BAB III DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
Dalam bab III ini, penulis akan membahas hasil penelitian yang dimulai dengan deskripsi umum daerah penelitian yakni kabupaten Biak-Numfor, dilanjutkan dengan deskripsi tentang makna piring sebagai mas kawin dalam masyarakat adat Biak-Numfor.
A. Gambaran Umum Tentang Wilayah Kabupaten Biak-Numfor A.1 Keadaan Georgafi Biak-Numfor Biak merupakan sebuah kepulauan yang terletak di Teluk Cenderawasih dan berhadapan langsung dengan Lautan Pasifik. Secara geografis kabupaten Biak Numfor terletak antara 134047-1360 Bujur Timur dan 0055-1027 Lintang Selatan, sedangkan secara administratif kabupaten Biak Numfor, di bagian utara berbatasan dengan Samudera Pasifik, sebelah selatan berbatasan berbatasan dengan Selat Yapen, sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Manokwari dan sebelah timur berbatasn dengan Lautan Pasifik.1 Secara umum, pola iklim dipengaruhi oleh monsoon dan maritime, yang mana porsi besaran pengaruhnya adalah pada maritimnya. Sebagai akibatnya, curah hujan yang jatuh relative merata sepanjang tahun, sehingga batas antara musim kemarau dan musim penghujan di Kabupaten Biak Numfor tidak tampak tegas. Secara umum curah hujan tahunan di Biak Numfor rata-rata 309,3 mm. Suhu rata-rata di
1
Sekky, “Gambaran Umum Biak,” dalam
http://www.biakkab.go.id/default.php?dir=pages&file=main&hal=gambaranumumBiak, diunduh pada tanggal 30 Mei 2012, pukul 14.42 WIB.
1
Kabupaten Biak Numfor mencapai 25.5 derajat C dengan iklim kisaran rata-rata antara 21 derajat C sampai dengan 32 derajat C. Tingkat Kelembababn udara di wilayah Kabupaten Biak Numfor sangat tinggi, yaitu berkisar antara 85 persen - 88 persen dengan kecepatan angin 3.2 knot. Penyinaran matahari rat-rata mencapai 49 persen - 62 persen sehingga Kabupaten Biak Numfor termasuk dalam daerah dengan iklim panas sedang.2 A.2 Keadaan Sosial dan Budaya dari Masyarakat Kabupaten Biak-Numfor Kesatuan masyarakat terkecil yang secara politis dan ekonomis mempunyai otonomi
penuh dikalangan suku bangsa Biak adalah Mnu atau kampung. Kampung
merupakan suatu segmen yang terbagi-bagi dalam keret-keret atau klen-klen kecil dan selanjutnya dalam keluarga batih. Dasar-dasar yang menyatukan
para warga kampung
adalah karena faktor kesamaan keturunan dan kepentingan ekonomi, sebuah kampung juga mempunyai batas-batas wilayh yang jelas berdasarkan kesamaan tersebut.3 Suatu kampung tentunya ada pemimpin, dalam kepemimpinan tradisional Papua, suku bangsa Biak menganut sistem kepemimpinan campuran. Oleh sebab itu dalam budaya Biak terdapat 4 bentuk kepemimpinan tradisional berdasarkan fungsi
tugas dari pada
komunitas tersebut. Keempat bentuk kepemimpinan itu adalah; Mananwir Mnu atau kepala kampung, Manibob atau pemimpin dalam dunia perdagangan, mon atau konor pemimpin yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat majic dan pemimpin yang berikut adalah mambri atau pemimipin dalam dunia perang. Mananwir Mnu adalah pemimipin yang bertugas dan bertanggung jawab atas seluruh isi kampung, serta semua keret yang ada dikampung itu, sebagai Mananwir Mnu di tuntut untuk pandai dalam soal adat, pandai 2
Ibid. J.R. Mansoben, Bahasa dan Adat Istiadat (Biak: Departemen Pendidikan & Kebudayaan Pemerintahan Daerah Kabupaten Biak, 2008), 8-9 3
2
berbicara cepat dalam soal pengambilan keputusan yang dapat di terima oleh semua pihak, disamping Mananwir Mnu terdapat juga Mananwir Keret atau kepala keret, mananwir keret bertugas dan bertanggung jawab kepada manawir mnu.4 Kepemimpinan tradisional yang berikut adalah Manibob atau pemimpin dalam dunia perdagangan disuatu kampung tertentu berdasarkan kemampuanya, sebagai seorang Manibob dituntut untuk mampu menjalankan tanggung jawabnya dalam mengusahakan hasil-hasil yang ada dikampung itu untuk dijual ke luar, dengan bentuk penjualan yakni; barang ditukar dengan barang atau barter. Kepemimpinan tradisional yang ketiga adalah Konor, kepimpinan konor kekuasaannya didasarkan pada hal religius, kepemimpinan konor biasanya diawali dengan suatu pengalaman yang luar biasa yang dirasakan ajaib oleh seorang tokoh itu. Kepemimpinan seorang Konor biasanya bersifat pergerakan yang menginginkan suatu kehidupan yang lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Oleh sebab itu gerakan-gerakan seperti ini bertujuan untuk mendirikan suatu kerajaan yang adil, makmur dan abadi serta mendatangkan kekayaan materi bagi para pengikutnya, karena itu gerakan ini sering di sebut sebagai gerakan mesianik atau ratu adil. Pemimpin konor biasanya tidak terbatas pada satu kampung saja, tetapi bersifat totalitas pada seluruh masyarakat suku bangsa Biak. Hal ini dapat nampak pada gerakan kebatinan Koreri yang terjadi di daerah Biak Numfor.5 Pemimpin yang keempat adalah pemimpin dalam dunia perang atau Mambri, pemimpin ini dapat mengambil alih kepemimpinan apabila situasi di kampung tidak aman, dengan demikian orang yang menduduki jabatan ini adalah orang yang berani dan kejam. Pemimpin ini harus mempunyai cukup pengetahuan dalam bidang perang, terutama strategi, tetapi juga harus mampu memobilisasi dan membangkitkan semangat pengikut-pengikutnya.
4 5
Ibid. Ibid.
3
Sebelum menjadi seorang Mambri biasanya para pemimpin perang sejak masih remaja di beri makan sejenis daun yang disebut Ui Mambri. Seorang Mambri dapat diakui warga kampungnya atau keretnya apabila ia mampu menjalankan semua yang telah ditentukan diatas, selain itu juga ia harus mempunyai sifat-sifat seorang Mambri
atau pemimpin
perang.6 Selain bentuk-bentuk kepemimpinan tradisional, didalam kehidupan sosial budaya, masyarakat Biak telah mengenal berbagai macam upacara-upacara adat, sejak seorang lahir hingga meninggal ia berada dalam lingkaran adat itu. Oleh sebab itu ada ungkapan yang sering diucapkan dalam hal upacara-upacara adat yakni; “Nggowor ba ido nari nggomar” yang artinya “jika kami tidak mengadakan upacara adat maka kami akan mati,” namun demikian upacara-upacara adat kini sudah jarang di laksanakan, termakan oleh zaman yang telah berkembang dengan pesat.7 Masyarakat adat Biak mempunyai satu lembaga adat yang disebut “kainkain karkara Byak,” lembaga ini berfungsi untuk mengatur masalah-masalah adat yang terjadi di kalangan suku Biak,
termasuk mengatur besarnya pembayaran
mas kawin, sehingga
masalah adat yang terjadi di kalangan suku Biak dapat diatasi dengan baik. Dewan ini pertama kali dibuka pada tanggal 10 November 1959 dan terakhir kali dilaksanakan pada tanggal 28-31 Oktober 2009 di Biak.8 A.3 Keadaan Ekonomi dari Masyarakat Kabupaten Biak-Numfor
6
Ibid. Ibid.,10 8 Ibid. 7
4
Mata pencaharian hidup masyarakat Biak terbagi dalam beberapa bagian yaitu petani dan nelayan:9 1. Masyarakat
Biak lebih banyak tinggal di kampung-kampung dan menggantungkan
hidupnya pada kegiatan perladangan, berpindah-pindah, perburuan dan menangkap ikan, sedangkan dalam hal menanam orang Biak telah mengenal musim tanam berdasarkan perhitungan dua konstalasi bintang. Ladang yang sudah di bersihkan di tanami dengan talas ataupun keladi, biasanya setelah di panen di buka lagi ladang yang baru, hasil dari kebun tersebut hanya cukup untuk menghidupi keluarga. 2. Nelayan (Menangkap Ikan) Penduduk yang tersebar dipesisir kepulauan Biak juga banyak menggantungkan hidupnya pada hasil-hasil laut. Dalam hal menangkap ikanpun orang Biak dapat menghitung musim di mana musim yang tepat untuk mencari sebab, musim itu laut banyak dengan ikan. Sebelum ada pengaruh asing masuk di Biak, bentuk jual beli yang dilakukan oleh orang Biak adalah dengan cara barter yaitu barang di tukar dengan barang, biasanya petani menukar hasil kebunnya berupa keladi, sayur-mayur kepada nelayan dan sebaliknya nelayan menukarkan hasil-hasil kepada petani. Proses barter ini telah berlangusung lama dikalangan suku bangsa Biak
hingga masuknya pengaruh asing
khususnya bangsa Eropa. Kontak-kontak dagang seperti ini di sebut “Manibob” ( kawan dagang) sistem barter pada orang Biak ini telah menciptakan suatu institusi Manibob atau rekanan dagang diberbagai daerah baik di teluk cenderawasih maupun di daerah kepala burung sampai ke daerah kepulauan Raja Ampat. Sistim Manibob adalah sistim dimana dua individu yang 9
Achamd Rochani & Naftali Mansim, Kabupaten Biak-Numfor: Upaya Bangkit dari Keterpurukan, (Makasar: Penerbit Pustaka Refleksi, 2006), 3-5
5
berasal dari dua lokasi atau kampung yang berbeda, kedua individu saling ketemu dan melakukan hubungan dagang. Pertemuan Manibob dapat pula mempererat hubungan pertemanan kedua individu. Dengan demikian maka terjadilah suatu transaksi antara kedua individu yang melakukan hubungan dagang berdasarkan barter.10 A.4 Kepercayaan Masyarakat Biak-Numfor Menurut Bapak Elon Korwa, sebelum masuknya agama Kristen ke Papua khususnya di Biak, masyarakat Biak telah mengenal “manseren nanggi” atau Tuhan langit. Menurut pandangan dan penghayatan tradisional orang Biak maka pusat kekuatan atau kekuasaan yang mengatur alam semesta adalah “ nanggi.” Orang Biak selalu melakukan ritual memberi makan sang langit atau fan nanggi. Istilah manseren nanggi memiliki arti yang sangat khas yakni tuhan yang maha tinggi yang dapat di percayai, orang berseru ketika mengucapkan janji atau sumpah.11 Upacara–upacara fan nanggi atau memberi makan tuhan langit dilakukan oleh tokoh tertentu yang disebut mon atau dukun. Orang Biak dapat melakukan upacara-upara fan nanggi apabila terjadi situasi kritis, orang kehabisan atau kekurangan makanan pada waktu kemarau panjang, wabah penyakit dan yang serupa dengan itu. Selain itu juga orang Biak dapat melakukan upacara fan nanggi apabila situasi dalam keadaan sejahtera, mendapatkan makanan yang berlimpah, hendak melaksanakan perjalanan jauh. Sebelum upacara fan nanggi dilaksanakan orang lebih dulu meletakkan alat penangkapan ikan dan alat pertanian, kemudian mon mempersembahkan makanan di atasnya dan disamping makanan itu, mon berdiri dengan tangan terbuka menyerukan nanggi, kalau mon merasakan tangannya bergetar, maka itu berarti nanggi telah turun dan nanggi akan memberikan petunjuk-petunjuk tentang 10 11
Ibid. Wawancara dengan Bpk. Elon Korwa (Tokoh Masyarakat Biak-Numfor), pada tanggal 19 April 2012.
6
peristiwa yang akan terjadi dengan melalui perantaraan itu. Petunjuk-petunjuk tersebut berupa ramalan-ramalan tentang baik dan buruknya nasib seseorang dimasa yang akan datang, selain itu alat-alat pertanian yang berada ditempat upacra itu pun di berkati oleh sang nanggi. Di samping kepercayaan orang Biak kepada sang tuhan langit, ada juga kepercayaan terhadap dunia orang mati, praktek-praktek magis.12 Selain itu orang Biak juga mempercayai serta menghayati cerita suci atau mitologi yakni mengenai manarmakeri dan koreri. Manarmakeri merupakan tokoh karismatik orang Biak yang menjanjikan koreri kepada orang Biak namun orang-orang Biak tidak mengidahkan apa yang telah disampaikan oleh manarmakeri, sehingga manarmakeri marah dan berangkat kearah barat dan berjanji akan kembali suatu saat membawa kehidupan yang berkelimpahan. Gerakan koreri ini timbul di biak dalam beberapa gelombang tahun yakni pada tahun 1906, 1920, 1921, 1923, 1926,1927, 1928, 1938, 1942 dan 1960. Pada tahun 1938 gerakan inilah yang menentang penjajahan Belanda, gerakan koreri yang terjadi pada tahun 1938 adalah gerakan yang dipimpin oleh Angganita Manufandu di pulau insumbabi sebelah selatan Supiori, sedangkan gerakan yang terjadi pada tahun 1942 adalah gerakan yang menentang penjajahan Jepang, gerakan ini berpusat di Mansuam, Biak Selatan dan di pimpin oleh Stevanus Simopiaref.13 Setelah tanggal 5 Februari 1955 injil dibawah oleh Ottow dan Geissler mendarat di pulau Mansinam, dan kedua pendeta inilah yang menyebarkan agama Kristen di pulau Mansinam dan sekitarnya. Dengan berjalannya waktu dan usaha penginjilan yang dilakukan oleh zending terutama kedua rasul tersebut mulai tersebar ke seluruh tanah papua termasuk Biak. Di Biak injil di bawah oleh Guru Petrus Kafiar, seorang yang berasal dari Maudori. 12
Ibid.
13
Ibid.
7
Yang ketika itu terjadi penyerangan di kampungnya Maudori, Petrus Kafiar lalu ditangkap dan dijadikan budak di Korido, dari Korido Petrus Kafiar kemudian di bawah ke Mansinam untuk dijual kepada para zending. Petrus Kafiar lalu belajar di Mansinam dan disekolahkan di Depok, sekembalinya Petrus Kafiar dari Depok, ia mendapat tugas mulia yaitu kembali ke kampung halamannya untuk menyebarkan agama Kristen. Pada tanggal 26 April 1908 Petrus Kafiar tiba di kampung halamannya
dan menjadi guru injil dikampung halamannya,
semenjak saat itu orang-orang Biak lambat-laun mulai menjadi Kristen.14 A.5 Nama dan Latar Belakang Sejarah Biak-Numfor Saat melakukan wawan cara dengan Bapak Spenyel Rumbiak, beliau mengatakan bahwa pada waktu pemerintah Belanda berkuasa di daerah Papua hingga awal tahun 1960-an nama yang dipakai untuk menamakan Kepulauan Biak-Numfor adalah Schouten Eilanden, menurut nama orang Eropa pertama berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17. Nama-nama lain yang sering dijumpai dalam laporan-laporan tua untuk penduduk dan daerah kepuluan ini adalah Numfor atau Wiak. Fonem w pada kata wiak sebenarnya berasal dari fonem v yang kemudian berubah menjadi b sehingga muncullah kata Biak seperti yang digunakan sekarang. Dua nama terakhir itulah kemudian digabungkan menjadi satu nama yaitu Biak-Numfor, dengan tanda garis mendatar di antara dua kata itu sebagai tanda penghubung antara dua kata tersebut, yang dipakai secara resmi untuk menamakan daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih itu. Dalam percakapan sehari-hari orang hanya menggunakan nama Biak saja yang mengandung pengertian yang sama juga dengan yang disebutkan di atas.15
14
Ibid. Wawancara dengan Bpk. Spenyel Rumbiak (Sekretaris Dewan Adat Masyarakat Biak-Numfor), pada tanggal 17 April 2012 15
8
Menurut Bapak Korwa, kata Biak secara resmi dipakai sebagai nama untuk menyebut daerah dan penduduknya yaitu pada saat dibentuknya lembaga kainkain karkara Biak pada tahun 1947. Lembaga tersebut merupakan pengembangan dari lembaga adat kainkain karkara mnu yaitu suatu lembaga adat yang mempunyai fungsi mengatur kehidupan bersama dalam suatu komnunitas yang disebut mnu atau kampung. Penjelasan lebih luas tentang kedua lembaga itu diberikan pada pokok yang membicarakan organisasi kepemimpinan di bawah. Nama Numfor berasal dari nama pulau dan golongan penduduk asli Pulau Numfor. Penggabungan nama Biak dan Numfor menjadi satu nama dan pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat terbentuknya lembaga dewan daerah di Kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan daerah Biak-Numfor pada tahun 1959.16 Dalam tulisan ini saya menggunakan nama Biak-Numfor untuk menyebut daerah geografisnya dan daerah administrasi pemerintahannya. Nama Biak digunakan untuk menyebut bahasa dan orang yang memeluk kebudayaan Biak yang bertempat tinggal di daerah Kepulauan Biak-Numfor sendiri maupun yang bertempat tinggal di daerah-daerah perantauan yang terletak di luar kepulauan tersebut. Selanjutnya menurut hasil wawancara dengan Bapak Apolos Sroyer, yang juga memiliki jabatan sebagai Ketua Dewan Adat mengatakan bahwa, tentang sejarah orang Biak, baik sejarah asal usul maupun sejarah kontaknya dengan dunia luar, tidak diketahui banyak karena tidak tersedia keterangan tertulis. Satu-satunya sumber lokal yang memberikan keterangan tentang asal-usul orang Biak seperti halnya juga pada suku-suku bangsa lainnya di Papua, adalah mite. Menurut mite moyang orang Biak berasal dari satu daerah yang terletak di sebelah timur, tempat matahari terbit. Moyang pertama datang ke daerah
16
Wawancara dengan Bpk. Elon Korwa (Tokoh Masyarakat Biak-Numfor), pada tanggal 26 April 2012.
9
kepulauan ini dengan menggunakan perahu. Ada beberapa versi ceritera kedatangan moyang pertama itu. Salah satu versi mite itu menceriterakan bahwa moyang pertama dari orang Biak terdiri dari sepasang suami isteri yang dihanyutkan oleh air bah di atas sebuah perahu dan ketika air surut kembali terdampar di atas satu bukit yang kemudian diberi nama oleh kedua pasang suami isteri itu Sarwambo. Bukit tersebut terdapat di bagian timur laut Pulau Biak (di sebelah selatan kampung Korem sekarang). Dari bukit sarwambo, moyang pertam itu bersama anak-anaknya berpindah ke tepi Sungai Korem dan dari tempat terakhir inilah mereka berkembang biak memenuhi seluruh Kepulauan Biak-Numfor.17 Kontak orang Biak dengan orang luar itu terjadi terutama melalui hubungan perdagangan dan ekspedisi-ekspedisi perang. Bukti terlihat pada adanya pemukimanpemukiman orang Biak yang sampai sekarang dapat dijumpai di berbagai tempat seperti tersebut di atas. Rupanya pada masa sebelum kedatangan orang Eropa di Kepulauan Maluku dan daerah Papua awal abad ke-16, orang Biak telah menjelajah ke berbagai wilayah Indonesia lainnya baik melalui ekspedisi-ekspedisi perdagangan dan perang yang dilakukan oleh orang-orang Biak sendiri maupun bersama dengan sekutu-sekutunya, misalnya dengan Kesultanan Tidore atau dengan Kesultanan Ternate. Kejayaan orang Biak untuk melakukan berbagai ekspedisi itu menghilang pada akhir abad ke-15. Tidak lama sebelum kedatangan orang Eropa pertama di kawasan Maluku dan Kepulauan Raja Ampat pada awal abad ke16.18
17
Wawancara dengan Bpk. Apolos Sroyer (Ketua Dewan Adat Masyarakat Biak-Numfor), pada tanggal 27
April 2012. 18
J.R. Mansoben, “Nama dan Latar Belakang Sejarah” dalam
http://www.biakkab.go.id/default.php?dir=pages&file=main&hal=sejarah, diunduh pada tanggal 30 Mei 2012, pukul 14.42 WIB.
10
B. Deskripsi tentang Makna Piring sebagai Mas Kawin dalam Masyarakat Adat BiakNumfor B.1 Jenis-jenis Perkawinan dalam Masyarakat Biak-Numfor Orang Biak-Numfor mengenal beberapa jenis perkawinan adat yang disesuaikan dengan status sosial dan gaya hidupnya. Perkawinan bagi orang biak tidak semata-mata untuk memperoleh keturunan dan pemenuhan biologis akan tetapi berkaitan erat dengan peran dan fungsi yang disandang oleh seseorang dalam kelompok masyarakatnya serta keberlangsungan marga. Menurut Bapak D. Mansoben ada beberapa jenis-jenis perkawinan adat yang pada umumnya terjadi dikalangan masyarakat Biak, antara lain:19 1. Perkawinan Murni (Farbakbuk Bekaku) Jenis perkawinan ini dipandang sangat terhormat dikalangan masyarakat BiakNumfor karena memenuhi syarat-syarat utama norma adat Biak-Numfor. 2. Perkawinan Kenalan (Farbakbuk Manibow) Jenis perkawinan ini adalah sebagai wujud dan tindak lanjut dari niat dua orang yang berkenalan baik, artinya sebagai balas jasa dari kedua kenalan yang saling menguntungkan misalnya ketika salah satu kenalan (teman) yang lain dari himpitan kesulitannya. Dengan demikian, maka kedua kenalan atau teman baik itu berikrar untuk saling mengawinkan anaknya kelak sebagai tanda persahabatan itu agar berlangsung terus. 3. Kawin Lari (Farbakbuk Bebur) Jenis perkawinan ini terlaksana sebagai wujud dari niat seorang laki-laki atau perempuan yang tidak direstui oleh pihak keluarga karena pihak keluarga mempunyai calon
19
Wawancara dengan Bpk. D. Mansoben, (Tokoh Masyarakat Biak-Numfor), pada tanggal 20 April 2012.
11
lain diluar keinginan kedua orang tersebut. Bila terjadi seperti itu, maka wanita yang bersangkutan mengambil keputusan lari kawin dengan calon suami yang telah menjadi pilihannya dengan penuh resiko. Perkawinan ini disebut Farbakbuk Bin Berbur (perempuan yang lari kawin). Sebaliknya kalau wanita (perempuan) tidak berani lari kawin, maka laki– laki yang mengambil inisiatif merampas wanita tersebut dari keluarganya untuk dijadikan istri, sudah jelas penuh resiko. 4. Perkawinan Pergantian Tungku (Farbakbuk Kinkafar) Jenis perkawinan ini dapat di setujui kalangan masyarakat adat Biak untuk diberlakukan khusus bagi seseorang laki-laki yang apabila istri pertamanya telah meninggal (wafat), maka adik kandung yang sudah genap usia kawin, dibenarkan kawin dengan kakak iparnya agar hubungan kekeluargaan yang ada tetap berlangsung terus. 5. Perkawinan Pengganti Korban Pembunuhan (Farbakbuk Bin Babyak) Jenis perkawinan ini dikalangan masyarakat Biak termasuk perkawinan luar biasa, karena wanita diberikan oleh keluarga pihak pelaku pembunuhan kepada pihak keluarga yang menjadi korban sebagai pengganti dengan maksud agar wanita tersebut kelak dalam perkawinannya melahirkan seorang anak sebagai pengganti korban dan selain dari itu berfungsi sebagai alat perdamaian dan sekaligus mengikat hubungan kekeluargaan diantara kedua keluarga yang bersangkutan serta menghilangkan dendam kusumat. B.2 Proses Perkawinan dalam Masyarakat Biak-Numfor Proses perkawinan ini adalah suatu tatacara yang berproses secara teratur dan terorganisir untuk menyatakan suatu perkawinan adat sah dan mendapat legitimasi publik.
12
Dengan demikian maka, sistem perkawinan orang Biak-Numfor pada dasarnya berproses dalam suatu sistem yang saling terkait dimulai dari:20 1. Peminangan (Fakfuken) Pada tahap awal ini paman dan tante dan anak laki-laki calon suami melakukan pendekatan dengan keluarga pihak perempuan calon istri untuk menyampaikan niat keluarga laki-laki, dan aturannya harus 3 (tiga) kali datang meminang, karena kali I (pertama) baru bersifat pemberitahuan niat keluarga laki-laki pada pihak keluarga perempuan, sehingga pihak keluarga perempuan harus berunding terutama dengan pihak anggota keluarga perempuan yang diberi hak istimewa atau hak khusus (Binaw). Orang tua kandung perempuan tidak punya hak untuk memutuskan sendiri kemauannya, karena soal mas kawin bagi orang Biak adalah hak keluarga (Hak marga). 2. Mas Kawin (Ararem) Pada tahap kedua peminangan, nilai nominal serta sejumlah piring antik (Benbepon) dan sejumlah piring besar dan piring makan disepakati jumlahnya. Besarnya mas kawin pada masyarakat Biak disesuaikan dengan beberapa kriteria, yaitu: a. Jumlah besar atau kecilnya keluarga perempuan sebagai pihak yang akan menerima mas kawin dan pada laki-laki. b. Status sosial yang disandang keluarga perempuan (Kepala keret/keluarga berada atau status terhormat lainnya dalam marga). c. Kecantikan, kepribadian, gadis murni (Perawan). Pada waktu upacara penyerahan mas kawin diantar ke keluarga perempuan, mas kawin dibagi 2 (Dua) bagian yaitu:
20
J.R. Mansoben, Bahasa dan Adat Istiadat, 15-18
13
a. Bagian mas kawin untuk lepas gendong (Abobes kapar) khusus untuk orang tua ibu dan anak perempuan yang di minang bagian mas kawin lepas gendong ini akan dibagikan kepada pihak keluarga orang tua ibu dan sebagian ditahan sebagai modal mas kawin saudara laki-laki bila kelak akan kawin. b. Bagian mas kawin untuk marga atau keret disebut mas kawin inti, karena itu akan dibagi habis untuk seluruh anggota keluarga keret atau marga dengan prosentase yang berbeda nilai uang dan barang (piring) sesuai status anggota keluarga atau keret. 3. Pernikahan (Wafwofer) Pada tahap ini segala sesuatu yang menyangkut kepentingan keluarga yang bersangkutan (Pihak lak-laki, maupun perempuan) sudah terpenuhi sesuai ketentuan adat Biak yang berlaku (Mas kawin). Upacara inisiasi tersebut dilakukan oleh pihak Om dan tante kedua belah pihak secara terpisah. Setelah tahap ini, kedua mempelai laki-laki dan perempuan dipersatukan dan upacara penikahan (Waiwofer) diberlakukan oleh sesorang tua adat atau keret atau oleh seseorang mananwir (Kepala keret atau marga atau klan) dengan cara meniup asap rokok keatas tangan calon suami-isteri yang sedang berjabat tangan sambil mengucapkan kata-kata pengukuhan nikah adat di hadapan kedua calon suami-isteri, dihadapan keluarga kedua pihak. Nikah adat (Wafwofer) ini dinyatakan sah dan tidak dibenarkan untuk dibubarkan oleh siapapun dengan alasan apapun. Dengan selesainya upacara pernikahan (Wafwofer) ini, maka sebuah rumah tangga telah terbentuk dan secara sah dapat melakukan kegiatan kemasyarakatan sebagaimana lazimnya dilakukan keluarga lainnya.21 4. Upacara Pesta Adat (Wor)
21
Ibid.
14
Tahap ini adalah tahap akhir dari proses perkawinan (Farbakbuk) adat BiakNumfor dilalui setelah “rumah tangga baru” ini berlangsung beberapa waktu lamanya. Biasanya kedua pasang suami isteri sudah mendapat anak-anak maka kepada lakilaki (Suami) dan keluarganya wajib memberi ongkos tertentu berupa “makanan dan minuman” khas Biak-Numfor (keladi, bete, petatas, sayuran, ikan, daging babi, dan lain-lain sejenis) serta pula benda berharga lain (pinang, gelang, perahu dan lain-lain sejenis) kepada pihak keluarga perempuan. Upacara adat ini bisa dilakukan namun bisa juga tidak dilakukan. Menurut Bapak Sergius Dimara, upacara pesta adat ini mengandung nilai–nilai dasar yang sangat spesifik dalam kehidupan masyarakat Biak-Numfor, dikarenakan22: 1. Pesta adat ini dilaksanakan untuk unjuk kekuatan dan kemampuan a. Harga diri keluarga pihak laki-laki b. Derajat atau satatus sosial yang disandang keluarga laki-laki c. Sebagai pameran kekayaan keluarga laki-laki 2. Pesta adat ini dibuat untuk menghormati arwah para leluhur sekaligus mendapat restu agar dalam kehidupan keluarga laki-laki senantiasa terhindar dari mara bahaya. 3. Pesta adat ini dibuat untuk mengekalkan nama keluarga sepanjang sejarah kehidupan masyarakat Biak dan biasanya akhir dari upacara pesta adat ini, keluarga pihak perempuan menobatkan gelar-gelar kehormatan adat misalnya: ‘Mambri, Korano, Kapisa, Mayor, Sanadi, Mananwir, Binsyowi dan lain-lain (sebagai wujud legitimasi terhadap bobot dari pesta adat yang bersangkutan).
B.3 Makna Piring sebagai Mas Kawin dalam Masyarakat Adat Biak-Numfor 22
Wawancara dengan Bpk. Sergius Dimara, (Anggota Dewan Adat Masyarakat Biak-Numfor), pada
tanggal 22 April 2012.
15
Piring merupakan salah satu pemberian penting sebagai mas kawin dalam masyarakat adat Biak-Numfor. Piring yang diberikan dalam pemberian mas kawin tersebut bukanlah piring biasa, karena piring yang diberikan sebagai mas kawin adalah Ben-bepon. Menurut Spenyel Rumbiak, berdasarkan cerita penduduk Raja Ampat, Ben-bepon adalah piring yang berasal dari tanah. Piring tersebut berasal dari daerah Raja Ampat. Disana ada suatu teluk yang bernama teluk Aljui, disitu ada sebuah gua yang di dalamnya terdapat piring-piring tersebut (Ben-bepon). Piring-piring tersebut setiap tahunnya lahir dari tanah. Banyak orang yang mengincar piring-piring tersebut, namun jika ada orang yang ingin berniat jahat atau ingin mencuri piring-piring tersebut mereka akan mendapat bencana atau musibah. Namun ada juga orang yang datang dengan niat baik dan meminta dengan baikbaik pula kepada ketua adat atau kepala kampung maka piring tersebut akan diberikan.23 Ada juga pendapat lain dari Spenyel Rumbiak bahwa, piring-piring (Ben-bepon) ini juga diduga merupakan harta karun peninggalan bangsa Cina yang terpendam dalam gua tersebut sudah dari beribu-ribu tahun yang lalu. Karena piring-piring tersebut telah tertanam selama berabad-abad maka kemungkinan besar piring tersebut bentuknya sudah tidak rapi lagi. Arkeolog Belanda, de Flins, telah menemukan alat-alat tembikar Dinasti Han Tiongkok (206 SM-220 M) di Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi dan Irian Jaya.24 Tergalinya alat-alat tembikar Dinasti Han, Tiongkok, di Indonesia membuktikan
23
Wawancara dengan Bpk. Spenyel Rumbiak (Tokoh Adat Masyarakat Biak-Numfor), pada tanggal 14
April 2012. 24
Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia (Jakarta: PT Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2005), 429
16
bahwa jauh 2.000 tahun yang silam, bangsa Tiongkok dan Indonesia sudah mengadakan kontak.25 Melalui wawancara dengan Bapak Markus Wakum, beliau mengatakan bahwa, dalam pernikahan masyarakat Biak-Numfor, mas kawin memiliki fungsi sebagai, 1) Mas kawin merupakan alat pengabsahan terhadap suatu perkawinan, 2) Merupakan media yang disatu pihak menuntut sang istri untuk tetap setia melayani suami dan memelihara anakanaknya yang lahir dari perkawinan tersebut. Dilain pihak menuntut suami untuk memperlakukan isterinya dengan baik agar mas kawin yang telah dibayar oleh pihaknya tidak hilang jika terjadi penyelewengan yang mengakibatkan perceraian, 3) Mas kawin merupakan alat pengikat antara dua kelompok kekerabatan, yaitu antara kelompok kekerabatan pihak perempuan dengan kelompok kekerabatan pihak pria. Biasanya ikatan kekerabatan tersebut diperkuat melalui upacara-upacara yang melibatkan kedua kelompok. Misalnya upacara turun tanah (Sababu), upacara pengguntingan rambut (kapaknik), dan upacara inisiasi (workbor) yang dilakukan bagi anak-anak, terutama laki-laki sulung dari suatu perkawinan. Sedangkan bagi anak-anak perempuan dilakukan juga kapaknik dan upacara inisiasi, 4) Mas kawin, menimbulkan hubungan timbal balik atau resiprokal antara kelompok-kelompok kekerabatan yang berbeda. Biasanya saat mengumpulkan benda mas kawin, semua penduduk warga kampung terlibat. Tidak terbatas pada kelompok klen atau marga tertentu saja. Tradisi Biak-Numfor
menuntut semua warga di kampung merasa
berkewajiban untuk saling membantu sesama warga guna mendukung prosesi ini. Hal ini jelas akan menimbulkan rasa kebersamaan sesama warga kampung termasuk keret atau klen di kampung, 5) Pembagian mas kawin di kampung terutama keret perempuan juga
25
Ibid., 431
17
menimbulkan rasa solidaritas antar klen untuk saling membantu dalam pembayaran mas kawin berikutnya bagi warga di kampung.26 Dalam pemberian mas kawin, Ben-bepon adalah piring yang harus diberikan. Biasanya Ben-bepon ini dalam pemberian mas kawin disebut piring kepala. Pemberian mas kawin ini minimal harus ada satu Ben-bepon yang diberikan dan piring-piring yang lain hanyalah sebagai pelengkap dalam pemberian mas kawin tersebut. Piring-piring yang digunakan sebagai piring pelengkap, yaitu piring makan dan juga piring porselen lainnya. Piring-piring porselen lainnya memiliki kesamaan dengan Ben-bepon. Ukuran besarnya hampir sama, hanya saja Ben-bepon hanya berwarna putih polos dan bagian bawahnya tidak rata atau rapi sedangkan piring porselen bentuknya agak lebih besar, lebih rapi dan memiliki banyak
ukiran-ukiran.27
Ukiran-ukiran
seni
dekor
penduduk
Biak-Numfor
yang
mengandalkan motif-motif spiral (motif ular naga) menampakkan anasir-anasir kebudayaan Cina.28 Guci-guci keramik dan perunggu, piring-piring porselin, kain celopan, mata uang perak, kalung dan gelang-gelang perhiasan telah memainkan peranan pentingnya sebagai ruil-middel atau alat tukar menukar. Peranan benda-benda asing tersebut masih berlaku sampai sekarang dan telah memperoleh kedudukan sarta fungsi yang amat penting dalam adat perkawinan suku Biak-Numfor.29 Piring (Ben-bepon) dalam masyarakat adat Biak Numfor merupakan benda yang sangat berharga dan memiliki nilai yang sangat tinggi. Piring tersebut dipercaya memiliki 26
Wawancara dengan Bpk. Markus Wakum (Anggota Dewan Adat Masyarakat Biak-Numfor), pada
tanggal 27 April 2012. 27
Ibid. August Kafiar, Arsitektur Tradisional Daerah Irian Jaya (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986) 11 29 Ibid. 28
18
nilai history dan dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Itu sebabnya pada saat orang tua dulu ingin melakukan upacara perkawinan, mereka memakai piring (Ben-bepon) yang dianggap benda yang paling berharga sebagai salah satu benda dalam mas kawin. Mereka menganggap bahwa perempuan yang akan di ambil oleh si laki-laki merupakan sesuatu yang berharga sehingga sebagai gantinya untuk orang tua si perempuan mereka dari pihak laki-laki juga menberikan benda yang dianggap paling berharga untuk menggantikan anak perempuan mereka yang akan diambil oleh kelurga laki-laki. Fungsi dari piring itu sendiri yaitu sebagai pengganti dari anak perempuan yang pindah ke keluarga atau keret lakilaki.30 Selain piring tesebut dipercaya dapat menyembuhkan sakit penyakit, piring tersebut juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai tempat untuk makan bersama saat mengadakan acara adat atau acara pernikahan. Biasanya dalam piring-piring tersebut ditaruh nasi, kaladi, ikan, sayur dan lain sebagainya. Kemudian makanan-makanan tersebut dihidangkan. Hampir sama dengan kebudayaan bangsa Cina, yang saat mengadakan makan bersama, mereka menaruh makanan dan lauk pauk mereka di sebuah piring besar dan kemudian dihidangkan dan mereka melakukan makan bersama. Hal ini menunjukkan bahwa piring tersebut sebenarnya juga mau menunjukkan nilai kebersamaan dari suku Biak-Numfor. Menurut Bapak Apolos Sroyer, masyarakat adat Biak-Numfor piring (Ben-bepon) merupakan benda berharga yang harus dijaga baik-baik. Piring tersebut memiliki nilai sakral dalam menjaga sebuah ikatan pernikahan. Piring dianggap sakral karena dalam masyarakat Biak-Numfor, piring tersebut dianggap memiliki kekuatan yang mampu menyembuhkan 30
Wawancara dengan Bpk. Markus Wakum (Anggota Dewan Adat Masyarakat Biak-Numfor), pada
tanggal 27 April 2012.
19
penyakit pada manusia dan menghindarkan orang dari malapetaka, dan juga piring tersebut dapat menyatukan hubungan antara kedua keret atau kedua kampung dimana keret tersebut berada. Karena itulah piring ini dijadikan mas kawin agar dapat menjaga pernikahan tersebut dari bencana dan juga kebahagiaan yang dirasakan oleh kedua keluarga juga dirasakan oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka. Dalam masyarakat Biak-Numfor, saat pemberian mas kawin piring tersebut harus disertakan, tanpa piring tersebut maka laki-laki yang memberikan mas kawin tersebut belum dianggap sudah memberikan mas kawin dan masih berhutang kepada keluarga si perempuan. Hal ini bisa menjadi pemicu retaknya atau bahkan hancurnya suatu ikatan pernikahan. Dari pihak keluarga perempuan akan terus menuntut agar mas kawin tersebut dilunaskan. Apabila dalam keluarga tersebut suami dan istri bertengkar dan si suami belum lunas membayar mas kawin kepada sang istri maka sang istri akan meminta mas kawinnya agar segera di lunaskan dan selama mas kawin tersebut belum dilunaskan, maka keluarga dari suaminya dan suaminya sendiri tidak dapat bersikap sewenang-wenang kepada istrinya. Ben-bepon hanya memiliki satu warna saja yaitu warna putih dan tidak memiliki gambaran motif apapun. Ben-bepon memiliki postur yang hampir mirip dengan piring-piring porselen lainnya, namun piring tersebut selain dapat dibedakan dari warna dan bentuknnya yang kurang rapi, piring tersebut juga dapat dibedakan dari bunyinya. Jika bagian pinggir piring tersebut dibunyikan dengan cara mengutik maka piring tersebut akan menghasilkan bunyi yang sangat nyaring. Dalam masyarakat Biak Numfor, memiliki banyak piring porselen dan juga Ben-bepon bukanlah ukuran untuk menentukan status sosial seseorang dalam masyarakat. Ben-bepon adalah mas kawin yang wajib diberikan
20
dalam pemberian mas kawin, dan Ben-bepon tersebut tidak dapat diganti dengan pemberian lain seperti, binatang, emas, dan lain sebagainya.31 Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa piring (Ben-bepon) tersebut di samping memiliki nilai sakral ternyata piring tersebut juga memiliki nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang sangat tinggi dalam masyarakat Biak-Numfor. Saat pemebrian piring tersebut dilakukan, itu mendakan bahwa keluarga dari kedua belah pihak sudah menjadi satu dalam rumpun keluarga besar. Hal ini dapat dilihat dari pemberian mas kawin yang melibatkan seluruh anggota kampung dimana keret laki-laki dan perempuan berada. Dari keluarga laki-laki dalam pemberian mas kawin hasur disertakan seluruh anggota kampung dengan tujuan bahwa kebahagiaan yang dirasakan oleh keluarga laki-laki dapat juga dirasakan oleh seluruh anggota kampung yang ikut serta, dan bukan hanya itu saja tetapi seluruh anggota kampung ikut serta dalam memberikan piring tersebut. Sedangkan dari keluarga perempuan, seluruh anggota kampung juga harus diikut sertakan dalam acara tersebut. Mereka ada yang pergi untuk membantu di dapur, ada yang membuat tenda dan lain sebagainya. Dari keluarga perempuan mereka menyediakan makanan untuk para tamu yang datang, dan tempat yang mereka pakai untuk menaruh makanan-makanan tersebut adalah piring-piring porselen. Biasanya dalam piring-piring tersebut ditaruh nasi, kaladi, ikan, sayur dan lain sebagainya dan kemudian disantap bersama. Yang jelas bahwa kehadiran setiap klen dan kaum kerabat dalam peristiwa pembayaran mas kawin bisa menumbuhkan rasa solidaritas dan meningkatkan perasaan solidaritas antar keret di dalam masyarakat.
31
Wawancara dengan Bpk. Apolos Sroyer (Ketua Dewan Adat Masyarakat Biak-Numfor), pada tanggal 27
April 2012.
21
Hal ini menjukkan nilai kebersamaan dan rasa solidaritas yang sangat tinggi yang di jaga dan di pelihara secara turun temurun oleh suku bangsa Biak-Numfor. Hal ini juga untuk mengingatkan kepada mereka akan penghormatan mereka kepada para leluhur mereka yang selalu menjaga nilai kebersamaan, kekeluargaan dan rasa solidaritas mereka kepada sesama.32
DAFTAR PUSTAKA Buku Daeng Hans. J. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Dhavamony Mariasuai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995.
Dillistone F. W. Daya kekuatan Simbol – The Power Of Symbols. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002
Gordon Anselm. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Gajah Mada Press, 2003.
Kafiar August, dkk. Arsitektur Tradisional Daerah Irian Jaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986.
32
Wawancara dengan Bpk. Apolos Sroyer (Ketua Dewan Adat Masyarakat Biak-Numfor), pada tanggal 29
Juni 2012.
22
Kamma. F. C. Soal Perkawinan dan Mas Kawin Ditanah Kita. Biak-Numfor: Balai Buku GKI, 1963.
Koenjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Gramedia, 1967.
Mampioper A. M. Mithologi dan Pengharapan Masyarakat Biak-Numfor. Jayapura: S.N, 1976.
Mansoben J. R. Bahasa dan Adat Istiadat. Biak: Departemen Pendidikan & Kebudayaan Pemerintahan Daerah Kabupaten Biak, 2008.
Nawani Harawi. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1991.
Rochani Achamd & Mansim Naftali. Kabupaten Biak-Numfor: Upaya Bangkit dari Keterpurukan, Makasar: Penerbit Pustaka Refleksi, 2006.
Wospakrik Yosina O. Peran Mas Kawin dalam Perkawinan Adat Biak-Numfor. Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Satya Wacana Press, 1999.
Yuanzhi. Kong. Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2005.
Internet Karodalet,
“Segala
Hal Tentang, Pengertian, Arti,
Makna,
Definisi atau Istilah,”
dalam
http://adaalah.blogspot.com/2010/10/piring.html, diunduh pada tanggal 31 Januari 2012, Pukul 11.45 WIB
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2tesis/0810921036.pdf di unduh pada hari selasa 7 Februari 2012, pukul 13.55 WIB
23
Sekky. “Gambaran Umum Biak” dalam http://www.biakkab.go.id/default.php?dir=pages&file=main&hal=gambaranumumBiak, diunduh pada tanggal 30 Mei 2012, pukul 14.42 WIB.
J.R. Mansoben, “Nama dan Latar Belakang Sejarah” dalam http://www.biakkab.go.id/default.php?dir=pages&file=main&hal=sejarah, diunduh pada tanggal 30 Mei 2012, pukul 14.42 WIB.
24