BAB II TINJUAN PUSTAKA Penelitian ini bermaksud memahami dan Mengetahui bentuk komunikasi budaya gay yang dimunculkan dalam CONQ Web series dalam dalam isi konten website www.conq.me.Sesuai dengan tujuan penelitian tersebut, peneliti menyadari bahwa realitas yang dihadapi peneliti mengenai Objek penelitian bersifat spesifik dan konteksual; Oleh karena itu, uraian teoritis yang disajikan dalam bab tinjauan pustaka ini tidak dimaksudkan peneliti untuk diujikan. Posisi teori dalam penelitian ini adalah memberikan wawasan kepada peneliti mengenai berbagai konsep dan hasil studi yang berhubungan dengan isu yang diangkat dalam penelitian ini. 2.1 Konsep Komunikasi Budaya Gay Secara harafiah , istilah budaya berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengelola tanah, yaitu segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi (pikiran) manusia dengan tujuan untuk mengolah tanah tempat tinggalnya atau dapat pula diartikan sebagai usaha manusia untuk dapat melangsungkan dan memperhatikan hidupnya di dalam lingkungan (Soejanto Poespowardojo,1993)1. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. 1
Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya, Graha Ilmu,Yogyakarta,2010,hlm.23
10
Budaya dapat pula diartikan sebagai himpunan pengalaman yang dipelajari, mengacu pada pola-pola perilaku yang disebarkan secara social, dan akhirnya menjadi kekhususan kelompok sosial tertentu. Menurut The American Herritage Dictionary kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni , agama, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia atau suatu kelompok manusia.2 Setiap kebudayaan berakar pada sudut pandang serta pola penyikapan kelompok sosial tertentu terhadap apa yang dibutuhkan nya. Itu semua tidak terlepas pada kondisi alam lingkungan nya, sehingga terjadilah perbedaan antara sudut pandang timur dan sudut pandang barat. Seiring dengan makin berkembangnya permasalahan yang harus dihadapi manusia , seperti makin banyaknya populasi manusia, makin berkurangnya sumberdaya alam, dan semakin menguatnya persaingan atas keinginan manusia individualistik untuk bisa memenuhi kebutuhannya, terjadilah perkembangan kebudayaan yang berakibat adanya penyerapan budaya yang satu dengan yang lain. Pada giliran berikutnya terjadilah proses pergeseran budaya yang meciptakan budaya baru. Salah satu indikasi pergeseran kebudayaan tersebut adalah terjadinya perubahan pandangan moral maupun etika dalam suatu masyarakat tertentu. Holmes dalam bukunya “Virtual Politics: Identity & Community Cyberspace” (1997:3) 3 mengungkapkan bahwa ruang maya merupakan dunia dimana terbentuk nilai-nilai budaya (new culture form) baru yang terbangun 2
Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya, Graha Ilmu,Yogyakarta,2010,hlm.24 Hendri Prasetyo, Cyber Community, Cyber Cultures: Arsitektur Sosial Budaya Baru Masyarakat Modern dalam Jurnal ILKOM UMN Volume IV Nomor 1,2012 hal.30 3
11
melalui interaksi keseharian (daily life interaction) diantara penggunanya melalui mediasi teknologi. Dalam ruang maya, masyarakat penggunanya membangun dirinya dengan melakukan interaksi dan proses sosial dalam kehidupan kelompok (jaringan) intra dan antar sesama anggota –anggota masyarakatnya. Konstruksi masyarakat maya (cybercommunity) pada awalnya kecil dan berkembang menggunakan pola jaringan laba-laba sehingga terbentuklah masyarakat yang besar. Sebagai akibat perkembangan teknologi modern, khususnya teknologi komunikasi,dengan teknologi komunikasi interaksi dan pertukaran informasi menjadi mudah dan cepat. Kendala geografis sudah tidak menjadi persoalan. Setiap orang dengan mudah mengakses informasi yang asalnya dari berbagai tempat dari berbagai belahan dunia. Bersamaan dengan pertukaran informasi tersebut, terjadi pula proses pertukaran nilai-nilai sosial budaya. Budaya-budaya ini dipertukarkan secara langsung dan tidak langsung melalui berbagai bentuk interaksi yang pada akhirnya terjadi pergeseran budaya atau munculnya budaya baru.
Saling
berinteraksinya para netter di dunia siber pada kenyataannya, disadari maupun tidak, membentuk sebuah komunitas virtual.Anggota dari komunitas ini tentu saling berinteraksi dan berkomunikasi; dan pada akhirnya dari interaksi munculah kebudayaan siber atau cyber culture yang merupakan kebudayaan baru. Akan halnya kebudayaan yang ada di internet, ruang individu yang dikonstruk oleh setiap user dalam intekasi di internet, misalnya dalam newsgroup memiliki aturan, ciri khas, bahkan hirarki yang tidak jauh berbeda dengan dunia nyata.
12
Teori konstruksi realitas berpandangan bahwa masyarakat yang memiliki kesamaan budaya akan memiliki pertukaraan makna yang berlangsung terus menerus. Secara umum, setiap hal akan memiliki makna yang sama bagi orangorang yang memiliki kultur yang sama.4 Gay adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk merujuk orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual. 5 Sedangkan homoseksual yaitu rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama.6 Homoseksualitas mengacu kepada:7 1. Orientasi seksual yang ditandai dengan kesekuan seseorang dengan orang lain mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender sama. 2. Perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender. 3. Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual. Pengertian gay disini adalah salah satu bentuk gaya hubungan antara laki-laki dengan laki-lai. Sekalipun homoseksual merujuk pada pengertian hubungan sesama jenis secara umum, tetapi tidak dapa dikatakan bahwa gay dan lesbian ataupun biseksual merupakan pembagian dari homoseksual. McLelland (200:10)
4
Morrison, Teori Komunikasi Massa: Media, Budaya dan Masyarakat.Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, Hlm, 135 5 www.wikipedia.org/wiki/gay 6 www.wikipedia.org/wiki/homoseksualitas 7 Definisi Pria Gay atau Homoseksual : http://undercover-world.blogspot.com/2011/08/definisipria-gay-atau-homoseksual.html
13
menjelaskan mengenai kata gay yang sebenarnya merujuk pada pria gay tetapi sering diartikan sebagai laki-laki yang cross-dressing.8 Sejak 1960-an banyak orang LGBT di Barat, terutama dikota-kota metropolitan telah mengembangkan apa yang di sebut sebagai “budaya gay”. Bagi banyak orang budaya gay dicontohkan melalui gerakan gay pride, dengan parade tahunan yang menampilkan bendera pelangi.
9
Hal yang di suarakan dalam
kegiatan tersebut berkenaan dengan kebebasan, komunitas dan hak asasi manusia yang menyangkut komunitas gay tesebut. 2.2 New Media Media komunikasi dan informasi merupakan mesin pendorong proses social yang memungkinkan terjadinya interaksi antar manusia, mengukuhkan keberadaannya sebagai mahluk social. Dalam kehidupannya, manusia berinteraksi dengan beragam cara , mulai dari yang se ilmiah mungkin hingga yang melibatkan perangkat-perangkat teknis .Berbagai media komunikasi diciptakan dan dikembangkan dalam peradaban komunikasi manusia-Sejak peradaban manual, mekanis hingga era elektronika modern, banyak sudah perangkatperangkat komunikasi manusia. Loncatan teknologi pada era elektronik tidak hanya menempatkan media sebagai wahana penyampaian pesan semata
8 9
www.pscyhologymania.com/2012/08/pengertian-gay.html www.wikipedia.org/wiki/homoseksualitas
14
(transportasional), namun media mampu menyimpan dan mengolah informasiinformasi tersebut.10 Sebagaimana yang dideskripsikan oleh Lievrouw dan Livingstone dalam bukunya, New Media: Social Shaping and Social Couse quences of ICT’S: “New media have not replaced older media. Rather, people’s information and communication environment have become ever more individualized, integrating pint, audio, still and moving image, broadcasting, telecommunication, computing and information sharing” (Lievrouw and Livingstone,2006:1)11 Istilah media baru sendiri merujuk pada pembedaannya dengan media lama dikaitkan dengan kemapuan dan konsekuensi teknologisnya . Ron Rice (1984, dalam Lievrouw et.al,2006:21-25) mengatakan, “new media as communication technologies typically involving computer capabilities that allow and facilitate interactivity among users or between users and information”12. Media baru lebih menekankan pada kondisi keterhubungan (network) yang dalam aplikasi nya dapat bersifat one to one, one to many dan many to many. Dalam pandangan kontruksionis, media bukanlah sekedar saluran yang bebas , ia menjadi subjek yaang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias
10
Hendri Prasetyo, Jurnal Ultima Comm “Cyber Community, Cyber Cultures: Arsitektur Sosial Baru Modern, Jakarta, 2012. Hlm.29 11 Hendri Prasetyo, Jurnal Ultima Comm “Cyber Community, Cyber Cultures: Arsitektur Sosial Baru Modern, Jakarta, 2012. Hlm. 30 12 Hendri Prasetyo, Jurnal Ultima Comm “Cyber Community, Cyber Cultures: Arsitektur Sosial Baru Modern, Jakarta, 2012. Hlm.30
15
dan pemihaknya. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan.13 Media memilih, realitas mana yang diambil dan mana yang tidak diambil. Media bukan hanya memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa.14 Berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakaan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda.15 Berita tidaklah dibentuk dari ruang hampa. Berita diproduksi dari ideologi dominan dalam suatu wilayah kompetensi tertentu. Ideologi disini tidak selalu dikaitkan dengan ide-ide besar. Ideologi juga bisa bermakna politik penandaan atau pemaknaan.16 1.3 Komunitas dan Interaksi New Media Berkaitan dengan kehidupan sosial, ada banyak definisi yanag menjelaskan tentang arti komunitas. Tetapi setidaknya definisi komunitas dapat didekati melalui ; pertama, terbentuk dari sekelompok orang; kedua, saling berinteraksi
13
Eriyanto, Analisis Framing: Lkis, Yogyakarta,2002. Hlm: 26 Eriyanto, Analisis Framing: Lkis, Yogyakarta,2002. Hlm, 27 15 Eriyanto, Analisis Framing: Lkis, Yogyakarta,2002. Hlm.29 16 Eriyanto, Analisis Framing: Lkis, Yogyakarta,2002. Hlm.154 14
16
secara sosial di antara anggota kelompok itu; ke empat, adanya wilayah-wilayah individu yang terbuka untuk anggota kelompok lain, misalnya waktu (Hillery,1955). Rheingold dalam bukunya Homesteading on the Electronic Frontier (2000:5), menjelaskan “virtual communities are social aggregations that emergace from the Net when enough people carry on those public discussions long enough, with sufficient human feeling, to from webs of personal relationship in cyberspace.” Dan Andrew F Wood dan Matthew J.Smith dalam buku Online Communication, Linking Techonlogy, identity, and Culture (2005;233) menjelaskan
virtual
community
sebagai
“A
shared
understanding
of
interrelatedness among participants in computer-mediated environments”.17 Pandangan mengenai komunitas dan pembentukan komunitas maya hingga saat ini memang masih menjadi perdebatan, beberapa kalangan masih melihat komunitas dalam bentuknya yang nyata dalam suatu ikatan wilayah, meskipun tidak semua orang yang berada dalam satu lingkungan yang sama dikatakan sebagai komunitas, dapat dikatakan komunitas jika anggota-anggota yang ada didalamnya memiliki pengalaman yang sama dan rasa sebagai komunitas “sense of community”. Jones (1997)18 mengatakan , komunitas dapat dilihat dari dua sisi yaitu komunitas yang berdasarkan pada lingkungan yang sama “place based community” dan komunitas yang berdasarkan kepentingan bersama “communites of interest”
17
Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber, Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2012.hlm.138-139 18 Hendri Prasetyo, Cyber Community, Cyber Cultures: Arsitektur Sosial Budaya Baru Masyarakat Modern dalam Jurnal ILKOM UMN Volume IV Nomor 1,2012 hal.33
17
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa virtual communities atau komunitas virtual adalah kumpulan pengguna/user yang dibentuk secara online yang masing-masing menggunakan identitas nyatu atau rekaan (avatar) serta informasi online tertentu untuk melakukan komunikasi atau interaksi secara terus menerus melalaui media jaringan komputer. Jika ditilik lebih dalam, maka komunitas virtual yang terbangun pada dasarnya terbentuk dengan sendirinya. Tidak ada kekuatan politik ekonomi dalam pengertian mikro yang memberikan dorongan kepada individu untuk menjadi dari komunitas virtual tersebut. Sebuah newsgroup atau form diskusi di internet bisa menjelma menjadi sebuah komunitas manakala anggota forum tersebut melakukan interaksi secara itens, simultan dan dalam waktu yang lama ; begitu juga sebaliknya , setiap individu bebas untuk meninggalkan forum tanpa ada sanksi sosial yang ditanggung olehnya. Juga, tidak ada aturan formal semacam undang-undang yang mengikat individu dalam forum tersebut. Seandainya ada salah satu anggota forum yang konten diskusinya dianggap tidak sesuai , yang terjadi adalah anggota lain forum akan memberikan tanggapan atau pendapat terhadap konten tersebut. Konsekuensinya adalah adalah bila mayoritas anggota forum bersuara sama terhadap konten , pada saat itulah semua anggota forum menyadari bahwa konten tersebut out off topic atau tidak sesuai dengan forum, forum bisa mengingatkan
individu
yang
dimaksud,
memfilter
konten
yang
akan
dipublikasikan terlebih dahulu, mem-banned-nya, atau mengeluarkan individu dari forum tersebut.
18
Pada dasarnya komunitas virtual dibedakan menjadi dua jenis.Merujuk pada penjelasan Tonnies dalam bukunya Community and Asociation yang terbit tahun 1995 (dikutip David Bell,2001:94) bahwa komunitas terbagi menjadi Gemeinschaft dan Gesellschaft. Gemeinschaft merujuk pada jenis komunitas yang berkaratkter “total community” dimana setiap individu maupun setiap aspekaspek sosial di dalamnya berinteraksi secara vertikal maupun horizontal, berjalan secara stabil dan dalam waktu yang lama, merupakan hasil dari adanya kesamaan maupun kebutuhan, terbentuk dari pertukaran ritual maupun simbol-simbol sebagaimana yang terjadi pada interaksi sosial secara nyata yang dibangun secara face to face interactions. Inilah yang disebut Tonnies sebagai komunitas (dalam pengertian tradisional)/dimana setiap individu membantu individu lain, setiap individu mengenal individu lain, dan ikatan yang terjalin antar-individu kuat dan menjelma terwujud. Adapun Gesellschaft adalah kebalikan dari kondisi Gemeinschaft. Ditengerai oleh derasnya urbanisasi di kota-kota besar , Tonnies menjelaskan bahwa jenis komunitas ini terbentuk dari berbagai aspek yang sangat heterogen. Setiap anggota komunitas memiliki kepentingan yang berbeda-beda , komitmen yang berbeda dan tidak adanya ikatan antar individu begitu juga dengan norma atau nilai-nilai yang menjadi pengikatnya. Hubungan yang terjadi antar individu dalam komunitas ini terjadi sangat dangkal dan lebih bersifat instrumen formal belaka. Dalam Gesellschaft, komunitas tidak berkembang secara stmultan dan tidak membesar/ meski anggota komunitas yang ada didalamnya secara kuantitas
19
berjumlah besar, sebagaimana penduduk diibu kota, dan setiap individu dan akan bertemu dengan individu lainnya setiap waktu namun hubungan terjalin hanya parsial dan sementara. Sebagaimana diungkapkan oleh Kllock dan Snith (1999:16) “ there is great deal of loneliness in the lives of many city dwellers”.19 Dua jenis komunitas yang di sodorkan oleh Tonnies ini pada dasarnya mewakili jenis komunitas yang ada diruang siber/internet.Namun pilihan apakah individu itu sendiri, bukan dibentuk oleh kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan sosial yang dibentuk dalam waktu yang lama sebagaimana kehidupan nyata. Ia bisa menjadi individu yang aktif dalam komunitas virtual, memiliki jalinan antaranggota forum yang kuat, dan membagi nilai-nilai kebersamaan. Tetapi dilain sisi dia juga bisa sekedar menjadi kaum urban yang bergerak dari kehidupan nyata atau offline ke online-selayaknya kaum urban dikota besardengan tidak melibatkan diri lebih jauh di komunitas virtual tersebut. Sekedar melihat ada topik diskusi apa yang menarik atau mencari kebutuhan offline dan jika kebutuhan tersebut terpenuhi, maka komunitas virtual itu pun ditinggalkan. Jadi menggunakan komunitas tersebut berdasarkan kebutuhan nya. 1.4 Media dan Minoritas Kajian media secara umum mempelajari bagaiman dampak dan pengaruh media dan proses komunikasi dalam kehidupan sosial dan budaya manusia, baik dalam tataran individu, kelompok, maupun masyarakat. Untuk itu, kajian media juga memikirkan bagaimana teknologi komunikasi dan bentuk-bentuk
19
Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber, Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2012.hlm.142
20
komunikasi berpengaruh terhadap struktur komunitas, hubungan sosial dan ekonomi, serta proses-proses politik yang terjadi dalam masyarakat (Howley, 2010; 2). Dalam hal ini, secara signifikan studi komunikasi yang berkembang melihat adanya kesempatan sebuah komunitas, melalui proses tindakan kolektif untuk membentuk struktur media dan mempengaruhi perilaku komunikasi dalam konteks yang lebih luas.
“Media komunitas, banyak ahli komunikasi telah mengingatkan bahwa pasti terdapat ketidakpuasan untuk mencoba mencari perbedaan media komunitas dengan media lainnya jika hanya berpatokan pada salah satu aspek saja, misalnya ukuran dari institusi media tersebut. Antara lain Hollander et.al (2002) yang mengingatkan bahwa perbedaan antara media media komunitas dan media lainnya, bersifat utuh dan menyeluruh, baik dari segi bentukbentuknya, skala, maupun teknik-tekniknya20. Sebagai sebuah institusi media komunitas bukanlah institusi bisnis akan tetapi dimiliki oleh organisasi kolektif atau komunitas yang bersangkutan. Kedua dilihat dari aspek isi. Dibandingkan dengan media mainstrem maka media komunitas mencoba memenuhi memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat komunitas nya yang memiliki kebutuhan dan keterkaitan sama. Salah satu pengertian media alternatif adalah dalam pengertian kajian budaya yaitu diartikan Sulvian dan kawan-kawan sebagai berikut”forms of
20
Effendi Gazali, Penyiaran Alternatif tapi mutlak,Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, Depok, 2002, hlm.71
21
mass communication that avowedly reject or challenge established and institutionalized politics, in the sense that they all advocate change in society, or at least a critical reassessment of traditional values (Sullivan at al, 1994; 10). 21 Merujuk pada pengertian Sulivan tersebut maka secara mendasar media alternatif dipandang sebagai saluran untuk melawan kekuatan atau kemapanan politik. Selain itu media alternatif juga dapat dilihat sebagai media yang radikal atau biasanya juga merupakan media bawah tanah (Underground media) yang produk-produknya merupakan produk yang berlawanan (oposisi) dengan produkproduknya merupakan produk media arus utama (Sullivan at al, 1994;10).Media alternatif pada dasarnya merupakan perwujudan resistensi khalayak pada arus utama. Oleh karena itu untuk menilai keberhasilan dan kegagalan media alternatif bukan pada ukuran jumlah atau presentase khalayaknya dan pendapatnya akan tetapi pada kemampuannya untuk membuka dialog dalam ruang publik yang ada di level komunitas atau melalaui jaringan jaringan sosial
yang ada
(Downing,2004;48)22 Menurut Larry Gross, sebagian besar gambaran yang diterima melalui media merefleksikan pengalaman dan kepentingan kelompok-kelompok mayoritas dalam masyarakat (Gross, h.88). Istilah „minoritas‟ telah diaplikasian kepada orang dan ras tertentu, kepada perempuan, dan kini umumnya kepada gay dan lesbian. Semua kategori ini didefinisikan oleh „penyimpangan‟ mereka atas norma 21
Eni Maryani,Dra.M.Si, Media dan Perubahan sosial,PT.Remaja Rosdakarya,Bandung, 2011, hlm.65 22 Eni Maryani, Media dan Perubahan sosial,PT.Remaja Rosdakarya,Bandung, 2011, hlm.65
22
tertentu seperti laki-laki berkulit putih heteroseksual di sebagian besar negara barat,. Menurut Gross, representasi yang terdapat di media sebagian besar diciptakan oleh dan untuk anggota kelompok mayoritas, termasuk reprentasi mengenai kelompok minoritas. Namun, terdapat sebagian kecil konten media alternatif yang diproduksi oleh dan untuk kelompok minoritas. Semua anggota kelompok minoritas umumnya relatif tidak terlihat dan mendapatkan seteriotip-stereotipe negatif di media, namun minoritas seksual berbeda dengan minoritas ras dan etnis. Keberadaan minoritas seksual dianggap sebagai ancaman terhadap susunan dunia yang alami, sehingga minoritas seksual selalu dianggap sebagai pihak yang kontroversial. Representasi dalam media massa membawa dua dampak ke minoritas sosial , yaitu ditunjukan sebagai lemah atau jahat, namun juga tidak ditunjukan orang-orang yang „biasa saja‟ ataupun berprestasi. Representasi stereotipe minoritas seksual yang abnormal telah mempertahankan posisinya dalam masyarakat dan menjaga agar kelompok minoritas seksual selalu tidak terlihat. Media memiliki peranan penting dalam menyediakan informasi dan gambaran yang terkait dengan homoseksualitas dan homofobia. Pada saat yang bersamaan, media memperkuat tabu atas homoseksualitas dan menampilkan nya sosok teladan yang hampir secara universal merupakan seterotipe heteroseksual (Plummer,1999. H 130). Media selama ini telah berperan penting dalam mempengaruhi masyarakat untuk menerima konstruksi ideologis heteroseksisme melalui penggambaran konstan perilaku seksual apapun di luar pernikahan sebagai „sakit‟ atau devian (Muarray,2001, h.170). Sebuah aspek lain dari
23
deskriminasi terhadap kelompok gay adalah bahwa dalam media, kelompok gay seolah dibungkam dan dibuat tidak terlihat. Media masa jarang membahas isu-isu yang penting bagi kelompok gay. Kalaupun kelompok gay ditampilkan dalam media massa, biasanya gay dijadikan sebagai objek yang “aneh” untuk meningkatkan sirkulasi penjualan media tersebut (Oetomo,2001).23 Pada tanggal 9 juni 1997, Dede Oetomo menjadi tamu dalam talkshow Buah Bibir yang saat itu membahas lesbian. Saat itu menandai pertama kalinya persoalan gay tampil seterbuka di telivisi nasional. Mentri penerangan saat itu, Hartono, mengeritik stasiun telivisi RCTI (yang memproduksi Buah Bibir) dan SCTV yang memproduksi acara serupa bernama Potret. Mentri Agama Tarmizi Taher menambahkan bahwa “promosi gay dan lesbian” tidak seharusnya “deberikan
kesempatan”
di
telivisi,radio,
atau
form
publik
lainnya
(Boellstroff,2005a,h.75). Anggota pengurus Pusat Muhammadiyah, Drs.Lukman Harun, juga memprotes kedua acara tersebut karena dianggap “bertentangan dengan kebudayaan bangsa, serta agama” dan “[mem] besar-besarkan topik yang hanya merupakan ekses kehidupan, antara lain homoseks, perselingkuhan, dan kebebasan seks.‟‟ Menanggapi berbagai kritik tersebut, humas RCTI, Eduard Depari, berjanji “pihaknya akan lebih menyeleksi tema yang akan ditayangkan di acara tersebut [dengan]... mengurangi tema-tema yang kontroversial [dan menegaskan bahwa] permasalahan yang diangkat juga harus merupakan problematika yang dihadapi oleh sebagian masyarakat. “ Dengan demikian, topik
23
Dede Oetomo, Memberi Suara Pada Ynag Bisu, Galang Press Yogyakarta, 2003
24
gay atau lesbian, yang hanya kepentingan segelintir orang, tak akan pernah dimunculkan.” (Oetomo, 2003,h.139-140)24 Orang percaya bahwa media memiliki kekuatan meskipun secara mengejutkan adalah sulit untuk menetapkan secara akurat kekuatan jenis apakah yang dimiliki media. Kekuatan utama media terletak pada fakta bahwa media dapat menjadi sumber utama berbagai ide dan opini. Media dapat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak.25
1.5 Website Sebagai Media Komunitas Online Sampai saat ini , tahap terakhir dari perkembangan media adalah penemuan internet . Tahap terakhir tesebut membawa revolusi besar dalam komunikasi massa dengan lahirnya jurnalisme online yang bukan lagi di update dalam hitungan hari atau jam, namun sudah dalam hitungan detik. Adapun jurnalis online ini berkembang salah satunya dalam bentuk website sebagai media nya, dengan adanya hal ini memungkinkan akses informasi yang cepat kepada khalayak.26 Dalam konteksi kajian media komunitas, akses dan partisipasi merupakan karakteristik kunci dari sebuah media yang dikelola oleh dan ditunjukan untuk komunitas. Merujuk pada Asian Institute of Journalism (dalam Oepeon, 1988:20), akses dapat dipahami sebagai kemampuan publik memperoleh kebebasan untuk mendekat pada suatu sistem komunikasi. Secara konkret, terwujudnya akses
24
Dede Oetomo, Memberi Suara Pada Ynag Bisu, Galang Press Yogyakarta, 2003 hlm.139-140 Grame Burton, Yang tersembunyi Di balik Media, Jalasutra: Yogyakara, 2008, Hlm, 2 26 Fajar Junaidi, Komunikasi Massa: Pengantar Teoritis , Santusta, Yogyakarta, 2007 , Hlm.30 25
25
ditunjukan dari kemampuan publik terhadap media pada dua hal yaitu pilihan (choice) dan tanggapan (feedback). Pada level choice, akses meliputi kebebasan hak individu atas sebuah informasi yang ingin dia dengar atau di alihat, ketersediaan konten informasi yang lebih luas pilihannya berdasarkan kebutuhan publik dibanding oleh konten yang dipaksakan oleh pihak produsen media, serta penayangan konten yang diminta oleh publik itu sendiri. Sedangkan pada level feedback, aksesdiindikaiskan dari interaksi yang seimbang antara produsen dan konsumen pesan, partisipasi langsung khalayak selama penayangan program, hak untuk menyampaikan kritik dan komentar, serta sarana untuk berhubungan dengan produser, administrator, dan pengelola organisasi media tersebut. Partisipasi sendiri merujuk pada keterlibatan publik dalam memproduksi dan manajemen suatu sistem komunikasi yang secara oprasional dapat terwujud dalam tiga level yaitu produksi (production), pembuatan keputusan (decision making), dan perencanaan (planning). Pada level produksi, partisipasi mencakup kesempatan yang tidak terbatas bagi publik untuk memproduksi isi program, membuat fasilitas teknis dan sumberdaya produksi tersedia bagi publik. Untuk level decision making, partisipasi diwujudkan melalui keterlibatan publik dalam program dan manajemen media. Sedangkan dalam level perencanaan, partisipasi menunjuk pada hal publik untuk berkontribusi dalam formulasi perencanaan dan kebijakan komunikasi serta formulasi perencanaan komunikasi di ranah lokal, regional, dan nasional (Asian Institute of Journalism, dalam Oepen, 1988:21).
26
Kajian media komunitas sangat terkait dalam keberadaan kelompok minoritas. Kelompok minoritas adalah kelompok yang sangat tidak diuntungkan karena tindakan diskriminasi orang lain terhadap anggotanya dan biasanya secara fisik mapun sosial termarjinalisasi dari komunitas yang lebih besar (Riyadi,2010). Keberadaan kelompok minoritas ini tidak dapat terelakan dalam kondisi masyrakat plural seperti halnya masyarakat Indonesia. Akan tetapi, apakah kelompok minoritas tersebut menjadi kelompok yang terabaikan dalam ruang publik menjadi fokus pemikiran dari gagasan media komunitas. Peran media komunitas dapat mendukung partisipasi kelompok minoritas karena salah satu ciri khas media komunitas ialah strukturnya yang demokratis. Struktur demokratis media komunitas terwujud karena tatanan organisasional dalam media komunitas tidak bersifat hierarkis seperti halnya media korporat (Lie, Carpentier, dan Servaes,2003, dalam Howley: 2010:4). Media komunitas mendorong proses pengambilan keputusan partisipatoris dibanding hierarkis karena struktur media komunitas didukung tenaga non-prefisional yang biasanya sukarela menjalankan fungsi produksi dan distribusi media. Karena itulah, media komunitas biasanya disebut juga sebagai participatory media. Secara ideologis, media komunitas juga menjadi ranah pengujian bagaiman proses hegemoni media bekerja di tatanan kelompok-kelompok yang terpinggirkan, Karena karakteristiknya ini, media komunitas juga sering disebut sebagai citizen media atau juga radical media (Howley,2010).Media komunitas juga disebut sebagai alternative media karena orientasi pembentukannya ialaha menyediakan ruang dan kesempatan bagi kelompok-kelompok marjinal untuk
27
membentuk pesan mereka sediri, mengepresikan pesan tersebut dalam suara mereka sendiri, dengan menggunakan bahasa dan simbol budaya milik mereka sendiri (Rodriguez, 20010. Untuk mengupayakan hal ini, media komunitas secara instrumental berupaya melindungi dan mempertahankan identitas budaya sebuah komunitas dan di saat yang sama juga menantang pengambaran dan setereotipe yang sering kali dikenakan pada kelompok ini (Howley,2010:5). Kajian media komunitas memahami bahwa sebuah komunitas biasanya menggunakan suatu medium tertentu yang utama sebagai sentral dari kegiatan komunitasnya (Howley,2010). Awalnya, medium yang digunakan oleh suatu komunitas umumnya terbatas di tataran geografis tertentu meskipun konten meda mengusung suatu kesamaan nilai komunitas. Seperti, contohnya Grabag TV melayani kebutuhan informasi masyarakat di daerah blankspot pegunungan Muntila, Radio Suara Disabilitas yang menyediakan sarana representasi dari kelompok disibilitas di kota solo, atau surat kabar bagi kelompok diaspora di wilayah urban Australia. Merujuk pada Enda Nasution (2012), hal ini salah satunya dikarenakan oleh platfrom atau bagaimana struktur sebuah media place akan mempengaruhi bagaimana sebuah komunitas terbentuk dan melakukan kegiatan kolektifnya. Medium tradisional seperti televisi,radio, dan surat kabar cenderung membatasai jangkaun spasial-geografis bagi media komunitas. Untuk media penyiaran sendiri terdapat beberapa regulasi tentang media komunitas seperti jangkauan jarak siaran atau kewajiban bersifat non-komersial yang akhirnya membuat media komunitas cenderung terbatas pada latar geografis kultural.Hal ini membuat media
28
komunitas seringkali masih tetap termarjinalisasi karena keterbatasan spektrum dan jangkauan infrastruktur. Akan tetapi, kehaduran teknologi internet menyebabkan pergesaran dan redefinisi media komunitas sebagai media geografis. Karakteristik internet memfasilitasi komunikais interaktif tanpa terhalang batasan ruang dan waktu sehingga memungkinkan terbentuknya komunitas online yang berasal dari adanya forum terbuka dan tempat berkompul bagi individu yang dengan kesamaan nilai (Poster,1995). Menurut Jankowski (2003:11), definisi utama dari studi media komunitas ialah kurangnya kerangka teoritis dan model konseptual yang dibangun. Howley (2010;15) menyatakan bahwa minimnya pengembangan teoritis media komunitas disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kurangnya definisi yang persisi tentang media komunitas sebagai media milik komunitas, media yang persisi tentang media komunitas sebagai media milik komunitas , media yang ditunjukan pada komunitas , atau media yang berisi tentang komunitas dan karakteristik komunitas yang dimaksudkan berdasarkan konteks geografis atau kultural. Kedua, variasi format medium yang digunakan berupa media mainstrem seperti telivisi , radio, media cetak, video atau baru seperti media online ditambah basisnya sebagai komunitas membuat pengembangan teoritisnya menjadi kompleks (Downing, 2001; Rennie, 2006). Gagasan media komunitas yang digunakan dalam penelitian ini berfokus pada struktur demokratis serta akses dan partisipasi dalam media komunitas yang terbuka terhadap kelompok minoritas. Akan tetapi, seperti yang dikemukakan Howley (2010) dan Jankowski (2003) di atas, banyaknya variasi
29
medium yang digunakan serta luasnya konteks komunitas yang dituju menjadikan konsep media komunitas memiliki definisi yang sangat cair. Oleh karena itu, gagasan media komunitas sebagai suatu landasan teoritis dalam penelitian ini perlu ditunjang oleh landasan konseptual lain yang membahas mengenai konsep komunitas yang relevan dengan keberadaan kelompok minoritas serta bagaimana komunitas beranggotakan kelompok minoritas tersebut memanfaatkan medium tertentu ( yang dalam penelitian ini adalah internet ) terkait dengan pembentukan kelompoknya. Website adalah keseluruhan halaman-halaman web yang terdapat dalam sebuah domain yang mengandung informasi. Sebuah website biasanya dibangun atas banyak halaman web yang saling berhubungan. Sedangkan domain merupakan nama unik yang di miliki oleh sebuah instutusi sehingga dapat diakses melalui internet.27 Website atau situs sebagai kumpulan halaman yang menampilkan informasi data teks, data gambar diam atau gerak, data animasi, suara, video dan atau gabungan dari semuanya, baik yang bersifat statis maupun dinamis yang membentuk satu rangkaian bangunan yang saling terkait dimana masing-masing dihubungkan dengan jaringan-jaringan halaman (hyperlink). Bersifat statis apabila isi informasi website tetap, jarang berubah, dan isi informasinya searah hanya dari pemilik website. Bersifat dinamis apabila isi informasi website selalu berubah-ubah, dan isi informasinya interaktif dua arah berasal dari pemilik serta pengguna website. Contoh website statis adalah berisi profil perusahaan, sedangkan website dinamis
27
Yuhefizar.Website Interaktif menggunakan Joomla, Elex Media Komputindo,Jakarta,2008,Hal.2
30
adalah seperti Friendster, Multiply, dll. Dalam sisi pengembangannya, website statis hanya bisa diupdate oleh pemiliknya saja, sedangkan website dinamis bisa diupdate oleh pengguna maupun pemilik. Sedangkan Web www.conq.me merupakan web yang bersifat dinamis. Desain tampilan web dan isi konten juga berperan penting dalam komunikasi pemasaran online. Dalam hal ini Marketer perlu merancang visual, memperhatikan artikel dan segala bentuk konten yang ada yang nanti nya di publikasikan di website.
Website
www.conq.me dilihat sebagai bentuk komunikasi pemasaran budaya gay yang dapat mewakili dari identitas komunitas dan di jadikan sebagai media komunitas . Website sebagai media komunikasi pemesaran dapat memberikan akses yang relatif sangat cepat dan murah. Dengan menggunakan website bentuk komunikasi pemasaran menjadi semakin mudah tanpa menggunakan birokrasi yang rumit mengingat website komunitas memiliki segmentasi yang sangat khusus terlebih lagi website komunitas CONQ diperuntukan untuk kelompok minoritas LGBT yang notabenya memiliki pandangan steriotip negatif di ruang publik baik secara nyata dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan media sosial internet. Sehingga media website komunitas CONQ dipandang sebagai media komunikasi pemasaran yang mampu menjebatani dan menampung aspirasi serta mampu sebagai media dalam menyuarakan pendapat, pandangan akan begitu banyak hal yang sebelum nya kelompok minoritas LGBT ini tersingkirkan dan tidak memiliki ruang gerak yang bebas , selain itu Web CONQ ini dijadikan sebagai media hiburan yang dianggap
31
memiliki konten sesuai dengan kebutuhan dan identitas kelompok minoritas LGBT tersebut.
1.6 Framing Pada dasarnya framing merupakan versi terbaru dari pendekataan analisis wacana khususnya untuk menganalisis teks media.28 Analisis Framing adalah salah satu metode analisis teks yang berbeda dalam kategori penelitian konstruksionis.29 Framing menetukan bagaimana realitas itu hadir dihadapan pembaca. Apa yang di ketahui tentang realitas sosial pada dasarnya tergantung pada bagaimana melakukan frame atas peristiwa itu memberikan pemahaman dan pemaknaan tertentu atas suatu peristiwa. Framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan suatu berita yang secara radikal berbeda apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dan menuliskan pandangannya dalam berita. Analisis Framing membantu untuk mengetahui bagaimana realitas peristiwa yang sama itu dikemas secara berbeda oleh wartawan sehingga menghasilkan berita yang secara radikal berbeda30 Framing bukan hanya berkaitan dengan skema individu (wartawan), melainkan juga berhubungan degan proses produksi berita.31
28
Alex Subur, Analisis Teks Media, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, Hlm. 161 Eriyanto, Analisis Framing: Lkis, Yogyakarta,2002. Hlm.43 30 Eriyanto, Analisis Framing: Lkis, Yogyakarta,2002. Hlm.97 31 Eriyanto, Analisis Framing: Lkis, Yogyakarta,2002. Hlm.115 29
32
Produksi berita berhubungan dengan bagaimana rutinitas yang terjadi dalam
ruang
pemberitaan
yang
menentukan
bagaimana
wartawan
didekte/dikontrol untuk memberikan peristiwa dalam persepktif tertentu.32 Framing pada intinya merujuk pada suatu usha pemberian definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu diskursus untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang diwancanakan didalam berita.33 Merujuk pada definisi yang dikemukaakan oleh Pan dan Kosicki maka ada dua konsepsi dari framing yang saling berelasi. Pertama dalam konsep psikologis. Konsep psikologis ini lebih memberikan penekakan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya. Framing berkaitan dengan struktur dan proses kognitif bagaimana seseorang memperoses sejumlah informasi dan ditunjukan kedalam skema tertentu. Kedua, konsep sosiologis. Framing dalam konsep ini dimengerti sebagai proses seseorang mengklarifikasikan , mengorganisasikan dan menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas dirinya.34
32
Eriyanto, Analisis Framing: Lkis, Yogyakarta,2002. Hlm. 141 Ishak dkk, Mix Methologhy Dalam Penelitian Komunikasi. Aspikom, Yogyakarta, 2011 , Hlm.119 34 Ishak dkk, Mix Methologhy Dalam Penelitian Komunikasi. Aspikom, Yogyakarta, 2011 , Hlm.120 33
33