PEMBEBASAN BERSYARAT SEBAGAI UPAYA PEMBINAAN NARAPIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
Maskuri (104043201368)
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
PEMBEBASAN BERSYARAT SEBAGAI UPAYA PEMBINAAN NARAPIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Studi Kasus Di Rutan Klas I Salemba) Skripsi Diajukan kepada fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) Oleh:
Maskuri (104043201368)
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. H. A. Mukri Adji, MA.
Dedy Nursamsi, SH., M.Hum
NIP. 195703121985031003
NIP. 150 264 001
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/1431 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “PEMBEBASAN BERSYARAT SEBAGAI UPAYA PEMBINAAN NARAPIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM” telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Mei 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum. Jakarta, 20 Mei 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP: 19550505191982031012 PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Dr. H. A. Mukri Aji, MA. NIP: 195703121985031003
(…...……………..……)
2. Sekretaris
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. NIP: 196511191998031002
(…...……………..……)
3. Pembimbing I : Dr. H. A. Mukri Aji, MA. NIP: 195703121985031003
(…...……………..……)
4. Pembimbing II : Dedy Nursamsi, SH., M. Hum. NIP: 196111011993031002
(…...……………..……)
5. Penguji I
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. NIP: 196511191998031002
(…...……………..……)
6. Penguji II
: H. Ah. Azharudin Latif, M. Ag., MH NIP: 197407252001121001
(…...……………..……)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Mei 2010
Masykuri
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang tak terhingga kepada Dzat Yang Maha Agung, penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan segala karunia dan nikmatNya, kesehatan jasmani dan rohani, serta kekuatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “Pembebasan Bersyarat Sebagai Upaya Pembinaan Narapidana dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam” sebagai syarat akhir untuk mencapai Gelar Sarjana Syariah (S1) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum konsentrasi Perbandingan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat seiring salam tak lupa penulis haturkan kepada suri tauladan umat Islam, baginda Nabi Muhammad SAW. beserta para keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang telah memberikan tuntunan menuju jalan yang terang (ilmu pengetahuan) dengan akhlak yang mulia. Suksesnya penyelesaian penulisan skripsi ini, penulis menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa dalam hal ini banyak pihak yang telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi penulis baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum sekaligus sebagai pembimbing yang telah memberikan arahan,
i
bimbingan, masukan dan nasehat yang amat memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum. 4. Dedy Nursamsi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing, yang telah memberikan perhatian, bimbingan, arahan dan masukan yang berarti selama proses penulisan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu dosen, yang telah mengamalkan ilmunya kepada penulis selama dalam studi semoga keberkahan ilmunya akan tetap mengalir. Amiin. 6. Staf dan Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam penulisan skripsi. 7. Bapak Marotib dan pihak Rutan Klas I Salemba yang telah membantu memberikan data-data yang penulis butuhkan demi selesainya skripsi ini. 8. Ayahanda dan Ibunda tercinta H. Sahlan Hasan, Lc., dan Hj. Nunung, H., yang penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Amiin. Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun materil penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT., membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah ii
surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak. Amin
Jakarta:
2 April 2010 M 17 Rabiul Tsani 1431 H
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv BAB I: PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah ………………………………………. 1 B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ……………….. 7 C. Tujuan dan Menfaat Penelitian ………………………………. 8 D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu …………………………. 9 E. Metode Penelitian …………………………………………….. 11 F. Sistematika Penulisan ………………………………………… 15
BAB II :
TINJAUAN UMUM TENTANG SISTEM PEMIDANAAN MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM …… 17 A. Pidana dan Pemidanaan ……………………………………... 17 B. Persamaan dan Perbedaan Sistem Pemidanaan Antara Hukum Positif Dan Hukum Islam …………………………………….. 35
BAB III :
PEMBINAAN
NARAPIDANA
DAN
PEMBEBASAN
BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM ………………………………………………. 37 A. Pembinaan Narapidana ...…………………………………….. 37 iv
B. Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam ………………………………………………..... 45
BAB IV :
ANALISA
HUKUM
POSITIF
DAN
HUKUM
ISLAM
TENTANG PEMBEBASAN BERSYARAT ………………. 62 A. Analisia Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Positif …………………………………….………………….. 62 B. Analisia Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Islam …………………………………………………….…..... 76 BAB V
: PENUTUP …………………………………………………….… 78 A. Kesimpulan …………………………………………………… 78 B. Saran-Saran ………………………………………………….... 80
Daftar Pustaka ………………………………………………………………..... 81 Lampiran
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang “Penjara”, “Bui”, “Jeruji Besi”, “Hotel Prodeo”, “Rutan”, dan “Lapas” (Lembaga Pemasyarakatan). Mungkin masyarakat umum sudah tahu dan dapat terbayang begitu mendengar beberapa atau salah satu kosa kata tersebut dan sangat mengenal siapa yang menjadi penghuni tempat tersebut. Kejahatan, pembunuhan, pencurian, perampokan, pemerkosaan, dan lain sebagainya yang merupakan beragam tindakan pidana yang membuat para pelakunya mendekam dan mengenyam “pendidikan” di dalamnya sehingga mendapat “gelar” Narapidana (NAPI) di akhir “masa kelulusannya” (bebas), atau bisa jadi mendapatkan “gelar” yang lebih tingkatannya yakni “Residivis” jika sang pelaku kembali dan berulang kali (keluar masuk) menjadi penghuni tempat tersebut. Sungguh sangat memprihatinkan memang, jika akhir-akhir ini kita mendengar bahwa di negara kita yang tercinta ini sering kali terjadi peristiwaperistiwa pidana terlebih lagi isu terorisme yang yang kita dengar atau kita saksikan melalui tayangan televisi atau media lainnya yang sangat meresahkan masyarakat. Tidak saja dilakukan oleh orang-orang yang dewasa bahkan pelakunya tidak jarang pula melibatkan anak di bawah umur. Sehingga tidak heran
apabila
kemudian
terdengar 1
kabar
bahwa
sejumlah
Lembaga
2
Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia mengalami “over capasity” yang akan berpengaruh pada tingkat pengawasan, kecermatan, dan kewaspadaan para petugas Lapas akibat kondisi tersebut. Dapat diyakini bahwa semakin tinggi peradaban manusia di zaman era serba modern ini tak peduli murni atau atau barunya suatu masyarakat tertentu, tindak pidana akan tetap dilakukan meskipun ada tingkat perbedaannya, oleh karena itu kita sangat perlu meneliti masalah-masalah kriminal ini dan sebabsebab yang mempengaruhinya, mempelajari orang-orang yang melakukan tindak pidana ini juga bersifat kejiwaan, untuk mencegah meningkatnya kriminalitas pada masa yang akan datang oleh karena itu masyarakat tidak sepenuhnya dipersalahkan seutuhnya demikian pula tatanan kelembagaan sosial, para pemimpin serta anggota masyarakat yang membantu dan merangsang timbulnya suatu tindak pidana tertentu. 1 Oleh karena itu ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat itu, peraturan-peraturan ini dikeluarkan oleh suatu badan yang berkuasa dalam masyarakat itu yang disebut pemerintah namun walaupun peraturan-peraturan ini telah dikeluarkan, masih ada saja orang yang melanggar peraturan-peraturan, misalnya dalam hal pencurian yaitu mengambil barang yang dimiliki orang lain dan yang
1
Cet.1, h. 1
Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),
3
bertentangan dengan Hukum (KUHP Pasal 362) terhadap orang ini sudah tentu dikenakan hukuman yang sesuai dengan perbuataannya yang bertentangan dengan
hukum
itu,
segala
peraturan-peraturan
tentang
pelanggararan
(overtredingen), kejahatan (misdrijven) dan sebagainya, diatur oleh hukum pidana (strafrecht) dan dimuat dalam satu kitab undang-undang yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang disingkat “KUHP”(Wvs). 2 Dalam Islam pun kepatuhan kepada peraturan pemerintah dalam kebaikan adalah suatu kewajiban:
⌧
(59 :4 \)اﻟﻨﺴﺎء ⌧ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa/4: 59) Hal ini tentu membutuhkan kerjasama yang baik dari segala pihak. Dengan kesadaran masyarakat akan peraturan yang ada serta aparat hukum yang menjalankan kewajibannya dengan baik maka paling tidak mengurangi deretan kejahatan atau tindak pidana yang tidak hanya merugikan korban tetapi juga
2
CST. Kansil dan Cristine S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Jilid 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), Cet. Ke-2, h. 89.
4
merugikan masyarakat lainnya dan juga negara. Karena pemerintah harus memikirkan pula berapa anggaran negara yang harus di alokasikan untuk mengatasi masalah yang diakibatkan oleh pelaku atau narapidana. Menghukum narapidana di jeruji besi hingga “kapok” bukan satu-satunya cara mengentaskan kejahatan. Prinsip ‘memelihara napi selama mungkin di penjara’ sudah waktunya dihilangkan. Penjara sudah mengalami overcapacity. Kerisauan atas overcapacity Lapas sudah menjadi keprihatinan banyak pihak. Betapa tidak, kondisi demikian diyakini turut andil memicu terjadinya kekerasan di balik jeruji besi. Gonta-ganti Menteri dan pejabat bidang pemasyarakatan, problem ini masih belum terselesaikan. Hingga, para penghuni penjara yang tergabung dalam Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI), ikut bersuara lewat rilis Prof. Rahardi Ramelan yang menyampaikan bahwa “Menhuk HAM hendaknya segera mengakhiri prinsip memelihara napi selama mungkin di penjara”. 3 Mengakhiri prinsip ‘memelihara napi selama mungkin di penjara’, bagi NAPI, terkait dengan kelebihan kapasitas tadi. Semakin lama seseorang di penjara, semakin menambah jumlah penghuni penjara dan semakin menambah beban anggaran Pemerintah. Hukuman lama belum tentu menimbulkan efek jera. Buktinya, penghuni Lapas terus bertambah. 4 Untuk menuntaskan problem kelebihan penghuni Lapas tadi, khususnya di kawasan Jabodetabek, maka 3
Pembebasan Bersyarat, Peluang Napi yang Sarat Arti, diakses pada tanggal 26 J uli 2009 dari http://www.hukumonline.com/ detail.asp?id=17359&cl=Fokus 4
Ibid.
5
dilakukan satu langkah yakni dengan menyebar napi dari Jakarta ke beberapa daerah yang kapasitasnya belum terlalu penuh. Kebijakan ini juga dimaksudkan untuk meminimalisir aksi kekerasan di dalam penjara. Sementara yang diusung oleh NAPI dalam usulannya yakni salah satu cara efektif mengurangi penghuni Lapas adalah mengefektifkan pembebasan bersyarat. Secara umum, Pembebasan Bersyarat adalah memberi hak kepada seorang napi untuk menjalani masa hukuman di luar tembok penjara. Syaratnya: hukuman yang dikenakan lebih dari sembilan bulan, sudah menjalani 2/3 masa hukuman, plus berkelakuan baik selama dalam masa ‘pembinaan’. Pasal 1 angka (7) PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan menyimpulkan: pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar Lapas setelah menjalani sekurang-kurang 2/3 masa pidana dari minimal sembilan bulan. Intinya, yang berhak mendapat hak pembebasan bersyarat. Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Pemasyarakatan mengenai hak-hak narapidana, yaitu: 1.
Hak untuk melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaannya
2.
Hak untuk mendapatakan perawatan baik perawatan jasmani maupun rohani.
3.
Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran
4.
Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
5.
Hak untuk menyampaikan keluhan
6.
Hak untuk mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masa yang lainnya yang tidak dilarang
7.
Hak untuk mendapatkan upah premi atas pekerjaan yang dilakukan
8.
Hak untuk mendapatkan kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya
6
9.
Hak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
10. Hak
untuk
mendapatkan
kesempatan
berasimilasi
termasuk
cuti
mengunjungi keluarga 11. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat 12. Hak untuk mendapatkan cuti menjelang bebas 13. Mendapatkan hak-hak lainnya sesui dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5 Meskipun dalam peraturan perundang-undangan sudah mengakomodir tentang pembebasan bersyarat, namun dalam pelaksanaannya menyisakan permasalahan terkait bagaimana sebenarnya aturan bakunya, bagaimana sosialisasinya, bagaimana prosedurnya dan bagaimana dan siapa yang melakukan pengawasannya? Jangan sampai aturan-aturan yang ada menjadi kabur, sosialisasinya kurang sehingga napi tidak tahu menau tentang pembebasan bersyarat yang akan melanggar hak-hak napi, serta pengawasan para petugas terhadap napi yang mendapatkan bebas bersyarat menjadi lengah yang mengakibatkan napi seperti terpidana korupsi perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) David Nusa Wijaya melenggangkanggkung hingga ke Hong Kong di tengah menjalani hukuman. Permasalahan-permasalah seperti inilah yang harus dicermati. Dari berbagai persoalan-persoalan di ataslah yang melatarbelakangi penulis mengangkat permasalahan dalam bentuk skripsi dengan judul: “Pembebasan Bersyarat Sebagai Upaya Pembinaan Narapidana dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”. 5
h.7-8.
Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Pemasyarakatan, (Jakarta: Haevarindo, 2000),
7
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah. 1. Pembatasan Masalah Penelitian ini hanya dibatasi pada masalah Pembebasan Bersyarat Sebagai Upaya Pembinaan Narapidana yang dikaji dari sudut pandang Hukum Perundang-Undangan Indonesia dan Hukum Pidana Islam. Tujuan dari pada pembatasan masalah ini adalah agar dalam pembahasan masalah ini tetap fokus pada pelaksanaan pembebasan bersyarat saja tidak melebar pada permasalahan yang lain dan juga berfokus pada pengkajian dari dua sudut pandang hukum saja yaitu Hukum Positif di Indonesia dan sudut pandang Hukum Islam. 2. Perumusan Masalah Dari uraian-uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan, yaitu sebagai berikut: a. Bagaimana konsep tentang bebas bersyarat dalam Hukum Positif dan Hukum Islam? b. Bagaimana penerapan pemberian bebas bersyarat kepada narapidana sebagai salah satu upaya pembinaan narapidana? c. Bagaimana analisis Hukum Positif dan Hukum Islam tentang penerapan pembebasan bersyarat?
8
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Umum (Manfaat Penelitian) Tujuan daripada penelitian ini yakni memberikan pemahaman kepada masyarakat pada umumnya tentang sistem pembebasan bersyarat yang dapat diberikan oleh negara kepada narapidana berdasarkan syarat-syarat tertentu dan
prosedur
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan,
sehingga
masyarakat mengerti tentang sistem pemidanaan secara praktis di Indonesia dan dapat membandingkannya dengan konsep pembebasan bersyarat dalam Hukum Islam.
Selain itu, manfaat dari penelitian ini dapat memberikan
kontribusi pendidikan dan menambah khazanah keilmuan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum khususnya, dan untuk masyarakat lain umumnya.
2.
Tujuan Khusus. a. Untuk mengetahui bagaimana konsep tentang bebas bersyarat dalam Hukum Positif dan Hukum Islam. b. Untuk mengetahui bagaimana penerapan pemberian bebas bersyarat kepada narapidana sebagai salah satu upaya pembinaan narapidana. c. Untuk mengetahui bagaimana analisis Hukum Positif dan Hukum Islam tentang pelaksanaan pembebasan bersyarat.
9
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Dalam tinjauan (review) kajian terdahulu, penulis mereview beberapa skripsi terdahulu yang berhubungan dengan pembebasan bersyarat agar tidak terjadi plagiasi atau penjiplakan, yakni diantaranya: 1.
Pembebasan Bersyarat: Bagian Dari Proses Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Yang Terpadu (Intergrated Criminal Justice System), oleh Agustinus Purnomo Hadi, Pogram Studi Ilmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1999, mengemukakan kelemahan komponen substansial dan komponen struktural dalam sistem peradilan pidana yang berhubungan dengan pembebasan bersyarat dan persyaratan waktu ideal yang harus dijalani di Lembaga Pemasyarakatan bagi Narapida yang akan diberikan pembebasan bersyarat.
2.
Implementasi kebijakan Departemen Hukum dan HAM RI Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas Dan Cuti Bersyarat Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Bekasi, oleh Rio Chaidar, Program Studi Kajian Ketahanan Nasional, Pasca Sarjana Universitas Indonesia 2008, yang menganallisi implementasi kebijakan asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat yang diberikan kepada narapidana di Lapas Bekasi dan menganalisis faktor-faktor penghambat yang di hadapi dalam pelaksanaannya ditinjau dari faktor komunikasi, kecenderungan (sikap), dalam hal ini penulis hanya membatasi ruang lingkup objek penelitian
10
sumber-sumber birokrasinya hanya di Lapas kelas II Bekasi saja dan intisari dari skripsi ini lebih membicarakan Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas Dan Cuti Bersyarat walaupun ada sedikit persamaan dengan skripsi yang saya buat mengenai pembebasan bersyarat tapi penulis lebih cenderung menerangkan kepada pembebasan bersyarat bersyarat secara umum sesuai dengan implementasi dan kebijakan departemen hukum dan HAM RI dan penggabungan dari kebijakan-kebijakan lainnya dan tidak ada unsur pembinaan dari pembebasan bersyarat tersebut baik yang ditinjau dari hukum positif maupun hukum Islam sehingga terlihat perbedaannya 3.
Manajemen Pembinaan Rohani Islam Pada Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Dan Wanita Tangerang, oleh Trisna Widiastuty, Program Studi Manajemen Dakwah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, menjelaskan bagaimana manajemen tentang pelaksanaan pembinaan rohani kepada para narapidana di Lapas anak dan wanita Tangerang dalam hal ini penulis lebih mengemukakan pembinaan mental dan rohani para narapidana lapas khususnya pembinaan rohani Islam.
4.
Peran Bimbingan Rohani Islam Dalam Pembinaan Mental Dan Akhlak Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, oleh Indriati, Program Studi Pendidikan Agama Islam, UIN Syarif Hidayatulla Jakarta, 2003, yang menjelaskan tentang bagaimana peranan pemberian bimbingan rohani di Lapas Cipinang dalam pembinaan mental dan akhlak para narapidana.
11
Dari review skripsi dan karangan (buku) terdahulu penulis tidak menemukan skripsi yang membahas mengenai materi yang terkandung dalam judul yang penulis angkat yakni mengenai kajian normatif Pembebasan Bersyarat Sebagai Upaya Pembinaan Narapidana yang dikaji melalui dua sudut pandang yang perspektif Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam, kemudian melakukan kajian komparatif atau perbandingan antara keduanya. Dari beberapa literatur review di atas, maka terlihat perbedaan inti pembahasan permasalahannya sehingga penulis optimis dalam menyelesaikan tulisan.
E. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan data penelitian. 6 1. Metode Pendekatan Untuk melakukan penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektifitas hukum, maka pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan metode normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka 7 yang berdasarkan pada materi pembahasan tentang teori-teori yang penulis teliti.
6
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, cet. Ke-XI (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), ed. Revisi IV, h. 151. 7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, cet. Ke-II, (Jakarta: CV Rajawali, 1986), h. 15.
12
2. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan analitis, dan pendekatan perbandingan, yaitu dengan melakukan pengkajian, menganalisa dan membandingkan peraturan/ hukum yang berhubungan dengan sentral penelitian. 8
3. Data Penelitian a. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 9 1) Primer yaitu bahan-bahan yang mengikat, yakni data-data yang diperoleh dengan mengadakan wawancara secara mendalam yakni antara lain kepada Pejabat dan Petugas di Rutan Klas 1 Salemba serta pihak terkait. 2) Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan primer, yakni yang terdiri dari: a. Data Bahan Hukum Primer; yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam penelitian, yakni berupa Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, PP No. 31 Tahun 1999 8
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-III, (Malang: Bayu Media Publishing, 2007), ed. Revisi, h. 300. 9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, h. 15, lihat juga Bambang Subagyo, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, cet. Ke-VI, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), ed. I, h. 113.
13
Tentang
Pembinaan
dan
Pembimbingan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan, PP No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Kepmen Kehakiman No. M.01.PK.04-10 Tahun 1999 Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat Dan Cuti Menjelang Bebas, dan sebagai sumber
bahan
data
dalam
hukum
Islam
maka
penulis
menggunakan Al-Qur’an, Hadits, Fiqh dan literatur lainnya yang relevan dengan permasalahan. b. Data Bahan Hukum Sekunder; yaitu bahan hukum yang memeberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti artikel, skripsi, tafsir, kitab-kitab literatur fiqh baik klasik maupun kontemporer dan buku-buku kepustakaan hasil seminar. c. Data Bahan Hukum Tertier; yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus (hukum) dan ensiklopedia.
c. Teknik Pengumpulan Data Untuk dapat mengumpulkan data-data yang diperlukan maka penulis menggunakan alat pengumpul data atau instrument penelitian yakni
alat
atau
fasilitas
yang
digunakan
oleh
peneliti
dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih
14
baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. 10 Adapun instrument atau alat pengumpul data yang digunakan oleh penulis berupa studi dokumentasi/pustaka, yaitu mencari dan mengumpulkan data-data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, hasil seminar dan sumber lainnya atau literatur yang terkait dan relevan dengan objek penelitian.
5. Metode Analisis Data Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan penulis menggunakan metode deskriptif analisis dan metode komparatif. Yang dimaksud dengan metode deskriptif analisis yaitu metode yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu gejala suatu masyarakat tertentu. 11 Yakni dengan mengumpul-kan dan menganalisa data-data yang diperoleh dan faktor-faktor yang merupakan pendukung dan relevan terhadap objek yang diteliti sehingga dapat ditarik kesimpulan dari hal yang dijadikan objek penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan metode komparatif yaitu metode perbandingan, artinya metode ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan
10 11
Prof. Dr. Suharsimi Arikunto,. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, h. 151.
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian, Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 104.
15
masing-masing sistem hukum yang diteliti. 12 Dalam skripsi ini yang menjadi perbandingan adalah sistem Hukum Positif di Indonesia dengan sistem Hukum Islam. Data yang diklasifikasikan maupun dianalisa untuk mempermudah dan menghadapkan pada pemecahan masalah (problem solving). Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis isi secara kualitatif (Qualitative Content Analysis). Dalam analisis ini semua data yang dianalisis berupa teks. Analisis isi kualitatif digunakan untuk menemukan, mengidentifikasi dan menganalisa teks atas dokumen untuk memahami makna, signifikansi dan relevansi teks atau dokumen.
5. Teknik Penulisan Adapun teknik dalam penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku "Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007".
F. Sistematika Penulisan Dalam melakukan penelitian ini penulis memberikan gambaran tentang bagian-bagian dari penelitian yang disusun sebagai berikut:
12
Amirudin, dan H. Zainal Asikin, Metode Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cet. I., ed. I, h. 130.
16
Bab I : Menguraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab II : Menjelaskan tentang tinjauan umum tentang sistem pemidanaan dan pidana penjara dalam Hukum Positif dan hukum Islam serta persamaan dan perbedaannya. Bab III : Menggambarkan tentang pembinaan narapidana dan pembebasan bersyarat dalam perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam. Bab IV : Memaparkan analisa antara Hukum Positif dan Hukum Islam tentang pembebasan bersyarat dalam pembinaan narapidana. Bab V : Memaparkan suatu kesimpulan dari penelitian dan saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SISTEM PEMIDANAAN MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Pidana dan Pemidanaan 1.
Pengertian Umum Pidana dan Pemidanaan Sehubungan dengan pengertian pidana Soedarto mengemukakan bahwa
yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 1 Sedangkan Roeslan Saleh menyatakan pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang disengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik itu. 2 Namun selanjutnya Roeslan Saleh menyatakan bahwa memang nestapa ini bukanlah suatu tujuan yang terakhir yang dicita-citakan masyarakat. Dari beberapa definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: a) Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); dan c) Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau Badan Hukum (korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. 3 1
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1984), h. 2. 2
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru), h. 9.
3
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijkan Pidana, h. 2-4.
17
18
Namun, tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya adalah suatu penderitaan atau nestapa. Menurut Hulsman, hakikat pidana adalah “menyerukan untuk tertib” (lot de orde reopen). Pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan utama yakni untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding)
dan
penyelesaian
konflik
(confloctoplossing).
Penyelesaian konflik ini dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama manusia. Demikian pula GP Hoefnagels tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana merupa-kan suatu pencelaan (cencure) atau suatu penjeraan (discouragement) atau merupakan suatu penderitaan (suffering). Pendapat ini bertolak pada pengertian yang luas bahwa sanksi dalam hukumpidana adalah semua reaksi pada pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh undangundang, sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh polisi sampai vonis dijatuhkan. 4 Sedangkan pengertian pemidanaan dapat diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidaan mencakup keseluruhan ketentuan perundangundangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Karena sistem pemidanaan dapat mencakup pengertian yang sangat luas, maka L.H.C. Hulsman pernah mengemukakan, bahwa sistem pemidanaan (the 4
Dwidja Priyantno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2006), cet. I, h. 8.
19
sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanctions and punishment). 5 Sedangkan dalam hukum pidana Islam yang dimaksud dengan Pemidanaan atau Hukuman, dalam bahasa Arab disebut “uqubat”. Lafaz ini diambil dari lafaz ( )ﻋﺎﻗﺐyang sinonimnya (ًﺳﻮْاء ُ )َأنْ ﺗَﺠْﺰِي اﻟﻤَﺮْء ِﺑﻤَﺎ ﻓﻌﻞ6 , artinya: “memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan” atau (ﺳﻮْا ًء ِﺑﻤَﺎ ِﻓﻌْﻞ ُ )ﺟﺰاﻩ “membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya”. Allah swt telah menetapkan hukum-hukum uqubat (pidana, sanksi, dan pelanggaran) dalam peraturan Islam sebagai “pencegah” dan “penebus”. Selain kedua hal tersebut, pemidanaan menurut Islam juga bertujuan sebagai perbaikan dan pendidikan.
Sebagai pencegah, karena ia berfungsi
mencegah manusia dari tindakan kriminal, dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah di hari kiamat. Sistem pidana Islam sebagai “pencegah”, akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh sehingga nyawa manusia di tengah masyarakat akan dapat terjamin dengan baik. Keberadaan uqubat dalam Islam, yang berfungsi sebagai
5
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hujum Pidana, Cet. Ke-III, (T.tp: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), h. 117. 6
Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shodir, t.th), juz 1, h. 619.
20
pencegah, telah diterangkan dalam Al-Qur’an yang mengatur tentang hukuman qishash:
½l` ª¯V§¯ Þ t´8 1Ê Ü1Æ `Î ¯ ¡Þ)U t³ Ï ¡e (179 :2\ )اﻟﺒﻘﺮة°¶¸® IÆ *" Artinya: “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah/2 : 179)
2.
Tujuan Pemidanaan Mengenai tujuan pemidanaan, semula hanyalah dimaksudkan untuk
sekedar menjatuhkan pidana terhadap pelanggar hukum. Namun, dalam perkembangannya, pemidanaan selalu terkait dengan tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaan tersebut. Sebagaimana halnya dengan aliran-aliran dalam hukum pidana, pemikiran-pemikiran tentang tujuan pemidanaan berkembang dari waktu ke waktu. 7 Secara umum tujuan pemidanaan dapat dilihat dari teori-teori pemidanaan yang digolongkan secara tradisional menjadi 2 (dua), yaitu teori absolute atau teori pembalasan (retributive/ vergeldings) dan teori relative atau teori tujuan (utilitarian/ doeltheorieen). Namun, dengan perkembangan kedua teori hukum tersebut kemudian lahir teori gabungan atau integrative yang menggabungkan keduanya. 7
Agustinus Purnomo Hadi, Pembebasan Bersyarat: Bagian Dari Proses Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Yang Terpadu (Intergrated Criminal Justice System), (Tesis S2 Pogram Studi Ilmu Hukum ,Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1999), h. 35.
21
1) Teori absolute atau teori pembalasan (retributive/ vergeldings) Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est) pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagi suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut Johanes Andrenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolute ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of justice) sedangkan pengaruhpengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. Sedangkan menurut salah seorang tokoh lain dari penganut teori absolute yang terkenal ialah HEGEL yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban hukumNegara yang merupakan perwujudan dari cita-susila, maka pidana merupakan “negation der negation” (peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran). 8 2) Teori relative atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen) Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasaan masyarakat sebagai akibat dari kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal. Selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan. 9 Namun demikian, pidana juga bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu, teori inipun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi, dasar pembenaran adanya pidan menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “ne peccatur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan). 10
8
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, cet. Ke-III, (Bandung : PT. Alumni, 2005), h. 10-12. 9
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, cet. Ke-III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 106. 10
Muladi dan Barda Nawawi Arief, h. 16.
22
3) Teori integrative atau gabungan Pada dasarnya, teori gabungan adalah gabungan kedua teori di atas. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukumdalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat. Sedangkan maksud pokok dari pada pemidanaan dalam hukum pidana Islam, yakni untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena Islam itu sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia. Hukuman ditetapkan demikian untuk memperbaiki individu menjaga masyarakat dan tertib sosial. 11 Ahmad Hanafi menjelaskan bahwa tujuan pokok dalam penjatuhan ُ ْ )اﻟﺮﱠدdan pengajaran hukuman dalam syari’at Islam ialah pencegahan (ع و اﻟ ﱠﺰﺟْ ُﺮ serta pendidikan (ﺐ ُ ْح وَاﻟﺘﱠﻬْﺬِﻳ ُﻼ َ ْﻹﺳ ِ )ا. Pengertian pencegahan ialah menahan pembuat (pelaku) agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar tidak terusmenerus memperbuatnya, di samping pencegahannya terhadap orang lain selain pembuat agar ia tidak berbuat jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang memperbuat pula perbuatan yang sama. 12 Selain mencegah dan menakut-nakuti, Syari’at Islam tidak lalai untuk memberikan perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberikan pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama, 11
A. Djazuli, Fiqh Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), cet. Ke-II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 25. 12
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-V, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), h. 255.
23
sehingga penjauhan manusia terhadap jarimah bukan karena takut hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah, serta menjauhkan diri dari lingkungannya, agar mendapat ridho Tuhan. Di samping segi kebaikan pribadi pembuat, syari’at Islam, dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajiban. Karena suatu jarimah pada hakekatnya adalah merupakan perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta membangkitkan kemarahan masyarakat terhadap perbuatannya, di samping menimbulkan rasa kasih sayang terhadap korbannya, maka hukuman yang dijatuhkan atas diri pembuat tidak lain merupakan salah satu
cara
menyatakan
reaksi
dan
balasan
dari
masyarakat
terhadap
perbuatan/pembuat yang telah melanggar kehormatannya dan merupakan usaha pemenangan terhadap diri korban. Dengan hukuman itu dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami oleh pembuat, sebagai alat penyuci dirinya, dan dengan demikian maka terwujud rasa keadilan. 13 Al-Quran tidak secara jelas dan rinci menjelaskan tujuan dari penghukuman yang dijatuhkan kepada mujrim (terpidana), namun para ulama menyimpulkan bahwa tujuan penghukuman di dalam Al-Quran (Islam) mencakup salah satu dari tiga tujuan ini atau gabungan dari ketiganya, yaitu: a. Pembalasan atas kejahatan atau perbuatan pidana yang dilakukan; b. Memberi efek jera, sehingga tidak mengulangi perbuatan pidana; 13
Ibid., h. 256-257.
24
c. Mendidik dan memperbaiki pelaku perbuatan pidana; d. Ada juga yang menyatakannya untuk melindungi masyarakat, yang sebetulnya juga menjadi tujuan dari tiga tujuan sebelumnya; 14 3.
Jenis (Sistem) Pidana Dalam pelaksanaan pemidanaan, undang-undang telah mengatur hukuman
tersebut dalam 2 (dua) kelompok yakni hukuman pokok dan hukuman tambahan yang ketentuann hukumannya telah ditentukan dalam pasal 10 KUHP. Adapun hukuman Pokok terdiri atas: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, pidana tutupan (terjemahan BPHN). Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. 15 a. Pidana Pokok 1) Pidana Mati Pidana ini merupakan pidana yang paling berat menurut hukum positif di Indonesia. Bagi kebanyakan Negara, masalah pidana mati hanya mempunyai arti dari sudut kultur historis. Dikatakan demikian karena, kabanyakan Negara-negara tidak mencantumkan pidana mati ini lagi di dalam Kitab Undang-Undangnya. Sungguhpun demikian, hal ini masih menjadi masalah dalam lapangan Ilmu Hukum Pidana, karena 14
Al Yasa`Abubakar, Hukuman Penjara Dalam Perspektif Syari’at Islam Dan Perbaikan Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia, Makalah ditulis atas permintaan Panitia, Dinas Syari`at Islam Provinsi Aceh, untuk Seminar & Workshop Nasional tentang Peningkatan Pelayanan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan Ruh Syari`at Islam, Banda Aceh 2 Desember 2008). 15 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Pidana dan Pemidanaan, ed. Ke-I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), cet. Ke-II, h. 21-22.
25
adanya teriakan-teriakan di tengah-tengah masyarakat untuk meminta kembali diadakannya pidana seperti itu, dan mendesak agar dimasukkan kembali dalam Kitab Undang-Undang. 16 Meskipun terjadi perbendaan pendapat, namun ada alasan argumentasi dari pihak-pihak yang pro maupun yang kontra sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang. Adapun alasan dibenarkannya hukuman mati tersebut,
yaitu
apabila
si
pelaku
telah
memperlihatkan
dari
perbuatannya bahwa ia adalah individu yang sangat berbahaya bagi masyarakat, dan oleh karena itu dia harus dibuat tidak berbahaya lagi dengan cara dikeluarkan dari masyarakat atau pergaulan hidup. 17 Sedangkan alasan keberatan dari hukuman mati tersebut diantaranya adalah bahwa pidana ini tidak dapat ditarik kembali, jika kemudian terjadi kekeliruan. 18 Adapun kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati dalam KUHP kita misalnya: a) Maker membunuh Kepala Negara (pasal 140 ayat 4); b) Mengajak Negara asing guna menyerang Indonesia (pasal 111 ayat 2); c) Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang (pasal 124 ayat 3); 16
Ibid.
17
Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sianr Grafika, 2006), cet. Ke-III, h. 108 18
Niniek Suparni, h. 22
26
d) Membunuh Kepala Negara sahabat (pasal 140 ayat 4); e) Pembunuh dengan direncanakan lebih dahulu (pasal 140 ayat 3 dan 340); f) Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang menjadikan ada orang yang terluka berat atau mati (pasal 365 ayat 4); g) Pembajakan di laut, di pesisir, di pantai dan di kali, sehingga ada orang mati (pasal 444); h) Dalam waktu perang menganjurkan huru-hara, pemberontakan dan sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan Negara (pasal 124 bis); i) Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (pasal 127 ayat 129); j) Pemerasan dengan pemberatan (pasal 368 ayat 2).
2) Pidana Penjara Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penjara berarti bangunan tempat mengurung orang hukuman. Pidana penjara adalah salah satu jenis pidana pokok yang terdapat dalam KUHP yang berlaku sekarang (Ius Constitutum) dan RUU KUHP mendatang (Ius Constituendum). Menurut Andi Hamzah, pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan. 19 Menurut P.A.F. Lamintang, pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga
19
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1993), h. 36.
27
pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.20 Sementara dalam KUHP, pengertian pidana penjara tidak dijelaskan secara detail. Namun, dalam pasal 12 ayat (1) KUHP, hanya diterangkan bahwa pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara
minial 1 (satu) hari sampai pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara seumur hidup hanya tercantum di mana ada ancaman hukuman mati. Jadi pada umumnya pidana penjara maksimum ialah 15 tahun. Keberatan pidana seumur hidup jika dihubungkan dengan tujuan pemidanaan, yaitu untuk memperbaiki terpidana supaya menjadi masyarakat yang berguna, tidak lagi sesuai dan dapat diterima. Dapat dikatakan, bahwa pidana penjara pada dewasa ini merupakan bentuk utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan.
3) Pidana Kurungan Pidana
kurungan
adalah
bentuk-bentuk
dari
hukuman
perampasan kemerdekaan bagi si terhukum yaitu pemisahan terhukum dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu di mana
20
P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1988), h. 69.
28
sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang. Dalam KUHP pasal 18 ayat 1 dikatakan bahwa pidana kurungan itu minimal 1 hari dan maksimal 1 tahun; dan dalam hal gabungan kejahatan, residive (pengulangan kejahatan); ketentuan yang terdapat dalam pasal 18 ayat 2 KUHP. Dalam hal pidana kurungan tidak dapat dipekerjakan di luar daerah dimana ia bertempat tinggal atau berdiam waktu pidana itu di jatuhkan. Pidana kurungan dapat sebagai pengganti dari pidana denda, jika seseorang tersebut tidak dapat atau tidak mampu membayar denda yang harus dibayar, dalam hal perkaranya tidak begitu berat.21
4) Pidana Denda Sementara pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik-delik yang ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-satunya yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda itu secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
21
Ninik Suparni, h. 23-24.
29
5) Pidana Tutupan Pidana
tutupan
itu
sebenarnya
sudah
dimasukkan
oleh
pembentuk undang-undang untuk menggantikan pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku dari sesuatu kejahatan, atas dasar bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. 22
b. Pidana Tambahan Hukuman tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok. Penjatuhan hukuman tambahan biasanya bersifat fakultatif. Hakim tidak diharuskan menjatuhkan hukuman tambahan. Dalam KUHP pidana tambahan terdapat dalam pasal 10 ayat (6) yang terdiri dari: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Untuk membedakan antara pidana pokok dengan pidana tambahan, maka akan dikemukakan hal-hal sebagai berikut: -
Sesuai dengan namanya yaitu pidana tambahan, maka pidana tambahan berarti hanya dapat ditetapkan di samping pidana pokok atau utama. Apabila hakim tidak menetapkkan pidana pokok, maka pidana tambahan dengan sendirinya tidak dapat ditetapkan pula. Terhadap hal ini Undang-Undang mengadakan suatu pengecualian. Misalnya, pasal 39 ayat (3) KUHP di mana ditetapkan bahwa perampasan barang dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah sepanjang mengenai barang-barang sita. 22
P.A.F. Lamintang, Hukum Panitensier di Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), h. 147
30
-
-
Hukuman pidana tambahan bersifat fakultatif. Apabila terbukti bahwa terdakwa bersalah maka hakim harus menentukan suatu pidana pokok (utama). Hakim tidak wajib menetapkan pidana tambahan terhadap terdakwa. Jadi hakim bebas untuk menentukan atau tidak. Pidana tambahan tentang pencabutan hak-hak tertentu mulai berlaku setelah hakim membacakan putusan.
1) Pencabutan Hak-Hak Tertentu Dalam pasal 35 KUHP telah ditentukan pembolehan pencabutan hak-hak tertentu si bersalah dengan keputusan hakim, yakni antara lain: a) Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam undangundang umum lainnya, ialah (1) Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu; (2) Masuk balai tentara; (3) Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena undang-undang umum; (4) Menjadi penasehat atau wali, atau wali pengawas atau pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain yang bukan ankanya sendiri; (5) Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya sendiri; (6) Melakukan pekerjaan tertentu; b) Hakim berkuasa memecat seorang pegawai negeri dari jabatannya apabila dalam undang-undang umum ada ditunjuk pembesar lain yang semata-mata berkuasa melakukan pemecatan itu.
31
2) Perampasan Barang-Barang Tertentu Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang
milik
terpidana
yang
digunakan
untuk
melaksanakan
kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP yang berbunyi: (1) Barang kepunyaan si terhukum yang diperolehnya dengan kejahatan atau dengan sengaja telah dipakainya untuk melakukan kejahatan, boleh dirampas. (2) Dalam hal menjatuhkan hukuman karena melakukan kejahatan tidak dengan sengaja atau karena melakukan pelanggaran dapat juga dijatuhkan perampasan, tetapi dalam hal-hal yang telah ditentukan oleh undang-undang. (3) Hukuman perampasan itu dapat juga dijatuhkan atas orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah atas barang yang telah disita.
3) Pengumuman Putusan Hakim Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si terhukum. Jadi cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam putusan (Pasal 43 KUHP). 23
23
Leden Marpaung, h. 111-112.
32
Dalam hukum Islam, penggolongan hukuman dibagi menjadi beberapa golongan. Penggolongan pertama didasarkan atas pertalian satu hukuman dengan hukuman lainnya, dalam hal ini ada 4 (empat) jenis:24 1. Hukuman pokok (‘uqubah asliah), misalnya hukuman qishash untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan; 2. Hukuman pengganti (‘uqubah badaliah), merupakan pengganti hukuman pokok yang tidak dapat dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qishash, atau hukuman ta’zir sebagai pengganti hukuman had atau qishash yang tidak dapat dilaksanakan. Sebenarnya hukuman diyat itu sendiri adalah hukuman pokok untuk pembunuhan semi sengaja (menyerupai sengaja), demikian pula hukuman ta’zir merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana ta’zir. 3. Hukuman tambahan (‘uqubah taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi pelaku pembunuhan terhadap keluarganya sebagai tambahan hukuman qishash, atau hukuman pencabutan hak sebagai saksi bagi orang yang melakukan tindak pidana qadzaf (memfitnah orang lain berzina).
24
Topo Santoso, Menggagas Hukum Islam: Penerapan Syariat Islam dalam konteks Modernitas, (Bandung: Asy-Syaamil, 2001), cet. Ke-II, h. 184-185.
33
4. Hukuman pelengkap (‘uqubah takmiliah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim. Penggolongan kedua, ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat-ringannya hukuman. Dalam hal ini ada 2 (dua) macam hukuman, yaitu: 1. Hukuman yang hanya mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas tertinggi atau batas terendahnya, seperti hukuman cambuk sebagai hukuman had (80 atau 100 kali); 2. Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendahnya, hakim diberi kebebasan memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas itu, seperti hukuman penjara atau cambuk pada tindak pidana ta’zir. Penggolongan ketiga, ditinjau dari segi besarnya hukuman yang telah ditentukan yaitu: 1. ‘Uqubah Tazimah adalah hukuman keharusan yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya, di mana hakim harus melaksanakan tanpa dikurangi atau ditambah, atau diganti dengan hukuman lain.
34
2. ‘Uqubah Mukhayyarah yaitu hukuman pilihan yakni hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk dipilihnya dari sekumpulan hukuman yang diterapkan dengan keadaan pelaku dan perbuatannya. Penggolongan keempat, ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, yaitu: 1. Hukuman badan; 2. Hukuman jiwa; dan 3. Hukuman harta. Penggolongan kelima, merupakan yang terpenting, yang ditinjau dari segi jenis tindak pidana yang diberi ancaman hukuman, yaitu: 1. Hukuman hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas tindak pidana hudud; 2. Hukuman qishash-diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan atas tindak pidana qishash-diyat; 3. Hukuman kifarat, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian tindak pidana qishash-diyat dan beberapa tindak pidana ta’zir; dan 4. Hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk tindak pidana ta’zir.
35
Sedangkan Jimly Asshiddiqie, menggolongkan secara garis besar ancaman pidana dalam islam terdiri dari: 25 1. Pidana atas Jiwa; 2. Pidana atas Anggota Badan; 3. Pidana atas Kemerdekaan; dan 4. Pidana atas Harta
B. Persamaan dan Perbedaan Sistem Pemidanaan Antara Hukum Positif Dan Hukum Islam Berdasarkan teori pemidanaan di atas, maka dapat dilihat perbedaan dan persamaan antara Hukum Positif dan Hukum Islam, yakni antara lain: 1. Persamaan Dalam Hukum Pidana Islam tentang teori pemidanaan ini dapat diketahui dari tujuan dijatuhkannya pidana, dimana hal ini dapat dirumuskan dari tujuan masing-masing pidana dalam Hukum Pidana Islam yaitu hudud, qishas diyat dan ta’zir. Sedangkan dalam Hukum Pidana Indonesia teori pemidanaan ini dikenal 3 (tiga) teori yaitu teori absolut, teori relatif dan teori gabungan. Sisi persamaan dari tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif adalah upaya akhir dalam menangani setiap 25
Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang BentukBentuk Pidana dalam Tradisi Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, ed. Ke-I, (Bandung: Penerbit Angkasa Bandung, 1995) h. 87-106.
36
tindak pidana adalah dengan menyingkirkan pelaku tindak pidana dengan pidana mati ataupun penajara seumur hidup. Dan baik dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tujuan dari dijatuhkannya pidana yaitu diharapkan dengan adanya hukuman tersebut dapat menyadarkan semua masyarakat untuk berbuat baik sehingga terpelihara ketentraman hidup dan kelangsungan hidup masyarakat. 2. Perbedaan Dari segi tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif terdapat perbedaan yaitu: Pertama, teori pembalasan yang terdapat dalam hukum pidana Islam dikenal adanya pema’afan ( ) اﻟْ َﻌﻔْ َﻮsedangkan dalam hukum pidana positif tidak dikenal. Kedua, prinsip dasar pelaksanaan dari penjatuhan pidana dalam hukum pidana Islam merupakan wujud ketaatan seorang hamba kepada Khaliknya yang didasari keimanan sedangkan dalam hukum pidana positif prinsip dasar pelaksanaan penjatuhan pidana karena semata-mata taat pada aturan yang dianut manusia.
BAB III PEMBINAAN NARAPIDANA DAN PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Pembinaan Narapidana 1. Sistem Pembinaan Pemasyarakatan Dalam pelaksanaannya pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh Petugas Pemasyarakatan. Yang dimaksud dengan Petugas Pemasyarakatan adalah pegawai pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Petugas Pemasyarakatan tersebut merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di bidang
pembinaan,
pengamanan,
dan
pembimbingan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan. Pejabat Fungsional diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (sekarang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kehakiman) sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Adapun
dalam
pengangkatan Pejabat Fungsional tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan antara
lain:
mempunyai
latar
belakang
pendidikan
teknis
di
bidang
pemasyarakatan, melakukan tugas yang bersifat khusus di lingkungan Unit Pelaksanaan Teknis Pemasyarakatan, dan memenuhi persyaratan lain bagi fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 1
1
Dwidja Priyantno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, h. 109.
37
38
Implementasi
sistem
pembinaan
pemasyarakatan
dilaksanakan
berdasarkan atas azas-azas sebagai berikut: 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pengayoman Pengayoman adalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarkatan, juga memberikan bekal hidupnya kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat. Persamaan perlakuan dan pelayanan Persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanp membeda-bedakan orang. Pendidikan dan Pembimbingan Pendidikan dan Pembimbingan adalah penyeleng-garaan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan ibadah. Penghormatan harkat dan martabat manusia Penghormatan harkat dan martabat manusia adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlukan sebagai manusia. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan Yakni Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di LAPAS, (Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan, keterampilan olah raga, atau rekreasi). Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluaraga dan orang-orang tertentu. Yakni bahwa walaupun Warga Binaan Pemasya-rakatan berada di LAPAS, tetapi harus didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga.
39
Dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 12 tahun 1995, dinyatakan bahwa pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan di LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dilakukan oleh BAPAS. Sedangkan pembinaan di LAPAS dilakukan terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Adapun proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dilaksanakan secara intramural (di dalam LAPAS) dan secara ekstremural (di luar LAPAS). Pembinaan secara ekstramural yang dilakukan di LAPAS disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi persyaratan tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan masyarakat. Sedang-kan pembinaan secara ektremural yang dilakukan oleh BAPAS yang disebut integrasi, yaitu proses pembinaan Warga Binaan Pemasyara-katan yang memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan penga-wasan BAPAS. Adapun pembimbingan oleh BAPAS dilakukan terhadap: a) Terpidana bersyarat; b) Narapidana, Anak Pidana dan Anak Negara yang mendapat-kan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas; c) Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembinaan diserahkan kepasa orang tua asuh atau badan sosial; d) Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau Pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan orang tua asuh atau badan sosial; dan e) Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya. (Pasal 6 ayat (3).
40
Pembimbingan oleh BAPAS terhadap Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan, pembimbingannnya diserahkan kepada orang tua asuh, atau badan sosial, karena pembimbingannya masih merupakan tanggung jawab Pemerintah. Terhadap Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya
diserahkan
kepada
oran
tua
asuh
atau
badan
sosial,
pembimbingannya tetap dilakukan oleh BAPAS karena anak tersebut masih berstatus Anak Negara. Pembimbingnya oleh BAPAS terhadap Anak yang berdasarkan penetapan pengdilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya dilakukan sepanjang ada permintaan dari orang tua atau walinya kepada BAPAS. 2 Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan meliputi program pembinaan dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian ini diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar Warga Binaan Pemasyarakatan menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa, dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar warga Binaan Pemasyarakatan dapat
2
Ibid., h. 108
41
kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. 3 2.
Warga Binaan Pemasyarakatan Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No. 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan. a.
Narapidana Narapidana adalah terpidana (seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap) yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS.
b.
Anak Didik Pemasyarakatan Anak Didik Pemasyarakatan adalah: 1) Anak Pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; 2) Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahka kepada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun; 3) Anak Sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
c. 3
Klien Pemasyarakatan
Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
42
Klien Pemasyarakatan atau Klien adalah seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS. Adapun Klien terdiri dari: 1) Terpidana bersyarat; 2) Narapidana, Anak Pidana, dan Anak Negara yang mendapatkan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas; 3) Anak Negara yang berdasarkan putusan pengadilan pembinaanya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; 4) Anak Negara yang berdasarkan Keputusan Menteri atau penjabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang ditunjuk, bimbingannya diserahkan kepada orang tua asuh atau badan sosial; dan 5) Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan, bimbingannya dikembalikan kepada orang tua atau walinya. (Pasal 42 ayat (1)). d. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Untuk kontrol pelaksanaan sistem pemasyarakatan maka menteri membentuk Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.
Yang
dimaksud
dengan
Balai
Pertimbangan
Pemasyarakatan adalah suatu Badan Penasihat Menteri yang bersifat non-struktural. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan yang terdiri dari para ahli di bidang pemasyarakatan yang merupakan wakil instansi pemerintah terkait, badan non-pemerintah dan perorangan lainnya (misalnya dari kalangan organisasi advokat/ pengacara dan LSM) ini bertugas memberi saran dan atau pertimbangan kepada Menteri yang antara lain berdasarkan keluhan atau pengaduan Warga Binaan Pemasyarakatan. Sedangkan Tim Pengamat Pemasyarakat yang terdiri dari pejabatpejabat LAPAS, BAPAS atau pejabat terkait laiannya memiliki tugas:
43
1. Memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan; 2. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan; dan 3. Menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan. (Pasal 45 Ayat (4)). e.
Keamanan dan Ketertiban Dalam hal keamanan dan ketertiban di LAPAS yang bertanggung jawab adalah Kepala LAPAS. Dalam menjalankan tugasnya Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya. Adapun jenis hukuman disiplin tersebut dapat berupa: 1. Tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari bagi Narapidana atau Anak Pidana; dan/ atau; 2. Menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Namun, dalam memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin, petugas pemasyarakatan wajib: memberlakukan
44
Warga Binaan Pemasyarakatan secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenang dan mendasarkan tidankannya pada peraturan tata tertib LAPAS. 3. Pandangan Islam dalam Pembinaan Pemasyarakatan Dalam sistem hukum Islam, pidana penjara (kurungan) atau juga pemasyarakatan termasuk dalam kelompok pidana ta’zir. Artinya pidana yang merupakan kewenangan hakim untuk menentukannya. Karena putusan perkaranya harus diselesaikan oleh Pengadilan yang dipimpin oleh seorang hakim. Dalam sejarah perkembangan Hukum Islam, jenis pidana penjara telah dipraktekkan sejak masa Nabi Muhammad Saw. para Sahabat dan generasi penerusnya. Sejalan dengan tujuan pemidanaan dalam hukum Islam yang intinya untuk memelihara agama (ﻦ ِ ْﻆ اﻟ ّﺪﻳ ُ ْﺣﻔ ِ ), memelihara akal (ﻞ ِ ْﻆ اﻟْ َﻌﻘ ُ ْﺣﻔ ِ) memelihara jiwa (ح ِ ْﻆ اﻟ ﱡﺮو ُ ْﺣﻔ ِ ) dan memelihara harta (ل ِ ﻆ اﻟْﻤَﺎ ُ ْﺣﻔ ِ ) dan memelihara keturunan (ﻞ ِ ْﻆ اﻟ ﱠﻨﺴ ُ ْﺣﻔ ِ ) agar pelaku tindak pidana mendapat pelajaran, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan kembali menjadi manusia yang baik. Konsep ini sejalan dengan konsep taubat. Menurut ajaran Islam, taubat merupakan satu-satunya cara bagi manusia untuk membersihkan diri dari berbagai bentuk kesalahan dan dosa dan melepaskannya dari kecemasan yang mengguncangkan jiwa. 4
4
Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara (Bagian I), diakses pada tanggal 15 November 2009 dari http://www.ditjenpas.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=178&Itemid =9.
45
Taubat dalam pandangan Islam harus dilakukan segera dan diiringi dengan tekad untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Kesungguhan dalam bertaubat harus dibuktikan dalam bentuk melaksanakan perbuatan-perbuatan baik. Taubat dalam pandangan Islam artinya ruju’ (kembali) pada perbuatan-perbuatan yang baik serta diridhai oleh Allah swt. Dengan demikian, taubat berarti kembali kepada fitrah kemanusiaan, kesucian dan dengan melaksanakan atau mematuhi dan menaati perintah Allah swt. serta meninggalkan seluruh perbuatan yang dapat menodai fitrah kemanusiaan. Esensi taubah dalam konsep hukum Islam yang terkait dengan pemidanaan penjara, sejalan dengan konsep pemidanaan dalam Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. 5
B. Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam 1. Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Positif a. Pengertian dan Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat Yang dimaksud dengan Pembebasan Bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa
5
M. Lubabul Mubahitsin, Pidana Penjara Dalam Pandangan Islam, diakses pada tanggal 15 November 2009 dari http://lubabulmubahitsin.blogspot.com/2008/02/pidana-penjara-dalampandangan-islam.html
46
pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidananya tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. 6 Adapun dasar hukum tentang pemberian bebas bersyarat bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam pasal 15 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu : 1) Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana. 2) Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa percobaan, serta ditetapkan syrat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. 3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belurn dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan. Dalam Pasal Pasal 14 Ayat (1) huruf (k) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan juga diterangkan bahwa Narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Juga dalam Pasal 43 PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Warga Binaan Pemasyarakatan diterangkan bahwa: 1) Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.
6
Penjelasan huruf (k) Pasal 14 Penjelasan atas UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Lihat juga Penjelasan huruf (b) Pasal 35 Penjelasan atas PP No. 31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
47
2) Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi Narapidana dan Anak Pidana setelah menjalani pidana sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. 3) Pembebasan bersyarat bagi Anak Negara diberikan setelah menjalani pembinaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun. b.
Azas, Maksud dan Tujuan Pemberian Pembebasan Bersyarat Berdasarkan keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999, bahwa dalarn pelaksanaan pembebasan bersyarat ini mempunyai azas, maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Adapun Azas Pembebasan Bersyarat yang terdapat dalam Pasal 2, terdiri dari: a. Azas Pengayoman. b. Azas Persamaan Perlakuan dan Pelayanan. c. Azas Pendidikan. d. Azas Pembimbingan. e. Azas Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia. f. Azas Kehilangan Kemerdekaan Merupakan Satu-satunya Penderitaan g. Azas Terjaminnya Hak Untuk Tetap Berhubungan dengan Keluarga dan Orang-orang tertentu. Sedangkan tujuan Pembebasan Bersyarat yang terdapat dalam Pasal 6, yakni: a. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan pembinaan. b. Memberikan kesempatan bagi narapidana guna mempersiapkan diri hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana. c. Mendorong masyarakat untuk berperan secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan.
48
Maksud Pembebasan Bersyarat sebagaimana yang disebutkan, dalam Pasal 5 adalah salah satu upaya untuk memulihkan hubungan Narapidana dengan masyarakat secara sehat. Sedangkan maksud dan tujuan dari pada pemberian pembebasan bersyarat menurut Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo adalah untuk transisi atau memudahkan kembalinya terpidana kemasyarakat dan pemberian pelepasan bersyarat sebelum selesainya masa pidana itu juga dimaksudkan untuk mendorong terpidana untuk berkelakuan baik dalam penjara. Supaya terpidana tidak mengulangi kejahatan lagi, dan supaya terpidana yang diberikan pelepasan bersyarat dari penjara itu diberi pertolongan untuk berbuat baik dengan bantuan Reklaresing. 7
c. Syarat-Syarat Pembebasan Bersyarat Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nornor : M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, seseorang Narapidana dapat diberikan izin untuk memperoleh pembebasan bersyarat apabila memenuhi 2 (dua) persyaratan
pokok,
yaitu
persyaratan
subtantif
dan
persyaratan
administratif. 1)
7
Persyaratan Subtantif
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Hukum Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989), h. 114.
49
Dalam Pasal 7 ayat (2) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999, menerangkan bahwa persyaratan subtantif terdiri dari: a. Telah menunjukan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana. b. Telah menunjukan perkembangan budi perkerti dan moral yang positif. c. Berhasil mengikuti program pembinaan dengan tekun dan bersemangat. d. Masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana yang bersangkutan. e. Selama menjalankan pidana, narapidana tidak pernah mendapatkan hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalan waktu 9 (sembilan) bulan terakhir. f. Masa pidana yang telah dijalani 2/3 dari masa pidananya dengan ketentuan 2/3 tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. 2)
Persyaratan Administratif Dalam Pasal 8 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M. Ol. PK. 04-10 Tahun 1999, dinyatakan bahwa persyaratan administratif terdiri dari: a. Salinan putusan pengadilan. b. Surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak mempuyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya. c. Laporan penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS tentang pihak keluarga yang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat
50
sekitarnya dan pihak lain yang ada hubungannya dengan narapidana. d. Salinan daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan. e. Salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana seperti grasi, remisi, dan lain-lain dari Kepala Lembaga Pemasyrakatan. f. Surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana, seperti pihak keluarga, sekolah, intansi pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya Lurah atau Kepala Desa. g. Surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter bahwa narapidana sehat baik jasmani atau jiwanya dan apabila di lembaga tidak ada psikolog dan dokter, maka surat keterangan dapat diminta kepada dokter puskesmas atau rumah sakit umum. h. Bagi narapidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan berupa surat keterangan sanggup menjamin Kedutaan Besar atau Konsulat negara orang asing yang bersangkutan dan surat rekomendasi dari Kepala Kantor Imigrasi setempat. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999 dalam Pasal 9, terhadap narapidana yang melakukan tindak pidana subversi dapat diberikan pembebasan bersyarat dengan syarat tambahan yaitu : (1) Kesadaran dan perilaku narapidana yang bersangkutan semakin membaik selama dalam Lembaga Pemasyarakatan. (2) Adanya kesediaan dari seseorang, badan atau lembaga yang memberikan jaminan secara tertulis di atas materai.
51
d. Wewenang dan Prosedur Pembebasan Bersyarat Dalam hal pembebasan bersyarat terhadap narapidana tidak terlepas dari adanya wewenang dan tata caranya. Sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M. 01. PK. 04-10 Tahun 1999, dinyatakan bahwa Pejabat yang berwenang untuk melakukan pembebasan bersyarat terhadap narapidana adalah Menteri Kehakiman atau pejabat yang ditunjuk untuk itu. Sedangkan tata cara untuk memperoleh pembebasan bersyarat itu adalah sebagai berikut: 1) Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Lembaga Pemasyarakatan setelah mendengar pendapat anggota tim serta telah mempelajari laporan penelitian kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan mengusulkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang di tuangkan dalam formulir yang telah ditetapkan. 2) Kepala Lembaga Pemasyarakatan apabila menyetujui usulan tim Pengamat Pemasyrakatan LAPAS selanjutnya melanjutkan usul tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat. 3) Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dapat menolak atau menyetujui usul Kepala LAPAS setelah mempertimbangkan hasil sidang TPP Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat; 4) Apabila Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman menolak usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan, maka dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul tersebut mem-
52
beritahukan penolakan itu berserta alasannya kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan. 5) Tetapi apabila Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman menyetujui usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan maka dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas ) hari terhitung sejak diterimanya usul tersebut dan meneruskan usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. 6) Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam jangka paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Direktur Jenderal Pemasyarakatan menetapkan penolakan atau persetujuan terhadap usul tersebut. 7) Apabila Direktur Jenderal Pemasyarakatan menolak usul tersebut, maka dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penetapan memberitahu penolakan itu beserta alasannya kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan, 8) Tetapi sebaiknya apabila Direktur Jenderal Pemasyarakatan menyetujui usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan, maka usul tersebut diteruskan kepada Menteri Kehakiman untuk mendapatkan persetujuan. Apabila Menteri Kehakiman menyetujui usul tersebut maka dikeluarkan keputusan Menteri Kehakiman mengenai pembebasan bersyarat.
e. Kewajiban, Pencabutan dan Pemberian Saksi Pelanggaran dalam Pembebasan Bersyarat Dalam menjalankan masa pembebasan bersyarat Narapidana memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhi. Adapun kewajibankewajiban yang harus di penuhi oleh narapidana bebas bersyarat, yaitu :
53
a. Tidak melanggar peraturan hukum yang ada; b. Dalam bulan pertama, 1 (satu) kali seminggu narapidana bebas bersyarat wajib melapor ke Balai Pemasyarakatan; c. Dalam bulan kedua, 2 (dua) kali seminggu narapidana bebas bersyarat wajib melapor ke Balai Pemasyarakatan; d. Dan 1 (satu) bulan sekali narapidana bebas bersyarat wajib melapor ke Balai Pemasyarakatan. Narapidana bebas bersyarat wajib melapor, yang pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk-bentuk sendiri-sendiri atau secara individu, jika tidak melapor maka petugas Balai Pemasyarakatan tersebut datang kerumah nara-pidana bebas bersyarat tersebut. Dalam pemberian pembebasan bersyarat dapat pula dicabut oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas usul Kepala BAPAS melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat, apabila narapidana : a. malas bekerja; b. mengulangi melakukan tindak pidana; c. menimbulkan keresahan dalam masyarakat; dan atau d. melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas. Pencabutan pembebasan bersyarat dapat dijatuhkan sementara setelah diperoleh informasi mengenai alasan-alasan pencabutan tersebut. Kemudian Kepala Lembaga Pemasyarakatan berkewajiban melakukan
54
pemeriksaan terhadap narapidana dan apabila terdapat bukti-bukti yang kuat, maka pencabutan dijatuhkan secara tetap. Kepala Lembaga Pemasyarakatan melaporkan pencabutan tersebut kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang dilengkapi denagan alasan-alasannya serta Berita Acara Pemeriksaan. Pemberian sanksi terhadap narapidana yang dicabut pembebasan bersyaratnya dapat berupa : 1. Untuk tahun pertama setelah dilakukan pencabutan tidak dapat diberikan remisi. 2. Untuk pencabutan kedua kalinya tidak dapat diberikan asimilasi, pem-bebasan
bersyarat,
cuti
menjelang
bebas
dan
cuti
mengunjungi keluarga selama menjalani sisa pidananya. 3. Masa selama di luar Lembaga Pemasyarakatan tidak dihitung sebagai menjalani pidana. Sedangkan terhadap anak negara yang dicabut pembebasan bersyaratnya dapat dikenakan sanksi berupa : 1. Masa selama berada dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan dihitung sebagai masa menjalankan pendidikan. 2. Untuk 6 (enam) bulan pertama setelah dilakukan pencabutan tidak dapat diberikan asimilasi, dan pembebasan bersyarat.
55
3. Untuk pencabutan kedua kalinya selama menjalani masa pendidikan tidak diberiakan asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti mengunjungi keluarga. Apabila alasan pencabutan pembebasan bersyarat disebabkan narapidana melakukan tindak pidana, Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kepala Balai Pemasyarakatan melaporkan kepada Kepolisian dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departernen Kehakiman dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
2. Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Islam Secara umum, konsep pembebasan bersyarat dalam hukum positif pada dasarnya merupakan suatu rangkaian dari sistem pelaksanaan hukuman pidana, yakni pidana penjara yang kemudian mengalami kemajuan dengan konsep pembinaan yang diharapkan akan menjadikan terpidana akan menjadi lebih
baik
dengan
program-program
yang
telah
diupayakan
dapat
mengembalikan pemberdayaannya dalam lingkungan masyarakat. Sering kita dengar istilah bahwa seseorang yang dihadirkan di depan meja persidangan sedang duduk di “kursi pesakitan”. Istilah ini menunjukkan bahwa pada dasarnya seseorang yang menjadi terdakwa yang kemudian terbukti menjadi terpidana benar adanya bahwa ia “sedang sakit” secara mental yang harus dipulihkan.
56
Oleh karena itu, pemulihan yang dapat dilakukan adalah dengan cara pembinaan-pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, yakni dengan cara membina mental mereka agar mereka bisa kembali kelingkungannya dan dapat diterima masyarakat. Terobosan-terobosan tersebut relevan dengan kondisi sekarang ini karena semakin meningkatnya populasi masyarakat juga bisa mempengaruhi kondisi kriminalitas di suatu lingkungan tertentu yang kemudian akan berimbas pada meningkatnya populasi penghuni penjara atau Lembaga Pemasyarakatan. Salah satu programnya dalam pembinaan yaitu pembebasan bersyarat yang sudah penulis bahas dalam bab sebelumnya juga relevan dengan kondisi sekarang yang diberikan dengan pertimbangan-pertimbangan yang ketat agar pelaksanaannya tetap sesuai dengan tujuannya. Dalam konsep hukum Islam, dikenal dengan asas pemberian maaf atau pemaafan yakni si korban atau ahli waris korban bersedia memberikan maaf kepada pelaku yang mengakibatkan pelaku bebas bersyarat atau bebas sama sekali tanpa syarat. Konsep pemberian maaf ini berdasarkan firman Allah SWT:
⌦
☺ ⌧
57
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash 8 berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih” (QS. Al-Baqarah/2 : 178) Dalam hal masalah qishash di atas, Al-Qur’an menegaskan bahwa pelaku kejahatan dapat bebas dari pada hukuman (qishash) baik dengan syarat menebus atau membayar diyat (yaitu sejumlah harta tertentu) kepada pihak korban atau keluarganya atau bahkan bebas sama sekali tanpa syarat sesuai dengan kebijaksanaan pihak korban atau keluarganya. Hal ini akan membawa kebaikan bagi kedua belah pihak. Tidak ada lagi dendam antara kedua pihak
8
Tafsir Ayat: Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diyat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diyat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diyat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
58
tersebut. Pihak korban mendapat perbaikan dari sanksi yang dijatuhkan, serta ada peranan korban dalam sistem dan proses peradilan pidana. 9 Dalam hukum pidana Islam juga dikenal dengan istilah Shulh
ﻋ ِﺔ َ َﻗﻄْ ُﻊ اﻟْ ُﻤ َﻨ َﺰ,
(perdamaian) yang memiliki arti bahasa
yang artinya
memutuskan perselisihan. Dalam istilah syara’, seperti yang dikemukakan oleh Sayid Sabiq, Shulh adalah sebagi berikut:
ﻦ ِ ْﺻ ِﻤﻴ ِ ﻦ اﻟْ ُﻤ َﺘﺨَﺎ َ ْﺼﻮْ َﻣ َﺔ َﺑﻴ ُ ﺨ ُ ْﻋَﻘْﺪٌ َﻳﻨْﻬَﻰ اﻟ “Suatu akad (perjanjian) yang menyelesaikan persengketaan antara dua orang yang bersengketa (berperkara). 10 Apabila pengertian tersebut dikaitkan dengan qishash, shulh berarti perjanjian atau perdamaian antara pihak wali korban dengan pembunuh untuk membebaskan hukuman qishash dengan imbalan. Para ulama telah sepakat tentang dibolehkannya shulh (perdamaian) dalam qishash, sehingga dengan demikian qishash menjadi gugur. 11 Shulh (perdamaian) ini statusnya sama dengan pemaafan, baik dalam hak pemiliknya, maupun dalam pengaruh atau akibat hukumnya, yaitu dapat menggugurkan
qishash.
Perbedaannya
dengan
pengampunan
adalah
pengampunan itu pembebasan qishash tanpa imbalan, sedangkan shulh adalah 9
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), cet. Ke-I, h. 93.
h. 163.
10
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid III, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1980), h. 305.
11
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. Ke-I,
59
pembebasan dengan imbalan. Memang dimungkinkan pemaafan dari qishash dengan imbalan diyat, seperti dikemukakan oleh Imam Syafi’I dan Imam Ahmad, namun menurut Hanafiyah dan Malikiyah, hal itu harus dengan persetujuan pelaku, dan kalau demikian, hal itu bukan pemaafan malainkan shulh (perdamaian). 12 Pada tahapan selanjutnya, program-program yang diadakan di Lembaga Pemasyarakatan juga memiliki relevansinya dengan konsep taubah dalam Islam yang mengacu pada pembinaan mental agar kembali pada jalan yang semestinya. Oleh karena itu, pelaksanaannya merupakan tugas hakim yang menentukannya karena konsep-konsep di atas merupakan bentuk ta’zir sehingga jelas akan berbeda pelaksanaannya dari satu Negara dengan Negara yang lainnya. Dalam konsep Islam dijelaskan bahwa pengertian taubat secara bahasa berasal dari bahasa arab yaitu dari kata taba, yang berarti raja’a (kembali). 13 Secara istilah (terminologi Islam), kebanyakan ulama merumuskan taubat dengan arti meninggalkan dosa dalam segala bentuk, menyesali dosa yang pernah dilakukan, dan bertekad untuk tidak melakukan dosa lagi. 14 Dari pengertian tersebut di atas, makna raja’a (kembali) secara konsepsi dapat dipadukan dengan konsep pembinaan di LAPAS yang akan 12
Ibid. h. 163-164.
13
Burhanudin Jamaludin, Konsep Taubat, Pintu Peengampunan Dosa Besar & Syirik Masih Terbuka, cet. I, (Surabaya: Penerbit Dunia Ilmu, 1996), h.1. 14
Ibid. h. 3
60
membina para terpidana agar kembali menjadi warga masyarakat yang dapat diterima dilingkungannya dengan tidak melakukan pelanggaran-pelangaran hukum.
Sedangkan
dalam
istilahnya
meninggalkan
segala
bentuk
pelanggaran-pelanggaran yang dulu pernah ia perbuat, menyesali apa yang pernah dilakukannya dan memiliki tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tiga hal tersebutlah yang menjadi syarat dari pada taubat. Bentuk karantina itu
untuk
dapat
mengembalikan
agar
menjadi
lebih
baik.
Dalam
pelaksanaanya, pembinaan tersebut diawasi dengan ketat yang kemudian dievaluasi untuk pelaksanaan program selanjutnya yakni dibebaskannya terpidana dengan syarat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Yang terpenting dalam program-program tersebut adalah tidak keluar dari tujuan pemidanaan (yang telah dibahas penulis dalam bab sebelumnya). Dalam konsep taubat sebenarnya yang dapat menerimanya hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Namun dalam kesungguhannya bertaubat, sisi mental seseorang akan terpengaruh karena telah hilangnya rasa dosa dan bersalah. Dalam pengertian ini dosa dihubungkan dengan pengertian moral, agama dan adat kebiasaan (peraturan) yang disepakati bersama. Orang yang berdosa adalah orang yang menyimpang tingkah lakunya dari aturan moral, dan adat kebiasaan. Jadi dalam pengertian dosa itu terdapat hubungan antara ilmu jiwa dan agama, moral serta adat kebiasaan manusia. 15
15
Yahya Jaya, Peranan Taubat dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, cet. Ke-III, (Jakarta: CV. Ruhama, 1995), h. 25.
61
Para ahli jiwa dan agama sepakat, bahwa rasa berdosa dapat merusak ketentraman batin dan kebahagian hidup. Dan mereka juga sependapat, bahwa perbuatan baik dan amal sholeh membawa kepada ketentraman dan kebahagiaan hidup manusia. 16 Dalam Islam ada dalil yang menunjukkan kebenaran tersebut, misalnya dalam hadits berikut:
ﺐ ُ ْن ِإَﻟﻴْ ِﻪ اﻟْ َﻘﻠ ﺲ وَاﻃْ َﻤَﺄ ﱠ َ ْﺳ َﻜ َﻨﺖْ ِاَﻟﻴْ ِﻪ اﻟ ﱠﻨﻔ َ ﺳَﻠ ُﻢ َاﻟْ ِﺒ ﱡﺮ ﻣَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﻲ ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ﻗَﺎ ). ن ُ ْك اﻟْ َﻤﻔْ ُﺘﻮ َ ب َوِانْ َأﻓْﺘَﺎ ُ ْﻦ ِاَﻟﻴْ ِﻪ اﻟْ ُﻘُﻠﻮ ﺲ َوَﻟﻢْ َﻳﻄْ َﻤ ِﺌ ﱠ ُ ْﻻﺛْ ُﻢ ﻣَﺎ َﻟﻢْ َﺗﺴْ ُﻜﻦْ ِاَﻟﻴْ ِﻪ اﻟﻨﱠﻔ ِ َْوا 17 ( رواﻩ أﺣﻤﺪ واﻟﺪارﻣﻲ Artinya: “Rasulullah saw. bersabda: Perbuatan baik adalah sesuatu yang membuat jiwa tentram dan hati menjadi tenang dan perbuatan dosa adalah perbuatan yang menjadikan jiwa goncang dan hati gusar sekalipun kamu mendapat petuah atau nasihat dari ahli fatwa". (HR. Ahmad dan ad-Darimi). Taubat dalam ajaran Islam memiliki pengertian yang luas, karena ia menyangkut penataan kembali kehidupan manusia yang sudah berantakan, dan perbaikan kembali mental seseorang yang sudah rusak akibat perbuatan dosa dan maksiat yang telah dilakukannya. Di samping perintah dan anjuran taubat banyak terdapat Al-Qur’an dan Sunnah. Ia juga dibahas dalam ilmu syariah, tasawuf, akhlak dan filsafat islam. Karena taubat dalam Islam merupakan keharusan serta kekuatan penyelamat bagi kehidupan manusia yang berantakan dan jiwa yang terganggu dan sakit. 18
16 17
Ibid.
Ahmad Ibn Hanbal Abu Abdullah Asy-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Kairo: Muassasah al-Qurtubah, t.th.), juz. 4, hadits No. 17777, h. 194. 18 Ibid. h 52.
62
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan konsep pembebasan bersyarat dengan bertaubat memiliki hubungan yang erat. Pembebasan bersyarat tidak akan diberikan jika terpidana tidak memenuhi persyaratan-persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan yang meliputi syarat substantif dan administratif. Demikian pula dengan konsep taubat agar pelakunya memenuhi persyaratan-persyaratan agar taubatnya dapat diterima.
BAB IV ANALISA HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMBEBASAN BERSYARAT
A. Analisa Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Positif Secara garis besar, pelaksanaan pembebasan bersyarat secara umum mengacu pada petunjuk pelaksanaan (juklak) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
1. Prosedur dan Tata Cara Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat Untuk memperoleh hak Pembebasan Bersyarat, seorang narapidana atau anak didik pemasyarakatan harus melalui prosedur yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.2.PK.0410 Tahun 2007 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat yaitu diantaranya harus memenuhi beberapa persyaratan umum yang harus dipenuhi yakni
Syarat Substantif dan Syarat Administratif (pasal 6 dan 7) dan
persyaratan khusus yakni bagi napi selama masa percobaan, tidak boleh melakukan tindak pidana dan perbuatan tercela lainnya (KUHP Pasal 15a ayat (1)). Perbuatan tercela tidak hanya dalam lingkup perbuatan pidana, artinya
62
63
pengertiannya lebih luas dari tindak pidana, misalnya pergi bersenang-senang di tempat pelacuran atau di tempat hiburan malam seperti diskotek, atau bergaul dengan para penjahat, para preman dan lain sebagainya. 1 Selain itu, juga boleh ditambah syarat khusus lainnya mengenai kelakuan terpidana, asal saja syarat itu tidak mengurangi hak-hak menjalankan ibadah agamanya dan hak-hak berpolitikknya (KUHP pasal 15a ayat 2). SKEMA PROSEDUR PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT 2 Dirjen PAS NAPI 2/3 Masa Pidana Telah memenuhi syarat adm dan syarat substantif
KAKANWIL Napi Bebas Bersyara t
KAJARI PB KALAPAS
Usulan PB
TPP
ADM KAMTIB
KPLP
BAPAS
Secara umum, tata cara pelaksanaan pembebasan bersyarat di LAPAS Klas I Salemba mengacu pada Permen Hukum dan HAM No M.2.PK.04-10 Tahun 2007, dalam Pasal 11. a) Pengajuan Izin pembebasan bersyarat 1
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 64. 2
Bagan sesuai dengan Permen Kehakiman RI Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Persyarat dan Cuti Menjelang Bebas.
64
Izin pembebasan bersyarat dapat diberikan kepada narapidana apabila yang bersangkutan : a. dipidana untuk masa satu tahun atau lebih, baik dalam satu atau beberapa putusan; b. telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 7, Pasal 8 huruf a, b, c, d, e dan f angka 2 dan Pasal 9 Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dan bagi narapidana tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01PK.04.10 Tahun 1991 tentang Penyempurnaan Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, telah pula memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan b Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1991 tersebut; c. tidak termasuk narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01PK.04.10 Tahun 1991 tentang Penyempurnaan Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas;
65
telah memenuhi persyaratan administrasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Formulir APC-01 huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i dan j.
b) Pemberian Izin Pembebasan Bersyarat Secara teknis, pemberian izin pembebasan bersyarat adalah merupakan wewenang Menteri Kehakiman yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Adapun tata cara pemberian izin pembebasan bersyarat kepada narapidana melalui tahaptahap sebagai berikut: 3 a. Usul pembebasan bersyarat dibahas dalam sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Lembaga Pemasyarakatan dengan mempelajari hasil pembinaan narapidana selama menjalani pidana termasuk hasil program asimilasi, syarat-syarat substantif dan administratif serta dengan mempertimbangkan hasil Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang dibuat oleh Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak; b. Apabila sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Lembaga Pemasyarakatan dapat menyetujui usul tersebut pada huruf a, maka Tim Pengamat Pemasyarakatan mengajukan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dengan menggunakan Formulir APC-02; 3
Diadaptasi dari Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No. E. 06-PK. 04. 10 Tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, Pasal 9.
66
c. Kepala
Lembaga
Pemasyarakatan
wajib
segera
meneliti
dan
mempelajari usul tersebut pada huruf b dan apabila disetujui, maka Kepala Lembaga Pemasyarakatan segera meneruskan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat lengkap dengan persyaratan administratif (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf) d dalam rangkap 4 (empat); d. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat wajib segera
meneliti
Pemasyarakatan
dan tersebut
mempelajari butir
c
dan
usul
Kepala
setelah
Lembaga
memperhatikan
pertimbangan hasil sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Kantor Wilayah Departemen Kehakiman, maka Kepala Kantor Wilayah dapat : 1) menolak usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak usul diterima segera menyampaikan surat penolakan disertai alasan-alasannya kepada Kepala Lembaga pemasyarakatan serta tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan dengan menggunakan Formulir APC-08; atau 2) menyetujui usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak usul diterima segera meneruskan kepada Direktur Jenderal pemasyarakatan.
67
e. Direktur Jenderal Pemasyarakatan wajib segera meneliti dan mempelajari usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman (sebagaimana dimaksud dalam huruf d angka 2) dengan memperhatikan pertimbangan hasil sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, maka dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak usul diterima Direktur Jenderal Pemasyarakatan dapat : 1) Menolak usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dengan disertai alasan-alasannya kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang bersangkutan dengan menggunakan Formulir APC-09; atau 2) Menyetujui usul Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan
segera
dimaksud
menerbitkan
dengan
keputusan
menggunakan
pembebasan
Formulir
bersyarat
APC-10
yang
tembusannya disampaikan kepada : a) Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan. b) Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang bersangkutan dengan dilampiri buku Bebas Bersyarat untuk narapidana yang diberi izin; c) Kepala Kejaksaan Negeri yang mengawasi; d) Kepala Kepolisian setempat;
68
e) Pemerintah Daerah Tingkat II (PEMDA TK.II) setempat; f) Kepala Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak setempat; g) Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan untuk kepentingan Daktiloskopi.
2. Pembinaan, Bimbingan dan Pencabutan Pembebasan Bersyarat Setelah mendapatkan izin pembebasan bersyarat, maka selanjutnya dilaksanakan bimbingan terhadap narapidana yang mendapat izin pembebasan bersyarat yang secara teknis pelaksanaannya sebagai berikut : 4 a. Pelaksanaan pembebasan bersyarat narapidana adalah Jaksa pada Kejaksaan Negeri di wilayah hukum Lembaga Pemasyarakatan tempat narapidana yang bersangkutan menjalani pidana; b. Apabila narapidana menjalankan masa pembebasan bersyarat bukan di wilayah hukum Jaksa yang melaksanakan, maka dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan, narapidana tersebut harus melapor ke Kejaksaan Negeri ditempat ia menjalani masa pembebasan bersyaratnya sebagaimana ditunjuk dalam keputusan pembebasan bersyaratnya dengan memperlihatkan buku Bebas Bersyarat yang diterimanya dan diantar oleh petugas Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak;
4
Ibid, Pasal 10.
69
c. Narapidana yang akan melaksanakan pembebasan bersyarat diserah terimakan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan kepada Kepala Balai Bimbingan
Kemasyarakatan
dan
Pengentasan
Anak
yang
akan
memberikan bimbingan dengan menggunakan Berita Acara Serah Terima Formulir APC-11 disertai risalah singkat pembinaannya selama dalam Lembaga Pemasyarakatan; d. Bimbingan terhadap narapidana sebagaimana dimaksud dalam huruf e dilaksanakan oleh Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak melalui program bimbingan dengan memperhatikan pertimbangan Tim Pengamat Pemasy.arakatan (TPP) Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak. Pengawasan terhadap narapidana yang sedang menjalani pembebasan bersyarat
dilakukan
oleh
Kejaksaan
Negeri
dan
Balai
Bimbingan
Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak. Dalam melaksanakan pengawasan Jaksa Pengawas mewajibkan narapidana yang bersangkutan untuk melaporkan diri ke Kejaksaan Negeri di tempat ia menjalani pembebasan bersyarat dalam jangka waktu tertentu, yakni; a.
Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah pelaksanaan pembebasan bersyarat;
b.
Secara berkala, yang waktunya ditentukan oleh jaksa pengawas yang bersangkutan sampai berakhirnya masa pembebasan bersyarat.
70
Adapun pengawasan oleh Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak dilaksanakan dengan melakukan kunjungan ke rumah narapidana (klien) yang waktunya ditetapkan oleh Kepala Balai Bimbingan Kemasyarakatan
dan
Pengentasan
Anak
yang
bersangkutan
sampai
berakhirnya masa pembebasan bersyarat dan sekaligus juga menjadi sarana bimbingan bagi klien. Selanjutnya Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak melakukan evaluasi terhadap perkembangan narapidana yang sedang menjalani pembebasan bersyarat, yang kemudian wajib melaporkan hasil evaluasi tersebut setiap triwulan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat dalam bentuk Laporan Perkembangan Klien. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan menghimpun laporan sebagaimana dimaksud di atas, menurut abjad sesuai dengan nama Lembaga Pemasyarakatan yang bersangkutan dan kemudian meneruskan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan; Selanjutnya Direktur Jenderal Pemasyarakatan up. Direktur Pembinaan Luar Lembaga Pemasyarakatan menghimpun laporan triwulan tersebut menurut abjad sesuai dengan nama Lembaga Pemasyarakatan dan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan. Jika berdasarkan hasil evaluasi
sebagaimana
dimaksud
di
atas
dan
ternyata
klien
tidak
mempergunakan kesempatan yang diberikan dengan baik, maka izin pembebasan bersyarat dapat dicabut apabila narapidana (klien) yang
71
bersangkutan melakukan pelanggaran-pelanggaran yang telah ditentukan, seperti: a. hidup secara tidak teratur, suka membuat onar, mabukmabukan, bermain judi, mengunjungi tempat mesum, menggangu ketentraman umum atau masyarakat; b. malas bekerja; c. bergaul dengan residivis; d. mengulangi tindak pidana; e. menimbulkan keresahan dalam masyarakat; f. melanggar tata tertib. Pelaksanaan pembebasan bersyarat dapat dicabut sementara oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan apabila ternyata bahwa narapidana yang bersangkutan melakukan hal-hal sebagaimana dimaksud di atas. Untuk memastikan kebenarannya, maka Kepala Lembaga Pemasyarakatan wajib segera melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan bahwa narapidana tersebut telah melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dengan memuat Berita Acara Pemeriksaan. Jika ternyata terbukti dilakukan oleh narapidana yang bersangkutan, Kepala Lembaga Pemasyarakatan menerbitkan keputusan pencabutan izin pembebasan bersyarat secara tetap dengan menggunakan Formulir APC-12. Tembusan keputusan tersebut disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan dengan lampiran Berita Acara Pemeriksaan, serta kepada instansi lainnya yang terkait tanpa lampiran. Apabila pencabutan izin pembebasan bersyarat disebabkan karena narapidana yang bersangkutan mengulangi tindak pidana, maka Kepala Lembaga Pemasyarakatan atau Kepala Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak segera
72
melaporkan kepada Kepolisian setempat dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan; Keputusan pencabutan izin pembebasan bersyarat tersebut, mulai berlaku sejak putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap. Tembusan serta lampiran Berita Acara Pemeriksaan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen
Kehakiman
setempat
dan
Direktur
Jenderal
Pemasyarakatan, keputusan disampaikan juga kepada instansi lainnya yang terkait, tanpa lampiran. Narapidana yang dicabut izin pembebasan bersyaratnya dikenakan sanksi : a. Kembali mengikuti pendidikan dalam Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan peraturan yang berlaku; b. Hukuman disiplin menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 69 GR) dan dicatat dalam Register F; c. Pada tahun pertama setelah pencabutan itu, untuk sementara waktu tidak diberikan remisi. Kemudian, selama masa menjalani masa pembebasan bersyarat diluar Lembaga Pemasyarakatan tidak dihitung sebagai menjalani pidana. Selama menjalani sisa pidananya tidak diperkenankan lagi memperoleh izin pembebasan bersyarat.
73
3. Permasalahan dan Kendala Kelancaran Pemberian Permbebasan Bersyarat Dalam pelaksanaannya tidak terlepas dari adanya permasalahanpermasalahan atau kendala-kendala yang mengganggu kelancaran pemberian Pembebasan Bersyarat tersebut yakni antara lain: 5 a. tidak disiapkan sarana kegiatan diluar lapas/rutan untuk peningkatan bakat dan niat untuk berkarya; b. masyarakat belum sepenuhnya siap untuk menerima sebagai bagian dari anggota masyarakat secara utuh.
Dalam rangka memberikan pembinaan kepada narapidana (klien) yang mendapatkan pembebasan bersyarat harus benar-benar mencapai sasaran untuk memberdayakan kembali ke lingkungan masyarakat dan dapat diterima dengan baik. Oleh karena itu, pelaksanaan pembinaan bagi klien pembebasan bersyarat telah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak menyimpang pelaksanaannya. Meski statusnya bebas bersyarat, maka narapidana (klien) bebas bersyarat tidaklah bebas untuk melakukan segala sesuatu hal atas kehendaknya sendiri tetapi masih terus diawasi, dibimbing dan dibina hingga selesai masa bebas bersyaratnya. Untuk tercapainya tujuan pembinaan yang di harapkan tersebut,
5
Wawancara penulis dengan Bapak Marotib, SH., selaku Kasubag Umum Rutan Salemba, tanggal 31 Maret 2010.
74
maka pembinaan yang dilakukan terhadap klien bebas bersyarat ada 3 (tiga) tahap, yakni sebagai berikut : a. Tahap awal 1) Penerimaan dan pendaftaran klien 2) Identifikasi masalah - Masalah dari dalam (faktor individu) - Masalah dari luar (faktor lingkungan) 3) Penilaian masalah yang di sandang klien 4) Pembuatan laporan penelitian kemasyarakatan 5) Penyusunan rencana program bimbingan yang di berikan 6) Pelaksanaan program bimbingan 7) Evaluasi pelaksanaan program bimbingan tahap awal 8) Penyusunan rencana program bimbingan tahap lanjutan. b. Tahap lanjutan 1) Diagnosa faktor-faktor yang mempengaruhi a) Faktor individu - gangguan kejiwaan - broken home - mental dan spiritual b) Faktor lingkungan - lingkungan keluarga - lingkungan sekolah - lingkungan masyarakat 2) Bimbingan terapi yang di butuhkan a) bimbingan agama b) bimbingan mental c) bimbingan psikolog d) bimbingan latihan kerja dan keterampilan e) bimbingan sosial f) bimbingan perseorangan g) bimbingan kelompok h) pendidikan formal dan informal 3) 4) 5) 6)
Pemanfaatan sumber yang tersedia Pelaksanaan program bimbingan Penilaian/evaluasi pelaksanaan program bimbingan tahap lanjutan Penyusunan rencana program bimbingan tahap berikutya (tahap akhir).
75
c. Tahap akhir 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Pelaksanaan program bimbingan Melihat peluang pemberian bimbingan sesuai situasi/ kondisi klien Masalah-masalah lain yang di hadapi dalam bimbingan Mengamati sejauh mana perkembangan dan hasil bimbingan yang di capai klien Meneliti, menilai/mengevaluasi keseluruhan hasil pelaksanaan Program bimbingan. Mempersiapkan klien mengakhiri bimbingan dan kemungkinan pelayanan bimbingan tambahan. Mempersiakan berkas/surat akhir masa bimbingan. Pengakhiran/penutupan masa bimbingan.
Sedangkan dalam pelaksanaan pembinaan klien bebas bersyarat pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan narapidana yang ada di LAPAS. Adapun bentuk-bentuk pembinaan yang diberikan yaitu: a. Pembinaan Kepribadian, meliputi: 1) Pembinaan Kesadaran Beragama 2) Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara 3) Pembinaan Kemampuan Intelektual (Kecerdasan) 4) Pembinaan Kesadaran Hukum 5) Pembinaan Mengintegrasikan Diri dengan Masyarakat b. Pembinaan Kemandirian Yakni pembinaan yang di arahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar warga binaan Lembaga Pemasyarakatan dapat berperan sebagai anggota masyarakat yang di laksanakan atas kerja sama dengan Departemen Sosial.
76
B. Analisa Pembebasan Bersyarat dalam Perspektif Hukum Islam Demikian pula dalam hukum Islam, Pembebasan bersyarat diperbolehkan yang dapat disamakan dengan konsep pemaafan, yaitu hak memberi maaf dari korban atau keluarganya kepada pelaku kajahatan dengan membayar diyat kepada korban atau keluarganya sesuai ketentuan. Sebagaimana firman Allah SWT:
☺
☺ ⌧
⌦
☺ ☺
: 2\)اﻟﺒﻘﺮة
⌧
(178 Artinya: “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih” (QS. Al-Baqarah/2 : 178) Dari keterangan ayat di atas, jelas bahwa korban atau keluarganya diberikan hak untuk memaafkan dengan cara yang baik. Pemaafan ini bertujuan agar tidak terjadi permusuhan dan dendam yang berlarut-larut antara keduanya. Adapun pelaksanaannya dengan cara yang baik sesuai dengan kesepakatan dan persetujuan diantara kedua pihak. Boleh saja pemaafan ini desertai dengan diyat atau boleh pula pihak korban memberikan maaf dengan tanpa diyat sama sekali. Dan Allah memperingatkan agar dalam menentukan diyat tidak melampaui batas dan berlebihan karena manusia cenderung suka berlebihan. Oleh kerena itu,
77
meski pemaafan dan diyat merupakan hak bagi korban atau keluarga korban, namun dalam pelaksanaannya tetap harus diawasi oleh hakim untuk menghindari sikap berlebihan oleh pihak korban atau keluarga korban. Disini terlihat jelas bahwa hak korban atau keluarga korban turut dipertimbangkan dalam penjatuhan hukuman. Berbeda dengan hukum positif, delik pembunuhan merupakan delik publik yang hak sepenuhnya berada di tangan negara atau Undang-Undang. Walaupun keluarga korban memberikan hak ma’afnya, namun tidak akan mempengaruhi penjatuhan hukuman, sehingga hukuman tidak akan menjadi lebih ringan atas pema’afan tersebut. Perbedaan lain yang terlihat adalah jika dalam hukum Islam, denda yang dibebankan kepada pelaku sepenuhnya diserahkan kepada korban atau keluarganya. Namun dalam hukum positif, denda justru Negara yang menerima denda dari pelaku. Dari penjelasan di atas, maka konsep-konsep yang diusung dalam program pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan kemudian dengan program lanjutan yaitu dengan Pembebasan Bersyarat maka hal itu merupakan ijtihad hakim dalam lingkup hukuman ta’zir dalam menentukan pidana dengan konsep pemaafan tersebut kemudian dilanjutkan dengan konsep pembinaannya maka dapat diharapkan pelaku pidana dapat bertaubat dan kembali menjadi pribadi yang baik dan seutuhnya sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan urain bab-bab terdahulu, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, yakni sebagai berikut: 1. Sistem pemidanaan menurut hukum positif pada dasarnya mencakup pengertian yang luas. Namun dapat disimpulkan, bahwa sistem dimana pelaksanaannya bertujuan untuk pemberian dan penjatuhan hukuman oleh hakim sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam Islam, sistem pemidanaan juga memiliki esensi yang sama yakni sebagai “pencegah” dan “penebus”. Selain kedua hal tersebut, pemidanaan menurut Islam juga bertujuan sebagai perbaikan dan pendidikan. Sebagai pencegah, karena ia berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal, dan sebagai penebus, karena ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah di hari kiamat. Sistem pidana Islam sebagai “pencegah”, akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa. 2. Bahwa peraturan tentang Pembebasan Bersyarat dalam hukum positif yaitu bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidananya tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Sedangkan dalam Islam, peraturan
78
79
pembebasan bersyarat tidak memiliki pengertian dan aturan yang konkrit karena dalam hal ini merupakan bagian dari ta’zir. 3. Bahwa pelaksanaan pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana sebagai salah satu upaya pembinaan narapidana dilaksanakan dengan beberapa tahapan, yakni tahapan awal, lanjutan dan tahapan akhir. Sedangkan bentuk pembinaannya dilaksanakan dengan 2 (dua)
bentuk pembinaan, yakni
pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Sedangkan prosedural tata cara pelaksanaannya mengacu pada Permen Hukum dan HAM No M.2.PK.04-10 Tahun 2007, dalam Pasal 11. Sementara tinjauan dari Hukum Islam, pelaksanaannya dilaksanakan berdasarkan konsep “taubat” dengan 5 (lima) tahapan, yakni tahapan kesadaran, penyesalan, permohonan ampun, perjanjian, dan tahapan perbaikan. 4. Pelaksanaan program pembebasan bersyarat dirasa sangat efektif untuk untuk mengatasi masalah-masalah di rutan, seperti over capacity, pemulihan kembali mental narapidana, pemberdayaannya kembali dalam masyarakat, dan sebagainya. Sedangkan dalam Islam, meski tidak ada secara tersurat tentang dalil-dalil pembebasan bersyarat, dapat dilihat satu kesatuan dengan sistem kepenjaraan dalam Islam yang memiliki dasar legalitasnya. Namun demikian, program tersebut merupakan ranah ijtihad untuk mencari solusi yang lebih baik. 5. Bahwa berdasarkan analisis dari sudut pandang Hukum Positif tentang pelaksanaan pogram pembebasan bersyarat, telah dilaksanakan berdasarkan
80
tahapan-tahapan sebagaimana yang semestinya sehingga dapat dikatakan pelaksanaannya sudah berjalan dengan baik dan efektif meski memiliki kendala-kendala kecil. Sedangkan analisis dari sudut pandang Hukum Islam, pelaksanaannya pun sejalan dengan konsep pemaafan dan juga taubat dalam Islam sehingga tujuan untuk memberikan keadilan antara pihak korban dan pelaku bisa terwujud dan program-program yang ada untuk mengembalikan klien menjadi sumber daya manusia yang dapat diterima kembali oleh masyarakat dapat dicapai.
B. Saran-Saran 1. Agar dalam pelaksanaan pembebasan bersyarat dapat dilaksanakan betul-betul berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak membedabedakan status warga binaan untuk menghindari penyelewengan (KKN). 2. Dalam pemberian pembebasan bersyarat, hendaknya jangka waktunya dapat dipersingkat, agar tidak terjadi pemberian keputusan Pembebasan bersyarat yang telah lewat waktu dari tanggal bebas yang semestinya. 3. Meningkatkan koordinasi antar lembaga dalam pelaksanan dan pengawasan program pembebasan bersyarat agar tepat sasaran dan tercapainya tujuan yang memuaskan. 4. Agar warga binaan yang mendapat pembebasan bersyarat memahami betul fungsi dan tujuan diberikannya kepada klien pembebasan bersyarat sehingga tujuan pelaksanaannya optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim Amirudin, dan H. Zainal Asikin, Metode Penelitian, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. I., ed. I. Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hujum Pidana, T.tp, PT. Citra Aditya Bakti, 2005, Cet. Ke-III. Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif dengan Pidana Penjara, Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 1996. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1998, Cet. Ke-XI, ed. Revisi IV. Assiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk Pidana Dalam Tradisi Fiqh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, cet. Ke-I. ed. 1, Bandung, Angkasa, 1995. Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Djazuli, A. Fiqh Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1997, Cet. Ke-II, Hadi, Agustinus Purnomo, Pembebasan Bersyarat: Bagian Dari Proses Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Yang Terpadu (Intergrated Criminal Justice System), Tesis S2 Pogram Studi Ilmu Hukum, Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1999. Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita, 1993. Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1993, Cet. Ke-V, Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayu Media Publishing, 2007, Cet. Ke-III, ed. Revisi. Jamaludin, Burhanudin, Konsep Taubat, Pintu Peengampunan Dosa Besar & Syirik Masih Terbuka, Surabaya, Penerbit Dunia Ilmu, 1996, cet. I, Jaya, Yahya, Pernan Taubat Dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, Jakarta, CV. Ruhama, 1995, Cet. Ke-III,
81
82
Kansil, CST. dan Cristine S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Jilid 2, Jakarta, Balai Pustaka, 2003, Cet. Ke-2. Lamintang, P.A.F, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung, Armico, 1988. Marpaung, Leden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, Cet. Ke-III, Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, PT. Alumni, 2005, Cet. Ke-III. Priyantno, Dwidja, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2006, Cet. I, Rahman, Abdur, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 1992, Cet.1. Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta, Aksara Baru, t.th. Subagyo, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. Ke-VI, ed. I. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, Cet. Ke-II, Jakarta, CV Rajawali, 1986. Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian, Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2004. Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1989. Tunggal, Hadi Setia, Undang-Undang Pemasyarakatan, Jakarta, Haevarindo, 2000.
Sumber Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan Lainnya Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. PP No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. PP No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Kepmen Kehakiman No. M.01.PK.04-10 Tahun 1999 Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, Surat Edaran Tahun 1992
83
tentang syarat tambahan asimilasi cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat. Keputusan Menteri Tahun 1999 Tentang Asimilasi Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Kepditjen Tahun 1992 Tentang Petunjuk Pelaksnaan Asimilasi Pembebasan Bersyarat Cuti Menjelang Bebas. Artikel Abubakar, Al-Yasa`, Hukuman Penjara Dalam Perspektif Syari’at Islam Dan Perbaikan Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia, Makalah ditulis atas permintaan Panitia, Dinas Syari`at Islam Provinsi Aceh, untuk Seminar & Workshop Nasional tentang Peningkatan Pelayanan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan Ruh Syari`at Islam, Banda Aceh 2 Desember 2008. Mubahitsin, M. Lubabul, Pidana Penjara Dalam Pandangan Islam, diakses pada tanggal 30 Agustus 2009 dari http://lubabulmubahitsin.blogspot.com/2008/ 02/pidana-penjara-dalam-pandangan-islam.html Pembebasan Bersyarat, Peluang Napi yang Syarat Arti, diakses pada tanggal 26 J uli 2009 dari http://www.hukumonline.com/ detail.asp?id=17359&cl=Fokus