III. LANDASAN TEORETIS
1. Pemodelan Deskriptif dengan Metode ISM (Interpretative Structural Modeling ) Eriyatno (1999) mengemukakan bahwa dalam proses perencanaan strategik seringkali para penyusunnya terjebak dalam sudut pandang yang terlalu sektoral bergantung pada siapa yang memiliki pengaruh kuat dalam proses perencanaan tersebut. Padahal, perencanaan strategik seharusnya bersifat heuristik (menyeluruh) dengan mempertimbangkan berbagai komponen sistemnya. Pada saat ini terdapat berbagai teknik yang dikembangkan untuk perencanaan strategik yang bersifat heuristik. Salah satu teknik tersebut adalah teknik pemodelan ISM. Teknik ISM merupakan proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yan g kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan gambar dan kalimat. Teknik ISM, utamanya digunakan untuk pengkajian oleh suatu tim, tetapi dapat juga digunakan oleh seorang peneliti. (Eriyatno, 1999). Marimin (2004) menyatakan bahwa teknik ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk mengatasi kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan/atau aplikasi statistik deskriptif. Dalam teknik ISM model mental yang tidak jelas ditransformasikan menjadi model sistem yang tampak (visible) dan didefinisikan secara jelas (Saxena, 1994 dalam Eriyatno, 1999). Teknik pemodelan ISM diterapkan dalam dua bagian, yaitu Penyusunan Hirarki dan Klasifikasi Subelemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi struktur dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik.
a. Penyusunan hirarki Jenjang (hirarki) diartikan sebagai derajat dari tingkatan (ranking of levels) dari beberapa sub -ordinat terhadap lainnya; dengan anggapan jenjang-jenjang tersebut berada pada suatu bentuk struktur yang teratur (Rosser, 1994 dalam Eriyatno, 1999). Penentuan tingkat jenjang (hirarki) menggunakan lima kriteria, yaitu (1) kekuatan ikatan (bond strength) dalam dan antar-kelompok atau tingkat, (2) frekuensi relatif guncangan (oskilasi), dalam hal ini tingkat (jenjang) yang lebih rendah lebih cepat terguncang daripada jenjang di atasnya, (3) konteks (context), di mana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat dan pada ruang yang lebih luas dibandingkan jenjang di bawahnya, (4) cakupan (containment), dalam hal ini jenjang yang lebih tinggi mencakup jenjang yang lebih rendah, dan (5) hubungan fungsional, dalam hal ini jenjang yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat di jenjang bawahnya. Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemenelemen dan selanjutnya setiap elemen diuraikan lagi menjadi sejumlah sub-elemen. Langkah ini diulang-ulang sampai tingkat penguraian dirasakan memadai. Saxena (1992) dalam Eriyatno (1999) menyatakan bahwa program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu (1) sektor masyarakat yang terpengaruhi, (2) kebutuhan dari program, (3) kendala utama, (4) perubahan yang dimungkinkan, (5) tujuan program, (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Selanjutnya setiap elemen dari program yang dikaji diuraikan menjadi sejumlah sub -elemen dan di antara sub-elemen yang dihasilkan ditetapkan hubungan kontekstual. Dalam hubungan kontekstual terdapat adanya suatu arah (direction) 45
tertentu, misalnya: “apakah tujuan A lebih penting daripada tujuan B?”, atau “apakah lembaga A lebih berperan daripada lembaga B?” Hubungan kontekstual dalam teknik ISM selalu dinyatakan dalam terminologi sub -ordinat yang menuju pada pembandingan berpasangan (pairwise comparison) antar-subelemen yang mengandung arah hubungan tersebut. Hubungan ini dapat bersifat kualitatif ataupun kuantitatif. Dalam teknik ISM data yang diolah adalah kumpulan pendapat pakar (experts) yang ditanyai tentang keterkaitan antarsubelemen. Contoh keterkaitan antar-subelemen ini dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Keterkaitan antar-subelemen dalam teknik ISM (Marimin, 2004) Jenis Pembandingan (comparative) Pernyataan (definitive) Pengaruh (influence)
Keruangan (spatial)
Kewaktuan Scale)
(Temporal/Time
• • • • • • • • • • • • • •
Interpretasi A lebih penting/besar/indah, daripada B A termasuk didalam B A mengartikan B A menyebabkan B A adalah sebagian penyebab B A mengembangkan B A menggerakkan B A meningkatkan B A adalah selatan/utara B A diatas B A sebelah kiri B A mendahului B A mengikuti B A mempunyai prioritas lebih dari B
Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual dapat disusun Matriks SwaInteraksi Struktural (Structural Self-Interaction Matrix, atau SSIM). Penyusunan SSIM ini menggunakan simbol-simbol V, A, X, dan O, dengan penjelasan sebagai berikut: (Eriyatno, 1999) V adalah eij = 1 dan eji = 0
X adalah eij = 1 dan eji = 1
A adalah eij = 0 dan eji = 1
O adalah eij = 0 dan eji = 0
Simbol 1 menunjukkan adanya hubungan kontekstual, dan simbol 0 menunjukkan tidak adanya hubungan kontekstual, di antara elemen I dan J dan sebaliknya. 46
Setelah SSIM terbentuk, dapat dibuat Matriks Keterjangkauan (Reachibility Matrix, atau RM) dengan mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Selanjutnya dilakukan perhitungan menurut Aturan Transitivitas untuk melakukan koreksi terhadap SSIM sampai terjadi matriks yang tertutup. Modifikasi SSIM in i membutuhkan masukan dari panel pakar. Hasil revisi SSIM dan matriks yang memenuhi syarat Aturan Transitivitas diproses lebih lanjut. Pengolahan lebih lanjut dari RM yang telah memenuhi Aturan Transitivitas adalah penetapan pilihan jenjang. Pengolahan tersebut bersifat tabulatif dengan pengisian format, dan dapat dibantu dengan komputer. b. Klasifikasi subelemen Untuk berbagai subelemen dalam suatu elemen berdasarkan RM dapat disusun matriks Driver-Power-Dependence atau matriks daya-gerak - ketergantungan (matriks D-P-D). Klasifikasi subelemen diuraikan dalam empat sektor sebagai berikut: Sektor 1:
Weak driver-weak dependent variables (autonomous), atau variabel
penggerak lemah-ketergantungan rendah. Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mempunyai hubungan yang sedikit, meskipun hubungan tersebut mungkin saja kuat. Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables (dependent), atau variabel penggerak lemah-ketergantungan tinggi. Umumnya peubah di sektor ini merupakan peubah tak-bebas. Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables (linkage) atau variabel penggerak kuat-ketergantungan tinggi. Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hatihati karena hubungan antarvariabel bersifat tidak stabil. Setiap tindakan atas variabel ini akan memberikan dampak terhadap yang lain dan umpan balik pengaruhnya dapat memperbesar dampak. 47
Sektor 4: Strong driver-weak dependent variables (independent) atau variabel penggerak kuat-ketergantungan rendah. Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan dinamakan peubah bebas. Keseluruhan urutan kerja dalam teknik ISM mulai dari tahap penyusunan hirarki sampai hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 3.1. Program
Uraikan program menjadi perencanaan program
Uraikan setiap elemen menjadi Sub-elemen
Tentukan hubungan kontekstual antara Sub-elemen pada setiap elemen
Susunlah SSIM untuk setiap elemen
Bentuk Reachability Matrik setiap elemen
Uji matriks dengan Aturan Transivity
Tidak
OK?
Modifikas i SSIM
ya
Tentukan Level Melalui pemilahan
Ubah RM menjadi Format lower trianguler RM
Tetapkan Driver dan Driver Power setiap Sub-elemen
Tentukan Rank dan Hirarki dari Sub elemen Susun Diagraph dari Lower Tringular RM
Tetapkan Driver Dependence Matriks setiap elemen
Plot Sub-elemen pada empat sektor
Susunlah ISM dari setiap elemen
Klasifikasi sub-elemen pada empat peubah kategori
Gambar 3.1. Diagram teknik ISM (Saxena, 1992 dalam Marimin, 2004). 48
2. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Metode perbandingan eksponensial (MPE) adalah metode yang dapat digunakan untuk memilih berbagai alternatif keputusan yang ada berdasarkan kriteria tertentu. Marimin (2004) menyatakan bahwa MPE, karena menggunakan fungsi eksponensial akan memberikan nilai skor urutan prioritas yang perbedaannya besar di antara urutan prioritas pertama dan urutan berikutnya, dengan demikian urutan prioritas alternatif menjadi lebih nyata. Maarif dan Tanjung (2003) menguraikan bahwa tahap–tahap dalam pelaksanaan MPE adalah sebagai berikut: 1.
Mendaftarkan semua alternatif keputusan yang tersedia,
2.
Menentukan kriteria dalam pengambilan keputusan,
3.
Menentukan derajat kepentingan relatif setiap kriteria keputusan dengan menggunakan skala konversi tertentu sesuai dengan keinginan pengambil keputusan,
4.
Menentukan derajat kepentingan relatif setiap alternatif keputusan berdasarkan kriteria keputusan,
5.
Menghitung nilai dari setiap alternatif keputusan, dan
6.
Memberikan urutan prioritas pada setiap alternatif berdasarkan nilai masingmasing. Menurut Eriyatno (1999), perhitungan nilai untuk masing -masing alternatif
adalah sebagai berikut: Nilai alternatif (m) =
(nilai kriteria 1)** (tingkat kepentingan ) + (nilai kriteria 2)** (tingkat kepentingan) + ……. + (nilai kriteria n)** (tingkat kepentingan)
49
Pemberian jenjang pada tahap akhir adalah berbdasarkan urutan nilai alternatif mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil. Teknik MPE dapat dilihat pada Tabel 3.2. sebagai berikut: Tabel 3.2. Matriks keputusan dengan teknik MPE (Eriyatno, 1999) Nilai Keputusan Alternatif
Kriteria 1 Alternatif
2
3
…
Urutan Prioritas
m
1 2 3 … N
Tingkat Kepentingan Kriteria
3. Analisis Kelayakan Usaha Brown (1994) menyatakan metode yang digunakan untuk menganalisis kelayakan suatu usaha agroindustri sama dengan metode yang digunakan untuk menganalisis kelayakan usaha sektor yang lain. Hermawan (1996) menyatakan bahwa faktor-faktor yang penting untuk dikaji dalam suatu analisis kelayakan usaha adalah sebagai berikut: a) kebutuhan dana, b) sumber dan biaya modal, c) arus kas, d) kriteria penilaian investasi, dan e) analisis sensitivitas. Brown (1994) lebih lanjut mengemukakan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menganalisis kelayakan usaha agroindustri adalah sebagai berikut: 1. Menentukan pola pemasukan yang mungkin, 2. Memperkirakan volume dan harga untuk seetiap produk dan pasar, 3. Menyiapkan perkiraan awal dana investasi dan biaya operasi, 4. Menentukan sumber pasok dan harga bahan baku, 5. Melakukan penilaian awal kelayakan keuangan, 50
6. Melakukan analisis keuangan yang lengkap dari berbagai alternatif yang ada, 7. Melakukan analisis sensitivitas, 8. Membandingkan hasil analisis dengan kriteria investasi, 9. Mengidentifikasi kondisi-kondisi yang akan membuat perusahaan yang dianalisis berada di bawah kriteria investasi yang dapat diterima. Dalam menilai kelayakan suatu investasi umumnya digunakan beberapa kriteria, di antaranya adalah sebagai berikut: (1) PBP (Payback Period) Metode ini digunakan untuk mengukur seberapa lama waktu yang diperlukan sampai suatu investasi dapat kembali. Menurut Hermawan (1996) cara termudah untuk menghitungnya adalah dengan mengakumulasikan arus kas (cash flow) hingga mencapai nilai positif. Akumulasi arus kas yang positif menunjukkan bahwa pengeluaran proyek telah tertutup. Langkah-langkah dalam metode ini adalah sebagai berikut: 1) menghitung arus kas kumulatif 2) melihat arus kas kumulatif yang bertanda negatif terakhir dan mencatat pada periode keberapa itu terjadi (misalnya, t) 3) PBP dapat dihitung dengan rumus berikut: PBP = t + CCF t /CF t-1 Keterangan: PBP = payback period t
= periode terjadinya arus kas kumulatif negatif terakhir
CCFt
= arus kas kumulatif pada saat t
CFt-1
= arus kas pada saat t
51
(2) NPV (Net Present Value) Metode ini mendiskontokan sseluruh arus kas yang masuk dan keluar, dengan basis waktu sekarang. Untuk melakukan perhitungan ini diperlukan faktor pendiskonto, yaitu, biaya modal. NPV adalah jumlah dari seluruh arus kas yang telah didiskontokan, dan dapat dihitung dengan rumus berikut: n
NPV =
Σ (1 + I)
(Bt – Ct) t
Co
t=1
Keterangan: t
= periode, t = 0, 1, 2, 3, …., n
n
= umur ekonomis proyek
i
= tingkat bunga yang digunakan
Bt
= manfaat (benefit) proyek pada tahun ke-t
Ct
=
biaya bruto proyek pada tahun ke-t
Co
=
investasi awal
Suatu proyek dinyatakan layak untuk dilaksanakan apabila nilai NPV lebih besar dari nol (positif). Sebaliknya apabila NPV lebih kecil dari nol (negatif) proyek harus ditolak karena akan merugikan. (3) IRR (Internal Rate of Return) Metode ini menghitung pada tingkat bunga berapa NPV akan sama dengan nol yang berarti seluruh pengeluaran proyek akan sama dengan seluruh penerimaan sepanjang usia proyek. Jika tingkat bunga ini lebih besar daripada biaya modal rata-rata maka proyek dianggap lebih menguntungkan. Rumus IRR adalah sebagai berikut:
IRR = D f P +
(PVP) (PVP) – (PNP)
x (Df N – Df P)
52
Keterangan: Df P
= faktor diskon yang menghasilkan presen value positif
Df N
= faktor diskon yang menghasilkan present value negatif
PVP
= present value posotif
PNP
= present value negatif
(4) Rasio Manafaat-Biaya (Benefit-Cost Ratio = BCR) Metode BCR membandingkan penerimaan proyek yang telah didiskontokan ke nilai sekarang dengan pengeluaran proyek yang juga telah didiskontokan ke nilai sekarang. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: n
Σ (1 + I) (Bt)
t
t=1 B/C =
n
Σ (1 + I) ( Ct)
t
+ Co
t=1
Jika BCR lebih besar dari 1, berarti penerimaan proyek lebih besar daripada pengeluarannya dan proyek ini menguntungkan atau layak. Sebaliknya, jika nilai BCR kurang dari 1, berarti proyek merug i atau tidak layak. (5) Titik Impas (Break Even Point = BEP) Titik impas (BEP) adalah tingkat unit penjualan ketika keuntungan persis sama dengan nol. Analisis BEP digunakan untuk perencanaan laba. Rumus umum volume penjualan pada BEP adalah sebagai berikut: FC Q* = P – v Keterangan: Q*
= kuantitas penjualan pulang pokok
FC
= biaya tetap total 53
P
= harga produk per unit produk
v
= biaya variabel per unit produk
Analisis BEP juga dapat digunakan untuk menentukan harga jual produk minimum untuk mencapai titik impas. Rumusnya adalah sebagai berikut: P* =
FC + vQ Q
Keterangan: P* = harga jual titik impas Q = jumlah produk yang terjual Analisis Sensitivitas. Analisis sensitivitas merupakan teknik untuk menunjukkan bagaimana perubahan kriteria investasi sebagai akibat terjadinya perubahan masukan (input) tertentu dengan asumsi hal-hal lain tidak berubah (Sutoyo, 1993). Analisis sensitivitas biasanya dimulai dengan situasi dasar, yaitu setiap input sesuai dengan nilai yang diharapkan (expected value). Selan jutnya nilai salah satu input (variabel) diubah-ubah, naik atau turun, dan kemudian dilakukan perhitungan seberapa besar hasil investasi berubah dengan perubahan variabel tersebut. Analisis skenario juga dapat dilakukan untuk memeriksa sensitivitas proyek terhadap perubahan variabel kunci yang mungkin. Skenario umumnya dibagi menjadi skenario normal, skenario terbaik, dan skenario terburuk. (6) Analisis Risiko dan Keuntungan Pengusaha perlu mengetahui sejauh mana modal yang diinvestasikan akan memberikan keuntungan dan seberapa besar risiko yang akan ditanggung. Dalam situasi dunia usaha yang penuh ketidak-pastian, pengusaha perlu memperkirakan tingkat risiko dan tingkat keuntungan yang akan diterima. Makin tinggi risiko yang dihadapi, makin tinggi pula tingkat keuntungan yang diharapkan. 54
a) Hasil yang diharapkan (E) Untuk mengukur hasil yang diharapkan digunakan keuntungan rata-rata (mean) dari setiap periode produksi. Rumusnya adalah sebagai berikut: n
Σ Ei t=1
E=
n
Keterangan: E = keuntungan rata-rata Ei = keuntungan pada periode I n = jumlah periode pengamatan b) Risiko Untuk mengukur risiko secara statistik, digunakan ukuran ragam atau simpangan baku. Rumus ragam adalah: n
Σ (Ei – E)2 V2 =
t=1
(n – 1)
Simpangan baku merupakan akar dari ragam, yaitu: V=
V2
c) Hubungan antara risiko dan keuntungan Dalam setiap proses produksi, produsen perlu selalu memperhitungkan tingkat risiko yang dihadapi dibandingkan dengan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Hubungan antara risiko dan keuntungan diukur dengan koefisien variasi (CV) dan batas bawah keuntungan (L).
55
Koefisien variasi adalah perbadingan antara risiko yang harus ditanggung pengusaha dan jumlah keuntungan yang akan diperoleh dari modal yang ditanamkan dalam proyek. Makin besar nilai koefisien variasi, makin besar pula risiko yang harus ditanggung dibandingkan dengan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Rumus koefisien variasi adalah sebagai berikut: CV = V/E Batas bawah keuntungan (L) menunjukkan nilai nominal keuntungan terendah yang mungkin diterima pengusaha. Jika nilai L ini sama dengan atau lebih besar dari nol, pengusaha tidak akan pernah mengalami kerugian. Jika nilai L kurang dari nol (negatif) berarti dalam setiap proses ada peluang kerugian. Rumus batas bawah keuntungan adalah: L = E – 2V
4. Analisis Harga Kesetaraan Untuk mengukur kesetaraan dalam kemitraan digunakan parameter rasio manfaat / biaya (BCR). Kesetaraan tercapai bila BCR pihak-pihak yang bermitra adalah sama. Karena BCR pada dasarnya merupakan perbandingan antara perolehan (pendapatan) dan biaya, maka BCR merupakan fungsi dari harga. Untuk mendapatkan angka BCR digunakan rumus optimasi sebagai berikut :
Min Z = BCk − BC p =
Pk × Vnk Pp × Vnp − Ck Cp
dengan kendala : NPVk, NPVp IRRk, IRRp BCk, BCp P
≥ ≥ ≥ >
0 DF 1 0
56
Keterangan : Z BCk, BC p NPVk, NPVp IRRk, IRRp Pk Pp Ck Cp Vnk Vnp
: : : : : : : : : :
Fungsi tujuan Nilai net B/C kebun dan pabrik Nilai NPV kebun dan pabrik Nilai IRR kebun dan pabrik Harga jual nenas segar ke pabrik Harga jual nenas olahan Biaya kebun Biaya pabrik Volume nenas segar terjual Volume nenas kaleng terjual
57