DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri Kabupaten Gunung Kidul adalah salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terletak di sebelah tenggara Kota Yogyakarta dengan jarak kurang lebih 39 km. Luas wilayah seluruhnya 1.485,36 km² atau sekitar 46,63% dari total luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kabupaten Gunung Kidul terletak antara 7°46´ - 8°09´
Lintang Selatan dan 110°21´ –
110°50´ Bujur Timur, dengan ketinggian antara 0 – 700 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Gunung Kidul didominasi perbukitan dengan batuan kapur. Secara administrasi pemerintahan, wilayah Kabupaten Gunung Kidul dibagi menjadi 18 wilayah kecamatan dan 144 desa. Kabupaten Wonogiri terletak di ujung tenggara wilayah Propinsi Jawa Tengah. Wonogiri berada 32 km di sebelah selatan Kota Solo, dengan jarak ke ibu kota Provinsi (Semarang) sejauh 133 km. Luas wilayah seluruhnya ± 182.236,0236 hektar, terbentang pada posisi antara 7°32´ - 8°15´ Lintang Selatan dan 110°41´ - 111°18´ Bujur Timur, pada ketinggian antara 106-600 meter di atas permukaan laut). Sebagian besar wilayah Wonogiri didominasi perbukitan dengan batuan kapur, termasuk jajaran pegunung Seribu yang merupakan mata air hulu Bengawan Solo. Jenis macam tanah mulai dari litosol, regosol sampai dengan grumusol, dari bahan induk yang beragam yaitu endapan, batuan, dan volkan. Suhu rata-rata antara 24° -32° C dengan kelembaban rata-rata sepanjang tahun 83%. Secara administrasi pemerintahan wilayah Kabupaten Wonogiri dibagi menjadi 25 kecamatan dan 294 desa.
Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri Hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri memiliki luasan yang cukup besar dibandingkan dengan luasan hutan negara yang ada di wilayah tersebut. Menurut data statistik Kabupaten Gunung Kidul (2009) luas hutan rakyat 30.000 hektar yang tersebar di 18 kecamatan, sementara luas hutan negara 8.560 hektar. Luas hutan rakyat di Wonogiri 36.293 hektar yang tersebar di 25 kecamatan, sedangkan hutan negara seluas 16.268 hektar.
87
Dengan cakupan luasan tersebut, potensi hutan rakyat dapat dilihat dari volume kayu yang dihasilkan per tahun yang cukup tinggi, di Gunung Kidul 122.460 m3 dan Wonogiri 264.159,1 m3. Bila harga kayu dirata-ratakan menggunakan harga jual kayu mahoni (20-29 cm) Rp. 740.000/m3, maka pendapatan per tahun dari hasil kayu hutan rakyat di Gunung Kidul kurang lebih 95 milyar dan di Wonogiri 195 milyar. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa hutan rakyat, walaupun dikelola oleh masyarakat dalam skala usaha yang kecil (rata-rata di bawah 0,75 ha), namun telah terbukti dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dan dapat mendukung penyediaan bahan baku bagi kebutuhan industri serta terjamin kelestariannya. Keberadaan hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat bukan saja secara ekonomi, tetapi juga nilai sosial budaya dan ekologis. Dengan dikembangkannya hutan rakyat di Wonogiri, telah terbukti menimbulkan tiga sumber-sumber mata air baru yang menjadi sumber air bagi kota Wonogiri. Selain itu keberadaan hutan rakyat yang baik telah menciptakan iklim mikro yang sehat, bahkan dapat menyerap karbon dari polusi udara. Selain manfaat dari sisi ekonomi dan ekologi, hutan rakyat memberikan manfaat pada perkembangan sosial budaya masyarakat di Gunung Kidul maupun Wonogiri. Tanpa disadari keberadaan hutan rakyat telah melestarikan dan mengembangkan budaya, antara lain budaya ”gotong royong”, budaya gemar menanam dan budaya bekerja keras, bahkan ”budaya jati” pada masyarakat di kedua lokasi penelitian.
Sejarah Hutan Rakyat Sebagian lokasi penelitian di Gunung Kidul dan Wonogiri termasuk ke dalam Zona Pegunungan Seribu (Sewu) atau sering disebut Pegunungan Kapur Selatan, yaitu Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kab. Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta serta Desa Selopuro dan Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Dua desa lainnya di Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjadi lokasi penelitian adalah satu desa terletak di Zona Ledoksari (tengah) yaitu Desa Dengok, Kecamatan Playen dan desa lainnya
88
terletak di Zona utara yaitu Desa Kedungkeris, Kecamatan Nglipar. Walaupun terletak di zona yang berbeda, tetapi secara umum memiliki banyak persamaan ditinjau dari sejarah hutan rakyatnya. Sejarah hutan rakyat di Pegunungan Kapur Selatan, menurut Awang et.al. (2001) dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu: (1) sebelum tahun 1960 periode kritis; (2) 1960-1970 periode penanaman mandiri; (3) 1970-1985 periode intensifikasi; dan (4) 1985-sekarang periode pemudaan alam. Periode 1 (sebelum tahun 1960), yang disebut juga dengan periode kritis, ditandai dengan hamparan batu bertanah yang kritis dan hanya ditumbuhi rumput ataupun semak pada lahan milik maupun lahan negara. Jarang sekali dijumpai tanaman kayu-kayuan. Masyarakat mempertahankan hidupnya dengan menanam tanaman pangan seperti jagung dan ketela pohon, serta padi bila musim penghijauan tiba. Akibatnya kondisi lahan semakin parah dan tanah menjadi jenuh sehingga tidak lagi dapat menghasilkan tanaman pangan. Sementara itu tanaman kayu lokal, seperti trembesi, sengon Jawa, terus ditebang untuk dijual sebagai kayu bakar. Uang hasil penjualan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kondisi ini semakin memperburuk kekritisan lahan, dan masyarakat semakin miskin, kekurangan pangan dan terjadilah busung lapar. Periode 2 (1960-1970), karena kondisi yang mendesak tersebut, masyarakat beserta beberapa tokoh masyarakat kemudian mulai mencari solusi. Lahan-lahan yang sudah jenuh ditanami dengan tanaman kayu-kayuan, diawali dengan penanaman mahoni dan jati. Pada periode ini, penanaman tanaman kayukayuan oleh masyarakat dilakukan secara swadaya. Para tokoh masyarakat menanami lahan miliknya dengan tanaman jati dan mahoni, dengan bibit yang didapatkan dari anakan-anakan kayu alam, baik di lingkungan mereka maupun dari lahan negara yang sudah berhutan. Kegiatan para tokoh mencari bibit dan menanam ini diikuti oleh warga masyarakat lain. Kegiatan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya kelompok tani. Pada periode 3 (1970-1985), yang disebut penanaman intensif, pemerintah sudah mulai campur tangan dalam pembinaan, melalui beberapa proyek seperti MALU (Mantri-Lurah) – yang dilakukan oleh Perum PERHUTANI dan proyek penghijauan oleh Kementerian Kehutanan. Bantuan penghijauan oleh pemerintah
89
dilakukan melalui penyebaran bibit akasia maupun Katalina (sejenis lamtoro) melalui udara. Masyarakat melakukan tumpangsari tanaman kayu dengan tanaman pangan yang masih bisa tumbuh. Masyarakat mulai melakukan tata guna lahan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan lokal mereka. Pada periode ini juga ditandai dengan banyaknya terbentuk bermacam-macam kelompok tani dan Kebun Bibit Desa (KBD). Khusus di Gunung Kidul, penanaman secara intensif terjadi ketika Bupati Gunung Kidul dijabat oleh Bapak Ir. Darmokum Darmokusumo. Pada saat itu pemerintah banyak memberikan bantuan bibit jati untuk ditanam di lahan-lahan milik masyarakat. Tingginya perhatian Bupati Gunung Kidul terhadap masalah penghijauan ditunjang oleh latar belakang pendidikannya dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Pada periode 4 (1985-2002), ditandai dengan melimpahnya anakan alami di bawah tegakan tua, baik jati maupun mahoni. Masyarakat
melakukan
permudaan dan pengayaan dengan mendistribusikan anakan alami secara merata, dengan melalui teknik puteran dan cabutan. Anakan-anakan alami ini ditanam dengan jarak yang tidak beraturan, mengingat kondisi lahan yang bergelombang dan berbatu. Pada lahan-lahan yang mayoritas berbatu penanaman dilakukan di sela-sela batu. Pada periode ini Kebun Bibit Desa yang dikenalkan oleh pemerintah sebagai upaya menjamin ketersediaan bibit penghijauan di desa tidak lagi efektif karena masyarakat lebih suka melakukan permudaan dengan menggunakan anakan alami yang sudah ada. Hal tersebut dilakukan karena dinilai lebih efisien, lebih murah dan adaptasi bibit lebih baik dibandingkan bibit yang berasal dari Kebun Bibit Desa. Pada periode empat ini mulai dilakukan penebangan kayu baik untuk keperluan sendiri maupun untuk mendapatkan uang tunai. Walaupun penebangan dilakukan, masyarakat tetap melakukan penghutanan kembali secara swadaya. Menurut Awang et.al (2001) pada mulanya keberhasilan gerakan penanaman tanaman keras oleh masyarakat tidak dapat dilepaskan dari peranan kelompok tani. Pekerjaan pembuatan hutan rakyat, mulai dari penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan dilakukan bersama oleh anggota kelompok. Dalam kelompok juga dibuat pengaturan termasuk sanksi bagi yang tidak mematuhinya, misalnya kewajiban menanam sepuluh batang kayu bagi yang tidak ikut gotong royong.
90
Namun dalam perkembangan selanjutnya ketika pembangunan hutan rakyat sudah berhasil, aktivitas kelompok menurun. Pertemuan kelompok masih berjalan, tetapi kebiasannya sudah berbeda jauh dengan awal pembentukannya. Saat ini pertemuan kelompok hanya digunakan untuk arisan simpan-pinjam. Awang et.al (2001) mengatakan bahwa menurunnya dinamika kelompok selain disebabkan oleh tidak adanya pembinaan dari pemerintah, juga karena praktek hutan rakyat berbasis lahan milik individu sehingga peranan kelompok menjadi lemah. Ikatan kelompok hanya didasarkan pada ”paguyuban” sebagai wujud dari social rasionallity mereka. Sejak tahun 2002 hingga sekarang hutan rakyat berkembang pesat, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL, yang sering disebut GERHAN), yang dicanangkan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kehutanan sejak 2002 telah meningkatkan luas hutan rakyat di daerah-daerah kritis, termasuk di Gunung Kidul dan Wonogiri. Sertifikasi hutan rakyat di Wonogiri dimulai pada tahun 2003, dengan pengembangan kapasitas organisasi hutan rakyat melalui kerjasama dengan Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI), Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan World Wildlife Fund (WWF) untuk sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) di Desa Selopuro dan Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno. Sedangkan di Gunung Kidul pada tahun 2004 dimulai program Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari (RBUMHRL) di empat kabupaten, yaitu Gunung Kidul, Wonosobo, Magelang dan Purworejo. Lokasi di Gunung Kidul termasuk Desa Girisekar dan Desa Dengok, yang menjadi lokasi penelitian. Kepedulian dan keseriusan Pemerintah Daerah Kab. Gunung Kidul terhadap perkembangan hutan rakyat semakin meningkat, di antaranya terbukti dengan diterbitkannya Keputusan Bupati Gunungkidul Nomor: 95/KPTS/2005 tanggal 20 September 2005 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Hutan Rakyat Lestari. Selain itu didukungnya program sertifikasi PHBML di tiga desa, sebagai kelanjutan Program Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pendampingan untuk proses sertifikasi PHBML bagi Kabupaten Gunung Kidul.
91
Pada bulan Oktober 2004, Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) di Desa Selopuro dan Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Wonogiri mendapatkan sertifikat Ekolabel (PHBML) yang pertama dengan luas cakupan 809,95 hektar. Dua tahun kemudian menyusul Paguyuban Wana Manunggal Lestari, Kabupaten Gunung Kidul mendapat sertifikat PHBML yaitu
pada
tanggal 20 September 2006 yang mencakup luasan 815,18 hektar.
Sistem pengelolaan hutan rakyat Awang et.al (2001) menyebutkan bahwa sesuai dengan susunan dan letaknya hutan rakyat di pegunungan Kapur Selatan (termasuk daerah Gunung Kidul dan Wonogiri), dapat digolongkan menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok hutan rakyat tersebut ialah: (1) tanaman keras seperti jati dan mahoni, atau jenis lainnya ditanam hanya di sepanjang batas lahan milik, dan tanah di antara pohon-pohon tersebut ditanami tanaman pangan; (2) tanaman keras ditanam di seluruh lahan tegalan dan pekarangan tanpa ada tanaman pertanian semusim seperti tanaman pangan; (3) tanaman keras ditanam di batas-batas dan di sepanjang teras, untuk mengurangi erosi tanah. Di antara pohon-pohon tersebut ditanam tanaman pangan dan sayur-sayuran. Dilihat dari susunan jenisnya, hutan rakyat di kedua lokasi penelitian dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) hutan rakyat monokultur atau sebagian besar didominasi satu jenis tanaman keras saja. Pada kelompok ini cenderung tidak ada tanaman pangan dan tanaman buah-buahan; (2) hutan rakyat campuran yang memiliki 3-5 jenis tanaman keras. Pada kelompok ini dapat dijumpai tanaman pangan, buah-buahan dan sayur-sayuran. Sebagian besar hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri menggunakan sistem agroforestry dan jarang sekali yang monokultur. Alasan mendasar yang dikemukakan oleh masyarakat adalah mereka membutuhkan tanaman pangan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka menanam ketela pohon, jagung, kedelai, dan lainnya untuk kebutuhan pangan sehari-hari, bila ada sisa baru mereka menjualnya. Selain itu juga mereka menanam hijauan makanan ternak (HMT) untuk pakan ternak. Hampir semua keluarga di kedua lokasi penelitian memelihara sedikitnya ayam, kambing dan ternak sapi.
92
Dalam mengelola hutan rakyat, masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri masih menggunakan silvikultur tradisional, yang meliputi pemilihan jenis, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan, dan penebangan. Pemilihan jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat pada hutan rakyat sangat dipengaruhi oleh kesesuaian lahan, riap pertumbuhan, ketersediaan tenaga kerja, harga jual dan kemudahan pemeliharaan. Tiga jenis kayu yang banyak ditanam oleh masyarakat di kedua lokasi penelitian adalah akasia (Acacia auriculiformis) jati (Tectona grandis) dan mahoni (Swietenia mahogany). Awal mulanya penanaman tanaman keras ini sebagai langkah awal untuk memperbaiki struktur tanah, karena diharapkan akar pohon-pohonan tanaman keras dapat memecah batuan kapur dan daun-daunannya dapat menjadi kompos. Persiapan lahan terutama dilakukan pada saat pertama kali membangun hutan rakyat dengan membuat terasering teras bangku pada lahan-lahan tertentu yang miring. Dengan berbekal batu yang berlimpah di sekitarnya, masyarakat mengumpulkan batu-batu, memecah, dan menyusun menjadi penguat dinding teras bangku, membuat lubang tanam dan membuat batas lahan. Penanaman sebagian besar dilakukan tanpa ada pengaturan jarak tanam, karena penanaman sebagian besar hanya dilakukan di antara sela-sela batu. Pada lahan-lahan yang memungkinkan, lahan yang relatif datar atau landai dibuat jarak tanam 3x1 meter. Diduga pengaturan jarak tanam ini diketahui masyarakat berdasarkan pengalaman melihat apa yang telah dilakukan Perum Perhutani, di mana beberapa warga pernah bekerja sebagai buruh tanam (Awang et.al, 2001). Pada periode penanaman intensif, jenis tanaman yang ditanam lebih beragam. Bibit berasal dari Kebun Bibit Desa yang dibuat masyarakat dengan bimbingan tenaga penyuluh kehutanan. Bibit-bibit tanaman yang ditanam pada periode ini di antaranya ialah mahoni, jati, akasia, mangga, melinjo, pete, kelapa dan bibit tanaman keras lainnya. Penanaman dilakukan dengan pengajiran dan disesuaikan dengan kontur, dengan sistem tumpang sari. Kegiatan pemeliharaan tanaman hutan rakyat di kedua lokasi penelitian hampir tidak ada, biasanya hanya dilakukan pada tanaman muda yang berumur kurang dari satu tahun. Pemeliharaan sebatas pendangiran tanah dan kadang-kadang melakukan pemagaran sederhana.
93
Perlindungan tanaman terhadap ternak dilakukan dengan melarang penggembalaan di areal hutan milik orang lain. Ternak sapi dan kambing umumnya dikandangkan di pekarangan rumah. Cara ini berjalan sangat efektif dan dipatuhi sesama warga. Gangguan pencurian kayu sama sekali tidak pernah terjadi. Pengamanan dilakukan dengan ”tepo seliro” (tenggang rasa) yang selalu disosialisasikan lewat forum-forum seperti kelompok tani maupun forum desa lainnya. Pemanenan dilakukan tidak mengunakan sistem pengaturan hasil. Pohon ditebang saat dibutuhkan, yaitu untuk keperluan membangun rumah sendiri, maupun keperluan yang memerlukan biaya besar seperti keperluan pendidikan anak, hajatan, pengobatan di rumah sakit dan lainnya. Sehingga sistem ini sering dikatakan ”tebang butuh”, yaitu ditebang pada saat dibutuhkan. Sekalipun demikian, bagi masyarakat pohon merupakan tabungan yang akan digunakan sebagai alternatif terakhir, jika sumberdaya lainnya sudah tidak ada (seperti ternak ayam, kambing, sapi atau sumberdaya lainnya). Menurut pengakuan masyarakat, mereka memilih pohon sebagai alternatif terakhir untuk ditebang, karena dianggap paling menguntungkan baik dari segi pemeliharaan maupun harga atau nilai jual. Pohon tidak membutuhkan pemeliharaan yang merepotkan seperti halnya ternak, yang perlu diberi makan dua kali dalam satu hari. Demikian juga halnya dengan harga kayu, terutama kayu jati, sangat baik sebagai tabungan yang bernilai tinggi, tidak jauh berbeda dengan harga jual ternak. Sekalipun petani hutan rakyat lebih senang menggunakan sistem ”tebang butuh”, tetapi mereka tetap memperhatikan sistem tebang pilih, yaitu sejumlah pohon yang ditebang untuk dijual ataupun dipakai sendiri dan tidak mengelompok dalam satu tempat. Sebenarnya sudah ada aturan untuk menebang kayu jati yang sudah berumur minimal 15 tahun dan berdiameter di atas 20 cm, tetapi aturan ini belum bisa dilaksanakan sepenuhnya karena adanya sistem ”tebang butuh” sehingga kayu jati yang paling banyak ditebang berada pada kisaran diameter 16 cm. Menurut pengakuan petani, biasanya mereka menebang kayu rata-rata dua kali per tahun, dengan jumlah dan volume disesuaikan kebutuhan, yaitu jika kebutuhan kecil pohon yang ditebang jumlah dan volumenya relatif kecil, sedangkan bila kebutuhan besar pohon yang ditebang jumlah dan volumenya juga
94
besar. Untuk menjamin kelestarian, petani yang menebang kayu diwajibkan menanam lahannya 2-5 batang untuk setiap batang pohon yang ditebang. Metode pengaturan hasil hutan rakyat ini sangat spesifik dan berbeda dengan metode pengaturan hasil konvensional yang biasanya diterapkan pada hutan negara. Bagi petani setempat, yang penting adalah terjaminnya kelestarian baik kelestarian produksi maupun kelestarian sumber daya hutan sehingga mereka dapat secara kontinu memanen produksi kayu miliknya (Arupa, 1999). Pemasaran kayu hasil hutan rakyat dilakukan secara langsung oleh petani ke pedagang pengumpul lokal kemudian diteruskan ke pedagang pengumpul besar. Biaya pengurusan surat-surat seperti SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) dan lain-lain biasanya ditanggung oleh pedagang. Petani tidak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk pengurusan dokumen tersebut dan menerima pembayaran dari harga kayu sesuai kesepakatan dengan pedagang. Pedagang pengumpul besar kemudian memasarkan kayu tersebut ke industri mebel dan bahan bangunan atau ke tempat pembakaran gamping baik yang berada di daerah sekitarnya atau ke luar kota. Daerah luar kota yang menjadi tujuan pemasaran kayu antara lain adalah Klaten, Jepara, Pekalongan, Tegal, Brebes, Solo dan Bandung. Masyarakat menyukai pola ini karena selain mereka langsung dapat menerima uang kontan, yang memang mereka butuhkan pada saat itu, juga dinilai lebih praktis. Dengan cara ini mereka tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi, biaya penebangan, dan urusan administrasi serta biaya pengangkutan, yang dinilai cukup merepotkan bagi masyarakat petani. Dalam hal kelembagaan, hampir tidak ada perbedaan yang nyata dilihat dari sisi organisasi, kepemimpinan, maupun aturan dan sanksi yang diberlakukan dalam pengelolaan hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri.
Dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) di beberapa desa di pegunungan Kapur Selatan ditemui bahwa pembangunan hutan rakyat tidak lepas dari peranan kelompok tani, namun peranan individu petani lebih besar dibandingkan kelompok tani. Kelompok tani sebagai suatu organisasi mengacu pada organisasi modern dimana pengurus organisasi minimal terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Pengurus
95
kelompok tani dipilih oleh anggota dengan mempertimbangkan pendidikan, kemauan dan kemampuan bekerja, status sosial dan posisi dalam masyarakat, sehingga sangat banyak ditemui pengurus kelompok tani yang menjabat aparat desa (Ketua RT/RW dan Kepala Dusun). Kegiatan kelompok tani ini biasanya meliputi kegiatan pertanian secara umum, baik tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, bahkan perikanan. Deskripsi Peubah Penelitian Karakteristik Individu Petani Karakteristik petani hutan rakyat yang telah disertifikasi dan non sertifikasi berbeda nyata dalam semua indikator karakteristik kecuali pada tingkat sosial ekonomi. Walaupun demikian, perbedaan rataan umur dan pengalaman antara petani sertifikasi dan non sertifikasi tidak terpaut terlalu jauh. Perbedaan yang sangat mencolok antara karakteristik petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi adalah pada motivasi ekstrinsik dan konsep diri. Motivasi ekstrinsik dan konsep diri petani hutan rakyat sertifikasi termasuk dalam kategori tinggi dan positif (80 dan 76), sedangkan motivasi ekstrinsik dan konsep diri petani non sertifikasi adalah rendah (30) bahkan sangat negatif (14). Motivasi ekstrinsik yang rendah dan konsep diri yang negatif pada petani hutan rakyat non sertifikasi dapat dipahami karena sebagian besar petani hutan rakyat non sertifikasi belum mendapatkan pemahaman tentang hutan rakyat lestari, atau sekalipun pernah mendengar tentang Hutan Rakyat Lestari belum memiliki pemahaman yang benar tentang Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) dimaksud. Hal tersebut dapat disebabkan oleh belum adanya sosialisasi, pendampingan atau pembelajaran mengenai Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) oleh lembaga manapun di lokasi hutan rakyat non sertifikasi. Hal menarik dalam perbandingan karakteristik petani di kedua lokasi penelitian adalah motivasi intrinsik. Petani hutan rakyat non sertifikasi ternyata memiliki motivasi intrinsik ”sedang” (rataan 68) walaupun motivasi ekstrinsiknya rendah, dan petani hutan rakyat sertifikasi memiliki motivasi yang tinggi (86). Hal ini menunjukkan bahwa motivasi dan keinginan petani untuk mengembangkan
96
hutan rakyat, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri cukup tinggi sekalipun pada lokasi yang belum mendapatkan sertifikasi Hutan Rakyat Lestari. Tabel 21. Perbandingan Karakteristik Petani Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) dan Non Sertifikasi di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri
No 1
Karakteristik
Kategori
Umur (tahun)
≤ 40 41 -50 ≥ 51
2
Rataan Pengalaman (tahun)
3
Rataan Tingkat sosial ekonomi
4
Skor Rataan Motivasi intrinsik
5
Skor Rataan Motivasi ekstrinsik
6
Skor Rataan Konsep diri
Skor Rataan
≤ 10 11 -25 ≥ 26 Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Negatif Sedang Positif
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 31 13 22 23 35 29 46 52 49 51 49 53 24 10 17 36 40 38 40 50 45 25 22 27 35 43 39 57 51 54 8 6 7 b b 35c 36 34 2 3 2 12 25 18 86 72 79 86 88 84 2 4 3 23 50 36 75 46 60 80 85 75 4 18 11 14 41 27 82 41 61 76 84 68
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 37 37 37 40 23 32 23 40 32 47 45a 49a 20 73 47 43 7 25 34 20 28 18 23 13 30 50 73 63 47 25 7 3 2 32c 37 27 0, 27 13 43 70 57 57 3 30 67 79 56 90 93 92 10 7 8 0 0 0 30 30d 29d 86 97 92 13 3 8 0 0 0 14 24 3
Keterangan: - Angka yg diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (uji perbedaan nilai rataan t-test) - Hutan Rakyat Lestari-sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; Hutan rakyat non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah/negatif (0-50); Sedang (51-75); Tinggi/positif (76-100), tk sosek: rendah (≤ 33,0), sedang (33,1-67,0), tinggi (≥ 67,1).
Umur Petani hutan rakyat sertifikasi di kedua kabupaten sebagian besar tergolong berusia lanjut (tua) dengan rataan 51 tahun. Rataan umur petani non sertifikasi di kedua kabupaten tidak terpaut jauh, yaitu 47. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa petani pengelola hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri sebagian besar berusia tua. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar penduduk berusia muda (30-40 tahun) di kedua kabupaten
97
tersebut bekerja di luar desa, atau merantau ke luar kabupaten, yang dalam istilah mereka adalah mboro. Hal ini juga sangat berkaitan dengan latar belakang sejarah, dimana kedua kabupaten ini beberapa puluh tahun lalu termasuk desa miskin, dengan kondisi tanah yang sangat kritis dan tidak bisa ditanami. Pada saat itu banyak pemuda yang mboro untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kebiasaan tersebut terus berlangsung sampai dengan saat ini. Dikuatirkan kondisi ini akan menjadi permasalahan dalam pengembangan Hutan Rakyat Lestari di masa mendatang, karena hanya petani lanjut usia yang masih tinggal di desa dan mengelola hutan rakyat. Bila tidak ada generasi penerus, dikuatirkan usaha Hutan Rakyat Lestari di masa mendatang akan redup bahkan menghilang.
Pengalaman Sebagian besar petani sertifikasi baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri sudah cukup lama mengelola hutan rakyat (rataan 24 tahun). Untuk petani non sertifikasi pun tidak berbeda nyata, yaitu dengan rataan 18. Hal ini dapat dijelaskan dan sejalan dengan perkembangan hutan rakyat di kedua kabupaten. Hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri berkembang kurang lebih pada tahun 1970. Pengelolaan hutan rakyat diperkenalkan kepada responden sebagian besar ketika masih berusia remaja, bahkan anak-anak. Pada waktu itu di Wonogiri dikenal dengan kegiatan Karang Kitri. Responden mengakui pengenalan dan pendidikan untuk gemar menanam pohon telah mereka dapatkan sejak usia remaja. Pada waktu itu orang tua telah mengajari untuk menanami lahan yang gersang dengan pohon-pohonan, walaupun bukan dengan teknik penanaman yang benar, karena kondisi lahan yang tidak memungkinkan untuk menerapkan jarak tanam ideal. Semakin mereka merasakan manfaatnya, semakin mereka gemar menanam, sehingga telah membudaya bagi masyarakat. Walaupun tidak semua responden adalah petani, tetapi menanam pohon-pohonan juga dilakukan oleh anggota kelompok tani yang bukan petani, seperti guru, karyawan, PNS dan lainnya.
98
Tingkat Sosial dan Ekonomi Tidak ada perbedaan yang nyata antara tingkat sosial ekonomi responden di kedua kabupaten, baik petani pengelola hutan rakyat sertifikasi maupun hutan rakyat non sertifikasi. Nilai rataan tingkat sosial ekonomi petani sertifikasi di kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri 35. Demikian pula dengan petani non sertifikasi di kedua kabupaten dengan nilai rataan 32. Pendidikan sebagian besar responden adalah Sekolah Dasar dan bekerja sebagai petani. Sebagian besar petani baik di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri telah memiliki rumah sendiri dengan bangunan permanen, memiliki kendaraan bermotor roda dua.
Pada kedua lokasi penelitian, sebagian besar pengurus
kelompok adalah tokoh masyarakat atau pemimpin setempat, seperti kepala lingkungan atau dusun, guru maupun tokoh agama.
Motivasi Intrinsik Motivasi intrinsik petani sertifikasi, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri termasuk kategori tinggi dengan skor rataan 86. Motivasi intrinsik petani non sertifikasi di kedua lokasi penelitian terdapat perbedaan cukup tinggi, yaitu di Gunung Kidul tergolong kategori ’tinggi’ dengan skor rataan 79, sedangkan di Wonogiri tergolong kategori ’sedang’ dengan skor rataan 56. Motivasi intrinsik yang tinggi menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya mengelola hutan rakyat. Masyarakat, khususnya di Gunung Kidul sudah merasakan manfaat hutan rakyat yang dikelolanya baik dari segi ekonomi, sosial maupun ekologi sehingga mereka terus memiliki dorongan dan minat yang tinggi untuk mengelola hutan rakyat. Beberapa hal yang dapat menjadi bukti tingginya minat dan kesadaran masyarakat untuk menanam, antara lain : pertama, mereka telah menanam dan mengevaluasi sendiri tanaman apa yang lebih menguntungkan baik secara ekonomi maupun ekologis. Pada awalnya mereka menanami lahan mereka dengan akasia (Acacia auriculiformis) dan jati (Tectona grandis). Setelah dievaluasi ternyata akasia banyak “memakan” air dan harga jual kurang baik sehingga mereka mengganti dengan tanaman mahoni. Namun beberapa tahun terakhir karena harga jual mahoni kurang memuaskan, masyarakat khususnya di
99
Kabupaten Wonogiri, sedang mencoba untuk menanam dan mengganti tanaman mahoni dengan sengon laut (Paraserianthes falcataria). Mereka mencoba dan membeli sendiri bibit sengon laut. Kedua, masyarakat saat ini lebih suka menanam halaman pekarangan mereka dengan tanaman kayu-kayuan, sementara mereka memilih menanam tanaman pangan di hutan negara dengan pola Hutan Kemasyarakatan. Hal ini terutama terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, dimana desa bersebelahan dengan hutan negara yang ditanami tanaman kayu putih dan masyarakat diberi kesempatan untuk mengelola lahan di bawah tanaman kayu putih dengan sistem hutan kemasyarakatan. Ketiga, minat dan kebutuhan masyarakat yang tinggi untuk menanam tanaman kayu-kayu di Kabupaten Wonogiri menyebabkan berkembangnya pedagang keliling tanaman kayu-kayuan yang masuk ke desa-desa.
Motivasi Ekstrinsik Terdapat perbedaan yang nyata antara motivasi ekstrinsik petani sertifikasi dan non sertifikasi. Motivasi ekstrinsik petani sertifikasi di kedua kabupaten tersebut tergolong ”tinggi” dengan skor rataan 80. Sedangkan motivasi ekstrinsik petani non sertifikasi di kedua kabupaten adalah ”rendah” dengan skor rataan 30. Kondisi ini dapat dijelaskan bahwa di lokasi hutan rakyat sertifikasi ada pihakpihak di luar yang terlibat dalam proses pembelajaran masyarakat tentang Hutan Rakyat Lestari. Misalnya di Gunung Kidul, banyak sekali pihak yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran masyarakat dan memberikan motivasi kepada masyarakat, misalnya pendamping atau penyuluh baik dari Perguruan Tinggi, LSM maupun dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Sementara petani non sertifikasi, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri sama sekali belum mendapatkan pembelajaran dari pihak lain. Tidak ada pihak lain di luar masyarakat desa yang mendampingi atau memberikan motivasi kepada masyarakat untuk mengembangkan hutan rakyat. Motivasi petani Wonogiri untuk mengelola hutan rakyat lebih banyak berasal dari dalam diri sendiri (motivasi intrinsik). Bila karakteristik petani sertifikasi dianalisis lebih dalam, terdapat perbedaan yang cukup menyolok antara motivasi ekstrinsik di kedua lokasi
100
penelitian. Motivasi ekstrinsik 75% petani sertifikasi di Gunung Kidul termasuk ”tinggi” dengan skor rataan 85, sedangkan di Wonogiri termasuk sedang (50%) dengan skor rataan 75. Hal ini dapat dijelaskan bahwa di Gunung Kidul sangat banyak pihak yang ikut memberikan motivasi kepada petani untuk mengelola Hutan Rakyat secara Lestari, yaitu baik dari Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Kidul, khususnya Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian yang diwujudkan dengan penempatan penyuluh untuk membina masyarakat. Selain itu keberadaan kelompok tani hutan rakyat berjalan cukup baik, di bawah Paguyuban kelompok tani hutan rakyat: “Manunggal Lestari”. Kepercayaan petani di Gunung Kidul kepada pihak luar, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat, seperti kepada Perguruan Tinggi dan pemerintah sangat tinggi. Mereka berpendapat bahwa semua ‘program’ dan kegiatan yang dibawa oleh pemerintah ke desa pasti mempunyai dampak yang baik bagi masyarakat sehingga mereka mau mengikuti program dan kegiatan tersebut, walaupun tidak jarang mereka harus menunggu atau menjalankan proses yang cukup panjang untuk dapat menikmati hasilnya. Hal yang berbeda di Wonogiri, keterlibatan pihak luar dalam pengembangan hutan rakyat kurang. Hal tersebut berkaitan dengan cikal bakal terbentuknya hutan rakyat di Wonogiri, dimana masyarakat secara swadaya mengembangkannya. Berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, khususnya dalam proses sertifikasi lebih banyak keterlibatan LSM yaitu PERSEPSI (Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial), sementara dukungan pemerintah sangat kecil. Hal tersebut dapat dilihat dari penempatan penyuluh kehutanan satu orang di satu kecamatan. Dukungan LSM tersebut hanya menyentuh beberapa personil saja sehingga kurang dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar petani. Keberadaan Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) yang berjalan kurang harmonis kurang memberikan motivasi masyarakat untuk mengembangkan Hutan Rakyat Lestari.
Konsep diri Terdapat perbedaan yang nyata antara konsep diri petani sertifikasi dan non sertifikasi di kedua kabupaten. Konsep diri petani sertifikasi positif dengan
101
skor rataan 76, sedangkan petani non sertifikasi memiliki konsep diri yang sangat negatif yaitu 14. Selanjutnya bila dianalisis lebih mendalam, terlihat juga perbedaan antara petani sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Petani sertifikasi di Gunung Kidul memiliki konsep diri yang positif dengan skor rataan 84, sedangkan konsep diri petani sertifikasi di Wonogiri tergolong sedang dengan skor rataan 68. Petani sertifikasi di Gunung Kidul memiliki konsep diri yang positif, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat lestari. Walaupun belum menikmati hasil atau manfaat sertifikasi dalam hal premium price, namun petani di Gunung Kidul tetap memiliki keyakinan terhadap pengembangan Hutan Rakyat Lestari. Sedangkan di Wonogiri, petani sertifikasi sudah banyak yang kecewa karena “iming-iming” kenaikan harga jual kayu yang dijanjikan oleh pihak LSM tidak terealisasi. Selain itu, timbul kecemburuan sosial dan tidak berjalannya organisasi FKPS, serta kurangnya penghargaan atau perhatian dari pemerintah menyebabkan konsep diri petani khususnya berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari cenderung menjadi negatif. Konsep diri petani non sertifikasi di Gunung Kidul maupun Wonogiri tergolong rendah, bahkan sangat rendah, yaitu dengan skor rataan 24 dan 3. Petani non sertifikasi di kedua lokasi sebagian besar masih belum memiliki pemahaman yang benar mengenai pengelolaan hutan rakyat secara lestari sehingga konsep diri tentang Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) masih negatif.
Kompetensi Penyuluh/Pendamping Kompetensi Penyuluh Kehutanan dan pendamping dalam proses pembelajaran sertifikasi Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri berbeda nyata pada tujuh indikatornya, walaupun nilai skor rataannya berada pada kategori yang sama, yaitu ”rendah”. Skor rataan untuk kompetensi penyuluh/pendamping Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) pada kisaran nilai 40, sedangkan skor rataan untuk non sertifikasi pada kisaran nilai 20. Hal yang menarik ialah terdapat perbedaan yang nyata pada penilaian petani sertifikasi terhadap kompetensi penyuluh kehutanan maupun pendamping antara kedua lokasi penelitian. Petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai
102
kompetensi penyuluh kehutanan maupun pendamping dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari “sedang” dalam semua indikatornya, ditunjukkan dengan skor rataan kisaran nilai 60. Sedangkan petani sertifikasi di Wonogiri, dan petani non sertifikasi di kedua lokasi penelitian menilai kompetensi penyuluh dan pendamping “rendah” bahkan sangat rendah dengan skor rataan pada kisaran nilai 20, 30, dan 40, bahkan kisaran nilai 10. Tabel 22. Perbandingan antara Kompetensi Penyuluh dan Pendamping Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri
No 1
Kompetensi Penyuluh/ Pendamping Komunikasi
Kategori
Menggali kebutuhan petani
Rendah
22
82
52
57
97
41
18
29
10
3
7
Tinggi
37
0
18
33
0
17
65
27
46
45
14
29
29
91
60
60
97
78,
Rendah
Menganalisa permasalahan petani
Sedang
37
9
23
7
3
5
34
0
17
33
0
17
61
27
46
45
14
28
Rendah
24
93
58
60
100
80
Sedang
48
7
27
13
0
7
Tinggi
28
0
14
27
0
13
61
23
42
42
13
28
Rendah
23
94
58
73
100
87
Sedang
34
6
20
27
0
13
Tinggi
43
0
21
0
0
0
64
24
44
35
13
24
Rendah
35
94
64
73
97
85
Sedang
30
6
18
10
3
7
Tinggi
35
0
17
17
0
8
60
22
41
33
14
23
31
97
64
70
100
85
Skor Rataan 4
Menjalin kemitraan
Skor Rataan 5
Mengembangkan kapasitas petani Skor Rataan
6
Menguatkan kelembagaan petani
Rendah Sedang
30
3
16
7
0
7
Tinggi
39
0
19
23
0
8
62
19
41
34
13
23
Rendah
27
99
63
93
100
97
Sedang
34
1
17
7
0
3
Tinggi
39
0
19
0
0
0
62
20
41
17
0
8
Skor Rataan 7
Mengembangkan wawasan teknis petani Skor Rataan
77
Tinggi Skor Rataan 3
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Sedang Skor Rataan 2
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Keterangan: - Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi): n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200;non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah (0-50); Sedang (51-75); Tinggi (76-100)
103
Kondisi ini dapat dijelaskan oleh kenyataan bahwa penyuluh kehutanan (PNS) di Wonogiri sangat jarang, bahkan beberapa responden menyatakan tidak pernah dikunjungi penyuluh. Sebagai perbandingan, di Wonogiri dalam satu kecamatan hanya terdapat satu orang penyuluh kehutanan, sementara wilayah binaan mencakup 8-10 desa. Sementara di Gunung Kidul dalam satu kecamatan ditugaskan tiga orang penyuluh kehutanan yang tersebar di 9-12 wilayah binaan, sehingga satu orang penyuluh kehutanan bertugas membina kurang lebih tiga sampai empat desa. Belum lagi di masing-masing kecamatan terdapat supervisor penyuluh kehutanan. Walaupun dari sisi jumlah pendamping dalam proses sertifikasi PHBML dari pihak LSM tidak berbeda yaitu seorang pendamping dari LSM menangani satu kecamatan, namun intensitas pendampingan yang dilakukan oleh LSM di Wonogiri sangat berbeda dengan di Gunung Kidul. Proses pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul, dilakukan secara berkelanjutan dan terpadu sehingga selain pendamping dari LSM, Perguruan Tinggi juga melibatkan penyuluh kehutanan. Proses pembelajaran masyarakat di tiga desa sertifikasi didampingi oleh LSM yang berbeda. Namun semua pendamping telah mendapatkan pembekalan untuk mendampingi masyarakat yang berbeda namun dengan materi yang relatif sama. Petani sertifikasi di Wonogiri sangat jarang memiliki kesempatan untuk mendapatkan materi pembelajaran dari penyuluh dan pendamping. Memang ada beberapa kali pertemuan untuk sosialisasi mengenai sertifikasi/HRL, dan ada beberapa kali pelatihan untuk meningkatkan wawasan teknis dan kapasitas petani berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari seperti pemetaaan partisipatif, pengelolaan hasil panen dan lainnya, namun hanya melibatkan beberapa pengurus saja. Dengan intensitas pertemuan yang sangat kecil, penyuluh dan pendamping kurang dapat memahami dan menggali kebutuhan, permasalahan sesungguhnya yang dihadapi oleh petani. Kenyataan yang menarik ialah dengan memperbandingkan nilai rataan kompetensi penyuluh dan pendamping di lokasi non sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Terlihat bahwa skor rataan kompetensi penyuluh kehutanan di lokasi non sertifikasi di Gunung Kidul masih lebih tinggi (pada kisaran nilai 30 dan 40)
104
dari nilai rataan kompetensi penyuluh dan pendamping yang dinilai oleh petani sertifikasi di Wonogiri (pada kisaran nilai 20). Kondisi tersebut dapat menggambarkan bahwa
masyarakat di Gunung Kidul, sekalipun belum
mendapatkan pendampingan mengenai Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi), namun menilai kompetensi penyuluh lebih baik daripada di petani sertifikasi Wonogiri, sekalipun telah mendapatkan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Hal tersebut dimungkinkan karena petani di Gunung Kidul, sekalipun belum mendapatkan pembelajaran mengenai sertifikasi HRL, namun tetap mendapatkan pembelajaran dari penyuluh pada saat pertemuan kelompok, sekalipun masih sangat minim. Penyuluh Kehutanan di Gunung Kidul, walaupun jarang masih datang ke kelompok (pengurus) dan pertemuan kelompok, terutama bila diminta kehadirannya. Dikaitkan dengan paradigma dalam penelitian ini, kompetensi penyuluh dan pendamping yang diharapkan adalah penyuluh yang “insider” yang bekerja bersama masyarakat dan bukan penyuluh yang bertindak sebagai “outsider”, yang bekerja untuk masyarakat. Pada kenyataannya, berdasarkan tujuh indikator pengukuran dapat disimpulkan bahwa penyuluh dan pendamping dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari baik di Gunung Kidul dan Wonogiri masih bertindak sebagai penyuluh dan pendamping yang “outsider” dilihat dari tujuh indikator kemampuan sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Kemampuan berkomunikasi Penyuluh dan pendamping sebenarnya sudah banyak menggunakan komunikasi dua arah (dialog) maupun komunikasi banyak arah (diskusi) dalam pendekatan kepada petani. Tetapi karena intensitas pertemuan dengan penyuluh sangat jarang (kecuali para pengurus kelompok), maka petani menilai sulit untuk berkomunikasi, terbuka dan menjalin hubungan yang erat dengan penyuluh dan pendamping. Dilihat dari skor rataan kompetensi penyuluh dan pendamping, terbukti bahwa kemampuan berkomunikasi memiliki nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan indikator lainnya. Sebagian besar petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai kemampuan penyuluh dan pendamping dalam berkomunikasi sedang (41%) dan tinggi (37%).
105
Sementara sebagian besar petani sertifikasi (82%) di Wonogiri menilai kemampuan penyuluh dan pendamping dalam berkomunikasi rendah. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sebelum proses pendampingan dalam rangka sertifikasi hutan rakyat di Gunung Kidul, Perguruan Tinggi dalam hal ini Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) Universitas Gajah Mada telah melakukan pendampingan Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari (RBUMHRL) pada tahun 2000, khususnya di Desa Kedung Keris, Kecamatan Nglipar. Selain itu penyuluh kehutanan juga sudah melaksanakan kegiatannya, terutama sejak program penghijauan dan rehalibitasi hutan dan lahan dilakukan. Dengan demikian masyarakat sudah mengenal dan berkomunikasi dengan penyuluh kehutanan, walaupun tidak dengan intensitas yang tinggi. Komunikasi dan hubungan yang baik dengan penyuluh dan pendamping di Gunung Kidul tidak hanya terbatas pada proses sertifikasi Hutan Rakyat Lestari saja, tetapi terus berlanjut sampai dengan penelitian dilakukan, walaupun tidak seintensif pada saat pendampingan proses sertifikasi. Beberapa hal yang mendukung kelancaran komunikasi penyuluh dan pendamping dengan petani sertifikasi di Gunung Kidul ialah: pendamping masih terus memantau, terutama saat ini memantau perkembangan koperasi Wana Manunggal Lestari. Hal ini sangat berbeda dengan Wonogiri, komunikasi yang dilakukan dengan pendamping sebatas pada proses sertifikasi, dan terbatas pada pertemuan kelompok pada saat sosialisasi dan pemetaan lahan milik di lapangan. Pasca proses sertifikasi, komunikasi dengan pendamping tidak berlanjut. Hanya Ketua Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) yang bertemu dan berkomunikasi dengan pendamping.
Demikian juga dengan penyuluh kehutanan, karena
keterbatasan tenaga penyuluh kehutanan dan fokus kegiatan dari Dinas Kehutanan tidak mencakup kedua desa sertifikasi dimaksud, maka penyuluh kehutanan sudah lama tidak mengunjungi dan membina petani sertifikasi di kedua desa tersebut.
Kemampuan menggali kebutuhan petani Terdapat perbedaan yang nyata antara kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menggali kebutuhan petani sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Penyuluh dan pendamping di Gunung Kidul dinilai memiliki
106
kompetensi ‘sedang’ dengan skor rataan 61 sementara di Wonogiri dinilai ‘rendah” dengan skor rataan 22.
Penyuluh dan pendamping pada kedua
kabupaten tersebut tidak ada yang berdomisili di desa yang didampingi. Hampir semua pendamping berasal dari luar desa, sehingga dalam melakukan pendampingan hanya pada saat diperlukan akan tinggal di desa selama beberapa hari saja. Dengan demikian sosialisasi yang baik, hubungan yang erat, intensitas pertemuan dengan petani yang didampingi kurang berjalan dengan baik. Selain itu penggunaan pendekatan yang kurang partisipatif menyebabkan sulitnya penyuluh dan pendamping peka terhadap kondisi yang dihadapi petani, kurang dapat memahami kebutuhan dan permasalahan petani dan kurang fokus dalam memberikan perhatian pada pemenuhan kebutuhan dan pemecahan permasalahan petani. Selain itu, pada kenyataannya dalam proses pendampingan yang dilakukan selama proses sertifikasi, tidak semua pendamping atau penyuluh mengikuti proses dari awal sampai akhir. Misalnya LSM yang mendampingi di Kec. Girisekar (Arupa) tidak memiliki pendamping yang tetap untuk mendampingi proses sertifikasi dan seringkali harus mengganti pendampingnya. Hal ini sedikit banyak
mempengaruhi
kepercayaan
dan
keterbukaan
petani
terhadap
pendampingnya. Di sisi lain, khususnya di Desa Jeruken, Kec. Girisekar, Kabupaten Gunung Kidul, petani mengungkapkan bahwa mereka sangat menghargai dan merasakan manfaat dari keberadaan pendamping yang tinggal menetap di desa. Menurut pengalaman mereka, pendamping yang tinggal menetap di desa dapat bersosialisasi sangat baik dengan masyarakat, intensitas bertemu lebih banyak, bukan saja dalam kegiatan formal kelompok tani hutan rakyat HR tetapi juga dalam kegiatan non formal seperti kegiatan sosial dan keagamaan akan membuat petani lebih dekat,
lebih terbuka kepada pendamping sehingga
pendamping juga dapat lebih memahami permasalahan dan kebutuhan petani yang didampinginya.
Kemampuan menganalisa permasalahan Kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menganalisa permasalahan di kedua lokasi penelitian berbeda nyata, di Gunung Kidul skor rataan 61
107
termasuk kategori “sedang” sedangkan di Wonogiri skor rataan 23 termasuk kategori “rendah”. Persentasi petani sertifikasi di Gunung Kidul yang menilai kemampuan penyuluh dan pendamping “tinggi” dalam menganalisa permasalahan tidak berbeda jauh dengan penilaian “sedang” yaitu 34% dan 37%. Sedangkan di Wonogiri hampir semua petani sertifikasi (93%) menilai kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menganalisa permasalahan, memberikan alternatif pemecahan permasalahan “rendah”. Kenyataan ini sebenarnya sejalan dengan kemampuan komunikasi dan kemampuan mengenali kebutuhan petani, yaitu sesuai dengan intensitas pertemuan yang sangat jarang dan keberadaan penyuluh dan pendamping yang tidak tinggal bersama dengan petani di desa menyebabkan adanya keterbatasan pendamping dan penyuluh dalam melihat permasalahan dari sudut pandang petani. Di sisi lain, pendamping dan penyuluh memiliki target-target yang ditetapkan oleh insitusi tempat mereka bekerja, sehingga fokus perhatian lebih kepada pencapaian target-target yang ditetapkan oleh institusi kerja mereka, dan bukan kepada kebutuhan dan permasalahan riil yang dihadapi petani khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari.
Kemampuan menjalin kemitraan Sama dengan indikator lainnya, terdapat perbedaan yang nyata dalam kemampuan penyuluh dan pendamping dalam menjalin kemitraan antara penyuluh dan pendamping di kedua lokasi penelitian. Petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai kemampuan pendamping dan penyuluh dalam menjalin kemitraan “sedang” dengan skor rataan 64 sedangkan di Wonogiri “rendah” dengan skor rataan 44. Dilihat dari skor rataan di kedua kabupaten, kemampuan pendamping dan penyuluh menjalin kemitraan merupakan indikator kedua terbaik setelah kemampuan komunikasi. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat proses sertifikasi di kedua kabupaten melibatkan pihak-pihak di luar pendamping atau penyuluh itu sendiri. Proses sertifikasi di Gunung Kidul merupakan kerjasama kelompok kerja (POKJA) Hutan Rakyat Lestari yang dibentuk oleh Bupati Kab. Gunung Kidul dengan Keputusan Bupati Gunung Kidul Nomor: 95/KPTS/2005 tanggal 20 September 2005, yang beranggotakan Perguruan Tinggi, Lembaga
108
Swadaya Masyarakat (LSM), pihak pemerintah dan masyarakat (Ketua Petani HR). Pendamping dan penyuluh di Gunung Kidul dimudahkan untuk melakukan kerja sama dengan adanya Pokja HRL tersebut. Walaupun tidak ada Pokja HRL seperti di Gunung Kidul, sertifikasi hutan rakyat di Wonogiri merupakan yg pertama di Indonesia, dan merupakan kerja sama antara LSM PERSEPSI dengan World Wildlife Fund (WWF) dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Dengan demikian pendamping dan penyuluh juga tidak mengalami kesulitan untuk menjalin kemitraan, khususnya berkaitan dengan pelatihan, magang, dan lainnya.
Kemampuan meningkatkan kapasitas petani Kemampuan penyuluh dan pendamping dalam meningkatkan kapasitas petani sertifikasi di Gunung Kidul dinilai “sedang” dengan skor rataan 60 sedangkan di Wonogiri tergolong ‘rendah” dengan skor rataan 22. Kemampuan pendamping dan penyuluh dalam meningkatkan kapasitas petani sebenarnya sangat berkaitan dengan fokus perhatian, program, kegiatan dan anggaran institusi tempat mereka bekerja. Misalnya dalam kegiatan pemetaan, magang dan studi banding petani ke usaha furniture, pendamping dan penyuluh tidak mampu melakukannya tanpa adanya program dan dukungan anggaran dan insitusi tempat bekerja ataupun mitra kerjanya. Hampir semua petani sertifikasi di Wonogiri (94%) menilai kemampuan penyuluh dalam meningkatkan kapasitas petani rendah. Hal ini dapat dipahami karena hampir tidak ada pelatihan bagi petani berkaitan dengan pengelolaan HRL. Sekalipun diadakan kegiatan peningkatan kapasitas, seperti magang untuk pengolahan limbah kayu hanya melibatkan beberapa orang saja. Demikian juga dengan kegiatan pemetaaan lahan milik, yang seharusnya dipahami oleh semua anggota yang memiliki lahan, tetapi pada kenyataannya hanya melibatkan sebagian pengurus saja. Kemampuan pendamping dan penyuluh dalam meningkatkan kapasitas petani berkaitan dengan kemampuan sebelumnya yaitu mengadakan komunikasi, mengenali kebutuhan petani dan menganalisa permasalahan, mencarikan alternatif solusi bagi petani. Peningkatan kapasitas petani seharusnya merupakan salah satu
109
alternatif penyelesaian permasalahan petani dan pemenuhan kebutuhan petani, sehingga merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Namun kenyataannya peningkatan kapasitas petani kurang mendapatkan perhatian dari pendamping dan penyuluh karena kelemahan dalam komunikasi, pemahaman terhadap kebutuhan dan permasalahan petani. Salah satu contoh baik di Gunung Kidul, khususnya di Kec.Panggang, Desa Girisekar adalah petani dilatih untuk dapat mengembangkan usaha lain sebagai alternatif untuk menanggulangi permasalahan mereka mengatasi kebiasaan ‘tebang butuh’ kayu-kayu dengan diameter kecil. Pendamping berupaya untuk mencarikan jalan keluar bagi permasalahan petani berkaitan dengan mengadakan pelatihan untuk mengembangkan usaha pembuatan kompos, minyak Virgin Coconut Oil (VCO) dan lainnya. Sebaliknya di Wonogiri, pendamping dengan menjaring LSM maupun badan internasional berupaya untuk mengembangkan industri pengolahan limbah kayu dengan melatih beberapa anggota kelompok tani. Walaupun baik, namun petani sendiri menilai bahwa upaya itu hanya melibatkan sedikit orang dan bukan merupakan pemecahan permasalahan yang sedang dihadapi sebagian besar petani dalam pengelolaan HRL.
Kemampuan mengembangkan kelembagaan petani Dalam hal kemampuan pendamping dan penyuluh mengembangkan kelembagaan petani juga terdapat perbedaan nyata antara petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Kemampuan penyuluh dan pendamping dalam mengembangkan kelembagaan petani di Gunung Kidul tergolong “sedang” dengan skor rataan 62, sedangkan di Wonogiri tergolong ‘rendah” dengan skor rataan 19. Hampir semua petani sertifikasi di Wonogiri (97%) menilai kemampuan pendamping dan penyuluh dalam mengembangkan kelembagaan petani rendah. Sedangkan persentasi petani sertifikasi di Gunung Kidul yang menilai “tinggi” kemampuan penyuluh dan pendamping dalam mengembangkan kelembagaan petani masih cukup banyak yaitu 39%, dan menilai “sedang” 30%. Perbedaan yang sangat menyolok ini dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) pendampingan
110
sertifikasi di Gunung Kidul dilakukan lebih dahulu dibandingkan dengan Wonogiri; (2) sebagian besar petani sertifikasi di Gunung Kidul telah mendapatkan pendampingan dalam kegiatan Rancang Bangun Unit Manajemen HRL sehingga pengembangan kelembagaan lebih baik; (3) pendampingan yang dilakukan di Wonogiri cenderung lebih banyak ditujukan untuk memenuhi persyaratan administrasi pengajuan dokumen sertifikasi daripada penguatan dan pengembangan kelembagaan petani.
Kemampuan dan wawasan teknis Terdapat perbedaan nyata antara penilaian terhadap kemampuan penyuluh dalam mengembangkan wawasan teknis, khususnya berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri. Petani sertifikasi di Gunung Kidul menilai kemampuan penyuluh dalam mengembangkan wawasan teknis ‘sedang” yaitu dengan skor rataan 62 sedangkan petani sertifikasi di Wonogiri menilai kemampuan penyuluh dalam mengembangkan wawasan teknis “rendah” dengan skor rataan 20. Perbedaan yang cukup menyolok ini terutama karena latar belakang pendidikan pendamping. Pendamping di Wonogiri berasal dari LSM PERSEPSI, dengan berlatar belakang pendidikan sebagian besar dari ilmu sosial, bukan dari ilmu kehutanan. Sedangkan di Gunung Kidul, selain PKHR yang merupakan institusi bagian dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, juga LSM Shorea dan Arupa yang merupakan LSM yang khusus bergerak di bidang kehutanan dan lingkungan, dimana sebagian besar anggotanya merupakan alumni Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Dalam proses pendampingan di Gunung Kidul, petani bukan saja diajarkan mengenai pemetaan, tetapi juga cara menaksir diameter pohon, ketinggian pohon dan lainnya yang belum pernah diketahui oleh petani. Mereka juga diajarkan penghitungan hasil tebangan per tahun (etat) untuk menjamin tidak terjadi over cuttting dan sistem permudaan kembali kawasan hutan bekas tebangan. Walaupun menurut petani agak rumit, tetapi wawasan mereka tentang teknis pengelolaan Hutan Rakyat Lestari menjadi berkembang.
111
Pendekatan Pembelajaran Pendekatan pembelajaran yang digunakan penyuluh dan pendamping kepada petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi di kedua kabupaten dinilai berbeda nyata pada taraf uji 0,05. Walaupun penilaian terhadap pendekatan pembelajaran oleh petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi di kedua kabupaten termasuk pada kategori yang sama, yaitu kategori “rendah” tetapi memiliki rentang skor rataan yang jauh. Skor rataan untuk semua indikator pendekatan pembelajaran oleh petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian berkisar antara nilai 40 dan 50, sedangkan skor rataan untuk petani hutan rakyat non sertifikasi di kedua kabupaten berkisar antara 0 dan 10. Perbedaan yang cukup menyolok ini dapat dimengerti mengingat petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian sudah mendapatkan pendampingan dan pembelajaran Hutan Rakyat Lestari dari penyuluh dan pendamping. Sedangkan untuk petani hutan rakyat non sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri belum pernah mendapatkan pendampingan atau pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Walaupun pembelajaran HRL yang diperoleh dari penyuluh dan pendamping di Wonogiri juga tergolong masih rendah dibandingkan di Gunung Kidul. Penilaian petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul termasuk ke dalam kategori “sedang” dengan skor rataan antara 50 sampai 70, sedangkan di Wonogiri termasuk dalam kategori “rendah” dengan skor rataan berkisar antara 20 dan 30. Penilaian terhadap pendekatan pembelajaran oleh petani non sertifikasi di Wonogiri adalah 0, karena semua petani yang menjadi responden belum pernah mendapatkan pembelajaran dari penyuluh atau pendamping sehingga tidak dapat memberikan penilaian terhadap pendekatan pembelajaran yang diterima. Pembelajaran mereka tentang hutan rakyat selama ini lebih banyak diwariskan turun menurun dari orang tua mereka. Penilaian terhadap pendekatan pembelajaran ini tidak terlepas dari penilaian terhadap kompetensi penyuluh dan pendamping. Menurut petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri, Penyuluh dan Pendamping sangat jarang atau bahkan tidak pernah melakukan kegiatan pembelajaran, sehingga mereka menilai “rendah”, baik kompetensi maupun pendekatan pembelajaran yang digunakan.
112
Tabel 23. Perbandingan Penilaian terhadap Pendekatan Pembelajaran Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri No 1
Pendekatan Pembelajaran Materi pembelajaran
Kategori Tidak sesuai Cukup sesuai Sesuai
Skor Rataan 2
Metoda pembelajaran
Tidak sesuai Cukup sesuai Sesuai
Skor Rataan 3
Model pembelajaran
Tidak sesuai Cukup sesuai Sesuai
Skor Rataan 4
Tahapan pembelajaran
Sulit Sedang Mudah
Skor Rataan 5
Cara pembelajaran
Tidak sesuai Cukup sesuai Sesuai
Skor Rataan
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 26 97 61 50 3 26 24 0 12 60 27 43 25 91 58 41 9 25 34 0 17 46 63 29 21 80 50 38 18 28 41 2 21 48 65 31 27 86 56 53 14 33 20 0 10 45 59 31 29 96 56 52 4 33 19 0 10 43 59 26
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 93 100 97 7 0 3 0 0 0 9 0 4 87 100 93 7 0 3 7 0 3 7 15 0 87 100 93 7 0 3 7 0 3 7 15 0 87 100 93 7 0 3 7 0 3 7 15 0 93 100 97 7 0 3 0 0 0 5 11 0
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; hutan rakyat non sertifikasi n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Tidak sesuai/sulit (0-50); Cukup sesuai/Sedang (51-75); Sesuai/Tinggi (76-100)
Mengacu pada paradigma pendekatan pembelajaran yang diharapkan dalam penelitian ini, Penyuluh dan pendamping, di kedua lokasi penelitian cenderung lebih menggunakan pendekatan “pengajaran” (teaching) dibandingkan dengan “pembelajaran” (learning). Hal tersebut dapat dilihat dari uraian lima indikator atau sub variabel materi, metode, model, tahapan dan cara pembelajaran sebagai berikut di bawah ini.
Materi Pembelajaran Penilaian petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul terhadap materi pembelajaran, dilihat dari skor rataan tergolong “cukup sesuai” dengan nilai 59, sedangkan di Wonogiri tergolong “tidak sesuai” dengan nilai 27. Hampir semua petani sertifikasi di Wonogiri (93%) menilai materi pembelajaran “tidak sesuai” karena sebagian kecil pengurus yang dilibatkan dalam pertemuan atau pelatihan
113
Hutan Rakyat Lestari sehingga petani hutan rakyat sertifikasi lainnya merasa tidak pernah terlibat dalam pembelajaran dan mendapatkan materi pembelajaran mengenai Hutan Rakyat Lestari satu kali pun, sampai dengan proses sertifikasi selesai dilaksanakan. Materi pembelajaran, di Gunung Kidul terutama yang berkaitan dengan proses sertifikasi, merupakan paket materi pelajaran yang telah disepakati bersama oleh beberapa LSM pendamping. Demikian juga dengan jenis, jumlah materi pembelajaran lebih banyak ditentukan dan disediakan oleh LSM pendamping. Materi pembelajaran Hutan Rakyat Lestari lebih diarahkan untuk mencapai target-target tertentu dalam rangka memenuhi persyaratan sertifikasi PHBML. Masyarakat tidak dilibatkan dalam menentukan materi pembelajaran yang ingin dipelajari berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari. Materi pembelajaran lebih banyak ditetapkan oleh LSM pendamping. Dengan demikian materi pembelajaran kurang dapat menjawab kebutuhan atau permasalahan riil yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Misalnya masyarakat diajarkan mengenai cara menghitung tinggi pohon, etat dan lainnya yang sulit dipahami dan masyarakat sendiri tidak mengerti keterkaitan materi pembelajaran tersebut dengan kehidupan mereka sehari-hari. Materi pembelajaran berkaitan dengan pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di kedua lokasi penelitian belum dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Misalnya masalah utama masyarakat adalah bagaimana mengatasi kebiasaan “tebang butuh”. Sebenarnya masyarakat menginginkan adanya usaha produktif lain yang dapat mengalihkan kebiasaan tebang butuh, untuk menambah penghasilan mereka selama menunggu waktu tepat untuk memanen kayu. Walaupun demikian, khususnya pada pembelajaran di Gunung Kidul, materi pembelajaran tidak secara kaku mengikuti target, pada pelaksanaannya di lapangan penyuluh dan pendamping melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan, sesuai dengan kondisi masyarakat yang dihadapi.
114
Metode Pembelajaran Terdapat perbedaan yang nyata dalam hal penilaian metode pembelajaran yang digunakan dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari antara petani di Gunung Kidul dan Wonogiri. Petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai metode yang digunakan “cukup sesuai” dengan skor rataan 63, sedangkan petani sertifikasi hutan rakyat di Wonogiri menilai “tidak sesuai” dengan skor rataan 29. Penilaian tersebut disebabkan adanya perbedaan dalam metode pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran di kedua lokasi penelitian. Metode pembelajaran di Gunung Kidul lebih banyak tatap muka, diskusi kelompok dalam pertemuan-pertemuan rutin kelompok seperti salapanan, atau tiap tanggal-tanggal tertentu. Selain pertemuan kelompok, dilakukan juga praktek di lapangan, seperti pendugaan volume kayu, pemetaan batas lahan milik dan lainnya. Namun, hanya sebagian kecil pengurus yang mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan praktek di lapangan, sebagian besar anggota tidak dilibatkan, sehingga petani hutan rakyat sertifikasi khususnya di Wonogiri menilai tidak sesuai metode pembelajaran yang digunakan. Khusus di Gunung Kidul, selain pertemuan rutin dan praktek juga dilakukan demplot pertanian organik tanaman padi, studi banding ke pertanian organik di Kaliurang yang telah berhasil. Pendekatan lainnya seperti pendekatan perorangan dilakukan oleh para penyuluh/pendamping, hanya kepada pengurus kelompok atau tokoh masyarakat dengan mengunjungi rumah maupun tempat berladang.
Penyuluh dan
pendamping sangat jarang atau bahkan tidak pernah mengunjungi anggota biasa, sehingga dapat dimaklumi bila anggota kelompok banyak yang tidak mengetahui siapa penyuluh atau pendamping yang bertugas mendampingi mereka dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari.
Model Pembelajaran Penilaian petani terhadap model pembelajaran, tidak berbeda dengan indikator lainnya, petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai model pembelajaran “cukup sesuai” dan di Wonogiri “tidak sesuai”.
Model
pembelajaran HRL di kedua lokasi sebenarnya sama, yaitu lebih banyak diskusi. Namun karena petani di Gunung Kidul memiliki kesempatan lebih banyak untuk
115
berdiskusi dengan penyuluh dan pendamping lebih banyak, maka petani di Gunung Kidul menilai model pembelajaran lebih baik dibandingkan petani di Wongiri yang sangat jarang mendapatkan kesempatan berdiskusi bahkan bertemu dengan penyuluh dan pendamping. Diskusi kelompok, dengan model komunikasi dua arah, yang paling sering dilakukan dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Sebenarnya metode diskusi ini cukup baik, namun dalam diskusi pembelajaran Hutan Rakyat Lestari masih lebih banyak didominasi oleh penyuluh dan pendamping serta pengurus kelompok. Diskusi belum banyak dapat menggali pengalaman dan kemampuan petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari.
Tahapan pembelajaran Petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai tahapan pembelajaran “sedang” dengan skor rataan 59, sedangkan petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri menilai tahapan pembelajaran “sulit” dengan skor rataan 31. Petani sertifikasi, khususnya di Gunung Kidul menilai tahapan pembelajaran relatif mudah diikuti dan jelas, walaupun begitu mereka merasakan banyak waktu yang dibutuhkan, dan tenaga yang dicurahkan terutama pada proses pengajuan usulan sertifikasi. Petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri menilai “sulit” karena sebagian besar petani Hutan Rakyat Lestari tidak terlalu paham mengenai tahapan pembelajaran tersebut dan hanya beberapa pengurus yang terlibat dalam proses pembelajaran. Tahapan pembelajaran dengan menggunakan paham “trickle down effect”, dengan asumsi pengurus terlebih dahulu diikutkan dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, dan berharap akan menyebarluaskan materi yang telah didapat oleh pengurus kepada anggota lainnya, tetapi ternyata proses penyebarluasan materi pembelajaran atau informasi kepada anggota tidak berjalan dengan baik. Pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, khususnya di Wonogiri tidak dahului dengan proses penyadaran masyarakat akan pentingnya sertifikasi, bahkan lebih cenderung provokatif dengan menekankan “peningkatan harga jual kayu yang tinggi”. Oleh karena itu, pada waktu penelitian ini dilakukan, banyak masyarakat
116
yang kurang paham mengenai sertifikasi, bahkan ironisnya ada beberapa responden yang tidak mengetahui bahwa hutan mereka telah memperoleh sertifikasi. Pada sisi lain, masyarakat merasa ‘ditipu” oleh LSM pendamping karena janji peningkatan harga jual kayu yang tinggi tidak mereka dapatkan.
Cara Pembelajaran Penilaian petani hutan rakyat sertifikasi terhadap cara pembelajaran di Gunung Kidul tergolong “cukup sesuai” dengan skor rataan 59, sedangkan di Wonogiri tergolong ”tidak sesuai” dengan skor rataan 26. Cara pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat Lestari - sertifikasi baik di Gunung Kidul dan Wonogiri selain menggunakan pertemuan kelompok, juga menerapkan praktek di lapangan. Walaupun banyak kegiatan di lapangan (learning by doing), namun sangat disayangkan belum banyak menggali pengalaman dan kapasitas petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Dengan demikian kurang menerapkan experiental learning, yang didasarkan pada pengalaman petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Misalnya, petani sebenarnya sudah punya cara tradisional dalam menentukan tinggi dan volume kayu, tanpa menggunakan peralatan canggih. Namun, karena kebutuhan pemenuhan persyaratan sertifikasi, maka yang digunakan
adalah
cara-cara
dengan
standar
yang
berlaku
tanpa
mempertimbangkan dan mengadopsi kearifan masyarakat. Mengacu pada paradigma pendekatan pembelajaran yang diharapkan, khususnya cara pembelajaran, lebih cenderung mendekati paedagogi daripada andragogi. Alasan paling mendasar adalah dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari, masyarakat petani lebih ditempatkan sebagai obyek, sasaran pembelajaran sertifikasi, dan tidak dilibatkan sejak awal proses pembelajaran sampai dengan mengevaluasi hasilnya. Pengalaman dan ketrampilan mereka dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari kurang mendapat perhatian, kearifan mereka dalam melakukan pengukuran dan lainnya kurang mendapat perhatian. Pembelajaran lebih berorientasi pada kepentingan pihak-pihak lain yang terlibat, dan kurang berorientasi pada kebutuhan dan pemecahan permasalahan yang dihadapi petani.
117
Kelembagaan Masyarakat Terdapat perbedaan nyata antara penilaian kelembagaan masyarakat oleh petani hutan rakyat sertifikasi dengan non sertifikasi di kedua kabupaten pada taraf uji 0,05. Penilaian kelembagaan masyarakat oleh petani hutan rakyat sertifikasi di kedua kabupaten bervariasi pada tujuh indikatornya. Penilaian paling tinggi di kedua kabupaten tersebut ialah pada indikator kepemimpinan dengan skor rataan 77, sedangkan indikator terendah ialah penegakan sanksi dengan skor rataan 45.
Sedangkan penilaian kelembagaan masyarakat oleh petani non
sertifikasi di kedua kabupaten berada pada kategori rendah dengan skor rataan antara 14 – 33. Kepemimpinan baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri dinilai ”sesuai harapan” oleh petani hutan rakyat sertifikasi dalam mendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Salah satu alasan mendasar ialah sebagian besar pengurus kelompok tani adalah tokoh masyarakat dan aparat yang dipercaya dan menjadi panutan masyarakat. Dengan demikian pemimpin kelompok, yang juga menjadi pemimpin di masyarakat sangat mendukung dan menjadi bagian dalam pembelajaran dan pengembangan Hutan Rakyat Lestari di masyarakat tersebut. Sanksi, yang dikenakan kepada setiap pelanggaran, bukan saja kurang ditegakkan dengan baik, tetapi juga kurang dipahami oleh masyarakat. Sanksisanksi tersebut baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri umumnya tidak tertulis dan kurang disosialisasikan dalam masyarakat, sehingga tidak dapat diwariskan secara turun temurun dan akhirnya menghilang. Oleh karenanya penilaian terhadap penegakan sanksi di kedua lokasi penelitian adalah ”tidak ada”. Kenyataan menarik lainnya ialah penilaian kelembagaan masyarakat pada petani non sertifikasi di Gunung Kidul cukup baik, yaitu empat kategori termasuk pada kategori sedang sedangkan dua kategori lainnya mendekati sedang (skor rataan 48 – 50). Sedangkan pada petani hutan rakyat non sertifikasi di Wonogiri termasuk pada kategori rendah bahkan sangat rendah, karena menilai 0 pada empat indikator, sedangkan tiga indikator lainnya pada kategori ”rendah” ( skor rataan 4 – 14). Kondisi ini menunjukkan bahwa kelembagaan masyarakat di Gunung Kidul masih cukup kuat mengakar, sekalipun pada masyarakat yang
118
belum mendapatkan pendampingan atau pembelajaran Hutan Rakyat Lestari. Sedangkan di Wonogiri relatif kurang cukup mengakar pada masyarakatnya, hanya pada masyarakat yang telah mendapatkan pendampingan Hutan Rakyat Lestari, kelembagaan masyarakat relatif lebih baik. Tabel 24. Perbandingan Penilaian terhadap Kelembagaan Masyarakat oleh Petani Hutan Rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri
No 1
Karakteristik Kejelasan norma
Kategori
31
41
36
20
100
60
Cukup jelas
44
44
44
70
0
35
15
20
10
0
5
a
58
57
0
29
Jelas Tidak tegas
36
73
54
67
100
83
Cukup tegas
35
23
29
33
0
17
Tegas
29
4
16
0
0
0
56
34
45
29
0
14
Tidak mendukung
28
53
40
50
100
75
Cukup mendukung
58
44
51
50
0
25
Mendukung
14
3
8
0
0
0
Konfirmasi
61
54
57
49
0
25
Toleransi terhadap nilai
Tidak toleran
14
24
19
40
100
70
Cukup toleran
57
67
62
60
0
30
baru
Toleran
29
9
19
0
0
0
69
60
65
51
0
26
Kesesuaian
Tidak sesuai
16
34
25
53
97
75
tujuan
Cukup Sesuai
51
40
45
40
3
22
Sesuai
33
26
29
7
0
3
67
60
63
48
4
26
Tidak sesuai
5
12
8
47
97
72
Cukup sesuai
29
41
35
47
3
25
Sesuai
66
47
56
7
0
3
80
73
77
50
14
32
Skor Rataan 6
7
57
sanksi
Skor Rataan 5
a
Penegakkan
Skor Rataan 4
25 60
Skor Rataan 3
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Tidak jelas
Skor Rataan 2
Hutan Rakyat Lestari sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Kepemimpinan
Skor Rataan Keterkaitan antar
Tidak sesuai
9
19
14
50
97
73
bagian dalam
Cukup sesuai
57
50
53
40
3
22
kepengurusan
Sesuai
34
31
32
10
0
5
70
65
68
54
12
33
Skor Rataan
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200;hutan rakyat non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Angka yg diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 0,05 (uji perbedaan nilai rataan t-test) - Skor Rataan:Tidak sesuai/tegas/mendukung (0-50);Cukup sesuai/tegas/mendukung (51-75); Sesuai/tegas/mendukung (76-100)
Kelembagaan masyarakat berkaitan dengan hutan rakyat di kedua lokasi penelitian tidak terlalu berbeda bentuknya, yaitu adanya aturan-aturan, nilai, kesepakatan dalam masyarakat berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat.
119
Aturan-aturan tersebut ada yang tidak tertulis, namun telah dijalankan turun temurun sejak awal pengelolaan hutan rakyat misalnya aturan melakukan penanaman dan pemeliharaan pohon sampai hidup segera setelah melakukan penebangan. Di tiap lokasi penelitian ditemui aturan ini, baik tertulis maupun tidak tertulis, namun jumlah pohon yang ditanam bervariasi ada yang menetapkan lima pohon, sepuluh pohon dan lainnya. Demikian juga dengan sanksi, ada sanksi yang tertulis maupun tidak tertulis namun terus diwariskan turun temurun seperti sanksi bagi masyarakat yang tidak melakukan penanaman setelah penebangan, biasanya sanksi ditetapkan dengan membayar denda. Namun baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri sanksi ini tidak secara tegas dilaksanakan. Sedangkan kelembagaan ditinjau dari sisi organisasi yang berkaitan dengan hutan rakyat, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri terdapat organisasi petani pengelola hutan rakyat. Keberadaan organisasi Kelompok Tani di Wonogiri relatif lebih lama, yaitu dibentuk kurang lebih pada tahun 1970, yang dibentuk bersamaan dengan pengembangan hutan rakyat secara swadaya, khususnya Kelompok Tani Percabaan di Dusun Pagersengon, Desa Selopuro, Kec. Batuwarno, Wonogiri. Kelompok tani ini menjadi pelopor gerakan penanaman tanaman kayu-kayuan di Desa Selopuro. Kelompok tani ini sampai dengan saat ini masih berjalan dengan baik. Seiring dengan perkembangan sertifikasi hutan rakyat, dibentuklah organisasi baru yaitu Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) yang merupakan gabungan dari kelompok tani-kelompok tani yang ada di tiap dusun.
Namun, sebagaimana biasanya pembentukan organisasi atau
kelompok oleh pihak luar, dalam hal ini LSM yang tidak benar-benar berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat, akhirnya kurang berjalan dengan baik. Sekalipun FKPS ini telah memiliki visi dan misi yang sangat jelas. Sebagian kelompok tani di Gunung Kidul baru dibentuk dan didampingi berkaitan dengan penguatan kelompok, yaitu program Rancang Bangun Unit Manajemen HRL. Khususnya untuk kelompok tani di Desa Dengok, Kec. Playen dan Desa Giri Sekar, Kec. Panggang. Sedangkan di Desa Kedungkeris, kelompok Tani lebih relatif lebih lama dibentuk yaitu kurang lebih pada tahun 1990 dan masih berjalan dengan baik, walaupun lebih kepada arisan simpan pinjam,
120
misalnya KTHR Ngudi Makmur yang dibentuk pada tahun 1996, dimana pertemuan masih berjalan setiap Senin Legi. Selain kelompok tani yang dibentuk di tiap dusun, terdapat Gabungan Kelompok Manunggal Lestari,
yang mewadahi kelompok-kelompok tani di
wilayah tersebut, khususnya berkaitan dengan pengajuan sertifikasi. Berkaitan dengan pemasaran dan lainnya, di Gunung Kidul telah dibentuk Koperasi Wana Manunggal Lestari dengan Akte Notaris No.31 tanggal 21 September 2006. Keanggotan koperasi ini adalah semua anggota kelompok tani secara otomatis menjadi anggota. Untuk memperlancar koordinasi dengan ketiga desa, maka kepengurusan koperasi ditetapkan dengan melibatkan tokoh atau pengurus dari tiga desa sebagai perwakilan. Organisasi kelompok tani di kedua lokasi penelitian dibentuk dengan pola organisasi modern, namun belum dapat dijalankan layaknya sebuah organisasi modern. Sudah ada aturan tertulis AD/ART, sudah ada pembagian tugas, namun belum dijalankan dengan benar. Dari segi kepemimpinan, hampir semua ketua kelompok tani hutan rakyat, baik di Gunung Kidul dan Wonogiri adalah tokoh masyarakat seperti kepala Dusun dan ketua RT/RW. Dengan demikian ada nilai plus dan minus berkaitan dengan kepemimpinan model seperti itu. Masyarakat di kedua lokasi penelitian menilai arisan dan Kelompok Tani atau KTHR sebagai organisasi non formal yang paling berpengaruh dalam pembelajaran masyarakat tentang hutan rakyat lestari. Keberadaan FKPS, Paguyuban Kelompok Tani dan Koperasi belum berperan sebagaimana mereka kehendaki.
Kejelasan Norma Norma atau nilai-nilai berlaku dan diyakini dalam masyarakat di kedua lokasi penelitian dinilai ”cukup jelas” oleh responden, terutama berkaitan dengan aturan tidak tertulis, hal ini ditunjukkan dengan skor rataan 58, yang termasuk pada kategori ”cukup jelas”. Masyarakat memahami adanya aturan penanaman setelah penebangan, dan aturan menunda penebangan kayu-kayu yang kurang dari diameter 15 cm. Masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri cukup memahami dengan baik, dan mentaatinya. Tidak ada perbedaan nyata antara masyarakat
121
Gunung Kidul dan Wonogiri dalam persepsi terhadap kejelasan norma berkaitan dengan Hutan Rakyat Lestari di wilayah mereka. Beberapa aturan tersebut kemudian dijadikan aturan tertulis di beberapa kelompok tani, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri. Beberapa responden menyatakan bahwa adanya perubahan perilaku masyarakat dalam menebang kayu setelah adanya aturan tertulis yang disusun bersama dan disosialisasikan dalam pertemuan kelompok khususnya dalam penebangan pohon-pohon yang masih muda. Sesuai dengan progam Rancang Bangun UMHRL dalam mempersiapkan unit manajemen pengelolaan HRL, kelompok tani di Gunung Kidul telah memiliki AD/ART, misalnya Paguyuban Pengelola Hutan Rakyat (PPHR) Ngudi Lestari di Desa Dengok yang dibentuk pada tanggal 18 Desember 2004. PPHR Ngudi Lestari telah menyusun aturan internal pada dua kali pertemuan dan telah disahkan pada tanggal 28 Januari 2005. Aturan internal itu antara lain adalah aturan keuangan simpan pinjam. Forum Komunitas Petani Sertifikasi (FKPS) di Wonogiri, yang dibentuk sebagai unit manajemen pengelola hutan rakyat berlingkup desa/kelurahan, merupakan wadah gabungan kelompok tani yang lebih kecil, yang berada di dusun. FKPS dibentuk sebagai salah satu persyaratan dalam pengajuan sertifikasi, bukan atas dasar kebutuhan masyarakat. Walaupun sudah memiliki kepengurusan yang jelas, visi dan misi yang jelas, dan ada pembagian tugas yang jelas, FKPS tidak dapat berjalan baik, bahkan menjadi pemicu timbulnya kecemburuan sosial di Desa Selopuro, Kec. Batuwarno.
Penegakan Sanksi Penegakkan sanksi pada suatu pelanggaran terhadap aturan yang telah disepakati bersama, di Gunung Kidul dinilai ”cukup tegas” dengan skor rataan 56 sedangkan di Wonogiri termasuk kategori ’tidak tegas” dengan skor rataan 34. Sebagian besar responden di Wonogiri menyatakan tidak mengetahui adanya sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam pengelolaan hutan rakyat. Ketidaktahuan masyarakat tersebut dapat disebabkan beberapa alasan, di antaranya adalah karena kurangnya sosialisasi, atau karena kurang ditegakkannya sanksi tersebut, sehingga
122
lama kelamaan ’luntur’ tergerus oleh waktu, sekalipun sanksi tersebut merupakan aturan yang telah diwariskan turun-temurun. Sebagai contoh di Wonogiri, khususnya di Dusun Pagersengon, ada sanksi tidak tertulis, yang telah berlaku sejak awal pembentukan kelompok tani. Di antaranya ialah bagi anggota kelompok tani yang menebang pohon sebelum mencapai umur tertentu, yaitu berupa keharusan menanam 60 bibit tanaman keras dan memeliharanya sampai tumbuh. Selain itu sanksi dikenakan bagi mereka yang tidak mengelola lahannya, sanksi dikenakan dengan pengelolaan lahan oleh kelompok dan hasilnya dibagi antara pemilik dan kelompok. Dalam prakteknya sanksi tersebut tidak dilaksanakan dengan tegas, seringkali diganti dengan sanksi lain seperti kewajiban membayar kas desa atau lainnya.
Konformitas Tingkat konformitas petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi tergolong ”cukup mendukung” dengan skor rataan 61 dan 57. Masyarakat petani pengelola hutan rakyat, baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri masih memegang aturan-aturan atau nilai-nilai tradisi yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya sambatan, yaitu gotong royong dalam membersihkan lahan untuk penanaman, membangun rumah, dan lainnya. Rukun jagong, yang tetap dijalankan oleh warga di kedua loaksi penelitian walaupun seringkali memberatkan.
Rukun
menyelenggarakan
jagong
hajatan
yaitu
(khitanan,
acara
bersama
pernikahan,
menghadiri
kelahiran,
dan
kematian,
membangun dan memperbaiki rumuh), dengan sukarela warga memberikan bantuan dalam bentuk uang. Acara sosial ini tetap terus dijaga sebagai pengikat kohesivitas anggota kemasyarakatan. Walaupun tergolong desa yang cukup maju, masyarakat di Gunung Kidul maupun Wonogiri masih menjaga nilai-nilai budaya masyarakat, dan tetap sedia mematuhi aturan-aturan atau nilai-nilai yang telah diwarisi turun temurun. Baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri berlaku juga kegiatan ”bersih desa” yaitu bersama-sama melakukan pembersihan lingkungan tempat tinggal, tegalan, maupun pekarangan di lingkungan dusun. Misalnya di Dusun Sudan, Desa Selopuro, Kec. Batuwarno, Wongiri, masyarakat petani secara sukarela
123
mengikuti kegiatan ”bersih desa” setiap hari Jumat. Kegiatan ini juga dijadikan sarana untuk mempererat hubungan sesama warga dusun, menjalin komunikasi, dan menyebarkan informasi di antara masyarakat lingkungan/dusun.
Toleransi Tingkat toleransi masyarakat di kedua lokasi penelitian tergolong “cukup toleran” dengan skor rataan 69 dan 60. Masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri walaupun memiliki tingkat konformitas yang cukup tinggi, namun juga cukup mudah menerima nilai-nilai baru, khususnya yang membawa kemajuan untuk mereka. Masyarakat Gunung Kidul menilai bahwa segala program Pemerintah pasti baik untuk mereka sehingga mereka dengan mudah dapat menerima segala bentuk campur tangan Pemerintah, termasuk yang berkaitan dengan pengembangan hutan rakyat. Sebaliknya mereka juga dapat mengurangi atau menghapuskan secara perlahan-lahan kebiasaan-kebiasaan turun temurun yang dinilai kurang baik oleh masyarakat sendiri. Sebagai contoh di Desa Kedungkeris, dikemukakan oleh salah seorang pamong, tokoh masyarakat yang juga menjadi pengurus KTHR Ngudi Rahayu, bahwa adanya kebiasaan untuk memberikan natura kepada yang sedang melaksanakan kenduri beberapa tahun belakangan telah diganti dengan pemberian bantuan berupa uang, karena dinilai lebih praktis oleh masyarakat. Awal mulanya agak sulit, tetapi seiring dengan berjalannya waktu masyarakat mau mengubahnya karena dinilai lebih praktis. Kesesuaian Tujuan Masyarakat di kedua lokasi penelitian menilai “cukup sesuai” pencapaian tujuan organisasi kelompok tani sampai dengan saat ini. Keberadaan kelompok tani saat ini lebih sebagai wadah untuk arisan, pertemuan rutin tetap berjalan tetapi tidak lagi menjadi wadah pembelajaran, tukar menukar informasi dan pengalaman, pembahasan permasalahan yang dihadapi petani dan lainnya. Kelompok tani yang ada, khususnya di Wonogiri, tidak lagi mendapatkan pendampingan atau pembinaan dari Pemerintah maupun LSM. Dengan demikian tujuan kelompok tani, visi dan misi yang telah ditetapkan dan dituangkan dalam AD/ART organisasi tidak lagi diperjuangkan bersama untuk pencapaiannya.
124
Lebih memprihatinkan lagi keberadaan FKPS di Desa Selopuro, yang mempunyai tugas melakukan pengawasan dan koordinasi KPS-KPS yang ada di dalamnya dan menyelesaikan persoalan yang timbul antar KPS, justru keberadaannya menimbulkan permasalahan di lingkungan petani. Kondisi demikian dapat menjadi gambaran bahwa organisasi modern “bentukan” LSM Pendamping yang dibentuk semata-mata hanya untuk memenuhi persyaratan, dengan segala stuktur dan aturan-aturannya, dan tanpa didahului oleh proses penyadaran masyarakat, ternyata tidak dapat mengakar di masyarakat, khususnya di Wonogiri. Tujuan, visi dan misi yang baik, hanyalah sebatas di atas kertas dan tidak menjadi
pemacu semangat bagi masyarakat untuk
memperjuangkannya. Kepemimpinan Ada perbedaan penilaian kepemimpinan dalam organisasi atau kelompok pengelola hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri. Masyarakat di Gunung Kidul menilai kepemimpinan “sesuai harapan” dengan skor rataan 80, sementara masyarakat di Wonogiri menilai kepemimpinan “cukup sesuai harapan” dengan skor rataan 73. Pemimpin dalam organisasi atau kelompok pengelola hutan rakyat sebagian besar adalah aparat pemerintah, seperti Kepala dusun, Ketua RT/RW. Dari sepuluh kelompok tani yang menjadi responden penelitian ini, enam ketua kelompok merangkap aparat desa. Sementara empat kelompok lainnya, diketuai mantan PNS dan guru, yang juga merupakan tokoh masyarakat. Sebenarnya ketua atau pemimpin kelompok dipilih oleh anggota, hanya biasanya mereka memilih orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan, kemauan dan kemampuan bekerja, stasus sosial dan posisinya dalam masyarakat sehingga tidak mengherankan bila aparat desa yang terpilih. Perangkapan jabatan tersebut di satu sisi menguntungkan karena memudahkan akses kelompok tani dengan pihak luar, seperti instansi pemerintah, pedagang, dan lainnya, serta kemudahan masuknya program dan bantuan pemerintah dalam berbagai bidang. Sebagai contoh adalah
Kelompok Tani
Makmur, di Desa Sendowo Kidul, Kec, Nglipar, Gunung Kidul, ketua kelompok selain Kepala Dusun juga sebagai Kontak Tani Nasional Andalan (KTNA)
125
sehingga sudah beberapa kali mendapatkan bantuan dari Dinas Pertanian, berupa pembangunan lumbung desa maupun fasilitasi jalan produksi. Demikian juga dengan kegiatan hutan rakyat menjadi lebih berkembang dan program sertifikasi tidak menemui banyak kendala di masyarakat karena didukung oleh ketua kelompok yang adalah aparat desa atau tokoh masyarakat. Di sisi lain perangkapan jabatan tersebut akan mempengaruhi gaya kepemimpinan, sehingga cenderung ke arah birokratis dan kurang demokratis. Namun, dilihat dari persepsi dan penilaian responden
petani hutan rakyat
khususnya di Gunung Kidul yang memberikan penilaian tinggi untuk kepemimpinan sehingga kelihatannya masyarakat Gunung Kidul puas dengan kepemimpinan dalam kelompok tani sampai dengan saat ini. Sementara di Wonogiri adanya ketidakpuasan terhadap kepemimpinan lebih cenderung kepada kepemimpinan FKPS, bukan terhadap kepemimpinan dalam Kelompok Tani, sehingga penilaian terhadap kepemimpinan kelompok tani masih dinilai “cukup sesuai harapan”.
Keterkaitan antar bagian Baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri, telah disusun kepengurusan kelompok tani dengan pembagian tugas yang cukup jelas. Minimal terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara, sementara keberadaan bagian lain berbeda antara kelompok yang satu dengan lainnya, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Struktur organisasi berikut susunan nama pengurus bahkan di lima kelompok tani, dari sepuluh kelompok tani yang diteliti, terpampang di sekretariat kelompok, yang merupakan rumah ketua kelompok. Dengan demikian semua anggota tahu dengan pasti kepengurusan dan tugas-tugasnya. Pada lima kelompok tani lainnya, tidak terdapat papan struktur organisasi tetapi susunan kepengurusan semua terdapat di dalam AD/ART. Walaupun sudah ada pembagian tugas yang sangat jelas, bahkan tertuang di AD/ART, namun kelihatannya belum ada keterkaitan dalam melaksanakan tugas pengelolaan hutan rakyat. Bahkan untuk beberapa kelompok tani khususnya di Wonogiri kelihatannya hanya sekedar tertera dalam AD/ART, tanpa diketahui dengan jelas tugas masing-masing pengurus.
126
Kelembagaan Pendukung Pembelajaran Terdapat perbedaan nyata dalam penilaian kelembagaan pendukung pemebelajaran oleh petani hutan rakyat sertifikasi dengan petani hutan rakyat non sertifikasi di kedua kabupaten. Tiga indikator dari empat indikator kelembagaan pendukung pembelajaran di kedua kabupaten dinilai “cukup sesuai” oleh petani sertifikasi, sedangkan petani non sertifikasi di kedua kabupaten menilai “tidak sesuai” semua indikator kelembagaan pendukung pembelajaran. Bahkan petani non sertifikasi di Wonogiri menilai tiga kategori dengan ‘0’, artinya sangat rendah karena memang mereka belum pernah mendapatkan dukungan kegiatan, fasilitas dan personil dari kelembagaan pendukung pembelajaran mana pun, baik pemerintah, LSM maupun Perguruan Tinggi. Bila dikaji lebih dalam, ternyata terdapat perbedaan nyata antara penilaian petani hutan rakyat sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Skor rataan penilaian petani sertifikasi di Gunung Kidul terhadap dukungan kelembagaan pendukung pembelajaran eksternal berkisar antara 63–72 (tergolong ”cukup sesuai”), sedangkan skor rataan di Wonogiri berkisar antara 33-37 (tergolong ”tidak sesuai”).
Perbedaan mendasar yang membedakan pembelajaran Hutan Rakyat
Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri adalah sinergitas kelembagaan pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul direncanakan, dilaksanakan, dipantau dan dievaluasi secara terpadu oleh suatu Kelompok Kerja, yang dinamakan POKJA Hutan Rakyat Lestari yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Bupati Kabupaten Gunung Kidul. Pokja, yang ditetapkan pada tanggal 20 September 2005 tersebut, terdiri dari berbagai kalangan, baik pemerintah daerah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan masyarakat petani. Pokja dibentuk berdasarkan pemikiran bahwa pengelolaan hutan rakyat secara lestari harus dilakukan secara efektif, efisien, terintegrasi dan sinkron dengan pembangunan sektor lainnya dan berwawasan lingkungan. Lembaga pendukung pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul yang dinilai berpengaruh oleh masyarakat Gunung Kidul ialah Pusat Kajian Hutan
127
Rakyat (PKHR) – Universitas Gadjah Mada (UGM), Dinas Kehutanan Kabupaten Gunung Kidul, LSM Shorea, dan LSM Arupa.
Tabel 25. Perbandingan Penilaian terhadap Kelembagaan Pendukung Pembelajaran oleh Petani Hutan Rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri
No 1
Kelembagaan Pendukung Pembelajaran petani
Kategori Tidak Sesuai
11
58
34
27
97
62
Nilai
Cukup Sesuai
55
36
45
50
3
27
Sesuai
34
6
20
23
0
12
67
37
52
60
14
37
Dukungan
Tidak sesuai
9
83
46
70
100
85
kegiatan
Cukup sesuai
58
16
37
23
0
12
Sesuai
33
1
17
7
0
3
72
34
53
35
2
19
Skor Rataan 3
Dukungan
Tidak sesuai
17
91
54
97
100
98
fasilitas
Cukup sesuai
62
9
35
3
0
2
Sesuai
21
0
10
0
0
0
63
33
48
23
2
12
Tidak sesuai
13
87
50
93
100
97
Cukup sesuai
55
13
34
7
0
3
Skor Rataan 4
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Kesesuaian
Skor Rataan 2
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Dukungan personil
Sesuai Skor Rataan
32
0
16
0
0
0
69
34
52
17
2
9
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Tidak sesuai (0-50); Cukup sesuai (51-75); Sesuai (76-100)
Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Gunung Kidul dibentuk berdasarkan Peraturan Bupati Gunung Kidul Nomor 186 Tahun 2008 memiliki tugas pokok menyelenggarakan urusan rumah tangga Pemda di bidang kehutanan dan perkebunan. Sedangkan fungsinya antara lain : penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang kehutanan dan perkebunan, perumusan kebijakan teknis di bidang kehutanan dan perkebunan, pelaksanaan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air; pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemanfaatan hutan hak dan hutan kemasyarakatan; pembinaan dan pengendalian usaha di bidang kehutanan dan perkebunan. Visi Dishutbun sampai dengan tahun 2011 ialah: “Terwujudnya Sumberdaya Kehutanan dan Perkebunan yang Lestari dan Berdaya Saing untuk peningkatan Kesejahteraan Masyarakat” Visi tersebut dijabarkan dalam misi: (1) Merehabilitasi lahan kritis dan potensial kritis; (2)
128
Mewujudkan perlindungan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; (3) Mewujudkan peningkatan produksi, produktivitas, nilai tambah dan daya saing produk kehutanan dan perkebunan; (4) Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana serta SDM kehutanan dan perkebunan; dan (5) Meningkatkan kerjasama dan koordinasi baik intern dinas maupun dengan stakeholders. PKHR dibentuk pada tahun 2000, sebagai salah satu langkah yang dilakukan Fakultas Kehutanan UGM dalam mengembangkan kegiatan dan program berkaitan dengan social forestry dan community forestry. PKHR melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan pemberdayaan community forestry di Indonesia. PKHR telah melakukan kegiatan penelitian di lapangan mengenai hutan rakyat, model pengelolaan khepong, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
(PHBM),
rancang
bangun
sosial
dalam
program
Hutan
Kemasyarakatan (HKm), rancang bangun unit manajemen Hutan Rakyat. Untuk meningkatkan
kapasitas
staf
dilakukan
pelatihan,
lokakarya,
penelitian,
pengembangan pendidikan staf, dan lainnya. Sedangkan dalam pemberdayaan masyarakat, dilakukan kegiatan pengembangan pelatihan dan pemberdayaan masyarakat desa hutan rakyat; pemetaan partisipatif areal hutan rakyat, pelatihan dan lokakarya peningkatan manajemen hutan rakyat untuk dinas/instansi terkait, mendorong dan memfasilitasi proses pengajuan sertifikasi untuk pengelolaan hutan rakyat; dan pengembangan pelatihan dan pemberdayaan masyarakat dan LMDH. Yayasan
Shorea
merupakan
lembaga
swadaya
masyarakat
yang
memberikan perhatian pada pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Kegiatan yang dilakukan Shorea antara lain pendampingan masyarakat, advokasi kebijakan, penelitian dan pengembangan, pelayanan konsultasi dan informasi, pelayanan pendidikan dan pelatihan, pengembangan bisnis ekonomi, dan menjalin kerjasama dengan lembaga lain yang mempunyai visi dan tujuan yang sama dengan Shorea. Program-program yang sedang dijalankan sampai dengan penelitian dilakukan ialah penguatan hutan rakyat bersertifikat, penguatan dan pengembangan HKm, pengembangan Hutan Tanaman Rakyat dan Hutan Desa, pengembangan Hutan Kota dan Hutan Konservasi.
129
Lembaga Arupa merupakan LSM/NGO yang bergerak di bidang pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Organisasi ini dibentuk oleh alumni muda Fakultas Kehutanan UGM dengan dilandasi semangat untuk melakukan koreksi kritis atas problematika pengelolaan sumberdaya alam pada umumnya dan secara khusus sumber daya hutan. Visi Arupa ialah terwujudnya masyarakat sipil yang berdaya secara ekonomi-sosial-politik: untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang adil, lestari, demokratis dan berkelanjutan, menuju kesejahteraan masyarakat. Misi Arupa : (1) pemberdayaan
masyarakat
desa
hutan
untuk
mewujudkan
pengelolaan
sumberdaya hutan berbasis masyarakat; (2) mengembangkan sistem pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat melalui studi, penguatan kelembagaan lokal dan pendampingan masyarakat; (3) melakukan advokasi kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan yang devolutif, aspiratif dan partisipatif dengan landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan; (4) menumbuhkembangkan alternatif usaha ekonomi rakyat menuju pemberdayaan masyarakat sipil; dan (5) penyelamatan sumberdaya hutan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Berbeda dengan Gunung Kidul, lembaga pendukung pembelajaran Hutan Rakyat
Lestari
(sertifikasi)
di
Wonogiri
yang
berpengaruh,
walaupun
pengaruhnya tidak terlalu besar, menurut masyarakat ialah Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Wonogiri serta Perhimpunan untuk Studi dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (PERSEPSI). Dishutbun Kab. Wonogiri dibentuk sesuai dengan Perda Kab.Wonogiri Nomor 11 Tahun 2008, memiliki tugas pokok fungsi sesuai Peraturan Bupati nomor 20 Tahun 2008 yaitu melaksanakan urusan pemerintahan bidang kehutanan, dan perkebunan berdasarkan azaz otonomi daerah dan tugas pembantuan. Sedangkan fungsinya antara lain: perumusan kebijakan teknis dan perencanaan program kerja bidang kehutanan dan perkebunan; penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan dan perkebunan; pembinaan dan fasilitasi bidang kehutanan dan perkebunan lingkup kabupaten dan lainnya. Visi Dishutbun Wonogiri sampai dengan tahun 2010 ialah: ”Terwujudnya Sistem Pengelolaan Kehutanan dan Perkebunan secara Lestari, Tangguh, Mandiri
130
yang Berdaya saing Guna Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat” Visi dimaksud dituangkan dalam misi, antara lain: (1) menjamin keberadaan hutan dan lahan perkebunan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; (2) mengoptimalkan aneka fungsi hutan, lahan dan ekosistem perairan yang berfungsi untuk konservasi, lindung dan produksi guna mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari; (3) Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS); dan (4) Mendorong peran serta masyarakat dan penumbuhan kelembagaan dalam upaya pemberdayaan petani perkebunan dan masyarakat hutan dan lainnya. Berbeda dengan Gunung Kidul, Dishutbun Wonogiri masih mencakup tugas yang berkaitan dengan pembinaan masyarakat, antara lain mendorong peran serta masyarakat dan penumbuhan kelembagaan dalam upaya pemberdayaan petani perkebunan dan masyarakat hutan. Tugas ini tidak lepas dari keberadaan para penyuluh / tenaga fungsional kehutanan dan perkebunan yang terdapat dalam struktur organisasi Dishutbun. Berbeda dengan Wonogiri, tenaga fungsional penyuluh kehutanan di Gunung Kidul telah dialihkan ke Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP). PERSEPSI tumbuh dari program LP3ES di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah sejak tahun 1979 dan berdiri sebagai organisasi mandiri sejak tahun 1993. Keanggotan PERSEPSI terdiri dari para ilmuwan dan praktisi dalam bidang ekonomi dan sosial. Lembaga ini bersifat indipenden, nirlaba, non partisan dan non pemerintah. Nilai-nilai yang dianut PERSEPSI ialah keadilan, kebebasan, demokrasi, kesetaraan, solidaritas dan kelestarian. Prinsip dasar PERSEPSI adalah partisipasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, keberpihakan yang rasional, keragaman, kemandirian, kebersamaan, keberlanjutan, transparansi, akuntabilitas dan berwawasan lingkungan. Visi PERSEPSI ialah: terwujudnya masyarakat sejahtera, makmur dan merata, dengan tatanan kehidupan yang demokratis, berkeadilan gender, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Visi tersebut dijabarkan ke dalam misi: (1) mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan gender dan bertumpu pada sumberdaya lokal; (2) meningkatkan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya politik, ekonomi dan budaya; (3) meningkatkan kesadaran dan peran masyarakat
131
sipil melalui pendidikan kritis dan advokasi; dan (4) meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Kesesuaian Nilai Menurut sejarah hutan rakyat, sekitar tahun 1950 ada perbedaan nilai hutan dan kayu antara masyarakat dengan pemerintah. Pada saat itu masyarakat dilarang menanam tanaman kayu-kayuan, khususnya jati karena sebagai pengelola hutan negara, Dinas Kehutanan tidak ingin mendapatkan kesulitan dalam memantau peredaran kayu di wilayahnya. Misalnya, jika ada kelompok masyarakat yang menanam jati di lahan milik sementara jati juga ditanam di hutan negara akan menyulitkan mengidentifikasi asal kayu tersebut. Sehingga masyarakat menanam tanaman kayu-kayuan secara sembunyi-sembunyi. Perbedaan nilai hutan dan kayu pada saat itu menyebabkan masyarakat begitu sulit memasuki kawasan hutan negara, yang berada di lingkungan tempat tinggal mereka. Pada saat itu pemerintah menilai hutan sebagai kawasan konservasi yang harus dilindungi, termasuk dari masyarakat yang dianggapnya sebagai ancaman terhadap hutan. Saat ini sudah ada kesesuaian nilai hutan dan kayu bagi masyarakat dengan Dinas Kehutanan. Bahkan di Gunung Kidul lahan hutan negara yang dikelola Dinas Kehutanan Propinsi, yang pada saat ini ditanami dengan tanaman kayu putih, dapat juga dikelola oleh masyarakat dengan menanami lahan ”bahon” tersebut dengan tanaman pangan. Dengan demikian masyarakat, khususnya di Gunung Kidul lebih senang menanami pekarangan mereka dengan tanaman kayu-kayuan, sementara untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka menanam tanaman palawija di ’bahon”. Dengan pola Hutan Kemasyarakatan (HKm) ini Dinas Kehutanan mendapat keuntungan dengan terpeliharanya tanaman kayu putih, dan masyarakat dapat ikut menggunakan lahan negara ”bahon” untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Hutan dan kayu mempunyai nilai yang sangat penting bagi masyarakat Gunung Kidul maupun Wonogiri, baik nilai ekonomis maupun ekologis. Bernilai ekonomi, karena hutan dan kayu merupakan tabungan maupun sumber pendapatan, yang berguna baik bagi generasi saat ini maupun bagi generasi yang akan datang.
Kayu yang dijual dapat memenuhi kebutuhan keuangan dalam
132
jumlah yang cukup besar, maupun untuk keperluan sehari-hari seperti kayu ’rencek” dan arang. Bernilai ekologis, karena fungsi hutan sebagai pelestarian sumber air dan penyebab iklim sejuk di lingkungan tempat tinggal mereka. Bila melihat visi dan misi Dishutbun, LSM pendamping baik di Gunung Kidul maupun di Wonogiri kelihatannya sudah sejalan. Semua lembaga pendukung tersebut memiliki visi yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Hutan dikelola dengan tujuan bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
Namun
pada
kenyataannya,
dalam
pelaksanaanya
ternyata
masyarakat, khususnya para petani pengelola hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri belum melihat adanya kesamaan nilai antara pemerintah dan masyarakat. Skor rataan untuk kesesuaian nilai di Wonogiri tergolong ”tidak sesuai” dengan skor 37. Baik dengan Dishutbun maupun PERSEPSI, masyarakat menilai kurang kesesuaian nilai. Sebagai contoh, seorang tokoh menyebutkan bahwa apa yang menjadi permasalahan pokok masyarakat dalam usaha hutan rakyat lestari (sertifikasi) ialah harga jual kayu dan alternatif usaha, kurang menjadi perhatian dari Dishutbun maupun PERSEPSI. Dishutbun menilai fokus perhatian saat ini lebih diarahkan kepada daerah atau lokasi yang masih banyak lahan kritisnya, sedangkan Selopuro dan Sumberejo karena sudah mendapatkan sertifikasi ’lestari’ hutannya, dan masyarakatnya dianggap mandiri dalam pelestarian sumberdaya alam, kurang menjadi prioritas. Sedangkan PERSEPSI menganggap target utamanya, yaitu diperolehnya sertifikat ekolabel telah tercapai, dengan demikian tugas utama PERSEPSI di Wonogiri telah selesai. Masalah premium price yang belum tercapai, bukan semata-mata masalah yang harus dipecahkan oleh PERSEPSI, tetapi terkait dengan banyak pihak lainnya. Sementara masyarakat di Gunung Kidul menilai kesesuaian nilai antara masyarakat dengan lembaga pendukung, baik Dishutbun, PKHR, Shorea dan Arupa berjalan dengan baik. Hal ini terlihat dari skor rataan kesesuaian nilai termasuk kategori ”cukup sesuai”. Artinya sampai dengan saat penelitian dilakukan, masyarakat cukup puas dengan adanya kesesuaian nilai antara petani hutan rakyat sertifikasi Gunung Kidul dengan lembaga pendukung pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul.
133
Dukungan kegiatan Dukungan kegiatan, khususnya berkaitan dengan pembelajaran dan pengembangan Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri dinilai berbeda oleh petani responden penelitian. Dukungan kegiatan lembaga pendukung di Gunung Kidul dinilai ”cukup sesuai” dengan skor rataan 72, sedangkan di Wonogiri termasuk kategori ”tidak sesuai” dengan skor rataan 34. Petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai sejak adanya pendampingan dari PKHR, Lembaga Arupa, Yayasan Shorea dan Dishutbun (yang tergabung dalam Pokja HRL), cukup banyak kegiatan bermanfaat yang difasilitasi oleh lembaga pendukung tersebut. Kegiatan tersebut baik berupa pelatihan, magang, studi banding bagi para pengurus/anggota kelompok. Selain itu bantuan-bantuan dari berbagai pihak maupun kegiatan kunjungan-kunjungan, termasuk Belajar Antar Petani, Pelatihan petani se-ASEAN yang dilakukan berdasarkan kerjasama dengan pihak perguruan Tinggi, maupun LSM telah meningkatkan aktivitas pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul. Berbeda dengan Gunung Kidul, di Wonogiri walaupun dengan adanya pendampingan dari PERSEPSI, memang ada kegiatan tetapi hanya berkaitan dengan proses pengajuan sertifikasi yaitu pemetaan, inventarisir hutan dan lainnya. Bekerja sama dengan WWF telah dilakukan pelatihan dan magang beberapa tenaga muda untuk mengolah limbah industri kehutanan. Sedangkan kegiatan dari Dishutbun, khususnya melalui dana APBD, yang dilakukan di Desa Selopuro dan Sumberejo sampai dengan penelitian dilakukan belum ada. Sebenarnya dalam anggaran Dishutbun tersedia anggaran dana untuk pelatihan pelestarian hutan, pengembangan hutan rakyat, pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD), namun diprioritaskan di lokasi yang masih banyak terdapat lahan kritis. Desa Selopuro dan Sumberejo tidak menjadi prioritas kegiatan dalam beberapa tahun ini karena dianggap masyarakatnya sudah mandiri dalam menjaga kelestarian hutan. Dan ini juga yang telah menyebabkan kekecewaan masyarakat, khususnya di Desa Selopuro. Justru keberhasilan masyarakat mengembangkan hutan rakyat secara swadaya, bahkan sampai mendapatkan sertifikat ekolabel
134
belum mendapat apresiasi dari Dishutbun. Beberapa pihak menyatakan sertifikat ekolabel itulah penghargaan bagi masyarakat, tetapi masyarakat sendiri sebenarnya belum merasakan manfaat sertifikasi dari harga kayu. Padahal masyarakat memiliki pengharapan yang sangat tinggi terhadap meningkatnya harga kayu sertifikasi, tetapi sampai dengan penelitian ini dilakukan harga kayu masih tetap sama. Sertifikat ekolabel,
menurut mereka justru menimbulkan
ketidakadilan dan kecemburuan sosial.
Dukungan fasilitas Dukungan fasilitas yang diberikan lembaga pendukung pembelajaran masyarakat, khususnya pembelajaran Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi), dinilai sudah cukup baik oleh masyarakat Gunung Kidul. Sedangkan bagi masyarakat Wonogiri dukungan fasilitas dari lembaga pendukung masih kurang. Hal ini dapat terlihat dari skor rataan di Gunung Kidul termasuk ”cukup sesuai” dengan nilai 63, sementara di Wonogiri tergolong ”tidak sesuai” dengan skor rataan 33. Adanya POKJA yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati Gunung Kidul, dan diketuai oleh Asisten Administrasi Pembangunan Setda Kab. Gunung Kidul, Wakil Ketua I Kepala Bappeda Gunungkidul, dan wakil ketua dari PKHR memberikan dampak besar terhadap pengembangan Hutan Rakyat Lestari di Kabupaten Gunung Kidul. Sampai dengan penelitian ini dilakukan telah beberapa kali dilaksanakan pertemuan Pokja untuk merumuskan Draf Perda Kabupaten Gunung Kidul tentang Pengelolaan Hutan Rakyat. Pada tataran masyarakat keberadaan POKJA tersebut tidak langsung dirasakan, tetapi melalui Pokja masalah pengembangan hutan rakyat dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyat tidak hanya menjadi perhatian dinas teknis, tetapi Pemerintah Daerah secara menyeluruh. Dan adanya kemitaraan dengan Perguruan Tinggi dan LSM semakin memperkuat dan memperluas pengembangan HRL dengan menjaring kemitraan dengan donordonor baik dari dalam maupun luar negeri. Sarana dan prasarana yang dapat dinikmati oleh kelompok tani di Gunung Kidul antara lain ialah peralatan perbengkelan dan furniture, perlengkapan sound system untuk pertemuan besar di balai desa dan lainnya. Untuk petani hutan
135
rakyat sertifikasi di Wonogiri, secara umum penganggaran dari Dishutbun memang diprioritaskan pada lokasi dengan persentasi lahan-lahan kritis yang tinggi. Tetapi PERSEPSI, yang menjalin kemitraan dengan WWF dan LEI telah berupaya untuk memberikan fasilitas berupa bengkel kerja pengolahan limbah kayu. Pemasaran produk ini juga difasilitasi oleh WWF dengan membuka galery Green Living di Jakarta. Sayangnya pengelolaan usaha bengkel ini tidak melibatkan banyak pengurus/petani hutan rakyat lestari/sertifikasi, sehingga kurang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, justru memberikan dampak yang kurang baik bagi masyarakat karena menimbulkan kecemburuan sosial, yang merusak hubungan persaudaraan yang selama ini telah terjalin dengan baik. Ada perbedaan antara fasilitas yang diberikan oleh lembaga pendukung untuk penyuluh dengan pendamping. Penyuluh kehutanan di kedua lokasi penelitian tidak mendapatkan fasilitas khusus untuk melakukan pendampingan dalam kegiatan pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari. Penyuluh kehutanan di Wonogiri maupun Gunung Kidul banyak yang tidak tinggal di wilayah binaan sehingga untuk menjangkau masyarakat binaan mengalami kesulitan, karena biaya dan fasilitasi yang diberikan oleh Pemda kurang memadai. Sedangkan pendamping dari Perguruan Tinggi dan LSM, biasanya mendapatkan bantuan fasilitas dari pemberi donor, seperti Ford Foundation, WWF dan lainnya sehingga walaupun pada kenyataan tidak sering tinggal di desa dalam waktu yang cukup lama, namun dapat seringkali
mengunjungi masyarakat yang didampingnya.
Demikian juga dengan sarana dan prasarana dalam melakukan pembelajaran, tersedia anggarannya. Dukungan personil Penilaian dukungan personil yang diberikan oleh lembaga pendukung dalam pembelajaran Hutan Rakyat Lestari antara Gunung Kidul dan Wonogiri berbeda nyata. Petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai dukungan personil yang mendukung pembelajaran ”cukup sesuai/kompeten” dengan skor rataan 69. Sedangkan penilaian petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri terhadap dukungan personil tergolong ”tidak sesuai/kompeten” dengan skor rataan 34.
136
Perbedaan penilaian terhadap dukungan personil di Gunung Kidul dan Wonogiri, khususnya bagi penyuluh kehutanan, dapat dipahami bila ditinjau dari penempatan jumlah penyuluh kehutanan dibandingkan dengan luasnya wilayah binaan yang ada. Penyuluh Kehutanan di Gunung Kidul berjumlah 38 orang, tersebar ke dalam 18 kecamatan. Setiap kecamatan ditempatkan tiga orang penyuluh kehutanan, sehingga seorang penyuluh kehutanan dapat membina tiga sampai dengan empat desa. Selain itu di tiap kecamatan juga ditempatkan seorang koordinator atau supervisor penyuluh. Sedangkan di Wonogiri, terdapat 55 orang Penyuluh Kehutanan yang tersebar di 25 kecamatan. Bila satu kecamatan terdiri dari 12-16 desa, seorang penyuluh kehutanan membina delapan sampai sepuluh desa. Selain itu, dari sisi peningkatan kapasitas, penyuluh kehutanan di Gunung Kidul
lebih
banyak
mendapatkan
peluang
untuk
pelatihan.
Biasanya
penyelenggaraan pelatihan di tingkat propinsi akan melibatkan wakil dari kabupaten, karena Wonogiri termasuk ke dalam propinsi Jawa Tengah dengan jumlah penyuluh kehutanan yang sangat banyak sehingga peluang untuk terlibat dalam kegiatan pelatihan sangat sedikit. Sedangkan penyuluh Gunung Kidul, yang termasuk wilayah propinsi DI Yogyakarta dengan jumlah penyuluh relatif lebih sedikit dibandingkan dengan Wonogiri, mendapatkan peluang lebih besar untuk mengikuti pelatihan peningkatan kapasitas. Para penyuluh kehutanan, dan penyuluh teknis secara umum, mengakui sangat minimnya pembinaan maupun pelatihan yang didapatkan, terutama sejak Otonomi Daerah diberlakukan. Mereka menyatakan bahwa sangat sedikit sekali kesempatan mereka untuk mendapatkan pelatihan peningkatan kapasitas, khususnya berkaitan dengan tugas utama mereka dalam bidang teknis kehutanan. Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat sangat jarang mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi penyuluh kehutanan. Saat ini para penyuluh kehutanan hanya mendapatkan kesempatan pelatihan yang diadakan oleh Pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan sebagai salah satu insitusi pembina. Dan kesempatan untuk dapat mengikuti pelatihan
yang diadakan Kementerian Kehutanan juga sangat terbatas, tidak
setiap tahun dari tiap kabupaten seorang penyuluh kehutanan dilibatkan dalam pelatihan.
137
Tenaga pendamping dari LSM, terutama untuk Gunung Kidul, sangat kompeten untuk masalah teknis kehutanan, karena sebagian besar dari pendamping adalah alumni dari Fakultas Kehutanan UGM. Namun khusus untuk ketrampilan pendampingan dan kesediaan berbaur dalam kehidupan masyarakat masih perlu ditingkatkan. Dari pernyataan mereka bahwa mereka sangat tertolong bila pendamping mau berbaur dengan kehidupan masyarakat, tidak hanya berkaitan dengan teknis kehutanan atau pengembangan hutan rakyat. Dengan adanya kerjasama yang baik, pendamping di Gunung Kidul telah dilatih terlebih dahulu berkaitan dengan proses pembelajaran masyarakat khususnya berkaitan dengan proses sertifikasi. Sehingga materi pembelajaran telah dikuasai terlebih dahulu oleh para pendamping, dan relatif sama antara ketiga desa yang didampingi. Walaupun dalam pelaksanaannya sangat banyak penyesuaian, disesuaikan dengan kondisi fisik, lingkungan dan sosial masyarakat yang dihadapinya. Untuk menjadi pendamping, diperlukan kompetensi khusus, yang belum tentu dimiliki oleh semua LSM. Pekerjaan pendamping tidak dapat dikerjakan oleh siapa saja, tetapi membutuhkan ketrampilan khusus. Inilah yang sering disalahmengertikan oleh kebanyakan orang, bahwa pendamping atau penyuluh dapat dilakukan oleh siapa saja.
Intensitas Belajar Intensitas belajar yang dalam penelitian ini dilihat dari tingkat interaksi petani pengelola Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) dengan : penyuluh, sesama petani, pengurus dan anggota kelompok tani, materi belajar dan lingkungan belajar. Terdapat perbedaan nyata antara intensitas belajar petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi di kedua lokasi penelitian. Dua indikator intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari tergolong ”sedang”, sedangkan tiga indikator lainnya tergolong ”rendah”. Sedangkan pada petani non sertifikasi semua indikator intensitas belajar tergolong ”rendah” bahkan sangat rendah karena terdapat dua indikator yang mempunyai nilai skor rataan kurang dari 10. Intensitas belajar petani hutan rakyat sertifikasi yang bernilai sedang ialah pada interaksi
138
petani dengan : petani dan kelompok tani; sedangkan bernilai rendah pada interaksi petani dengan: penyuluh, materi belajar dan lingkungan belajar. Jika dikaji lebih mendalam ternyata intensitas pembelajaran Hutan Rakyat Lestari di Gunung Kidul dan Wonogiri juga berbeda nyata. Semua indikator intensitas pembelajaran di Gunung Kidul tergolong ”sedang”, sedangkan di Wonogiri dari lima indikator, hanya satu indikator yang termasuk dalam kategori sedang yaitu pada interaksi antara petani dengan petani, selebihnya rendah.
Tabel 26. Perbandingan Penilaian terhadap Intensitas Belajar Petani Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri No 1
Intensitas Belajar Petani Interaksi petani dengan penyuluh
Kategori
3
4
Interaksi petani dengan petani Skor Rataan Interaksi petani dengan kelompok tani Skor Rataan Interaksi petani dengan materi pembelajaran
32
84
58
63
90
77
Sedang
58
14
36
30
10
20
Tinggi
10
2
6
7
0
3
52
27
40
30
6
18
10
18
14
20
90
55
Sedang
69
74
71
60
10
35
Tinggi
21
8
14
20
0
10
Rendah
65
57
61
57
5
31
Rendah
13
27
20
50
97
73
Sedang
75
70
72
43
3
23
Tinggi
12
3
7
7
0
3
57
49
53
47
4
25
Rendah
33
84
58
83
100
92
Sedang
59
15
37
17
0
8
Tinggi 5
Skor Rataan Interaksi petani dengan lingkungan belajar
8
1
4
0
0
0
51
24
38
11
0
6
Rendah
34
60
47
83
100
92
Sedang
57
40
48
17
0
8
9
0
4
0
0
0
49
38
44
14
0
7
Tinggi Skor Rataan
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Rendah
Skor Rataan 2
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah (0-50); Sedang (51-75); Tinggi (76-100)
Interaksi antara Penyuluh dengan Petani Interaksi petani dengan penyuluh atau pendamping di Gunung Kidul tergolong “sedang” dengan skor rataan 52 sedangkan di Wonogiri tergolong “rendah” dengan skor rataan 27. Sebagian besar petani (63%) di Wonogiri sangat
139
jarang bertemu dengan penyuluh atau pendamping, bahkan beberapa orang menyebutkan sampai dengan penelitian ini dilakukan belum pernah bertemu dengan penyuluh atau pendamping. Hal ini dapat dimaklumi mengingat latar belakang sejarah pengembangan hutan rakyat di Wonogiri, khususnya di Desa Selopuro dimana masyarakat secara swadaya melakukan penanaman tanaman keras dengan mengikuti teladan tokoh masyarakatnya. Campur tangan pemerintah menyusul setelah adanya kesadaran dan gerakan penanaman oleh masyarakat. Kehadiran penyuluh pada saat program penghijauan sekitar tahun 1970 tidak diketahui oleh masyarakat luas, karena frekuensi kehadiran yang jarang dan kunjungan hanya dilakukan kepada beberapa orang pengurus kelompok atau tokoh masyarakat setempat. Hubungan yang terjalin dengan penyuluh lebih bersifat formal, sebatas ’petugas pemerintah’ dan petani sebagai sasaran penyuluhan. Kondisi tersebut terus berlangsung lama, sampai dengan saat penelitian dilakukan. Berbeda dengan Wonogiri, frekuensi petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul bertemu dengan penyuluh dan pendamping lebih sering, terutama pada saat pendampingan sertifikasi hutan rakyat dan juga sebelumnya pada Program Rancang Bangun Unit Manajemen Hutan Rakyat Lestari (RBUMHRL). Pertemuan dengan penyuluh atau pendamping (dari LSM Shorea dan Arupa) di Desa Girisekar dan Desa Dengok, biasanya pada kegiatan pertemuan kelompok atau diskusi lainnya yang berkaitan dengan proses sertifikasi atau RBUMHRL. Untuk Desa Kedungkeris frekuensi lebih banyak dan hubungan lebih akrab karena pendamping yang berasal dari PKHR telah mendampingi secara rutin dari tahun 2000 terus sampai saat penelitian dilakukan. Namun diakui oleh masyarakat Gunung Kidul, karena pertemuan dengan pendamping atau penyuluh lebih sering dalam pertemuan formal sehingga walaupun hubungannya akrab, tetapi masih dirasakan ada ‘jarak’. Hal tersebut juga disebabkan oleh penyuluh dan pendamping yang tidak tinggal bersama dengan masyarakat dalam waktu yang cukup lama. Berdasarkan pengalaman mereka, beberapa petani di Desa Girisekar menyatakan bahwa intensitas hubungan mereka dengan penyuluh/pendamping sangat tinggi bila pendamping tinggal bersama dengan masyarakat. Manfaat interaksi dengan penyuluh/pendamping bila intensitas pertemuan dan hubungan
140
tinggi sangat banyak, yang paling penting ialah penyuluh/pendamping dapat berempati, mendalami permasalahan yang dihadapi petani dan kebutuhan riil yang dibutuhkan oleh petani. Interaksi Petani dengan Petani Frekuensi dan intensitas hubungan antar petani dalam pembelajaran pengelolaan hutan rakyat tergolong “sedang” untuk kedua lokasi penelitian, dengan skor rataan 65 dan 57. Hubungan yang baik antar petani, baik untuk permasalahan umum maupun yang berkaitan dengan pengelolaan usahatani, ditunjang oleh masih kuatnya hubungan persaudaraan pada masyarakat Gunung Kidul dan Wonogiri. Hubungan persaudaraan masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri masih cukup baik, dibuktikan dengan masih berjalannya dan kentalnya budaya “sambatan”, rukun jagong dan lainnya. Hal ini sedikit banyak berhubungan dengan pengalaman mereka hidup bersama, mulai dari saat-saat sulit menghadapi kondisi lahan yang tandus, kekeringan dan kelaparan, kemudian berjuang bersama hingga mencapai kondisi lingkungan yang baik, dan perekonomian yang lebih baik. Interaksi yang baik antar petani, dan masih kentalnya hubungan persaudaraan membuat situasi yang aman dalam berusahatani, tidak ada konflik berkaitan dengan batas lahan, hampir tidak ada kasus pencurian di ladang, saling menghormati dan ikut menjaga lahan usaha tetangganya dengan menjaga jarak tanam di perbatasan lahannya. Di Wonogiri masih berlaku budaya “kentongan” dimana masyarakat saling mengingatkan dengan membunyikan kentongan bila ada bahaya seperti bencana alam, kematian dan pertemuan sesama warga. Interaksi antar petani yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat, sebagai contoh di Desa Selopuro Kec. Batuwarno, Wonogiri, petani saling memberikan informasi mengenai jenis pohon yang diyakini bisa lebih menguntungkan dibandingkan dengan mahoni, yang selama ini mereka budidayakan. Pada saat penelitian dilakukan ada keinginan petani untuk menggantikan tanaman mahoni dengan tanaman lain yaitu sengon laut (Paraserianthes falcataria). Beberapa petani secara sengaja mencoba menanam terlebih dahulu, kemudian menceritakan kepada petani lainnya, baik mengenai harga bibit, pertumbuhannya, keunggulan dan keuntungannya menanam jenis ini.
141
Khusus Desa Kedungkeris, di Kabupaten Gunung Kidul, telah menjadi tempat berkumpul dan belajarnya petani dari luar daerah, bahkan luar negeri. Sarana ini bukan saja berguna bagi petani tamu, tetapi juga bagi petani pengelola hutan rakyat di Gunung Kidul karena mendapat tambahan pengetahuan dalam pengembangan hutan rakyat. Interaksi antara Petani dan Kelompok Tani Terdapat perbedaan nyata antara interaksi petani hutan rakyat sertifikasi dengan kelompok tani di kedua lokasi penelitian. Petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul menilai interaksi dengan kelompok tani termasuk kategori ”sedang” dengan skor rataan 57, sedangkan petani hutan rakyat sertifikasi di Wonogiri menilai ”rendah” dengan skor rataan 49. Perbedaan penilaian tersebut antara lain disebabkan oleh eksistensi kelompok tani di Gunung Kidul, khususnya di Desa Dengok, Kec. Playen dan Desa Girisekar, Kec.Panggang yang relatif masih baru dibentuk yaitu pada tahun 2004 dan 2006. Kelompok-kelompok tani tersebut masih berjalan cukup baik, apalagi sampai dengan saat ini kegiatan pendampingan dari PKHR masih terus berlanjut, terutama berkaitan dengan pilot project RBUMHRL. Frekuensi dan intensitas pertemuan dengan kelompok tani masih cukup baik berjalan di Gunung Kidul. Walaupun ada juga kelompok tani di yang tidak berjalan baik, seperti kelompok tani ”Sekar Eko Jati”
di Dusun
Blimbing, Desa Giri Sekar, Kec. Panggang. Kelompok tani tidak berjalan dengan baik sehingga interaksi petani dengan kelompok tani rendah. Pada sisi lain, rendahnya interaksi petani hutan rakyat sertifikasi dengan kelompok tani di Wonogiri akibat adanya permasalahan di Wonogiri, berkaitan dengan kekecewaan anggota terhadap kepengurusan terutama FKPS. Walaupun bukan terhadap kelompok tani langsung, namun FKPS merupakan wadah paguyuban kelompok tani yang seharusnya menaungi kelompok tani. Sampai dengan penelitian ini dilakukan, belum ada upaya untuk menyelesaikannya. Ditambah lagi dengan tidak adanya atau sangat terbatasnya penyuluh dan tidak adanya lagi tenaga pendamping di Wonogiri menyebabkan kelompok tani tidak berjalan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Kegiatan kelompok tani di Wonogiri yang berkaitan dengan hutan rakyat hampir tidak ada lagi. Selain karena kekecewaan terhadap lembaga pendamping,
142
juga karena kekecewaan terhadap kepengurusan FKPS yang tidak menurut penilaian mereka bertindak tidak terbuka dan tidak adil. Dengan demikian di Wonogiri, frekuensi dan intensitas anggota bertemu dengan pengurus atau anggota lainnya dalam kelompok menjadi sangat kurang. Pertemuan kelompok lebih banyak digunakan untuk arisan simpan pinjam, dan kurang sekali digunakan untuk wadah pembelajaran bersama oleh masyarakat. Akibatnya tidak banyak manfaat yang bisa didapatkan oleh anggota dari interaksi dengan kelompok tani. Interaksi antara Petani dengan Materi Pembelajaran Interaksi petani dengan materi belajar di kedua lokasi penelitian berbeda nyata, dimana Gunung Kidul tergolong ”sedang” dengan skor rataan 51, sedangkan di Wonogiri tergolong ”rendah” dengan nilai skor rataan yang kecil yaitu 24. Adanya perbedaan yang cukup mencolok ini berkaitan juga dengan keberadaan kelompok tani di Wonogiri yang sudah tidak terlalu aktif menjadi tempat pembelajaran petani Hutan Rakyat Lestari. Walaupun pada saat pendampingan sertifikasi sebenarnya ada cukup banyak materi pembelajaran yang dapat diambil oleh beberapa orang petani yang mengikuti kegiatan pemetaan partisipatif, inventaris tegakan pohon dan lainnya. Interaksi petani dengan materi belajar di Gunung Kidul cukup baik, walaupun kesempatan berinteraksi tersebut tidak merata karena lebih banyak kesempatan yang diperoleh pengurus kelompok tani dan tokoh masyarakat. Berkaitan dengan HRL, materi belajar yang didapatkan petani ialah pemetaan partisipatif, inventarisasi tegakan pohon, dan perencanaan pengelolaan hutan rakyat. Sebagian besar materi merupakan ’given’ dari lembaga pendukung pendampingan. Namun ada beberapa materi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan petani, misalnya petani di Desa Dengok, menghadapi permasalahan kesulitan pupuk karena harga yang sangat mahal. Oleh karena itu, mereka sangat menginginkan materi pembelajaran mengenai pembuatan pupuk organik, yang berasal dari bahan-bahan lokal. Berdasarkan keinginan dan kebutuhan tersebut pendamping memfasilitasi pelatihan, kemudian membuat demplot, bahkan mendampingi petani melakukan studi banding ke pengelolaan pertanian organik
143
di Kaliurang. Desa Dengok, memang masih memiliki lahan datar yang cukup luas untuk pengembangan tanaman pertanian. Sebenarnya petani di Wonogiri menginginkan materi pembelajaran berkaitan
dengan
permasalahan
mereka,
khususnya
untuk
menghindari
penebangan kayu yang belum cukup besar karena adanya kebutuhan yang sangat mendesak. Mereka berharap mendapatkan materi pembelajaran mengenai pengolahan kayu pasca panen, budidaya ikan menggunakan terpal dan lainnya. Namun, keinginan tersebut kurang mendapat perhatian lembaga pendukung. Mereka tetap mendapatkan pelatihan yang melibatkan 2-3 orang pengurus, namun dengan materi pengolahan limbah kayu, yang berlainan dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Dengan bahasa mereka, mereka berkeluh kesah mengenai usaha pengolahan limbah kayu yang dioperasikan di Desa Selopuro : ” Masalah besar harga jual kayu justru tidak ditangani, diperhatikan dan diperjuangkan dengan baik, masalah yang kecil-kecil dan tidak berharga, seperti ”sampahsampah” malah diurusin….” Interaksi dengan materi belajar ini akan sangat banyak manfaatnya bila sesuai
dengan
kebutuhan
petani
dan
dapat
membantu
menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi oleh petani. Berdasarkan hal tersebut, nilai manfaat intensitas dengan materi belajar, baik di Gunung Kidul dan Wonogiri petani masih belum cukup besar karena belum sesuai dengan kebutuhan dan penyelesaian masalah yang mereka hadapi khususnya berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat lestari.
Interaksi Petani dengan Lingkungan Belajar Interaksi petani dengan lingkungan belajar di Gunung Kidul maupun Wonogiri termasuk kategori ”rendah” dengan skor rataan 49 dan 38. Petani sedikit memiliki akses untuk berinteraksi dengan lingkungan belajar, yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat lestari. Lingkungan belajar dalam hal ini hal-hal yang mendukung proses belajar Hutan Rakyat Lestari, baik sarana prasarana, institusi yang mendukung proses belajar dan lainnya. Sebenarnya sudah dibuat demplot untuk percontohan di Gunung Kidul, yaitu Koperasi Wana Manunggal Lestari yang mewadahi petani sertifikasi di Gunung Kidul. Tetapi
144
aksesnya sangat terbatas, karena letaknya di Desa Dengok, sehingga sulit bagi petani dari Desa Kedungkeris maupun Desa Girisekar karena memerlukan waktu kurang lebih 1 jam dengan kendaraan pribadi untuk mencapai demplot tersebut. Transportasi umum yang menghubungkan ketiga desa tersebut tergolong agak sulit, karena tidak tersedia setiap saat, harus menunggu kurang lebih 1 jam untuk mendapatkan kendaraan umum. Demikian juga akses bagi anggota terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan pembelajaran, sangat sulit dijangkau. Misalnya untuk petani di Gunung Kidul akses agak sulit untuk mencapai sekretariat LSM pendamping, atau Dinas Kehutanan atau UGM sedangkan untuk petani di Wonogiri sulit juga untuk dapat mencapai LSM pendamping atau Dinas Kehutanan, yang letaknya di ibukota kabupaten dengan jarak kurang lebih 90 km dari desa. Lingkungan belajar yang paling mudah dijangkau oleh semua petani hanyalah tegalan, pekarangan tempat mereka mengelola lahannya saja. Tanpa adanya introduksi atau pendampingan yang baik, lahan atau pekarangan yang sebenarnya adalah lingkungan belajar yang sangat baik bagi petani, tidak dapat dimanfaatkan dengan baik. Padahal sangat banyak hal yang dapat dipelajari dari interaksi dengan lahan usaha, pekarangan, atau tegalan yang mereka miliki sebagai lingkungan belajar.
Perilaku Petani dalam Mengelola Hutan Rakyat Perilaku petani hutan rakyat sertifikasi dalam mengelola hutan berbeda nyata dengan petani hutan rakyat non sertifikasi di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri. Perilaku petani sertifikasi tergolong sedang, sedangkan perilaku petani non sertifikasi tergolong rendah. Bila dikaji mendalam ternyata terdapat perbedaan juga antara perilaku kelola hutan petani sertifikasi maupun perilaku petani non sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri. Pada petani sertifikasi, aspek produksi dan ekologi di Gunung Kidul dan Wonogiri masuk dalam kategori yang sama, yaitu “sedang”. Tetapi pada aspek sosial, perilaku petani Gunung Kidul tergolong “tinggi” sedangkan di Wonogiri termasuk “sedang”. Perilaku petani non sertifikasi di Gunung Kidul tergolong ”sedang” pada aspek sosial dan ekologi, sedangkan di Wonogiri tergolong ”rendah” pada semua aspeknya.
145
Perilaku petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul ”tinggi” pada aspek sosial, hal ini sangat berkaitan dengan budaya yang berkembang di masyarakat, seperti budaya sambatan, kepercayaan satu dengan lainnya, dan kapasitas sosial lainnya. Terlebih lagi untuk masyarakat di Dusun Pijenan dan Jeruken, Desa Girisekar, cikal bakal kelompok tani hutan rakyat yang dibentuk berasal dari kelompok shalawatan, sehingga jiwa kebersamaan dan kekeluargaan telah tertanam. Dengan demikian tidak menyulitkan pengembangan nilai-nilai sosial yang merupakan salah satu persyaratan sertifikasi dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML). Di sisi lain, hutan rakyat sebagian besar dibudidayakan di lahan milik masyarakat dengan batasan yang jelas, sehingga hampir tidak ada konflik yang terjadi berkaitan dengan batasan lahan milik. Tabel 27. Perilaku Petani Hutan Rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri Ditinjau dari Aspek Ekonomi, Ekologi dan Sosial
No 1
Perilaku Petani Aspek Produksi
Kategori
Aspek ekologi
14
27
20
56
97
77
Sedang
63
60
62
27
3
15
Tinggi
23
13
18
27
0
8
65
60
63
49
30
40
Rendah
16
42
29
53
97
75
Sedang
63
42
52
30
3
17
Tinggi
21
16
18
17
0
8
64
56
60
51
29
40
Rendah
2
13
7
23
97
60
Sedang
26
39
33
47
3
25
Tinggi
72
48
60
30
0
15
80
71
75
66
35
50
Skor Rataan 3
Aspek sosial
Skor Rataan
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Rendah
Skor Rataan 2
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah (0-50); Sedang (51-75); Tinggi (76-100)
Tabel 28 menunjukkan bahwa perilaku petani hutan rakyat sertifikasi baik Gunung Kidul maupun Wonogiri lebih baik (rataan skor lebih tinggi) pada aspek produksi dibandingkan aspek ekologi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa, ditinjau dari sejarah pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri, hutan rakyat awal mulanya dikembangkan lebih untuk mengatasi masalah lahan kritis di wilayah tersebut. Namun seiring dengan berjalannya
146
waktu, setelah kayu-kayu dapat ditebang dan masyarakat telah menikmati hasil yang cukup besar dari penjualan kayu-kayu tersebut, tujuan mereka mengelola hutan rakyat sudah bergeser lebih kepada kebutuhan ekonomi (produksi). Bagi mereka hutan rakyat adalah tabungan sekaligus sumber pendapatan harian bagi mereka. Keberadaan hutan rakyat bagi mereka lebih dipandang sebagai entitas ekonomi dibandingkan dengan entitas konservasi. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Awang et.al (2002) yang menyebutkan bahwa kesadaran menanam tanaman kayu
sudah
tinggi
meskipun bukan karena
alasan
konservasi atau pertimbangan kelestarian lingkungan. Pertimbangan kayu jati laku dijual tampak lebih berperan. Berbeda sekali jika dibandingkan dengan awal berkembangnya tanaman jati sekitar tahun 1950, pohon ditanam dengan maksud untuk menjaga kelestarian lingkungan dan ekosistem kehidupan. Meskipun perilaku petani dalam pengelolaan hutan rakyat belum mengacu pada aspek-aspek manajemen hutan, tetapi perilaku petani hutan rakyat dalam menjaga kelestarian sudah terbukti dan sangat mendukung nilai ekonomi, ekologi dan sosial. Konsep kelestarian yang dikembangkan oleh petani hutan rakyat sangat sederhana, yaitu adanya kewajiban penanaman kembali setelah dilakukan penebangan pohon, selain itu penanaman dilakukan kapan saja meskipun tidak dilakukan penebangan. Adanya kearifan lokal petani hutan rakyat tersebut di atas, dan juga adanya konsep ”tebang butuh” menyelamatkan kondisi hutan rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri. Petani hutan rakyat betul-betul menyadari apa yang akan terjadi jika mereka menebang terlalu banyak. Selain itu adanya modal sosial masyarakat Gunung Kidul dengan ”budaya jati” yang sulit dihilangkan dalam kultur mereka,
menyebabkan kelestarian produksi terjamin. Menurut PKHR
(2008) kemampuan produksi hutan rakyat di Gunung Kidul 34-40 m³ per hektar tetapi baru ditebang 16 m³ per hektar, sehingga masih ada potensi yang bisa dimanfaatkan sekitar 24 m³. Perilaku petani hutan rakyat sertifikasi dalam aspek ekologi baik di kedua lokasi penelitian tergolong paling rendah, walaupun masih termasuk ke dalam kategori “sedang”. Petani hutan rakyat sertifikasi baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri, belum menyadari pentingnya menjaga hutan sebagai suatu ekosistem. Mereka belum menyadari pentingnya menjaga kelestarian jenis, kelestarian fauna
147
dan flora yang terdapat di hutan rakyat. Fokus mereka hanyalah pada tanaman kayu, yang dapat tumbuh tanpa pemeliharaan yang intensif, dan tanaman pangan sebagai sumber pangan mereka sehari-hari. Masyarakat baik di Gunung Kidul dan Wonogiri masih belum menyadari dan belum memiliki kepedulian menjaga kelestarian flora dan fauna yang ada di lahan hutan rakyat yang dikelolanya. Mereka berpendapat : “hanya buang-buang waktu saja mengurusi dan memperhatikan kehidupan fauna dan flora di lahan”.
Ranah Pengetahuan Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Perilaku petani dalam pengelolaan hutan rakyat, dapat dikaji lebih dalam dengan membandingkan ranah pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam aspek produksi, ekologi dan sosial. Bila dikaji lebih dalam, terdapat perbedaan pengetahuan petani hutan rakyat sertifikasi dalam pengelolaan hutan dari aspek produksi, ekologi dan sosial. Terdapat perbedaan nyata antara pengetahuan petani hutan rakyat sertifikasi dan non sertifikasi di kedua kabupaten. Pengetahuan petani sertifikasi dalam ketiga aspek tergolong ”sedang” dan ”tinggi” sedangkan pengetahuan petani non sertifikasi pada aspek sosial ”sedang” tetapi pada aspek produksi dan ekologi tergolong ”rendah”. Tetapi yang menarik adalah terdapat persamaan antara petani sertifikasi dan non sertifikasi yaitu dari ketiga aspek Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi), pengetahuan tentang aspek sosial mendapatkan nilai lebih baik dibandingkan aspek produksi dan aspek ekologi. Pengetahuan masyarakat di Gunung Kidul maupun Wonogiri berkaitan dengan aspek produksi ini belum banyak, belum ada kesadaran akan pentingnya menjaga mutu dan kualitas kayu, sehingga perlu dipelihara dengan baik untuk dapat bersaing. Ini juga yang jadi kelemahan, bahwa oleh pedagang lokal, tidak terlihat perbedaan kualitas kayu sertifikasi dengan kayu non sertifikasi tetapi harga lebih mahal. Dengan demikian pedagang lokal mencari yang lebih murah. Pengetahuan dalam bidang ekologi lebih banyak dibangun berdasarkan pengalaman yang mereka alami, masih terbatas pada fungsi kayu dalam menyerap air. Sebagai contoh di Kelompok Tani Pagersengon, akasia ditebang karena menurut
pengalaman
mereka,
dengan
budidaya
tanaman
akasia
yang
dikembangkan pada saat proyek penghijauan, sumber mata air menjadi kering,
148
tetapi setelah aksia ditebang dan diganti dengan kayu jati, sumber mata air muncul dan tidak kering. Pengetahuan lokal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat lebih menyukai tanaman jati. Aspek ekologi lainnya yang berasal dari kearifan lokal ialah dalam bidang konservasi tanah. Masyarakat dengan pengalaman di masa lalu telah membuktikan bahwa dengan adanya tanaman keras, maka lahan yang gersang berangsur-angsur subur kembali. Dari pengalaman, mereka telah belajar bahwa dengan menanam tanaman keras di lahan kritis, maka perakaran tanaman keras dapat membelah lapisan batu kapur, dan daun-daunan tanaman keras yang gugur dan membusuk di atas tanah dapat menjadi kompos yang menyuburkan tanah. Mereka juga telah mengembangkan terasering, dengan memanfaatkan batu-batuan yang banyak tersedia di lahan untuk dijadikan teras bangku. Dari pengalaman mereka dapat pengetahuan bahwa terasering dengan batu-batuan dapat mengurangi erosi tanah. Pengetahuan mereka tentang konservasi tanah juga berkembang dengan adanya proyek penghijauan yang memperkenalkan hijauan makanan ternak (HMT) sebagai tanaman teras, dan tanaman lamtoro untuk menyuburkan tanah. Tabel 28. Perbandingan Pengetahuan Petani Hutan Rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri dalam Aspek Produksi, Ekologi dan Sosial
No
Pengetahuan Petani
1
Aspek Produksi
2
Skor Rataan Aspek Ekologi
3
Skor Rataan Aspek Sosial
Skor Rataan
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 33 42 38 45 46 35 22 12 17 57 60 55 33 46 40 30 33 31 37 21 29 61 66 57 10 12 11 22 33 27 68 55 62 83 86 81
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 30 93 62 47 7 27 23 0 12 39 61 18 63 90 77 17 10 13 20 0 10 37 51 23 7 97 52 23 3 13 70 0 35 56 76 35
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah (0-50); Sedang (51-75); Tinggi (76-100)
149
Dalam aspek ekologi, bila mengikuti persyaratan yang menjadi indikator PHBML, terdapat indikator mengenai konservasi flora dan fauna. Baik masyarakat di kedua lokasi penelitian, pada kenyataaan belum banyak mengetahui tentang pentingnya konservasi flora dan fauna. Mereka belum menyadari dan belum memiliki kepekaan terhadap pentingnya konservasi fauna dan flora. Petani hutan rakyat sertifikasi, khususnya di Gunung Kidul,
sudah
mendapatkan pengetahuan mengenai penyusunan rencana pengelolaan hutan rakyat, inventarisasi hutan, mengatur hasil tebangan dan lainnya dari para pendamping, tetapi tidak semua mendapatkan pengetahuan ini, hanya pengurus yang mengikuti pelatihan. Sayangnya pengetahuan yang didapatkan oleh pengurus
dari
pelatihan
tersebut
sangat
jarang
bahkan
tidak
pernah
disosialisasikan kepada anggota. Dengan demikian pengetahuan petani hutan rakyat sebagian besar merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman mereka sendiri atau pengalaman nenek moyang, yang diwariskan turun temurun.
Ranah Afektif Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Sikap petani dalam pengelolaan hutan rakyat, khususnya di Gunung Kidul, tergolong “tinggi” ditinjau dari aspek produksi dan aspek sosial tetapi “sedang” untuk aspek ekologi. Sedangkan sikap petani hutan rakyat di Wonogiri “sedang” baik dalam aspek produksi, ekologi dan sosial. Namun untuk aspek sosial mendekati “tinggi”. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, sikap “sosial” yang tinggi dalam pengelolaan hutan rakyat sangat ditunjang oleh budaya dan modal sosial masyarakat di kedua lokasi penelitian. Sikap petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari dari aspek ekologi cenderung lebih rendah daripada aspek lainnya, karena sebagian besar masyarakat di Gunung Kidul dan Wonogiri belum mengerti pentingnya keberadaan dan fungsi fauna dan flora yang ada di hutan. Mereka hanya memperhatikan keberadaan kayu dan tanaman-tanaman yang bernilai ekonomis, yang ditanam di lahan mereka saja. Mereka berpendapat tidak ada gunanya dan hanya buang-buang waktu saja memperdulikan dan memperhatikan kehidupan fauna dan flora yang ada di lahan mereka. Bagi mereka yang penting tanaman kayu dan tanaman palawija yang
150
mereka tanam terpelihara dengan baik, mata air tidak menjadi kering, sudah cukup. Tabel 29. Perbandingan Sikap Petani Hutan Rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri dalam Aspek Produksi, Ekologi dan Sosial
No
Sikap petani Hutan Rakyat
1
Aspek Produksi
2
Skor Rataan Aspek Ekologi
3
Skor Rataan Aspek Sosial
Skor Rataan
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 2 10 6 39 49 44 59 41 50 73 78 69 12 10 11 50 70 60 38 20 29 66 69 63 0 0 0 20 53 36 80 47 64 78 82 75
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 23 93 58 77 3 40 0 3 2 61 78 44 10 97 53 53 3 28 37 0 18 52 66 38 7 64 35 23 33 28 70 3 37 65 76 54
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah (0-50); Sedang (51-75); Tinggi (76-100)
Petani hutan rakyat di kedua lokasi penelitian sebenarnya sangat mendukung penebangan sesuai umur untuk menjamin kualitas, dan pengaturan hasil panen, tetapi hal ini sangat sulit diterapkan karena mereka tidak punya alternatif lain yang dapat menggantikan cara penebangan kayu untuk mendapatkan uang cash, sesuai dengan kebutuhannya yang mendesak saat itu. Kelompok tani, pendamping pun tidak mempunyai kewenangan melarang keras petani untuk menebang kayu, karena mereka menanam tanaman kayu-kayuan sebagai tabungan untuk kebutuhan mendesak mereka maupun untuk generasi yang akan datang. Ranah Psikomotorik Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Ternyata sikap dan pengetahuan yang baik dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, tidak secara otomatis menghasilkan ketrampilan yang baik pada petani dalam mengelola hutan rakyat. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul memiliki pengetahuan,
151
sikap yang tergolong “tinggi”, bahkan sangat tinggi dengan skor rataan berkisar nilai 80 pada aspek sosial tetapi dalam ranah ketrampilan ternyata termasuk “sedang” (Tabel 30). Tabel 30. Perbandingan Ketrampilan Petani Hutan Rakyat di Gunung Kidul dan Wonogiri dalam Aspek Produksi, Ekologi dan Sosial
No 1
Ketrampilan Petani Hutan Rakyat Aspek Produksi
2
Skor Rataan Aspek Ekologi
3
Skor Rataan Aspek Sosial Skor Rataan
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
Hutan Rakyat Lestarisertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 23 63 43 62 33 48 15 4 9 51 57 44 33 66 49 56 31 44 11 3 7 50 55 45 10 47 28 50 45 48 40 8 24 60 71 47
Hutan Rakyat non sertifikasi (%) Gunung WonoKidul giri Total 70 97 83 27 3 15 3 0 2 37 47 27 53 100 77 47 0 23 0 0 0 36 47 26 37 100 68 53 0 27 10 0 5 34 53 15
Keterangan: - Hutan Rakyat sertifikasi: n(Gunung Kidul)=100, n(Wonogiri)=100, n total=200; non sertifikasi: n(Gunung Kidul)=30, n(Wonogiri)=30, n total=60 - Skor Rataan: Rendah (0-50); Sedang (51-75); Tinggi (76-100)
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa petani hutan rakyat sertifikasi di Gunung Kidul sangat mengetahui dan memahami nilai-nilai sosial, serta mendukung nilai-nilai sosial dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari, namun hanya sedikit yang menerapkannya atau mempraktekkannya dalam mengelola hutan rakyat. Mereka lebih sering menjalankan atau mengelola hutan rakyat secara individual, dan jarang sekali melakukannya dalam semangat kebersamaan dalam kelompok. Hal tersebut sangat terlihat nyata di Wonogiri, skor rataan untuk ranah ketrampilan dalam aspek sosial bahkan “rendah”. Khusus di Wonogiri ditemukan adanya konflik internal dan kecemburuan sosial, kurangnya pembinaan dan tidak berlanjutnya pendampingan telah menurunkan semangat dan penerapan nilai-nilai sosial dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari. Demikian dalam hal pemasaran, yang sebenarnya sangat penting untuk dilakukan secara komunal, akhirnya karena sistem FKPS tidak berjalan dengan baik mereka lebih suka menjual kayu perseorangan. Hal tersebut sejalan
152
dengan penelitian Awang et.al (2007) bahwa selama ini pengelolaan dan pemanfaatan hutan rakyat terfokus pada individu keluarga atau belum ada pada tataran aksi kolektif sehingga sering terjadi pemanfaatan hutan rakyat yang di luar kaidah-kaidah kebersamaan dalam menata lingkungan. Rendahnya ketrampilan petani hutan rakyat dalam menerapkan aspek produksi terutama adalah dalam melakukan perencanaan dan metode pengaturan hasil hutan sesuai dengan manajemen kelestarian hutan. Petani hutan rakyat belum
terbiasa
melakukan
perencanaan
penanaman,
pemeliharaan
dan
peningkatan kualitas tegakan yang memadai, perencanaan pengaturan hasil hutan yang menjamin kepastian hasil lestari serta perencanaan pemasaran. Petani hutan rakyat baik di Gunung Kidul maupun Wonogiri masih menghadapi permasalahan, terutama berkaitan dengan pemanenan hasil hutan rakyat, baik pada penentuan batas minimum ukuran pohon yang boleh ditebang, maupun dalam mengatasi kebutuhan yang mendesak (tebang butuh) sementara tidak ada kayu yang dapat ditebang pada batas minimum ukuran pohon yang boleh ditebang. Petani hutan rakyat juga belum memiliki posisi tawar yang baik, karena penjualan kayu oleh petani hanya didasarkan pada kebutuhan yang mendesak dan ingin segera mendapatkan uang, sehingga harga jual kayu ditentukan oleh tengkulak.