BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Air tanah merupakan salah satu bentuk sumber air yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Air tanah lebih disukai dari pada air permukaan karena secara kualitas umumnya lebih baik daripada air permukaan. Namun kondisi air tanah di DKI Jakarta saat ini mengalami penurunan kuantitas. Untuk mengatasi masalah krisis air tanah tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan sumur resapan. Sumur resapan adalah merupakan teknologi sederhana untuk menampung dan meresapkan air hujan ke dalam tanah yang selanjutnya akan menambah air tanah. Untuk mengetahui seberapa besar peran kebijakan sumur resapan untuk mengatasi krisis air tanah di DKI Jakarta, maka harus diketahui penyebab masalah krisis air tanah di DKI Jakarta. Bedasarkan informasi yang didapat penulis, krisis air tanah di DKI Jakarta disebabkan karena masalah manajemen pengelolaannya, maka pada bab ini akan menganalisis dan membahas : 1.
Kebijakan Sumur Resapan
2.
Masalah air tanah di DKI Jakarta
3.
Pengelolaan Sumberdaya Air di DKI Jakarta
4.
Pengelolaan kota Jakarta
5.
Pandangan stakeholder yang terkait masalah krisis air tanah di DKI Jakarta
4.1.
Sumur Resapan
Sumur resapan adalah merupakan teknologi sederhana untuk menampung air hujan, menyimpan dan menambah cadangan air tanah. Kebijakan sumur resapan dibuat pemerintah adalah untuk mengoptimalkan pembuatan sumur resapan di ka;angan masyarakat. Menurut data Pemprov DKI Jakarta menyebutkan bahwa jumlah sumur resapan yang sudah dibangun baru mencapai 37.840 titik atau sekitar 16,71 persen dari total kebutuhan 226.466 titik. Total jumlah sumur resapan yang dibutuhkan minimal sebanyak jumlah bangunan, karena fungsi dari sumur resapan adalah untuk menggantikan dari kemampuan peresapan air hujan oleh tanah karena tertutup oleh bangunan. Namun melihat total jumlah sumur resapan yang dibutuhkan kurang lebih hanya 20 persen dari jumlah bangunan karena adanya kendala karena kondisi daerah total luas DKI Jakarta yang merupakan sebagai daerah yang potensial sebagai daerah resapan adalah hanya 60 persen dari luas total wilayah DKI Jakarta (gambar 4.1). Sementara sisanya atau 40 persen dari total luas wilayah DKI Jakarta di bagian utara adalah sebagai daerah pelepasan air tanah. Jumlah total kebutuhan sumur resapan tersebut juga telah memperhitungkan dari sebagaimana yang ditargetkan telah memperhitungkan
dari jumlah air tanah
yang diambil sesuai dengan yang batasan yang diberikan oleh dinas pertambangan DKI Jakarta dan juga dengan mengasumsikan imbuhan air tanah dari Bopunjur tetap. Batas aman pengambilan air tanah adalah jumlah air tanah yang dapat diambil dengan memperhitungkan kemampuan pengisian kembali air tanah. Secara hidrologi air tanah di DKI Jakarta adalah merupakan pasokan air dari Bopunjur. Maka batas aman pengambilan air tanah di DKI Jakarta sangat dipengaruhi oleh kondisi kawasan Bopunjur. Apabila kondisi Bopunjur sebagai daerah konservasi air tanah terjaga kelestariannya, maka batas aman pengambilan air tanah akan
semakin meningkat demikian sebaliknya apabila daerah bopunjur mengalami degradasi lingkungan maka batas aman pengambilan air tanah akan mengalami penurunan. Gambar 4. 4 Peta Resapan Air Potensial
DKI Jakarta
Sumber : Ditjen Tata ruang Dep PU
Melihat paparan diatas mengenai sumur resapan, jelas bahwa sumur resapan adalah untuk mengatasi defisit air tanah karena jumlah pengambilan air tanah yang melebih dari kemampuan pengisian kembali air tanah, sehingga diharapkan kelestarian air tanah selalu terjaga. Namun kemampuan untuk pengisian kembali air tanah dengan sumur resapan di DKI Jakarta terbatas, karena jumlah sumur resapan yang dapat dibangun di DKI jakarta terbatas.
4.2.
Masalah air tanah di DKI Jakarta
Kota Jakarta (dulu Batavia) pada tahun 1880 komunitas penduduk hanya ratusan ribu orang. Pada saat itu, kebutuhan air minum cukup disediakan 10 buah sumur artesis. Semua sumur itu mengalirkan sendiri air tanah (free flowing) tanpa
dipompa sekalipun. Ini terjadi karena muka air tanah berada di atas permukaan tanah sekitar 8-10 meter dari daerah Tanjung Priok.
Namun seiring dengan semakin pesatnya pembangunan di DKI yang berdampak pada peningkatan kebutuhan air bersih dan mengingat ketersediaan air tanah yang terbatas, maka untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di DKI Jakarta menggunakan sumber air permukaan olahan atau air PAM. Grafik 4.1. Eksploitasi Air Tanah di DKI Jakarta
300 250 200 150 100 50 0
Eksploitasi air tanah (juta meter kubik)
1965
1975
1985
1995
2005
7
15.7
24.1
34.5
251.8
Sumber Dinas Pertambangan DKI Jakarta 2006 Menurut data dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta kebutuhan air bersih di DKI Jakarta terus meningkat, saat ini mencapai sekitar 547,5 juta meter kubik. sementara pelayanan air oleh PAM Jaya sebesar 270 juta meter kubik atau hanya dapat melayani sekitar 54 % dari total kebutuhan air bersih di DKI Jakarta. Hal ini mengakibatkan gedung-gedung bertigkat yang membutuhkan air dalam jumlah banyak mengambil air tanah secara ilegal untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya terus semakin meningkat. Bedasarkan hasil penertiban yang dilakukan Dinas Pertambangan pada tahun 2002, ditemukan sekitar 450 sumur bor ilegal dan pada tahun 2007 ditemukan 1.700 sumur bor ilegal. Bedasarkan data dari Dinas pertambangan DKI Jakarta bahwa penyedotan
air tanah di DKI Jakarta tahun 2005 mencapai 251,8 juta meter kubik. Angka tersebut belum termasuk air bawah tanah yang disedot untuk proyek dan pembangunan. Sementara disisi lain ketersediaan air tanah DKI Jakarta semakin menurun seiring dengan semakin menurunnya daerah tangkapan air hujan (catchment area) di daerah hulu yaitu Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur). Daerah Bopunjur yang dahulu merupakan bukit-bukit hingga pegunungan dan mempunyai curah hujan pertahun tinggi berkisar 3500 – 4000 mm/tahun (DKI Jakarta 2000 mm/tahun) merupakan daerah potensial sebagai cadangan dan suplai air tanah bagi DKI Jakarta. Batas aman penyedotan air bawah tanah di Jakarta adalah sekitar 186,2 juta meter kubik atau sebesar 20 -30% dari potensi air tanah di DKI Jakarta yaitu sebesar 548 juta meter kubik.. Artinya, analisa keseluruhan pada tahun 2005 menunjukkan adanya "defisit" air bawah tanah sebesar 66,6 juta meter kubik (belum termasuk eksploitasi air bawah tanah untuk proyek pembangunan dan industri, yang berjumlah besar). Pengambilan air tanah tersebut berdampak pada kekosongan air di dalam tanah. Akibatnya, air laut merembes masuk dan mengisi kekosongan air tanah tersebut hingga jauh ke dalam. Dan memang, rembesan air asin dari Teluk Jakarta kini telah menjangkau Monas. Menurut Hasil penelitian Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan menyebutkan, intrusi air laut kini hampir merata di seluruh wilayah Jakarta. Wilayah dalam radius 10-15 kilometer di Ibu Kota pada umumnya telah dilanda intrusi air laut. Misalnya, air laut telah merasuk ke daerah Kebun Jeruk (Jakarta Barat) dan wilayah Segi Tiga Emas Setiabudi, Kebayoran Baru, Cengkareng, dan Senen (Jakarta Pusat). Padahal, 20 tahun lalu luas daratan yang terkena intrusi air laut baru sekitar dua kilometer dari garis pantai.
4.3.
Permasalahan Pengelolaan sumber air Jakarta
4.3.1. Permasalahan Pelayanan Air Bersih PAM Jaya mendapat pasokan air baku sebesar 80 persen bersumber dari saluran Tarum Barat Perum Jasa Tirta II, 15 persen dari PDAM Tangerang (air olahan kali Cisadane ) dan 5 persen dari Kali Krukut, Pesanggrahan, dan mata air Ciburial. PAM Jaya saat ini hanya baru mencukupi sekitar 54 persen dari total keseluruhan kebutuhan sekitar 547,5 juta meter kubik per tahun. Maka untuk meningkatkan pelayanannya PAM Jaya mempunyai master plan sampai tahun 2019. Saat ini sudah dibangun dua buah instalasi besar di Bekasi dengan kapasitas 5000 liter per detik dan instalasi di Cipayung 5000 liter per detik. Namun masalahnya sumber air baku tambahan tersebut yang belum ada. Sehingga sampai saat ini PAM Jaya masih kesulitan untuk meningkatkan pelayanannya. Selain itu PAM Jaya juga mengalami masalah dengan pasokan air baku untuk pasokan air eksisitingnya.. Penyebab masalah pelayanan PAM ini disebabkan karena adanya penurunan suplai air baku dari waduk jatiluhur. Bahkan pada saat musim kemarau panjang pasokan air baku dari waduk Jatiluhur mengalami penurunan pasokan mencapai 50 persen dari pasokan normalnya. Penurunan pasokan ini diakui oleh Juru bicara Palyja Meyritha Maryanie yang mengatakan bahwa suplai air baku benar-benar hancur. Penurunan suplai air baku turun begitu besar. Biasanya sekitar 6.200 liter per detik sekarang hanya sekitar 2.900 liter per detik atau hanya 47 persen. Pasokan air dari waduk Jatiluhur memiliki peran yang sangat penting bagi PAM Jaya karena 80 persen dari total air baku PAM adalah dari suplai air waduk Jatiluhur. Menanggapi permasalahan penurunan pasokan air baku kepada PAM Jaya, Kepala pemanfaatan untuk efisiensi dan konservasi sumber daya air Perum Jasa Tirta II, Ir. Sutisna Prikasaleh, mengatakan bahwa penyebab utama
penurunan pasokan air baku ke PAM Jaya karena terjadi penurunan cadangan air di
waduk Jatiluhur pada saat kemarau panjang diakibatkan karena terjadi
degradasi lingkungan (catchment area) di daerah hulu penurunan pasokan air dari hulu ke waduk Jatiluhur.
4.3.2. Permasalahan Air tanah di DKI Jakarta (imbuhan air tanah) Dari uraian diatas diketahui bahwa pelayanan PAM Jaya yang belum memadai mengakibatkan eksploitasi air tanah menjadi tidak terkendali. Kondisi air tanah semakin krisis karena disisi lain terjadi penurunana ketersediaan air tanah karena adanya penurunan kemampuan pengisisan kembali air tanah seiring dengan semakin berkurangnya kemampuan peresapan. Dari data BPLHD DKI Jakarta tahun 2005 bahwa cadangan air tanah di DKI Jakarta sebesar 547 juta meterkubik dan batas aman pengambilan air tanah di DKI adalah sekitar 20 – 30 % dari potensi air yang tersedia atau sebesar 186,2 juta meterkubik. Besaran nilai atau batas aman pengambilan air tanah tersebut adalah merupakan batasan kemampuan pengisisian kembali air tanah, sehingga ketersediaan air tanah dapat terjaga kelestariannya. Air mempunyai siklus hidrologis, maka pengelolaan air tidak dapat dipisahkan oleh batas wilayah, politik dan lain-lainnya. Dari pandangan ekologis fungsi kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur (Bopunjur) tidak dapat dipisahkan dari kota Jakarta sebagai aglomerasi penduduk yang besar. Seperti diketahui bahwa makin ke arah selatan semakin tinggi dengan topografi yang berbukit-bukit rendah sampai sedang. Peranan kawasan Bogor, Puncak dan Cianjur merupakan kawasan resapan air yang mempunyai peranan yang sangat besar terhadap kondisi air tanah dan air permukaan kota Jakarta. Bedasarkan kondisis tersebut, maka Pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dikategorikan sebagai kawasan tertentu yang memerlukan penanganan khusus dan merupakan kawasan yang mempunyai nilai strategis sebagai kawasan yang
memberikan perlindungan kawasan bawahannya bagi wilayah Daerah Propinsi Jawa Barat dan wilayah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Namun kenyataannya fungsi utama Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur sebagai konservasi air dan tanah kurang berfungsi sebagaimana mestinya akibat perkembangan pembangunan yang pesat dan kurang terkendali, sehingga mengakibatkan banjir dan penurunan pasokan baik air tanah maupun air permukaan dari Bopunjur pada saat musim kemarau. Demikian pula menurut dosen Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB Dr Ir Arwin Sabar MS, pakar teknologi lingkungan dan pengelolaan sumber daya Institut Teknologi Bandung, bahwa persediaan air tanah Jakarta sangat terbatas, dan cadangannya saat ini sudah jauh berkurang antara lain disebabkan karena terjadi penurunan suplai air dari daerah hulu.
4.4.
Pengelolaan kota Jakarta
Aspek kelemahan mendasar terjadinya krisis air tanah adalah karena dalam pengelolaan kota ini tidak adanya koordinasi antar Dinas-dinas yang terkait. Air tanah adalah sumberdaya alam yang dikelola oleh Dinas Pertambangan DKI Jakarta. Maka dengan kondisi air tanah semakin kritis, seharusnya pihak Dinas Pertambangan memberikan masukkan kepada Gubernur DKI Jakarta untuk menghentikan sementara segala bentuk yang mengakibatkan pengambilan air tanah. Kondisi air tanah di Ibukota saat ini semakin memprihatinkan. Hal itu dikarenakan tingginya eksploitasi terhadap air tanah sehingga membuat permukaan air tanah terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Kondisi ini semakin diperparah dengan masih banyaknya pencurian air tanah.
Bedasarkan Perda No 11 tahun 1998, setiap daerah yang memiliki jaringan PAM tidak boleh menggunakan air bawah tanah secara besar-besaran. penggunaan air tanah hanya diizinkan sebagai cadangan serta satu titik sumur bor hanya boleh menggunakan 100 meter kubik per hari. Namun kenyataannya pengambilan air tanah secara ilegal oleh para pengelola gedung bertingkat terus meningkat, sesuai hasil penertiban yang dilakukan Dinas Pertambangan pada tahun 2002, ditemukan sekitar 450 sumur bor ilegal dan pada tahun 2007 ditemukan 1.700 sumur bor ilegal. Eksploitasi air tanah besar-besaran oleh gedung bertingkat diakui oleh Ketua Umum DPD Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta Andreas Kartawinata mengatakan bahwa untuk mengatasi kekurangan air bersih dari PAM Jaya, semua gedung pusat perbelanjaan dan mal mengoperasikan sumur dalam untuk mengambil air tanah. Kalau Pemprov DKI akan membatasi penggunaan air tanah secara ketat, kami tidak keberatan, asalkan diberi alternatif pasokan air bersih dari PAM Jaya dalam jumlah yang mencukupi, setiap gedung pusat perbelanjaan modern dan mal di Jakarta memiliki sumur dalam berjumlah dua hingga lima unit. Namun kenyataannya Kepala Dinas Tata Kota Provinsi DKI Jakarta Nurfakih Wirawan mengatakan bahwa membuat dan membangun sejumlah pusat perbelanjaan seperti mal, plasa, apartemen, supermarket di Jakarta cukup penting sehubungan Jakarta sebagai service city. Selanjutnya Nurfakih Wirawan mengatakan (Seputar Indonesia April 2007) bahwa kita harus membangun banyak mal. Sekarang ini, warga Jakarta rekreasinya bukan keluar kota lagi tetapi ke mal. Dengan visi Jakarta sebagai kota jasa, membangun pusat-pusat perbelanjaan merupakan satu hal yang tidak bisa diabaikan karena kalau tidak demikian, Jakarta akan tertinggal dibandingkan kota-kota besar lainnya di dunia. Pesatnya pembangunan fisik kota Jakarta tidak lepas dari Kebijakan pembangunan Pemerintah DKI yang diarahkan kepada investasi, yang diharapkan dapat memberikan manfaat ganda terhadap peningkatan investasi, penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.. Hal itu semakin nyata
dari besarnya penguasaan ruang di kota ini oleh para pemodal. Dari data Dinas tata Kota DKI jakarta selama kurun waktu 2000-2005, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memberikan izin lebih dari 3 juta meter persegi luas ruang yang ada di Jakarta untuk tempat belanja. Luas itu dua kali lipat dari luas seluruh pusat belanja yang dibangun di kota ini pada 1962-1997. Indikatornya, pasar tradisional mengalami pertumbuhan negatif (-8,4 persen), tapi sebaliknya, pertumbuhan hipermarket melonjak 31,4 persen (AC Nielsen, 2005). Menurut Guru besar UI, Gunawan Tjahjono, yang juga anggota Tim Penilai Arsitektur Kota DKI Jakarta mengatakan bahwa kenyataan di lapangan yang bertentangan dengan perencanaan kota karena ketiadaan sanksi hukum untuk pelanggaran, atau terjadinya perubahan fisik kota yang tak sesuai rencana dilakukan secara sadar karena diizinkan oleh pengelola kota. Beberapa pengamat perkotaan mencermati bahwa peranan kota besar, khususnya ibukota, mendominasi kegiatan dan berfungsi sebagai kota prima dalam wilayah negara adalah merupakan ciri khas dari negara bekas jajahan. Selain itu Pemerintah Daerah menganggap bahwa pembangunan suatu proyek mampu mendatangkan keuntungan finansial terhadap pemerintah kota (Oram, 1976; Drakakis-Smith, 1980). Namun yang terjadi adalah dengan semakin pesatnya perkembangan kota tanpa perencanaan yang matang, maka banyak konsekuensi finansial
yang harus dikeluarkan oleh pemerintah seperti dampak sosial,
ekonomi, politik dan masalah kerusakan lingkungan. Pada akhirnya Jakarta harus terus membangun untuk mendapatkan dana untuk pengelolaan kota Jakarta membutuhkan dana yang begitu besar seperti dana untuk penanggulangan banjir, penyediaan air bersih, permasalahan lalu lintas, masalah sosial dan lain-lainnya. Tabel 4.10. Ruang terbuka Hijau DKI Jakarta RTH 1965-1985 Alas hukum: Rencana Induk Djakarta 1965-1985 Gubernur: Soemarno/Ali Sadikin Luas: 37,2% (241,8 km2) Kategori: sangat ideal Tonggak: 1971. Gubernur Ali Sadikin melepaskan 13 hektare RTH Senayan untuk pembangunan hotel dalam rangka Konferensi Pariwisata Asia Pasifik. .
1984. Luas ruang terbuka hijau 28,8%. RTH 1985-2005 Alas hukum: Rencana Umum Tata Ruang Jakarta 1985-2005 Gubernur: Soeprapto Luas: 26,1-31,5 % (169,65 km2) pada 2005 Kategori: cukup ideal Tonggak: 1990. Dua pertiga kawasan lindung Pantai Kapuk direklamasi menjadi perumahan Pantai Indah Kapuk 1994. Hutan kota Tomang di Jakarta Barat dikonversi menjadi Mal Taman Anggrek 1995. Luas ruang terbuka hijau 24,9% 1996. Konversi besar-besaran RTH Senayan dimulai, ditandai dengan pembangunan Hotel Atlet Century dan Plaza Senayan 1997. Hotel Mulia dibangun di atas RTH Senayan 1998. Luas ruang terbuka hijau 9,6%. 1999. Gubernur Sutiyoso menerbitkan RTRW Jakarta 2010. RTH 2000-2010 Alas hukum: Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Jakarta 2000-2010 Gubernur: Sutiyoso Luas: 13,94%(90,6 km2) Kategori: Tidak ideal Tonggak: 2000. Luas ruang terbuka hijau 9,4% (kritis) 2003. Luas ruang terbuka hijau 9,12% 2005 Pemerintah Daerah membangun apartemen di atas ruang terbuka Pulomas 2005. Kantor Wali Kota Jakarta Selatan dibangun di bekas pemakaman Blok P. 2007. Luas RTH ditaksir tinggal 6,2 %
Sumber majalah Tempo
Melihat paparan di atas jelas bahwa DKI Jakarta membutuhkan dana yang besar untuk pengelolaan kota. Kebutuhan dana yang besar tersebut untuk mengatasi dampak dari banyaknya persoalan-persoalan yang timbul akibat masalah yang bersifat regional, seperti masalah banjir DKI Jakarta yang timbul akibat degradasi lingkungan di daerah Bopunjur. DKI Jakarta tidak mempunyai kebijakankebijakan yang bersifat terbuka. sebagai contoh melakukan upaya koordinasi dengan Jawa Barat mengenai masalah banjir.
4.5.
Peran dan sikap stakeholders yang terlibat dalam permasalahan krisis air tanah di DKI Jakarta
Masalah krisis air tanah di DKI Jakarta ada beberapa stakeholder yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dan stakeholders tersebut saling berinteraksi. Interaksi tersebut ada yang merugikan dan ada yang menguntungkan. Kelompok yang terlibat antara lain :
Pemerintah Pusat
Pemerintah DKI Jakarta
Pemerintah Provinsi Jawa barat
Perum Jasa Tirta II
PAM Jaya
Pemerintah Pusat Pemerintah DKI Jakarta
Pemerintah Jawa Barat
PJT II
Air Tanah DKI Jakarta
PAM Jaya
Dinas Pertambangan
Dinas Tata kota
Gambar 4.4. Stakeholders yang terkait masalah krisis air tanah di DKI Jakarta
4.5.1. Pemerintah pusat Sesuai dengan UU No 7 tentang Sumberdaya Air, bahwa wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat adalah menetapkan dan mengelola sumber daya air dan kawasan lindung air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional. Melihat dari permasalahan di atas adalah tidak adanya pengelolaan sumber daya air, maka dibutuhkan peran pemerintah pusat untuk menjembatani kepentingankepentingan masing-masing stakeholders. Namun saat ini dengan dimulainya era otonomi daerah, kewenangan pemerintah pusat untuk mengatur daerah semakin berkurang, karena sesuai dengan Undangundang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup. Konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun 2000, maka pengembangan wilayah di Indonesia sangat tergantung pada kebijaksanaan pemerintah daerah dan tidak bergantung lagi pada pemerintah pusat.
4.5.2. Pemerintah Jawa Barat Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Jawa Barat memiliki peran yang sangat penting dalam menyuplai sumberdaya air bagi DKI Jakarta. Mengingat pentingnya hal tersebut, maka pemerintah pusat mengeluarkan peraturan mengenai penetapan Bopunjur sebagai wilayah konservasi air. Permasalahan utama yang menjadi kendala bagi Bopunjur untuk melaksanakan peraturan tersebut karena adanya konsekuensi yang merugikan dari segi ekonomi bagi Bopunjur . Hal ini seperti tanggapan mengenai masalah peratutan tersebut, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan (Harian Kompas 20 Februari 2009)
mengatakan bahwa yang menjadi masalah adalah kepentingan ekonomi masingmasing daerah. Daerah hulu (Bopunjur) diminta untuk menjaga hutannya agar Jakarta tidak kekeringan dan kebanjiran, tetapi kompensasinya apa? Permintaan kompensasi yang diutarakan oleh pemprov Jawa Barat adalah merupakan suatu kewajaran karena Kabupaten-kabupaten Bopunjur selama ini mengandalkan pemasukkan utama bagi kas daerahnya adalah dari pemberian izin pembangunan. Hal ini didapat dari pernyataan Kepala Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur, Ade Sutisna (Kompas, 11 Februari 2002), mengatakan bahwa pemberian izin pembangunan di daerahnya menyumbangkan 60 persen dari seluruh pendapatan asli daerah untuk kas daerah Kabupaten Cianjur. Hal ini cukup menjelaskan bahwa sumber pemasukan utama bagi Bopunjur adalah dari pembangunan
fisik.
Apabila
Bopunjur
harus
melakukan
penyetopan
pembangunan di Daerahnya, maka akan menyebabkan pemasukkan dana bagi kas daerahnya akan menurun. Dengan berlakunya otonomi daerah
daerah-daerah Bopunjur tersebut harus
mencari pemasukkan bagi kas daerahnya. Selain Bopunjur juga harus menanggung dampak lingkungan yang berat, seperti dampak sosial, kerusakan lingkungan dan lain sebagainya. Banyak kegiatan yang tumbuh di sekitar DKI Jakarta, seperti halnya industri ternyata belum memberikan nilai tambah yang tinggi, bahkan beberapa potensi pendapatan yang seharusnya didapatkan dari kegiatan tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh wilayah sekitarnya. Sedangkan perkembangan Jakarta tersebut memberikan dampak pada pertambahan jumlah penduduk akibat urbanisasi pada daerah hinterland tersebut Sementara itu pembagian hasil atau sharing dari pemerintah DKI Jakarta kepada Jawa Barat untuk mengatasi persoalan lingkungan di kawasan hulu tidak cukup signifikan. Demikian juga pendanaan dari pemerintah pusat di kawasan ini masih relatif kecil, di lain pihak APBD Provinsi Jawa Barat dan kabupaten/kota yang bersangkutan sangatlah tidak mencukupi untuk mengatasi permasalahan yang sangat besar di wilayah Bopunjur.
Kendala pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam menangani kawasan hulu yang merupakan pasokan air baku untuk waduk Jatiluhur karena Kapasitas fiskal pemerintah Provinsi Jawa Barat jauh lebih kecil dibanding kapasitas fiskal DKI Jakarta, sehingga kemampuan pemerintah Provinsi Jabar untuk memfasilitasi kabupaten dan kota di sekitar Jakarta tidak sebesar kemampuan pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam memfasilitasi kabupaten/kota di bawahnya. Sistem pemerintahan.Jawa Barat Berbeda dengan sistem pemerintahan di DKI jakarta dimana pada pemerintah provinsi DKI Jakarta memiliki kekuasaan karena kotamadya di bawahnya hanya bersifat administratif, sementara di Provinsi Jabar pemerintah provinsi dan kabupaten/kotamaya sama-sama merupakan daerah otonom, sehingga pemerintah provinsi tidak memiliki kapasitas pengendalian seefektif pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap Kabupaten/Kotamadya di bawahnya. Melihat uraian di atas jelas bahwa pada dasarnya Jawa Barat tidak keberatan dengan peraturan tersebut namun yang menjadi kendala mendasar adalah tidak adanya kompensasi dari pelaksanaan peraturan tersebut, karena Bopunjur sebagai daerah otonom dituntut untuk mencari dana untuk pengelolaan daerahnya, sementara Bopunjur mendapatkan sebagian besar dana dari pemberiaan izin pembanguna fisik di daerahnya.
4.5.3. Pemerintah DKI Jakarta Dari paparan di atas jelas bahwa DKI Jakarta merupakan daerah yang berada di hilir dalam suatu DAS. Maka keberadaan sumberdaya air di DKI Jakarta sangat dipengaruhi oleh daerah hulu (Bopunjur, Jawa Barat). Kondisi air tanah di DKI Jakarta saat ini terus menurun ketersediaannya, salah satu sebabnya adalah karena degradasi lingkungan di daerah Bopunjur. Masalah inipun telah disikapi oleh pemerintah pusat dengan mengeluarkan peraturan
mengenai Bopunjur sebagai daerah konservasi air. Namun peraturan ini tidak terlaksana karena tidak adanya kompensasinya. Sikap Pemerintah DKI Jakarta seharusnya mendukung terlaksananya pelaksanaan peraturan ini. Namun pada kenyataannya pemerintah DKI bersikap pasif. Sebagaimana pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo (Kompas 30 Januari 2009) menyikapi peraturan tersebut mengatakan bahwa harus ada peraturan yang rinci, siapa harus berbuat apa dan sanksi bagi yang tidak melakukan tanggung jawabnya. DKI Jakarta sebagai pihak yang diuntungkan dengan terlaksananya peraturan mengenai Bopunjur sebagai daerah konservasi air
seharusnya mendukung
peraturan dengan bersifat aktif dengan melakukan kerjasama dengan Pemda Bopunjur. Namun kenyataannya pemprov DKI hanya bersifat pasif . Sikap pasif DKI ini sebenarnya mempunyai sifat cenderung malas untuk melakukan sesuatu yang bersifat koordinatif dengan pemerintah daerah lainnya walaupun untuk kepentingan DKI Jakarta itu sendiri. Sebagai contoh adalah kegagalan pelaksanaan pengolahan sampah DKI Jakarta di Bojong Gede (Kabupaten Bogor, Jawa Barat) karena tidak adannya koordinasi dengan pihak pemerintah daerah setempat sehingga mengalami penolakkan dari masyarakat setempat. Persoalan ini adalah disebabkan karena kurangnya DKI Jakarta tidak melakukan koordinasi dengan pemerintah Daerah Jawa Barat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan dalam menanggapi kasus kegagalan Bojong Gede tersebut pada harian Kompas 16 Februari 2006 mengatakan bahwa pemerintah Jawa Barat tidak pernah diajak bicara. Jadi bagaimana kami bisa memfasilitasinya. DKI Jakarta sebenarnya membutuhkan kerjasama dengan Pemda Jabar, karena dengan tidak harmonisnya hubungan DKI Jakarta banyak mendapatkan kerugian, seperti membutukan biaya yang sangat besar untuk mengatasi banjir, penyediaan air bersih dll. Maka DKI Jakarta saat ini terus berkembang karena DKI membutuhkan dana yang sangat besar untuk mengelola kotanya.
Melihat dari paparan diatas, pada intinya DKI Jakarta setuju diperlukan upaya kerjasama dengan pemerintah Jawa Barat. Namun untuk melakukan kerjasama tersebut tidak cukup hanya dalam bentuk peraturan, namun harus ada petunjuk pelaksanaan yang rinci, siapa harus berbuat apa dan sanksi bagi yang tidak melakukan tanggung jawabnya. Sebenarnya disini dibutuhkan peran pemerintah pusat
untuk menjembatani masing-masing kepentingan, sehingga akan
didapatkan winwin solution
4.5.4. PAM Penyediaan air minum Jakarta dikelola, dioperasikan, dan dipelihara oleh PDAM DKI Jaya atau PAM Jaya sebagai BUMD milik Pemda DKI Jakarta. Sebagai utilitas publik, PAM Jaya telah beroperasi sejak tahun 1922. Dari uraian di atas jelas bahwa PAM Jaya memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan air bersih di DKI Jakarta. Namun PAM mempunyai kendala untuk meningkatkan pelayanannya Masalah pertama; PAM Jaya mengalami kesulitan untuk mendapatkan air baku. karena kesulitan mencari sumber air baku yang baru untuk dapat memenuhi kebutuhan air minum pelanggannya yang terus meningkat. Untuk meningkatkan kapasitas produksi air minum, PAM Jaya sudah mencoba membeli air curah produksi PDAM Kabupaten Tangerang. tetapi hal itu tidak berpengaruh terlalu besar untuk memenuhi peningkatan kebutuhan air bersih seiring dengan pesatnya peningkatan penduduk DKI Jakarta. Masalah yang kedua adalah pasokan air baku utama untuk PAM Jaya adalah dari waduk Jatiluhur. Suplai air baku dari Jatiluhur sering mengalami penurunan drastis bahkan penurunan sampai lebih dari 50 persen. Dampaknya produksi menurun dan pelanggan PAM Jaya akan mengalami gangguan dalam penyediaan air bersih. PAM Jaya tidak bisa berbuat apa-apa soal suplai air baku dari waduk Jatiluhur, karena PAM Jaya hanya membeli air baku waduk Jatiluhur dari Perum Jasa Tirta
II yang merupakan badan pengelola yang ditunjuk oleh Pemerintah pusat untuk mengelola waduk Jatiluhur.
Produksi air PAM
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Produksi air PAM 181,127 207,628 228,350 237,110 255,161 274,102 270,884
Sumber : PAM Jaya, 2006
4.5.5. Perum Jasa Tirta (PJT) II Perum Jasa Tirta (PJT) II adalah pengelola waduk Jatiluhur di bawah naungan Departemen Pekerjaan Umum. Waduk Jatiluhur terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta Provinsi Jawa Barat. Bendungan Jatiluhur adalah bendungan terbesar di Indonesia. Bendungan itu dinamakan Waduk Ir. H. Juanda (Waduk Jatiluhur), luasnya 8.300 ha. Bendungan ini mulai dibangun sejak tahun 1957 oleh kontraktor asal Perancis, dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9 milyar m3 pertahun dan merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia. Di dalam Waduk Jatiluhur, terpasang 6 unit turbin dengan daya terpasang 187 MW dengan produksi tenaga listrik rata-rata 1.000 juta kwh setiap tahun, dikelola oleh PT. PLN (Persero). Selain itu Waduk Jatiluhur memiliki fungsi penyediaan air irigasi untuk 242.000 ha sawah (dua kali tanam setahun), air baku air minum, budi daya perikanan dan pengendali banjir.
PJT II mempunyai peran yang sangat penting dalam masalah pemenuhan kebutuhan air bersih DKI Jakarta, hal ini mengingat bahwa kurang lebih 80 % pasokan air baku untuk PAM Jaya dari waduk Jatiluhur. Maka hal ini mengindikasikan bahwa untuk memenuhi kebutuhan air bersih sebagian penduduk DKI Jakarta sangat menggantungkan terhadap pasokan air baku dari Waduk Jatiluhur.
PJT II
Jawa Barat
Menanggapi permasalahan berkurangnya pasokan air baku kepada PAM Jaya, Kepala pemanfaatan untuk efisiensi dan konservasi sumber daya air Perum Jasa Tirta II, Ir. Sutisna Prikasaleh, mengatakan bahwa penyebab utama terjadi penurunan pasokan air baku ke PAM Jaya adalah karena cadangan air waduk mengalami penurunan pada saat kemarau panjang akibat berkurangnya pasokan air ke waduk Jatiluhur karena terjadi degradasi lingkungan (catchment area) di daerah hulu. Namun PJT II tidak mempunyai kewenangan untuk itu karena berada di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Pembagian hasil atau sharing dari hasil pengelolaan waduk Jatiluhur yang berada di wilayah Jawa Barat tersebut untuk mengatasi persoalan lingkungan di kawasan hulu tidak cukup signifikan. Direktur Utama PJT II Jatiluhur Djendam Gurusinga mengaku sama sekali tidak tahu mengenai urusan dana perimbangan dari pajak permukaan air waduk Jatiluhur kepada Pemerintah Daerah Jawa Barat, karena persoalan itu adalah merupakan kewenangan pemerintah Pusat. PJT II adalah badan yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat untuk mengelola waduk Jatiluhur. Daerah yang dikelola oleh PJT II hanya daerah Waduk Jatiluhur saja sedangkan daerah hulu yang memasok air bagi waduk Jatiluhur adalah kewenangan Pemerintah Daerah Jawa Barat. Dari gambaran diatas jelas bahwa keberadaan waduk Jatiluhur sangat dipengaruhi oleh kondisi daerah hulu sebagai pemasok air. Namun dalam pengelolaannya tidak ada kerjasama antara PJT II dengan Pemerintah Jawa Barat. Bahkan hubungan PJT II dengan Pemerintah Jawa Barat tidak harmonis. Hal ini terlihat dengan keluhan purwakarta merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang sekaligus merupakan lokasi waduk Jatiluhur. Purwakarta meminta bagi hasil dari pengelolaan waduk Jatiluhur karena selama ini Pemkab hanya mendapatkan dana yang kecil dari pengelolaan waduk yang berada di wilayahnya tersebut yaitu berupa Pajak Bumi Bangunan. Sementara PJT II tidak dapat memberikan bagi hasil pengelolaan air waduk Jatiluhur kepada Jawa Barat karena PJT II tidak mempunyai kewenangan dalam penggunaan dana dari pengelolaan waduk Jatiluhur.Sebagaimana dikatakan oleh Direktur Utama PJT II Djendam Gurusinga yang mengatakan bahwa PAM Jaya tidak dapat mempunyai kendali atas hasil dari pengelolaan waduk Jatiluhur karena disetorkan kepada Pemerintah Pusat melalui Departemen Keuangan. Maka persoalan uang hasil pengelolaan waduk Jatilhur adalah kewenangan Pemerintah Pusat. Melihat uraian di atas jelas bahwa masalah yang dialami oleh pengelolaan waduk Jatiluhur yang bersifat regional namun hanya dilakukan secara lokal. Sementara PAM Jaya saat ini masih sangat mengandalkan pasokan air bakunya dari waduk
jatiluhur. Maka selama masalah pengelolaan waduk jatiluhur belum dapat dibenahi, maka masalah suplai air baku dari waduk Jatiluhur tidak akan dapat diandalkan untuk pemenuhan kebutuhan air baku PAM Jaya.
4.6.
Pembahasan Kebijakan Sumur Resapan Untuk Mengatasi Krisis Air Tanah di DKI Jakarta.
Dari uraian di atas diketahui bahwa efektifitas sumur resapan untuk mengatasi krisis air tanah dipengaruhi oleh tingkat eksploitasi air tanah dan masalah imbuhan air tanah dari Bopunjur. Dari hasil analisis di atas dapat diketahui bahwa : 1.
Tingkat eksploitasi air tanah dipengaruhi oleh kebutuhan air bersih dan tingkat pelayanan PAM Jaya. a.
Kebutuhan air bersih
Dari hasil analisis di atas diketahui bahwa kebutuhan air bersih terus meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan fisik kota Jakarta. b.
Pelayanan PAM Jaya
Dari hasil analisis di atas diketahui bahwa PAM Jaya mengalami kendala untuk dapat memenuhi kebutuhan air bersih di DKI Jakarta. Kendala utama yang dihadapi oleh PAM Jaya adalah masalah air baku. PAM Jaya saat ini kesulitan untuk mendapatkan air baku tambahan untuk meningkatkan pelayanannya. Selain kesulitan untuk mendapatkan air baku tambahan, PAM Jaya sendiri mengalami kesulitan untuk menjaga kontinuitas suplai airnya kepada pelanggannya terutama pada musim kemarau karena terjadi penurunan pasokan air baku dari waduk Jatiluhur yang merupakan pemasok utama air baku kepada PAM Jaya. Maka melihat kebutuhan air bersih terus meningkat sementara pelayanan PAM seperti saat ini, maka tingkat eksploitasi air tanah akan terus meningkat. 2.
Dari hasil analisis di atas mengenai masalah imbuhan air tanah di DKI Jakarta diketahui bahwa ketersediaan air tanah di DKI Jakarta dipengaruhi oleh pasokan dari Bopunjur. Karena dari sisi topografi daerah Bopunjur
mempunyai curah hujan yang tinggi dan merupakan daerah yang berbukitbukit yang sangat cocok untuk menyimpan cadangan air tanah. Maka untuk menjamin ketersediaan air tanah di hilir Bopunjur termasuk DKI Jakarta, Pemerintah pusat mengeluarkan peraturan yang mengatur bahwa Bopunjur merupakan daerah konservasi air. Namun kenyataannya peraturan tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan karena dari waktu ke waktu kondisi Bopunjur terus mengalami degradasi lingkungan. Kondisi ini berdampak pada penurunan pasokan air tanah untuk DKI Jakarta, hal ini berdampak pada penurunan ketersediaan air tanah di DKI Jakarta.. Melihat dari hasil penelitian tersebut diatas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas kebijakan sumur resapan dalam upaya mengatasi krisis air tanah di DKI Jakarta jelas bahwa permasalahan krisis air tanah di DKI Jakarta adalah merupakan hasil dari produk lingkungan yang terbuka. Maka kebijakan sumur resapan tidak akan dapat menjawab masalah krisis air tanah di DKI Jakarta.