Bab IV Analisis dan Pembahasan
IV.1 Analisis Clustering Analisis clustering menggunakan jaringan kompetitif Kohonen (Self Organizing Map) menggunakan 2 vektor masukan x1 dan x2. Vektor x1 diisi dengan nilai bobot yang didapat dari korelasi sunspot perwilayah, sementara x2 adalah nilai grid point posisi geografis stasiun. Vektor masukan tersebut di training menggunakan 500 iterasi agar mendapatkan nilai euclidis optimum (terdekat ) dengan neuron sekitar.
Gambar IV.1 Posisi neuron sebelum pelatihan
Gambar IV.2 Posisi neuron setelah pelatihan (epoch = 500)
31
Dengan jaringan Kohonen, dapat ditentukan jumlah neuron target. Disini didapat lima kelompok output berdasarkan neuron terdekat yang kemudian disebut sebagai Zona Prediksi meskipun secara fisis batasan antar zona bukanlah batasan tegas karena didasarkan pada euclidis (jarak terdekat) antara neuron.
Tabel IV.1 Zona Prediksi ZONA 1
ZONA 2
ZONA 3
ZONA 4
ZONA 5
Kuala Kayan
Paloh
Putusibau
Tanjung Selor
Banjarmasin
Sintang
Nangapinoh
Tanjung Redeb Banjarbaru
Syamsudin Noor Pontianak
Ketapang
Samarinda
Tanjung
Pangkalanbun Balikpapan
Singkawang
Sampit
Muarawahau
Palangkaraya
Sangkulirang
Kotabaru
Tarakan Longiram
Muaratewe
Zona Prediksi 1 meliputi sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Selatan yang berbatasan dengan Laut Jawa, Zona Prediksi 2 meliputi sebagian besar Kalimantan Barat dimana sebelah baratnya berbatasan dengan Laut Cina dan Selat Karimata, Zona Prediksi 3 meliputi sebagian daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, sementara itu Zona Prediksi 4 meliputi sebagian Kalimantan Timur yang berbatasan dengan Selat Makasar, Zona Prediksi 5 meliputi sebagian daerah Kalimantan Timur bagian Barat dan sebagian Kalimantan Selatan yang berbatasan dengan Selat Makasar dan Laut Jawa.
IV.2 Analisis Spektral Pelacakan sinyal sunspot yang hadir pada data curah hujan masingmasing zona prediksi dilakukan dengan analis spektral menggunakan Fast Fourier Transform (FFT) untuk menemukan komponen frekuensi. Selanjutnya perhitungan densitas power spektral menghasilkan variasi energi frekuensi (magnitudo). Hasil akhir spektral
berupa plotting
power versus frekuensi
berupa periodogram yang menunjukkan proses siklik dari data sampel.
32
Secara garis besar analisis spektral periodogram menunjukkan adanya sinyal sunspot pada setiap deret waktu data curah hujan masing-masing zona prediksi. Pada Zona Prediksi 1, memperlihatkan adanya periode yang mendekati periode siklus sunspot dengan magnitude 1.3 x 108. Pada Zona Prediksi 2, deret waktu data curah hujan memperlihatkan periode 11 tahunan siklus sunspot dengan magnitudo yang cukup besar yaitu 8.3 x 108. Sementara itu, pada Zona Prediksi 3, deret waktu data curah hujan memperlihatkan adanya sinyal sunspot yang hadir dengan magnitude yang tidak terlalu besar yaitu 2.2 x 108.
Gambar IV.3 Spektrum data sunspot
Gambar IV.4 Spektrum data curah hujan pada Zona Predisksi 2
33
Pada Zona Prediksi 4 dan 5, sinyal sunspot yang lemah ditunggangi oleh adanya gangguan lain meskipun tidak terlalu besar dengan periode 5-6 tahun yang diidentifikasi sebagai ENSO. Gangguan ini sedikit meredam sinyal sunspot yang lemah pada deret waktu data curah hujan. Gambaran lengkap periodogram setiap zona prediksi diperlihatkan pada lampiran L III.4. Dalam konteks sebenarnya, fenomena sunspot mempengaruhi kondisi cuaca dan iklim dalam cakupan daerah yang luas dan bersifat global. Peranan aktivitas matahari pada pembentukan awan dipercayai berkaitan dengan variabilitas fluks sinar kosmik primer. Partikel-partikel sinar kosmik yang masuk ke atmosfer bumi dengan kecepatan mendekati 3.108 m/s memiliki energi lebih dari 10 MeV (1.6 x 10-7 erg). Dengan kecepatan dan energi sedemikian sangat mungkin terjadi tumbukan antara partikel ketika kosmik memasuki wilayah atmosfer bumi. Diluar eksosfer terdapat suatu daerah dengan sifat magnetik bumi yang berinteraksi dengan arus radiasi korpuskuler yang disebut angin matahari (solar wind). Partikel-partikel bermuatan dari angin matahari didefleksikan oleh medan magnet bumi dengan sebuah gaya yang tegak lurus pada medan magnet dan trajektori partikel : uv v uv F = qv x B ... (IV.1) uv Dengan, F adalah gaya yang bekerja pada partikel bermuatan, q merupakan uv v muatan partikel, v adalah kecepatan partikel bermuatan dan B adalah induksi uv magnetik. B memberikan efek defleksi partikel-partikel menjauhi bumi. Efek partikel kosmik bervariasi pada lintang di bumi sebagai akibat garis medan magnet bumi. Partikel-partikel akan ditolak oleh medan magnet bumi, tapi tumbukan tetap akan terjadi dan mengganggu lintasannya meskipun ada juga yang terperangkap. Jika hal ini terjadi maka partikel akan bergerak spiral (berpilin) sebagaimana gambar IV.5. Putaran pilin (spiral) lebih renggang ketika berada sekitar ekuator dan menjadi lebih rapat ketika mencapai medan magnet yang lebih kuat ke arah kutub.
34
Helical motion of Electrons and ions Around field lines
electron drift Ion drift
+
-
Ring current
Gambar IV.5 Gerakan helikal ion dan elektron sepanjang garis gaya magnet (Sandstorm, 1965).
Partikel-partikel akan bergerak mengikuti lintasan magnet bumi. Intensitas tumbukan yang kuat terjadi pada densitas yang lebih tinggi di daerah kutub. Tumbukan partikel kosmik dengan kecepatan dan energi yang besar mampu memecah komposisi molekul yang berada di atmosfer terutama yang mengandung ion H+ dalam kaitannya dengan pembentukan inti kondensasi sehingga dapat dikatakan bahwa partikel-partikel sinar kosmik berhubungan dengan tingkat tutupan awan dan bervariasi terhadap lintang ataupun bujur (lihat gambar IV.6 dan IV.7).
Gambar IV.6 Koefisien korelasi antara sinar kosmik primer dan tutupan awan (Svensmark dan Friis, 1997).
35
Sebaliknya di ekuator karena densitas yang rendah dari medan magnet bumi menyebabkan intensitas tumbukan menjadi kecil ditambah lagi lintasan medan yang lebih panjang dibandingkan kutub. Fluks sinar kosmik maksimum di ekuator berkaitan dengan rendahnya radiasi yang diterima karena terhalang oleh tutupan awan tinggi yang terbentuk sehingga
terjadi pendinginan
permukaan dan berdampak pada lemahnya updraft (udara naik).
%
10
5
W 180
E 150
120
90
60
30
30
60
90
120
150
180
-5
-10
Gambar IV.7 Intensitas sinar kosmik sebagai fungsi garis bujur (Sandstorm, 1965)
Intensitas sinar kosmik memperlihatkan suatu hubungan terbalik dengan siklus sunspot. Kurva gambar IV.8 memperlihatkan bahwa pada saat puncak siklus sunspot 10-12 tahun terjadi minimum di sinar kosmik atau bisa juga disebutkan bahwa sinar kosmik mengalami keterlambatan fasa terhadap aktivitas matahari. Hal ini disebabkan oleh medium antara planet membelokkan sinar kosmik selama aktivitas matahari tinggi. Akibatnya sinar kosmik terlihat seperti termodulasi oleh aktivitas matahari.
36
Gambar IV.8 Kurva hubungan sinar kosmik dengan siklus sunspot
Hubungan antara sinar kosmik dan curah hujan dapat diinterpretasikan bahwa ketika sinar kosmik maksimum di ekuator mengakibatkan terhalangnya radiasi langsung matahari ke bumi oleh awan-awan tinggi yang terbentuk sehingga terjadi pendinginan permukaan. Akibatnya konvektivitas menjadi kecil karena tidak ada gaya angkat ke atas (bouyancy) sehingga jumlah curah hujan menjadi
minimum.
Sebaliknya
ketika
sinar
kosmik
minimum
maka
konvektivitas di ekuator menjadi kuat karena radiasi matahari dapat langsung diterima oleh permukaan ditandai dengan curah hujan yang maksimum. Gambar IV.9 memperlihatkan kuatnya hubungan antara sunspot-kosmik adalah -0.86 yang menunjukkan korelasi terbalik karena beda fasa antara kosmik dan bilangan sunspot artinya ketika aktivitas matahari maksimum maka kosmik akan minimum. Sementara itu hubungan radiasi-kosmik juga memberikan korelasi -0.76 sesuai dengan analisis awal bahwa peningkatan kosmik akan mengakibatkan minimnya radiasi sehingga konvektivitas menjadi kecil. Hubungan radiasi-sunspot memberikan korelasi 0.83 artinya ketika terjadi penguatan medan magnet matahari sebagai indikasi aktif diikuti dengan penguatan radiasi yang diterima oleh bumi. Intensitas kosmik yang cenderung kecil di ekuator dibandingkan daerah kutub memberikan gambaran bahwa di ekuator menerima radiasi yang lebih
37
besar dibandingkan daerah manapun di bumi sehingga berdampak pada kuatnya konveksi sepanjang tahun.
Gambar IV.9 Kurva hubungan siklus sunspot-radiasi-sinar kosmik, Radiasi-sunspot =0.83, radiasi-kosmik =-0.76, sunspot-kosmik=-0.86
Dengan menambahkan data radiasi rata-rata Pontianak pada peta radiasi matahari LIPI, 2005 (lampiran L III.8) terlihat bahwa intensitas radiasi terbesar berada pada sebagian besar Zona Prediksi 2. Asumsi fisis ini diperkuat dengan tingginya jumlah hujan (mm) yang terdistribusi pada Zona Prediksi 2 (gambar Gambar IV.11). 120 404
100
380
80 356
60 332
40
308
20 0 0
284 260
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
220
240
Gambar IV.10 Kontur radiasi bulanan rata-rata untuk Indonesia Dengan distribusi radiasi rata-rata 431.1 cal.cm-2.month-1 sangat memungkinkan jika terjadi konveksi updraft yang sangat kuat di Zona Prediksi 2. 38
265
245 40 LU
225
205 00
185
165
145
40 LS 1120 BT
1160 BT
Gambar IV.11 Isohyet curah hujan bulanan rata-rata
Ketika kedudukan matahari berada pada
lintang 23.50 BBU yang
disebut sebagai soltis musim panas maupun ketika terjadi soltis musim dingin dengan kedudukan matahari pada lintang 23.50 BBS ekuator tetap menerima radiasi yang optimum, apalagi ketika posisi matahari pada ekinoks. Dengan melihat pola kontur radiasi matahari bulanan (gambar IV.10) yang terdapat pada wilayah bagian barat Kalimantan (zona prediksi 2) cukup memperjelas tentang tingginya konvektivitas pada wilayah tersebut. 12 550
11 10
520
9 8
490
7
Bulan 6
460
5
430
4 3
400
2 1 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
370
Tahun
Gambar IV.12 Distribusi radiasi Zona Prediksi 2, rata-rata 431.1 cal.cm-2.month-1
39
Aktivitas matahari yang ditandai dengan siklus sunspot seharusnya memberikan pengaruh global pada setiap zona prediksi di Kalimantan. Hanya saja gangguan
ini
akan dieliminir oleh adanya dinamika atmosfer yang
berbeda-beda pada masing-masing zona. Jika dilihat dengan pola angin (gambar IV.13), wilayah barat kalimantan (Zona Prediksi 2) cenderung statik sehingga inti kondensasi yang bersinergi dengan aktivitas matahari tidak terdisipasi ke wilayah lain, berbeda dengan daerah selain zona 2 yang cenderung terdisipasi.
a)
b)
Gambar IV.13 Pola angin 1000 mb bulan (a) Januari, dan (b) bulan Juli (sumber : http://www.bom.gov.au/)
6.00 5.60 5.20
40 LU
4.80 4.40 4.00
00
3.60 3.20 2.80
40 LS
2.40
1120 BT
1160 BT
2.00
Gambar IV.14 Kontur Kecepatan Angin Tahunan Rata-rata Observasi Permukaan Gambar IV.14 memberikan bukti kuantitatif tentang kondisi atmosfer di Zona Prediksi 2 yang cenderung statik dibandingkan pada zona lainnya. Lebih engkap gambaran pola dan kecepatan angin bulanan dapat dilihat pada lampiran L III.
40
Daerah konvergensi (Inter
Tropical Conve Zone, ITCZ) dan efek
Coriolis juga berpengaruh dalam mengumpulkan inti kondensasi
disekitar
Kalimantan bagian barat yang sebanding dengan jumlah rata-rata curah hujannya. Kondisi geografis yang sedikit dipengaruhi oleh faktor orografi juga menjawab mengapa zona prediksi selain Zona Prediksi 2 kurang memberikan respon langsung pada sinyal sunspot. Gambaran lengkap hubungan aktivitas matahari-curah hujan dapat dilihat pada lampiran L III.
Gambar IV.15 Korelasi curah hujan – sunspot pada Zona Prediksi 2
IV.3 Prediksi Curah Hujan Prediksi dilakukan dengan menempatkan curah hujan sebagai prediktor (1 Prediktor) dan menggunakan sinar kosmik dan sunspot sebagai prediktor (2 Prediktor) pada masing-masing Zona Prediksi dimana curah hujan sebagai prediktan. Pengujian dilakukan dengan metode ANFIS dan Jaringan Neural untuk membuat prediksi curah hujan satu tahun (12 bulan) ke depan serta melakukan variasi panjang data input. Disamping itu juga dilakukan prediksi 14 tahun ke depan (14 titik) untuk masing-masing Zona Prediksi. Prediksi curah hujan bulanan dengan Metode ANFIS maupun Jaringan Neural dilakukan dengan panjang data bervariasi yaitu 45 tahun, 30 tahun, dan 15 tahun. Pembelajaran (training) dilakukan dengan menggunakan data input
41
tersebut. Setelah mendapatkan nilai optimum pembelajaran (error mendekati 0) selanjutnya dilakukan prediksi 12 bulan kedepan.
Gambar IV.16 Hasil Training (atas) dan Error (bawah) dengan Metode ANFIS 1 Prediktor untuk Zona 1 menggunakan panjang data 45 tahun.
Gambar IV.17 Hasil prediksi (2006) dengan Metode ANFIS 1 Prediktor untuk Zona 1 menggunakan panjang data 45 tahun.
42
Gambar IV.18 Hasil Training (atas) dan Error (bawah) dengan Jaringan Neural 1 Prediktor untuk Zona 1 menggunakan panjang data 45 tahun.
Gambar IV.19 Hasil prediksi (2006) dengan Jaringan Neural 1 Prediktor untuk Zona 1 menggunakan panjang data 45 tahun.
Secara keseluruhan hasil keluaran Metode ANFIS 1 Prediktor menunjukkan korelasi positif berkisar 0.46 sampai dengan 0.81 dengan rata-rata nilai korelasi 0.81 pada panjang data 45 tahun. Nilai RMSE (Root Mean Square Error) berkisar 15.54 sampai 59.19 dengan rata-rata RMSE 15.54 pada panjang data 45 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum hasil prediksi cukup
43
baik diterapkan pada seluruh Zona Prediksi. Sementara itu hasil keluaran Model Jaringan Neural menunjukkan kisaran korelasi negatif (pada Zona Prediksi 5 dengan panjang input 30 th) dan positif dengan rata-rata korelasi keseluruhan antara 0.48 sampai dengan 0.79 atau rata-rata nilai korelasi 0.82. Nilai RMSE (root mean square error) berkisar 72.98 sampai 84.88 atau dengan rata-rata 74.42. pada panjang data 30 tahun Korelasi negatif menunjukkan bahwa peningkatan nilai hasil prediksi berbanding terbalik dengan data observasi. Hasil prediksi model keluaran Jaringan Neural 1 Prediktor tidak lebih baik dari keluaran Metode ANFIS 1 Prediktor meskipun secara keseluruhan cukup baik diterapkan pada seluruh Zona Prediksi. Berikut ini disampaikan nilai RMSE dan korelasi hasil prediksi curah hujan
menggunakan Metode ANFIS 1 Prediktor maupun Metode Jaringan
Neural 1 Prediktor dengan variasi jumlah data masukan pada masing-masing Zona Prediksi :
Tabel IV.2 Nilai Error Prediksi, RMSE dan Koefisien Korelasi tiap Zona Prediksi Dengan Metode ANFIS 1 Prediktor
ZONA 1
19.49
15 Tahun RMSE (mm) 46.25
0.69
19.52
30 Tahun RMSE (mm) 48.96
0.79
3.92
45 Tahun RMSE (mm) 10.71
ZONA 2
24.66
63.86
0.25
18.70
42.07
0.85
4.27
12.47
0.75
ZONA 3
21.71
40.21
0.65
25.32
43.76
0.76
7.37
17.81
0.95
ZONA 4
576.39
77.86
0.67
604.97
89.16
0.46
20.58
20.82
0.92
ZONA 5
23.40
67.75
0.03
19.61
56.08
0.36
6.23
15.88
0.64
Rata-rata
133.13
59.19
0.46
137.62
56.01
0.64
8.47
15.54
0.81
E P(%)
Korelasi
EP (%)
Korelasi
EP (%)
Korelasi 0.80
Tabel IV.3 Nilai Error Prediksi, RMSE dan Koefisien Korelasi tiap Zona Prediksi Dengan Metode Jaringan Neural 1 Prediktor
ZONA 1
EP (%) 37.85
15 Tahun RMSE (mm) 85.38
Korela si 0.06
EP (%) 30.44
30 Tahun RMSE (mm) 71.50
Korela si 0.44
EP (%) 36.49
45 Tahun RMSE (mm) 81.79
Korela si 0.86
ZONA 2
49.45
100.49
0.68
26.73
70.19
0.67
34.59
85.09
0.71
ZONA 3
50.42
104.63
0.42
39.54
82.07
0.82
33.43
70.04
0.73
ZONA 4
227.69
76.57
0.61
66.29
68.28
0.78
96.52
63.22
0.85
ZONA 5
23.46
57.35
0.61
31.42
80.06
-0.16
23.57
64.78
0.82
44
Ratarata
77.77
84.88
0.48
38.88
74.42
0.51
44.92
72.98
0.79
Sementara itu juga dicoba melakukan prediksi menggunakan sinar kosmik dan sunspot sebagai prediktor (2 Prediktor) untuk panjang data 45 tahun, namun memperlihatkan hasil yang kurang baik jika dibandingkan dengan prediksi menggunakan curah hujan sebagai prediktor (1 Prediktor). Hal ini dimungkinkan karena aktivitas matahari lebih terasa pengaruhnya pada periode yang panjang (tahunan). Berikut ini disampaikan tabel deskripsi akurasi prediksi menggunakan 2 input pada panjang data 45 tahun.
Tabel IV.4 Akurasi tiap Zona Prediksi dengan Metode ANFIS dan Jaringan Neural 2 Prediktor pada panjang data 45 tahun.
ZONA 1 ZONA 2 ZONA 3 ZONA 4 ZONA 5
ANFIS 2 Prediktor EP (%) RMSE Korelasi 31.19 61.83 0.53 26.84 66.05 0.30 27.95 55.60 0.04 907.37 104.89 0.48 20.46 60.83 0.66
Jaringan NEURAL 2 Prediktor EP (%) RMSE (mm) Korelasi 37.80 98.53 -0.38 79.19 166.46 -0.75 47.56 89.59 -0.75 535.27 87.40 -0.12 39.21 104.97 -0.22
Rata-rata
202.76
147.81
69.84
0.40
109.39
-0.44
Secara umum panjang data input 45 tahun cukup ideal untuk mengeliminir efek global yang dibangkitkan oleh sistem atmosfer – bumi – lautan. Gambaran hasil training dan prediksi secara keseluruhan untuk panjang input berbeda ditampilkan dalam lampiran L I.1. Sedangkan tabel nilai RMSE tiap metode ditampilkan pada lampiran L IV. Sementara itu prediksi curah hujan tahunan dilakukan menggunakan Metode ANFIS dengan panjang data 46 tahun (1961-2006) untuk mendapatkan 14 tahun output (2007-2020) terdiri dari ANFIS 1 Prediktor (curah hujan) dan 2 Prediktor (sinar kosmik + sunspot).
45
Gambar IV.20 Hasil Training (atas) dan Error (bawah) dengan Metode ANFIS 1 Prediktor untuk Zona 1 menggunakan panjang data 46 tahun.
Gambar IV.21 Hasil Prediksi Tahunan Metode ANFIS 1 Prediktor untuk Zona 1 menggunakan panjang data 46 tahun.
46
Gambar IV.22 Hasil Training (atas) dan Error (bawah) dengan Metode ANFIS 2 Prediktor untuk Zona 1 menggunakan panjang data 46 tahun.
Gambar IV.23 Hasil prediksi Tahunan Metode ANFIS 2 Prediktor untuk Zona 1 menggunakan panjang data 46 tahun.
Berikut ini disampaikan nilai RMSE dan korelasi hasil prediksi curah hujan
tahunan menggunakan Metode ANFIS 1 Prediktor maupun maupun
ANFIS 2 Prediktor dengan panjang data input 46 tahun pada masing-masing Zona Prediksi.
47
Tabel IV.5 Akurasi tiap Zona Prediksi dengan Metode ANFIS 1 Prediktor pada panjang data 46 tahun. ZONA 1 ZONA 2 ZONA 3 ZONA 4 ZONA 5
Error Training (%) 15.10 10.21 11.61 11.13 16.94
Error Prediksi (%) 16.31 11.32 12.60 12.08 18.22
RMSE (mm) 29.86 30.09 29.93 23.08 41.58
Korelasi 0.03 -0.01 0.23 -0.02 0.09
Rata-rata
13.00
14.11
30.91
0.06
Tabel IV.6 Akurasi tiap Zona Prediksi dengan Metode ANFIS 2 Prediktor pada panjang data 46 tahun.
ZONA 1 ZONA 2 ZONA 3 ZONA 4 ZONA 5
Error Training (%) 8.29 7.58 7.55 2.76 5.31
Error Prediksi (%) 10.65 9.28 11.37 10.46 15.10
RMSE (mm) 20.39 24.54 26.31 20.23 36.96
Korelasi 0.34 -0.12 0.05 0.02 0.12
Rata-rata
6.30
11.37
25.69
0.08
Hasil prediksi curah hujan tahunan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan Metode ANFIS 2 Prediktor memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan Metode ANFIS 1 Prediktor. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena sunspot dan sinar kosmik dapat diperhitungkan dalam melakukan prediksi jangka panjang karena memberikan akurasi yang lebih baik dibandingkan jika hanya menggunakan ANFIS 1 Prediktor. Hasil keluaran ANFIS 2 Prediktor pada Zona Prediksi 2 memperlihatkan nilai RMSE yang kecil yaitu 24.54, hal ini cukup menunjang analisis awal bahwa pola hujan Zona Prediksi 2 memberikan respon langsung terhadap aktivitas matahari sehingga akan memudahkan validasi dalam melakukan prediksi jangka panjang.
48
Gambar IV.24 Hasil prediksi Metode ANFIS untuk siklus sunspot
Gambar IV.25 Hasil prediksi Tahunan Metode ANFIS 2 Prediktor untuk Zona 2 menggunakan panjang data 46 tahun.
Lebih lengkap hasil training ANFIS maupun Jaringan Neural untuk prediksi bulanan maupun tahunan dapat dilihat pada lampiran.
49