BAB II TINJUAN PUSTAKA
2.1.
Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) Klasifikasi Ikan Lele Sangkuriang (Clarias gariepinus) menurut Lukito (2002),
adalah sebagai berikut : Filum Kelas Sub Kelas Ordo Sub Ordo Family Genus Spesies
: Chordata : Pisces : Teleostei : Ostariophysi : Siluroidea : Clariidae : Clarias : Clarias gariepinus
Gambar 1. Ikan lele sangkuriang (Sumber : www.google.com)
Lele Sangkuriang merupakan spesies kerabat lele dumbo. Keunggulan lele sangkuriang dibanding lele dumbo adalah fekunditas telur yang lebih banyak. Keunggulan paling penting adalah nilai konversi pakan atau FCR lele sangkuriang yang berada pada kisaran
0,8 – 1 sedangkan untuk lele dumbo nilai konversi
pakannya lebih dari 1 (Khairuman dan Amri 2008). Lele Sangkuriang memiliki ciri morfologi yang identik dengan lele dumbo, sehingga sulit dibedakan. Sabagaimana umumnya ikan lele sangkuriang memiliki tubuh yang licin dan tidak bersisik namun berlendir. Mulutnya lebar dilengkapi kumis
6
7
sebanyak 4 pasang yang berfungsi sebagai alat peraba pada saat mencari makan. Cara untuk memudahkan berenang, lele sangkuriang dilengkapi sirip tunggal dan sirip berpasangan, sirip tunggal yang dimiliki adalah sirip punggung, dirip ekor, dan sirip dubur, sedangkan sirip berpasangan adalah sirip perut dan sirip dada.Sirip dada yang runcing dan keras disebut patil, berguna sebagai senjata dan alat bantu untuk bergerak. Ikan lele memiliki organ pernapasan tambahan yang disebut arborescent sehingga memungkinkan untuk mengambil oksigen langsung dari udara dan mampu bertahan hidup dengan kadar oksigen terlarut yang rendah. Ikan lele merupakan hewan yang mampu hidup dengan toleransi tinggi terhadap kondisi fluktuatif lingkungan, biasanya lele dapat ditemukan di rawa-rawa, sungai, danau, bendungan, waduk, hingga di perairan payau. Hal ini memungkinkan karena lele mampu bertahan hidup pada suhu 6˚C-50˚C dan salinitas 10,8 ppt. Sifat biologi lele sangkuriang sama dengan lele dumbo biasa, yakni tergolong omnivora (pemakan segala). Lele sangkuriang memakan pakan alami berupa cacing, plankton, jenis serangga kecil, keong dan lainnya, tetapi dalam budidaya perlu diberikan pakan tambahan yaitu pakan yang banyak mengandung protein hewani. Jika pakan yang diberikan banyak mengandung protein nabati, pertumbuhannya lambat. Lele bersifat kanibalisme, yaitu sifat suka memangsa jenisnya sendiri, jika kekurangan pakan. (Mahyuddin dan Kholish 2011).
2.2.
Pertumbuhan Jumlah energi yang digunakan untuk pertumbuhan tergantung pada jenis ikan,
umur, kondisi lingkungan, dan komposisi makanan. Semua faktor tersebut akan berpengaruh dalam metabolisme dasar. Energi untuk pemeliharaan tubuh merupakan gabungan antar metabolisme dasar dan dinamika kegiatan spesifik. SDA adalah jumlah panas yang dihasilkan dan merupakan tambahan pada metabolisme dasar sebagai hasil dari pencernaan protein lebih tinggi dibandingkan untuk pencernaan makanan. Energi yang terkandung dalam ransum terlebih dahulu digunakan ikan untuk mencukupi kebutuhan energi pemeliharaan tubuh dan jika terdapat sisa energi
8
baru digunakan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya. Ini berarti jika energi dalam pakan jumlahnya terbatas maka energi tersebut hanya digunakan untuk metabolisme saja dan tidak untuk pertumbuhan (Buwono 2000). Laju metabolisme dasar pada hewan-hewan berdarah dingin sangat tergantung pada suhu lingkungan yang mengakibatkan kebutuhan energi pun bervariasi. Laju metabolisme akan terjadi secara musiman dan mengikuti naik turunnya suhu. Secara alami semua energi yang dihasilkan ikan berasal dari protein. Protein digunakan untuk pertumbuhan maupun pemeliharaan tubuh. Di samping itu, untuk pemeliharaan tubuh dapat digunakan energi yang berasal dari lemak dan karbohidrat. Penggunaan lemak dan karbohidrat berlebih akan menimbulkan masalah gizi, timbunan lemak yang dapat menyebabkan rendahnya rendemen daging karena lemak akan terbuang saat penyiangan. Menurut Effendi (1997), jumlah dan ukuran suatu organisme merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan.
2.3.
Konversi Pakan Ikan memerlukan pakan yang cukup untuk mendukung pertumbuhan,
perkembangan, serta kelangsungan hidupnya. Kualitas pakan dipengaruhi oleh daya cerna atau daya serap ikan terhadap pakan yang dikonsumsi. Semakin kecil nilai konversi pakan maka kualitas pakan pun semakin baik, tetapi apabila nilai konversi pakan tinggi maka pakan ikan kurang baik (Djariyah 1995). Energi pakan yang dikonsumsi akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi metabolisme, energi untuk pertumbuhan somatik dan reproduksi, dan energi yang dikeluarkan dalam feses, saluran urin, insang, dan kulit. Rankin dan Jensen 1993 dalam Haetami dkk 2006 menyebutkan energi untuk metabolisme terbagi ke dalam tiga kategori yaitu energi untuk metabolisme standar, “specific dinamic action”, dan energi untuk aktivitas. “Specific dinamic action” meliputi energy untuk pencernaan, absorpsi, dan transport. Jumlah pakan yang diberikan pada ikan harus sesuai dengan jumlah kebutuhan ikan, karena apabila terlalu sedikit akan menimbulkan persaingan dalam mendapatkan
9
pakan sehingga pertumbuhan menjadi lambat dan ukuran individu tidak seragam (National Research Council 1983).
2.4.
Kebutuhan Nutrisi Ikan Lele Sangkuriang Ikan membutuhkan materi dan energi untuk pertumbuhan yang diperoleh dari
pakan. Kebutuhhan pakan untuk setiap ikan tentunya berbeda-beda. Kandungan nutrisi yang dibutuhkan oleh ikan dalam pakan untuk mencapai pertumbuhan maksimal adalah protein, karbohidrat, vitamin dan mineral (Amri dan Khairuman 2003). Pemberian pakan yang efektif dan efisien akan menghasilkan pertumbuhan ikan yang optimal. Pada dasarnya kebutuhan zat gizi ikan sangat tergantung pada jenis serta tingkatan stadianya. Ikan pada stadia benih umunnya memerlukan komposisi pakan dengan kandungan protein lebih tinggi dibandingkan dengan stadia lanjut (berusia dewasa) karena pada tingkat stadia benih zat makanan tersebut difungsikan untuk mempertahankan hidup dan juga untuk pertumbuhannya. Jenis ikan yang hidup di dasar perairan, seperti udang dan lele, memerlukan pakan yang mudah tenggelam, sedangkan jenis ikan lainnya yang hidup di permukaan air memerlukan pakan yang dapat melayang serta tidak cepat tenggelam. Dilihat dari bentuknya, ikan pada tingkatan stadia benih memerlukan pakan berbentuk tepung (powder) atau remah (crumble), sedangkan pada tingkatan stadia lanjut berbentuk pelet. Syarat mutu pakan untuk benih lele mengandung <12% kadar air, <13% abu, >30% protein, >5% lemak dan <6 % serat kasar (SNI : 01-4087-2006). Protein merupakan sumber energi utama yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ikan lele. Kebutuhan terhadap protein dipengaruhi oleh suhu air, ukuran tubuh, kepadatan, serta tingkat oksigen. Ikan omnivora dan herbivora membutuhkan protein yang cukup tinggi untuk meningkatkan pertumbuhan. Ikan menggunakan protein sebagai sumber energi yang utama (Mudawarmah 2005). Pada catfish rasio energi protein berkisar antara 7,4-l2 kkal/g, apabila terjadi peningkatan rasio pakan catfish diatas kisaran ini akan meningkatkan deposit lemak dan jika energi terlalu rendah, pertumbuhan ikan akan melambat (Robinson et a1, 2007).
10
Lemak merupakan bahan cadangan energi yang pertama bagi ikan. Lemak digunakan ikan saat kekurangan makanan. Lemak mengandung asam lemak yang dapat diklasifikasikan sebagai asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam lemak tak jenuh ditandai dengan ikatan rangkap, sedangkan asam lemak jenuh ditandai dengan tidak adanya ikatan rangkap. Asam lemak tak jenuh biasanya lebih mudah diserap daripada asam lemak jenuh. Kebutuhan lemak bagi ikan berbeda-beda dan sangat tergantung dari stadia ikan, jenis ikan dan lingkungan. Lemak merupakan sumber energi yang sangat efektif untuk ikan. Lemak dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi seperti halnya karbohidrat (Zonneveld et al 1991). Karbohidrat adalah komponen pembentuk energi yang sederhana karena tersusun dari tiga unsur yaitu karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O). Karbohidrat tidak terlalu penting bagi pertumbuhan ikan, karena pada sistem pencernaan ikan tidak memiliki enzim yang mampu mencerna karbohidrat dengan sempurna. Namun karbohidrat berperan dalam proses pembentukan asam amino non-essensial dan asam nukleat. Daya cerna ikan terhadap karbohidrat sangat rendah dan ini tergantung jenis ikannya (Zonneveld et a. 1991). Vitamin adalah senyawa-seyawa organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan bertahan hidup. Vitamin dibutuhkan dan efektif pada jumlah yang sedikit. Vitamin tidak menghasilkan energi dan tidak menjadi satuan unit pembangun, namun vitamin berperan dalam transformasi energi dan pengaturan metabolisme tubuh. Vitamin dibagi menjadi dua golongn yaitu golongan yang larut pada air dan golongan yang larut pada lemak, vitamin yang termasuk pada golongan larut air adalah vitamin B dan vitamin C, sedangkan vitamin yang larut pada lemak adalah vitamin A, D, E, K.
2.5.
Limbah Udang Industri pengolahan udang beku Indonesia berkembang pada beberapa tahun
terakhir ini, sejalan dengan meningkatnya produksi udang. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor udang terbesar di dunia. Ekspor udang umumnya berupa udang tidak beku, udang beku dan udang dalam kaleng. Produk udang beku
11
sebagian besar berupa produk tanpa kepala (headless) dan produk udang kupasan (peeled). Dari bagian udang yang terbuang tersebut ada bagian yang masih layak bagi konsumsi, misalnya bagian kepala dan dada udang (cephalothorax). Kepala udang sangat
potensial
dijadikan
bahan
pakan
sumber
protein
hewani
karena
ketersediaannya cukup banyak dan mengandung zat-zat gizi yang tinggi. Pemanfaatan limbah udang sebagai pakan berdasarkan pada dua hal, yaitu jumlah dan mutunya. Menurut Angka dan Suhartono (2000), yang harus diperhatikan adalah kondisi kepala udang merupakan bahan yang mudah mengalami kerusakan. Jika dibiarkan beberapa jam saja, akan berlangsung proses enzimatis dan degradasi oleh bakteri terutama pada bagian protein kepala udang.
Gambar 2. Kepala Udang Setelah Dijemur
Gambar 3. Tepung Kepala Udang
Hasil analisis berdasarkan bahan kering bahwa tepung limbah udang mengandung 45,29% protein kasar, 17,59% serat kasar, 6,62% lemak, 18,65% abu, 13,16 BETN (Poultry Indonesia 2007). Keuntungan dari limbah kepala udang yaitu ketersediaannya yang cukup berkesinambungan, harganya cukup stabil dan kandungan nutrisinya mampu bersaing dengan bahan konvensional. Kelemahan dari tepung kepala udang terletak pada kandungan asam amino yaitu lisin,alginin dan histidin yang lebih rendah dibandingkan kandungan asam amino pada tepung ikan, asam amino tersebut sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan benih ikan agar optimal selain itu kelemahan dari tepung kepala udang adalah kandungan serat kasar yang
12
tinggi serta banyak mengandung kitin yang terdapat pada cangkang dan kepala udang. Adanya kandungan kitin mengakibatkan adanya keterbatasan dalam penggunaan tepung kepala udang sebagai bahan penyusun pakan. Khitin (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C, 6% H, 7% N, dan 40% O merupakan polisakarida yang paling melimpah setelah selulosa. Kitin pada umumnya banyak dijumpai pada hewan avertebrata laut, darat, dan jamur dari genus tertentu seperti Mucor dan Saccaromyces. Kulit udang memiliki 15-20% kitin tergantung jenis udangnya ( Sugiato et al. 2009).
2.6.
Kualitas air Kualitas air merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam budidaya ikan.
Menurut Hepher (1990), pertumbuhan ikan salah satunya dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berhubungan dengan pakan dan lingkungan. Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah suhu, oksigen, komposisi kimia, bahan buangan metabolit dan ketersediaan pakan. Suplai oksigen di perairan sebaiknya berbanding lurus dengan kepadatan ikan dan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan. Sehingga dengan
semakin
meningkatnya
kandungan
oksigen
diperairan
mengurangi
peningkatan produktivitas ikan. Suhu merupakan faktor yang mempengaruhi laju metabolisme dan kelarutan gas dalam air (Zonneveld et al. 1991). Suhu yang semakin tinggi akan meningkatkan laju metabolisme ikan sehingga respirasi yang terjadi semakin cepat. Kualitas air media hidup lele tentang suhu, pH, laju pergantian, ketinggian air, dan kecerahan disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas Air Media Hidup Lele Parameter Nilai yang dianjurkan Suhu 25°C - 30°C pH 6,5 – 8,6 Laju pergantian air (10-15) % perhari Ketinggian air 50 cm-70 cm Kecerahan 25 cm – 35 cm Sumber : (SNI : 01- 6484.4 – 2000)
13
Pengelolaan kualitas air merupakan suatu usaha untuk mengusahakan dan mempertahankan agar air tersebut tetap berkualitas dan dapat dimanfaatkan untuk budidaya ikan lele sangkuriang. Penurunan kualitas air dapat mengakibatkan pertumbuhan terhambat dan dapat mengakibatkan kematian (Boyd 1991).