16
BAB III METODOLOGI
3.1
Metode Serial Sectioning Pengetahuan tentang struktur pori tiga dimensi secara komputasi menjadi
bagian penting untuk dapat mengetahui sifat aliran fluida pada medium berpori. Kemajuan resolusi struktur tiga dimensi hingga ukuran mikro telah memberikan hasil prediksi yang lebih akurat mengenai struktur pori dari beberapa jenis batu seperti batu pasir. Berbagai jenis metode telah digunakan untuk membentuk citra gambar tiga dimensi, termasuk diantaranya adalah serial sectioning [Dullien, 1992], focused ion beam [Ishida, 1997; Tomutsa, 1999], laser scanning [Fredrich, 1999], dan X-ray computed tomography [Dunsmoir, 1991; Spanne, 1994]. Namun, pada banyak kasus struktur pori yang ada pada batuan sampel biasanya berada dalam ukuran mikro sehingga sangatlah sulit untuk melakukan prediksi secara langsung. Oleh karena itu, penggunaan metode rekonstruksi citra dua dimensi menjadi sebuah gambar tiga dimensi adalah alternatif yang sangat baik untuk mengetahui struktur pori batuan sampel mengingat setiap lapisan yang diiris merupakan bagian dari batu utuh.
17
Rekontruksi data dua dimensi menjadi citra tiga dimensi ini disebut juga sebagai metode serial sectioning. Metode serial sectioning merupakan suatu metode dengan menggunakan irisan melintang dua dimensi dari suatu sampel atau model. Setiap irisan melintang dua dimensi dari sampel atau model tersebut direkonstruksi menjadi sebuah citra tiga dimensi. Perekonstruksian dua dimensi menjadi tiga dimensi ini harus dilakukan dengan cermat dan tepat karena jarak dari setiap irisan melintang ini akan menentukan citra tiga dimensi yang dihasilkan nantinya. Skema rekonstruksi tiga dimensi dari citra dua dimensi dapat dilihat sebagai berikut :
Gambar 3.1. Gambar rekonstruksi tiga dimensi dari citra dua dimensi
3.2
Gambar Digital Gambar digital dari batuan berpori dapat digambarkan dalam bentuk data
array dua dimensi atau data array tiga dimensi. Penggambaran ini membagi ruang kosong (pori) dan ruang padat (matriks) menjadi dua warna yang berbeda. Warna tersebut dapat berupa warna putih untuk pori dan warna hitam untuk matriks.
18
Gambar digital dipetakan sebagai grid titik atau elemen gambar (pixels). Setiap pixel merupakan nilai warna (hitam, putih, abu-abu atau warna) yang merepresentasikan kode biner (nol atau satu). Nilai setiap pixel juga memiliki makna nilai tingkat energi gelombang mikro yang dipantulkan oleh objek. Binary digits (bits) untuk setiap pixel dikirim secara berurutan oleh komputer dan selalu direduksi menjadi representasi matematik. Kemudian bits diinterpretasi dan dibaca oleh komputer untuk menghasilkan versi analog untuk kepentingan tampilan (display) atau cetak (print). Misal sebuah gambar digital dua dimensi memiliki ukuran 10 x 10 pixel memiliki nilai warna biner (0 atau 1). Satu pixel digambarkan dengan satu buah persegi, nilai pixel 0 merepresentasikan warna putih, sedangkan nilai pixel 1 merepresentasikan warna hitam. Kehalusan sebuah bentuk gambar dipengaruhi oleh ukuran (dalam pixel) gambar. Semakin besar ukuran pixel, maka gambar digital yang dihasilkan menjadi semakin halus dan tajam. Ketika gambar digital diambil dari sebuah kamera digial, nilai setiap pixel memiliki makna nilai tingkat energi gelombang mikro yang dipantulkan oleh objek. Pixel dengan nilai nol berarti berwarna hitam dan jika pixel bernilai 255 berarti berwarna putih, sedangkan nilai di antara 0 sampai 255 akan bergerak dari hitam-abuputih. Perubahan, warna dari hitam menjadi putih dibagi-bagi menjadi 256 skala. Dengan demikian, representasi warna pada gambar digital cukup diwakili oleh nilai pixel.
19
3.3
Kalibrasi Data Dua Dimensi Kalibrasi data dua dimensi dilakukan untuk mengurangi nilai error yang
didapatkan dari pengambilan data. Kalibrasi dilakukan untuk mengukur jarak antara sayatan agar tidak ada bagian sampel atau model yang hilang ketika dilakukan rekonstruksi. Jarak sayatan antara objek (sampel batuan) dikalibrasi dengan membandingkan besar ukuran objek terhadap besar ukuran digital. Dalam hal ini besar ukuran digital bernilai n pixel, sedangkan besaran ukuran objek berupa ukuran tiga dimensi yaitu (a x b x c) dalam satuan panjang (milimeter atau centimeter). Dengan a adalah panjang objek, b adalah lebar objek, dan c adalah tinggi objek. Sebagai contoh, suatu objek memiliki ukuran sebesar (20 x 20 x 20) mm. Pada jarak 10 mm besaran ukuran objek digitalnya adalah 30 pixel sehingga setiap pixel gambar mewakili 30/10 yaitu 3 mm. Nilai 3 mm ini menandakan jarak antara satu sayatan dengan sayatan berikutnya.
3.4
Batuan Sampel Pada penelitian ini batuan sampel yang digunakan adalah batu karbonat dan
batu apung. Batu karbonat yang digunakan memiliki kriteria sebagai berikut : bentuk pori batu jenis ini cukup besar sehingga dapat terlihat dengan jelas walaupun tanpa bantuan lensa pembesar dan memiliki warna batuan merata yaitu coklat kehitaman sehingga ketika dilakukan pengecatan, kontras warna terlihat jelas. Berikut ini adalah gambar batua karbonat yang digunakan sebagai sampel.
20
pori
matriks
Gambar 3.2 Batu karbonat yang digunakan sebagai sampel.
Batuan sampel yang kedua adalah batu apung. Batu ini memiliki kriteria sebagai berikut : bentuk porinya cukup besar meskipun ada beberapa pori yang berukuran kecil namun masih terlihat jelas ketika difoto, struktur batuan tidak terlalu keras dan tidak terlalu rapuh sehingga proses penyayatan bisa dilakukan lebih mudah, dan warna batuan merata yaitu coklat muda yang berguna memberikan kekontrasan warna ketika dicat. Berikut ini adalah gambar batu apung yang digunakan sebagai sampel pada penelitian. pori
matriks
Gambar 3.3 Batu apung yang digunakan sebagai sampel.
Sebelum dilakukan pengambilan gambar, masing-masing batu sampel diukur terlebih dahulu. Batu karbonat yang dijadikan sampel memiliki ukuran sebesar (5.4 x
21
4.1 x 10) cm. Sedangkan batu apung yang digunakan memiliki tebal 16 mm. Setelah dilakukan pengukuran, sisi yang akan diambil gambarnya diberi tanda dengan menggunakan pilox berwarna putih. Pemberian warna ini bertujuan untuk memberikan kekontrasan warna batuan sampel. Kekontarasan ini menyebabkan matriks dan pori yang dihasilkan akan memiliki warna yang berbeda. Setelah dilakukan pengecatan dengan pilox, tahap berikutnya adalah penyayatan. Penyayatan dilakukan dengan cara mengampelas atau mengikir dengan jarak antara tiap sayatan sebesar 0,1 milimeter. Setiap sayatan antar lapisan diukur dengan menggunakan jangka sorong yang memiliki nilai skala terkecil sebesar 0.05 mm. Kemudian dilakukan pengambilan citra bagian yang telah diiris tersebut.
3.5
Rancangan Alat Rancangan alat yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut :
Gambar 3.4. Skema rancangan alat penelitian.
22
Keterangan gambar
:
kamera digital dengan resolusi 6 Megapixel. Pengambilan data dilakukan dengan menu digital macro yanga ada di kamera.
A merupakan jarak antara kamera dengan batuan.
B merupakan panjang alat yang digunakan.
sekrup berfungsi sebagai penahan kamera.
Jarak B pada kedua batuan sampel adalah 61 cm. Sedangkan jarak A untuk kedua batuan sampel berbeda. Untuk batu karbonat jarak A yang digunakan adalah 16.8 cm. Sedangkan untuk batu apung jarak A yang digunakan adalah 5.6 cm. Pada jarak tersebut, citra gambar yang dihasilkan maksimal (tidak kabur).
3.6
Pengolahan Citra Batuan Sampel 2 Dimensi Citra dua dimensi (2D) batuan sampel yang didapatkan dari hasil pemotretan
relatif cukup bagus. Kamera yang digunakan mempunyai resolusi 6 Mega pixels dengan pilihan menu digital macro. Menu ini memiliki kelebihan dapat melihat benda-benda dengan jelas pada jarak yang dekat. Namun, untuk mengetahui kontras warna antara matriks dan pori maka format gambar dirubah menjadi black and white. Setiap gambar dua dimensi yang diambil memiliki ukuran (432 x 340) pixels untuk batu karbonat dan (188 x 166) pixels untuk batu apung. Kemudian dilakukan pemotongan (croping) dengan ukuran yang sama yaitu 75x75 pixel untuk batu
23
karbonat dan 50 x 50 pixel untuk batu apung. Berikut ini adalah skema pengolahan data dua dimensi. citra batu asli
citra batu asli yang telah di crop
citra batu asli black and white
Gambar 3.5. Skema proses pengolahan data 2 dimensi
3.7
Konstruksi 3 Dimensi dari Citra 2 Dimensi Rekonstruksi data dua dimensi menjadi tiga dimensi dengan metode serial
sectioning untuk sampel batuan dilakukan dengan menyusun sayatan citra 2D dengan ukuran pixel yang sama. Matriks (ruang padat) digambarkan dengan warna abu, warna transparan digambarkan sebagai pori (ruang kosong), dan warna biru merupakan dinding pori. Hal yang harus diperhatikan dalam melakukan rekonstruksi citra dua dimensi menjadi model tiga dimensi adalah algoritma yang digunakan harus sesuai dengan metode yang dipakai, format gambar, dan bahasa pemograman. Berikut ini adalah algoritma rekonstruksi citra tiga dimensi dari data dua dimensi.
24
Input : (dimensi, jumlah gambar)
for i = 1:jumlah
baca filename ke i baca image ke i konversi image to bw ke i copy ke BwImage (ukuran, i)
Rekonstruksi gambar
output
Gambar 3.6. algoritma rekonstruksi 3D dari citra 2D
Sebelum mamasukkan data citra ke batuan sampel, program tersebut diuji terlebih dahulu dengan menggunakan citra gambar bola pejal. Bentuk citra dua dimensi dari boal pejal adalah lingkaran. Setelah dilakukan pengujian, ternyata program yang digunakan sudah menghasilkan citra 3D berbentuk bola pejal. Berikut ini adalah data setiap sayatan bola pejal dua dimensi dengan jumlah sayatan sebanyak 60 buah.
25
Gambar 3.7. data dua dimensi bola pejal sebanyak 60 sayatan.
Dengan menggunakan algoritma pada 3.6 dan nilai alpha 0.2 maka akan didapatkan citra tiga dimensi dari bola pejal sebagai berikut :
Gambar 3.8. bola pejal tiga dimensi dengan nilai alpha 0.2
Nilai alpha merupakan nilai transparansi dari objek yang ditampilkan. Semakin kecil nilai alpha, maka akan semakin transparan objek tersebut ditampilkan. Berikut ini adalah citra bola pejal dengan nilai alpha 0.5.
26
Gambar 3.9. bola pejal tiga dimensi dengan nilai alpha 0.5
3.8
Perhitungan Besaran-besaran Fisis Batuan Pada penelitian ini, besaran fisis batuan yang diestimasi adalah porositas dan
tortuositas. Estimasi kedua besaran ini, memanfaatkan bahasa pemograman Matlab dengan memberikan nilai warna pada batuan. Nilai warna tersebut adalah 0 untuk pori dan 1 untuk matriks. Nilai warna ini akan memberikan gambaran keberadaan pori dan keterhubungan pori dalam suatu batuan sampel. Sehingga apabila gambaran ini dianalisis lebih lanjut lagi dengan rumusan yang tepat maka besaran fisis batuan seperti porositas dan tortuositas dapat diketahui nilainya.
3.8.1
Perhitungan porositas Perhitungan porositas dilakukan dengan menjumlahkan setiap pori (0) yang
ditemui pada batuan sampel dan menambahkan nilai 1 untuk setiap penemuan pori
27
tersebut. Sedangkan nilai matriks (1) yang ditemui pada batuan sampel akan ditambahkan nol. Sehingga banyaknya nilai pori yang ditemukan akan dijumlahkan (jumlah pori yang terhubung) dan kemudian akan dibagi dengan volume batuan sampel (d3). Hal ini terlihat dari rumusan perhitungan pori untuk batuan sampel tiga dimensi sebagai berikut : porositas efektif =
3.8.2
jumlah pori yang terhubung d3
(3.1)
Diagram alir perhitungan tortuositas Berikut ini merupakan diagram alir [Gambar 3.10] program perhitungan
tortuositas. Perhitungan tortuositas dilakukan sesuai dengan prioritas jalur pori yang akan dijelaskan pada subbab 3.8.3.
28
Mulai
Input : - dimensi batuan sampel (d) - data batuan sampel - koordinat entry point (id,jd,kd & i,j,k)
Deklarasi nilai-nilai awal Panjang awal tortuositas Æ pjg = 0
while i>0,i<=d,j>0, j<=d-1, k>0, k<=d
Pencarian elemen pori
Elemen pori ditemukan?
Proses pergeseran pointer ke elemen pori yang ditemukan
Pemberian nilai pada koordinat pointer = 0.5
pjg = pjg +
Δ pjg
Tortuositas = pjg/d
Output: tortuositas
Selesai
Gambar 3.10. algoritma perhitungan tortuositas [Tungky, 2006].
29
Perhitungan tortuositas dimulai dengan mendefinisikan suatu titik awal perhitungan sebagai Entry point. Entry point ini diibaratkan sebagai pointer. Pointer memiliki tugas mencari sel pori terdekat yang saling terhubung. Kemudian setelah menemukan sel pori baru, maka pointer akan berpindah ke sel pori tersebut. Sedangkan sel pori yang lama akan diberi nilai 0.5. Pemberian nilai ini dimaksudkan agar tidak terjadi perhitungan tortuositas pada elemen yang sama. Hal ini terus dilakukan hingga pointer berada pada sisi yang berhadapan dengan awal perhitungan. Kemudian panjang sel pori yang saling terhubung dibagi dengan dimensi batuan sampel, yang nantinya akan menghasilkan nilai tortuositas.
3.8.3
Perhitungan tortuositas Pada penelitian ini, perhitungan tortuositas dilakukan pada batuan sampel tiga
dimensi. Perhitungannya dimulai dengan membagi blok pengecekan menjadi tiga bagian yaitu blok pengecekan bagian depan, tengah, dan belakang. Pembagian ini digunakan untuk mempermudah pendeskripsian perhitungan tortuositas yang dilakukan di program. Berikut ini adalah gambar pembagian blok pengecekan keberadaan pori [Gambar 3.11].
30
Gambar 3.11. Pembagian blok pengecekan pori [Tungky, 2006].
Arah pencarian tortuositas berada pada arah sumbu j. Perhitungan tortuositas diprioritaskan pada arah sumbu j positif. Sehingga apabila diurutkan berdasarkan gambar diatas maka priorotas jalur pori adalah sebagai berikut : -
Prioritas 1 : pencarian jalur pori ke blok bagian depan : 9Æ4Æ8Æ2Æ6Æ5Æ7Æ3Æ1
-
Prioritas 2 : pencarian jalur pori ke blok bagian tengah : 13Æ17Æ11Æ15Æ12Æ14Æ10Æ16
31
-
Prioritas 3 : pencarian jalur pori ke blok bagian belakang
:
21Æ25Æ19Æ23Æ20Æ22Æ18Æ24Æ26 Pemilihan jalur di atas dikarenakan jalur tersebut merupakan jalur terpendek aliran yang dapat dilewati oleh fluida. Pada gambar 3.11 di atas, pointer dimisalkan sebagai huruf P sedangkan angka-angka yang mengelilingi pointer tersebut merupakan sel pori pada suatu sampel. Apabila pointer bergerak ke angka 9, 11, 13, 15, 17, dan 26 maka nilai pertambahan panjang porinya adalah 1 sehingga rumusan panjang pori menjadi pjg = pjg +1. Sedangkan apabila pointer bergerak ke angka 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 19, 21, 23, dan 25 maka nilai pertambahan panjang pori akibat pergerakan diagonal bidang pointer adalah
2 sehingga rumusan panjang pori menjadi pjg = pjg +
2 . Dan
apabila pointer bergerak ke angka 1, 3, 5, 7, 18, 20, 22, dan 24 maka pertambahan panjang pori akibat pergerakan diagonal ruang pointer adalah panjang pori menjadi pjg = pjg +
3.
3 sehingga rumusan