BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK DAN KEWENANGAN PEMERINTAH
2.1
Pengertian Pajak Daerah Pada hakekatnya pengertian pajak berbeda-beda tergantung dari sudut
pandang mana kita memandang masalah pajak ini, namun substansi dan tujuannya sama. Sampai saat ini tidak ada pengertian pajak yang sifatnya universal, maka masing-masing sarjana yang melakukan kajian terhadap pajak memberikan pengertian sendiri. Para ahli dalam bidang perpajakan yang memberikan batasan atau definisi yang berbeda-beda mengenai pajak, namun demikian berbagai definisi tersebut mempunyai inti atau tujuan yang sama dan ada beberapa definisi yang diungkapkan oleh para pakar antara lain : 1) Bohari, menyatakan bahwa melihat definisi yang dikemukakan oleh para sarjana, maka unsur-unsur yang terdapat dalam definisi tersebut adalah : a. Pajak adalah suatu iuran atau kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan (pendapatan) kepada negara. Dapat dikatakan bahwa pemerintah menarik sebagian daya beli rakyat untuk negara. b. Perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib, dalam arti bahwa bila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya dapat
18 18
dipaksakan, yang artinya utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan. Seperti surat paksa dan sita. b. Perpindahan itu berdasarkan undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum. Sekiranya pemungutan pajak tidak didasarkan pada undang-undang atau peraturan, ini tidak sah dan dianggap sebagai perampasan hak. c. Tidak ada jasa timbal balik (tegen prestasi) yang dapat ditunjuk artinya bahwa antara pembayaran pajak dengan prestasi dari negara tidak ada hubungan langsung. Prestasi dari negara seperti : hak untuk mendapatkan perlindungan dari alat-alat negara, hak penggunaan jalan umum, hak untuk mendapatkan pengajaran dan sebagainya. Prestasi tersebut tgidak ditunjuk secara langsung kepada individu pembayar pajak, tetapi ditunjukkan secara kolektif atau kepada anggota masyarakat secara keseluruhan. Bahkan orang miskin mungkin lebih banyak menggunakan prestasi dari negara dibandingkan dengan orang kaya. Seperti dalam hal penggunaan sarana kesehatan. d. Uang yang dikumpulkan tadi oleh negara digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berguna untuk rakyat, seperti pembuatan jalan, jembatan, gedung, gaji untuk pegawai negeri termasuk ABRI, dan seterusnya.1
1
Djafar Saidi, 2011, Pembaharuan Hukum Pajak, Edisi Revisi, Cet. ketiga, PT Grafindo Persada, Jakarta, h. 27.
2. P.J.A. Adriani (pernah menjabat guru besar dalam hukum pajak pada Documentation, juga di Amsterdam) yang dalam R. Santoso Brotodihardjo, dikemukakan sebagai berikut: ”Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”2 Yang dapat ditarik dari definisi tersebut, bahwa Adriani memasukkan pajak sebagai pengertian yang dianggapnya sebagai suatu spesies ke dalam genus pungutan (jadi, pungutan adalah lebih luas). Dalam definisi ini titik berat diletakkan pada fungsi budgeter dari pajak, sedangkan pajak masih mempunyai fungsi lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu fungsi mengatur. Yang dimaksud dengan tidak mendapat prestasi kembali dari negara ialah prestasi khusus yang erat hubungannya dengan pembayaran. Prestasi dari negara, seperti hak untuk mempergunakan jalan-jalan umum, perlindungan dan penjagaan dari pihak polisi dan tentara, sudah barang tentu diperoleh oleh para pembayar pajak itu, tetapi diperolehnya itu tidak secara individual dan tidak ada hubungannya langsung dengan pembayaran itu. Buktinya orang yang tidak membayar pajak pun dapat pula mengenyam kenikmatannya. 3. Muqodim, memberikan pengertian bahwa pajak adalah suatu yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah. Berdasarkan peraturan tanpa suatu
2
Santoso Brotodiharjo, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Repika Aditama, Bandung, Cet Pertama, Edisi Keempat, h. 2.
imbalan kembali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya dalam menjalankan pemerintahan.3 4. M.J.H. Smeets dalam bukunya De Economische Betekenis der Belastingen, (1951) Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui normanorma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Dalam bukunya ini Smeets mengakui bahwa definisinya hanya menonjolkan fungsi budgeter saja, baru kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada definisinya.4 5. Definisi Waluyo dan Wirawan B.Ilyas : Pajak adalah iuran kepada negara (yang dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugastugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.5 2.1.1
Pajak Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang bersipat memaksa berdasarkan Undang-Undang
3
Muqodim, 1999, Perpajakan Buku Satu, UII Press, Yogyakarta, h. 1. Erli Suandi, 2000, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, h. 7. 5 Waluyo dan Wirawan, 2002, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, h. 1. 4
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan di gunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan menurut Mardiasmo, Pajak Daerah yaitu Pajak yang dipungut oleh daerah berdasarkan peraturan pajak yang telah ditetapkan oleh daerah (melalui Perda) untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga pemerintah daerah.6 Apabila memperhatikan prinsip umum perpajakan yang baik dengan bertitik tolak dengan pendapat Adam Smith dan ekonom-ekonom Inggris yang lain, maka menurut Musgrave haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut : 1) Penerimaan atau pendapatan harus ditentukan dengan tepat. 2) Distribusi beban pajak harus adil artinya setiap orang harus dikenakan pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya. 3) Yang menjadi masalah penting adalah bukan hanya pada titik mana pajak tersebut harus dibebankan, tetapi oleh siapa pajak tersebut akhirnya harus ditanggung. 4) Pajak harus dipilih sedemikian rupa untuk meminimumkan terhadap keputusan perekonomian dalam hubungnnya dengan pasar efisien. 5) Struktur pajak harus memudahkan penggunaan kebujakan fiskal untuk mencapai stabilitasi dan pertumbuhan ekonomi. 6) Sistem pajak harus menerapkan administrasi yang wajar dan tegas atau pasti serta harus dipahami oleh wajib pajak.
6
Mardiasmo, 2006, Perpajakan, Edisi Revisi, Liberty, Yogyakarta, h. 24.
7) Biaya administrasi dan biaya-biaya lain harus serendah mungkin jika dibandingkan dengan tujuan-tujuan lain.7 Untuk mempertahankan prinsip tersebut di atas, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1) Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dari ongkos pemungutannya. 2) Relatif stabil, artinya penerimaan pajak tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan ada kalanya menurun secara tajam. 3) Basis pajaknya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay). Melihat definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Pajak daerah merupakan pajak dalam konteks daerah yang dapat dipungut oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten atau Kota. Diatur berdasarkan Peraturan Daerah dan hasilnya untuk membiayai pembangunan daerah. Dari segi kewenangan pemungutan pajak atas objek pajak daerah maka, pajak daerah dibagi menjadi 2 (dua) yakni : 1) Pajak Daerah yang dipungut oleh provinsi 2) Pajak Daerah yang dipungut oleh Kabupaten atau Kota.
7
Rochmat Soemitro, 1991, Asas Dasar Perpajakan 1, PT. Eresco, Bandung, h. 15.
Perbedaan kewenangan pemungutan antara pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, yakni sebagai berikut: 1) Pajak provinsi kewenangan pemungutan terdapat pada Pemerintah Daerah Provinsi, sedangkan untuk pajak kabupaten/kota kewenganan pemungutan terdapat pada Pemerintah Daerah kabupaten atau kota. 2) Objek pajak kabupaten atau kota lebih luas dibandingkan dengan objek pajak provinsi, dan objek pajak kabupaten/kota masih dapat diperluas berdasarkan peraturan pemerintah sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada. Sedangkan pajak provinsi apabila ingin diperluas objeknya harus melalui perubahan dalam Undang-undang. Perpajakan Daerah oleh K. J. Davey dapat diartikan sebagai berikut : 1) Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan pengaturan dari daerah sendiri. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah. 2) Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah.8 2.1.2
Subjek dan Wajib Pajak Daerah Pengertian subjek dan wajib pajak daerah dalam pemungutan pajak daerah,
merupakan dua istilah yang kadang disamakan walaupun sebenarnya memiliki
8
K.J Davey, 1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah, Universitas Indonesia, h. 39.
pengertian yang berbeda. Dalam beberapa jenis pajak, subjek pajak identik dengan wajib pajak yakni setiap orang atau badan yang memenuhi ketentuan sebagai subjek pajak diwajibkan untuk membayar pajak sehingga secara otomatis menjadi wajib pajak, seperti Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air. Sementara itu pada beberapa jenis pajak daerah, pihak yang menjadi subjek pajak (yaitu yang melakukan pembayaran pajak) tidak sama dengan wajib pajak, yaitu pengusaha hotel yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari konsumen (subjek pajak), seperti Pajak Hotel, yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi daerah, yang dimaksud dengan : 1) Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak daerah. Dengan demikian, siapa saja baik orang pribadi atau badan yang memenuhi syarat objeknya ditentukan dalam suatu peraturan daerah tentang pajak daerah, akan menjadi subjek pajak. 2) Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu. Oleh sebab itu, seseorang atau suatu badan menjadi wajib pajak apabila telah ditentukan oleh peraturan daerah untuk melakukan pembayaran pajak, serta orang atau badan yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari subjek pajak. Berdasarkan pengertian di atas menunjukkan bahwa wajib pajak dapat merupakan subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak maupun pihak
lain, yang bukan merupakan subjek pajak, yang berwenang untuk memungut pajak dari subjek pajak. 2.1.3
Obyek Pajak Daerah Pajak dapat dikenakan dengan satu syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah
adanya objek pajak yang dimiliki atau dinikmati oleh wajib pajak. Pada dasarnya objek pajak merupakan manifestasi dari taatbestand (keadaan yang nyata). Dengan demikian, taatbestand adalah keadaan, peristiwa, atau perbuatan yang menurut peraturan perundang-undangan pajak dapat dikenakan pajak.9 Kewajiban pajak dari seorang wajib pajak muncul (secara objektif) apabila ia memenuhi taatbestand. Tanpa terpenuhinya taatbestand tidak ada pajak terutang yang harus dipenuhi atau dilunasi. Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatas yang dikelola langsung oleh Dinas Pendapatan Kota Denpasar adalah Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Air Tanah, Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah Banggunan, Pajak Bumi dan Bangunan. 2.2
Pengertian Pajak Hotel Berkaitan dengan pajak daerah di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur mengenai jenis dari pajak daerah dan tata cara pemungutannya yang diatur secara umum. Pajak daerah yang
9
Ibid, h. 40.
boleh dipungut oleh daerah adalah Pajak Kabupaten atau Kota yang terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir. Disamping jenis-jenis pajak, pajak daerah tersebut diatas berhubungan dengan peraturan daerah antara lain : 1. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel 2. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pajak Restoran 3. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pajak Penerangan jalan 4. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pajak Hiburan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 1 angka 20 dan 21, Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Sedangkan yang dimaksud dengan hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan atau peristrirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh. Pengenaan Pajak Hotel tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/kota. Oleh karena itu, untuk dapat dipungut pada suatu daerah kabupaten atau kota, pemerintah daerah harus terlebih dahulu menerbitkan peraturan daerah tentang Pajak Hotel. Peraturan itu
akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan Pajak Hotel di daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan. Dalam pemungutan Pajak Hotel terdapat beberapa terminologi yang perlu diketahui. Terminologi tersebut dapat dilihat berikut ini : 1. Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istrirahat, memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola, dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali oleh pertokoan dan perkantoran. 2. Rumah penginapan adalah penginapan dalam bentuk dan klasifikasi apapun beserta fasilitasnya yang digunakan untuk menginap dan disewakan untuk umum. 3. Pengusaha hotel adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha di bidang jasa penginapan. 4. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan barang atau pelayanan sebagai pembayaran kepada pemilik hotel. 5. Bon penjualan (bill) adalah bukti pembayaran, yang sekaligus sebagai bukti pungutan pajak, yang dibuat oleh wajib pajak pada saat mengajukan pembayaran
atas jasa pemakaian kamar atau tempat penginapan beserta fasilitas penunjang lainnya kepada subjek pajak.10 2.2.1
Subjek dan Objek Pajak Hotel Subjek pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. Dalam hal ini, subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha hotel. Wajib pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel. Objek pajak adalah setiap pelayanan yang disediakan dengan pembayaran di hotel. Objek pajak berupa : 1) Fasilitas penginapan, seperti : gubuk pariwisata (cottage), hotel, wisma, losmen dan rumah penginapan termasuk rumah kost dengan jumlah kamar 15 atau lebih menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan. 2) Pelayanan penunjang antara lain : Telepon, faksimilie, teleks, foto copy, layanan cuci, setrika, taksi dan pengangkut lainnya disediakan atau dikelolah hotel. 3) Fasilitas Olahraga dan hiburan, antara lain : pusat kebugaran, kolam renang, tenis, golf, karaoke, pub, diskotik yang disediakan atau dikelola hotel, jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel.
10
Marihot Pahala Siahaan, 2010, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. Kedua, h. 299.
Objek Pajak Hotel berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 32. Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan. Jasa penunjang ini yaitu fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, foto copy, pelayanan cuci, setrika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel. Yang tidak termasuk pajak hotel, adalah : 1) Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. 2) Jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya. 3) Jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau keagamaan. 4) Jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan dan panti sosial lainnya yang sejenis. 5) Jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum. 2.2.2
Dasar Pengenaan Pajak Hotel Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang
seharusnya dibayar kepada hotel. Yakni segala pengeluaran yang senyatanya telah dibayarkan atas jasa yang telah dinikmati pada hotel tersebut. Jika pembayaran dipengaruhi oleh hubungan istimewa, harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar yang wajar pada saat pemakaian jasa hotel. Contoh hubungan istimewa
adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa hotel dengan pengusaha hotel, baik langsung atau tidak langsung berada di bawah pemilikan atau penguasaan orang pribadi atau badan yang sama. Pembayaran adalah jumlah uang yang harus dibayar oleh subjek pajak kepada wajib pajak untuk harga jual baik jumlah uang yang dibayarkan maupun penggantian yang seharusnya diminta wajib pajak sebagai penukaran atas pemakaian jasa tempat penginapan dan fasilitas penunjang termasuk pula semua tambahan dengan nama apapun juga dilakukan berkaitan dengan usaha hotel. 2.2.3
Tarif Pajak Hotel Tarif Pajak adalah dasar pengenaan pajak terhadap objek pajak yang menjadi
tanggungannya. Tarif pajak biasanya berupa persentase (%). Tarif pajak yang besarnya harus dicantumkan dalam undang-undang pajak merupakan salah satu unsur yang menentukan rasa keadilan dalam pemungutan pajak. Penentuan besarnya suatu tarif adalah hal yang krusial dimana kesalahan persepsi dalam penentuannya dapat merugikan berbagai pihak termasuk Negara. Dalam pemungutan pajak, terdapat beberapa jenis tarif pajak yang dikenal, antara lain: 1) Tarif Progresif (a progressive tax rate) Tarif progresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin besar bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar. Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dapat dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Tarif pajak Progresif Progresif, adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik. b. Tarif pajak Progresif Proporsional, adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, namun kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu tetap. c. Tarif pajak Progresif Degresif, adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, namun kenaikan presentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali menurun. 2) Tarif Proporsional (a proportional tax rate) Tarif proporsional tidak lagi dipengaruhi oleh naik turunnya dasar objek yang dikenakan pajak, karena tarifnya telah berlaku secara sebanding. Tarif proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang menggunakan persentase tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. Semakin besar jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak, akan semakin besar pula jumlah pajak terutang (yang harus dibayar). 3) Tarif Degresif (a degressive tax rate)
Tarif degresif merupakan kebalikan dari tarif progresif. Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang persentasenya semakin kecil bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak semakin besar. Namun, tidak berarti jika persentasenya semakin kecil kemudian jumlah pajak yang terutang juga menjadi kecil. Akan tetapi malah bisa menjadi lebih besar karena jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga semakin besar. 4) Tarif Tetap (a fixed tax rate) Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak. 5) Tarif Advalorem Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu yang dikenakan/ ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang. 6) Tarif spesifik Tarif spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu atau suatu satuan jenis barang tertentu. 7) Tarif Efektif Tarif efektif adalah tarif dimana jumlah pajak yang dibayarkan dibandingkan dengan jumlah penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak. Tarif pajak hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Hal ini dimaksudkan
untuk
memberikan
keleluasaan
kepada
pemerintah
kabupaten/kota utnuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak yang mungkin berbeda dengan kabupaten/kota lainnya, asalkan tidak lebih dari 10%. Besarnya pokok pajak hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan pajak hotel adalah dengan rumus berikut : Pajak terutang = Tarif pajak x Dasar pengenaan pajak = Tarif pajak x Jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel.11 2.3
Kewenangan Pemerintah
2.3.1
Pengertian Kewenangan Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan
dengan istilah Belanda “bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa). Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Sedangkan pendapat lain antara lain : 1) Menurut Prajudi Atmosudirjo
11
Agus dan Syarif, 2005, Modul Lembar Kerja Perpajakan untuk SMK, Mahasiswa dan Umum, Yudhistira, Bandung, h. 45.
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang). Kewenangan merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik. 2) Menurut Soerjono Soekanto Bila orang-orang membicarakan tentang wewenang, maka yang dimaksud adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang. 2.3.2
Pengertian Pemerintahan Daerah Definisi Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dimana penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945. Definisi Pemerintah Daerah, dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Jadi, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.12 Dalam hukum tata pemerintahan pejabat tata usaha negara merupakan pelaku utama dalam melakukan perbuatan dan tindakan hukum fungsi pokok pemerintahan dan fungsi pelayanan pemerintahan, namun dalam melakukan tindakan dan perbuatannya harus mempunyai kewenangan yang jelas. Dalam banyak literatur, sumber kewenangan berasal dari atribusi, delegasi dan mandat. Sebelum mengetahui atribusi, delegasi dan mandat, terlebih dahulu yang perlu dipahami ialah mengenai kewenangan dan wewenang. Atribusi terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Atribusi kewenangan dalam peraturan perundang-undangan adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang pada puncaknya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 atau Undang-Undang kepada suatu lembaga negara atau pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap diperlukan. Disini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru. Legislator yang kompeten untuk memberikan atribusi wewenang pemerintahan dibedakan : Original legislator, dalam hal ini di tingkat pusat adalah MPR sebagai pembentuk Undang-undang Dasar dan DPR bersama Pemerintah sebagai yang melahirkan suatu undang-undang. Dalam kaitannya dengan kepentingan daerah, oleh 12
Dedet Zethauzallam, 2013, “Pengertian dan Kewenangan Pemerintah Daerah”, URL : http://dedetzelth.blogspot.com. Diakses hari Minggu, tanggal 1 Februari 2015, Pukul 17.00 Wita.
konstitusi diatur dengan melibatkan DPD. Di tingkat daerah yaitu DPRD dan pemerintah daerah yang menghasilkan Peraturan Daerah. Misalnya : 1. UUD 1945 sesudah perubahan, dalam Pasal 5 ayat (2) memberikan kewenangan kepada Presiden dalam menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. 2. Dalam Pasal 22 ayat (1), UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti UU jika terjadi kepentingan yang memaksa. Delegated legislator, dalam hal ini seperti Presiden yang berdasarkan suatu undang-undang mengeluarkan peraturan pemerintah, yaitu diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu. Pada delegasi, terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Pengertian mandat dalam asas-asas Hukum Administrasi Negara, berbeda dengan pengertian mandataris dalam konstruksi mandataris menurut penjelasan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah Presiden yang diangkat oleh MPR, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Presiden adalah mandataris dari MPR, dan wajib menjalankan putusan MPR. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara
yang tertinggi. Dalam Hukum Administrasi Negara mandat diartikan sebagai perintah untuk melaksanakan atasan, kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh pemberi mandat, dan tidak terjadi peralihan tanggung jawab. Berdasarkan uraian tersebut, apabila wewenang yang diperoleh organ pemerintahan secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan, yaitu dari redaksi pasal-pasal
tertentu
dalam
peraturan
perundang-undangan.
Penerima
dapat
menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Dari penjelasan di atas tersebut, aspek kewenangan atau kompetensi yang dimiliki oleh aparat pemerintah cirinya ada dua yaitu : 1. Kewenangan atributif (orisinal) Ialah kewenangan yang diberikan langsung oleh peraturan perundangundangan. Contoh: presiden berwenang membuat UU, Perpu, PP. kewenangan ini sifatnya permanent, saat berakhirnya kabur (obscure). 2. Kewenangan non atributif (non orisinal) Kewenangan yang diberikan karena adanya pelimpahan atau peralihan wewenang. Contoh: Dekan sebagai pengambil kebijakan, wakil dekan bidang akademik atau kurikulum, sewaktu-waktu dekan umroh dan menugaskan PD1. Dalam hukum tata pemerintahan pelimpahan wewenang ada 2 (dua), yakni: 1) Mandat, pemberi mandat dinamakan mandans, penerimanya dinamakan mandataris. Dalam mandat hanya sebagian wewenang yang dilimpahkan dan
yang terpenting adalah tanggung jawab atau pertanggung jawaban tetap pada sipemilik wewenang. Jika mandat digugat, yang digugat ialah pemberi mandat dan penerima mandat. Contoh: Dosen pengempu memberi mandat pada asistennya untuk mengadakan ujian, tetap yang berwenang memberi nilai tetap dosen bukan asistennya. 2) Delegasi, pemberi delegasi namanya delegans, penerimanya dinamakan delegatoris. Dalam delegasi semua wewenang beralih pada sipenerima delegasi termasuk pertanggung jawaban. Jika delegasi digugat maka hanya satu, yakni sipenerima delegasi. Untuk memperjelas delegasi Ten Berge, menyatakan bahwa syarat-syarat delegasi antara lain : a. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu. b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan. c. Delegasi
tidak
kepada
bawahan,
artinya
dalam
hubungan
hierarki
kepegawaian tidak diperkenankannya adanya delegasi. d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
e. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. Contoh: Ketika Bupati mengadakan Haji atau umroh, mendelegasikan wakil bupati untuk melaksanakan semua kewenangan yang dimiliki Bupati. Kewenangan yang non orisinil itu sifatnya insedantal, tidak permanen. Juga mengatur mengenai ketidakwenangan aparat, apa penyebab aparat tidak berwenang (onbevoegdheid) ada 3 yakni : 1) Ratione Material, aparat pemerintah tidak berwenang karena isi atau materi kewenangan tersebut. Contoh: Wapres Jusuf Kalla membuat Kewapres, namun tidak sah karena kepres monopoli Presiden. 2) Ratione Loccus, aparat pemerintah tidak berwenang kaitannya dengan wilayah hukum. Contoh: Keputusan Walikota Sleman tidak sah diberlakukan di wilayah Bantul. 3) Ratione Temporis, aparat pemerintah tidak berwenang karena daluwarsa atau telah lewat waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh: kewenangan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) mempunyai
13
jangka
waktu
40
hari.
Helmy Boemiya, 2013, “Sumber Kewenangan : Delegasi, Atribusi dan Mandat”, URL : http//www.boeyberusahasabar.wordpress.com. Diakses hari Minggu, tanggal 1 Februari 2015, Pukul 17.20 Wita.
13