33
Bab III Analisis Teoretis Seperti yang telah dijelaskan pada subbab I.6 mengenai metodologi, pelaksanaan analisis pada penelitian dibagi menjadi dua jenis, yaitu analisis teoretis dan analisis kasus. Analisis teoretis dilakukan untuk membangun pokok secara teori yang umum dari kompleksitas, SSM, dan kebutuhan SPPK. Sedangkan analisis kasus dilakukan untuk memperjelas penelitian berdasarkan kenyataan (reality), dengan maksud menerapkan hasil analisis teoretis tersebut pada kasus.
Pada analisis teoretis, akan terbentuk pokok teori yang umum dari berbagai penelitian
mengenai kompleksitas dan menjadi dasar konseptual yang
membangun karakteristik kompleksitas. Berdasarkan karakteristik yang terbentuk, analisis teoretis akan memperjelas posisi kompleksitas diantara problem lainnya. Analisis terhadap SSM dilakukan untuk memperoleh pokok teori dari metodogi tersebut dan dimodifikasi untuk proses pembuatan keputusan. Sedangkan analisis kebutuhan SPPK menggunakan Conceptagon Analytical Tools dimaksudkan untuk memperoleh deskripsi kebutuhan SPPK secara konseptual. Penjelasan mengenai cara pelaksanaan setiap aktivitas dalam analisis teoretis dijelaskan di setiap awal subbab yang terkait.
III.1 Identifikasi Karakteristik Kompleksitas Proses identifikasi karakteristik kompleksitas merupakan analisis pertama yang akan dilakukan. Proses identifikasi karakteristik menggunakan input dari berbagai penelitian yang membahas mengenai kompleksitas. Berbagai penelitian tersebut akan dianalisis dengan content analysis, yaitu mengidentifikasi konten sesuai dengan konteksnya kemudian mengekstraksi karakteristik kompleksitas yang digunakan pada penelitian-penelitian tersebut. Adapun aktivitas pada proses identifikasi akan dinyatakan dalam bentuk tabel yang berisi fokus studi beserta ekstraksi karakteristik dari setiap penelitian. Berdasarkan ekstraksi tersebut kemudian
disusun
kompleksitas.
rekapitulasi
untuk
memperoleh
karakteristik
umum
34
III.1.1 Berbagai Penelitian Mengenai Kompleksitas Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan mengenai kompleksitas melibatkan banyak disiplin/domain keilmuan yang berbeda, diantaranya adalah bahasan dari teori sistem, teori jaringan (network theory) dari domain biologi dan kimia, dan lain sebagainya. Rangkuman berbagai penelitian yang membahas mengenai kompleksitas tersebut diberikan pada Tabel III.1.
Tabel III.1 Id. A
Karakteristik Kompleksitas
Related Works QudratUllah (2008)
Studi yang Dilakukan Pendekatan dalam menghadapi problem domain keputusan yang kompleks
B
Amaral dan Ottino (2004)
Penekanan pada network theory untuk mempelajari sistem kompleks
C
Kresh (2007)
Teori umum mengenai organismic systems dan pemahaman mengenai organized complexity
D
Marashi dan Davis (2005)
Penyelesaian isu-isu kompleksitas pada proses desain
E
Staker (1999)
Problem yang kompleks dan ill-structured
F
Liew dan Sundaram (2005)
Pembuatan keputusan pada problem kompleks
G
Jimenez dkk. (2002)
Keputusan yang kompleks
Karakteristik a) terdapat unsur dinamis dan uncertainty b) membutuhkan expertise c) terdapat kolaborasi d) criticality a) memiliki banyak komponen b) perilaku yang dinamis c) respon sistem yang beradaptasi terhadap kondisi eksternal a) memiliki banyak komponen b) berinteraksi secara dinamis c) memunculkan sejumlah tingkatan yang hierarkis d) menunjukkan common behaviors e) melintasi berbagai sistem, skala, dan disiplin ilmu a) memiliki banyak komponen b) terdapat banyak lapisan subsistem c) keterhubungan yang sulit dikelola dan diprediksi d) jumlah interaksi dan konflik kepentingan yang terus meningkat dari para stakeholder a) banyak bagian yang saling berhubungan b) terdapat efek propagasi a) keputusan-keputusan yang saling terhubung b) melintasi berbagai domain, paradigma, dan/atau perspektif c) pengulangan proses pembuatan keputusan a) banyak tujuan/sasaran b) kemungkinan konflik antar sasaran c) mengandung uncertainty
35
III.1.2 Karakteristik Umum Kompleksitas Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan yang diberikan pada Tabel III.1, dapat dibuat rekapitulasinya pada Tabel III.2.
Tabel III.2
Rekapitulasi karakteristik kompleksitas Karakteristik
Dinamis (unsur/perilaku/interaksi) Terdapat unsur ketidakpastian Membutuhkan expertise Terdapat kolaborasi Criticality Memiliki banyak komponen Beradaptasi dengan kondisi eksternal Adanya hierarki Terdapat common behaviors Melintasi berbagai domain (sistem/skala/disiplin ilmu) Terdapat banyak lapisan subsistem Keterhubungan yang sulit dikelola dan diprediksi Terdapat konflik kepentingan Banyak bagian yang saling berhubungan Terdapat efek propagasi Keputusan-keputusan yang saling terhubungan Pengulangan proses pembuatan keputusan Banyak tujuan/sasaran Berdasarkan Tabel
A √ √ √ √ √
B √
Related Works C D E √
F
G √
√ √
√
√
√ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √ √ √
III.2, dapat disimpulkan bahwa karakteristik umum
kompleksitas terdiri atas: a) memiliki sifat dinamis, baik pada unsur, perilaku, maupun interaksi yang terbentuk b) memiliki banyak komponen c) terdapat unsur ketidakpastian d) melintasi berbagai domain disiplin, sehingga dibutuhkan pengetahuan mengenai relasi antardomain tersebut e) terdapat konflik kepentingan antar subsistem yang berhubungan di dalamnya
36
Berdasarkan analisis karakteristik kompleksitas yang dimaksud dalam penelitian, jika diposisikan terhadap kompleksitas yang ditangani oleh Multi-Criteria Decision Making (MCDM), seperti Analytical Hierarchy Process (AHP), Weighted Product Model (WPM), dan TOPSIS, maka terdapat perbedaan pada latar belakang pengembangannya. Tabel
III.3 menunjukkan perbandingan
penanganan kompleksitas pada penelitian dan AHP.
Tabel III.3 Faktor pembeda Prinsip
Posisi kompleksitas Tujuan
Posisi penerapan
Perbandingan penanganan kompleksitas pada penelitian dan AHP
Penelitian
Metoda AHP
menangani problem dengan menerapkan SSM yang mencari keterhubungan antar subsistem yang terlibat bukan memecahnya menangani banyaknya perspektif stakeholder yang terlibat dalam pembuatan keputusan menyediakan kerangka kerja konseptual untuk memahami problem dan menentukan kebutuhan SPPK tingkatan konseptual dengan penekanan pada berbagai perspektif dalam pembuatan keputusan
memecah persoalan menjadi bagian-bagian yang tersusun secara hierarki dan memberi bobot pada setiap faktor menangani banyaknya kriteria/faktor yang terlibat dalam problem keputusan menyediakan kerangka kerja logis untuk menentukan benefit dari setiap alternatif tingkatan teknis dengan penekanan pada kompleksitas kriteria/faktor yang berpengaruh
Sesuai dengan tabel yang diberikan pada subbab karakteristik kompleksitas, AHP menunjukkan penanganan kompleksitas dari segi banyaknya faktor yang terlibat dalam pembuatan keputusan. Jika diposisikan pada kompleksitas yang dimaksud dalam penelitian, AHP dapat digunakan jika sudah mendapatkan gambaran kompleksitas situasi pada proses pembuatan keputusan. Hal tersebut disebabkan oleh prinsip pada AHP yang menangani problem dengan memecahnya menjadi sub-subproblem kemudian diidentifikasi kriteria dan faktor yang menentukan terbentuknya keputusan tertentu pada setiap subproblem. Berbagai kriteria dan faktor yang terlibat disusun membentuk hierarki dan pada akhir proses akan dihubungkan untuk mengetahui bobot dari setiap alternatif solusi yang telah didefinisikan. Dengan demikian, penelitian ini akan menjadikan SSM sebagai
37
bagian dari cara menstrukturkan situasi kompleks dan AHP dapat menjadi bagian dari alternatif cara mendefinisikan solusi.
III.2 Identifikasi Pemanfaatan SSM pada Proses Pembuatan Keputusan Proses identifikasi pemanfaatan SSM pada proses pembuatan keputusan dilakukan untuk mengetahui kapabilitas metodologi dalam menangani problem. Aktivitas yang dilakukan adalah menyelidiki kapabilitas SSM berdasarkan berbagai penelitian maupun studi mengenai penerapan SSM. Kapabilitas yang dimiliki oleh SSM dimanfaatkan untuk proses pembuatan keputusan. Modifikasi mungkin diperlukan untuk menangani situasi kompleks pembuatan keputusan.
III.2.1 Kapabilitas SSM Suatu metodologi dipilih untuk diterapkan harus berdasarkan pertimbangan kapabilitas yang dimiliki, sesuai dengan kasus yang ditangani. Dengan demikian, SSM dipilih sebagai metodologi dalam menangani kompleksitas pembuatan keputusan
harus
berdasarkan
pengetahuan
mengenai
kelebihan
dan
kekurangannya, sehingga tidak tersesat karena kesalahan memilih metodologi.
Berdasarkan penelitian dari Daellenbach dan McNickle (2005), SSM memiliki kapabilitas dalam menyediakan kerangka kerja untuk memahami problem yang dihadapi, bahkan problem kompleks sekalipun. Selain itu, SSM juga menyediakan alat untuk membangun gambaran model aktivitas yang berhubungan dengan dukungan sistem (Cheng V. dan Yau Chuk, 2004). Model konseptual SSM mampu menyediakan pandangan yang berfokus pada aktivitas sistem yang akan didukung.
Jika dikaitkan dengan pengembangan SPPK, yang harus didasarkan pada pemahaman aktivitas yang akan disediakan untuk proses pembuatan keputusan dan struktur untuk melaksanakannya, SSM dapat digunakan untuk memahami struktur pada proses pembuatan keputusan meskipun pada situasi kompleks. Analisis SSM yang berfokus pada situasi problem dapat memperbaiki pemahaman mengenai hubungan problem yang dihadapi dengan rencana pengembangan
38
SPPK, sehingga pengembangan SPPK sesuai untuk perencanaan proses pembuatan keputusan bukan sekedar one-off solution pada problem tertentu.
Semua problem kompleks akan melibatkan multiplicity actor, berbagai disiplin ilmiah/teknis, dan berbagai organisasi serta beragam individu. Pada prinsipnya, masing-masing memandang problem secara berbeda dan menghasilkan beragam perspektif mengenai sesuatu. Umumnya kelompok yang terlibat dalam organisasi seringkali dibedakan berdasarkan domain keahlian dan statusnya (pemimpin atau anggota), dan seringkali kelompok tersebut membuat keputusan yang dianggap benar atau salah (Hollenbeck, 1998). Struktur berkelompok tersebut sangat baik jika dikarakterisasikan sebagai tim daripada sekumpulan pembuat keputusan yang independen. Hal tersebut disebabkan oleh: a) setiap individu yang terlibat memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi, dimana masing-masing akan bergantung pada yang lain untuk informasi penting yang berhubungan dengan keberhasilan tim b) anggota dalam tim umumnya memiliki tujuan dan paham yang sama, dimana keberhasilan ataupun kegagalan tim mempengaruhi outcome individu itu sendiri c) anggota tim akan saling mempengaruhi dalam proses pembuatan keputusan.
Keterlibatan multiplicity actor dalam situasi kompleks perlu diperhitungkan pada proses pembuatan keputusan. Dengan demikian, diperlukan metodologi yang melibatkan berbagai persepktif dalam memandang suatu problem. SSM merupakan metodologi yang melibatkan multiple perspectives dalam menangani problem. Hal tersebut dilakukan sejak mendefinisikan perspektif yang terlibat dalam pembuatan keputusan, baik sebagai problem owners, problem actors, ataupun problem customers. Tahap pendefinisian tersebut dilakukan pada tahap kedua dalam SSM. Kapabilitas SSM dalam multiple perspectives tersebut melengkapi kapabilitasnya dalam menangani situasi kompleks pembuatan keputusan.
39
III.2.2 Modifikasi Soft Systems Methodology (SSM) Berdasarkan kapabilitas SSM yang dinyatakan pada subbab III.2.1 dan mengacu pada tahapan SSM pada subbab II.2.3, agar SSM dapat diterapkan pada proses analisis kebutuhan SPPK untuk mendukung situasi kompleks pembuatan keputusan, diperlukan modifikasi pada SSM. Modifikasi yang dimaksud diberikan pada Tabel III.4.
Tabel III.4
Modifikasi pada SSM untuk analisis kebutuhan SPPK
Tahap 1
SSM untuk Analisis Kebutuhan SPPK
SSM
2
Situasi problem yang tidak terstruktur Pernyataan situasi problem
3
Definisi sistem yang relevan
4
Model konseptual sistem sesuai dengan definisi Perbandingan model dengan dunia nyata Perubahan secara sistematis Tindakan untuk memperbaiki situasi problem
5 6 7
Identifikasi situasi pembuatan keputusan § Analisis keputusan § Analisis organisasi Pendefinisian sistem pembuatan keputusan Pengembangan model konseptual Pembandingan model dengan situasi dunia nyata Pendefinisian kontribusi SPPK Penentuan/pengubahan spesifikasi requirements SPPK
Modifikasi yang dilakukan pada tahapan SSM dilakukan dengan beberapa pertimbangan, yaitu: Tahap 1 : SSM akan diterapkan pada proses pembuatan keputusan, sehingga pada modifikasi dilakukan penyesuaian istilah yang lebih detil menjadi “identifikasi situasi pembuatan keputusan”. Proses yang dilakukan pada tahap tersebut juga telah dimodifikasi, dengan mencakup Weltanschauung dan Environmental constraints dari CATWOE. Hal ini disebabkan
situasi kompleks
pembuatan
keputusan
perlu
diposisikan keberadaannya terhadap proses lainnya serta untuk mengetahui batasan lingkungannya. Tahap 2 : Pada SSM, dilakukan analisis terhadap struktur problem, proses yang terlibat serta keterhubungan antara struktur dan proses. Kegiatan
40
tersebut pada analisis kebutuhan SPPK dilakukan pada tahap selanjutnya,
setelah
melakukan
analisis
keputusan
yaitu
mengidentifikasi Customers, Actors, dan Owners dari CATWOE dan analisis organisasi yaitu mengidentifikasi situasi organisasi proses pembuatan keputusan tersebut. Hal tersebut disebabkan struktur problem yang dihadapi harus sesuai dengan pandangan stakeholder yang terlibat dalam pembuatan keputusan. Tahap 3 : Pada SSM maupun dalam modifikasinya, sistem yang relevan dinyatakan dalam root definition. Namun, modifikasi SSM telah dispesifikasikan untuk sistem pembuatan keputusan sehingga istilah pada SSM tersebut diubah. Adapun pendefinisiannya dilakukan dengan mengidentifikasi Transformation process dari CATWOE, dimana kelima elemen analisis lainnya telah dipenuhi pada dua tahapan sebelumnya. Tahap 4 : Tidak ada modifikasi pada tahap ini, sebab model konseptual akan memberikan gambaran struktur problem yang ideal. Tahap 5 : Tidak ada modifikasi pada tahap ini, sebab pembandingan tersebut dilakukan untuk mengetahui posisi problem terhadap kondisi ideal yang digambarkan pada tahap 4. Tahap 6 : Perubahan
secara
sistematis
pada
SSM
dimodifikasi
untuk
mendefinisikan kontribusi SPPK. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apa yang dapat dikontribusikan oleh SPPK pada aktivitas yang dinyatakan pada model konseptual namun tetap menyesuaikan dengan kondisi organisasi yang akan didukungnya. Sehingga, tahap ini juga
mengarahkan
pada
pencapaian
kondisi
ideal
dengan
memanfaatkan dukungan SPPK. Tahap 7 : Tindakan untuk memperbaiki situasi problem dimodifikasi menjadi penentuan spesifikasi requirements SPPK, karena SSM pada penelitian difokuskan untuk mendukung proses analisis kebutuhan SPPK.
Rangkaian tahapan pada SSM pada proses analisis kebutuhan SPPK untuk situasi kompleks pembuatan keputusan diilustrasikan pada Gambar III.1.
41
Gambar III.1 Proses analisis kebutuhan SPPK Penjelasan dari setiap tahapan pada proses analisis kebutuhan SPPK adalah: 1) Identifikasi situasi pembuatan keputusan, merupakan tahapan awal yang ditandai dengan penentuan batasan problem agar tidak meluas atau mungkin terlalu sempit, sehingga tidak kehilangan esensinya sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk menyelesaikan problem tertentu. 2) Analisis keputusan dan analisis organisasi. Keduanya dapat dilakukan secara paralel. Analisis keputusan merupakan proses menyelidiki siapa saja stakeholder yang berwenang serta tanggung jawabnya dalam memutuskan hal
yang
terkait
dengan
problem.
Sedangkan
analisis
organisasi
merepresentasikan situasi organisasi tempat keputusan tersebut dilakukan, misalnya unsur-unsur kebijakan, budaya, dan aturan yang berlaku. Seluruh unsur tersebut berperan dalam menentukan sistem pembuatan keputusan yang sedang dihadapi. 3) Pendefinisian
sistem
pembuatan
keputusan,
dilakukan
dengan
memperhitungkan pendapat dari para stakeholder yang terlibat, baik sebagai pembuat keputusan, konsumen, maupun manajemen tingkat atas. Para stakeholder tersebut dapat dianggap sebagai personil yang mewakili proses pembuatan keputusan. Dari ketiganya dapat dihasilkan definisi yang beragam, meskipun pada akhirnya harus ditentukan sistem apa yang sebenarnya sedang dihadapi pada pembuatan keputusan tersebut. Pada tahapan ini didefinisikan root definition dari problem yang dihadapi.
42
4) Pengembangan model konseptual, merupakan bentuk konseptualisasi dan pemodelan berdasarkan root definition, sebagai gambaran mengenai situasi yang dihadapi. Model yang dihasilkan harus mampu mengakomodasi berbagai sudut pandang dari para stakeholder yang terlibat di dalam sistem, sehingga terdapat kejelasan mengenai kompleksitas pembuatan keputusan yang sedang dihadapi. 5) Pembandingan model dengan situasi dunia nyata. Model dibangun dengan anggapan bahwa kondisi ideal yang digambarkan dapat menjadi acuan atau pertimbangan untuk bertindak terhadap situasi yang sedang dihadapi. 6) Pendefinisian kontribusi SPPK, merupakan proses dalam menentukan bentuk kontribusi SPPK untuk mendukung aktivitas-aktivitas pada proses pembuatan keputusan. Tahap ini dapat dijalankan dengan menyesuaikan terhadap kondisi organisasi yang akan menerapkan atau sebaliknya, sebagai inspirasi bagi organisasi untuk berubah mendekati kondisi ideal seperti yang dimodelkan pada tahap sebelumnya. 7) Penentuan/pengubahan spesifikasi requirements SPPK, merupakan tindak lanjut dari pendefinisian kontribusi SPPK, karena pada tahap ini dideskripsikan spesifikasi requirements yang bersesuaian dengan kontribusi SPPK. Namun, jika terjadi perubahan dalam pendefinisian kontribusi SPPK, maka tahap ini akan menjadi proses pengubahan spesifikasi requirements SPPK.
III.3 Identifikasi Kebutuhan SPPK Proses identifikasi kebutuhan SPPK yang dimaksud pada analisis teoretis akan berada pada tingkatan konseptual. Proses identifikasi dilakukan dengan memanfaatkan Conceptagon Analytical Tools, dimana tools tersebut akan dijadikan sebagai panduan dalam melakukan identifikasi kebutuhan SPPK secara holistic berdasarkan kelompok konsep pada systems thinking. Adapun input yang digunakan berasal dari berbagai studi dalam mengembangkan SPPK. Aktivitas yang dilakukan mencakup pemetaan kebutuhan SPPK pada Conceptagon Analytical Tools dan menentukan kelompok konsep yang harus diidentifikasi secara spesifik terhadap problem yang ditangani.
43
III.3.1 Pemetaan Kebutuhan SPPK pada Conceptagon Analytical Tools SPPK merupakan istilah yang didefinisikan luas dan mencakup penggunaan sistem
terkomputerisasi
untuk
membantu
pembuat
keputusan
dengan
menyediakan informasi yang lebih baik dan tepat waktu. Pada awal perkembangannya SPPK dipandang dari berbagai perspektif yang sangat beragam (Olson, 2007). Disiplin SI memfokuskan pada sistem, yang menyediakan data dari berbagai sumber (internal maupun eksternal), tool-kit model, dan antarmuka. Sedangkan OR menekankan pada penggunaan model untuk membuat keputusan. Selain kedua domain tersebut, ada juga yang mengembangkan ide mengenai dukungan keputusan dengan berfokus pada pengembangan sistem untuk menggabungkan analisis multiple criteria pada bantuan keputusan.
Pandangan yang holistic dengan Conceptagon Analytical Tools dimaksudkan agar dapat mengungkapkan SPPK secara utuh. Dengan ketujuh kelompok konsep yang tercakup pada tools tersebut, akan terdapat deskripsi yang utuh mengenai SPPK. Pendekatan ini mencakup penilaian terhadap situasi problem sebagai suatu sistem (synthesis dan analysis) dan metode penyelesaian problem sebagai proses yang sistemik dari inquiry. Berikut ini adalah analisis terhadap SPPK dengan menggunakan conceptagon analytical tools.
1) Boundary, Interior, Exterior Boundary menyatakan sesuatu yang menjadi fokus perhatian sebagai sistem yang diamati, yaitu kebutuhan SPPK. Salah satu cara dalam menentukan batasan pada sistem tersebut adalah dengan mendefinisikan SPPK dari sudut pandang berbagai pihak yang terlibat pada proses pendefinisian kebutuhan SPPK, antara lain: a) para pembuat keputusan, yaitu pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk memutuskan terhadap problem yang dihadapi b) analis sistem, yaitu pihak yang bertanggung jawab dalam menentukan kontribusi SPPK sesuai dengan kebutuhan organisasi c) manajemen tingkat atas, yaitu pihak organisasi yang berwenang dalam mengawasi seluruh kegiatan organisasi
44
Para pembuat keputusan, analis sistem, dan manajemen tingkat atas berada di dalam sistem dan sistem harus menangani kebutuhan mereka. Pemahaman mengenai manajemen tingkat atas pada konteks bahasan ini adalah para personil yang bertanggung jawab dalam mencapai visi dan misi organisasi, umumnya sebagai komisaris dan jajaran direksi. Sedangkan para pembuat keputusan adalah jajaran manajemen yang bertanggung jawab dalam mencapai tujuan organisasi sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Contohnya, manajemen pemasaran merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam mendefinisikan produk dan jasa yang akan dihasilkan serta membidik pasar yang sesuai. Pihak-pihak yang terlibat akan mendefinisikan SPPK secara spesifik terhadap konteks pembuatan keputusan yang ditanganinya.
Setelah mendefinisikan sistem dari perspektif pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan, dilakukan pembatasan terhadap problem yang diamati. Jika sebelumnya sudah dinyatakan bahwa sistem yang dimaksud pada penelitian mengacu pada kebutuhan SPPK, maka lingkup yang akan ditangani oleh sistem tersebut diperuntukkan dalam mendukung aktivitas-aktivitas pada proses pembuatan keputusan dengan situasi kompleks. Oleh sebab itu, pembatasan terhadap sistem yang diamati menjadi hal yang penting dalam mendeskripsikan spesifikasi kebutuhan SPPK. Penentuan boundary kebutuhan SPPK diilustrasikan pada Gambar III.2.
Gambar III.2 Boundary kebutuhan SPPK
45
2) Input, Output, Transformation Input yang digunakan pada sistem kebutuhan SPPK, adalah pendefinisian kontribusi SPPK untuk proses pembuatan keputusan yang kompleks setelah distrukturkan dengan memanfaatkan SSM. Sedangkan output yang dihasilkan berupa deskripsi kebutuhan SPPK. Transformasi dilakukan untuk mengubah input menjadi output yang sesuai, bukan sekedar mendefinisikan tools atau aplikasi apa saja
yang
diperlukan.
Dengan demikian,
transformasi
didefinisikan sebagai bagian dari proses pembuatan keputusan yang tidak hanya melibatkan analis yang menentukan kebutuhan SPPK, namun juga melibatkan para pembuat keputusan. Pendefinisian mengenai kebutuhan yang dapat dikontribusikan oleh SPPK dilakukan dengan melibatkan para pembuat keputusan karena sistem yang dikembangkan harus mampu mengakomodasi kebutuhan spesifik yang seringkali berubah seiring dengan situasi problem. Terlebih dengan berada pada konteks kompleksitas problem dalam pembuatan keputusan, dimana terdapat unsur ketidakpastian, akan sangat diperlukan peran para pembuat keputusan dalam mendefinisikan model yang sesuai. Input, output, dan transformasi kebutuhan SPPK diperlihatkan pada Gambar III.3.
Gambar III.3 Input, output, dan transformasi kebutuhan SPPK
46
3) Wholes, Parts, Relationships Pengembangan SPPK sebagai satu sistem melibatkan berbagai komponen yang menjadikannya utuh. Setiap komponen menjalankan perannya masingmasing sebagai cara dalam mencapai tujuan yang telah didefinisikan saat menentukan kebutuhan SPPK. Adapun komponen yang terdapat pada kebutuhan SPPK terdiri atas: a) tools atau perangkat keras yang menjadikan user dapat berinteraksi dengan perangkat lunak, seperti komputer. b) perangkat lunak atau aplikasi SPPK yang memiliki sub-subkomponen penyusunnya, yang dapat dibedakan menjadi 3 fungsi utama atau yang dikenal dengan functional breakdown dari sistem, yaitu: i.
manajemen dialog antara user dan sistem, yaitu kerangka kerja yang menampilkan output dan juga mendefinisikan konteks input yang sesuai. Hal ini mencakup: 1. antarmuka pengguna, untuk menangani aspek sintaks dari interaksi, seperti peralatan, view physical, dan gaya berinteraksi 2. fungsi kontrol dialog, untuk menentukan semantik dasar dari interaksi sistem pendukung keputusan, serta menjaga konteks interaksi yang dapat berupa sistem yang terdefinisi maupun yang dikendalikan oleh pengguna 3. fungsi perubahan request, yang berperan menjaga kesesuaian antara vocabulary pengguna dan model yang spesifik serta akses terhadap data sesuai dengan operasi yang dijalankan.
ii. manajemen data, mencakup kemampuan menyimpan, mengambil, dan memanipulasi data sebagai dasar layanan yang disediakan oleh sistem pendukung
keputusan.
Fungsi-fungsi
yang
dibutuhkan
pada
manajemen data adalah: 1. Database Management System (DBMS): menyediakan mekanisme pengaksesan data pada tingkat tinggi 2. data directory: mengelola definisi data pada database beserta deskripsi jenis dan sumber data pada sistem
47
3. query
facility:
request
menerjemahkan
data,
menentukan
bagaimana request akan dipenuhi, membuat formulasi request yang mendetail dan spefisik terhadap DBMS tertentu, serta mengembalikan hasil pada pihak yang melakukan request 4. staging and extraction: mengelola pengaksesan pada sumber data eksternal, serta melakukan koneksi antara sistem pendukung keputusan dengan sumber data eksternal yang berkaitan iii. manajemen
model,
mencakup
kapabilitas
untuk
menangkap,
menjalankan, mengubah, mengombinasikan, dan memeriksa model. Fasilitas pada manajemen model umumnya menyediakan: 1. Model
Base
Management
menghasilkan,
mengambil,
merestrukturisasi
model,
System
(MBMS),
memperbarui
termasuk
model
bertugas
parameter directory
dan untuk
menyimpan informasi model yang tersedia 2. model execution, bertugas mengontrol jalannya model, serta menghubungkan model saat diperlukan adanya integrasi 3. modeling
command
processor,
bertugas
menerima
dan
menerjemahkan 4. instruksi setelah melewati komponen dialog, dan meneruskannya ke MBMS atau model execution 5. database interface, berperan dalam mengambil data dari database untuk model yang dijalankan, serta menyimpan output model pada database untuk proses selanjutnya, atau sebagai input bagi model lainnya c) Pengguna yang menjalankan aplikasi dari SPPK yang direncanakan.
Bentuk
keterhubungan
antarkomponen
diperlihatkan pada Gambar III.4.
tersebut
secara
umum
dapat
48
Gambar III.4 Keterhubungan antarkomponen SPPK (modifikasi skematik DSS dari Turban (2007)) 4) Structure, Function, Process Proses pembuatan keputusan yang kompleks umumnya akan melewati beberapa tahapan keputusan sebelum mencapai suatu keputusan akhir. Hal ini seringkali terjadi di lingkungan organisasi dengan beberapa tujuan yang telah ditetapkan dan hanya dapat dicapai dengan melibatkan berbagai pihak, meskipun memiliki prioritas tujuan beragam. Dalam hal ini, SPPK dimaksudkan untuk mendukung berbagai subsistem yang memiliki prioritas masing-masing dalam mencapai tujuan, dengan membentuk keterhubungan tertentu dalam rangka mendukung pembuatan keputusan secara utuh pada sistem yang diamati.
Fungsi dari SPPK yang dimaksud dalam penelitian ini adalah untuk mendukung proses pembuatan keputusan pada situasi yang kompleks dengan memanfaatkan data dan model guna menyajikan informasi yang relevan dengan problem yang dihadapi. Untuk dapat menjalankan fungsi sesuai dengan yang dimaksudkan, SPPK harus memiliki struktur yang terdiri atas manajemen antarmuka, manajemen data, dan manajemen model. Struktur tersebut berjalan menurut proses tertentu yang mengakomodasi model sesuai dengan situasi yang dihadapi, data yang relevan dengan kebutuhan, serta penyajian informasi kepada pengguna dalam bentuk yang sesuai.
49
Struktur yang membentuk SPPK tersebut memiliki komponen yang sama, namun cara pengembangannya dapat dibedakan dengan penekanan pada komponen yang membentuknya. Salah satu jenis tersebut adalah SPPK berbasis model yang sesuai untuk diterapkan pada situasi yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan isu utama pada SPPK berbasis model adalah mengenai keterhubungannya dengan proses pembuatan keputusan yang sebenarnya. Pada situasi manajerial, pembuat keputusan umumnya akan dihadapkan dengan problem yang saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya dan SPPK hanya mencakup sejumlah problem yang dapat diatasi pada proses pembuatan keputusan. Bagian pada proses pembuatan keputusan seringkali tidak dapat dinyatakan secara matematis atau diarahkan pada hard system thinking.
SPPK berbasis model berdasarkan cara melakukan analisis modelnya dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: deskriptif (biasa disebut prediktif) dan preskriptif (normatif). Jika SPPK yang deskriptif digunakan untuk memprediksi
behavior
sistem
yang
dimodelkan
tanpa
bermaksud
mempengaruhinya, maka SPPK yang preskriptif bertujuan untuk menyediakan informasi mengenai kontrol (pada situasi manajerial dinamakan keputusan) yang dapat menghasilkan behavior yang diharapkan dari sistem yang dimodelkan. Salah satu tools untuk menjalankan model pada mode deskriptif adalah dengan simulasi. Penggunaan simulasi dan optimisasi dapat diperbandingkan sebagai berikut: a) Pada mode simulasi, variabel keputusan adalah input dan goal adalah keluarannya. Sehingga teknik ini baik untuk mengeksplorasi intuisi dari pembuat keputusan bukan hanya untuk verifikasi model tapi juga menyediakan pembuat keputusan dengan informasi dari konsekuensi penerapan sejumlah keputusan. b) Optimisasi dapat dianggap sebagai pendekatan yang berorientasi goal (value-focused), mengarah pada pembuatan alternatif. Optimisasi didorong oleh harapan untuk mencapai sejumlah goal, sehingga goal dan values dari
50
variabel keputusan adalah keluarannya. Menggunakan teknik ini berarti user hanya dapat mengontrol sebagian dari cara analisis model dilakukan.
Model merupakan penyederhanaan dari dunia nyata, dan optimisasi terbatas pada model yang mencakup tujuan serta selalu berupa penyederhanaan dari struktur yang terlihat oleh pembuat keputusan, sehingga solusi optimal dari model bisa jadi tidak optimal pada kenyataannya.
Pemodelan
diartikan
sebagai
proses
memahami,
menangkap,
merepresentasikan, dan menyelesaikan model. Terdapat 4 alasan mengapa pemodelan merupakan proses yang penting, yaitu: untuk menangkap perspektif yang berhubungan dengan fungsi, behaviour, organisasi, dan informasi (Liew dan Sundaram, 2005). Perspektif yang berhubungan fungsi membantu memahami elemen-elemen proses yang sedang dijalankan dan bagaimana alur informasinya; behaviour menyatakan kapan elemen proses dijalankan dan bagaimana dijalankan melewati feedback loops, iterasi, kondisi pembuatan keputusan yang kompleks, serta kriteria entry dan exit; organisasi dapat menunjukkan dimana elemen proses dijalankan dan siapa pelaku dalam organisasi; informasi dapat menunjukkan entitas informasi yang dihasilkan atau dimanipulasi oleh proses serta keterhubungan antar entitas tersebut.
Problem kompleks akan memiliki keputusan yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya dan integrasi model merupakan bentuk keleluasaan para pembuat keputusan dalam membuat keputusan. Menurut Power dan Sharda (2005), terdapat beberapa teknik yang umum dilakukan untuk membangun SPPK berbasis model ini, yaitu dengan analisis keputusan, pemrograman yang berhubungan dengan matematika, dan simulasi. Decision Analysis menunjukkan metode yang melibatkan evaluasi yang terkuantifikasi mengenai berbagai alternatif tindakan yang dapat dilakukan. Pemrograman matematika dimaksudkan untuk menyediakan sejumlah jenis optimisasi kriteria keputusan yang digunakan. Sedangkan simulasi menggunakan pendekatan yang memisalkan behavior sistem yang diamati.
51
Gambar III.5 Ilustrasi process flow dengan melibatkan SPPK 5) Command, Control, Communications Pada SPPK, command berasal dari pengguna, yaitu para pembuat keputusan atau perantara yang menjalankan aplikasi dari SPPK untuk memperoleh informasi bagi para pembuat keputusan. Berdasarkan sistem yang diamati, maka command akan selalu berasal dari pengguna yang berinteraksi langsung dengan aplikasi dari SPPK.
Sedangkan control atau kendali berupa penentuan prioritas kriteria keputusan yang digunakan. Masing-masing stakeholder pada proses pembuatan keputusan dapat memiliki asumsi yang berbeda mengenai prioritas tujuan meraka, sehingga kendali dari masing-masing pihak tersebut dapat mempengaruhi output dari setiap SPPK.
Karena pembuat keputusan pada sistem kompleks terdiri lebih dari satu orang/pihak, maka pengembangan SPPK dimaksukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan pembuatan keputusan sebelum mencapai keputusan akhir. Berbagai SPPK yang dikembangkan berkomunikasi dalam membentuk jaringan sehingga terdapat keterhubungan antara SPPK di subsistem satu dengan SPPK di subsistem lainnya. Pada Gambar III.6 diberikan ilustrasi dari command, control, dan communication dari SPPK dalam sistem pembuatan keputusan.
52
Gambar III.6 Ilustrasi command, control, dan communication pada sistem Adapun control dari setiap pihak berada pada domain keahlian masingmasing, yang dapat dinyatakan seperti pada Tabel III.5.
Tabel III.5
Control variabel pada SPPK yang berkaitan
Profesi Stakeholder 1 Stakeholder 2 Stakeholder 3 ...
SPPK SPPK 1 SPPK 3 SPPK 2 ...
Variabel yang dikontrol Variabel 1, Variabel 3 Variabel 4 Variabel 2, Variabel 5 ...
6) Variety, Parsimony, Harmony SPPK yang dapat mendukung proses pembuatan keputusan dapat ditentukan berdasarkan aktivitas-aktivitas yang dijalankan. Kemungkinan kontribusi SPPK pada aktivitas dapat beragam jenisnya dan senantiasa berubah jika aktivitas dalam proses tersebut juga berubah. Kesesuaian antara SPPK dan aktivitas yang didukungnya harus selaras dan bekerja sama dalam mencapai tujuan pembuatan keputusan yang telah didefinisikan. Pendefinisian SPPK yang berkontribusi pada aktivitas harus mampu menangani kasus yang didefinisikan, sebab jika tidak akan menghilangkan kemampuan SPPK yang sebenarnya. Dimana SPPK mampu mengombinasikan antara kemampuan terbaik manusia dalam mengenali pola pada faktor-faktor yang mempengaruhi
53
keputusan dan kemampuan komputer dalam kecepatan dan akurasi yang lebih baik daripada manusia.
Berbagai kontribusi dari SPPK dalam menjalankan proses pembuatan keputusan selain harus serasi dengan aktivitas, juga harus selaras dengan SPPK yang mendukung aktivitas lainnya. Dengan demikian, keterhubungan antar aktivitas dan antar SPPK dalam proses pembuatan keputusan harus didefinisikan agar selaras dan mencapai tujuan yang diinginkan. Untuk lebih memperjelas keterhubungan kelompok konsep ini pada sistem kebutuhan SPPK diberikan ilustrasi seperti pada Gambar III.7.
Gambar III.7 Ilustrasi variety, parsimony, dan harmony pada kebutuhan SPPK 7) Openness, Hierarchy, Emergence Identifikasi kebutuhan SPPK termasuk sistem yang terbuka, karena kontribusi SPPK pada proses pembuatan keputusan dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakukan. Berbagai aktivitas pada proses pembuatan keputusan dipengaruhi oleh lingkungan eksternal dimana sistem tersebut berjalan. Jika kebutuhan SPPK menjadi sistem yang diamati, maka lingkungannya adalah situasi kompleks pembuatan keputusan. Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa batasan sistem tidak solid dan tingkat interaksinya cukup tinggi dengan aktivitas pada pembuatan keputusan.
Jika membahas hierarki komponen sistem,
yaitu kebutuhan SPPK,
keberadaanya sangat bergantung pada sistem pembuatan keputusan sebagai
54
sistem dimana SPPK tersebut akan bernaung. Struktur pada kebutuhan SPPK secara umum tidak menunjukkan hierarki apapun, namun variabel yang dikontrol pada aplikasi SPPK dapat menunjukkan adanya hierarki tertentu yang menunjukkan wewenang para pembuat keputusan dalam mempengaruhi keputusan akhir. Dengan demikian, konsep hierarchy dapat didefinisikan spesifik terhadap sistem pembuatan keputusan yang didukung oleh SPPK tersebut.
Konsep terakhir yang didefinisikan adalah emergent behavior dari sistem kebutuhan SPPK. Hal ini tidak dapat dilakukan secara konseptual, karena kemunculan behavior tergantung pada sistem pembuatan keputusan yang didukungnya. Sehingga dapat dinyatakan bahwa emergent behavior akan berasal dari situasi kompleks pembuatan keputusan yang akan mempengaruhi identifikasi kebutuhan SPPK.
III.3.2 Deskripsi Sistem Kebutuhan SPPK secara Konseptual Deskripsi kebutuhan secara konseptual tidak dapat menunjukkan kebutuhan SPPK yang dedicated untuk kasus tertentu. Namun, deskripsi kebutuhan tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk mengidentifikasi kebutuhan SPPK secara spesifik, yang akan diberikan pada subbab IV.3. Berdasarkan pemetaan pada Conceptagon Analytical Tools, dapat didefinisikan bahwa sistem kebutuhan SPPK secara konseptual mencakup: a) Definisi SPPK dari perspektif para pembuat keputusan, analis sistem, dan manajemen tingkat atas. Kemudian, membatasi problem pada situasi kompleks pembuatan keputusan yang akan didukung oleh SPPK. b) Transformasi pada sistem kebutuhan SPPK adalah identifikasi kebutuhan SPPK spesifik terhadap problem, dengan menggunakan input berupa definisi kontribusi SPPK pada proses pembuatan keputusan dalam situasi kompleks dan menghasilkan output berupa deskripsi kebutuhan SPPK. c) Komponen pada SPPK terdiri atas tools atau perangkat keras, perangkat lunak, dan pengguna. Adapun subkomponen pada perangkat lunak mencakup manajemen dialog, manajemen data, dan manajemen model.
55
d) Proses pembuatan keputusan yang kompleks umumnya harus melewati berbagai keputusan subsistemnya sebelum mencapai keputusan akhir, dimana SPPK dikembangkan untuk mendukung aktivitas pada proses tersebut. Hal ini sesuai dengan fungsi SPPK sebagai pendukung proses pembuatan keputusan pada situasi yang kompleks dengan memanfaatkan data dan model guna menyajikan informasi yang relevan dengan problem yang dihadapi e) Command berasal dari pengguna yang berinteraksi langsung dengan aplikasi dari SPPK, control berasal dari para stakeholder yang berperan dalam pembuatan keputusan, dan communication terbentuk dari keterhubungan antar SPPK dan keterhubungan dengan stakeholder. f) Beragam kontribusi dari SPPK ditentukan berdasarkan aktivitas yang didukungnya dan perubahan pada proses akan mempengaruhi kontribusi yang dapat diberikan, juga keterhubungan antar aktivitas dan antar SPPK dalam proses pembuatan keputusan harus didefinisikan agar selaras dan mencapai tujuan yang diinginkan. g) Kebutuhan SPPK merupakan bentuk sistem terbuka yang memiliki tingkat interaksi cukup tinggi dengan aktivitas pada pembuatan keputusan, dimana hierarki dan emergent behavior bersifat spesifik terhadap kasus.
III.4 Kesimpulan Hasil Analisis Teoretis Berdasarkan uraian dari analisis teoretis yang terdiri atas identifikasi karakteristik kompleksitas, identifikasi pemanfaatan SSM pada proses pembuatan keputusan, dan identifikasi kebutuhan SPPK, dapat dirumuskan beberapa hal untuk digunakan pada tahap tahap analisis kasus, yaitu: 1) Karakteristik umum kompleksitas yang terdiri atas: a. memiliki sifat dinamis, baik pada unsur, perilaku, maupun interaksi yang terbentuk b. memiliki banyak komponen c. terdapat unsur ketidakpastian (uncertainty) d. melintasi berbagai domain disiplin, sehingga dibutuhkan pengetahuan mengenai relasi antardomain tersebut e. terdapat konflik kepentingan antar subsistem yang berhubungan
56
Kelima
karakteristik
tersebut
akan
dijadikan
sebagai
acuan
untuk
mengidentifikasi karakteristik pada kasus yang dipilih. Jika ditemukan karakteristik-karakteristik tersebut pada kasus, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik kompleks tersebut juga membangun karakteristik situasi kompleks pembuatan keputusan. 2) Sesuai dengan kapabilitas yang dimiliki, SSM menyediakan kerangka kerja untuk memahami problem, bahkan problem yang kompleks sekalipun. Selain itu, SSM juga menggunakan multiple perspectives sehingga dapat mengakomodasi perspektif orang-orang yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Adapun modifikasi yang dilakukan pada SSM dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan proses pengembangan SPPK yang mendukung situasi kompleks pembuatan keputusan. Dengan demikian, modifikasi SSM dapat dimanfaatkan untuk memahami situasi kompleks pembuatan keputusan seperti yang akan diberikan pada Bab IV. 3) Kebutuhan SPPK secara holistic dengan Conceptagon Analytical Tools merupakan sistem yang mentransformasikan identifikasi kontribusi SPPK menjadi spesifikasi kebutuhan SPPK, dengan komponen yang terdiri atas tools atau perangkat keras, perangkat lunak, dan pengguna. SPPK dikembangkan untuk mendukung aktivitas-aktivitas yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan, umumnya terdiri atas subsistem yang saling berhubungan. Perubahan pada aktivitas pembuatan keputusan dapat mengakibatkan perubahan pada spesifikasi kebutuhan SPPK yang dibutuhkan.