BAB III DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN A. Sejarah Objek Penelitian 1.
Definisi Pajak Menurut Ayat 1 Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 16
Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak didefinisikan sebagai : “ Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”. Berdasarkan definisi tersebut, terdapat beberapa ciri-ciri pajak, yaitu : 1. Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara. 2. Subjek pajak adalah orang pribadi dan badan. 3. Pajak bersifat memaksa sehingga menimbulkan resiko apabila tidak dipenuhi oleh subjek pajak. 4. Pajak mempunyai payung hukum berupa undang-undang. 5. Subjek pajak tidak mendapat imbalan langsung atas pembayaran pajak. 6. Pajak digunakan oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Keberadaan pajak sebagai sumber pemasukan penguasa atau dalam hal ini negara, sudah ada sejak lama. Hal tersebut membuat pajak mempunyai sejarah yang panjang, dalam kaitannya terhadap usaha negara untuk memakmurkan masyarakatnya.
25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
2.
Sejarah Pajak Pajak sebagai bentuk iuran rakyat kepada penguasa sudah di kenal sejak
berabad-abad silam. Sistem perpajakan pertama yang dikenal manusia sampai saat ini berasal dari masa Mesir Kuno sekitar 3.000-2.800 SM pada dinasti pertama dari Kerajaan Lama (Old Kingdom). Pada masa itu belum dikenal sistem mata uang seperti sekarang, sehingga rakyat harus membayar pajak menggunakan barang ataupun ternak (Almanac of University of Pennsylvania). Bentuk-bentuk perpajakan yang dikenal pada masa lalu adalah corvee dan tithe. Menurut David F. Burg (2004: VIII), “The earliest and most widespread form of taxation was the corvee, compulsory labor provided to the state (mostly by poor peasants).”. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa corvee adalah pajak yang berbentuk pekerjaan fisik, umumnya dilakukan oleh rakyat yang miskin. Sementara, David F. Burg (2004: VII) mengungkapkan, “...in Mesopotamia the earliest form of taxation apparently was the tithe, a collection of a percentage of landholder’s crops.”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tithe adalah bentuk pajak yang dibayarkan oleh rakyat dari sebagian hasil panennya. Corvee dan tithe digunakan untuk waktu yang cukup lama, bahkan di beberapa negara bentuk tersebut masih bertahan hingga abad ke-19. Bentukbentuk perpajakan semakin berkembang di dunia sejak saat itu, beberapa bentuk yang dikenal antara lain : a. Seigniorage ; Pajak atas pembuatan uang. b. Scutage ; Pajak atas servis militer. c. Tallage ; Pajak kepada penguasa feodal.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
d. Danegeld ; Pajak untuk perampok-perampok suku Dane di Eropa Utara. e. Dan bentuk-bentuk lainnya. Dalam Tabel 3.1 berikut ini ditunjukkan beberapa bentuk pajak yang dikenal pada masa lalu. Tabel 3.1. Bentuk-Bentuk Pajak Kuno NO 1 2 3 4 5
PERIODE LOKASI PEMERINTAHAN BENTUK PAJAK 3.000-2.500 SM Mesir Kerajaan Lama Hasil Panen dan Kerja Paksa +/- 2.350 SM Sumeria Dinasti Ur-Nanshe Hasil Panen dan Ternak +/- 2.000 SM Assyria Raja Sargon II corvee dan tithe +/- 594 SM China Dinasti Lu Kerja Paksa 49-44 SM Roma Julius Cesar Pajak Penjualan dari impor Sumber : David F. Burg “A World History of Tax Rebellions: An Encyclopedia of Tax Rebels, Revolts, and Riots from Antiquity to The Present”. 3.
Sejarah Pajak di Indonesia Perkembangan perpajakan di Indonesia setelah kemerdekaan tahun 1945,
dilakukan dengan mengadopsi perundangan-undangan yang berlaku pada masa kolonial. Dalam bukunya Waluyo (2014: 38) menjelaskan, “Memasuki era baru perundang-undangan perpajakan, sejak tahun 1984 telah terjadi perubahan besar yang tidak lagi menggunakan official assessment tetapi menggunakan self assessment system dalam pemungutan pajak di Indonesia.”. Perubahan official assessment menjadi self assessment dituangkan dalam ketentuan berikut : 1. UU no 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 2. UU no 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan 3. UU no 8 Tahun 1983 Tentang PPN dan PPnBM 4. UU no 12 Tahun 1985 Tentang PBB (masih official assessment) 5. UU no 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
Undang-undang perpajakan dalam perjalanannya, telah mengalami perubahan-perubahan yang bertujuan untuk mengakomodir perkembangan dan memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak. Perubahan terhadap undang-undang perpajakan tersebut dilakukan pada tahun 1994, tahun 1997, tahun 2000, tahun 2008 dan tahun 2009 yang dilatar belakangi adanya sunset policy. Perpajakan di Indonesia juga tidak terlepas dari kasus penghindaran pajak (tax avoidance) seperti yang terjadi pada kasus pajak BCA, Kaltim Prima Coal (Grup Bumi Resources), dan Asian Agri. Kasus-kasus ini berhubungan dengan topik penelitian, dimana penghindaran pajak (tax avoidance) ini dilakukan oleh Wajib Pajak badan. 4.
Kasus Penghindaran Pajak di Indonesia Kasus penghindaran pajak yang cukup banyak mendapat perhatian publik
adalah kasus keberatan pajak BCA, bank swasta terbesar di Indonesia. Disadur dari Kompasiana, kasus BCA bermula dari dana talangan BLBI pada saat krisis 1998, dimana BCA termasuk dalam 48 (empat puluh delapan) bank yang diambil alih asetnya oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Permasalahan terjadi pada tahun 2002 saat Direktorat Jendral Pajak (Dirjen Pajak) mendalami laporan keuangan fiskal BCA tahun 1999. Pada tahun 1999, BCA melaporkan laba fiskal sebesar Rp 174 milyar, namun Dirjen Pajak menemukan bahwa laba fiskal BCA adalah sebesar Rp 6,78 triliun. Dari laba fiskal tersebut, sebesar Rp 5,7 triliun merupakan dana talangan BLBI untuk pengalihan aset kredit bermasalah (non performing loan/NPL) kepada BPPN.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
Perdebatan atas dana Rp 5,7 triliun terjadi karena BCA berpendapat angka Rp 5,7 triliun tersebut merupakan transaksi jual beli piutang dari BCA kepada BPPN yang dikonversi menjadi saham BCA. Namun bagi Dirjen Pajak angka Rp 5,7 triliun merupakan bentuk penghapusan piutang sehingga tetap dikenakan pajak sebesar Rp 375 miliar. Berdasarkan keputusan Dirjen Pajak tersebut, pada 2003 BCA mengajukan keberatan ke Direktorat Pajak Penghasilan atas pengenaan pajak sebesar Rp 375 miliar pada NPL sebesar Rp 5,7 triliun. Permohonan BCA tersebut kemudian dikaji selama setahun oleh Dirjen PPh sebelum kemudian ditolak. Hasil kajian tersebut kemudian diteruskan kepada Dirjen Pajak yang saat itu menjabat, Hadi Purnomo. Pada 18 Juli 2004, Hadi Purnomo memerintahkan Dirjen PPh dalam sebuah nota dinas untuk mengubah putusan penolakan sehingga akhirnya Direktorat Jendral Pajak menerima seluruh keberatan BCA atas pajak sebesar Rp 375 miliar tersebut. Pada 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan status tersangka pada Hadi Purnomo atas dugaan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang Direktur Jendral Pajak tahun 2002-2004. Atas perbuatan tersebut Hadi Purnomo diduga merugikan negara Rp 375 miliar. Kasus BCA merupakan salah satu contoh penggelapan pajak yang melibatkan badan usaha serta otoritas pajak. Beberapa kasus serupa adalah kasus Kaltim Prima Coal (KPC), anak perusahaan Bumi Resources yang melibatkan lingkungan dalam Dirjen Pajak, Gayus Tambunan. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa Wajib Pajak badan di Indonesia, menaruh perhatian terhadap perencanaan pajak (tax planning).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
B. Lingkup Perpajakan 1.
Ketentuan Pajak 1.1
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Ketentuan umum, khusus, tata cara penghitungan, pembayaran,
penagihan, sanksi, serta kewajiban pembukuan dan pencatatan perpajakan tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983. Undang-undang tersebut telah beberapa kali mengalami perubahan, dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memuat tentang beberapa hal yang penting sebagai berikut : 1.
Penjelasan pajak, Wajib Pajak, ketentuan umum dan istilah-istilah tentang perpajakan (Pasal 1),
2.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Pengusaha Kena Pajak (PKP), surat terkait perpajakan dan tata cara perpajakan (Pasal 2-11),
3.
Ketentuan dan tata cara penetapan dan ketetapan pajak (Pasal 12-17),
4.
Ketentuan dan tata cara penagihan pajak (Pasal 18-24),
5.
Ketentuan dan tata cara banding pajak (Pasal 25-27),
6.
Kewajiban pembukuan dan pencatatan serta pemeriksaan terkait perpajakan (Pasal 28-31),
7.
Ketentuan-ketentuan khusus perpajakan (Pasal 32-37),
8.
Ketentuan pidana terkait perpajakan (Pasal 38-43),
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
9.
Ketentuan penyidikan terkait perpajakan (Pasal 44),
10. Ketentuan peralihan dan penutup (Pasal 45-50). 1.2
Ketentuan Pajak Penghasilan Salah satu obyek pemajakan adalah penghasilan yang diterima oleh
Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan. Ketentuan yang mengatur pajak atas penghasilan ada dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, yang telah mengalami beberapa kali perubahan, dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan terdapat pasal-pasal yang penting dan perlu diketahui, yaitu : 1.
Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan tunjangan lain dengan bentuk dan nama apapun yang diterima Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri.
2.
Pajak Penghasilan Pasal 22 merupakan pajak yang dipungut atas transaksi pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN/APBD dan transaksi yang dilakukan oleh lembaga atau badan tertentu, baik pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan impor atau kegiatan usaha dibidang lain.
3.
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan pajak penghasilan yang dipotong atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
dibayarkan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, atau perwakilan perusahaan luar negeri kepada Wajib Pajak dalam negeri. 4.
Pajak Penghasilan Pasal 24 merupakan pajak yang terutang atau dibayarkan di luar negeri atas penghasilan yang diterima dari luar negeri yang boleh dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
5.
Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran pajak penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan dalam tahun pajak berjalan.
6.
Pajak Penghasilan Pasal 26, merupakan pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima Wajib Pajak luar negeri. Sifat pengenaan PPh 26 adalah final sehingga tidak bisa dikreditkan dengan pajak yang lain.
1.3
Ketentuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ketentutan atas penyerahan atau penjualan barang dan jasa diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Ketentuan tersebut terakhir diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009, terdapat pasal-pasal yang penting dan perlu diketahui, yaitu : 1.
Ketentuan umum tentang pajak pertambahan nilai dan penjualan atas barang mewah (Pasal 1-2).
2.
Ketentuan tentang kewajiban melaporkan usaha, memungut, menyetor dan melaporkan pajak terutang (Pasal 3A).
3.
Ketentuan tentang objek pajak pertambahan nilai dan penjualan atas barang mewah (Pasal 4-5).
4.
Tarif pajak dan cara menghitung pajak pertambahan nilai dan penjualan atas barang mewah (Pasal 7-10).
5.
Ketentuan saat dan tempat terutang dan laporan penghitungan pajak (Pasal 11-15A).
6.
Ketentuan khusus terkait pajak pertambahan nilai dan penjualan atas barang mewah (Pasal 16A-16F).
7. 1.4
Ketentuan lain-lain, peralihan dan penutup (Pasal 17-21). Ketentuan Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Sifat pajak adalah wajib, sehingga perlu adanya ketentuan yang dibuat
pemerintah untuk mendukung terlaksananya hal tersebut. Ketentuan penagihan pajak dengan surat paksa diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997 yang terakhir diubah dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa terdapat pasal-pasal yang penting dan perlu diperhatikan, yaitu : 1. Ketentuan umum tentang penagihan pajak dengan surat paksa (Pasal 1). 2. Pengertian pejabat dan jurusita (Pasal 2-6). 3. Ketentuan dan pengertian surat paksa (Pasal 7-11). 4. Ketentuan penyitaan (Pasal 12-28). 5. Ketentuan pencegahan dan penyaderaan (Pasal 29-36). 6. Ketentuan tentang gugatan (Pasal 37-38). 7. Ketentuan khusus tentang penagihan pajak dengan surat paksa dan pidana (Pasal 39-41A). 8. Ketentuan peralihan dan penutup (Pasal 42-43). 2.
Wajib Pajak 2.1
Wajib Pajak Orang Pribadi Disimpulkan dari Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan yang merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi adalah orang pribadi yang memenuhi persyaratan menjadi subjek pajak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Wajib Pajak Orang Pribadi dapat digolongkan Subjek Pajak Dalam Negeri atau Subjek Pajak Luar Negeri sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Wajib Pajak Orang Pribadi adalah subjek pajak PPh 21, PPh 24, PPh 25, PPh 26, PPN, dan PPnBM. Pasal 7 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur penghasilan tidak kena pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
2.2
Wajib Pajak Badan Berdasarkan Ayat 3 Pasal 1 Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang dimaksud Wajib Pajak Badan adalah : “Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi,
dana
pensiun,
persekutuan,
perkumpulan,
yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.”. Wajib Pajak Badan dapat digolongkan Subjek Pajak Dalam Negeri atau Subjek Pajak Luar Negeri sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Wajib Pajak Badan merupakan subjek pajak bagi PPh 21, PPh 22, PPh 23, PPh 24, PPh 25, PPh 26, dan PPN serta PPnBM. 3.
Jenis Pemungutan Pajak 3.1
Official Assessment Menurut Waluyo (2014: 23) yang dimaksud sebagai official assessment
adalah “Sistem ini menekankan bahwa jumlah pajak terutang sepenuhnya ditentukan oleh aparat pajak (otoritas perpajakan).”. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam sistem official assessment, otoritas
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
pajak adalah pihak yang melakukan perhitungan pajak terutang kepada Wajib Pajak. Dalam sistem official assessment tersebut besarnya pajak terutang sangat tergantung dari aparat pajak (fiskus) yang ditugaskan menghitung, sehingga cukup merugikan Wajib Pajak. Sistem ini pernah digunakan Indonesia pada masa kolonialisasi Belanda hingga masa-masa awal kemerdekaan. 3.2
Self Assessment Menurut Waluyo (2014: 258) “...self assessment system bahwa kepada
Wajib Pajak diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menghitung pajak terutang, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.”. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa self assessment merupakan sistem perhitungan pajak terutang yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak secara bertanggung jawab. Sistem self assessment ini diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1967, yang dikenal dengan sistem Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang Lain. Pada akhirnya sistem self assessment mulai digunakan secara penuh (kecuali untuk Pajak Bumi dan Bangunan) dengan terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam melakukan self assessment terhadap penghitungan pajak, Wajib Pajak dikenakan kewajiban pembukuan dan pencatatan dengan prinsip taat asas. Hal tersebut, turut meningkatkan peran akuntansi di Indonesia.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
3.3
Withholding Sistem withholding adalah sistem pemungutan pajak oleh pihak ke-3
(tiga) atas objek pajak. Dalam Ayat 1 Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan disebutkan sebagai berikut : “Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak,dilunasi oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.”. Dari undang-undang tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sistem withholding merupakan sistem pemungutan pajak oleh pihak lain atau pihak ke-3 (tiga) yang diatur oleh undang-undang atas objek pajak pada tahun pajak berjalan. Pihak lain yang dimaksud disebut sebagai withholding agents. Pajak yang menggunakan sistem withholding adalah Pajak Penghasilan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 26 dan PPh Final. Dalam kaitan dengan Pajak Penghasilan Pasal 21, Waluyo (2014: 238) mengungkapkan “Ditinjau dari sistem pemotongan, PPh Pasal 21 ini menggunakan “Withholding System” yaitu pada saat penghasilan dibayar sehingga pendekatan yang dilakukan adalah “Pay as You Earn” dan “Pay as You Go”...”. Dari penjelasan tersebut terdapat 2 (dua) pendekatan sistem withholding untuk Pajak Penghasilan Pasal 21 yaitu Pay as You Earn (PAYE) dan Pay as You Go, pendekatan ini digunakan demi kemudahan Wajib Pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
4.
Jenis Pajak 4.1
Pajak Penghasilan Ayat 1 Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2008 menyebutkan sebagai berikut : “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun,...”. Sehingga pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis Wajib Pajak dari mana pun asalnya yang digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak. Pengertian tersebut diungkapkan Waluyo (2014: 218), “...undang-undang Pajak Penghasilan menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas atau basis luas (broad base).”. Besaran tarif pajak penghasilan untuk Wajib Pajak Badan adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen), sementara untuk tarif pajak penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi ditunjukkan dalam Tabel 3.2 berikut ini : Tabel 3.2. Tarif Pajak bagi WP Orang Pribadi Dalam Negeri LAPISAN PENGHASILAN KENA PAJAK TARIF PAJAK Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp 250.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00 25% Di atas Rp 500.000.000,00 30% Sumber : Ayat 1(a) Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
Pajak penghasilan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi di Indonesia, mengenal istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) seperti yang termuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Pajak Penghasilan, hal tersebut untuk mengakomodir asas keadilan dalam perpajakan. Untuk mendukung berkembangnya pasar modal di Indonesia, maka pajak penghasilan Wajib Pajak Badan dapat memperoleh tarif pajak 5% (lima persen) lebih rendah apabila 40% (empat puluh persen) atau lebih sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia, seperti yang diatur Ayat 1 dan 2 Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 4.2
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Baran dan Jasa dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa setiap penyerahan barang dan jasa yang termasuk Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) dalam Daerah Pabean maka akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sementara apabila barang yang diserahkan termasuk golongan Barang Mewah maka akan dikenakan tambahan berupa Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Dari Waluyo (2014: 306), didapatkan bahwa sejarah perkembangan PPN dan PPnBM bermula dari pemberlakuan Pajak Penjualan yang dimulai pada tanggal 1 Oktober 1951. Pemberlakuan tersebut, didasarkan UndangUndang Darurat Tahun 1951 Nomor 19 Lemberan Negara Nomor 94 Tahun
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
1951. Pada perkembangannya untuk menyesuaikan terhadap perkembangan informasi akuntansi, telah dilakukan beberapa kali perubahan hingga akhirnya berlaku Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang PPN dan PPnBM. Tarif yang berlaku untuk PPN adalah tarif tunggal yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) kecuali yang diatur lain oleh undang-undang, seperti tarif atas eksport Barang Kena Pajak (BKP) yaitu sebesar 0%. Sementara itu, tarif yang berlaku untuk PPnBM adalah serendah-rendahnya 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen) kecuali yang diatur lain oleh undang-undang. Pengenaan PPN dan PPnBM bersifat final dalam arti bahwa pengenaannya hanya terjadi satu kali pada saat terjadi penyerahan. C. Sumber Daya 1.
Direktorat Jendral Pajak Pemerintah dalam upayanya melakukan pemungutan pajak, membentuk
sebuah lembaga yang bertugas untuk menyelenggarakan administrasi perpajakan yang handal dan terpercaya. Dari Laporan Tahunan Direktorat Jendral Pajak Tahun 2012, dimulainya sejarah otoritas perpajakan di Indonesia adalah saat masa kolonialisasi Belanda yang dikenal sebagai Jawatan Pajak (JP). Jawatan Pajak (JP) berada di bawah Department van Financien (Departemen Keuangan) Pemerintah Kolonial. Pada masa penjajahan Jepang, Jawatan Pajak (JP) berada di bawah zaimubu (Departemen Keuangan). Hal tersebut berlangsung sampai dengan masa awal kemerdekaan, namun zaimubu telah berganti nama menjadi Departemen Keuangan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
Pada tahun 1966, nama Jawatan Pajak (JP) diubah menjadi Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) sebagai mana yang dikenal sekarang ini. Sejak 2010 hingga sekarang Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah berada di bawah Kementrian Keuangan. Berdasarkan Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2013, jumlah karyawan yang dimiliki sudah berjumlah 32.273 orang. Jumlah tersebut tersebar di 574 kantor perwakilan di seluruh Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak mempunyai visi untuk menjadi institusi pemerintah penghimpun pajak yang terbaik di wilayah Asia Tenggara. Visi tersebut tercermin dalam pernyataan misinya yaitu menyelenggarakan fungsi administrasi perpajakan dengan menerapkan undang-undang perpajakan secara adil dalam rangka membiayai penyelenggaraan Negara demi kemakmuran rakyat. Pada tahun pajak 2013, Ditjen Pajak mampu merealisasikan penerimaan pajak sebesar Rp 921.398 triliun atau 92,58% (sembilan puluh dua koma lima delapan persen) dari target penerimaan Rp 995.214 triliun. Sementara itu, terjadi peningkatan target pajak pada 2014 sebesar Rp 1.110,2 triliun. Secara fungsi, Direktorat Jenderal Pajak mempunyai tugas untuk : 1. Perumusan tugas dibidang perpajakan, 2. Pelaksanaan tugas dibidang perpajakan, 3. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dibidang perpajakan, 4. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi dibidang perpajakan, 5. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
http://digilib.mercubuana.ac.id/