BAB II WAJIB ZAKAT DALAM ISLAM
A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM ZAKAT 1. Pengertian Zakat Zakat ditinjau dari segi bahasa (etimologi) berasal dari kata “zaka” yang berarti berkembang, berkah, tumbuh, bersih dan suci dan baik.1 Dalam kitab “Kifayatul Akhyar” disebutkan:
Artinya: “Zakat menurut bahasa artinya tumbuh, berkah, dan banyak kebaikan”.2 Hammudah Abdalati mengartikan zakat dengan kesucian. Begitu juga dengan Nawawi dan Abu Muhammad Ibnu Qutaibah, mengartikan zakat sebagai kesuburan dan penambahan. Makna ini diambil dari kata zakah. Begitu juga Abdul Hasan Al Walidi mengartikan bahwa zakat mensucikan, memperbaiki dan menyuburkan harta.3
1
Sesuatu itu zaka berarti tumbuh dan berkembang dan seseorang itu zaka berarti orang itu baik. Lihat Yusuf Qardhawi, Fiqhuz Zakat, Terj. Salman Harun, Didin Hafidudin, dan Hasanuddin, Hukum Zakat, Bogor: Pustaka Litera Antarnusa, 2002, hlm. 34, banyak lagi literatur yang mengartikan zakat lihat: Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. ke-I, 1997, hlm. 224. - Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. ke- I 1997, , hlm. 1985 - Al Hasan, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke- 4, 2003, hlm. I. 2
Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Al Khusaini , Kifayatul Akhyar, juz I, Bandung : Syrirkah Al Ma’arif Lithab’i , tt, hlm. 172 3
Hasbi Ash Shidieqy, Pedoman Zakat, Semarang: PT. Pustaka, Rizki, Putra, Cet. ke-3, 1999, hlm. 3-4
14
15 Harta yang dikeluarkan untuk zakat dinamakan zakat karena zakat itu mensucikan diri dari kotoran kikir dan dosa. Zakat itu juga menyuburkan harta atau memperbanyak pahala bagi mereka yang mengeluarkan.
Zakat
juga
dapat
menyuburkan
dan
mensucikan
masyarakat. Sebab zakat itu sendiri merupakan manifestasi dari sikap gotong royong antara orang kaya dan fakir miskin dan sebagai bentuk perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan yaitu kemiskinan kelemahan baik fisik maupun mental.4 Karena itu zakat akan mensucikan pahala. Sebagaimana firman Allah dalam surat at-Taubah 103 yang artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”.5 Adapun zakat menurut terminologi (istilah) syara’ terdapat beberapa
pandangan.
Dalam
Ensiklopedi
Al
Qur’an
misalnya
menyebutkan zakat menurut istilah hukum Islam adalah mengeluarkan sebagian harta, diberikan kepada yang berhak menerimanya supaya harta yang tinggal menjadi bersih dan orang-orang yang memperoleh harta menjadi suci jiwa dan tingkah laku.6 Dalam kitab fiqhuz zakat, Yusuf Qardhawi mendefinisikan zakat secara istilah sebagai berikut:
4
Ibid., hlm. 8-9
5
Departemem Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1993, hlm. 2917 6
Fahrudin HS, Ensiklopedi Al-Qur’an, Rineka Cipta, 1992, hlm. 618
16
!" # $ %& '()* +, - . / 01 + , 234 5 678 9- . / 01 Artinya: “Zakat secara istilah adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang-orang yang berhak disamping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri”.7 Abu Yahya Zakariya Al Anshari dalam kitab Fathul Wahab menyebutkan:
: +; <= - . >)? $ & %& 5 @ AB . C Artinya: “Zakat menurut syara’ adalah sesuatu nama dari harta atas badan yang dikeluarkan menurut syara’ yang telah ditentukan”.8 Sedangkan dalam kitab Nailul Authar karya Muhammad Al Syaukani disebutkan:
D. C E9 FG + & H 2 I
* J7K + %& L = L0. <M7N + %& EO
Artinya: “Zakat adalah pemberian sebagian harta yang telah mencapai nisabnya kepada orang fakir dan sebagainya dan tidak mempunyai
sifat
yang
dapat
dicegah
syara’
untuk
mentasarufkan keduanya”.9
7
Yusuf Qardhawi, Fiqhuz Zakat, Bairut: Muassasah Ar-Risalah, 1991, hlm. 37-38
8
Abu Yahya Zakariya Al Anshori, Fathul Wahab, Bandung: Syirkah Al Ma’arif, t.th, hlm.
9
Muhammad Al Syaukani, Nailul Authar, juz 3, Bairut: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1995,
102 hlm.124
17 Pemberian (i’tha) pada sasaran zakat yang dimaksudkan dari pengertian di atas ditujukan untuk orang yang membutuhkan yakni orang fakir dan miskin. Madzhab Syafi’i merumuskan zakat sebagai sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Sedangkan madzhab Hambali, zakat ialah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula. Yang dimaksud pernyataan “wajib” berarti bahwa zakat tersebut bukan sunnat, seperti halnya mengucapkan salam atau mengantarkan jenazah. Pernyataan “harta” berarti bahwa zakat bukan berupa jawaban terhadap salam. Pernyataan “khusus” berarti bahwa harta yang dizakati, bukan harta yang berstatus wajib, artinya harta itu bukan harta yang harus dibayarkan untuk utang atau untuk memberi nafkah pada keluarga. Pernyataan “kelompok yang khusus” berarti bahwa mereka bukan ahli waris pemberi zakat.10 Adapun mazhab Maliki mendefinisikan zakat menurut syara’ adalah “mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nisab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq) nya. Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian. Begitu juga madzhab Hanafi, mendefinisikan zakat dengan menjadikan sebagian harta yang khusus dari 10
Wahbah Al Zuhayly, Al – Fiqh Al- Islami Adilatuh, Terj. Agus Efendi dan Bahruddin Fannany, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung: PT. Rosdakarya, Cet. ke-5, 2000, hlm. 84-85
18 harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syari’at karena Allah swt. Kata
“menjadikan sebagian harta sebagai
milik” (tamlik) dalam definisi di atas dimaksudkan sebagai penghindaran dari kata ibahah (pembolehan).11 Dari sini jelaslah bahwa kata zakat, menurut terminologi para fuqaha dimaksudkan sebagai “penunaian” yakni penunaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta. Zakat juga dimaksudkan sebagai bagian harta tertentu dan yang diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada orangorang fakir. Sedangkan zakat dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat diformulasikan sebagai harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.12 Sementara itu, Al Qur’an menyebutkan zakat dengan berbagai istilah, tetapi maksudnya adalah zakat. Kata tersebut adalah sadaqah. Misalnya firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 60 dan 103. sadaqah berasal dari kata sadaqah yang berarti “benar” menurut terminologi syari’at. Pengertian sadaqah sama dengan pengertian infaq termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infaq dengan materi sedangkan sadaqah memiliki arti luas, menyangkut hal yang bersifat non 11 12
Ibid., hlm. 83-84
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Bazis, Kudus, 2001, hlm. 3
19 material. Hadis riwayat Imam muslim dan Abu Dzar Rasulullah menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta maka membaca tasbih, takbir, tahmid, tahlil dan melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah.13 Adapun
kata
infaq,
kadangkala
juga
dimaksudkan
zakat
sebagaimana firman Allah:
PQ R(STU V%P& RAWXS VR=VR6SY ZP&V RA[R\VS V& P] V\^MS_ R%P& W*PR9SY [V&`LV%aP3b V!caSYVa e
*\d
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah: 267).14 Kata infaq tidak mengandung arti zakat maka menurut terminologi syari’at berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan atau penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. Jika zakat ada nishabnya, infaq tidak mengenal nishab. Infaq dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah disaat lapang maupun sempit. Jika zakat harus diberikan
13
Didin Hafidhudin, Panduan Praktis Tentang Zakat Infaq Sedekah, Jakarta: Gema Insani, 1998, hlm. 15 14
Departemen Agama, op.cit., hlm. 67
20 kepada mustahiq tertentu (8 asnaf) maka infaq boleh diberikan kepada siapapun juga.15 Menurut Quraisy Shihab yang perlu diperhatikan bahwa zakat adalah satu ketetapan Tuhan menyangkut harta, bahkan sadaqah dan infaqpun demikian. Karena Allah menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya maka harta harus diarahkan guna kepentingan bersama.16 Berdasarkan pendapat dan ketentuan di atas, zakat merupakan perintah Tuhan untuk menciptakan kesejahteraan umat manusia dan pemerataan ekonomi. Penulis memahami zakat sebagai sarana ibadah sosial, disitu dapat diambil pengertian bahwa zakat yang berarti kemurnian dan kebersihan. Islam menggunakan makna itu untuk menyebut tindakan menyisihkan sebagian kekayaan untuk diberikan kepada orang-orang yang memerlukan termasuk untuk membiayai kebutuhan umat. Hal tersebut amatlah penting karena pada dasarnya di dalam harta benda yang kita miliki itu ada hal orang Islam. Dengan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya itu, kekayaan tersebut menjadi bersih. Kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah zakat menjadi persoalan umat dan negara. Untuk itu, perlu adanya interpretasi baru mengenai aspek-aspek yang berkenaan dengan zakat antara lain muzakki, mustahiq, nisab dan amil zakat. 15
Didin Hafidhudin, op.cit., hlm. 14-15
16
Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 232
21 2. Dasar Hukum Zakat a. Al Qur’an Dalam pemahaman Islam, Al Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi, keberadaannyapun tidak pernah usang menghadapi setiap perubahan zaman. Hingga kini, Al Qur’an tetap menjadi sandaran, rujukan hukum dari setiap permasalahan yang muncul di masyarakat, tidak terkecuali pembahasan tentang perintah zakat. Di dalam Al Qur’an Allah telah menyebutkan tentang zakat yang selalu dihubungkan dengan sholat sejumlah 82 ayat. Dari sini disimpulkan secara deduktif bahwa setelah sholat, zakat merupakan rukun Islam terpenting.17 Begitu pentingnya zakat secara mendasar digambarkan dengan jelas di dalam beberapa ayat Al Qur’an sebagai berikut: 1). QS. At-Taubah: ayat 103
e
? d
RA[4[^!S0[1fSgV)Vh RAP!PVR&SYR%P& U3[6
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat
itu
kamu
membersihkan
dan
mensucikan
mereka…” (QS. At-Taubah (9): 103).18 2). QS. Al Muzammil ayat 20
iVVj i" RSgV
17
Muhammad, Zakat Profesi, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 12
18
Departemen Agama, op.cit., hlm. 297
[MPgSYV e k& d
22 Artinya: “Tegakkan sholat dan tunaikan zakat dan berilah piutang kepada Allah dengan sebaik-baik piutang…” (QS. Al Muzzammil: 20).19 3). QS. Al Bayyinah ayat 5
SSZ+
[MP*[aV `LSV[j V%a^) [<S V P+ PRl [& V
M\d PV^MS*U [%aPn Vo PSpV SSZ [1Rq[aV
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus (menjalankan syirik dan kesesatan) dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan dengan demikian itulah agama yang lurus”. (QS. Al Bayyinah: 5).20 4). QS. At-Taubah ayat 34
P
[PUXVa V%aP3bV e
? d tAMPSYtK S3VmP?RA[4R^uV\S
Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (QS. At-Taubah: 34).21 5). QS. Al Baqarah ayat 110
[2 [)Pv V1 tRMV6 R%P& RAWXPWR9STP [&^)S*[1 V&V SSZ [1`LV SSZ+ e 19
Ibid., hlm. 990
20
Ibid., hlm. 1084
21
Ibid., hlm. 283
[MPgSYV
*\d wP+ V?S> WVRmV1 VP?VP7P
23 Artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apapun yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapatkan pahala disisi Allah, sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Baqarah: 110).22 Beberapa ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa zakat adalah wajib hukumnya bahkan sangat ditekankan pelaksanaannya. Penekanan tersebut dapat dilihat pada banyaknya perintah zakat yang dirinya dengan perintah sholat. Dijelaskan pula bahwa kepada mereka yang memenuhi kewajiban ini (zakat) dijanjikan pahala yang berlimpah di dunia dan di akherat kelak. Sebaliknya, bagi mereka yang menolak membayar zakat akan diancam dengan hukuman keras sebagai akibat kelalaiannya. Sehingga jelaslah bahwa zakat adalah kewajiban yang sama pentingnya dengan sholat bagi setiap muslim. b. Hadis Islam menetapkan Al-Hadis sebagai dasar hukum kedua setelah Al Qur’an. Al Hadis juga menjadi penjelas ayat-ayat Al Qur’an yang pembahasannya masih bersifat global. Sehingga terlihat secara gamblang perintah hukum, wajib zakat. Adapun dalil-dalil dari hadis sebagai berikut: Hadis yang diriwayatkan muslim dari Ibn Umar:
yg
$ B( ) } >Y
{ < { >Y n!C 8 x - . yzB{ |?
e . %. A & 2 (d > s&(y h ~ M\ •j 22
Ibid., hlm. 30
L a z+
24 Artinya: “Islam didirikan dari lima sendi: mengaku bahwa tidak ada Tuhan yang sebenarnya disembah melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allah, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji dan berpuasa sebulan Ramadhan”. (HR. Muslim).23 Diriwayatkan lagi oleh Bukhori Muslim dari Ibn Abbas ra. Bahwasanya Nabi saw mengutus Mu’adz bin Jabal ke daerah Yaman. Kemudian beliau bersabda kepadanya:
- . n •A!€MH %& 36q1 g)h A!M. Q
> A! . A!€ *
Artinya:
“…Jika mereka menuruti perintahmu untuk itu ketetapan atas mereka untuk mengeluarkan zakat beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah swt mewajibkan orangorang kaya dan diberikan lagi kepada orang-orang fakir diantara mereka…”.24
Hadis-hadis
di
atas
menerangkan
tentang
kewajiban
mengeluarkan zakat dan bahwa zakat itu suatu rukun (suatu rangka penting) dari rukun-rukun Islam dan masih banyak lagi hadis-hadis yang lain. c. Ijma Imam madzhab dan mujtahid mempunyai peranan yang besar dalam memecahkan persoalan zakat. Al Ijma’ artinya kesepakatan para mujtahid dalam menggali hukum-hukum agama sesudah Rasulullah meninggal dunia dalam suatu masalah yang ada ketetapannya dalam 23
Imam Abi Khusain, Shoheh Muslim, juz I, Baerut: Dar Al Kutub Ali Ilmiyah, hlm. 26-27
24
Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. I, Dar Al Fikr, 1981, Bairut,
hlm. 124
25 kitab dan sunnah.25 Adapun dalil berupa ijma’ ialah kesepakatan semua (ulama) umat Islam disemua negara kesepakatan bahwa zakat adalah wajib, bahkan, para sahabat Nabi saw sepakat untuk membunuh orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Dengan demikian barang siapa mengingkari kefarduan zakat berarti dia kafir tetapi jika karena tidak tahu baik karena baru memeluk Islam maupun karena dia hidup di daerah yang jauh dari tempat ulama, hendaknya dia diberitahu tentang hukumnya. Dia tidak dihukumi sebagai orang kafir sebab dia memiliki uzur.26 B. SYARAT WAJIB DAN RUKUN ZAKAT DALAM ISLAM Zakat merupakan hak Allah yang dikeluarkan oleh setiap manusia (muslim) yang disampaikan kepada fuqoha dan kaum muslim dengan mengharap keberkahan atau untuk mensucikan jiwa. Orang yang berzakat di dunia akan mendapat “pujian dan di akherat akan mendapat ganjaran dari Allah swt. Sebagaimana diketahui, zakat terdiri dari zakat mal (harta) dan zakat fitrah. Zakat mal adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib diberikan kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal tertentu dan setelah dimiliki selama jangka waktu tertentu.27
25
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 22
26
Wahbah Al Zuhayly, op.cit., hlm. 90-91
27
M. Abdurrahman, Dinamika Masyarakat Islam, dalam Wawasan Fiqh, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. ke-1, 2002, hlm. 108-109
26 Sedangkan zakat fitrah merupakan zakat jiwa yaitu kewajiban berzakat bagi setiap individu baik untuk orang yang sudah dewasa maupun belum dewasa dan dibarengi dengan ibadah puasa. Yaitu akhir puasa Ramadhan.28 Berbicara masalah zakat, maka perlu dibagi tentang syarat wajib zakat (muzakki) yaitu orang yang berdasarkan ketentuan hukum Islam diwajibkan mengeluarkan zakat atas harta yang dimilikinya dan rukun zakat. Menurut kesepakatan ulama, syarat wajib zakat adalah merdeka, Islam, baligh, berakal, memiliki harta kekayaan dengan persyaratan tertentu. Untuk lebih jelasnya penulis akan uraikan di bawah ini : 1. Syarat Wajib Zakat a. Islam Menurut ijma’ zakat tidak wajib atas orang kafir karena zakat merupakan ibadah mahdhah yang suci sedangkan orang kafir bukan orang yang suci.29 Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw yang disampaikan kepada Muaz bin Jabal ketika di utus ke Yaman menjadi Kadi bahwasanya Rasul bersabda: “jika engkau berhadapan dengan ahlul kitab maka tindakan pertama adalah menyeru mereka agar bersyahadat. Jika mereka menyambut seruan itu, maka mereka bahwa Allah mewajibkan sholat lima kali sehari semalam, mewajibkan berzakat yang diambil dari harta orang-orang kaya dan diserahkan
28
Mursyidi, Akuntansi Zakat Kontemporer, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. ke-1, 2003, hlm. 78 29
Wahbah Al Zuhayly, op.cit., hlm. 99
27 kepada fakir miskin. Jadi jelaslah bahwa yang wajib dikenai zakat adalah orang kaya muslim.30 b. Merdeka Menurut ijma’ para ahli fiqh, zakat tidak diwajibkan atas hamba sahaya karena secara hukum mereka tidak mempunyai hak milik, tidak memiliki harta karena diri mereka sendiri dianggap sebagai harta.31 Begitu pula budak mukatab (budak yang dijanjikan kemerdekaannya) tidak wajib mengeluarkan karena kendatipun dia memiliki harta, hartanya tidak dimiliki secara penuh.32 Madzhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat pada harta milik seorang hamba sahaya baik atas nama hamba sahaya itu sendiri maupun atas nama tuannya karena harta milik hamba sahaya tidak sempurna (naqish), padahal zakat pada hakekatnya hanya diwajibkan pada harta yang dimiliki secara penuh.33 c. Baligh dan berakal Syari’at ini dikemukakan oleh madzhab Hanafi. Oleh sebab itu, anak kecil dan orang gila tidak dikenai kewajiban zakat.34 Karena keduanya tidak termasuk dalam ketentuan orang yang wajib mengerjakan ibadah seperti sholat dan puasa. Akan tetapi, jumhur 30
Abdul Aziz, Dahlan (et.al), op. cit, hlm. 1987
31
Ibid.
32
Aliy As’ad, Fathul Muin jilid 2, Kudus: Menara Kudus, t.th., hlm. 2
33
Wahbah Al Zuhayly, op.cit., hlm.99
34
Abdul Aziz, Dahlan (et.al), op. cit, hlm. 1987
28 ulama fiqh tidak menerima syarat ini dengan berpendirian bahwa apabila anak kecil atau orang gila memiliki harta satu nisab atau lebih maka wajib dikeluarkan zakatnya dengan alasan bahwa Al Qur’an maupun hadis tidak membedakan apakah pemiliknya baligh dan berakal atau tidak.35 Lagi pula, zakat dikeluarkan sebagai pahala untuk orang yang mengeluarkannya dan bukti solidaritas terhadap orang fakir. Anak kecil dan orang gila termasuk juga orang yang berhak mendapatkan pahala dan membuktikan rasa solidaritas mereka atas dasar itulah anak kecil dan orang gila wajib memberikan nafkah. Pendapat ini, menurut penulis lebih baik sebab didalamnya terkandung upaya untuk merealisasikan kemaslahatan umat. Adapun harta kekayaan yang wajib dizakati adalah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 36 a. Milik penuh (Al Milk Attam) Yang dimaksud dengan harta yang dimiliki secara penuh adalah pemilik harta tersebut memungkinkan untuk mempergunakan dan mengambil manfaat harta tersebut secara penuh dan harta tersebut berada dibawah kontrol dan kekuasaannya. Adapun harta itu harus didapatkan melalui proses pemilikan yang berdasarkan oleh syara’, seperti usaha, warisan, hibah. Harta atau kekayaan dari hasil korupsi, suap atau hasil dari perbuatan yang haram tidak sah dan tidak akan 35 36
Ibid., hlm. 1988
Mursyidi, op.cit., hlm. 91-94, lihat Tim Pelatihan Amil Zakat, Buku Pintar Panduan Zakat Praktis, Jakarta, Inti Mandiri Sejahtera, Cet. ke-1, 2003, hlm. 45-50
29 diterima zakatnya. Rasulullah saw bersabda sebagaimana dikutip oleh Masdar Helmi bahwasanya: “Allah tidak akan menerima zakat dari harta yang ghulul37 (kekayaan yang diperoleh secara tidak sah dari kekayaan umum seperti hasil rampasan perang, dll).38 b. Berkembang (An Namaa’) Harta yang berkembang artinya harta tersebut dapat bertambah atau berkembang bila
diusahakan atau mempunyai potensi untuk
berkembang dapat memberikan keuntungan (return).39 Ulama terdahulu mengkategorikan zakat hanya pada lima kategori yaitu; a). Uang, emas, perak; b). Barang tambang dan barang rikaz; c). Barang dagangan; d). Hasil tanaman dan buah-buahan; e). Binatang ternak yang digembalakan.40 Akan tetapi, dengan semakin modern dunia sekarang ini seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, jenis dan bentuk kekayaan
semakin
berkembang
dan
beragama.
Maka
ulama
kontemporer seperti Dr. Yusuf Qardhawi, KH. Didin Hafidhudin menambah kategori zakat baru sesuai dengan perkembangan sarana untuk menumbuhkembangkan potensi kekayaan tersebut. Seperti
37
Masdar Helmy, Pedoman Praktis Memahami zakat dan cara menghitungnya, Bandung : PT. Alma’arif, Cet. ke-1, 2001, hlm. 18 38
Muhammad Anwari, Zakat Konsep Pengentasan Kemiskinan, dalam Teras Pesantren Jurnal Kajian, Edisi VI, tahun II/Dzulhijjah 1424 Hijriyah-Rabiul Awwal 1425 Hijriyah, hlm. 53 39
Tim Pelatihan Amil Zakat, op.cit, hlm.46
40
Wahbah Al Zuhayly, op.cit., hlm. 101
30 munculnya zakat yang dihasilkan oleh perusahaan, profesi, saham dan lain-lain. Oleh karena sebab itu, dapatlah disimpulkan bahwa sarana apapun yang sesuai dengan syari’ah apabila didalamnya terkandung unsur menumbuhkembangkan harta, maka harta tersebut wajib dizakati. c. Cukup nishab Nishab adalah nilai minimum harta mulai terkena zakat. Pada umumnya zakat dikenakan atas harta yang telah mencapai nishab. Ketentuan bahwa harta yang terkena zakat itu harus sampai senishab sudah disepakati oleh para ulama, kecuali tentang hasil pertanian, buah-buahan dan hasil tambang. Abu Hanifah berpendapat bahwa banyak atau sedikit barang yang dikeluarkan oleh bumi harus dikeluarkan zakatnya. Hal ini senada dengan pendapat Ibnu Abbas Umar bin Abdul Aziz dan lain-lain bahwa dalam sepuluh ikat sayur yang tumbuh dari tanah harus dikeluarkan sedekahnya satu ikat. Namun jumhur ulama menegaskan bahwa nishab merupakan syarat wajibnya zakat pada setiap harta baik yang dikeluarkan dari bumi maupun harta yang lainnya.41 d. Lebih dari kebutuhan pokok (Al haajah Al Ashliyyah). Kebutuhan
pokok
adalah
kebutuhan
minimal
yang
diperlakukan untuk kelestarian hidup sebagimana penafsiran ulama 41
Muhammad Anwari, op.cit., hlm. 54
31 hanafiyah42. Artinya, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka yang bersangkutan tidak dapat hidup dengan baik (layak) seperti makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal yang wajar. e. Bebas dari hutang Harta yang lebih dari kebutuhan primer, sudah senisab dan berkembang dapat dizakati apabila sudah terbebas dari utang.43Namun apabila hutang tersebut tidak mengurangi nisab harta yang wajib dizakatkan maka zakat tetap masih dibayar. Syarat ini disepakati oleh ulama madzhab hanafi, maliki, dan hambali.44 f. Berlalu setahun Maksudnya harta sekurang-kurangnya telah satu tahun Qomariyah dalam hal uang dan barang dagangan.45 Nabi saw bersabda :
‚ $ & 8 M Amh
$ B( $ g $ g <.
D"( - . %.
en n ? 2 (d $ , <M. $ ƒ #j Artinya: “Dari Ali ra, berkata: Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada kewajiban zakat pada harta, sehingga ia berulang tahun”. (HR. Abu Daud).46 42
Ibid, hlm. 55
43
Yusuf Qardawi, op.cit, hlm.155
44
Abdul Azis Dahlan, op.cit, hlm 1989
45
Masdar Helmy, op.cit, hlm. 19
46
Imam Muhammad bin Ismail Al Kahlani, Subulus Salam, Juz II, Semarang: Thoha Putra, t.th. hlm. 128
32 Ada 2 kelompok benda zakat yaitu zakat modal dan zakat pendapatan, persyaratan “berlaku satu tahun” hanya diterapkan pada zakat modal, misalnya ternak, uang dan harta benda dagang. Sedangkan pada zakat pendapatan, persyaratan “berlaku satu tahun” tidak diberlakukan, karena zakat yang dikeluarkannya adalah pada saat pendapatan diterima.47 2. Rukun Zakat Rukun zakat adalah mengeluarkan sebagian dari nishab (harta), dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagai milik orang fakir dan menyerahkannya kepadanya atau harta tersebut diserahkan kepada wakilnya : yakni imam atau orang yang bertugas untuk memungut zakat.48 C. HIKMAH ZAKAT Dalam ajaran Islam tiap-tiap perintah untuk melakukan ibadah mengandung hikmah dan rahasia yang sangat beragam berguna bagi pelaku ibadah tersebut termasuk ibadah zakat. Sesuai dengan ibadah zakat yang secara etimologis bermakna bersih, tumbuh dan baik maka ibadah ini akan memberi keuntungan bagi pelakunya, meskipun secara matematika kuantitatif akan berakibat mengurangi jumlah harta kekayaan. Dengan mengetahui hikmah suatu kewajiban atau larangan akan diperoleh jawaban yang memuaskan atau logis yaitu mengapa hal itu 47
Yusuf Qardhawi, op.cit, hlm. 161
48
Wahbab Al-Zuhaily, op.cit., hlm. 97-98
33 diwajibkan atau dilarang oleh Tuhan. Sebagaimana diketahui bahwa menunaikan zakat merupakan suatu bentuk perjuangan melawan hawa nafsu, dan melatih jiwa dengan sifat dermawan yang akan mengangkat kehormatan, membersihkan jiwa dari sifat tercela yaitu rakus dan bakhil. Kebakhilan adalah salah satu bentuk ketidakpercayaan terhadap pencipta dan pemberi rezeki yaitu Allah swt yang pasti akan menepati janjinya baik berupa keberuntungan maupun berupa kerugian. Hasbi Ash-Shiddieqy, membagi rahasia dan hikmah zakat atas empat sisi yaitu hikmah bagi pihak wajib zakat (muzakki), pihak penerima zakat (mustahiq), gabungan antara keduanya dan hikmah rahasia yang khusus dari Allah swt.49 Dari empat aspek di atas dapat disimpulkan bahwa hikmah dan rahasia yang terkandung dalam kewajiban zakat adalah pemantapan hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan sesama manusia secara simultan. Wahbi Sulaiman Ghauji, membagi hikmah zakat atas empat sisi yaitu dari segi kepentingan orang-orang kaya sebagai muzakki, dari segi eksistensi harta benda itu sendiri dan dari kepentingan kaum fakir miskin yang berhak atas zakat itu serta dari pihak masyarakat pada umumnya.50
49
Hasbi As-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, Ditinjau dari segi hukum dan hikmah, Jakarta: Bulan Bintang, 1991, hlm. 232 50
Abdurrahman Qadir, op.cit., hlm. 81
34 Adapun hikmah zakat tersebut antara lain tersimpul sebagai berikut: 1. Sebagai manifestasi keimanan kepada Allah swt, mensyukuri nikmatnya. Menumbuhkan akhlaq mulia dengan memiliki rasa kepedulian yang tinggi, menghilangkan sifat rakus dan kikir, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan dan mensucikan harta yang dimiliki.51 Firman Allah swt:
e
A4 ?dw)aP)VuSDP?S3V. b>P7RA[1RSS R%P„SV RAWXZ9V)aP‚STSRA[1RSXVC R%P„S
Artinya: “…Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku maka sesuangguhnya adzab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim: 7).52 2. Karena zakat merupakan hak mustahiq, maka zakat berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka terutama fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera. Sekaligus menghilangkan sifat ini, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka. Ketika mereka melihat golongan kaya yang berkecukupan hidupnya. Zakat, sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif yang sifatnya sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan pada mereka, dengan cara menghilangkan atau memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita.53
51
Didin Hafidhudhin, Zakat Sebagai Implementasi Syari’ah, Makalah “Seminar Zakat Sebagai Pengurang Pajak, Semarang 22 November 2000, hlm. 2 52 53
Departemen Agama, op.cit., hlm. 380 Didin Hafidhudhin, op.cit., hlm. 2.
35 3. Sebagai pilar amal bersama (jama’i) antara kelompok aghniya yang berkecukupan hidupnya dengan para mujtahid yang seluruh waktunya digunakan untuk berijtihad dijalan Allah, yang karena kesibukannya tersebut, tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berusaha dan berikhtiar bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya.54 Sebagaimana firman Allah swt.
e
*\d P
Artinya: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah…” (QS. Al Baqarah: 273).55 4. Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi sekaligus sarana pengembangan kualitas sumbr daya manusia muslim.56 5. Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapatkan dengan cara yang bathil.57 6. Dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan.58
54
Ibid
55
Departemen Agama, op.cit., hlm. 68
56
Didin Hafidhudhin, op.cit., hlm. 3
57
Ibid.
58
Didin Hafidhudhin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta, Gema Insani, 2002,
hlm. 14
36 Karena zakat yang dikelola dengan sistem dan manajemen yang amanah profesional dan integrated dengan bimbingan dan pengawasan dari pemerintah dan masyarakat akan menjadi pemacu gerak ekonomi di dalam masyarakat dan menyehatkan tatanan sosial sehingga menghapus sumber-sumber kemiskinan dan membuka akses setiap individu untuk memperoleh pendapatan dan kemakmuran.59 7. Dorongan ajaran Islam yang begitu kuat kepada orang-orang yang beriman untuk berzakat, berinfak dan bersedekah menunjukkan bahwa ajaran Islam mendorong umatnya untuk mampu bekerja dan berusaha sehingga memiliki harta kekayaan yang disamping dapat memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya juga berlomba-lomba menjadi muzakki dan munfiq.60 D. ZAKAT BADAN HUKUM DALAM ISLAM Syakhsiyah / kepribadian pada asalnya, adalah syakhshiyah thabi’iyah yang nampak pada setiap manusia, maka dari itu tiap-tiap manusia dipandang seorang pribadi yang berdiri sendiri, mempunyai hak dan mempunyai kewajiban. Dalam pandangan hukum (baik hukum positif maupun hukum Islam), manusia ternyata bukan satu-satunya pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Di samping manusia, masih ada lagi pendukung dan
59
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Profil Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, 2003, h lm. I 60
Didin Hafidhudhin, op.cit., hlm. 14-15
37 hak kewajiban yang dinamakan badan hukum yang mengurus kepentingankepentingan umum yang dipandang sebagai orang juga.61 Dengan demikian, jelaslah bahwa orang atua pribadi dalam pandangan hukum ada dua yaitu syakhshiyah jardiyah thabi’iyah (kepribadian yang alami atau manusia) dan syakhshiyah hukmiyah i’tibariyah (kepribadian menurut hukum dan anggapan / badan hukum). Badan hukum menurut R. Rochmat Soemitro sebagaimana dikutip oleh Chidir Ali, SH yaitu suatu badan yang mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi begitu pula menurut Sri Soedewi Maschun Sofwan, badan hukum adalah kumpulan dari orang-orang bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan tertentu.62 Timbulnya fikrah syakhshiyah hukmiyah (teori kepribadian dalam urusan hukum) dalam ilmu hukum adalah akibat adanya berbagai dari kemaslahatan perorangan dan tidak mampunya seseorang melaksanakan maslahat yang umum itu, oleh karena itu timbullah syakhshiyah hukmiyah (badan hukum) yang dapat mengurus kemasalahatan yang dipersekutukan masyarakat, yang dikehendaki oleh keperluan-keperluan hidup masyarakat.63
61
Hasbi Ash-Hiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, Cet. ke-4, 2001, hlm. 194 62
Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung : Alumni, 1999, Cet. ke-2, hlm. 19
63
Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 202-203
38 Antara badan hukum (syakhshi hukmi) dengan manusia pribadi (syakhshi thabi’i) terdapat beberapa perbedaan yaitu dalam hal-hal sebagaimana berikut : 64 1. Syakhshi hukmi tidaklah berpautan dengan syakhshi thabi’i dalam hal hakhak syakhshiyah, hak-hak khusus bagi manusia seperti hak berkeluarga, hak beristri, hak bercerai, hak perhubungan darah, hak pusaka dan sebagainya, kecuali dalam hal jinsiyah, ahliyah dan tempat menetap ditetapkan kepada syakhshi hukmi 2. Syakhshi hukmi tidak mati / hilang / berakhir dengan matinya / lenyapnya syahshi thabi’i yang menjadi pengurusnya, maka bergantinya pengurus tidak menyebabkan syakhshiyah hukmiyah harus bertukar pula. 3. Syakhshi thabi’i tidak diperlukan pengakuan hukum sedangkan syakhshi hukmi diperlukan diperlukan hukum. 4. Ahliyah syakhshi thabi’i bagi segala rupa tasharufnya tidak terbatas, sedangkan ahliyah syakhshi hukmi dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang ditetapkan huku dan dibatasi dalam bidang-bidang yang dibenarkan hukum dan ditentukan. 5. Ahliyah syakhshiyah thabi’iyah berkembang menurut perkembangan manusia sendiri, dimulai dari ahliyah naqishah (kecapakan bertindak yang tidak sempurna) berakhr pada ahliyah kamilah (kecakapan bertindak yang sempurna), yaitu bila seseorang telah dewasa. Berbeda dengan syakhshi
64
Ibid., hlm. 204-205
39 hukmi, ahliyahnya telah sempurna dengan berwujudnya syakhshiyah itu dan tetap tidak berkembang. 6. Syakhshiyah hukmiyah tidak dapat dijatuhi hukuman badan, yang dijatuhi hanya hukuman perdata saja. Di Indonesia, badan hukum dapat berupa perhimpunan dan kumpulan harta kekayaan seperti perseroan terbatas (PT), perusahaan umum (Perum), koperasi atau juga bentuk badan hukum lainya yang bukan mencari keuntungan seperti yayasan.65 Sebagaimana diketahui, bahwa khittob zakat dari Allah SWT hanya diwajibkan kepada manusia secara individu, akan tetapi, dewasa ini yang dinamakan subyek hukum itu ada 2 sebagaimana tersebut di atas yaitu manusia dan badan hukum, maka dari itu, badan hukum di mana di dalamnya terdapat individu pemilik modal / saham yang melakukan berbagai macam transaksi dan kegiatan usaha, oleh karena itu dikenai pula kewajiban zakat. Walaupun memang, dalam ketentuan fiqh klasik tidak ada ketentuan mengenai kewajiban zakat atas badan hukum akan tetapi, dalam rangka mengatasi ketimpangan sosial dan pengentasan kemiskinan maka badan hukum dikenai zakat pula. Adapun persyaratan badan hukum dikenai kewajiban zakat adalah dapat dianalogkan kepada syarat wajib dan rukun zakat pada manusia secara individu yaitu dengan syarat pemilik badan hukum tersebut Islam, merdeka, baligh, dan memiliki harta kekayaan dengan syarat milik penuh, berkembang, 65
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis. Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta : Sinar Grafika, Cet. ke-I, 1994, hlm. 14
40 mencapai nishab, telah satu tahun, lebih dari kebutuhan pokok dan bebas dari hutang, sebagaimana menurut Malik dan Abu Hanifah bahwa beberapa orang yang bersekutu itu tidak dikenai wajib zakat secara personal dan pengeluaran zakat harta badan hukum (syirkah) setelah mencapai nishab sedangkan menurut Syafi’i bahwa harta yang diserikatkan sama hukumnya dengan harta seorang.66 Adapun nishab zakat badan hukum seperti perusahaan senilai dengan nishab zakat perdagangan yaitu senilai 94 gram emas atau 2,5 % dari seluruh harta kekayaan selama satu tahun setelah dikurangi kewajiban-kewajiban yang harus dibayar seperti pajak dan lain-lain (harta kekayaan bersih).67
66
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, Jakarta : Dar Al-Ikhya’, t.th., hlm. 188
67
Departemen Agama, Motivasi Zakat, Jakarta : Departemen Agama, 1995, hlm. 31-39