BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NARAPIDANA, PEMIDANAAN DAN KEWENANGAN PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT
2.1 Pengertian Narapidana a. Dasar hukum dari pada Narapidana Lembaga Pemasyarakaratan (“LAPAS”) dan Rumah Tahanan Negara (“RUTAN”). Pengertian RUTAN dapat kita temui di dalam Pasal 1 angka 2 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, disebutkan bahwa: “Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut RUTAN adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan”. Sementara, mengenai pengertian LAPAS diatur pada Pasal 1 angka 3 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang berbunyi: “Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan”. RUTAN merupakan tempat menahan tersangka atau terdakwa untuk sementara waktu sebelum keluarnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sementara, LAPAS merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Berdasarkan penjelasan singkat di atas, seorang narapidana harus ditempatkan di dalam LAPAS untuk mendapatkan pembinaan, tetapi pada kenyataannya karena keterbatasan kapasitas RUTAN di Indonesia membuat fungsi LAPAS berubah menjadi RUTAN. Beberapa LAPAS yang seharusnya menjadi tempat membina narapidana tersebut digunakan untuk menahan tersangka atau terdakwa. Perubahan fungsi ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.
44
45
M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara. Pada Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut terdapat daftar LAPAS yang juga dapat menjadi RUTAN. Berkaitan dengan pertanyaan “seorang terpidana yang seharusnya berada dalam LAPAS boleh ditempatkan di rumah tahanan”, pada Pasal 2 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.: M.01-PK.02.01 Tahun 1991 tentang Pemindahan Narapidana Anak Didik dan Tahanan disebutkan: Pemindahan narapidana, anak didik dan tahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dilakukan: a. Di dalam suatu wilayah hukum Kantor Wilayah Departemen Kehakiman, atau b. antar wilayah hukum Kantor Wilayah Departemen Kehakiman. Berdasarkan penjelasan pasal-pasal tersebut di atas, maka seorang Narapidana yang sudah berada di LAPAS tidak dapat dipindahkan ke RUTAN, karena sesuai dengan fungsinya LAPAS yaitu tempat untuk melakukan pembinaan narapidana. Kalaupun narapidana harus dipindahkan, maka narapidana tersebut hanya dapat dipindahkan ke LAPAS wilayah lain dan bukan ke RUTAN, sesuai dengan Pasal 2 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.: M.01PK.02.01 Tahun 1991 tentang Pemindahan Narapidana Anak Didik dan Tahanan. Fungsi RUTAN bukanlah untuk membina narapidana, tetapi untuk menahan sementara seorang tersangka atau terdakwa. Demikian penjelasan dari kami semoga menjawab pertanyaan Anda. Dasar hukum: 1. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 2. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
46
3. Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara Narapidana menurut pasal 1 nomor 7, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 merupakan terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan). Seperti halnya manusia pada umumnya, seorang narapidana mempunyai hak yang sama meskipun sebagian hak-haknya untuk sementara dirampas oleh negara. Adapun hak-hak narapidana yang dirampas oleh negara untuk sementara berdasarkan Deklarasi HAM PBB 1948, yaitu: 1. hak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam lingkungan batas-batas tiap negara. (pasal 13 ayat (1)); 2. hak meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri (pasal 13 ayat (2)); 3. hak mengemukakan pendapat, mencari, menerima dan memberi informasi (pasal 19); 4. kebebasan berkumpul dan berserikat (pasal 20); 5. hak memilih dan dipilih (pasal 21); 6. jaminan sosial (pasal 22); 7. hak memilih pekerjaan (pasal 23); 8. hak menerima upah yang layak dan liburan (pasal 24); 9. hak hidup yang layak (pasal 25); 10. hak mendapatkan pengajaran secara leluasa (pasal 26); 11. kebebasan dalam kebudayaan (pasal 27). Sedangkan hak-hak yang dapat dicabut dalam pasal 35 KUHP dapat dirinci sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; hak memasuki angkatan bersenjata; hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang didasarkan atas aturan-aturan umum; hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan ank-anak sendiri; 5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; 6. hak menjalankan pencaharian. Hak-hak yang dicabut oleh KUHP ini merupakan pidana tambahan yang sifatnya fakultatif. Artinya, penjatuhan pidana tambahan tidak bersifat serta-merta, tergantung dari
47
pertimbangan hakim. Dan, tidak pidana pokok senantiasa diiringi dengan pengenaan pidana tambahan tersebut. Pada umumnya, Hak-hak narapidana yang tidak dapat diingkari, dicabut oleh negara sekalipun dan dalam kondisi apapun, adalah seperti yang tercantum dalam Deklarasi HAM PBB 1948, yaitu: hak atas penghidupan dan keselamatan pribadi (pasal 3). Larangan tentang penghambaan, perbudakan dan perdagangan budak (pasal 4). Larangan menjatuhkan perlakuan atau pidana yang aniaya dan kejam (pasal 5). Hak atas pengakuan hukum (pasal 6). Hak atas persamaan di hadapan hukum dan atas non-diskriminasi dalam pemberlakuannya (pasal 7). Hak atas pemulihan
(pasal 8). Larangan terhadap penangkapan, penahanan atau pengasingan yang
sewenang-wenang (pasal 9). Hak atas pengadilan yang adil (pasal 10). Praduga tak bersalah dan larangan terhadap hukum ex post facto (pasal 11). Hak memiliki kewarganegaraan (pasal 16). Hak untuk memiliki kekayaan (pasal 17). Kebebasan berfikir, berhati nurani dan beragama (pasal 18). Beberapa hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi HAM PBB ini, juga telah dirumuskan secara singkat dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang berbunyi sebagai berikut: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Hak-hak Asasi manusia yang telah tersebut di atas, kemudian dijabarkan lagi dalam pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan; mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; mendapatkan pendidikan dan pengajaan; mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masaa lainnya yang tidak larangan;
48
6. mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; 7. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya; 8. mendapat pengurangan masa pidana (remisi); 9. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; 10. mendapatkan pembebasan bersyarat; 11. mendapatkan cuti menjelang bebas; 12. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundnag-undangan yang berlaku. Manual lembaga Pemasyarakatan mengatur setidaknya ada 5 (lima) hak narapidana yang diberikan apabila narapidan tersebut telah memenuhi persyaratan tertentu. Hak – hak tersebut adalah: 1. Mengadakan hubungan terbatas dengan pihak luar; Negara tidak berhak membuat seorang narapidana menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Selama menjalani masa hukumannya, seorang narapidana harus secara berangsur-angsur diperkenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Antara lain dengan cara: surat menyurat dan kunungan keluarga. 2. Memperoleh remisi; Setiap 17 Agustus 1945, berdasarkan Keppres Nomor 5 Tahun 1987, setiap narapidana yang berkelakuan baik, telah berjasa kepada negara, melakuakn perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, dan narapidana yang membantu kegiatan dinas LAPAS, akan memperoleh remisi. 3. Memperoleh asimilasi; Selama kehilangan kemerdekaannya, seorang narapidana harus secara berangsur-angsur diperkenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Asimilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: asimilasi ke dalam (yaitu, hadirnya masyarakat ke dalam LP), dan asimilasi ke luar (yaitu, hadirnya narapidana di tengah-tengah masyarakat). 2. Memperoleh cuti;
49
3. Memperoleh pembebasan bersyarat. Hak ini merupakan hak pengintegrasian narapidana, yaitu hak narapidana untuk sepenuhnya berada di tengah-tengah masyarakat, dengan syarat narapidana tersebut telah menjalani 2/3 dari masa hukumannya. Narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat ini tetap diawasi oleh BAPAS dan Jaksa negeri setempat. b. Pengaturan Pemidanaan dan Pidana Proses pengambilan keputusan diawali dengan pernyataan hakim bahwa pemeriksaan sidang pengadilan dinyatakan sudah cukup aau selesai. Untuk itu penuntut umum dipersilahkan mengajukan tuntutan pidana. Selanjutnya terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan pembelaan yang dapat dijawab oleh penuntut umum dan begitu seterusnya . Dalam putusan pemidanaan oleh hakim merupakan salah satu bentuk putusan Pengadilan negeri. Bentuk putusan lain misalnya putusan bebas ( pasal 191 ayat 91) KUHP dan putusan lepas dari
segala tuntutan hukum ( pasal 191 ayat (2). Putusan pemidanan terjadi, jika
pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti secara sah dan menyakinkan . terbukti melalui sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim yakni terdakwa bersalah melakukan. Sebagai garis besar dalam pengambilan keputusan sesuai dengan pasal 182 KUHP sebagai berikut ; apabila hakim menyatakan bahwa pemeriksaan telah selesai maka penuntut
50
umum dipersilahkan mengajukan tuntutan pidana, setelah itu terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan pembelaannya yangd dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat giliran terakhir, tuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua pengadilan sidang karena jabatannya dan apabila acara tersebut selesai maka hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup Adapun dasar pemidanaan dikenal dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Pidana hanya dapat dijatuhkan apabila ada kesalahatan terdakwa, yang dibuktikan di sidang pengadilan. Kesalahan terdakwa tentunya sebagaimana termaktub dalam dakwaan penuntut umum, pengadilan menjatuhkan pidana apabila pengdilan perndapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Terdakwa bukan begitu saja dapat dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, tetapi harus didukung oleh alat bukti minimum yang sah. Faktor yang harus diperhatikan dalam menjatuhkan pidana sesuai dengan pasal 58 ayat (52), bahwa penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan yaitu : 1. Kesalahan pembuat tindak pidana 2. motif dan tujuan melakukan tindak pidana 3. cara melakukan tindak pidana 4. sikap batin pembuat tindak pidana 5. pengaruh batin terhdap masa depan pembuat tindak pidana 6. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana, dll Dalam meniadakan kejahatan itu sama sekali adalah merupakan sesuatu yang tidak mungkin selama adanya masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan kejahatan menurut W.A.
51
Bonger adalah “Perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa penderitaan (hukum atau tindakan) Di samping pendapat tersebut di atas DR. Saparinah Sadli yang dikutip dari bukunya Djoko Prakoso menyebutkan bahwa ; kejahatan atau tindak pidana kriminal merupakan satu bentuk dari “prilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan, prilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang nyata atau ancaman norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun potensial bagi kelangsungan ketertiban sosial. Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dapat merugikan baik pada diri sendiri meupun orang lain, lebih-lebih perbuatan pidana yang menyebabkan matinya orang, akibat yang timbul terjadinya keresahan dalam masyarakat, terganggunya ketenangan dalam masyarakat. Dalam unsur-unsur tindak pidana tersebut menurut K.Wanjik Saleh menyebutkan tentag pertanggung jawaban terhadap tindakan pidana yaitu dalam hubungan dengan suatu tindak pidana, perlulah disebut tentang hubungan antara perbuatan dengan orang yang melakukan perbuatan itu. Karena adanya tindak pidana, diebabkan oleh adanya orang yang membuat. Tidak mungkin suatu tindak pidana tanpa perbuatannya. Maka hubungan antara keduanya itu sangat erat sekali. Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya seseorang itu, maka haruslah dipenuhi beberapa syarat-syarat : (a) Tentang melakukan perbuatan pidana, perbuatan yang bersifat melawan hukum, (b) Mampu bertanggung jawab, (c) Melakukan perbuatan dengan sengaja atau karena kealpaannya, dan (d) Tidak adanya alasan pemaaf
52
Seperti yang tertuang dalam 338 KUHP menyebutkan bahwa ; barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun Apabila pembunuhan yang dilakukan akibat dari diluar kesadaran adalah merupakan unsur kelalaian atau culpa yang menurut ilmu hukum pidana terdiri dari : -
culpa dengan kesadaran
-
culpa tanpa kesadaran
Kedua bentuk culpa tersebut dan perbedaannya dengan dolus eventualis yaitu unsurunsur yang dapat dihukum (delik), antara lain sebagai berikut “…. Beberapa pekerja yang sedang bekerja di atas sebuah rumah melemparkan sebuah balok ke bawah, yang menimpa orang. Kalau rumah itu dikelilingi oleh kebun partikuler dimana biasanya tak pernah ada orang maka kejadian itu adalah kejadian yang tiba-tiba dan tidak disengaja ( dolus eventualis). Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa seorang pelaku tindak pidana atau kejahatan tidak dapat dijatuhi pidana jika ternyata hukum perbuatannya tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya. Namun sepanjang bersangkutan mampu bertanggung jawab secara hukum, maka pelaku tindak pidana atau kejahatan tersebut harus dijatuhi pidana. Adapun jenis-jenis tindak pidana bagi orang dewasa meliputi ; pidana mati, pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, pidana kerja sosial, pidana tambahan dan tindakan sedangkan pidana bagi anak nakal yaitu pidana pokok, pidana tambahan, tindakan, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana bersyarat dan pidana pengawasan. c. Jenis Pemidanaan
53
Bagian dari stelsel pidananya tercantum dalam
KUHP, karena KUHP tanpa stelsel
pidana tidak akan ada srtinya. Pidana merupakan bagian mutlak dari hukum pidana, karena pada dasarnya hukum pidana memuat dua hal, yakni syarat-syarat untuk memungkinkan penjatuhan pidana dan pidananya itu sendiri. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pasal 10 menyebutkan, pidana terdiri dari : a. Pidana pokok 1. pidana mati 2. pidana penjara 3. pidana kurungan 4. pidana denda 5. pidana tutupan b. Pidana tambahan : 1. pencabutan hak-hak tertentu 2. perampasan barang-barang tertentu 3. pengumuman putusan hakim Ada beberapa hal yang dapat membedakan pidana pokok dari pidana tambahan yaitu : a. Pidana tambahan dapat di tambahkan pada pidana pokok dengan perkecualian perampasan barang-barang tertentu dapat dilakukan terhadap anak yang diseraahkan kepada pemerintah tetapi hanya mengenai barang-barang yang disita. Sehingga pidana tambahan itu ditambahkan pada tindakan, bukan pada pidana pokok. b. Pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya jika hakim yakin mengenai tindak pidaana dan kesalahan terdakwa, hakim tersebut tidak harus menjatuhkan pidana tambahan. Jenis hukuman atau macam-macam hukuman dalam pasal 10 tersebut adalah : a. Pidana Pokok 1) Pidana mati Pidana mati ini adalah terberat menurrut posotif. Pada umumnya lebih banyak orang yang kontra terhadap adanya pidana. Pidana mati ini dari pada yang pro. Diantara
54
keberatan-keberatan atas pidana mati ini adalah bahwa pidana tidak dapat ditarik kembali, jika kemudian terjadi kekeliruan. 2) Pidana penjara Pidana penjara adalah pidana pencabutan kemerdekaan. Pidana penjara dilakukan dengan menutup terpidana dalam sebuah penjara, dan mewajibkan orang tersebut mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam penjara.
3) Pidana kurungan Pidana kurungan adalah bentuk-bentuk dari hukuman perampasan dari kemerdekaan bagi di terhukum yaitu pemisahan si terhukum dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang. 4) Pidana denda Pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berrupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana. b. Pidana Tambahan Dalam KUHP pidana tambahan terdapat dalam pasal 10 ayat (b) yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim.
55
c.
Menurut Undang-undang No. 3 tahun 1997 Adalah suatu kenyataan bahwa perkembangan kriminalitas dalam masyarakat telah mendorong lahirnya Undang-undang tindak pidana khusus, yaitu Undang-undang Hukum Pidana yang ada di luar KUHP. Kemudian Undang-undang Hukum Pidana Khusus dalam sistem hukum pidana adalah merupakan pelengkap dari hukum pidana yang dikondifikasikan di dalam KUHP yang mengelompokkan status anak ke dalam pengertian-pengertin sebagai berikut : (a) bagi orang yang belum dewasa atu yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. (b) Dengan putusan hakim terhadap mereka yang berada dalam usia dewasa yang melakukan tindakan pidana sebagai berikut : 2. anak dikembalikan kepada orang tuanya 3. anak itu dijadikan anak negara 4. anak itu diadili sebagaimana mestinya sesuai ketentuan hukum yang berlaku (c) Tuntutan mengenai peristiwa pidana yang telah dilakukan anak tersebut pada waktu sebelum berusia enam belas tahun. Sehubungan dengan pembahasan tentang Undang-undang Tindak Perbedaan antara yang terjadi dalam kondifikasi antara KUHP dengan UndangUndang No. 3 tahun 1997 yaitu : 1. Dalam KUHP untuk menentukan batasan umur orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin 2. Tuntutan terhadap anak nakal pada waktu sebelum berusia enam belas tahun.
56
3. Dalam KUHP pidana terhadap anak nakal tidak diadakan pengawasan Sedangkan dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak perbedaannya yaitu : 1. Batasan umur terhadap anak nakal mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah. 2. Terhadap perkara yang dilakukan terhadap anak nakal dikenakan ancaman pidana khusus. 3. Terhadap anak nakal yang dipidana diberikan pengawasan agar nantinya dapat diterima di masyarakat. Dari perbedaan tersebut diatas penulis
mengacu pada rumusan masalah yang telah
dirumuskan yaitu pidana Khusus. Adapun isi Undang-undang No. 3 tahun 1997 menyangkut tindak pidana khusus terhadap anak nakal yaitu : Pasal 22
:
Terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang Pasal 23 Ayat (1) : Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan. Ayat (2) : Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah : a. pidana penjara b. pidana kurungan c. pidana denda, atau d. pidana pengawasan Ayat (3) : selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi. Ayat (4) : Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti kerugi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 24 Ayat (1) : tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah : b. mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang ttua asuh. c. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja
57
Ayat (2)
Pasal 29 ayat (1) Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
d. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. : Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim : Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2(dua) tahun) : dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus) : syarat umum ialah bahwa anak nakal tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat. : syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertantu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. : masa pidana bersyarat bagi syarat khususlebih pendek daripada masa pidana bersyarat bagi syarat umum. 40
Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam pengertian pidana beryarat terhadap sistem pemidanaan yang dilakukan oleh anak dibawah umur atau anak yang belum berumur 18 tahun yang melakukan tindakan pidana diatur dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997. Mengenai pidana bersyarat pasal 29 seperti yang telah disebutkan terdahulu. Sedangkan hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal tertuang dalam pasal 10 UU.No. 3 tahun 1997. d. Pendapat atau Doktrin Pidana dan Pemidanaan Masalah pidana sebagai salah satu masalah dalam pokok hukum pidana, dimana persoalan yang sangat penting adalah mengenai tujuan dari pemidanaan yang ingin mencari dasar pembenaran dari pada sebagai usaha untuk menjadikan pidana lebih fungsional. Sehubungan dengan tujuan pemidanaan, usaha untuk mendayagunakan pidana bersyarat ini adalah sangat penting, dan kemudian dengan adanya rencana untuk membentuk hukum pidana Indonesia yang berperikemanusiaan yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. setiap orang yang melakukan kejahatan belum tentu mempunyai bakat jahat. Ada kemungkinna bahwa 40
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indoneisa, Balai Pustaka, Jakarta, 1986 hal.663
58
seorang itu mempunyai jiwa dan maksud yang baik, akan tetaapi oleh karena mengalami kesulitan di dalam hidupnya atau penderitaan , kemudian melakukan kejahatan setelah pada dirinya dihinggapi pikiran-pikiran yang melainkan jiwanya. Hal yangdemikian sangat mungkin terjaddi, apabila terhukum itu belum pernah dihukum dan yang pada umumnya mempunyai maksud yang baik, yang karena hidupnya yang sulit didalam masyarakat terpaksa ia melakukan kejahatan. Di kalangan masyarakat sering timbul anggapan bahwa penjara justru merupakan khusus kejahatan bagi mereka yang sebenarnya tidak mempunyai bakat jahat yang perbuatan-perbuatan dilakukannya hanyalah dikarenakan oleh kesulitan hidupnya dilakukan karena ketisaksengajaan. Untuk menghindari dari anggapan yang demikian, maka timbullah aliran-aliran baru dalam masalah penghukuman yaitu agar bagi mereka yang tidak melakukan kejahatan yang berat dapat dihindarkan dari rumah tahanan dan hal demikian dinamakan Pidana Bersyarat. Pidana bersyarat merupakan suatu lembaga yang pertama kali ditetapkan di Indonesia pada tahun 1926 tetapi baru pada tanggal 1 Januari 1927 dimasukkan dalam KUHP yang diatur dalam pasal 14a sampai dengan 14f dengan segala peraturan pelaksanaannya dituangkan dalam Stb 1926/251.Jo.486 Mengenai istilah dari pada pidana bersyarat ini berasal dari Negeri Belanda yang disebut dengan istilah Voorwardelijke Veroodeling. Istilah ini dibagi menurut asal katanya dapat diartikan sebagai berikut : “Pidana (verpprdeling) menurut R. Soesilo disebutkan secara hukum pidana yang dunamakan hukum atau pidana adala suatu tindakan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepala orang yang telah melanggar hukum. 41
41
Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hal.111
59
Bersyarat (voorwardelijke) didalam pengertian kamus seperti yang dikemukakan oleh Prof. Subekti, SH adalah “Janggelan, digantungkan pada suatu peristiwa dikemudian hari, suatu pada peristiwa tentang terjadi atau tidaknya.42 Bersyarat yang digantungkan pada peristiwa ini dalam keputusan hakum dicantumkan jumlah masanya dan selama itu dikenakan kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh terpidana. Dalam menterjemahkan istilah voorwardelijke vervoodeling ini kedalam Bahasa Indonesia, para sarjana memakai istilah seperti : E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, SH mengatakan : Bahwa kata pidana bersyarat atau pemidanaan bersyarat adalah sekedar suatu istilah umum sedangkan yang dimaksud disini bukanlah pemidanaannya yang bersyarat, melinkan pelaksanaan dari pidana itulah yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu43 Disini perlu diperhatikan bahwa perintah terhadap pelaksanaan pidana bersyarat, tidak diperbolehkan mengadakan persyaratan mengenai kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik bagi terpidana. Adapun istilah lain seperti penghukuman bersyarat pada tahun 1915 di negeri Belanda menurut pandangan seorang sarjana yaitu : DR. E. Utrecht, SH, istilah penghukuman bersyarat ini oleh adalah unutk memperbaiki pelanggar dalam suatu masa percobaan.44 Penggunaan istilah voordeling itu lebih tepat kalau digunakan dengan istilah pidana bersyarat sebagai terjemahan, akan tetepi sebenarnya masalah peristilahan tersebut tidaklah begitu penting, yang lebih penting adalah maksud dari istilah tersebut yaitu dengan memberikan kesempatan si terpidana untuk memperbaiki kelakuannya, tetapitidak didalam penjara.
42
Ibid E.Y. Kenter dan S.R.Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHNPTHN, Jakarta, hal. 62 44 E.Utrech, Rangkaian Seri Kuliah Hukum Pidana II, Universitas Bandung, 1987, hal 353 43
60
Dari uraian diatas maka dapat ditarik pengertian pidana bersyarat yaitu pemberian pidana kepada seseorang yang telah terbukti bersalah oleh hakim, akan tetapi tidak dilaksanakan langsung atau dengan kata lain pidana itu ada dan pasti, tetapi ditunda pelaksanaannya sampai syarat-syarat yang ditentukan oleh hakim dilanggar oleh terpidana. Akan tetapi kalau syaratsyarat yang dibebankan dapat ditaati maka pelaksanaan pidana itu sendiri dianggap tidak pernah ada. Dengan kata lain pidana tidak dilaksanakan didalam Lembaga Pemasyarakatan, tetapi dikembalikan kepada masyarakat atau keluarga dengan diwajibkan untuk dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hakim dalam keputusan. Mengenai pengertian dari pidana bersyarat menurut pandangan umum bahwa pidana bersyarat itu adalah : suatu putusan hakim terhadap orang yang terbukti bersalah berupa pidana penjara yang selama-lamanya satu tahun atau pidana kurungan, yang bukan pidana kurungan pengganti denda, yang oleh hakim si terpidan itu diperintah untuk tidak menjalankan pidananya di Lembaga Pemasyarakatan, kecuali nanti dikemudian hari ada peritah lain dalam putusan hakim, karena si terpidana tadi melakukan perbuatan yang dapat dipidana sebelum masa percobaannya berakhir. Dalam si terpidana menjalankan masa percobaan dia harus selalu berhati-hati agar tidak sampai melakukan kesalahan lagi. Apabila ternyata dalam masa percobaan si terpidana melakukan suatu pelanggaran hukum, maka si terpidana akan dimasukkan ke dalam penjara atau lembaga pemasyarakatan atas perintah hakim sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya pada waktu sebelum masa percobaan berakhir. Menurut R. Atang Ranoemihardjo, SH., bahwa pidana bersyarat atau pemidanaan dengan perjanjian terdapat dua fase yaitu :
61
1. Fase pertama si terpidana dinyatakan bersalah lalu ditetapkan suatu masa percobaan. Pada pokoknya orang tersebut dihukum, tetapi hukuman tersebut tidak dijalankan dulu, maksudnya dalam masa percobaannya itu ia memperbaiki kelakuaannya dan tidak berbuat suatu peristiwa pidana lagi atau melanggar yang diadakan oleh hakim kepadanya dengan harapan jika ia berhasil, maka pidana yang telah dijatuhkan kepadanya itu tidak akan dijalankan unutk selama-lamanya. 2. Fase kedua, baru akan timbul bila fase pertama tidak berhasil, yaitu jika si terpidana belum habis masa percobaan itu ternyata ia berbuat sesuatu peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, maka pidana akan dijatuhkan kepadanya.45 Apabila ditinjau secara yuridis formal pengertian Pidana Bersyarat terdapat dalam pasal 14 a sampai f Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 14 a ayat 1 KUHP berbunyi sebagai berikut : Apabila dijatuhkan pidana yang selama-lamanya satu tahun dan apabila dijatuhkan pidana kurungan yang didalamnya tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, maka hakim boleh memerintahkan bahwa pidana itu tidak akan dijalankan kecuali jikalau kemudian hari adaa perintah lain dalam keputusan hakim massa percobaan yang ditentukan dalam perintah pertama itu berakhir atau dalam masa percobaan itu tidak mencukupi suatu syarat yang khusus yang sekiranya diadakan dalam perintah itu. Tetapi dalam hal ini masih ada pembatasan untuk tidak boleh menjatuhkan pidana bersyarat berdasarkan Undang-undang yakni pasal 14 a ayat 2 yang mempunyai arti : a. Bila terdakwa dijatuhi putusan pidana dengan syarat khusus nyata padaa hakim bahwa pembayaran densa atau permasalahan yang juga diperintahkan dalam putusan menimbulkan sangat kekerabatan bagi terdakwa. b. Terhadap penghasilan keuangan negara danbea cukai tidak boleh dijatuhkan pidana bersyarat dengan maksus agar pembendharaan negara jangan sampai dirugikan oleh putusan hakim.
45
R.Atang Ranoemihardjo, Hukum Pidana, Azas-azas Pokok Pengertian dan Teori Serta Pendapat Beberapa Sarjana, Transito Bandung, 1981, hal. 145
62
Di dalam pidana bersyarat, terpidana harus memeuhi syarat-syarat yang diwajibkan, baik itu syarat maupun syarat yang terdapat dalam pasal 14 e ayat 1 dan 2 KUHP. Adapun syarat umum adaalah terpidana tidak menjalani hukuman, apabila didalam jangka waktu tertentu tidak bersalah ataupun tidak melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran. khususnya yang menyangkut tentang
Sedangkan syarat
kelakukan terrpidana artinya tidak diperkenankan
nelakukan perselingkuhan dengan wanita tuna susila, mengganggu lalu lintas dan lainlainnya. Dalam Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak mengenai pidana bersyarat diatur dalam pasal 29 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Pidana beryarat dapat dijatuhkan oleh Hakim, apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun. (2) Dalam putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) ditentukan sysrat umum dan syarat khusus. (3) Syarat umum ialah bahwa anak nakal tidakl akanmelakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat. (4) Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan tindak pidna ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. (5) Masa pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek daripada masa pidana bersyarat bagi syarat umum. (6) Jangka waktu masa pidana bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling lama 3 3(tiga) tahun (7) Selama menjalani masa pidana bersyarat, jaksa melakukan pengawasan, dan menepati persyaratan yang telah ditentukan (8) Anak nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh balai Pemasyarakatan dan berdstatus sebagai klien Pemasyarakatan. (9) Selama anak nakal berstatus sebagai klien pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah Mengingat pidana bersyarat dapat dikatakan merrupakan suatu hukuman yang paling ringan dari semua hukuman namun masih tetap dirasakan sebagai suatu hukuman yang harus dilaksanakan. Pidana bersyarat dapat dikenakan baik terhadap terhadap orang dewasa maupun anak. Dari pengertian pidana bersyarat diatas, maka pada uraian ini akan diuraikan mengenai tujuan pidana bersyarat. Jadi kita kembali kepada maksud dan tujuan pidana bersyarat adalah
63
memberikan kesempatan kepada terpidana agar di dalam masa percobaan dapat memperbaiki dirinya terhadap perundang-undangan yang berlaku, lebih jauh menghindarkan terpidana dari pengaruh-pengaruh buruk terutama bagi perkembangan jiwanya agar dapat hidup normal seperti sediakala. Jadi pada prinsipnya tujuan pidana bersyarat sejalan dengan tujuan pemidanaan yaitu sama-sama memberikan hukuman yang lebih ringan. Dan sebelum tulisan ini menginjak pada tujuan pidana bersyarat secara mengkhusus, ada baiknya perlu juga diketahui tentang keuntungan-keuntungan dalam penerapan pidana bersyarat : Adapun keuntungan di dalam penerapan pidana bersyarat antara lain adalah sebagai berikut : 1. Pidana bersyarat akan memberikan kesempatan kepadda terpidana untuk memperbaiki dirinya di masyarakat, sepanjang kesejahtraan terpidana dalam hal ini dipertimbangkan sebagai hal yang lebih utama dari pada resiko yang mungkin diderita oleh masyarakat seandainya si terpidana di lepas dimasyarakat. 2. Keuntungan yang kedua adalah pidana bersyarat memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasaan-kebiasaan hidupnya seghari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dimasyarakat. 3. Bahwa pidana bersyarat akan mencegah terjadinya stigma yang diakibatkan oleh pidana perampasan kemerdekaan yang oleh sarjana Ricard disebut sebagau salah satu konsekuensi di luar hukum yang harus diperhitungkan di dalam kebijaksanaan para penegak hukum.1
64
Kalau ketiga keuntungan tersebut dibahas dari segi yang dikenai pidana bersyarat, kemudian dari masyarakat orang yang dikenai pidana bersyarat dapat mempunyai keuntungan sebagai berikut : 1.
Ditinjau dari segi masyarakat adalah, bahwa secara finansial maka pidana bersyarat yang merupakan pembinaan di luar lembaga akan lebih murah dibandingkan dengan pembinaan di dalam lembaga.
2.
Ditinjau dari segi pelaksanan Pidana bersyarat yakni para petugas pembimbing keuntungannya adalah, bahwa dengan pidana bersyarat di luar lembaga para petugas pelaksana pidana bersyarat dapat menggunakan segala fasilitas yang ada dimasyarakat untuk mengadakan rehabilitas terhadap terpidana bersyarat. Fasilitas ini dapat berupa bantuan pembinaan dari masyarakat setempat. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana bersyarat adalah agar terpidana
lebih banyak mendapatkan jalan untuk membebani dirinya untuk memenuhi dirinya menuju perubahan hidup yang lebih baik, yang dalam hal ini banyak menyangkut aspek kehidupan baik secara ekstern maupun intern. Secara intern yaitu menyangkut kehiduoan dirinya sendiri maupun keluarganya. Seperti misalnya terpidana masih tetap sekolah atau sudah bekerja. Kalau kita lihat dari pihak keluarganya, otomatis keluarga terpidana dapat membina dan mendidik si terpidana untuk diarahkan ke hal yang lebih baik. Sedangkan secara eksternya antara lain dapat dilihat dari lingkungan sekitarnya, dan apabila klien dikenai pidana bersyarat otomatis terpidana ada di rumah seolah-olah ia tidak dikenai hukuman, karena tetangganya yang menaruh perasaan tidak baik, tidak dapat menjatuhkan mental si terpidana itu sendiri. Artinya orang yang tidak senang baik kepada keluarganya tidak mempunyai kesempatan untuk menjatuhkan mental si anak itu
65
sendiri. Dan dapat pula kelau dikaitkan dengan tujuan pembinaan sudah mempunyai sasaran yang sejalur yaitu mengurangi orang-orang yang masuk menjara. Tujuan pidana bersyarat pada pokoknya untuk mencapai sasaran-sasaran sebagai berikut : (1) Pidana bersyarat tersebut disatu pihak dapat meningkatkan kebebasan indivisu dan dilain pihak mempertahankan tertib-tertib hukum, serta memberikan perlindungan kepada masyarakat secr efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut. (2) Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap falsafah rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan antara narapidana dengan masyarakat secara normal. (3) Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat negatif dari pidana pencabutan kemerdekaan yang sering kali menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana kedalam masyarakat. (4) Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai sistem koreksi yang berdaya guna. (5) Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari penerapan pidana pencabutan kemerdekaan khususnya terhadap mereka yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana. (6) Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat integratif dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umu dan khusus ), perlindungan masyarakat memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan. 46 Pemidanaan bersyarat merupakan suatu bentuk tindak pidana yang dilakukan anak nakal adapun tujuan dari pidana bersyart adalah :
46
Gosita. Arif, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Press, 1989,244
66
(1) untuk mencegah dilakukannya tindakan pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat (2) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjdaikan orang baik dan berguna (3) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana, memulihkan kesinambungan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat (4) membesarkan rasa bersalah pada terpidana.47
Untuk mencapai tujuannya sehingga ada beberapa azas yang dapat dipakai pedoman dalam pelaksanaannya yaitu : 1. Undang-undang tidak berlaku surut; artinya Undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam Undang-undang tersebut, serta terjadi setelah Undang-undang itu dinyatakan berlaku. 2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula 3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama. Artinya terhadap peristiwa khusus wajib di perlakukan Undang-undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas ataupun lebih umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut. 4. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu. Artinya Undang-undang lain lebih dahulu berlaku dimana diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada Undang-undang baru yang berlaku belakangan yang berlaku pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan Undang-undang lama tersebut. 5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat
47
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal. 59
67
6. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahtraan bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian pembaharuan Disamping tujuan tersebut diatas juga para penegak hukum sebagaimana halnya dengan warga-warga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil bahwa antara berbagai kedudukan dan peranan timbul konflik mengenai peranan penegak hukum menyangut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian pribadi juga memegang peranan. Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sarana, disamping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Kecuali dari itu, maka golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidah-kaidah hukum yang baru, serta memberikan keteladanan yang baik. Kalau warga masyarakatnya sudah mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka juga akan mengetahui dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka sesuatu dengan aturan yang ada. Hal ini semua biasanya dinaman kompotensi hukum yang tidak mungkin ada apabila warga masyarakat : 1. Tidak mengetahui atau tidak menyadari, apabila hak-hak mereka dilanggar atau terganggu. 2. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingankepentingannya. 3. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karea faktor keuangan, psikis, sosial atau politik.
68
4. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan kepentingan-kepentingannya. 5. Mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di dalam proses interaksi dengan berbagai unsur kalangan hukum formal
2.2 Maksud dan Tujuan Pembebasan Bersyarat Adapun Pembebasan Bersyarat itu sendiri ialah upaya membina narapidana diluar Lembaga Pemasyarakatan secara bersyarat sehingga bagian terakhir dari hukuman pidananya tidak diialani. Bagian terakhir itu digantungkan pada suatu syarat yang harus dipenuhi dlan masa percobaan dan untuk itu diadakan pengawasan. Terhadap istilah Pembebasan Bersyarat ini semula belun ada kesamaan, ada yang menyatakan pelepasan dengar perjanjian, ada pula yang mengatakan pelepasan Janggelartau pelepasan dengan bersyarat. 49 Semua ini tidak mempengaruhi inti pengertian dari Pembebasan Bersyarat yaitu : 1. Adanya bagian terakhir dari pidana tidak dijalankan (Biasanya sepertiga bagian dari sisa hukuman). 2. Adanya masa percobaan yaitu sisa hukuman ditambah satu tahun. 3. Adanya syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi selama masa percobaan. 4. Adanya badan yang mengawasi masa percobaan tersebut. Tindakan ini disebut Pembebasan Bersyarat, karena melepaskan terhukum, mengangkat, memindahkan narapidana dari keadaan yang tidak bebas yaitu keadaan-keadaan dimana narapidana dibebani kewajiban bagian dirasakan
49
R. Soesilo,1989, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politeia, Hogor, hal. 17.
69
Sebagai suatu paksaan keterbatasan ruang gerak dimana mereka hidup dalam lingkungan masyarakat Lembaga Pemasyarakatan, menuju kemerdekaan untuk, hidup bersama dengan anggota masyarakat
lainnya sebagai warga Negara yang baik dan bertanggung jawab.
Pernbebasan Bersyarat tersebut bukanlah pelepasan ke alam merdeka sepenuhnya tetapi mereka masih diharuskan memenuhi syarat-syarat sebagai imbalanan atas tidak dijalaninya sisa pidana itu. Syarat-syarat tersebut harus dipenuhi dalam masa pcrcobaan dan bila dilanggar akan mengakibatkan pencabutan Pernbebasan Sersyarat itu dan kemudian kepadanya diwajibkan menjalani sisa hukumannya lagi. Di dalam melaksanakan Pembebasan Bersyarat yang diberikan kepada narapidana tersebut diperlukan adanya pengawasan, bimbingan dan pembinaan agar narapidana itu/ tidak akan melanggar lagi suatu perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman, tidak akan melakukan suatu perbuatan' yang berkelakuan kurang baik. Karena itulah disebut Pembebasan Bersyarat arti pentingnya terletak pada masa peralihan (dalam tahap integrasi) dari kehiduan dalam Lembaga Pemasyarakatan yang serba terbatas, Menuju kehidupan yang merdeka. Masa percobaan ini adalah masa merdeka yang dibatasi dengan kewajiban memenuhi syarat-syarat guna melangkah ke masa kehidupan yang merdeka penuh. Adapun yang menjadi maksud daripada Pembebasan Bersyarat adalah pandangan bahwa, selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan. Masalah ini dapat menimbulkan salah pengertian ataupun dapat dianggap sebagai masalah yang sukar dimengerti. Karena justru pada waktu mer-eka menjalani pidana hilang kemerdekaan, yang menurut faham lama ialah identik dengan pengasingan dari masyarakat sedangkan menurut sistem Pemasyarakatan, mereka tidak boleh diasingkan dari rnasyarakat. yang dimaksud sebenarnya disini bukan "geographical" atau "Physical" tidak diasingkan akan tetapi Cultural" tidak diasingkan, hingga mereka tidak asing dari masyarakat
70
dan kehidupan masyarakatnya. Bahkan merek,a k.emudian secara bertahap akan dibimbing di luar Lembaga (ditengah-tengah masyarakat) hal ini merupakan kebutuhan 'dalam suatu proses pemasyarakatan. Dan memang sistem Pemasyarakatan didasarkan pada pembinaan yang "Community-Centerebd", serta berdasarkan inter aktivitas dan inter-diciplinair approach antar unsur-unsur pegawai, masyarakat dan narapidana. Pada tahap pembinaan pemasyarakatan yang terkhir ini diberikan terhadap narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari masa pidana yang sebenarnya dan sekurang-kurangnya selama sembilan bulan, dengan disertai suatu ketentuan bahwa menurut Tim Pengamat Pemasyarakatan narapidana yang bersangkutan dalarn pembinaannya rnengalami kemajuan serta berjalan dengan lancar dan baik. Dalam tahap pembinaan narapiana benar-benar sudah berada di tengah-tengah bebas. Dengan lain perkataan wadah dalam berupa masyarakat luar, dengan pengawasan dan bimbingan yang makin lama makin berkurang akhirnya dilepas sama sekali. Dengan demikian diharapkan narapidana dapat hidup dalam keadaan harmonis dan dapat menyesuaikan diri dengan norma-norma dan nilai nilai yang berlaku dalam masyarakat lingkungannya. Tujuan pembebasan bersyarat, terlebih dahulu penulis akan mengutarakan tentang tujuan hukuman ialah sebagai yang ditimbulkan karena dendam. Disini azas pembalasan, sehingga oleh Borvger bahwa . "hukuman ini ditimbulkan karena dendam". 50 Kejahatan yang ditimbulkan harus diimbangi dengan hukumn yang setimpal dengan pengenaan penderitaan baginya. Dalam hukum adatpun, tujuan hukuman itu berupa pembalasan, yaitu biasanya berupa hukuman adat yang timbul dari reaksi masyarakat terhadapnya. Mereka diasingkan atau dibuang dari masyarakat dan tidak diakui sebagai anggota masyarakat lagi. Keadaan seperti ini adalah
50
W.A.Bonger,1987, Pengantar Tentang Kriminolooi, Pustaka Sarjana, PT. Pembangunan, Jakarta, hal. 170.
71
sama dengan masuk penjara yang merupakan tempat pengasingan belaka, bagi mereka yamg telah melakukan kejahatan.51 Kemudian timbul keberatan-keberatan terhadap tujuan yang seperti di atas, lalu timbullah pikiranpikiran baru bahwa tujuan hukuman itu ialah bertujuan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Bila kita perhatikan tujuan hukuman yang demikian, lalu memperbandingkannya dengan mereka yang terkena hukuman ternyata hukuman itu berat sebelah yaitu hanya menitik beratkan pada masyarakat saja, sedangkan terhukum tidak diperhatikan sama sekali. Tidak ada usaha memperbaiki terhukum agar menjadi baik kembali sebagai warga masyarakat yang berbudi baik dan bertanggung jawab. Yang ada hanyalah memulihkan antara dunia lahir dan dunia gaib. Kita maklumi bersama bahwa terhukum adalah manusia biasa, hamba Tuhan yang mempunyai hak hidup serta tidak luput kesalahan-kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja. Adapun terhadap kebiasaan itu bila belum terlanjur buruk demi Tuhan bisa kita perbaiki bersama. Karena adalah manusia Indonesia yang memiliki satu yaitu bangsa Indonesia, tidak boleh antara suku yang satu dengan suku yang lain, sama-sama mempunyai kedudukan sebagai individu, harga diri juga sebagai pendukung hak dan masyarakat maka kepadanya berhak kita berikan pendidikan, pembinaan dan membimbing mereka ke jalan yang benar dan baik agar nantinya bisa kembali ke masyarakat sebagai tenaga yang positif dan konstruktif. Dari hal-hal di ataslah kemudian tujuan hukuman di sarnping menimbulkan rasa derita, juga melindungi masyarakat (sosial preventin) dan mendidik terhukum, mernbina serta membimbingnya agar kelak menjadi manusia yang bmik, berguna dan bertanggung jawab.
51
R.A.S. Soemadipradja, Romli Atmasasmita, 1989, Sisten Pemasyarakat.an di Indonesia, Penerbit Bina Cipta, Bandung, hal. 4.
72
Pembebasan bersyarat yang merupakan bagian dari pada hukum nasional lebih menonjolkan pada segi pendidikannya dan pada masa percobaannya. Bagi narapidana yang mendapatkan Pembebasan Bersyarat, masa percobannya merupakan masa peralihan dari alam tidak bebas ke alam merdeka. Dalam masa itu narapidana dibebani tanggung jawab untuk berikhtiar ke arah kebaikan. Dengan demikian narapidana diharapkan dapat membiasakan berbuat baik, kebiasaan mana nanti bisa dilanjutkan setelah berada di tengah-tengah masyarakat dalam keadaan merdeka penuh. Jelaslah bahwa Pembebasan Bersyarat bertujuan mendidik narapidana, hal mana syarat-syarat itu disamping merupakan pelajaran baginya juga sebagai ujian untuk nantinya bisa berhasil di alam merdeka penuh. Selanjutnya juga merupakan pendorong bagi narapidana untuk berkelakuan baik dalam Lembaga Pemasyarakatan, walaupun diketahui olehnya bahwa berkelakuan baik dalam Lembaga Pemasyarakatan itu saja belumlah dapat menentukan. Sungguhpun demikian orang berkelakuan baik itu mempunyai pengaruh dalam artian bahwa yang tidak berkelakuan baik tidak akan mendapat Pembebasan Bersyarat. Tujuan Pembebasan Bersyarat yang dernikiun itu adalah sesuai benar bahkan mencerminkan tujuan hukum maka tujuan hukuman pidana yang diterapkan, dismping berfungsi pengayoman yang berwujud membimbing manusia untuk, dengan kepribadian yang penuh menjadi warga masyarakat yang baik dengan patuh bersama-sama dengan warga masyarakat yang lain ikut men ,bangun negara menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar 1945. Muladi, dalam melihat tujuan pernidanaan, cenderung untuk mengadakan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggapnya cocok atas dasar alasan-alasan yang bersifat sosiologis, ideologis dan filosofis masyarakat Indonesia. Perangkat tujuan pemindanaan yang bersifat
73
,integratif
tersebut adalah sebagai berikut. Perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas
masyarakat, pencegahan (umum dan khusus) dan pengimbalan atau pengimbangan. 52 Ditinjau dari sudut narapidana : Pembebasan Bersyarat akan pendidikan baginya untuk berbuat baik serta; sangat mendororng kearah kebaikan. Cara yang demikian diharapkan nantinya menjadi kebiasaan dalarn masyarakat. Dipandang dari sudut masyarakat : maka masyarakat merasa dilindungi terhadap narapidana, sebab si narapidana masih pengawasan yang berwajib, sehingga tidak usah akan adanya gangguan dari mereka. Pembebasan Bersyarat masyarakat tidak akan ketenangannya, karena sebelum ia dilepas sudah dimintakan persetujuan dari masyarakat menerimanya, disertai surat pernyataan dari Desa, Kecamatan, Polisi dan lain-lain yang Untuk menerima di daerahnya serta sikap dan pandangan masyarakat terhadapnya. Dengan demikian jelas pembebasan bersyarat ini mencerminkan tujuan Hukum Nasional kita yang kompleks itu sehingga pada tempatnya kalau hukum Pidana Nasional kita akan mengaturnya di dalam sistem pidana yang mengandung arti pengayoman. Peraturan-peraturan mengenai pembebasan bersyarat yaitu menjadi dasar hukum untuk mernberikan narapidana pembebasan bersyarat, Pencabutannya, penahanannya diatur dalam Pasal 15, 15a, 15b, dan 16 Huku Kesatu Hab II kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dasar hukum melepas seorang narapidana dengan Pembebasan bersyarat ialah Pasal 15 dan 15a KUHP. Pasal ini mnengatur Pembebasan Bersyarat yang mempunyai pengertian bahwa bila salah satu dari syarat di atas tidak ada, maka tidak dapat disebut Pembebasan bersyarat sehingga tidak sampai pada arti Dari Pembebasan Bersyarat yang merupakan masa peralihan.
52
Muladi, 1995, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni Bandung, hal. 11.
74
Begitu pula kalau masa percobaannya tidak ada, maka akan menjadi persoalan sampai kapan syarat-syarat itu harus dipenuhi sehingga tidak ada kepastian sampai kapan narapidana mendapat kemerdekaan terbatas dan kapan dapat diambil tindakan kalau syarat-syarat tidak dipenuhi. Demikian pula kalau ada pengawasan maka efeknya sama dengan tidak ada syaratsyarat, sebab tidak ada yang akan menilai buruk baiknya perbuatan mereka, sehingga mereka kan dapat berbut sekehendak hatinya. Berikut ini penulis akan tinjau Pasal demi Pasal yang mengatur Pembebasan Bersyarat : Pasal 15 (1) KUHP. Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka kepadanya dapat diberikan pembebasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana. Dalam hal ini jika narapidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana yang dijatuhkan kepadanya dapat diberikan Pembebasan Bersyarat. Jika narapidana menjalani beberapa pidana berturut-turut maka semua pidana yang dijatuhkan kepadanya dijadikan satu pidana. Pasal di atas akan dikupas lebih lanjut dalam masalah persyaratan yang harus dicukupi di dalam pernberian Pembebasan Bersyarat. Pasal 15 (2) KUHP. 53 Dalam memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Pasal 15 (3) KUHP. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu termasuk masa percobaan. Dalam pemberian Pembebasan Bersyarat ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah satu tahun. 53
Moeljatono,1990. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Penerbit Hurni Aksiara, Jakarta, hal. 12.
75
Jika narapidana ada dalam tahanan yang sah waktu itu tidak termasuk masa percobaan. Jadi kedua Pasal di atas mengatur masa percobaan yaitu bahwa lamanya masa percobaan adalah sisa pidana yang belum dijalani ditambah satu tahun.
2.3 Kewenangan Pemberi Pembebasan Bersyarat Menteri hukum dan HAM dalam kewenangan memberikan pembebasan bersyarat sesuai dengan ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang pemberian Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurangkurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut minimal 9 (sembilan) bulan.24 Pembebasan bersyarat tersebut merupakan bagian dari fungsi Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah satu dari bagian sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. 54 Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah pelepasan bersyarat di dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri. Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie terpengaruh oleh sistem pidana penjara di Inggris (progressive system), dimana pembebasan bersyarat tersebut dimaksudkan sisa pidana terakhir dalam Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 32 Tahun 1999, LN No. 69 Tahun 1999, TLN No. 3846,ps. 1 bagian 7.55
54
Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, 2008, Pemasyarakatan Narapidana, Jakarta: Indhill Co,
hal. 23. 55
R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, 1997, Sistem Pemasyarakatan Di Inodonesia,Bandung: Penerbit Binacipta, hal. 17.
76
Pengertian pelepasan bersyarat tidak secara tersurat dituliskan dalam KUHP. Ketentuan pelepasan bersyarat dalam KUHP yang ditetapkan dengan K.B. No.33 tanggal 15 Oktober 1955 yang berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Januari1918 (vide Stb. 1917-497 jo 645), mengalami perubahan melalui Stb. 1926-251 jo 486.29 Pada Pasal 15 lama ditentukan bahwa pelepasan bersyarat diterapkan kepada penjatuhan pidana penjara yang panjang. Pelepasan bersyarat akan diberikan apabila tiga perempat dari pidananya telah dijalani dalam penjara, yang sekurangkurangnya harus tiga tahun.56 Sedangkan pada Pasal 15 KUHP yang diubah dengan Stb 1926-251 jo 486, yang merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku hingga sekarang, pelepasan bersyarat dapat diberikan kepada terpidana yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurangkurangnya harus 9 (sembilan) bulan, dimana ketentuan ini juga berlaku pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan. Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelepasan bersyarat, yaitu KUHP dan Ordonansi Pelepasan Bersyarat 57 Hal tersebut berbeda pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan, yakni terdapat pengaturan mengenai bimbingan dan pembinaan dalam ketentuan pembebasan bersyarat, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat wajib mengikuti bimbingan yang diberikan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Berdasarkan dari tujuan daripada penjatuhan pidana selain pembalasan kepada pelaku atas kejahatannya juga bermaksud mengamankan masyarakat, dari kedua tujuan tersebut juga bermaksud untuk mempersiapkan dan memberikan
56
E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi,2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, cet. 3, Jakarta: Storia Grafika, hal. 473. 57 Bambang Poernomo, 1995, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,Yogyakarta: Liberty, hal. 87.
77
narapidana tersebut bekal saat dikembalikan ke dalam masyarakat. Pembinaan narapidana yang dilaksanakan berdasarkan sistem kemasyrakatan diharapkan mampuh untuk mencapai tujuantujuan dari pemidanaan, untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satu upayanya adalah dengan pemberian pembebasan bersyarat. Pelepasan bersyarat pada awalnya dikenal di dalam Wetboek Van Strafrecht (WvS) Belanda, kemudian dirubah dengan Stb. 1926 No. 251 jo 486 yang merupakan kelanjutan dari Stb. 1917 No. 749 yang saat ini dikenal sebagai Ordonnantie Op De Voorwaardelijke Invrjheids Stelling. Lamintang mengatakan bahwa pembebasan bersyarat dibagi menjadi dua golongan, yaitu : 1. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara dalam suatu lembaga pemasyarakatan seperti yang diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 17 KUHP, lebih lanjut setelah diatur dalam ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Stb nomor 749 yang juga dikenal sebagai ordonansi de voorwardelijjke invrijheidstelling atau peraturan mengenai Pembebasan bersyarat. 2. Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk mendapatkan pendidikan dalam suatu lembaga pendidikan suatu Negara seperti yang dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (1) dari ordonansi pada tanggal 21 Desember 1917, Stb nomor 741 yang juga dikenal sebagai dwangopveding regeling atau peraturan mengenai pendidikan paksa. Pembebasan yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara sebagai mana telah diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 16 KUHP. 58
58
P.A.F. Lamintang, 1984. Op. Cit., hal. 247-248.
78
Dalam praktek dibidang hukum khususnya hukum pidana sering dijumpai berbagai terjemahan yang berbeda-beda mengenai pembebasan bersyarat. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah voorwardelijje invrijheidstelling yang jika diterjemahkan artinya Pembebasan Bersyarat. BPHN menggartikannya dengan istilah pelepasan bersyarattanpa menyadari bahwa istilah tersebut dapat menimbulkan salah penafsiran terutama bagi orang awam, karena istilah pelepasan ini tidak lazim digunakan dalam hukum pidana dan BPHN sendiri sering mengalami kesulitan dalam penggunaannya. Istilah pembebasan bersyarat akan Nampak lebih lazim digunakan dalam hukum pidana jika dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 192 ayat (1), Pasal 183 ayat (2) huruf b KUHP dan lain-lain. Dalam KUHP kita tidak ada Pasal yang menyebutkan pengertian pembebasan bersyarat, KUHP hanya menyebutkan mengenai syarat-syarat bahwa seorang narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Pengertian pembebasan bersyarat ini akan nampak lebih jelas jika kita melihat peraturan perundang-undangan diluar KUHP dan pendapat para pakar bidang ilmu hukum. Pembebasan bersyarat menurut ketentuan Pasal 1 huruf b Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas adalah : Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas adalah proses pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan, berdasarkan ketentuan Pasal 15 dan 16 KUHP serta Pasal 14, Pasal 22 dan Pasal 29 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Mengenai pengawasan terhadap narapidana yang sedang menjalankan pembebasan bersyarat dilakukan oleh Kejaksaan Negeri dan BAPAS. Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk tetap memonitor segala perbuatan narapidana dalam menjalani cuti yang diberikan. Apabila
79
nantinya dalam pelaksanaan bebas bersyarat terdapat narapidana ternyata hidup secara tidak teratur, bermalas-malasan berkerja, bergaul dengan residivis, mengulangi tindak pidana, menimbulkan keresahan dan melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan pembebasan bersyarat maka pembebasan yang di berikan dicabut kembali. Dasar hukum yang utama mengenai pembebasan bersyarat adalah tertuang dalam Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP, disamping itu terdapat pula aturan pelaksanaan yang lain dalam berbagai bentuk peraturan perundangundangan. Dalam Pasal 15 dan Pasal 16 KUHP tersebut terdapat syaratsyarat untuk mendapatkan pembebasan bersyarat bagi narapidana. Pasal 15 KUHP : 1. Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut- turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana. 2. Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. 3. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan. Pasal 15a KUHP : a. Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik. b. Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. c. Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah pejabat tersebut dalam Pasal 14d ayat 1.
80
d. Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan khusus yang sematamata harus bertujuan memberi bantuan kepada terpidana. e. Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus atau dapat diadakan syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat diadakan pengawasan khusus. Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula diserahi. f. Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka orang itu diberi surat pas baru. Pemberian pidana bersyarat sesuai dengan ketentuan pasal 15b KUHP : 1. Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya, maka pelepasan bersyarat dapat dicabut. Jika ada sangkaan keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri Kehakiman dapat menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu. 2. Waktu selama terpidasna dilepaskan bersyarat sampai menjalani pidana lagi, tidak waktu pidananya. 3. Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat tidak dapat dicabut kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan lewat, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana pada masa percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan setelah putusan menjadi tetap berdasarkan pertimbangan bahwa terpidana melakukan tindak pidana selama masa percobaan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 15 KUHP tersebut diatas dapat dilihat tentang syarat pemberian pembebasan bersyarat. Dalam hal tersebut terdakwa harus telah menjalani hukuman
81
sekurang-kurangnya dua pertiga dari hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atau sekurang kurangnya sembilan (9) bulan dan dalam jangka waktu yang telah ditentukan tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum. Permohonan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang telah memenuhi dua pertiga masa pidanannya yang sekurang-kurangnya Sembilan (9) bulan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 15 KUHP, maka sebelum permohonan diajukan ke Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Republik Indonesia terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M.01.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Cuti menjelang bebas dan Pembebasan Bersyarat, syaratnya sebagai berikut : 1. Syarat Substantif a. Telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana; b. Telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif; c. Berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat; d. Masyarakat telah dapat menerima program pembinaan narapidana yang bersangkutan; e. Selama menjalani pidana narapidana atau anak pidana tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 bulan terakhir; f. Masa pidana yang dijalani; telah menjalani 2/3 darimasa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 bulan. 2. Administratif a. Salinan surat keputusan pengadilan;
82
b. Surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidanma yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya; c. Laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas) dari balai pemasyarakatan tentang pihak keluarga yang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain yang ada hubungannya dengan narapidana; d. Salinan (daftar huruf F) daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari kepala lembaga pemasyarakatan; e. Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi, dan lainlain dari kepala lembaga pemasyarakatan; f. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana, seperti; pihak keluarga, sekolah, intansi pemerintah/swasta dengan diketahui oleh pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa; g. Surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter bahwa narapidana sehat baik jasmani maupun jiwanya dan apabila di Lapas tidak ada Psikolog dan dokter, maka surat keterangan dapat dimintakan kepada dokter puskesmas atau rumah sakit umum; h. Bagi narapidana atau anak pidana WNA diperlukan syarat tambahan : 1. Surat keterangan sanggup menjamin kedutaan besar/konsulat negara orang asing yang bersangkutan. 2. Surat rekomendasi dari kepala kantor imigrasi setempat. Selain ketentuan yang mengatur tentang syarat untuk pemberian pembebasan bersyarat tersebut diatas, dalam Pasal 16 KUHP juga diatur tentang pihak yang berwenang untuk
83
menetapkan pemberian pembebasan bersyarat. Ketentuan dalam Pasal 16 KUHP adalah sebagai berikut : Pasal 16 a) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Hukum dan HAM. Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang tersebut dalam Pasal 15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat. b) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat dimana dia berada, orang yang dilapaskan bersyarat orang yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman. c) Waktu penahanan paling lama enam puluh ahri. Jika penahanan disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari tahanan.
Mengenai bagaimana cara pengusulan pembebasan bersyarat, tentang bagaimana cara Menteri Hukum dan HAM meminta saran dari Dewan Reklasering Pusat, tentang apa saja yang dapat diputuskan oleh Menteri Hukum dan HAM tersebut, Semua tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, melainkan diatur dalam Ordonansi Pembebasan Bersyarat Tanggal 27 Desember 1917, Staatblad tahun1919 Nomor 744. Menurut Pasal 1 dari Ordonansi tentang pembebasan bersyarat, usul dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang dikirim kepada Menteri Hukum dan HAM memuat : 1. Penunjukan dengan secermat mungkin terpidana yang bersangkutan; 2. Penyebutan putusan hakim yang pidananya harus dijalankan oleh terpidana tersebut, hari mulai dijalankannya pidana itu dan kapan akan berakhir;
84
3. Segala hal yang diketahui oleh kepala penjara tentang riwayat hidup terpidana tersebut yang sekiranya perlu dicantumkan, pekerjaan atau usaha apa yang telah pemah dijalankan sebelum dijatuhi pidana, apa yang telah dipelajarinya, kemungkinan cara mencari nafkah sesudah dilepaskan dan berhubungan dengan itu usul untuk diberikan bekal uang atau tidak kepada orang yang akan dilepaskan dengan bersyarat itu dari kas pesangonnya; 4. Syarat-syarat khusus yang dihubungkan dengan pelepasan bersyarat itu yang antara lain dapat mengenai tempat tinggalnya di dalam atau di luar suatu daerah; 5. Tempat yang ingin dituju terpidana itu setelah dilepaskan dengan bersyarat itu. Pasal 2 Ordonansi ini juga menentukan bahwa usulan dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan harus terlampir dengan : 1. Kutipan surat keputusan hakim yang menjadi dasar terpidana tersebut menjalani pidananya disertai daftar mutasinya; 2. Daftar yang disahkan tentang pidana tata tertib yang telah dijatuhkan kepadanya selama tiga tahun sebelum usul itu diajukan; 3. Segala pemberitaan dan keterangan yang diperoleh berdasarkan Pasal 3 atau turunannya. Setelah menerima usulan mengenai pembebasan bersyarat seseorang narapidana dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan, maka Menteri Hukum dan HAM akan mengusulkan usul tersebut kepada Dewan Reklasering Pusat. Menteri Hukum dan HAM akan memberikan putusannya mengenai pembebasan bersyarat bagi seorang narapidana dengan menetapkan jangka waktu yang ada dan menetapkan besarnya jumlah uang yang akan didapat oleh narapidana sebagai bekal untuk memulai dengan usaha yang baru setelah dibebaskan secara bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan. Dalam Pasal 5 Ordonansi tentang Pembebasan Bersyarat menyebutkan sebagai berikut :
85
1. Pada waktu pemberian pelepasan bersyarat, diberikan surat tanda izin (Pas) kepada terpidana itu menurut model yang dilampirkan pada ordonansi ini; 2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa pidananya belum selesai dicantumkan di bagian belakang surat izin itu; 3. Duplikat surat izin yang dibubuhi sidik jari terpidana itu disampaikan kepada Kantor Besar Penjara (kini: Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia). Pasal 15a ayat (1) dan ayat (2) KUHP hanya menyantumkan bahwa bagi orang yang dibebaskan secara bersyarat itu dapat ditetapkan secara syarat umum dan syarat khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang narapidana selama masa percobaan, akan tetapi tidak menjelaskan secara rinci tentang kriteria yang harus digunakan untuk menetapkan syarat-syarat tersebut, kecuali hanya membatasi bahwa syarat khusus berkenaan dengan prilaku narapidana tidak boleh membatasi kebebasan untuk beragama dan kebebasan berpolitik. Pasal 19 Ordonansi pembebasan bersyarat mengatur syarat limitatife hal-hal yang tidak boleh dilanggar seorang narapidana yang mendapatkan pembebasan bersyarat, yaitu : Terpidana yang dilepaskan dengan bersyarat dianggap berprilaku bertentangandengan syarat-syarat umum yang dimaksud dalam Pasal 15 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana bila : 1. ia hidup secara malas dan tidak terkendalikan. 2. ia bergaul dengan orang-orang yang terkenal jahat Terhadap seorang narapidana yang sedang menjalani masa percobaan pembebasan bersyarat kemudian melakukan pelanggaran seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 19 Ordonansi pembebasan bersyarat, maka pembebasan bersyarat dapat dicabut kembali untuk sementara waktu atau dapat di cabut sepenuhnya. Mekanisme pencabutan pemberian pembebasan bersyarat ini dilakukan oleh Dewan Reklasering Pusat atau usul dari Menteri
86
Hukum dan HAM Setelah Menteri Hukum dan HAM mendapat surat dari Jaksa wilayah dimana tnarpidana tersebut tinggal yang isinya sesuai dengan Pasal 12 ayat (2) huruf a dan b juga pada ayat (3) Ordinansi pembebasan bersyarat, yaitu : 1. Usul asisten residen agar keputusan tentang pelepasan bersyarat dicabut memuat: a. keterangan yang terinci mengenai orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu, sedapat mungkin dengan dilampirkan juga pasnya; b. alasan-alasan yang menyebabkan diajukan usul itu. 2.
Pada usul ini dilampirkan berita-berita acara, catatan-catatan, dan surat surat lain yang dipandangberguna, begitu pula berita acara pemberiksaan orang yang dilepaskan dengan bersyarat itu, kecuali jika memang ia tidak dapat didengar.
2.4. Teori atau Konsep Dalam Narapidana a. Teori Negara Hukum Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia negara hukum”. Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang berediri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.
87
Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu peraturan undangundang dan membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu Menurut, bahwa yang pentinng adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya. Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law). Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya, anak-anak yang di bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya karena perbedaan warna kulit, gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu dalam agama, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai negara, termasuk di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun. Menurut Dicey, Bahwa berlakunya Konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun berada di atas hukum (above the law).
88
Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak fundamental (fundamental rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered liberty). Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep hukum tentang “keadilan yang fundamental” (fundamental fairness). Perkembangan , due process of law yang prossedural merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh yang berwenang, misalnya dengan kewajiban membawa surat perintah yang sah, memberikan pemberitahuan yang pantas, kesempatan yang layak untuk membela diri termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila diperlukan, menghadirkan saksi-saksi yang cukup, memberikan ganti rugi yang layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang harus dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup, hak untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak atas kepemilikan benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak, hak pilih, hak untukberpergian kemana dia suka, hak atas privasi, hak atas perlakuan yang sama (equal protection) dan hak-hak fundamental lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang substansif adalah suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan manusia secara tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang.
b. Teori Kepastian Hukm
89
Dalam rancangan KUHP yaitu Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan kecuali perbuatan yang dilakukannya telah ditetapkan sebagai tindak pidana. Tetapi secara tegas rancangan KUHP menyatakan : Ketentuan dalam ayat 1 tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang dapat dipidana walaupun perbuatan yang dilakukan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bila dikaji dari segi sosiologisnya ini bisa dilihat dalam ketentuan pasal 1 ayat 3 yaitu yang berbunyi sebagai berikut : Suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah di tanah air masih terdapat ketentuan hukum di daerah tersebut : Hal yang demikian juga didapati dalam lapangan hukum pidana yang bisa disebut dengan tindak pidana adat. Dan Diakuinya tindak pidana tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Jadi asas legalitas yang dikaji dari segi sosial ini lebih mengutamakan rasa keadilan bagi setiap warga masyarakat tanpa terkecuali, sehinggga timbullah kehidupan masyarakat yang adil, tentram dan sejahtera. Asas legalitas (kepastian hukum) ini yang juga memberikan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat. Asas legalitas ini juga tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945, dimana dalam Pancasila terdapat dalam alinea pertama, alinea kedua dan alinea ke-4. Kemudian juga terdapat dalam batang tubuh UUD 1945, yaitu : pasal 1 ayat (3), 4 , 9 , 24 , 27 , 28.
c. Teori Keadilan Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang-ulang. Di antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak.
90
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatankekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. 60 Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini. Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.61 Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya,
60
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal
239. 61
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum ...., hal 24. 5 Ibid, hal 25.
91
prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang
lain
yang
sama-sama
bisa
didapatkan
dalam
masyarakat.
Dengan
mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah
92
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia d. Teori Kewenangan Peraturan perundang-undangan ada yang dikeluarkan di tingkat pusat pemerintahan maupun di tingkat daerah dan dikeluarkan oleh jajaran Pemerintahan bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Daerah) berdasarkan wewenang legislatifnya, seperti yang tersebut dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Macam-macam atau jenis peraturan perundang-undangan berdasarkan Ketetapan MPR tersebut, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; Undang-Undang; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; Peraturan Daerah.
Bertitik tolak dari tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut, jelas menunjukkan bahwa produk hukum yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara berdasarkan wewenang pemerintahannya yang bersifat diskresioner seperti Surat Keputusan Menteri Hukum
93
dan HAM
yang materinya bersifat konkrit individual bukanlah berkedudukan sebagai produk
legislatif, karena bukan dibentuk dan dibuat oleh badan atau lembaga pembuat peraturan perundang-undangan (kekuasaan legislatif). Isi muatan dari keputusan badan atau pejabat tata usaha negara demikian itu merupakan pengaturan yang bersifat konkrit individual seperti halnya peraturan perundang-undangan biasa, maka disebut sebagai perundang-undangan semu (pseudo wetgeving) atau peraturan kebijakan (beleidsregel). A. Hamid S. Attamimi, dengan mengacu terutama kepada kepustakaan Eropa Kontinental menyatakan, bahwa peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur, yakni : a. Norma hukum (rechtsnormen); b. Berlaku ke luar (naar buiten werken); dan c. Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin).62 Dari rumusan tersebut di atas dapat dipahami bahwa peraturan perundang-undangan pada hakekatnya adalah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku ke luar dan bersifat umum dalam arti yang luas. Norma hukum berarti dalam peraturan perundang-undangan memuat ketentuan-ketentuan yang mengandung sifat berupa: perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinan (toestemming), dan pembebasan (vrijstelling). Berlaku ke luar artinya ditujukan kepada rakyat, baik dalam hubungan antar sesamanya maupun antara rakyat dengan pemerintah.Berkaitan dengan pemahaman tersebut, Indroharto mengemukakan bahwa daya kerja ke luar berarti berlaku baik bagi jajaran pemerintah maupun para warga masyarakat. Bersifat umum dalam pengertian ditujukan kepada orang atau sekelompok orang yang tidak tertentu. 63
62
A.Hamid S.Attamimi, 1990 Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Desertasi, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, hal.314 63 Indroharto, 1996,Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 105
94
Dari pengertian norma hukum bersifat umum tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila yang terkena norma hukum itu adalah orang atau orang-orang tidak tertentu disebut norma umum, sedangkan bila yang terkena itu adalah orang atau orang-orang tertentu disebut norma individual. Jika yang diatur itu fakta tidak tertentu disebut norma abstrak, sedangkan jika yang diatur adalah fakta tertentu disebut norma konkrit. Dari sifat norma yang umum atau individual dan abstrak atau konkrit tersebut, dapat dibentuk berbagai norma dengan sifat kombinasi umum-abstrak, umum-konkrit, individualabstrak, dan individual-konkrit. Penetapan norma dalam hukum tata usaha negara berbeda dengan penetapan norma dalam hukum perdata dan hukum pidana. Penetapan hukum
pidana
norma
dalam hukum perdata dan
yang mengatur perbuatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat pada
umumnya dapat dibaca dalam rumusan formal dari undang-undang yang bersangkutan. Sedangkan dalam bidang hukum tata usaha negara pembuat undang-undang formal tidak begitu memegang peranan dalam menetapkan norma-norma hukum untuk perbuatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat karena ia hanya menentukan norma-norma pokoknya saja, sedangkan untuk pengaturan selanjutnya pembuat undang-undang lebih banyak menyerahkan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaannya sampai kepada keputusan sesuai dengan keadaan konkrit yang dihadapi dalam masyarakat. Dengan demikian, pembuat undang-undang secara sadar telah menyerahkan sebagian wewenang yang dimilikinya kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk membuat berbagai peraturan pelaksanaan yang kedudukannya lebih rendah, sehingga peraturan pelaksanaan itulah yang pada akhirnya akan menentukan. Sikap pembuat undang-undang tersebut menurut Struycken dan van Wijk, dinamakannya terugtred (sikap mundur dari pembuat undang-undang/ wetgever). Munculnya sikap terugtred
95
tersebut disebabkan antara lain; karena pembuat undang-undang menyadari betapa luasnya ruang lingkup hukum administrasi tersebut, sehingga pembuat undang-undang tidak mungkin untuk mengatur keseluruhannya dalam UU formal.64 Selain dari itu, pembuat undang-undang juga menyadari bahwa mereka (pembuat undang-undang) tidak mungkin mampu mengikuti perubahan-perubahan dalam masyarakat yang terjadi dengan cepat, utamanya perubahan keadaan yang terjadi sehubungan dengan kemajuan dan perkembangan teknologi dengan mengaturnya dalam suatu undang-undang formal. Demikian juga hal-hal yang bersifat teknis dan mendetail tidak mungkin dan tidak sewajarnya diatur dalam undang-undang formal. Sebagaimana diketahui, bahwa sebagian terbesar dan yang terutama dari bidang-bidang urusan pemerintahan atau kegiatan yang bersifat eksekutif dalam negara dilaksanakan oleh instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan dan jajaran pemerintah di bawah Presiden. Instansi-instansi yang memiliki wewenang pemerintahan demikian itu disebut badan atau pejabat tata usaha negara. Terkait dengan kata wewenang tersebut, Indroharto mengemukakan : 65 …. kata wewenang dalam hal ini tidak sekedar berarti “boleh atau mampu” melaksanakan urusan pemerintahan saja, melainkan hakekat dari wewenang para pelaksana urusan pemerintahan itu adalah kewenangan mereka untuk membentuk dan mempertahankan hukum positif. Sebab untuk dapat membentuk hukum positif memang harus ada wewenang untuk itu. Tanpa wewenang tersebut para pelaksana urusan pemerintahan itu tidak bisa membuat keputusan-keputusan TUN yang sah. Dalam arti yuridis pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibatakibat hukum. Biasanya pengertian wewenang diartikan dalam arti luas yang lebih bersifat umum yaitu wewenang untuk berbuat sesuatu.
64
Struycken dan van Wijk, dalam Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal. 93. 65 Indroharto, Perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik Dan Hukum Perdata, Lembaga Penelitian Dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara, Jakarta, 1995, hal. 27.
96
Dari uraian tersebut di atas, jelas menunjukkan bahwa untuk pengaturan selanjutnya yang lebih mendekati keadaan praktek yang nyata pembuat undang-undang menyerahkan hal itu kepada pembuat peraturan yang lebih rendah untuk mengeluarkan peraturan-peraturan yang lebih rendah tingkatannya yang akhirnya kepada para badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan lebih lanjut secara final apa yang harus berlaku pada suatu keadaan konkret tertentu. e. Teori Pemidanaan Masalah pemidanaan dalam hukum pidana mempunyai hubungan yang sangat erat di dalam penulis menguraikan mengenai pelaksanaan pidana penjara terhadap pembinaan narapidana dalam hubungannya dengan resosialisasi di lembaga pemasyarakatan. Dibentuknya suatu lembaga adalah didahului dengan adanya pemidanaan terhadap seseorang yang telah terbukti melakukan/melanggar hukum. Sebelum penulis menguraikan mengenai arti pidana maka terlebih dahulu kiranya penulis menguraikan arti dari pada hukum pidana, baik yang sudah dikodifikasi (Kitab Undangundang Hukum Pidana) maupun yang masih tersebar diberbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum Pidana adalah merupakan hukum sanksi dimana sifat sanksi ini menempatkan hukum pidana sebagai sarana untuk menjamin keamanan dan ketertiban serta keadilan. Menurut C.S.T. Cansil Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan.66
66
257.
C.S.T. Kansil, 1984, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta hal.
97
Sedangkan Moeljatno memberikan batasan pengertian hukum pidana dengan mengemukakan tentang perbuatan apa, kapan dan bagaimana sanksi pidana dapat diterapkan sebagai berikut : Hukum pidana adalah bagian keseluruhan hukum yang berlaku yang mengadakan dasardasar dan aturan-aturan untuk : 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu. 2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagai yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan-larangan hukum itu.67 Dari batasan tersebut dapat diketahui bahwa penerapan sanksi pidana atau pemidanaan dijatuhkan manakala dilakukan suatu perbuatan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang oleh norma hukum pidana atau dengan kata lain bahwa pemidanaan dijatuhkan karena suatu perbuatan pidana atau delik.
Mengenai pemidanaan Roesian Saleh berpendapat bahwa hukum pidana adalah sebagai suatu sanksi suatu upaya untuk dapat mempertahankan agar kehidupan bersama akan selalu dalam keadaan lestari.68 Segi inilah yang dapat disebut provensi yaitu suatu pencegahan kejahatan, namun hukum pidana sekaligus merupakan pula penentuan hukum suatu aksi dari reaksi atas suatu perbuatan tindak pidana, dengan adanya sanksi pidana maka norma-norma tersebut dengan sanksisanksinya menjadi hukum pidana. Di dalam hukum pidana ini dikatakan sistem yang negatif,
67
Moeljatno, 1989, Asas-asas Hukum Pidana, Seksi Kepindahan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada,
68
Roeslan Saleh, 1980, Suatu Orientasi Dalam Hukum Pidana, Jakarta, hal. 25.
hal. 1.
98
karena sanksi dalam hukum pidana adalah sanksi yang bersifat negatif, disamping itu ada juga yang mengatakan bahwa hukum pidana itu mempunyai sanksi yang subsidair. Pemidanaan diarahkan kepada pembinaan dan pembinaan itu sendiri merupakan suatu bentuk umum untuk mengayomi masyarakat serta merupakan unsur pokok dalam menangggulangi adanya suatu kejahatan dan pelanggaran. Dengan demikian diperuntukan bagi mereka yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana dimana rekasi berupa pemidanaan akan timbul apabila tata tertib dalam masyarakat dilanggar. Berdasarkan atas uraian tersebut sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tujuan dan alasan pembenar dari pidana penjara ataupun tindakan lain yang menghilangkan kemerdekaan bergerak seorang narapidana pada hakekatnya untuk dididik dan dibimbing agar pulih kesadarannya, sekaligus melindungi masyarakat terhadap kejahatan. Tujuan ini hanya dapat diwujudkan secara kongkrit bila pada masa hilangnya kemerdekaan itu diarahkan sebanyak mungkin ketujuan pembinaan yang sehat dalam artian bagaimana usaha kita untuk meresosialisasikan narapidana kembali kedalam hidup bermasyarakat. Kebijakan dalam menetapkan pidana penjara, merupakan suatu hal yang wajar dan memang diperlukan. Hal ini merupakan suatu yang melekat dengan sifat dan hakekat kejahatan itu sendiri yang sudah mengalami perubahan dan perkembangan pidana itu sendiri. Sehubungan dengan itu S Balakhrisnan mengemukakan : ”Hukum Pidana memang berubah dan memang seharusnya memerlukan perubahan sesuai dengan perubahan masyarakat. Perubahan ini tidak hanya mengenai apa yang merupakan atau dinyatakan sebagai kejahatan, tetapi juga mengenai apa yang seharusnya dijadikan pidana untuk suatu kejahatan, karena gagasan-gagasan mengenai
99
pidana juga telah berubah sesuai perubahan itu sendiri, terutama mengenai pandangan hidup tentang moral dan kemasyarakatan.69 Dengan demikian apabila kebijakan pemidanaan yang terutang dalam KUHP tidak terencana dengan baik, menurut Jhon Kaplan dapat menimbulkan terjadinya disparitas pidana. Akibat yang timbul dari adanya diparitas pidana yang mencolok ini menurut Edward M. Kennedy adalah : a. Dapat memelihara tumbuhnya atau berkembangnya perasaan sinis masyarakat terhadap sistem pidana yang ada. b. Gagal dalam mencegah terjadinya kejahatan. c. Mendorong aktifitas kejahatan. d.
Merintangi tindakan-tindakan perbaikan terhadap para pelanggar.71 Dengan kembalinya narapidana ketengah-tengah masyarakat disertai bekal pendidikan,
gemblengan, dan pembinaan yang diperoleh selama didalam Lembaga Permasyarakatan, tentunya kita harapkan agar seorang narapidana setelah diresosialisasikan benar-benar insaf dan sabar akan perbuatan yang dilakukan dimasa-masa yang lalu, dengan demikian agar mereka mampu untuk melakukan pembenahan diri dan dapat diharapkan kembali diterima dan diperlukan sebagai anggota masyarakat yang lain tanpa membeda-bedakan dengan warga yang ada. Bagaimana juga kehidupan seorang narapidana tidak bisa lepas dengan masyarakat sebab mereka dibesarkan dilahirkan dan ditumbuhkan dimasyarakat. Dalam hukum pidana, yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan terdapat beberapa teori, yaitu sebagai berikut : 72
69
S.Balakhrisnan, Reform of Criminal Law in India, Some Aspects, Resource material Series N.6 UNAFI Tokyo, 1973, hal 44 71 Edward M. Kennedy, Toward a New System of Criminal Sentencing : Law with order, The American Criminal Law Review, No.4 Volume 16, 1979, hal 363, dalam BNA, Loc.Cit
100
a. Teori Absolute atau teori pembalasan (vergeldings theorien). Dasar pijakan teori ini adalah pembalasan. Negara berhak menjatuhkan pidana, karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan pemerkosaan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat atau negara) yang telah dilindungi. Tindakan pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu : 1. Ditujukan pada penjahatnya; 2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan masyarakat (sudut subyektif dari pembalasan). Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa teori pembalasan ini sebenarnya mengejar kepuasan hati, baik korban dan keluarganya maupun masyarakat pada umumnya. Sementara menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif, mengenai teori absolut ini, bahwa : 73
“Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan”. Lanjut Muladi dan Barda Nawawi arif mengemukakan bahwa teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar, seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. b. Teori Relative atau tujuan (doel theorien). Teori ini berpokok pangkal pada dasarnya bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib itulah maka penerapan hukum pidana sangat penting.
72
157.
73
Adami Chazawi. Hukum Pidana Bagian I. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2008). Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana. (Bandung : Alumni. 1984). hal. 10.
hal.
101
Untuk mencapai ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai 3 (tiga) sifat, yaitu : 1. Bersifat menakut-nakuti (afsschrikking); 2. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclas ering); 3. Bersifat membinasakan (onschadelijik maken). Sedangkan pencegahannya dari teori ini, ada 2 (dua) macam, yaitu sebagai berikut : 1. Pencegahan Umum (general preventie) Khalayak ramai dapat menjadi takut untuk melakukan kejahatan, maka perlu dibuat pidana yang ganas dengan eksekusinya yang sangat kejam dan dilakukan di muka umum agar setiap orang mengetahuinya. Adanya ketentuan tentang ancaman pidana yang diketahui oleh umum itu membuat setiap orang menjadi takut melakukan kejahatan. 2. Pencegahan Khusus (special preventie) Menurut pandangan ini tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar tidak mengulangi kejahatan, dan mencegah orang-orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu keddalam wujud yang nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana. c. Teori Gabungan (vemegings theorien). Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas tata tertib masyarakat. Pemidanaan dijatuhkan kepada pelaku dengan melihat pada unsur-unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap-tiap pemidanaan. Teori gabungan dibedakan dalam 2 (dua) golongan besar, yaitu sebagai berikut :
102
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat. 2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. Sedangkan Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety, mengemukakan teori tujuan pemidanaan antara lain teori pembalasan (retribution), teori pencegahan (deterrence), teori rehabilitasi, teori integratif, bahkan muncul gerakan hendak menghapus pidana (abolisionis). Adapun uraian mengenai teori tujuan pemidanaan tersebut, sebagai berikut :74 a. Teori Retributif Menurut teori pembalasan (retribution theory) alasan pembenar dalam penjatuhan hukuman, hukuman semata-mata sebagai imbalan dari perbuatan jahat yang dilakukan. Hal ini menggambarkan, bahwa penjahat itu harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya. Teori ini berpandangan setiap orang itu dalam keadaan apapun juga dapat untuk berbuat sesuatu dengan keinginannya karena ada alasan dilakukan pembalasan. Dengan demikian, teori pembalasan ini tidak mempersoalkan penjatuhan hukuman berupa pidana yang diberikan kepada pelaku kejahatan, tetapi didasarkan adanya pelanggaran hukum, karena ini merupakan tuntunan keadilan. Oleh karena itu, menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. b. Teori Pencegahan
74
Petrus Irwan Pandjaitan dan Samuel Kikilaitety. Pidana Penjara Mau Kemana. (Jakarta : CV. Indhill Co. 2007). hal. 614
103
Menurut teori ini kejahatan tidak harus dijatuhi dengan suatu hukuman tetapidana harus ada manfaatnya baik untuk sipelaku tindak pidana maupun masyarakat. Hukuman diberikan bukan saja karena apa yang ditimbulkan si pelaku pada masa lalu, melainkan ada tujuan yang utama untuk masa depan. Sehingga hukum berfungsi mencegah agar kejahatan tidak diulangi, dan menakut-nakuti anggota masyarakat sehingga menjadi takut melakukan kejahatan. Bagi teori utilitarian hal yang utama adalah harus mencari suatu keseimbangan antara perlunya hukuman dengan biaya penghukuman. Kalau manfaatnya lebih besar, maka perlu suatu hukuman, bila efek penjeraan dari hukuman itu tidak ada, maka hukuman itu tidak perlu ada. c. Teori Rehabilitasi Dijatuhkannya hukuman kepada pelaku kejahatan, tidak saja dilihat sebagai balasan atas perbuatan yang merugikan atau penjeraan semata, tetapi ada kegunaan tertentu. Di dalam penjatuhan pidana, dalam pelaksanaannya bukan pidana badan, akan tetapi pidana hilang kemerdekaan. Dalam pelaksanaannya seseorang ditempatkan dalam suatu tempat tertentu. Dalam hal ini berarti, seseorang yang menjalani pidana di dalam penjara atas nama perubahan sosial dan dibiarkan di sana karena mereka diobati. Keberadaan seseorang yang direhabilitasi disebabkan adanya kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai penyakit sosial yang disintegrative dalam masyarakat. Kejahatan itu dibaca sebagai simptom disharmoni mental atau ketidakseimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris, counseling, latihan-latihan spiritual. Dipergunakannya metode seperti ini jelas menyerupai cara-cara tirani dan mengingkari hak asasi manusia. Sekali orang narapidana dirawat oleh dokter,maka tidak dapat diperkirakan kapan ia akan dinyatakan sembuh, dan manusia diperlakukan seperti “kelinci percobaan”. d. Abolisionis
104
Gerakan abolisionis melihat ketidakpuasan terhadap hasil yang dicapai dari adanya sanksi berupa pidana penjara ternyata mendorong gerakan ini membentuk masyarakat yang bebas, dengan cara menghapuskan pidana penjara sebagai refleksi pemikiran punitif. Dalam hal ini kelompok abolisionis ingin menghapus hukum pidana, karena tidak layak lagi dipertahankan dalam masyarakat beradab, di samping karena dipandang kurang efektif untuk pencegahan kejahatan dalam masyarakat. Dari pandangan kaum abolisionis, dapat dikatakan, bahwa hukuman bukanlah cara yang paling efektif untuk menghadapi kejahatan. Hal ini cukup beralasan di mana kejahatan telah ada sebelum hukum pidana dibentuk. Sebagai pelaku kejahatan, dia bukanlah anggota masyarakat yang terasing. Gerakan abolisionis juga mengingatkan, bahwa pidana yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan semata-mata dikarenakan sistem peradilan pidana mengandung cacat, sehingga sistem peradilan pidana sendiri bersifat kriminogen. Menurut Demikian pula Wolf Widdendorf menyatakan bahwa keseluruhan efektivitas peradilan pidana bergantung pada tiga faktor yang saling berkaitan. Ketiga faktor yang dikemukakannya ialah : 1) Adanya unang-Undang-Undang yang baik (good legislation) 2) Pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement) 3) Pemidanaan yang layak atau sekedarnya dan seragam (moderate and uniform sentencing.75 e. Integratif Teori integratif menempatkan pidana itu bukan semata-mata sebagai sarana dalam menanggulangi kejahatan, dalam hal ini fungsi pidana harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat antara lain pidana untuk melindungi kepentingan hukum, masyarakat dan negara.
75
Harold D. Hard, Ed., Punishment : For and Against, Hart Publishing Company, Inc, New.
105
Dalam hal ini, praktek penerapan hukum pidana tidak harus dengan pemanfaatan pidana sebagai sarana efektif menjerakan pelaku. Dari pendapat diatas dapat dinyatakan bahwa ruang lingkup pidana dan pemidanaan Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku. Hal demikian menempatkan hukum pidana dalam pengertian hukum pidana materiil. Dalam pengertian yang lengkap dinyatakan bahwa hukum pidana materiil berisikan peraturan – peraturan tentang berikut ini : 1. perbuatan yang dapat diancam dengan hukum misalnya : -
mengambil barang milik orang lain
-
dengan sengaja merampas nyawa orang lain
2. siapa-siapa
yang
dapat
dihukum
atau
dengan
perkataan
lain
mengatur
pertanggungjawaban terhadap hukum pidana 3. hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang