LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2014 ©2015 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
ISBN 978-602-1154-50-2
Diterbitkan oleh: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Tim Penyusun: Penanggung Jawab
: Drs. Andrinof Achir Chaniago, M.Si.
Sekretaris
: Dra. Nina Sardjunani, MA
Anggota
: Dr. Sudarti Surbakti; Dr. I Nyoman Kandun; Ir. Risyana Sukarma; Ir. Rudy Soeprihadi Prawiradinata, MCRP, Ph.D; Dr. Ir. Subandi, MSc; Ir. Suharti, MA, Ph.D; Dr. Hadiat, MA; Dr. Drg. Theresia Ronny Andayani, MPH.; Ir. Wahyuningsih Darajati, MSc; Dra. Tuti Riyati, MA; Riza Hamzah, SE, AK, ME; Dr. Arum Atmawikarta, MPH; Mukhlis Hanif Nurdin, SKM.
Mitra Pendukung
: United Nations Development Programme (UNDP)
LAPORAN PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN MILENIUM DI INDONESIA 2014
Diterbitkan Oleh: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
i
KATA PENGANTAR
K
eikutsertaan Indonesia dalam menyepakati Deklarasi Milenium bersama dengan 189 negara lain pada tahun 2000 bukan semata-mata untuk memenuhi tujuan dan sasaran Millenium Development Goals (MDGs), namun keikutsertaan itu ditetapkan dengan pertimbangan bahwa tujuan dan sasaran MDGs sejalan dengan tujuan dan sasaran pembangunan Indonesia. Konsisten dengan itu, Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20052025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan 2010-2014 serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen penganggarannya. Berdasarkan strategi pro-growth, pro-job, pro-poor, dan proenvironment alokasi dana dalam anggaran pusat dan daerah untuk mendukung pencapaian berbagai sasaran MDGs terus meningkat setiap tahunnya. Kemitraan produktif dengan masyarakat madani dan sektor swasta berkontribusi terhadap percepatan pencapaian MDGs. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014 ini merupakan laporan ke sembilan yang bersifat nasional sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2004. Penerbitan laporan ini bertujuan untuk melaporkan berbagai keberhasilan yang telah kita capai sebagai perwujudan dari komitmen dan kerja keras Pemerintah dan segenap komponen masyarakat untuk menuju Indonesia yang lebih sejahtera. Disamping itu, laporan ini bertujuan untuk menunjukkan komitmen Indonesia sebagai bagian dari Masyarakat bangsabangsa dalam mewujudkan cita-cita Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2000. Laporan ini secara ringkas menguraikan keadaan dan kecenderungan serta upaya penting untuk percepatan pencapaian MDGs sampai dengan posisi tahun 2014, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun kegiatan yang diperlukan agar sasaran MDGs tahun 2015 dapat dicapai. Laporan ini disusun oleh Tim yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis/Kelompok Kerja yang bertanggungjawab kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS. Kepada seluruh anggota Tim Penyusun disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih setinggi-tingginya atas kerja keras dan kontribusinya sehingga Laporan Pencapaian MDGs ini tersusun dengan baik. Penghargaan dan ucapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada: • Dra. Nina Sardjunani, MA, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas yang telah mengkoordinasikan penyusunan dan sekaligus melakukan quality assurance atas substansi Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2014.
• Dr. Sudarti Surbakti; Dr. I Nyoman Kandun; Ir. Risyana Sukarma; dan yang telah menyusun laporan dari setiap goal MDGs. • Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kesehatan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Luar Negeri, Bank Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kontribusi dalam penyediaan data, informasi, dan penyiapan naskah. • Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada mitra pembangunan dari United Nations Development Programme (UNDP) yang telah membantu penyusunan Laporan Pencapaian MDGs ini, serta semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
ii Semoga laporan ini menjadi kontribusi berharga bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita pembangunan manusia yang lebih baik dan masyarakat yang lebih sejahtera di masa yang akan datang.
Drs. Andrinof Achir Chaniago, M.S Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
ivv
DAFTAR FOTO
vii
DAFTAR SINGKATAN
vii
PENDAHULUAN
xi
RINGKASAN STATUS PENCAPAIAN MDGS DI INDONESIA
xvi
TINJAUAN STATUS PENCAPAIAN MDGS DI INDONESIA
xxi
TUJUAN 1:
MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN Target 1A: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per hari dalam kurun waktu 1990-2015
1
Target 1B:
Menciptakan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda
4
Target 1C:
Menurunkan hingga setengahnya pro-porsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 1990-2015
6
TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA Target 2A: Menjamin pada 2015 semua anak, laki-laki maupun perempuan dimanapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar
11
TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Target 3A:
Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015
15
TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK Target 4A:
Menurunkan Angka Kematian Balita (AKBA) hingga dua-pertiga dalam kurun waktu 1990-2015
23
TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU Target 5A:
Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga-perempat dalam kurun waktu 1990 - 2015
31
Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015
31
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
iv TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menu-runkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS hingga tahun 2015
41
Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDS bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010
41
Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menu-runkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015
46
TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkesinambungan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumberdaya lingkungan yang hilang
59
Target 7C: Menurunkan hingga separuhnya proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak pada 2015
69
Target 7D: Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020
76
Target 7A:
TUJUAN 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN Target 8A: Mengembangkan sistem keuangan dan perda-gangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif
79
Target 8D: Menangani utang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang
83
Target 8F: Bekerjasama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi
85
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1.
Persentase Penduduk yang Hidup di Bawah Garis Kemiskinan, 2001-2014
Gambar 1.2.
Persentase Penduduk Di Bawah Garis Kemiskinan
Gambar 1.3.
Indeks Kedalaman Kemiskinan 2006-2014
Gambar 1.4.
Indeks Kedalaman Kemiskinan menurut Provinsi, 2014
Gambar 1.5.
Rasio Kesempatan Kerja Terhadap Penduduk menurut Provinsi Tahun 2014
Gambar 1.6.
Persentase Penduduk Bekerja yang Berusaha Sendiri, Pekerja Bebas dan Pekerja Keluarga menurut Provinsi, Tahun 2014
Gambar 1.7.
Proporsi Penduduk dengan Asupan < 1400 kkal dan < 2000 kkal, 2011-2014
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
2 2 2 3 4 5 7
v Gambar 1.8.
Proporsi Penduduk dengan Asupan di Bawah 1400 Kkal menurut Provinsi, 2014
7
Gambar 1.9.
Proporsi Penduduk dengan Asupan di Bawah 2000 Kkal menurut Provinsi, 2014
7
Gambar 1.10
Prevalensi Balita dengan Berat Badan Rendah Tahun 1998 -2013
Gambar 1.11.
Prevalensi Balita dengan Berat Badan Rendah menurut Provinsi, 2013
Gambar 2.1
Angka Partisipasi Murni (APM) SD dan Angka Melek Huruf (AMH) Penduduk Berusia 15-24 Tahun, 2001-2014
8 8 12
Gambar 2.2
Angka Melek Huruf Laki-laki dan Perempuan Ber-usia 15-24 Tahun, 20012014
12
Gambar 2.3
Angka Melek Huruf Pen-duduk Berusia 15-24 Tahun menurut Provinsi, 2014
13
Gambar 2.4.
Angka Melek Huruf Laki-laki dan Perempuan Berusia 15-24 Tahun menurut Provinsi, 2014
13
Gambar 3.1.
sio APM Perempuan Terhadap Laki-laki di SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, 2001- 2014
16
Gambar 3.2.
Rasio AMH Perempuan Terhadap Laki-laki Penduduk Berusia 15-24 Tahun, 2001-2014
18
Gambar 3.3.
Rasio AMH Perempuan Terhadap Laki-laki Penduduk Berusia 15-24 Tahun menurut Provinsi, 2014
18
Gambar 3.4.
Konntribusi Perempuan Dalam Pekerjaan Upahan Di Sektor Non- Pertanian 2001-2014
19
Gambar 3.5.
Kontribusi Perempuan Dalam Pekerjaan Upahan di Sektor Non- Pertanian menurut Provinsi, 2014
19
Gambar 3.6.
Persentase Anggota DPR Perempuan pada Periode Pemilu 1950- 2014
Gambar 3.7.
Jumlah Anggota DPR Perempuan Periode 2014-2019 menurut Provinsi
Gambar 3.8.
Jumlah Anggota DPR menurut Partai Politik dan Jenis Kelamin, 2014
Gambar 4.1.
Tren Angka Kematian Neonatal, Bayi, dan Anak Balita 5 Tahun. Sebelum Survei, Tahun 1991-2012 (SDKI), 2013-2014
20 20 22 23
Gambar 4.2.
Penyebab Kematian Bayi dan Kematian Balita (Riskesdas 2007)
Gambar 4.3.
imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan, Indonesia tahun 2007, 2010, dan 2013 (Riskesdas, 2013)
Gambar 4.4.
Mendapatkan Vaksinasi Campak, Berdasarkan Provinsi, Tahun 2014).
Gambar 4.5.
Persen Gizi Kurang dan Stunting pada Anak Balita, Tahun 2007 - 2012
Gambar 4.6.
Proporsi Balita Gizi Kurang, Pendek, Kurus, Gemuk menurut Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2013 (Kemenkes, Riskesdas 2013)
Gambar 5.1
Angka Kematian Ibu Indonesia tahun 1994-2014
Gambar 5.2.
Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Tahun 1995- 2014 (triwulan 1)
Gambar 5.3.
Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan Provinsi 2014
Gambar 5.4.
Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan berbagai Variabel, Tahun 2012
Gambar 5.5.
Disparitas Persalinan di Fasilitas Kesehatan Berdasarkan Berbagai Karakteristik, SDKI 2012
35
Gambar 5.6.
Tren Total Fertility rate (TFR) di Indonesia, tahun 1994-2012
36
26 26 27 28 28 32 33 34 34
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
vi Gambar 5.7.
Tren Angka Prevalensi Penggunaan KB (CPR) modern pada wanita kawin usia 15-49 tahun di Indonesia.
36
Gambar 5.8.
Kunjungan K1 dan K4 antara tahun 1994-2014 (SDKI 2012, Kemenkes 2014* )
37
Gambar 5.9.
Tren Unmet need (persen) di Indonesia tahun 1991- 2012 (SDKI)
Gambar 5.10.
Unmet need metode KB berdasarkan provinsi tahun 2012
Gambar 5.11.
Unmet need terhadap KB berdasarkan alasan pada berbagai karakteristik (SDKI, 2012)
38 38 39
Gambar 6.1
Jumlah kumulatif HIV sampai dengan Desember 2014
Gambar 6.2
Jumlah kumulatif AIDS sampai dengan Desember 2014.
Gambar 6.3
AIDS Case Rate Provinsi dan Nasional sampai dengan Desember 2014
Gambar 6.4
Penggunaan kondom pada populasi berisiko Tahun 2014
Gambar 6.5
Persentase penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS Tahun 2014
Gambar 6.6
Mewujudkan Akses Terhadap Pengobatan HIV dan AIDS bagi Semua yang Membutuhkan
44
Gambar 6.7
Annual Parasite Incidende (API) Malaria di Indonesia Tahun 1990-2014
Gambar 6.8
Annual Parasite Incidende (API) Malaria Per Provinsi di Indonesia dan Peta Endemisitas Tahun 2014
46 47
Gambar 6.9
Perkembangan endemisitas per Kabupaten/Kota pada tahun 2010-2014
Gambar 6.10
Persentase Pengobatan Sesuai Standar Program Malaria tahun 2010- 2014
Gambar 6.11
Proporsi Penggunaan Kelambu Per Provinsi
Gambar 6.12
Angka keberhasilan pengobatan / success rate (SR)
Gambar 6.13
Beban TB dalam rate (per 100.000 penduduk) tahun 1990-2013
Gambar 6.14
Kecenderungan Prevalensi Stroke per 1000*) menurut Provinsi 2007-2013
Gambar 6.15
Prevalensi hipertensi menurut provinsi tahun 2013
Gambar 6.16
Prevalensi penyakit jantung menurut provinsi tahun 2013
Gambar 6.17
Prevalensi penyakit sendi menurut provinsi tahun 2013
Gambar 6.18
Prevalensi asma menurut provinsi tahun 2013
Gambar 6.19
Prevalensi DM menurut provinsi tahun 2013
Gambar 6.20
Prevalensi tumor/ kanker menurut provinsi tahun 2013
Gambar 6.21
Prevalensi cedera menurut provinsi tahun 2013
Gambar 7.1
Persentase Peningkatan/ Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan Tiap Provinsi
Gambar 7.2
Peningkatan/Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan Tiap Pulau
Gambar 7.3
Persentase Peningkatan/ Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan Tiap Pulau
Gambar 7.4
Persentase Peningkatan/ Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan pada Hutan Lindung tiap Provinsi
63
Gambar 7.5
Produksi Perikanan Dibandingkan Dengan Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan (JTB), 2012-2013
66
Gambar 7.6
Kawasan Konservasi Perairan
67
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
42 42 42 43 43
47 47 48 51 52 54 55 55 55 56 56 57 57 61 62 62
vii Gambar 7.7
Luas Kawasan Konservasi, 2003 - 2014
Gambar 7.8
Kecenderungan akses air minum layak(perkotaan dan perdesaan)
Gambar 7.9
Analisis disparitas provinsi, 2011-2013
Gambar 7.10
Disparitas provinsi untuk akses air minum layak (perkotaan dan perdesaaan)
Gambar 7.11
Disparitas perkotaan dan perdesaan 2004- 2013
Gambar 7.12
Analisis disparitas provinsi, 2011-2013
Gambar 7.13
Kecenderungan sanitasi layak (perkotaan dan perdesaan)
Gambar 7.14
Disparitas perkotaan perdesaan 2006-2014
Gambar 7.15
Disparitas provinsi untuk akses sanitasi layak tahun 2013
Gambar 7.16
Disparitas Provinsi Kawasan Kumuh Perkotaan, 2014
Gambar 8.1.
Perkembangan Impor, Ekspor, Pertumbuhan PDB dan Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB
67 70 71 71 72 73 73 74 74 77 80
DAFTAR TABEL Tabel 3.1.
Kesetaran Gender Pendidikan pada Jejang SD, SMP, SMA dan PT di Daerah
Tabel 3.2.
Jumlah Kabupaten/kota menurut Provinsi dan Jumlah Anggota Parlemen Perempuan, 2014
17 21
DAFTAR FOTO Foto 6.1.
Kegiatan Pekan Kelambu Masal di Kawasan Timur Indonesia Tahun 2014
50
DAFTAR SINGKATAN ABAT AIDS
Aku Bangga Aku Tahu Acquired Immune Deficiency Syndrome
AMH
Angka Melek Huruf
AKB
Angka Kematian Bayi
AKBa
Angka Kematian Balita
AKI
Angka Kematian Ibu
APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APM
Angka Partisipasi Murni
API
Annual Parasite Incidence
AP3F
Asia Pacific Project Preparation Fund
ART
Antiretroviral Therapy
ARV
Antiretroviral
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
viii ASEAN
Association of Southeast Asian Nations
BBM
Bahan Bakar Minyak
BLT
Bantuan Langsung Tunai
BNSP
Badan Nasional Setifikasi Profesi
BOE
Barrel of Oil Equivalent
BPO
Bahan Perusak Ozon
BPR
Bank Perkreditan Rakyat
BPS
Badan Pusat Statistik
CAR
Capital Adequacy Ratio
CDR
Case Detection Rate
CFC
Chlorofluorocarbon
CO2
Carbon Dioxide
CPR
Contraceptive Prevalence Rate
CTC
Carbontetrachloride
DPR
Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPT-HB
Diphtheria, Tetanus, Acellular Pertussis, Hepatitis B, and Polio
DRM
Domestic Resources Mobilisation
DSR
Debt Service Ratio
DWG
Development Working Group
GGGI
Global Green Growth Institute
GIF
Global Infrastructure Fund
GPEDC
Global Partnership for Effective Development Cooepration
GWM
Giro Wajib Minimum
HCFC
Hydrochorofluorocarbon
HIV
Human Immunodeficiency Virus
HPK
Hari Pertama Kehidupan
ICE-SDF
Intergovernmental Committee of Experts on Sustainable Development Financing
IMS
Infeksi Menular Seksual
IPG
Indeks Paritas Gender
IUU
Illegal, Unreported and Unregulated
JTB
Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan
KIE
Komunikasi Informasi Edukasi
KKNI
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
KKP
Kementerian Kelautan dan Perikanan
KKPN
Kawasan Konservasi Perairan Nasional
KSST
Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular
K1
Kunjungan Antenatal 1
K4
Kunjungan Antenatal 4
LDCM
The Landsat Data Continuity Mission
LDR
Loan to Deposit Ratio
LSP
Lembaga Sertifikasi Profesi
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
ix LTV
Loan to Value
LPA
Line Prob Assay
MBr
Methyl Bromide
MDGs
Millennium Development Goals
MDR-TB
Multi Drug Resistant-Tuberculosis
MEA
Masyarakat Ekonomi Asean
MTBS
Manajemen Terpadu Balita Sakit
NPL
Non Performing Loan
NTRL
National Tuberculosis Referral Laboratory
ODHA
Orang dengan HIV AIDS
OWG
Open Working Group
PBB
Perserikatan Bangsa Bangsa
PDAM
Perusahaan Daerah Air Minum
PDB
Product Domestic Bruto
PDP
Perawatan dan Dukungan Pengobatan
PEMDA
Pemerintah Daerah
Perda
Peraturan Daerah
PLKB
Petugas Lapangan Keluarga Berencana
PPIA
Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak
PT
Perguruan Tinggi
PONED
Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar
PONEK
Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif
Posbindu PTM
Pos Pembinaan Terpadu PTM
PTM
Penyakit Tidak Menular
P4K
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi
RASKIN
Beras Miskin
Riskesdas
Riset Kesehatan Dasar
Risti
Risiko Tinggi
RPJMD
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RPJMN
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RSU
Rumah Sakit Umum
SDM
Sumber Daya Manusia
SDKI
Survey Demografi Kesehatan Indonesia
SIM
Subscriber Identity Module
SJSN
Sistem Jaminan Sosial Nasional
SKKNI
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
SKN
Sistem Kesehatan Nasional
SMA
Sekolah Menengah Atas
SR
Success Rate
STBP
Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku
SPM
Standar Pelayanan Minimum
Susenas
Survei Sosial Ekonomi Nasional
TAC
Total Allowable Catch
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
x TB
Tuberculosis
TCA
Methyl Chloroform
TIK
Teknologi Informasi dan Komunikasi
TOMA
Tokoh Masyarakat
TOGA
Tokoh Agama
TWP
Taman Wisata Perairan
UKS
Unit Kesehatan Sekolah
USO
Universal Service Obligation
WHO
World Health Organization
WPI
Wilayah Penanganan Intensif
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xi
PENDAHULUAN Komitmen Indonesia untuk mencapai tujuan MDGs mencerminkan komitmen negara untuk menyejahterakan rakyatnya sekaligus menyumbang pada kesejahteraan masyarakat dunia. Berkenaan dengan itu maka MDGs merupakan acuan penting dalam penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan 2010-2014, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahunan, dan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam memenuhi komitmen tersebut Indonesia menghadapi tantangan global yang tidak ringan. Perdagangan bebas, harga minyak yang masih meningkat yang diikuti oleh subsidi BBM yang semakin membengkak, perubahan iklim dan pemanasan global dan dampaknya pada harga pangan yang semakin mahal, mewarnai dinamika sosial dan ekonomi pembangunan nasional.
Capaian Tujuan MDGs 2014 Capaian tujuan MDGs dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, tujuan yang telah berhasil dicapai. Kedua, tujuan yang menunjukkan kemajuan bermakna dan diharapkan dapat dicapai pada atau sebelum tahun 2015. Ketiga, tujuan yang masih memerlukan upaya keras untuk mencapainya. Tujuan-tujuan MDGs yang telah tercapai adalah: •
MDG 1, proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari.
•
MDG 3, Rasio perempuan terhadap laki-laki di tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi; dan rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki umur 15-24 tahun.
•
MDG 6, angka kejadian, prevalensi dan tingkat kematian, serta proporsi jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan, diobati dan disembuhkan dalam program Directly Observed Treatment Short Course (DOTS).
•
MDG 7, Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak dan sanitasi layak di perkotaan.
•
MDG 8, Proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler
Tujuan-tujuan MDGs yang telah menunjukkan kemajuan signifikan dan diharapkan dapat tercapai pada tahun 2015 (on-track) adalah: •
MDG 1, indeks kedalaman kemiskinan, proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja, dan prevalensi balita dengan berat badan rendah/kekurangan gizi.
•
MDG 2, APM SD, proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, serta angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun (perempuan dan laki-laki).
•
MDG 3, kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian dan proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR.
•
MDG 4, Persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak dan Angka Kematian Neonatal per 1000 kelahiran hidup
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xii •
MDG 5, Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih, angka pemakaian kontrasepsi /CPR bagi perempuan menikah usia 15-49 semua cara, cakupan pelayanan antenatal baik 1 maupun 4 kali kunjungan, persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak dan unmet need.
•
MDG 6, Angka kejadian Malaria (per 1.000 penduduk), proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan Antiretroviral (ARV), proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida, angka kejadian, prevalensi, dan tingkat kematian akibat Tuberkulosis, Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dan diobati dalam program DOTS.
•
MDG 7, Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan, Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) dalam metrik ton, proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman, rasio luas kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak, perkotaan dan perdesaan, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak, perkotaan, dan perdesaan.
•
MDG 8, Rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum, dan rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR, rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB dan rasio pembayaran pokok utang dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor (DSR), proporsi penduduk yang memiliki jaringan telepon tetap, proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler.
Tujuan-tujuan MDGs yang telah menunjukkan kemajuan namun masih diperlukan kerja keras untuk mencapainya adalah: •
MDG 1, (i) Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional; (ii) Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum.
•
MDG 4, (iii) Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup; (iv) Angka Kematian Balita per 1000 kelahiran hidup.
•
MDG 5, (v) Angka Kematian Ibu per 100.000 kelahiran hidup.
•
MDG 6, (vi) Prevalensi HIV dan AIDS (persen) dari total populasi; (vii) Proporsi jumlah penduduk usia 1524 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS.
•
MDG 7, (ix) Jumlah emisi karbon dioksida (CO2); (x) Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum layak di perdesaan; (xi) Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak di perdesaan; (xi) Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan.
•
MDG 8, (xii) Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB; (xiii) Proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi; dan (xiv) Proporsi rumah tangga dengan akses internet.
Prestasi pembangunan kesejahteraan yang dicapai oleh Indonesia telah berhasil memperoleh berbagai penghargaan global. Indonesia diundang oleh negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk masuk dalam kelompok negara-negara yang makin ditingkatkan keterlibatannya (enhanced engagement countries) dengan negara-negara maju. Bersama-sama dengan keterlibatan internasional dengan negara-negara maju, Indonesia telah masuk pada forum G-20, yaitu kelompok 20 negara yang menguasai 85 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) dunia, peran serta Indonesia dalam penetapan kebijakan global menjadi sangat penting.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xiii Upaya-Upaya Penting dalam Percepatan Pencapaian MDGs di Indonesia Untuk mempercepat pencapaian sasaran MDGs, presiden telah menetapkan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 Tentang Program Pembangunan yang berkeadilan. Salah satu amanat yang tercantum dalam Inpres tersebut adalah agar setiap kementerian/lembaga, gubernur, dan para bupati/walikota mengambil langkahlangkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka pelaksanaan program-program pembangunan yang berkeadilan, antara lain meliputi program pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals-MDGs). Implementasi dari Inpres No. 3 Tahun 2010 adalah sebagai berikut: 1.
Pengintegrasian tujuan, target, dan indikator MDGs ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran Pemerintah baik di tingkat Pusat, Provinsi, maupun kabupaten/kota baik jangka menengah (5 tahunan) maupun jangka pendek (tahunan).
2.
Penyusunan Peta Jalan Percepatan Pencapaian MDGs di Indonesia 2010 – 2015 yang digunakan sebagai acuan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi berbagai program dan kegiatan dalam rangka percepatan pencapaian MDGs.
3.
Pembentukan Tim Koordinasi MDGs Nasional di bawah koordinasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dengan beranggotakan seluruh Kementerian/Lembaga yang terkait dalam upaya percepatan pencapaian MDGs. Tugas pokok dari tim tersebut adalah bertanggung jawab dalam koordinasi perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi pencapaian sasaran MDGs.
4.
Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) percepatan pencapaian MDGs di 33 Provinsi dengan rangkaian kegiatan sebagai berikut: a.
Penyusunan pedoman teknis Rencana Aksi Daerah (RAD) Provinsi tentang percepatan pencapaian tujuan MDGs untuk memberikan panduan bagi daerah, khususnya provinsi dalam menyusun dokumen rencana aksi percepatan pencapaian target MDGs di daerah, sehingga dapat dihasilkan dokumen rencana aksi yang jelas, operasional dan selaras dengan kebijakan nasional.
b.
Pelaksanaan fasilitasi penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Provinsi oleh Tim Koordinasi MDGs Nasional kepada Tim Koordinasi MDGs Provinsi untuk menyamakan persepsi dalam penyusunan target dan indikator MDGs di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, menyusun langkah-langkah penyusunan RAD MDGs Provinsi, dan melakukan exercise penyusunan draft RAD Percepatan Pencapaian Target MDGs di Provinsi termasuk penyusunan target, sasaran dan indikator.
c.
Penyusunan pedoman teknis Definisi Operasional Indikator MDGs yang berisikan tentang daftar tujuan, target, dan indikator MDGs, konsep definisi, manfaat, metode perhitungan, dan sumber data yang digunakan untuk menyamakan persepsi sehingga data dan informasi MDGs dapat dibandingkan antarprovinsi.
d.
Penyusunan pedoman teknis Review RAD MDGs Provinsi sebagai acuan dalam mereview RAD MDGs Provinsi yang sejalan dengan kebijakan program, dan sasaran MDGs Nasional.
e.
Penyusunan pedoman laporan pencapaian MDGs provinsi untuk memberikan panduan bagi provinsi untuk dapat melaporkan berbagai keberhasilan yang telah dicapai sebagai perwujudan dari komitmen dan kerja keras Pemerintah Daerah dan segenap komponen masyarakat untuk menuju Indonesia yang lebih sejahtera. Disamping itu, laporan ini bertujuan untuk memperkuat ketersediaan data dan informasi mengenai data capaian target MDGs di setiap provinsi sehingga
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xiv dapat dijadikan dasar dalam penyusunan kebijakan/program/kegiatan untuk mempercepat pencapaian MDGs di daerahnya masing-masing. f.
Penyusunan pedoman penyusunan matrik RAD MDGs kabupaten dan kota sebagai panduan bagi kabupaten dan kota untuk menyusun rencana aksi percepatan pencapaian target MDGs di daerah, sehingga dapat dihasilkan suatu produk dokumen rencana aksi yang jelas, operasional dan selaras dengan kebijakan nasional.
g.
Penyusunan pedoman teknis Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan RAD MDGs Provinsi untuk memastikan pelaksanaan program dan kegiatan MDGs yang tertuang didalam RAD MDGs Provinsi sesuai dengan rencana yang ditetapkan, mengidentifikasi dan mengantisipasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan program percepatan pencapaian MDGs sehingga dapat diatasi, dan merumuskan langkah tindak lanjut percepatan pencapaian target MDGs;
5.
Penetapan Surat Edaran Kementerian PPN dan Kemendagri Nomor: 0068/M.PPN/02/2012 dan Nomor: 050/583/SJ tentang Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) Tahun 2011-2015 antara lain untuk mendorong agar daerah menyusun program dan kegiatan serta pengalokasian anggaran dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah agar mengacu pada RAD MDGs di masing-masing provinsi untuk percepatan pencapaian tujuan target dan indikator MDGs.
6.
Peningkatan dukungan pembiayaan untuk percepatan pencapaian MDGs, yaitu : a.
Penyusunan kerangka kebijakan pendanaan percepatan sasaran MDGs melalui Public Private Partnership (PPP) untuk mendorong pihak swasta bermitra dengan Pemerintah dalam upaya percepatan pencapaian MDGs.
b.
Penyusunan pedoman harmonisasi Pelaksanaan Corporate Social Responsibilities (CSR) untuk mensinergikan pelaksanaan kegiatan CSR dengan program dan kegiatan dalam rangka pencapaian MDG yang mencakup upaya (i) pencapaian keselarasan antara tujuan pelaksanaan CSR dengan MDG, (ii) keselarasan targeting atau sasaran kelompok masyarakat, (iii) keselarasan lokasi pelaksanaan CSR dengan lokasi target pencapaian MDG; dan, (iv) keselarasan indikator kinerja yang dipakai dalam pencapaian MDG dengan kegiatan CSR.
7.
Penyusunan pedoman pemberian insentif bagi daerah untuk mendukung percepatan pencapaian MDGs sebagai panduan dalam penetapan, pelaksanaan dan pemantauan pemberian insentif daerah yang memiliki kinerja baik dalam upaya pencapaian tujuan MDGs.
8.
Pelaksanaan diseminasi dan advokasi percepatan pencapaian MDGs kepada seluruh stakeholders meliputi DPR, organisasi profesi, perguruan tinggi, media masa, lembaga swadaya masyarakat, kementerian/lembaga di tingkat Pusat, dan SKPD.
9.
Pemberian MDGs Award dengan tujuan memberikan apresiasi kepada para pemangku kepentingan dan pelaku pembangunan yang telah menghasilkan prestasi terbaik dalam upaya mendorong percepatan pencapaian MDGs di Indonesia dan membangun sistem insentif dan disinsentif berkesinambungan yang dapat menjadi katalis bagi upaya percepatan pencapaian MDGs di Indonesia. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Kantor Utusan Khusus Presiden (KUKP) RI untuk Millennium Development Goals.
10. Penguatan ketersediaan data dan informasi mengenai indikator-indikator MDGs untuk memperkuat sistem perencanaan, monitoring, dan evaluasi kinerja pencapaian MDGs. Kegiatannya merupakan kerjasama antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Kemen PPN/Bappenas.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xv 11. Pelaksanaan MDGs Acceleration Framework (MAF) untuk peningkatan kesehatan ibu di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten, penurunan prevalensi HIV dan AIDS di Provinsi Kepulauan Riau, peningkatan akses air minum layak di Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan peningkatan akses sanitasi layak di Provinsi Bengkulu. 12. Penyusunan dokumen High Level Panel of Eminent Person (HLPEP) yang merupakan gagasan agenda post MDGs 2015 dan Pak Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu co chair bersama Perdana Menteri Inggris dan Presiden Liberia. 13. Persiapan pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs), diantaranya mengintegrasikan sebanyak mungkin indikator SDGs ke dalam RPJMN 2015-2019, menyusun mapping ketersediaan data dan sumber data untuk draft indikator SDGs, melakukan piloting untuk goal governance dalam SDGs, dan melakukan piloting untuk indikator disaster and risk reduction.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xvi
RINGKASAN PENCAPAIAN STATUS MDGs DI INDONESIA
TUJUAN 1: MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN Dalam beberapa tahun belakangan ini, upaya menanggulangi kemiskinan di Indonesia belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Walaupun persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional berhasil diturunkan dari sebesar 15,10 persen di tahun 1990 menjadi sebesar 11,25 persen di tahun 2014, namun penurunan ini masih jauh dari target MDGs sebesar 7,55 persen di tahun 2015. Walaupun demikian indeks kedalaman kemiskinan turun dari sebesar 2,70 di tahun 1990 menjadi sebesar 1,75 persen di tahun 2014. Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja meningkat dari 3,52 persen di tahun 1990 menjadi 5,66 persen di tahun 2013. Namun terjadi penurunan terhadap rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas dari 65,00 persen di tahun 1990 menjadi 62,64 persen di tahun 2014. Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri, pekerja bebas dan pekerja keluarga terhadap total pekerja juga menurun dari 71 persen di tahun 1990 menjadi 42.57 persen di tahun 2014. Walaupun perubahannya tidak signifikan, terjadi pertambahan proporsi penduduk yang menderita kelaparan dari tahun 1990 ke tahun 2014. Kondisi ini ditunjukkan dengan naiknya proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi 1400 kkal/kapita/hari dari 17,00 persen di tahun 1990 menjadi 17,39 persen di tahun 2014.
TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA Pendidikan dasar untuk semua yang merupakan Tujuan 2 MDGs, sudah diupayakan di Indonesia sejak dicanangkannya Wajib Belajar Sembilan Tahun pada tahun 1994. Pencapaian Tujuan 2 tersebut belum sepenuhnya dapat terwujud. Pada tahun 2013/2014 angka partisipasi murni SD/sederajat baru mencapai 96.0 persen. Capaian ini masih jauh dari target MDGs sebesar 100 persen. Kemudian, capaian proporsi murid kelas I yang berhasil mencapai Kelas VI sudah lebih baik, yaitu 96,57 persen (pada tahun 2013/2014). Dari 3 indikator untuk menilai capaian Tujuan 2, capaian yang paling baik ditunjukkan oleh angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun yang pada tahun 2014 sudah mencapai 98,88 persen dengan kelompok laki-laki dan perempuan yang hampir tidak ada bedanya.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xvii
TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
Upaya mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, sesuai dengan target MDGs tahun 2015 hampir seluruhnya sudah dicapai pada tahun 2014. Capaian indikator yang pertama, yaitu berkaitan dengan pendidikan terdiri dari a) Rasio APM perempuan terhadap laki-laki, baik pada jenjang SD, SMP maupun SMA sudah diposisi sekitar target MDGs 100 persen, dan b) Rasio AMH penduduk berusia 15-24 tahun juga sudah mendekati 100 persen yang berarti bahwa kesetaraan gender bidang pendidikan telah terwujud. Walaupun begitu rasio APM perempuan terhadap laki-laki di perguruan tinggi yang sebesar 112,01 persen di tahun 2014 memberi indikasi menurunnya minat kelompok laki-laki di perguruan tinggi dan ini perlu diseimbangkan. Di bidang ketenagakerjaan, terjadi peningkatan sedikit pada kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian. Kontribusi perempuan dalam kelompok pekerjaan tersebut sudah lebih tinggi (35,53 persen) dibandingkan tahun 1990 yang hanya 29,24 persen. Hal ini berarti bahwa jenis pekerjaan tersebut masih didominasi laki-laki. Di bidang politik, di tahun 2014 proporsi kursi yang duduki perempuan mengalami penurunan dibandingkan hasil Pemilu yang lalu dari 18,4 persen menjadi 17,3 persen, sudah lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 1990 yang hanya sebesar 12,5 persen. Walaupun sudah ada peningkatan peran perempuan di DPR, namun hal ini belum memenuhi quota 30 persen seperti yang diharapkan.
TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK Upaya untuk menurunkan angka kematian anak masih memerlukan kerja keras untuk mencapaianya di tahun 2015. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan angka kematian balita dari 97 (tahun 1991) menjadi 40 per seribu kelahiran hidup (tahun 2012); penurunan angka kematian bayi dari 68 menjadi 32 per seribu kelahiran; dan neonatal dari 32 menjadi 19 per seribu kelahiran. Sedangkan proporsi anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak meningkat dari 44,50 persen (tahun 1991) menjadi 89,42 persen (tahun 2014).
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xviii
TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih telah berhasil ditingkatkan dari 40,70 persen (tahun 1992) menjadi 83,10 persen (tahun 2012), namun di sisi lain angka kematian ibu baru dapat ditekan dari 390 (tahun 1991) menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup (tahun 2012). Sementara itu angka pemakaian kontrasepsi bagi perempuan menikah usia 15-49 tahun dengan cara modern meningkat dari 47,10 persen (tahun 1991) menjadi 57,90 persen (tahun 2012).
TUJUAN 6: MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Upaya mengendalikan penyebaran, menurunkan jumlah kasus baru dan mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDS masih memerlukan upaya keras, inovatif, dan kreatif untuk mencapainya. Prevalensi HIV dan AIDS masih cukup tinggi yaitu 0,46 persen pada tahun 2014. Selain itu, akses terhadap ARV sudah mencapai 96,01 persen (tahun 2014) dari penduduk terinfeksi HIV dan AIDs lanjut. Angka kejadian malaria menurun pesat dari 4,68 (tahun 1990) menjadi 0,99 per 1.000 penduduk pada tahun 2014. Sementara itu, angka kejadian Tuberkulosis sudah berhasil mencapai target MDGs 2015 yaitu dari 343 (1990) menjadi 183 kasus per 100.000 penduduk/tahun (2013).
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xix
TUJUAN 7:
MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Sebagian besar sasaran untuk memastikan kelestarian lingkungan hidup masih memerlukan upaya keras untuk mencapainya. Rasio luas kawasan tertutup pepohonan terhadap luas daratan meningkat dari 59,97 persen pada tahun 1990 menjadi 66,00 persen pada 2013, sedangkan jumlah emisi CO2 meningkat dari 247.522 Gg CO2e (2000) menjadi 356.823 GgCO2e (2008). Lebih lanjut, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak meningkat dari 37,73 persen (1993) menjadi 68,87 persen (2014), sedangkan untuk fasilitasi sanitasi dasar layak dari 24,81 persen (1993) menjadi 61,04 persen (2014).
TUJUAN 8: MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN Sistem keuangan dan perdagangan Indonesia kini semakin terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif. Hal ini diukur dari indikator keterbukaan ekonomi yang ditunjukkan dengan peningkatan rasio ekspor dan impor terhadap PDB dari 41,60 persen tahun 1990 menjadi 39,96 persen tahun 2014. Sedangkan rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB menurun dari 24,59 persen pada tahun 1996 menjadi 6,4 persen pada tahun 2014. Proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler meningkat dari 14,79 persen pada tahun 2004 menjadi 87,07 persen pada tahun 2013. Namun pada tahun 2014 proporsi rumah tangga dengan akses internet baru mencapai 36,45 persen dan proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi baru mencapai 17,75 persen pada tahun 2013.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xx
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xxi
TINJAUAN STATUS PENCAPAIAN MDGs DI INDONESIA Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
Acuan Dasar
Indikator
Saat Ini
Target MDGs 2015
Status
Sumber
TUJUAN 1. MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN Target 1A: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari USD 1 (PPP) per hari dalam kurun waktu 1990-2015 Proporsi penduduk dengan pendapatan 1.1
kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari
1.1a
1.2
20,60% (1990)
Persentase penduduk yang hidup di
15,10%
bawah garis kemiskinan nasional
(1990) 2,70%
Indeks Kedalaman Kemiskinan
(1990)
5,90% (2008)
Bank Dunia
10,30%
●
7,55%
▼
BPS, Susenas
Berkurang
►
BPS, Susenas
dan BPS
11,25% (2014) 1,75% (2014)
Target 1B: Mewujudkan kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk perempuan dan kaum muda 1.4
1.5
Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja
Rasio
kesempatan
kerja
terhadap
penduduk usia 15 tahun ke atas
3,52% (1990)
Nasional
(2013)
dan Sakernas
62,64% 65% (1990)
(2014)
Proporsi tenaga kerja yang berusaha 1.7
BPS,PDB
5,66%
BPS, Sakernas
42,57%
sendiri dan pekerja bebas keluarga 71% (1990)
Menurun
►
(2014)
terhadap total kesempatan kerja
Target 1C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 1990-2015 1.8
Prevalensi balita dengan berat badan
31,00%
rendah / kekurangan gizi
(1989)* 7,20%
1.8a Prevalensi balita gizi buruk
(1989)* 23,80%
1.8b Prevalensi balita gizi kurang 1.9
(1989)*
Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum: -
-
1400 Kkal/kapita/hari
2000 Kkal/kapita/hari
19,60% (2013) **
15,50%
►
3,60%
►
*BPS, Susenas
5,70% (2013) ** 13,90% (2013) **
Riskesdas 11,90%
17,00% (1990) 64,21% (1990)
**Kemenkes
► q
17,39% 8,50% (2014)
BPS, Susenas
66,96% 35,32% (2014)
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xxii Acuan Dasar
Indikator
Saat Ini
Target MDGs 2015
Status
Sumber
TUJUAN 2: MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA Target 2A: Menjamin pada 2015 semua anak-anak, laki-laki maupun perempuan di manapun dapat menyelesaikan pendidikan dasar 2.1
2.2. 2.3
96,00%
Angka Partisipasi Murni (APM) sekolah
88,70%
dasar
(1992)*
Proporsi murid kelas 1 yang berhasil
62,00%
96,57%
menamatkan sekolah dasar
(1990)
(2013/2014)
Angka melek huruf penduduk usia 15-24
96,60%
tahun, perempuan dan laki-laki
(1990)
(2013/2014)**
98,88% (2014)
*BPS, Susenas 100,00%
► **Kemdikbud
100,00%
►
Kemdikbud
100,00%
►
BPS, Susenas
TUJUAN 3: MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Target 3A: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015 Rasio perempuan terhadap laki-laki di 3.1
tingkat pendidikan dasar, menengah dan
99,28% (2014)
100,00
●
104,10%(2014)
100,00
●
103,28%(2014)
100,00
●
112,01%(2014)
100,00
●
100,00
●
35,53%(2014)
Meningkat
►
BPS, Sakernas
17,32%(2014)
Meningkat
►
KPU
tinggi 100,27%
- Rasio APM perempuan/laki-laki di SD
- Rasio APM perempuan/laki-laki di SMP
3.1a 3.2 3.3
(1993)
- Rasio APM perempuan/laki-laki di
99,86% (1993) 93,67%
SMA - Rasio
(1993) APM
perempuan/laki-laki
di
74,06%
Perguruan Tinggi
(1993)
Rasio melek huruf perempuan terhadap
98,44%
laki-laki pada kelompok usia 15-24 tahun
(1993)
Kontribusi perempuan dalam pekerjaan
29,24%
upahan di sektor nonpertanian
(1990)
Proporsi kursi yang diduduki perempuan
12,50%
di DPR
(1990)
100,34%(2014)
BPS, Susenas
TUJUAN 4: MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK Target 4A: Menurunkan Angka Kematian Balita (AKBA) hingga dua per tiga dalam kurun waktu 1990-2015 4.1 4.2 4.2a 4.3
Angka Kematian Balita per 1000 kelahiran hidup Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup Angka Kematian Neonatal per 1000 kelahiran hidup
97 (1991)
40 (2012)
32
▼
68 (1991)
32 (2012)
23
▼
32 (1991)
19 (2012)
Menurun
►
89,42 % (2014)*
Meningkat
►
Persentase anak usia 1 tahun yang
44,50%
diimunisasi campak
(1991)
BPS, SDKI *BPS, Susenas
TUJUAN 5: MENINGKATKAN KESEHATAN IBU Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015 5.1
Angka Kematian Ibu per 100,000 kelahiran hidup
390 (1991)
359 (2012)
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
102
▼
BPS, SDKI
xxiii Acuan Dasar
Indikator 5.2
Target MDGs 2015
Status
Meningkat
►
Meningkat
►
Meningkat
►
Menurun
►
Saat Ini
Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga
40,70%
86,89%
kesehatan terlatih
(1992)
(2014)*
Sumber BPS, Susenas
Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015 Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) bagi 5.3
perempuan menikah usia 15-49, semua cara Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) pada
5.3a perempuan menikah usia 15-49 tahun, cara modern
49,70%
61,17 %
(1991)
(2014)*
47,10% (1991)
60,18 % (2014)*
Angka kelahiran remaja (perempuan usia 5.4
15-19 tahun) per 1000 perempuan usia
67 (1991)
48 (2012)
15-19 tahun
BPS, SDKI
Cakupan pelayanan Antenatal (sedikitnya 5.5
1991, 2012
satu kali kunjungan dan empat kali kunjungan)
5.6
-
1 kunjungan:
-
4 kunjungan:
Unmet
Need
75,00%
(kebutuhan
keluarga
berencana/KB yang tidak terpenuhi)
93,76 % (2014) **
56,00%
85,72 %
(1991)
(2014) **
12,70%
11,4%
(1991)
(2012)
Meningkat
► ►
Menurun
►
TUJUAN 6: MEMERANGI HIV dan AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS hingga tahun 2015 6.1
Prevalensi HIV dan AIDS (persen) dari total populasi
-
0,46% (2014)
Menurun
▼
Kemenkes *BPS,
6.2
Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi terakhir
12,80% (2002/03)*
SKRRI 43,52% (2013)**
Meningkat
►
2002/2003 **STBP, Kemenkes
Proporsi jumlah penduduk usia 156.3
24 tahun yang memiliki pengetahuan
-
21,3% (2014)
Meningkat
▼
komprehensif tentang HIV dan AIDS
Kemenkes, Riskesdas
Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV dan AIDs bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010 Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut 6.5
yang memiliki akses pada obat-obatan
-
86.93% (2014)
Meningkat
►
Kemenkes
antiretroviral Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015 6.6 6.7
Angka kejadian dan tingkat kematian akibat Malaria
(1990)
Proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida
4,68
-
0,99 (2014)
Menurun
●
34,80% (2013)
Meningkat
▼
Kemenkes, Riskesdas Kemenkes, Riskesdas
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xxiv
Indikator
Acuan Dasar
Saat Ini
Target MDGs 2015
Status
-
34,70% (2010)
Meningkat
▼
Proporsi anak balita dengan demam 6.8
yang diobati dengan obat anti malaria yang tepat
Sumber Kemenkes, Riskesdas
Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015 6.9
6.9a
Angka kejadian, prevalensi dan tingkat kematian akibat Tuberkulosis Angka kejadian Tuberkulosis (semua kasus/100.000 penduduk/tahun)
343 (1990)
6.9b
Tingkat prevalensi Tuberkulosis (per 100.000 penduduk)
443 (1990)
6.9c
Tingkat kematian karena Tuberkulosis (per 100.000 penduduk)
92 (1990)
6.10
Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dan diobati dalam program DOTS
Dihentikan, mulai berkurang
183 (2013)
● Laporan TB
272
●
(2013) 25
Global WHO
●
(2013)
6.10a
Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dalam program DOTS
20,00%
70 %
(2000)*
( 2014)
6.10b
Proporsi kasus Tuberkulosis yang diobati dan sembuh dalam program DOTS
87,00%
89,7%*
(2000)*
(2014)
70,0%
●
85,0%
●
*Laporan TB Global WHO **Laporan Kemenkes
TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkesinambungan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumberdaya lingkungan yang hilang Rasio luas kawasan tertutup pepohonan 7.1
berdasarkan hasil pemotretan citra
59,97%
satelit dan survei foto udara terhadap
(1990)
66 % (2014)
Meningkat
►
Kementerian Kehutanan
luas daratan 1,791,372 Gg 247.522 7.2
Jumlah emisi karbon dioksida (CO2)
Gg CO2e (2000)
CO e (2005)* 2
339.426 Gg CO e (2005)**
7.2a.
kapita)
2,64 BOE (1991) 5,28 SBM/
7.2b. Intensitas Energi
USD 1,000 (1990)
7.2c. Elastisitas Energi 7.2d. Bauran energi untuk energi terbarukan
0,98 (1991) 3,50% (2000)
B e r ku ra n g 26%
pada
tahun 2015
Kementerian ▼
Lingkungan Hidup
356.823Gg CO e (2008)**
Jumlah konsumsi energi primer (per
2
2
B e r ku ra n g 3,46 (2012)
dari kondisi BAU 6,99
1,00 BOE/USD 1.000 (2012) 1.6 (2010) 6,00% (2012)
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
Menurun Menurun -
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
xxv Acuan Dasar
Saat Ini
8.332,7
CTC, TCA, metil
metric tons
bromida 6,689.21
(1992)
metrik ton HCFC
Indikator
0 CFC, Halon, 7.3
Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) dalam metrik ton
(2010) 7.4
Proporsi tangkapan ikan yang berada
66,08%
dalam batasan biologis yang aman
(1998)
Rasio luas kawasan lindung untuk 7.5
menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan
26,40% (1990)
93,54% (2013)
42% (2014)
Target MDGs 2015 0
Status
CFCs
sementara HCFCs
Kementerian ►
ter-
lampaui
Meningkat
Lingkungan Hidup
menurun Tidak
Sumber
Kementerian ►
Kelautan & Perikanan
►
Kementerian Kehutanan *Kementerian Kehutanan
7.6
Rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial
0,14% (1990)*
5,1% (2012)
Meningkat
►
** Kementerian Kelautan & Perikanan
Target 7C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak hingga tahun 2015 Proporsi rumah tangga dengan akses 7.8
berkelanjutan terhadap air minum layak, perkotaan dan perdesaan
(1993) 50,58%
7.8a Perkotaan
(1993) 31,61%
7.8b Perdesaan
(1993)
Proporsi rumah tangga dengan akses 7.9
37,73%
berkelanjutan terhadap sanitasi layak, perkotaan dan perdesaan
24,81% (1993) 53,64%
7.9a Perkotaan
(1993) 11,10%
7.9b Perdesaan
(1993)
68.36 68.87%
►
75.29%
●
65.81%
▼
(2014) 80.72 (2014) 56.09 (2014) 61,04% (2014)
BPS, Susenas 62.41%
►
76.82%
►
55.55%
▼
76,75% (2014) 45,45% (2014)
Target 7D:Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun 2020 7.10
Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan
20,75% (1993)
9,12% (2014)
6% (2020)
▼
BPS, Susenas
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
xxvi Acuan Dasar
Indikator
Saat Ini
Target MDGs 2015
Status
Sumber
TUJUAN 8: MENGEMBANGKAN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN Target 8A: Mengembangan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif 8.6a
8.6b
8.6c
Rasio Ekspor + Impor terhadap PDB
41,60%
(indikator keterbukaan ekonomi)
(1990)*
Rasio pinjaman terhadap simpanan di
45,80%
bank umum
(2000)*
Rasio pinjaman terhadap simpanan di
101,30%
BPR
(2003)*
*BPS dan
39,96%** Meningkat
▼
(2014)
Bank Dunia **BPS
88,7% Meningkat
►
(2014)
Bank Indonesia
124,45% Meningkat
►
(2014)
Target 8D: Menangani utang negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang 8.12
Rasio pinjaman luar negeri terhadap PDB Rasio pembayaran pokok utang dan
8.12a bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor (DSR)
24,59% (1996) 51,00% (1996)*
6,4% (2014)
Berkurang
►
Kementerian Keuangan Kementerian
3,8% Berkurang
►
(2014)
Keuangan dan Bank Indonesia
Target 8F: Bekerja sama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi 8.14
Proporsi
penduduk
jaringan
PSTN
yang
(kepadatan
memiliki fasilitas
telepon per jumlah penduduk)
8.15
8.16 8.16a
Proporsi
penduduk
yang
memiliki
telepon seluler Proporsi rumah tangga dengan akses internet Proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi
4,02% (2004)
14,79%
Kementerian 5,57% (2014)
Meningkat
►
dan 87,07% (2014)
100,00%
►
-
36,45% (2014)
50,00%
▼
-
17,75% (2014)
Meningkat
▼
(2004)
Komunikasi
Informatika
BPS, Susenas
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
TUJUAN 1 MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN
Sumber: PNPM Facility
1
TUJUAN 1 MENANGGULANGI KEMISKINAN DAN KELAPARAN
TARGET 1A
MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI PENDUDUK DENGAN TINGKAT PENDAPATAN KURANG DARI USD 1,00 (PPP) PER HARI DALAM KURUN WAKTU 1990-2015 Indikator
1.1 1.1a 1.2
Proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari USD 1,00 (PPP) per kapita per hari Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional Indeks Kedalaman Kemiskinan
Acuan dasar
Saat ini
Target MDGs 2015
Status
20,60% (1990)
5,90% (2008)
10,30%
●
Bank Dunia dan BPS
15,10% (1990) 2,70% (1990)
11,25% (2014) 1,75% (2014)
7,55%
▼
BPS, Susenas
Berkurang
►
BPS, Susenas
Sumber
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar yang di Indonesia diukur dengan pendekatan pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Pada tahun 2014 penduduk yang hidup dalam kelompok tersebut adalah sebesar 11,25 persen.Dalam kurun waktu 25 tahun persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional hanya turun 3,85 persen dari 15,10 persen di tahun 1990. Ini menunjukkan bahwa untuk mencapai target MDGs 7,55 persen di tahun 2015 bukan hal yang mudah, masih perlu upaya yang keras. Meskipun demikian, indeks kedalaman kemiskinan berhasil diturunkan dari 2,70 persen di tahun 1990 menjadi 1,75 persen di tahun 2014.Target MDGs tahun 2015 agar indeks kedalaman kemiskinan berkurang telah tercapai. Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan mengalami kecenderungan menurun. Penurunan persentase penduduk miskin terus terjadi sampai dengan tahun 2005. Kenaikan harga-harga yang dipicu oleh kenaikan harga BBM di tahun 2005 dari Rp. 1810 menjadi Rp. 2400 pada bulan Maret 2005 dan naik lagi menjadi Rp. 4500 pada bulan Oktober 2005 berdampak pada bertambahnya penduduk miskin di tahun 2006. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya persentase penduduk menjadi 17,75 persen di tahun 2006. Berkat upaya-upaya seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan beras untuk keluarga miskin (Raskin), kemiskinan dapat dikurangi dan berkurangnya penduduk miskin berlanjut higga tahun 2014 menjadi 11,25 persen (lihat Gambar 1.1). Di tingkat provinsi persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan bervariasi. Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah yang persentase penduduk miskinnya paling rendah yakni 3,92 persen. Selain provinsi ini, terdapat beberapa provinsi lain yang sudah dapat memenuhi target MGDs yaitu 7,55 persen di tahun 2015.Provinsi tersebut adalah Bali, Kalimantan Selatan, Banten, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Sumatera Barat (lihat Gambar 1.2). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
2
Gambar1.1 Persentase Penduduk yang Hidup di Bawah Garis Kemiskinan, 2001-2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, Series Kemiskinan Provinsi, 2009-2014, Kemiskinan Indonesia 19702014
Gambar 1.2 Persentase Penduduk Di Bawah Garis Kemiskinan menurut Provinsi, 2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, Seri Data Kemiskinan Provinsi, 2009-2014,
Bila dilihat dari indikator kedalaman kemiskinan, kesejahteraan penduduk mengalami perbaikan. Hal ini ditunjukkan dengan turunnya indeks kedalaman kemiskinan, tingkat kesejahteraan sempat memburuk di tahun 2006 dan tahun 2007 yang dipicuoleh kenaikan harga BBM dua kali di tahun 2005. Tampak pada Gambar 1.3 bahwa terjadi kenaikan indeks kedalaman kemiskinan menjadi 2,90 di tahun 2006 dan menjadi 3,43 di tahun 2007, namun mulai turun di tahun 2008 hingga tahun 2014 (1,75).
Gambar1.3 Indeks Kedalaman Kemiskinan 2006-2014 Sumber:Badan Pusat Statistik, Series Kemiskinan Provinsi 2004-2013, Series Kemiskinan Provinsi 2009-2014.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
3
Gambar 1.4 Indeks Kedalaman Kemiskinan menurut Provinsi, 2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, Series Kemiskinan Indonesia 2009-2014
Kesejahteraan penduduk untuk masing-masing provinsi bervariasi. Penduduk DKI Jakarta merupakan penduduk yang kesejahteraan terbaik dan Papua terrendah (karena dipengaruhi oleh kemiskinan di daerah pedesaan). Tampak pada Gambar 1.4 bahwa indeks kedalaman kemiskianan DKI Jakarta terrendah (0.39) dan Papua tertinggi (6.84).
UPAYA PENTING UNTUK MEMPERCEPAT PENCAPAIAN MDGs Agar upaya menurunkan angka kemiskinan, pada tahun 2015 sebesar 9 – 10 persen dapat diwujudkan, arah kebijakan dan strategi keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan harus didukung dengan kebijakan ekonomi, kebijakan afirmatif program penanggulangan kemiskinan, dan diperkuat dengan regulasi, sistem dan prosedur, serta data yang menunjang. Dengan demikian kebijakan penanggulangan kemiskinan akan diarahkan pada: 1. Penyempurnaan dan pengembangan sistem perlindungan sosial yang komprehensif melalui: (i) Peningkatan pelaksanaan program-program bantuan sosial reguler ; (ii) Peningkatan dan perbaikan pelaksanaan bantuan sosial temporer meliputi, antara lain, transformasi bantuan beras untuk rumah tangga miskin (Raskin). 2. Peningkatan pelayanan dasar bagi masyarakat miskin dan rentan melalui: (i) peningkatan akses dan kualitas pelayanan dasar termasuk pelayanan administrasi kependudukan, pelayanan kesehatan dasar, pendidikan dan infrastruktur dasar terutama di wilayah kantong- kantong kemiskinan, (ii) penguatan kelembagaan dan sistem pelayanan publik yang berdasarkan akuntabilitas dan berpihak pada masyarakat miskin dan rentan, (iii) pemberdayaan penduduk miskin dalam pendataan sasaran, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi kualitas pelayanan dasar, (iv) pengembangan model dan sistem koordinasi dan pengelolaan antar-program sektoral di tingkat masyarakat terutama di wilayah kantongkantong kemiskinan, (v) pengembangan sistem insentif bagi penyedia layanan untuk melayani penduduk miskin dan rentan. 3. Kebutuhan untuk meningkatkan sinergi dan manfaat dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan pemberdayaan UMK dan koperasi yang semula menjadi bagian dari Klaster 3 Program Penanggulangan Kemiskinan akan dilanjutkan, namun ditransformasikan menjadi bagian dari kebijakan afirmatif yang dilaksanakan melalui strategi pengembangan penghidupan. Strategi ini mencakup berbagai dukungan untuk meningkatkan aset finansial UMK dalam rangka mengembangkan kegiatan ekonomi produktif skala mikro dan kecil bagi masyarakat miskin dan rentan. Kegiatan - kegiatan utamanya diarahkan untuk meningkatkan akses ke pembiayaan usaha, peningkatan kapasitas SDM, dukungan akses dan integrasi ke pasar, serta penguatan kelembagaan. 4. Pembenahan aspek kelembagaan penanggulangan kemiskinan melalui harmonisasi regulasi dan program penanggulangan kemiskinan, baik secara horizontal (antar kementerian/lembaga) maupun vertikal (antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah).
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
4 TARGET 1B
MENCIPTAKAN KESEMPATAN KERJA PENUH DAN PRODUKTIF DAN PEKERJAAN YANG LAYAK UNTUK SEMUA, TERMASUK PEREMPUAN DAN KAUM MUDA Indikator
Acuan dasar
Saat ini
Target MDGs 2015
1.4
Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja
3,52% (1990)
5,66% (2013)
-
1.5
Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia 15 tahun ke atas
65,00% (1990)
62,64% (2014)
-
1.7
Proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja
71,00% (1990)
42,57% (2014)
Menurun
Status
Sumber PDB Nasional dan Sakernas
BPS, Sakernas ►
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Dalam memantau perkembangan ketenagakerjaan digunakan indikator laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja, rasio kesempatan kerja terhadap penduduk berusia 15 tahun ke atas, dan proprosi tenaga kerja yang berusaha sendiri, pekerja bebas dan keluarga terhadap total pekerja. Laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja mengalami perbaikan. Tampak pada Tabel 1.2 bahwa indikator laju pertumbuhan PDB per tenaga kerja meningkat dari 3,52 pada tahun 1990 menjadi 5,66 di tahun 2013. Walaupun demikian rasio kesempatan kerja turun dari 65,00 persen di tahun 1990 menjadi 62,64 di tahun 2014. Sedangkan proprosi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja juga mengalami penurunan, yakni dari 71,00 persen di tahun 1990 menjadi 42,57 persen di tahun 2014.
Gambar 1.5 Rasio Kesempatan Kerja Terhadap Penduduk menurut Provinsi Tahun 2014 Sumber: BPS, Sakernas 2014, diolah
Di tingkat provinsi rasio kesempatan kerja bervariasi. Tampak pada Gambar 1.5 bahwa rasio kesempatan kerja di Provinsi Maluku adalah sebesar 54,52 persen (terrendah) dan di Provinsi Papua adalah sebesar 75,76 persen (tertinggi). Hal ini perlu diimbangi dengan informasi tentang indikator yang terkait erat dengan kegiatan di sektor informal, yaitu proporsi yang berusaha sendiri, pekerja bebas dan pekerja keluarga. Proporsi yang terendah terdapat di DKI Jakarta (22,79 persen) dan tertinggi di Papua dengan proporsi sebesar 55,58 persen (lihat Gambar 1.6)
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
5
Gambar 1.6 Persentase Penduduk Bekerja yang Berusaha Sendiri, Pekerja Bebas dan Pekerja Keluarga menurut Provinsi, Tahun 2014 Sumber: BPS, Sakernas 2014, diolah.
UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Arah kebijakan dan strategi untuk meningkatnya daya saing tenaga kerja dapat dilakukan, antara lain, dengan : 1. Mengembangkan program kemitraan antara pemerintah dengan dunia usaha/industri, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, untuk peningkatkan kualitas tenaga kerja yang mencakup empat aspek, yaitu: (a) pengembangan standard kompetensi oleh pihak pengguna terutama asosiasi industri dan asosiasi profesi dan bersifat dinamis sesuai perkembangan iptek dan kebutuhan industri; (b) pengembangan program pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi melalui kurikulum dan modul pelatihan yang mengacu kepada standar yang dikembangkan industri, merekrut instruktur yang memiliki sertifikat kompetensi sebagai tanda penguasaan materi, (c) pengembangan sertifikasi kompetensi melalui uji kompetensi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang dilisensi oleh BNSP, dan sertifikat kompetensi memiliki masa berlaku (validitas) sesuai ketentuan bidang profesi masing-masing, dan pengembangan kesempatan kerja. 2. Harmonisasi standardisasi dan sertifikasi kompetensi melalui kerjasama lintas-sektor, lintas-daerah dan lintas-negara mitra bisnis, dalam kerangka keterbukaan pasar. Dalam rangka menunjang pemenuhan tenaga kerja kompeten di sektor/sub-sektor pembangunan, khususnya yang telah disepakati dalam MEA 2015 dan 22 kegiatan ekonomi utama dalam 6 koridor ekonomi, strategi yang dilakukan adalah: a) Penyusunan pedoman teknis registrasi standar kompetensi internasional dan standar khusus, agar standar yang telah setara dengan SKKNI dapat diproses, untuk memperoleh rekognisi antar negara dan antar sistem untuk memastikan kesetaraan, dan b) Pemetaan area kompetensi 8 bidang yang telah mencapai MRA dengan SKKNI yang telah ditetapkan, dengan menyusun standar yang perlu dikembangkan. 3. Identifikasi bidang-bidang keahlian baru sesuai kecenderungan global, yang perlu diantisipasi menjadi bidang baru yang akan ditetapkan dalam MEA. 4. Pengembangan program pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi melalui KKNI, okupasi, dan pemaketan klaster dan unit kompetensi. 5. Penguatan kelembagaan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi melalui standardisasi sistem kelembagaan dan standardisasi sarana dan prasarana kelembagaan pendidikan dan pelatihan kerja. 6. Pengelolaan manajemen lembaga pelatihan dan program pelatihan yang komprehensif di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. 7. Fasilitasi pembentukan lembaga sertifikasi profesi (LSP) kepada asosiasi industri dan LSP terlisensi dalam rangka pelaksanaan uji kompetensi untuk percepatan sertifikasi. 8. Penerapan kerjasama saling pengakuan dalam sistem logistik nasional, sistem latihan kerja nasional, dan sistem pendidikan nasional. 9. Pengembangan sistem pengendalian mutu sistem sertifikasi dan sistem pengendalian pelaksanaan sertifikasi. 10. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
6 TARGET 1C
MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI PENDUDUK YANG MENDERITA KELAPARAN DALAM KURUN WAKTU 1990-2015 Indikator
Acuan dasar
Prevalensi balita dengan berat badan rendah/ kekurangan gizi
31,00% (1989)*
1.8.a.
Prevalensi balita gizi buruk
7,20% (1989)*
1.8.b.
Prevalensi balita gizi kurang
23,80% (1989)*
1.9
Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum
1.8.
Saat ini 19,60% (2013) ** 5,70% (2013) ** 13,90% (2013) **
Target MDGs 2015
Status
15,50%
►
3,60%
►
11,90%
►
- 1.400 Kkal/kapita/hari
17,00% (1990)
17,39% (2014)
8,50%
- 2.000 Kkal/kapita/hari
64,21% (1990)
66,96% (2014)
35,32%
Sumber
* BPS, Susenas ** Kemenkes, Riskesdas
BPS, Susenas
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Salah satu indikator untuk melihat capaian penanggulangan kelaparan adalah status gizi balita yang juga merupakan indikator kesehatan. Status gizi balita mengalami perbaikan, namun belum mencapai target MDGs.Tampak pada Tabel 1.3 bahwa prevalensi balita dengan berat badan rendah adalah sebesar 19,6 persen yang terdiri dari 5,7 persen balita dengan gizi buruk dan 13,9 persen berstatus gizi kurang. Dibandingkan dengan tahun 1989 terjadi sedikit perbaikan pada balita kekurangan gizi. Prevalensi Balita dengan berat badan rendah di tahun 1989 adalah sebesar 31 persen yang terdiri atas 23,80 persen gizi buruk dan 7,20 persen gizi kurang. Meskipun terjadi perbaikan namun masih belum dapat mencapai target MDGs 15.50 persen balita kekurangan gizi pada tahun 2015. Asupan kalori dapat menjadi salah satu indikator kelaparan. Pada 2014 proporsi penduduk dengan asupan kalori harian di bawah 2.000 kkal dan 1.400 kkl per hari secara nasional adalah 66,96 persen dan 17,39 persen, lebih buruk sedikit dibandingkan dengan tahun 1990, yakni 64,21 persen dan 17,00 persen. Masih jauh dari target MDGs untuk dapat dicapai pada tahun 2015. Dengan melihat waktu yang tinggal satu tahun lagi, status gizi balita dan asupan kalori perlu perhatian yang lebih khusus lagi. Kondisi rawan pangan dapat dibedakan berdasarkan waktunya yaitu rawan pangan kronis dan rawan pangan transien. Rawan pangan kronis adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi standar minimum kebutuhan pangan anggotanya pada periode lama karena keterbatasan kepemilikan lahan, aset produktif, dan kekurangan pendapatan. Sedangkan rawan pangan transien adalah suatu keadaan rawan pangan yang bersifat mendadak dan sementara yang disebabkan oleh perbuatan manusia maupun bencana alam. Kerawanan pangan di Indonesia dapat diketahui dari tingkat kecukupan gizi masyarakat yang diukur dari asupan kalori/kapita/hari. Kecukupan konsumsi kalori penduduk Indonesia per kapita per hari sempat naik cukup besar di tahun 2012 dan turun secara perlahan sampai dengan tahun 2014. Tampak pada Gambar 1.7 bahwa proporsi penduduk dengan asupan kalori < 1400 kkal/kapita/hari dan <2000 kkal/kapita/hari turun dari tahun 2012 sebesar 21,16 dan 68,21 menjadi sebesar 17,39 dan 66,96 pada tahun 2014. Hal ini menunjukkan bahwa 17,39 persen masyarakat Indonesia yang hidup dengan kondisi sangat rawan pangan dan 66,96 persen penduduk hidup dengan kondisi rawan pangan yang ringan. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
7
Gambar 1.7 Proporsi Penduduk dengan Asupan < 1400 kkal dan < 2000 kkal, 2011-2014 Sumber: BPS, Susenas
Tingkat kerawanan pangan antar-provinsi bervariasi. Tampak pada Gambar 1.8 proporsi penduduk dengan kondisi sangat rawan pangan tertinggi terdapat di Kalimantan Timur (36,82) dan terendah di DI Yogyakarta (6,05%), sedangkan provinsi dengan proporsi penduduk rawan pangan ringan yang terbesar adalah di Provinsi Kalimantan Timur (82,38) dan yang terendah adalah Provinsi Bali (Gambar 1.9).
Gambar1.8 Proporsi Penduduk dengan Asupan di Bawah 1400 Kkal menurut Provinsi, 2014 Sumber: BPS, Susenas
Gambar 1.9 Proporsi Penduduk dengan Asupan di Bawah 2000 Kkal menurut Provinsi, 2014 Sumber: BPS, Susenas
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
8
Gambar 1.10 Prevalensi Balita dengan Berat Badan Rendah Tahun 1998 -2013 Sumber: Kementerian Kesehatan, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Prevalensi balita dengan berat badan rendah mengalami penurunan dari sebesar 29,51 persen di tahun 1998 menjadi sebesar 19,60 persen di tahun 2013. Gambar 1.10 menunjukkan bahwa prevalensi Balita dengan berat badan rendah pernah sangat dekat dengan target MDGs (15,5 persen) di tahun 2010 (17,9), namun kondisi ini tidak dapat dipertahankan sehingga naik kembali di tahun 2013 menjadi sebesar 19,60 persen. Hal yang sama juga terjadi pada prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk. Di tahun 2010, sudah mendekati prevalensi balita gizi kurang (13,0 persen) dan gizi buruk (4,90 persen) sudah dekat dengan target MDGs yaitu 11,90 persen dan 3,60 persen, namun di tahun 2013 menjauh dari target tersebut. Di tingkat provinsi capaian prevalensi balita dengan berat badan rendah masih jauh dari harapan. Tampak pada Gambar 1.11 bahwa hanya 4 provinsi yang sudah berhasil mencapai target MDGs (15,5 persen) di tahun 2013 yaitu Provinsi Bali, Sulawesi Tenggara, DKI Jakarta dan Kepulauan Bangka Belitung, sedangkan Provinsi Jawa Barat, Kepulauan Riau, D.I Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur sudah sangat dekat dengan target MDGs, dan provinsi sisanya harus berusaha lebih keras lagi mengingat 2015 hanya tinggal satu tahun lagi. Keadaan capaian di tingkat provinsi terhadap prevalensi balita gizi buruk tidak jauh berbeda. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa target MDGs untuk prevalensi gizi buruk (3,9) di tahun 2013 sudah tercapai di Provinsi Bali, DKI Jakarta, Kepulauan Bangka Belitung dan Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur.
Gambar 1.11 Prevalensi Balita dengan Berat Badan Rendah menurut Provinsi, 2013 Sumber: Kementerian Kesehatan, Profil Kesehatan Indonesia 2013.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
9 UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat dilakukan untuk mendukung perbaikan kualitas SDM, akan dilakukan melalui: 1. Peningkatan produksi bahan pangan non padi dan pangan lainnya sesuai kondisi lokal. 2. Pendidikan dan KIE tentang gizi seimbang bagi keluarga dan masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas Posyandu untuk pemantauan pertumbuhan balita dan pelayanan kesehatan. 3. Peningkatan kualitas intervensi gizi spesifik dengan fokus pada sasaran 1000 hari pertama kehidupan (HPK). 4. Peningkatan kemitraan dengan lintas program dan sektor dalam rangka intervensi sensitif. 5. Peningkatan produksi protein hewani (bagian dari peningkatan produksi sumber pangan protein). 6. Peningkatan komposisi penggunaan bahan pangan lokal dalam industri pangan olahan. 7. Penyediaan dan penyaluran bahan pangan bersubsidi bagi masyarakat yang kurang mampu (RASKIN). 8. Peningkatan akses keluarga terhadap bahan pangan yang bergizi.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
10
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
TUJUAN 2 MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA
Sumber Foto: PNPM Facility
11
TUJUAN 2 MENCAPAI PENDIDIKAN DASAR UNTUK SEMUA
TARGET 2A
MENJAMIN PADA 2015 SEMUA ANAK-ANAK, LAKI-LAKI MAUPUN PEREMPUAN DI MANAPUN DAPAT MENYELESAIKAN PENDIDIKAN DASAR Indikator
Acuan dasar
Saat ini
88,70%
96,00 %
(1992)*
(2013/2014) **
2.1
Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar
2.2.
Proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar
62,00%
96,57%
(1990)
(2013/2014)
2.3
Angka melek huruf penduduk usia 15-24 tahun, perempuan dan lakilaki
96,60% (1990)
98,88% (2014)
Target MDGs 2015
Status
100,00%
►
100,00%
►
Kemdikbud
100,00%
►
BPS, Susenas
Sumber *BPS, Susenas **Kemdikbud
Status : ● Sudah Tercapai ► Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Pencapaian MDGs Target 2A diukur dengan menggunakan 3 indikator yakni APM-SD, proporsi murid kelas 1 yang tamat SD dan angka melek huruf (AMH) penduduk berusia 15-24 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Sejak tahun 1992, Indonesia mengalami kenaikan pada APM dari 88,70 persen menjadi 96,00 persen pada tahun ajaran 2013/2014. Meskipun terjadi kenaikan, namun APM-SD masih jauh dari angka target MDGs tahun 2015 (100 persen). Sebagian anak usia 7-12 tahun sudah bersekolah di jenjang SMP karena masuk SD pada usia kurang dari 7 tahun. Menurut data Susenas Tahun 2012, 6,4 persen penduduk usia 11 tahun dan 14,4 persen penduduk usia 12 tahun sudah bersekolah di jenjang SMP. Beberapa pengamatan tentang kurangnya fasilitas sekolah di daerah pedesaan terpencil serta daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T) merupakan salah satu penyebab kondisi tersebut di atas. Hal ini terutama menimpa anak-anak yang berkebutuhan khusus dan cacat. Langkah-langkah terobosan harus diambil untuk dapat mencapai target dalam waktu dekat. Peningkatan yang terjadi pada proporsi murid kelas satu yang tamat SD sangat tinggi dari 62 persen di tahun 1990 menjadi 96,57 persen di tahun ajaran 2013/2014, walaupun demikian target MDGs 2015 sebesar 100 persen, kelihatannya, belum dapat dicapai. Dari ketiga indikator tersebut hanya AMH penduduk berusia 1524 tahun (98,88 presen) yang sudah sangat dekat dengan target MDGs (100 persen). Bahkan AMH penduduk berusia perempuan 15-24 tahun sudah mencapai 99,05 persen. Angka partisipasi murni di sekolah dasar tidak mengalami banyak perubahan sejak tahun 2001, angkanya hampir stabil, pada range 93-96 persen. Hal ini berkaitan Wajib Belajar Sembilan Tahun yang dicanangkan
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
12 pada tahun 1994 dan ditandaskan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Kemudian Pasal 34 Ayat 2 yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, telah berdampak pada peningkatkan APM SD hingga tahun 2013, walaupun kecil (lihat Gambar 2.1). Indikator yang ke dua, yaitu proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar juga dapat dipertahankan pada angka dalam range 96-97 persen pada tiga tahun terakhir ini. Variasi nilai indikator ini antar-provinsi juga sangat kecil. Angka melek huruf penduduk berusia 15-24 tahun dari tahun ke tahun bergerak dengan trend mendatar, pada range 97-99 persen. Tidak banyak perubahan yang terjadi sejak tahun 2001. Pada Gambar 2.1 juga tampak bahwa posisi AMH penduduk berusia 15–24 tahun membaik sedikit 0,80 persen dari 98,08 persen di tahun 2001 menjadi 98,88 persen pada tahun 2014. AMH laki-laki dan perempuan berusia 15-24 tahun tidak jauh berbeda. Pada Gambar 2.2 tampak bahwa nilai AMH kelompok laki-laki lebih tinggi sedikit dibandingkan kelompok perempuan sampai pada tahun 2012. Sedangkan pada tahun 2014, posisi AMH perempuan berusia 15-24 tahun (99,05 persen) lebih tinggi dari laki-laki (98,71 persen). Capaian AMH penduduk berusia 15-24 tahun untuk masing-masing provinsi bervariasi. Gambar 2.3 menunjukkan bahwa di tingkat provinsi, hanya Provinsi Papua (81,85%) yang posisi AMH di bawah 95 persen sedangkan provinsi yang sangat dengan dengan target (sudah di atas 99 persen) berjumlah 18 provinsi. Sementara itu AMH dari 14 provinsi lainnya berkisar antara 96-99 persen.
Gambar 2.1 Angka Partisipasi Murni (APM) SD dan Angka Melek Huruf (AMH) Penduduk Berusia 15-24 Tahun, 2001-2014 Sumber: BPS (AMH dari hasil pengolahan data Susenas 2014) dan Kemendikbud (APM SD)
Sumber: BPS (Hasil pengolahan data Susenas 2014)
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
Gambar 2.2 Angka Melek Huruf Lakilaki dan Perempuan Berusia 15-24 Tahun, 20012014
13
Gambar 2.3 Angka Melek Huruf Penduduk Berusia 15-24 Tahun menurut Provinsi, 2014 Sumber: BPS, Hasil pengolahan data Susenas 2014
Gambar 2.4 Angka Melek Huruf Lakilaki dan Perempuan Berusia 15-24 Tahun menurut Provinsi, 2014 Sumber: BPS, Hasil pengolahan data Susenas 2014
Di tingkat Provinsi, posisi AMH laki-laki dan perempuan berusia 15-24 tahun tahun berada di atas 95 persen kecuali Provinsi Papua, bahkan terdapat 2 (dua) provinsi posisi AHM perempuan berusia 15-24 tahun mencapai 100 persen. Pada Gambar 2.4 tampak bahwa Provinsi Kep. Bangka Belitung dan DIY berada pada posisi 100 persen untuk AMH perempuan berusia 15-24 tahun yang berarti bahwa kedua provinsi ini telah mencapai target MDGs 100 persen. Walaupun begitu masih ada provinsi yang capaiannya di bawah 95 persen. AMH penduduk berusia 15-24 tahun laki-laki (84,30 persen) dan perempuan (70,85 persen) Provinsi Papua masih di bawah 95 persen. Selain itu, di sebagian besar provinsi, AMH perempuan berusia 15-24 tahun lebih tinggi dari laki-laki. Tampak pada Gambar 2.4 bahwa AMH laki-laki berusia 15-24 tahun yang lebih tinggi dari perempuan terjadi pada Provinsi Jambi, Lampung, DKI Jakarta,Bali, NTT, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Papua Barat dan Papua sedangkan pada provinsi lainnya posisi AMH perempuan lebih tinggi dari laki-laki.
UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Terkait dengan pendidikan dasar, arah kebijakan pembangunan pendidikan pada tahun 2015 ditujukan untuk mengurangi kesenjangan taraf pendidikan antar-wilayah, antar-jenis kelamin, dan antar-kelompok sosial, meliputi antara lain hal-hal berikut: 1. Peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang merata, terutama melalui pemenuhan SPM Pendidikan. Perhatian yang lebih besar diberikan pada kelompok miskin, anak-anak
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
14 yang tinggal di wilayah perdesaan dan daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal), serta anak-anak cacat dan yang memiliki kebutuhan khusus. 2. Peningkatan profesionalisme melalui peningkatan kompetensi pendidik dan pembenahan distribusi guru dan tenaga kependidikan di wilayah perdesaan dan daerah 3T, 3. Peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan nonformal dan pendidikan informal melalui penguatan kapasitas lembaga penyelenggara pendidikan nonformal, peningkatan pendidikan keterampilan terutama bagi penduduk usia produktif muda yang tidak berkesempatan menyelesaikan Wajar Sembilan Tahun. 4. Peningkatan efisiensi dan efektivitas manajemen pelayanan pendidikan dengan penguatan kapasitas daerah untuk memantapkan pelaksanaan desentralisasi pendidikan.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
TUJUAN 3 MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
Sumber Foto: PNPM Facility
15
TUJUAN 3 MENDORONG KESETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
TARGET 3A
MENGHILANGKAN KETIMPANGAN GENDER DI TINGKAT PENDIDIKAN DASAR DAN LANJUTAN PADA TAHUN 2005, DAN DI SEMUA JENJANG PENDIDIKAN TIDAK LEBIH DARI TAHUN 2015 Acuan
Indikator Rasio perempuan terhadap laki-laki di tingkat pendidikan dasar, menengah dan tinggi
3.1
dasar
Saat ini
Target MDGs 2015
Status
Sumber
- Rasio APM perempuan/laki-laki di SD
100,27 (1993)
99,28% (2014)
100,00
●
- Rasio APM perempuan/laki-laki di SMP
99,86 (1993)
104,10% (2014)
100,00
●
- Rasio APM perempuan/laki-laki di SMA
93,67 (1993)
103,28% (2014)
100,00
●
- Rasio APM perempuan/laki-laki di Perguruan Tinggi
74,06 (1993)
112,01% (2014)
100,00
●
3.1a
Rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki pada kelompok usia 1524 tahun
98,44 (1993)
100,34% (2014)
100,00
●
3.2
Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian
29,24% (1990)
35,53% (2014)
Meningkat
►
BPS, Sakernas
3.3
Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR
12,50% (1990)
17,32% (2014)
Meningkat
►
KPU
BPS, Susenas
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Capaian Target 3 A dipantau dengan menggunakan 3 pendekatan yakni pendidikan, ketenagakerjaan dan politik. Di bidang pendidikan kesetaraan gender diukur dengan menggunakan rasio angka partisipasi murni (APM) perempuan terhadap laki-laki di jenjang sekolah dasar sampai perguruan tinggi dan rasio angka melek huruf penduduk berusia 15-24 tahun. Rasio indikator perempuan terhadap laki-laki merupakan indeks paritas gender (IPG). Kesetaraan gender dikatakan sudah terwujud apabila indeks paritas gender sama dengan seratus persen. Jika IPG lebih kecil dari 100 persen, berarti terjadi ketimpangan gender di mana kondisi laki-laki lebih baik dan jika IPG lebih besar dari 100 persen, terjadi ketimpangan gender di mana konsisi perempuan lebih baik. Untuk mengukur capaian dua bidang lainnya, yaitu a) bidang ketenagakerjaan: digunakan indikator kontribusi perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian, sedangkan b) bidang Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
16 politik indikator yang digunakan untuk mengetahui keterlibatan perempuan dalam bidang pengambilan keputusan publik digunakan proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR. Kesetaraan gender di bidang pendidikan di Indonesia sudah berada pada posisi yang menggembirakan. Pada tahun 2014 rasio APM perempuan terhadap laki-laki di SD (99,28 persen) serta rasio AMH (100,34 persen) sudah sangat dekat dengan Target MDGs 100 persen, artinya kesetaraan gender sudah terwujud dan kondisi seperti ini harus dipertahankan Pada jenjang SMP, rasio APM adalah sebesar 104,10 persen dan rasio APM SMA sebesar 103,28 persen, dan kondisi ini sudah sesuai dengan harapan karena mendekati capaian MDGs (100 persen). Hal ini perlu dijaga agar peningkatan APM perempuan jangan sampai menurunkan APM lakilaki. Seperti yang terjadi pada jenjang perguruan tinggi, rasio APM mencapai angka 112,01 persen, yang kurang sesuai dengan harapan, karena menjauh dari target MDGs. Masih perlu perhatian khusus terhadap laki-laki agar kesetaraan gender dapat terwujud. DI bidang ketenagakerjaan, keterlibatan perempuan dalam kerja upahan di sektor non-pertanian yang meningkat dari 29,24 persen pada tahun 1990 menjadi 35,53 persen pada tahun 2014, sudah sesuai dengan target MDGs (meningkat tetapi masih terlalu sedikit). Di bidang poilitk, proporsi perempuan di DPR sudah lebih tinggi di tahun 2014 (17,30 persen) dibandingkan pada tahun 1990 (12,50 persen), sudah sesuai dengan target MDGs (meningkat tetapi belum sesuai dengan kuota yang diharapkan).
Gambar 3.1 Rasio APM Perempuan Terhadap Laki-laki di SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi, 20012014 Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas 2001 - 2014
Perkembangan rasio APM laki-laki terhadap perempuan (rasio APM P/L) di SD sampai dengan perguruan tinggi dari tahun ke tahun bervariasi antar-jenjang pendidikan. Fluktuasi rasio APM P/L di SD dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2014 relatif datar dan selalu sangat dekat dengan angka 100 persen, sehingga untuk jenjang pendidikan ini, kesetaraan gender sudah lama terwujud dan tetap bertahan sampai dengan tahun 2014. Pada jenjang sekolah menengah kondisi kesetaraan gender dapat dikatakan sudah sesuai harapan. Pada jenjang SMP, posisi rasio APM P/L selalu sedikit di atas 100 persen dari tahun 2001 hingga kini. Ketimpangan gender pada jenjang pendidikan SMP menunjukkan kondisi perempuan yang sedikit lebih baik, namun masih dalam batas toleransi 5 persen (kecuali pada tahun 2013 yang besarnya 105,69 persen), tetapi kemudian pada tahun 2014 sudah kembali berada di dalam batas toleransi. Trend ini masih sesuai dengan harapan (on-track). Sementara itu, pada jenjang pendidikan SMA, dalam beberapa tahun posisi rasio APM P/L di SMA berada di sekitar target MDGs tetapi pada tahun 2014 mengarah pada ketimpangan di mana kondisi perempuan cenderung lebih baik, walaupun tidak signifikan. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
17 Rasio APM parempuan terhadap laki-laki pada jenjang perguruan tinggi (PT) memiliki trend yang mengarah pada ketimpangan yang lebih besar. Tampak pada Gambar 3.1 bahwa rasio APM P/L-PT (87,10 persen) tahun 2001 menunjukkan adanya ketimpangan di mana laki-laki lebih baik, kemudian pada tahun 2004 berada pada posisi yang sangat dekat dengan target MDGs (100 persen) sampai tahun 2007 dan kembali on-track pada tahun 2009-2011. Mulai tahun 2012 terjadi lagi ketimpangan dengan kondisi laki-laki lebih buruk, bahkan di tahun 2014 mencapai angka rasio 112,01 persen. Kesetaraan gender di bidang pendidikan di daerah. Di tingkat nasional dapat dikatakan bahwa Indonesia sudah dekat dengan kondisi kesetaraan gender pada jenjang SD sampai dengan SMA, tetapi kondisi di tingkat daerah tidak demikian. Meskipun rasio APM P/L di SD secara nasional sudah sangat dekat dengan kesetaraan gender tetapi hal tersebut tidak dirasakan oleh semua provinsi. Pada Tabel 3.1 ditunjukkan bahwa provinsi yang sudah sangat dekat dengan kesetaraan gender berjumlah 12 yaitu Provinsi Kalimatan Timur, Sumatera Utara, NTB, Jambi, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Jawa Barat, Banten, NTT dan DIY. Kemudian pada jenjang SMP jumlah provinsi yang sudah sangat dekat dengan kondidi kesetaraan gender adalah Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Timur, sedangkan pada jenjang SMA dan PT kesetaraan gender dicapai oleh masing-masing satu provinsi yaitu Maluku (SMA) dan Sulawesi Tenggara (PT). Tabel 3.1 Kesetaran Gender Pendidikan pada Jejang SD, SMP, SMA dan PT di Daerah
No.
Jenjang Sekolah
1 2 3 4 5 6 7
SD
SMP
8 9
SMA PT
Sangat dekat dengan kesetaraan gender (laki-laki lebih baik) Provinsi Kalimantan Timur Sumatera Utara Nusa Tenggara Barat Jambi Kalimantan Selatan Sulawesi Tenggara
Maluku Sulawesi Tenggara
Rasio APM P/L 99,00 99,33 99,52 99,61 99,85 99,97
Sangat dekat dengan kesetaraan gender (perempuan lebih baik)
Sulawesi Barat Jawa Barat Banten Nusa Tenggara Timur DI Yogyakarta
Rasio APM P/L 100,12 100,23 100,39 100,46 100,79
Sumatera Utara Jawa Timur
100,68 100,84
Provinsi
99,65 99,06
Sumber: Badan Pusat Statistik, Data Indikator MDGs 2001-2012, Data Indikator MDGs 2013, Data Indikator MDGs 2014
Kesetaraan gender keaksaraan. Dari sisi keaksaraan tidak terjadi kesejangan. Tampak pada Gambar 3.2 bahwa rasio AMH P/L penduduk berusia 15-24 tahun dari tahun ke tahun sudah sangat dekat dengan 100 persen, sehingga dapat dikatakan telah terjadi kesetaraan gender. Walaupun demikian, di tingkat provinsi rasio AMH P/L penduduk berusia 15-24 bervariasi. Hanya Provinsi Papua yang memiliki rasio AMH P/L di bawah 95 persen dan provinsi yang sangat dekat dengan rasio AMH P/L 100 persen berjumlah 20 provinsi, bahkan terdapat provinsi dengan rasio AMH P/L 100 persen yaitu Provinsi Kalimantan Timur (Gambar 3.3). Provinsi sisanya memiliki rasio AMH P/L yang dekat dengan kondisi kesetaraan gender (di bawah 105 persen).
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
18
Gambar 3.2 Rasio AMH Perempuan Terhadap Laki-laki Penduduk Berusia 15-24 Tahun, 2001-2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas 2001 - 2014
Gambar 3.3 Rasio AMH Perempuan Terhadap Laki-laki Penduduk Berusia 15-24 Tahun menurut Provinsi, 2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, Susenas 2001 - 2014
Kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan. Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian dari tahun dasar mengalami trend yang naik, namun kenaikannya sangat lamban. Tampak pada Gambar 3.4 bahwa kontribusi perempuan tersebut di tahun 2001 adalah sebesar 32,30 persen dan mengalami penurunan sampai pada angka 31,49 persen di tahun 2004. Pada tahun 2009 kontribusi perempuan mencapai titik tertinggi yaitu sebesar 37,08 persen dan turun kembali menjadi sebesar 35,10 persen pada tahun 2013. Pada tahun 2014 kontribusi perempuan naik sedikit menjadi sebesar 35,53. Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian antar-provinsi bervariasi. Tampak pada Gambar 3.5 bahwa kontribusi perempuan berada pada kisaran antara 47,32 persen di Provinsi Gorontalo dan 25,56 persen di Provinsi Papua.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
19
Gambar 3.4 Kontribusi Perempuan Dalam Pekerjaan Upahan Di Sektor NonPertanian 2001-2014 Sumber: BPS, Sakernas 2001 - 2014
Gambar 3.5 Kontribusi Perempuan Dalam Pekerjaan Upahan di Sektor NonPertanian menurut Provinsi, 2014 Sumber: BPS, Sakernas 2014
Perempuan di Parlemen. Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR tingkat nasional memiliki trend meningkat, walaupun berfluktuasi (Gambar 3.6.) Sejak pemilu legislatif periode tahun 1950 dilaksanakan, perempuan sudah menduduki kursi di DPR, mekipun sedikit (3,8 persen), namun nilai indikator ini terus mengalami trend naik sampai pada puncaknya di tahun 1987 (13 persen), kemudian turun lagi sampai tahun 1999 (9 persen). Undang-undang nomor 12 tahun 2013 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang menerapkan kebijakan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam susunan daftar calon anggota legislatif dapat menaikkan kembali proporsi perempuan di DPR hingga pemilu tahun 2009 (18,4 persen), namun di tahun 2014 nilai indikator ini turun lagi menjadi 17,3 persen.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
20
Gambar 3.6 Persentase Anggota DPR Perempuan pada Periode Pemilu 19502014 Sumber: KPU, Pusat Data Arsip Nasional KPU.
Jumlah anggota DPR perempuan antar-provinsi bervariasi. Tampak pada Gambar 3.7 bahwa provinsi yang tidak memiliki anggota DPR perempuan berjumlah 7 (tujuh) yaitu Provinsi Aceh, Kep. Bangka Belitung, Bali, NTT, Gorontalo, dan Papua Barat. Sedangkan Provinsi Sumatera Barat, Riau, Kep. Riau, NTB, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara memiliki 1 (satu) anggota DPR perempuan. Kendati demikian, terdapat provinsi yang memiliki anggota DPR perempuan lebih dari 10, yaitu Jawa Timur (11), Jawa Tengah (14) dan Jawa Barat (19). Sisanya 5 (lima) perempuan atau kurang dari 5 (lima) anggota DPR perempuan.
Gambar 3.7 Jumlah Anggota DPR Perempuan Periode 2014-2019 menurut Provinsi Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Data Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif Hasil Pemilu 2014
Kondisi seperti ini juga terjadi di DPRD tingkat kabupaten/kota. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Pusat Kajian Politik UI (Puskapolui) terhadap hasil pemilu 2014 di 403 kabupaten/kota terpilih menunjukkan bahwa terdapat 14 kabupaten/kota yang tidak memiliki anggota DPRD perempuan. Tampak pada Tabel 3.3 bahwa di Provinsi Jawa Timur, NTB, Maluku, dan Maluku Utara, terdapat 1(satu) kabupaten tidak memiliki anggota DPRD perempuan, di Provinsi NAD, Jambi dan NTT, terdapat 2 kabupaten yang tidak memiliki anggota DPRD perempuan, sedangkan di Provinsi Sumatera Barat terdapat 4 kabupaten yang tidak memiliki anggota DPRD permpuan. Sementara itu, jumlah kabupaten yang memiliki hanya 1(satu) anggota DPRD perempuan berjumlah 36, dan jumlah kabupaten yang memiliki anggota DPRD lebin dari 10 hanya berjumlah 27 kabupaten.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
21 Tabel 3.2 Jumlah Kabupaten/kota menurut Provinsi dan Jumlah Anggota Parlemen Perempuan, 2014 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Provinsi NAD Sumut Riau Sumbar Bengkulu Babel Sumsel Jambi Kepri Lampung Jabar Banten Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Kaltim Kalbar Kalteng Kalsel Sulut Sulteng Susel Sutra Gorontalo Sulbar Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Indonesia
Jumlah Kabupaten/kota yang diamati 20 33 12 19 10 6 9 11 7 13 26 6 32 5 38 9 8 13 13 12 13 13 13 8 18 7 4 4 11 3 5 2 403
Jumlah kabupaten yang memiliki anggota DPRD =0
=1
≤5
≤10
>10
2 0 0 4 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 1 0 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 14
7 2 2 3 2 0 0 0 2 1 1 0 0 0 2 1 1 2 3 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 36
18 21 9 18 8 6 5 7 6 5 5 3 8 2 15 6 8 11 11 10 5 5 7 6 8 5 4 3 11 3 3 1 243
20 31 12 18 10 6 9 11 7 11 18 6 28 4 34 8 8 13 13 12 13 12 11 8 18 6 4 4 11 3 5 2 376
0 2 0 1 0 0 0 0 0 2 8 0 4 1 4 1 0 0 0 0 0 1 2 0 0 1 0 0 0 0 0 0 27
Sumber: Puskapol UI, 2014. Diolah.
Wakil rakyat perempuan yang tertinggi diajukan PDIP, seperti tampak pada Gambar 3.8 bahwa jumlah anggota DPR perempuan dari PDIP adalah sebanyak 21 orang yang diikuti oleh Partai Gerindra (16 orang) sedangkan anggota DPR dari PKS hanya satu orang dan Partai Hanura hanya dua orang.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
22
Gambar 3.8 Jumlah Anggota DPR menurut Partai Politik dan Jenis Kelamin, 2014 Sumber: Formappi, Anatomi Caleg DPR Terpiilih pada Pemilu 2014
UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Agar kesetaraan dan keadilan gender segera terwujud, maka arah kebijakan dan strategi pengarusutamaan gender di tahun 2015, antara lain, meliputi: 1. Meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan, yang dilakukan melalui implementasi PUG dan PPRG terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, politik, ekonomi, dan hukum. 2. Meningkatkan efektivitas kelembagaan PUG di Pusat dan Daerah melalui strategi: (a) Peningkatan kapasitas SDM; (b) penguataan lembaga/jejaring PUG; dan (c) Ketersediaan data terpilah yang berkualitas dan berkesinambungan untuk penyusunan PPR G.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
TUJUAN 4 MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK
Sumber Foto: PNPM Facility
23
TUJUAN 4 MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK TARGET 4A
MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN BALITA (AKBA) HINGGA DUA PER TIGA DALAM KURUN WAKTU 1990-2015 Indikator
Acuan dasar
Saat ini
Target MDGs 2015
Status
4.1
Angka Kematian Balita (AKBa) per 1000 kelahiran hidup
97 (1991)
40 (2012)
32
▼
4.2
Angka Kematian Bayi (AKB) per 1000 kelahiran hidup
68 (1991)
32 (2012)
23
▼
4.2a
Angka Kematian Neonatal per 1000 kelahiran hidup
32 (1991)
19 (2012)
Menurun
►
4.3
Persentase anak usia 1 tahun yang diimunisasi campak
44,50% (1991)*
89,42 % (2014)*
Meningkat
►
Sumber
BPS, SDKI
*BPS, Susenas
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Sampai saat ini status kesehatan anak Indonesia mengalami perkembangan yang semakin baik, walaupun masih akan belum mencapai target MDGs pada tahun 2015. Seperti yang terlihat pada gambar 4.1.
Gambar 4.1 Tren Angka Kematian Neonatal, Bayi, dan Anak Balita 5 Tahun. Sebelum Survei, Tahun 1991-2012 (SDKI), 2013-2014 (Kemenkes RI*)
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
24 Seperti yang sudah dilaporkan pada laporan pencapaian tujuan pembangunan Milenium di tahun 2013 bahwa angka kematian balita (AKBa) telah turun secara bermakna dari 97 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencapai target MDG 4 sebesar 32 per 100 kelahiran hidup. Angka kematian bayi (AKB) turun dari 68 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi separuhnya, yaitu 34 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012, sedangkan target MDGs yang harus dicapai adalah 23 per 1000 kelahiran hidup. Sementara itu angka kematian neonatal (AKN) dari tahun 1991 sampai dengan tahun 2003 turun dari 32 menjadi 20 per 1000 kelahiran hidup, kemudian turun sedikit menjadi 19 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007, selanjutnya tidak berubah pada tahun 2012. Apabila merujuk pada data resmi SDKI yang dimuat pada laporan MDGs tahun 2013, diperkirakan target MDGs 4 untuk AKBa dan AKB tidak akan tercapai. Oleh karena data terbaru yang bersumber dari SDKI 2012 dan RISKESDAS 2013 sampai saat ini belum ada pemutakhiran data, maka untuk pemutakhiran data terbaru bersumber dari laporan Kementerian Kesehatan tahun 2014 yang dimuat secara resmi di web (http://www. gizikia.Depkes.go.id /data/publicreport/anaktahun?active=80) dimana dilaporakan angka Kematian Balita sebesar 9 per 1000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi sebesar 8 per 1000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Neonatal sebesar 6 per 1000 kelahiran hidup. Mengacu pada laporan tersebut maka tampaknya indikator MDGs telah mencapai target yang telah ditentukan, dimana AKBa di bawah 32 per 1000 kelahiran hidup dan AKB di bawah 24 per 1000 kelahiran hidup. Dengan catatan bahwa data yang berasal dari laporan rutin yang sudah dipublilkasi secara resmi harus dibcaca dengan sangat hati-hati. Angka-angka dari laporan rutin ini tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan angka hasil survey seperti SDKI yang di disain secara khusus dengan metodologi survey yang sudah baku. Analisis terhadap tren penurunan AKBa dan AKB dari tahun ke tahun bisa dilihat dari dua aspek : 1. Aspek periode life-cycle, terutama periode neonatal (0-28 hari), periode bayi usia 1-11 bulan dan anak balita usia 1-5 tahun, oleh karena faktor yang mempengaruhi usia-usia tersebut dan program yang harus dibuat untuk ketiga periode life-cycle tersebut berbeda. 2. Aspek disparitas berdasarkan berbagai variabel, yaitu provinsi, tempat tinggal, pendidikan, kuintil kekayaan, dan variabel lainnya. Kemiskinan merupakan faktor mendasar yang berpengaruh terhadap kematian bayi dan anak. Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan tingginya faktor risiko lain ada pada kelompok miskin. Kedua aspek tersebut diatas harusnya menjadi acuan penting setiap saat ingin melakukan upaya untuk mencapai target MDGs dan mempertahankan sustainabiltas pencapaian target MDGs tersebut pasca 2015. Tren dan Disparitas Kematian Neonatal, Bayi dan Balita Menurut Provinsi Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukan kontribusi kematian neonatal terhadap kematian bayi lebih tinggi di provinsi dengan AKB rendah, dan sebaliknya kematian neonatal lebih rendah di provinsi dengan AKB tinggi. Di provinsi dengan AKB rendah, penurunan kematian bayi dicapai antara lain melalui keberhasilan dalam penurunan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Penurunan infeksi diare dan upaya-upaya lain seperti perbaikan status gizi bayi karena asupan gizi yang baik. Sementara itu, kematian neonatal dengan penanganan dan teknologi yang lebih kompleks serta kualitas pelayanan persalinan yang tinggi belum secara optimal bisa dicapai. Penyebab Kematian Neonatal Kematian neonatal mempunyai kontribusi besar terhadap AKB. Secara global diketahui bahwa penyebab utama kematian neonatal adalah prematuritas, infeksi berat, termasuk sepsis/pneumonia, tetanus, diare dan asfiksia. Sebagian besar kematian neonatal terjadi pada minggu pertama pasca lahir, terutama pada
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
25 hari pertama kehidupan (Lawn, 2005). Artinya, masa persalinan dan 24 jam pertama setelah persalinan merupakan waktu yang sangat kritis dan strategis untuk mencegah kematian neonatal. Kematian neonatal setelah minggu pertama biasanya disebabkan oleh infeksi. Pengetahuan tentang penyebab utama kematian neonatal seperti gangguan pernapasan/asfiksia, prematuritas, infeksi, dan hipotermi, prematuritas serta berat badan lahir rendah sangatlah penting untuk merancang program intervensi yang tepat dalam upaya menurunkan kematian neonatal. Penanganan Persalinan dan Pascasalin Proses persalinan tidak kalah penting sebagai faktor penyebab kesakitan dan kematian bayi, terutama yang disebabkan oleh asfiksia dan infeksi, oleh karena itu Continuum of care atau pelayanan berkelanjutan kebidanan dan neonatal mulai dari tingkat komunitas sampai fasilitas rujukan untuk kasus komplikasi tetap menjadi hal yang sangat penting, yaitu apakah proses persalinan berjalan dengan baik termasuk apakah persalinan yang disertai komplikasi yang mengancam keselamatan ibu dan bayinya ditangani dengan baik di fasilitas rujukan. Akses terhadap pelayanan kebidanan berkelanjutan dan berkualitas perlu terus mendapatkan prioritas tinggi. Uraian pola perawatan bayi baru lahir di rumah sangat mempengaruhi kesakitan dan kematian neonatal, termasuk tetanus neonatorum yang sudah disajikan pada laporan MDGs 2013 yaitu kunjungan neonatal (KN) disajikan lagi pada laporan ini. Program pemerintah untuk kunjungan neonatal (KN) sebanyak 3 kali, yaitu pada 6-48 jam pertama (KN1), 3-7 hari pasca lahir (KN2) dan 8-28 hari pasca lahir (KN3), dimaksudkan untuk mencegah dan mengidentifikasi dengan segera kesakitan pada periode neonatal ini. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 persantase KN 1 dan KN 2 menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan riskesdas tahun 2010. Peresentase KN1 pada tahun 2010 yaitu 71,4 persen sedangkan pada tahun 2013 hanya 71,3. Untuk KN2 masih sama dengan tahun 2010 yaitu sebesar 61,3 persen pada tahun 2013. Sedangkan untuk persentase KN3 dan dan KN lengkap mengalami peningkatan pada tahun 2013. Untuk KN3 sebesar 38 persen pada tahun 2010 meningkat menjadi 47,5 persen pada tahun 2013 dan KN lengkap 31,8 persen pada tahun 2010 menigkat menjadi 47,5 persen pada tahun 2013. Periode bayi usia 1-11 bulan dan anak usia 1-5 tahun Turunnya AKB dan AKBa menunjukan bahwa program penurunan kematian bayi dan balita cukup berhasil. Program tersebut meliputi peningkatan imunisasi termasuk imunisasi campak yang dapat menurunkan kematian melalui penurunan prevalensi pneumonia, dan penurunan prevalensi diare sebagai akibat komplikasi campak dan program pengendalian penyakit infeksi lainnya yang berpengaruh terhadap kesakitan dan kematian bayi dan anak. Sampai saat ini sumber data terbaru penyebab kematian bayi umur 29 Hari-11 bulan dan kematian balita umur 1-4 tahun adalah dari Riskesdas tahun 2007, sedangkan dari data Riskesdas 2013 tidak ada lagi variabel mengenai penyebab kematian bayi maupun balita, begitu juga dengan data rutin tahunan yang bersumber dari Kemenkes RI tidak dirinci penyebab kematian bayi dan balita.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
26
Gambar 4.2 Penyebab Kematian Bayi dan Kematian Balita (Riskesdas 2007) Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2007
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kesehatan anak, antara lain pelayanan pemeriksaan kehamilan yang berkualitas, persalinan oleh tenaga kesehatan, pelayanan dan penanganan neonatal (kunjungan neonatal), cakupan imunisasi khususnya imunisasi campak, penanganan neonatal, bayi dan balita sakit sesuai standar baik di fasilitas kesehatan dasar dan fasilitas kesehatan rujukan. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran keluarga serta masyarakat akan perawatan pada masa kehamilan, pada masa neonatal, bayi dan balita, serta deteksi dini penyakit dan semakin sadarnya masyarakat untuk mencari pengobotan ke fasilitas pelayan kesehatan juga mempengaruhi peningkatan status kesehatan anak. Membaiknya tingkat kesehatan anak tersebut terkait dengan berbagai upaya pengendalian penyakit, termasuk pemberian imunisasi. Imunisasi dasar lengkap bagi anak meliputi BCG sebanyak 1 kali, DPT-HB 3 kali, polio 4 kali, dan campak 1 kali. Gambar 4.3 menunjukkan cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-23 bulan, yang merupakan gabungan dari satu kali imunisasi HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak. Cakupan imunisasi lengkap cenderung meningkat dari tahun 2007 (41,6%), 2010 (53,8%), dan 2013 (59,2%) namun masih jauh dari cakupan minimal 80% sebagai target pencapaian UCI (Universal Covarage of Immunization).
Gambar 4.3 Kecenderungan imunisasi dasar lengkap pada anak umur 12-23 bulan, Indonesia tahun 2007, 2010, dan 2013 (Riskesdas, 2013)
Proporsi anak usia 1 tahun yang mendapatkan imunisasi campak Indikator MDG 4 lainnya adalah proporsi anak usia 1 tahun yang mendapatkan imunisasi campak. Cakupan imunisasi campak meningkat tajam yaitu dari 44.50 persen pada tahun 1991 menjadi 80,18 persen pada tahun 2012 dan 89.42 persen pada tahun 2014 (Susenas, tw 1).
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
27 Disparitas Vaksinasi Campak Proporsi anak yang pernah menerima vaksinasi campak secara umum cukup tinggi. Variasi cakupan berdasarkan provinsi juga tinggi, yaitu antara 65,07 persen di Papua dan 100 persen di DI Yogyakarta. Lebih dari separo dari 33 provinsi mempunyai cakupan vaksinasi campak lebih rendah dari rata-rata nasional 89,42 persen (BPS, Susenas tw 1, 2014). Imunisasi campak berkaitan dengan angka kematian bayi, dan balita. Secara umum kematian bayi dan balita rendah pada provinsi yang mempunyai cakupan imunisasi campak tinggi. Pemerataan cakupan immunisasi campak yang tinggi sangatlah penting dalam upaya mencapai dan mempertahankan penurunan angka kematian bayi dan balita.
Gambar 4.4 Anak yang Mendapatkan Vaksinasi Campak, Berdasarkan Provinsi, Tahun 2014). Sumber : BPS, Susenas Triwulan 1 2014
Status Gizi Bayi dan Anak Balita Status gizi dan infeksi saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Infeksi dapat menyebabkan seorang bayi/ anak kekurangan gizi karena meningkatnya metabolisme, berkurangnya asupan makanan dan terjadi pada diare disertai dengan kehilangan cairan dan zat gizi. Sebaliknya bayi/anak yang kekurangan gizi mudah terinfeksi penyakit oleh karena daya tahannya menurun. Pemberian immunisasi untuk mencegah terjadinya PD3I ( Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Immunisasi) sangatlah penting. Salah satu penyebab belum tercapainya penurunan AKBa dan AKB adalah banyaknya balita yang menderita gizi kurang, pendek atau kurus. Walaupun tatus gizi balita telah mengalami perbaikan dan prevalensi gizi kurang pada anak balita hampir mencapai target MDG, prevalensi balita pendek/stunting dan sangat pendek, masih sangat tinggi dan cenderung meiningkat. Tingginya stunting pada anak balita mengindikasikan bahwa telah terjadi keadaan kurang gizi secara kronis dan/atau berulang sejak usia dini. Tingginya prevalensi kurus pada usia yang lebih muda juga mengindikasikan bahwa proses kekurangan gizi akut sudah terjadi sejak usia dini. Data terbaru mengenai status gizi bayi dan anak balita adalah data yang bersumber dari Riskesdas, Kemenkes RI tahun 2013.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
28
Gambar 4.5 Persen Gizi Kurang dan Stunting pada Anak Balita, Tahun 2007 - 2012 Sumber: Kemenkes, Riskesdas 2007, 2010 dan 2013
Gambar 4.6 Proporsi Balita Gizi Kurang, Pendek, Kurus, Gemuk menurut Umur dan Jenis Kelamin, Tahun 2013 (Kemenkes, Riskesdas 2013)
UPAYA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Dalam rangka percepatan pencapaian indikator MDG goal 4 serta mempertahankan apa yang sudah dicapai telah dilakukan berbagai upaya strategis yang operasional dan lokal spesifik. Percepatan pencapaian MDGs selama ini telah dilakukan melalui pendekatan wilayah, yaitu upaya intervensi secara terfokus dan memberi dampak optimal sesuai dengan permasalahan spesifik yang ada di wilayah tersebut. Di Wilayah Penanganan Intensif (WPI), pertama-tama yang sudah dilakukan adalah melakukan intervensi ketat adalah di 12 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur. Hal ini tidak berarti bahwa provinsi lainnya tidak mendapat perhatian. Pemberian insentif dan penghargaan setiap tahun kepada daerah-daerah yang telah mencapai target MDGs dimaksudkan untuk merangsang daerah melakukan upaya percepatan pencapaian target MDGs. Langkah-langkah strategis percepatan pencapaian MDGs antara lain adalah pemetaan masalah, penguatan peran masyarakat, peningkatan pengendalian penyakit menular dan tidak menular, penguatan peran masyarakat melalui pembentukan Posbindu dan klub kesehatan, serta mendorong penyediaan fasilitas publik untuk gaya hidup sehat; yang merupakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai target MDGs dan RPJMN 2010-2014, serta mendukung SJSN, SKN dan RPJMN 2015-2019, RPJMD 2015-2019,
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
29 yang merupakan upaya reformasi birokrasi, penguatan SDM kesehatan, peningkatan peran aktif daerah, penguatan penyelenggaraan sistem informasi kesehatan, penyiapan Jaminan Kesehatan Nasional. Selain itu juga upaya yang perlu dilakukan untuk percepatan pencapaian MDGs secara spesifik adalah dengan segera melakukan penurunan AKN, karena AKN menyumbang proporsi yang tinggi terhadap Angka Kematian Bayi dan Anak. Selain itu upaya penjaminan akses terhadap pelayanan PONED dan PONEK 24/7 yang berkualitas perlu dilakukan terus menerus karena proses kelahiran sangat berpengaruh terhadap kematian neonatal. Kemudian melakukan koordinasi dan sinergi dengan Direktorat terkait agar upaya program perbaikan gizi remaja puteri, dan kesehatan serta status gizi ibu hamil lebih baik, melakukan koordinasi dan sinergi dengan unit dan instansi terkait agar upaya perbaikan gizi bayi dan anak balita lebih baik. Hal lain lain yang telah dan perlu terus dilakukan adalah upaya pencegahan dan penanggulangan infeksi pada anak Balita termasuk imunisasi dan MTBS, dengan memperhatikan social determinants of health di masyarakat.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
30
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
TUJUAN 5 MENINGKATKAN KESEHATAN IBU
Sumber: UNDP Indonesia
31
TUJUAN 5 MENINGKATKAN KESEHATAN IBU TARGET 5A
MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU HINGGA TIGA PER EMPAT DALAM KURUN WAKTU 1990-2015
TARGET 5B
MEWUJUDKAN AKSES KESEHATAN REPRODUKSI BAGI SEMUA PADA TAHUN 2015 Indikator
Acuan dasar
Saat ini
Target MDGs 2015
Status
Sumber
Target 5A: Menurunkan Angka Kematian Ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015 5.1
5.2
Angka Kematian Ibu per 100,000 kelahiran hidup
390 (1991)
359 (2012)
Proporsi kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan terlatih
40,70% (1992)*
86,89% (2014)*
102
Meningkat
▼ ►
BPS, SDKI *BPS, Susenas
Target 5B: Mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015 5.3
Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) bagi perempuan menikah usia 15-49, semua cara
49,70% (1991)
5.3a
Angka pemakaian kontrasepsi (CPR) pada perempuan menikah usia 15-49 tahun, cara modern
47,10% (1991)
5.4
Angka kelahiran remaja (perempuan usia 15-19 tahun) per 1000 perempuan usia 15-19 tahun
5.5
Cakupan pelayanan Antenatal (sedikitnya 1 kali kunjungan dan 4 kali kunjungan)
61,17 % (2014)*
Meningkat
►
60,18 % (2014)*
Meningkat
►
67 (1991)
48 (2012)
Menurun
►
75,00% (1991)
93,76 % (2014) **
- 4 kunjungan:
56,00% (1991)
85,72 % (2014) **
Unmet Need (kebutuhan keluarga berencana/KB yang tidak terpenuhi)
12,70% (1991)
11,4% (2012)
- 1 kunjungan:
5.6
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
► Meningkat ► Menurun
►
BPS, SDKI * BPS, Susenas ** Kemenkes RI
32 KEADAAN DAN KECENDERUNGAN
Gambar 5.1 Angka Kematian Ibu Indonesia tahun 1994-2014 Sumber: BPS, SDKI 1994-2012
Upaya keras untuk mencapai salah satu sasaraan MDGs yaitu Angka Kematian Ibu (AKI) dengan target 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 telah dilakukan. Pada tahun 1991 Angka kematian ibu menurun dari 390 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 dan meningkat kembali pada tahun 2012 menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup (Gambar 5.1). Tren AKI dari hasil survei SDKI harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Penghitungan AKI dalam survei SDKI selalu menghasilkan Confidence Interval (CI) yang sangat lebar sehingga sulit untuk menginterpretasikan point prevalence AKI secara tepat. Sebagai contoh nilai AKI 228 pada tahun 2007 mempunyai kisaran 132 sampai dengan 323, sedangkan nilai 359 pada tahun 2012 berada pada kisaran 239 sampai dengan 478, sehingga terdapat overlapping pada CI kedua periode pengukuran tersebut. Selain itu terdapat perbedaan definisi AKI pada SDKI 2012 yaitu “kematian oleh sebab apapun yang terjadi saat kehamilan, selama persalinan atau dalam waktu 2 bulan setelah persalinan”, untuk menyesuaikan dengan kecilnya jumlah yang hanya mencatat 92 kematian.Sementara definisi kematian ibu mencakup kematian saat kehamilan, persalinan dan dalam waktu 42 hari pasca persalinan. Namun demikian, penggunaan definisi ini dianggap tidak akan menyebabkan over-reported kematian ibu, karena sebagian besar kematian perempuan dalam periode umur tersebut disebabkan oleh sebab maternal, sementara kematian maternal lebih cenderung under-reported. Selain itu, sampel SDKI 2012 adalah semua perempuan umur 15-49 tahun, baik yang kawin atau tidak kawin, sementara sampel SDKI 2007 hanya perempuan umur 15-49 tahun yang pernah kawin. Kenaikan AKI sesungguhnya konsisten dengan kenaikan kematian perempuan dewasa di Indonesia. Berdasarkan perkiraan dari WHO sekitar 15-20 persen ibu hamil, baik di negara maju maupun berkembang akan mengalami risiko tinggi (risti) dan/atau komplikasi. Salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan angka kematian ibu adalah dengan meningkatkan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih.
33
Gambar 5.2 Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Tahun 19952014 (triwulan 1) Sumber: BPS, Susenas 1995-2014(Triwulan I)
Dari gambar 5.2 dapat dilihat proporsi persalinan ditolong tenaga kesehatan terus meningkat sejak tahun 1991 sampai tahun 2013 persentase persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan mencapai 90,5 persen dan sedikit menurun pada triwulan I tahun 2014 menjadi 86,89 persen (Susenas, triwulan I, 2014). Peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan antara tahun 1991 sampai dengan tahun 2004 seperti diketahui disebabkan karena adanya program pemerintah yang menempatkan bidan di setiap desa yang dimulai sejak awal tahun 1990. Adanya perlambatan dan penurunan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan akhir-akhir ini dikarenakan jumlah bidan yang tinggal di desa menurun. Disparitas Upaya Peningkatan Kesehatan Ibu Persalinan oleh tenaga kesehatan Secara umum persentase persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia sudah cukup tinggi, yaitu rata-rata 86,89 persen. Namun disparitas antarprovinsi masih sangat lebar, yaitu antara 50 persen di Maluku dan 100 persen di Yogyakarta. Hal ini terkait dengan perbedaan akses kepada bidan. Di daerah-daerah dengan densitas penduduk rendah dengan hambatan geografis yang tinggi seperti Papua, Papua Barat, Sulawesi Barat dan Maluku persalinan oleh nakes relatif rendah, sementara di daerah dengan densitas penduduk tinggi dengan akses transportasi mudah seperti di Pulau Jawa dan Bali, persalinan terhadap nakes cukup tinggi seperti yang ditunjukan pada gambar 5.3
34
Gambar 5.3 Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan Provinsi 2014 Sumber: BPS, Susenas
Disparitas persalinan oleh nakes masih tetap terjadi menurut variabel tempat tinggal, tingkat pendidikan ibu dan tingkat kemiskinan, namun tidak berbeda menurut umur ibu. Persalinan oleh tenaga kesehatan di pedesaan hampir selalu lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. Tingkat pendidikan ibu sangat berkorelasi dengan tingginya persalinan oleh nakes. Pada ibu dengan pendidikan tertinggi, persalinan oleh nakes selalu lebih tinggi dari ibu yang tidak bersekolah. Data terbaru mengenai persalinan oleh tenaga kesehatan berdasarkan berbagai variabel hanya bersumber dari Data terbaru mengenai persalinan oleh tenaga kesehatan berdasarkan berbagai variabel hanya bersumber dari Susenas 2014.
Gambar 5.4 Persalinan oleh Tenaga Kesehatan Berdasarkan berbagai Variabel, Tahun 2012 Sumber: BPS, SDKI 2012
Persalinan di Fasilitas Kesehatan Secara umum persalinan di fasilitas kesehatan tetap mengalami kenaikan dari tahun ke tahun di semua kelompok sosial ekonomi dan demografi dengan proporsi dua kali lebih besar di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Kenaikan ini lebih nyata terlihat pada kelompok sosial dengan pendidikan dan ekonomi tinggi apabila dibandingkan dengan kelompok pendidikan dan ekonomi rendah. Mereka yang melahirakan di fasilitas kesehatan hampir semuanya ditolong oleh tenaga kesehatan, sebaliknya yang melahirkan di luar fasilitas kesehatan hanya separuhnya saja ditolong oleh tenaga profesional. Sampai saat ini data terbaru mengenai disparitas persalinan di fasilitas kesehatan berdasarkan berbagai karakteristik hanya bersumber dari SDKI tahun 2012.
35
Gambar 5.5 Disparitas Persalinan di Fasilitas Kesehatan Berdasarkan Berbagai Karakteristik, SDKI 2012
Kualitas Pelayanan Pelayanan yang optimal dan berkualitas harus selalu ditingkatkan dijamin dengan sumber daya manusia yang cukup, dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang memadai. Kecukupan alat dan obat baik mutu dan jumlah merupakan faktor esensial yang harus diperhatikan. Namun dari hasil Rifaskes tahun 2011 menunjukkan bahwa ketersediaan alat dan obat di Puskesmas dan Puskesmas PONED masih belum baik dan perlu dilakukan evaluasi serta mendapatkan perhatian yang besar. Mengacu pada kebijakan pemerintah bahwa setiap kabupaten dan kota sedikitnya harus mempunyai 4 Puskesmas PONED, namun berdasarkan data terbaru Rifaskes 2011 menunjukkan kabupaten yang memiliki minimal 4 Puskesmas PONED, sesuai dengan standar baru sekitar 40 persen diperdesaan sedangkan di kota malah jauh lebih (13 persen). Namun yang menggembirakan Puskesmas perawatan yang mampu PONED cukup tinggi hampir 50 persen. Masih ada kekurangan dalam pelayanan rujukan, RSU Pemerintah yang memenuhi 9 kriteria PONEK masih kecil hanya 21 persen. Walaupun yang mempunyai spesialis kebidanan dan kandungan sudah cukup tinggi, yaitu 83 persen. Tetapi hanya separuh rumah sakit yang mempunyai dokter dan bidan yang telah dilatih PONEK, dan kurang dari separuh RSU Pemerintah mempunyai Tim PONEK Esensial. Rumah sakit umum yang mempunyai tim operasi untuk pelayanan darurat cukup tinggi yaitu sekitar 72 persen, namun kesiapan untuk melakukan pelayanan darurat ini perlu dilengkapi dengan fasilitas dan perlengkapan yang memadai Target MDG 5 B: Mewujudkan Akses Kesehatan Reproduksi bagi Semua pada tahun 2015 Agar dapat mewujudkan “akses kesehatan reproduksi bagi semua” atau universal access of reproductive health maka pelayanan dan informasi kesehatan reproduksi harus tersedia, terjangkau, dan memenuhi kebutuhan semua orang, yaitu: (1) mudah dan aman serta terjangkau oleh semua orang, (2) tersedia bagi masyarakat miskin dengan biaya murah; dan (3) peka terhadap nilai sosial, kultural, agama dan nilai-nilai lokal lainnya.
36 Total Fertility rate (TFR) dan Contraceptive Prevalence Rate (CPR) Total fertility rate di Indonesia sampai saat ini stagnan disebabkan antara lain oleh proporsi wanita usia subur yang pernah kawin, tren CPR, penggunaan metoda campuran (mixed methods) dan usia saat perkawinan pertama. Perkawinan usia remaja dan proporsi childbearing pada usia remaja sangat berpengaruh terhadap TFR. Desentralisasi sistem pemerintahan terjadinya perubahan struktur organisasi BKKBN, berkurangannya pendanaan diikuti dengan menurunnya jumlah Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) secara signifikan menyebabkan program promosi KB di masyarakat menurun drastis.
2.85 2.78
2.6
1994
1997
2003
2.6
2007
2.6
2012
Gambar 5.6 Tren Total Fertility rate (TFR) di Indonesia, tahun 1994-2012
Sumber: BPS, SDKI
Prevalensi pemakaian kontrasepsi (CPR-contraceptive prevalence rate) merupakan indikator dalam mengukur akses pelayanan KB. Target nasional CPR untuk tahun 2014 adalah 65,5 persen (RPJMN 2010-2014), sementara MDGs menargetkan meningkatnya CPR tanpa target angka. Namun dari data SDKI ada peningkatan CPR yang dihitung dengan menggunakan cara modern yaitu dari 57,4 persen (2007) menjadi 57,9 persen (2012) dan meningkat menjadi 60,18 persen (Susenas, 2014, triwulan 1). Adanya perubahan metode sampel dari ever married dan currently married pada SDKI sebelumnya menjadi semua perempuan dan perempuan yang sedang menikah (all women and currently married) pada SDKI 2012 menyebabkan denominatornya lebih besar, sehingga angka CPR menjadi lebih kecil. Sebaliknya bila menggunakan denominator yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya diperkirakan CPR akan lebih besar.
Gambar 5.7 Tren Angka Prevalensi Penggunaan KB (CPR) modern pada wanita kawin usia 15-49 tahun di Indonesia.
37 Kunjungan Ante Natal 1 dan 4 (K1 dan K4) Berdasarkan data SDKI Tahun 2012, kunjungan KI Sudah mencapai persentase yang sangat tinggi, yaitu 96,9 persen sedangkan kunjungan K4 masih mencapai 73,5 persen. saat ini , persentase kunjungan KI mencapai 93,75 persen dan kunjungan K4 mencapai 84,72 persen pada tahun 2014 berdasarkan data dari Kementerian Kesahatan. Pada tahun 2014 tersebut mengalami penurunan dari tahun 2013 persentase kunjungan KI tahun 2013 mencapai 98,21 persentase sedangkan kunjungan K4 mencapai 89,03 persen Menurut data SDKI, angka K4 menunjukkan peningkatan antara tahun 2003 dan 2012, terutama antara tahun 2007 dan 2012. Namun demikian masih seperempat dari wanita hamil tidak mendapatkan pelayanan ANC yang seharusnya (lengkap) sehingga mungkin sebagian komplikasi kehamilan tidak terdeteksi (misalnya pre-eklampsi dan kelainan letak), sehingga terlambat mendapatkan pertolongan yang mencukupi. Salah satu penyebab tidak naiknya K4 lebih tinggi adalah karena banyak bidan yang tidak tinggal di desa sehingga akses masyarakat terhadap pelayanan bidan kurang optimal. Selain itu, pencapaian K4 saja perannya tidak akan optimal bila komponen pelayanan yang penting dalam kunjungan antenatal tersebut tidak diberikan. Data SDKI 2012 menunjukkan bahwa pada saat antenatal, hanya 53 persen ibu yang memperoleh informasi mengenai tanda-tanda kompliksi kehamilan, hanya 47,7 persen yg diperiksa urinnya, dan 41 persen yang diperiksa darahnya (untuk menentukan apakah ibu mengalami anemia). Hal ini seharusnya sangat penting dilakukan karena perdarahan dan eklampsia merupakan penyebab utama kematian ibu. Perdarahan kebidanan sangat terkait dengan status anemia ibu hamil, sementara prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia tinggi.
Gambar 5.8 Kunjungan K1 dan K4 antara tahun 1994-2014 (SDKI 2012, Kemenkes 2014* )
Unmet need KB Unmet need adalah permintaan terhadap kontrasepsi yang tidak terpenuhi, yang bisa disebabkan oleh pelayanan yang tidak optimal maupun karena kendala anggaran. Telah terjadi penurunan unmet need, dari tahun ke tahun sehingga saat ini telah memenuhi target MDG 5B, walaupun angka unmet need ini masih tinggi. Untuk bisa mencapai universal coverage angka unmet need seharusnya nol. Masih tingginya unmet need KB, mengindikasikan bahwa masih cukup banyak perempuan yang kebutuhannya terhadap KB tidak terpenuhi, baik karena alasan mengatur jarak kehamilan (spacing) ataupun pembatasan kehamilan (gambar 5.9).
38
Gambar 5.9 Tren Unmet need (persen) di Indonesia tahun 1991- 2012 (SDKI)
Disparitas Unmet need KB Walaupun telah terjadi penurunan unmeet need secara maksimal namun masih terjadi disparitas proporsi unmet need antar provinsi yang masih cukup besar, antara lain di Kalimantan Tengah dan di Provinsi Papua, dimana unmet need di propinsi tertinggi mencapai hampir 3 kali lipat di banding unmet di propinsi yang terendah. Seperti yang dilaporkan pada laporan MDGs tahun 2013 rata-rata unmet need 11,4 persen pada tahun 2012 dan dua pertiga provinsi di Indonesia mempunya unmet need lebih besar dari 10 persen.
Gambar 5.10 Unmet need metode KB berdasarkan provinsi tahun 2012 Sumber: BPS, SDKI 2012
39 Unmet need semakin meningkat dengan jumlah anak yang hidup pada kondisi geografis, sosio ekonomi tertentu. Kebutuhan masyarakat akan kontrasepsi, yaitu dari kelompok yang ingin menjaga jarak kelahiran untuk membatasi jumlah kelahiran (limiting) berdasarkan umur, dimana alasan pen-jarak-an kehamilan lebih tinggi pada pasangan yang berusia muda, sedangkan pada kelompok pasangan yang berusia lebih tua alasan pembatasan kehamilan lebih dominan. Alasan pembatasan kehamilan juga lebih besar pada mereka yang telah mempunyai anak 3 orang atau lebih, pada mereka yang tinggal di perkotaan dan pada mereka yang mempunyai pendidikan rendah.
Gambar 5.11 Unmet need terhadap KB berdasarkan alasan pada berbagai karakteristik (SDKI, 2012) Sumber: BPS, SDKI 2012
Mereka yang telah mempunyai 2 anak, kebanyakan tidak menginginkan penambahan jumlah anak lagi (limiting). Pemenuhan kebutuhan kontrasepsi pada kelompok ini perlu mendapat perhatian yang serius. Pada kelompok miskin dan ibu yang tidak pernah bersekolah, keinginan untuk tidak mempunyai anak lagi juga cukup tinggi, pada saat yang sama unmet need pada kelompok ini juga cukup tinggi. Pada kelompok masyarakat yang kaya umumnya tidak mempermasalahkan pembatasan kehamilan dan kelahiran.
40 UPAYA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk percepatan pencapaian MDGs antara lain melalui penjaminan kompetensi Bidan di desa yang diikuti dengan penjaminan ketersediaan faslitas yankes mampu pertolongan persalinan 24/7 sesuai standar yang ditetapkan Kemenkes RI. Kemudian Penjaminan seluruh RS Kab./Kota mampu PONEK 24/7 serta penjaminan terlaksananya rujukan efektif dan penjaminan dukungan PEMDA dengan menerbitkan regulasi yg diperlukan untuk mendukung pelaksanaan program secara efektif. Selain dukungan dari pemerintah perlu juga dilakuan peningkatan kemitraan dengan pihak swasta melalui : a) Peningkatan koordinasi dengan fasilitas pelayanan kebidanan swasta (klinik, Rumah Sakit, Rumah Bersalin). b) Peningkatan peran industri farmasi dalam penyediaan dan pemantapan supply chain alat kesehatan dan obat. c) Peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan neonatal untuk masyarakat miskin. d) Pemanfaatan CSR untuk meningkatkan promosi dan pelayanan kesehatan ibu dan neonatal. e) Peningkatan promosi dan penggunaan metoda KB jangka panjang oleh tenaga dan fasilitas kesehatan swasta. f) Peningkatan peran industri farmasi dalam penyediaan dan pemantapan supply chain alat kontrasepsi, peningkatan pelayanan KB dan Kespro di tempat kerja, dan g) Pemanfaatan CSR untuk meningkatkan promosi dan pelayanan KB. Meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) di masyarakat serat meningkatkan strategi KIE yang berkesinambungan dan tepat sasaran yang terintegrasi dengan pesan cegah “4 Terlalu” dan pentingnya kehidupan “1000 hari pertama kehidupan” dengan (i) Pemberdayaan secara berjenjang: tenaga kesehatan di berbagai tingkat pelayanan kesehatan, dan tenaga non-kesehatan (guru, TOMA, TOGA, LSM, dll); dan (ii) Pemanfaatan berbagai pendekatan, termasuk media massa. Fokus Area Strategi KIE, yaitu (i) Konsep kesehatan reproduksi, dan penitngnya “2 anak cukup” yang dihubungkan dengan pencegahan 4 terlalu; (ii) informed choice tentang KB dan pengambilan keputusan berKB; (iii) Genre dan penyiapan kehidupan berkeluarga; (iv) Pentingnya pematangan usia perkawinan pertama; (v) Kelebihan dan kekurangan berbagai metoda KB utama, metoda jangka pendek dan panjang; dan (vi) Akibat diskontinu penggunaan metoda KB. Selain itu juga harus dilakukan sinkronisasi program dan anggaran pusat dan daerah. Perlunya peningkatan kapasitas dan kompetensi provider pelayanan KB dan petugas lapangan KB serta penguatan koordinasi dalam perancanaan terpadu untuk menentukan dana operasional bagi upaya penyuluhan dan pelaksanaan program KB serta rekrutmen untuk menambah jumlah PLKB. Selain itu, dalam upaya memperkuat koordinansi Dinkes dengan RS pemerintah dan swasta, serta koordinasi di tingkat Pusat dengan Kemendikbud tentang pendidikan Kespro melalui program formal (kurikulum) atau non-formal (UKS, kegiatan extra-kurikulum), dll. Serta koordinasi tingkat Pusat dengan Kemenag tentang: 1) pendidikan Kespro melalui program formal (kurikulum) di madrasah dan pesantren atau non-formal (UKS, kegiatan extra-kurikulum), dll; 2) calon pengantin Upaya yang telah dilakukan juga melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan: a) Pengembangan strategi peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui: pengembangan materi, pendekatan/metoda penyampaian, prioritas target. b) Peningkatan ketersediaan informasi dan pelayanan Kespro untuk remaja melalui kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan: Puskesmas, Sekolah, perkumpulan remaja, dll. Penguatan sistem Informasi, Monitoring dan Evaluasi: a) Antar jenjang sektor kesehatan. b) Antar program di sektor kesehatan. c) Antar sektor (RS pemerintah, Dinkes, Swasta, BKKBN, dll.).
TUJUAN 6 MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA
Sumber: TEMPO
41
TUJUAN 6 MEMERANGI HIV DAN AIDS, MALARIA DAN PENYAKIT MENULAR LAINNYA
TARGET 6A
MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN JUMLAH KASUS BARU HIV DAN AIDS HINGGA TAHUN 2015
TARGET 6B
MEWUJUDKAN AKSES TERHADAP PENGOBATAN HIV DAN AIDS BAGI SEMUA YANG MEMBUTUHKAN SAMPAI DENGAN TAHUN 2010 Indikator
Acuan dasar
Saat ini
Target MDGs 2015
Status
Sumber
Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDs hingga tahun 2015 6.1
6.2
6.3
Prevalensi HIV dan AIDS (persen) dari total populasi Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi terakhir Proporsi jumlah penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS
-
0,46%
Menurun
▼
Kemenkes
12,80% (2002/03)
43,52% (2013)
Meningkat
►
Kemenkes, Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP)
-
21,25% (2012)
Meningkat
▼
Kemenkes, Rapid Survey 2012
Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV DAN AIDS bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun 2010 6.5
Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan anti-retroviral
-
96,01% (2014)
Meningkat
►
Kemenkes RI
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Untuk mengetahui prevalensi HIV di Indonesia dilakukaan perhitungan dengan pemodelan matematika. Dari hasil perhitungan tersebut diperkirakan Indonesia memiliki prevalensi HIV sebesar 0,46 persen pada tahun 2014. Sementara itu, jumlah kumulatif kasus HIV sampai dengan tahun 2014 yang terlaporkan berjumlah 160.138 kasus. Jumlah kasus HIV tertinggi yang dilaporkan tahun 2014 adalah dari Provinsi DKI Jakarta dengan jumlah kasus 34.641 kasus, selanjutnya adalah Provinsi Jawa Timur 20.761 kasus, Provinsi Papua 17.365 kasus (Gambar 6.1). Sedangkan jumlah kumulatif kasus AIDS yang terlaporkan sampai dengan tahun 2014 adalah 65.790 kasus, jumlah kasus tertinggi adalah dari Provinsi Jawa Timur sebanyak 12.347 kasus, urutan kedua dan ketiga adalah Provinsi Papua 11.841 kasus dan Provinsi DKI Jakarta 7.963 kasus (Gambar 6.2). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
42
Gambar 6.1 Jumlah kumulatif HIV sampai dengan Desember 2014 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014
Gambar 6.2 Jumlah kumulatif AIDS sampai dengan Desember 2014. Sumber: Kementerian Kesehatan 2014
Berdasarkan Gambar 6.3 angka kumulatif kasus per 100.000 penduduk (AIDS case rate) dibandingkan dengan jumlah kumulatif kasus AIDS menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur dengan jumlah kasus AIDS tertinggi ternyata AIDS case rate nya lebih rendah dibandingkan 7 provinsi lainnya. Sebaliknya Provinsi Papua dengan jumlah penduduk yang lebih kecil tetapi kasus AIDS yang ditemukan hanya selisih 506 lebih sedikit dibandingkan Provinsi Jawa Timur. Keadaan ini membuat AIDS case rate di Provinsi Papua lebih tinggi dari Provinsi lainnya.
Gambar 6.3 AIDS Case Rate Provinsi dan Nasional sampai dengan Desember 2014 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
43 Untuk mengendalikan laju penularan kasus HIV dan AIDS, dilakukan berbagai upaya preventive diantaranya adalah penggunaan kondom pada hubungan seksual berisiko tinggi menularkan HIV dan AIDS, akan tetapi upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang maksimal. Berdasarkan hasil dari Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) tahun 2013 menunjukkan penggunaan kondom pada populasi berisiko baru mencapai angka 43,52 persen. Upaya lain yang juga dilakukan untuk menekan laju penularan penyakit HIV dan AIDS adalah dengan meningkatkan pengetahuan penduduk melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Berdasarkan rapid survey pada tahun 2014 triwulan ke-3 tentang tingkat pengetahuan masyarakat pada usia 15-24 tahun mereka yang memiliki tingkat pengetahuan yang komprehensif tentang HIV dan AIDS masih sangat rendah yaitu 21 persen (Gambar 6.5).
Gambar 6.4 Penggunaan kondom pada populasi berisiko Tahun 2014 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014
Gambar 6.5 Persentase penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS Tahun 2014 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014
Sebagai tindak lanjut pada penduduk yang terinfeksi HIV tingkat lanjut dilakukan upaya pemberian obat antiretroviral (ARV). Proporsi penduduk yang terinfeksi HIV lanjut yang tercakup dalam Antiretroviral Therapy (ART) pada tahun 2011 adalah 84,10 persen (24.410 ODHA) dan meningkat menjadi 88 persen pada tahun 2012 (30.663 ODHA), 93 persen pada tahun 2013 (39.418 ODHA). Kemudian meningkat kembali pada tahun 2014 menjadi menjadi 96 persen (50.400 ODHA) (Gambar 6.6)
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
44
Gambar 6.6 Mewujudkan Akses Terhadap Pengobatan HIV dan AIDS bagi Semua yang Membutuhkan
UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Berdasarkan data persentase penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS masih sangat rendah yaitu 21 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pengetahuan remaja tentang HIV dan AIDS masih sangat rendah dan megakibatkan kelompok umur remaja tersebut sangat rentan terhadap penularan HIV dan AIDS. Untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran serta untuk menurunkan jumlah kasus baru HIV dan AIDS maka dilakukan upaya khusus secara terus menerus yang difokuskan pada kelompok usia remaja terutama untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang penyakit HIV dan AIDS dan salah satunya adalah melalui kampanye Aku Bangga Aku Tahu (ABAT). Kampanye ini merupakan strategi untuk menyampaikan dan mensosialisasikan perilaku seksual yang berisiko yang harus dihindari sebelum adanya komitmen pernikahan dan penyadaran tentang tata cara penularan penyakit HIV dan AIDS. Kampanye ini akan dilakukan diseluruh Provinsi di Indonesia dengan harapan agar pemerintah, dunia usaha, dan seluruh lapisan masyarakat, khususnya generasi muda dapat lebih mengenal serta melindungi diri dan orang lain dari risiko penularan penyakit HIV dan AIDS. Upaya lain yang dilakukan untuk menekan laju penyebaran penyakit HIV dan AIDS adalah dengan peningkatan akses masyarakat terhadap pengobatan dan penyediaan layanan terpadu atau komprehensif HIV dan AIDS. Sejak tahun 2010 sampai 2014 pelayanan HIV telah diperluas ke seluruh provinsi dan kabupaten/kota prioritas. Sampai Desember 2014, ada 1.583 layanan konseling dan testing (KT), 465 layanan perawatan dan dukungan pengobatan (PDP), 214 Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA), 1.290 Infeksi Menular Seksual (IMS) dan 90 Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Pada tahun 2014 telah dilakukan peningkatan jumlah Puskesmas yang mampu melaksanakan inisiasi pemberian ARV. Perluasan tes dan pengobatan layanan HIV-TB terintegrasi serta integrasi layanan PPIA dan layanan Kesehatan Ibu dan Anak. Sehingga terjadi peningkatan jumlah ibu hamil usia 15 tahun keatas yang tes dan menerima hasilnya dalam 12 bulan terakhir, yaitu 100.718 ibu hamil dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 42.276 ibu hamil. Penerbitan berbagai peraturan daerah mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS telah diterbitkan sebagai upaya untuk menguatkan penanggulangan HIV dan AIDS. Sampai awal tahun 2011, telah terbit 10 Peraturan Daerah (Perda) tingkat Provinsi; 1 Peraturan Gubernur, dan 13 Perda Kabupaten/Kota tekait penanggulangan HIV/AIDS dan jumlah peraturan daerah ini akan meningkat seiring dengan perjalanan waktu dengan upaya advokasi.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
45 Desentralisasi Obat Antiretroviral (ARV) Sejak beberapa tahun terakhir Kementerian Kesehatan RI telah mengembangkan desentralisasi obat ARV sebagai upaya untuk meningkatkan pengelolaan supply chain management obat ARV sehingga diperoleh persediaan obat ARV yang cukup dalam jumlah, waktu dan tempat yang tepat serta didukung oleh kualitas pelaporan yang baik dan akurat. Dalam pelaksanaan desentralisasi, Dinas Kesehatan Provinsi bertanggung jawab terhadap manajemen pelaporan rumah sakit dan distribusi obat ARV di daerahnya. Desentralisasi obat ARV ini dimulai pada tahun 2000 di lima provinsi yaitu: Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Papua, dan sampai tahun 2014 sudah terdapat 24 Provinsi yang telah melaksanakan desentralisasi obat ARV. Pada tahun 2014 juga dikembangkan desentralisasi sampai daerah Kabupaten/ Kota. Kabupaten/Kota yang telah melakukan disentralisasi obat ARV pada tahun 2014 adalah Kepuluan Riau (Batam, Tanjung Pinang, Bintan, Kep. Anambas, Kep. Natuna, Kep. Karimun), Bali (Denpasar, Gianyar, Buleleng, Tabanan, Jembrana, Badung), Papua (Nabire, Jayapura, Wamena).
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
46 TARGET 6C
MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN JUMLAH KASUS BARU MALARIA DAN PENYAKIT UTAMA LAINNYA HINGGA TAHUN 2015
Indikator
Acuan dasar
Saat ini
Target MDGs 2015
Status
Sumber
Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015 6.6
Angka kejadian dan tingkat kematian akibat malaria
6.6a
Angka kejadian malaria (per 1,000 penduduk)
4,68 (1990)
0,99 (2014)
Menurun
●
Kementerian Kesehatan (2015)
6.7
Proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida
16.5 % (2010)
34.8% (2013)
Meningkat
►
Kemenkes, Riskesdas 2013
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Upaya menurunkan angka kejadian malaria berdasarkan annual parasite incidende (API) menununjukan kecenderungan yang positif, hal ini dapat dilihat dari penurunan kasus malaria sejak tahun 1990 (API 4,68/1000 penduduk) menurun menjadi 1,38/1000 penduduk pada tahun 2013 dan telah mencapai target RPJMN pada tahun 2014 dengan API di bawah 1 (Gambar 6.7).
Gambar 6.7 Annual Parasite Incidende (API) Malaria di Indonesia Tahun 1990-2014 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014
Penurunan kasus ini didukung dengan semakin baiknya sistem surveilans di daerah sehingga semakin mudah mendeteksi keberadaan kasus di masing-masing daerah terutama di daerah endemis tinggi seperti Papua, Papua Barat, Maluku dan Nusa Tenggara Timur (Gambar 6.8)
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
47
Gambar 6.8 Annual Parasite Incidende (API) Malaria Per Provinsi di Indonesia dan Peta Endemisitas Tahun 2014 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014
Pencapaian program malaria di Indonesia pada tahun 2014 juga terlihat dari meningkatnya jumlah kabupaten/kota yang menerima sertifikat eliminasi malaria, tahun 2014 sebanyak 213 kabupaten/kota telah menerima sertifikat eliminasi malaria dan dalam tahap pemeliharaan/ bebas penularan malaria. Tahun 2015 ditargetkan sebanyak 225 Kabupaten/kota menerima sertifikat eliminasi malaria, bertambah 12 Kabupaten/ Kota dari tahun 2014 dan saat ini sudah 16 Kabupaten/Kota yang dinyatakan memenuhi persyaratan mendapat sertifikat eliminasi. Kabupaten/kota dalam tahap pre-eliminasi (endemis rendah) meningkat dari 124 menjadi 144 kab/kota. Total kabupaten/kota dengan API < 1 per 1000 penduduk meningkat dari 337 (67%) menjadi 368 kabupaten/kota (73%). Kabupaten/kota dalam tahapan intensifikasi fokus (endemis sedang) menurun dari 112 (22%) menjadi 84 kabupaten/kota (16%). (Gambar 6.9)
Gambar 6.9 Perkembangan endemisitas per Kabupaten/Kota pada tahun 2010-2014
Indikator penting untuk tatalaksana kasus malaria adalah persentase kasus malaria positif yang diobati sesuai standard, angka ini digunakan untuk melihat kualitas pengobatan kasus malaria apakah sesuai standar nasional atau tidak. Pengobatan hanya diberikan kepada penderita dengan hasil pemeriksaan positif, cakupan penderita malaria yang diobati sesuai standar (ACT) mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2013 sebesar 84% menjadi 86% pada tahun 2015 (Gambar 6.10)
Gambar 6.10 Persentase Pengobatan Sesuai Standar Program Malaria tahun 20102014 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
48 Proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida Sebagai upaya mengurangi angka kejadian malaria khususnya di daerah endemis tinggi, upaya pencegahan malaria adalah untuk mengurangi penularan malaria melalui perlindungan kepada kelompok usia rentan seperti ibu hamil, bayi dan anak-anak usia balita dari gigitan nyamuk penular malaria dengan penggunaan kelambu berinsektisida. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013 proporsi anak yang tidur dengan kelambu berinsektisida sebesar 34,80 persen meningkat dibandingkan data Riskesdas tahun 2010 Sebesar 16,5%. Proporsi penggunaan kelambu bervariasi pada setiap provinsi yaitu tertinggi di provinsi sulawesi barat sebesar 82.8% dan terendah di provinsi bali sebesar 2,5%, rendahnya proporsi penggunaan kelambu pada beberapa provinsi karena distribusi kelambu yang rendah sebab status endemisitasnya yang sudah baik (gambar 6.11). Peningkatan proporsi anak yang tidur dengan kelambu juga terlihat dari survai KAP di wilayah Kalimantan dan Sulawesi pada tahun 2012 sebesar 48,2% meningkat menjadi 80,6% pada tahun 2014 (Kemenkes, 2015)
Gambar 6.11 Proporsi Penggunaan Kelambu Per Provinsi Sumber: Riskesdas, 2013
Pemakaian kelambu berinsektisida merupakan salah satu strategi untuk mengurangi faktor resiko penularan malaria. Kelambu dibagikan kepada penduduk yang tinggal di daerah endemis tinggi malaria (API > 5 per 1000) setiap keluarga mendapatkan 2 buah kelambu. Sedangkan di daerah endemis sedang (API 1-5 per 1000) kelambu dibagikan hanya kepada kelompok risiko tinggi yaitu ibu hamil dan bayi. Total nasional sejak tahun 2010 - 2011 sebanyak 7,6 juta kelambu telah didistribusikan untuk seluruh Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia sebenyak 2.4 Juta, diantaranya untuk ibu hamil dan balita 3.9 Juta. Distribusi kelambu total nasional tahun 2014 sekitar 6,3 juta dan diantaranya untuk Kawasan Timur Indonesia (5 provinsi sebanya 3,5 juta).
UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 293/Menkes/SK/IV tanggal 28 April 2009 tentang eliminasi Malaria di Indonesia maka dalam upaya mencapai tujuan Eliminasi Malaria pada tahun 2030 ada delapan strategi yaitu: 1) Melakukan penemuan dini dan pengobatan dengan tepat; 2) Memberdayakan dan menggerakkan masyarakat; 3) Menjamin akses pelayanan berkualitas terhadap masyarakat yang berisiko; 4) Melakukan komunikasi, advokasi, motivasi dan sosialisasi kepada Pemerintah dan Pemerintah daerah; 5) Menggalang kemitraan dan sumber daya lokal, nasional maupun internasional; 6) Menyelenggarakan sistem surveilans, monitoring dan evaluasi serta informasi kesehatan; 7) Melakukan upaya eliminasi melalui forum kemitraan Gebrak Malaria; dan 8) meningkatkan kualitas SDM dan mengembangkan teknologi dalam upaya eliminasi malaria. Penyakit malaria banyak terjadi di daerah terpencil (remote) dan pedesaan (rural),hal ini dikarenakan daerah tersebut mempunyai faktor risiko yang lebih besar dibandingkan daerah perkotaan,dikarenakan :
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
49 1. Tempat perindukan (breeding places) nyamuk anopheles banyak terdapat di pedesaan dan terpencil baik perindukan alami maupun akibat secara tidak sengaja dibuat oleh manusia misalnya laguna,tambak terlantar dan galian pasir. 2. Perilaku yang berisiko, mereka yang sering berada diluar rumah pada malam hari dengan tidak menggunakan pakaian atau bahan pelindung dari gigitan nyamuk. 3. Infrastruktur yang belum baik misalnyanya penyediaan air bersih yang belum sampai ke rumah tangga sehingga banyak masyarakat mandi dan mengambil air pada malam hari di sumber mata air. Penyakit malaria bersifat sangat local specific sehingga antara satu daerah dengan yang lainnya terjadi perbedaan baik menurut kelompok umur, jenis kelamin penderita maupun jenis pekerjaan penderita.
Strategi Akselerasi Pengendalian Malaria di KTI 1. Intensifikasi dan ekstensifikasi pengobatan di semua fasilitas kesehatan dan penemuan secara aktif melalui MBS (mass blood survey). 2. Kelambunisasi melalui kampanye dan distribusi kelambu berinsektisida secara massal. 3. Penyemprotan Dinding Rumah (IRS) di desa dengan API> 40 ‰. 4. Penguatan Surveilans dan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB). 5. Penguatan kemandirian masyarakat melalui Posmaldes dan UKBM lainnya. 6. Penguatan kemitraan melalui Forum Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak-Malaria).
Strategi Khusus Strategi khusus berdasarkan peta epidemiologis endemisitas malaria : AKSELERASI Pengendalian Malaria pada daerah dengan endemisitas tinggi(Papua, Papua Barat, Maluku Utara, Maluku dan NTT), dengan cakupan seluruh wilayah (Universal Coverage) dengan endemisitas tinggi. 1. Penemuan secara aktif melalui MBS (Mass Blood Survey). 2. Kampanye kelambu berinsektisida secara massal, pada tahun 2014 dibagikan sebanyak 3,5 juta kelambu di 54 Kabupaten di Kawasan Timur Indonesia (Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT) (Gambar 6.12) 3. Penyemprotan dinding rumah (Indoor Residual Spraying) di desa dengan API > 40 ‰. INTENSIFIKASI Pengendalian Malaria di daerah FOKUS (tambang, pertanian, kehutanan, transmigrasi, pengungsian, dll.) bagi wilayah di luar KTI (Kawasan Timur Indonesia). ELIMINASI Malaria pada daerah dengan endemisitas rendah. 1. Penguatan surveilans migrasi. 2. Pengamatan daerah reseptif.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
50
Foto 6.1 Kegiatan Pekan Kelambu Masal di Kawasan Timur Indonesia Tahun 2014
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
51 MENGENDALIKAN PENYEBARAN DAN MULAI MENURUNKAN JUMLAH KASUS BARU MALARIA DAN PENYAKIT UTAMA LAINNYA HINGGA TAHUN 2015
TARGET 6C
Target MDGs Status 2015 Target 6C: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru Malaria dan penyakit utama lainnya hingga tahun 2015 Angka kejadian, prevalensi dan tingkat 6.9 kematian akibat Tuberkulosis Indikator
Acuan dasar
Saat ini
6.9a
Angka kejadian Tuberkulosis(semua kasus/100.000 penduduk/tahun)
343 (1990)
183 (2013)
6.9b
Tingkat prevalensi Tuberkulosis(per 100.000 penduduk)
443 (1990)
272 (2013)
6.9c
Tingkat kematian karena Tuberkulosis (per 100.000 penduduk)
92 (1990)
25 (2013)
6.10
Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dan diobati dalam program DOTS
6.10a
Proporsi jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi dalam program DOTS
20,0% (2000)
70 % ( 2014)*
70,0%
6.10b
Proporsi kasus Tuberkulosis yang diobati dan sembuh dalam program DOTS
87,0% (2000)
89.7% (TW 3, 2014)*
85,0%
Dihentikan, mulai berkurang
Sumber
● Global TB Report, WHO, 2014
● ●
Global TB Report, WHO ●
* Kemenkes
Status :● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Program pengendalian Tuberkolusis dari tahun ke tahun menunjukan hasil yang positif, hal ini terlihat dari peningkatan indikator penemuan kasus/case detection rate (CDR) dan angka keberhasilan pengobatan / Succes rate (SR). Angka CDR pada tahun 2003 hanya 37,6 persen meningkat menjadi 70 persen pada tahun 2014. Lama pengobatan TB memerlukan waktu sekitar 6-8 bulan, sehingga untuk menilai angka keberhasilan pengobatan atau SR diperlukan waktu untuk evaluasi sekitar 9-12 bulan, sehingga pasien yang berobat pada tahun 2011 baru dapat dilaporkan pada tahun 2012. Angka SR pada tahun 2014 triwulan-3 mencapai 89,7 persen. Indikator SR merupakan salah satu target dari MDGs yang saat ini sudah melampaui target MDGs yaitu 85 persen, dengan demikian Indonesia adalah Negara pertama dari 22 High Burden TB Countries di Wilayah Asia Tenggara yang mencapai target global SR yaitu 85 persen pada tahun 2005. 100%
90.7 91.0 91.0 91.0 91.2 90.3 90.2 89.7% 87.0 86.0 86.1 87.0 89.5 85.8%
Target SR : 85%
80% Target CDR : 75%
20%
37.6
21.0
53.5
67.7
83.5 84.4 81.0% 75.7 69.8 72.8 73.1 78.3 70.0%
2006
40%
2005
60%
CDR
SR
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2004
2003
2002
2001
0%
Gambar 6.12 Angka keberhasilan pengobatan / success rate (SR)
Sumber: Kementerian Kesehatan 2014
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
52 Keberhasilan dalam mengendalikan laju penyakit TB juga dapat dilihat dari penurunan angka kejadian TB, yaitu angka insidensi, prevalensi (gambar 6.13) dan angka mortalitas yang diukur berdasarkan jumlah kasus per 100.000 penduduk per tahun. Angka insidensi dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan dari 204 kasus pada tahun 2000 menjadi 183 kasus pada tahun 2013. Penurunan angka insidensi diikuti juga dengan penurunan angka mortalitas akibat TB. Kematian akibat TB 71 kasus pada tahun 2000 turun menjadi 25 kematian pada tahun 2013. 500 450
443
456
480 485 487 485 482 469 467 474
452
433
412
400
389
350
366
348
331
316
300 250 200
302
291 283 277 274 272
206 205 205 205 204 204 204 205 205 205 204 204 203 202 201 199 197 195 193 191 189 187 185 183
150 100 50 0 1990
1992
1994
1996
1998 Prevalens
2000
2002
Insidens
2004
2006
2008
2010
Mortalitas
2012
Gambar 6.13 Beban TB dalam rate (per 100.000 penduduk) tahun 1990-2013
Sumber: Kementerian Kesehatan 2014
UPAYA PENTING UNTUK PERCEPATAN TUJUAN Upaya yang telah dilakukan untuk menekan laju penularan penyakit TB paru diantaranya dengan meningkatkan penemuan kasus dan memastikan kesembuhan dari kasus yang telah ditemukan. Cara tersebut diwujudkan melalui terebosan-terobosan, antara lain: (1) Memasukkan strategi DOTS dalam akreditasi Rumash Sakit dan pelaksanaan Surat Tanda Registrasi (STR) atau surat Ijin Praktek (SIP) oleh IDI dan SIPA oleh IAI sebagai unsur penilaian, untuk 33 Provinsi; (2) Inisiasi penggunaan Rapid Diagnostic Test (RDT) dalam pemeriksaan TB dengan implementasi metode Line Prob Assay (LPA)/HAIN test di laboratorium mikrobilogi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit Dr, Soetomo serta RS Labuan Baji Makasar; (3) Penetapan dan pelaksanaan 3 laboratorium sebagai National Tuberculosis Referral Laboratory (NTRL); (4) Pengajuan pra kualifikasi obat TB ke WHO; (5) Inisiasi penerapan tes tuberkulin untuk mendukung tes TB pada anak-anak di 33 Propinsi; (6) Penggunaan 17 Gene Expert sebagai salah satu Rapid Diagnostic TB untuk TB MDR dan TB HIV secara bertahap di RS Adam Malik, Laboratorium Mikro UI, RS Persahabatan, RS Cipinang, RS Hasan Sadikin, BLK Bandung, RS Moewardi Solo, RS Karjadi, serta Laboratorium Mikro FK UGM, RS Dr. Soetomo, RS Syaiful Anwar, RS Labuan Baji, BBLK Surabaya, RS Sanglah, BLK Jayapura, Lab. NECHRI FK Unhas, RSU Cilacap; (7) Kerjasama dengan asuransi kesehatan dengan penggagasan penerapan standar pengobatan TB berbasis asuransi bagi pasien TB yang ditangani serta pengembangan skema pembiayaan berbasis asuransi bagi pasien TB (bersama Jamsostek, Jamkesmas, Jamkesda) dengan melibatkan 3 BUMN; (8) Pelaksanaan survei nasional prevalensi TB di 33 Provinsi; (9) Perluasan pelayanan pasien TB resisten obat ke seluruh wilayah Indonesia secara bertahap; (10) Penyusunan exit strategy program pengendalian TB untuk mengurangi ketergantungan terhadap donor. Selain terobosan-terobosan diatas, ditetapakan juga strategi nasional pengendalian TB yang merupakan upaya untuk mencapai tujuan dengan penjabaran strategi kedalam rencana aksi nasional: Pertama, meningkatkan perluasan pelayanan DOTS yang bermutu. Kedua, menangani MDR-TB, TB anak dan masyarakat misalnyakin serta kelompok rentan lainnya. Ketiga, Melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan milik pemerintah, masyarakat dan swasta mengikuti International Standard Of TB Care. Keempat, memberdayakan masyarakat
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
53 dan pasien TB.Kelima, memperkuat sistem kesehatan, termasuk sistem SDM dan manajemen program pengendalian TB. Keenam, meningkatkan komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB. Ketujuh, mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis.
PENYAKIT TIDAK MENULAR DAN CEDERA KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Akibat perubahan perilaku dan gaya hidup manusia maka terjadi perubahan pola dan kecenderungan penyakit. Telah terjadi transisi epidemiologi penyakit dari yang tadinya didominasi penyakit menular, disusul dengan penyakit tidak menular, penyakit akibat kecelakaan dan cedera yang akan menjadi tantangan pembangunan kesehatan di masa yang akan datang. Saat ini penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Tahun 2007 proporsi kematian akibat PTM sebesar 59.5 persen dari seluruh penyebab kematian (Riskesdas 2007). Angka ini meningkat dari sebelumnya 41.7 persen tahun 1995 dan 49.9persen tahun 2001 (SKRT 1995 dan 2001). Sampai saat ini data terbaru tentang kematian akibat PTM terakhir adalah Riskesdas 2007.
Kematian Akibat PTM No
GOALS-TARGET-INDIKATOR
ACUAN DASAR
TARGET 2025 25% penurunan relatif semua kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, diabetes, dan penyakit pernafasan kronis
1.
Persentase kematian akibat stroke
15.4% (Riskesdas 2007)
2.
Persentase kematian akibat hipertensi
6.8% (Riskesdas 2007)
3.
Persentase kematian akibat penyakit iskemik
5.1% (Riskesdas 2007)
4.
Persentase kematian akibat penyakit jantung
4.6% (Riskesdas 2007)
5.
Persentase kematian akibat diabetes melitus
5.7% (Riskesdas 2007)
6.
Persentase kematian akibat tumor ganas
5.7% (Riskesdas 2007)
7.
Persentase kematian akibat cedera
6.5% (Riskesdas 2007)
8.
Persentase kematian akibat penyakit saluran nafas bawah
5.1% (Riskesdas 2007)
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
54 Prevalensi PTM No
GOALS-TARGET-INDIKATOR
ACUAN DASAR
CAPAIAN Riskesdas 2013 12,1 % / 1000
1.
Prevalensi stroke penduduk usia 15+
2.
Prevalensi hipertensi penduduk usia 15+
8,3 per 1000 (Riskesdas 2007) 31,7% (Riskesdas 2007)
3.
Prevalensi penyakit jantung penduduk usia 15+
7,2% (Riskesdas 2007)
4.
Prevalensi penyakit sendi penduduk usia 15+
30,3% (Riskesdas 2007)
5.
Prevalensi asma penduduk usia 15+
3,5% (Riskesdas 2007)
6.
Prevalensi Diabetes Mellitus penduduk usia 15+
1,1% (Riskesdas 2007)
7.
Prevalensi tumor/kanker penduduk usia 15+
4,3 per 1000 (Riskesdas 2007)
Prevalensi cedera penduduk usia 15+
7,5% (Riskesdas 2007)
8.
Riskesdas 2013 25, 8 % Riskesdas 2013 1,5 % (PJK) 0,3 % (Gagal Jantung) Riskesdas 2013 24,7 % (Rematik) Riskesdas 2013 4,5% (Semua Umur) Riskesdas 2013 2,1 %
TARGET 2025
10% penuruan relatif prevalensi PTM
Riskesdas 2013 1,4 % / 1000 Riskesdas 2013 8,2 % (Semua Umur)
Keadaan dan Kecenderungan Prevalensi PTM di Indonesia relatif tinggi. Prevalensi stroke sebesa 8,3 per 1000 penduduk, prevalensi hipertensi 31,7 persen, penyakit jantung 7,2 persen, penyakit sendi 30,3 persen, asma 3,5 persen, DM 1,1 persen, tumor/kanker 4,3 per 1000, dan cedera 7,5 persen.
Prevalensi stroke
Gambar 6.14 Kecenderungan Prevalensi Stroke per 1000*) menurut Provinsi 2007-2013 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013
Terdapat 12 provinsi memiliki prevalensi stroke lebih tinggi dari prevalensi nasional (8.3 per 1000 penduduk). Prevalensi stroke tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 17,9 per 1000 penduduk, disusul Provinsi DIY 16,9 per 1000 penduduk, dan Provinsi Sulawesi Tengah 16,6 per 1000 penduduk. Sedangkan prevalensi terendah di Provinsi Riau sebesar 5,2 per 1000 penduduk. Sampai saat ini data terbaru mengenai prevalensi stroke dan penyakit PTM lainnya bersumber dari Riskesdas 2013.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
55 Prevalensi Hipertensi
Gambar 6.15 Prevalensi hipertensi menurut provinsi tahun 2013 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013
Berdasarkan gambar 6.14 terdapat penurunan prevalensi hipertensi nasional yang sangat berarti dari tahun 2007 sebesar 31,7% turun menjadi 25,8% pada tahun 2013. Hal ini menunjukan kesadaran masyarakat yang semakin tinggi terhadap penyakit tidak menular.
Prevalensi Penyakit Jantung
Gambar 6.16 Prevalensi penyakit jantung menurut provinsi tahun 2013 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013
Terdapat 15 provinsi memiliki prevalensi penyakit jantung lebih tinggi dari prevalensi nasional (0,3 persen). Prevalensi penyakit jantung tertinggi di provinsi NTT sebesar 0,8 persen, disusul Sulawesi Tengah 0,7 persen, dan Sulawesi Selatan 0,5 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Provinsi Jambi sebesar 0,1 persen.
Prevalensi Penyakit Sendi
Gambar 6.17 Prevalensi penyakit sendi menurut provinsi tahun 2013 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
56 Berdasarkan gambar 6.16 terdapat penurunan prevalensi penyakit sendi nasional yang sangat berarti dari tahun 2007 sebesar 30,3% turun menjadi 24,7% pada tahun 2013. Terdapat 10 provinsi memiliki prevalensi penyakit sendi lebih tinggi dari prevalensi nasional (24,7 persen). Prevalensi penyakit sendi tertinggi di provinsi NTT sebesar 33,1 persen, disusul Jawa Barat 32,1 persen, dan Bali 30,1 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Riau sebesar 10,8 persen.
Prevalensi Asma
Gambar 6.18 Prevalensi asma menurut provinsi tahun 2013 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013
Terdapat 18 provinsi memiliki prevalensi penyakit asma lebih tinggi dari prevalensi nasional (4,5 persen). Prevalensi penyakit asma tertinggi di Provinsi Sulawesi Tengah sebesar 7,8 persen, disusul NTT 7,3 persen, dan DIY 6,9 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Lampung sebesar 1,6 persen.
Prevalensi DM
Gambar 6.19 Prevalensi DM menurut provinsi tahun 2013 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013
Berdasarkan gambar 6.18 terdapat peningkatan prevalensi penyakit DM nasional yang sangat berarti dari tahun 2007 sebesar 1,1% meningkat menjadi 2,1% pada tahun 2013. Terdapat 14 provinsi memiliki prevalensi DM lebih tinggi dari prevalensi nasional (2,1 persen). Prevalensi DM tertinggi di provinsi Sulawesi Tengah sebesar 3,7 persen, disusul Sulewesi Utara 3,6 persen, dan Sulawesi Selatan 3,4 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Lampung sebesar 0,8 persen.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
57 Prevalensi Tumor/Kanker
Gambar 6.20 Prevalensi tumor/ kanker menurut provinsi tahun 2013 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013
Terdapat 13 provinsi memiliki prevalensi tumor/kanker lebih tinggi dari prevalensi nasional (1,4 persen). Prevalensi penyakit tumor/kanker tertinggi di Provinsi DIY sebesar 4,1 persen, disusul Jawa Tengah 2,1 persen, dan Bali 2,0 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Gorontalo sebesar 0,2 persen.
Prevalensi Cedera
Gambar 6.21 Prevalensi cedera menurut provinsi tahun 2013 Sumber: Kementerian Kesehatan 2014 Riskesdas 2013
Terdapat 15 provinsi memiliki prevalensi cedera lebih tinggi dari prevalensi nasional (8,2 persen). Prevalensi cedera tertinggi di provinsi Sulawesi Selatan sebesar 12,8 persen, disusul DIY 12,4 persen, dan NTT 12,1 persen. Sedangkan prevalensi terendah di Jambi sebesar 4,5 persen.
UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET Upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat PTM dilakukan dengan advokasi untuk mendapat dukungan dan komitmen politis serta upaya promosi gaya hidup sehat, yaitu tidak merokok, diet sehat, aktivitas fisik cukup, membatasi konsumsi alkohol. Upaya lain dengan deteksi dini faktor risiko dan PTM melalui kegiatan Pos Pembinaan Terpadu PTM (Posbindu PTM). Deteksi dini tersebut meliputi obesitas umum dan obesitas sentral, hipertensi, gula darah, kolesterol darah, kapasitas paru, amfetemin urin, Inspeksi Visual dengan Asam asetat (IVA) untuk kanker leher rahim dan Clinical Breast Examination untuk kanker payudara. Program lain adalah dengan meningkatkan akses pengobatan dan penyiapan peralatan diagnosis dan pengobatan di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Sedangkan untuk pasien PTM stadium akhir dilakukan pelayanan paliatif dan rehabilitatif di fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
58
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
TUJUAN 7 MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
Sumber: Pemerintah Provinsi Bengkulu
59
TUJUAN 7: MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP TARGET 7A
MEMADUKAN PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN DALAM KEBIJAKAN DAN PROGRAM NASIONAL SERTA MENGURANGI KERUSAKAN PADA SUMBER DAYA LINGKUNGAN Indikator
Target 7A:
7.1
Acuan dasar
Target MDGs 2015
Saat ini
Status
Sumber
Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan dan program nasional serta mengurangi kerusakan pada sumberdaya lingkungan
Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan
59,97% (1990)
66,00% (2013)*
Meningkat
1,377,983 Gg CO2 (2000)* 247.522 Gg CO2 (2000)**
1,791,372 Gg CO2e (2005)** 339.426 Gg CO2e (2005)*** 356.823Gg CO2e (2008)***
Berkurang 26% pada tahun 2015 Berkurang dari kondisi BAU 6,99
►
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
Kementerian Lingkungan Hidup
7.2
Jumlah emisi karbon dioksida (CO2)
7.2a
Jumlah konsumsi energi primer (BOE per kapita)
2,64 BOE (1991)
3,46 (2012)
7.2b
Intensitas energi (BOE per 1000 USD)
5,28 BOE/ USD 1.000 (1990)
1,00 BOE/USD 1.000 (2012)
Menurun
7.2c
Elastisitas energi
0,98 (1991)
1.6 (2010)
Menurun
7.2d
Bauran energi untuk energi terbarukan
3,5% (2000)
6,00% (2012)
7.3
Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) dalam metrik ton
8.332,7 metrik ton BPO (1992)
0 CFC, Halon, CTC, TCA, metil bromida 6,689.21 metrik ton HCFC (2010)
0 CFCs sementara HCFCs menurun
►
Kementerian Lingkungan Hidup
7.4
Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman
66,08% (1998)
93,54% (2013)
Tidak terlampaui
►
Kementerian Kelautan & Perikanan
▼ Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
-
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
60
7.5
7.6
Rasio luas kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan
Rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial
26,40% (1990)
0,14% (1990)
42,00% (2014)
5,1% (2014)*
Meningkat
Meningkat
►
►
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
*Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) (sebagian diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan) Kementerian Kelautan & Perikanan
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
Catatan: *Hasil penafsiran citra LDCM/Landsat 8 OLI Liputan Tahun 2013 (KLHK) **Jumlah emisi karbon dioksida yang mencakup semua unsur GRK ***Jumlah emisi karbon dioksida yang bersumber hanya dari kegiatan energi
TUJUAN DAN TARGET MDGs Keberadaan hutan di Indonesia dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta berbagai undang-undang dan peraturan lainnya yang terkait. Keberadaan hutan ini sangat penting sebagai penyangga kehidupan manusia dan bumi yang perlu dilindungi, dikonservasi, dimanfaatkan dan direboisasi untuk generasi sekarang dan yang akan datang.1 Sejalan dengan hal tersebut diatas, maka meningkatkan proporsi kawasan daratan yang tertutup hutan (Indikator 7.1) serta meningkatkan luas kawasan lindung (Indikator 7.5) dan kawasan lindung perairan (Indikator 7.6) menjadi hal yang penting yang perlu dipantau dalam rangka upaya pencapaian target MDGs, Goal 7a. Target MDGs 2015 untuk ketiga indikator ini sifatnya kualitatif, yaitu bahwa proporsi kawasan daratan yang tertutup hutan dan kawasan lindung perairan seharusnya adalah “meningkat”. Penurunan emisi karbon dioksida (Indikator 7.2) dan jumlah konsumsi bahan perusak ozon atau BPO (Indikator 7.3) adalah indikator lingkungan lainnya yang juga merupakan salah satu dari target MDGs Goal 7a, dengan target MDGs 2015, untuk emisi karbon dioksida adalah berkurang dengan 26 persen pada tahun 2015, dan untuk jumlah konsumsi BPO adalah “menurun untuk HCFC (hydrochorofluorocarbon) dan “nol” untuk CFS (chlorofuorocarbon). Kegiatan yang antara lain berkaitan dengan meningkatnya emisi karbon dioksida adalah penggunaan energi, terutama energi konvensional yang berasal dari penggunaan batubara, gas alam bahan bakar berbasis minyak, biomasa, briket, elpiji dan listrik. Pengurangan rasio konsumsi energi termasuk dalam target MDGs (Indikator 7.2a sampai 7.2d) yang juga dipantau statusnya, dan targetnya pada tahun 2015 adalah “berkurang’ atau “menurun”. Indikator lingkungan lainnya adalah proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman (Indikator 7.4), dan target MDGs untuk tahun 2015 adalah “tidak terlampaui”, dalam arti bahwa tangkapan ikan tidak melampaui batas biologis aman yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
1
Dikutip dari Pidato Sambutan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) ke 7, 28 November
2014.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
61 KEADAAN SAAT INI Rasio Luas Tutupan Hutan (Indikator 7.1) Berdasarkan hasil penafsiran citra LDCM (The Landsat Data Continuity Mission)/Landsat 8 OLI liputan Tahun 2013, luas daratan Indonesia adalah + 187,9 juta hektar. Luas tersebut terdiri dari: (a) Kawasan Hutan seluas 124,02 juta hektar (66%) dan (b) Areal Penggunaan Lain (APL)/bukan Kawasan Hutan seluas 63,89 juta hektar (34%). Penutupan lahan di Kawasan Hutan Tahun 2013, terdiri dari (a) lahan berhutan seluas 88,34 juta hektar (71,24%) dan (b) lahan tidak berhutan/non hutan seluas 35,67 juta hektar (28,76%). Sedangkan penutupan lahan di Areal Penggunaan Lain (APL)/bukan Kawasan Hutan Tahun 2013, terdiri dari (a) lahan berhutan seluas 8,16 juta hektar (12,8%) dan (b) lahan tidak berhutan/non hutan seluas 55,73 juta hektar (87,2%). Sehingga penutupan lahan berhutan Indonesia (Kawasan Hutan dan APL) Tahun 2013, terdiri dari: (a) lahan berhutan seluas 96,5 juta hektar (51,3%) dan (b) lahan tidak berhutan seluas 91,4 juta hektar (48,7%). Rasio luas penutupan lahan berhutan Indonesia (Kawasan Hutan dan APL) Tahun 2012 dan Tahun 2013, dihasilkan berdasarkan perbandingan luas tutupan lahan berhutan terhadap luas Kawasan Hutan Tahun 2012 dan luas Kawasan Hutan Tahun 2013 dengan satuan persentase. Hal ini dikarenakan luas Kawasan Hutan bersifat dinamis setiap tahunnya akibat perkembangan hasil paduserasi Kawasan Hutan dengan Tata Ruang. Rasio luas penutupan lahan berhutan Tahun 2012 dan Tahun 2013, ada Provinsi yang mengalami peningkatan dan ada Provinsi yang mengalami penurunan. Provinsi yang luas penutupan lahan berhutannya mengalami peningkatan sebesar + 0,2% adalah Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, sedangkan Provinsi yang luas penutupan lahan berhutannya mengalami penurunan sebesar + 0,4% adalah Provinsi Kalimantan Barat. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.1 Pada rasio luas penutupan lahan berhutan Tahun 2012 dan Tahun 2013 tingkat Pulau, maka pulau yang luas penutupan lahan berhutannya mengalami peningkatan adalah Pulau Sumatera (0,1%), Pulau Bali Nusa Tenggara (0,1%) dan Pulau Papua (0,3%). Sedangkan Pulau yang luas penutupan lahan berhutannya mengalami penurunan adalah Pulau Kalimantan (0,5%), Pulau Jawa (0,4%), Pulau Sulawesi (0,4%) dan Pulau Maluku (0,1%). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.2
Gambar 7.1 Persentase Peningkatan/ Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan Tiap Provinsi. Sumber: Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2013
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
62
Gambar 7.2 Peningkatan/Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan Tiap Pulau Sumber: Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2013.
Persentase besarnya peningkatan/penurunan luas penutupan lahan berhutan Tahun 2012 dan Tahun 2013 tingkat Pulau, maka Pulau yang persentase luas penutupan lahan berhutannya mengalami peningkatan tertinggi adalah Pulau Papua sebesar 0,3%. Sedangkan Pulau yang persentase luas penutupan lahan berhutannya mengalami penurunan tertinggi adalah Pulau Kalimantan sebesar 0,5%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.3
Gambar 7.3 Persentase Peningkatan/ Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan Tiap Pulau Sumber: Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2013. (Kementerian KLHK)
Dalam rangka menjaga kelestarian keanekaragaman hayati, rasio luas kawasan Hutan Lindung terhadap luas total Kawasan Hutan, perlu dijaga agar stabil. Persentase luas tutupan lahan berhutan pada kawasan Hutan Lindung tiap Provinsi pada Tahun 2012 dan Tahun 2013, ada Provinsi yang mengalami peningkatan, dan ada Provinsi yang mengalami penurunan. Hutan Lindung yang mengalami peningkatan luas tutupan lahan berhutannya adalah Provinsi Kalimantan Timur sebesar 0,1% dan Hutan Lindung yang mengalami penurunan luas tutupan lahan berhutannya adalah Provinsi Riau, Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Barat. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7.4
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
63
Gambar 7.4 Persentase Peningkatan/ Penurunan Luas Penutupan Lahan Berhutan pada Hutan Lindung tiap Provinsi Sumber: Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2013. (Kementerian KLHK)
Jumlah Emisi Karbon Dioksida (Indikator 7.2) Berdasarkan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup, untuk Laporan MDGs sebelumnya (tahun 2011), angka penurunan emisi karbon dioksida sebesar 1.377.983Gg CO2e (2000) dan1.791.372 Gg CO2e (2005) merupakan angka total emisi gas rumah kaca (GRK) tahun 2000 dan 2005 dari sektor energi, proses industri, pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya, serta limbah, dan memuat gas rumah kaca yang sudah disetarakan dari CO2, N2O dan CH4 disetarkan menjadi CO2 ekuivalen (e) (lihat tabel berikut).
Indikator 7.2
Jumlah emisi karbon dioksida (CO2)
Acuan Dasar 1.377.983 Gg CO2e (2000)
Data Terbaru 1.791.372 Gg CO2e (2005) 1.711.626 Gg CO2e (2008)
Target MDGs 2015 Berkurang
Status ▼
Sumber Kementerian Lingkungan Hidup
Dengan demikian angka 1.377.983Gg CO2e (2000) dan 1.791.372 Gg CO2e (2005) mencakup semua unsur GRK yaitu CO2, N2O dan CH4. Jumlah emisi karbon dioksida (CO2) (Indikator 7.2) merupakan satu kesatuan dengan Indikator 7.2a, 7.2b, 7.2c dan 7.2d yang semuanya menyangkut energi. Dengan demikian, emisi CO2 yang bersumber dari kegiatan energi juga dicantumkan dalam Tabel Induk, karena angka CO2 sebesar 247.522 Gg CO2(2000), 339.426 Gg CO2 (2005) dan 356.823 Gg CO2 (2008) merupakan jumlah emisi CO2 yang bersumber dari kegiatan energi. Dalam laporan ini, untuk menjaga konsistensi dengan laporan tahun-tahun sebelumnya, jumlah emisi karbon dioksida yang mencakup semua unsur GRK tetap dicantumkan.
Konsumsi Energi Primer (Indikator 7.2a) Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, informasi yang tersedia untuk konsumsi energi adalah berasal dari tahun 2012. Dengan demikian jumlah konsumsi energi primer pada tahun 2012 (data terakhir yang tersedia) adalah 3,46 BOE2 per kapita., dengan prosentasi kenaikan sebesar 3,46 persen Angka ini tidak berbeda dengan Laporan MDGs tahun 2013. Untuk tahun yang sama, intensitas energi adalah 1 BOE per seribu USD, dan bauran energi untuk energi baru dan terbarukan adalah 6 persen. 2 Barrel Oil Equivalent atau Setara Barel Minyak (SBM)
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
64 Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) (Indikator 7.3) Berdasarkan informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup (2013), Chlorofluorocarbon (CFC), halon, carbontetrachloride (CTC), methyl chloroform (TCA) dan methyl bromide (MBr) untuk keperluan fumigasi non karantina dan pra-pengapalan merupakan jenis BPO yang telah dihentikan impornya di Indonesia sejak 1 Januari 2008, atau dua tahun lebih awal dari jadwal yang ditetapkan oleh Protokol Montreal bagi negaranegara Artikel 5 (negara-negara dengan konsumsi BPO kurang dari 0,3 kg/kapita/pertahun). Saat ini BPO yang masih diperkenankan untuk diimpor yaitu jenis hydrochlorofluorocarbon (HCFC) dan methyl bromide (MBr) untuk aplikasi karantina dan pra-pengapalan HCFC merupakan BPO yang saat ini masih digunakan secara luas terutama di negara berkembang sebagai alternatif pengganti sementara CFC. Disebut sebagai pengganti sementara karena bahan tersebut masih memiliki potensi merusak ozon walaupun nilainya lebih kecil dibandingkan dengan CFC. Selain itu HCFC juga memiliki nilai potensi pemanasan global yang cukup tinggi, dimana jenis HCFC yang paling umum digunakan memiliki hampir 2.000 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida (CO2) dalam meningkatkan pemanasan global. Mempertimbangkan kondisi tersebut, Meeting of Parties Protokol Montreal pada tahun 2007 memutuskan untuk mempercepat jadwal penghapusan BPO jenis HCFC. Sehingga setiap negara pihak mulai menyusun strategi penghapusan HCFC secara bertahap sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
Proporsi Tangkapan Ikan (Indikator 7.4) Proporsi penangkapan ikan harus dijaga agar selalu di bawah batas biologis aman. Pada tahun 1998 yang merupakan tahun dasar, proporsi cadangan ikan di dalam batas biologis aman adalah 66,08 persen. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan (SDI) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, potensi lestari SDI di perairan laut atau Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah sebesar 6,52 juta ton/per tahun. Dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, maka jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) atau Total Allowable Catch (TAC) adalah sebesar 80% dari potensi lestari atau sebesar 5,216 juta ton. Besaran angka potensi lestari SDI yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan dimaksud tidak menghitung seluruh jenis komoditas, tetapi hanya untuk sebagian komoditas saja yakni: (1) pelagis besar, (2) tongkol, (3) pelagis kecil, (4) ikan karang konsumsi, (5) udang paraneid, (6) lobster, (7) cumicumi. Untuk jenis sumber daya lainnya, karena sifat biologisnya, nilai ekonomisnya, atau sangat beragamnya jenis sumber daya ikan, maka sumber daya tersebut tidak/belum diestimasi. Apabila melihat produksi tahun 2012, 2013, dan 2014, dapat dijelaskan sebagai berikut: Produksi Perikanan Tangkap
2012
2013
Perikanan Lauit a. Kelompok sumber daya ikan yang diestimasi potensinya (ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal, udang penaeid, ikan karang konsumsi, lobster, cumicumi) b. Kelompok sumber daya ikan yang tidak/belum diestimasi potensinya (tuna, binatang lunak selain cumi-cumi, kepiting, rajungan, udang lainnya, binatang berkulit keras lainnya, binatang air lainnya, rumput laut) Perairan umum daratan
5.435.633
5.458.490
5.678.050
4.864.117
4.895.120
5.107.060
571.516
563.370
570.990
393.561
404.680
405.900
Total
5.829.194
5.863.170
6.083.950
*Angka sementara Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
2014*
65 Tabel berikut memperlihatkan rincian produksi perikanan tangkap untuk tahun 2012-2014 (dalam ton) Produksi Perikanan Tangkap
2012
Perikanan Laut Kelompok SDI yang diestimasi potensinya - Pelagis Besar - Tongkol - Pelagis Kecil - Demersal - Ikan Karang Konsumsi - Udang Penaeid - Lobster - Cumi-cumi Kelompok SDI yang tidak diestimasi potensinya - Tuna - Binatang lunak selain cumi-cumi - Kepiting - Rajungan - Udong Krosok - Udang Lainnya - Binatang Berkulit Keras Lainnya - Binatang air lainnya - Rumput laut Perairan Umum Daratan
2013
2014*
5.435.633 4.864.117 663.094 434.561 1.884.594 1.372.841 190.705 163.849 13.549 140.924 571.516 275.779 94.518 33.910 39.126 17.692 67.942 1.177 33.731 7.641
5.458.490 4.879.430 669.910 445.650 1.873.510 1.366.000 201.690 166.630 14.640 141.400 579.060 279.280 98.170 34.350 40.130 18.690 64.970 1.200 34.380 7.890
5.678.050 5.107.060 670.780 452.960 1.971.800 1.464.230 193.060 195.460 15.940 142.830 570.990 280.960 100.690 34.890 41.680 68.050 1.230 35.410 8.080
393.561
404.680
405.900
*Angka sementara Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman, berdasarkan Keputusan MKP No. KEP.45/MEN/2011untuk tahun 2012-2014 dapat dilihat dalam tabel berikut. 2012 Produksi Perikanan Tangkap Laut (ton) JTB = 80% MSY (MSY 6.520.000 ton)** = 5.216.000
2013
2014*
4.864.117
4.879.430
5.107.060
93,25%
93,54%
97,91%
*Angka sementara Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Dari data tersebut terlihat bahwa apabila dibandingkan terhadap komoditas yang telah diestimasi produksinya, produksi perikanan tangkap di laut tahun 2012, 2013 dan 2014 masih berada di bawah JTB, yakni 93,25 persen pada tahun 2012, 93,54 persen pada tahun 2013 dan 97,91 persen pada tahun 2014. Capaian ini menggambarkan kondisi yang baik mengingat batasan yang ditoleransi adalah pada kisaran < 100% dari JTB. Angka estimasi tersebut dapat saja berubah, karena perhitungan estimasi JTB sampai dengan Tahun 2014 masih menggunakan angka potensi sebesar 6,52 juta ton sesuai dengan Keputusan MKP Nomor KEP.45/ MEN/2011. Ke depan, KKP akan melakukan kajian angka potensi sumber daya ikan dengan melibatkan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan dalam menghitung potensi sumber daya ikan di Indonesia.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
66
Gambar 7.5 Produksi Perikanan Dibandingkan Dengan Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan (JTB), 2012-2013 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan Catatan: JTB = 5.216.000 ton (80% dari MSY), sehingga nilai JTB tahun 2012-2014 adalah sama, yaitu 5.216.000 ton
Pada tahun 2014 produksi hasil tangkap ikan di laut (angka sementara) sebesar 5,11 juta ton, jika dihitung berdasarkan JTB tahun 2011 dan dibandingkan dengan besarnya potensi lestari sebesar 5,22 juta ton, maka proporsi tangkapan ikan sebesar 97,91 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2014 proporsi tangkapan ikan masih dalam batasan biologis yang aman. Perkiraan tahun 2015 akan terdapat peningkatan potensi lestari sumber daya ikan mengingat kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam memberantas Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing melalui moratorium izin penangkapan, penenggalaman kapal pencuri ikan serta pelarangan transshipment.
Kawasan Lindung Perairan (Indikator 7.6) Luas kawasan konservasi perairan sampai dengan tahun 2014 adalah seluas 16,5 juta Ha, sebagaimana terlihat pada tabel dan grafik berikut:
Tabel 1. Capaian Konservasi Kawasan Tahun 2010 – 2014 Kawasan Konservasi A. Dikelola Kemenhut Taman Nasional Laut Taman Wisata Alam Laut Suaka Margasatwa Laut Cagar Alam Laut B. Dikelola Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Pemda Taman Nasional Perairan Suaka Alam Perairan Taman Wisata Perairan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Jumlah Total
Jumlah Kawasan
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
Luas (Ha)
32 7 14 5 6
4.694.947,55 4.043.541,30 491.248,00 5.678,25 154.480,00
113
11.851.546,41
1 3 6 103
3.355.352,82 445.630,00 1.541.040,20 6.509.523,39
145
16.546.493,96
67
Gambar 7.6 Kawasan Konservasi Perairan Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Secara terperinci, perkembangan luasan kawasan koservasi perairan mengalami peningkatan yang signifikan sejak tahun 2003. Dalam perkembangannya, sampai dengan akhir tahun 2014 luas KKP di Indonesia telah mencapai 16,546 juta ha. Pergeseran data kawasan koservasi perairan terjadi pada tahun 2009 dengan adanya pengalihan 8 (delapan) kawasan konservasi dari Kementerian Kehutanan seluas 723.984 Ha. Peningkatan yang signifikan ini terjadi antara lain dengan berkembangnya kawasan konservasi perairan di daerah yang diinisiasi oleh Pemerintah Daerah yang disebut Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD), dan Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN), diantaranya Pencadangan Taman Nasional Perairan (TNP) laut Sawu seluas 3,52 juta Hektar pada tahun 2009 dan Pencadangan Taman Wisata Perairan (TWP) Kepulauan Anambas seluas 1,26 juta Hektar pada tahun 2011.
Gambar 7.7 Luas Kawasan Konservasi, 2003 - 2014 Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Penurunan Emisi Karbon Dioksida dan Pemakaian Bahan Perusak Ozon (BPO) Kementerian Lingkungan Hidup, bersama-sama dengan kementerian terkait lainnya (Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Ditjen Bea dan Cukai) serta Perusahaan Pengguna Bahan Perusak Ozon telah melaksanakan strategi nasional penghapusan konsumsi HCFC di Indonesia. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan saling bersinergi dalam menyusun peraturan yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan upaya penghapusan penggunaan HCFC tersebut. “Target Indonesia adalah sebelum tanggal 1 Januari 2015 industri manufaktur dan atau perakitan refrigerasi dan AC pengguna HCFC-22 serta industri pengguna HCFC-141b sebagai blowing agent untuk busa insulasi
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
68 pada peralatan refrigerasi, dan manufaktur produk refrigerasi domestik, freezer, thermoware, refrigerated trucks dan integral skin telah selesai melakukan alih teknologi dari yang menggunakan HCFC menjadi nonHCFC untuk mencapai penurunan konsumsi HCFC sebesar 10% pada 1 Januari 2015.”3 Menjaga Proporsi Penangkapan Ikan Dalam upaya menjaga proporsi penangkapan ikan di bawah batas biologis aman, beberapa upaya yang dilakukan di tahun 2014, antara lain adalah: penyediaan rumah ikan, penyediaan reservat perairan umum daratan, pengelolaan laut teritorial dan kepulauan, pengelolaan sumber daya ikan di 3 Wilayah Pengelolaan Perikanan serta pelaksanaan FKPPS Nasional. Pengelolaan Efektif Kawasan Konservasi Pengelolaan kawasan konservasi dapat tercapai secara efektif sesuai dengan tujuannya jika didukung dengan sistem zonasi dan rencana pengelolaan yang disusun dengan baik. Tatacara Penyusunannya telah diatur dengan Permen KP No. Per.30/Men/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan. Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan adalah dokumen kerja yang dapat dimutakhirkan secara periodik, sebagai panduan operasional pengelolaan kawasan konservasi perairan. Setiap rencana pengelolaan kawasan konservasi harus memuat zonasi. Rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri atas: (a) rencana jangka panjang (20 tahun); (b) rencana jangka menengah (5 tahun) dan (c) rencana kerja tahunan. Pengelolaan berkelanjutan merupakan upaya yang dilakukan pengelola kawasan dengan memperhatikan kaidah-kaidah pemanfaatan dan pengelolaan yang menjamin ketersediaan dan kesinambungan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya yang ada. Adapun upayaupaya pokok pengelolaan kawasan konservasi meliputi: koordinasi dan pembinaan, peningkatan infrastruktur, penyusunan NSPK, review dan implementasi rencana pengelolaan, sosialisasi, konsultasi publik, Peningkatan kapasitas, operasionalisasi lembaga pengelola, Rehabilitasi kawasan, monitoring sumberdaya kawasan, monitoring sosial ekonomi dan budaya, kegiatan pemanfaatan sumberdaya untuk peningkatan ekonomi masyarakat, evaluasi pengelolaan, pengawasan sumberdaya ikan, penegakan hukum dan pengelolaan batas kawasan dan lain sebagainya. Upaya pengelolaan efektif selama kurun waktu 2010-2014, terutama melalui asistensi dan pembinaan kepada para pengelola kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil terus dilakukan. Diantaranya asistensi penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi KKP/3K daerah, serta evaluasi rencana pengelolaan dan zonasi pada 10 (sepuluh) kawasan konservasi perairan nasional (KKPN) yang selanjutnya diteruskan melalui upaya legislasi. Selain evaluasi rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi perairan nasional, juga telah dilaksanakan evaluasi usulan penetapan kawasan konservasi perairan Daerah untuk ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Hasil yang dicapai antara lain: (1) Penetapan KKP3KD Taman Pesisir Ujungnegoro-Roban Kabupaten Batang, seluas 4.015,2 Ha; (2) Penetapan KKPD Suaka Alam Perairan Pesisir Timur Pulau Weh Kota Sabang, seluas 3.207,98 Ha; (3) Penetapan KKPN Taman Nasional Perairan Laut Sawu seluas 3.355.352,82 Hektar; (4) Pengesahan Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP laut Sawu; dan (5) Penetapan KKPD Taman Wisata Perairan Nusa Penida seluas 20.057 Hektar. Bali. Tahun 2014 sedang dalam proses evaluasi untuk penetapan KKP/3K Daerah melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, antara lain KKPN TWP Kepulauan Anambas, KKP3K Raja Ampat, KKPD Alor, KKP3KD Sukabumi, KKPD Lombok Tengah, KKPD Selayar, KKPD Kep. Mentawai dan beberapa daerah lainnya. Sedangkan Evaluasi Rencana Pengelolaan dan Zonasi KKPN TWP Pulau Pieh telah siap diproses legislasi pengesahannya, menyusul berikutnya untuk 7 (tujuh) KKPN lainnya, yakni: TWP Gili Matra, TWP Kapoposang, TWP Padaido, TWP Laut Banda, SAP Raja Ampat, SAP Waigeo Sebelah Barat dan SAP Aru Bagian Tenggara. 3
Ir. Arief Yuwono, MA, Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup, disampaikan dalam Rapat Kerja Teknis (RAKERNIS) Perlindungan Lapisan Ozon ke 8, Bali,16 dan 17 September 2014.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
69 TARGET 7C
MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI RUMAH TANGGA TANPA AKSES BERKELANJUTAN TERHADAP SUMBER AIR MINUM LAYAK DAN FASILITAS SANITASI DASAR LAYAK HINGGA TAHUN 2015
Target MDGs Status Sumber 2015 Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak dan fasilitas sanitasi dasar layak hingga tahun 2015 Indikator
Acuan dasar
Saat ini
7.8
Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak, perkotaan dan perdesaan
37,73% (1993)
68,36% (2014)
68.87%
►
7.8a
Perkotaan
50,58% (1993)
80,72% (2014)
75.29%
●
7.8b
Perdesaan
31,61% (1993)
56,09% (2014)
65.81%
▼
Target 7C:
BPS, Susenas 7.9
Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap fasilitas sanitasi dasar layak, perkotaan dan perdesaan
24,81% (1993)
61,04% (2014)
62.41%
►
7.9a
Perkotaan
53,64% (1993)
76,75% (2014)
76.82%
►
7.9b
Perdesaan
11,10% (1993)
45,45% (2014)
55.55%
▼
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼ Perlu Perhatian Khusus
TUJUAN DAN TARGET MDGs Penyediaan air minum dan sarana sanitasi, sesuai Undang-Undang No 23 tahun 2014 merupakan urusan pemerintahan dan pembangunan yang urusannya telah diserahkan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian upaya-upaya untuk meningkatkan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak di perkotaan dan perdesaan, serta akses berkelanjutan terhadap sanitasi dasar adalah merupakan tanggung jawab Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. 4 Sejalan dengan hal tersebut diatas, peningkatan proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan tehadap sumber air minum layak di perkotaan (Indikator 7.8a) dan di perdesaan (Indikator 7.8b) menjadi relevan dan perlu dipantau dalam rangka upaya pencapaian target MDGs, Goal 7c. Target MDGs 2015 untuk kedua indikator tersebut adalah 75,29 persen untuk di kawasan perkotaan dan 65,81 persen di perdesaan. Sama halnya dengan akses air minum, proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap fasilitas sanitasi dasar yang layak, di perkotaan (Indikator 7.9a) dan perdesaan (Indikator 7.9b) juga perlu dipantau pencapaiannya, dimana target MDGs 2015 untuk kedua indikator tersebut adalah 76,82 persen untuk perkotaan dan 55,55 persen untuk perdesaan. 4
Undang-Undang No 23 tahun 2014, Pasal 12(1)
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
70 KEADAAN SAAT INI Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Berkelanjutan terhadap Sumber Air Terlindung Pada Laporan MDGs tahun 2013, akses terhadap air minum layak didasarkan pada definisi PBB sebagai berikut: “air minum adalah air untuk minum, kebutuhan dasar perorangan dan higiene rumah tangga dan memasak.” Dengan definisi tersebut hasil survey BPS/Susenas menunjukkan bahwa akses terhadap air minum layak sebagai berikut: Akses Air Minum
2011
2012
2013
2014, Tw-1
Perkotaan
76,00%
76,95%
79,34%
80,72%
Perdesaan
51,15%
53,39%
56,17%
56,09%
Perkotaan dan Perdesaan
63,48%
65,05%
67,73%
68,36%
Grafik 1 di bawah ini memperlihatkan kecenderungan akses terhadap air minum layak selama kurun tahun 2004 sampai Triwulan I tahun 2014. Sejak tahun 2011, pada saat BPS/Susenas menggunakan definisi yang diperbaharui,5 proporsi rumah tangga yang memiliki akses air minum yang layak menjadi lebih besar. Angka tahun 2014 merupakan angka Triwulan I, pada akhir 2014, akses air minum layak diperkirakan akan tinggi. Peningkatan akses air minum layak pada perkotaan dan perdesaan tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti pada 2011-2013. Namun akses di perdesaan menunjukkan penurunan pada tahun 2014, meskipun angka tersebut merupakan angka sementara untuk triwulan pertama 2014.
Gambar 7.8 Kecenderungan akses air minum layak(perkotaan dan perdesaan) Catatan: sumbu x adalah tahun dan sumbu y adalah persen
Disparitas provinsi untuk akses air minum layak antar provinsi (perkotaan dan perdesaan) menunjukkan variasi yang berbeda diantara provinsi, dengan DKI Jakarta paling tinggi (92%) dan Bengkulu paling rendah (37%). Rata-rata nasional adalah 67,7%. Analisis terhadap disparitas provinsi pada kurun waktu 2011-2013 menunjukkan variasi yang tidak jauh berbeda, kecuali untuk beberapa provinsi tertentu seperti Kepulauan Riau yang memperlihatkan kecenderungan menurun dan Sulawesi Tenggara yang mengalami lonjakan pada tahun 2013 (lihat Grafik 2). 5
Definisi BPS yang diperbaharui untuk akses air minum merujuk pada Laporan MDGs tahun 2013, dimana BPS mengumpulkan data tentang akses terhadap air melalui serangkaian pertanyaan. Sebelum tahun 2011, pertanyaan tentang air terdiri dari: (i) sumber air utama untuk minum, dan (ii) jarak dari sumber ke tempat pembuangan limbah. Sejak tahun 2011 dan yang dilanjutkan pada tahun 2012 (dan 2013), pertanyaan yang diajukan juga termasuk sumber air lainnya untuk memasak dan mandi. Hasilnya, akses berkelanjutan terhadap sumber air terlindung menjadi lebih besar.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
71
Gambar 7.9 Analisis disparitas provinsi, 2011-2013
Berdasarkan angka-angka tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa target MDGs untuk akses terhadap air minum layak di perkotaan dan perdesaan sebesar 68,87 persen pada tahun 2015 optimis akan tercapai (bahkan untuk perkotaan sudah terlampaui). Namun demikian, akses hanyalah salah satu dari sejumlah indikator lain untuk kinerja pelayanan air minum yang berkaitan dengan kuantitas, kualitas dan kontinuitas pelayanan, serta keterjangkauan tariff air oleh masyarakat luas.
Gambar 7.10 Disparitas provinsi untuk akses air minum layak (perkotaan dan perdesaaan) Catatan: untuk rata-rata nasional (Indonesia), akses air minum layak adalah 67,7 persen
Untuk disparitas perkotaan perdesaan, kecenderungannya untuk perkotaan terlihat meningkat setara stabil, terutama setelah definisi baru digunakan sejak tahun 2011, sedangkan peningkatan di perdesaan terlihat tidak begitu stabil (Gambar 7.11), dengan capaian akses tahun 2013 sebesar 56,17 persen. Dengan demikian, untuk perdesaan, masih diperlukan perhatian khusus untuk mencapai target MDGs sebesar 65,81 persen. Masalah kuantitas dan kontinuitas antara lain masih tingginya angka kehilangan air (NRW) dan pelayanan yang belum 24 jam pada PDAM serta masih besarnya kapasitas produksi yang belum termanfaatkan (idle), sedangkan untuk masalah kualitas, masih banyak masyarakat yang menggunakan air yang belum memenuhi syarat kesehatan, pada umumnya melalui sumber-sumber air yang diusahakan sendiri atau secara kelompok. Masalah keterjangkauan menyangkut kemampuan masyarakat untuk mendapatkan air dengan harga yang wajar.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
72
Gambar 7.11 Disparitas perkotaan dan perdesaan 20042013
Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Berkelanjutan terhadap Sanitasi Dasar Pada Laporan MDGs tahun 2013, kecenderungan proporsi rumah tangga berkelanjutan terhadap sanitasi dasar menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Data yang diperoleh waktu itu termasuk untuk tahun 2013. Berdasarkan data dari BPS/Susenas, untuk periode 2011 sampai 2014 (triwulan 1), proporsi rumah tangga terhadap sanitasi dasar adalah sebagai berikut:
2011
2012
2013
2014, Tw-1
Perkotaan
72,54%
72,70%
77,15%
76,75%
Perdesaan
38,97%
42,30%
44,74%
45,45%
Perkotaan dan Perdesaan
55,60%
57,35%
60,91%
61,04%
Catatan: untuk tahun 2014, angka menunjukkan posisi triwulan 1
Kecenderungan untuk perkotaan dan perdesaan 2006-2014 memperlihatkan pertumbuhan yang seimbang, sedangkan diparitas provinsi untuk tahun 2013 memperlihatkan perbedaan yang cukup besar, dengan Provinsi DKI Jakarta menempati urutan paling tinggi (86,57%) dan Provinsi Papua paling rendah (27,89%). Rata-rata nasional adalah 60,91%. Analisis terhadap disparitas provinsi pada kurun waktu 2011-2013 menunjukkan variasi yang tidak jauh berbeda, kecuali untuk beberapa provinsi tertentu seperti Papua Barat yang mengalami lonjakan pada tahun 2012 dan Bengkulu yang mengalami kecenderungan menurun (lihat Gambar 7.12).
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
73
Gambar 7.12 Analisis disparitas provinsi, 2011-2013
Gambar 7.13 Kecenderungan sanitasi layak (perkotaan dan perdesaan)
Berdasarkan angka-angka tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa target MDGs untuk akses terhadap sanitasi layak di perkotaan dan perdesaan sebesar 62,41 persen pada tahun 2015 optimis akan tercapai, bahkan mungkin terlampaui. Untuk perdesaan, meskipun cenderungannya lebih baik dari perkotaan, tapi capaian pada tahun 2013 (44,74 persen) masih jauh dari target MDGs sebesar 55,55 persen, sehingga masih memerlukan upaya yang lebih keras untuk mencapainya. Perlu dicatat bahwa akses hanyalah salah satu dari sejumlah indikator lain untuk kinerja pelayanan sanitasi yang lebih baik, yang berkaitan dengan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat, jamban dan tangki septik yang memenuhi syarat serta sistem pengelolaan lumpur tinja yang baik, manajemen pengumpulan, pembuangan dan pengolahan limbah padat yang lebih baik serta pengelolaan limbah cair yang lebih komprehensif, termasuk institusi pengelolanya pada tingkat kabupaten/kota.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
74
Gambar 7.14 Disparitas perkotaan perdesaan 2006-2014
Gambar 7.15 Disparitas provinsi untuk akses sanitasi layak tahun 2013 Catatan: untuk rata-rata nasional (Indonesia), akses sanitasi layak adalah 60,9 persen
UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Masalah air minum dan sanitasi telah mendapatkan perhatian yang lebih besar dari Pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya pada beberapa tahun terakhir ini. Tantangan yang masih harus dihadapai dalam mencapai target MDGs antara lain adalah bahwa PDAM yang sehat baru 50%, tarif air minum PDAM banyak yang belum memenuhi biaya operasi, angka kehilangan air masih tinggi (sekitar 33%), kapasitas yang belum termanfaatkan masih sekitar 22.000 l/detik, masih rendahnya komitmen pemerintah daerah untuk pendanaan air minum, masih perlu ditingkatkannya peran serta masyarakat untuk pengadaan air berbasis masyarakat seperti Pamsimas dan SPAM bukan jaringan perpipaan,dan keterbatasan air baku. Dalam sektor sanitasi, tantangan yang masih harus dihadapai antara lain adalah bahwa pembangunan sanitasi belum menjadi prioritas pemerintah daerah, dimana rata-rata alokasi anggaran untuk sanitasi masih berkisar antara 1 sampai 2 persen dari APBD. Tantangan lainnya minimnya kesiapan daerah dalam implementasi pembangunan sanitasi (misalnya: ketersediaan dokumen perencanaan, kesiapan lahan institusi pengelola), terbatasnya pendanaan pemerintah pusat dan daerah, serta terbatasnya sumberdaya manusia berkualitas di bidang pembangunan sanitasi baik di pusat, daerah maupun fihak penyedia jasa (konsultan, kontraktor, fasilitator).
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
75 Penanganan sanitasi tidak hanya sekedar masalah infrastruktur, melainkan masalah perilaku dan pemahaman masyarakat terhadap sampah, air limbah, maupun drainase. Dengan demikian, yang lebih penting adalah kampanye perubahan perilaku, dan ini harus dilakukan semua pihak karena sanitasi merupakan urusan kita bersama. Perubahan perilaku menjadi tantangan pembangunan sanitasi di Indonesia, terutama masalah sosial budaya dan upaya mengubah perilaku buruk masyarakat yang masih terbiasa buang air besar (BAB) dan buang sampah di sembarang tempat, khususnya di saluran drainase maupun ke badan air, dimana pada sisi lain, masih banyak yang menggunakannya sebagai sumber air untuk mencuci, mandi dan kebutuhan higienis lainnya. Untuk akses air minum dan sanitasi layak, mengingat target MDGs 2015 diperkirakan tercapai, pemerintah saat ini memberikan perhatian lebih banyak dalam upaya pencapaian akses universal tahun 2019 yaitu 100 persen akses air minum dan sanitasi. Untuk itu pemerintah telah menyusun kebijakan dan strategi yang dimuat dalam RPJMN 2015-2019 yaitu: • Menjamin ketahanan air melalui peningkatan pengetahuan, perubahan sikap dan perilaku dalam pemanfaatan air minum dan pengelolaan sanitasi melalui strategi jaga air, simpan air, hemat air, dan bauran air domestik; • Penyediaan infrastruktur produktif dan manajemen layanan melalui penerapan manajemen aset baik di perencanaan, penganggaran, dan investasi termasuk untuk pemeliharaan dan pembaharuan infrastruktur yang sudah terbangun melalui strategi penurunan tingkat kehilangan air, pemanfaatan idle capacity, dan penerapan prinsip tarif pemulihan biaya penuh; • Penyelenggaraan sinergi air minum dan sanitasi yang dilakukan di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/ kota dan masyarakat melalui strategi peningkatan kualitas perencanaan, integrasi promosi hygiene dan sanitasi dalam demand generation, peningkatan peran, kapasitas serta kualitas kinerja pemerintah daerah, advokasi kepada para pemangku kepentingan; • Peningkatan efektifitas dan efesiensi pendanaan infrastruktur air minum dan sanitasi melalui strategi sinergi dan koordinasi antara pelaku program dan kegiatan, sinergi pendanaan air minum dan sanitasi, penguatan pengelolaan pengetahuan termasuk pengelolaan data dan informasi. Dalam aspek regulasi, saat ini telah ada Peraturan Presiden No. 185 Tahun 2014 tentang Percepatan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi yang menjadi penegasan dasar hukum terhadap siklus kegiatan pembangunan mulai dari perencanaan hingga implementasi serta monitoring dan evaluasi untuk percepatan pembangunan air minum dan sanitasi. Dengan berbagai kendala yang ada, bagaimanapun juga Pemerintah tetap berupaya keras untuk memenuhi akses pelayanan air minum dan sanitasi di Indonesia terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan pembangunan yang melibatkan secara aktif penggunanya dan disertai perubahan perilaku masyarakat dalam praktek sanitasi. Memuaskan disini bila sarana yang ada dapat dirasakan manfaatnya dan efektif penggunaannya, hal ini terjadi bila sebagian besar masyarakat memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
76 TARGET 7D
MENCAPAI PENINGKATAN YANG SIGNIFIKAN DALAM KEHIDUPAN PENDUDUK MISKIN DI PERMUKIMAN KUMUH (MINIMAL 100 JUTA) PADA TAHUN 2020 Acuan dasar
Indikator
Target MDGs
Saat ini
Status
Sumber
Target 7D: Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun 2020
7.10
Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan
20,75% (1993)
9,12% (2014)
6% (2020)
▼
BPS, Susenas
Status : ● Sudah Tercapai ► Akan Tercapai ▼ Perlu Perhatian Khusus
TUJUAN DAN TARGET MDGs Menghapuskan daerah kumuh di kawasan perkotaan merupakan bagian kebijakan pemerintah dalam rangka program penanggulangan kemiskinan yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota beserta masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya. Dalam upaya untuk mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di perkotaan, MDGs menargetkan minimal 100 juta penduduk miskin perkotaan meningkat kehidupannya pada tahun 2020. Indikator yang digunakan adalah proporsi rumah tangga kumuh perkotaan (Indikator 7.10) yang diharapkan menurun dari 20,75 persen pada tahun1993 menjadi minimal 6 persen pada tahun 2020. Dalam RPJMN 2014-2019 Pemerintah menargetkan proporsi rumah tangga kumuh perkotaan nol persen pada tahun 2019. Masalah yang dihadapi dalam upaya pemantauan capaian ini adalah bahwa informasi yang dimiliki Kementerian Pekeraan Umum dan Perumahan Rakyat saat ini menggunakan data kawasan kumuh perkotaan sebagai basis, dan bukan jumlah penduduk yang tinggi di kawasan kumuh. Kawasan kumuh perkotaan dicirikan dengan kodisi bangunan yang tidak teratur, kepadatan bangunan yang tinggi, kondisi rumah yang tidak layak huni, dan sarana serta prasarana di dalam kawasan tersebut yang tidak memenuhi syarat.
KEADAAN SAAT INI Proporsi Rumah Tangga Kumuh Perkotaan Sesuai UU 1/2011, permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Arahan RPJPN untuk RPJMN III bidang Cipta Karya meliputi pemenuhan kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung, didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien dan akuntabel, yaitu kota tanpa permukiman kumuh, dengan indikatornya berupa berkurangnya proporsi rumah tanggan yang menempati hunian dan permukiman tidak layak sehingga menjadi nol persen. Menurut data dari Ditjen Cipta Karya Kementerian PU dan Pera, terdapat 38.431 Ha kawasan kumuh di 506 kab/kota. Pada tahun 2014, sebanyak148 kabupaten/kota telah menerbitkan Surat Keputusan Kawasan Kumuh Perkotaan, 185 kab/kota sedang dalam proses penyusunan SK dan 95 kab/kota sedang dalam proses validasi luas kawasan. Beberapa faktor penyebab kekumuhan antara lain adalah fisik alami (kelayakan dan ketersediaan serta daya dukung lahan), fisik binaan (akses dan ketersediaan prasarana, struktur dan tata letak bangunan), sosial ekonomi (kemampuan ekonomi individu maupun potensi ekonomi lingkungannya), sosial budaya (pola perilaku dan pola bermukim) dan faktor-faktor eksternal lainnya seperti ketidakjelasan status tanah, ketidaktahuan aturan bangunan dan lingkungan, dan marginalisasi dalam proses pembangunan.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
77 Selain itu terdapat beberapa tantangan atau kendala dalam penanganan kawasan kumuh perkotaan, antara lain adalah (i) jumlah dan luas kawasan kumuh yang ditangani cukup besar, sedangkan data dan informasi yang akurat (baseline) di tiap daerah yang dapat menginformasikan luas kawasan kumuh belum cukup tersedia; (ii) kemampuan pemerintah daerah dalam menangani permukiman kumuh sesuai tugas dan kewenangannya (UU No 1/2011) masih belum memadai, baik dalam hal kapasitas sumber daya maupun pembiayaannya; dan (iii) masih belum optimalnya penanganan permukiman kumuh, terutama dalam mengatasi permasalahan lahan dan pemberdayaan masyarakat.
Disparitas provinsi, menurut data BPS/Susenas menunjukkan variasi yang cukup besar, sebagaimana terlihat dalam Grafik berikut.
Gambar 7.16 Disparitas Provinsi Kawasan Kumuh Perkotaan, 2014 Sumber: BPS/Susenas
UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Dalam rangka menuju kota tanpa kawasan kumuh tahun 2019, program Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat diprioritaskan pada lima klaster, yaitu klaster A sampai E. Klaster A (di 94 kab./kota) dan B (di 82 kab./kota) untuk kab/kota strategis nasional, klaster C untuk kab./kota yang responsif terhadap pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM), klaster D untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat , dan klaster E untuk program-program kreatif. Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah melaksanakan quick count survey luas permukiman kumuh di seluruh kab./kota pada tahun 20132014. Hal tersebut membantu memetakan luas kawasan kumuh di seluruh kab./kota sehingga menjadi dasar penentuan besar penanganan yang diperlukan.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
78
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
TUJUAN 8 MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN
Sumber: Kementerian Luar Negeri
79
TUJUAN 8 MEMBANGUN KEMITRAAN GLOBAL UNTUK PEMBANGUNAN
TARGET 8A
MENGEMBANGKAN SISTEM KEUANGAN DAN PERDAGANGAN YANG TERBUKA, BERBASIS PERATURAN, DAPAT DIPREDIKSI DAN TIDAK DISKRIMINATIF
Indikator
Acuan dasar
Saat ini
Target MDGs 2015
Status
Sumber
Target 8A: Mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif 8.6a
Rasio ekspor dan impor terhadap PDB (indikator keterbukaan ekonomi)
41,60% (1990)*
39,96%** (2014)
Meningkat
▼
8.6b
Rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum
45,80% (2000)
88,7% (Nov 2014)
Meningkat
►
8.6c
Rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR
101,30% (2003)
124,45% (Nov 2014)
* BPS & Bank Dunia ** BPS
Bank Indoensia Meningkat
►
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Dalam tahun 2014, kondisi perekonomian dunia masih diliputi ketidakpastian. Krisis keuangan Eropa yang masih menghawatirkan dan kondisi perekonomian Eropa yang dihadapkan pada situasi permasalahan fiskal yang cukup berat menekan perekonomian dunia, termasuk perekonomian Indonesia. Pada tahun 2014, perekonomian Indonesia diperkirakan hanya tumbuh 5,1 persen, melambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 yang mencapai 5,8 persen. Hal ini berdampak pula pada penurunan nilai ekspor dan impor Indonesia di tahun 2014. Berdasarkan laporan BPS yang terbit pada bulan Februari 2015, nilai ekspor Indonesia tahun 2014 mencapai USD 176,29 miliar atau menurun 3,43 persen dibanding tahun 2013. Sedangkan nilai impor tahun 2014 mencapai USD 178,18 miliar atau turun 4,53 persen dibanding tahun 2013. Nilai PDB Indonesia tahun 2014 berdasarkan harga berlaku adalah sebesar Rp 10.542,69 triliun atau tumbuh 10,7% dibandingkan tahun 2013 yang nilainya sebesar Rp. 9.524,74 triliun. Jika dikonversikan dalam USD menggunakan kurs rata-rata bulanan Bank Indonesia sebesar Rp 11.884,5 per US dollar (terdepresiasi 12,5% dari rata-rata tahun 2013 yang sebesar Rp 10.562,6 per US dollar), PDB nominal tahun 2014 dalam satuan dollar Amerika Serikat menjadi sebesar USD 887,1 miliar atau turun sebesar 1,6% dibanding PDB tahun 2013 yang sebesar USD 901,7 miliar.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
80 Keterbukaan ekonomi (trade openness ratio) Indonesia yang diukur menggunakan penjumlahan ekspor dan impor terhadap nilai PDB, pada tahun 2014 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2013. Secara umum, penurunan tersebut disebabkan oleh terjadinya penurunan nilai ekspor dan impor (X dan M) dibanding tahun sebelumnya, dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Gambar 8.1 Perkembangan Impor, Ekspor, Pertumbuhan PDB dan Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB
Indikator keterbukaan ekonomi yang dihitung sebagai rasio penjumlahan ekspor dan impor nasional terhadap PDB tidaklah secara bulat diterima sebagai indikator yang mencerminkan restriktif atau tidaknya kebijakan perdagangan suatu negara. Secara umum, beberapa literatur menyatakan bahwa nilai perdagangan dalam indikator keterbukaan tersebut hanya mencerminkan skala perekonomian dan integrasi perekonomian suatu negara ke dalam pasar internasional, namun tidak mencerminkan orientasi kebijakan perdagangan yang diambil. Hal lainnya adalah sulitnya mencari pendukung hipotesa bahwa keterbukaan/rasio perdagangan dipengaruhi hanya oleh kebijakan perdagangan (rasio perdagangan dipengaruhi oleh banyak hal) sehingga keterbukaan ekonomi tidak selalu dapat mencerminkan kebijakan perdagangan suatu negara. Sebagai contoh, penurunan harga komoditas internasional pada tahun 2014 dan berkurangnya permintaan global menyebabkan nilai ekspor non-migas Indonesia mengalami penurunan. Di sisi lain, kenaikan suku bunga di Amerika Serikat menyebabkan menguatnya nilai USD terhadap Rupiah sehingga mengakibatkan penurunan impor Indonesia. Kedua hal tersebut (penurunan nilai ekspor non-migas dan dan penurunan nilai impor) bukan merupakan kondisi yang dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan Indonesia, namun berpengaruh pada nilai indikator keterbukaan ekonomi yang dimaksud. Meskipun terjadi krisis Eropa dan gejolak politik dan ekonomi di Amerika Serikat 2008 - 2014, kinerja sektor perbankan masih terjaga dengan baik. Indikator rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio – CAR) pada 2014 mencapai 19,6 persen (November 2014) meningkat dibanding akhir 2013 (18,1 persen). CAR mencerminkan kemampuan perbankan menghadapi risiko krisis keuangan maupun perkembangan permintaan jasa perbankan pada masa mendatang. Indikator lain seperti rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan – NPL), tercatat menjadi 2,0 persen (November 2014), sedikit meningkat dibanding 2013 (1,8 persen). Perkembangan ini terkait dengan implementasi kebijakan Loan to Value dan Down Payment perbankan. Dari segi aset, total aset bank-bank umum pada bulan September tahun 2014 tercatat sebesar Rp 5.511,4 triliun, meningkat dibanding akhir tahun 2013, yaitu sebesar Rp 4.954,5 triliun. Meningkatnya stabilitas perbankan dan perkembangan kegiatan ekonomi juga terlihat antara lain pada peningkatan dana pihak ketiga perbankan dan penyaluran pinjaman perbankan. Ketahanan dan fungsi intermediasi perbankan yang berhati-hati juga tercermin pada peningkatan indikator rasio pinjaman terhadap simpanan (Loan to Deposit ratio - LDR) dan penurunan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan –
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
81 NPL) selama dua tahun terakhir. Indikator LDR pada perbankan umum dan BPR, sebagaimana tersaji pada indikator 8.6b dan 8.6c di atas belum memasukkan unsur perbankan syariah dan BPR syariah, dikarenakan publikasi statistik perbankan yang belum menyatukan kedua jenis perbankan/BPR tersebut.
TANTANGAN Indonesia perlu mewaspadai kemungkinan adanya risiko penurunan kinerja ekspor ke bawah (downside risk) yang antara lain disebabkan oleh: (i) potensi penurunan harga komoditas di pasar internasional yang akan mempengaruhi nilai ekspor Indonesia, dimana ekspor Indonesia masih bergantung kepada komoditas primer, (ii) terhambatnya proses pemulihan ekonomi kawasan Eropa dan turunnya tingkat pertumbuhan China sebagai salah satu pasar tujuan ekspor utama Indonesia, serta (iii) tingkat persaingan di pasar barang kawasan Asia yang semakin meningkat. Terkait dengan defisit neraca perdagangan, kebijakan moneter internasional khususnya ekspektasi terhadap kebijakan bank sentral Amerika Serikat (the Fed), dan kenaikan harga BBM dalam negeri, masih akan menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan tingkat inflasi. Tekanan ini memerlukan antisipasi kebijakan moneter yang relatif ketat, dan menuntut adanya koordinasi kebijakan yang baik antara Pemerintah dan Bank Indonesia, baik di sektor riil dan keuangan, agar dapat melonggarkan tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi tersebut. Kebijakan ini mendorong penurunan laju pertumbuhan kredit yang diberikan oleh bank umum dan BPR.
KEBIJAKAN Kebijakan di bidang perdagangan luar negeri yang akan diambil oleh pemerintah dalam upaya menjaga kinerja ekspor dan impor, antara lain sebagai berikut: (i) Meningkatkan penetrasi produk ekspor di pasar ekspor non-tradisional, terutama di negara-negara Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah dan Eropa Timur, yang dilakukan antara lain melalui optimalisasi skema kerjasama perdagangan internasional terutama secara bilateral, memaksimalkan peran atase perdagangan dan kantor promosi perdagangan di negara-negara tersebut, serta mengoptimalkan upaya promosi terpadu; (ii) melanjutkan upaya peningkatan ekspor produk hilir, terutama produk mineral dan pertambangan agar dapat menghasilkan nilai tambah yang lebih besar untuk perekonomian nasional; (iii) meningkatkan pemanfaatan kesepakatan kerjasama perdagangan ASEAN dan ASEAN+1; serta (iv) meningkatkan kapasitas eksportir dan calon eksportir melalui pelatihan dan fasilitas pembiayaan ekspor. Di bidang perkreditan, berbagai kebijakan dikeluarkan untuk meningkatkan penyaluran pinjaman/optimalisasi fungsi intermediasi perbankan seperti menerapkan kebijakan suku bunga dasar kredit perbankan dan kebijakan Loan to Value (LTV) perkreditan. Seiring dengan meningkatnya gejolak perekonomian di dalam dan luar negeri pada tahun 2013, dilakukan penyempurnaan kebijakan LTV perkreditan dan penyesuaian ketentuan cadangan wajib perbankan dalam bentuk Giro Wajib Minimum (GWM) Sekunder dan GWM LDR, serta Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK). Kebijakan ini merupakan upaya menjaga stabilitas sektor keuangan, melalui penguatan likuiditas perbankan dengan tetap mempertahankan fungsi intermediasi agar berjalan optimal.
UPAYA PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Gejolak di pasar keuangan dan nilai tukar yang terjadi akhir-akhir ini, ditengarai akan berpengaruh kepada stabilitas makro ekonomi, yang pada gilirannya akan menganggu pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah telah berupaya mengambil langkah-langkah kebijakan stabilisasi ekonomi dan reformasi struktural. Di antara langkah-langkah yang telah diambil tersebut, antara lain diterbitkannya Paket Kebijakan
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
82 Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi pada 23 Agustus 2013 untuk tetap menjaga pertumbuhan ekonomi dan menjaga kinerja perdagangan luar negeri Indonesia.
Langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut adalah sebagai berikut: • • • •
Memperbaiki neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit) dan menjaga nilai tukar Rupiah; Menjaga pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat; Menjaga tingkat inflasi; dan Mempercepat investasi.
Pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, yang diimplementasikan dengan memperkuat ketentuan makroprudensial. Kebijakan ini, bersama-sama dengan kebijakan suku bunga dan nilai tukar, merupakan bagian dari bauran kebijakan makroprudensial yang terkait dengan prinsip kehati-hatian perbankan. Selain itu, penguatan ketahanan dan daya saing sektor keuangan/perbankan ditempuh melalui: (i) penataan struktur kepemilikan bank, dan (ii) pengaturan penyesuaian kegiatan usaha dan perluasan jaringan kantor bank berdasarkan modal (inti) yang bertujuan untuk meningkatkan tata kelola dan kesehatan bank. Pengaturan penyesuaian kegiatan usaha dan perluasan jaringan kantor bank sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan ketahanan dan daya saing perbankan. Di tengah dinamika ekonomi dan pasar keuangan global yang penuh dengan ketidakpastian dan risiko, sejak tahun 2013 telah diterapkan kebijakan moneter bias ketat. Kebijakan ini diperlukan untuk mendorong tercapainya sasaran inflasi, memitigasi dampak lanjutan kenaikan harga BBM, menjaga kepercayaan pasar serta mengendalikan defisit transaksi berjalan. Sedangkan kebijakan penguatan fungsi intermediasi diupayakan melalui peningkatan akses layanan pemberian kredit/pembiayaan UMKM oleh bank umum dan BPR. Perluasan akses layanan keuangan dilakukan pula tanpa melalui kantor bank atau dilakukan melalui cara non-konvesional, melalui pemanfaatan teknologi informasi, dan kerjasama keagenan (branchless banking). Dalam rangka peningkatan akses masyarakat terhadap layanan keuangan (financial inclusion), terutama bagi kelompok masyarakat yang belum terlayani (unbanked), telah dilakukan beberapa kegiatan oleh Bank Indonesia maupun bersama pihak lainnya. Salah satunya adalah program Layanan Keuangan Digital (LKD) yang merupakan kegiatan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan yang dilakukan melalui kerjasama dengan pihak ketiga serta menggunakan sarana dan perangkat teknologi berbasis mobile atau web dalam rangka keuangan inklusif. Sementara itu, kegiatan edukasi keuangan ditujukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pengelolaan keuangan, produk dan jasa perbankan. Otoritas Keuangan (BI dan OJK) melakukan berbagai kegiatan edukasi keuangan. Dengan meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap produk-produk perbankan, diharapkan pendalaman pasar keuangan akan semakin meningkat.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
83 TARGET 8D
MENANGANI UTANG NEGARA BERKEMBANG MELALUI UPAYA NASIONAL MAUPUN INTERNASIONAL UNTUK DAPAT MENGELOLA UTANG DALAM JANGKA PANJANG
Indikator
Acuan dasar
Saat ini
Target MDGs 2015
Status
Sumber
Target 8D: Menangani utang Negara berkembang melalui upaya nasional maupun internasional untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang 8.12
Rasio pinjaman luar negeri Pemerintah terhadap PDB
24,59% (1996)
6,4% (2014)
Berkurang
►
Kementerian Keuangan dan BPS
8.12a
Rasio pembayaran kewajiban utang luar negeri Pemerintah terhadap Penerimaan Hasil Ekspor (debt service ratio/DSR)
51,00% (1996)
3,8% (2014)
Berkurang
►
Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼ Perlu Perhatian Khusus
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Outstanding pinjaman luar negeri Pemerintah pada Desember 2014 mencapai Rp 670,8 triliun, menurun sebesar Rp 41,37 triliun dari posisi Desember 2013 yang mencapai Rp 712,17 triliun. Rasio pinjaman luar negeri Pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga semakin menurun, yaitu dari 9,6% pada tahun 2010 menjadi 6,4% pada tahun 2014. Penurunan tersebut mengindikasikan peningkatan kemampuan Pemerintah untuk menjaga kesinambungan fiskal. Penurunan rasio ini antara lain dikontribusikan oleh upaya pemerintah dalam mengarahkan pemanfaatan utang kepada pengeluaran yang dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan kebijakan net negatif transfer dalam pembiayaan APBN melalui pinjaman luar negeri. Pemerintah secara konsisten berupaya mengendalikan pertumbuhan utang dan mengelola utang dengan mengutamakan prinsip kehatihatian, akuntabilitas, efisensi, dan efektifitas. Membaiknya kemampuan pengelolaan utang luar negeri Pemerintah dapat dilihat dari penurunan rasio pembayaran kewajiban utang luar negeri Pemerintah terhadap Penerimaan Hasil Ekspor (debt service ratio/ DSR) dari 5,5% pada tahun 2010 menjadi 3,2% pada tahun 2014. Secara total, utang luar negeri sektor swasta memegang porsi terbesar utang luar negeri Indonesia. Posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir Desember 2014 terdiri dari utang luar negeri sektor publik sebesar USD129,7 miliar dan utang luar negeri sektor swasta USD162,8 miliar. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, posisi utang luar negeri meningkat USD26,5 miliar atau 9,9% dari posisi akhir 2013 sebesar USD266,1 miliar. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh kenaikan pinjaman luar negeri baik sektor publik (5,0% yoy) maupun sektor swasta (14,2% yoy). Dengan perkembangan tersebut, rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) dan debt service ratio (DSR) mengalami peningkatan masing-masing dari 29,1% dan 41,3% pada Desember 2013 menjadi 32,9% dan 46,2% pada Desember 2014.
TANTANGAN Pemerintah perlu mewaspadai adanya pelemahan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, mengingat masih tingginya jumlah outstanding utang dalam valuta asing. Jumlah utang dalam valuta asing ini juga dipengaruhi
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
84 oleh (i) penetapan defisit APBN yang tinggi sehingga memerlukan pembiayaan utang yang tinggi pula, dan (ii) kapasitas utang dalam negeri yang masih terbatas, baik yang diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara maupun pengadaan Pinjaman Dalam Negeri. Dari sisi global, prospek perekonomian masih diliputi oleh berbagai ketidakpastian. Likuiditas global diperkirakan akan mengetat seiring dengan berakhirnya kebijakan moneter akomodatif di Amerika Serikat. Pada saat yang bersamaan, ekonomi negara-negara emerging market yang menjadi mitra dagang utama Indonesia diperkirakan masih akan mengalami perlambatan disertai dengan harga komoditas ekspor di pasar internasional yang masih rendah. Kondisi ini menyebabkan beban pembayaran utang luar negeri berpotensi meningkat, sebaliknya kapasitas membayar utang luar negeri berpotensi menurun.
UPAYA PENTING PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Agar dapat mengelola utang dengan baik, pemerintah menyusun strategi pengelolaan utang negara jangka menengah dalam rangka mencapai tujuan jangka panjang pengelolaan utang, yaitu untuk meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali. Dalam Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2014-2017 antara lain disebutkan strategi umum pengelolaan utang adalah sebagai berikut: a. Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber domestik melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Rupiah maupun penarikan pinjaman dalam negeri; b. Melakukan pengembangan instrumen utang agar diperoleh fleksibilitas dalam memilih berbagai instrumen yang lebih sesuai, cost-efficient dan risiko yang minimal; c. Pinjaman Luar Negeri dilakukan sepanjang digunakan untuk memenuhi kebutuhan prioritas, memberikan terms and conditions yang wajar (favourable) bagi Pemerintah, dan tanpa agenda politik dari kreditor; d. Mempertahankan kebijakan pengurangan pinjaman luar negeri dalam periode jangka menengah; e. Meningkatkan koordinasi dengan otoritas moneter dan otoritas pasar modal, terutama dalam rangka mendorong upaya financial market deepening; dan f.
Meningkatkan koordinasi dan komunikasi dengan berbagai pihak dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan pinjaman dan sovereign credit rating.
Di sektor swasta, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 16/21/PBI/2014 tanggal 29 Desember 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank dan Surat Edaran Ekstern No. 16/24/DKEM tanggal 30 Desember 2014 perihal Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank yang merupakan penyempurnaan ketentuan sebelumnya, Peraturan Bank Indonesia No. 16/20/PBI/2014 tanggal 28 Oktober 2014 perihal yang sama. Penerbitan ketentuan dimaksud agar korporasi nonbank dapat memitigasi risiko yang dapat timbul dari kegiatan utang luar negeri sehingga mampu berkontribusi optimal terhadap perekonomian nasional tanpa menimbulkan gangguan pada kestabilan makroekonomi.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
85 TARGET 8F
BEKERJA SAMA DENGAN SWASTA DALAM MEMANFAATKAN TEKNOLOGI BARU, TERUTAMA TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI Acuan Dasar
Indikator
Saat ini
Target MDGs 2015
Status
Sumber
Target 8F: Bekerja sama dengan swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi 8.14
Proporsi penduduk yang memiliki jaringan PSTN (kepadatan fasilitas telepon per jumlah penduduk)
4,02% (2004)
5,57% (2013)
Meningkat
►
BPS, Susenas
8.15
Proporsi penduduk yang memiliki telepon seluler
14,79% (2004)
87,07% (2013)
100,00%
►
BPS, Susenas
8.16
Proporsi rumah tangga dengan akses internet
-
36,45% (2013)
50,00%
▼
BPS, Susenas
8.16a
Proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi
-
17,75% (2013)
Meningkat
▼
BPS, Susenas
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
KEADAAN DAN KECENDERUNGAN Dalam era masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society), akses untuk mendapatkan informasi dan kemampuan untuk mengolah informasi merupakan suatu kebutuhan dasar. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang sangat pesat saat ini memungkinkan hampir setiap orang untuk mendapatkan informasi dalam waktu sesaat (real time). Bila sebelumnya jaringan Public Switched Telephone Network (PSTN) merupakan moda utama bagi komunikasi, pola tersebut telah bergeser ke akses nirkabel (wireless) termasuk seluler. Hal ini terlihat dari proporsi penduduk Indonesia yang memiliki jaringan PSTN (sebesar 4,02 persen) dibandingkan dengan proporsi penduduk yang memiliki jaringan seluler (sebesar 14,79 persen) pada tahun 2004. Cepatnya implementasi dan murahnya investasi akses nirkabel, serta semakin tingginya mobilitas masyarakat, menyebabkan akses nirkabel khususnya seluler menjadi moda utama komunikasi dan akses informasi dalam sepuluh tahun terakhir. Dengan menggunakan pendekatan jumlah kartu SIM (Subscriber Identity Module) yang beredar sebagai rujukan, pengguna layanan seluler pada akhir tahun 2013 mencapai lebih dari 270 juta (lebih besar daripada jumlah penduduk Indonesia), sehingga tingkat penetrasinya mencapai lebih dari 100 persen. Penetrasi kartu SIM yang melebihi total jumlah penduduk tersebut disebabkan oleh adanya kepemilikan ganda kartu SIM. Pada periode 2012-2013, rumah tangga di hampir setiap provinsi rata-rata memiliki lebih dari dua nomor telepon seluler aktif. Hanya enam provinsi saja yang rumah tangganya memiliki rata-rata di bawah satu nomor seluler, yaitu di Provinsi Aceh, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Adapun dengan pendekatan jumlah masyarakat yang memiliki kartu SIM sebagai rujukan, tanpa memperhatikan jumlah kartu yang dimiliki, maka tingkat penetrasi layanan seluler pada tahun 2013 mencapai 87,07 persen. Kedua angka ini jauh lebih tinggi dari tingkat penetrasi PSTN yang hanya mencapai 5,57 persen pada tahun yang sama1. Sesuai dengan kecenderungan global, penggunaan PSTN semakin ditinggalkan sehingga pembangunan PSTN akan terus mengalami penurunan. Dalam Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya, capaian indikator 8.15 menggunanakan pendekatan jumlah kartu SIM yang beredar di masyarakat. Pendekatan ini dinilai kurang tepat karena menggunakan data jumlah kartu SIM yang dikeluarkan oleh penyedia layanan seluler, tanpa penyesuaian jumlah kartu yang sudah tidak aktif. Oleh karena itu, dalam Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia di tahun ini menggunakan pendekatan jumlah masyarakat yang yanng memiliki kartu SIM sebagai rujukan, dengan menggunakan data dari BPS (Susenas).
1
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
86 Peningkatan pemanfaatan TIK juga dapat dilihat dari tingkat penggunaan internet dan kepemilikian komputer di rumah tangga. Proporsi rumah tangga dengan akses internet semakin meningkat dari 11,06 persen pada tahun 2009 menjadi 36,45 persen pada tahun 2013. Adapun proporsi rumah tangga yang memiliki komputer pribadi juga mengalami peningkatan dari 10,20 persen pada tahun 2009 menjadi 17,75 persen di tahun 2013. Namun demikian, peningkatan ini masih jauh dari target pencapaian yang diharapkan. Rendahnya kepemilikan komputer pribadi per rumah tangga antara lain disebabkan oleh masih tingginya harga komputer pribadi. Di samping itu, semakin banyak masyarakat yang mengakses internet melalui telepon seluler, karena semakin mudah diperoleh dan harga relatif terjangkau. Bahkan sejak tahun 2011, telepon seluler sudah menjadi moda utama untuk mengakses internet. Salah satu bentuk penggunaan internet yang digemari oleh penduduk Indonesia adalah aplikasi media sosial. Hal ini terlihat dari tingginya jumlah pengguna facebook dan twitter di Indonesia, yang menempatkan Indonesia sebagai terbesar nomor 4 dan nomor 5 di dunia pengguna aplikasi media sosial tersebut pada tahun 2013.
TANTANGAN Pada awal tahun 2000, sebagian penduduk Indonesia, seperti halnya penduduk dunia, mengalami kesenjangan informasi karena terbatasnya akses informasi. Saat ini, penduduk Indonesia justru mengalami tsunami informasi karena terlalu banyak informasi yang dapat diperoleh dari berbagai media. Pada dasarnya, TIK merupakan instrumen untuk mendapatkan informasi. Masyarakat diharapkan dapat menggunakan TIK untuk mendukung kegiatan yang produktif, serta mampu untuk memilah, memilih, dan mengolah informasi menjadi hal yang bermanfaat. Tanpa kedua kemampuan tersebut, masyarakat Indonesia hanya akan menjadi pasar dan komoditas, namun tidak mendapatkan manfaat bagi peningkatan kualitas hidup. Tantangan terbesar pembangunan TIK adalah mengedukasi masyarakat untuk meningkatkan kedua kemampuan tersebut.
KEBIJAKAN Sesuai dengan arah pembangunan TIK nasional 2010-2014, penyediaan infrastruktur TIK ditujukan antara lain untuk memastikan tersedianya konektivitas di seluruh pelosok Indonesia. Upaya ini dilakukan melalui penyediaan layanan telepon dan internet di wilayah perdesaan, yang menjadi bagian dari Program Universal Service Obligation (USO) atau kewajiban pelayanan universal. Adapun pembangunan TIK 2015-2019 (pasca MDG) difokuskan untuk empat agenda yang di antaranya merupakan kelanjutan dari penguatan konektivitas TIK. Agenda pembangunan TIK 2015-2019 meliputi (a) penyediaan akses informasi di seluruh wilayah Indonesia termasuk daerah non-komersial dan perbatasan negara sebagai bentuk amanah Pasal 28F UUD 1945; (b) pembangunan akses internet berkecepatan tinggi (pitalebar atau broadband) sebagai jalan tol informasi untuk mempercepat transformasi perekonomian Indonesia; (c) pengintegrasian sistem komunikasi dan informatika instansi pemerintah untuk mendukung pemerintahan yang efisien dan pengelolaan data pemerintah sebagai aset strategis; dan (d) pemanfaatan informasi dan TIK secara produktif dan bijak. Fokus pembangunan infrastuktur TIK 2015-2019 akan bergeser dari penyediaan akses komunikasi dan informatika yang konvensional (PSTN dan seluler) ke modern (pitalebar) yang memiliki jaminan konektivitas selalu tersambung, terjamin ketahanan dan keamanan informasinya, serta memiliki kemampuan triple-play dengan kecepatan minimal 2 Mbps untuk akses tetap (fixed) dan 1 Mbps untuk akses bergerak (mobile). Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah bersama dunia usaha telah menyusun rencana pembangunan pitalebar nasional yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 96 Tahun 2014 tentang Rencana Pitalebar Indonesia 2014-2019. Adapun prioritas pembangunan pitalebar difokuskan untuk mendukung lima sektor yaitu e-Pemerintahan, e-Kesehatan, e-Pendidikan, e-Logistik, dan e-Pengadaan.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
87 Untuk mendorong pelaksanaan pembangunan pitalebar, Pemerintah telah menetapkan enam program unggulan, yaitu (1) pembangunan Palapa Ring untuk menyediakan jaringan serat optik nasional ke seluruh kabupaten/kota; (2) pembangunan pipa bersama untuk mengakomodasi jaringan serat optik dari berbagai penyelenggara telekomunikasi dalam satu pipa; (3) pelaksanaan percontohan konektivitas nirkabel pitalebar untuk menyediakan akses pitalebar di perdesaan dengan solusi nirkabel; (4) pembangunan jaringan dan pusat data pemerintah terpadu untuk membangun jaringan intranet pemerintah yang aman dan mengintegrasikan pusat data pemerintah; (5) rancang ulang USO agar dapat digunakan untuk pembangunan ekosistem pitalebar; dan (6) pengembangan SDM dan industri TIK nasional untuk meningkatkan kualitas SDM TIK nasional dalam rangka mempercepat adopsi dan utilisasi pitalebar serta memperkuat manufaktur TIK nasional.
UPAYA PENTING DALAM PERCEPATAN PENCAPAIAN MDGs Dalam rangka implementasi Program USO, Pemerintah menargetkan penyediaan jasa telekomunikasi (melalui program Desa Berdering) di 33.184 desa dan jasa internet (Pusat Layanan Internet Kecamatan/PLIK) di 5.748 desa ibukota kecamatan. Pada tahun 2013 Desa Dering telah tersedia di 32.918 desa (99,2 persen), sedangkan PLIK telah tersedia di 5.956 kecamatan (103,6 persen). Adapun dalam rangka pembangunan pitalebar, Pemerintah bersama PT Telkom membangun jaringan serat optik ke 497 kabupaten/kota, dimana PT Telkom membangun di 446 kabupaten/kota sedangkan Pemerintah di 51 kabupaten/kota yang berada di wilayah non-komersial. Realisasi pembangunan jaringan serat optik oleh PT Telkom pada tahun 2013 telah menjangkau 361 kabupaten/kota (72,6 persen). Untuk mendukung pengembangan pitalebar, Pemerintah sedang melakukan penataan ulang spektrum frekuensi radio agar penyelenggara dapat menyediakan layanan secara optimal. Pemerintah juga sedang melakukan migrasi sistem penyiaran televisi free-to-air dari analog ke digital yang dijadwalkan selesai pada tahun 2018. Selain untuk mendapatkan kualitas siaran televisi yang lebih baik, program migrasi ke sistem digital juga dimaksudkan untuk membebaskan lebih dari 100 MHz pita spektrum frekuensi radio (digital dividend) yang dapat digunakan kemudian untuk penyediaan layanan pitalebar.
PERKEMBANGAN KERJASAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL PADA TAHUN 2014 Pada tahun 2014, keterlibatan Indonesia dalam pembahasan terhadap pencapaian agenda pembangunan paska 2015 intensif dilakukan dalam berbagai forum kerjasama internasional. Pembahasan terkait dengan perumusan tujuan dan target pembangunan serta upaya-upaya implementasi hingga strategi pendanaan, dilakukan baik melalui forum khusus di bawah naungan PBB seperti Open Working Group on Sustainable Development Financing (OWG) dan Intergovernmental Committee of Experts on Sustainable Development Financing (ICE-SDF) maupun diskusi dan negosiasi pada berbagai forum kerjasama internasional lainnya seperti G20, Global Partnership for Effective Development Cooepration (GPEDC), dan Global Green Growth Institute (GGGI). Bersama negara-negara di dunia, forum kerjasama pembangunan internasional Indonesia memberikan masukan sesuai mandat dan fungsinya, dan memastikan adanya nilai tambah (value added) pada berbagai agenda forum yang ada terhadap upaya pencapaian pembangunan yang berkelanjutan paska 2015. Keterlibatan Indonesia dalam berbagai bentuk kerjasama pembangunan internasional, melalui penjalinan hubungan dan diplomasi luar negeri baik dalam konteks bilateral, regional, maupun multilateral pada tahun 2014 sangat erat terkait dengan pencapaian tujuan pembangunan millennium, khususnya pada sejumlah agenda pembangunan yang menjadi perhatian global, kawasan, dan Indonesia secara spesifik, di antaranya: Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
88 Group of 20 (G20 Development Working Group) Salah satu peran aktif Indonesia dalam kemitraan global adalah melalui forum G20 Development Working Group yang dibentuk dengan tujuan untuk membantu penurunan gap kemiskinan dan membantu pencapaian pertumbuhann yang kuat, seimbang dan berkelanjutan (Strong, Sustained, and Balanced Growth) melalui kontribusi beberapa langkah aksi agenda pembangunan dalam membantu penyelarasan kebijakan pembangunan diantara negara anggota G20 sendiri maupun membantu negara berkembang lainnya di luar keanggotaan G20. Partisipasi dalam forum G20 tersebut meningkatkan bargaining position Indonesia, baik secara politik maupun manfaat dalam perekonomian dunia, dan mengupayakan keikutsertaan kepentingan Indonesia dalam agenda pembangunan global agar dapat membantu mencapai pertumbuhan merata ke seluruh dunia. Pada forum G20 pada tahun 2014, fokus pembahasan Development Working Group (DWG) ditekankan pada lima pilar prioritas yaitu Infrastruktur, Financial Inclusion & Remittances (keuangan inklusif dan remitansi), Domestic Resources Mobilisation (mobilisasi sumberdaya domestik), Food Security and Nutrition (ketahanan pangan dan nutrisi) dan Human Resources Development (pembangunan sumberdaya manusia). Pada agenda Infrastructure dilakukan upaya untuk melihat potensi kebutuhan investasi infrastruktur, kondisi persiapan proyek infrastruktur serta penyiapan analisa yang relevan (environment, risk and return dll) untuk mendukung persiapan proyek infrastruktur di Asia dan Afrika. Pada tahun 2014, telah disiapkan sumber pendanaan yang lebih luas khusus untuk persiapan proyek infrastruktur (project preparation facility/PPF) dari Global Infrastructure Fund (GIF) oleh World Bank dan Asia Pacific Project Preparation Fund (AP3F) oleh ADB yang dapat dimanfaatkan oleh negara G20 maupun negara berkembang lainnya. Terkait agenda pembiayaan inklusif dan biaya remittances (Financial Inclusion dan Remittances), telah disiapkan rencana aksi untuk meningkatkan akses golongan masyarakat yang rentan kemiskinan kepada lembaga keuangan untuk mempermudah melakukan pembayaran untuk kebutuhannya. Selain itu dibahas juga mengenai upaya untuk menurunkan global average cost of remittance untuk tenaga kerja diluar negeri, agar tidak mengalami masalah dalam pengiriman pendapatannya kepada keluarga di dalam negeri Di dalam agenda Domestic Resources Mobilisation (DRM) yang bertujuan mendorong negara berkembang untuk dapat memanfaatkan agenda terkait Base Erosion Profit Shifting (BEPS) dan Automatic Exchange of Information (AEOI) guna memaksimalkan pendapatan pajak setiap negara dan mengupayakan keterbukaan dalam informasi pajak antar negara. Untuk agenda Food Security and Nutrition (Ketahanan Pangan dan Nutrisi), telah dilakukan diskusi mengenai kebijakan food security yang berhubungan dengan isu-isu lain (cross-cutting issue), dibahas pula upaya mendapatkan peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja dalam kaitannya dengan Ketahanan Pangan dan Nutrisi. Sementara itu, di dalam agenda Human Resources Development mendorong penyiapan kualitas dan keahlian sumber daya manusia untuk masuk dalam pasar tenaga kerja internasional melalui penyiapan standard skill workers. Indonesia secara khusus juga menjadi salah satu co-facilitator dalam accountability steering committee untuk melakukan penilaian pencapaian target agenda pembangunan dalam G20.
Global Green Growth Institute (GGGI) Global Green Growth Institute (GGGI) merupakan organisasi internasional yang fokus terhadap kebutuhan Negara berkembang dalam meningkatkan pembangunan ekonomi yang selaras dengan keberlangsungan lingkungan hidup, dengan melakukan promosi pengembangan konsep green growth untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi, menanggulangi kemiskinan, menciptakan kesempatan kerja dan menjaga kelestarian lingkungan. Indonesia merupakan salah satu participating member dalam GGGI dengan meratifikasi Agreement on the Establishment of Global Green Growth Institute (Perpres No. 82 tahun 2014).
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
89 Pada tahun 2014 Indonesia meningkatkan status kontribusinya GGGI, dari participating member menjadi contributing member. Indonesia juga mendapatkan kehormatan dengan diangkatnya Bapak Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Chair of the Council sekaligus President of Assembly GGGI untuk periode 2015-2016. Keanggotaan Indonesia pada GGGI, sejalan dengan visi Pemerintah Indonesia yang memandang penting green growth sebagai strategi pengembangan ekonomi yang bertumpu pada pemanfaatan sumber daya alam secara berkesinambungan.
Intergovernmental Commitee of Experts for Sustainable Development Financing (ICE-SDF) Indonesia juga aktif terlibat dalam forum ICE-SDF, yaitu suatu proses yang dijalankan oleh komite antar pemerintah dibawah naungan Majelis Umum PBB untuk menyiapkan opsi-opsi strategi pendanaan untuk pembangunan berkelanjutan. Indonesia menjadi salah satu negara yang terpilih sebagai anggota komite bersama China, Arab Saudi, Jepang, Iran, Korea Selatan dan India mewakili Kelompok Kawasan Asia Pasifik . Beberapa isu yang terkait dengan tujuan dan target pembangunan milenium dibahas dalam pertemuan ini diantaranya adalah penanganan utang negara berkembang. ICE-SDF telah merekomendasikan agar dalam pengelolaan pinjaman negara secara berkala digunakan alat analitis untuk menilai alternatif strategi pinjaman dan risiko-risiko, pengelolaan yang lebih baik pada aset dan kewajiban; pengendalian kredit macet; dan peningkatan penerbitan surat hutang jangka panjang dengan mata uang nasional. Dalam upaya merestrukturisasi pinjaman negara, ICE-SDF telah mengusulkan untuk mempertimbangkan sejumlah klausul (Collective Action Clauses) dalam proses restrukturisasi, sehingga dapat digunakan lebih adil dan efektif pada semua kasus. Selain itu, direkomendasikan pula upaya kolaboratif dalam memperbaiki ketepatan waktu dan sistem pelaporan kreditur dan debitur.
Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular Indonesia saat ini tidak lagi hanya menerima bantuan dari mitra pembangunan tetapi juga memberi bantuan kepada negara-negara selatan khususnya masuk kepada kategori Least Development Countries (LDCs) melalui Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular. Pelaksanaan KSST Indonesia dilandasi dengan semangat solidaritas dan upaya peningkatan pembangunan sesama negara-negara selatan dan juga untuk melengkapi kerjasama pembangunan utara-selatan. Visi dari KSST Indonesia adalah “Kemitraan yang lebih baik untuk kesejahteraan”. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan KSST, dibentuk Tim Koordinasi Nasional (Tim Kornas) KSST yang terdiri dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, dan Sekretariat Negara. Sejumlah kegiatan pelaksanaan KSST yang dilaksanakan pada tahun 2014 melibatkan pula Kementerian/ Lembaga lain di luar Tim Kornas KSST, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pendidikan dan Budaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta BKKBN. Negara-negara selatan yang menjadi mitra dalam pelaksanakan KSST Indonesia adalah CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam), Palestina, negara-negara Pasifik atau Melanesian Spearhead Group (MSG), Timor Leste, Afganistan, dan beberapa negara di Afrika. Alokasi dana untuk kegiatan KSST Indonesia pada tahun 2014 mencapai 208 milyar rupiah, tersebar di berbagai Kementerian/Lembaga). Dana tersebut sebagian besar digunakan untuk beasiswa untuk mendorong kerjasama internasional dan sisanya dalam bentuk pelatihan, lokakarya, expert dispatch/visit, dan pemberian bantuan peralatan. Selain itu, pada tahun 2014 Pemerintah Indonesia juga melakukan persiapan program KSST bersama mitra pembangunan (diantaranya JICA, UNDP, Norwegia, USAID, IDB, GIZ Jerman, Inggris, World Bank, dan Colombo Plan) melalui skema kerjasama triangular yang akan dilaksanakan pada tahun 2015.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
90 Global Partnership for Effective Development Cooperation (GPEDC) Pada tahun 2014 Indonesia telah menyelesaikan penugasan chairmanship (bersama dengan UK dan Nigeria) dalam forum GPEDC. Dalam forum tersebut Indonesia menempatkan posisi dan komitmen yang kuat dalam meningkatkan efektivitas kerjasama pembangunan internasional yang diwujudkan dengan menginisiasi knowledge sharing sebagai upaya membantu percepatan pembangunan di berbagai negara. Indonesia menjadikan forum GPEDC sebagai contoh kongkrit dalam kerjasama pembangunan yang melibatkan beragam pihak pemangku kepentingan dalam pembangunan. Selain itu dalam forum tersebut Indonesia juga ikut berkontribusi dalam proses penyiapan beberapa agenda GPEDC, yaitu (a) perkembangan upaya mendorong efektifitas pemanfaatan pendanaan luar negeri melalui ODA (progress since Busan) dengan beberapa fokus area seperti ownership, result based, inclusive partnership dan perhatian pada negara-negara fragile; (b) DRM dengan konsentrasi pada penilaian terhadap kondisi penerimaan pajak yang memadai pada berbagai negara, perbaikan dan perkuatan sistem perpajakan, penguatan dan pengembangan sumber pendanaan publik yang inklusif; (c) upaya pengembangan kerjasama pembangunan Selatan-Selatan dan Triangular; (d) kerjasama pembangunan dengan negara Middle Income Countries (MICs); dan (e) keterlibatan private sector sebagai mitra pembangunan.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
91
DAFTAR PUSTAKA TUJUAN 1 ------------ Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019 ------------ Keputusan Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan No. 23/KEP/MENKO/KESRA/VII/2007 tentang Perubahan atas Keputusan Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan No. 28/KEP/MENKO/KESRA/XI/2006 tentang Tim Pengendali Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Badan Pusat Statistik (1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007-2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014. Jakarta: BPS. Bappenas (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025. Jakarta: Bappenas. Bappenas (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019. Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Kementerian Kesehatan (2008). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan Kementerian Kesehatan (2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Kementerian Kesehatan (2014). Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia 2013. sehatan
Jakarta: Kementerian Ke-
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2007). Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Jakarta: Kemenko Kesra. Kementerian Pendidikan Nasional (2009). Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kursus Wirausaha Kota (KWK) Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. ------------ (2009). Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Kursus Wirausaha Desa (KWD) Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. ------------ (2010). Pendidikan Kewirausahaan pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Kemdiknas.
TUJUAN 2 ---------- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 36 Tahun 2011 tentang Petunjuk teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2011 untuk Peningkatan Mutu Pendidikan di SD/SDLB. ---------- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 37 Tahun 2011 tentang Petunjuk teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2011 untuk Peningkatan Mutu Pendidikan di SMP/SMPLB.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
92 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025. Jakarta: Bappenas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2013. Jakarta: Bappenas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019. Jakarta: Bappenas. Bappenas (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019. Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Badan Pusat Statistik (1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007-2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014. Jakarta: BPS. Kementerian Agama (2011). Panduan Pelaksanaan Beasiswa Siswa Miskin untuk, MI, MTs., dan MA. Jakarta: Kemenag. Kementerian Pendidikan Nasional (2009). Rencana Strategis 2010-2014. Jakarta: Kemdiknas. ---------- (2011). Studi Anak di Luar Sekolah (SALSA). Jakarta: Balitbang Kemdiknas dan Unicef. The World Bank (2003). Gender Equality and tje Millenium Development Goals. Washington: the World Bank. Unicef dan Unesco Institute for Statistics (2010). Global Initiative on Out-of-School Children. Jakarta: UNICEF.
TUJUAN 3 ---------- Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. ---------- Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. Kep. 30 /M.PPN/HK/03/2009 tentang Pembentukan Tim Pengarah dan Tim Teknis Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender. ---------- Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.02/2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Pelaksanaan DIPA tahun anggaran 2010. ---------- Peraturan Menteri Keuangan No. 104/PMK.02/2010 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran K/L dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan, dan Pelaksanaan DIPA tahun anggaran 2011. ---------- Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019. Jakarta: Bappenas. Badan Pusat Statistik (1993, 2014). Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 1993 dan 2014. Jakarta: BPS.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
93 Badan Pusat Statistik (1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007-2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014. Jakarta: BPS. ---------- (2010). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2010-2014. Jakarta: Bappenas. Bappenas (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019. Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2005). Parameter Gender dalam peraturan Perundang-undangan 2005. Jakarta: Kementerian PP dan PA. ---------- (2010). Pedoman Teknis Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender bagi Daerah. Jakarta: Kementerian PP dan PA. ---------- (2011). Statistik Gender 2011. Jakarta: Kementerian PP dan PA. ---------- (2011). Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Jakarta: Kementerian PP dan PA. Komisi Pemilihan Umum (2011). Proporsi Kursi yang Diduduki Perempuan: Data Internal KPU.
TUJUAN 4 ---------- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1059/MENKES/SK/IX/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2013. Jakarta: Bappenas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019. Jakarta: Bappenas. ---------- (2008). Pengembangan Database Pembangunan Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Dokumen internal. ---------- (2008). Pembiayaan Pencapaian MDGs di Indonesia, Laporan Kajian. Jakarta: Bappenas. ---------- (2009). Pembangunan Kesehatan dan Gizi di Indonesia: Overview dan Arah ke Depan. Jakarta: Bappenas. ---------- (2009). Pembangunan Kesehatan dan Gizi di Indonesia: Overview dan Arah ke Depan. Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Badan Pusat Statistik (1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007-2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014. Jakarta: BPS.
Kementerian Kesehatan (2008). Buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta: Kementerian Kesehatan. ---------- (2008, 2011, 2014). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, 2010, 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
94 ---------- (2009). Analisis dari berbagai survei SDKI BPS tahun 1997, 2002-2003 and 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
---------- (2010). Rencana Strategis Kementerian kesehatan 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan (2014). Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan World Health Organization. (2005). The World Health Report 2005: Make Every Mother and Child Count. Geneva: WHO. ---------- (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without New Research Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of theTask Force on Health Systems Research, 2005. ---------- (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal Coverage. Geneva: WHO. Badan Pusat Statistik (1995-1998). % Balita yang pernah Menerima Imunisasi Campak. tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=30¬ab=33
www.bps.go.id/
TUJUAN 5 Adam Wagstaff , Mariam Claeson, Robert M. Hecht, Pablo Gottret, and Qiu Fang. (2004). MillenniumDevelopment Goals for Health: What Will It Take to Accelerate Progress?. Ahrizal Ahnaf. (2006). Angka Kematian Ibu di Indonesia Kecenderungan dan Faktor-Faktor yang Berpengaruh. Dipresentasikan pada Workshop Prakarsa Strategis Percepatan Penurunan AKI, di Jakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2013. Jakarta: Bappenas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019. Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas Badan Pusat Statistik (1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007-2014). Survei Sosial Ekonomi Nasional 1989, 1990, 1992, 1995, 1998, 2005, 2007,2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013, 2014. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik (1992, 1995, 1997, 1999, 2003, 2007, 2012). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), 1991, 1995,1997 2002/03, 2007, 2012. Jakarta: BPS.
Kementerian Kesehatan (2008). Profil Kesehatan 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan. ---------- (2008, 2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan. ---------- (2009). Analisis dari berbagai survei SDKI BPS tahun 1997, 2002-2003 and 2007. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
95 ---------- (2010). Rencana Strategis Kementerian kesehatan 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan (2014). Pokok-Pokok Hasil Riskesdas Indonesia 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan World Health Organization (2005). The World Health Report 2005: Make Every Mother and Child Count. Geneva: WHO. ---------- (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without New Research Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of theTask Force on Health Systems Research, 2005 ---------- (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal Coverage. Geneva: WHO.
TUJUAN 6 ---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 1507/MENKES/SK/X/2005 tentang Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela (Voluntary Councelling and Test). ---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 1508/MENKES/SK/X/2005 tentang Rencana Kerja Jangka Menengah perawatan, Dukungan, dan Pengobatan untuk ODHA serta Pencegahan HIV/AIDS tahun 2005-2009. ---------Keputusan Menteri Kesehatan No. 1197/MENKES/SK/XI/2007 tentang Kelompok Kerja Penanggulangan HIV/AIDS Departemen Kesehatan Republik Indonesia. ---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 043/MENKES/SK/I/2007 tentang Pedoman Pengobatan Malaria. ---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia. ---------- Keputusan Menteri Kesehatan No. 364/MENKES/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). ---------- Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penangggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah. 20th Meeting of The National AIDS Programme Managers; 2-4 Desember 2008: Recommendations to the Member Countries. Andy Barraclough, Malcolm Clark, et all. (2008). Report of HIV/AIDS Commodities Survey and Supply Chain Status Assessment in Tanah Papua: A survey of HIV/AIDS Commodities Situation in Tanah Papua. Februari. ASAP UNAIDS (2008). “Preparing National HIV/AIDS Strategies and Action Plans - Lessons ofExperience”. www.worldbank.org/asap. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2013. Jakarta: Bappenas.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
96 Badan Pusat Statistik (2003, 2007, 2012). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/03, 2007, 2012. Jakarta: BPS. ---------- (2011). Survai Kesehatan Reproduksi Remaja Indoensia (SKRRI). Jakarta: BPS. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019. Jakarta: Bappenas. Bappenas (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Kementerian Kesehatan (1995-2011). CDR dan Success Rate Kasus TB Paru BTA Positif, 1995-2011. Dokumen Internal ---------- (2002). Laporan Eksekutif Menteri Kesehatan RI tentang Penanggulangan HIV/AIDS Respon Menangkal Bencana Nasional apda Sidang Kabinet Maret 2002. Jakarta: Kementerian Kesehatan. ---------- (2007). Pedoman Nasional terapi Antiretroviral: panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIVpada Orang Dewasa dan Remaja. Jakarta: Kementerian Kesehatan. ---------- (2008). Pedoman Perluasan Jejaring Perawatan, Dukungan dan Pengobatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan. ---------- (2008, 2011). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan. ---------- (2008). Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Anak di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan. ---------- (2010). Profi l Penyakit Menular 2009. Jakarta: Kementerian Kesehatan. ---------- (2011). Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku. Jakarta: Kementerian Kesehatan. ---------- (2011). Prevalensi HIV/AIDS. Jakarta: Kementerian Kesehatan. ---------- (2011). Angka Kejadian dan Tingkat Kematian Akibat Malaria. Dokumen internal. ---------- (2011). Proporsi Jumlah Kasus Tuberkulosis yang Terdeteksi dan Terobati. Dokumen internal. ---------- (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014: Terobosan Menuju Akses Universal. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (2008). Country report on the Follow up to the Declaration of Commitment on HIV/AIDS, (UNGASS) Reporting Period 2006-2007 Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. (2007). HIV and AIDS Response Strategies2007-2010. ---------- (2010). Rencana Aksi dan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS,2010-2014. ---------- (2010). Country report on the Follow up to the Declaration ofCommitment on HIV/AIDS, (UNGASS) Reporting Period 2008-2009. World Health Organization (2005). The Millennium Development Goals will not be Attained Without New Research Addressing Health System Constraints to Delivering Effective Interventions. Report of theTask Force on Health Systems Research, 2005. ---------- (2010). Global Tuberculosis Control 2009: Epidemiology Strategy Financing. Geneva: WHO.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
97 ---------- (2011). The World Health Report 2010: Health System Financing, the Path to Universal Coverage. Geneva: WHO. ---------- (2012). Global Tuberculosis Control 2011. Geneva: WHO. ---------- (2013). Global Tuberculosis Control 2012. Geneva: WHO. Yayasan Spiritia (2005). Protokol Penanggulangan terapi Antiretroviral. Diambil dari the PIH Guide to the Community-Based Treatment of HIV in Resources-Poor Setting, July 2004. Jakarta: Yayasan Spiritia
TUJUAN 7 ---------- Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan. --------- Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. --------- Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca --------- Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. ---------- Peraturan Menteri Perdagangan No. 24/MDAG/PER/6/2006 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Ozon ---------- Peraturan Menteri Perdagangan No. 03/MDAG/PER/1/2012 tentang Impor Bahan Perusak Lapisan Ozon ---------- Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. --------- Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah --------- Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup --------- Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbanagn Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Badan Pusat Statistik (2010). Survei Sosial Ekonomi Nasional 2010. Jakarta: BPS. ------------ (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025. Jakarta: Bappenas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2013. Jakarta: Bappenas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019. Jakarta: Bappenas. ------------ (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019. Jakarta: Bappenas. Bappenas dan BPS (2011). Definisi Operasional Indikator MDGs. Jakarta, Bappenas
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
98 Bappenas, PNPM Support Fasility, dan UNDP (2007). Sistem Informasi Manajemen Terpadu PNPM Mandiri. simpadu-pnpm.bappenas.go.id/Desinventar/about Badan Pusat Statistik (1993 - 2014). Survai Sosial Ekonomi Nasional, 1993 - 2014. Jakarta: BPS HCFC
Phase-out Management Plans. www.undp.org/content/undp/en/home/ourwork/ environmentandenergy/focus_area/ozone_and_climate/hcfc_phase-out_managementplans/
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (1990 dan 2010). Indonesia, 1990 dan 2010. Jakarta: Kementerian ESDM.
Buku Data Statistik Ekonomi Energi
Kementerian Kehutanan (1990 dan 2010). Luas Kawasan Tertutup Hutan, 1990 dan 2010. Dokumen internal. ----------- (1990 dan 2010). Rasio Luas Kawasan Lindung untuk Menjaga Kelestarian Keanekaragaman Hayati terhadap Total Luas Kawasan Hutan, 1990 dan 2010. Dokumen internal. ----------- (1990, 2002, 2005, 2008, 2010, 2012, 2014). Persentase Tutupan Hutan dari Luas Daratan, 1990, 2002, 2005, 2008, 2010, 2012 dan 2014. Dokumen internal. ----------- (1990 dan 2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial, 1990 dan 2010. Dokumen internal. Kementerian Kelautan dan Perikanan (1998 dan 2010). Proporsi Tangkapan Ikan yang Berada dalam Batasan Biologis yang Aman, 1998 dan 2010. Dokumen internal. ----------- (1998 dan 2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial, 1998 dan 2010. Dokumen internal.
---------- (2010). Rasio Kawasan Lindung Perairan terhadap Total Luas Perairan Teritorial, 2010. Dokumen internal. Kementerian Kesehatan (2008). Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan & WSP-EAP. (2008). Mobilisasi Pendanaan Guna Mendukung PengembanganSanitasi. Jakarta ---------- (2008). Pendekatan Strategis Pengembangan Sanitasi di Indonesia. Jakarta. ---------- (2008). Peranserta Swasta Dalam Peningkatan Layanan Sanitasi. Jakarta. ---------- (2008). Public-Private Partnership in Handwashing with Soap (PPPHWWS)For Diarrheal Diseases Prevention in Indonesia. Fact Sheets. Jakarta. ---------- (2008). SPM Sebagai Target Pencapaian Pengembangan Sanitasi. Jakarta. ---------- (2008). Strategi Sanitasi melalui Pendekatan Pengembangan Kelembagaan. Jakarta.
---------- (2010). Renstra Kementerian Kesehatan 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2007). Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Jakarta: Kemenko Kesra.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
99 Kementerian Lingkungan Hidup (1992 dan 2010). Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO), 1992 dan 2010. Dokumen internal. ----------- (2000 dan 2005). Emisi Karbon, 2000 dan 2005. Dokumen internal. ----------- (2007). National Action Plan Adressing Climate Change. Jakarta: Kementerian Kesehatan ---------- (2010). Indonesia Second National Communication under the UNFCCC. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Pendidikan Nasional (2004). Rencana Strategis 2004-2009. Jakarta: Kemdiknas. Multilateral Fund for the Implementation of the Montreal Protocol.
www. multilateral fund.org
PEACE (2007). Indonesia and Climate Change. Current Status and Policies. Jakarta: 2007. Penataan Hukum terhadap Penggunaan dan Perdagangan Bahan Perusak Ozon (BPO). www.menlh.go.id/ penataan-hukum-terhadap-penggunaan-dan-perdagangan-bahan-perusak-ozon-bpo/ The Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer. Montreal Conference, 16 September 1987 beserta amadenen-amandemennya. untreaty.un.org/cod/avl/ha/vcpol/vcpol.html UNDP (2007). The Other Half of Climate Change – Why Indonesia Must Adapt to Protect Its Poorest People. New York: UNDP. Vienna Convention for Protection of the Ozone Layer. Vienna Conference, 22 Maret 1985. untreaty.un.org/ cod/avl/ha/vcpol/vcpol.html WHO and UNICEF (2006). Meeting the MDG drinking water and sanitation target. New York: WHO and Unicef.
TUJUAN 8 ----------- Undang-Undang No. 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia ----------- Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. ----------- Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi. BPS dan Bank Dunia. Rasio Ekspor dan Impor terhadap PDB. Jakarta: BPS dan Bank Dunia. Bank Indonesia (2003 dan 2011). Statistik Perbankan Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia. ---------- (1990 dan 2012). Laporan Perekonomian Indonesia 1990 dan 2012. Jakarta: Bank Indonesia. ---------- (2011). Neraca Pembayaran Indoensia, Triwulan I, II, III, IV Tahun 2011. Jakarta: Bank Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2005). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025. Jakarta: Bappenas. ------------ (2009). The Jakarta Commitment: Indonesia Roadmap to 2014. Jakarta: Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2013). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia 2013. Jakarta: Bappenas.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014
100 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015). Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah 2015-2019. Jakarta: Bappenas. Badan Pusat Statistik (2012, 2013, 2014). Survai Sosial Ekonomi Nasional 2012, 2013, 2014. Jakarta: BPS. ------------ (2012). Statistik Perekonomian Indonesia 2011. Jakarta: BPS. International Telecomunication Union. (2011). Yearbook of Statistics: Telecommunication /ICT Indicators 2001-2010. Geneve: ITU. ------------ (2011). M-Governmennt Mobile Technologies for Responsive Governments and Connected Societies. Geneve: ITU. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (1997 dan 2012). Statistik Utang Luar Negeri, 1996 dan 2011. Jakarta: Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika (2004 dan 2010). Proporsi Penduduk yang Memiliki Jaringan PSTN, 2004 dan 2010. Dokumen internal. ------------ (2004 dan 2010). Proporsi Penduduk yang Memiliki Telepon Seluler, 2004 dan 2010. Dokumen internal. Kementerian Perdagangan (2013). Neraca Perdagangan Indonesia 2013. Jakarta: Kementerian Perdagangan
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2014