BAB III PERANAN MDG’s DALAM UPAYA PERLINDUNGAN HAK POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA
A. MDG’s DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN MASYARAKAT DUNIA Millenium Development Goals (disingkat MDGs) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Tujuan Pembangunan Milenium (TPM). Tujuan Pembangunan Milenium merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PB) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KT) Milenium PB bulan September 2000 silam. Majelis Umum PB kemudian melegalkannya ke dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (A/RES/55/2. United Nations Millennium Declaration). 81 Lahirnya Deklarasi Milenium merupakan buah perjuangan panjang negara-negara berkembang dan sebagian negara maju. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia, yang belum pernah terjadi sebelumnya, untuk menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi, dan kebebasan fundamental dalamsatu paket. Negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi MDGs. Setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target berikut indikatornya. MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan serta memiliki tenggat waktu dan kemajuan yang terukur. MDGs didasarkan atas konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakanpekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut. Dikotomi orientasi pembangunan antara pertumbuhan dan pemerataan, sebagaimana diketahui, sudah berlangsung sejak lama. Akan tetapi berbagai kajian ilmiah membuktikan bahwa
81
Izarul Machdar , Target MDGs (Capaian http://www.serambinews.com/news/ , diakses pada Jumat, 28 Oktober 2010.
Pemerintah
Aceh)
dalam,
Universitas Sumatera Utara
pembangunan yang menekankan pada pemerataan lebih berdampak positif. Nilai positif ini setidaknya dapat dilihat dari dua aspek yaitu: Pertama, bahwa orientasi pembangunan yang menekankan pada pemerataan akan mengangkat kesejahteraan penduduk secara lebih luas. Dengan begitu, lebih banyak penduduk yang dapat menikmati hasil pembangunan. Kedua, secara timbal balik, karena semakin banyaknya penduduk yang kesejahteraannya meningkat, pada gilirannya akan lebih banyak lagi sumberdaya manusia yang dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Dengan demikian keberlanjutan pembangunan menjadi lebih pasti. Sebaliknya orientasi pembangunan yang menekankan pada pertumbuhan akan lebih menghasilkan kesenjangan dalam masyarakat. Pada dekade 1980-an banyak kelompok studi yang mendiskusikan orientasi pembangunan “Growth” versus “Development” tersebut. Salah satu yang dapat disebutkan di sini adalah “Club of Rome”, kelompok yang kemudian mengemukakan argumen tentang “Limit to Growth”. Selanjutnya pada dekade 1990-an, PB membawa isu orientasi pembangunan yang mengarah pada kesejahteraan umat manusia tersebut (development) ke dalam pembahasan, diskusi, serta kesepakatan antarnegara. Tahun 1992, misalnya, diselenggarakan KT Bumi di Rio de Janeiro. Tahun 1994 digelar pula Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di Cairo. Tahun 1995, ganti Konferensi Gender dan Pemberdayaan Perempuan dilaksanakan, berikut beberapa konferensi lainnya yang sejalan setelah itu. 82 Puncak dari upaya mengedepankan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan umat manusia, baik untuk generasi saat ini maupun generasi mendatang, adalah lahirnya kesepakatan kepala negara dan kepala pemerintahan 189 negara mengenai Deklarasi Milenium. Deklarasi ini berisi kesepakatan negara-negara tentang arah pembangunan berikut sasaran-sasarannya yang perlu diwujudkan. Secara ringkas, arah pembangunan yang disepakati secara global meliputi: 1.
Menghapuskan kemiskinan dan kelaparan berat;
2. Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua orang; 3. Mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
82
Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia Tahun 2007, Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007, hal 3.
Universitas Sumatera Utara
4. Menurunkan kematian anak; 5. Meningkatkan kesehatan maternal; 6. Melawan penyebaran HIV/AIDS, dan penyakit kronis lainnya (malaria dan tuberkulosa); 7. Menjamin keberlangsungan lingkungan; dan 8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
1. SEJARAH MDG’s Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi itu berdasarkan pendekatan yang inklusif, dan berpijak pada perhatian bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. Dalam konteks inilah negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs). Setiap tujuan (goal) memiliki satu atau beberapa target. Target yang tercakup dalam MDGs sangat beragam, mulai dari mengurangi kemiskinan dan kelaparan, menuntaskan tingkat pendidikan dasar, mempromosikan kesamaan gender, mengurangi kematian anak dan ibu, mengatasi HIV/AIDS dan berbagai penyakit lainnya,serta memastikan kelestarian lingkungan hidup dan membentuk kemitraan dalam pelaksanaan pembangunan. Ada beberapa tujuan pembangunan yang lain ditetapkan pada dekade 1960-an hingga 1980an. Sebagian terlahir dari konferensi global yang diselenggarakan PBB pada 1990-an, termasuk KTT Dunia untuk Anak, Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua 1990 di Jomtien, Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan 1992 di Rio de Janeiro, dan KTT Dunia untuk Pembangunan Sosial 1995 di Copenhagen. MDGs tidak bertentangan dengan komitmen global yang sebelumnya karena sebagian dari MDGs itu telah dicanangkan dalam Tujuan Pembangunan Internasional (IDG), oleh negara-negara maju yang tergabung dalam OECD pada 1996 hingga selanjutnya diadopsi oleh PBB, Bank Dunia dan IMF.1 Sekalipun MDGs merupakan sebuah komitmen global tetapi diupayakan untuk lebih mengakomodasikan nilai-nilai lokal sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
karakteristik masing-masing negara sehingga lebih mudah untuk diaplikasikan. Beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan MDGs adalah sebagai berikut: Pertama, MDGs bukan tujuan PBB, sekalipun PBB merupakan lembaga yang aktif terlibat dalam promosi global untuk merealisasikannya. 83 MDGs adalah tujuan dan tanggung jawab dari semua negara yang berpartisipasi dalam KTT Milenium, baik pada rakyatnya maupun secara bersama antar pemerintahan. Kedua, tujuh dari delapan tujuan telah dikuantitatifkan sebagai target dengan waktu pencapaian yang jelas, hingga memungkinkan pengukuran dan pelaporan kemajuan secara obyektif dengan indikator yang sebagian besar secara internasional dapat diperbandingkan. Ketiga, tujuan-tujuan dalam MDGs saling terkait satu dengan yang lain. Misalnya, Tujuan 1—menanggulangi kemiskinan dan kelaparan yang parah— adalah kondisi yang perlu tapi belum cukup bagi pencapaian Tujuan 2 hingga Tujuan 7. Demikian juga, tanpa kemitraan dan kerja sama antara negara miskin dan negara maju, seperti yang disebut pada Tujuan 8, negara-negara miskin akan sulit mewujudkan ketujuh tujuan lainnya. Keempat, dengan dukungan PBB, terjadi upaya global untuk memantau kemajuan, meningkatkan perhatian, mendorong tindakan dan penelitian yang akan menjadi landasan intelektual bagi reformasi kebijakan, pembangunan kapasitas dan memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai semua target. Kelima, 18 belas target dan lebih dari 40 indikator terkait ditetapkan untuk dapat dicapai dalam jangka waktu 25 tahun antara 1990 dan 2015. Masing-masing indikator digunakan untuk memonitor perkembangan pencapaian setiap tujuan dan target. 84
83
Administrator MetroTV, Sejarah singkat Millennium Development Goals (MDGs) dalam http://metrotvnews.com/ diakses pada Jumat, 28 Oktober 2010.
84
Administrator MetroTV, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
2. MDG’s SEBAGAI KERANGKA ACUAN BAGI PEMBANGUNAN MASYRAKAT DUNIA Penting untuk disampaikan bahwa MDG’s bukanlah tujuan PBB, sekalipun PBB adalah lembaga yang aktif terlibat dalam promosi global untuk merealisasikannya. MDG’s adalah tujuan dan tanggung jawab dari semua negara yang berpartisipasi dalam KTT Milenium, baik pada rakyatnya maupun bersama antar pemerintah. Tujuh dari delapan tujuan telah dikuantitatifkan sebagai target dengan waktu pencapaian yang jelas, hingga memungkinkan pengukuran dan pelaporan kemajuan secara objektif dengan indikator yang sebagian besar secara internasional dapat diperbandingkan. 85 Tujuan-tujuan MDG saling terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai contohnya, tujuan pertama-menanggulangi kemiskinan dan kelaparan yang parah—adalah kondisi yang diperlukan tapi belum cukup bagi pencapaian tujuan-tujuan lainnya. Demikian pula, tanpa kemitraan dan kerja sama antara negara miskin dan negara maju, seperti yang disebutkan pada tujuan 8, negara-negara miskin akan sulit mewujudkan ketujuh tujuan lainnya. Dengan dukungan PBB, terjadi upaya global untuk memantau kemajuan, peningkatan perhatian, mendorong tindakan dan penelitian yang akan menjadi landasan intelektual bagi reformasi kebijakan, pembangunan kapasitas dan memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai semua target. 18 target dan lebih dari 40 indikator terkait ditetapkan untuk dapat dicapai dalam jangka waktu 25 tahun antara 1990 dan 2015. Masing-masing indikator digunakan untuk memonitor perkembangan pencapaian setiap tujuan dan target. 86
1) Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan Seandainya tidak ada orang miskin, hampir semua masalah kita praktis terselesaikan. Ketika anda punya uang, anda tentu bisa memeriksakan diri ke dokter yang baik. Anda juga bisa memperoleh sambungan jaringan air minum serta makanan berkualitas. Karena itu, tujuan pertama dalam MDG’s adalah mengurangi jumlah penduduk miskin. Tujuan pertama ini, memang merupakan tujuan paling 85
Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Kita Suarakan MDG’s Demi Pencapaiannya di Indonesia, Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2008, hal 4. 86
Dr. Ruswiati Suryasaputra, M, Sc, Hak dan Peran Perempuan dalam Mensukseskan Milenium Development Goals 2015 dalam
Universitas Sumatera Utara
penting. Namun, jangan melihatnya sebagai hal yang terpisah dari tujuan MDGs yang lain. Pada dasarnya, semua tujuan berkaitan satu sama lain. Benar bahwa jika anda memiliki uang, anda bisa mendapatkan perawatan kesehatan yang baik. Namun hal sebaliknya, bisa juga terjadi. Jika anda sakit, bisa membuat anda menjadi lebih miskin – anda akan kehilangan waktu kerja atau harus membelanjakan uang untuk obat-obatan. Artinya, perbaikan kesehatan otomatis mengurangi kemiskinan. Demikian pula dengan pendidikan. Anak-anak yang menikmati pendidikan bakal terbantu memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih baik. 87
Target nya pada tahun 2015 adalah Mengurangi setengah dari penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1 dolar AS sehari dan mengalami kelaparan. 88 Sedangkan indikatornya adalah menurunkan proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan di bawah US$1 (PPP) per hari menjadi setengahnya dalam kurun waktu 1990-2015 merupakan target MDGs terkait dengan pengurangan tingkat kemiskinan. Dalam kasus Indonesia, indikator yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Persentase penduduk dengan pendapatan di bawah US$1 (PPP) per hari. b. Persentase penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan nasional. c. Indeks kedalaman kemiskinan. d. Indeks keparahan kemiskinan. e. Proporsi konsumsi penduduk termiskin (kuantil pertama). 89 Tingkat kemiskinan atau proporsi jumlah orang miskin dibandingkan dengan jumlah penduduk keseluruhan pada tahun 1990 tercatat 15,10 persen, yang terus meningkat menjadi 17,75 persen pada tahun 2006. Dengan menggunakan basis data tahun 1990, tingkat kemiskinan yang menjadi sasaran MDGs pada tahun 2015 ialah sekitar 7,5 persen. Di sisi lain, krisis ekonomi yang 87
Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Loc. Cit.
88
. ………, Sasaran Pembangunan Millenium, dalam //http: www.wikipedia.com//, diakses pada Kamis, 27 Oktober 2010. 89
Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Op. Cit, hal 11.
Universitas Sumatera Utara
terjadi dalam kurun 1997-1998 berakibat pada melonjaknya tingkat kemiskinan menjadi 24,1 persen pada tahun 1998. Karena itu, akan lebih realistis apabila sasaran kemiskinan MDGs untuk tahun 2015 adalah setengah dari kondisi tahun 1998, yakni 12 Per sen. Kemungkinan lain adalah dengan membuat kisaran yang menggabungkan sasaran berbasis tahun 1990 dan sasaran berbasis tahun 1998. Dengan demikian, sasaran tingkat kemiskinan MDGs Indonesia pada tahun 2015, dengan menggunakan garis kemiskinan nasional, adalah berkisar pada 7,5 -12 persen.
2) Pendidikan Dasar untuk Semua
Begitu banyak anak-anak yang tidak dapat bersekolah dan menikmati masa anak-anak nya di sekolah karena alasan kemiskinan. Di daerah Afrika dan beberapa Negara Asia dimana masihn banyak Negara yang berkembang, pendidikan dasar bagi anak-anak adalah bukanlah sebuah kebutuhan pimer. Pendidikan dasar menjadi terabaikan karena banyak masyarakat yang masih hidup dibawah garis kemiskinan. Maka kemudian, masalah ini diangkat kedalam KTT PBB sehingga menjadi salah satu tujuan negara-negara lewat MDG’s. Target untuk 2015 adalah Memastikan bahwa setiap anak , baik laki-laki dan perempuan mendapatkan dan menyelesaikan tahap pendidikan dasar. Memastikan semua anak laki-laki maupun perempuan di manapun untuk dapat menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2015 merupakan target MDGs yang utama di bidang pendidikan. Pengukuran pencapaian target ini di Indonesia menggunakan indikator sebagai berikut:
a. Angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (7-12 tahun). b. Angka partisipasi murni (APM) sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (13-15 tahun). c. Angka melek huruf usia 15-24 tahun. 90
3) Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
90
Ibid, hal 25.
Universitas Sumatera Utara
Ada baiknya kita meluruskan satu hal; kesetaraan gender bukan melulu mengenai perempuan, tetapi mengenai perempuan dan laki-laki. Akan tetaopi, karena target ini menekankan pada pemberdayaan perempuan, kita akan membahas lebih banyak mengenai hal ini dan issue terkait lainnya. Dalam banyak hal, perempuan di Indonesia telah mencapai kemajuan pesat, meskipun, masih cukup jauh dari pencapaian kesetaraan gender. Data tujuan ketiga MDGs menunjukkan hal tersebut dengan cukup jelas. Tujuan ini memiliki tiga target. Pertama, menyangkut pendidikan. Untuk hal ini, nampaknya kita cukup berhasil. Namun, terkait target kedua dan ketiga, yaitu lapangan pekerjaan dan keterwakilan dalam parlemen, kesempatan yang dimiliki perempuan di negara-negara masih kurang. Sehingga hal ini dirasa perlu menjadi salah satu tujuan pembangunan dari negara-negara. 91 Target 2005 dan 2015: Mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015. Target menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015 dipantau dengan menggunakan indicator sebagai berikut (dalam persen): a. Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan, dan tinggi, yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki. b. Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender). c. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK ) perempuan. d. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan. e. Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan. f.
Tingkat daya beli (Purchasing Power Parity, PP) pada kelompok perempuan.
g. Proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga publik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). 92
91
Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 15.
92
Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Op. Cit, hal 39.
Universitas Sumatera Utara
4) Menurunkan Angka Kematian Anak Kita semua ingin menikmati usia panjang dan hidup sehat. Kenyataannya, sekarang kita memang hidup lebih lama. Antara 1970 dan 2005, usia harapan hidup di negeri ini rata-rata meningkat sekitar 15 tahun. Anak-anak yang lahir di Indonesia saat ini dapat mengharapkan hidup hingga usia 68 tahun, Anda dapat memilih usia harapan hidup sebagai satu indicator kesehatan. Namun ada satu ukuran lainnya yang sangat penting, yaitu jumlah anakanak yang meninggal. Anak-anak, terutama bayi, lebih rentan terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat. Itulah sebabnya tujuan keempat MDGs adalah mengurangi jumlah kematian anak. 93 Target negara-negara penandatanga MDG’s untuk 2015: Mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun. Indikator yang digunakan untuk menilai target menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya dalam kurun waktu 1990-2015 adalah: a. Angka Kematian Bayi (AKB) per 1.000 kelahiran hidup. b. Angka Kematian Balita (AKBA ) per 1.000 kelahiran hidup. c. Anak usia 12-23 bulan yang diimunisasi campak (%). Kematian balita dan bayi. Pada tahun 1960, angka kematian bayi (AKB) masih sangat tinggi yaitu 216 per 1.000 kelahiran hidup. Dari tahun ke tahun, AKB ini cenderung membaik sebagai dampak positif dari pelaksanaan berbagai program di sektor kesehatan. Pada tahun 1992 AKB tercatat 68 per 1.000 kelahiran hidup, kemudian menurun menjadi 57 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1994, turun lagi menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1997, dan pada tahun 2002-2003 penurunannya sudah mencapai 35 per 1000 kelahiran hidup. 94
5) Meningkatkan Kesehatan Ibu
93
Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 18.
94
Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Loc. Cit, hal 49.
Universitas Sumatera Utara
Setiap tahun sekitar 20.000 perempuan di Indonesia meninggal akibat komplikasi dalam persalinan. Melahirkan seyogyanya menjadi peristiwa bahagia tetapi seringkali berubah menjadi tragedi. Sebenarnya, hampir semua kematian tersebut dapat dicegah. Karena itu tujuan kelima MDGs difokuskan pada kesehatan ibu, untuk mengurangi “kematian ibu”. Meski semua sepakat bahwa angka kematian ibu terlalu tinggi, seringkali muncul keraguan tentang angka yang tepat. Namun bisa ada keraguan tentang penyebabnya. Anda, misalnya, tidak mungkin hanya mengacu pada informasi dalam laporan kematian yang bisa saja disebabkan oleh berbagai alasan, terkait ataupun tidak terkait dengan persalinan. Metode yang biasa digunakan adalah dengan bertanya pada para perempuan apakah ada saudara perempuan mereka yang meninggal sewaktu persalinan. 95 Target untuk tahun 2015 ialah mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu dalam proses melahirkan. Indikator penilaian untuk penurunan angka kematian ibu sebesar tiga-perempatnya dalam kurun waktu tahun 1990 sampai 2015 ialah sebagai berikut: a. Angka kematian ibu melahirkan (AKI) per 100.000 kelahiran hidup. b. Proporsi kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan (%). c. Proporsi wanita 15-49 tahun berstatus kawin yang sedang menggunakan atau memakai alat keluarga berencana (%). Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia telah mengalami penurunan menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002-2003 bila dibandingkan dengan angka tahun 1994 yang mencapai 390 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Tetapi akibat komplikasi kehamilan atau persalinan yang belum sepenuhnya dapat ditangani, masih terdapat 20.000 ibu yang meninggal setiap tahunnya. Dengan kondisi ini, pencapaian target MDGs untuk AKI akan sulit dicapai. BPS memproyeksikan bahwa pencapaian AKI baru mencapai angka 163 kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, sedangkan target MDG pada tahun 2015 tersebut adalah 102. 96
95
Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 20.
96
Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Loc. Cit, hal 55.
Universitas Sumatera Utara
6) Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya Tujuan keenam dalam MDGs menangani berbagai penyakit menular paling berbahaya. Pada urutan teratas adalah Human Immunode_ ciency Virus (HIV), yaitu virus penyebab Acquired Immuno De_ ciency Syndrome (AIDS) – terutama karena penyakit ini dapat membawa dampak yang menghancurkan, bukan hanya terhadap kesehatan masyarakat namun juga terhadap negara secara keseluruhan. Indonesia beruntung bahwa HIV belum mencapai kondisi seperti yang terjadi di Afrika dan beberapa negara Asia Tenggara. Jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan virus HIV diperkirakan antara 172.000 dan 219.000, sebagian besar adalah laki laki. 97 Jumlah itu merupakan 0,1% dari jumlah penduduk. Menurut Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA), sejak 1987 sampai Juni 2008, tercatat 12.686 kasus AIDS – 2.479 di antaranya telah meninggal. HIV masih menjadi ancaman utama, seperti yang dapat kita amat terjadi di tempat lain. Di negara-negara lain, penularan awalnya menyebar dengan cepat di antara dua kelompok berisiko tinggi, yaitu para pengguna Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif Lainnya (Napza) suntik (penasun) dan pekerja seks. Dari sana HIV menyebar ke penduduk lainnya sehingga menyebabkan ”epidemi yang menyebar ke populasi umum (generalised epidemy)”. 98 Sehingga target untuk 2015yaitu menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit berat lainnya. Target mengendalikan penyebaran HIV dan mulai menurunnya jumlah kasus baru HIV pada tahun 2015 dinilai dengan indikator-indikator sebagai berikut: a. Prevalensi HIV dan AIDS. b. Penggunaan kondom pada hubungan seks beresiko tinggi. c. Penggunaan kondom pada pemakai kontrasepsi.
97
KPA, 2006. Rencana Aksi Nasional untuk HIV/AIDS 2007-2010. Komisi Penanggulangan AIDS.
98
Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 23.
Universitas Sumatera Utara
d. Persentase penduduk usia muda 15-24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang 99 Prevalensi HIV/AIDS pada penduduk usia 15-29 tahun diperkirakan masih di bawah 0,1 persen. Namun angka prevalensi pada sub-populasi perilaku beresiko telah melebihi 5 persen. Bahkan di Papua, HIV dan AIDS telah masuk pada populasi umum (usia 15-49 tahun) dengan prevalensi 2,4 persen. Epidemi AIDS sekarang telah terjadi hampir di seluruh Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari adanya laporan tentang kasus AIDS dari setiap provinsi. Jika pada tahun 2004 hanya 16 provinsi yang melaporkan adanya kasus AIDS, maka pada tahun 2007 AIDS telah dilaporkan di 32 provinsi. Jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan juga meningkat cukup tajam, yaitu dari 2.682 kasus pada tahun 2004, menjadi 10,384 kasus hingga akhir September 2007. Target mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria dan penyakit lainnya pada tahun 2015 menggunakan indikator sebagai berikut: a. Prevalensi malaria per 1.000 penduduk. b. Prevalensi tuberkulosis per 100.000 penduduk. c. Angka penemuan pasien tuberkulosis BTA positif baru (%). d. Angka keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis (%). 100
7) Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup
Targetnya adalah sebagai berikut:
a. Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap negara dan program serta mengurangi hilangnya sumber daya lingkungan
99
Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Op. Cit, hal 61. 100
Ibid, hal 65.
Universitas Sumatera Utara
b. Pada tahun 2015 mendatang diharapkan mengurangi setengah dari jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang sehat c. Pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai pengembangan yang signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya 100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh 101
Target MDGs ke-9, yaitu memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang, merupakan bagian dari pencapaian pelaksanaan pembangunan lingkungan hidup. Pembangunan lingkungan hidup dalam konteks ini dipahami dari dua pendekatan, yaitu perlindungan fungsi lingkungan hidup dan penanggulangan penurunan fungsi lingkungan hidup. Indikator yang digunakan mencakup Green Indicator dan Brown Indicator, sebagai berikut: Green Indicator a. Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan Satelit Landsat terhadap luas daratan (%). b. Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan luas kawasan hutan, kawasan lindung, dan kawasan konservasi termasuk kawasan perkebunan dan hutan rakyat terhadap luas daratan (%). c. Rasio luas kawasan lindung terhadap luas daratan (%). d. Rasio luas kawasan lindung perairan (marine protected area) terhadap luas daratan (%). Brown Indicator a. Jumlah emisi karbondioksida (CO2) (metrik ton). b. Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) (ton). c. Rasio jumlah emisi karbondioksida (CO2) terhadap jumlah penduduk Indonesia (%). d. Jumlah penggunaan energi dari berbagai jenis (setara barel minyak, SBM): Fosil dan NonFosil.
101
. ………, Sasaran Pembangunan Millenium, Op, Cit.
Universitas Sumatera Utara
e. Rasio penggunaan energi (total) dari berbagai jenis terhadap Produk Domestik Bruto (%) f.
Penggunaan energi dari berbagai jenis secara absolut (metrik ton). 102
8) Membangun Kerjasama Global untuk Pembangunan Target dari tujuan MDG’s Kedelapan ini adalah:
a. Mengembangkan lebih jauh lagi perdagangan terbuka dan sistem keuangan yang berdasarkan aturan, dapat diterka dan tidak ada diskriminasi. Termasuk komitmen terhadap pemerintahan yang baik, pembangungan dan pengurangan tingkat kemiskinan secara nasional dan internasional. b. Membantu kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara kurang berkembang, dan kebutuhan khusus dari negara-negara terpencil dan kepulauan-kepulauan kecil. Ini termasuk pembebasan-tarif dan -kuota untuk ekspor mereka; meningkatkan pembebasan hutang untuk negara miskin yang berhutang besar; pembatalan hutang bilateral resmi; dan menambah bantuan pembangunan resmi untuk negara yang berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan. c. Secara komprehensif mengusahakan persetujuan mengenai masalah utang negara-negara berkembang. d. Menghadapi secara komprehensif dengan negara berkembang dengan masalah hutang melalui pertimbangan nasional dan internasional untuk membuat hutang lebih dapat ditanggung dalam jangka panjang. e. Mengembangkan usaha produktif yang layak dijalankan untuk kaum muda f.
Dalam kerja sama dengan pihak "pharmaceutical", menyediakan akses obat penting yang terjangkau dalam negara berkembang
102
Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Op. Cit, hal 71.
Universitas Sumatera Utara
g. Dalam kerjasama dengan pihak swasta, membangun adanya penyerapan keuntungan dari teknologi-teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi. 103
Tujuan ke-8 dari MDGs adalah untuk mendorong kerjasama internasional dalam rangka mendukung negara-negara di dunia mencapai target-target MDGs mereka. Banyak target dan indikator pencapaian Tujuan 8 MDGs terkait erat dengan upaya-upaya di tingkat global, sehingga tidak mudah menilai kemajuan upaya di tingkat global berkaitan dengan pencapaian MDGs di suatu negara. Uraian di bawah ini secara spesifik melihat bidang-bidang utama dalam kerjasama internasional yang paling relevan dan secara potensial memiliki keterkaitan kuat dengan pencapaian MDGs Indonesia. Oleh karena itu, beberapa indikator dicoba untuk dipilah-pilah, sehingga indikatorindikator tersebut dapat menggambarkan sejauh mana pencapaian Indonesia terkait dengan Tujuan 8 tersebut. Laporan ini juga akan menguraikan perkembangan singkat yang berkaitan dengan “tema” target-target terkait, yaitu keuangan dan perdagangan (Target 12), ODA/pinjaman luar negeri (Target 15), pengangguran usia muda (Target 16), dan akses kepada teknologi baru (Target 18). Status umum tujuan ini sulit dijabarkan karena status tersebut melibatkan berbagai sektor dan juga persoalan yang bersifat global. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa untuk tujuan ini Indonesia telah mencapai kemajuan pada beberapa bidang. Ke depannya, masih banyak hambatan dan tantangan yang harus dihadapi. 104 Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapa t diprediksi, dan tidak diskriminatif. Sasaran kedelapan ini mengamanatkan agar setiap negara mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan (rule-based), dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif. Di dalamnya termasuk pula komitmen untuk melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance). Indikator yang digunakan adalah:
103
………, Sasaran Pembangunan Millenium, Op, Cit
104
Tim Penyusunan Laporan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) Indonesia Tahun 2007 (Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Op. Cit, hal 71.
Universitas Sumatera Utara
a. Rasio antara jumlah Ekspor dan Impor dengan PDB. Rasio ini menunjukkan tingkat keterbukaan suatu Ekonomi (%). b. Rasio antara Kredit dan Tabungan (LDR) Bank Umum (%). Rasio ini menunjukkan peningkatan atau pengurangan fungsi intermediasi bank umum. c. Rasio antara Kredit dan Tabungan (LDR) Bank Perkreditan Rakyat (%). Rasio ini menunjukkan peningkatan atau pengurangan fungsi intermediasi Bank Prekreditan Rakyat. Dalam menangani hutang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional agar pengelolan hutang berkesinambungan dalam jangka panjang. Indikator yang digunakan dalam menangani hutang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional agar pengelolaan hutang berkesinambungan dalam jangka panjang adalah: a. Rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB. b. Debt-to-Service Ratio (DSR). Dalam bekerjasama dengan negara lain untuk mengembangkan dan menerapkan strategi penciptaan lapangan kerja yang baik dan produk tif bagi penduduk usia muda . Target 16, bekerjasama dengan negara lain untuk mengembangkan dan menerapkan strategi penciptaan lapangan kerja yang baik dan produktif bagi penduduk usia muda, indikator yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Tingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun); b. Tingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun) menurut jenis kelamin; c. Tingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun) menurut provinsi.
B. KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM MDG’s. Ada baiknya kita meluruskan satu hal; kesetaraan gender bukan melulu mengenai perempuan, tetapi mengenai perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, karena target ini menekankan pada pemberdayaan perempuan, kita akan membahas lebih banyak mengenai hal ini dan issue terkait
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Dalam banyak hal, perempuan di dunia telah mencapai kemajuan pesat, meskipun, masih cukup jauh dari pencapaian kesetaraan gender. Data tujuan ketiga MDGs menunjukkan hal tersebut dengan cukup jelas. Tujuan ini memiliki tiga target. Pertama, menyangkut pendidikan. Untuk hal ini, nampaknya Indonesia cukup berhasil. Namun, terkait target kedua dan ketiga, yaitu lapangan pekerjaan dan keterwakilan dalam parlemen, kesempatan yang dimiliki perempuan Indonesia masih kurang. Mari kita mulai dengan kabar baik. Saat ini, semakin banyak anak perempuan yang bersekolah. Bahkan terjadi kemajuan yang cukup mengejutkan, antara anak laki-laki dan perempuan di berbagai jenjang pendidikan Pada sekolah dasar jumlah antara anak perempuan dan laki-laki terbilang seimbang, di mana rasio yang ditunjukkannya mendekati 100% sejak 1992. 105 Sekarang di jenjang sekolah lanjutan pertama, garisnya berada diatas 100%, artinya terdapat lebih banyak anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Meskipun ada penurunan pada tahun lalu, anak perempuan sepertinya berada di depan pada sekolah lanjutan pertama. Ini mungkin karena kakak lakilaki mereka meninggalkan sekolah untuk bekerja. Biasanya terdapat lebih banyak kesempatan kerja bagi anak laki-laki daripada untuk anak perempuan. Namun, di sekolah menengah atas, situasinya kembali lebih seimbang. Cara lain mengukur kemajuan adalah dengan melihat berapa banyak anak putus sekolah. Kenyataannya, di sekolah dasar, jumlah anak putus sekolah antara anak laki-laki dan perempuan sama. Namun, di sekolah lanjutan, terlihat bahwa lebih sedikit anak perempuan yang putus sekolah. Hal tersebut, lagi-lagi mungkin karena anak laki-laki memilik
lebih banyak
kesempatan kerja. Menariknya, baik keluarga miskin maupun kaya, sama giatnya yang bersekolah. Sekarang situasi sudah semakin setara. Untuk mereka yang berusia 15 hingga 24 tahun, tingkat melek huruf baik untuk laki-laki dan perempuan hampir mendekati 100%. 106 Selain dibidang pendidikan, indikator MDG’s untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan adalah rasio melek huruf, sumbangan kerja berupah sektor non-pertanian dan proporsi perempuan di parlemen.
105
Peter Stalkerr dan Kelompok Kerja Tematis MDG’s, Op. Cit., hal 15.
106
Ibid, hal 16.,
Universitas Sumatera Utara
C. HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM MDG’s DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA LEWAT MDG’S.
1) MDG’S DI INDONESIA
Perkembangan pencapaian MDGs sesungguhnya bukanlah hal yang baru bagi Indonesia. Sebagai sebuah bentuk orientasi pembangunan, MDGs dalam tataran implementasi sesungguhnya telah
dipraktekkan oleh Pemerintah Indonesia sejak masa Pemerintahan
Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid hingga Presiden Megawati Sukarnoputri, dalam berbagai bentuk kebijakan dan program yang sesuai dengan kondisi masa itu. Pada masa Presiden Soekarno, misalnya, Pemerintah menerbitkan dokumen perencanaan pembangunan yangdiberi nama Garis-garis Besar Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960 dan Pokok-pokok Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969. Merujuk pada dua dokumen pembangunan tersebut, diketahui bahwasanya Indonesia waktu itu telah
mencoba menangani persoalan
pembangunan milenium. Ini ditunjukkan, antara lain, pada kurun 1956-1960 ketika pembangunannasional berorientasi pada peningkatan pendapatan nasional yang membentuk kemakmuran rakyat Indonesia. Kemakmuran rakyat diwujudkan melalui pelaksanaan berbagai kebijakan sehingga dapat berdampak pada peningkatan pendapatan keluarga secara mandiri. Bidangpendidikan, kesehatan, dan perumahan mendapatkan perhatian khusus. Kemudian, antara tahun19611969, perhatian ditumpukan pada peningkatan pendapatan nasional dan perseorangan hingga yang harus tercapai pada akhir pelaksanaan pembangunan. Peningkatan kualitas penduduk diselenggarakan lewat pembangunan kemasyarakatan, pendidikan, dan kesejahteraan, yangtertuang dalam dokumen Pembangunan Nasional Semesta Berentjana DelapanTahun. Terlihat bahwa peningkatan kualitas manusia telah menjadi komitmen dan program yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan jauh sebelum MDG’s disepakati sebagai komitmenglobal. Sayang, pelaksanaan program tersebut terhenti di tengah jalan akibat krisis politik tahun 1965. Sejak tahun 1970-an pemerintah menggulirkan kembali program-program peningkatan kesejahteraan yang meliputi pendidikan, kesehatan perorangan, kesehatan reproduksi, dan penanggulangan kemiskinan. Hal ini dilakukan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), khususnya Repelita I-IV, yang ditempuh secara reguler melalui program sektoral dan regional. Pada Repelita V-VI, pemerintah melaksanakan programprogram yang selaras dengan MDGs saat ini, dengan orientasi menuntaskan
masalah kesenjangan sosial dan
ekonomi. Jalur pembangunan yang ditempuh adalah dengan menyinergikan program reguler sektoral dan regional. Pelaksanaan Repelita V-VI ini pun terpaksa terhenti saat Indonesia menderita akibat dampak krisis ekonomi dan politik yang hebat di tahun 1997. Menjelang berakhirnya abad ke-20, Indonesia mulai menapaki masa transisi. Kebijakan pembangunan selamakurun itu, antara tahun 1998-2000, bersifat transisi pula. Salah satu kebijakan yang selaras dengan MDGs adalah pelaksanaan kebijakan Jaring Pengaman Sosial (JPS ), yang diantaranya adalah JPS bidang pendidikan, kesehatan, danpembangunan daerah sebagai upaya penanggulangan kemiskinan. Pelaksanaan berbagai kebijakan pembangunan selama 40 tahun terakhir menunjukkan bahwa Indonesia telah konsisten dengan tujuan MDGs, meskipun MDGs sendiri saat itu belum menjadi agenda pembangunan global. Pada tahun 2004, Indonesia menerbitkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 yang diuraikan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun sejak tahun 2004 hingga tahun 2008. Secara umum, pencapaian pembangunan manusia yang berhubungan dengan tujuan MDGs pertama hingga kedelapan telah menjadi latar belakang dalam pengambilan
Universitas Sumatera Utara
keputusan penyusunan dokumen RPJMN 2004-2009 maupun dokumen-dokumen RKP. Dokumen-dokumen tersebut secara khusus juga mengukur dan menelaah kemajuan pencapaian yang diperoleh, termasuk mengenali tantangan dan mengkaji program serta kebijakan ke depan untuk mencapai sasaran MDGs. Permasalahan dan tantangan pembangunan yang diuraikan dalam dokumen RPJMN 2004-2009 adalah: a. masih rendahnya pertumbuhan ekonomi mengakibatkan rendah dan menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat dan munculnya berbagai masalah sosial yang mendasar; b. kualitas sumber daya manusia Indonesia Masi h rendah karena pembangunan pendidikan belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak dasar warga negara; c. tidak menyatunya kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam sehingga sering melahirkan konflik kepentingan antara ekonomi sumber daya alam (pertambangan, kehutanan) dengan lingkungan; d. kesenjangan pembangunan antardaerah masih lebar, seperti antara Jawa-luar Jawa, antara kawasan barat Indonesia kawasan timur Indonesia, serta antara kota-desa; e. berkurangnya kualitas dan pelayanan dan tertundanya pembangunan infrastruktur baru telah menghambat pembangunan nasional; f. kerawanan sosial dan politik yang berpotensi mengganggu stabilitas dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; g. masih tingginya kejahatan konvensional dan trans-nasional; h. adanya potensi ancaman baik dari luar maupun dalam negeri yang tidak ringan berkaitan dengan wilayah yang sangat luas, serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang beragam; i.
Masih banyaknya peraturan perundang undangan yang belum mencerminkan keadilan, kesetaraan, dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia;
Universitas Sumatera Utara
j.
rendahnya kualitas pelayanan umum kepada masyarakat antara lain karena tingginya penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan; rendahnya kinerja sumber daya aparatur; belum memadainya sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan; rendahnya kesejahteraan PNS; serta banyaknya peraturan perundangundangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan;
k. belum menguatnya pelembagaan politik lembaga penyelenggara negara dan lembaga pemasyarakatan. Tantangan-tantangan
ini
selaras
dengan
tantangan
dalam
pencapaian
Tujuan
Pembangunan Milenium. Dalam rangka menjawab semua tantangan dalam pembangunan Indonesia 2004-2009, Pemerintah Indonesia telah menetapkan tiga agenda pembangunan jangka menengah yaitu: 1) menciptakan Indonesia yang aman dan damai, 2) menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis, serta 3) meningkatkan kesejahteraan rakyat. Khusus agenda yang ketiga, prioritas pembangunan dan arah kebijakannya mencakup: a) Penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran, b) Peningkatan investasi, c) Revitalisasi pertanian, d) Perikanan dan kehutanan, e) Pembangunan
perdesaan
dan
pengurangan
ketimpangan
antarwilayah, f) Peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan dan layanan kesehatan yang berkualitas, g) Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial,
Universitas Sumatera Utara
h) Pembangunan kependudukan yang berkualitas, dan i) Percepatan pembangunan infrastruktur. Walaupun permasalahan dan tantangan
yang dihadapi dalam pelaksanaan
pembangunan di Indonesia masih cukup banyak, Pemerintah Indonesia telah bertekad untuk memenuhi
komitmen pencapaian target
MDGs pada 2015
mendatang.
Bahkan,
penanggulangan kemiskinan dalam pembangunan jangka menengah (RPJMN) ditargetkan lebih cepat daripada target MDGs sendiri. MDGs telah menjadi salah satu bahan masukan penting dalam penyusunan Dokumen Perencanaan Pembangunan Nasional. Upaya dialog dengan berbagai pihak akan terus diupayakan untuk mencari kesepahaman dan langkah kerjasama kongkrit di masa yang akan datang. Hal ini penting dilakukan, mengingat pencapaian MDGs akan lebih mudah dicapai melalui dukungan dan partisipasi aktif dari swasta dan masyarakat. Dengan pertimbangan bahwasanya sumber pendanaan dalam negeri masih belum sepenuhnya mencukupi untuk membiayai pembangunan, Pemerintah hingga kini masih memerlukan dukungan internasional bagi pelaksanaan pembangunan. Karena itu, Pemerintah berupaya terus meningkatkan kualitas pelaksanaan kerjasama pembangunan melalui penyusunan strategi pengelolaan utang luar negeri, penguatan koordinasi, monitoring dan evaluasi,
serta peningkatan harmonisasi pelaksanaan kerjasama internasionalsecara
keseluruhan. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia juga akan terus mendukung upaya mempererat pelaksanaan kerjasama regional Asia Pasifik. Kerjasama ekonomi dan perdagangan antarnegara di Asia Pasifik memiliki potensi besar untuk terus dikembangkan, demi meningkatkan kemampuan masing-masing negara dalam rangka mencapai MDGs di kawasan, serta meningkatkan posisi tawar bersama di lingkungan global.
Universitas Sumatera Utara
2) HAK POLITIK PEREMPUAN DALAM MDG’s Kaum perempuan hampir diseluruh negara diabad 20 telah memperoleh hak pilih. Kesenjangan dalam hak pilih semakin mengecil, terutama di negara yang sebagian besar penduduknya memberikan suara. Namun, ketimpangan besar masih saja terjadi dalam berbagai bentuk partisipasi politik yang lebih aktif seperti demonstrasti dan boikot. Perempuan secara signifikan kurang menyukai diskusi politik dibandingkan dengan laki-laki, terutama mereka yang berasal dari kelompok tua dan kurang pendidikan. 107 Selain itu masih saja ada kesenjangan gender yang besar dalam partisipasi dan keterwakilan politik disemua level pemerintahan, dari majelis di tingkat lokal sampai majelis tingkat nasional, maupun kabinet. Perempuan tetap tidak terwakili secara luas dalam kantor pemilihan. Disemua kawasan kecuali Asia dan Pasifik sertaEropa dan Asia Tengah, rata-rata perempuan hanya menduduki kurang dari sepuluh persen (10%) kursi parlemen antara tahun 1975 sampai 1995. Di Asia Timur, keterwakilan perempuan di parlemen tetap hanya berkisar dibawah 20 persen. Perubahan paling mencolok terjadi di Eropa Timur dan Asia Tengah, dimana tingkat keterwakilan perempuan (dibandingkan dengan negara-negara lainnya) merosot drastis diakhir tahun 1980an dari 25% menjadi hanya 7% akibat terjadinya transisi politik dan ekonomi.
108
Dispartasi gender yang cukup tinggi juga
ditemui di majelis tingkat lokal dan regional. Perempuan juga massih tidak terwakili secara luas dibadan eksekutif pemerintahan. Tak satupun dikawasan negara-negara berkembang perempuan dengan jabatan menteri bisa mencapai 8% ditahun 1998. 109 Di Timur Tengah daan Afrika Utara, jumlah perempuan dalam kabinet hanya mencapai 2% sedangkan di Asia Timur dan Pasifik sebesar 4%, dan di Asia Selatan dan Afrika Sub Sahara kira-kira sebesar 6%. Di Amerika latin, Eropa Timur, dan Asia Tengah, jumlah perempuan yang menduduki 107
Ronald Inglehart, World Values Surveys, 1981-1984, 1990-1993, and 1995-1997, Datbase ICPSR version. Ann Arbor, Mich: Inter-University Consortium for Political and Social Research, 2000. 108
Data time series kurang tersedia di kebanyakan negara Eropa Timur, sehingga pola ini hanya didasarkan apada lima negara yaitu: Albania, Bulgaria, Hungaria, Polandia, dan Rumania. Penurunan tajam dalam keterwakilan perempuan diparlemen disebabkan oleh penghapusan kuota perempuan sebesar 25-33% di Eropa Timur. Penurunan dalam keterwakilan perempuan ini berlangsung tepat saat parlemen nasional mulai memainkan peranan aktif dalam pengambilan kepustusan dan tatalaksana pemerintahan di negara-negara itu. 109
UNDP (United Nations Development Programme), Human Development Report 2000 New York: Oxford University Press, 2000.
Universitas Sumatera Utara
kursi menteri antara 7-8%. Keterwakilan perempuan pada posisi dibawah menteri canderung sedikit lebih besar, sementaradi Asia Selatan presentase representasi untuk posisi sejenis ini lebih kecil. 110 Perempuan dengan jabatan menteri pun biasanya lebih banyak bertugas dalam kementerian urusan peranan perempuan atau kementerian sosial daripada kementerian keuangan, ekonomi, atau perencanaan yang berperan besar dalam penetapan pengarusutaaan kebijakan dan anggaran belanja. Dari 466 menteri perempuan di 151 negara pada awal tahun 2000, ada sekitar 95 (20%) adallah menteri urusan perempuan dan sosial, sementara hanya kurang 22 (kurang dari 5%) yang memimpin menteri keuangan dan ekonomi dan pembangunan.
111
Minimnya kedudukan dan keterwakilan perempuan dalam bidang publik terkhusus dikancah politik, membuka pikiran perwakilan negara untuk memajukan hal ini dalam MDG’s. Negara-negara memang sudah meratifikasi CEDAW tetapi tidak dijalankan sesuai dengan permintaan konvensi. Sehingga negara-negara dirasa perlu untuk didorong agar lebih memperhatikan tentang kuota perempuan dalam bidang politik. Sehingga MDG’s yanag salah satu tujuannya adalah persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, memasukkan hal tersebut menjadi target pencapaian di tahun 2015.
3) UPAYA PERLINDUNGAN HAK POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA LEWAT MDG’S.
Pemerintah telah memberikan jaminan yang sama bagi perempuan untuk berpartisipasi di bidang politik antara lain dengan meratifikasi konvesi PBB tentang hak-hak perempuan dalam politik dengan UU Nomor 68 tahun 1956. Namun, pada tiap pemilu jumlah perempuan yang terpilih berkisar 8-10 persen. Padahal, 51 persen dari total penduduk Indonesia adalah perempuan. Pada Pemilu 1999 jumlah pemilih perempuan mencapai 54 persen, namun di parlemen hanya terwakili oleh 44 orang atau hanya 9,1 persen. Selama ini kehadiran 110
Di Asia Selatan, perempuan memegang kurang dari 1% jabatan dibawah menteri. Bandingkan hal ini dengan sekitar 4% di Timur Tengah dan Afrika Utara, 6% di Asia Timur dan Pasifik, kira-kira 8% di Sub Sahara Afrika dan Eropa Timur serta Asia Tengah dan 13% di Amerika Latin dan Karibia. 111
UNDP Report, Op. Cit, hal 59.
Universitas Sumatera Utara
perempuan lebih banyak sebagai alat mobilisasi politik untuk kepentingan partai, sedikit sekali perempuan yang menempati posisi-posisi strategis dalam pembuatan keputusan publik. 112
Pada pemilihan umum pertama tahun 1955 hanya ada 3,8 % perempuan di parlemen Indonesia dan tahun 1960-an ada 6,3 %. Angka tertinggi ada pada periode 1987-1992 yaitu 13 %. Tetapi turun lagi menjadi 12,5 peratus tahun 1992-1997, 10,8 % menjelang Soeharto jatuh, dan hanya 9 % pada periode 1999-2004. Sedangkan pada tahun 2004-2009, hanya ada 11,4 % atau sekitar 63 perempuan saja yang menjadi anggota parlemen (DPR) periode 20042009. Padahal jumlah anggota legislatif di Indonesia mencapai 500 orang. 113 Perempuan hanya menduduki 9,6% jabatan tinggi dalam birokrasi pemerintahan. Perempuan juga kurang terwakili di bidang politik. Ibu Megawati Soekarnoputri pernah menjadi Presiden RI, hal itu menunjukkan Indonesia lebih maju dibandingkan banyak negara lain. Namun, dalam jenjang jabatan politik di bawahnya, perempuan kurang terlihat. Hanya sedikit yang terpilih menjadi anggota parlemen. Demikian juga yang menjadi bupati atau gubernur. Indikator MDG’s untuk ini adalah proporsi perempuan yang menjadi anggota DPR. Angka rata-rata dunia untuk hal ini cukup rendah, yaitu sekitar 15%. Proporsi Indonesia bahkan lebih rendah, yaitu 13% (1992), 9% (2003), dan 11,3% (2005). Realisasi yang jauh dari harapan inilah yang kemudian menjadi sorotan MDG’s. Pemerintah yang telah menyadari timpangnya keterwakilan perempuan di parlemen dan minimnya presentase kedudukan perempuan pemerintahan kemudian mulai menunjukkan komitmennya untuk menjalankan tujuan pembangunan yang telah ditandatanganinya. Undang-Undang tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum adalah contoh konkrit keseriusan pemerintah dalam memperjuangkan hak politik perempuan di Indonesia. Undang-Undang tersebut mewajibkan 112
Ahmad Wahid, Op. Cit.
113
Edi Purwanto, Perempuan Juga Punya Hak Politik, dalam http://isnuansa.blogspot.com// , diakses pada Rabu, 7 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
Partai Politik untuk sedikitnya memiliki 30% calon perempuan. Tidak semua partai politik bisa mewujudkan hal tersebut. Bahkan umumnya menaruh perempuan di urutan terbawah dalam daftar calon legislatif (caleg), posisi di mana caleg tidak akan terpilih. Meskipun demikian, kewajiban tersebut ada dampaknya. Yang menarik, dalam Dewan Perwakilan Daerah (DPD), di mana para calon tidak mewakili partai politik, perempuan menduduki sepertiga dari kursi yang ada–dan lebih dari 30% perempuan yang mencalonkan diri, terpilih dalam pemilihan anggota DPD.114 Tampaknya, pemilih cukup mendukung terpilihnya perempuan. Masalahnya, bagaimana agar bisa menjadi calon salah satu partai politik besar. Perempuan juga kurang terwakili di tingkat daerah, terutama karena harus memikul tanggung jawab rumah tangga. Karena itu, terkait kesetaraan gender, Indonesia belum mampu untuk melaksanakan kesetaraan perempuan dan laki-laki dibidang politik. Tetapi paling tidak indonesia telah berusaha dan dalam tahap perbaikan atas perlindungann hak-hak perempuan khususnya dibidang politik.
114
Agoes Soehardjono MD, Peran Pemerintah Daerah Dalam Upaya Menyukseskan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals), dalam //http: agoessmd.blogspot.com//, diakses pada Rabu, 7 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENCAPAIAN INDONESIA DALAM MELINDUNGI HAK-HAK POLITIK PEREMPUAN MELALUI MDG’s
A. HAK
POLITIK
PEREMPUAN
DI
INDONESIA
DAN
REALISASI
PERLINDUNGAN INDONESIA TERHADAP HAK POLITIK PEREMPUAN. 1. HAK POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA Dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 (UU No.7/1984), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) disahkan. 115 Menurut aturan hukum internasional dikenal dengan istilah pacta sunt servanda, perjanjian internasional yang telah disahkan wajib dilaksanakan. Negara negara dunia tidak boleh dikecualikan dari kewajiban itu bersandarkan ketentuan hukum nasional mereka.
Melainkan, jika hukum
nasional mengurangi pelaksanaan sesuatu perjanjian internasional, hukum nasional itu wajib diubah. 116 Kewajiban tersebut ditambah dengan pasal CEDAW yang menyatakan Negara Negara Peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional agar menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita. 117 Di Indonesia, harmonisasi hukum nasional dengan ketentuan CEDAW tersebut berarti bahwa hukum negara akan diubah dan,
115
UU No.7/1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discirmination Against Women). 116
Pasal 26 yo. Pasal 27 Konvensi Wina Terhadap Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969); Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH, Hukum Internasional (1998), hal.65; Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa Bangsa (1989), hal.81. Sebagaimana demikian, lihat Bagian III, butir 2 yo. butir 3 Penjelesan Atas UU No.5/1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) maupun Bagian I Angka 2 Penjelesan Atas UU No.29/1999 Tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) dll. Bandingkan Bagian I Penjelesan Atas UU No.7/1984. 117
Pasal 2 butir a s/d butir c serta butir f yo. butir g, Pasal 3, Pasal 6 dan Pasal 24 CEDAW
.
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya, hukum Islam dan hukum Adat akan diubah juga. Itu karena hukum di Indonesia merupakan tiga sistem, yaitu hukum negara, hukum Islam dan hukum Adat. Namun demikian, di Indonesia penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak wanita maupun perubahan hukum jadi lebih rumit dari perkataan aturan hukum internasional tersebut.
Pelaksanaan CEDAW mengandung persoalan di bidang
politik, terutama setelah penggantian pemerintah Orde Baru dengan pemerintah Era Reformasi. 118 Persoalan politik ditambah dengan masalah sosial, yaitu perkembangan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai kebudayaan dan agama. Keterlibatan perempuan dalam politik dan kehidupan publik ini dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang tertuang dalam Pasal 27 ayat 1 tentang persamaan kedudukan di depan hukum dan Pasal 28 H ayat 1 tentang perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persmaan dan keadilan. Keterlibatan perempuan dalam politik ini juga mendapat jaminan hukum melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang ratifikasi kovenan Sipil dan Politik, UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dan UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu. Selain dalam jaminan konstitusi dan jaminan UU, keterlibatan perempuan dalam politik juga dijamin dalam sejumlah kebijakan pemerintah seperti Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender/PUG (Gender Mainstreaming). Dalam laporan ini, yang dimaksud proses politik dan kehidupan publik perempuan adalah proses pengambilan keputusan mulai dari penentuan prioritas masalah, perumusan masalah, analisis masalah sampai dengan pengambilan keputusan; perencanaan sampai pada 118
Sumpah Presiden Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie Tanggal 21 Mei 1999 berlandaskan Pasal 8 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yo. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR) Nomor VII/MPR/1973 Tentang Keadaan Presiden Dan / Atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan, UU No.3/1999 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu); Pasal 1 TAP MPR No.VII/MPR/1999 Tentang Pengankatan Presiden Republik Indonesia; Pasal 1 TAP MPR No.VIII/MPR/1999 Tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republic Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
pengalokasian anggaran serta perumusan kebijakan publik mulai dari tingkat desa sampai tingkat nasional. Sementara itu, partisipasi perempuan dalam kehidupan publik adalah partisipasi perempuan sebagai warga Negara dalam melaksanakan tanggungjawab publiknya. Keterwakilan merupakan proses dari berbagai aktor dalam posisi pengambilan keputusan/ menyampaikan agenda politik mewakili suatu kelompok, organisasi atau partai politik Proses politik dan kehidupan publik perempuan berdasar pada keberadaan perempuan dalam proses politik bukan sekedar jumlah. Tiada demokrasi tanpa keterwakilan perempuan. Dan Tindakan Khusus Sementara (TKS) mutlak dilakukan untuk mewujudkan kemitraan yang setara dan adil antara perempuan dan laki-laki. Ketiga aspek tersebut menjadi dasar pemahaman yang paling penting karena keterlibatan perempuan tidak saja menekankan pada keterwakilan perempuan semata dalam proses politik, tetapi juga bagaimana perempuan mempunyai kualitas sehingga dapat mempengaruhi pola pikir para anggota parlemen tentang pentingnya kesetaraan gender dalam kebijakan publik yang dihasilkan oleh parlemen. Secara umum, hak politik perempuan telah diatur dalam peraturan perundangundangan. Hanya saja belum ada realisasi dan keseriusan pemerintah dalam menggalakkan hak politik perempuan di Indonesia. Jadi hal ini menjadi seperti hanya jalan ditempat dan tidak ada kemajuan signifikan yang dapat diperoleh.
2. PERMASALAHAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DAN KEHIDUPAN POLITIK Berbagai upaya untuk mendorong perempuan terlibat dalam proses politik dan kehidupan publik telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun kalangan organisasi nonpemerintah. Sudah banyak peraturan yang dibuat oleh pembuat UU (legislatif, eksekutif dan Yudikatif), yang mengatur persamaan hak laki-laki dan perempuan, namun dalam implementasinya belum banyak membawa perubahan bagi kehidupan perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Sampai saat ini masih ada peraturan perundangan di tingkat daerah yang berdampak pada hilangnya akses perempuan dalam proses politik dan kehidupan publik, seperti yang terjadi di DKI Jakarta dan di Nanggroe Aceh
Darrusalam (NAD). Di Jakarta, aturan
pemilihan dewan kelurahan menyatakan bahwa pemilihan dilakukan oleh kepala keluarga. Padahal dalam UU perkawinan yang dimaksud dengan kepala keluarga adalah laki-laki. Ketentuan ini tertuang dalam perda Nomor 5 tahun 2000 di DKI Jakarta dan SK Gubernur DKI Jakarta nomor 15 tahun 2001 Sementara itu di Nanggroe Aceh Darussalam Perda tentang pemilihan kepala daerah tahun 2006 mengatur tentang syarat-syarat kepala daerah adalah sebagai Imam. Dalam pandangan keagamaan Imam masih dilihat sebagai laki-laki. Hal ini sangat berpengaruh terhadap calon dari perempuan, karena dalam masyarakat, imam yang diakui adalah laki-laki. Berbagai tindakan yang dilakukan pemerintah juga belum optimal dalam hal keterwakilan/keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Jaminan negara terhadap keterlibatan perempuan dan kepemimpinan perempuan masih diragukan kesungguhannya. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemilu, pasal 20 masih belum menjamin secara penuh perempuan berkesempatan untuk masuk dalam politik. Dengan demikian tidak mengherankan, perempuan tidak banyak terlibat dalam
penentuan
prioritas
kepentingan,
perumusan
kebijakan,
perencanaan
dan
penganggaran/pengalokasian sumber-sumber pembangunan. Padahal dalam Pemilu 2004 sebanyak 53% pemilih adalah perempuan. Dibandingkan dengan hasil pemilu 1999, Keterwakilan Perempuan di DPR RI hanya meningkat sebanyak 3% yaitu dari 9% menjadi 11%. Selain masih rendahnya keterlibatan perempuan dalam proses partai politik di lembaga legislatif, keterlibatan perempuan untuk menduduki jabatan-jabata politik juga masih kurang. Di instansi peradilan (Hakim) dari 49 jumlah Mahkaman Agung hanya ada 8 Hakim perempuan atau 16,3%. Sementara itu, data pegawai negeri sipil (PNS) memperlihatkan
Universitas Sumatera Utara
jabatan di eselon I misalnya, dari 645 PNS, hanya 63 PNS perempuan atau sekitar 9,77% sisanya 582 atau 90,23% adalah laki-laki. Pada pemilihan kepala daerah langsung, keterlibatan perempuan dalam proses politik juga masih belum terbangun. Dalam periode tahun 2005-2006, hanya 17 perempuan yang terpilih menjadi Bupati. Hasil ini menunjukkan sistem pemilihan kepala daerah belum dapat membuka peluang secara luas bagi perempuan untuk terlibat dalam politik.
3. PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
MENGENAI
HAK
POLITIK
PEREMPUAN DI INDONESIA Didorong rasa tanggungjawab terhadap perlindungan hak-hak asasi perempuan, pemerintah Indonesia turut serta dengan masyarakat internasional memperjuangkan hak-hak asasi perempuan, dengan meratifikasi beberapa konvensi internasional.
Konvensi
internasional yang sudah diratifikasi antara lain adalah : 1. Konvensi tentang Hak-hak Politik Wanita Tahun 1952 menjadi Undang-undang Nomor 68 Tahun 1958. 2. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Tahun 1979 (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman) menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984. 3.
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) menjadi UndangUndang Nomor 5 Tahun 1998. Di samping meratifikasi berbagai konvensi internasional tersebut, pemerintah juga
mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang memberi perlindungan terhadap perempuan. Positivikasi perlindungan hak-hak asasi perempuan yang dilakukan oleh
Universitas Sumatera Utara
pemerintah Indonesia tersebut pertama-tama dapat dilihat dalam UUD 1945. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan : Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Kemudian di dalam Pasal 28 C ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 menyebutkan, bahwa : Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 28 D ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945 mengatakan : Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Berdasarkan bunyi UUD 1945 sebagaimana dikemukakan di atas, terlihat bahwa UUD 1945 tidak membedakan laki-laki dengan perempuan. Hal itu tercermin dari bunyi awal kalimat, yang selalu menyebutkan “Segala warga negara, “Setiap orang”, Setiap warga negara”. Permasalahannya adalah bahwa apa yang sudah dirumuskan di dalam UUD 1945 tersebut
di dalam praktek penyelenggaraan negara tidaklah demikian. Kaum
perempuan masih saja termarjinalkan baik dalam kehidupan rumah tangga, bidang politik, pemerintahan, maupun dalam mendapatkan pekerjaan. Keterlibatan perempuan dan laki-laki di bidang politik adalah bagian tidak terpisahkan dalam proses demokratisasi. Mengkaitkan issu gender dengan proses demokratisasi adalah sesuatu yang sudah lazim diterima oleh masyarakat, oleh karena di dalamnya terintegrasi hak-hak politik baik bagi laki-laki maupun perempuan yang merupakan hak asasi manusia paling mendasar. 119 Selain Undang-Undang Dasar, hak politik perempuan juga diatur dalam peraturan perundang-undangan dibawahnya, yaitu:
119
Suharizal dan Delfina Gusman, Suatu Kajian Atas Keterwakilan Perempuan di DPRD Provinsi
Sumatera Barat,dalam //http:google.com-kajian-atas-keterwakilan-perempuan-DPRD-Provinsi-Sumatera-Baratpdf-php// diakses pada Jumat, 29 Oktober 2010.
Universitas Sumatera Utara
1) Undang-Undang Nomor. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Secara umum pengaturan mengenai perempuan diatur dalam bagian sembilan pasal empat puluh lima sampai lima puluh satu. Pada pasal empat puluh lima disebutkan bahwa hak wanita dalam undang-undang ham ini adalah hak asasi manusia. Hal ini menguatkan bahwa hak wanita adalah hak asasi manusia yang harus dihormati dan tidak bolah dikotakkotakkan serta didiskriminasi. Secara khusus undang-undang ini mengatur mengenai hak politik perempuan pada pasal empat puluh enam, yaitu: Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan. Pasal ini jelas memberikan perlindungan hak politik perempuan dari diskriminasi yang mengatasnamakan sistemn pemilihan umum, kepartaian, pemilihan badan legislatif dan sistem pengangkatan. Semua sistem dalam kehidupan perpolitikan harus menjamin keterwakilan perempuan didalamnya.
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 merupakan perubahan atas undang-undang nomor 12 tahun 2003. Undang-undang ini juga mengakomodir hak politik perempuan. Hal ini terlihat jelas dalam bab 2 tentang pembentukan partai politik pada pasal 2 ayat (2), yaitu: Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Kemudian dipasal 20 dinyatakan bahwa: Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing. Bertalian dengan pencantuman dengan “memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%” untuk pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan umum di dalam Pasal 20 UU No 2 Tahun 2008 ternyata ada yang pro dan kontra. Kelompok yang pro beranggapan, ketentuan untuk pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus memperhatikan keterwakilan perempuan 30% dianggap sebagai suatu kemenangan dalam memperjuangkan hak-hak asasi perempuan di lembaga legislatif. Melalui jumlah 30% untuk calon perempuan diharapkan dapat menambah jumlah perempuan di lembaga legislatif. Namun di pihak yang kontra berpendapat, bahwa pencantuman tersebut adalah suatu hal yang mubazir, dan justru bertentangan dengan prinsip yang dianut oleh UUD 1945, yang tidak membedakan antara perempuan dengan laki-laki. 120 Ketentuan itu juga bertentangan dengan prinsip demokratisasi sebagaimana saat ini sedang diperjuangkan di Indonesia. 3) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum 121 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum adalah perubahan dari undang-undang pemilu yang lama yaitu undang-undang no. 31 tahun 2002. Sejak dari undang-undang yang lama pengaturan mengenai hak politik perempuan telah diakomodir. Di
120
Kesimpulan ini diambil dari ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2) Perubahan Kedua, dan Pasal 28 Db ayat (3) Perubahan Kedua UUD 1945. 121
Klausul dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD terkait dengan affirmative action antara lain adalah: Pasal 8 ayat (1) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: (d) menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; Bagian Ketiga: Pendaftaran Partai Politik sebagai Calon Peserta Pemilu, pada Pasal 15:Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) meliputi: d. surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) sesuai dengan peraturan perundang-undangan; Pasal 53 : Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 55 : (2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Bagian Ketiga : Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 57 : (1) KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah s ekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (2) KPU provinsi melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD provinsi dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (3) KPU kabupaten/kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 58 : (2) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut.
Universitas Sumatera Utara
undang-undang no. 10 tahun 2008 ini pengaturan mengenai kuota perempuan diatur dalam pasal 8 ayat (1) huruf d, yaitu: menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
Pada huruf (d) jelas terlihat bahwa pengaturan mengenai kuota perempuan merupakan sebuah keharusan pada kepengurusan partai politik. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh undang-undang. Lebih progresif lagi UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD karena mengatur pula tentang zipper system. 122 Pasal 55 ayat (2) menyatakan bahwa; “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.” 123 Beberapa negara yang telah memberlakukan sistem zipper ini biasanya mengatur ketentuan itu dalam Ad/ART partai mereka. Hal ini karena tingkat kesadaran politik mereka yang tinggi. Menurut Women’s Environment and Development Organization, ada 13 negara yang menggunakan sistem pemilu representasi proporsional dengan sistem kuota zipper. Negara-negara tersebut berhasil mewujudkan komposisi parlemen dengan jumlah wanita yang melampaui criticall mass sebesar 30 %. Negara yang memberlakukan zipper sistem antara lain : 1. Rwanda dengan 48,8 % keterwakilan perempuan 2. Swedia dengan 47,3 % keterwakilan perempuan 3. Finlandia dengan 42% keterwakilan perempuan 4. Norwegia dengan 37,9 % keterwakilan perempuan 5. Denmark dengan 36,9 % keterwakilan perempuan 122
Zipper system berarti bahwa gender kandidat dalam daftar dibuat berselang seling antara laki-laki dan perempuan 123
Siti Nur Solechah, Rekrutmen Politik Perempuan Bakal Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dalam //http: www.google.com// diakses pada Senin, 15 November 2010 hal 69.,
Universitas Sumatera Utara
6. Belanda dengan 36,7 % keterwakilan perempuan 7. Argentina dengan 35 % keterwakilan perempuan 8. Mozambik dengan 34,8 % keterwakilan perempuan 9. Belgia dengan 34,7 % keterwakilan perempuan 10. Afrika selatan dengan 32,8 % keterwakilan perempuan 11. Austria dengan 32,2 % keterwakilan perempuan 12. Islandia dengan 31,7 % keterwakilan perempuan 13. Jerman dengan 31,6 % keterwakilan perempuan 124 Namun demikian, UU Pemilu 2008 hanya membuka ruang terbatas bagi perempuan yakni sampai pada pencalonan beserta daftar pencalonannya,bukan pada calon jadi. Tetapi, pada tanggal 23 Desember 2008 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan yang isinya membatalkan pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 yang menurut MK memuat standar ganda dalam penetapan caleg. Dengan Putusan itu MK menetapkan suara terbanyak sebagai mekanisme tunggal. 125 Putusan MK ini menyulitkan partai untuk menetapkan calon jadi dengan sistem zipper.
4) Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender/PUG (Gender Mainstreaming) Upaya affirmative action untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada pelaksanaan pemilu 2009, peraturan perundangundangan telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan 124
Siti Nur Solechah, Ibid, hal 70.
125
http://m.detik.com//, diakses pada Senin, 15 November 2010
Universitas Sumatera Utara
mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat. Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%). Kampanye kuota ini adalah bentuk perjuangan politik lanjutan perempuan setelah tuntutan hak pilih bagi perempuan di awal abad 20 tercapai. Kampanye kuota bertujuan untuk melawan domestifikasi, perempuan (melawan politik patriarki), karena domestifikasi dan dominasi laki-laki atas perempuan dalam budaya patriarki bukanlah takdir. Untuk itu kampanye kuota tidak selesai dalam wujud keterwakilan perempuan dalam partai politik dan parlemen.
4. REALISASI PERLINDUNGAN
INDONESIA TERHADAP HAK POLITIK
PEREMPUAN A) KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PARLEMEN INDONESIA Menurut sensus Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan Indonesia adalah 101.525.816 atau 51% dari jumlah seluruh penduduk. Ini lebih banyak dari total jumlah penduduk di tiga negara; Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun jumlah besar tersebut tidak tercermin dalam jumlah dan persentase keterwakilan perempuan di lembaga pengambilan keputusan politik di Indonesia (parlemen). 126
1) DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR)
126
Ani Widyani Soecieptjo, “Affirmative Action Untuk Perempuan di Parlemen”, (dikutip dari Alida Alida Brill. A Rising Public Voice: Women in Politics World Wide. New York: The Feminist,1955,hal 188 190), dalam Julia I. Suryakusumah, Panduan Parlemen Indonesia, Jakarta: Yayasan API, 2001, hal. 231
Universitas Sumatera Utara
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tidak memberikan batasan akan partisipasi dan keterwakilan politik perempuan. Keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik telah meningkat namun partisipasi dan keterwakilan mereka di lembaga legislatif tingkat nasional maupun provinsi, dan di seluruh lembaga pemerintahan masih rendah. Dalam upaya meminimalkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik bertalian dengan upaya meningkatkan peran perempuan di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dilakukan berbagai upaya. Terhadap hal ini, muncul keinginan agar representasi perempuan di lembaga DPR ditingkatkan. Keinginan untuk meningkatkan representasi perempuan di lembaga DPR didasarkan pada pengalaman di masa yang lalu bahwa representasi perempuan di DPR sangat minim sekali. Melalui Tabel di bawah ini dapat diketahui tentang representasi perempuan di DPR-RI, sebagai berikut : Tabel 1 Representasi Perempuan di DPR RI 127 Periode
Anggota Perempuan
Anggota Laki-laki
1950-1955 (DPR Sementara) 1955-1960
9 (3,8%) 17 (6,3 %)
236 ( 96,2%) 272 (93,7%)
1956-1959 (Konstituante)
25 (5,1%)
488 (94,9%)
1971-1977 1977-1982 1982-1987 1987-1992 1992-1997 1997-1999 1999-2004 2004-2009 2009-2014
36 (7,8%) 29 (6,3%) 39 (8,5%) 65 (13%) 62 (12,5%) 54 (10,8%) 46 (9%) 65 (11,6%) 101 (18 %)
460 (92,2) 460 (93,7%) 460 (91,5%) 435 (87%) 438 (87,5%) 446 (89,2%) 454 (91%) 435 (87%) 459 (82%)
Para aktivis perempuan, organisasi perempuan dan LSM dibidang perempuan di Indonesia tidak mengenal lelah dalam memperjuangkan hak-haknya, termasuk mengingatkan 127
Sumber: Data sampai periode 2004-2009 dikutip dari buku Panduan Calon Legislatif Perempuan Pemilu 2009, PUSKAPOL FISIP UI, 2009. Data 2009-2014 diambil dari www.kpu.go.id
Universitas Sumatera Utara
pemerintah Indonesia agar memperhatikan himbauan CEDAW. Himbauan para aktivis perempuan agar pemerintah memperhatikan CEDAW baru mendapat perhatian yang serius di Dewan Perwakilan Rakyat setelah era reformasi. Salah satu himbauan CEDAW yang dimaksud adalah menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dengan melakukan tindakan affirmatif. Tindakan Affirmatif ( affimative actions ) adalah tindakan khusus koreksi dan kompensasi dari negara atas ketidakadilan gender selama ini 128. Berkat perjuangan gigih Organisasi perempuan dan aktivis perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya dan koalisi perempuan anggota parlemen, di tengah berseminya alam demokrasi dan keterbukaan di Era Reformasi, secara menagerial implementasi tindakan itu dicoba melalui pencalonan anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU.No.12 Tahun 2003). Pasal 65 ayat (1) UU. No. 12 Tahun 2003 tersebut mengatakan :
Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan Umum dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
UUD Negara kita telah menjamin adanya kebebasan dan persamaan hak dalam meng-aktualisasikan dirinya sebagai warga Negara, sebagaimana yang tercermin dalam pasal 28A s/d 28J. Dalam konteks yang sangat luas, diskriminasi berdasarkan perspectif apapun menjadi sangat tabu dilakukan, termasuk diskriminasi jender dalam dunia politik.
128
Junita Budi Rahman, Perempuan di dalam Negara Maskulin Indonesia; dalam Rangka Peningkatan Keterwakilannya di Parlemen, (Makalah) Pusat Penelitian Peranan Wanita – Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran, Bandung, 2004, hlm.11.
Universitas Sumatera Utara
Dalam UU No. 12 Tahun 2003 tantang Partai Politik, khususnya pada pasal 65 ayat (1), telah disebutkan bahwa partai politik dianjurkan untuk mencalonkan 30% kaum perempuan untuk dapat duduk di kursi legeslatif, baik di DPR, DPD, DPRD Tingkat I maupun DPRD Tingkat II. Kebijakan ini, walaupun belum menyentuh subtansi ideal sebagaimana yang diharapkan karena sifatnya yang masih berupa “himbauan”, sudah sepatutnya harus dilihat dalam kerangka kaca mata yang positif. Sebagai sebuah bentuk perjuangan, maka sudah barang tentu hal ini merupakan langkah awal sebagai entry point untuk mencapai pengakuan yang komprehensif dan utuh. Kaum perempuan harus berani tampil dalam dunia politik praktis yang selama ini identik dengan dunia laki-laki. Penguasaan terhadap sektor-sektor publik harus dilakukan melalui tahap-tahap demokrasi dengan memandang persaingan yang sehat sebagai sebuah keniscayaan kehidupan. Hanya kaum perempuan sendirilah yang tahu masalah-masalah yang berkaitan
dengan
mereka,
sehingga
dalam
setiap
kebijakan
public
seharusnya
memperhatikannya juga kepentingan kaum perempuan sebagai bagian dari objek kebijakan itu sendiri. Dalam konteks ini, kita harus banyak belajar dari kaum perempuan di Swedia, dimana partisipasi kaum perempuan di parlemen mencapai 40% sehingga komposisi anggota parlemen antara yang laki-laki dengan perempuan, relatif berimbang. Pengalaman di parlemen Swedia memperlihatkan bahwa, keterlibatan kaum perempuan di sektor-sektor publik secara cukup signifikan, telah membawa perubahan yang sangat penting dalam tata kelola pemerintahan dan tingkat kesejahtaraan masyarakat. Keterlibatan kaum perempuan di sektor publik ini lebih ditujukan untuk memperbaiki kinerja institusi publik. Data UNDP tahun 2002, memperlihatkan bahwa ketika Peru melakukan restrukturisasi birokrasi pemerintahannya dengan memasukkan 30% perempuan ke dalam struktur baru, maka tingkat korupsi secara signifikan turun pula sebesar 30%.
Universitas Sumatera Utara
Tetapi mungkin hal tersebut belum berjalan dengan baik di Indonesia. Walaupun sudah melakukan restrukturisasi terhadap peraturan perundang-undangannya, namun belum ada perkembangan signifikan yang dapat dibanggakan. Hal ini dapat terlihat dari tabel berikut ini: Tabel 2. KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF NASIONAL DAN PROVINSI HASIL PEMILU 2009 129 No.
LAKI-LAKI
%
PEREMPUAN
%
ACEH
13
100
0
0
SUMATERA UTARA
28
93,3
2
6,7
3.
SUMATERA BARAT
13
92,9
1
7,1
4.
RIAU
10
90,9
1
9,1
5.
JAMBI
1
33,3
2
66,7
6.
SUMATERA SELATAN
4
57,1
3
42,9
7.
BENGKULU
16
94,1
1
5,9
8.
LAMPUNG
3
100
0
0
9.
BANGKA BELITUNG
3
75
1
25
10.
KEPULAUAN RIAU
13
72,2
5
27,8
11.
DKI JAKARTA
16
76,2
5
23,8
12.
JAWA BARAT
70
76,9
21
23,1
13.
JAWA TENGAH
17
77,3
5
22,7
14.
DI YOGYAKARTA
68
88,3
9
11,7
15.
JAWA TIMUR
7
87,5
1
12,5
1. 2
129
PROVINSI
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, 2009 – 2014
Universitas Sumatera Utara
16.
BANTEN
66
75,9
21
24,1
17.
BALI
9
100
0
0
18.
10
100
0
0
12
92,3
1
7,7
9
90
1
10
6
75
2
25
111
100
0
0
23.
NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR
4
66,7
2
33,3
24.
SULAWESI UTARA
5
83,3
1
16,7
25.
SULAWESI TENGAH
5
83,3
1
16,7
26.
SULAWESI SELATAN
21
87,5
3
12,5
27.
3
100
0
0
28.
SULAWESI TENGGARA GORONTALO
4
80
1
20
29.
SULAWESI BARAT
2
66,7
1
33,3
30.
MALUKU
1
75
1
25,0
31.
MALUKU UTARA
0
0
3
100
32.
PAPUA BARAT
7
70
3
30
33.
PAPUA
2
66,7
1
33,3
461
82,3
99
17,7
19. 20. 21. 22.
INDONESIA
Tak hanya minimnya jumlah perempuan yang membuat kita gusar tetapi juga sebaran perempuan di komisi DPR. Perempuan ditempatkan di pos-pos pendukung, dan bukanlah pos-pos sentral yang dapat membri dampak. Sebagian besar perempuan di parlemen hanya menduduki pos tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, kesehatan, Pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, kebudayaan, dan komisi
Agama, sosial,
pemberdayaan perempuan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Rasio Perempuan dan Laki-laki di Komisi-komisi di DPR RI (2009-2014)130 Komisi
Jumlah Anggota Perempuan (%)
Jumlah Anggota Laki-laki (%)
15,56%
84,44%
25,45%%
74,55%
7,27%
92,73%
10,91%
89,09%
10,91%
89,09%
12,00%
88,00%
9,09%
90,91%
22,92%
77,08%
42,55%
57,45%
26,00%
74,00%
20,00%
80,00%
1. Pertahanan, intelejen, luar negeri, komunikasi, informasi 2. Pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, agrarian, KPU 3. Hukum, perundang-undangan, HAM, keamanan 4. Pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, pangan 5. Perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat 6. Perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat 7. Energi, sumber daya mineral, riset dan teknologi, lingkungan hidup 8. Agama, sosial, pemberdayaan perempuan 9. Tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, kesehatan 10. Pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, kebudayaan 11. Keuangan, perencanaan perbankan nasional, perbankan, lembaga keuangan bukan bank Dari tabel diatas kita juga dapat menilai bahwa kuota 30%
seperti bualan pemerintah
semata. Karena hamper semua komisi masih dibanjiri oleh kaum adam dan minimnya kaum perempuan. Inilah realisasi yang terdapat di parlemen kita saat ini. 2) DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
130
Sumber: Data diolah dari “Daftar Anggota – Berdasarkan Komisi” Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (http://www .dpr.go.id/id/komisi/).
Universitas Sumatera Utara
Yang menarik, perwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) jauh lebih baik daripada DPR RI. Perwakilan perempuan di DPD RI meningkat dari 22,6 persen setelah pemilu 2004 menjadi 26,5 persen pada tahun 2009. Tabel 4. KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) NASIONAL DAN PROVINSI HASIL PEMILU 2009 131 NO. PROVINSI LAKI-LAKI % PEREMPUAN % 1.
ACEH
7
87,5
SUMATERA UTARA
7
87,5
1
12,5
3.
SUMATERA BARAT
7
87,5
1
12,5
4.
RIAU
6
75
2
25
5.
JAMBI
6
75
2
25
6.
SUMATERA SELATAN
5
62,5
3
37,5
7.
BENGKULU
5
62,5
3
37,5
8.
LAMPUNG
7
87,5
1
12,5
9.
BANGKA BELITUNG
6
75
2
25
10.
KEPULAUAN RIAU
5
62,5
3
37,5
11.
DKI JAKARTA
6
75
2
25
12.
JAWA BARAT
7
87,5
1
12,5
13.
JAWA TENGAH
6
75
2
25
14.
DI YOGYAKARTA
4
50
4
50
15.
JAWA TIMUR
7
87,5
1
12,5
16.
BANTEN
7
87,5
1
12,5
17.
BALI
8
100
0
0
131
1
12,5
Sumber: Komisi Pemilihan Umum, 2009 - 2014
Universitas Sumatera Utara
18.
NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT
6
75
2
25
6
75
2
25
4
50
4
50
6
75
2
25
7
87,5
1
12,5
23.
KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR
7
87,5
1
12,5
24.
SULAWESI UTARA
7
87,5
1
12,5
25.
SULAWESI TENGAH
4
50
4
50
26.
SULAWESI SELATAN
7
87,5
1
12,5
27.
SULAWESI TENGGARA
7
87,5
1
12,5
28.
GORONTALO
8
100
0
0
29.
SULAWESI BARAT
5
62,5
3
37,5
30.
MALUKU
6
75
2
25
31.
MALUKU UTARA
7
87,5
1
12,5
32.
PAPUA BARAT
5
62,5
3
37,5
33.
PAPUA
6
75
2
25
204
77,3
60
22,7
19. 20. 21. 22.
INDONESIA
Namun demikian capaian ini tidak diikuti oleh semua provinsi, seperti pada provinsi Bali dan Provinsi Gorontalo pada pelaksanaan pemilu 2009 keterwakilan perempuan di DPD tidak ada.
Sementara terdapat 2 provinsi yang mencapai 37 persen yaitu provinsi Irinjaya
Barat dan Kepulauan Riau. 132 Patut dicatat bahwa tidak ada kuota gender di DPD RI. Calon anggota DPD RI mengikuti pemilu sebagai calon individual dari konstituen yang lebih besar, berdasarkan kerja konstituensi dan politik mereka serta hubungan mereka dengan para konstituen mereka. Sejumlah besar perwakilan perempuan di DPD RI menunjukkan sebuah
132
Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif
Universitas Sumatera Utara
kecenderungan positif yang ada diantara para pemilih di Indonesia yang ternyata tidak memiliki bias gender terhadap para politisi perempuan. Para pemilih menunjukkan kepercayaan mereka terhadap para calon legislatif perempuan dengan memilih mereka sebagai perwakilannya di DPD RI. Akan menarik untuk mencari tahu siapa saja yang memilih para perempuan ini dan mengapa. 133 Representasi perempuan sebagai anggota DPD hasil Pemilu 2009 memang lebih menjanjikan jika dibandingkan representasi perempuan di DPR. Sifat pencalonan anggota DPD yang lebih independen dan sangat tergantung pada kapasitas dan jaringan individual dalam meraih kemenangan membentuk kondisi yang ‘lebih nyaman’ bagi perempuan untuk bersaing. Walaupun perjuangan meraih kursi DPD dapat dianggap lebih berat karena daerah pemilihan yang relatif besar, namun tidak adanya intervensi partai politik dan persaingan realtif ‘sehat’ merupakan faktor pendukung bagi perempuan lebih leluasa berkiprah dalam pemilu. Data Pemilu 2004 menunjukkan jumlah calon perempuan anggota DPD dan keterpilihannya relatif tinggi. Jumlah calon perempuan hanya 10% dari total calon anggota DPD (940 calon), dengan keterpilihan sebanyak 25 orang. Berbeda dengan DPR, isu penyebaran anggota ke dalam alat kelengkapan tidak terlalu politis di DPD. Jika fraksi berperan dominan dalam mekanisme internal DPR, tidak demikian dengan DPD. Para anggota DPD lebih bebas menentukan keinginannya untuk masuk dalam alat kelengkapan, dengan memperhatikan perimbangan provinsi. Peraturan Tata Tertib DPD 2005 memberikan arah penyebaran anggota berdasarkan perimbangan provinsi, sehingga provinsi menjadi satusatunya indikator dalam penyebaran anggota. Namun pengelompokkan atas dasar provinsi ini sifatnya tidak mengikat dan cenderung kolegial. Artinya tiap 4 anggota yang tergabung dalam satu provinsi, menentukan ‘sistem kerja’ masing-masing dan bersepakat untuk mengisi alat kelengkapan dan 133
United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintahan, UNDP Indonesia:Jakarta, 2010, hal 6.
Universitas Sumatera Utara
pimpinannya. Sehingga penyebaran anggota ke dalam alat kelengkapan lebih ditentukan oleh ‘pilihan’ anggota masing-masing, tanpa intervensi dari institusi. Seperti terlihat pada sebaran anggota perempuan DPD pada Panitia Ad Hoc (semacam komisi di DPR) yang memiliki tugas antara lain mempersiapkan rancangan undang-undang dan membahas rancangan undang-undang. Data Pemilu 2004 menunjukkan jumlah calon perempuan anggota DPD dan keterpilihannya relatif tinggi. Jumlah calon perempuan hanya 10% dari total calon anggota DPD (940 calon), dengan keterpilihan sebanyak 25 orang. 134 3) DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat tingkat Daerah (DPRD) juga tidak terwakili dengan baik. Data yang dihimpun dari 33 provinsi menunjukkan bahwa secara keseluruhan hanya 13,53 persen perempuan terwakili di DPRD tingkat Provinsi. Tabel 5 Keterwakilan Perempuan di DPRD tingkat Provinsi 135 PROVINSI Jumlah Anggota Jumlah Anggota
NO.
Total (100%)
Perempuan
Persen
Laki-Laki
Persen
ACEH
4
5,80
65
94,20
69
SUMATERA UTARA
20
20
80
80
100
3.
SUMATERA BARAT
7
12,73
48
87,27
55
4.
RIAU
7
12,73
48
87,27
55
5.
JAMBI
4
8,89
41
91,11
55
6.
SUMATERA SELATAN
8
10,67
67
89,33
75
7.
BENGKULU
7
15,56
38
84,44
45
1.
134
United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Loc. Cit,
135
Sumber: ”Rekapitulasi Anggota DPRD Provinsi Seluruh Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Pemilu Tahun 2009” Divisi Teknis & Humas KPU.
Universitas Sumatera Utara
8.
LAMPUNG
12
16,00
63
84,00
75
9.
BANGKA BELITUNG
3
6,67
42
93,33
45
10.
KEPULAUAN RIAU
7
15,56
38
84,44
45
11.
DKI JAKARTA
20
21,28
74
78,72
94
12.
JAWA BARAT
26
26,0
74
74,00
100
13.
JAWA TENGAH
18
18,00
82
82,00
100
14.
DI YOGYAKARTA
11
20,00
44
80,00
55
15.
JAWA TIMUR
19
19,00
81
81,00
100
16.
BANTEN
16
18,82
69
81,18
85
17.
BALI
4
7,27
51
92,73
55
18.
NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT
3
5,45
52
94,55
55
4
7,27
51
92,73
55
4
7,27
51
92,73
55
7
15,56
38
84,44
45
7
12,73
4
87,27
55
23.
KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR
9
16,36
46
83,46
55
24.
SULAWESI UTARA
9
20,00
36
80,00
45
25.
SULAWESI TENGAH
9
20,00
36
80,00
45
26.
SULAWESI SELATAN
9
12,00
66
88,00
75
27.
SULAWESI TENGGARA
2
4,44
43
95,56
45
28.
GORONTALO
7
15,56
38
84,44
45
29.
SULAWESI BARAT
5
11,11
40
88,88
45
30.
MALUKU
8
17,78
37
82,22
45
31.
MALUKU UTARA
3
6,67
42
93,33
45
32.
PAPUA BARAT
5
11,36
39
88,64
45
19. 20. 21. 22.
Universitas Sumatera Utara
33.
PAPUA INDONESIA
4
7,14
52
288
1720
92,86
56 2008
Sekali lagi, ada variasi yang besar dalam hal keterwakilan perempuan di antara provinsi-provinsi tersebut. Dari data sampel, jumlah tertinggi perwakilan perempuan ada di provinsi Jawa Barat (26 persen) dan yang terendah adalah dari provinsi Sulawesi Tenggara (4,44 persen) serta Nangroe Aceh Darussalam (5,80 persen). Keterwakilan perempuan berada pada posisi terendah di tingkat kabupaten/kota. Data yang dihimpun dari 29 dari total 491 kabupaten/kota (DPRD Kabupaten/Kota) menunjukkan bahwa rata-rata hanya 10 persen perempuan terwakili di pemerintah kabupaten. Belitung Timur dan Poso tidak memiliki perwakilan perempuan sama sekali, sementara perwakilan perempuan tertinggi ada di kota Gorontalo (24 persen) dan diikuti oleh Balikpapan (23,3 persen). Kabupaten adalah lapisan pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat dan bertanggungjawab terhadap pembangunan di daerah serta pelayanan sosial bagi masyarakatnya. Terbatasnya keterwakilan perempuan di pemerintah kabupaten dapat berujung pada tidak terpenuhinya kebutuhan, tidak teratasinya kekhawatiran perempuan, dan prioritasprioritas pembangunan dalam rencana pembangunan daerah dan mungkin akan mempertegas marjinalisasi terhadap perempuan dalam mendapatkan pelayanan sosial di tingkat lokal. Kurangnya kesempatan dalam memainkan peran yang penting dalam pemerintah daerah berdampak secara negatif pada kemungkinan bagi perempuan untuk mengambil posisi utama di kancah politik provinsi dan nasional. 136 Dampak dari rendahnya representasi perempuan dalam struktur politik formal dan arena pembuat serta pengambil kebijakan ini adalah langkanya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam segala level yang berpihak pada perempuan sehingga kepentingan-kepentingan perempuan tidak
136
United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Op. Cit, hal 8.
Universitas Sumatera Utara
dapat diartikulasikan. Kebijakan-kebijakan yang ada selain diskriminatif terhadap perempuan juga tidak merepresentasikan kepentingan perempuan sebagai warga negara. Kebijakan negara yang bersifat bias jender selalu menyebabkan kepentingan perempuan terabaikan. 137
A) KETERWAKILAN PEREMPUAN SEBAGAI KEPALA DAERAH DAN KEPALA DESA. Di akhir tahun 2009, hanya satu dari 33 orang gubernur terpilih adalah perempuan (Gubernur Provinsi Banten), dan hanya satu perempuan yang terpilih sebagai wakil gubernur (Wakil Gubernur Provinsi Jawa Tengah). 138 Pada tahun yang sama dari 440 kabupaten/kota, terdapat 10 Bupati/Walikota (2,27 persen). Empat ratus dua (402) posisi Wakil Bupati/Walikota, 12 (atau 2,27 persen) adalah perempuan (berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, meskipun terdapat 38 posisi untuk Wakil Bupati Walikota yang namanya tidak tersedia). Menurut penelitian, perbandingan kepala desa tahun 2010 di Indonesia adalah perempuan sebesar 3,91% sedangkan kepala desa berjenis kelamin laki-laki mencapai 96,09%. 139
B) KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KABINET
Dari tiga puluh empat orang anggota kabinet saat ini, hanya ada lima orang menteri perempuan (14,7 persen). Sebetulnya ini merupakan peningkatan sebesar 4 persen dari kabinet terakhir yang hanya empat perempuan (11,1 persen) yang ditunjuk sebagai menteri dari 36 orang anggota kabinet. Keterwakilan perempuan yang rendah ini tidak sesuai dengan persentase perempuan anggota legislatif di parlemen (18 persen). Departemen dan kementrian yang pada periode 137
Maria Ulfah Anshor, Nalar Politik Perempuan Pesantren, Cirebon: Fahmina-Institute, 2005, hal. 49
138
Sumber: Kementerian Dalam Negeri, 2010.
139
Sumber: “Political Leadership and Government: Government Institutions – Number of Head of Village” BPS Catalogue: 2104010 – Women and Men in Indonesia 2008, hal 31.
Universitas Sumatera Utara
2005-2009 dipimpin oleh seorang menteri perempuan termasuk di dalamnya Kementerian negara Pemberdayaan Perempuan (Meutia Hatta), Departemen Kesehatan (Siti Fadilah Supari), Departemen Keuangan (Sri Mulyani Indrawati) yang juga menduduki pos yang sama di cabinet jilid II Indonesia Bersatu dan pada tahun 2010 meninggalkan kursinya di menteri keungan setelah guncangan kasus century dan tawaran kedudukan di bank dunia, Departemen Perdagangan (Marie Elka Pangestu) yang kembali menjabat di kabinet untuk periode 20092014 ini dan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Meskipun kedua departemen pertama mewakili hal-hal yang ‘lunak’ secara umum terkait oleh peran perempuan sebagai perawat, patut dicatat bahwa lembaga–lembaga terkait dengan masalah keuangan, perdagangan dan pembangunan kini berada di bawah kepemimpinan menteri perempuan. 140
C) KETERWAKILAN PEREMPUAN DI DEPARTEMEN, LEMBAGA SETINGKAT DEPARTEMEN DAN NON DEPARTEMEN Data sampel yang dikumpulkan dari departemen, lembaga setingkat departemen dan nondepartemen mengenai pegawai perempuan di lembaga-lembaga tersebut menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan pada posisi tertinggi pengambil keputusan di seluruh lembaga departemen dan pemerintahan sangatlah rendah. Di lima departemen (Komunikasi dan Informasi, Transportasi, Pekerjaan Umum, Kelautan dan Perikanan, serta Agama) tidak ada perempuan yang berada di eselon 1. Pada tingkat eselon 2 di departemen-departemen tersebut, persentase perempuan yang memegang tampuk kepemimpinan tertinggi berkisar dari 5,9 persen dan 27 persen, dan di eselon 3, persentasenya berkisar dari 14,3 persen hingga 21,2 persen. Di kementerian negara dan lembaga setingkat kementerian, tidak ada satu pun
140
United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Op.Cit., hal 11.
Universitas Sumatera Utara
perempuan yang berada di posisi eselon 1. Persentase perempuan berada di eselon 2 berkisar antara 4,2 hingga 23,3 persen. Di lembaga-lembaga non-departemen, ada dua lembaga yang tidak memiliki pejabat eselon 1 perempuan, perempuan yang menduduki posisi eselon 2 bervariasi dari 6 hingga 44 persen, dan di eselon 3, persentasenya berkisar dari 6,9 hingga 63,6 persen. Mayoritas perempuan (50,8 persen) bekerja di eselon 4. Tabel 6
Tabel Distribusi Jumlah PNS dirinci menurut Kelompok Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin - Mei 2010141 Jenis Jabatan Fungsional Umum Fungsional Tertentu Struktural Eselon 1 Eselon 2 Eselon 3 Eselon 4 Eselon 5 Jumlah
Pria
Persen
Wanita
Persen
Jumlah
1.407.056
54,96
916.150
42,17
2.323.206
968.982
37,85
1.203.702
55,41
2.172.684
184.045 505 6.693 34.130 133.876 8.841 2.560.083
7,19 0,02 0,26 1,33 5,23 0,35 100,00
52.537 49 539 6.123 43.067 2.759 2.172.389
2,42 0,00 0,02 0,28 1,98 0,13 100,00
236.582 554 7.232 40.253 176.943 11.600 4.732.472
D) KETERWAKILAN PEREMPUAN DI KOMISI-KOMISI NASIONAL Perempuan tidak terwakili di komisi-komisi independen yang dibentuk oleh negara melalui peraturanperaturan hukum untuk melakukan fungsi checks dan balances bagi pemerintah – meskipun komisi- komisi nasional ini memiliki keterbatasan dalam kewenangannya. Dari sepuluh komisi independen, seperti yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini, dua dari komisi yang ada tidak memiliki anggota perempuan (Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial). Tingkat keterwakilan perempuan tertinggi
141
Distribusi PNS berdasarkan Kelompok Jenis Jabatan dan Jenis Kelamin-Mei 2010 dalam http://www.bkn.go.id// diakses pada Jumat, 19 November 2010.
Universitas Sumatera Utara
terlihat di Komisi nasional Anti kekerasan Terhadap Perempuan (86,7 persen), diikuti oleh Badan Pengawas Pemilu (60 persen) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (46,5 persen). Komisikomisi tersebut yang merupakan gambaran klasik peran tradisional perempuan di dalam pelayanan ekonomi, dan tidak memiliki kekuasaan dalam hal keuangan dan masalah politik. Tabel 7 Keterwakilan Perempuan di 13 Komisi Nasional 142 No.
Nama Komisi
Periode
1.
Komnas Perlindungan Perempuan Komisi Pemberantasan Korupsi – KPK Komisi Yudisial – KY Komisi Pengawas Persaingan Usaha – KPPU Komisi Nasional HakHak Asasi Manusia Komnas HAM Ombudsman Republik Indonesia Komisi Nasional Perlindungan Anak Komisi Penyiaran Indonesia – KPI Komisi Pemilihan Umum – KPU Badan Pengawas Pemilihan Umum Bawaslu Komisi Hukum Nasional – KHN Komisi Informasi Publik Komisi Kepolisian Nasional – Kompolnas JUMLAH
2. 3. 4.
5.
6. 7. 8. 9. 10.
11. 12. 13.
142
2010-2014
Jumlah anggota Perempuan 13 86,72%
Jumlah Anggota Laki-Laki 2 13,3%
15
100%
2009-2014
0
0%
5
100%
5
100%
2002-2010 2006-2011
0 2
0% 18,2%
6 8
100% 81%
6 10
100% 100%
2007-2012
1
10%
10
90%
11
100%
2000sekarang 2007-2012
2
33,3%
4
66,7%
6
100%
5
46,5%
6
54,5%
11
100%
2007-2012
2
25%
6
75%
8
100%
2007-2012
3
43%
4
57%
7
100%
2008-2013
3
60%
2
40%
5
100%
2000sekarang 2009sekarang 2009-2012
0
0%
4
100%
4
100%
1
14%
6
85%
7
100%
1
20%
4
80%
5
100%
33
67
Total
100
Ani Widyani Soecieptjo, Op. Cit, hal
Universitas Sumatera Utara
E) KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM LEMBAGA PERADILAN Perempuan terwakilkan secara marjinal di mahkamah agung dan pengadilan tinggi. Pada tahun 2010, tidak ada satu pun perempuan yang bekerja sebagai hakim di mahkamah agung indonesia. Hanya ada enam orang perempuan (15,8 persen) di eselon dua di mahkamah agung. Di peradilan sipil, dari 3.104 hakim, 2.352 hakim adalah laki-laki (76 persen) sementara 752 orang hakim perempuan yang ada mengambil 24 persen dari jumlah keseluruhan. Perlu digarisbawahiu bahwa tidak ada satu orang pun perempuan yang bekerja di mahkamah konsitusi dari tahun 2003 – 2008 dan hanya satu orang perempuan yang dimasukkan ke dalam daftar sembilan orang hakim mahkamah konstitusi yang memegang peranan penting dalam peninjauan kembali berbagai perundang undangan yang diskriminatif. Karenanya penting untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di mahkamah konstitusi. Sedangkan di kejaksaan, data yang dikumpulkan dari kantor Kejaksaan Agung memperlihatkan bahwa dari jumlah total jaksa di 31 143
provinsi dan kejaksaan agung,
terdapat 29,17 persen jaksa perempuan. Sepuluh kantor kejaksaan agung, tidak ada keterwakilan perempuan sama sekali. Hanya di Kantor Kejaksaan Agung di Banten dimana pegawai perempuannya mencapai 44,4 persen, sementara di provinsi-provinsi lain jumlah berkisar antara 0 hingga 22 persen. 144
B. PENCAPAIAN INDONESIA DALAM MELINDUNGI HAK-HAK POLITIK
PEREMPUAN MELALUI MDG’s Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) 143
Karena Papua Barat dan Sulawesi Barat merupakan provinsi yang baru dibentuk di Indonesia, maka data untuk provinsi provinsi tersebut belum tersedia. Oleh karena itu, data yang diperlihatkan hanya total jaksa dari 31 provinsi dan jaksa yang ada di Kejaksaan Agung dan Yang Dikaryakan, bukan dari 33 provinsi. 144
United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Op.Cit., hal 18.
Universitas Sumatera Utara
bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Deklarasi ini berdasarkan pendekatan yang inklusif, dan berpijak pada perhatian bagi pemenuhan hak-hak dasar manusia. Dalam konteks inilah negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Millenium Development Goals (MDG) atau Tujuan Pembangunan Milenium. 145 MDG’s terdiri atas 8 tujuan yaitu:
1. Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan 2. Pendidikan Dasar untuk Semua 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan 4. Menurunkan Angka Kematian Anak 5. Meningkatkan Kesehatan Ibu 6. Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya 7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup 8. Membangun Kerjasama Global untuk Pembangunan 146 Indonesia sendiri di penghujung abad lalu mengalami perubahan yang amat besar yaitu proses reformasi ekonomi dan demokratisasi dalam bidang politik. Seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara turut berubah dengan adanya reformasi dan demokratisasi tersebut, sehingga UUD 1945 yang menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia juga mengalami amandemen. Tidak begitu lama kemudian, tepatnya pada tahun 2000, para pemimpin dunia bertemu di New York dan menandatangani “Deklarasi Milennium” yang berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. Hal ini menjadi dasar dari tersusunnya pencapaian tingkat
145
146
Prof. DR. CFG. Sunaryati Hartono, SH, Op. Cit, hal 1. Achie Sudiarti Luhulim, Op. Cit, hal 58.
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan umat manusia pada seribu tahun yang akan datang. Komitmen tersebut diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai Millennium Development Goals (MDGs). Pencapaian sasaran MDGs menjadi salah satu prioritas utama bangsa Indonesia. Pencapaian tujuan dan target tersebut bukanlah semata-mata tugas pemerintah tetapi merupakan tugas seluruh komponen bangsa. Sehingga, pencapaian tujuan dan target MDGs harus menjadi pembahasan seluruh masyarakat. 147 Dari delapan sasaran, yang akan menjadi sorotan adalah sasaran ketiga, yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Kesetaraan gender dapat berartui bahwa perempuan memiliki kesempatan, fasilitas serta kuota yang sama dengan lakilaki dibidang apapun. Dalam hal ini yang akan dibicarakan adalah dalam bidang politik. Yang menjadi target tujuan ketiga ini salah satunya adalah meningkatkan proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga publik. Negara-negara secara umum dan Indonesia secara khusus telah meratifikasi beberapa pengaturan hokum internasional yang mengatur perlindungan hukum bagi perempuan. Seperti halnya Konvensi tentang Hak-hak Politik Wanita Tahun 1952 menjadi Undangundang Nomor 68 Tahun 1958, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Tahun 1979 (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman) menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Selain peratifikasian hukum internasional, ada juga peraturan hukum nasional yang melindungi hak politik perempuan. Tetapi sepertinya pemerintah tidak serius dalam menangani dan
147
Agoes Soehardjono MD, Op. Cit, hal 1.
Universitas Sumatera Utara
menanggapi permasalahan mengenai perlindungan hak politik perempuan ini. Hal tersebut juga yang dialami perempuan di banyak Negara lain. Sehingga PBB membuatnya menjadi salah satu tujuan milleniumnya. Agar Negara-negara lebih serius dan lebih peduli lagi terhadap permasalahan perempuan dan hak politiknya. MDG’s seperti dorongan bagi Negara-negara untuk lebih memperhatikan permasalahan hak politik perempuan. Negara-negara khususnya Indonesia mulai memperbaiki kebijakannya terhadap hak politik perempuan dan mulai menjalankan kembali peraturan hukum mengenai hak politik perempuan yang telah dibuat. Tabel 8 Representasi Perempuan di DPR RI 148 Periode
Anggota Perempuan
Anggota Laki-laki
1950-1955 (DPR Sementara)
9 (3,8%)
236 ( 96,2%)
1955-1960
17 (6,3 %)
272 (93,7%)
1956-1959 (Konstituante)
25 (5,1%)
488 (94,9%)
1971-1977
36 (7,8%)
460 (92,2)
1977-1982
29 (6,3%)
460 (93,7%)
1982-1987
39 (8,5%)
460 (91,5%)
1987-1992
65 (13%)
435 (87%)
1992-1997
62 (12,5%)
438 (87,5%)
1997-1999
54 (10,8%)
446 (89,2%)
1999-2004
46 (9%)
454 (91%)
2004-2009
65 (11,6%)
435 (87%)
2009-2014
101 (18 %)
459 (82%)
Dari tabel diatas, terlihat bahwa terdapat peningkatan yang cukup signifikan terhadap
148
Sumber: Data sampai periode 2004-2009 dikutip dari buku Panduan Calon Legislatif Perempuan Pemilu 2009, PUSKAPOL FISIP UI, 2009. Data 2009-2014 diambil dari www.kpu.go.id
Universitas Sumatera Utara
angka keterwakilan perempuan di lembaga legislatif setelah penandatangan MDG’s oleh Indonesiaa. Walaupun angkanya tidak terlalu besar tetapi hal ini cukup membanggakan. Hal ini tidaklah persoalan mudah yang dikerjakan dalam waktu singkat. Upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada pelaksanaan pemilu 2004 yaitu pemilu pertama setelah ditandatnganinya MDG’s, peraturan perundang-undangan telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 31 tahun 2002 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 13 tahun 2002 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat. Ketetapan kuota 30% sendiri sudah diterapkan pertama kali pada Pemilu 2004 seiring dengan perjuangan dan tuntutan dari para aktivis perempuan. Hasilnya adalah 62 perempuan saat itu terpilih dari 550 anggota DPR RI (11,3%). Sementara itu, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, hanya ada 45 perempuan dari 500 anggota DPR yang terpilih (9%). Kita dapat cukup berlega hati walaupun angka presentasi perempuan belum sampai pada kuota yang ditetapkan pemerintah. Pada parlemen Indonesia, perempuan tidaklah menduduki pos-pos penting seperti hukum, perundang-undangan,
keungan,
pertanian
atau
telekomunikasi.
Perempuan
banyak
didudukkan di pos-pos Agama, sosial, pemberdayaan perempuan yang berjumlah 22,92%, Pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, kebudayaan sebesar 26% dan paling banyak di komisi Tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, kesehatan sebesar
Universitas Sumatera Utara
42,55%.149 Bisa dibandingkan dengan distribusi anggota perempuan dalam komisi perempuan di Negara lainnya. Tabel 9 Gambaran Distribusi Anggota Perempuan dalam Komisi Parlemen di Beberapa Negara 150 Negara
Distribusi Perempuan dalam Komisi Parlemen
Swedia
Representasi perempuan mencapai 48% tetapi distribusi perempuan tidak berimbang. Sebagian besar perempuan berada di komisi pendidikan dan kesehatan, sedang laki-laki di komisi ekonomi dan keuangan.
Ghana
Ada komisi yang tidak ada anggota perempuannya seperti transportasi dan keuangan.
Republik
Representasi perempuan di parlemen adalah 15%, tidak ada perempuan di
Cheko
komisi keuangan, mayoritas di komisi pendidikan dan kesehatan.
Kongo
Anggota perempuan hanya 40 dari 500 anggota (kurang dari 10%). Sangat sedikit perempuan untuk berpartisipasi dalam semua komisi.
Nigeria
Sangat sedikit perempuan di komisi-komisi pertahanan, keamanan, pertanian, lingkungan hidup dan ekonomi.
Austria
Seharusnya bisa lebih banyak perempuan di komisi ekonomi dan keuangan; serta lebih banyak laki-laki di komisi kesehatan dan kesetaraan.
Chili
Perempuan difokuskan pada komisi keluarga, pendidikan dan kesehatan.
149
Data diolah dari “Daftar Anggota – Berdasarkan Komisi” Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (http://www .dpr.go.id/id/komisi/). 150
Sumber: Laporan IPU, Institutional Change: Gender-sensitive Parliaments, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Jika kita melihat jumlah anggota perempuan di DPR dan DPD hasil pemilu-pemilu pada era reformasi (1999, 2004, 2009) menunjukkan adanya kenaikan jumlah. Itu dapat berarti kabar baik bagi pemerintah, karena kebijakannya berhasil mendongkrak presentase keterwakilan poerempuan di parlemen. Tabel 10 Representasi Perempuan di DPR dan DPD Periode
DPR
DPD
Perempuan
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki
1999-2004
46 (9%)
454 (91%)
2004-2009
65 (11.6%)
435 (88.4%)
28 (21.2%)
104 (78.8%)
2009-2014
101 (18%)
459 (82%)
36 (27.7%)
96 (72.3%)
DPD belum terbentuk
Dengan persentase hasil Pemilu 2004 tersebut, Indonesia berada di urutan 89 dari 187 negara berdasarkan data IPU 2006. Di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia berada di bawah Timor Leste (25 %) dan Filipina (15 %). Jika kita lihat data peringkat Indonesia dilihat dari kondisi Human Development Index (HDI), Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measurement (GEM), datanya adalah sebagai berikut: Tabel 11 Peringkat HDI, GDI dan GEM Indonesia tahun 2007-2009151
Tahun
Peringkat HDI
Indeks HDI
Peringkat GDI
Indeks GDI
Peringkat GEM
Peringkat GEM
2007
111 dari 182 Negara
0,7434
93 dari 155 Negara
0,726 96
96 dari 109 Negara
0,408
2008
109 dari 179 negara
0,726
85 dari 157 negara
0,719
87 dari 108 negara
0,441
151
Sumber: UNDP Human Development Report, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2009
107 dari 179 negara
0,682
91 dari 144 negara
0,677
89 dari 186 negara
58,9
Dari data diatas, sepertinya pemerintah harus bekerja lebih keras. Pemerintah Indonesia perlu
membuat gebrakan baru untuk dapat meningkatkan lagi perlindungan
politiknya terhadap perempuan. Mungkin angka-angka keterwaklilan perempuan di parlemen baik tetapi cukup menyedihkan jika ditelisik lebih lanjut di komisi Negara, lembaga peradilan, dikabinet dan di lembaga-lembaga publik lainnya. Representasi kaum perempuan pada posisi-posisi puncak pengambilan keputusan di semua departemen negara juga sangat rendah. Meskipun kaum perempuan adalah mayoritas pegawai negeri di departemendepartemen besar dan penting seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri, kebanyakan mereka hanya menduduki posisi birokrasi menengah ke bawah. Sebagian besar jabatan eselon (eselon 1 dan 2) dipegang oleh lelaki. Banyak pihak yang menganggap bahwa pemerintah belum bekerja secara maksimal untuk melindungi hak politik perempuan. Jika dilihat dari keberhasilan Negara lain seharusnya pemerintah lebih giat lagi dan melakukan evaluasi untuk memaksimalkan potensi perempuan. Pada beberapa Negara ini, pemerintah memaksimalkan kebijakannnya terhadap perlindungan perempuan di Negara nya, yaitu: 1. Rwanda dengan 48,8 % keterwakilan perempuan 2. Swedia dengan 47,3 % keterwakilan perempuan 3. Finlandia dengan 42% keterwakilan perempuan 4. Norwegia dengan 37,9 % keterwakilan perempuan 5. Denmark dengan 36,9 % keterwakilan perempuan 6. Belanda dengan 36,7 % keterwakilan perempuan 7. Argentina dengan 35 % keterwakilan perempuan
Universitas Sumatera Utara
8. Mozambik dengan 34,8 % keterwakilan perempuan 9. Belgia dengan 34,7 % keterwakilan perempuan 10. Afrika selatan dengan 32,8 % keterwakilan perempuan 11. Austria dengan 32,2 % keterwakilan perempuan 12. Islandia dengan 31,7 % keterwakilan perempuan 13. Jerman dengan 31,6 % keterwakilan perempuan 152 Dapat disimpulkan bahwa MDG’s membawa angin segar bagi kehidupan perpolitikan perempuan Indonesia. Dengan adanya MDG’s pemerintah Indonesia lebih sadar akan pentingnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia. Penerobosanpenerobosan dal;am kebijakan sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, seperti penetapa kuota perempuan sebesar 30% di parlemen. Walaupun belum teralisasikan dengan baik, tetapi paling tidak telah ada cukup perhatian untuk melindungi hak politik perempuan. Tetapi pemerintah Indonesia harus lebih giat dalam pr nya kali ini. Karena prestasi nya kali ini belum bias dibanggakan untuk mencukupi indicator MDG’s di tahun 2015 nanti.
152
Siti Nur Solechah, Op.Cit, hal 70.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN 1. Hak asasi Perempuan merupakan bagian dari Hak asasi manusia. penegakan hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai dengan komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993 , maka perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua pihak baik lembaga-lembaga Negara ( eksekutif, legislatif, yudikatif ) maupun Partai politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi perempuan .Perjuangan untuk memasukkan perspektif perempuan dalam konsep HAM didasarkan pada kenyataan bahwa pelanggaran Hak Asasi Perempuan (Woman Human Rights) oleh struktur masyarakat yang patriaki di berbagai bidang kehidupan sangat tidak adil untuk kaum perempuan. Pembagian peran secara seksual yakni yang menempatkan perempuan dirumah (sektor domestik atau sektor privat) dan laki-laki diuar rumah (sektor publik) menyebabkan terbatasnya akses perempuan terhadap akses perempuan terhadap sumber daya, ekonomi, sosial dan politik. Secara ekonomi ia menjadi sangt tergantung pada suaminya, kalaupun ia bekerja, ia tidak dipandang sebagai manusia yang utuh karena ia hannya dianggap sebagai pencari tambahan penghasilan keluarga. Oleh karena itu, ia tidak berhak menerima tunjangan-tunjangan (keluarga atau kesehatan) karena dianggap telah mendapatkan dari suaminya. Politik itu sendiri selama ini selalu identik dengan dunia laki-laki, dengan dunia kotor, yang tidak pantas dimasuki oleh perempuan. Politik identik dengan sesuatu yang aneh dari
Universitas Sumatera Utara
pandangan feminitas karena politik terkait dengan kekuasaan, kesewenangan, pengerahan massa dan kompetisi-kompetisi yang tidak melekat dalam diri perempuan yang mengutamakan perdamaian dan harmoni. Kekuasaan pada dasarnya netral. Ia bisa digunakan untuk kebaikan atau sebaliknya. Di dunia politik, kekuasaan yang digunakan dengan baik diwujudkan melalui kepatuhan, perubahan dan pembaharuan. Maka dari itu diaturlah konvensi internasional yang melindungi hak-hak perempuan secara umum dan hak politik perempuan secara khusus yaitu Convention on Ellimination of all form of Discrimination Against Woman (CEDAW). Indonesia sendiri meratifikasi konvensi internasional ini lewat Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Tetapi, walaupun Indonesia sudah meratifikasi konvensi ini, tetap saja terdapat diskriminasi terhadap hak politik perempuan. Hal ini terlihat dari rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga publik. Implikasi dari rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga penentu kebijakan publik, berakibat pada
dikeluarkannya
kebijakan
publik
yang
timpang,
karena
kurang
memperhitungkan kontribusi dan kebutuhan perempuan, serta menghasilkan kebijakn publik yang rendah kualitasnya. Data nasional diatas menunjukkan adanya disparitas/ketimpangan diantara warga negara perempuan dan laki-laki yang mendapat manfaat dari pembangunan yang sedang berjalan, terutama perempuan tertinggal di bidang pendidikan, kesehatan, ketenaga kerjaan, perlakuan diskriminatif, tindak kekerasan, perdagangan perempuan dan anak, dsb. yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kesejahteraan dan kemajuan bangsa secara menyeluruh. Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepada kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik sangatlah diperlukan. Hal ini disebabkan apabila keterwakilan di lembaga politik Formal diserahkan kepada lakilaki sebagai wakil perempuan akan menghasilkan kondisi bias gender.
Universitas Sumatera Utara
2. Pada akhir abad ke 19 menuju abad ke 20 pada tahun 2000, 189 negara sepakat untuk menandatangani tujuan ppembangunan millennium atau yang lebih dikenal lewat MDG’s. Terdapat delapan tujuan yang harus dicapai oleh Negara-negara penandatangan pada tahun 2015. Keberhasilan suatu Negara dalam menjalankan MDG’s dilihat dari pencapaian Negara terhadap indikator-indikator yang telah ditentukan dari setiap aspeknya. Poin ke tiga dari MDG’s itu sendiri adalah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Yang salah satu indikatornya adalah pengoptimalisasian perempuan di lembaga-lembaga publik. 3. Hal inilah yang kemudiaan mendorong pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan bahwa adanya kuota sebesar 30 persen untuk perempuan di parlemen lewat Undang-Undang no. 12 Tahun 2003 tentang partai politik yang dirubah dengan Undang-Undang no. 2 tahun 2008 dan Undang-Undang no. 31 tahun 2003 tentang pemilu yang kemudian dirubah dengan undang-undang no. 10 tahun 2008. Walaupun hasil pemilu tahun 2004 dan tahun 2009 tidak memenuhi kuota tersebut, paling tidak sudah ada langkah baik dari pemerintah untuk mengakomodir hak politik perempuan. Hanya saja agar tidak tertinggal dari perkembangan Negara-negara lainnya, ada baiknya jika pemerintah Indonesia melakukan gebrakan-gebrakan besar untuk lebih memperjuangkan hak politik perempuan. B. SARAN Untuk mengatasi berbagai persoalan dan tantangan yang telah dijabarkan dalam hasil penelitian akademis di atas, terdapat beberapa saran untuk meningkatkan representasi politik kaum perempuan, yaitu: 1. Pertemuan untuk saling bertukar pikiran di kalangan organisasi masyarakat mandiri yang memperjuangkan kepetingan perempuan. Sebelum merancang strategi,
Universitas Sumatera Utara
organisasi-organisasi itu perlu bertemu untuk membahas isu-isu yang ada, dengan maksud memantapkan pendekatan dan strategi yang akan ditempuh. Berbagai perbedaan strategi dan perspektif perlu ditolerir dan dipandang memperkaya pembagian tugas para aktivis organisasi itu. Pertemuan koordinasi itu juga harus melibatkan aktor-aktor lokal. Pertemuan-pertemuan yang sama juga dapat dilanjutkan di tingkat propinsi, sehingga kelompok diskusi itu nanti dapat menetapkan strategi yang paling sesuai dengan kondisi setempat. 2. Mengidentifikasi tokoh-tokoh perempuan yang berpotensi memimpin. Perlu dibuat database tokoh-tokoh wanita yang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin di tingkat nasional dan lokal. 3. Meningkatkan kapasitas perempuan untuk menduduki posisi pimpinan. Menggelar berbagai lokakarya dengan muatan kurikulum khusus yang dirancang untuk memperkuat kualitas kepemimpinan perempuan, terutama kemampuan mereka untuk bekerja dalam organisasi politik dan lembaga publik. Mereka perlu disadarkan bahwa mereka akan berkecimpung di dalam suatu lingkungan politik yang pada umumnya bersikap tak bersahabat dengan kehadirannya. Kurikulum lokakarya itu dapat disusun berdasarkan konteks khusus, dan mencakup studi-studi kasus atau situasi tertentu yang kemungkinan besar akan dihadapi para peserta di kemudian hari. 4. Menyusun draft perundangan yang memungkinkan dilakukannya affirmative action. Produk hukum paling strategis yang mempengaruhi partisipasi politik perempuan adalah yang berkaitan dengan parpol dan pemilihan umum. 5.
Melakukan lobi secara asertif ke gedung parlemen Suatu gerakan lobi yang terencana dan efektif harus dilakukan oleh organisasi masyarakat mandiri, LSM dan anggota parlemen sendiri jika mereka sungguh-sungguh menghendaki perubahan nyata.
Universitas Sumatera Utara
6. Membentuk sebuah kaukus atau jaringan kerja di kalangan para pendukung perjuangan. Jaringan kerja lintas sektoral harus disusun, demi membentuk aliansi yang stabil sehingga memperkuat dan menjamin kelangsungan gerakan yang dilancarkan. Jaringan kerja itu dapat disusun di kalangan para aktor pendukung gerakan, baik yang dari gedung parlemen, organisasi sosial, akademisi, organisasi keagamaan, serta media. Jaringan kerja ini harus mengagendakan pertemuan strategis secara reguler dan menjaga kontak antar sesama anggota. 7. Kampanye di media. Kampanye media dapat digunakan sebagai alat yang efektif selama proses legislatif berlangsung. 8. Partai politik agar bersikap adil dan tidak membeda-bedakan anggota laki-laki dan perempuan, mengubah penilaianpenilaian yang negatif terhadap anggota perempuan dan mengubah kultur partai politik menjadi lebih adil gender, Partai politik perlu mereformasi diri dan ini menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan, apalagi anggota DPD yang sekarang boleh dari partai politik. Partai politik juga perlu mendukung tindakan affi rmative action antara lain dengan melakukan pendidikan politik dan mengangkat isu-isu keadilan gender. Selain itu partai politik perlu memperbanyak kader perempuan
dengan latar belakang Aktivis, karena terbukti lebih peduli
terhadap nasib Buruh misalnya ketimbang kader dengan latar belakang Pengusaha.
Dengan pemahaman sedemikian maka aspirasi, kepentingan, kebutuhan, atau prioritas perempuan tidak dapat sekedar diperhitungkan dalam dalam proses pengambilan keputusan (oleh para pembuat keputusan), perempuan harus merepresentasikan dirinya sendiri dan menyuarakan aspirasi, kepentingan, kebutuhan dan prioritasnya sendiri di dalam arena pengambilan keputusan. Untuk itu perempuan harus diintegrasikan ke dalam politik dan bersama-sama dengan para politisi laki-laki ikut mendefinisikan realitas politik. Selain dari
Universitas Sumatera Utara
perempuannya sendiri, harus ada juga tindakan tegas dari pemerintah untuk melindungi hak politik perempuan. Pemerintah harus serius dalam menyikapi problematika yang terjadi pada perempuan. Pemerintah juga harus berani melakukan pembaharuan kebijakan yang mengakomodir perlindungan hak politik perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Sumatera Utara