27
BAB III LANDASAN TEORI
TINJAUAN UMUM TENTANG PENERAPAN STRATEGI HARGA PROMO TERHADAP DIFFERENSIASI PRODUK ANTARA PRODUK PRIVAT LABEL DAN NON PRIVAT LABEL A. Pengertian Strategi Strategi berasal dari kata yunani Strategeia (stratus= militer dan ag=memimpin), yang artinya seni ilmu untuk menjadi seorang jendral.5 Permasalahan strategi dalam Islam termasuk dalam kelompok ta’aququli.6 Dalam hal ini Islam memberikan peluang bagi Manusia untuk melakukan berbagai inovasi terhadap bentuk-bentuk muamalah yang mereka butuhkan dalam kehidupan mereka, dengan syarat bahwa bentuk muamalah hasil inovasi ini tidak keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Islam. Menurut Griffin Strategi merupakan suatu rencana komprehensif untuk mencapai tujuan organisasi. Namun tidak hanya sekedar mencapai, akan tetapi strategi juga dimaksudkan untuk mempertahankan keberlangsungan organisasi di lingkungan Organisasi tersebut menjalankan aktivitasnya. Menurut organisasi dalam dunia bisnis, strategi dimaksudkan untuk mempertahankan keberlangsungan bisnis perusahaan
3
dibandingkan
para
pesaingnya
dalam
memenuhi
kebutuhan
Irine Diana Sari Wijayanti, Manajemen, (Jogjakarta: Mitra Cendikia Press, 2008), h.
61 4
Ta’qquli adalah perbuatan hukum yang dapat di nalar oleh manusia. Ia bisa berubah dan berkembang, berbeda dengan ta’abbudi yang merupakan perbuatan hukum yang tidak bisa dinalar oleh manusia dan tidak bisa diubah sama sekali, lihat Nasrul Haroen, Perdagangan Saham di Bursa Efek Tinjauan Hukum Islam, (Jakarta: Yayasan Kalimah, 2002), h.28.
28
konsumen.7 Menurut William F.Glueck, Strategi didefinisikan sebagai suatu kesatua rencana yang terpadu dan menyeluruh yang mengaitkan kekuatan perusahaan dengan lingkungan yang dihadapinya agar dapat dicapainya tujuan
konsumen.8 Menurut William F.Glueck, Strategi didefinisikan sebagai suatu kesatua rencana yang terpadu dan menyeluruh yang mengaitkan kekuatan perusahaan dengan lingkungan yang dihadapinya agar dapat dicapainya tujuan perusahaan.9 Menurut C. Ronald Christensen, Strategi dimaksudkan suatu perumusan pola berbagai tujuan dan kebijakan dasar serta rencana-rencana untuk mencapai tujuan tersebut, sehingga dapat diketahui dengan jelas usaha yang sedang dan akan dilaksanakan oleh perusahaan, termasuk keadaan perusahaan baik yang sedang berjalan maupun di waktu yang akan datang. Dari berbagai defenisi para Ahli, dapat disimpulkan bahwa strategi adalah suatu rencana tentang upaya untuk dapat dicapainya tujuan-tujuan perusahaan yang ada dan lingkungan yang dihadapinya. B. Pengertian Differensiasi Produk Menurut
Kotler,10
diffrensiasi
adalah
proses
menambahkan
dan
memberikan serangkaian perbedaan yang dinilai penting, untuk membedakan produk yang ditawarkan oleh perusahaan itu dari pesaing, meskipun terkadang 5
Erni Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. Ke-5, h.132. 5 Erni Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. Ke-5, h.132. 9 Sukristono, Perencanaan Strategis Bank, Institut Bankir Indonesia, ( Jakarta: Perpustakaan Nasional Catalog dalam Penerbitan Institut Bankir Indonesia, 1992), h. 336. 10 Kotler 1997
29
dilakukan berdasarkan atribut-atribut yang tidak relevan. Differensiasi menurut Kartajaya,11 yaitu cara mengkonkretkan strategi pemasaran suatu perusahaan dengan segala macam aspek yang terkait di perusahaan yang membedakan dari perusahaan pesaing. Sedangkan menurut Griffin,12 differensiasi adalah penciptaan suatu produk atau citra produk yang cukup berbeda dengan produk-produk yang telah beredar dengan maksud untuk menarik konsumen. Jadi differensiasi dapat dimaksudkan sebagai suatu usaha perusahaan dalam strategi pemasaran untuk membuat pembedaan produk dengan perusahaan pesaing, sehingga produk tersebut memiliki ciri khas tersendiri. Strategi differensiasi produk ini di maksudkan untuk memberikan kreatifitas yang tinggi dalam menciptakan keunikan produk yang lebih menarik, nyaman, aman, sehingga lebih diminati oleh konsumen dibandingkan dengan produk pesaing. C. Pengertian Harga Menurut Tjiptono, Secara sederhana istilah harga dapat diartikan sebagai jumlah uang (Satuan Moneter) dan/ atau aspek lain (Non Satuan Moneter) yang mengandung utilitas atau kegunaan tertentu yang diperlukan untuk mendapatkan suatu jasa.13 Menurut Chandra dalam Tjiptono dikatakan bahwa harga merupakan pernyataan nilai dari suatu produk (a statement of value).14 Sedangkan menurut Wijaya, harga adalah apa yang dibayar seseorang untuk apa yang diperolehnya dan nilainya dinyatakan dalam mata uang.15
11
Kartajaya 1996 Griffin 2003; 357 13 Tjiptono, Fandy, Strategi Pemasaran, Andi Yogyakarta, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2006), h. 178. 14 Ibid, h.179 15 Ibid , h. 97 12
30
Menurut pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa harga adalah pernyataan nilai atas suatu produk yang dapat dapat dinyatakan baik dalam bentuk uang atau aspek lain yang digunakan untuk memperoleh suatu produk. Dalam memahami harga promo, hal ini terkait juga dengan metode penetapan harga, Menurut Lupiyoadi metode penetapan harga harus dimulai dengan pertimbangan atas tujuan penetapan harga itu sendiri, antara lain : a. Bertahan Bertahan merupakan usaha untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang meningkatkan laba ketika perusahaan sedang mengalami kondisi pasar yang tidak menguntungkan. Usaha ini dilakukan demi kelangsungan hidup perusahaan. b. memaksimalkan Laba penentuan harga bertujuan untuk memaksimalkan laba pada periode tertentu. c. Memaksimalkan Penjualan Penentuan harga bertujuan untuk membangun pangsa pasar dengan melakukan penjualan pada harga awal yang merugikan. d. Gengsi atau Prestise Tujuan penetapan harga disini adalah untuk memposisikan jasa perusahaan tersebut sebagai jasa yang eksklusif. e. Pengembalian atas Investasi (ROI) Tujuan penetapan harga didasarkan atas pencapaian pengembalian atas investasi (return on Investment-ROI) yang diinginkan .
31
Menurut Tjiptono terdapat dua macam tujuan penetapan harga, yaitu tujuan umum dan tujuan spesifik. Adapun masing-masing tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Tujuan umum penetapan harga 1) Mengurangi risiko ekonomi dari percobaan produk. 2) Menawarkan nilai yang lebih baik dibandingkan bentuk/kelas produk pesaing. 3) Meningkatkan frekuensi konsumsi. 4) Menambah aplikasi/pemakaian dalam situasi yang lebih banyak. 5) Melayani segmen yang berorientasi pada harga. 6) Menawarkan versi produk yang lebih mahal. 7) Mengalahkan pesaing dalam hal harga. 8) Menggunakan harga untuk mengindikasikan kualitas tinggi. 9) Mengeleminasi keunggulan harga pesaing. 10) Menaikkan penjualan produk komplementer. b. Tujuan spesifik penetapan harga 1) Menghasilkan surplus sebesar mungkin. 2) Mencapai
tingkat
target
spesifik
tetapi
tidak
berusaha
memaksimumkan laba 3) Menutup biaya teralokasi secara penuh termasuk biaya Overhead institutional.
32
4) Menutup biaya penyediaan satu kategori jasa atau produk tertemtu (setelah dikurangi biaya Overhead institutional dan segala macam hibah spesifik. 5) Menutup biaya penjualan inkremental kepada satu konsumen ekstra. 6) Mengubah harga sepanjang waktu untuk memastikan bahwa permintaan sesuai dengan penawaran yang tersedia pada setiap waktu tertentu (sehingga dapat mengoptimalkan kapasitas produktif). 7) Menetapkan
harga
sesuai
dengan
perbedaan
kemampuan
membayar berbagai segmen pasar yang menjadi target pemasaran organisasi. Di samping itu, terdapat Indikator-indikator yang digunakan dalam penetapan harga, diantaranya adalah.16 a. Penetapan Harga Jual Keputusan penetapan harga, seperti halnya keputusan bauran pemasaran lainnya harus berorientasi pada pembeli. Penetapan harga yang berorientasi pada pembeli yang efektif mencakup memahami beberapa besar nilai yang ditempatkan konsumen atas manfaat yang mereka terima dari produk tersebut dan menetapkan harga yang sesuai dengan nilai ini. b. Elastisitas Harga 16
Philip Kotler dan Gary Amstrong, dasar-dasar pemasaran, ( Jakarta : Prehallindo, 2005) h. 452.
33
Seberapa responsip permintaan terhadap suatu perubahan harga. Jika permintaan hampir tidak berubah karena sedikit perubahan harga, maka permintaan tersebut tidak elastis/ inelastis. Jika permintaan berubah banyak, kita menyebut permintaan tersebut elastis. Semakin tidak elastis permintaan, semakin besar penjual menaikkan harga. c. Pertumbuhan Harga Pesaing Faktor
lain
yang
mempengaruhi
keputusan
penetapan
harga
perusahaan adalah harga pesaing dan kemungkinan reaksi pesaing atas tindakan penetapan harga yang dilakukan perusahaan. Seorang konsumen yang cenderung membeli suatu produk atas evaluasi harga serta nilai produk pembanding sejenis lainnya. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Herman tentang Indikator-indikator dalam penetapan harga :17 a. Keterjangkauan Harga Ketertjangkauan harga adalah harga yang sesungguhnya dari suatu produk yang tertulis dari suatu produk, yang harus dibayarkan oleh pelanggan. Maksudnya adalah pelanggan cenderung melihat harga akhir dan memutuskan apakah akan menerima nilai yang baik seperti yang diharapkan. Harapan pelanggan dalam melihat harga yaitu : 1) Harga yang ditawarkan mampu dijangkau oleh pelanggan secara financial.
17
Herman, et,al, The social Influence of Brand comunity: evidence from european car clubs, (Journal Of Marketing: vol. 69) P 19-34
34
2) Penentuan harga harus sesuai dengan kualitas produk sehingga pelanggan
dapat
mempertimbangkan
dalam
melakukan
pembelian.
b. Diskon/ Potongan Harga Diskon merupakan potongan harga yang diberikan oleh penjual kepada pembeli sebagai penghargaan atas aktivitas tertentu dari pembeli yang menyenangkan bagi penjual. Jenis diskon bermacam-macam, seperti : 1) Diskon Kuantitas (Quantity Discount), merupakan potongan harga yang diberikan guna mendorong konsumen agar membeli dalam jumlah yang lebih banyak, sehingga meningkatkan volume penjualan secara keseluruhan. Dalam praktik, diskon kuantitas sering tidak terbentuk potongan tunai, melainkan tambahan unit yang diterima untuk jumlah pembayaran yang sama (bonus atau free goods) yang diberikan kepada konsumen yang membeli dalam jumlah yang besar. 2) Diskon musiman (Seasonal Discount), adalah potongan harga yang diberikan pada masa-masa tertentu saja. Diskon musiman digunakan untuk mendorong agar membeli barang-barang yang sebenarnya baru akan dibutuhkan beberapa waktu mendatang.
35
3) Diskon tunai (Cash Discount), adalah potongan harga yang diberikan kepada pembeli atas pembayaran rekeningnya pada suatu periode, dan mereka melakukan pembayaran tepat pada waktunya. 4) Diskon perdagangan (trade Discount), diberikan oleh produsen kepada
para penyalur
(wholeseller atau retailer)
yang terlibat
dalam
pendistribusian barang dan pelaksanaan fungsi-fungsi tertentu, seperti penjualan, penyimpanan, dan record keeping.
c. Cara pembayaran Cara pembayaran sebagai prosedur dan mekanisme pembayaran suatu produk/ jasa sesuai ketentuan yang ada. Kemudahan dalam melakukan pembayaran dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan bagi konsumen dalam melakukan keputusan pembelian. Karena jika fasilitas pembayaran tersebut masih kurang memadai atau tidak memudahkan konsumen, maka hal itu dapat menimbulkan masalah baru kepada konsumen. Di samping itu, terdapat empat indikator yang dapat digunakan untuk mengukur harga suatu barang menurut pepadri dan sitinjak 18 a. Referensi Harga b. Harga yang relatif lebih murah c. Kewajaran harga d. Kesesuaian pengorbanan dan harga sesuai dengan manfaat.
18
Wibowo S,F dan Karimah, Pengaruh Iklan televisi dan harga terhadap keputusan pembelian sabun Lux (survei pada pengunjung mega Bekasi Hypermall, (jurnal riset manajemen sains Indonesia: Vol.3 no.1, 2012) hlm. 5
36
Berdasarkan uaraian tersebut maka indikator harga digunakan pada penelitian ini meliputi : keterjangkauan harga, diskon/ potongan harga, cara pembayaran. D. Pengertian Promosi Menurut Swasta dan Irawan, Promosi pada hakikatnya adalah suatu bentuk komunikasi pemasaran yang bertujuan mendorong permintaan, yang dimaksud komunikasi pemasaran adalah aktivitas pemasaran yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi dan atau mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan dan pada produknya agar bersedia menerima, membeli, dan loyal pada produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan. 19 menurut Husaen Promosi adalah pengkomunikasian informasi kepada orangorang tentang produk yang akan ditawarkan sehingga konsumen tertarik untuk membeli produk atau jasa yang ditawarkan.20 Berdasarkan definisi diatas maka promosi memiliki tujuan diatantaranya menurut Nickels, dkk, promosi bertujuan untuk mempengaruhi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembelian. Promosi juga bertujuan untuk memotivasi masyarakat untuk membeli produk atau jasa sebuah perusahaan, serta menjadi sarana untuk membangun hubungan dengan pelanggan. Tujuan utama promosi adalah modifikasi tingkah laku konsumen, menginformasikan, mempengaruhi dan membujuk serta mengingatkan konsumen sasaran tentang perusahaan dan produk atau jasa yang dijualnya.21
19
Basu Swastha dan Irawan, manajemen pemasaran analisis perilaku konsumen, (Yoyakarta: Liberty, 2005) h. 349. 20 Ibid, h.35 21 Ibid, h.353
37
Dari
beberapa
defenisi
para
ahli
diatas,
sehingga
dapat
ditarik
kesimpulan/defenisi terpadu mengenai Harga Promo adalah nilai dari suatu produk yang di informasikan atau dikomunikasikan untuk mendorong permintaan atau menarik daya beli konsumen terhadap produk atau jasa yang ditawarkan. E. Pengertian Produk Privat Label dan Non Privat Label Konsep privat label sebenarnya adalah pengembangan dari konsep merek dan merupakan suatu bentuk inovasi yang dilakukan pengecer atau retailer dalam memenuhi permintaan dan menghadapi persaingan. Menurut Kotler dan Amtsrong 2004 privat label yang memiliki nama lain Private Brand atau Store Brand adalah merek yang diciptakan dan dimiliki oleh penjual eceran barang dan jasa. Pendapat mengenai privat label ini juga diungkapkan oleh suryanti 2002, privat label adalah merek yang dikeluarkan oleh retailer dan menjual sendiri merek yang dimilikinya. Berdasarkan pendapat ini bisa dipahami bahwa privat label menunjukkan kepemilikan atas merek bukan status produk yang di produksi karena kemungkinan bisa terjadi bahwa retailer mendapatkan produk dari produsen lain tetapi memberikan label merek umtuk produk tersebut dan dijual sendiri oleh retailer yang bersangkutan. Menurut Garry Hamel dan C.K Prahalad, pada umumnya ada tiga jenis merek, yaitu : 1. Banner Brand (merek bendera) Banner Brand merupakan merek atas suatu produk yang dikeluarkan oleh perusahaan dan dipakai sama untuk segala macam lini produk. 2. Corporate Brand
38
Corporate Brand merupakan merek yang dipasang pada produk-produk yang dihasilkan oleh produsen, dan dipasarkan secara luas baik In-Store supermarket maupun Out-Store Supermarket. 3. House Brand (Privat Label Brand) House Brand merupakan merek yang digunakan pada suatu jenis produk oleh toko-toko tertentu, atau yang dipasang oleh produsen atas ijin atau kontrak dengan toko-toko tersebut dan hanya dipasarkan dan dijual oleh toko-toko tersebut yang sifatnya In-Store. Menurut Harcar, Kara, dan Kucukemiroglu 2006, Store Brand atau Privat Label adalah barang-barang dagangan yang menggunakan nama merek distributor atau peritel. Privat Label dibuat oleh perusahaan pemasok yang telah terikat kontrak dengan peritel. Penamaan merek pada produk Privat Label dapat dikategorikan menjadi : 1. Store Brands, menggunakan nama peritel pada kemasan Produk Privat Label. 2. Store Sub-Brands, menggunakan merek yang berisikan nama, nama peritel dan nama Produk. 3. Umbrella Brands, produk Privat Label yang diberi merek Independen, tidak ada kaitan dengan peritel. Umbrella Brands digunakan untuk produk dengan kategori yang berbeda. 4. Individual Brands, nama merek yang digunakan hanya untuk kategori produk.
39
5. Exclusive Brands, nama merek yang digunakan hanya untuk satu kategori yang sama. Namun produk ini mempromosikan value added. F. Mekanisme Pasar dalam Islam Dalam konsep ekonomi islam penentuan harga dilakukan oleh kekuatankekuatan pasar, yaitu kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran. Dalam konsep islam, pertemuan permintaan dengan penawaran tersebut haruslah terjadi secra rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada tingkat harga tersebut.
22
keadaan rela sama rela merupakan
kebalikan dari keadaan aniaya, yaitu keadaan di mana salah satu pihak senang di atas kesedihan pihak lain. Dalam hal harga, para ahli fiqih merumuskannya sebagai the price of the equivalent.
23
konsep the price of the equivalent ini
mempunyai implikasi penting dalam ilmu ekonomi, yaitu keadaan pasar yang kompetitif. Dalam konsep islam, monopoly, duopoly, oligopoly dalam artian hanya ada satu penjual, dua penjual, atau beberapa penjual tidak dilarang keberadaannya, selama mereka tidak mengambil keuntungan di atas keuntungan normal. Ini merupakan konsekuensi dari konsep the price of the equivalent. Produsen yang beroperasi dengan positif profit akan mengundang produsen lain untuk masuk ke dalam bisnis tersebut, sehingga kurva supply bergeser ke kanan, jumlah output yang yang ditawarkan bertambah, dan harga akan turun. Produsen baru akan terus
22
Allah berfirman, “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuai dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu”(QS 4:29) 23 Istilah fiqihnya “thaman al mithl”. Lihat kujaim, al-ashbah wan naza’ir. (Beirut : Darul kitab al Islamiyah, 1980).
40
memasuki bisnis tersebut sampai dengan harga turun sedemikian sehingga economic profit nihil. Pada keadaan ini produsen yang telah da di pasar tidak mempunyai insentif untuk keluar dari pasar, dan produsen yang belum masuk ke pasar tidak mempunyai insentif untuk masuk ke pasar.
24
islam mengatur agar
persaingan di pasar dilakukan dengan adil. Setiap bentuk yang dapat menimbulkan ketidakadilan dilarang. 1. Talaqqi Rukban dilarang karena pedagang yang menyongsong di pinggir kota mendapat keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari kampung akan harga yang berlaku di kota. Mencegah masuknya pedagan desa ke kota ini (entry barrier) akan menimbulkan pasar yang tidak kompetitif. 2. Mengurangi timbangan dilarang karena barang dijual dengan harga yang sama untuk jumlah yang lebih sedikit. 3. Menyembunyikan barang cacat dilarang karena penjual mendapatkan harga yang baik untuk kualitas yang buruk. 4. Menukar kurma kering dengan kurma basah dilarang, karena takaran kurma basah ketika kering bisa jadi tidak sama dengan kurma kering yang ditukar. 5. Menukar satu takar kurma kualitas bagus dengan dua takar kurma kualitas sedang dilarang karena setiap kualitas kurma mempunyai harga pasarnya. Rasulullah menyuruh menjual kurma yang satu, kemudian membeli kurma yang lain dengan uang.
24
Long Run Competitive ekuilibrium terjadi bila terpenuhi tiga hal ini: (a) semua produsen dalam industri tersebut melakukan upaya memaksimalkan profit, (b) tidak ada produsen yang mempunyai insentif untuk masuk ke atau keluar dari industri tersebut karena economic profitnya nihil, (c) harga sedemikian rupa sehingga jumlah yang ditawarkan sama dengan jumlah yang diminta. Lihat Robert pindyck and Daniel Rubinfled. Microeconomics 3 rd ed., (New Jersey: prentice Hall,1995).
41
6. Transaksi Najasy dilarang karena si penjual menyuruh orang lain memuji barang-nya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik. 7. Ikhtikar dilarang, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. 8. Ghaban faa-hisy (besar) dilarang yaitu menjual diatas harga pasar.25
G. Mekanisme Harga dalam Islam Ajaran islam memberi perhatian yang besar terhadap kesempurnaan mekanisme pasar. Mekanisme pasar yang sempurna adalah resultan dari kekuatan yang bersifat massal dan impersonal, yaitu merupakan fenomena alamiah. Pasar yang bersaing sempurna dapat menghasilkan harga yang adil bagi penjual maupun pembeli. Karenanya, jika mekanisme pasar terganggu, maka harga yang adil tidak akan tercapai. Demikian pula sebaliknya, harga yag adil akan mendorong para pelaku pasar untuk bersaing dengan sempurna. Jika harga tidak adil, maka para pelaku pasar akan enggan untuk bertransaksi atau terpaksa tetap bertransaksi dengan menderita kerugian. Oleh karena itu, islam sangat memerhatikan konsep harga yang adil dan mekanisme pasar yang sempurna. Harga yang adil ini dijumpai dalam beberapa terminologi, antara lain : si’r al-mithl, thaman al- mithl dan qimah al-adl (harga yang adil) pernah digunakan oleh Rasulullah Saw. Dalam mengomentari kompensasi bagi pembebasan budak, dimana budak ini akan menjadi manusia merdeka dan majikannya tetap memperoleh kompensasi dengan harga yang adil atau qimah al25
Ghaban adalah selisih antara harga yang disepakati penjual dan pembeli dengan harga pasar akibat ketidaktahuan pembeli akan harga. Ghaban kecil dibolehkan sedangkan Ghaban besar dilarang.
42
adl (sahih muslim). Penggunaan istilah ini juga ditemukan dalam laporan tentang khalifah Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Thalib. Umar bin Khatab menggunakan istilah harga yang adil ini ketika menetapkan nilai baru atas diyah (denda/uang tebusan darah), setelah nilai dirham turun sehingga harga-harga naik (Ibn Hanbal). Istilah qimah al-adl juga banyak digunakan oleh para hakim yang telah mengodifikasikan hukum islam tentang transaksi bisnis dalam objek barang cacat yang dijual, perebutan kekuasaan, memaksa penimbun barang untuk menjual barang timbunannya, membuang jaminan atas harta milik, dan sebagainya. Secara umum, mereka berfikir bahwa harga sesuatu yang adil adalah harga yang dibayar untuk objek yang sama yang diberikan pada waktu dan tempat diserahkan. Mereka juga sering menggunakan istilah thaman al-mithl (harga yang setra /equivalen price). Meskipun istilah-istilah diatas telah digunakan sejak masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin, tetapi sarjana muslim pertama yang memberikan perhatian secara khusus adalah Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah sering menggunakan terminologi dalam pembahsan harga ini, yaitu Iwad al-mith (equivalen compensation/kompensasi
yang
setara)
dan
thaman
al-mithl
(equivalen
price/harga yang setara). Dalam al-Hisbah-nya ia mengatakan.” kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah esensi keadilan (nafs al-adl). Di manapun ia membedakan antara dua jenis harga, yaitu harga yang tidak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai. Dia mempertimbangkan harga yang setara ini sebagai harga yang adil. Dalam majmu
43
fatawa-nya Ibn Taimiyah mendefinisikan equivalen price sebagai harga baku (s’ir) dimana penduduk menjual barang barang mereka dan secara umum diterima sebagai sesuatu yang setara dengan itu dan untuk barang yang sama pada waktu dan tempat yang khusus. Sementara dalam Al-Hisbah, ia menjelaskan bahwa Equivalen Price ini sesuai dengan keinginan atau lebih persisnya harga yang ditetapkan oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas-kompetitif dan tidak terdistorsi- antara penawaran dan permintaan. Ia mengatakan,” jika penduduk menjual barangnya dengan cara yang normal (al-wajh al-ma’ruf) tanpa menggunakan cara-cara yang tidak adil, kemudian harga itu meningkat karena pengaruh kekurangan persediaan barang itu atau meningkatnya jumlah penduduk (meningkatnya permintaan), itu semua karena Allah. Dalam kasus seperti itu, memaksa penjual untuk menjual barangnya pada harga khusus merupakan paksaan yang salah (ikrah bi ghairi haq). Adanya suatu harga yang adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalam transaksi yang islami. Pada prinsipnya transaksi bisnis harus dilakukan pada harga yang adil sebab ia cerminan dari komitmen syariat islam terhadap keadilan yang menyeluruh. Secara umum, harga yang adil ini adalah harga yang tidak menimbulkan eksploitasi atau penindasan (kezaliman) sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak lain. Harga harus mencerminkan manfaat bagai pembeli dan penjualnya secara adil, yaitu penjual memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya. GAMBAR 3.1
44
Kurva keseimbangan Harga P S
Islam menjunjung tinggi mekanisme pasar yang bebas 1. titik keseimbangan pasar akan terjadi ketika permintaan bertemu dengan penawaran secara bebas (‘antaradin minkum) 2. jika proses mencapai titik D keseimbangan ini terganggu, maka pemerintah harus melakukan Intervensi.
H. Pemikiran Ilmuwan Muslim terhadap penetapan harga (Tas’ir) di pasar Catatan tertulis ulama klasik muslim tentang harga di pasar misalnya dapat kita jumpai dalam kitab Al-Kharaj karya Abu yusuf (731-798 M)26, kitab ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali (1058-1111 M)27, kitab al-Hisbah fi islami karya Ibn Taimiyah (1263-1328 M)28 dan kitab ahkam al- suq karya Yahya Bin Umar (213-289 H)29. Berikut ini di jelaskan pemikiran ekonomi islam dalam membahas harga di pasar.
26
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006) h. 231. 27
Ibid, Hlm. 314 Ibid, Hlm. 231 29 Ibid, Hlm. 282 28
45
a. Mekanisme Penetapan Harga (Tas’ir) dalam kitab Al Kharaj Karya Abu Yusuf (731-798 M) . Poin kontroversial lain dalam analisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah pengendalian harga (Tas’ir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya di dasarkan pada hadis Rasulullah Saw. “pada masa Rasulullah.,harga-harga melambung tinggi. Para sahabat mengadu kepada Rasulullah dan memintanya agar melakukan penetapan harga.Rasulullah Saw. Bersabda, tinggi-rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak bisa mencampuri urusan dan ketetapan-Nya. Penting diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan harga dengan menambah suplai bahan makanan dan mereka menghindari kontrol harga. Kecenderungan yang ada dalam pemikiran ekonomi islam adalah membersihkan pasar dari praktik penimbunan, monopoli, dan praktik korup lainnya dan kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran. Abu Yusuf tidak dikecualikan dalam kecenderungan ini. 30 b. Pemikiran Al-Ghazali terhadap Permintaan, Penawaran, Harga dan Laba (1058-1111 M) Walaupun tidak membahasnya dengan menggunakan istilah-istilah modren, terdapat banyak bagian dari buku-bukunya yang memperlihatkan kedalaman pemikiran Al-Ghazali tentang teori permintaan dan penawaran. Sepanjang tulisanya, ia berbicara mengenai “ Harga yang berlaku”, seperti yang
30
Ibid, Hlm.253
46
ditentukan oleh praktik-praktik pasar”. Sebuah konsep yang dikemudian hari dikenal sebagai al-tsaman al-adil (harga yang adil) di kalangan ilmuwan muslim atau equiblirium price (harga keseimbangan) di kalangan ilmuwan eropa kontemporer. Al-Ghazali menunjuk kepada kurva penawaran yang ber slope positif ketika menyatakan bahwa jika petani tidak mendapatkan pembeli bagi produk-produknya, ia akan menjualnya pada harga yang sangat rendah. Pemahamannya tentang kekuatan pasar terlihat jelas ketika membicarakan harga makanan yang tinggi, ia menyatakan harga tesebut harus didorong ke bawah dengn menurunkan permintaan yang berarti menggeser kurva permintaan ke kiri. Ia pun kelihatannya memiliki wawasan tentang konsep elastisitas permintaan ketika menyatakan bahwa pengurangan marjin keuntungan dengan mengurangi harga akan menyebabkan peningkatan penjualan, dan karenanya terjadi peningkatan laba. Al-Ghazali juga menyadari permintaan “harga inelastis”. Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa karena makanan merupakan kebutuhan pokok, maka motivasi laba harus seminimal mungkin mendorong perdagangan makanan, karena dapat terjadi eksploitasi melalui penerapan tingkat harga dan laba yang berlebihan. Ia menyatakan bahwa karena laba merupakan “kelebihan”, laba tersebut pada umumnya harus dicari melalui barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan dasar. Sebagaimana para ilmuwan di zamannya, Al-Ghazali membahas permasalahan harga dan laba secara bersamaan tanpa membedakan antara biaya dan pendapatan. Seraya mengemukakan kecaman terhadap para pencari laba, ia mengakui motivasi mencari laba dan sumber-sumbernya. Ia menganggap laba sebagai imbalan atas
47
risiko dan ketidakpastian, karena mereka (pedagang dan pelaku bisnis) menanggung banyak kesulitan dalam mencari laba dan mengambil risiko, serta membahayakan kehidupan mereka dan kafilah-kafilah dagang. Seperti yang telah disinggung ,Al-Ghazali bersikap sangat kritis terhadap laba yang berlebihan. Menurutnya, jika seseorang pembeli menawarkan harga “yang lebih tinggi” daripada “harga yang berlaku”, penjual harus menolaknya, karena laba akan menjadi berlebihan-walaupun hal itu bukanlah suatu kezaliman jika tidak ada penipuan di dalamnya. Berkaitan dengan hal ini, ia menyatakan bahwa laba normal seharusnya berkisar antara 5 sampai 10 persen dari harga barang. Lebih jauh, ia menekankan bahwa penjual seharusnya didorong oleh “laba” yang akan diperoleh dari pasar yang “hakiki”, yakni akhirat. 31 c. Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) tentang regulasi Harga dalam karya kitabnya Al-Hisbah Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand. Sekalipun tidak pernah menggunakan istilah “kompetisi” secara eksplisit, bebarapa penjelasan Ibnu Taimiyah mengisyaratkan pandangannya yang jelas mengenai kondisi kompetisi sempurna (perfect competition), khususnya ketika membahas tentang fungsi pasar. Sebagai contoh, ia menyatakan,
31
Ibid, Hlm 325- 327
48
“memaksa masyarakat untuk menjual barang-barang dagangan tanpa ada dasar yang mewajibkannya atau melarang mereka menjual barang-barang yang diperbolehkan merupakan sebuah kezaliman yang diharamkan”. 32
Pernyataannya tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki kebebasan sepenuhnya untuk masuk atau keluar pasar. Ibnu Taimiyah mendukung peniadaan berbagai unsur monopolistik dari pasar dan, oleh karenanya, menentang segala bentuk kolusi yang terjadi diantara sekelompok pedagang atau pembeli atau pihak-pihak tertetu lainnya. Ia menekankan perlunya pengetahuan tentang pasar dan barang-barang dagangan, seperti transaksi jual-beli yang bergantung pada kesepakatan yang membutuhkan pengetahuan dan pemahaman. Dalam melakukan penetapan harga, harus dibedakan antara para pedagang lokal yang memiliki persediaan barang dengan para importir. Dalam hal ini, para importir tidak boleh dikenakan kebijakan tersebut. Namun, mereka dapat diminta untuk menjual barang dagangannya seperti halnya rekanan importir mereka. Penetapan harga akan menimbulkan dampak merugikan persediaan barang-barang impor mengingat penetapan harga tidak diperlukan terhadap barang-barang yang tersedia di tempat itu, karena akan merugikan para pembeli. 1) Pasar yang tidak sempurna Contoh nyata dari pasar yang tidak sempurna adalah adanya monopoli terhadap makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus mentetapkan harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka. Walaupun menentang keras praktik monopoli, Ibnu Taimiyah mempersilahkan orang-orang membeli barang-barang dari para pelaku monopoli 32
Ibnu Timiyah, al-Hisbah, Op.Cit.,Hlm.41
49
karena jika hal ini dilarang, masyarakat akan semakin menderita. Oleh karena itu pula, ia semakin mendorong pemerintah agar segera melakukan penetapan harga. Ibnu Taimiyah melarang para pedagang dan pembeli membuat perjanjian untuk menjual barang pada harga yang telah ditetapkan sebelumnya sehingga dapat memperoleh harga yang lebih rendah, sebuah kasus yang menyerupai monopsoni. Ia juga melarang diskriminasi harga terhadap pembeli atau penjual yang tidak mengetahui harga yan sebenarnya di pasar. Ia menyatakan, “seorang penjual dilarang mengenakan harga yang sangat tinggi, yang tidak lazim dalam masyarakat, kepada seseorang yang tidak mengetahui harga yang sebenarnya (murtarsil) tetapi harus menjual barangnya pada tingkat harga yang berlaku di pasaran ( al-qimah al-mu’tadah) atau yang mendekatinya. Apabila telah dikenakan harga yang sangat tinggi, seorang pembeli berhak meninjau ulang transaksi bisnisnya...seseorang yang diketahui melakukan hal ini dapat dihukum dan dilarang memasuki pasar”. 33 Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut berdasarkan hadis nabi yang menyatkan bahwa mengenakan harga yang sangat tinggi kepada seseorang yang tidak mengetahui harga yang sebenarnya adalah riba (ghaban al-mustarsil riba). 2) Musyawarah untuk menetapkan harga Sebelum menerapkan kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait. Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Imam (penguasa) harus menyelenggarakan musyawarah dengan para tokoh yang merupakan wakil dan para pelaku pasar (wujuh ahl al-suq). Anggota masyarakat lainnya juga diperkenankan menghadiri musyawarah tersebut sehingga dapat membuktikan pernyataan mereka. Setelah melakukan musyawarah dan penyelidikan terhadap pelaksanaan transaksi jual beli mereka, pemerintah harus meyakinkan mereka pada suatu tingkat harga yang dapat membantu mereka dan masyarakat luas, hingga mereka
33
Ibid.,Hlm.359-360
50
menyetujuinya. Harga tersebut tidak boleh ditetapkan tanpa persetujuan dan izin mereka”.34 Lebih lanjut, dengan mengutip pendapat Abu Al-Walid, Ibnu Taimiyah menjelaskan, “logika dibalik ketentuan ini adalah untuk mengetahui, dalam hal ini, kepentingan para penjual dan pembeli serta menetapkan harga yang dapat menghasilkan keuntungan dan kepuasan para pedagang serta tidak mengandung hal yang memalukan bagi para pembeli. Jika harga tersebut dipaksakan tanpa persetujuan dari para pedagang sehingga mereka tidak memperoleh keuntungan, harga kan rusak, bahan makanan akan disembunyikan serta barang-barang masyarakat akan dihancurkan”.35 Secara jelas, ia memaparkan kerugian dan bahaya dari penetapan harga yang sewenang-wenang yang tidak akan memperoleh dukungan luas, seperti timbulnya pasar gelap atau manipulasi kualitas barag yang dijual pada tingkat harga yang ditetapkan. Berbagai bahaya ini dapat direduksi, bahkan dihilangkan, apabila harga-harga ditetapkan melalui proses musyawarah dan dengan menciptakan rasa tanggung jawab moral serta dedikasi terhadap kepentingan publik.36 d. Pemikiran Ekonomi tentang penetapan harga (Tas’ir) Yahya Bin Umar (213-289 H). Menurut Yahya Bin Umar, Aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim dari Allah Swt. Hal ini berarti ketakwaan merupakan asas dalam perekonomian islam, sekaligus faktor utama yang membedakan ekonomi islam dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu, di samping Alqur’an setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti seluruh perintah Nabi Muhammad Saw. Dalam melakukan aktivitas 34
Ibnu Timiyah, al-hisbah fi al-islam (Kairo:Dar al-Sha’b, 1976), hlm. 41 Ibid 36 Ibid, Hlm 367-373 35
51
ekonominya. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa keberkahan akan selalu menyertai orang-orang yang bertakwa, sesuai dengan firman Allah Swt ; “jikalau sekiranya penduduk negri-negri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.(Q.S Al-A’raf 7;96). Seperti yang telah disinggung, fokus perhatian Yahya Bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksikan dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga). Penetapan harga (al-tas’ir) merupakan tema sentral dalam kitab ahkam al-suq. Penyusunan buku tersebut, Imam Yahya Bin Umar, Berulang kali membahasnya diberbagai tempat yang berbeda. Tampaknya, bahwa ia ingin menyatakan bahwa eksistensi harga merupakan hal yang sangat dalam sebuah transaksi dan pengabaian terhadapnya akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, Yahya Bin Umar berpendapat bahwa Penetapan harga (al-tas’ir) tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan hadis nabi Muhammad Saw antara lain ; “ dari Anas Bin Malik, ia berkata ; “telah melonjak harga (di pasar)pada masa Rasulullah Saw, mereka (para sahabat) berkata ; “wahai Rasulullah tetapkanlah harga bagi kami”. Rasulullah menjawab : “Sesungguhnya Allah yang menguasai (harga), yang memberi rezeki, yang memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu dengan Allah dan tidak seorangpun (boleh) memintakau untuk melakukan suatu kezaliman dalam persoalan jiwa dan harta”. (H.R Abu dawud).
52
jika kita mencermati hadis tersebut, tampak jelas bahwa Yahya Bin Umar melarang kebijakan penetapan harga (tas’ir) jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yag alami. Dengan kata lain, dalam hal demikian, pemerintah tidak mempunyai hak untuk melakukan intervensi harga. Hal ini akan berbeda jika kenaikan harga diakibatkan oleh ulah manusia (Human Error). Pemerintah, sebagai institusi formal yang memikul tanggung jawab menciptakan kesejahteraan umum, berhak melakukan intervensi harga ketika terjadi suatu aktivitas yang dapat membahayakan kehidupa asyarakat luas. Yahya Bin Umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan Intervensi harga, kecuali dalam dua hal, yaitu ; 1. Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan tertentunya yang sangat dibutuhkan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan kemudaratan serta merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang tersebut dari pasar serta menggantikannya dengan para pedagang lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum. 2. Para pedagang melakukan praktik Siyasah al-ighraq atau banting harga (Dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat serta dapat mengacaukan stabilitas harga pasar. Dalam hal ini, pemerintah berhak memerintahkan para pedagang tersebut untuk menaikkan kembali harganya sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Apabila mereka menolaknya, pemerintah harus mengusir pedagang tersebut dari pasar. Hal ini pernah dipraktikkan Umar Bin Khatab ketika mendapati seorang
53
pedagang kismis menjual barang daganganya di bawah harga pasar. Ia memberikan pilihan kepada pedagang tersebut, apakah menaikkan harga sesuai dengan standar yang berlaku atau berbeda dari pasar. 37 Pernyataan Yahya Bin Umar tersebut jelas mengindikasikan bahwa hukum asal Intervensi pemerintah adalah haram. Intervensi baru dapat dilakukan jika kesejahteraan masyarakat terancam. Hal ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepada pemerintah dalam mewujudkan keadilan sosial di setiap aspek kehidupan masyarakat, termasuk ekonomi. Di samping itu, pendapatnya yang melarang praktik Tas’ir (penetapan harga) tersebut sekaligus menunjukkan bahwa sesungguhnya menunjukkan bahwa Yahya Bin Umar mendukung kebebasan ekonomi termasuk kebebasan kepemilikan. Sikap Rasulullah Saw. Yang meolak melakukan penetapan harga juga merupakan indikasi awal bahwa dalam ekonomi islam tidak hanya terbatas mengatur kepemilikan khusus, tetapi juga menghormati dan menjaganya. Tentu saja, kebebasan ekonomi yang dimaksud adalah bukan kebebasan mulak seperti yang dikenal dalam ekonomi konvensional, tetapi kebebasan yang terikat oleh syari’at islam. Kebebasan ekonomi tersebut juga berarti bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar, yakni kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Namun, Yahya Bin Umar menambahkan bahwa mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaedah-kaedah. Diantara kaedah-kaedah tersebut adalah pemerintah berhak untuk melakukan intervensi ketika terjadi tindakan sewenang-wenang di dalam pasar yang dapat menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat, termasuk ikhtikar dan Dumping. Dalam hal ini, 37
Hammad bin Abdurrahman Al-Janidal, Manahij al-bahitsin fi al-iqtishad al- islami (riyadh:syirkah al-ubaikan li al-thaba’ah wa al-nasyr, 1406 H), hlm.122-123
54
pemerintah berhak mengeluarkan pelaku tindakan tersebut itu dari pasar. Dengan demikian, hukuman yang diberikan kepada pelaku tindakan tersebut adalah berupa larangan melakukan aktivitas ekonominya di pasar, bukan berupa hukuman maliyah. Menurt Dr.Rifa’at Al-Audi, pernyataan Yahya Bin Umar yang melarang praktik Banting harga (dumping) bukan dimaksudkan untuk mencegah harga-harga menjadi murah. Namun, pelarangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan38.
38
Ibid, Hlm. 285-289