BAB II TINJUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Teori Secara sederhana dapat diartikan bahwa pengelasan merupakan proses penyambungan dua buah logam sampai titik rekristalisasi logam baik menggunakan bahan tambah maupun tidak dan menggunakan energi panas sebagai pencair bahan yang dilas. Sedangkan pengertian pengelasan menurut Widharto (2003) adalah salah satu cara untuk menyambung benda padat dengan jalan mencairkannya melalui pemanasan. Berdasarkan definisi dari Deutche Industrie Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Wiryosumarto dan Okumura (2004) menyebutkan bahwa pengelasan adalah penyambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas. Penyambungan dua buah logam menjadi satu dilakukan dengan jalan pemanasan atau pelumeran, dimana kedua ujung logam yang akan disambung di buat lumer atau dilelehkan dengan busur nyala atau panas yang didapat dari busur nyala listrik (gas pembakar) sehingga kedua ujung atau bidang logam merupakan bidang masa yang kuat dan tidak mudah dipisahkan (Arifin,1997). Saat ini terdapat sekitar 40 jenis pengelasan. Dari seluruh jenis pengelasan tersebut hanya dua jenis yang paling populer di Indonesia yaitu pengelasan dengan menggunakan busur nyala listrik (Shielded metal arc welding/ SMAW) dan las karbit (Oxy acetylene welding/OAW). Pengelasan dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut: a. Pemanasan tanpa tekanan b. Pemanasan dengan tekanan c. Tekanan tanpa memberikan panas dari luar (panas diperoleh dari dalam material itu sendiri). d. Tanpa logam pengisi dan dengan logam pengisi
5
Pengelasan pada umumnya dilakukan dalam penyambungan logam, tetapi juga sering digunakan untuk menyambung plastik tetapi pembahasan ini akan difokuskan pada penyambungan logam. Pengelasan merupakan proses yang penting baik ditinjau secara komersial maupun teknologi, karena : a. Pengelasan merupakan penyambungan yang permanen. b. Sambungan las dapat lebih kuat dari pada logam induknya, bila digunakan logam pengisi yang memiliki kekuatan lebih besar dari pada logam induknya. c. Pengelasan merupakan cara yang paling ekonomis dilihat dari segi penggunaan material dan biaya fabrikasi. d.
Metode perakitan mekanik yang lain memerlukan pekerjaan tambahan (penggurdian lubang) dan pengencang sambungan (rivet dan baut)
e. Pengelasan dapat dilakukan dalam pabrik atau dilapangan. Walupun demikian pengelasan juga memiliki keterbatasan dan kekurangan : a. Kebanyakan operasi pengelasan dilakukan secara manual dengan upah tenaga kerja yang mahal. b. Kebanyakan proses pengelasan berbahaya karena menggunakan energi yang besar. c. Pengelasan merupakan sambungan permanen sehingga rakitannya tidak dapat dilepas. Jadi metode pengelasan tidak cocok digunakan untuk produk yang memerlukan pelepasan rakitan (misalnya untuk perbaikan atau perawatan). d. Sambungan las dapat menimbulkan bahaya akibat adanya cacat yang sulit dideteksi. Cacat ini dapat mengurangi kekuatan sambungannya.
2.2. Pengelasan Pengelasan yang paling popular di Indonesia yaitu pengelasan dengan busur nyala listrik (SMAW), dibeberapa Industri yang mempergunakan teknologi canggih, telah menggunakan jenis las TIG, MIG dan las tahan listrik (ERW). serta las busur terendam (SMAW).
6
Jenis-jenis pengelasan yang umumnya dilakukan adalah: 2.2.1 Proses pengelasan busur logam terbungkus Pengelasan ini menggunakan batang elektrode yang dibungkus dengan fluks atau disebut dengan shielded metal arc welding (SMAW) seperti ditunjukan dalam Gambar 2.1. Untuk panjang batang elektrode biasanya sekitar 230 sampai 460 mm dan diameter 2,5 sampai 9,5 mm. Logam pengisi yang digunakan sebagai batang elektrode harus sesuai dengan logam yang akan dilas, komposisinya biasanya sangat dekat dengan komposisi yang dimiliki logam dasar. Lapisan pembungkus terdiri dari serbuk selulosa yang dicampur dengan oksida, karbonat, dan unsur-unsur yang lain kemudian disatukan dengan pengikat silikat. Serbuk logam kadang-kadang juga digunakan sebagai bahan campuran untuk menambah logam pengisi dan menambah unsur-unsur paduan (alloy).
Gambar 2.1 Proses pengelasan busur logam terbungkus (Aljufri, 2008)
Selama proses pengelasan bahan fluks yang digunakan untuk membungkus elektrode, akibat panas busur listrik, mencair membentuk terak yang kemudian menutupi logam cair yang menggenang di tempat sambungan dan bekerja sebagai penghalang oksidasi. Pemindahan logam elektrode terjadi pada saat ujung elektrode mencair membentuk butir-butir yang terbawa oleh arus busur listrik yang terjadi.
Arus listrik yang digunakan sekitar 30 sampai 300 A pada
tegangan 15 sampai 45 V. Pemilihan daya yang digunakan tergantung 7
pada logam yang akan dilas, jenis dan panjang kawat elektroda, serta dalam penetrasi las-an yang diinginkan. 2.2.2. Proses pengelasan busur terendam (submerged arc welding/SAW) Ini adalah salah satu pengelasan dimana logam cair ditutup dengan fluks yang diatur melalui suatu penampang fluks dan elektroda yang merupakan kawat pejal diumpankan secara terus menerus, dalam pengelasan ini busur listriknya terendam dalam fluks dapat dilihat pada Gambar 2.2. Prinsip las busur terendam ini material yang dilas adalah baja karbon rendah, dengan kadar karbon tidak lebih dari 0, 05 %. Baja karbon menengah dan baja konstruksi paduan rendah dapat juga dilas dengan proses SAW, namun harus dengan perlakuan panas khusus dan elektroda khusus.
Gambar 2.2. Proses pengelasan busur terendam (Widharto, 2003)
2.2.3. Proses pengelasan busur logam gas (Gas metal arc welding) Pengelasan
ini
merupakan
proses
pengelasan
busur
yang
menggunakan elektrode terumpan dalam bentuk kawat (Gambar 2.3). Busur api listrik sebagai sumber panas untuk peleburan logam, perlindungan terhadap logam cair menggunakan gas mulia (inert gas) atau CO2. Proses Gas metal arc welding (GMAW) dimodifikasikan juga dengan proses menggunakan fluks yaitu dengan penambahan fluks yang magnetig (magnetizen - fluks) atau fluks yang diberikan sebagai inti (fluks cored wire).
8
Pengelasan busur logam gas banyak digunakan dalam pabrik untuk mengelas berbagai jenis logam ferrous dan nonferrous. Keuntungan pengelasan busur logam gas dibandingkan pengelasan manual adalah : − Waktu busur lebih besar − Pengelasan biasanya dilakukan secara automatis. − Sampah sisa logam pengisi jauh lebih sedikit. − Terak yang ditimbulkan lebih sedikit karena tidak memakai fluks. − Laju pengelasan lebih tinggi. − Kualitas daerah las-an sangat baik.
Gambar.2.3 Proses pengelasan busur logam gas (Aljufri, 2008)
2.2.4. Proses
pengelasan
busur
berinti
fluks
(Flux-cored
arc
welding/FCAW) Pengelasan dengan memakai busur nyala api yang menghasilkan elektroda tetap yang terbuat dari tungsten (wolfram), sedangkan bahan penambah terbuat dari bahan yang sama atau sejenis dengan bahan yang dilas dan terpisah dari torch, untuk mencegah oksidasi dipakai gas pelindung yang keluar dari torch biasanya berupa gas argon 99 %. Pada proses pengelasan ini peleburan logam terjadi karena panas yang dihasilkan oleh busur listrik antara elektroda dan logam induk. Proses pengelasan busur tungsten gas dapat dilihat pada Gambar 2.4
9
Gambar 2.4 Proses Pengelasan Busur Tungsten Gas (Wiryosumarto, 2000)
Terdapat dua jenis pengelasan busur inti-fluks, yaitu : − Pelindung sendiri (self shielded), dan − Pelindung gas (gas shielded). Pengelasan busur inti-fluks dengan pelindung sendiri di dalam inti kawat terdapat fluks dan unsur lain, yang dapat menghasilkan gas untuk melindungi busur dari pengaruh atmosfir. Pengelasan busur inti fluks dengan pelindung gas, di dalam inti kawat tidak ditambahkan unsur penghasil gas. Gas pelindung ditambahkan secara terpisah, sama seperti pada pengelasan busur logam gas. Keuntungan pengelasan inti fluks antara lain : − Elektrode dapat diumpankan secara kontinue − Kualitas las-an sangat baik, sambungan las-an halus dan seragam.
2.2.5. Proses pengelasan busur tungsten gas (Gas Tungsten Arc Welding) Pengelasan dengan memakai busur nyala api yang menghasilkan elektroda tetap yang terbuat dari tungsten (wolfram) sering disebut dengan Gas Tungsten Arc Welding (GTAW), sedangkan bahan penambah terbuat dari bahan yang sama atau sejenis dengan bahan yang dilas dan terpisah dari torch, untuk mencegah oksidasi dipakai gas pelindung yang keluar dari torch biasanya berupa gas argon 99%. Pada proses pengelasan ini peleburan
10
logam terjadi karena panas yang dihasilkan oleh busur listrik antara elektroda dan logam induk. Proses pengelasan busur tungsten gas dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Proses pengelasan busur tungsten gas (Wiryosumarto, 2000)
2.3. Desain Sambungan Las Desain sambungan las dan bentuk sambungan (welding joint), serta bentuk dan ukuran alur las dalam konstruksi untuk merancang sambungan las adalah: a.
Persyaratan umum atau spesifikasi mutu (kekuatan) yang di inginkan.
b.
Bentuk dan ukuran konstruksi las
c.
Tegangan timbul akibat pengelasan (residual stress), maupun tegangan yang diperhitungkan akan timbul akibat pemakaian (pembebanan)
d.
Jenis proses las yang boleh dipakai Beberapa Standar telah mengatur jenis – jenis sambungan, ada Sembilan
jenis alur sambungan (kampuh) las yang utama seperti pada Gambar 2.6
11
Gambar 2.6 Jenis-jenis alur sambungan las (Harsono, 2000)
2.4. Arus Pengelasan Besarnya aliran listrik yang keluar dari mesin las disebut dengan arus pengelasan. Arus las harus disesuaikan dengan jenis bahan dan diameter elektroda yang di gunakan dalam pengelasan. Untuk elektroda standart American Welding Society (AWS), dengan contoh AWS E6013 untuk arus pengelasan yang digunakan sesuai dengan diameter kawat las yang dipakai dapat dilihat pada Tabel 2.1. Penggunaan arus yang terlalu kecil akan mengakibatkan penembusan atau penetrasi las yang rendah, sedangkan arus yang terlalu besar akan 12
mengakibatkan terbentuknya manik las yang terlalu lebar dan deformasi dalam pengelasan seperti ditunjukan pada Gambar 2.7. Tabel 2.1 Hubungan diameter elektroda dengan arus pengelasan (Howard, 1998) Diameter Kawat las (mm)
Arus las (Amper)
1.6
25 - 45
2.0
50 - 75
2.5
70 - 95
3.25
95 - 130
4.0
135 - 180
5.0
155 - 240
Amps normal
Amps Rendah
Amps Tinggi
Volt Rendah
Volt Tinggi
Kecp Rendah
Kecp Tinggi
Gambar 2.7 Pengaruh arus listrik dan kecepatan pengelasan terhadap hasil sambungan las (Wiryosumarto, 2008)
2.5 Daya dan Energi Listrik 2.5.1. Daya Listrik. Daya adalah banyaknya energi yang digunakan pada selang waktu tertentu. Daya listrik yang dihasilkan dalam suatu rangkaian yang melibatkan tahanan listrik merupakan perkalian tegangan dan arus listrik.
13
(Gatot, 1999). Untuk mencari daya (P) dapat dihitung dengan persamaan berikut : P=
W t
(2.1)
Dimana : W = Besarnya energi (Joule) t
= Jumlah satuan waktu detik (s)
P
= Besarnya daya listrik watt (w)
Daya juga bisa dihitung dengan persamaan lain yaitu dengan diketahui tegangan dan arus, dengan persamaan dibawah ini.
P
=VxI
(2.2)
V
= Besarnya tegangan (Volt)
I
= Besarnya arus listrik (Amper)
P
= Besarnya daya listrik (Watt)
Dimana :
2.5.2. Energi Listrik Proses pengelasan menggunakan energi listrik yang diubah menjadi energi panas untuk melelehkan atau mencairkan logam (Gatot, 1999). Apabila penggunaan energi ini selama selang waktu t detik, maka energi dapat dihitung dengan persamaan berikut :
W = Vab x I x t
(2.3)
W = I2 x R x t
(2.4)
Dimana : Vab
= Perbedaan potensial (Volt)
I
= Besarnya arus (Amper)
t
= Satuan waktu (detik)
W
= Besarnya energi (Joule)
14
2.6. Kawat elektroda Kawat Elektroda terdiri dari dua bagian yaitu bagian yang berselaput (fluks) dan tidak berselaput yang merupakan pangkal untuk menjepitkan tang las, yang ditunjukan pada Gambar 2.8. Sedangkan fungsi fluks sendiri adalah untuk melindungi logam cair dari lingkungan udara, menghasilkan gas pelindung, menstabilkan busur.
Gambar 2.8. Kawat elektroda (Arifin, 1997)
Kawat elektroda dibedakan menjadi elektroda untuk baja lunak, baja karbon tinggi, baja paduan, besi tuang, dan logam non ferro. Bahan elektroda harus mempunyai kesamaan sifat dengan logam (Suharto, 1991). Pemilihan elektroda pada pengelasan baja karbon sedang dan baja karbon tinggi harus benarbenar diperhatikan apabila kekuatan las diharuskan sama dengan kekuatan material. Klasifikasi kawat elektroda diatur berdasarkan standar American Welding Society (AWS) dan American Society Testing Material (ASTM). Menurut standar AWS penomoran kawat elektroda dengan kode EXXYZ adalah sebegai berikut : E
:
Kawat elektroda untuk las busur listrik.
XX
:
Menyatakan nilai tegangan tarik minimum hasil pengelasan dikalikan dengan 1000 Psi (60.000 Ib/in2) atau 42 kg/mm2.
Y
:
Menyatakan posisi pengelasan, 1 berarti dapat digunakan untuk pengelasan semua posisi
Z
:
Jenis selaput elektroda Rutil-Kalium dan pengelasan arus AC atau DC
15
Untuk spesifikasi kawat elektroda untuk baja karbon berdasarkan jenis dari lapisan elektroda yang digunakan pada posisi pengelasan dan polaritas pengelasan yang terdapat Tabel 2.2. Tabel 2.2 Spesifikasi Elektroda Terbungkus dari Baja Lunak (Wiryosumarto, 2000). Sifat mekanik logam las Klasifi
Jenis
Posisi
kasi JIS
fluks
pengelasan
Jenis listrik
Kekuatan
Kekuatan
Perpanj
Kekuatan
tarik
luluh
angan
tumbuk
2
2
(Kg/mm )
(Kg/mm )
(%)
(Kg/mm2)
D4301
imenit
F.V.OH.H
AC atau DC
≥ 43
≥ 35
≥ 22
≥ 48 (oC)
D4303
Titania
F.V.OH.H
AC atau DC
≥ 43
≥ 35
≥ 22
≥ 28 (oC)
F.V.OH.H
AC atau DC
≥ 43
≥ 35
≥ 22
≥ 28 (oC)
F.V.OH.H
AC atau DC
≥ 43
≥ 35
≥ 17
F.V.OH.H
AC atau DC
≥ 43
≥ 35
≥ 25
F..H.S
AC atau DC
≥ 43
≥ 35
≥ 17
F..H.S
AC atau DC
≥ 43
≥ 35
≥ 25
≥48 (oC)
F..H.S
AC atau DC
≥ 43
≥ 35
≥ 25
≥ 28 (oC)
Semua posisi
AC atau DC
≥ 43
≥ 35
≥ 22
≥ 28 (oC)
kapur D4311
selulosa tinggi
D4313
Oksida titan
D4316
Hidrogen
≥ 48 (oC)
rendah D4324
Serbuk besi titania
D430126
Serbuk besi hidrogen rendah
D430127
Serbuk besi
D4340
Khusus
oksida
2.7. Baja Karbon Rendah Baja karbon rendah adalah baja paduan yang mempunyai kadar karbon sama dengan baja lunak, tetapi ditambah dengan sedikit unsur-unsur paduan. Penambahan unsur ini dapat meningkatkan kekuatan baja tanpa mengurangi keuletannya, untuk spefikasi jenis baja karbon rendah sesuai dengan kadar karbon ditunjukan pada Tabel 2.3. material ini digunakan untuk kapal, jembatan, roda kereta api, ketel uap, tangki-tangki dan dalam permesinan. Baja karbon adalah baja yang mengandung karbon antara 0,1% - 1,7%. Berdasarkan tingkatan banyaknya kadar karbon, baja digolongkan menjadi tiga tingkatan :
16
a. Baja karbon rendah yaitu baja yang mengandung karbon kurang dari 0,30%. Baja karbon rendah dalam perdagangan dibuat dalam bentuk pelat, profil, batangan untuk keperluan tempa, pekerjaan mesin, dan lain-lain. b. Baja karbon sedang adalah baja yang mengandung karbon antara 0,30% – 0,60 %. Didalam perdagangan biasanya dipakai sebagai alat-alat perkakas, baut, poros engkol, roda gigi, ragum dan pegas. c. Baja karbon tinggi ialah baja yang mengandung karbon antara 0,6% – 1,5%. Baja ini biasanya digunakan untuk keperluan alat-alat konstruksi yang berhubungan dengan panas yang tinggi atau mengalami panas, misalnya landasan, palu, gergaji, pahat, kikir, bor, bantalan peluru, dan sebagainya (Amanto,1999). Pengelasan yang banyak digunakan untuk baja paduan rendah adalah las busur elektroda terbungkus, las busur rendam dan las MIG (las logam gas mulia). Tabel 2.3 Spesifikasi baja karbon rendah (Callister, 2007)
2.8. Daerah Pengaruh Panas Logam akan mengalami pengaruh pemanasan akibat pengelasan dan mengalami perubahan struktur mikro disekitar daerah lasan. Bentuk struktur mikro bergantung pada temperatur tertinggi yang dicapai pada pengelasan, kecepatan pengelasan dan laju pendinginan daerah lasan. Daerah logam yang mengalami perubahan struktur mikro akibat mengalami pemanasan karena
17
pengelasan disebut daerah pengaruh panas (DPP), atau Heat Affected Zone (HAZ) yang ditunjukan pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Daerah pengaruh panas pada sambungan las (Ahmad, 1994)
Keterangan : 1. Logam Las (Weld Metal) adalah daerah dimana terjadi pencairan logam dan dengan cepat kemudian membeku. 2. Fusion Line Merupakan daerah perbatasan antara daerah yang mengalami peleburan dan yang tidak melebur. Daerah ini sangat tipis sekali sehingga dinamakan garis gabungan antara weld metal dan H A Z. 3. H A Z merupakan daerah yang dipengaruhi panas dan juga logam dasar yang bersebelahan dengan logam las yang selama proses pengelasan mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan cepat, sehingga terjadi perubahan struktur akibat pemanasan. 4. Logam Induk (Parent Metal) merupakan logam dasar dimana panas dan suhu pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan sifat. Daerah HAZ merupakan daerah paling kritis dari sambungan las, karena selain mengalami perubahan struktur mikro juga mengalami perubahan sifat mekanik pada daerah itu karena dipengaruhi lamanya pendinginan dan komposisi kimia logam induk itu sendiri.
18
Pada proses pengelasan terjadi suatu siklus termal las yaitu proses pemanasan dan pendinginan yang terjadi pada daerah lasan atau dapat dikatakan proses perubahan panas yang bersifat lokal, tidak seperti proses perubahan panas pada umumnya. Untuk melihat fenomena proses tersebut dapat dilihat pada grafik siklus termal las pada Gambar 2.10 sebagai berikut.
Gambar 2.10 Siklus termal las (Wiryosumarto, 2004)
2.9.
Diagram Continuous Cooling Transformation (CCT)
Pada proses pengelasan, transformasi austenit menjadi ferit merupakan tahap yang paling penting karena akan mempengaruhi struktur logam las, hal ini disebabkan karena sifat-sifat mekanis material ditentukan pada tahap tersebut (Aljufri, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi austenit menjadi ferit adalah masukan panas, komposisi kimia las, kecepatan pendinginan dan bentuk sambungan las. Struktur mikro dari baja pada umumnya tergantung dari kecepatan pendinginannya dari suhu daerah austenit sampai suhu kamar. Karena perubahan struktur ini maka dengan sendirinya sifat-sifat mekanik yang dimiliki baja juga akan berubah. Hubungan antara kecepatan pendinginan dan struktur mikro yang terbentuk biasanya digambarkan dalam diagram yang menghubungkan waktu,
19
suhu dan transformasi, diagram tersebut dikenal dengan diagram CCT yang bisa dilihat pada Gambar 2.11.
Gambar 2. 11. Diagram CCT untuk baja ASTM 4340 (Aljufri, 2008)
Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa bila kecepatan pendinginan naik berarti waktu pendinginan dari suhu austenit turun, struktur akhir yang terjadi berubah campuran ferit-perlit ke campuran ferit-perlit-bainit-martensit, ferit-bainit martensit, kemudian bainit-martensit dan akhirnya pada kecepatan yang tinggi sekali struktur akhirnya adalah martensit (Wiryosumarto, 2000).
2.10. Struktur mikro Sambungan Las Daerah sambungan las terdiri dari tiga bagian yaitu: daerah logam las, daerah HAZ dan logam induk yang tak terpengaruhi panas seperti ditunjukan pada Gambar 2.12. Daerah logam las adalah bagian dari logam yang pada waktu pengelasan mencair dan kemudian membeku. Komposisi kimia logam las terdiri dari komponen logam induk dan bahan tambah dari elektroda yang menyebabkan terjadinya struktur yang tidak homogen. Struktur mikro di logam las dicirikan dengan adanya struktur berbutir panjang (columnar grains). Struktur ini berawal dari logam induk dan tumbuh ke arah tengah daerah logam las untuk arah pembekuan yang diperlihatkan pada Gambar 2.13 sebagai berikut.
20
Logam Induk Pusat elektroda Garis Lebur
Manik Las
Gambar 2.12. Arah pembekuan dari logam las (Wiryosumarto, 2000)
Penambahan unsur paduan pada logam las menyebabkan struktur mikro cenderung berbentuk bainit dengan sedikit ferit batas butir, kedua macam struktur mikro tersebut juga dapat terbentuk, jika ukuran butir austenitnya besar. Waktu pendinginan yang lama akan meningkatkan ukuran batas butir ferit pada struktur mikro logam las yang merupakan kombinasi dari struktur mikro yang ditunjukkan pada Gambar 2.13.
Gambar 2.13. Struktur makro daerah sambungan las (Sonawan, 2004) Menurut Abson dan Pargeter (1986), struktur mikro dari las biasanya kombinasi dari struktur mikro terdiri dari : a.
Ferit Batas Butir Ferit batas butir terbentuk pertama kali pada transformasi γ - α, biasanya terbentuk sepanjang bats austenit pada suhu 1000°C – 650°C
b.
Ferit Widmanstatten Jika suhunya lebih rendah maka akan terbentuk ferit Widmanstatten. Ukurannya besar dan pertumbuhannya cepat sehingga akan memenuhi
21
permukaan butirnya (Thewlis,1992). Struktur mikro ini terbentuk pada suhu 750°C – 650°C disepanjang batas butir austenit. Ferit widmanstatten mempunyai ukuran besar dengan orientasi arah yang hampir sama sehingga memudahkan terjadinya perambatan retak. c.
Ferit Acicular Ferit acicular berbentuk intragranular dengan ukuran yang kecil dan mempunyai orentasi arah yang acak (Dallam dkk, 1985). Jika terjadi retak hasil las dengan struktur mikro ferit acicular, maka retak tersebut tidak akan cepat merambat karena orientasi arahnya acak. Karena hal tersebut
maka
bentuk
struktur mikro
ferit
acicular mempunyai
ketangguhan paling tinggi dibanding strutur mikro yang lain. Biasannya ferit aciculat terbentuk sekitar suhu 650°C d.
Bainit Bainit merupakan ferit yang tumbuh dari batas butir austenit dan berupa pelat-pelat sejajar dengan Fe3C diantara pelat-pelat tersebut atau didalam pelat. Bainit mempunyai kekerasan yang lebih tinggi dibanding ferit, tetapi lebih rendah dari pada martensit.
e.
Martensit Martensit akan terbentuk pada proses pengelasan dengan pendinginan sangat cepat, mempunyai sifat sangat keras dan getas sehingga kekuatan tarik dan ketangguhannya rendah.
Pembentukan fasa-fasa terjadi pada proses pendinginan sesuai dengan temperatur sebagai urutan berikut : 1. Batas butir ferit, terbentuk pertama kali pada transformasi austenit-ferit biasanya terbentuk sepanjang batas austenit pada suhu 1000-650oC. 2. Ferit Widmanstatten atau ferrite with aligned second phase yang diperlihatkan pada Gambar 2.14. Struktur mikro ini terbentuk pada suhu 750-650oC di sepanjang batas butir austenite. 3. Ferit acicular, berbentuk intragranular dengan ukuran yang kecil dan mempunyai orientasi arah yang acak dan terbentuk sekitar suhu 650oC. 4. Bainit, merupakan ferit yang tumbuh dari batas butir austenit dan terbentuk pada suhu 400-500oC.
22
5. Martensit akan terbentuk, jika proses pengelasan dengan pendinginan sangat cepat, struktur ini mempunyai sifat sangat keras dan getas. G F
G F
W
W F
A F
A F
50µ m
50µ m
a)
b)
G F
W F
G F
W F
A F
A F
50µ m
50µ m
c)
d) W F G F A
A F
G F
50µ m
e)
f)
20µ m
Gambar 2.14. Foto mikro daerah las a). 800 A, b). 825 A, c). 850 A, d). 875 A, e). 900 A, f). Struktur dengan pembesaran 500 kali AF : ferit acicular, GF : ferit batas butir, WF : ferit Widmanstatten (Subeki, 2006)
23
2.11. Pengujian Komposisi Kimia Uji komposisi merupakan pengujian yang berfungsi untuk mengetahui seberapa besar atau seberapa banyak jumlah suatu kandungan yang terdapat pada suatu logam, baik logam ferro maupun logam non ferro. Uji komposisi biasanya dilakukan ditempat pabrik-pabrik atau perusahaan logam yang jumlah produksinya besar, ataupun juga terdapat di Instititut pendidikan yang khusus mempelajari tentang logam. Proses pengujian komposisi berlangsung dengan pembakaran bahan menggunakan elektroda dimana terjadi suhu rekristalisasi, dari suhu rekristalisasi terjadi penguraian unsur yang masing-masing beda warnanya. Penentuan kadar berdasar sensor perbedaan warna dan proses pembakaran elektroda ini tidak lebih dari tiga detik. Pengujian komposisi dapat dilakukan untuk menentukan jenis bahan yang digunakan dengan melihat persentase unsur yang ada. Untuk mengetahui komposisi logam cair dilakukan inspeksi logam cair. Alat uji yang digunakan CE meter atau spektrometer. Seperti yang dijelaskan sebelumnya setelah di ketahui komposisi logam cair dengan pengujian komposisi dilakukan proses penyesuaian untuk mencapai komposisi yang sesuai dengan standar. Pada Gambar 2.15 ada tiga bagian utama yaitu: 1. Furnace berisi logam cair yang dilebur dari beberapa raw material 2. Standar material yang menentukan kandungan komposisi masing-masing unsur yang ditetapkan 3. Proses pengujian komposisi yang menggunakan CE meter dan Spectrometer
Gambar 2.15 Ilustrasi proses pengujian komposisi kimia (Hendri,2002)
24
2.12. Pengujian Kekerasan Distribusi harga kekerasan produk lasan diperoleh dengan menguji titiktitik sepanjang penampang hasil lasan yang tegak lurus dengan arah pengelasan. Dari penampang itu terdapat tiga daerah berbeda yang masing-masing memiliki karaktereristik berbeda. Ketiga daerah yang dimaksud dan di uji keras tersebut adalah daerah logam las, derah pengaruh panas (HAZ) dan logam induk (Hery, 2003). Semua daerah itu hanya berjarak 1-2 mm untuk diuji kekerasan pada daerah sambungan las. Terdapat tiga jenis umum mengenai ukuran kekerasan yang tergantung pada cara melakukan pengujian. Ketiga jenis tersebut adalah kekerasan goresan, kerasan lekukan dan kekerasan pantulan (rewbound hardness). Akan tetapi pengujian yang sering dilakukan adalah pengujian penekanan. Pada pengujian penekanan terdapat beberapa alat uji yang dapat digunakan, antara lain alat uji Brinell, Vickers, Rockwell dan microhardness. a. Uji kekerasan Brinell Pengujian kekerasan Brinell merupakan pengujian standard secara industri, tetapi karena penekannya memakai bola baja yang diperkeras (hardened steel ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu, sebagaimana penekanan bola baja ditunjukkan oleh Gambar 2.16. Hasil penekanan adalah jejak berbentuk lingkaran bulat, yang harus dihitung diameternya di bawah mikroskop khusus pengukur jejak. Contoh pengukuran hasil penjejakan diberikan oleh Gambar 2.17. Sedangkan pengukuran nilai kekerasan suatu material hitung menggunakan rumus sebagai berikut:
BHN =
dimana
(2.5)
√ P
: Beban (kg)
D : Diameter indentor (mm) d
: Diameter jejak (mm)
25
Gambar 2.16. Ilustrasi indentasi metode Brinell (Akhmad, 2009)
Walaupun demikian pengaturan beban dan waktu indentasi untuk setiap material dapat pula ditentukan oleh karakteristik alat penguji. Nilai kekerasan suatu material yang dinotasikan dengan ‘HB’ tanpa tambahan angka di belakangnya menyatakan kondisi pengujian standar dengan indentor bola baja 10 mm, beban 3000 kg selama waktu 1—15 detik. Untuk kondisi yang lain, nilai kekerasan HB diikuti angka-angka yang menyatakan kondisi pengujian. Contoh: 75 HB 10/500/30 menyatakan nilai kekerasan Brinell sebesar 75 dihasilkan oleh suatu pengujian dengan indentor 10 mm, pembebanan 500 kg selama 30 detik.
Gambar 2.17. Hasil indentasi Brinellberupa jejak berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter dalam skala mm. (Akhmad, 2009)
b. Metode Rockwell Metode Rockwell Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers dimana kekerasan suatu bahan dinilai dari diameter atau diagonal jejak yang dihasilkan maka metode Rockwell merupakan uji kekerasan dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode ini banyak dipakai dalam
26
industri karena pertimbangan praktis. Variasi dalam beban dan indetor yang digunakan membuat metode ini memiliki banyak macamnya. Metode yang paling umum dipakai adalah Rockwell B dengan referensi ASTM E 18 memakai indentor bola baja berdiameter 1/6 inci dan beban 100 kg dan Rockwell C memakai indentor intan dengan beban 150 kg. Sedangkan untuk bahan lunak menggunakan penetrator yang digunakan adalah bola Baja (Ball) yang kemudian dikenal dengan skala B dan untuk bahan yang keras penetrator yang digunakan adalah kerucut intan (Cone) dengan sudut pncak 1200, yang bisa dilihat pada Gambar 2.18 kemudian dikenal dengan skala C.
Gambar 2.18. Identer kerucut pada ujung diamon (ASM Vol.8, 2008)
Walaupun demikian metode Rockwell lainnya juga biasa dipakai. Oleh karenanya skala kekerasan Rockwell suatu material harus dispesifikasikan dengan jelas. Contohnya 82 HRB, yang menyatakan material diukur dengan skala B. Indentor 1/6 inci dan beban 100 kg. Berikut ini diberikan Tabel 2.4 yang memperlihatkan perbedaan skala dan range uji dalam skala Rockwell. Dalam pengujian kekerasan Rockwell perlu memperhatikan nilai minimum ketebalan material pengujian. nilai ketebalan minimum material pengujian mengikuti rasio 1:10 tetapi ini berdasarkan akumulasi data pengujian untuk berbagai macam ketebalan pada baja karbon rendah, tinggi dan baja temper.
27
Tabel 2.4. Skala pada Metode Uji Kekerasan Rockwell (ASTM, 2009) Tipe Material Uji
Skala
Beban Mayor (Kg)
Tipe Indentor
A
60
1/16” bola intan kerucut
B
100
1/16” bola
C
150
Intan kerucut
D
100
1/8” bola
E
100
Intan Kerucut
F
60
1/16” bola
G
150
1/8” bola
H
60
1/8” bola
Pelat alumunium, timah
K
150
¼” bola
Besi cor, paduan alumunium, timah
L
60
¼” bola
Plastik, logam lunak
M
100
¼” bola
Plastik, logam lunak
R
60
¼” bola
Plastik, logam lunak
S
100
½” bola
Plastik, logam lunak
V
150
½” bola
Plastik, logam lunak
Sangat keras, tungsten, karbida Kekerasan sedang, baja karbon rendah dan sedang, kuningan, perunggu Baja keras, paduan yang dikeraskan, baja hasil tempering Besi cor, paduan alumunium, magnesium yg dianealing Baja kawakan Kuningan yang dianealing dan tembaga Tembaga, berilium, fosfor, perunggu
Pengujian kekerasan Rockwell memiliki tiga
metode yang biasa
digunakan yaitu: 1) Metode dengan Kerucut (HRC) Pada percobaan dengan metode ini menggunakan identer kerucut untuk penekanan ke material diperlihatkan pada Gambar 2.19 dengan besar nilai kekerasan HRC. Skala HRC memiliki nilai kekerasan 0 sampai 100.
28
Gambar 2.19. Ilustrasi uji kekerasan Rockwell (ASTM, 2009)
Namun pengujian untuk material tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan mesin khusus yang memiliki kapasitas beban 1-30 kg. Metode ini hanya cocok untuk bahan-bahan dengan susunan yang homogen. Gambar 2.20 menunjukan bagan pengujian Rockwell Cone atau HRC:
Gambar 2.20. Bagan Pengujian HRC
2) Metode dengan Peluru (HRB) Metode ini pada dasarnya sama dengan metode kerucut. Hanya saja metode ini menggunakan penetrator sebuah peluru. Berikut ini adalah bagan pengujian Rockwell Ball atau HRB yang dilustrasikan pada Gambar 2.21 sebagai berikut:
29
Gambar 2.21. Bagan Pengujian HRB 3) Metode Rockwell Superficial Perbedaannya dengan Rockwell biasa adalah dalam beban minor dan beban mayor. Pada Rockwell Superficial, beban minor adalah 3 kg, sedangkan beban mayor adalah 15, 30 dan 45 kg untuk mengetahui besarnya beban dan dan jenis identor bisa dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Skala Superficial Rockwell (ASTM, 2009) Simbol
Identor
15 N 30 N 45 N 15 T 30 T 45 T 15 W 30 W 45 W
Diamond Diamond Diamond 1/16 in ball 1/16 1n ball 1/16 in ball 1/8 in ball 1/8 in ball 1/18 in ball
Besar beban (Kg) 15 30 45 15 30 45 15 30 45
c. Metode Vickers Banyak
masalah
metalurgi
yang
membutuhkan
penentuan
kekerasan pada permukaan yang sangat kecil misalnya penentuan kekerasan pada permukaan terkarburasi, daerah sambungan, daerah difusi dua material yang berbeda dan penentuan kekerasan pada part jam tangan. Untuk pengujian spesimen-spesimen sangat kecil ini, mengunakan uji
30
Vickers dan untuk prosedur pengujian menggunakan referensi ASTM E 384 Pada metode ini, digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut 136o, seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.22. Prinsip pengujian adalah sama dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop pengujur jejak. Untuk menghitung nilai kekerasan suatu material menggunakan rumus sebagai berikut: VHN =
.
(2.6)
Dimana P = Besar beban (kg) d = Rata-rata diameter pijakan identer d1 dan d2 (mm)
Gambar 2.22 Indentasi dengan metode Vickers (Akhmad, 2009)
2.13. Pengujian Tarik Proses pengujian tarik bertujuan untuk mengetahui kekuatan tarik benda uji. Pengujian tarik untuk kekuatan tarik daerah las dimaksudkan untuk mengetahui apakan kekuatan las mempunyai nilai yang sama, lebih rendah atau lebih tinggi dari kelompok raw materials. Pengujian tarik untuk kualitas kekuatan tarik dimaksudkan untuk mengetahui berapa nilai kekuatannya dan dimanakah letak putusnya suatu sambungan las.
31
Pembebanan tarik adalah pembebanan yang diberikan pada benda dengan memberikan gaya tarik berlawanan arah pada salah satu ujung benda yang diatur pada ASTM E8. Untuk dimensi ukur bisa dilihat pada Gambar 2.23 dibawah ini.
Gambar 2.23. Spesimen Uji Tarik standart ASTM E-8
Penarikan gaya terhadap beban akan mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk (deformasi) bahan tersebut. Proses terjadinya deformasi pada bahan uji adalah proses pergeseran butiran kristal logam yang mengakibatkan melemahnya gaya elektromagnetik setiap atom logam hingga terlepas ikatan tersebut oleh penarikan gaya maksimum. Pada pengujian tarik beban diberikan secara kontinue dan pelan–pelan bertambah besar, bersamaan dengan itu dilakukan pengamatan mengenai perpanjangan yang dialami benda uji dan dihasilkan kurva tegangan – regangan yang ditunjukkan pada Gambar 2.24 berikut ini
Gambar 2.24 Kurva tegangan-regangan (Callister, 2007)
32
Pada pengujian tarik beban diberikan secara kontinue dan pelan–pelan bertambah besar, bersamaan dengan itu dilakukan pengamatan mengenai perpanjangan yang dialami benda uji dan dihasilkan kurva tegangan-regangan. Tegangan dapat diperoleh dengan membagi beban dengan luas penampang mula benda uji.
u =
(2.7)
Dimana:
σu = Tegangan nominal (kg/mm2) Fu = Beban maksimal (kg) Ao = Luas penampang mula dari penampang batang (mm2)
Regangan (persentase pertambahan panjang) yang diperoleh dengan membagi perpanjangan panjang ukur (∆L) dengan panjang ukur mula-mula benda uji.
ε=
∆
x 100% =
Dimana:
x 100%
(2.8)
ε = Regangan (%) L = Panjang akhir (mm) Lo = Panjang awal (mm)
Pembebanan tarik dilakukan terus-menerus dengan menambahkan beban sehingga akan mengakibatkan perubahan bentuk pada benda berups pertambahan panjang dan pengecilan luas permukaan dan akan mengakibatkan kepatahan pada beban. Persentase pengecilan yang terjadi dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
q=
Dimana:
x 100% q
(2.9)
= Reduksi penampang (%)
Ao = Luas penampang mula (mm2) A1 = Luas penampang akhir (mm2)
33
Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan perpatahan diilustrasikan pada Gambar 2.25 sesuai dengan tingkat keuletanya.
Gambar 2.25 Ilustrasi penampang samping bentuk perpatahan benda uji tarik sesuai dengan tingkat keuletan/kegetasan (Akhmad, 2009) Perpatahan ulet memberikan karakteristk berserabut (fibrous) dan gelap (dull), sementara perpatahan getas ditandai dengan permukaan patahan yang berbutir (granular) dan terang. Perpatahan ulet umumnya lebih disukai karena bahan ulet umumnya lebih tangguh dan memberikan peringatan lebih dahulu sebelum terjadinya kerusakan, ini juga terjadi pada sambungan las.
34