PENERAPAN PRINSIP AKUNTABILITAS TERHADAP PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KELAS II A SUNGGUMINASA The Implementation of Principles of Law and Order and Accountability in Execution Leave Right for Prisoner at Women Prison Class Ii A Sungguminasa
Alfrida
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui bagaimana penerapan prinsip akuntabilitas dalam pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Sungguminasa. 2.Mengetahui bagaimana faktor – faktor yang mendorong penerapan prinsip akuntabilitas dalam pelaksanaan pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Sungguminasa. Penelitian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data dengan studi perputakaan, dan studi lapangan dengan wawancara kuisioner, dengan dua jenis data yaitu data sekunder dan primer kemudian diolah dengan seleksi, diklasifikasi secara sistimatis, logis dan yuridis dengan maksud untuk mendapatkan gambaran umum dan spesifik mengenai obyek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1. Penerapan prinsip Akuntabilitas dalam pemberian hak Pembebasan Bersyarat belum dilaksanakan dengan optimal, hal tersebut dapat dilihat dari pertanggung jawaban pihak Lembaga Pemasyarakatan dalam hal pengusulan narapidana yang telah memenuhi persyaratan tidak seluruhnya diusulkan. 2. Faktor – faktor dominan yang berperan tidak akuntabilitas dalam pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana. Kata Kunci: Akuntabilitas, Pembebasan Bersyarat Narapidana
ABSTRACT The aims of this research were : 1. To know the implementation of order of state management in execution of conditional leave rights for prisoner at women prison class II A Sungguminasa 2. To know how the implementation of accountability principal in execution of conditional leave right for prisoner at prison class II A Sungguminasa. The research was conducted at women prison class II A Sungguminasa collected by library study, field study by interview and questionnaire, with two kinds of data, there are secondary and primary, then processed by selection, classification systematically, logical, juridical with a view to get the specific and common picture about the object of research. The result of this research showed that : 1. The implementation of order of state management in execution of conditional leave right for prisoner at women prison class II A Sungguminasa not yet optimal, this matter is proven in process of leave right proposing, is a discrimination by the officer of prison, so that not yet fulfilled the regularity aspect, compatibility, and balance. 2. Implementation of accountability principal in uncommitted conditional leave right gift optimally, it can be seen from unrighteous responsibility of prison in the case of convict proposing fulfilling conditions is not entirely proposed. Keywords: accountability in execution leave right for prisoner
2 PENDAHULUAN Indonesia adalah Negara hukum.[Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945] artinya bahwa segala perbuatan yang dilakukan baik oleh anggota masyarakat maupun aparat Negara atau pemerintahan harus mengacu pada ketentuan yang berlaku. Demikian pula halnya dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disebut LAPAS), dalam melaksanakan tugas pembinaan terhadap narapidana, mereka harus tunduk pada peraturan yang ditetapkan. Pembahasan mengenai pemberian hak Pembebasan Bersyarat bagi narapidana ini hakekatnya juga terkait dengan program pemerintah dalam kegiatan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersifat khusus. Seperti tercantum dalam Kepres Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun 2004 – 2009 yaitu : “Berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia ( anak, remaja, wanita, buruh formal dan informal, manusia lanjut usia, masyarakat adat, penyandang cacat, kelompok minoritas, kelompok yang miskin, orang hilang secara paksa ( enforced dissapearance ), pemindahan secara paksa/pengungsi domestik ( internal displaced person ), tahanan dan narapidana, petani dan nelayan ), penghapusan diskriminasi dalam segala bentuk, serta penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat. Kelompok rentan ini perlu mendapat perhatian khusus agar kepentingannya dapat terakomodir dengan baik dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia ( RANHAM ) Tahun 2004-2009.” B. Rumusan Masalah Sesuai maksud penelitian ini dan berdasarkan pada uraian di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana penerapan prinsip akuntabilitas dalam pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana di Lapas Wanita Klas IIA Sungguminasa. 2. Faktor faktor apa yang mendorong dalam penerapan prinsip akuntabilitas dalam pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana di Lapas Wanita Klas IIA Sungguminasa. C. Tujuan Penelitian Identifikasi permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya perlu diteliti dengan tujuan untuk : 1. Mengetahui bagaimana penerapan prinsip akuntabilitas dalam pelaksanaan pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana di Lapas Wanita Klas IIA Sungguminasa. 2. Mengetahui bagaimana faktor – faktor yang mendorong penerapan prinsip akuntabilitas dalam pelaksanaan pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana di LAPAS Wanita Klas IIA Sungguminasa TINJAUAN PUSTAKA Teori Akuntabilitas Sedarmayanti (2003 : 8) mendefinisikan akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Miftah Thoha (2002 : 58) menjelaskan bahwa salah satu wujud dari akuntabilitas itu ialah agar semua produk hukum dan kebijakan yang menyangkut kehidupan rakyat banyak harus diupayakan didasarkan atas undang – undang. Peraturan perundang – undangan dijadikan sebagai salah satu indikator dalam mengukur proses penyelenggaraan pemerintahan. Dengan produk hukum yang berupa undang – undang ini rakyat mempunyai akses untuk mengatur dan mengendalikannya.
3 Prinsip Akuntabilitas Berbicara tentang prinsip akuntabilitas tidaklah kemudian menjadi causa prima yang akan menjamin terlaksananya tata kelola yang baik , prinsip akuntabilitas dapat berjalan sendiri-sendiri tanpa prinsip tata kelola pemerintahan yang baik lainnya baik transparansi maupun partisipatif ,terdapat hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi, masing-masing adalah instrumen yang diperlukan untuk mencapai prinsip yang lainnya. Implementasi Akuntabilitas Konsep akuntabilitas di Indonsia memang bukan merupakan hal yang baru. Hampir seluruh instansi dan lembaga – lembaga pemerintah menekankan konsep akuntabilitas ini khususnya dalam menjalankan fungsi administrative kepemerintahan. Fenomena ini merupakan imbas dari tuntutan masyarakat yang mulai digemborkan kembali pada awal era reformasi di Tahun 1998. Tuntutan masyarakat ini muncul karena pada masa orde baru konsep akuntabilitas tidak mampu di terapkan secara konsisten disetiap lini. Kepemerintahan yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab lemahnya birokrasi dan menjadi pemicu munculnya berbagai penyimpangan – penyimpangan dalam pengelolaan keuangan dan administrasi Negara di Indonesia. Era reformasi telah memberi harapan baru dalam implementasi akuntabilitas di Indonesia, apalagi kondisi tersebut di dukung oleh banyaknya tuntutan Negara-negara pemberi donor dan hibah yang menekan Pemerintah Indonesia untuk membenahi sistem birokrasi agar terwujud pemerintahan yang baik. UNDP (United Nations Development Programmed) menegaskan bahwa prinsip-prinsip pemerintahan yang baik antara lain terdiri dari partisipasi, ketaatan hukum, transparansi, responsive, berorientasi kesepakatan, kesetaraan, efektif dan efisien, akuntabilitas dan visi stratejik. Tergambarkan jelas bahwa akuntabilitas merupakan salah satu aspek penting dalam pemerintahan yang baik. Di Indonesia sosialisasi konsep akuntabilitas dalam bentuk Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) telah dilakukan kepada 41 Departemen. Di tingkat unit kerja Eselon I, dilakukan berdasarkan permintaan dari pihak unit kerja yang bersangkutan, oleh karenanya capaian dan cakupannya masih tergolong rendah. Sistem Pemasyarakatan Menurut G. Suyanto (1981: 53), baru dapat dikatakan suatu sistem apabila sistem itu telah ditunjang oleh suatu sarana . Jadi apabila belum ditunjang oleh sarananya maka itu belum dapat dikatakan adanya suatu sistem. Maka apabila sistem itu ditunjang oleh sarana yang baik/sempurna, maka sistem itu juga dikatakan sistem yang baik/sempurna. Sebaliknya suatu sistem yang hanya ditunjang oleh sarana yang tidak/kurang baik atau kurang sempurna, maka sistem itu juga suatu sistem yang tidak/kurang baik atau kurang sempurna. Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, disamping berperan sebagai aparat penegak hukum, petugas pemasyarakatan hakekatnya juga berstatus pegawai negeri. Dalam UU tersebut yang termasuk pegawai negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI dan Anggota Polri. Petugas pemasyarakatan pada akhirnya juga terikat oleh ketentuan yang mengatur segala hal yang berkaitan dengan pegawai negeri. Mengenai kewajiban pegawai negeri, seperti yang tercantum dalam ketentuan, pasal 5 UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menyatakan bahwa setiap pegawai negeri wajib setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, serta wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian ada ketentuan yang menyatakan bahwa setiap Pegawai Negeri wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab. Juga ditegaskan bahwa : (1) setiap Pegawai Negeri wajib menyimpan rahasia jabatan dan (2) Pegawai Negeri hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan kepada dan atas perintah pejabat yang berwajib atas kuasa undangundang.
4 Pengertian dan Sejarah Adanya Pembebasan Bersyarat. Pada waktu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbentuk pada Tahun 1881, ketentuan yang mengatur masalah Pembebasan Bersyarat di dalam KUHP kita itu hampir sepenuhnya sama dengan ketentuan yang mengatur masalah penempatan di bawah suatu parole di dalam penal servitude Inggris, seperti yang dikemukakan oleh P A F Lamintang (1994:254) dimana telah ditentukan bahwa yang dapat dibebaskan secara bersyarat itu hanya orang-orang yang telah dijatuhi pidana penjara, yang telah menjalankan tiga perempat dari masa pidana mereka, dan tiga per empat dari masa pidana tersebut sekurang-kurangnya adalah tiga tahun. Tujuan Diberikannya Pembebasan Bersyarat. Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat selain harus bermanfaat bagi pribadi dan keluarga narapidana juga tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan rasa keadilan. Oleh karena itu dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut diatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi narapidana untuk memperoleh Pembebasan Bersyarat. Prosedur Pengusulan PembebasanBersyarat. Apabila seorang narapidana ingin mendapatkan program Pembebasan Bersyarat maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundangan yang berlaku. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi adalah : a. Syarat umum yaitu narapidana tersebut berkelakuan baik selama menjalani pidananya di dalam LAPAS, sehat jasmani dan rohani yang diperkuat oleh keterangan dokter Lembaga Pemasyarakatan setempat. b. Syarat khusus, yaitu seorang narapidana harus mempunyai pidana di atas 1 tahun telah menjalani dua pertiga dari masa pidana yang sesungguhnya atau sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan. Pada dasarnya kewenangan untuk memberikan Pembebasan Bersyarat ada pada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Adapun tata cara pemberian Pembebasan Bersyarat diatur dengan kronologi sebagai berikut : a. Tim Pengamat Pemasyarakatan [TPP] Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) setelah mendengar pendapat anggota tim serta mempelajari laporan litmas dari BAPAS atau laporan Wali Pemasyarakatan mengusulkan kepada Kepala LAPAS yang dituangkan dalam formulir yang telah ditetapkan; b. Kepala Lapas apabila menyetujui usul TPP LAPAS selanjutnya meneruskan usul tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia setempat; c. Apabila Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menyetujui usul tersebut maka dalam jangka waktu paling lama 14 [empat belas] hari terhitung sejak diterimanya usul tersebut meneruskan usul kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan d. Apabila Direktur Jenderal Pemasyarakatan menyetujui tentang usul Pembebasan Bersyarat, maka Direktur Jenderal Pemasyarakatan menerbitkan keputusan tentang Pembebasan Bersyarat Setelah dikeluarkannya Surat Keputusan, maka narapidana yang bersangkutan dapat diberikan Pembebasan Bersyarat. Hal ini berarti apabila dalam hal-hal tertentu ternyata narapidana tersebut melanggar ketentuan tentang Pembebasan Bersyarat, maka dapat dilakukan pencabutan. Pasal 24 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M-01.PK.04-10 Tahun 2007 tanggal 16 Agustus 2007 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, memberikan kriteria yang memungkinkan terjadinya pencabutan pemberian Pembebasan Pengawasan Yang Dapat Dilakukan Terhadap Pelaksanaan Pemberian Pembebasan Bersyarat di Indonesia. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 1985 ( dalam Mardjono Reksodiputro, 1994 : 63 ) ditegaskan bahwa perincian tugas pengawasan adalah antara lain : 1. Mengadakan “checking on the spot” paling sedikit 3 (tiga) bulan sekali;
5 2. Menilai apakah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan sudah mengerti bahwa "pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia; 3. Mengadakan wawancara langsung dengan para narapidana mengenai hal ihwal perlakuan terhadap dirinya; dengan maksud mengawasi ". …apakah pembinaan terhadap narapidana benar-benar manusiawi sesuai prinsip-prinsip pemasyarakatan, yaitu antara lain apakah narapidana memperoleh hak-haknya….” METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah aparatur atau petugas Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Sungguminasa dan narapidana yang sementara menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Sungguminasa Sampel dalam penelitian ini ditetapkan dengan menggunakan system non random sampling yaitu petugas Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Sungguminasa sebanyak 3 orang, dan narapidana yang dipidana di atas 1 tahun yang sudah menjalani 2/3 dari masa pidana atau sudah menjalani pidana 9 [Sembilan] bulan 38 orang. Teknik Pengumpulan Data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Penelitian Kepustakaan (Librari Research) Penelitian ini dilakukan dengan Pengumpulan data sekunder dengan membaca bukubuku/literatur yang menjadi landasan teori dari topik yang diteliti, hal lain juga dilakukan dengan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, serta tulisan-tulisan para ahli dan dokumen-dokumen yang ada relevansinya dengan penelitian yang dilaksanakan; 2. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data empiris dengan cara observasi, wawancara (interview), dan mengedarkan kuesioner pada sample yang telah ditetapkan. 3. Wawancara yaitu mendatangi responden dengan melakukan tanya jawab secara langsung, tipe pertanyaan teratur dan jelas ditujukan kepada responden. Analisis Data. Data yang dihimpun dengan cara mengumpulkan bahan penelitian, kemudian dikelompokkan kedalam bahan penelitian, urgensi dan relevansinya dengan objek penelitian, kemudian diolah dengan cara data diseleksi, diklarifikasi secara sistimatis, logis dan yuridis dengan maksud untuk mendapatkan gambaran umum dan spesifik mengenai objek penelitian. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu analisis terhadap isi atau analisis isi dari penelitian (content analysis). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penerapan Prinsip Akuntabilitas Dalam Pemberian Hak Pembebasan Bersyarat Akuntabilitas kinerja di Lembaga Pemasyarakatan adalah perwujudan kewajiban Lembaga Pemasyarakatan untuk mempertanggung jawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi lembaga pemasyarakatan dalam mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Seluruh petugas pemasyarakatan pada semua tingkatan harus memahami bahwa mereka harus mempertangung jawabkan hasil kerja kepada masyarakat. Untuk mengukur kinerja petugas secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas. Sistem akses informasi yang transparan, informasi data yang akurat, pengawasan perlu diperketat dan hasil audit harus dipublikasikan, serta apabila terdapat kesalahan harus diberi sanksi. Instrumen dasar akuntabilitas dalam lembaga pemasyarakatan adalah peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Sedangkan instrumen pendukung guna pembinaan narapidana yaitu pemberian hak pembebasan
6 bersyarat maka diterbitkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi Pembebasan bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Selain itu instrumen pendukungnya adalah etos kerja petugas pemasyarakatan, dan sistem pemantauan kinerja pemasyarakatan dan sistim pengawasan dengan sanksi yang jelas dan tegas. Untuk mengetahui tingkat penerapan prinsip akuntabilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Sungguminasa dapat diukur melalui sejumlah indikator yaitu : adanya akses informasi dan data informasi secara akurat tentang program-program pembinaan di lembaga pemasyarakatan, meningkatnya kepercayaan dan kepuasan masyarakatan terhadap keberadaan Lapas, tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara aktif dalam program pembinaan di Lapas, dan berkurangnya kasus-kasus KKN di dalam Lapas. Indikator minimal yang dapat digunakan untuk mengetahui pelaksanaan pemberian hak pembebasan bersyarat di Lapas Wanita Sungguminasa yaitu : 1. Pertanggung jawaban pihak Lapas dalam mengusulkan pemberian hak pembebasan bersyarat; 2. Kewenangan pihak Lapas dalam mengusulkan pemberian hak pembebasan bersyarat; 3. Evaluasi jumlah narapidana yang memenuhi syarat yang sudah diusulkan pembebasan bersyarat; Sehubungan dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan instrumen Undang-Undang Nomor 28 Tahun1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Seiring dengan tekad pemerintah tersebut di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Sungguminasa belum sepenuhnya menjalankan asas Tertib Penyelenggaraan Negara dengan baik. Disini peneliti hanya meneliti dalam kegiatan pemberian hak Pembebasan Bersyarat bagi narapidana. Dimana dalam asas Tertib Penyelenggaraan Negara terdapat 3 (tiga) indikator yaitu : 1. Keteraturan pemberian hak pembebasan bersyarat. 2. Keserasian pemberian hak pembebasan bersyarat. 3. Keseimbangan narapidana dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Pertama Aspek Keteraturan, yang penulis maksud dari aspek keteraturan dalam penelitian ini bahwa keteraturan pemberian hak pembebasan bersyarat bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Sungguminasa. Indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat keteraturan dalam pelaksanaan pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Sungguminasa menggunakan alat ukur yaitu bahwa hak pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif. Jumlah narapidana pada Tanggal 18 Pebruari 2010 yaitu sebanyak 60 orang sedangkan yang memenuhi syarat untuk diusulkan pembebasan bersyarat berjumlah 38 orang, sedangkan yang sudah mendapatkan pembebasan bersyarat mulai bulan Pebruari 2010 sampai dengan sekarang berjumlah 25 orang, jadi tidak semua narapidana tersebut diberikan hak pembebasan bersyarat. Seorang narapidana menuturkan bahwa dirinya sedang diusulkan memperoleh pembebasan bersyarat. Informasi tentang pembebasan bersyarat diperolehnya dari keterangan petugas yang menangani pengusulan PembebasanBersyarat. Meski diakuinya agak berat, saat ini keluarga dan dirinya sedang memikirkan dan mengusahakan sejumlah biaya untuk keperluan tersebut. Adapun persyaratan yang telah ia kumpulkan antara lain, surat jaminan dan pernyataan dari pihak keluarga yang diketahui oleh Kepala Kelurahan tempat tinggalnya. Narapidana lain menuturkan bahwa sepengetahuannya memang diperlukan sejumlah biaya untuk pengusulan pembebasan bersyarat. Ia juga sedang diusulkan untuk mendapat pembebasan bersyarat. Namun karena telah sering membantu petugas, dia mendapat keringanan biaya dalam hal pengurusan tersebut. Ditambahkannya bahwa sebenarnya petugas mau membantu narapidana yang mengalami kesulitan biaya pada saat hendak mengusulkan pembebasan bersyarat yaitu dengan cara mensubsidi silang biaya dari narapidana yang mampu. Tetapi menurutnya banyak dari narapidana yang kurang mampu itu tidak cukup terbuka menceritakan kesulitannya kepada petugas.
7 Upaya untuk Mengoptimalkan Pemberian Hak Pembebasan Bersyarat. Apa yang terjadi dalam sistem peradilan ternyata menimbulkan dampak di dalam pelaksanaan sistem pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Kekeliruan paradigma yang terlanjur terbentuk di kalangan petugas pemasyarakatan yang ikut mengambil keuntungan dari situasi yang ada. Menurut Moh Mahfud MD (2004:49) jika dibagi berdasarkan spekulasi dalam presentase yang wajar, maka kebocoran hukum dan peradilan kita secara merata masingmasing 25 persen oleh empat lembaga (catur wangsa) penegak hukum yakni jajaran kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pengacara. seperti yang dikenal sebagai istilah jual beli perkara ataupun mafia peradilan. Dan ini berarti bahwa minimal 50 persen persoalan ada di lembaga eksekutif karena kepolisian dan kejaksaan sepenuhnya berada di bawah lembaga eksekutif. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi kinerja petugas pemasyarakatan, sehingga penyimpangan dalam sistem peradilan pidana pun benar-benar dapat dikatakan sudah terintegrasi. Untuk itu Direktur Jenderal Pemasyarakatan mengambil langkah-langkah dalam upaya untuk menindak lanjuti Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indoesia Nomor : M.01-PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat dan untuk meminimalisir penyimpangan dalam hal pembinaan narapidana maka Direktur Jenderal Pemasyarakatan menerbitkan surat Nomor E.PK.04.10–16 tertanggal 08 Nopember 2007 perihal memberikan bantuan dana Optimalisasi Pemberian Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat sebesar Rp. 35.000,- untuk setiap satu orang narapidana yang diusulkan PB, CMB, maupun CB. KESIMPULAN Berdasarkan uraian dari bab terdahulu maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Penerapan prinsip Akuntabilitas dalam pemberian hak Pembebasan Bersyarat belum dilaksanakan dengan optimal, hal tersebut dapat dilihat dari pertanggung jawaban pihak Lembaga Pemasyarakatan dalam hal pengusulan narapidana yang telah memenuhi persyaratan tidak seluruhnya diusulkan. 2. Faktor – faktor yang berperan tidak akuntabilitas dalam pelaksanaan pemberian Pembebasan Bersyarat berdasarkan indeks presepsi responden dapat penulis urutkan diantaranya yaitu : Biaya mahal, Proses pengusulan untuk memperoleh pembebasan bersyarat bagi narapidana, masih belum dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang diatur dalam peraturan perundangundangan, Kebijakan pentahapan dalam proses pemberian pembebasan bersyarat pada kenyataannya membutuhkan waktu yang cukup lama, Hambatan dalam proses pemberian pembebasan bersyarat sudah sangat kompleks, dan kendala lain yang menjadi penghambat dalam proses pemberian Pembebasan Bersyarat adalah kurangnya kepedulian instansi terkait yang masih menekankan pada kebijakan masing-masing. DAFTAR PUSTA KA G Suyanto, 1981, Selik Beluk Pemasyarakatan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta; Hendharjanto I.D, 2000, Himpunan Hasil Penelitian : Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan Perundang-Undangan RI, Jakarta Jimly Asshiddiqie, 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi Rid an Pusat Study Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta; Jimly Asshiddiqie, 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan Hak Asas Manusia, Konstitusi Press, Jakarta;
8 Mardjono Reksodiputro, 1994. Hak Asasi Manusia dalam Sistim Peradilan Pidana, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia , Jakarta; Moh Mahfud Md, 2004. Langkah Politik dan Bingkai Paradikma Penegakan Hukum Kita, Pasca, Jakarta; PAF Lamintang, 1984. Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung; Sedarmayanti, 2002. Peningkatan Profesionalisme Aparatur dalam Pengembangan Strategi Pelayanan Prima, Properti, Bandung; Thoha Miftah, 2002 Prespektif Perilaku Birokrasi : Dimensi – dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara Jilid II. PT Raja Grafindo Persada Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Lembar Negara Nomor 169 Tahun 1999, Jakarta; Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, Tentang Pemasyarakatan, Lembar Negara Nomor 77 Tahun 1995, Jakarta;