BAB IV PENCAPAIAN MDG’s DI INDONESIA
4.1. Hasil Pencapaian Tujuan Pertama: Penanggulangan Kemiskinan dan Kelaparan Sejak pengambilan komitmen terkandung dalam Deklarasi Milenium tahun 2000 terkait dengan pencapaian MDG’s, Indonesia merupakan salah satu negara yang berusaha keras dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. MDG’s menjadi acuan penting dalam semua upaya pembangunan nasional, baik di tingkat pusat dan provinsi, maupun kabupaten dan kota, dalam jangka waktu panjang, menengah dan tahunan. Negara ini termasuk juga negara yang berhasil melakukan kemajuan yang berarti, terutama dalam mencapai tujuan pertama “menanggulangi kemiskinan dan kelaparan”. Namun, dalam pencapaian tersebut menunjukan 3 golongan dimana terlihat ada sasaran yang telah tercapai, ada yang menunjukan kemajuan signifikan dan bisa dicapai (on track), dan ada yang masih memerlukan kerja keras. Maksud pendeskripsian pencapaian Indonesia ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pemerintah dengan para mitra swasta dan lembaga mengusahakan pencapaian tersebut, dengan waktu tinggal dua tahun lebih hingga tahun 2015. Pencapain Indonesia terhadap ketiga target dalam tujuan pertama menurut laporan terakhir 2011 dipaparkan dalam bagian berikut ini:
44
45
4.1.1. Target 1A: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per hari dalam kurun waktu 1990-2015 Hasil pencapaian target ini dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 4.1: Target 1A Indicator 1.1
Proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per Hari
1.1a Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional 1.2
Indeks Kedalaman Kemiskinan
Acuan dasar 20,60% (1990)
15,10% (1990)
Saat ini 5,90% (2008)
12,49% (2011)
2,70% 2,08% (1990) (2011) Sumber: Bappenas Laporan pencapaian MDG’s 2011
Target MDGs Status 2015 10,30% Sudah Tercapai
7,55%
Berkurang
Perlu perhatian Khusus Akan tercapai
Dalam sasaran pertama ini Indonesia mengoperasionalkan 2 indikator, yakni: Indikator 1.1: Proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari, yang berarti persentase penduduk yang hidup dengan pendapatan di bawah $1 (PPP) per hari. Indikator ini disepakati menunjukan status seseorang miskin dan bermanfaat untuk memonitor kemajuan upaya pengetasan kemiskinan setiap negara termasuk Indonesia, dan untuk memonitor tren kemiskinan pada tingkat global.1 Untuk Indonesia sendiri indikator ini sudah tercapai dengan acuan dasar
1
Semua penjelasan makna indicator diambil dari Bappenas dan BPS. 2011. Serial Pedoman Teknis: Definisi Operasional Indikator MDG’s.
46
20,60% penduduk yang hidup di bahwa pendapatan $1 (PPP)/hari tahun 1990, menjadi hanya 5,90% penduduk pada tahun 2008. Berarti Indonesia sudah berhasil mengurangi kemiskinan ekstrim dalam 20 tahun terakhir sebagai telihat dalam gambar berikut ini, Kemiskinan ekstrim pernah turun hingga hanya 7,8% penduduk pada tahun 1996 namun terjadinya krisis 1998-1999 kembali meloncat lagi dan setelah itu trennya terus menurun. Gambar 4.1: Tren penurunan Kemiskinan ekstrim
Sumber: Susenas (berbagai tahun) BPS dan Bank Dunia 2008
Berkenaan dengan tercapainya sasaran pertama ini pemerintah Indonesia terus ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mereka tidak berpuas lagi dengan tingkat ukuran kemiskinan 1$/hari, maka garis kemiskinan nasional ditingkatkan dan diukur menjadi $1,50 (PPP) /hari. Sehingga persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional (indicator 1.1.a) adalah sebesar 12,49% pada tahun 2011,
47
dan menurut data terbaru september 2012, bakhan menurun 11,66%2, jika acuan dasarnya pada tahun 1990 adalah 15,10%. Orang hidup di bawah garis kemiskinan terlihat semakin menurun namun untuk mencapai hingga 7,55% penduduk tahun 2015 merupakan tantangan yang berat bagi Indonesia, jadi di situ terdapat titik yang memerlukan usaha lebih dan perhatian khusus sebagaimana dijelaskan status pencapaian pada tabel di atas. Indikator 1.2: Indeks Kedalaman Kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks ini, berarti rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin jauh dari garis kemiskinan. Indikator ini mencerminkan keparahan atau kedalaman tingkat kemiskinan yang dialami masyarakat miskin. Indeks kedalaman kemiskinan di Indonesia menurun dari 2,70 pada tahun 1990 menjadi sebesar 2,08 pada tahun 2011, hal itu menunjukan perbaikan pada tingkat kesejahteraan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Berikut ini gambar memperlihatkan tren penurunan proporsi orang yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia:
2
http://www.bps.go.id diakses pada 12-05-13
48
Gambar 4.2. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan nasional. 20
16.58
15.42
15
14.15
13.33
12.49
11.66 7.55
10 5 0 2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Sumber: Laporan MDG’s 2011.(BPS, Susenas berbagai tahun)
Sementara jika dilihat menurut provinsi, penduduk Indonesia tersebar di 33 provinsi, dan memang tingkat kemiskinan sangat bervariasi. Terdapat 16 provinsi dengan tingkat kemiskinan di bawah rata-rata nasional. Ketiga provinsi yang memiliki kemiskinan terendah di Indonesia adalah DKI Jakarta (3,70%) ; Bali (3,95%); dan Kalimantan Selatan (5,01%). Sedangkan 17 provinsi dengan tingkat dua kali lipat di atas rata-rata nasional umumnya terletak di bagian Timur Indonesia, dengan kemiskinan tertinggi berada di Papua (30, 66%); Papua Barat (27,04%), Maluku 20,76%); Nusa Tenggara Timur (20,41%), Aceh (18,58%) dan Nusa Tenggara Barat (18,02%). Namun tingginya kemiskin tersebut terutama terjadi secara signifikan di perdesaan jika dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Secara umum terdapat disparitas oleh sebab tingkat pembangunan yang tidak merata, baik antara provinsi maupun antara kota dan desa. Berikut ini suatu gambar yang menunjukan disparitas proporsi penduduk miskin untuk setiap provinsi,
49
Gambar 4.3: Proporsi penduduk di bawah garis kemiskinan menurut provinsi
30,66 11,66
3,70 DKIJakarta Bali KalimantanSelatan BangkaBelitung Banten KalimantanTengah KalimantanTimur KepulauanRiau SulawesiUtara KalimantanBarat SumateraBarat Riau MalukuUtara Jambi SulawesiSelatan JawaBarat SumateraUtara INDONESIA SulawesiBarat SulawesiTenggara JawaTimur SumateraSelatan SulawesiTengah JawaTengah Lampung DIYogyakarta Gorontalo Bengkulu NusaTenggaraBarat Aceh NusaTenggaraTimur Maluku PapuaBarat Papua
35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
Sumber: Badan Pusat Statistik September 2012
4.1.2. Target 1B: Menciptakan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda Hasilnya pencapaiannya adalah sebagai berikut: Tabel 4.2: Target 1B Indicator
Acuan dasar
Saat ini
Target MDGs 2015
1.4
Laju Pertumbuhan PDB per tenaga kerja
3,52% (1990)
5,04% (2011)
-
1.5
Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas
65% (1990)
63,85% (2011)
-
Proposri tenaga kerja yang berusaha sendiri
71,00%
44,24%
Menurun
1.7
Status
Akan tercapai
dan pekerja bebas keluarga terhadap total (1990) (2011) kesempatana kerja Sumber: Bappenas Laporan pencapaian MDG’s 2011
Dalam Target kedua untuk menciptakan kesempatan kerja penuh dan produktif, Indonesia menggunakan 3 Indikator yaitu:
50
Indicator 1.4: Laju Pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) per tenaga kerja, yang dipergunakan untuk memonitor tingkat produktivitas tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja merupakan ukuran kunci dari kinerja ekonomi, yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan suatu negara dalam menciptakan kesempatan kerja yang layak disertai dengan kompensasi yang adil.3 Selama 20 tahun perkembangan laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja Indonesia bervariasi dari 3,52% menjadi 5,04%. Pada dasarnya, menurut pengamatan pihak perencenaan pembangunan nasional, perbaikan ini dikarenakan kondisi ekonomi Indonesia yang kembali membaik beberapa tahun setelah krisis 1998. Pada tahun 2011 perekonomian Indonesia bertumbuh 6,5% dibandingkan tahun 2010, dengan nilai PDB berdasarkan harga konstan sebesar Rp 2.463,2 triliun, jika pada tahun 2010 adalah sebesar Rp 2.313,8 triliun dan 2009 Rp 2.178,9 triliun4. Kondisi ekonomi yang baik tersebut telah mendukung penciptaan kesempatan kerja produktif. Indikator 1.5: Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas. Indikator ini mencerminkan tingkat penyerapan tenaga kerja terhadap total penduduk usia kerja, dengan asumsi bahwa jumlah kesempatan kerja yang tersedia adalah sama dengan jumlah penduduk yang bekerja. Perkembangan rasio tersebut untuk Indonesia hanya relatif kecil selama 20 tahun, 65% menjadi 63,85%.
3 4
MDG’s Global Report 2012, French version, hal 9. BPS, Berita Resmi Statistik No.13/02/Th. XV, 6 Februari 2012.
51
Indikator 1.7: Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja. Indikator ini menunjukan berapa persen penduduk yang bekerja di dalam kegiatan informal atau disebut pekerja rentan. Proporsi tersebut menurun secara signifikan dalam 20 tahun dari 71% menjadi hanya 44,24%, dan diharapkan bisa selalu menurun. 4.1.3. Target 1C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 1990-2015. Hasilnya ditujukan tabel berikut: Tabel 4.3: Target 1C Indicator
Acuan Dasar
Saat ini
Target MDGs 2015
Status
1.8
Prevalensi balita dengan berat badan rendah atau kekurangan gizi
31,00% (1989)
17,90% (2010)
15,50%
Akan tercapai
1.8.a
Prevalensi balita gizi buruk
7,20% (1989)
4,90% (2010)
3,60%
Akan tercapai
1.8.b
Prevalensi balita gizi kurang
23,80% (1989)
13,00% (2010)
11,90%
Akan tercapai
1.9
Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum -1.400 kkal/kapita/hari -2.000 kkal/kapita/hari
Perlu perhatian khusus 17,00% (1990)
14,65% (2011)
8,50%
64,21% 60,03% 35,32% (1990) (2011) Sumber: Bappenas Laporan pencapaian MDG’s 2011
Untuk menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan digunakan indikator berikut:
52
Indikator 1.8: Prevalensi balita dengan berat badan rendah atau kekurangan gizi, dibandingkan dengan seluruh jumlah balita. Status gizi diperoleh melalui indeks berat badan, umur, dan jenis kelamin. Indikator ini digunakan secara universal untuk memonitor status ketahanan pangan dan kesehatan penduduk. Indonesia telah melakukan kemajuan yang signifikan untuk menurunkan proporsi balita di bawah umur 5 tahun dengan berat badan rendah dan kekurangan gizi dari 31% pada tahun 1989 hingga menjadi 17,90%
tahun 2010. Memang sesuai tujuan tahun 2015
diinginkan turun hingga 15,50% tetapi pemerintah tetap optimis karena indikator ini bisa tercapai. Indikator ini pun terbagi dua untuk melihat proporsi balita yang mengalami gizi buruk atau severe underweight under five age, dan proporsi balita dengan gizi kurang atau moderate underweight under five age.
Perkembangan
duaduanya cukup bagus dari masing-masing 7,20% (1989) menjadi 4,90% (2010); dan 23,80% (1989) turun menjadi hanya 13% (2010). Berikut ini gambar yang menunjukan tren penurunan balita mengalami kekurangan gizi.
53
Gambar 4.4. Prevalensi Balita kekurangan gizi
Sumber: Susenas berbagai tahun (BPS); Riskesdas 2007, menggunakan standar WHO (2005)
Indikator 1.9: Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum. Konsumsi energi rata-rata yang dianjurkan adalah 2.000 kkal per kapita per hari, dan konsumsi energi minimum adalah 1.400kkl per kapita per hari (70%). Indikator ini digunakan untuk mengukur besarnya penduduk yang mempunyai konsumsi energi yang sangat rendah sehingga memerlukan prioritas di dalam upaya perbaikan pangan dan gizi. Pencapaian Indonesia terhadap indicator ini meskipun menurun namun terlihat masih jauh dari target 2015. Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bahwa tingkat minimum 1.400kkal adalah sebesar 14,65%, sementara proporsi yang di bahwa rata-rata 2.000 kkal mencapai 60,03% dengan target 2015 masing-masing 8,50% dan 35,32%. Indikator ini masih memerlukan perhatian khusus terutama upaya yang keras dan cerdas untuk mempercepat penurunannya. Menurut hasil pencapaian tujuan pertama MDG’s Indonesia telah dipaparkan di atas, semua sasaran umumnya memperlihatkan perbaikan dan penurunan. Hal ini
54
mencerminkan bahwa pemerintah telah mengusahakan untuk mencapainya dan terus melaksanakan pemantauan dan usaha lebih dengan waktu yang tersisa. Namun ada berbagai kenyataan di lapangan yang berada di balik angka-angka tersebut. Misalnya tingkat kemiskinan perdesaan dibandingkan dengan tingkat di perkotaan yang jauh lebih tinggi (15,72% di daerah perdesaaan sementara 9,23% di wilayah perkotaan). Adanya kerentanan dalam lapangan kerja terutama di sektor informal, meskipun menurun secara signifikan tetapi masih terdapat 44,24% tenaga kerja yang berada dalam resiko tidak dibayar, tidak bisa menikmati perlindungan sosial dan bekerja tanpa aturan yang jelas. Selain itu masih banyak penduduk yang hidup dengan konsumsi energi di bawah asupan kalori minimum dan rata-rata. Sehingga terdapat banyak masyarakat yang hidup dalam ketidakamanan secara ekonomi dan pangan yang dapat menyebabkan banyak hal lagi seperti kesehatan yang buruk dan tingkat produktivitas yang rendah. Pemerintah berupaya sekuat tenaga untuk memberantas keimiskinan dan kelaparan yang mengacamkan kehidupan masyarakat, dan juga sebagai perwujudan komitmen kepada masyarakat global. Seperti apakah upaya pelaksanaan komitmen pemerintah tersebut, apakah cukup memadai, atau apa yang menjadi tantangan dan kesulitan khususnya untuk Indonesia dalam mencapai tujuan milenium pertama dan dalam memberikan keamanan ekonomi dan pangan terkait dengan tujuan pertama tersebut.