BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Industri Perusahaan Pembiayaan 4.1.1. Sejarah Perusahaan Pembiayaan di Indonesia Industri pembiayaan (multifinance) sesungguhnya belumlah terlalu lama di Indonesia, terutama bila dibandingkan dengan di negara-negara maju. Dari beberapa sumber, diketahui industri ini mulai tumbuh di Indonesia pada tahun 1974 yang didasarkan pada Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan. Setahun setelah dikeluarkannya SKB tersebut, berdirilah PT Pembangunan Armada Niaga Nasional (PANN) pada tahun 1975. Perusahaan tersebut kemudian mengganti namanya menjadi PT (Persero) PANN Multi Finance. Melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.61/1988, yang ditindaklanjuti dengan SK Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988, pemerintah membuka lebih luas lagi bagi bisnis pembiayaan, dengan cakupan kegiatan meliputi leasing, factoring, consumer finance, modal ventura dan kartu kredit. Sebagai sesama industri keuangan, perkembangan industri pembiayaan relatif tertinggal dibandingkan dengan yang lain, perbankan, misalnya. Terlebih lagi bila dibandingkan dengan perbankan pasca Pakto 1988. Deregulasi yang digulirkan pemerintah di bidang perbankan telah membuahkan banyak sekali bank, walaupun dalam skala gurem. Tetapi banyak kalangan menuding, justru Pakto 88 inilah menjadi
64
65
biang keladi suramnya industri perbankan di kemudian hari. Puncaknya, terjadi pada tahun 1996 ketika pemerintah melikuidasi 16 bank. Langkah itu ternyata masih diikuti dengan dimasukkannya beberapa bank lain dalam perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Meski demikian, perusahaan pembiayaan juga mampu berkembang cukup mengesankan. Hingga saat ini leasing di Indonesia telah ikut berkiprah dalam pembiayaan perusahaan. Jenis barang yang dibiayai pun terus meningkat. Jika sebelumnya hanya terfokus pada pembiayaan transportasi, kini berkembang pada keperluan kantor, manufaktur, konstruksi dan pertanian. Hal ini mengindikasikan industri pembiayaan kian dikenal pelaku usaha nasional. Ada beberapa hal menarik jika kita mencermati konsentrasi dan perkembangan perusahaan pembiayaan. Pada era 1989, misalnya, industri ini di Indonesia cenderung berupaya memperbesar aset. Perburuan aset tersebut diantaranya disebabkan tantangan perekonomian menuntut mereka tampil lebih besar, sehat dan kuat. Perusahaan yang tidak beranjak dari skala semula, tampak terguncang-guncang dana akhirnya tutup sama sekali. Dengan aset dan skala usaha yang besar, muncul anggapan perusahaan lebih andal dibandingkan yang lain. Bagi yang kapasitasnya memang terbatas, mereka berupaya agar tetap tampil megah dan gagah. Maka, dimulailah saling lirik dan penjajakan di antara sesamanya. Skenario selanjutnya, banyak perusahaan leasing yang melakukan penggabungan menjadi satu grup. Tampaknya, langkah ini membuahkan hasil positif. Selain modal dan aset menggelembung, kredibilitas dan penguasaan pasar pun ikut terdongkrak.
66
Namun gairah menggelembungkan aset tersebut berangsur-angsur mulai pudar. Karena pada tahun berikutnya (1990), industri pembiayaan mulai kembali pada prinsip dasar ekonomi. Mereka lebih mengutamakan keuntungan yang sebesarbesarnya. Sebenarnya, berubahnya orientasi ini dipicu oleh kian sengitnya persaingan di industri pembiayaan. Akibatnya, kehati- hatian menjadi agak terabaikan. Indikasinya, persyaratan untuk memperoleh sewa guna usaha menjadi semakin longgar. Bahkan, kabarnya di Bengkulu, orang bisa mendapatkan sewa guna usaha hanya dengan menyerahkan selembar kartu tanda penduduk (KTP). Pada tahun 1991, kembali terjadi perubahan besar-besaran pada perusahaan pembiayaan. Seiring dengan kebijakan uang ketat (TMP = tight money policy) – yang lebih dikenal dengan Gebrakan Sumarlin I dan II – suku bunga pun ikut meroket naik. Akibatnya, banyak kredit yang sudah disetujui terpaksa ditunda pencairannya. Dari sisi permodalan, TMP membuat perusahaan pembiayaan seperti kehabisan darah. Aliran dana menjadi macet. Kalaupun ada, harganya tinggi sekali. Itulah sebabnya banyak di antara mereka yang menggabungkan usahanya. Dengan bergabung, mereka lebih mudah dalam memperoleh kredit, termasuk dari luar negeri.
4.1.2. Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Perusahaan pembiayaan di Indonesia mendirikan sebuah organisasi profesi yang dinamakan Asosiasi Leasing Indonesia (ALI) pada 2 Juli 1982. Organisasi ini memiliki nama lain yaitu Asosiasi Lembaga Pembiayaan Indonesia. ALI didirikan sebagai satu-satunya wadah komunikasi bagi perusahaan-perusahaan pembiayaan. Di
67
sini mereka secara bersama-sama membicarakan dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. ALI juga hadir untuk memperjuangkan kepentingan anggotanya kepada pemerintah. Di sisi lain, organisasi ini juga bermaksud menjadi jembatan untuk meneruskan keinginan dan bimbingan pemerintah kepada para anggota. Sederet sasaran ideal menjadi tujuan didirikannya ALI. Paling tidak, pasal 6 ADnya menyebutkan lima tujuan utama organisasi ini. Di antaranya memajukan dan mengembangkan peranan lembaga pembiayaan di Indonesia serta memberikan sumbangsih bagi kemajuan perekonomian nasional. Dalam perjalanan sejarahnya, ALI mengalami pasang naik dan pasang surut. Para pengurus yang silih-berganti berupaya memberikan yang terbaik guna pemecahan, kemajuan dan perkembangannya. Sejak didirikan, tercatat sudah 12 kali terjadi pergantian kepengurusan. Sebetulnya, periodisasi kepengurusan ditetapkan tiap dua tahun. Namun dalam beberapa kasus, terjadi pergantian kepengurusan sebelum masa jabatan berakhir. Untuk pertama kalinya ALI dipimpin S. Ranty dan Muchsin Firdaus, masingmasing sebagai Ketua Umum (Ketum) dan Sekretaris Jenderal (Sekjen). Namun pada 16 Maret 1983, susunannya berubah menjadi Tryana Sjam'un sebagai Ketum dan D.S. Surianingrat menjadi Sekjen. Berikutnya, periode 1984-1985 ALI dipimpin Tryana Sjam'un dan Tjiptono Darmadji. Selanjutnya, pada periode Mei 1987-1989, Tjiptono memimpin ALI sebagai Ketum. Dia didampingi Indra Wijaya selaku Sekjen. Sedangkan pada 1989-1991, ALI dipimpin Dewobroto MS dan M.V. Adhiprabawa, masing- masing sebagai
68
Ketum dan Sekjen. Setelah itu, sang Sekjen naik menjadi Ketum pada periode 19911993. Dia didampingi Mustafa I. Jatim sebagai Sekjen. Agaknya, kaderisasi di tubuh ALI berlangsung lumayan mulus. Hal ini ditandai dengan duduknya Mustafa sebagai Ketum pada kepengurusan 1993-1995. Waktu itu, Albertus Banunaek dipercaya menjadi Sekjen. Seperti juga yang lain, Albert selanjutnya duduk menjadi Ketum pada periode berikutnya (1995-1997). Theresia Adiwijaya saat itu diberi mandat sebagai Sekjen. Dia sekaligus menjadi wanita pertama yang duduk di posisi pengurus teras ALI. Pasangan Albert dan Theresia agaknya cukup mendapat tempat di kalangan anggota. Hal itu dibuktikan dengan kembali mereka berdua dipercaya menjabat posisi tersebut untuk periode 1997-1999. Sesuai dengan tujuan didirikannya, ALI terus berupaya memberikan andil dan peran lebih berarti dalam peningkatan perekono mian nasional. Namun sayangnya ada saja masalah yang datang menghadang, baik dari kalangan intern maupun ekstern. Salah satu yang menjadi masalah serius saat itu adalah diterbitkannya Surat Edaran (SE) Bank Indonesia (BI) No. 28/11/UUPB, tanggal 26 Pebruari 1996. SE yang pada intinya menegaskan promes yang diterbitkan perusahaan multi finance dikategorikan macet. Akibatnya, berbekal SE tersebut, banyak bank yang mulai minta perusahaan pembiayaan segera membayar kembali promesnya, kendati belum jatuh tempo. Ini artinya, sumber dana perusahaan pembiayaan dari bank pun secara keseluruhan mengalami kemacetan. Kalangan perusahaan pembiayaan menilai telah terjadi kesalahpahaman. Sebetulnya, yang dikelompokkan macet dalam SE BI itu adalah promes lepas yang tidak menjadi bagian dari akad kredit dengan bank. Dengan demikian, sepanjang
69
promes itu menjadi bagian dari akad kredit, tentu saja tidak dikategorikan macet. Kesalahpahaman ini terjadi karena orang tidak menghayati makna dari SE BI itu. Mereka berharap BI secara tegas membagi promes apa saja yang dikategorikan macet. Jika di sana jelas-jelas disebutkan promes itu bagian dari akad kredit, mestinya tidak dikategorikan macet. Dengan demikian, multi finance masih mungkin menerima kucuran kredit bank. Pemerintah juga diminta menjelaskan soal ini lebih rinci lagi. Pasalnya, melalui SE tersebut, risiko usaha perusahaan pembiayaan secara langsung dinilai sangat buruk. Padahal, risiko kredit macet di perusahaan pembiayaan sangat kecil dimana kurang dari 1% dari jumlah keseluruhan kredit bank. Hambatan berikutnya yang tidak kalah menarik nya adalah anjloknya bisnis akibat hiruk-pikuk pesta demokrasi lima tahunan, Pemilu 1997. Lesunya bisnis secara umum terjadi karena suasana kampanye Pemilu diwarnai dengan berbagai kerusuhan dan keributan. Akibatnya, banyak klien bersikap wait and see. Pemilu menurunkan bisnis perusahaan pembiayaan. Jika ditelusuri permasalahan yang melibas bisnis multi finance, agaknya lebih banyak berputar pada sumber pendanaan. Terbitnya SE BI tadi, misalnya, jelas sangat berpengaruh pada kelangsungan sumber dana bagi perusahaan pembiayaan. Karenanya, kalangan ini berharap pemerintah membuka kemungkinan bagi mereka menjaring dana murah secara lebih leluasa. Misalnya, mengizinkan perusahaan dana pensiun dan asuransi melakukan private placement. Sejak perusahaan pembiayaan dilarang menerbitkan dan memperpanjang commercial paper, sumber dana menjadi lebih sulit. Padahal, mereka juga dilarang menggali dana langsung dari masyarakat. Praktis sumber dana hanya dari bank dan
70
para pemegang saham. Karena keterbatasan dana itulah bisnis pembiayaan menjadi sulit bersaing. Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang ketentuan sumber dana bagi multi finance. Pasalnya, ketika bisnis ini lesu darah akibat kurang dana, justru banyak lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang kelebihan likuiditas. Mereka kebingungan menyalurkan dananya, sehingga lebih banyak mengendapkan di deposito yang kurang produktif dan return-nya tidak maksimal. Kalau saja mereka diizinkan melakukan private placement ke perusahaan pembiayaan, tentu manfaatnya akan sangat besar. Masalah lain yang masih terasa akibatnya hingga kini adalah, dampak likuidasi 16 bank terhadap perusahaan pembiayaan. Pasalnya, ada empat bank terlikuidasi yang ada kaitannya dengan anggota ALI. Namun baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, mereka sudah mengupayakan penyelesaian sebaik-baiknya. Pada awalnya, tepatnya tanggal 2 Juli 1982 telah dibentuk Asosiasi Leasing Indonesia (ALI) yang berkedudukan di Jakarta sebagai satu-satunya wadah komunikasi bagi perusahaan-perusahaan leasing di Indonesia. Kehadiran ALI telah dirasakan manfaatnya oleh seluruh pelaku usaha leasing di Indonesia dan ALI telah berhasil melakukan berbagai aktivitas guna kepentingan para anggotanya, termasuk membantu pengembangan industri usaha leasing di Indonesia bersama pemerintah. Seiring dengan pertumbuhan sektor usaha jasa pembiayaan dan guna menampung aspirasi seluruh anggota maka pada tanggal 20 Juli 2000 telah diambil keputusan
untuk
mengubah
ALI
PEMBIAYAAN INDONESIA (APPI).
menjadi
ASOSIASI
PERUSAHAAN
71
Keputusan diatas sejalan dengan keberadaan usaha para anggota sebagai perusahaan pembiayaan yang dapat melakukan aktivitas usaha: sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), pembiayaan konsumen (consumer finance), dan kartu kredit (credit card). Dalam perkembangannya pada tanggal 21 Desember 2000 Asosiasi Factoring Indonesia (AFI) juga telah bergabung ke dalam APPI. Sesuai dengan tujuan didirikannya, APPI bersama pemerintah terus berupaya memberikan andil dan peran lebih berarti dalam peningkatan perekonomian nasional khususnya pada sektor usaha jasa pembiayaan. Visi APPI dinyatakan sebagai berikut: 1.
Mempersatukan, membina dan memberikan pelayanan kepada anggota untuk memajukan/mengembangkan usaha jasa pembiayaan sesuai dengan wewenang yang dimiliki dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia.
2.
Meningkatkan kerjasama, pertukaran informasi dan menumbuhkan sikap kebersamaan diantara para anggota Asosiasi maupun dengan pemerintah atau pihak ketiga lainnya, sehingga tercipta hubungan yang baik dan harmonis.
3.
Memajukan/meningkatkan peranan Lembaga Pembiayaan sebagai salah satu alternatif pembiayaan di Indonesia serta memberikan sumbangsih bagi kemajuan perekonomian nasional.
4.
Memberikan pendapat maupun saran kepada Pemerintah dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif bagi industri usaha jasa pembiayaan di Indonesia dan memperjuangkan kepentingan bersama para anggotanya.
72
5.
Mewakili perusahaan-perusahaan pembiayaan di Indonesia dalam kepentingan pembahasan perkembangan industri pembiayaan baik di dalam maupun di luar negeri. Misi APPI dinyatakan sebagai berikut:
1.
Menjadikan ASOSIASI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INDONESIA sebagai
wadah
utama
untuk
bertukar
pikiran
dan
informasi,
serta
mengumpulkan, mengadakan penelitian dan mengolah bahan-bahan keterangan yang berhubungan dengan masalah-masalah mengenai Lembaga Pembiayaan dalam arti seluas-luasnya. 2.
Menampung dan membahas masalah- masalah yang dihadapi para anggota dalam bidang pembiayaan dan bilamana perlu menyampaikan pendapatnya kepada Instansi Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dan/atau lembaga- lembaga lain yang berwenang.
3.
Memberikan penerangan, saran, pendidikan, latihan, dan bimbingan serta pelayanan kepada para anggota, guna meningkatkan kemampuan dan ketrampilan sumber daya manusia para anggota untuk memenuhi tenaga professional yang dibutuhkan.
4.
Membentuk komite-komite yang dianggap perlu baik ditingkat pusat maupun daerah
dalam
rangka
melancarkan
kegiatan/aktivitas
ASOSIASI
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INDONESIA. Menggalang kerjasama dan hubungan baik dengan Instansi/Badan/Lembaga Pemerintah dan Swasta, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang tidak bertentangan dengan azas dan tujuan ASOSIASI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
73
INDONESIA, serta dengan cara yang tidak bertentangan dengan perundangundangan yang berlaku. Melakukan usaha-usaha lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan azas dan tujuan ASOSIASI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INDONESIA.
4.1.3. Direktorat Perbankan dan Usaha Jasa Pembiayaan Menteri Keuangan Frans Seda dalam suratnya No. D.15.1.2.39 tanggal 23 Mei 1967 menambah jumlah direktorat yang ada pada Direktorat Jenderal Keuangan dari 3 direktorat menjadi 5 direktorat yaitu: Direktorat Moneter Dalam Negeri, Direktorat Hubungan Internasional, Direktorat Perbankan, Direktorat Perasuransian dan Direktorat
Iuran
Pembangunan
Daerah.
Berdasarkan
surat
ini
Direktorat
Perasuransian tidak mengalami perubahan. Pada tahun 1974 dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1974 yang mengganti nama Direktorat Jenderal Keuangan menjadi Direktorat Jenderal Moneter yang terdiri dari 6 direktorat yaitu: Direktorat Penerimaan Minyak, Direktorat Lembaga Keuangan, Direktorat Hubungan Keuangan Internasional, Direktorat Pembangunan Daerah, Direktorat Investasi dan Kekayaan Negara, dan Direktorat Pembinaan Keuangan Badan Usaha Negara. Nama Direktorat Jenderal Moneter kemudian diubah menjadi Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri yang terdiri dari 4 Direktorat yaitu : Direktorat Lembaga Keuangan, Direktorat Persero dan Badan Usaha Negara, Direktorat Investasi dan Kekayaan Negara, dan Direktorat Urusan Pangan dan Penerimaan Bukan Pajak. Direktorat Lembaga Keuangan terbagi atas: Sub Direktorat Asuransi Jiwa dan Sosial,
74
Sub Direktorat Asuransi Kerugian, dan Sub Direktorat Perbankan dan Jasa Pembiayaan. Bentuk Struktur organisasi ini diatur dalam Keputusan Presiden nomor 15 tahun 1978 tentang perubahan beberapa pasal dari Keputusan Presiden nomor 45 tahun 1974. Dikeluarkannya Keputusan Presiden nomor 15 tahun 1984 tanggal 6 Maret 1984 tentang susunan organisasi pada pasal 57 menguraikan bahwa Direktorat Jenderal Moneter Dalam Negeri terdiri dari: Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Lembaga Keuangan, Direktorat Pembinaan Badan Usaha Negara, Direktorat Urusan Pangan dan Penerimaan Bukan Pajak, dan Direktorat Dana Investasi. Sub direktorat yang ada pada Direktorat Lembaga Keuangan tidak mengalami perubahan. Visi Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Menjadi pengelola keuangan negara dan pembina indus tri jasa keuangan beserta profesi pendukungnya yang bertaraf international, senantiasa dipercaya dan dibanggakan masyarakat. Misi Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan 1. Fiskal •
Mengembangkan kebijakan fiskal yg sehat, credible, dan sustainable dalam lingkup pengelolaan penerimaan negara bukan pajak, pemberian subsidi dan penerusan pinjaman dana investasi pemerintah, serta pelaksanaan penugasan khusus dari Menteri Keuangan.
2. Ekonomi
75
•
Mengupayakan alternatif pembiayaan dan subsidi yang tepat sasaran untuk mengatasi permasalahan ekonomi.
•
Mendorong mobilisasi dana masyarakat oleh industri jasa keuangan untuk pembiayaan jangka panjang.
•
Menunjang upaya industri jasa keuangan untuk mengatasi berbagai risiko keuangan yang dihadapi masyarakat dan menyediakan alternatif pembiayaan usaha masyarakat.
3. Sosial Budaya •
Memberdayakan masyarakat dalam mengembangkan pemanfaatan jasa keuangan modern.
4. Politik •
Meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap sumber pembiayaan.
5. Kelembagaan •
Senantiasa memperbaharui diri sesuai tuntutan dan perkembangan mutakhir dalam penyelenggaraan administrasi dan pelayanan publik. Tugas dan Fungsi Direktorat Perbankan dan Usaha Jasa Pembiayaan berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 302/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan. •
Tugas Direktorat Perbankan dan Usaha Jasa Pembiayaan mempunyai tugas menyiapkan
perumusan kebijakan, standardisasi, evaluasi, dan pelaksanaan di bidang usaha jasa pembiayaan dan tugas di bidang perbankan yang menjadi wewenang Menteri
76
Keuangan di luar kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri Keuangan selaku pemegang saham. •
Fungsi Direktorat Perbankan dan Usaha Jasa Pembiayaan menyelenggarakan fungsi :
a. Penelaahan data kelembagaan, investasi, dan divestasi Modal Ventura; b. Penelaahan data kelembagaan dan jasa serta pembinaan dan pengawasan Perusahaan Pembiayaan; c. Pengkajian dan penyiapan rumusan pengaturan di bidang usaha jasa pembiayaan; d. Analisis data dan penyajian informasi di bidang perbankan yang menjadi wewenang Menteri Keuangan di luar kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri Keuangan selaku pemegang saham; e. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat.
4.1.4. Regulasi Perusahaan Pembiayaan Perusahaan pembiayaan dalam kegiatan operasionalnya diatur oleh peraturan pemerintah terutama dari Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. Hal ini ditujukan untuk memberikan iklim usaha yang kondusif bagi bisnis dan persaingan di antara perusahaan pembiayaan di Indonesia. Berikut ini disajikan beberapa peraturan perusahaan pembiayaan yang masih berlaku pada saat ini: 1. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor KEP-1500/LK/2005 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan dan Penyampaian Laporan Perusahaan Pembiayaan.
77
2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 45/KMK.06/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Nonbank 3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor KEP-2833/LK/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada Lembaga Keuangan Nonbank. 4. Keputusan Menteri Keuangan Repub lik Indonesia Nomor 185/KMK.06/2002 tentang Penghentian Pemberian Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan. 5. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/14/DSM tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Lembaga Keuangan Nonbank. 6. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/1/DSM tentang Perubahan atas Surat Edaran Nomor 3/14/DSM tanggal 13 Juni 2001 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Lembaga Keuangan Nonbank. 7. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. 8. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 172/KMK.06/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan. 9. Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 607/KMK.017/1995 dan 28/9/KEP/GBI tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan Pembiayaan oleh Bank Indonesia.
78
4.2. Perusahaan Pembiayaan: Wahana Ottomitra Multiartha Tbk 4.2.1. Sejarah Perusahaan PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk. (WOM Finance) berkedudukan di Jakarta didirikan dengan nama PT Jakarta Tokyo Leasing berdasarkan Akta Pendirian No. 179 tanggal 23 Maret 1982 yang kemudian diubah dengan Akta Perubahan Naskah Pendirian No. 96 tanggal 15 Desember 1982, keduanya dibuat di hadapan Kartini Muljadi, SH, Notaris di Jakarta, dalam akta ini nama perusahaan diubah dari PT Jakarta Tokyo Leasing menjadi PT Fuji Semeru Leasing yang memfokuskan bisnisnya pada pembiayaan motor baru khususnya merek Honda. Selanjutnya nama perusahaan diubah dari PT Fuji Semeru Leasing menjadi PT Wahana Ometraco Multi Artha berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat No. 225 tanggal 28 April 1997 yang dibuat di hadapan Misahardi Wilamarta, SH, Notaris di Jakarta.
Nama
perusahaan diuah kembali dari PT Wahana Ometraco Multi Artha menjadi PT Wahana Ottomitra Multiartha berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat No. 5 tanggal 15 Maret 2000 yang dibuat di hadapan Anna Wong, SH, Notaris di Tangerang. Tahun 2001 Perusahaan memasuki pasar motor bekas. Pada tahun 2003 Perusahaan memasuki pasar modal dengan penerbitan obligasi I WOM Finance senilai Rp 300
miliar dengan rating idA- (Single A minus) Stable Outlook dari
Pefindo (Pemeringkat Efek Indonesia) yang dilanjutkan dengan penerbitan obligasi II WOM Finance pada tahun 2005 senilai Rp 500 miliar dengan rating id A- (Single A
79
minus) Stable Outlook. Perusahaan menjadi PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk berdasarkan Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa No. 35 tanggal 29 September 2004 yang dibuat di hadapan Poerbaningsih Ad i Warsito, SH, Notaris di Jakarta. Selanjutnya per tanggal 13 Desember 2004, Perusahaan terdaftar di pasar Bursa Efek Jakarta menjadi Perusahaan Terbuka. Perusahaan melaksanakan berbagai kebijakan progresif dan kerja sama strategis sehingga Perusahaan berhasil mencatat prestasi sebagai Perusahaan Multifinance Terbaik untuk kategori aset di atas Rp 500 miliar sampai Rp 1 triliun dari majalah Investor dan InfoBank. Untuk menjaga pertumbuhan dan menjamin sumber pendanaan di masa depan, di tahun 2004, manajemen Perusahaan melakukan aliansi dengan PT Bank Internasional Indonesia Tbk. (BII). Komposisi permodalan dan kepemilikan saham PT WOM Finance Tbk telah mengalami perubahan sejak tahun berdirinya sejalan dengan perkembangan bisnis perusahaan. Terakhir, PT WOM Finance Tbk per 31 Desember 2005 dimiliki oleh pemegang saham dengan komposisi: PT Bank Internasional Indonesia Tbk (43%), International Finance Corporation (19%), DBS Nominees (Private) Limited (5%), Mochamad Thohir (4,83%), Yanto Kasiman (4,83%), Sus ianty Pranata (3,52%), Widjaya Budiman (1,77%), Benny Wennas (1,21%), dan masyarakat (16,84%).
4.2.2. Budaya Perusahaan Perusahaan memiliki visi menjadi salah satu perusahaan pembiayaan konsumen terbaik di Indonesia. Misi Perusahaan adalah mengutamakan kepuasan pelanggan dan mitra kerja lainnya, membangun kepercayaan dunia perbankan, mengembangkan dan
80
memperluas jaringan usaha terutama di daerah potensial, dan mengoptimalkan kinerja Perusahaan. Perusahaan memiliki nilai- nilai ”AFFECTION” berupa penghargaan (Appreciation), rasa kekeluargaan (Family Feeling), antusiasme (Enthusiasm), kreativitas (Creativity), dapat dipercaya (Trustworthy)
dan
ketetapan
hati
(determination). Budaya Perusahaan dengan tegas menyatakan keseriusan untuk: belajar (Learning), berbagi (Sharing) dan pelatihan tambahan untuk peningkatan keahlian (Coaching). Budaya untuk belajar dan membagi pengetahuan dan keahlian menjadikan jajaran manajemen (dari puncak hingga staf) terpacu untuk terus belajar agar bisa berbagi dan memberikan sesuatu bagi yang lain dalam meningkatkan produktivitas
kerja
dari
waktu
ke
waktu.
Budaya
Perusahaan
ini
akan
mengembangkan sumber daya manusia Perusahaan secara terus- menerus sehingga terwujud tenaga kerja yang efektif sebagai aset utama Perusahaan. Dengan adanya kompetensi tinggi dan kinerja yang optimal akan mempermudah manajemen PT WOM Finance Tbk memasuki persaingan global and meningkatkan imbal hasil yang optimal kepada para pemegang saham (stakeholders) Perusahaan. Di sisi lain, WOM Finance mewujudkan kepedulian sosialnya melalui beragam kegiatan sosial kemasyarakatan di berbagai daerah baik secara mandiri maupun dengan menjalin kerja sama dengan instansi lainnya.
Bertajuk program
HUMANIKASIH, perusahaan selalu melibatkan karyawan secara aktif saat kegiatan berlangsung bahkan sejak penghimpunan dana. Dengan demikian HUMANIKASIH sebagai unit kerja yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan sosial perusahaan tidak sekedar menyalurkan bantuan, namun sekaligus ikut memotivasi seluruh karyawan
81
WOM Finance untuk menyisihkan waktu di tengah kesibukan kerja agar dapat melakukan sesuatu yang berarti bagi sesama dan bagi lingkungan sekitarnya.
4.2.3. Bidang Usaha Perusahaan WOM Finance saat ini menjalankan usaha pembiayaan konsumen kendaraan roda dua dengan izin usaha dari Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam Surat Keputusan No. 135/KMK.06/2001 tanggal 20 Maret 2001. Pangsa pasar perusahaan berkisar 10% dari total sepeda motor yang terjual secara kredit sepanjang tahun 2005. Sampai dengan tahun 2005, Perusahaan terus memperluas pasar guna peningkatan pendapatan usaha melalui pembiayaan produk sepeda motor Jepang berbagai merek selain Honda melalui 92 jaringan cabang yang tersebar di pulau Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan. Hal ini disambut pasar dengan antusias karena memberikan lebih banyak pilihan merek bagi pelanggan WOM Finance untuk mendapatkan sepeda motor yang diinginkannya. Untuk pengembangan usahanya, WOM Finance menerapkan beberapa strategi sebagai berikut: a. Terfokus pada kualitas pembiayaan bukan pada kuantitas. b. Ketat menerapkan kebijakan uang muka (down payment) untuk menjaring pelanggan secara lebih selektif. c. Menjalin hubungan baik dengan menerapkan paket insentif menarik bagi dealer. d. Menjual merek sepeda motor Jepang selain Honda (multibrand). e. Meningkatkan pelayanan pada dealer dan pelanggan.
82
f. Menggelar program-program reward dan loyalty incentive berskala nasional maupun atas inisiatif yang diprakarsai kantor-kantor cabang bagi pelanggan.
4.2.4. Struktur Organisasi Board of Commissioners
President Director Benny Wennas
Corporate Secretary
Finance Director Bellynawaty B.
Internal Audit
Marketing Director Ardy Salim
Operation Director Irwan Suryadi
Risk Mgt Director Rudi Gomedi
Gambar 4.1. Struktur Organisasi
Pada tanggal 31 Desember 2005, susunan Dewan Komisaris dan Direksi PT WOM Finance Tbk adalah sebagai berikut: Presiden Komisaris
: Suwandi Wiratno
Komisaris
: Rita Mas’oen
Komisaris
: Garibaldi Thohir
Komisaris
: Robbyanto Budiman
Komisaris Independen
: Tan Siddharta
Presiden Direktur
: Benny Wennas
83
Direktur Keuangan
: Bellynawaty
Direktur Pemasaran
: Ardy Salim
Direktur Operasional
: Irwan Suryadi
Direktur Manajemen Risiko
: Rudy Gomedi
Berikut ini profil masing- masing Dewan Komisaris dan Direksi PT WOM Finance Tbk yaitu: 1. Suwandi Wiratno (Presiden Komisaris) Kelahiran tahun 1963, Suwandi menduduki posisi Presiden Komisaris di WOM Finance sejak bulan Juli 2005.
Setelah meraih gelar Master of
Business Administration dalam bidang keuangan dari Golden Gate University, San Fransisco, USA tahun 1987, Suwandi berkarir di bidang keuangan pada berbagai perusahaan nasional dan internasional, hingga terakhir menduduki posisi Direktur di PT Pricewaterhouse Coopers FAS. 2. Rita Mas’oen (Komisaris) Peraih BSc dari Arizona State University, USA ini bergabung sebagai Komisaris WOM Finance pada pertengahan tahun 2005. Berkarir sejak tahun 1984 di Arizona, USA, pada tahun 1985, Rita kembali ke Jakarta dan memilih dunia perbankan.
Sebagai rintisan karir perbankannya, Rita
bergabung dengan Citibank NA selama hampir 20 tahun di bagian teknologi, pemasaran, dan terakhir sebagai Senior Country Operation Officer membawahi bagian operasional dan teknologi. Di tahun 2005, Rita kemud ian bergabung dengan PT Bank Internasional Indonesia Tbk. sebagai Chief Operation Officer, Executive Management.
84
3. Garibaldi Thohir (Komisaris) Garibaldi Thohir kelahiran tahun 1965 ini menjadi Komisaris di WOM Finance sejak tahun 2003 hingga sekarang. Tahun 2004 tercatat sebagai Presiden Komisaris. Selain di WOM Finance, Garibaldi Thohir peraih gelar BSc dari University of Southern California, USA tahun 1988 dan MBA dari Northrop University, USA tahun 1989, juga aktif memimpin dan menjalankan berbagai perusahaan yang bergerak di bidang properti, retail, pertambangan, dan otomotif. 4. Robbyanto Budiman (Komisaris) Robbyanto Budiman menjadi Komisaris di WOM Finance sejak tahun 1997 hingga sekarang. Sejak tahun 1993 sampai sekarang Robbyanto menjabat sebagai Direktur Utama PT Wahana Makmur Sejati, main dealer sepeda motor Honda untuk wilayah Jakarta dan Tangerang. Robbyanto juga menjabat sebagai komisaris dan direksi di perusahaan lain dalam Grup Wahana Artha. Kelahiran tahun 1967 ini mulai bekerja untuk Citibank NA, Jakarta, dengan posisi terakhir sebagai Asset Services Unit Head, setelah meraih BSc dari University of Southern California, USA pada tahun 1987 dan MBA dari Northrop University, USA pada tahun 1989. 5. Tan Siddharta (Komisaris Independen) Tan Siddharta kelahiran tahun 1962 ini dipercaya sebagai Komisaris Independen WOM Finance sejak tahun 2004. Setelah meraih gelar Sarjana Akuntansi dari Universitas YAI, Jakarta tahun 1987, Beliau memilih profesi sebagai Akuntan Publik sejak tahun 1999 (terdaftar di Bapepam).
85
Hingga sat ini Beliau telah berpengalaman lebih dari 20 tahun di bidang audit, akuntansi, manajemen, dan keuangan, serta tercatat sebagai salah satu Anggota Ikatan Akuntansi Indonesia. 6. Benny Wennas (Presiden Direktur) Benny Wennas tercatat sebaga i salah satu pendiri WOM Finance. Benny yang lahir tahun 1955 dipercaya sebagai Presiden Direktur pada akhir tahun 1999, setelah sebelumnya menduduki posisi Komisaris.
Antara
tahun 1978 sampai dengan 1998, Benny berkarir sebagai General Manager di berbagai perusahaan manufaktur, hingga menduduki posisi Direktur di beberapa bank swasta nasional.
Peraih gelar Sarjana Akuntansi dari
Universitas Trisakti, Jakarta, serta MBA dari University of Hull, England ini juga mengikuti berbagai program manajemen di beberapa universitas yaitu Advanced Management Program dari Wharton School, University of Pennsylvania tahun 2005; Strategic Marketing Management dari Harvard Business School tahun 1997; Senior Executive Program dari Sasin Graduate Institute of Business Administration, Bangkok tahun 1995. 7. Bellynawaty Budiman (Direktur Keuangan) Lahir tahun 1969, Bellynawaty Budiman bergabung dengan WOM Finance sejak tahun 1997. Peraih gelar BSc di bidang Business Administration dengan fokus Financial Management dari California State University, Long Beach, USA ini sebelumnya pernah berkarir di bidang perbankan dan industri otomotif sejak tahun 1992. 8. Ardy salim (Direktur Pemasaran)
86
Sarjana Teknik Elektro Universitas Atmajaya, Ujung Pandang, kelahiran tahun 1963 ini bergabung dengan WOM Finance tahun 1999. Ardy pernah berkarir di bidang retail, financing consumer goods hingga mencapai posisi Direktur pada tahun 1995. Ardy juga pernah mengikuti program MBA/MT Kalbe Group antara tahun 1992-1993. 9. Irwan Suryadi (Direktur Operasional) Meraih Sarjana Akuntansi dari Universitas Jayabaya, Jakarta tahun 1982, kelahiran tahun 1957 ini bergabung dengan WOM Finance sejak tahun 1997. Konsisten berkarir di bidang akuntansi dan keuangan sejak tahun 1982 di berbagai perusahaan manufaktur, pada tahun 1996 Irwan menduduki posisi terakhir sebagai General Manager di PT Istana Kanematsu Indonesia. 10. Rudy Gomedi (Direktur Manajemen Risiko) Peraih BSc dari California State of Fresno, USA, kelahiran tahun 1966 ini bergabung dengan WOM Finance pada pertengahan tahun 2005. Sebelumnya Rudy berkarir di beberapa bank swasta nasional sejak tahun 1991, hingga terakhir menjabat posisi Division Head Corporate Risk Management. Berbagai pelatihan manajemen yang berkonsentrasi pada manajemen risiko diikutinya di beberapa negara seperti Singapura, Hongkong, dan Belanda.
4.2.5. Tata Kelola Perusahaan
87
Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan dijalankan WOM Finance untuk mendorong
pengelolaan
secara
profesional,
transparan,
dan
efisien
serta
memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Dewan Komisaris, Direksi, dan Rapat Umum Pemegang Saham. Tata kelola perusahaan yang baik diharapkan dapat meningkatkan daya saing perusahaan karena setiap pengambilan keputusan dan tindakan yang dilakukan perusahaan selalu dilandasi moral yang tinggi, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kesadaran atas tanggung jawab sosial terhadap stakeholders dan lingkungan sekitar. Komitmen
perusahan
untuk
memberikan
akses
keterbukaan
informasi,
akuntabilitas, kejujuran, dan tanggung jawab telah dijalankan dengan serius dan sungguh-sungguh. Langkah- langkah untuk melengkapi penyelengaraan tata kelola perusahaan secara utuh terus dilakukan meskipun belum sepenuhnya lengkap sehingga memiliki peraturan dan pelaksanaan yang tertulis dan sistematis. Dalam kaitan ini perusahaan telah memiliki Komite Audit. Anggota Komite Audit yang erdiri dari Tan Siddharta, Ting Ananta Setiawan, dan Rachmat Kurniawan ini menjalankan tugas-tugasnya sejak 1 Juli 2005 hingga RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) tahun 2007. Melengkapi perangkat ini perusahaan juga telah menunjuk Komisaris Independen, Tan Siddharta yang telah berpengalaman lebih dari 20 tahun dalam bidang audit, akuntansi, manajemen, dan keuangan. Selanjutnya, Komite Audit, Komisaris Independen, Manajemen Risiko, dan Internal Audit perusahaan bersama-sama menelaah ketaatan perusahaan terhadap
88
peraturan perundang- undangan, kesesuaian standar, pelaksanaan kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan. Pada kesempatan yang sama, perusahaan menjamin hak- hak publik dalam mendapatkan informasi tentang perusahaan, melalui penyebarluasan informasi kepada pemegang saham melalui media masa, Public Expose (Keterbukaan Informasi), dan Rapat Umum Pemegang Saham.
4.3. Analisis Top - Down 4.3.1. Analisis Ekonomi •
Prospek Ekonomi Dunia Ekonomi global di 2006 diperkirakan tumbuh stabil pada level moderat,
sama seperti tahun 2005 yang mencapai 4,3%. Pertumbuhan ekonomi dunia masih ditopang oleh ekspansi dari negara industri terutama AS, kawasan Euro dan Jepang seiring dengan masih tingginya permintaan domestik dan kegiatan investasi. Dari sisi eksternal, kondisi ini akan memberikan pengaruh yang relatif kondusif bagi perekonomian Indonesia. Ekonomi AS dan Jepang akan tumbuh stabil wala upun dihadapkan pada kebijakan moneter ketat dan masih tingginya harga minyak. Sementara itu, ekonomi kawasan Euro, akan membaik seiring dengan peningkatan domestik serta peningkatan kegiatan investasi akibat rendahnya suku bunga. Pertumbuhan ekonomi kawasan Asia diperkirakan akan tetap tinggi dengan motor penggerak masih pada ekonomi Cina dan India.
89
Laju inflasi dunia pada 2006 diperkirakan akan melambat. Menurunnya tekanan inflasi seiring dengan perkiraan masih berlangsungnya respon kebijakan moneter ketat oleh beberapa bank sentral hingga semester I 2006. Laju inflasi negara maju diperkirakan relatif rendah mencapai 2%, menurun dibandingkan tahun lalu yang
mencapai
2,2%. Sedangkan inflasi negara berkembang juga rendah,
diperkirakan hanya mencapai 5,7%. Tabel 4.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi Negara Utama Dunia Pertumbuhan Ekonomi (%) Negara 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 F AS E u r o Area Jepang Cina Inggris Dunia Negara
3.7 3.5 2.8 8.0 3.9 4.8 2000
0.8 1.6 0. 4 7.5 2.3 2.4
1.9 3.0 0.8 0.5 -0.3 1.4 8.3 9.3 1.8 2.2 3.0 4.0 Laju Inflasi (%) 2001 2002 2003
AS 3.4 2.8 1.6 2.3 Jepang -0.9 -0.7 -1 -0.2 E u r o Area 2.1 2.3 2.3 2.1 Inggris 0.8 1.2 1.3 1.4 China 0.4 0.7 -0.8 1.2 Sumber : Data Biro Pusat Statistik (BPS)
4.4 2.0 2.6 9.5 3.1 5.1
3.5 1.2 2.0 9.0 1.9 4.3
3.3 1.8 2.0 8.2 2.2 4.3
2004
2005
2006 F
2.7 0 2.1 1.3 3.9
3.1 -0.4 2.1 2.0 3. 0
2.8 -0.1 1.8 1.9 3.8
Harga komoditi non migas diperkirakan akan menurun yang disebabkan oleh meningkatnya pasokan komoditas tersebut terutama untuk produk pertanian, logam dan non logam. Sementara itu, harga komoditas migas masih akan meningkat. Menurut Laporan Ekonomi Bulanan Juli 2006 dari KADIN (Kamar Dagang dan Industri Indonesia), harga minyak dunia meningkat hingga posisi US$ 78 per barrel di pertengahan Juli 2006. Tetap tingginya harga minyak, sebagai salah satu downside risk yang dihadapi perkembangan ekonomi global, disebabkan oleh antara lain : (i) masih tingginya permintaan minyak dari AS dan Cina; (ii) kondisi pasar minyak
90
dunia yang cenderung ketat; (iii) peningkatan penawaran minyak dari negara OPEC tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan minyak dunia; dan (iv) masih tingginya ketidakpastian pasokan minyak seiring dengan tidak menentunya situasi politik dan keamanan di Timur Tengah. Masalah ini sangat berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi dunia dan meningkatkan laju inflasi. Sejalan dengan stabilnya pertumbuhan ekonomi global, volume perdagangan dunia diperkirakan juga tumbuh stabil di level 7,4%. Hal ini akan memberikan ruang yang cukup bagi ekspansi ekspor Indonesia. Kebijakan moneter ketat diperkirakan masih akan diterapkan oleh beberapa bank sentral hingga semester II 2006. The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunganya hingga kisaran 4,5%-5%. Sementara itu, European Central Bank (ECB) diperkirakan mempertahankan tingkat suku bunganya untuk meningkatkan kinerja perekonomian. Sebaliknya, Bank of England (BOE) diperkirakan akan menerapkan kebijakan moneter longgar. •
Prospek Ekonomi Indonesia Ekonomi Indonesia di tahun 2006 diperkirakan akan tumbuh relatif moderat
mencapai 5%-5,7%. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi akan sangat ditentukan oleh kinerja investasi dan konsumsi. Pertumbuhan ekonomi masih akan bertumpu pada konsumsi yang bersumber dari meningkatnya pengeluaran seiring dengan perkiraan mulai pulihnya daya beli masyarakat memasuki semester II 2006 terkait dengan rencana kenaikan gaji dan kenaikan upah minimum propinsi.
91
Tabel 4.2. Pertumbuhan Ekonomi dari Sisi Permintaan (%) atas dasar Harga Konstan 2000 (2003 – 2006 F) Rincian Total Konsumsi
2003
2004
2005
2006 F
4.55
4.60
4.41
4.0 - 5.0
-
Rumah Tangga
3.89
4.94
3.95
3.0 - 4.0
-
Pemerintah
9.97
1.95
8.06
13.0 - 14.0
Pembentukan Modal Tetap Dom. Bruto
1.04
15.71
9.93
8.4 - 9.4
Ekspor Brg & Jasa
8.19
8.47
8.6
7.4 - 8.4
Impor Brg & Jasa
2.73
24.95
12.35
9.1 - 10.0
PDB
4.88
5.13
5.60
5.0 – 5.7
Sumber : BI dan BPS
Penurunan daya beli masyarakat serta nilai tukar rupiah yang belum stabil diperkirakan akan menyebabkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga melamban menjadi 3%-4% dibandingkan tahun lalu yang mencapai 3,95%. Kinerja konsumsi swasta yang melemah terlihat dari survei konsumen BI akhir tahun 2005 yang menunjukkan masih pesimisnya keyakinan konsumen akan kondisi ekonomi saat ini serta ekspektasi konsumen dalam 6 bulan ke depan. Namun demikian, penerapan kebijakan peningkatan penghasilan tidak kena pajak mulai 1 Januari 2006 berpotensi meningkatkan konsumsi. Perlambatan konsumsi total tampaknya dapat dihindari karena adanya stimulus fiskal dari pemerintah yang mendorong pertumbuhan konsumsi pemerintah sehingga diperkirakan menjadi 13%-14%. Peningkatan konsumsi pemerintah berasal dari belanja pegawai seiring dengan pemberian gaji ke 13 serta peningkatan dana alokasi umum. Konsumsi pemerintah akan dapat tumbuh lebih tinggi lagi jika kucuran dana rehabilitasi Aceh dapat terealisasikan. Total konsumsi tahun 2006 diperkirakan tumbuh relatif stabil mencapai 4%-5%.
92
Jika dilihat dari sisi penawaran, beberapa sektor ekonomi diperkirakan akan tumbuh melambat di tahun 2006. Bagi produsen, penurunan daya beli masyarakat, kenaikan cost of capital serta kenaikan biaya produksi akan mempengaruhi tingkat produksinya. Tabel 4.3. Pertumbuhan Ekonomi dari Sisi Penawaran (%) atas dasar Harga Konstan 2000 (2003 – 2006 F) Rincian
2003
2004
2005
2006 F
4.34
4.06
2.49
1.9 - 2.9
(0.88)
(4.61)
1.59
(1.9) - (0.9)
Industri Pengolahan
5.33
6.19
4.63
5.1 - 6.1
Listrik, Gas & Air Bersih
5.88
5.91
6.49
8.3 - 9.3
Bangunan
6.67
8.17
7.34
5.4 - 6.4
Perdagangan, Hotel & Restoran
5.3
5.8
8.59
7.6 - 8.6
Pengangkutan & Komunikasi
11.57
12.7
12.97
10.5 - 11.5
Keuangan, Sewa & Jasa
7.02
7.72
7.12
7.0 - 8.0
Jasa-jasa
3.86
4.91
5.16
4.2 - 5.2
4.88
5.13
5.60
5.0 - 5.7
Pertanian Pertambangan & Penggalian
PDB
Sumber : BI dan BPS
Pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan mencapai 1,9%-2,9% di tahun 2006, relatif stabil seperti tahun 2005. Namun demikian, jika upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi padi tidak optimal, maka pertumbuhan diperkirakan akan lebih lambat. Sub sektor perkebunan diperkirakan akan meningkat seiring dengan perluasan perkebunan kelapa sawit. Sektor pertambangan & penggalian diperkirakan masih akan tumbuh negatif di tahun 2006. Hal ini disebabkan produksi minyak mentah hanya 1 juta barel per hari, lebih rendah dari tahun 2005 yang mencapai 1,075 barel per hari akibat tidak ada
93
eksplorasi sumur minyak baru. Sedangkan kinerja pertambangan non migas relatif stagnan akibat tidak adanya investor baru yang masuk, padahal kenaikan permintaan domestik maupun internasional akan komoditas tambang sangat besar. Sektor industri pengolahan di tahun 2006 diperkirakan akan cenderung stagnan, pada kisaran 5,1-6,1% akibat penurunan daya beli masyarakat. Perlambatan pertumbuhan diperkirakan akan terjadi sepanjang semester I 2006 dan berangsurangsur membaik pada semester II 2006, sejalan dengan perbaikan daya beli masyarakat dan stimulus dari pemerintah. Subsektor yang akan tumbuh tinggi antara lain adalah industri makanan minuman dan industri kimia akibat masih cukup tingginya konsumsi makanan. Industri logam dasar, besi & baja dan semen akan meningkat seiring dengan implementasi proyek infrastruktur pemerintah terutama pendidikan dan kesehatan serta proyek transmisi gas Sumatera Selatan–Jawa Barat. Industri tekstil juga berpeluang meningkat akibat kebijakan Uni Eropa dan AS yang membatasi ekspor TPT Cina. Sementara itu, industri alat angkutan akan mengalami penurunan. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memperkirakan penjualan mobil akan menurun dari 530 ribu unit di tahun 2005 menjadi hanya 450-500 ribu. Penjualan sepeda motor hanya akan tumbuh 5%-7%, anjlok tajam dari sekitar 17% di tahun lalu. Sektor listrik, gas & air bersih diperkirakan akan tumbuh stabil pada kisaran 8,3%-9,3% yang disebabkan pertumbuhan sektor industri yang juga stabil. Pembangunan pembangkit listrik non migas seperti PLTA Musi di Bengkulu, PLTU
94
Tarahan di Lampung, PLTA Renun di Sumut serta PLTP Lahendong di Sulut masih berlangsung. Jika proyek-proyek tersebut dapat diselesaikan pada triwulan III 2006, maka pertumbuhan sektor ini akan lebih tinggi lagi. Sektor bangunan diperkirakan akan tumbuh melambat di tahun 2006 hanya 5,4%-6,4%, yang disebabkan naiknya suku bunga kredit dan kenaikan harga jual rumah. Asosiasi Kontraktor Indonesia memperkirakan kegiatan konstruksi di 2006 akan menurun. Perusahaan Real Estat Indonesia juga memperkirakan bisnis properti akan melambat terutama sektor komersial. Namun demikian, sektor ini diperkirakan akan membaik sejak triwulan III 2006 seiring dengan menurunnya suku bunga dan perkiraan realisasi pembangunan proyek infrastruktur pemerintah. Sektor perdagangan, hotel & restoran di tahun 2005 diperkirakan tumbuh melambat menjadi 7,6%-8,6%. Asosiasi Pengusaha Ritel memperkirakan volume penjualan diperkirakan tumbuh 10%-15%, jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2005 yang mencapai 20%. Pengusaha Pemasok Pasar Modern memperkirakan pasokan barang kebutuhan sehari- hari ke pasar modern akan menurun hingga 20% pada 2006 akibat penurunan daya beli. Secara keseluruhan, sektor pengangkutan dan komunikasi diperkirakan tumbuh 10,5%-11,5%. Sub sektor pengangkutan diperkirakan akan tumbuh melamban dibanding tahun 2005 akibat meningkatnya ongkos transportasi dan melambatnya kegiatan ekonomi. Di tahun 2006, angkutan udara diperkirakan akan tumbuh lebih rendah akibat adanya penurunan jumlah penumpang seiring dengan adanya kebijakan pembatasan usia pesawat yang menyebabkan penurunan jumlah pesawat yang
95
beroperasi. Sedangkan angkutan darat diperkirakan akan tumbuh tinggi di triwulan II 2006 seiring dengan reformasi kebijakan di sektor perhubungan. Sementara itu, sub sektor komunikasi diperkirakan akan tetap tumbuh tinggi seiring dengan masih terbukanya peluang di bidang telekomunikasi. Asosiasi Telepon Seluler memperkirakan jumlah pelanggan meningkat menjadi 50,3 juta orang di 2006 dari 40 juta di tahun 2005. Sektor keuangan, sewa dan jasa diperkirakan tumbuh melamban 7%-8%. Di sub sektor bank, perlambatan pertumbuhan disebabkan menurunnya NIM (Net Interest Margin) akibat peningkatan suku bunga deposito lebih tinggi dari suku bunga kredit, menurunnya permintaan kredit seiring dengan melemahnya kegiatan ekonomi serta lebih selektifnya perbankan dalam melakukan ekspansi kredit akibat kenaikan NPL. Sub sektor lembaga keuangan bukan bank diperkirakan juga akan melambat akibat kenaikan suku bunga yang berdampak negatif pada nilai tambah lembaga keuangan bukan bank terutama perusahaan pembiayaan konsumen dan leasing. Kegiatan investasi swasta dalam tahun 2006 diperkirakan akan mengalami penurunan dibanding tahun lalu, hanya mencapai 8,4%-8,9%. Penurunan investasi ini terkait dengan lesunya prospek dunia usaha akibat melemahnya daya beli masyarakat pasca kenaikan harga BBM. Selain itu juga pengusaha dihadapkan pada peningkatan cost of capital sebagai akibat dari kenaikan suku bunga. Ketidakpastian prospek usaha ini menyebabkan pelaku usaha bersikap menunggu. Data dari sur vei BI mengindikasikan adanya perlambatan siklus pertumbuhan investasi terjadi sejak triwulan IV 2005.
96
Melemahnya kegiatan swasta diperkirakan akan dapat diimbangi oleh kegiatan investasi pemerintah. Dorongan stimulus fiskal yang memiliki efek pengganda besar terhadap perekonomian diharapkan akan menjadi tulang punggung kegiatan investasi tahun 2006. Dilihat dari sisi pembiayaan, kegiatan investasi di tahun 2006 diperkirakan akan cukup berat. Kredit perbankan diperkirakan hanya akan tumbuh 15%-20% dengan lebih banyak pada kredit konsumsi, sedangkan alternatif pembiayaan dari non perbankan juga akan lebih seret. Pembiayaan investasi dari luar negeri diperkirakan baru akan terjadi pada semester II 2006, sejalan dengan perkiraan mulai membaiknya kondisi makro ekonomi dan mulai bergulirnya proyek-proyek kerjasama bilateral dengan investor asing. Selain itu, faktor nilai tukar rupiah yang belum stabil juga berperan dalam menahan laju investasi yang disebabkan menurunnya kemampuan impor. Kuatnya pengaruh nilai tukar terhadap investasi disebabkan tingginya kandungan impor barang modal dalam kegiatan investasi. Kegiatan ekspor barang dan jasa diperkirakan akan tumbuh melamban dibanding tahun 2005, yaitu hanya mencapai 7,4%-8,4%. Kinerja ekspor tersebut sangat terkait dengan stabilnya pertumbuhan volume perdagangan dunia di tahun 2006 serta terus melemahnya daya saing. Ekspor barang non migas diperkirakan tumbuh moderat 15%-17%. Dari sisi internal, tantangan bagi kinerja ekspor antara lain : (a) ekonomi biaya tinggi yang menghambat daya saing ekspor; (b) lemahnya iklim usaha sehingga menghambat
97
investasi; dan (c) rendahnya akses terhadap prasarana terutama transportasi mengakibatkan inefisiensi perdagangan. Sejalan dengan melambannya kegiatan ekonomi, kegiatan impor barang dan jasa diperkirakan juga akan melambat dan tumbuh pada kisaran 9%-10%. Selain itu, potensi penurunan impor juga disebabkan oleh melemahnya/tidak stabilnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, impor barang non migas diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 16%-18%. Komoditas ekspor yang diperkirakan akan meningkat di tahun 2006 antara lain produk mesin/peralatan mesin, lemak dan minyak hewan dan nabati, batubara, karet & barang dari karet, pakaian jadi non rajutan, nikel, barang rajutan dan bubur kayu/pulp. Jepang masih merupakan tujuan utama ekspor terbesar Indonesia di 2005 yang mencapai USD9,62 miliar (14,5%) diikuti AS sebesar USD9,46 miliar (14,4%) dan Singapura sebesar USD7,10 miliar (10,7%). Laju inflasi 2006 diperkirakan akan jauh menurun dibandingkan tahun 2005. Secara statistik, inflasi IHK tahunan masih akan tinggi hingga mencapai 2 digit hingga triwulan III 2006. Namun di triwulan IV diperkirakan mulai menurun menjadi sekitar 9% hingga akhir tahun 2006. Laju inflasi keseluruhan di 2006 diperkirakan mencapai 7%-9% seiring dengan rencana kenaikan TDL (tarif dasar listrik) di triwulan I 2006 serta kenaikan harga dasar gabah di triwulan II 2006. Namun demikian, kebijakan administered price lainnya seperti kenaikan cukai rokok, elpiji dan tarif telepon lokal berpotensi
98
meningkatkan inflasi lebih tinggi lagi. Laju administered price diperkirakan akan menurun menjadi 6% setelah di tahun 2005 mencapai 32,5%. Nilai tukar rupiah yang belum stabil berpotensi akan meningkatkan inflasi melalui kenaikan biaya impor serta kenaikan biaya produksi. Sedangkan ekspektasi inflasi masyarakat dalam 6 bulan ke depan masih berada pada level yang tinggi yang diindikasikan survei penjualan eceran dan survei konsumen. Pada kelompok volatile foods diasumsikan tidak terjadi gangguan pasokan dan distribusi sehingga diperkirakan inflasi kelompok ini kembali normal sekitar 7% di akhir tahun 2006, setelah di tahun 2005 mencapai 14%. Inflasi inti diperkirakan akan tetap stabil di level 7% pada akhir tahun 2006. Perkiraan ini didorong oleh makin menyempitnya kesenjangan output seiring dengan perkiraan pasokan barang yang dapat mengimbangi permintaan, walaupun ekspektasi inflasi masih tinggi. Nilai tukar rupiah ditahun 2006 diperkirakan berkisar pada Rp9.500Rp10.000/USD. Dari sisi permintaan, valas masih didominasi permintaan pelaku domestik terutama sektor korporasi. Sejalan dengan penurunan kegiatan ekonomi di tahun 2006, permintaan valas akan juga melamban. Penurunan tajam pembelian valas akan diperkirakan terjadi pada kelompok industri otomotif dan industri logam. Dari sisi pasokan, stok valas banyak ditopang oleh aliran dana investasi portofolio sehingga dapat mengimbangi permintaan valas domestik. Imbal hasil yang rupiah yang cukup tinggi merupakan faktor penarik aliran dana asing. Namun demikian, investasi portofolio tersebut sangat sensitif pada sentimen jangka pendek.
99
Kenaikan biaya dana menyebabkan suku bunga kredit meningkat meskipun dengan laju yang lamban. Di tahun 2006, suku bunga kredit diperkirakan akan terus meningkat, berkisar pada 17,5%-18,5% seiring dengan masih tingginya SBI akibat tingginya inflasi. Namun per 5 September 2006, BI menurunkan rate SBI menjadi 11.25% sehingga suku bunga kredit mengalami penurunan pula dengan harapan dapat mendorong pertumbuhan usaha yang bergerak di sektor riil. Dibandingkan tahun 2004, perbankan di tahun 2005 mengalami penurunan kinerja. Namun di triwulan IV 2005, kinerja perbankan mulai berangsur membaik dibandingkan triwulan III 2005. Sementara di tahun 2006 prospek perbankan akan sedikit suram. Pertumbuhan kredit di tahun 2005 mencapai 24,3%, lebih tinggi dari yang ditargetkan sebesar 22%. Di tahun 2006 kredit diperkirakan tumbuh pada kisaran 20%. Dilihat per sektor, kredit pada sektor industri yang berorientasi ekspor dan perdagangan ritel akan mendominasi penyaluran kredit. Dilihat per jenis, kredit konsumsi akan tetap tumbuh tinggi, di atas 25% dengan kecenderungan meningkat akibat melemahnya sektor riil. Pertumbuhan dana diperkirakan tumbuh tinggi lebih dari 10%, seiring dengan meningkatnya suku bunga. Jika dilihat menurut jenis, deposito akan tumbuh tinggi seiring dengan meningkatnya suku bunga deposito dan shifting dari tabungan ke deposito, sedangkan dana jenis tabungan akan terkontraksi. Terhambatnya ekspansi kredit perbankan, secara langsung akan memperkecil LDR (Loan to Deposits Ratio) dan sebaliknya akan memperbesar GWM (Giro Wajib Minimum), dan sebagai akibatnya modal bank akan semakin terkikis. Ketika modal
100
bank mulai menyusut, uluran modal asing menjadi semakin menarik, dan hal yang mungkin dapat terjadi, kepemilikan bank nasional oleh pihak asing akan semakin marak pada 2006. Prospek ekonomi makro Indonesia juga dipengaruhi beberapa faktor risiko yang berdampak kurang menguntungkan (downside risk) antara lain : 1. Harga minyak yang masih tinggi dan cenderung tidak stabil. Harga minyak di tahun 2006 masih cenderung bergejolak, walaupun diperkirakan menurun. Potensi kembali melonjaknya harga minyak berasal dari berkurangnya pasokan dari negara penghasil minyak, sementara permintaan minyak dunia meningkat seiring dengan peningkatan volume perdagangan dunia. Meningkatnya harga minyak berdampak pada kenaikan harga komoditas internasional. Hal ini berakibat kemampuan melakukan impor bahan baku dan barang modal diperkirakan akan menurun sehingga berpengaruh pada kegiatan investasi dan kinerja sektor. Tingginya harga minyak juga menekan kondisi neraca pembayaran yang pada akhirnya akan menekan nilai tukar rupiah. Di sisi lain, dengan kemampuan fiskal sangat terbatas, naiknya harga minyak berakibat naiknya kembali harga BBM dalam negeri. Jika hal- hal ini terjadi, maka akselerasi pertumbuhan ekonomi ke depan akan semakin melambat. 2. Ketidakpastian pelaksanaan Kebijakan Pemerintah di bidang Investasi dan Ekspor. Arah ekonomi ke depan sangat dipengaruhi oleh kinerja investasi. Komitmen pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi merupakan faktor penentu bagi kesinambungan pertumbuhan ekonomi selanjutnya. Langkah nyata perbaikan iklim investasi sangat diperlukan guna menjaga persepsi positif pelaku ekonomi dan
101
usaha. Keberhasilan Infrastructure Summit tahun 2006 serta implementasi Paket Insentif 1 Oktober 2005 dan Paket Investasi terbaru yang dituangkan dalam Instruksi Presiden No.3 tahun 2006 yang antara lain mengatur penyederhanaan proses pembentukan perusahaan dan izin usaha, akan menentukan arah kegiatan investasi. Hal ini disebabkan dalam paket tersebut sektor pendukung kegiatan investasi seperti fiskal, perdagangan serta perhubungan mendapat prioritas. Namun jika langkah tersebut dan hambatan yang terjadi tidak ditangani serius, akan berakibat pada penurunan kinerja ekonomi secara keseluruhan. 3. Tingginya pengangguran dan rentannya pasar tenaga kerja. Melambannya ekonomi diperkirakan akan meningkat pengangguran secara tajam. Kondisi pasar tenaga kerja masih sangat rentan terhadap perubahan dan gejolak sosial yang disebabkan antara lain rendahnya tingkat pendidikan pekerja, peningkatan kesempatan kerja hanya terjadi pada sektor informal sedangkan sektor formal berjalan lamban serta tingkat upah minimum hanya mencukupi kebutuhan dasar. 4. Peningkatan Global Imbalance. Dengan perkiraan akan berakhirnya siklus kebijakan moneter ketat AS pada triwulan III 2006, ekonomi AS akan dihadapkan pada masalah global imbalance. Kondisi ini berisiko terhadap pelemahan nilai tukar US dolar. Pelemahan US dolar diperkirakan akan meningkatkan volatilitas kurs di negara berkembang termasuk Indonesia. 5. In-konsistensi kebijakan.
102
Kebijakan ekonomi seringkali tidak konsisten dengan penerapan strategi kebijakan. Seringkali penerapan beberapa kebijakan di waktu yang sama, namun orientasinya saling berlawanan. Tabel 4.4. Tabel Analisis Ekonomi Tingkat Pertumbuhan
Optimis
Dampak untuk WOMF
Amerika menurunkan suku bunga
Baik untuk WOMF melakukan
Investor asing masuk ke Indonesia
ekspansi
Pertumbuhan ekonomi mencapai 6% - 7%
growth sampai 30% atau lebih
bisnis
dan
dapat
Nilai tukar rupiah dibawah 9000 per dolar US$ Harga minyak dunia dibawah $60 per barrel Inflasi dibawah 8%
Most Likely
Suku bunga Amerika tetap
Pertumbuhan
WOMF
Pertumbuhan ekonomi antara 5% - 6%
berada
tingkat
Nilai tukar rupiah antara 9000 – 9500 per dolar US$
yaitu sekitar 20% wa ktu yang
Harga minyak dunia berada pada $ 60 - $70 per barrel
cukup baik untuk ekspansi
pada
akan normal
Inflasi diantara 8% - 10%
Pesimis
Amerika menaikkan suku bunga
Pertumbuhan
WOMF
Pertumbuhan ekonomi hanya 4% - 5%
berada pada kisaran 5% - 10%,
Nilai tukar rupiah diatas 9500 per dolar U$
lebih selektif dalam ekspansi
Harga minyak dunia diatas $ 70 per barrel
bisnis dan prinsip kehati-hatian
Inflasi diatas 10%
dalam
pemberian
pembiayaan
akan
kredit konsumen
ditingkatkan
Berikut ini pengujian hipotesa untuk mengetahui adanya atau tidak adanya hubungan antara imbal hasil IHSG, pertumbuhan ekonomi, laju GDP, laju inflasi, laju SBI rate 1 bulan, laju nilai tukar rupiah dan laju harga BBM Premium dengan imbal hasil indeks harga saham sektor keuangan. Pengujian hipotesa (data kwartalan dari Maret 1999 sampai dengan Juni 2006) 1. Hipotesis:
103
H0 : Tidak ada hubungan linier antara variabel X dan variabel Y (ß1 = ß2 = ß3 = ß4 = ß5 = ß6 = ß7 = 0) Ha : Ada hubungan linier antara variabel X dan variabel Y (ß ? 0) 2. Tingkat signifikan a yang akan digunakan = 5% 3. Jumlah sampel = 30 ( data kwartalan per Maret 1999 sampai dengan Juni 2006) 4. Teknik statistik uji yang sesuai : t-statitistik dan F-test statistik 5. Nilai kritis dari tabel: t0,025(df=30-7-1)= t0,025(df=22)= 2,0739 (buku Levine hal.844) F5%(df1=7,df2=30-7-1)= F5%(7,22) = 2,46 (buku Levine hal.847) 6. Mengumpulkan data dan menghitung nilai sampel dari statistik uji yang telah ditentukan. Berdasarkan atas summary output (hasil) perhitungan yang dilakukan dengan software SPSS versi 12.0. dan program excel template dari buku ”Aczel” Statistic, maka dapat diketahui ß dan koefisien korelasi (r) untuk masing- masing variabel X terhadap variabel Y. Tabel 4.5. Hasil Analisis Regresi Descriptive Statistics
INDEX FIN IHSG PERTUMB.EK. GDP
Mean .058518 .053377 .039480 .039311
Std. Deviation .2122253 .1765313 .0228512 .0362508
INFLASI SBI KURS BBM
.021088 .129723 .009445 .056511
.0214634 .0576530 .0958518 .1731198
N 30 30 30 30 30 30 30 30
104
Correlations INDEX FIN Pearson Correlation INDEX FIN IHSG PERTUMB.EK. GDP INFLASI SBI KURS BBM Sig. (1-tailed) INDEX FIN IHSG PERTUMB.EK. GDP INFLASI SBI KURS BBM N INDEX FIN IHSG PERTUMB.EK. GDP INFLASI SBI KURS BBM
Multiple Regression Results 0 1
IHSG
1.000 .911 .018 -.336 -.008 -.044 -.768 .014 . .000 .462 .035 .483 .410 .000 .471 30 30 30 30 30 30 30 30
PERTUMB. EK.
.911 1.000 -.008 -.454 -.072 -.025 -.633 .089 .000 . .482 .006 .353 .448 .000 .319 30 30 30 30 30 30 30 30
.018 -.008 1.000 -.096 -.003 -.858 -.015 .123 .462 .482 . .307 .494 .000 .469 .259 30 30 30 30 30 30 30 30
Laju 3
GDP -.336 -.454 -.096 1.000 .069 .107 .303 .103 .035 .006 .307 . .359 .287 .052 .294 30 30 30 30 30 30 30 30
Indeks 4
INFLASI -.008 -.072 -.003 .069 1.000 .201 -.026 .705 .483 .353 .494 .359 . .143 .445 .000 30 30 30 30 30 30 30 30
SBI
KURS
-.044 -.025 -.858 .107 .201 1.000 -.017 -.020 .410 .448 .000 .287 .143 . .464 .459 30 30 30 30 30 30 30 30
BBM
-.768 -.633 -.015 .303 -.026 -.017 1.000 -.089 .000 .000 .469 .052 .445 .464 . .320 30 30 30 30 30 30 30 30
.014 .089 .123 .103 .705 -.020 -.089 1.000 .471 .319 .259 .294 .000 .459 .320 . 30 30 30 30 30 30 30 30
Saham 5
Sektor 6
Keuangan 7
Inflasi 2.6293 0.8277 3.1768
SBI -0.602 0.4191 -1.4364
Kurs -0.7046 0.1528 -4.6097
BBM -0.3506 0.0985 -3.5584
Intercept 0.04473 0.09042 0.49463
IHSG 0.98536 0.09139 10.782
2 Pertumb Ekonomi -0.6431 1.0239 -0.6281
0.6258
0.0000
0.5364
0.0190
0.0044
0.1649
0.0001
0.0018
VIF
2.0662
4.3457
1.3438
2.5052
4.6348
1.7039
2.3102
ANOVA Table Source Regn. Error Total
SS 1.22578 0.08037 1.30615
df 7 22 29
MS 0.1751 0.0037 0.045
F 47.934
FCritical 2.4638
R2
0.9385
?=b s(b) t pvalue
GDP 0.9083 0.3589 2.5307
p-value 0.0000
R s
0.9688 0.0604
Adjusted R2
0.9189
Besar hubungan (korelasi) linier antar variabel laju indeks harga saham sektor keuangan dengan variabel bebas diurutkan dari terbesar ke terkecil: ü Imbal hasil IHSG = 0,911
105
ü Laju nilai tukar rupiah = 0,768 (tanda ’-’ hanya menunjukkan arah hubungan yang berlawanan) ü Laju GDP = 0,336 (tanda ’-’ hanya menunjukkan arah hubungan yang berlawanan) ü Laju tingkat bunga SBI 1 bulan = 0,044 (tanda ’-’ hanya menunjukkan arah hubungan yang berlawanan) ü Pertumbuhan Ekonomi = 0,018 ü Laju harga BBM premium = 0,014 ü Laju inflasi = 0,008 (tanda ’-’ hanya menunjukkan arah hubungan yang berlawanan) Analisis: •
Terjadi korelasi yang cukup kuat antara variabel imbal hasil IHSG dengan variabel laju nilai tukar rupiah (korelasi antar variabel tersebut di atas 0,5). Hal ini menandakan adanya multikolinieritas, atau korelasi di antara kedua variabel bebas tersebut.
•
Tingkat signifikan koefisien korelasi satu sisi dari output (diukur
dari
probabilitas) menghasilkan angka yang bervariasi, dengan catatan variabel pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, laju SBI rate 1 bulan dan laju harga BBM premium tidak berkorelasi secara signifikan (mempunyai nilai signifikansi di atas 0,05) dengan variabel lainnya.
106
•
R2 = 0,9385 berarti 93,85% laju indeks saham sektor keuangan bisa dijelaskan oleh variabel imbal hasil IHSG, pertumbuhan ekonomi, laju GDP, laju inflasi, laju SBI rate 1 bulan, laju nilai tukar rupiah dan laju harga BBM Premium.
•
Standard error of estimate (s) = 0,0604 lebih kecil daripada standar deviasi imbal hasil indeks saham sektor keuangan = 0,2122, maka model regresi lebih baik digunakan sebagai prediktor imbal hasil indeks saham sektor keuangan daripada rata-rata imbal hasil indeks saham sektor keuangan itu sendiri.
•
Menggambarkan (interpretasi) model persamaan regresi berganda Y= 0,045 + 0,985X1 - 0,643X2 + 0,908X3 + 2,629X4 - 0,602X5 - 0,705X6 0,351X7 + e Dimana:
Y = Imbal hasil indeks saham sektor keuangan X1 = Imbal hasil IHSG X2 = Pertumbuhan Ekonomi X3 = Laju GDP X4 = Laju inflasi X5 = Laju tingkat bunga SBI 1 bulan X6 = Laju nilai tukar rupiah X7 = Laju harga BBM premium
Persamaan tersebut berarti: - Konstanta sebesar 0,045 menyatakan bahwa jika tidak ada imbal hasil IHSG, pertumbuhan ekonomi, laju GDP, laju inflasi, laju SBI rate 1 bulan, laju nilai
107
tukar rupiah dan laju harga BBM Premium, maka laju indeks saham sektor keuangan adalah sebesar 0,045 - Koefisien regresi X1 sebesar 0,985 menyatakan bahwa setiap penambahan (karena tanda +) 1% imbal hasil IHSG akan meningkatkan laju indeks saham sektor keuangan sebesar 0,0099 - Koefisien regresi X2 sebesar 0,643 menyatakan bahwa setiap penurunan (karena tanda -) 1% pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan laju indeks saham sektor keuangan sebesar 0,0064 - Koefisien regresi X3 sebesar 0,908 menyatakan bahwa setiap penambahan (karena tanda +) 1% laju GDP akan meningkatkan laju indeks saham sektor keuangan sebesar 0,0091 - Koefisien regresi X4 sebesar 2,629 menyatakan bahwa setiap penambahan (karena tanda +) 1% laju inflasi akan meningkatkan laju indeks saham sektor keuangan sebesar 0,0263 - Koefisien regresi X5 sebesar 0,602 menyatakan bahwa setiap penurunan (karena tanda -) 1% laju tingkat bunga SBI 1 bulan akan meningkatkan laju indeks saham sektor keuangan sebesar 0,0060 - Koefisien regresi X6 sebesar 0,705 menyatakan bahwa setiap penurunan (karena tanda -) 1% laju nilai tukar rupiah akan meningkatkan laju indeks saham sektor keuangan sebesar 0,0071 - Koefisien regresi X7 sebesar 0,351 menyatakan bahwa setiap penurunan (karena tanda -) 1% laju harga BBM premium akan meningkatkan laju indeks saham sektor keuangan sebesar 0,0035
108
- Uji t untuk menguji signifikansi konstanta dan tujuh variabel lainnya. Berdasarkan probabilitas: Jika probabilitas (p-value) > 0,05, maka H0 diterima Jika probabilitas (p-value) < 0,05, maka H0 ditolak •
Dilihat dari baris p-value di atas, variabel yang memiliki cukup bukti untuk menolak H0 adalah variabel imbal hasil IHSG, laju GDP, laju inflasi, laju nilai tukar rupiah dan laju harga BBM Premium kecuali pertumbuhan ekonomi dan laju SBI rate 1 bulan. Untuk laju IHSG, laju inflasi, laju nilai tukar rupiah dan laju harga BBM berpengaruh sangat signifikan terhadap laju indeks saham sektor keuangan karena p-value nya < 0,01. Sedangkan pertumbuhan ekonomi dan laju SBI rate 1 bulan berpengaruh tidak signifikan terhadap laju indeks saham sektor keuangan karena p-value nya > 0,05.
•
Dengan tingkat signifikan a yang digunakan = 5%, maka nilai kritis dari distribusi t diperkirakan + 2,0739. Jika t-statistik di antara -2,0739 dan +2,0739, maka H0 diterima dan begitupula sebaliknya. Dari baris t di atas, variabel yang memiliki t-statistik di antara -2,0739 dan +2,0739 adalah variabel pertumbuhan ekonomi (-0,6281 ) dan laju SBI rate 1 bulan (-1.4364) yang berpengaruh tidak signifikan terhadap imbal hasil indeks saham sektor keuangan.
•
Dengan tingkat signifikan a yang digunakan = 5%, maka nilai kritis dari distribusi F diperkirakan 2,4638. Karena Fstat = 46,03 > Fkritis = 2,4638, atau tingkat probabilitas (p-value) = 0,0000 < a = 0,05, maka diperoleh cukup bukti untuk menolak H0 .
109
Kesimpulan: Ha : ß ≠ 0 (Ada hubungan linier antara variabel X dan variabel Y), yang artinya adanya hubungan antara imbal hasil IHSG, pertumbuhan ekonomi, laju GDP, laju inflasi, laju SBI rate 1 bulan, laju nilai tukar rupiah dan laju harga BBM Premium dengan imbal hasil indeks harga saham sektor keuangan. Model persamaan regresi berganda yang diperoleh di atas dapat dipakai untuk memprediksi imbal hasil indeks saham sektor keuangan dimana PT. WOMF merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di sektor keuangan bukan bank.
4.3.2. Analisis Industri Walaupun kehadiran perusahaan pembiayaan (multifinance) di Indonesia tergolong relatif baru dibandingkan negara- negara lain khususnya negara maju, industri ini telah menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Dimulai pada 1974 yang dilandasi oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menteri Keuangan, Menteri Industri dan Menteri Perdagangan). Terakhir atas dasar Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 172/KMK.06/2002, jenis usaha pembiyaan meliputi leasing (sewa guna usaha), factoring (anjak piutang), kartu kredit, dan consumer finance (pembiayaan konsumen). Dari sisi aset, pertumbuhan perusahaan pembiayaan tergolong cukup tinggi dengan peningkatan rata-rata 28,26% per tahun dalam kurun waktu 2000-2005. Kenaikan tertinggi terjadi pada 2004 yakni sebesar 57,49%, dengan total asset
110
Rp70,90 triliun. Sedangkan pada 2005 posisi aset meningkat lagi menjadi Rp96,50 triliun, dari Rp70,90 triliun pada 2004, atau meningkat 22,31%.
120.00
Rp Triliun
100.00
96.50
80.00
78.90
60.00 50.10 40.00
35.80
37.30
39.90
20.00 0.00 2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 4.2. Perkembangan Aset Perusahaan Pembiayaan Perkembangan industri pembiayaan yang cukup pesat tidak lepas dari dukungan lingkungan ekonomi yang kondusif, antara lain karena peningkatan konsumsi total dan konsumsi masyarakat serta suku bunga SBI yang cenderung stabil. Meskipun dalam jangka waktu 5 tahun mendatang, sektor investasi dan eksporimpor lebih menentukan pertumbuhan ekonomi, namun konsumsi diperkirakan masih tetap meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada 2005 konsumsi tumbuh 4,7%, pada 2009 konsumsi diperkirakan akan tumbuh 6,3%. Meskipun sedikit lebih rendah dari pertumbuhan konsumsi total, konsumsi masyarakat diperkirakan juga akan naik dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2005 konsumsi masyarakat tumbuh 5,0%, pada 2009, konsumsi masyarakat diharapkan dapat tumbuh 5,6%. Perkembangan Industri Pembiayaan dilihat dari Jenis Pembiayaan
111
Sejalan dengan peningkatan aset, total pembiayaan pun mengalami kenaikan sebesar 8,91% per tahun dalam kurun waktu 2000–2005, dengan kenaikan terbesar pada tahun 2003 yang mencapai 77,35%. Tabel 4.6. Nilai Kegiatan Usaha Pembiayaan dalam Triliun Rupiah Uraian 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Sewa Guna Usaha 7.70 9.60 9.20 10.70 17.20 32.00 Pembiayaan Anjak Piutang 2.60 1.50 2.40 8.00 2.00 3.00 Pembiayaan Kartu Kredit 0.60 1.30 2.00 0.10 0.05 1.50 Pembiayaan Konsumen 55.90 32.40 20.40 41.50 67.80 66.00 Total Pembiayaan 66.80 44.80 34.00 60.30 87.05 102.50 Sumber: Departemen Keuangan Pembiayaan konsumen menunjukkan peranan yang sangat penting sebagai motor penggerak industri pembiayaan mulai tahun 2000 seiring dengan meningkatnya konsumsi masyarakat. Pada tahun 2005, pembiayaan konsumen memberikan kontribusi hingga 64,39% terhadap total pembiayaan. Bandingkan pembiayaan lainnya seperti sewa guna usaha yang hanya mencapai 31,22%, anjak piutang 2,93%, dan kartu kredit 1,46%. Dibandingkan
sektor
konsumen,
sektor
corporate
tidak
menunjukkan
perkembangan yang signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh dua alasan utama yaitu: tingginya cost of fund yang membuat perusahaan pembiayaan sulit bersaing dengan perbankan yang menawarkan bunga yang lebih rendah, serta sangat diperlukannya sumber daya manusia dengan keahlian khusus yaitu analisa yang tajam serta pengetahuan industri yang baik. Penyebab lain yang tidak kalah pentingnya adalah tingginya risiko pada sektor corporate. Dilihat dari sisi kolektibilitas, pembiayaan konsumen memiliki NPL yang paling kecil (0.9%) dibandingkan dengan anjak
112
piutang (54.9%), sewa guna usaha (7.8%) dan kartu kredit (2.4%) per 31 Desember 2004. Namun demikian, sektor korporat mempunyai potensi untuk berkembang seiring dengan membaiknya indikator ekonomi makro. Sewa guna usaha dan anjak piutang diperkirakan akan mulai bergerak pada semester pertama 2006. Berbeda dengan sektor korporat, sebagai penggerak utama industri pembiayaan sektor konsumen mencetak pertumbuhan yang signifikan. Pada 2004 misalnya, pertumbuhan pembiayaan konsumen mencapai 63,37% walaupun pada 2005 mengalami penurunan sebesar 2,66% dibandingkan 2004. Sementara dalam kurun waktu 2000-2005, pembiayaan konsumen tumbuh 18,07%. Pertumbuhan yang cukup signifikan ini tidak lepas dari dukungan tingginya konsumsi masyarakat terutama pada sektor otomotif. Pada 2005 misalnya, total penjualan mobil di Indonesia mencapai 533 ribu unit. Diperkirakan 20% dari pembelian tersebut dilakukan secara tunai, dan sisanya sebanyak 80% dibayar secara kredit dimana 75%-nya dibiayai oleh perusahaan pembiayaan. Sementara pada periode yang sama penjualan sepeda motor tercatat 5 juta unit yang 70 persen diantaranya dibeli secara kredit. Dengan demikian, dapat diperkirakan betapa besar peranan perkembangan sektor otomotif pada industri pembiayaan.. Permintaan mobil dan sepeda motor diperkirakan masih akan tinggi dan terus meningkat dalam beberapa tahun kedepan mengingat masih relatif buruknya infrastruktur dan sarana transportasi di Indonesia serta masih relatif rendahnya tingkat penetrasi pasar mobil maupun sepeda motor dibandingkan jumlah penduduk. Diperkirakan tingkat penetrasi mobil di Indonesia baru mencapai 30:1 (setiap 30
113
penduduk memiliki 1 unit mobil). Sementara tingkat penetrasi pasar sepeda motor diperkirakan mencapai 12:1 . Angka ini jauh lebih rendah dibanding tingkat penetrasi sepeda motor di Thailand yang mencapai angka 5:1. Menyikapi permintaan sepeda motor yang semakin besar, pabrik sepeda motor pun terus meningkatkan produksinya. Pada tahun 2005 produksi sepeda motor mencapai 5,6 juta unit, naik 21% dibandingkan tahun 2004 namun tahun 2006 diprediksi mengalami penurunan produksi menjadi 4,8 juta unit mengingat pada semester I 2006, penjualan sepeda motor mengalami penurunan sekitar 26,2% menjadi 1,81 juta unit dari 2,45 juta unit pada semester I 2005. Tingginya permintaan masyarakat dan peningkatan produksi kendaraan bermotor menjanjikan keuntungan yang besar bagi perusahaan pembiayaan. Apalagi jika dilihat dari pemberian rate yang cukup tinggi (sebesar 16% - 19% untuk mobil baru, 18% 26% untuk mobil bekas dan 26% - 30% untuk sepeda motor, serta risiko yang rendah dengan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) sebagai jaminan, pembiayaan konsumen sektor otomotif khususnya sepeda motor masih akan terus diminati. Beberapa perusahaan yang mendominasi pembiayaan sepeda motor di Indonesia antara lain Federal International Finance (FIF), Adira Finance, Wahana Ottomitra Multiartha (WOM) Finance dan Mandala Finance (Investor Indonesia). Pendanaan Industri Pembiayaan Indonesia Sumber dana perusahaan pembiayaan di Indonesia masih didominasi oleh pendanaan dari Bank dengan porsi sebesar 69,01% diikuti oleh pinjaman lainnya sebesar 16,23%, obligasi sebesar 14,26%, serta pinjaman subordinasi sebesar 0,50% per 31 Desember 2005.
114
Tabel 4.7. Posisi Kewajiban Perusahaan Pembiayaan menurut Sumber Dana dalam Miliar Rupiah Keterangan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 A. Pinjaman yang Diterima 1. Dalam Negeri 17,124 17,916 16,616 15,629 21,532 29,503 a. Bank 11,303 14,200 13,185 14,667 20,798 25,037 b. Lainnya 5,821 3,716 3,431 962 734 4,466 2. Luar Negeri 12,472 11,013 9,795 11,688 22,969 31,305 a. Bank 7,573 6,950 5,615 6,886 18,623 24,195 b. Lainnya 4,899 4,063 4,180 4,802 4,346 7,110 Subtotal 29,596 28,929 26,411 27,317 44,501 60,808 - Bank 18,876 21,150 18,800 21,553 39,421 49,232 - Lainnya 10,720 7,779 7,611 5,764 5,080 11,576 B. Obligasi 843 749 1,677 4,003 8,861 10,171 C. Pinjaman Subordinasi 1. Dalam Negeri 450 453 303 226 230 241 2. Luar Negeri 1,260 1,757 1,672 1,707 1,928 117 Subtotal 1,710 2,210 1,975 1,933 2,158 358 D. Total 32,149 31,888 30,063 33,253 55,520 71,337 Sumber: Bank Indonesia Pinjaman dari bank mendominasi sumber pendanaan dengan total mencapai Rp49.232 miliar pada tahun 2005, naik 24,89% dibandingkan tahun 2004 sebesar Rp39.421 miliar. Tren ini didukung oleh suku bunga pinjaman bank yang relatif rendah mengikuti suku bunga SBI yang masih berkisar 12,75%. Selain itu, bank lebih memilih untuk menyalurkan kredit otomotifnya melalui perusahaan pembiayaan dengan alasan jaringan perusahaan pembiayaan yang lebih luas dan preferensi masyarakat yang lebih memilih perusahaan pembiayaan karena servis yang ditawarkan lebih baik, jika ditinjau dari kecepatan, pelayanan dan kemudahan. Sedangkan dilihat dari perkembangannya, jenis pendanaan obligasi mengalami kenaikan yang sangat besar pada periode 2000–2005 yaitu 184,42% per tahun, dibandingkan dengan pinjaman bank yang berada pada angka 26,83% per tahun, pinjaman lainnya yang mencapai 1,33% per tahun sedangkan pinjaman subordinasi
115
mengalami kemerosotan sebesar 13,18% per tahun. Per 31 Desember 2005, jumlah obligasi mencapai angka Rp10,171 miliar, naik 14,78% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp8,861 miliar. Tren ini disebabkan karena tenor obligasi yang lebih panjang, sehingga perusahaan pembiayaan beramai-ramai untuk menerbitkan obligasi sebagai salah satu sumber pendanaannya. Kerjasama Bank & Perusahaan Pembiayaan Hubungan antara perusahaan pembiayaan dan bank tidak hanya sebatas penerima dan pemberi kredit namun lebih dari itu, kongsi antara perusahaan pembiayaan dan bank akhir - akhir ini telah menjadi suatu tren di kalangan industri pembiayaan. Didasari oleh pertimbangan ekonomi, simbiosis mutualisme antara bank dan perusahaan pembiayaan diharapkan dapat menciptakan peluang bisnis yang lebih besar ketimbang apabila keduanya berdiri sendiri-sendiri. Bank melihat perusahaan pembiayaan sebagai potensi untuk memperluas jaringan dan memperkuat posisinya untuk bersaing pada penyaluran kredit konsumtif. Selain itu ketatnya peraturan mengenai penyaluran kredit oleh bank juga menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya kongsi antara bank dan perusahaan pembiayaan. Perusahaan pembiayaan pun mendapatkan beberapa keuntungan antara lain terjaganya likuiditas, meningkatnya kredibilitas, potensi untuk dapat melakukan cross selling dengan memanfaatkan nasabah bank, dan potensi untuk meningkatkan service dengan memanfaatkan fasilitas yang tersedia di bank. Akusisi perusahaan pembiayaan oleh bank yang ramai dibicarakan adalah akusisi 75% saham Adira Finance oleh Bank Danamon dan akuisisi 43% saham Wahana
116
Otomitra Multiartha (WOM) oleh Bank Internasional Indonesia (BII). BII bahkan berencana untuk mengambil sisa hak pembelian saham WOM hingga 67%. Berikut ini terdapat 13 bank di Indonesia yang memiliki saham perusahaan pembiayaan yaitu: Tabel 4.8. Perusahaan Pembiayaan yang dimiliki Bank per Desember 2005 No.
Nama Bank
1
Bank Negara Indonesia
2 3 4 5 6 7
Bank BNP Paribas Bank Bumi Arta Bank Central Asia Bank Danamon Bank Niaga Bank Panin
8 9 10 11
Bank Resona Perdania Bank Sumitomo Mitsui Indonesia Bank UFJ Indonesia Bank Internasional Indonesia
12 13
Bank Rakyat Indonesia Permatabank
Perusahaan Pembiayaan BNI Multi Finance Pembiayaan Artha Negara Utama Leasing Indonesia Balimor Finance BCA Finance Adira Dinamika Multi Finance Saseka Gelora Finance Clipan Finance Indonesia DKB Panin Finance Verena Oto Finance Resona Indonesia Finance Exim SB Leasing U Finance Indonesia BII Finance Center Wahana Ottomitra Multiartha UFJ BRI Finance Bali Tunas Finance KDLC Bancbali Finance
Kepemilikan Saham (%) 99.98 3.90 99.96 9.00 99.58 75.00 85.78 39.80 20.00 24.98 76.00 15.00 80.00 99.99 43.00 45.00 60.00 15.00
Sumber: Bank Indonesia
Para Pemain dalam Industri Pembiayaan Indonesia Dari 236 perusahaan pembiayaan yang memiliki izin dari Departemen Keuangan, hanya 131 perusahaan yang melakukan kegiatan usaha. Oleh karena persaingan yang ketat untuk memperebutkan pangsa pasar, hanya perusahaan pembiayaan yang memiliki manajemen dan strategi bisnis yang baik yang dapat bertahan. Selama tahun 2006, terdapat 19 perusahaan pembiayaan yang izinnya dicabut oleh Departemen Keuangan sehingga jumlah pemainnya berkurang menjadi 210 perusahaan.
117
246 245
245
244
244
Jumlah
242 240 239 238 237 236
236
234 232 230 2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 4.3. Jumlah Perusahaan Pembiayaan Dari 131 perusahaan pembiayan yang beroperasi aktif per 31 Desember 2005, 62,70% atau sebesar Rp39,97 triliun pembiayaan dimiliki oleh perusahaan patungan (joint venture) di mana 20,44% dikuasai oleh Jepang, sisanya dikuasai oleh swasta nasional sebesar 36,18% atau Rp22,49 triliun, dan BUMN sebesar 1,11% atau Rp0,69 triliun. Ditinjau dari sudut asetnya, perusahaan patungan (joint venture) menguasai 66,81% atau Rp59,4 triliun, swasta nasional sebesar 31,27% atau Rp27,8 triliun, dan BUMN sebesar 1,92% atau Rp1,7 triliun.
BUMN, 1.11% Swasta Nasional, 36.18%
Patungan (JV), 62.70%
Total Pembiayaan: Rp 62.16 triliun (131 perusahaan)
Gambar 4.4. Pangsa Pembiayaan menurut Kepemilikan 2005
118
BUMN, 1.92%
Swasta Nasional, 31.27%
Patungan (JV), 66.81%
Total Aset: Rp 88.90 triliun (131 perusahaan)
Gambar 4.5. Aset Perusahaan Pembiayaan menurut Kepemilikan 2005 Dilihat dari asetnya, 10 besar perusahaan keuangan menguasai 59,91% dibandingkan dengan seluruh perusahaan pembiayaan yang berjumlah 130 perusahaan. Sedangkan dilihat dari total pembiayaan, 10 besar perusahaan keuangan menguasai 54,45% pangsa pasar.
3.30%
3.04%
3.51%
18.49%
4.05%
4.26% 4.61%
6.72% 5.89%
Central Java Dipo Star
Astra Sedaya Orix
6.04%
FIF BAF
GE Finance Caterpillar
Oto Multiartha Summit Oto
Gambar 4.6. 10 Besar Total Aset Perusahaan Pembiayaan 2005
119
3.86%
2.48%
8.23%
4.68% 7.55%
4.68%
4.82%
6.88% 5.61%
Astra Sedaya Orix
GE Finance BAF
5.67%
FIF Caterpillar
Dipo Star Summit Oto
Oto Multiartha Mitsui Leasing
Gambar 4.7. 10 Besar Total Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan 2005 Baik dilihat dari aset maupun total pembiayaan, Astra Sedaya Finance, GE Finance Indonesia dan Federal International Finance (FIF) (ketiganya berada dibawah bendera Astra Internasional) selalu berada di posisi 5 besar. Data ini menunjukkan bahwa urutan atas perusahaan pembiayaan masih dimiliki oleh pemegang merek kendaraan bermotor. Seiring dengan tingginya perkembangan pembiayaan konsumen khususnya sektor otomotif, perusahaan pembiayaan pemegang merek kendaraan mempunyai competitive advantage dibandingkan perusahaan pembiayaan lain dalam sektor ini. Sedangkan menurut rating perusahaan pembiayaan atas dasar laporan keuangan per Desember 2004-2005 yang dikeluarkan oleh Infobank,
Wahana Ottomitra
Multiartha (WOMF) mendapatkan peringkat pertama untuk kategori perusahaan pembiayaan besar dengan aset Rp1 triliun ke atas yang diikuti oleh Oto Multiartha(OMA). WOMF berhasil memadukan unsur profitabilitas, solvabilitas dan
120
likuiditas dalam menjalankan usahanya, dengan kata lain WOMF ekspansif dalam mencari profit.
OMA berada di peringkat kedua karena kemampuannya
menghasilkan melakukan efisiensi usaha dibandingkan perusahaan pembiayaan lain. pembiayaan/aset OMA mencapai angka 85,50%, cukup tinggi bila dibandingkan ratarata industri pembiayaan yang hanya mencapai angka 70,24% sedangkan pembiayaan/kewajiban OMA mencapai angka 107,43%, angka yang cukup tinggi jika dibandingkan rata-rata industri pembiayaan yang berada pada angka 86,14%. Tren perkembangan industri pembiayaan diperkirakan masih akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, mengingat penggerak utama perkembangan industri pembiayaan adalah pembiayaan konsumen terutama sektor otomotif. Namun demikian terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan perkembangan industri pembiayaan antara lain: 1. Persaingan yang cukup ketat pada pembiayaan konsumen sektor otomotif membuat
perusahaan
pembiayaan
berlomba- lomba
untuk
memberikan
kemudahan dalam pembiayaan otomotif. Hal ini dikhawatirkan akan memicu persaingan yang tidak sehat yang akan merugikan industri pembiayaan, sehingga diperlukan penerapan pengelolaan risiko dan prinsip kehati- hatian untuk mengantisipasi timbulnya kredit bermasalah (NPL). 2. Walaupun sektor corporate belum menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, sektor korporat diperkirakan akan berangsur-angsur bergerak pada semester kedua 2006. Anjak piutang salah satunya, mempunyai potensi yang cukup baik karena membaiknya indikator ekonomi makro, namun demikian faktor- faktor pendukung
121
untuk menunjang perkembangan sektor ini harus dipersiapkan terlebih dahulu, misalnya penetapan landasan hukum yang jelas mengenai penilaian agunan. 3. Pendanaan dari sektor perbankan masih akan terus meningkat mengingat kredit dari bank masih merupakan sumber utama pendanaan perusahaan pembiaya an. Tren hubungan antara bank dan perusahaan pembiayaan pun tidak hanya sebatas memberikan dan menerima kredit tetapi telah melangkah lebih jauh ke arah kerjasama yang dilandasi oleh nilai ekonomis. Akuisisi yang dilakukan oleh Danamon terhadap Adira dan BII terhadap WOM memberikan gambaran yang cukup jelas akan terus berlangsungnya tren simbiosis mutualisme antara dua institusi keuangan ini. Untuk kalangan perbankan, faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam menggandeng perusahaan pembiayaan adalah memilih perusahaan pembiayaan yang sudah mapan dan mempunyai manajemen yang baik, karena jika tidak, bank tidak akan mendapatkan nilai tambah (added value) yang signifikan.
4.3.3. Analisis Pasar Bila diamati industri sepeda motor selama beberapa tahun terakhir, bisnis ini menunjukkan perkembangan secara spektakuler. Setelah terpuruk sangat dalam pada masa krisis dengan penurunan penjualan sebesar 72,05% dari 1,85 juta unit pada tahun 1997 menjadi 518 ribu unit pada tahun 1998, pasca krisis industri ini kembali tumbuh melesat dengan tingkat pertumbuhan luar biasa, sehingga pada tahun 2001, jumlah penjualan sepeda motor telah melampaui penjualan pada masa sebelum krisis.
122
Pada tahun 2005, penjualan sepeda motor bahkan telah mencapai angka lebih dari 5,09 juta unit, telah melampaui 1,75 kali penjualan pada tahun 1997. Tidak hanya itu, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan industri sepeda motor di Indonesia, Indonesia juga dibanjiri oleh merk- merk sepeda motor dari berbagai negara terutama Cina. Diperkirakan, setidaknya terdapat lebih dari 200 merk sepeda motor yang beredar di Indonesia selama 3 tahun terakhir, dengan berbagai segmen pasar dan harga. Saat ini Indonesia adalah produsen sepeda motor ke-3 terbesar setelah Cina dan India. Tahun 2005, Cina memproduksi 12,5 juta unit sepeda motor, disusul oleh India dengan 6 juta unit dan Indonesia 5,1 juta unit. Namun, pada tahun 2006, kalau Cina memproduksi 12,9 juta unit dan India 6,5 juta unit, Indonesia diperkirakan akan menurun menjadi 4,5 juta unit oleh karena dampak kenaikan harga BBM serta suku bunga perbankan yang mulai memukul industri sepeda motor. Tabel 4.9. Perkiraan Produksi Sepeda Motor di Asia dalam unit
Tingginya permintaan terhadap sepeda motor di Indonesia juga dipacu oleh maraknya lembaga pembiayaan yang mengucurkan dana untuk pembiayaan pembelian sepeda motor. Diperkirakan terdapat sekitar 30 bank pemerintah maupun
123
swasta nasional dan sekitar 131 perusahaan pembiayaan (multifinance) yang mengalokasikan sebagian dananya untuk pembiayaan pembelian sepeda motor. Fenomena ini paling tidak merupakan salah satu indikasi sangat atraktifnya bisnis sepeda motor di Indonesia. Dengan angka pertumbuhan yang cukup fantastis dalam beberapa tahun terakhir ini, prospek industri sepeda motor dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan masih akan sangat cerah. Ada beberapa faktor yang menjadi pendorong prospektifnya industri sepeda motor di Indonesia. Pertama, masih sangat besarnya potensi pasar yang tersedia. Kedua, berkembangnya ojek sebagai alternatif sarana transportasi umum di Indonesia.
Ketiga, semakin terjangkaunya harga sepeda motor sehingga
meningkatnya aksesibilitas masyarakat terhadap kepemilikan sepeda motor. Keempat, sepeda motor merupakan salah satu alternatif alat transportasi baik karena infrastruk tur transportasi yang kurang memadai maupun karena relatif tidak terjangkaunya harga mobil oleh sebagian besar masyarakat. Kelima, menjamurnya lembaga pembiayaan maupun bank yang bermain di sektor pembiayaan pembelian sepeda motor dengan proses dan persyaratan yang mudah, cepat dan dengan tingkat bunga yang relatif rendah sehingga meningkatkan akses masyarakat terhadap pemilikan sepeda motor. Perkembangan Industri Tingkat persaingan dalam industri sepeda motor cukup ketat. Menurut Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), saat ini terdapat sekitar 77 perusahaan assembling, manufaktur dan importir sepeda motor di Indonesia yang tercatat di Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag). Dari jumlah tersebut, 6
124
diantaranya merupakan angggota AISI yakni Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki, Kymco, dan Piaggio; dan 71 perusahaan lainnya di luar keanggotaan AISI. Anggota AISI umumnya memproduksi sendiri produknya, bahkan sebagian diekspor ke luar negeri, sementara perusahaan di luar anggota AISI pada umumnya mengimpor sepeda motor dalam bentuk CBU (Completely Built Up), CKD (Completely Knock Down), atau IKD (Incompletely Knock Down). Dari 71 merek di luar anggota AISI yang terdaftar di Deperindag, saat ini kurang dari 10 merek yang masih bertahan beroperasi yang terdiri dari merk motor asal Cina, Korea, dan Malaysia. Sepeda motor asal Cina yang sukses menembus pasar Vietnam, Malaysia, dan Filipina, yang beberapa waktu lalu gencar memasuki pasar Indonesia, meskipun murah ternyata kalah bersaing dengan produk rakitan Indonesia. Sebagian besar industri perakitan sepeda motor yang tersebar di Jabotabek (49 unit), dan Jatim (11 unit). Sisanya tersebar di propinsi lainnya. Diperkirakan, total kapasitas produksi industri sepeda motor Indonesia saat ini mencapai 6,5 juta unit per tahun. Volume produksi terbesar dimiliki grup Astra yang mencapai 2,65 juta unit per tahun, diikuti oleh Yamaha dengan volume 1,24 juta unit per tahun, dan Suzuki 1,1 juta unit per tahun. Para produsen lainnya, seperti Kawasaki, volume produksinya pada tahun 2005 bahkan berkurang disbanding tahun 2004. Jika pada 2004 Kawasaki masih mampu memproduksi 107.449 unit sepeda motor, pada 2005 hanya menjadi 78.767 unit. Para pemain lainnya dalah Kymco dan Vespa yang volume produksinya pada 2005 bahkan tak sampai 15.000-an unit.
125
Gambar 4.8. Produksi Sepeda Motor Indonesia dan menurut Merek (Anggota AISI) Di luar anggota Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) kapasitas produksi terbesar dimiliki Kanzen yang mencapai 45 ribu unit per tahun. Dengan kapasitas produksi yang cukup besar tersebut, saat ini hampir seluruh kebutuhan sepeda motor di dalam negeri dipasok oleh produk rakitan di dalam negeri. Produksi sepeda motor sampai dengan Juli 2006 akan dikuasai oleh Honda dengan memiliki pangsa pasar sebesar 50,03% kemudian disusul dengan Yamaha sebesar 36,09%, Suzuki sebesar 12,29%, dan Kawasaki sebesar 1% sedangkan yang lainnya memiliki pangsa pasar kurang dari 1% di antaranya Kanzen sebesar 0,40%, Kymco sebesar 0,18%, dan Piaggio sebesar 0,01%.
Perebutan pangsa pasar
menyebabkan perusahaan yang memproduksi sepeda motor harus menyesuaikan produksi sepeda motornya dengan permintaan pasar yang tersegmentasi dengan begitu ketat.
126
Gambar 4.9. Produksi Sepeda Motor dari Januari sampai dengan Juli 2006 Industri sepeda motor Indonesia didukung oleh sekitar 200 industri komponen (sebagian besar merupakan industri komponen sepeda motor), yang terkonsentrasi di Jabotabek dan Jawa Timur (Surabaya, Sidoarjo, dan Pasuruan). Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan Thailand yang telah memiliki sekitar 1.500 industri komponen. Disamping itu, sebagian besar industri komponen Indonesia merupakan industri kecil. Dari 200 industri komponen yang ada, sebanyak 7 perusahaan diantaranya merupakan industri mesin sepeda motor dan body parts mobil, 11 perusahaan industri yang memproduksi axle, brake, clutch, transmission, steering, dan shock absorber, dan 182 perusahaan industri komponen strata dua yakni pressed part, glass, radiator, muffler, electrical, rubber & plastic, dan casting.
127
Dengan dukungan industri komponen tersebut, sepeda motor rakitan Indonesia memiliki kandungan komponen lokal yang cukup tinggi, mencapai 90%. Kandungan lokal yang cukup tinggi ini ditambah ketatnya persaingan industri sepeda motor, menyebabkan semakin murahnya harga sepeda motor di dalam negeri dibanding tingkat inflasi yang terjadi. Perkembangan Penjualan dan Penguasaan Pangsa Pasar Penjualan sepeda motor mengalami pertumbuhan yang sangat mengesankan pasca krisis. Pada tahun 2000 dan 2001, penjualan sepeda motor masing- masing meningkat 66,74% dan 68,55% dengan penjualan 979.422 unit dan 1,65 juta unit. Pada tahun 2003, penjualan sepeda motor telah mencapai angka 2,82 juta unit, meningkat 21,82% dibanding tahun 2002. Realisasi penjualan tahun 2004 mencapai 3,90 juta unit kemudian disusul dengan tahun 2005 yang mencapai 5,09 juta unit sedangkan sampai dengan Juli 2006, penjualan sepeda motor mencapai 2,20 juta unit.
Gambar 4.10. Penjualan Sepeda Motor di Indonesia
128
Meskipun jumlah pemain di industri ini relatif banyak, lebih dari 90% pangsa pasar sepeda motor dikuasai oleh anggota AISI yang berarti anggota non AISI yang jumlahnya sepuluh kalinya hanya menguasai sekitar 10%. Pada tahun 2003, Anggota AISI menguasai 91,3% pasar sepeda motor dengan total penjualan 2,82 juta unit. Pada tahun 2004 diperkirakan penjualan anggota AISI akan mencapai 3,90 juta unit atau meningkat 38,13% dibanding tahun 2003. Sementara penjualan anggota non AISI tahun 2004 mencapai 400 ribu unit atau meningkat 49% dibanding tahun 2003. Relatif tingginya daya saing produk anggota AISI disebabkan kualitas produk dan layanan purna jual yang relatif jauh lebih baik dibanding anggota non AISI. Pada tahun 2005, anggota AISI menguasai pangsa pasar 98,10% sedangkan anggota non AISI mencapai 1,90%.
Gambar 4.11. Penguasaan Pangsa Pasar Sepeda Motor menurut Merk Berdasarkan merk, pangsa pasar terbesar pada tahun 2003 dikuasai Honda (51%), Suzuki (18,9%), dan Yamaha (18,6%). Perebutan pangsa pasar pada ketiga
129
pemain ini tampak cukup ketat. Pangsa pasar Honda mengalami penurunan yang cukup tajam dibanding tahun 2002 yakni dari 60,5% menjadi 51%. Sebaliknya, pada periode yang sama, pangsa pasar Suzuki meningkat dari 18,5% menjadi 18,9%. Yang menarik adalah Yamaha yang sempat kehilangan pangsa pasar yang cukup tajam dari 24,9% menjadi 19,3% pada tahun 2001 dan 15,9% pada tahun 2002, pada tahun 2003 kembali berhasil meningkatkan pangsa pasarnya menjadi 18,6%, mengancam posisi Suzuki sebagai penguasa pangsa pasar kedua terbesar. Pada tahun 2004, Honda kembali memimpin pasar dengan share 48,8%. Yamaha yang sharenya meningkat cukup signifikan menjadi 19,8%, berhasil menggeser Suzuki dari posisi kedua terbesar yang hanya sebesar 18,7%.
Pada tahun 2005, Ho nda menguasai pasar
sebesar 51,98%, Yamaha sebesar 24,03%, dan Suzuki sebesar 21,48%.
Gambar 4.12. Penjualan Sepeda Motor Tahun 2005 menurut Merk dan Jenisnya Dilihat dari jenis sepeda motor, pada tahun 2005 penjualan terbesar didominasi bebek 88,5%, diikuti sport 6,8%, skuter 3,6% dan bisnis 1,1%. Honda memimpin
130
pasar bebek dengan share 54%, diikuti Suzuki 23% dan Yamaha 20%. Di kelas sport Yamaha memimpin pasar dengan share 47,9% diikuti Honda 43,5%. Cukup besarnya pangsa pasar di kelas bebek menyebabkan industri sepeda motor di segmen ini mengalami perkembangan yang sangat progresif. Pertama kali dirilis dengan kapasitas mesin 50 cc, kini motor bebek hadir dengan kapasitas yang jauh lebih besar, yakni 125 cc yang selama ini didominasi motor sport. Honda mempelopori kelas bebek 125 cc dengan Honda Kirana dan Karisma. Sementara Suzuki tampil dengan Shogun 125 R, dan Kawasaki meluncurkan Blitz Joy 125. Sementara Yamaha masih bertahan di kelas 110 cc. Prospek Pasar Dengan pertumbuhan penjualan yang mencapai 30 hingga lebih dari 50% per tahun, potensi pasar sepeda motor di Indonesia masih sangat besar. Ini disebabkan masih relatif rendahnya tingkat kepemilikan sepeda motor di Indonesia dibandingkan jumlah penduduk. Dengan total penduduk 230 juta jiwa pada tahun 2005, jumlah kepemilikan sepeda motor baru mencapai 34,57 juta unit yang berarti satu sepeda motor dimiliki 15 orang penduduk. Padahal, menurut hitungan AISI, pasar sepeda motor baru akan mencapai titik jenuh apabila kepemilikan sepeda motor sudah mencapai 5 orang per sepeda motor.
131
40 35
34.57
Populasi (juta unit)
30
28.96
25 23.31 20 18.06 15.34
15 12.6
13.05
13.56
10 5 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 4.13. Populasi Sepeda Motor di Indonesia Bila dilihat penyebaran sepeda motor pada masing- masing wilayah kepolisian daerah, terlihat bahwa sebagian besar wilayah masih memiliki tingkat kepadatan sepeda motor yang relatif rendah. Terdapat 9 wilayah Polda yang memiliki rasio diatas 1:5 hingga 1:10; 3 wilayah memiliki rasio 1:10 hingga 1:15; dan 11 wilayah Polda yang memiliki rasio diatas 1:15. Sementara itu, hanya terdapat 3 wilayah Polda yang tingkat kepemilikan sepeda motornya sudah jenuh dengan tingkat kepadatan dibawah 1:5 yakni DKI Jakarta 1:3, Bali 1:3 dan DI Yogyakarta 1:5. Dengan perhitungan pasar sepeda motor akan mencapai titik jenuh pada saat kepemilikan sepeda motor mencapai 5 orang per sepeda motor, potensi pasar sepeda motor yang masih tersedia secara nasional pada tahun 2005 mencapai 11,43 juta unit. Potensi pasar sepeda motor terbesar di Jawa Barat & Banten 7,7 juta unit, Jawa Timur 3 juta unit, Jawa Tengah 2,8 juta unit, Sulsel 1,7 juta unit, Sumut 1,2 juta unit,
132
Lampung 1 juta unit, Sumsel 1 juta unit, NTT 719 ribu unit, NTB 617 ribu unit, dan Sumbar 552 ribu unit. Di lapis berikutnya dengan potensi pasar antara 300 hingga 500 ribu unit adalah Sulawesi Tenggara, Bengkulu & Bangka Belitung, Kalbar, Riau, Papua, Sulut dan Nanggroe Aceh Darussalam. Tabel 4.10. Tingkat Kepadatan Sepeda Motor Dan Pangsa Pasar
Besarnya potensi pasar sepeda motor juga menyebabkan ketatnya tingkat persaingan di sektor pembia yaan kendaraan bermotor. Ketatnya persaingan ditandai
133
dengan semakin relatif mudahnya persyaratan kredit sepeda motor sehingga meningkatnya aksesibilitas masyarakat terhadap kredit sepeda motor, proses kredit yang sangat cepat bahkan hanya dalam 1 hari terutama oleh perusahaan pembiayaan, maraknya jumlah bank dan perusahaan pembiayaan yang menawarkan kredit sepeda motor. Saat ini terdapat sekitar 30 bank yang bermain di sektor konsumtif dan 131 perusahaan pembiayaan dengan total pembiayaan Rp102,50 triliun pada tahun 2005. Perusahaan pembiayaan yang cukup agresif dalam penyaluran kredit sepeda motor diantaranya adalah PT Wahana Otomitra Multiartha Tbk (WOMF) dengan total pembiayaan Rp 1,32 triliun pada tahun 2005, Federal International Finance (FIF) Rp 4,20 triliun, dan Adira Finance Rp 740 miliar. Ekspektasi dan optimisme yang tinggi dari industri sepeda motor untuk penjualan tahun 2005, ketiga perusahaan pembiayaan di atas memiliki kontribusi yang sangat penting dalam perkembangan pembiayaan otomotif khususnya sepeda motor nasional. Dalam beberapa tahun ke depan industri sepeda motor hampir dapat dipastikan masih sangat prospektif untuk dikembangkan. Potensi pasar Indonesia yang sangat besar membuat Indonesia juga menjadi incaran produsen sepeda motor asing untuk pasar sepeda motor sehingga merupakan tantangan bagi industri lokal untuk meningkatkan daya saingnya. Diantara produk asing yang saat ini gencar memasuki pasar Indonesia adalah Modenas dari Malaysia. Di negara asalnya, Modenas yang menguasai 39% pangsa pasar Malaysia, termasuk salah satu sepeda motor lokal yang cukup diperhitungkan. Hingga tahun 2005, Modenas telah memproduksi 10 merk yang produknya di ekspor ke berbagai negara seperti Turki, Yunani, Iran, Brunei Darussalam dan Indonesia.
134
Modenas masuk ke pasar Indonesia pada tahun 2002 dengan fokus penjualan Sumatera Utara, Riau dan Sumbar. Pada tahun 2005, dengan semakin meningkatnya penjualan, Modenas mulai masuk ke pasar Jabotabek, Jawa Barat dan Surabaya dengan target penjualan 12 ribu unit. Di masa depan, Modenas bisa menjadi ancaman serius bagi produk lokal Indonesia. Ini disebabkan, sepeda motor yang menggunakan teknologi Kawasaki Jepang ini, memiliki banyak keunggulan, yakni pasokan spare part yang cukup terjamin, pelayanan purna jual, harga dan kualitas yang kompetitif, dan memiliki kedekatan wilayah dengan Indonesia sehingga mempermudah memasarkan suku cadang.
Keunggulan lain adalah selain mendapat dukungan
industri komponen yang kuat, Modenas juga telah memiliki pusat penelitian dan pengembangan untuk mendukung pengembangan teknologi dan produk. Tantangan lain yang dihadapi industri sepeda motor Indonesia adalah masih belum memadainya dukungan industri komponen untuk industri perakitan sepeda motor. Sehingga, seringkali ketika terjadi lonjakan permintaan sepeda motor yang cukup besar, permintaan industri perakitan sepeda motor tidak dapat dipenuhi secara maksimal oleh industri komponen. Akibatnya, permintaan yang terjadi tidak dapat dipenuhi oleh pabrikan lokal, sehingga harus dipasok dari produk impor.
4.3.4. Analisis Risiko Usaha Berikut ini beberapa risiko usaha yang dihadapi oleh perusahaan baik secara mikro maupun makro yang dapat mempengaruhi usaha yaitu: 1. Risiko Mikro a. Risiko Pembiayaan – Non Performing Loan (NPL)
135
Risiko pembiayaan timbul jika nasabah/debitur mengalami kesulitan dalam membayar angsuran dari fasilitas pembiayaan yang diterima nasabah. Risiko ini dapat terjadi apabila kelayakan nasabah dan piutang tidak dikelola dengan baik. Apabila ketidaklancaran pembayaran angsuran pokok maupun bunga dialami dalam jumlah yang cukup besar maka akan berdampak terhadap pendapatan dan kelangsungan usaha. b. Risiko Pendanaan - Liquidity Risiko pendanaan dapat timbul jika perusahaan mengalami kesulitan dalam mendapatkan sumber pendanaan baik berupa pinjaman maupun pembiayaan bersama.
Kesulitan mendapatkan sumber pendanaan eksternal ini dapat
mempengaruhi perkembangan usaha dalam memberikan fasilitas pembiayaan kepada nasabah. c. Risiko Persaingan Sejak terjadinya krisis di Indonesia di mana pembiayaan untuk sektor lainnya mengalami hambatan sedangkan pembiayaan untuk kendaraan bermotor masih dapat berkembang pesat, hal ini mengakibatkan banyaknya perusahaan pembiayaan beralih maupun memfokuskan diri kepada sektor kendaraan bermotor. Kondisi tersebut mengakibatkan semakin ketatnya persaingan dalam sektor usaha pembiayaan kendaraan bermotor sehingga dapat berdampak terhadap pendapatan dan pangsa pasar perusahaan. d. Risiko Operasional
136
Terdapat risiko operasional seperti risiko yang berkaitan dengan sistem, prosedur, serta kontrol antara lain seperti tidak berfungsinya sistem komputer perusahaan atau terjadinya kesalahan prosedur kerja yang berdampak kepada kualitas pelayanan dan kelancaran operasional. Hal tersebut selanjutnya mengakibatkan menurunya kinerja pelayanan terhadap nasabah dan daya saing perusahaan. e. Risiko Teknologi Terdapat risiko teknologi, mengingat dalam usaha pembiayaan, perusahaan sangat tergantung pada sistem teknologi informasi, sehingga tidak berfungsinya sistem teknologi informasi
dengan baik akan berdampak pada kinerja operasional
perusahaan. 2. Risiko Makro a. Risiko Perekonomian Risiko perekonomian merupakan risiko yang timbul sehubungan dengan perubahan kondisi perekonomian nasional secara umum seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, dan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Risiko ini dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan yang selanjutnya dapat mempengaruhi kegiatan operasional dan pendapatan perusahaan. b. Risiko Sosial dan Keamanan Gejolak sosial dan keamanan dapat berdampak luas pada sektor ekonomi. Gejolak ini dapat mengakibatkan turunnya berbagai kegiatan di berbagai sektor
137
industri termasuk sektor kendaraan bermotor. Apabila hal tersebut terjadi maka dapat mempengaruhi kegiatan usaha dan menurunkan pendapatan perusahaan. c. Risiko Kebijakan Moneter Kebijakan moneter yang diterapkan oleh pemerintah sangat mempengaruhi permintaan dan penawaran sumber dana yang tersedia di masyarakat.
Jika
perusahaan tidak dapat mengantisipasi dengan tepat penerapan kebijakan moneter tersebut maka perusahaan dapat menghadapi risiko kesulitan mendapatkan pendanaan dengan tingkat suku bunga yang layak.
Hal ini dapat berakibat
menurunya kinerja dan perkembangan perusahaan. d. Risiko Perubahan Kurs Meskipun perusahaan tidak memiliki fasilitas pinjaman dalam valuta asing, namun dengan adanya perubahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap valuta asing lainnya dalam jangka waktu yang relatif lama akan berdampak langsung terhadap sebagian harga kendaraan bermotor. Apabila terjadi kenaikan harga akibat dari perubahan kurs tersebut maka dapat mempengaruhi daya beli masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah yang merupakan pangsa pasar perusahaan. Sebagai akibat dari semakin melemahnya daya beli tersebut akan berdampak pada kegiatan pembiayaan perusahaan. 3. Penanggulangan Risiko Untuk menanggulangi risiko makro (perekonomian, sosial dan keamanan, kebijakan moneter dan perubahan kurs) dan mikro (NPL, Liquidity, Persaingan, Operasional dan Teknologi)
yang dihadapi oleh Perusahaan, manajemen WOMF
138
memutuskan untuk membentuk Divisi Risk Management, karena manajemen berkeyakinan bahwa struktur manajemen risiko yang kuat akan dapat mengevaluasi risiko
dan
tingkat
pengembalian
untuk
menghasilkan
pendapatan
yang
berkesinambungan, mengurangi fluktuasi pendapatan serta meningkatkan nilai bagi pemegang saham. Pada pertengahan tahun 2005, Divisi Risk Management WOMF dikepalai oleh Bapak Rudy Gomedi yang merupakan mantan Division Head Corporate Risk Management Bank Internasional Indonesia (BII) telah berpengalaman di bank swasta nasional sejak tahun 1991. Tugas dari divisi ini adalah me lakukan penilaian risiko, evaluasi dan perbaikan yang berkesinambungan atas manajemen serta memberikan informasi sebagai dasar pengambilan keputusan manajemen Perusahaan. Untuk menanggulangi risiko mikro di atas, WOMF melakukan tindakan seperti melakukan assessment dan evaluasi sistem dan prosedur Perusahaan (salah satunya adalah kebijakan pemberian kredit pembiayaan konsumen), meningkatkan kinerja keuangan Perusahaan dan pengelolaan sumber pendanaan yang baik, meningkatkan dan mengembangkan kompetensi dan kualitas karyawan melalui program pengembangan/training, mempertahankan dan meningkatkan kualitas kerja (value added) Perusahaan. Untuk menanggulangi risiko makro yang berubah dari waktu ke waktu, WOMF melakukan monitoring secara berkelanjutan atas kondisi makro di Indonesia dan memberikan feedback kepada manajemen guna pengambilan keputusan tindakan managerial selanjutnya.
4.3.5. Analisis Perusahaan 4.3.5.1. Analisis SWOT
139
1. Internal Factors a. Strengths (Kekuatan) •
Pemegang saham didukung oleh institusi keuangan yaitu BII sebesar 43% dan IFC sebesar 19%.
•
Menjadi salah satu perusahaan pembiayaan konsumen terbaik di Indonesia kategori asset Rp500 miliar- Rp1 triliun.
•
Fokus Perusahaan hanya pada pembiayaan sepeda motor Jepang.
•
Perusahaan sebagai organisasi pembelajar dengan budaya organisasi berupa learning, sharing, dan coaching serta values beruapa AFFECTION yaitu Appreciation, Family, Feeling, Enthusiasm, Creativity, Trustworthy, dan determinatION.
•
Didukung oleh 3.709 dealer dan lebih dari 1.500 dealer resmi yang tersebar di seluruh Indonesia.
•
Dukungan dan hubungan yang harmonis dengan dunia perbankan seperti Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Lippo, Bank Mega, DBS, Bank Rakyat Indonesia, Bank Niaga, Bank International Indonesia, Bank NISP, Bank Central Asia, Bank Panin, Bank Danamon dengan jumlah lini kredit Rp5,6 triliun.
•
Rating obligasi versi Pefindo idA- (Stable Outlook).
•
Didukung oleh 93 cabang yang beroperasi di seluruh Indonesia dengan cabang utama di Pulau Jawa sebesar 76% dan di Sumatera sebesar 15%.
140
•
Menerapkan prinsip manajemen keuangan yang hati-hati dan prinsip pengenalan nasabah dalam memberikan kredit pembiayaan konsumen.
•
Pertumbuhan pendapatan selama 3 tahun terakhir (2003-2005) sebesar 1,28x dan laba bersih tumbuh sebesar 1,43x.
•
Aset perusahaan tumbuh sebesar 1,03x selama 2003-2005 dengan komposisi hutang sebesar 61% per 2005 mengalami perbaikan dibandingkan dengan 2003 sebesar 74%.
•
Sistim manajemen yang kuat dan orang-orang yang kompeten dalam bidang usaha pembiayaan.
b. Weaknesses (Kelemahan) •
Tingginya tingkat suku bunga yang diterapkan oleh PT WOMF dibandingkan dengan pesaing lainnya.
•
Belum tersedianya program regenerasi senior top management (CEO)
•
Sistem Teknologi Informasi yang secara kemampuan masih lemah jika dibandingkan dengan besarnya perusahaan yang sekarang ini sudah mengarah pada multi-branches.
•
Struktur pendanaan dari luar berupa obligasi meningkat drastis di dua tahun terakhir 2005-2006.
2. External Factors a. Opportunities (Peluang) •
Penjualan sepeda motor secara nasional meningkat sebesar 5,27x secara rata-rata tahunan setelah masa krisis dari 1998-2005.
141
•
70% penjualan motor nasional dibiayai secara kredit.
•
Rata-rata pertumbuhan pembiayaan selama 5 tahun terakhir (2001-2005) di atas 80%.
•
Tingkat penetrasi sepeda motor di Indonesia baru mencapai 13:1 dibandingkan dengan Thailand yang telah mencapai 5:1.
b. Threats (Ancaman) •
Persaingan dengan 236 perusahaan pembiayaan yang lain.
•
Maraknya produk sepeda motor yang bermerk selain Jepang seperti merk dari Cina dengan harga yang jauh lebih murah dari motor Jepang.
•
Keadaan politik yang belum stabil di Indonesia mempengaruhi keadaan makro ekonomi.
•
Adanya perang harga dan uang muka dari para pesaing usaha pembiayaan yang tidak mengutamakan keamanan usaha.
4.3.5.2. Analisis Laporan Keuangan Kami melakukan analisis laporan keuangan secara tahunan dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 (lihat lampiran 2) dan secara kuartalan dari Maret 2005 sampai dengan Juni 2006 (lihat lampiran 3). Likuiditas WOM selama lima tahun terakhir menunjukkan kinerja yang bagus dimana current ratio mengalami peningkatan dari 1,09x pada tahun 2001 menjadi 9,07x pada tahun 2005. Hal ini dikarenakan WOM selalu menjaga arus kasnya dengan baik dari keuntungan yang baik pula. Secara quarterly, tahun 2005
142
menunjukkan tingkat likuiditas yang bagus namun di Quarter kedua tahun 2006 mengalami penurunan dibanding tahun 2005. Hal ini dikarenakan adanya penambahan hutang bank bersih sebesar Rp 346 miliar. WOM memiliki struktur modal yang kuat sehingga kewajiban WOM dapat dipenuhi dari arus kas internal WOMF. Per Desember 2005 hutang WOM mencapai Rp 835 miliar yang terdiri dari Rp 800 miliar hutang obligasi dan Rp 35 miliar pinjaman bank (Bank NISP, Tbk.). Risiko pembiayaan kembali dari obligasi WOM adalah kecil karena masa jatuh tempo obligasi terdistribusi dalam periode 2005-2009. Dalam periode tersebut tidak ada pokok obligasi jatuh tempo yang nilainya lebih dari Rp 190 miliar, maka risiko refinancing WOM tersebut minimal. Debt ratio WOM selama lima tahun terakhir mengalami penurunan dari 0,9x total asset pada tahun 2001 menjadi 0,61x total asset pada tahun 2005 dan 0,79x total asset pada Quarter II tahun 2006. Debt to equity ratio dan net debt to equity ratio WOM mengalami penurunan dari sekitar 8x pada tahun 2001 menjadi sekitar 1,5x pada tahun 2005. Hal ini dikarenakan WOM telah melunasi sebagian besar outstanding pinjamannya per Desember 2005. Per Quarter II tahun 2006 mengalami peningkatan dari sekitar 1,5x per Desember 2005 menjadi sekitar 3,7x karena WOM menambah peminjaman dari bank pihak ketiga untuk pembiayaan kendaraan bermotor sebesar Rp 346 miliar dan menerbitkan obligasi III pada tanggal 7 Juni 2006 sebesar Rp 825 miliar dengan rating idA- (Single A minus) Stable Outlook dari Pefindo. Untuk long term debt to equity (capitalization) ratio baru muncul di tahun 2003 karena WOM mengeluarkan obligasi senilai Rp 300 miliar pada tanggal 31 Oktober
143
2003. Per Desember 2004 mengalami penurunan dikarenakan WOM meningkatkan modal ditempatkan dan disetor penuh dari Rp 100 miliar (Rp 1.000,- per lembar saham) menjadi Rp 200 miliar (Rp 100,- per lembar saham). Per 2005 mengalami peningkatan karena WOM kembali mengeluarkan obligasi II pada tanggal 26 Mei 2005 dan dengan struktur pemilik saham yang baru (akuisisi oleh konsorsium BII pada bulan Mei 2006) akan meningkatkan kredit perusahaan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Per Quarter II tahun 2006 mengalami peningkatan karena WOM menerbitkan obligasi III pada tanggal 7 Juni 2006 sebesar Rp 825 miliar. Laba bersih WOM terus meningkat dalam dua tahun terakhir karena ekspansi yang cepat dan perolehan marjin laba yang stabil. Penyaluran pinjaman secara agresif ditambah dengan kemampuan WOM dalam pengendalian biaya merupakan faktor utama yang meningkatkan pendapatan dalam lima tahun terakhir. Laba bersih terus meningkat mencapai Rp 165 miliar di tahun 2005 dari hanya Rp 5 miliar di tahun 2001, sejalan dengan meningkatnya pendapatan menjadi sebesar Rp 719 miliar di tahun 2005 dari Rp 71 miliar di tahun 2001. Marjin laba bersih WOM naik hingga 23% di tahun 2005 dari hanya 7% di tahun 2001 terutama karena kemampuan WOM menekan kenaikan biaya di bawah pertumbuhan pendapatan. Meski rasio biaya terhadap pendapatan WOM lebih tinggi dari para pesaing (FIF dan Adira), namun WOM masih menikmati marjin yang cukup baik pada laba bersih. Per Quarter II tahun 2006, WOM mengalami penurunan baik marjin laba kotor maupun marjin laba bersih masing- masing menjadi 79% dan 14%. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan beban pinjaman dan beban nisbah sehingga mengurangi laba sebesar Rp 48 miliar.
144
RoA juga cenderung meningkat mencapai 12,9% pada tahun 2005 dibandingkan dengan 2,8% pada tahun 2001. Namun, RoE tercatat sebesar 31% tahun 2005 turun dari 37% dan 75% pada tahun 2004 dan 2003. Kami melihat bahwa pada saat WOM menerbitkan saham baru di tahun 2004 dengan total dana segar Rp 210 miliar, sehingga RoE menurun di tahun yang sama. Penyaluran pembiayaan yang agresif serta kemampuan WOM menjaga marjin operasional tetap tinggi membuat perusahaan memperoleh laba yang memuaskan. Dalam lima tahun terakhir, total piutang bersih berkembang sebesar CAGR 67% sementara laba bersih tumbuh sebesar CAGR 147% selama kurun waktu 2001-2005. RoA dan RoE yang dicapai WOM (total assets Rp 1,6 triliun) tidak jauh berbeda dengan yang dicapai oleh perusahaan pembiayaan motor yang besar lainnya seperti FIF (total assets diatas Rp 5 triliun) yang mempunyai RoA dan RoE pada tahun 2005 masing- masing sebesar 10,3% dan 40,5%. Earnings per share saham WOM mengalami penurunan dari Rp 336,- pada tahun 2001 menjadi Rp 82,51 pada tahun 2005. Hal ini dikarenakan WOM go public sejak 13 Desember 2004 dan penurunan nilai nominal saham dari Rp 1000,- per lembar saham menjadi Rp 100,- per lembar saham pada tahun 2004 sehingga jumlah lembar saham yang beredar bertambah. EPS per Quarter II tahun 2006 (Rp 30,02) mengalami penurunan dibanding Quarter II tahun 2005 (Rp 45,28) dikarenakan penurunan laba bersih perusahaan terutama diakibatkan peningkatan beban pinjaman dan beban nisbah. Price Earnings Ratio WOM per Quarter II tahun 2006 (16,53 x) mengalami penurunan dibanding Quarter II tahun 2005 (17,19 x). Hal ini dikarenakan harga
145
saham WOM di pasar modal mengalami penurunan harga rata-rata 36% dari Rp 778,40 menjadi Rp 496,35 dan laba bersih WOM mengalami penurunan 30% dari Rp 86 miliar menjadi Rp 60 miliar. Perseroan mengelola aset secara produktif dengan tujuan agar aset dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat menghasilkan pendapatan yang besar untuk memperoleh laba. Kemampuan untuk memperoleh dan mengadministrasi pembiayaan secara efisien adalah kunci untuk menghasilkan perputaran aset yang tinggi. Rasio pendapatan terhadap aktiva terus meningkat dalam lima tahun terakhir hingga mencapai 0,61x pada tahun 2003 dari 0,39x pada tahun 2001 sebelum kemudian turun menjadi 0.56X pada tahun 2005. Yang patut dicatat adalah rasio pendapatan terhadap aktiva yang dicapai WOM tidak jauh berbeda dengan yang dicapai oleh perusahaan pembiayaan motor yang besar lainnya seperti FIF yang mempunyai rasio 0.58X pada tahun 2005. Rasio pendapatan terhadap total aktiva tetap bersih (Fixed assets turnover/FAT) meningkat dari 16,35x pada tahun 2001 menjadi 24,67x pada tahun 2005. Accounts receivable turnover (ART) meningkat dari 0,43x pada tahun 2001 menjadi 0,69x pada tahun 2005. Namun per Quarter II tahun 2006 (AT 0,2x dan ART 0,22x) mengalami penurunan dibanding Quarter II tahun 2005 (AT 0,3x dan ART 0,36x). Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan total assets (85%) dan total piutang pembiayaan
konsumen (48%) yang melebihi
peningkatan pendapatan (12%). Per Quarter II tahun 2006 (FAT 15,35x) mengalami peningkatan dibanding Quarter II tahun 2005 (FAT 12,98x) dikarenakan penurunan net fixed asset dan peningkatan pendapatan.
146
Menurut informasi WOM kepada salah satu perusahaan sekuritas, tingkat provisi WOM cukup rendah yakni hanya mencapai 20,6% dari pinjaman tidak produktif (NPL) WOM di tahun 2005. Namun dengan meningkatnya beban provisi, pertumbuhan laba akan melambat dalam beberapa tahun ke depan. Manajemen telah menegaskan keinginan untuk meningkatkan biaya provisi hingga 3,5% dari piutang kotor di tahun 2006. Jadi dari hasil analisis laporan keuangan di atas, kami menyimpulkan bahwa kinerja dan kapasitas yang dimiliki WOM masih bagus dan berprospek baik di masa yang akan datang dengan catatan kondisi makroekonomi Indonesia lebih baik dan kondusif. Namun berdasarkan pendapat beberapa ahli ekono mi Indonesia seperti mantan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli menilai bahwa pemerintah Indonesia mengabaikan sektor riil secara sistemis sehingga ekonomi Indonesia hanya akan stagnan dan semakin tertinggal dari negara Asia lainnya. International Monetary Fund juga mengingatkan adanya potensi munculnya kesulitan terhadap perekonomian global ekonomi di masa mendatang (Harian Kompas, Kamis 14 September 2006 hal 19). Pada tahun 2006, kinerja Perusahaan dilihat dari bottom linenya (laba bersih) menga lami penurunan baik pada Quarter I maupun pada Quarter II masing sebesar -40% dan -30% dibanding Quarter I dan Quarter II tahun 2005. Oleh karena itu, kami tidak terlalu optimis dan tidak terlalu pesimis dalam melakukan analisa fundamental atas WOM dan memutuskan dasar investasi bagi para investor.
147
4.3.5.3. Analisis Harga Saham Kami melakukan analisis teknikal terhadap harga saham PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk (WOMF) secara mingguan sejak perusahaan ini go public pada tanggal 13 Desember 2004 hingga 7 Agustus 2006 dengan beberapa indikator berikut ini: 1. Perbandingan IHSG dan IHSS Keuangan dengan Harga Saham WOMF Pergerakan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) dengan pergerakan IHSS (Indeks Harga Saham Sektoral) Keuangan menunjukan tren yang relatif sama terhadap pergerakan harga saham PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk di mana saham ini aktif diperdagangkan mulai pada saat go public hingga bulan Mei 2005 dan selanjutnya volume transaksi saham ini kurang aktif diperdangangkan di Bursa Efek Jakarta.
Saham WOMF cenderung lagging baik terhadap IHSG
maupun IHSS Keuangan kecuali pada saat Desember 2004-pertengahan Januari 2005, akhir Juni-Oktober 2005, pertengahan Desember 2005-Januari 2006, dan April-pertengahan Mei 2006 saham ini mengalami leading terhadap IHSG maupun IHSS Keuangan. Harga saham perdana WOMF per 13 Desember 2004 sebesar Rp700 dan mengalami penurunan sebesar Rp230 (32,86%) menjadi Rp470 per 7 Agustus 2006 dalam jangka waktu 20 bulan sehingga saham WOMF menunjukan tren bearish.
148
Gambar 4.14. Perbandingan IHSG dengan Harga Saham WOMF
149
Gambar 4.15. Perbandingan IHSS Keuangan dengan Harga Saham WOMF
150
2. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Moving Average 15 Harian Pergerakan saham WOMF selama tahun 2006 cenderung berada dalam kisaran Rp 400,- dan Rp 525,- per lembar saham walaupun sempat menembus angka Rp610,- pada minggu ke-3 bulan April 2006. Volume perdagangan selama tahun 2006 berkisar dari 1.114 sampai dengan 7.381.500 lot saham dengan volume yang aktif diperdagangkan selama bulan April 2006. Di tahun 2005, saham WOMF mencapai puncak pada harga Rp 870,- pada 4 Maret 2005 dengan volume perdagangan 9.137 lot saham, setelah itu saham WOMF menunjukan tren bearish hingga penutupan di harga Rp 500,- pada 29 Desember 2005 dengan volume perdagangan 633.000 lot saham walaupun sempat mengalami titik terendah pada 18 Nopember 2005 dengan nilai Rp 380,- per lembar saham. Pada penutupan perdagangan 4 Agustus 2006, saham ini diperdagangkan pada harga tertinggi Rp475,-, harga terendah Rp 460,-, kemudian ditutup pada harga Rp 460,- dengan volume perdagangan sebesar 1.350.500 lot saham di mana garis moving average telah menunjukan crossing ke bawah. Tingkat support berada di level Rp 400,dan resistence berada di level Rp525.
Gambar 4.16. Analisis MA15 Terhadap WOMF
151
3. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Bolliger Bands 20 Harian Atas dasar analisis bollinger bands 20 harian terhadap saham WOMF, volatilitas harga terbesar terjadi pada pertengahan bulan Agustus-Desember 2005 kemudian diikuti dengan gerakan bollinger bands menyempit pada bulan Januari-Mei 2006. Hal ini mengindikasikan break out pada saat memasuki bulan Juni 2006 dari gerakan bearish yang diciptakan pada April- Mei 2006. Break out tercipta pada tanggal 15 Juni 2006 yaitu pada harga penutupan Rp 410,- per lembar saham.
Gambar 4.17. Analisis Bollinger Bands 20 Harian 4. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar MACD 9 Harian Analisis harga saham WOMF dengan menggunakan MACD (Moving Average Convergence/Divergence) menunjukan tren oversold yang ditunjukkan oleh angka -25 dan -50. Kondisi oversold dimulai dari bulan Agustus 2005 sampai dengan akhir 2 Desember 2005 dengan harga penutupan Rp 500,- kemudian disusul dengan kondisi stagnan hingga 29 Maret 2006 dengan harga penutupan Rp 485,- dan harga terendah yang pernah dicapai per 15 Juni 2006 sebesar Rp 400,-. Hal ini merupakan sinyal untuk melakukan akumulasi terhadap saham
152
WOMF di mana harga saham per 4 Agustus 2006 sebesar Rp 460,-. Bila kondisi pasar saham mendapat sentimen positif, harga saham WOMF akan berpengaruh pula menjadi terapresiasi.
Gambar 4.18. Analisis MACD 9 Harian 5. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Momentum 12 Harian Atas dasar analisis Momentum 12 harian, saham WOMF mencapai titik tertinggi pada 13 April 2006 sebesar Rp 600,- kemudian mengalami penurunan pada 15 Juni 2006 sebesar Rp 400,- disusul dengan reversal tren menjadi Rp 460,- per 4 Agustus 2006. Titik momentum pembelian sebenarnya harus dieksekusi di titik terendah Rp 400,- per 15 Juni 2006 namun jika ekspetasi investor positif, harga saham WOMF akan berlanjut menuju Rp 500,-.
153
Gambar 4.19. Analisis Momentum 12 Harian 6. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar On Balance Volume Bila kita melihat pada pergerakan volume yang terjadi pada saham WOMF, terdapat indikator ya ng tidak mengalami pergerakan yang berarti karena transaksi perdagangan saham WOMF di bursa efek berada dalam range terendah pada 18 Feb 2005 sebesar 1.036 lot saham dan tertinggi pada 29 April 2005 sebesar 8.958.500 lot saham. Selama tahun 2006, terendah pada 13 April 2006 sebesar 1.352 lot saham dan tertinggi pada 21 April 2006 sebesar 7.381.500 lot saham. Pada tanggal 15 Juni 2006 harga saham WOMF sebesar Rp 400,- dengan volume 1.250.000 lot saham dan pada tanggal 4 Agustus 2006 menyentuh level Rp 460,dengan volume 1.350.500 lot saham. Saham WOMF diperkirakan akan berada di antara level Rp 400,- dan Rp 600,-.
154
Gambar 4.20. Analisis On Balance Volume 7. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Performance Harga perdana saham WOMF per 13 Desember 2004 sebesar Rp700 dan harga penutupan per 29 Desember 2005 sebesar Rp500, mengalami penurunan sebesar 28,57% dan pada tanggal 4 Agustus 2006 sebesar Rp460, mengalami penurunan yang lebih drastic lagi sebesar 34,29% dari harga saham perdana WOMF. Downtrend yang terjadi pada saham WOMF menimbulkan sentimen negatif di kalangan investor setelah penerbitan saham perdana karena tidak memberikan tingkat imbal hasil yang diharapkan.
155
Gambar 4.21. Analisis Performance 8. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar RSI 14 Harian Harga saham WOMF per 13 April 2006 sebesar Rp600 menyetuh level di atas 70 yang akan menjadi resistance level kemudian harga saham WOMF per 15 Juni 2006 sebesar Rp400 menyentuh level di bawah 30 yang akan menjadi support level selama tahun 2006 sehingga harga penutupan sebesar Rp460 per 4 Agustus 2006 merupakan indikasi potensi kenaikan hingga Rp500 karena pada harga tersebut belum menyentuh level 50-70 dengan syarat pasar modal memiliki sentimen yang positif. Jika sebaliknya, harga saham WOMF akan jatuh menuju support level sebesar Rp400.
156
Gambar 4.22. Analisis Relative Strength Index 14 Harian 9. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Stochastics 5 Harian Pada tanggal 6 Mei 2005, harga saham WOMF sebesar Rp760 terdepresiasi hingga tanggal 18 Nopember 2005 menyetuh level Rp380.
Pada periode ini
indikator stochastic bergerak mixed antara garis %K (pink) dengan garis %D (merah) kemudian dari periode Desember 2005 sampai dengan Maret 2006 bergerak sangat sempit yang menunjukan indikasi stagnan pada harga saha m WOMF. Sejak dari 14 Juli 2005 sampai dengan 4 Agustus 2006, pergerakan harga saham WOMF berada di atas level 75 di mana hal ini menunjukan suatu indikasi penurunan harga saham WOMF secara berkesinambungan dari harga saham perdananya. Pada tanggal 4 Agustus 2006 yang merupakan tanggal cutoff, indikator menunjukan garis %K bersimpangan dengan garis %D dengan garis %K berada di atas garis %D. Hal ini menunjukan sinyal ketidakpastian dari investor tergantung pada situasi pasar apakah positif atau negatif. Jika positif, harga saham WOMF akan terapresiasi dan sebaliknya akan terdepresiasi dari harga cutoff per 4 Agustus 2006.
157
Gambar 4.23. Analisis Stochastics 5 Harian 10. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Volume Pada 4 Maret 2005 saham WOMF menyentuh level tertinggi setelah IPO (Initial Public Offering) yaitu sebesar Rp870 diikuti dengan volume sebesar 9.137 lot saham kemudian pada tanggal 29 Juli 2005 harga tertinggi saham WOMF menyetuh level Rp750 dengan volume 3.121 lot saham diikuti dengan tanggal 2 Desember 2005 harga tertinggi sebesar Rp540 dengan volume 1.114 lot saham, dan pada tanggal 7 April 2006 menyentuh level tertinggi sebesar Rp580 dengan volume 1.801 lot saham. Saham WOMF dapat terapresiasi tanpa diikuti oleh volume yang kuat.
Hal ini merupakan indikasi pergerakan saham WOMF
memiliki tren yang lemah.
158
Gambar 4.24. Analisis Volume 11. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Accumulation/Distribution Bergerak dari harga perdana sebesar Rp700 per 13 Desember 2004 kemudian mengalami downtrend hingga menyentuh level terendah pada harga Rp 380 per 18 Nopember 2005 dengan volume sebesar 509.000 lot saham kemudian diikuti periode stagnasi mulai dari Desember 2005-Maret 2006 dalam kisaran harga Rp475-Rp510.
Pada 15 Juni 2006 harga saham WOMF menye ntuh level
terendah sebesar Rp400 selanjutnya tanggal 4 Agustus 2006 harga saham berbalik kembali menjadi Rp460. Harga saham WOMF selama 2006 diperkirakan akan bergerak dalam range Rp400 sebagai support level dan Rp600 sebagai resistance level.
159
Gambar 4.25. Analisis Accumulation/Distribution
4.3.6. Proyeksi 5 tahun ke depan Dari hasil performance WOM per Quarter II tahun 2006, kondisi pasar dan industri otomotif serta makroekonomi mengalami penurunan dan pelambatan ekonomi, kami mengasumsikan kenaikan pendapatan WOM sebesar 25% untuk tahun ke-1 sampai dengan tahun ke-4. Untuk menghitung terminal value pada tahun ke-5 dan selanjutnya, kami mengasumsikan kenaikan pendapatan WOM sebesar 10% (dalam tahap stable growth). Adapun dasar penentuan asumsi ini kami ambil dari rata-rata data historis dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 setelah WOM melakukan IPO sahamnya. Tabel 4.11. Proyeksi Neraca 2006 – 2010 dalam miliar rupiah
Keterangan Aktiva Lancar Aktiva Tetap Hutang Jangka Pendek Hutang Jangka Panjang Ekuitas
2005A 2006F 1.537 1.770 37 56 170 306 790 1.602 615 615
2007F 2.213 70 382 1.602 615
2008F 2.766 87 478 1.602 615
2009F 3.458 109 597 1.602 615
2010F 3.804 120 657 1.602 615
160
Tabel 4.12. Proyeksi Laba Rugi 2006 – 2010 dalam miliar rupiah
Keterangan Pendapatan Beban Bunga Pinjaman Laba Kotor Beban Usaha Laba Bersih
2005A 719 109 610 375 235
2006F 899 114 785 444 341
2007F 1.124 143 981 554 427
2008F 1.405 178 1.226 693 533
2009F 1.756 223 1.533 866 666
2010F 1.931 245 1.686 953 733
4.3.7. Analisis Fundamental Saham:PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk Model CAPM digunakan untuk menghitung required return dari investor (biaya modal atau cost of equity atau re) adalah sebagai berikut: Asumsi untuk tahun 2006: rf = Risk free - suku bunga SBI bulan September 2006 = 11 % rm = Risk premium Negara Indonesia – lihat pada lampiran 7 = 12.3% B = Beta leverage WOMF = 1.69 re = rf + ß (rm - rf) = 11 + (1.69. (12.3 – 11)) = 11 + (1.69 (1.3)) re = 13.197% Untuk tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, kami lakukan perhitungan yang sama dengan tahun 2006, dapat dilihat pada lampiran 4 dan 5. Untuk perhitungan model penilaian Free Cash Flow to the Firm dapat dilihat pada lampiran 5. Dimana hasil nilai perusahaan, yang sudah di-presentvalue-kan dengan tingkat diskonto WACC 13% (2006F), 14% (2007F dan 2008F) dan 15% (2009F dan 2010F), diperoleh sebesar Rp 2.504 miliar. Nilai Equity Perusahaan
161
setelah dikurangi dengan debt diperoleh sebesar Rp 902 miliar. Nilai intrinsik saham yang diperoleh adalah Rp 450,- (nilai equity dibagi dengan jumlah saham yang beredar per 30 Juni 2006). Tabel 4.13. Data Pendukung Financial Shenanigans 2005 Piutang Pembiayaan Konsumen terhadap Pendapatan Pembiayaan Konsumen Pertumbuhan Kewajiban Pertumbuhan Piutang Pembiayaan Konsumen Pertumbuhan Pendapatan Pembiayaan Konsumen Penyisihan Piutang Ragu-ragu terhadap Piutang Pembiayaan Konsumen Beban Penyisihan Piutang Raguragu terhadap Pendapatan Pembiayaan Konsumen Pertumbuhan Penyisihan Piutang Ragu-ragu Periode Penagihan (dalam tahun)
2006
Mar
Jun
Sept
5.44 -13.07%
3.73 29.46%
2.38 18.41%
22.09%
54.57%
41.78%
Des
Mar
Jun
2.09 82.12%
9.08 123.87%
6.90 126.01%
44.17%
71.88%
91.11%
84.17%
51.53%
55.52%
33.85%
14.55%
-0.55%
0.04
0.01
0.02
0.03
0.02
0.03
0.12
0.12
0.11
0.11
0.12
0.17
201.25% 4
164.06% 3
329.27% 2
152.33% 1
12.53% 6
285.77% 5
Dari tabel di atas, kami melihat adanya indikasi financial shenanigans yang sebagian besar timbul akibat faktor piutang pembiayaan konsumen. Piutang pembiayaan konsumen terhadap pendapatan pembiayaan konsumen membesar pada Quarter I 9,08 dan Quarter II 6,9 tahun 2006 dibanding tahun 2005. Pertumbuhan kewajiban WOM yang melebihi pertumbuhan piutang pembiayaan konsumen akan menyebabkan kesulitan likuiditas perusahaan (2005: 82,12% > 71,88%; Q1 06: 123,87% > 91,11%; Q2 06: 126,01% > 84,17%). Pertumbuhan piutang pembiayaan konsumen melebihi pertumbuhan pendapatan pembiayaan konsumen (2005: 71,88% > 33,85%; Q1 06: 91,11% > 14,55%; Q2 06: 84,17% > -0,55%). Pertumbuhan penyisihan piutang ragu-ragu berfluktuasi atau tidak sejalan dengan pertumbuhan piutang pembiayaan konsumen dimana bila piutang pembiayaan konsumen
162
meningkat maka penyisihan piutang ragu-ragu mengalami penurunan (lihat data Q1 06 dibanding Q1 05). Bila Perusahaan memperkecil penyisihan piutang ragu-ragu maka laba perusahaan akan meningkat dan menjadi bias bagi stakeholders Perusahaan. Periode penagihan
piutang pembiayaan konsumen mengalami
peningkatan pada Q1 dan Q2 tahun 2006 dibanding tahun 2005. Indikasi tersebut di atas penting untuk diperhatikan bagi para stakeholder termasuk para investor dalam melakukan investasi saham perusahaan pembiayaan yang mungkin melakukan window dressing guna menyajikan laporan kinerja perusahaan yang lebih bagus.
4.3.8. Nilai Intrinsik Nilai Perusahaan (WOM) sebenarnya Rp 450,- per lembar saham. Nilai pasar saham WOM sebesar Rp 490,- per 19 September 2006. Jadi kami menentukan harga saham Rp 450,- dengan target batasan waktu 3 bulan kemudian (sampai dengan Desember 2006).
4.4. Rekomendasi Karena nilai Perusahaan (WOMF) sebesar Rp 450,- per lembar saham lebih kecil daripada nilai pasar saham WOMF sebesar Rp 490,- per 19 September 2006 (overvalued), maka kami merekomendasikan posisi pegang/hold atau jual/ sell.