956,301 19,724,510 7,837,994 28,577,933 365,223 1,355,845 709,180 59,526,986 21,091,047 Komisi 49,236 12,304,764 4,736,013 2,744,370 24,231 523,253 709,180 21,091,047
Ketelitian seluruh klasifikasi (KH) adalah = X 100% = 64,57% Ketelitian terbaik pada interpretasi kelas tanaman sawit usia 4 tahun keatas (kelas D), dan kelas E. Sementara ketelitian terendah pada kelas G (tidak terklasifikasikan (0%) dan kelas C (16,85%).
Hasil tersebut berarti klasfikasi digital akan lebih akurat apabila digunakan pada tanaman sawit yang telah berumur 4 tahun. Sementara akan buruk jika digunakan untuk tanaman sawit dibawah umur tersebut.
Kesesuaian hasil interpretasi digital dengan peta Wajib Pajak tiap-tiap kelas dapat diuraikan sebagai berikut :
48
Interpretasi digital terhadap Kelas A
Kelas KA menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas : Kelas A
Kelas C
Kelas E
Kelas B
Kelas D
Kelas F
Kelas G
Gambar IV.4 Overlay Kelas A menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital
Hasil interpretasi digital terhadap kelas A (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.4 menghasilkan ketelitian 15,71%. Irisan antar kelas A di peta WP dengan kelas A menurut interpretasi digital terdapat pada 11 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas B : 20%, Kelas C : 27,14%, Kelas D : 10%, Kelas E : 4,29%, Kelas F : 12,86%, dan Kelas G : 10%. Dengan demikian citra Ikonos kurang baik dalam mengidentifikasi areal kelas A.
49
Interpretasi digital terhadap Kelas B
Kelas B menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas :
Gambar IV. Hasil overlay peta WP dengan hasil interpretasi digital kelas B Kelas A
Kelas C
Kelas B
Kelas D
Kelas F
Gambar IV.5 Overlay Kelas B menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital
Hasil interpretasi digital terhadap kelas B (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.5 menunjukkan ketelitian 65,05%. Irisan antar kelas B di peta WP dengan kelas B menurut interpretasi digital terdapat pada 121 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas A : 1,08%, Kelas C : 30,65%, Kelas D : 2,15%, dan Kelas F : 1,08%. Bila ditinjau dari luasannya maka luas menurut hasil interpretasi digital lebih luas daripada luas di peta WP. Hal ini dimungkinkan karena besarnya komisi yang masuk ke Kelas B.
50
Interpretasi digital terhadap Kelas C
Kelas C menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas : Kelas A
Kelas C
Kelas B
Kelas D
Kelas G
Gambar IV.6 Overlay Kelas C menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital
Hasil interpretasi digital terhadap kelas C (menurut peta WP)
seperti
ditunjukkan pada Gambar IV.6 menunjukkan ketelitian 20,30%. Irisan antar kelas C di peta WP dengan kelas C menurut interpretasi digital terdapat pada 40 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas A : 0,51%, Kelas B : 67,00%, Kelas D : 11,17%, dan Kelas G : 1,02%.
51
Interpretasi digital terhadap Kelas D
Kelas D menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas : Kelas B
Kelas C
Kelas D
Gambar IV.7 Overlay Kelas D menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital
Hasil interpretasi digital terhadap kelas D (menurut peta WP)
seperti
ditunjukkan pada Gambar IV.7 menunjukkan ketelitian 80,45%. Irisan antar kelas D di peta WP dengan kelas D menurut interpretasi digital terdapat pada 288 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas B : 17,32%, dan Kelas C : 2,23%. Hasil ini menunjukkan bahwa citra Ikonos cukup baik dalam mengidentifikasi areal kelas D.
52
Interpretasi digital terhadap Kelas E
Kelas E menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas : Kelas B
Kelas E
Gambar IV.8 Overlay Kelas E menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital
Hasil interpretasi digital terhadap kelas E (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.8 menunjukkan ketelitian 80,00%. Irisan antar kelas E di peta WP dengan kelas E menurut interpretasi digital terdapat pada 4 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas B : 20,00%. Ditinjau dari luasnya, maka terdapat komisi yang cukup besar pada kelas E.
53
Interpretasi digital terhadap Kelas F
Kelas F menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas : Kelas C
Kelas F
Gambar IV.9 Overlay Kelas F menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital
Hasil interpretasi digital terhadap kelas F (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.9 menunjukkan ketelitian 85,71%. Irisan antar kelas F di peta WP dengan kelas F menurut interpretasi digital terdapat pada 6 region. Sisanya diklasifikasikan menjadi Kelas C : 14,29%.
54
Interpretasi digital terhadap Kelas G
Kelas G menurut Peta WP diinterpretasikan secara digital menjadi kelas-kelas : Kelas C
Gambar IV.10 Overlay Kelas G menurut peta WP dengan hasil interpretasi digital
Hasil interpretasi digital terhadap kelas G (menurut peta WP) seperti ditunjukkan pada Gambar IV.10 menunjukkan ketelitian 0%. Hal ini dimungkinkan karena kelas G menurut peta wajib pajak berupa lahan rerumputan yang mirip dengan kelas F. Diklasifikasikan menjadi kelas C dimungkinkan karena nilai spektralnya yang lebih mendekati kelas C.
55
IV.5
Analisis Hasil Uji Statistik
Hasil analisis uji statistik seperti pada tabel IV.7 (perhitungan selengkapnya terdapat pada lampiran J dan K) berikut ini:
Tabel IV.7 Hasil uji t-test Kelas A B C D
Jumlah Region 6 24 53 86
Hasil t hitung -0.584 -0.538 -1.976 0.089
± ± ± ±
t tabel 3.182 2.069 2.007 1.988
Keputusan H₀ gagal ditolak H₀ gagal ditolak H₀ gagal ditolak H₀ gagal ditolak
Dari hasil uji statistik menunjukkan H₀ gagal ditolak untuk semua kelas tanaman kelapa sawit, maka disimpulkan tidak ada perbedaan luas yang signifikan antara luas menurut peta WP dengan luas hasil perkalian jumlah pohon dengan rata-rata hitung luas/pohon. Untuk selisih luas sesuai batas toleransi 10%, pada semua kelas ada yang melebihi batas toleransi selisih luas per-regionnya, namun untuk akumulasi luas masih dalam batas toleransi. Hal tersebut dimungkinkan karena ; •
Untuk kelas A karena pohon kelapa sawit yang berumur 1 tahun masih mempunyai dimensi yang lebih kecil dari resolusi spasial citra sehingga agak sukar menginterpretasikan dan membedakannya dengan keadaan alam sekelilingnya.
•
Lahan kosong yang cukup luas diantara tanaman sawit dimungkinkan karena tanaman yang mati atau kondisi alam.
Dengan demikian penghitungan luas dengan menggunakan rata-rata hitung luas/pohon dapat digunakan.
IV.6
Analisis Pemanfaatan NJOP Sebagai Nilai Pasar atau Nilai Wajar Aktiva Tetap
IV.6.1 Introduksi Masalah Keputusan Menteri Keuangan 486/KMK.03/2002, tanggal 28-11-2002 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan dalam pasal 4 berbunyi ;
56
(1)
Penilaian kembali aktiva tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai yang diakui /memperoleh ijin pemerintah.
(2)
Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai tersebut ternyata tidak mencerminkan keadaan sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak akan menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aktiva yang bersangkutan.
Namun pada kenyataannya tidak terdapat peraturan yang mengatur masalah pasal 4 ayat (2) diatas, sehingga tidak ada standar nilai pasar atau nilai wajar aktiva yang dapat digunakan untuk mengetahui suatu aktiva tetap telah dinilai sesuai nilai pasar atau nilai wajarnya.
IV.6.2 Ketentuan Hukum dan Teori
Agar terselenggaranya penegakkan hukum (law enforcement) menghendaki 4 syarat yaitu : (Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1987) l. Adanya peraturan. 2. Adanya lembaga yang akan menjalankan peraturan itu. 3. Adanya fasilitas untuk rnendukung pelaksanaan peraturan tersebut 4. Adanya kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena peraturan itu Memperhatikan hal tersebut maka dalam penilaian kembali aktiva tetap syarat pertama tidak terpenuhi dimana tidak ada peraturan yang jelas menyangkut standar nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap yang bisa digunakan.
Salah satu dari prinsip pemungutan pajak menurut Adam Smith (Adam Smith’s Canons) adalah Certainty atau kepastian. Harus ada kepastian hukum mengenai subjek, objek, dan besarnya pajak. Sehubungan hal tersebut maka tidak ada ketentuan selanjutnya yang mengatur pelaksanaan dari pasal 4 ayat (2). Tidak ada kejelasan nilai pasar atau nilai wajar bagaimana yang memenuhi kriteria tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, sehingga harus ditetapkan kembali oleh Dirjen Pajak dan nilai pasar atau nilai wajar apa yang akan ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Hal ini berhubungan dengan
57
kepastian besarnya PPh final atas penilaian kembali aktiva tetap. Apakah nilai pasar atau nilai wajar yang telah ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai telah mencerminkan keadaan sebenarnya sehingga pajak terutang akan sama dengan apa yang telah dihitung/diperhitungkan oleh WP, atau DJP akan menetapkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap yang baru karena merasa nilai pasar tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.
Pelimpahan wewenang dari Menteri Keuangan kepada Direktur Jenderal Pajak (sesuai Pasal 4 ayat (2) ) dan Direktur Jenderal Pajak ke Kepala Kantor Wilayah (Keputusan Dirjen Pajak Nomor 519/PJ./2002 tanggal 02-12-2002) merupakan pelimpahan wewenang penetapan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap apabila ada permohonan dengan nilai yang tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.
IV.6.3 Fakta / Observasi
NJOP sebagaimana yang telah diuraikan pada bab II merupakan harga ratarata dari suatu objek pajak atau aktiva tetap yang ditetapkan oleh DJP melalui teknik penilaian dengan menggunakan pendekatan data pasar, pendekatan biaya, dan pendekatan kapitalisasi pendapatan yang sama sebagaimana diatur dalam Standar Penilaian Indonesia (SPI).
Sesuai dengan SE-09/PJ.6/2003 tanggal 6 Maret 2003 tentang Penerapan NJOP sama dengan Nilai Pasar disebutkan bahwa Penerapan Assesment Ratio (ASR) terhadap NJOP pada tingkat minimal 80% dari harga pasar. Dengan demikian maka NJOP yang ditetapkan minimal akan mencerminkan 80% dari harga pasar sebenarnya aktiva tetap.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Gabungan Perusahaan Perkebunan Karet Indonesia (Gappindo), dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia
(Apkasindo)
meminta
DJP
mengubah
perhitungan
PBB
perkebunan. Tujuannya adalah agar penetapan NJOP areal perkebunan tidak naik setiap tahun karena usia tanaman dan produktivitas tanaman perkebunan semakin menurun. Sebaiknya dalam menetapkan PBB sektor perkebunan mempertimbangkan umur tanaman, tingkat produktivitas, volume produksi,
58
dan luas areal. Untuk itu mereka meminta pada pemerintah mengubah pola perhitungan NJOP yang dirasa kurang adil dan tidak tepat karena walaupun umur tanaman kelapa sawit sudah 25 tahun PBB yang harus dibayarkan tetap tinggi (E.L Gaol website 8 Oktober 2007).
NJOP juga secara defacto telah digunakan oleh banyak instansi sebagai dasar keluarannya, sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut ;
Tabel IV.8 . Pemanfaatan NJOP oleh instansi pemerintah Instansi Direktorat Jenderal Pajak
Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara Badan Pertanahan Nasional Direktorat Jenderal Anggaran Pengelola Kekayaan Pemerintah Daerah
Lembaga Keuangan Perbankan
Kepentingan
Dasar Hukum
Dasar pengenaan PBB ;
Psl 6 UU No. 12/1985 jo UU No. 12/1994
Dasar pengenaan BPHTB
UU No. 21/1997 jo UU No. 20/2000
Dasar pengenaan PPh Final atas penghasilan dari pengalihan hak ;
UU No. 17/2000, PP No. 48/1994 jo. PP No. 79/1999
Dasar pengenaan PPN Membangun Sendiri; Lelang aset Negara
UU No. 18/2000, PP No. 143/2000
Pungutan layanan pertanahan Pengelolaan barang/ kekayaan milik Negara
PP No. 46/2002
Penyusunan neraca daerah
UUNo.33/2004, KepMendagri No. 29/2002, KepMendagri No.12/2003
Penentuan ganti rugi Agunan Pinjaman
Perpres No. 36/2005 Peraturan Bank Indonesia No.6/19/PBI/2004
Lembaga Keuangan Penentuan nilai jual Bukan Perbankan premi asuransi Sumber : Direktorat PBB an BPHTB, 2006
Keppres No.21/1991
UU No. 17/2003, UU No.1/2004
59
IV.6.4 Penarikan Kesimpulan Berdasar ketentuan dan teori serta fakta yang ada maka kesimpulan yang dapat diambil adalah : •
NJOP merupakan produk internal DJP yang secara formal diberikan wewenang
untuk
menetapkan
kembali
nilai
pasar
apabila
tidak
mencerminkan keadaan yang sebenarnya, sehingga DJP dapat memilih untuk menggunakan NJOP dalam menentukan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap dalam proses penelitian penilaian kembali aktiva tetap yang dilaksanakan DJP sendiri. •
Walaupun ada keberatan menyangkut NJOP sektor perkebunan
dalam
proses
NJOP
penghitungan
menyangkut
kriteria
penilaian,
namun
merupakan satu-satunya standar nilai yang ada di Indonesia dan digunakan oleh berbagai instansi pemerintahan dalam menghitung nilai pasar aktiva tetapnya.
Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil adalah NJOP seharusnya dapat digunakan dalam proses penelitian permohonan penilaian kembali aktiva tetap dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai tersebut ternyata tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.
IV.7
Penghitungan Nilai Pasar atau Nilai Wajar Aktiva Tetap
Contoh Penghitungan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap perkebunan dengan menggunakan data luasan areal kelas A s.d D hasil penghitungan pohon secara semi otomatis dan data lainnya hasil interpretasi visual menghasilkan jumlah NJOP Bumi sebesar Rp 304.564.520.785 dan NJOP Bangunan sebesar Rp 5.856.300.000. Nilai pasar tersebut merupakan nilai pasar tahun 2006 dengan NJOP & SIT berdasarkan keputusan Kakanwil DJP Jawa Barat Bagian II tahun 2006. Hasil perhitungan selengkapnya disajikan pada lampiran L.