BAB II TINJAUAN UMUM SUKU BANJAR KECAMATAN SECANGGANG, KABUPATEN LANGKAT
2.1
Gambaran Umum Suku Banjar
2.1.1
Letak Geografis dan Kondisi Kabupaten Langkat
Foto 2.1 : Peta Kabubaten Langkat (sumber: http://erwinsiregar.blogspot.com/2011/06/blog-post_07.html)
Universitas Sumatera Utara
Desa Tanjung Ibus sebagai tempat penelitian, berada di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Kabupaten ini terletak pada koordinat 3º-14” sampai 4º-13” Lintang Utara serta 97º-52” sampai 98º-45” Bujur Timur dengan ketinggian 0-300 meter di atas permukaan laut. Di sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Kabupaten Karo, sebelah Barat dengan Nanggroe Aceh Darussalam, dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai. Kabupaten Langkat memiliki keadaan alam yang terdiri dari daerah pantai, dataran rendah, dan dataran tinggi. Keadaan alam yang bervariasi ini dimanfaatkan masyarakat dan pemerintah untuk mengelola lahan pertanian, perkebunan, serta pertambangan minyak bumi dan gas alam. Keadaan alam pegunungan, sungai-sungai, pantai-pantai, serta flora dan fauna yang berada di kabupaten ini menjadi objek wisata yang layak dikunjungi oleh wisatawan dari dalam dan luar negeri. Pemerintahan Kabupaten Langkat berpusat di Kota Stabat. Menurut data Kecamatan Secanggang , Kabupaten Langkat memiliki luas 6.263,29 km² dan terdiri atas 23 kecamatan dan 277desa/kelurahan. Jumlah penduduknya 1.027.414 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 164,04 jiwa/km². Perbandingan luas kecamatan dengan jumlah penduduk termasuk belum merata. Kecamatan Bahorok dengan luas 955,10 km² memiliki kepadatan penduduk 47,69 jiwa/km² atau kedua terjarang penduduknya. Sebagai kota Kabupaten, Kota Stabat merupakan kota dengan jumlah penduduk terpadat yaitu 904,88 jiwa/km², dengan luas 108,85 km², serta Kecamatan Secanggang yang berada di daerah pantai Selat Malaka termasuk
Universitas Sumatera Utara
kecamatan yang tingkat kepadatan penduduknya berada di atas rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Langkat. Kecamatan Secanggang dengan luas 243,78 km² memiliki tingkat kepadatan penduduk 6613 jiwa/km² sedangkan ratarata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Langkat adalah 300 jiwa/km². Pusat pemerintahan Kecamatan Secanggang berada di Hinai Kiri yang berjarak 15 km dari Kota Stabat. Kecamatan ini terdiri dari 17 desa/kelurahan, diantaranya : Tabel 2.1 Jumlah Etnik di Kabupaten Langkat Etnik
No
Desa Melayu
Banjar
Jawa
Karo
Toba
Mandailing
Secanggang 50 % 40% 1 Selotong 30% 50% 2 Pantai Gading 50% 35% 3 Kuala Besar 50% 40% 4 Perkotaan 40% 29% 5 Jaring Halus 40% 40% 6 Karang Anyer 50% 40% 7 Karang Gading 53% 25% 8 Kepala Sungai 20% 60% 9 50% 24% 10 Suka Mulia 20% 20% 11 Cinta Raja 20% 20% 12 Teluk 20% 30% 13 Telaga Jernih 50% 40% 14 Hinai Kiri 60% 15 Kebun Kelapa 20% 20% 60% 16 Sungai Ular 20% 60% 17 Tanjung Ibus Sumber: Kantor Statistik Kab. Langkat
5% 20% 15% 5% 26% 15% 5% 17% 20% 20% 40% 40% 35% 5% 20% 20% 20%
3% _ _ 3% 2% 3% 3% 2% _ 3% 15% 10% 10% 3% _ _ _
_ _ _ _ 1% _ _ _ _ _ 2% 2% _ _ _ _ _
2% _ _ 2% 2% 2% 2% 3% _ 3% 3% _ 5% 2% _ _ _
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari tabel di atas, terlihat bahwa suku Banjar menjadi suku mayoritas yang menghuni di hampir semua desa di Kecamatan Secanggang, serta desa Tanjung Ibus, menjadi salah satu desa dengan jumlah suku Banjar terbanyak. Daerah ini juga berada di sekitar pesisir pantai. Hal ini juga yang memungkinkan tersebarnya suku banjar, dikarenakan masuknya pendatang pada umumnya melalui laut.
2.1.2
Data kependudukan Desa Tanjung Ibus Menurut data Kecamatan Secanggang, penduduk Kabupaten Langkat lebih
banyak perempuan dibandingkan penduduk laki-laki. Pada tahun 2014 jumlah penduduk laki-laki sebesar 513.651 jiwa sedangkan penduduk perempuan sebanyak 513.763 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 99,98%. Berdasarkan persentase suku bangsa, mayoritas penduduk Langkat bersuku bangsa Melayu (56,87%), Jawa (15,93%), Karo (12,22%), Toba (1,50%),dan
Mandailing
(2,54%). Keadaan penduduk Kabupaten Langkat berdasarkan data BPS Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Langkat tidak mencantumkan jumlah penduduk dari suku bangsa Banjar. Menurut Ir. H. Ansharullah, MMA sebagai Ketua Paduan Masyarakat Keluarga Kalimantan (PMKK) Kabupaten Langkat dalam Fauzi (2006:62-63), orang Banjar yang bermukim di kabupaten ini diperkirakan sekitar 6-8% dari jumlah penduduk Kabupaten Langkat atau sekitar 70.000 jiwa. Mereka tersebar di seluruh kecamatan dengan pusat pemukiman orang Banjar berada di Kecamatan Secanggang, Stabat, Hinai, Tanjung Pura, Gebang, Babalan, Brandan Barat, dan Pangkalan Susu.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Fauzi (2006: 62), migrasi besar-besaran orang Banjar ke Sumatera dan Malaysia terjadi tahun 1868 setelah terjadi Perang Banua Lawas di Kalimantan. Hal ini dibuktikan ketika orang Banjar secara resmi datang pada tahun 1900, mereka mendapati bahwa sudah ada suku Banjar yang mendiami daerah pesisir pantai Kabupaten Langkat. Oleh karena itu, suku Banjar menjadi penduduk mayoritas yang menghuni kabupaten di sepanjang Kabupaten Langkat. Di Kecamatan Secanggang yang terletak di pantai Selat Malaka, suku Banjar menjadi penduduk mayoritas, terutama di Desa Tanjung Ibus, Kebun Kelapa, Sungai Ular, Secanggang, Kepala Sungai, dan Selotong.
2.1.3
Mata pencaharian Mata pencaharian Suku Banjar di Desa Tanjung Ibus pada umumnya adalah
bertani, terutama pertanian sawah pasang surut, berladang, berkebun, dan beternak. Salah satu alat pertanian khas Banjar adalah tajak bulan digunakan untuk menebas rumput di sawah yang berair. Selain bertani, sebahagian suku Banjar mencari nafkah sebagai nelayan, dikarenakan keadaan posisi wilayahnya berada di daerah pesisir, maka mereka memilih sebagai nelayan sungai, rawa, dan laut. Suku Banjar yang berada jauh dari kampung halamannya ini masih mewarisi peralatan tradisional, seperti lunta (jala) untuk menangkap ikan, unjun (pancing) untuk memancing ikan, pangilar, alat penangkap ikan sepat yang sangat khas, terbuat dari kawat jaring. Memakai alat ini tidak memerlukan umpan untuk menangkap ikan sepat, karena bentuk dari bubu/ lukah (alat penangkap ikan) yang berbentuk bujur sangkar terbuat dari rotan, menyebabkan ikan sepat akan mudah
Universitas Sumatera Utara
masuk dan tidak bisa keluar lagi. Bentuk dari alat ini dan bentuknya bermacammacam ada yang besar ada untuk menangkap ikan besar seperti ikan tauman, belida dan kalui. Bentuk yang kecil untuk menangkap ikan kecil seperti sepat siam, pupuyu dan kepar.
Foto 2.2 : Tajak Bulan salah satu alat pertanian khas Banjar untuk menebas / membabat rumput disawah yang berair (sumber: hasanzainuddin.wordpress.com)
Universitas Sumatera Utara
Foto 2.3 : Lunta/ jala untuk menangkap ikan (sumber : budayaurangbanjar.blogspot.com)
Foto 2.4 : Bubu / lukah terbuat dari rotan, bentuknya bermacam – macam ada yang besar dan ada yang kecil sesuai ukuran ikan yang akan ditangkap.(sumber :budaya-urangbanjar.blogspot.com)
Universitas Sumatera Utara
Foto 2.5 : Pangilar, alat penangkap ikan sepat khas Banjar, tanpa umpan ikan secara berombongan masuk dan tidak bisa keluar lagi.(sumber : budayaurangbanjar.blogspot.com)
Suku Banjar di Desa Tanjung Ibus terkenal pandai mengolah makanan dengan cara mengawetkan / mamaja. Ilmu memasak tradisional Suku Banjar masih melekat hingga saat ini, turun temurun dari leluhur yang dibawa dari tanah kelahiran, karena “ ujar urang bahari”, semua kebaikan dan keburukan melalui perut, jadi makanlah yang halal jangan yang haram, karena isi perut adalah segalagala iman. Jadi memasak adalah unsur budaya yang sangat penting, sebab mempengaruhi harkat dan martabat seseorang. Makanan khas Banjar yang terkenal hingga kini di Kalimantan Selatan maupun di Desa tanjung Ibus adalah Wadi‟ dan Mandai. Dua jenis kuliner menggiurkan yang tidak ada pada suku lain manapun. Dua cara mengawetkan tersebut yaitu : 1. Wadi’ (Ikan fermentasi), yaitu ikan sawah seperti sepat, papuyu, badau ataupun ikan air tawar lainnya yang diberi garam bercampur rebuk beras atau gabah yang disangrai/ digoreng tanpa minyak, yang selanjutnya ditumbuk kasar. Dalam proses mawadi`, harus dicampur garam yang banyak, agar ikan tetap awet dan
Universitas Sumatera Utara
tidak mudah busuk. Ikan yang di proses seperti ini disebut Wadi`. Ikan olahan yang di fermentasi ini awet hingga satu tahun lamanya di dalam toples. Untuk mengkonsumsinya menjadi lauk, ikan wadi` harus di goreng terlebih dahulu, atau ditambahkan sedikit bawang. Untuk olahan lainnya, wadi` juga sangat enak dimasak dengan bungkusan daun pisang dipais/dipepes. Wadi` di Desa Tanjung Ibus merupakan makanan langka yang sangat diminati masyarakat di Desa Tanjung Ibus tersebut. Wadi bisa ditemukan ketika musim penghujan datang, dimana banyak terdapat ikan-ikan sawah untuk diolah menjadi wadi`.
Foto 2.6 : Cara mengawetkan ikan dengan digarami yang banyak agar ikan tidak busuk( sumber: archive.kaskus.co.id) 2.
Mandai (kulit cempedak yang di fermentasi), mandai dibuat dari kulit Tiwadak (cempedak) yang kulit luarnya dikupas sehingga duri/geriginya hilang, kemudian kulit dalam beserta serat-seratnya diolah sedemikian rupa dengan memberi garam, selanjutnya dipaja/diperam (difermentasikan) di dalam bejana non logam atau di dalam toples. Rasa mandai sangat khas, terasa sedikit asam, tapi ini sungguh enak, di masak dengan cara digoreng atau ditumis kering dengan cabai
Universitas Sumatera Utara
beserta bawang. Hanya sesederhana itu memasaknya, sangat enak jika disajikan dengan nasi panas.
Foto 2.7 : Ikan yang difermentasi (sumber: yusfasanti1712.bligspot.com) Kadang-kadang dalam waktu-waktu tertentu mandai bisa menjadi sangat di favoritkan untuk dimakan mengalahkan daging sapi atau ayam atau ikan-ikan lainnya sebagai lauk. Demikian juga dengan mata pencaharian sampingan berupa kerajinan mengayam tikar purun,tanaman purun tersebut diambil dari rawa-rawa. Tetapi saat ini yang pandai menganyam purun tidak hanya dan bakul seperti lanjung untuk membawa hasil pertanian, diletakkan dipunggung dan talinya bertumpu dibahu , ada juga bakul pabarasan tempat untuk menyimpan beras,terbuat dari kulit bamban yang menjadi ciri khas suku Banjar di tanah leluhurnya masih menjadi kegiatan sampingan
ibu rumah tangga di Desa Tanjung Ibus dan
sekitarnya.
Universitas Sumatera Utara
Foto 2.8 : Bakul Pabarasan, bakul tempat Foto 2.9: Lanjung, keranjang yang di menyimpan beras, terbuat dari kulit Bamban. Gunakan untuk membawa hasil pertanian, diletakkan dipunggung. (sumber : www.rancahpost.co.id dan hasanzainuddin.wordpress.com)
Foto 2.10 : Seorang wanita / bibinik Banjar sedang menganyam tikar purun yang merupakan salah satu home industri Suku Banjar. (sumber : www.fotografindo.com)
2.2
Suku Banjar
Universitas Sumatera Utara
Kata kalimantan menurut Prof. Dr. Slamet Mulyana dalam bukunya Sriwijaya (LKIS 2006) Kalimantan atau Klemantan berasal dari kata Sanksekerta, Kalamanthana yaitu pulau yang udaranya sangat panas atau membakar (kal(a): musim, waktu dan manthan(a): membakar). Karena vokal a pada kala dan manthana menurut kebiasaan tidak diucapkan, maka Kalamanthana diucap Kalmantan yang kemudian disebut penduduk asli Klemantan atau Quallamontan yang akhirnya diturunkan menjadi Kalimantan. Diwilayah Serawak, bagian malaysia timur dikenal kata Lamantah yang artinya sagu mentah, yang pada zaman dahulu menjadi salah satu makanan pokok masyarakat setempat, dari kata lamantah itulah nanti menjadi kata „Kelamantan‟ yang dimaksudkan kepada penduduk setempat makanan pokoknya sagu. Dari cerita masyarakat di Kalimantan selatan, khususnya suku Banjar, mengenai kata „Kalimantan‟ berasal dari dua gabungan kata „Kali‟ dan „Mantan‟ disini untuk kata „kali‟ dapat diartikan dengan „Sungai‟ sedangkan „Mantan‟ adalah singkatan dari kata “Jumantan” atau kata lain dari “intan”, yang kalau diterjemahkan kata Kalimantan berarti sungai yang banyak mengandung berbagai macam intan/berlian. Kata Borneo merupakan nama populer lain dari Kalimantan khususnya di Benua Eropa, munculnya sebutan Borneo oleh orang Eropa dikarenakan di Kalimantan banyak ditemukan pohon Borneol (bahasa latin: Dryobalanops camphora) yaitu pohon yang mengandung terpetin, yaitu bahan yang dipergunakan untuk antiseptik atau minyak wangi dan kamper. Pada awal
Universitas Sumatera Utara
kedatangan orang Eropa ke Indonesia terutama di Kalimantan, Borneol merupakan salah satu sumber daya alam yang dicari bangsa Eropa di Kalimantan. Selain itu kata Borneo juga menunjuk pada satu Kerajaan dipulau Utara Kalimantan yaitu Kerajaan Brunei Darussalam yang sering disinggahi pedagang Eropa pada masa kolonial, dimana Kerajaan Brunei pada saat itu merupakan sebuah Kerajaan yang paling menonjol dipulau Kalimantan sekitar abad ke 16. Karena kesulitan lidah orang Eropa menyebut kata Brunei akhirnya menjadi terbiasa dengan sebutan Borneo. Sekarang ini Kalimantan atau Borneo merupakan wilayah yanh dimiliki oleh tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan juga Brunei Darussalam (maedafarhansyah07.blogspot.com buku syahrani) 2.2.1 Migrasi suku Banjar ke Sumatera Timur
Foto 2.11 : Migrasi besar-besaran suku Banjar ke Sumatera Timur (sumber: http://erwin-siregar.blogspot.com/2011/06/blog-post_07.html) Pemadaman merupakan kosa kata bahasa banjar yang artinya sama dengan perantauan. Pemadaman berasal dari kata madam yang artinya pergi
Universitas Sumatera Utara
merantau atau melakukan migrasi terutama keluar Kalimantan Selatan. Sejak akhir abad ke-19 atau awal-awal abad ke-20banyak orang Banjar yang melakukan migrasi ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara. Sehingga tak mengherankan orang Banjar kini banyak bermukim di Sapat dan Tembilahan (Indragiri Hilir, Provinsi Riau), Bintan (Provinsi Kepri), Kuala Tungkal (Provinsi Jambi), Deli Serdang , Langkat, Serdang Bedagai, Asahan (Provinsi Sumut), Kaltim, Kalteng, di pulau Jawa, pulau Lombok dan Bima (Nusa Tenggara Barat), Manado, Gorontalo, Kendari, Makasar, Maluku, dan lain sebagainya. Atau di daerahdaerah yang menjadi bagian negara luar Indonesia, seperti Parit Buntar di Perak, Tanjung Karang di Selangor dan Batu Pahat di Johor dan juga di negara Brunei Darussalam, Singapura, dan Pattani Thailand. Fenomena migrasi yang dilakukan orang Banjar di akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 merupakan pola umum yang juga dilakukan oleh berbagai etnis di Nusantara. Migrasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor kondisi politik, ekonomi, keamanan, atau faktor tidak kondusifnya daerah asal mereka. Faktor ekonomi seperti untuk mencari penghidupan yang lebih baik merupakan salah satu alasan mereka bermigrasi, misalnya yang dilakukan orang Banjar ketika bermigrasi ke Semenanjung Malaya sebagai buruh penyadap karet. Penyadapan getah karet dan perluasan lahan perkebunan karet tentu saja memerlukan tenaga kerja atau buruh harian. Dan tenaga itu didatangkan atau diperoleh dari orang-orang yang datang ke Semenanjung Malaya.
Universitas Sumatera Utara
Orang-orang Banjar tidak segan bekerja di tempat yang jauh dari kampungnya. Walaupun mereka akan segera kembali jika telah mendapat banyak uang atau keadaan di perantauan tidak menguntungkan lagi. Seperti ketika perkebunan tembakau Deli baru dibuka, banyak orang Banjar pergi kesana untuk membuka lahan dan membuat bangunan (L. Potter dalam Tundjung, 2008:6). Menurut Sartono Kartodirdjo (1975: 116-118), fenomena migrasi bukanlah semata-mata faktor ekonomi yang menjadi pertimbangan mereka, namun dikarenakan oleh faktor lain seperti faktor politik yang kadang-kadang membuat orang menentukan harus pindah ke daerah lain. Bambang Purwanto dalam A. Muthalib (2008:24) menyatakan bahwa ketika tekanan politik Belanda terhadap Banjarmasin dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan semakin intensif, orang Bugis dan Banjar semakin banyak yang membuka daerah rawa-rawa di sepanjang pantai timurSumatera. Terkait dengan latar belakang migrasi orang Banjar, maka selain bertujuan untuk mencari penghidupan yang lebih baik (faktor ekonomi), juga untuk menghindar dari penindasan Pemerintah Hindia Belanda (faktor politik dan keamanan). Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kresidenan Borneo Selatan (Kalimantan Selatan) di tahun 1920 an turut mendorong terjadinya migrasi orang Banjar. Kondisi itu terkait dengan dampak ekonomi dunia yang tengah dilanda malaise. Selain itu, adanya perlakuan diskriminasi Pemerintah Hindia Belanda terhadap pribumi mengakibatkan kehidupan masyarakat Banjar di bawah penguasaan Belanda juga sangat memprihatinkan.
Universitas Sumatera Utara
Orang Belanda (termasuk orang Eropa lainnya) sebagai kelas tertinggi, memegang kekuasaan ekonomi dan politik. Pembangunan seperti di bidang pendidikan, tempat rekreasi, perumahan, bioskop, dan fasilitas penting lainnya adalah untuk kepentingan Pemerintah Hindia Belanda dan orang-orang Eropa. Hanya orang kulit putih atau yang dipersamakan yang boleh memasuki fasilitas penting tersebut, sedangkan Bumiputera adakalanya dilarang masuk karena ada tanda-tanda tertentu bertulisan larangan, seperti: “Verboden toegang voor Inlanders en Honden (dilarang masuk untuk orang bumiputera dan anjing” (Saleh, 1981-1982:37). Perlakuan diskriminasi sebenarnya tidak hanya dikenakan antara golongan pribumi dengan orang Eropa atau Timur Asing, melainkan juga antara golongan pribumi muslim dengan pribumi penganut agama Kristen. Pada tahun 1920-an, guru-guru agama, guru-guru sekolah Islam, khatib, bilal dan kaum masjid dikenakan kewajiban oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan Ordonnantie Heeren Dienst yang menyangkut erakan atau kerja rodi, sedangkan guru-guru agama Kristen, Penyebar Injil, dan Kepala Jemaat, dan Guru-guru Sekolah Zending justru dibebaskan dari kewajiban itu. Diskriminasi atau pengklasifikasian status sosial yang terjadi di dalam masyarakat mengundang pertentangan sosial dan ini menyebabkan seringnya terjadi penindasan terhadap kaum yang lemah. Diskriminasi dan penindasan seperti itulah yang pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan pada masyarakat bumiputera.
Universitas Sumatera Utara
Terhadap pribumi pemerintah Hindia Belanda mengenakan berbagai pungutan seperti Pajak Pencaharian, Pajak Tanah, Pajak Kepala, Pajak Erakan (uang kepala), Bea Masuk, Pajak Penyembelihan dan berbagai pungutan resmi maupun tidak resmi. Selain itu, setiap orang, kecuali golongan pangreh praja, yang berumur antara 18-45 tahun dapat dikenakan kerja rodi (kerja erakan) yang sangat memberatkan rakyat yang kesemuanya untuk kepentingan Pemerintah HindiaBelanda. Mengenai pajak erakan (uang kepala), misalnya: (1) Tiap 1 orang petani yang punya 1 bidang sawah dan 1 bidang ladang dalam setahun harus bayar pajak sawah-ladangnya, walaupun hasilnya sangat kurang. Sawah dikenakan wajib pungut sebesar “tujuh puluh lima sen” (f 0,75), dan pajak ladang wajib bayar “lima puluh sen” (f. 0,50); (2) Tiap 1 orang berusia lanjut 50 s.d. 55 tahun harus bayar wajib pajak kepala per tahun “lima puluh sen” (f. 0,50). Tiap 1 orang dewasa (kawin/belum) umur 18 tahun ke atas harus bayar wajib pajak seperti tersebut di atas. Meski umur muda akan tetapi jika akan melaksanakan perkawinan, dia wajib kena pungut pajak kepala(Wajidi,2008:18). Kondisi sosial ekonomi yang berkaitan dengan rodi dan berbagai pajak dan pungutan, dampak depresi ekonomi dunia saat itu, dan ditambah dengan pendidikan yang kurang maju menjadi dominan sifatnya antara tahun 1900 –1928 di Kalimantan Selatan. Kondisi demikian mengakibatkan keresahan yang bermuara kepada munculnya pemberontakan Guru Sanusi 1914-1918 dan pemberontakan
Gusti
Darmawi
tahun
1927.
Keadaan
itu
pula
yang
mengakibatkan banyak penduduk khususnya dari Hulu Sungai yang melakukan
Universitas Sumatera Utara
eksodus ke pesisir Timur Sumatera seperti Kuala Tungkal, Sapat, Tembilahan. Sampai tahun 1950 jumlah penduduk suku Banjar di daerah Sapat dan Tembilahan mencapai 250.000 orang (Saleh et al,1978/1979: 51). Sumatera Utara merupakan salah satu daerah pamadaman yang cukup besar. Berdasarkan data yang diperoleh dari Ahmad Fauzi (2010:2) diperkirakan orang Banjar di Sumatera Utara saat ini berjumlah lebih kurang 180.000 orang dengan perincian kab. Langkat 70.000 orang, Deli Serdang 30.000 orang, Serdang Bedagai 50.000 orang, Asahan 20.000 orang, kabupaten/kota lainnya kurang lebih 10.000 orang. Informasi lain sebagaimana disebutkan A. Muthalib (2008:26) bahwa orang Banjar yang telah bermukim di Indragiri Hilir pada tahun 1900 sekitar seribu jiwa. Lima belas tahun kemudian (1915) jumlah mereka meningkat drastis, yakni 18.798 jiwa. Pada akhir perang Dunia I atau dekade kedua abad ke-20, jumlah mereka diperkirakan 20 ribu jiwa. Selain ke pesisir Sumatera, puluhan ribu penduduk Hulu Sungai juga pergi untuk menetap di Melaka (Sjamsuddin, 2001: 9). Mungkin yang dimaksud Sjamsuddin di Malaya, bukan di Melaka. Kalau di Melaka tidak ada orang Banjar seramai itu, kerana Melaka bukan tumpuan migrasi orang Banjar. Menurut Tunku Shamsul Bahrin (1964) sebagaimana dikutip dari Mohamed Salleh Lamry (2010:4) bahwa berdasarkan sensus penduduk Semenanjung Malaya tahun 1911, orang Banjar di Malaya pada masa itu berjumlah 21.227 orang. Umumnya mereka bermukim di Perak, Selangor dan Johor. Pada tahun 1921 orang Banjar di Malaya meningkat hampir 80% menjadi
Universitas Sumatera Utara
37.484 orang. Antara tahun 1921 hingga 1931 penduduk Banjar di Malaya bertambah 7.503 orang menjadi 45.351 orang. Perak, Johor dan Selangor masih merupakan negeri di mana jumlah orang Banjar paling ramai. Dalam tiga negeri inilah tinggal 96% orang Banjar di Malaya. Proses migrasi orang Banjar memang sudah terjadi pada abad ke-18 ketika Belanda melakukan campur tangan dalam perebutan tahta antara Pangeran Nata dan Pangeran Amir yang berujung kepada kekalahan Pangeran Amir dan akhirnya dibuang ke Ceylon (Sri Langka). Untuk menghindari dari penangkapan dan hukuman dari pihak kolonial Belanda, maka pengikut Pangeran Amir melakukan eksodus ke berbagai tempat yang dirasa aman. Migrasi orang Banjar keluar Kalsel semakin banyak ketika terjadinya Perang Banjar yang berlangsung selama lebih dari 40 tahun (1859-1906). Dan migrasi itu mencapai puncaknya pada dekadedekade pertama abad ke-20, disaat Pemerintah Hindia Belanda telah semakin intens menancapkan kekuasaan dan menjalankan pemerintahan kolonial yang diskriminatif dan menindas kaum pribumi. Migrasi orang Banjar ke berbagai tempat di kepulauan Nusantara juga didukung oleh kemampuan orang Banjar dalam memiliki dan menguasai teknologi pembuatan perahu (jukung) dalam berbagai bentuk dan jenis keperluan baik untuk sungai, pantai dan lautan. Kemampuan itu dengan sendirinya menjadikan orang Banjar memiliki tradisi berlayar baik sebagai pelaut, nelayan, dan pedagang antar pulau (interensuler). Tak mengherankan jika pada masa Kerajaan Negara Dipa, Negara Daha, dan Kesultanan Banjar, jung-jung yang
Universitas Sumatera Utara
dibawa pedagang Banjar banyak berlabuh di berbagai bandar di pantai utara pulau Jawa. Ketika Islam berkembang pesat di Kesultanan Banjar yang mengharuskan penganutnya untuk melakukan perjalanan haji ke Mekkah bagi yang mampu, maka kemampuan orang Banjar berlayar mengarungi samudera semakin terasah. Adalah hal biasa jika orang Banjar melakukan perjalanan ibadah haji ke Mekkah dengan menaiki kapal layar sendiri pulang pergi selama setahun lamanya. Kemampuan memiliki, menguasai teknologi perkapalan dan adanya tradisi berlayar dan berdagang antar pulau dengan perahu tradisional itulah yang menjadikan orang Banjar memiliki mobilitas tinggi, berlayar dari satu pulau ke pulau lain dan menyusuri sungai hingga jauh ke pedalaman untuk mencari tempat bermukim. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menumpang kapal uap milik maskapai Belanda yang hanya merapat di Bandar besar saja. Putusnya komunikasi antara orang Banjar banua dengan perantauan barangkali disebabkan karena semakin berkurangnya armada perahu-perahu tradisional Banjar yang melayari lautan karena semua kegiatan perdagangan diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda, seiring dengan berhentinya perlawanan orang Banjar di awal abad ke-20 dan monopoli perdagangan Cina. Berbagai upaya untuk melawan pengaturan Belanda itu dan monopoli pedagang Cina, seperti yang dilakukan organisasasi Sarekat Islam cabang Banjarmasin dengan mendirikan Sarekat Pelayaran sebagai upaya untuk memperlancar transportasi sungai yang merupakan jalur perdagangan penting di Kalimantan Selatan, namun agaknya usaha-usaha itu tidak mampu melawan monopoli perdagangan yang telah lama
Universitas Sumatera Utara
dikuasai orang-orang Cina yang telah lama mendapat perlakuan istimewa yang diterimanya dari pemerintah, di samping eksploitasi pemerintah kolonial sendiri di bidang ekonomi (Wajidi, 2007: 123). Dengan semakin sedikitnya perahu-perahu Banjar yang melayari lautan, maka semakin jarang orang Banjar di perantauan atau sebaliknya untuk saling berkunjung. Akibatnya untuk waktu sekarang masing-masing pihak mengalami kesulitan untuk menelusuri kembali sanak keluarga keluarganya. Sebagian dari mereka ada yang masih bisa menjalin komunikasi dengan kerabatnya di Kalsel, karena kerabatnya di banua masih dikenali. Namun tidak sedikit pula yang putus sama sekali karena yang mereka ketahui hanyalah padatuan mereka berasal dari Kalsel (seperti dari Barabai, Kandangan, Alabio, Nagara, Amuntai, Kelua), namun dimana atau di kampung apa padatuan mereka dahulunya berada mereka tidak mengetahuinya. Suku Banjar yang datang ke Sumatera pada umumnya adalah orang-orang daerah Alai (Kabupaten Hulu Sungai Tengah) dan orang-orang Kalua (Kabupaten Tabalong) serta orang-orang Hulu Sungai Utara. Kepergian mereka ke Sumatera dan Malaysia disebabkan daerah mereka yang kurang produktif untuk pertanian karena sebagian besar rawa-rawa dan hutan. Mereka melakukan migran dengan menumpang kapal Belanda melalui Singapura, dan dari Singapura tujuan mereka terbagi kepada tiga tempat ke daerah Kuala Tungkal dan Tembilahan, sebagian ke Malaka (Malaysia) dan sebagian lagi ke Deli (Sumatera Timur), karena didaerahdaerah tersebut telah ada saudara-saudara mereka bermukim, ini terjadi pada awal tahun 1900.
Universitas Sumatera Utara
Di daerah Sumatera Timur ini suku Banjar mendapatkan daerah pertanian yang relatif lebih subur di pesisir pantai Kabupaten Asahan, Serdang Bedagai, Deli Serdang, dan Langkat tepatnya di Tanjung Ibus, Sungai Ular, Desa Kedbun Kelapa, Hamparan Perak, Pantai Cermin, dan Pantai Labu. Mereka mengolah persawahan untuk ditanami padi, berkebun kelapa dan lain-lain dengan membuka hutan-hutan disekitar daerah tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang bekerja di perkebunan-perkebunan yang dibuka pemerintah Belanda menjadi tukangtukang pembuat bangsal (tempat pengasapan tembakau) sebagian lagi menjadi mandor-mandor perkebunan dan buruh-buruh non kontrak. Kedatangan masyarakat/orang Banjar pada periode tahun 1900 ini merupakan migran spontan setelah mendapat informasi dari saudara-saudara mereka yang datang pada periode pertama dan kedua, bahwa di Deli banyak lapangan untuk mencari nafkah. Menurut cerita, sekelompok Suku Banjar yang datang dari Kalimantan melapor kepada Sultan Langkat, dan Sultan Langkat memberi mereka pemukiman di sekitar kecamatan Secanggang, hingga sekarang di desa kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat banyak bermukim suku Banjar. Diterimanya orang Banjar secara resmi oleh Sultan Langkat karena faktor kesamaan agama, dan orang Banjar
terkenal
sebagai
penganut
islam
yang
taat
dan
fanatik
(https://bubuhanbanjar.wordpress.com/2010/12/01/asal-usul-etnis-banjar/)
2.2.2
Keberadaan orang banjar di Sumatera Timur
Universitas Sumatera Utara
Ketika orang Banjar meninggalkan kampung halamannya, mereka merupakan pengamal ajaran agama Islam yang taat, karena Kerajaan Banjar merupakan kerajaan Islam yang menerapkan syariat Islam kepada rakyatnya. Suku Banjar berprinsip, madam itu untuk mendapatkan ketenangan hidup lahir dan bathin. Mereka bertekad untuk hidup bersama dirantau dengan baik, yang didasari oleh kekuatan iman dan Islam. Prinsip keimanan Suku Banjar tersirat dalam sebuah filsafat : “ WAJA SAMPAI KAPUTING” yang artinya Ibarat Sebatang Besi, dari pangkal sampai pucuk seluruhnya bagaikan Baja, yaitu prinsip hidup yang istiqomah, selagi hayat dikandung badan, dari lahir sampai meninggal dunia. Suku Banjar berprinsip bahwa alam yang terbentang luas ini merupakan ciptaan Allah untuk seluruh manusia, karenanya dimanapun kita berada, daerah tersebut merupakan milik bersama, harus dijadikan tempat tinggal yang aman dan nyaman (Fauzi,2006: 70). Keberadaan Suku Banjar dalam kehidupan di tanah Deli dapat diidentifikasi dalam beberapa hal, diantaranya : 1. Dalam bidang kemasyarakatan dan pemerintahan Sejak zaman Kesultanan, masa merebut kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan sampai sekarang Suku Banjar tetap aktif dalam setiap aspek perjuangan dan pembangunan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya tokoh-tokoh Banjar berperan dalam masyarakat, dalam jabatan-jabatan formal dipemerintahan maupun non-formal dalam masyarakat di Tanah Deli. 2. Dalam bidang kegamaan
Universitas Sumatera Utara
Dalam bidang ini banyak orang Banjar yang menjadi tokoh-tokoh masyarakat, guru-guru agama, Kepala-kepala KUA. Menurut pengamatan di Kabupaten Langkat hampir semua desa ada orang Banjar yang menjadi guru agama, termasuk di perkebunan-perkebunan. Oleh karena itu tidak berlebihan bila dikatakan orang Banjar di Deli adalah orang-orang Islam yang taat melaksanakan ajaran agama dan suku Banjar adalah gudangnya guru agama. 3. Dalam bidang pendidikan Di bidang pendidikan suku Banjar sudah mulai mengikuti perkembangan, jika dahulu orang Banjar hanya mau menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah agama saja, sekarang diantara anak-anak Banjar sudah banyak yang menuntut ilmu di sekolah umum dan kejuruan bahkan sudah banyak yang menjadi Tentara dan Polri. Tetapi masih ada Suku Banjar yang bersifat egois dalam hal-hal yang berhubungan dengan kemajuan anakanak mereka, salah satu contoh dalam bidang pendidikan banyak orang banjar yang tidak mau mengeluarkan dana untuk membiayai pendidikan anak-anaknya sehingga sangat sedikit putra-putri Banjar yang melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi. Penduduk yang mendiami di seluruh tanah borneo adalah melayu,di kategorikan sebagai melayu tua (proto malay) ataupun melayu muda ( deutro malay) yang memiliki asal usul yang sama termasuk perkembangan bahasa yang dimiliki. Oleh perkembangan waktu dan zaman manusia yang mendiami kantongkantong wilayah diberbagai penjuru borneo mengembangkan peradaban dan
Universitas Sumatera Utara
kebudayaaannya sendiri baik dikarenakan factor akulturasi sehingga pada akhirnya melahirkan entitas – entitas baru yang merujuk identitas itu berdasarkan pada kewilayahan dan bahasa pergaulan sehingga menjadikan penduduk melayu borneo itu berumpun – rumpun bangsa yang beragam. Hal ini lah yang terjadi padabangsa banjar yang mendeklarasikan sebagai melayu – islam di abad 14 lewat momentum kebagkitan kesultanan banjar di selatan borneo dari sekumpulan peduduk asli yang mengikrarkan diri secara politik dan cultural menjadi bangsa dengan sebutan baru
yaitu
bangsa
banjar. Melayu di
tanah
borneo
mengembangkan tata adat dan budayanya sendiri yang menjunjung tinggi nilai – nilai islam sebagai sendi utamanya. Kerajaan- kerajaan di borneo rata-rata berbasis melayu – islam sebagai pijakan dasar / falsafah kerajaaan /kesultanan yang menghasilkan peradaban masyarakat melayu dengan ke khasannya tersendiri di kawasan tanah borneo. Jadi dalam konteks membangun peradaba adat melayu tidaklah bisa dipisahkan dengan nilai- nilai agama yang memang dalam sejarahnya sudah bersenyawa hingga menjadi tatanan peradaba adat melayu di tanah borneo . Ketika kita bicara tentang identitas etnik Banjar, maka penelusuran tentang asal usul etnik ini menjadi penting. Alfani Daud berasumsi bahwa cikalbakal nenekmoyang orang-orang Banjar adalah pecahan sukubangsa Melayu, yang sekitar lebih dari seributahun yang lalu, berimigrasi secara besar-besaran ke kawasan ini dari Sumatera atau sekitarnya. Peristiwa perpindahan besar-besaran suku bangsa Melayu ini, yang belakangan menjadi inti nenek moyang sukubangsa Banjar, diperkirakan terjadi
Universitas Sumatera Utara
pada zaman Sriwijaya atau sebelumnya.Imigrasi besar-besaran dari sukubangsa Melayu ini kemungkinan sekali tidak terjadi dalam satugelombang sekaligus. Menurut asumsi Alfani Daud, kemungkinan sekali etnik Dayak yang sekarang ini mendiami Pegunungan Meratus adalah sisa-sisa dari imigran-imigran Melayu gelombang yang pertama yang terdesak oleh kelompok-kelompok imigran yang datang belakangan. Diperkirakan bahwa imigran-imigran Melayu yang datang belakanganlah yang menjadi kelompok inti terbentuknya sukubangsa Banjar. Dari cikal-bakal inilah nantinya yang menjadi dasar bagi pembentukan struktur sosial dalam masyarakat Banjar. Dengan asumsi cikal-bakal urang Banjar adalah Melayu, maka berkembang pula asumsi selanjutnya, yakni agama mayoritas mereka adalah Islam. Menurut Alfani Daud lagi, karena Melayu adalah Islam. Oleh karenanya, tidak heran jika Islam menjadi identitas urang Banjar sejak berabad-abad. Bahkan, kasus-kasus orang-orang Dayak memeluk agama Islam dikatakan sebagai “menjadi orang Banjar”. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” (membersihkan diri). Dalam perkembangan tersebut, tentunya, terjadi apa yang disebut oleh para ahli sebagai akulturasi budaya antara Islam dengan masyarakat Banjar. Itulah sebabnya kirakira walaupun sejak berabad-abad urang Banjar selalu diidentikkan dengan Islam, namun dalam banyak kasus praktek-praktek keagamaan yang terjadi dalam masyarakat Banjar tidaklah seluruhnya dapat dicari referensinya dalam ajaran Islam.
Universitas Sumatera Utara
Koentjaraningrat (1996: 155): Akulturasi adalah suatu proses social yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsure-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsure-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ki dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Akulturasi dalam adat Perkawinan masyarakat banjar di Langkat, ada perpaduan kebudayaan
dengan melayu, hal ini bisa dilihat dengan prosesi
acaranya.
melayu
Masyarakat
di
Langkat
dalam
upacara
perkawinan
menggunakan upacara “Tepung Tawar” yang merupakan kebudayaan melayu. Untuk menepung tawari dibutuhkan ramuan penabur yakni bahan-bahan tepung tawar diletakkan di atas pahar (dulang tinggi) dan tempat terpisah-pisah seperti beras putih, beras kuning, bertih (padi digoreng), bunga rampai, dan tepung beras. Semua sajian ini mempunyai makna yakni beras putih berarti lambang kesuburan,beras kuning berarti suatu kemajuan yang baik,bunga rampai bermakna keharuman
nama
dan
tepung
beras
memiliki
arti
kebersihan
hati.
Ramuan perincis untuk tepung tawar terdiri dari semangkuk air, segenggam beras putih dicampur jeruk purut (limau mungkur) diiris-iris. Juga satu ikat bahan tepung tawar terdiri dari 7 macam bahan yakni: daun kalinjuhang (lambang tenaga magis kekuatan ghaib), daun pepulut atau pulutan (lambang kekekalan sesuai sifatnya yang lengket),daun ganada rusa (lambang perisai gangguan alam), daun jejeruan (lambang kelanjutan hidup sebab sukar dicabut), daun sepenuh(lambang rezeki), daun sedingin (lambang menyejukkan, ketenangan, kesehatan), rumput
Universitas Sumatera Utara
sambau dan akarnya (lambang pertahanan karena akarnya sukar dicabut). Orang yang hendak ditepungtawari biasanya didudukkan pada tempat khusus semacam peteraana. Di atas kedua pahanya diletakkan kain panjang untuk menjaga kemungkinan tidak kotor atau basah oleh air tepung tawar. Lalu, si penepung tawar mengambil sedikit-sedikit bahan-bahan tepung tawar. Selain Tepung Tawar masyarakat melayu tersebut menggunakan “BaleBale “,. Balai dinamakan juga pulut balai bagi masyarakat Melayu sangat penting. Keberadaannya dalam setiap upacara adat tidak bisa ditinggalkan dan menjadi kehormatan dan kebanggaan bagi yang menerima atau memberi balai. Balai dibuat dari kayu berkaki empat dan tingkatnya ada yang 3 atau 7 dan setiap tingkat berisi pulut kuning sebagai lambang kesuburan dan kemuliaan. Pada tingkat paling atas dari balai biasanya diletakkan panggang ayam sebagai lambang pengorbanan atau pun inti (kelapa parut dimasak dengan gula aren). Setiap tingkat dari balai tersebut diletakkan telur dibungkus kertas minyak yang sudah dihias dan bertangkai lidi, kemudian dipacakkan ke pulut balai. Setelah itu balai diletakkan di tengah-tengah majelis sehingga memperindah pemandangan. Biasanya jika acara seremonial seperti perkawinan, bunga telur dibagi-bagi kepada undang yang hadir, bisanya peserta marhaban jika acara itu memanggil kelompok marhaban. Tepung tawar biasanya dikombinasikan dengan kegiatan upah-upah. Meski begitu pada dasarnya kedua ritual adat ini berbeda sama sekali. Upah-Upah, dilakukan untuk suatu kebanggaan, menjemput semangat, memberi motivasi. Upah-Upah biasanya dilakukan dengan menggunakan Pulut Bale, merupakan
Universitas Sumatera Utara
suatu tempat yang terbuat dari kayu memiliki kaki 4 buah dan tempat yang bertingkat-tingkat. di dalamnya ada pulut yang diberi kunyit sehingga berwarna kuning, di atasnya ada ikan bakar/ayam bakar, pada pulut ditancapkan Merawal (bendera kertas) dan digantung telur ayam. Dipuncaknya ditancapkan Kepala Balai. Bale tadi diangkat dan diputarkan di atas kepala orang yang diupah-upah. Menyampaikan kata-kata upah-upah dan diakhiri dengan menyarungkan kain sarung. Meskipun mengadopsi upacara dari kebudayaan melayu masyarakat Banjar tidak menghilangkan kebudayaan mereka sendiri yakni dalam prosesi acara pernikahan masih menggunakan upacara Siraman, Pecah Telur dan lainnya. Demikian juga dengan penggunaan bahasa Banjar banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu, dan bahasa-bahasa Dayak. Bahasa Banjar mempunyai hubungan dengan bahasa Kedayan (Brunei) yang terpisahkan selama 400 tahun dan sering pula disebut Bahasa Melayu Banjar. Dalam perkembangannya, bahasa Banjar ditengarai mengalami kontaminasi dari intervensi bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bahasa Banjar berada dalam kategori cukup aman dari kepunahan karena masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Banjar maupun oleh pendatang. Orang melayu Langkat memilik rumah tradisional dengan bentuk khas melayu. Di bangun dengan bentuk rumah panggung, biasanya dibuat dari bahan kayu hitam. Pintu masuk biasanya berada disamping rumah, dengan sebuah tangga, tapi saat ini sudah ada yang menempatkan pintu masuk dan dengan sebuah tangga di depan rumah. Rumah suku melayu memiliki persamaan dengan
Universitas Sumatera Utara
rumah suku Banjar. Rumah yang dijadikan rumah adat Banjar adalah rumah bubungan tinggi/rumah panggung dan sama-sama memiliki atap dengan daun nipah yang banyak terdapat di rawa-rawa. Atap daun nipah ini memberi kesejukan dibawahnya meskipun cuaca sedang sangat terik dan panas. Untuk mata pencaharian suku Banjar dan melayu di Langkat, memiliki kesamaan dan beragam profesi, tetapi sebagian besar hidup sebagai petani. Mereka menanam berbagai jenis tanaman, seperti padi,ubi, jagung, dan berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Di daerah pesisir biasanya menjadi nelayan. Di luar itu mereka memilih sebagai pedagang, nelayan, sektor pemerintahan dan sektor swasta. Di sisi lain beberapa dari mereka menjadi buruh di perkebunan dan lain-lain. Sistem ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan terpadu yang tersusun secara sistematis sehingga membentuk prinsip metode rasional untuk tujuan tertentu. Ciri khas sistem ilmu pengetahuan banjar dan melayu, berkembangnya pendidikan tradisional, utamanya pendidikan agama islam yang dikenal sebagai „pengajian‟. Pelajaran yang di berikan oleh tuan guru dalam pengajian adalah tauhid, fiqih dan ilmu tasawuf. Sistem
Pengetahuan
tentang
Pengobatan
Tradisional,
pengobatan
tradisional yang di kenal masyarakat Banjar merupakan pengetahuan yang di warisi dari orang tua dan ahli pengobatan tradisional yang terdapat di daerah mereka (deutromalayan.blogspot.com).
Universitas Sumatera Utara
2.3
Sistem Kepercayaan Suku Banjar
2.3.1
Agama pada Suku Banjar Masukknya agama islam : perang banjar pertama adalah perang antara
pangeran tumenggung dengan keponakannya pangeran samudra. Perang ini merupakan perselisihan antar elit di kerajaan banjar yang akhirnya menyerat rakyat dan kerajaaan demak dari pulau jawa pada awal abad 16. Kekuatan besar pangeran tumenggung bukan tandingan pangeran samudra, tetapi pangeran samudra meminta batuan kerajaan demak untuk melawannya. Namun kerajaan demak bersedia membantu pangeran samudra, jika sudah menang mau masuk islam. Dan ketika perang tersebut berhasil di menangkan oleh pangeran samudra, ia menepati janjinya dengan masuk agama islamdan mengganti namnya menjadi sultan suriansyah. Masuknya agama islam dikesultanan banjar tersebut membuat agama islam berkembang dengan pesat dikalangan rakyat banjar. Peran seorang ulama yang bernama khatib dayyan dalam perkambangan agama islam cukup besar di masa sultan suriansyah tersebut. Perkembangan cepat agama islam juga tidak terlepas dari peran dan dukungan dari sultan suriansyah melalui kekuasaaanya. Suku Banjar juga menjadi suku yang mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam. Menurut Alfani Daud dalam Fauzi (2006:13), agama Islam yang dianut oleh suku Banjar berasal dari agama yang dianut oleh suku Melayu dan suku Jawa yang datang ke Kalimantan Selatan. Pada waktu itu terjadi perkawinan campuran antara orang Melayu dan Jawa dengan penduduk sekitarnya, orang Dayak. Perkawinan campuran ini berlangsung terus-menerus hingga muncul
Universitas Sumatera Utara
Kerajaan Banjar yang beragama Islam. Menurut Anwar (2004: 27), Kerajaan Banjar yang berpusat di Banjar Masin dan Martapura adalah kerajaan Islam yang menerapkan hukum Islam. Sejak saat itu, orang Banjar menyatakan diri Islam dan menerapkan kesenian bercorak Islam dalam kehidupannya, baik di Kalimantan Selatan maupun di daerah perantauannya. Masyarakat yang mendiami kab. Langkat pada umumnya menganut agama Islam yang juga menjadi salah satu ciri dari suku Melayu yaitu Agama Islam. Menurut Wilkinson dalam Takari dan Dewi (2008: 46), “Seorang Melayu adalah beragama Islam. Misalnya masuk Melayu berarti masuk Islam.” Ciri kemelayuan yang identik dengan Islam ini masih dipertahankan hingga sekarang. Oleh karena itu, Kabupaten Langkat masih dipandang sebagai daerah Melayu karena mayoritas penduduknya beragama Islam (90%). Penduduk yang lain beragama Kristen Protestan (7,56%), Kristen Katholik (1,06%), Buddha (0,95%), Hindu (0,09%), dan lainnya (0,34%). Di Kabupaten Langkat hampir semua desa ada orang Banjar yang menjadi guru agama, termasuk diperkebunan-perkebunan. Oleh karena itu tidak berlebihan bila dikatakan orang Banjar di Deli adalah orang-orang islam yang taat melaksanakan ajaran agama dan suku Banjar adalah gudangnya guru agama. Dalam bidang seni baca Al Qur‟an banyak pula putera-puteri Banjar yang menjadi Qori dan Qoriah, bahkan beberapa putera-puteri Banjar telah dinominasikan sebagai Qori Nasional karena telah berhasil menjadi MTQ Nasional. Pada saat musim haji cukup banyak warga Banjar yang berangkat mengerjakan ibadah haji ke Tanah suci dari Propinsi Sumatera Utara, untuk Kabupaten Langkat tiap
Universitas Sumatera Utara
tahunnya diperkirakan lebih dari 15% dari jemaah hajinya adalah suku banjar. Aktifitas keagamaan di desa-desa yang penduduknya Suku Banjar dapat pula dilihat dari banyaknya Masjid-masjid dan Musholla, pengajian-pengajian, perwiritan-perwiritan dan madrasah-madrasah, juga seni yang bernafaskan Islam. Di setiap desa minimal terdapat satu buah masjid dan di dusun-dusun terdapat pula Musholla-musholla, demikian juga hampir setiap desa terdapat Madrasah baik Diniyah, TPA dan lain-lain. Pengajian perwiritan baik laki-laki maupun perempuan selalu mewarnai kegiatan keagamaan. Oleh karena itu, kesenian yang dilestarikan adalah kesenian yang Islami, seperti Madihin dan Barong Banjar. Madihin adalah syair yang dinyanyikan dengan iringan gendang yang menceritakan suka dan duka orang Banjar dan dipertunjukkan oleh pamadihin sewaktu acara perkawinan, terutama keluarga pemuka adat Banjar. Sebaliknya, Barong Banjar adalah tarian yang dipertunjukkan oleh orang Banjar yang telah turun temurun mengikuti acara adat Banjar dalam menyambut bulan Muharram dan perkawinan adat Banjar yang dilaksanakan oleh keluarga raja atau pemuka adat Banjar.
2.3.2
Kerajaan Banjar dan Hukum Islam Menurut( Fauzi,2006: 118) dikutip dari buku sejarah Banjar, perang banjar
pertama adalah perang antara pangeran tumenggung dengan keponakannya pangeran samudra. Perang ini merupakan perselisihan antar elit di kerajaan banjar yang akhirnya menyerat rakyat dan kerajaaan demak dari pulau jawa pada awal abad 16. Kekuatan besar pangeran tumenggung bukan tandingan pangeran
Universitas Sumatera Utara
samudra, tetapi pangeran samudra meminta batuan kerajaan demak untuk melawannya. Namun kerajaan demak bersedia membantu pangeran samudra, jika sudah
menang mau masuk islam. Dan ketika perang tersebut berhasil di
menangkan oleh pangeran samudra, ia menepati janjinya dengan masuk agama islamdan mengganti namnya menjadi sultan suriansyah. Masuknya agama islam dikesultanan banjar tersebut membuat agama islam berkembang dengan pesat dikalangan rakyat banjar. Peran seorang ulama yang bernama khatib dayyan dalam perkambangan agama islam cukup besar di masa sultan suriansyah tersebut. Perkembangan cepat agama islam juga tidak terlepas dari peran dan dukungan darisultansuriansyahmelaluikekuasaaanya. Hukum islam bersifat universal bahkan merupakan hukum yang sangat konstekstual, dimana hukum Islam tidak terikat waktu dan tempat, yaitu dapat berlaku dimana saja dibelahan bumi ini, kapan saja dan dalam situasi bagaimanapun karena berdasarkan Al Qur‟an dan sunnah Rasulullah. Sebelum Kerajaan Banjar terbentuk, Islam telah lama masuk kedaerah ini, artinya telah terbentuk masyarakat Islam di daerah-daerah Kalimantan Selatan termasuk disekitar Kerajaan. Oleh karena itu ketika dilaksanakan penerapan hukum Islam di Kerajaan sebelumnya beragama Hindu, maka tidak menimbulkan keresahan sosial. Pada abad 17 dalam penerapan hukum Islam di Kerajaan Banjar ditandai dengan berkembangnya Ilmu Tasauf, yakni ilmu yang mempelajari Hakikat Keesaan Allah dalam rangka menjadikan manusia sebagai insan yang paripurna. Tokoh ulama Banjar yang berpengaruh ketika itu adalah Syekh Ahmad
Universitas Sumatera Utara
Syamsuddin Al Banjari yang menulis buku “ Asal Kejadian Nur Muhammad “ sebuah kita kajian Tasauf. Sementara kitab fiqih yang dipedomani masyarakat pada waktu itu adalah kitab Shirathol Mustaqim karangan ulama besar dari Aceh Nuruddin Ar Raniri. Karena banyak yang memakai bahasa Aceh, orang Banjar kurang mengerti tetapi ini menandakan bahwa hubungan Kerajaan Banjar dengan Kerajaan Aceh sudah cukup baik. Pada abad 18 dan 19 perkembangan hukum Islam sangat pesat karena peran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang mampu mengintensifkan dakwah dan membina kader-kader ulama. Dakwah yang dilaksanakan Syekh Muhammad Arsyad tidak hanya melalui lisan, tetapi juga dakwah bil hal dan dakwah bil kitab. Beberapa kitab beliau dalam bidang fiqih ditulis dalam bahasa Melayu dan Banjar. Tulisan-tulisan beliau yang terkenal diantaranya Kitab Parukunan Besar, Fathul Jawad, Luatalul Ajlam, Kitabun Nikah, Kitab Faraid, dan yang paling populer sampai saat ini adalah Kitab Sabilal Muhtadin. Kitabkitab tersebut telah disinggung dalam riwayat singkat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Pengaruh lebih jauh dari pemikiran Syekh Muhammad Arsyad dalam penerapan hukum Islam tidak saja dalam mempelopori pembentukan lembaga Mufti dan Qadhi sebagai lembaga peradilan hukum Islam, tetapi juga ketika Sultan Adam Wasik Billah yang merupakan murid Syekh Muhammad Arsyad menetapkan suatu ketentuan hukum yang dikenal dengan Undang-Undang Sultan adam. Kemudian Undang-Undang Sultan Adam menjadi hukum tertulis dalam penerapan hukum Islam di Kerajaan Banjar. Pasal-pasal dalam Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara
Sultan Adam benar-benar memberi nuansa demokratis berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah, apakah dalam masalah tanah, jual beli, sewa menyewa dan lain-lain. Misalnya tanah baik yang subur maupun yang tidak subur dikuasai oleh Kerajaan, tetapi siapapun yang menggarap tidak boleh ada orang yang melarangnya kecuali ada bukti tanah tersebut sedang digarap, dan siapa saja yang menggarap ialah yang memilikinya. Sultan Adam memerintah Kerajaan Banjar tahun 1825-1857, beliau merupakan seorang Sultan yang sangat taat dan keras dalam menjalankan hukum Islam, dan termasuk seorang Sultan yang sangat serius memperhatikan perkembangan Islam. Ketika masih muda Sultan Adam banyak belajar kepada anak Syekh Muhammad Arsyad yang bernama Mufti Haji Jamaluddin. Menurut sejarah, naskah asli Undang-Undang Sultan Adam ditulis dengan tulisan tangan dengan huruf Arab Melayu, dan oleh para peneliti sejarah naskah ditulis dengan huruf latin bahasa Melayu Banjar dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda tahun 1917.
2.4
Kebudayaan Dalam Suku Banjar
2.4.1 Kesenian yang berkembang di Kalimantan Selatan dan Sumatera Utara Pada dasarnya seni merupakan budaya yang secara universal berkembang di hampir semua suku bangsa di dunia ini. Demikian juga dengan suku Banjar yang mendiami negeri leluhurnya Kalimantan Selatan berkembang beberapa
Universitas Sumatera Utara
kesenian. Beberapa kreasi-kreasi seni yang masih ada di Kalimantan Selatan diantaranya : 1. Bakisah, yaitu seni tutur tanpa tabuhan (musik). Seorang tukang kisah bercerita seorang diri yang kadang-kadang disertai dengan gerakan tubuh untuk menguatkan alur cerita. 2. Wayang Banjar, ini tidak berbeda dengan wayang daerah lain, khususnya wayang Jawa. Tetapi ada beberapa ciri khas dari Wayang Banjar diantaranya : -
Penonton berada di depan layar, yaitu dibagian bayang-bayang
-
Irama gamelan lebih khas dan dinamis
-
Dalang tidak hanya sebagai penyampai cerita, membawakan dialogdialog, tetapi juga menyinden dan mengatur gamelan
3. Hadrah, adalah jenis kesenian bernuansa Islam yang dulunya berhubungan dengan penyebaran agama Islam sehingga lagu-lagu yang dibawakan juga adalahlagu-lagu pujian kepada Allah dan Nabi dalam bahasa Arab. Kesenian ini dilengkapi dengan alat-alat musik (gamelan) yang ditabuh oleh 5 sampai 7 orang. 4. Madihin, adalah suatu olah vokal oleh seorang atau dua orang bahkan bisa tiga orang, menyampaikan lirik berirama diiringi dengan tabuhan gendang. Cerita yang dibawakan biasanya kisah cinta, agama, yang dibawakan dengan syair lelucon yang menarik tawa pendengar, dengan bersahutsahutan.
Universitas Sumatera Utara
5. Lamut, juga suatu olah vokal dengan iringan tetabuhan oleh pembawa cerita secara solo (seorang). Jenis kesenian yang terakhir sudah sangat jarang ditampilkan, karena sudah sangat sedikit seniman yang mengusainya, disamping itu kurangnya minat generasi muda yang menyaksikannya. Begitu juga kesenian Banjar di Sumatera Utara, terutama di Langkat. Seni budaya Banjar sudah sangat langka didapati di Langkat, wayang banjar boleh dikatakan tidak ada lagi. Di beberapa daerah silat Banjar masih dikembangkan tetapi juga langka. Sampai tahun 70-an di Suku Banjar Langkat masih banyak didapati pelaksanaan kegiatan adat terutama pada saat pesta perkawinan, diantaranya acara Batamat yaitu acara khatam Al Qur‟an yang dilakukan oleh pengantin. Pada saat itu terlihat acara unik bagacak hintaluk (rebutan telur). Ketika tiba pada saat membaca surat alfiil (Alam Tarakaifa). Kemudian pada saat pengantin sedang batatai (bersanding) dilakukan acara basilat (bersilat) dihadapan pengantin. Selanjutnya acara beridang, yaitu acara makan dengan cara duduk diatas tikar secara bersama-sama, dan biasanya dilaksanakan pada sekitar pukul 9 pagi, seluruh yang hadir termasuk anak-anak disuruh makan. Sehari sebelum acara nikah dan bersanding disebut hari bamula, dimana para keluarga dan tetangga melakukan persiapan dengan mengerjakan bahan-bahan yang akan dimasak untuk hidangan pada hari pernikahan tersebut. Saudara-saudara, keluarga da tetangga membawa beras, ayam dan bahan-bahan yang akan diolah pada hari tersebut. Di beberapa tempat terutama di Kabupaten Langkat, acara-acara seperti ini masih dilakukan Suku Banjar. Pada hari bamula di Secanggang disebut hari
Universitas Sumatera Utara
baapi-api, juga diadakan suatu acara dimana keluarga pengantin laki-laki menyediakan hahadap yang diserahkan pada pihak pengantin perempuan. Bahadap tersebut berisi bibit kelapa (paung niur), kelapa,pisang, ayam, beras, beras pulut, kayu bakar, garam dan bahan-bahan bumbu masak lainnya. Di beberapa daerah orang Banjar di Secanggang masih ada kebiasaan tulak bala bahuma, yaitu setelah menanam padi di sawah (batanjang) masyarakat membaca yasin di Musholla atau Masjid dan membawa ketupat untuk dimakan bersama. Mereka berdoa agar tanaman padi yang baru ditanam tidak diganggu hama, bencana dan lain-lain. Demikian juga ada acara tepung tawar paung banih (bibit padi) sebelum di taradak (disemai). Tepung tawar tersebut adalah memercikkan air yang telah dibacakan surat yasin kebibit padi yang akan disemai. Dahulu acara mengilas (merontokkan padi dari tangkainya) yang disebut bairik benih, merupakan acara yang sangat mengasyikkan, biasanya mengilas padi dilakukan secara bergotong-royong. Pada saat bairik banih tersebut sering diadakan acara baahui, yaitu acara berbalas pantun. Tuan rumah menyediakan makan dan snack yang terbuat dari beras ketan (pulut). Beberapa bait pantun baahui adalah : U uma si diang
(Alangkah enak si perempuan)
Manggantung kalambu salagi siang
(Menggantung kelambu selagi siang)
Malam naya kita bawayang
(Nanti malam kita berwayang)
Abah si utuh jadi dadalang
(Si suami jadi dalang)
Ahuy ahuy aahuy...
(Ahuy ahuy aahuy...)
Universitas Sumatera Utara
Banyaknya orang urang tulak kahulu
(Banyaknya orang pergi kehulu)
Tulak kahulu manabang gatah
(Pergi ke hulu memotong getah)
Nyamannya urang babini balu
(Enaknya orang mendapat janda)
Hanyar kawin sudah barumah
(Baru menikah sudah berumah)
Ahuy ahuy aahuy....
(Ahuy ahuy aahuy...)
. Setelah dibersihkan dan dijemur, padi dimasukkan ke dalam lulung atau kindai, yaitu tempat penyimpanan padi yang terbuat dari tepas atau papan berbentuk bulat atau segi empat. Perbedaan kindai dengan lulung dapat dilihat dari kapasitas muatnya. Lulung dapat menyimpan padi antara 1 ½ sampai 2 ton, biasanyadibuat dari tepas berbentuk bulat, sementara kindai berkapasitas lebih dari 2 ton, terbuat dari papan berbentuk segi empat. Untuk mengangkat hasil pertanian orang Banjar sering menggunakan lanjung, yaitu keranjang yang terbuat dari rotan yang diletakkan dipunggung dan talinya tertumpu diatas bahu. Saat ini kindai, lulung dan lanjung sudah sulit didapat dirumah-rumah orang Banjar, mungkin karena dianggap kurang praktis jika dibanding dengan goni dan sebagainya. Pada Madihin juga berbentuk pantun, madihin ditampilkan pada berbagai acara,misalnya : saat mengucapkan selamat datang bertemu dengan anak dan cucu, dalam hal ini yang punya hajatan sangat menghormati para tamu yang sudah diundang untuk masuk ketempat yang telah disediakan dan pada saat acara penabalan anak juga Madihin akan ditampilkan.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2
Sistem kekerabatan Suku Banjar menganut sistem kekerabatan bilateral, yakni menurut garis
ayah dan ibu. Untuk menentukan kelompok kekerabatannya, biasanya dilihat dari garis keturunan darah. Misalnya, garis kekerabatan dengan mengambil seorang tokoh atau satu keluarga atau nenek moyang tertentu sebagai pangkal keturunan. Akan tetapi, di dalam kenyataan hidup bermasyarakat, garis ayah lebih dominan karena ayah berperan dalam hal-hal tertentu yang tidak dapat dilaksanakan oleh ibu, seperti menjadi wali anak yang menikah atau menjadi imam dalam sholat berjamaah sesuai dengan hukum Islam yang dianutnya. Di dalam kehidupan sehari-hari, orang Banjar mengenal tiga kelompok kekerabatan, yaitu mamarina, dangsanak, dan kamanakan. Mamaria adalah kelompok saudara ayah/ibu, dangsanak adalah kelompok saudara kandung, dan kamanakan adalah anak-anak dari abang/adik kandung. Di samping itu, terdapat istilah minantu (menantu), mintuha (mertua), dan pawarangan (besan). Secara hierarkis, orang Banjar memiliki cara memanggil diri dan antar sesama dengan panggilgan tertentu. Untuk menyebut diri sendiri digunakan istilah ulun yang berarti aku atau saya sedangkan untuk istilah kamu digunakan kata ikam atau kawu. Penyebutan nama diri dalam sistem kekerabatan suku Banjar dapat dikelompokkan atas dua bagian, yaitu penyebutan hubungan keluarga di atas diri ulun dan hubungan kekeluargaan di bawah diri ulun. Hubungan keluarga di atas diri ulun adalah uma (ibu), abah (bapak), kai (kakek), ninik (nenek), datu (datuk, baik laki-laki maupun perempuan), sanggah (bapak/ibu dari datuk), dan waring ) nenek dari datuk). Sebaliknya, istilah yang digunakan untuk menyebut
Universitas Sumatera Utara
orang yang hubungan keluarga di bawah ulun disebut utuh (anak laki-laki), diang atau galuh/aluh (anak perempuan), cucu (anak dari anak), buyut (anak dari cucu), intah (anak dari buyut). Di samping itu, terdapat istilah kekerabatan untuk kelompok mamaria atau saudara ayah/ibu. Istilah kekerabatan itu adalah julak (saudara ayah/ibu yang paling tua), gulu‟ (saudara ayah/ibu yang nomor dua), angah atau tangah (saudara ayah/ibu yang pertengahan), dan busu (saudara ayah/ibu yang termuda). Penggunaan istilah kekerabatan itu dapat diganti dengan istilah pakacil (paman) dan makacil (bibi). Akan tetapi, untuk saudara ayah/ibu yang lebih tua digunakan panggilan patuha/matuha. Adanya peristilahan yang muncul dari hubungan perkawinan dalam sistem kekerabatan suku bangsa Banjar maka orang Banjar tidak boleh menyebut nama kepada orang yang status keluarganya lebih tinggi daripadanya. Dengan kata lain, orang yang lebih muda tidak boleh memanggil orang yang lebih tua dengan memanggil nama. Orang yang lebih tua sering digunakan kata (andika atau pian sampian).
2.4.3. Bahasa Banjar 2.4.3.1 Eksistensi bahasa Banjar Suku Banjar yang memakai bahasa Banjar tidak hanya di Kalimantan saja, tetapi masyarakat-Suku Banjar yang merantau ke Sumatera Utara pada umumnya menggunakan bahasa Banjar sebagai bahasa sehari-hari, itu merupakan suatu kebanggaan Suku Banjar. Menurut Suku Banjar dalam (fauzi,2006: 19),pertama bahasa Banjar relatif mudah diucapkan dan dipelajari karena banyak kemiripan
Universitas Sumatera Utara
dengan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu. Kedua, sejak masa Sultan Suriansyah pada abad ke – 16, penyebaran agama Islam disebarluaskan (didakwahkan) dengan bahasa Banjar, dan hingga sekarang kondisi ini masih tetap berjalan terutama di pedesaan-pedesaan Kalimantan Selatan. Dalam kehidupan sejarah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari diungkapkan bahwa buku-buku agama diterjemahkan dan ditulis beliau dalam bahasa Banjar, artinya bahasa Banjar tidak hanya sebagai sarana komunikasi tetapi juga digunakan sebagai sarana dakwah. Ketiga, bahasa banjar sudah cukup lama digunakan sebagai bahasa pergaulan, tidak hanya di Kalimantan tetapi di Tembilahan Riau juga ada dan dijadikan bahasa sehari-hari padahal penduduk disana bermacammacam suku bangsa.
2.4.3.2 Dialektika bahasa Banjar Menurut Oemar Dahlan dalam (fauzi,2006: 20), menjelaskan bahwa orang-orang yang berasal dari daerah lain yang pernah menetap beberapa tahun di Kalimantan Selatan, meskipun tidak mempelajarinya secara khusus kebanyakan mengerti bahasa Banjar, setidaknya secara pasif. Sangat banyak kata dalam bahasa banjar yang mirip dengan kata Melayu. Dalam bahasa Banjar, kata-kata bahasa Indonesia yang berbunyi e diucapkan menjadi a, misalnya hendak, dalam bahasa Banjar diucapkan handak, kata pedas diucapkan padas, kata mesjid diucapkan masjid. Demikian juga bahasa Banjar tidak mengenal huruf o atau e, kedua huruf ini lazim diucapkan u dan i. Misalnya kata boleh dalam bahasa Banjar diucapkan bulih, tolong diucapkan
Universitas Sumatera Utara
tulung, merdeka diucapkan mardika, mobil diucapkan mubil, heran diucapkan hiran, dan sebagainya. Selain itu, ada beberapa kata yang dalam pengucapannya kurang hurufnya menurut ucapan dalam bahasa Indonesia, misalnya takajut yang menurut bahasa Indonesia terkejut, bajalan yang dalam bahasa Indonesia diucapkan berjalan. Dalam bahasa Banjar apabila suatu kata benda, huruf akhirnya hidup (vokal) terutama huruf tersebut diakhir kalimat, maka sering ditambah bunyi huruf hamzah dalam mengucapkannya, misalnya kuda pengucapannya kuda‟, bini pengucapannya bini‟, banyu pengucapannya banyu‟, dan sebagainya.
2.4.4 Rumah adat Banjar 2.4.4.1 Bentuk rumah adat Banjar Seperti halnya suku bangsa lainnya di Indonesia, suku Banjar juga mempunyai bentuk rumah adat sendiri yang spesifikasi dan konstruksi bangunannya memiliki filosofis dan historis. Ada 11 macam (tipe) rumah adat Banjar yang masingmasing juga memiliki konstruksi yang khas. Sebelas macam rumah adat Banjar tersebut adalah : 1. BUBUNGAN TINGGI
adalah bangunan rumah adat Banjar yang
konstruksi bangunannya seperti istana Sultan Banjar. Tipe ini merupakan arsitektur tertua yang mengandung sejarah dalam kerajaan Banjar. Bentuk bubungan tinggi melancip ke atas menyebabkan bangunan ini di beri nama bubungan tinggi.
Universitas Sumatera Utara
2. GAJAH BALIKU, merupakan bangunan tempat tinggal bagi para saudara raja Banjar, memiliki bubungan tinggi tetapi atap sindang langit, memiliki anjungan. 3. GAJAH MANYUSU, merupakan bangunan hunian para warit raja yaitu keturunan para gusti. Bangunan ini tidak memiliki bubungan yang tinggi tetapi memiliki anjung. 4. BALAI LAKI, sebagai tempat hunian para pungawa, mantri dan prajurit pengawal Sultan Banjar. Bangunan ini memiliki atap dengan bagian depan tipe limas dan beranjung. 5. BALAI BINI, merupakan bangunan bagi para puteri atau keluarga pihak wanita. Rumah ini memiliki atap dengan bagian depan tipe limas dan beranjung. 6. PALIMASAN,
yaitu
suatu
bangunan
yang
diperuntukkan
bagi
Bendaharawan Kesultanan Banjar, karena dikenal sebagai wadah emas dan perak. Bentuk bubungan depan seperti limas, menyebabkan bangunan ini dinamakan palimasan. Banguna rumah ini tidak memiliki anjung. 7. PALIMBANGAN, sebagai bangunan rumah tempat tinggal para pemuka agama, ulama dan saudagar. Bangunan ini sama besarnya dengan palimasan dan tidak memiliki anjung. 8. CACAK BURUNG atau Anjung Sarung, adalah rumah bagi rakyat Banjar pada umumnya. Denah bangunan ini seperti tanda tambah, kedua anjungan kiri dan kanannya seperti bertumpangan diatas badan rumah.
Universitas Sumatera Utara
9. TADAH ALAS, merupakan bangunan rumah bagi rakyat Banjar. Bangunan ini memiliki atap tumpang didepan, yang membedakan dengan bangunan lainnya. Rumah ini memiliki anjung. 10. JOGLO, adalah bangunan hunian bagi para Tionghoa di Banjarmasin. Bangunan
rumah
ini
dufungsikan
pula
sebagai
gudang barang
dagangan,karena mereka pada umumnya adalah pedagang. 11. LANTING, adalah bangunan rumah yang terapung dipinggir sungai Martapura,tempat tinggal orang Banjar di sepanjang batang banyu. Bangunannya kecil dan sederhana, bertumpu pada batang-batang kayu besar sebagai landasan pelampung. Beberapa ciri arsitektur tradisional Banjar, khususnya mengenai bangunanbangunan rumah adat Banjar yang masih dapat dijelaskan, sebagai berikut : 1. Bangunan dalam konstruyksi bahan kayu, karena alam Indonesia terutama Kalimantan banyak hutan, sementara pada saat itu belum dikenal semen. 2. Rumah panggung, yaitu bangunan rumah yang didukung oleh sejumlah tiang yang tinggi dari kayu ulin yang bertumpu pada dasar tanah dengan pondasi yang panjangnya sampai kepangkal atap, sementara tongkat yang bertumpu pada dasar tanah hanya sampai dasar lantai saja. 3. Bangunan rumah bersifat simetris, yaitu konstruksi dan elemen yang sama pada sayap kiri dan kanan, maka dengan demikian lulungkang atau jendelanya sama banyaknya kiri dan kanan.
Universitas Sumatera Utara
4. Sebagian bangunan memiliki anjung disamping kiri dan kanan, yaitu anjung Kiwa dan anjung Kanan, dan masing-masing memiliki satu jendela pada dinding bagian depan. 5. Atap rumah yang dipergunakan adalah atap sirap yang terbuat dari kayu ulin, tetapi ada juga yang menggunakan atap rumbia. 6. Hanya memiliki dua buah tangga, yaitu tangga hadapan dan tangga belakang, yang memiliki anak tangga yang berjumlah ganjil, yaitu lima, tujuh, sembilan atau sebelas. 7. Lawang (pintu) rumah depan dan belakang terletak seimbang di tengah, dan hanya ada dua pintu yaitu lawang hadapan dan lawang padu (belakang). 8. Adanya “tawing halat” (dinding pembatas) yang membatasi antara “panampik besar” (ambin sayap) dengan “palidangan” (ambin dalam). Pada posisi pintu kembar dua dalam posisi yang sama dan seimbang.
2.4.4.2 Makna simbolik ornamen rumah adat Banjar bubungan tinggi Ada beberapa makna simbolik untuk ornamen Rumah Adat Banjar bubungan tinggi, diantaranya: 1. Bubungan tinggi, konstruksi bubungan tinggi dimana bubungan (atap) yang lancip menjulang ke angkasa yang dihiasi dengan ornamen layanglayang khas Banjar. Ini bermakna hanya Allah yang maha tinggi, yang maha agung dan mulia, sementara kita manusia adalah makhluk yang rendah.
Universitas Sumatera Utara
2. Ganjil, bilangan anak tangga yang berjumlah 5,7,9 dan 11, jarajak (kisikisi) lulungkang (jendela) yang terdiri dari 5, 7, 9 atau 11 menunjukkan bahwa bilangan ganjil merupakan bilangan yang mengandung arti lambang ke Esaan Tuhan, sesuai dengan Hadist Rasulullah dari Baihaqi : Sesungguhnya Allah itu Esa (ganjil) Dia menyenangi yang ganjil. 3. Kanas (nanas), ornamen bermotif buah kanas atau nenas ditempatkan pada sungkul kiri dan kanan tangga hadapan (depan) rumah adat Banjar bubungan tinggi, mengandung makna adanya nuansa senang terhadap rumah dan penghuninya atau mengandung arti undangan silaturahmi bagi tamu dan juga untuk mencegah sifat-sifat berkarat atau negatif seperti sombong, iri hati, malas, dan sebagainya. Hal ini ditafsirkan dari buah nenas masak yang disenangi semua orang untuk makanan yang menyenangkan seperti manisan atau rujak, sementara nenas yang muda dimanfaatkan sebagai pembersih karat barang-barang logam seperti kuningan, perak dan lain-lain. 4. Bertingkat, lantai rumah adat Banjar bubungan tinggi selalu bertingkat atau memiliki perbedaan tinggi, tetapi dilindungi oleh atap. Ini mengandung arti bahwa kehidupan manusia juga berbeda-beda atau bertingkat-tingkat, ada yang senang, susah, miskin dan sebagainya, tetapi tetap dilindungi haknya sebagai insan makhluk Allah SWT. 5. Pakis, pagar pelataran rumah adat Banjar bubungan tinggi berbentuk pohon pakis, mengandung arti kekuatan, karena pohon pakis merupakan
Universitas Sumatera Utara
tumbuhan keluarga palem yang memiliki rumpun yang kuat dan kokoh. Maka kekuatan harus dibentuk dari kekuatan sinergi masyarakat. 6. Paku Alai,dijadikan motif bagi ornamen ukiran layang-layang dipucuk bubungan tinggi, mengandung makna manfaat, karena tumbuhan yang tumbuh di tanah gambut dan berair ini sangat akrab dengan petani dan selalu dijadikan sayur bahan makanan. 7. Sindang Langit, adalah nama bagian atap yang mengarah kedepan dalam konstruksi atap sengkuap pada pada rumah tradisional Banjar bubungan tinggi, mengandung arti perjuangan hidup melawan dan menentang yang mungkin ditemui dalam setiap perjalanan hidup. 8. Tombak, motif tombak diaplikasikan pada layang-layang yang ada dipucuk bubungan rumah adat Banjar bubungan tinggi,memiliki makna lambang kewaspadaan terhadap marabahaya. Tombak adalah senjata tradisional orang Banjar untuk mempertahankan diri dari kemungkinan gangguan atau serangan musuh. 9. Manggis, buah manggis merupakan ornamen yang terdapat di dalam rumah adat Banjar termasuk rumah bubungan tinggi, memiliki filsafat hidup bekerja keras untuk mendapatkan hasil yang baik. Isi buah manggis yang putih dan rasanya manis akan diperoleh setelah melalui kupasan kulit manggis yang hitam dan rasanya manis. Hal ini oleh Suku Banjar dikatakan mengandung makna bahwa untuk mencapai sesuatu hasil yang baik dan diinginkan terlebih dahulu harus melalui kerja keras serta
Universitas Sumatera Utara
perjuangan, tidak layak hanya berpangku tangan bila ingin sukses dalam hidup.
Foto 2.12 : Rumah adat Banjar Bubungan Tinggi tampak samping( sumber : www.binggor.com)
Foto 2.13 : Rumah adat Banjar Bubungan Tinggi tampak depan ( sumber : purnamatravel.wordpress.com)
Universitas Sumatera Utara
2.4.4.3 Makna simbolik Senjata khas Banjar Orang Banjar memiliki senjata khas yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, ke mana pun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jati diri). Dahulu mandau dianggap memiliki unsur magis dan hanya digunakan dalam acara ritual tertentu seperti: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat keampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak hanya diperoleh dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) semakin banyak orang yang berhasil di-kayau, maka mandau yang digunakannya semakin sakti. Biasanya sebagian rambutnya digunakan untuk menghias gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati karena di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, saat ini fungsi mandau sudah berubah, yaitu sebagai benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memangkas semak belukar dan bertani. Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Banjar di Kalimantan. Berbeda dengan parang, mandau memiliki ukiran-ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering juga dijumpai tambahan lubang-lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau tembaga dengan maksud memperindah bilah Mandau, Bahan baku mandau adalah besi (sanaman) mantikei yang terdapat di hulu Sungai Matikei, Desa Tumbang Atei, Kecamatan Sanaman
Universitas Sumatera Utara
Matikai, Samba, Kotawaringin Timur.Besi ini bersifat lentur sehingga mudah dibengkokan. Berikut adalah struktur atau bagian-bagian dari Mandau; 1. Bilah mandau
Foto 2.14 : Bilah Mandau yang terbuat dari lempengan besi (sumber : www.kaskus.co.id) Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar). Salah satu sisi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya adalah yang dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu. Pembuatan bilah mandau diawali dengan membuat bara api di dalam sebuah tungku untuk memuaikan besi. Kayu yang digunakan untuk membuat bara
Universitas Sumatera Utara
api adalah kayu ulin. Jenis kayu ini dipilih karena dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu lainnya. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh di atasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk bilah mandau yang diinginkan. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya adalah membuat hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebas mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara membuat bilah mandau, yaitu memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda. 2. Gagang (Hulu Mandau)
Foto 2.15 : Gagang (Hulu mandau) (sumber : kutaihulu.blogspot.com) Gagang (hulu mandau) terbuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan ukiran
Universitas Sumatera Utara
pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya. 3. Sarung Mandau
Foto 2.16 : Sarung mandau (sumber : folksofdayak.wordpress.com) Sarung mandau (kumpang) biasanya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan. Pembuatan mandau, jika dicermati secara saksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari
Universitas Sumatera Utara
proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat makna (http://forum.vivanews.com/).
2.4.5
Upacara dalam kehidupan masyarakat Banjar
2.4.5.1 Upacara adat
perkawinan (bakakahawinan)
Menurut Fauzi dalam ( Erma 2009: 94 ) dalam kebudayaan Banjar pernikahan atau perkawinan merupakan kegiatan yang bersifat keagamaan dan adat sekaligus. Pernikahan secara konseptual,
adalah penyatuan jasmani dan
rohani antara lelaki dan perempuan yang disahkan baik oleh agama mau pun norma - norma sosial. Salah satu sunnah Rasulullah yang baik dan perlu diketahui oleh masyarakat ramai adalah pernikahan (perkawinan) seorang laki-laki dengan perempuan, yang hikmahnya agar masyarakat mengetahui bahwa seorang perempuan tersebut telah bersuami sehingga terhindar dari fitnah. Oleh karena itu masyarakat selalu menyertakan acara-acara adat dalam perkawinan tersebut. Menurut suku Banjar perkawinan bertujuan antara lain adalah untuk : a. Melanjutkan keturunan orang tua b. Memenuhi tanggung jawab orang tua terhadap anak dan menunjukkan jalan yang benar, agar anak terhindar dari perbuatan zina. c. Membangun rumah tangga berbahagia berdasarkan agam islam bagi anak. d. Mempertemukan dan menyatukan dua keluarga menjadi satu keluarga yang lebih besar agar tali persaudaraan semakin erat.
Universitas Sumatera Utara
Dalam budaya Banjar perkawinan dalam lingkungan kerabat selalu lebih diutamakan karena orang tua telah mengetahui keberadaan calon menantu dan keluarganya. Oleh karena itu perkawinan dengan saudara sepupu menurut orang Banjar akan lebih mengeratkan persaudaraan, disamping alasan telah mengetahui keturunannya. Komentar yang selalu menjadi alasan adalah “inya bukan urang lain” yang artinya‟ dia bukan orang lain‟. Tetapi para pemuda terutama di kota berpendapat bahwa saudara sepupu adalah saudara dekat, hampir sama dengan saudara sendiri. Cara menentukan jodoh seseorang lazim dilakukan dengan dua cara. Pertama orang tua mencarikan jodoh untuk anaknya. Cara ini biasanya dengan permufakatan orang tua dua belah pihak yaitu pihak anak laki-laki dan pihak perempuan. Si anak setuju dan mengikuti rencana tersebut. Kedua, pemuda dan pemudi bebas menentukan calonnya sendiri, sementara orang tua tinggal meresmikan setelah menyetujuinya. Cara inilah sekarang yang paling banyak dilakukan. Dalam pelaksanaan perkawinan adat Banjar dapat dilihat tiga tahapan pelaksanaannya. Pertama tata cara adat pada waktu sebelum hari perkawinan. Kedua pelaksanaan acara-acara pada saat hari perkawinan dan ketiga adalah acara-acara yang dilakukan pada waktu sesudah hari perkawinan. Dalam tata cara pra (sebelum) perkawinan dilaksanakan beberapa upacara adat, diantaranya : a. BASUSULUH, adalah menanyakan secara langsung data-data si gadis. Utusan pihak pemuda menanyakan apakah si gadis sudah ada yang meminang, atau belum. Basusuluh sama dengan meresek dalam adat melayu.
Universitas Sumatera Utara
b. BADATANG, sering juga disebut Bapara , yaitu acara melamar dari pihak laki-laki yang datang kerumah pihak perempuan. Pada waktu melamar kadangkadang utusan hanya dua atau tiga orang saja, tetapi kadang-kadang dengan rombongan yang lumayan banyaknya, tergantung pada situasi. Bila calon mempelai ada hubungan keluarga, biasanya yang melamar tidak begitu banyak. Sebelum datang melamar, pada waktu basusuluh telah dijanjikan waktu kedatangannya. c. BAPAPAYUAN, adalah merupakan acara menentukan jujuran (mahar). Acara ini dilakukan dirumah pihak laki-laki. Apabila jujuran telah disepakati maka dilakukan acara maatar patalian (tanda ikatan). d. MAATAR PATALIAN, (mengantar tanda ikatan) yang terdiri dari pakaian calon mempelai perempuan secara lengkap. Maatar Patalian ini sebenarnya bisa saja ketika waktu bapapayuan, tetapi sering dilakukan pada upacara tersendiri. Pada acara ini kadangkala diselipkan acara tukar cincin. e. BAANTAR JUJURAN, adalah upacara yang dilakukan untuk menyerahkan mas kawin yang berupa jujuran atau uang mahar. Tempat acara adalah dirumah mempelai perempuan. Uang mahar tersebut dihitung di tengah umum dalam acara tersebut, jika jumlahnya sudah sesuai, maka diteruskan kepada orang tua calon mempelai perempuan, yang dimasukkan ke dalam bakul. Baantar jujuran sering juga disebut Manaikakan jujuran. Sementara itu dalam tata cara perkawinan ada beberapa acara yang dilakukan, yaitu : a. NIKAH
Universitas Sumatera Utara
Nikah (akad nikah) merupakan prosesi yang paling sakral dalam setiap acara perkawinan, termasuk perkawinan dalam masyarakat suku Banjar, karena merupakan sunnah Rasulullah. Nabi Muhammad SAW menyatakan yang artinya : “ Nikah itu adalah sunnahku, maka siapa yang tidak melaksanakan sunnahku,ia bukan golonganku” Orang Banjar sebagai masyarakat yang terkenal fanatik terhadap agama islam, yang konsekwen menjalankan ajaran agama, menjalankan upacara nikah sebagai puncak dari acara perkawinan. Oleh karena itu pada upacara pernikahan selalu dihadirkan para alim ulama untuk mempersaksikan prosesi sunnah tersebut. Biasanya sebagai wali, orang tua (abah) mempelai perempuan langsung menjadi wali dan menikahkan anaknya yang disaksikan penghulu / tuan kadhi dan para tutuhaan, bubuhan dan para undangan. Srtelah akad nikah dilaksanakan, diberikan nasihat kepada kedua mempelai dan diakhiri dengan doa. Di antara isi doa yang dimohonkan adalah agar kedua mempelai tetap dalam keimanan kepada Allah SWT dan taat menjalankan perintah Allah serta meninggalkan larangan-Nya, di dalam doa yang dimohonkan agar pasangan pengantin berbahagia sebagaimana pasangan Nabi Muhammad SAW dengan Siti Khadijah dan Siti Aisyah, seperti ibrahim AS dengan Siti Hajar dan Siti Sarah, seperti Yusuf AS dengan Zulaiha. Setelah acara nikah biasanya dilanjutkan dengan acara-acara adat lainnya. Pada Suku Banjar dahulu, sebelum hari perkawinan, keluarga pengantin perempuan mempersiapkan dengan beberapa kegiatan diantaranya :
Universitas Sumatera Utara
-
Gotong royong mencari kayu di hutan untuk keperluan bamasak (memasak keperluan acara pernikahan)
-
Gotong royong manungkat pandal yaitu memperkuat tiang rumah dengan tiang yang terletak di permukaan tanah, agar rumah mampu menampung orang banyak yang menghadiri upacara perkawinan tersebut.
-
Gotong royong membuat balai (ranjang pengantin).
-
Gotong royong manumbuk banih ( menumbuk padi) sampai menjadi beras yang siap dimasak.
-
Gotong royong mancari iwak (mencari ikan)
untuk keperluan acara
perkawinan. b. BADUDUS Badudus atau bapapai adalah upacara memandikan pengantin sebelum upacara perkawinan dilaksanakan. Upacara tradisional ini dilaksanakan oleh wanita yang sudah lanjut usianya. Banyu(air) yang dipergunakan untuk mandi tersebut adalah air yang bercampur kembang dan bermacam-macam benda perlambang yang mempunyai arti tertentu. Upacara badudus atau bapapai ini dengan tata cara adat. c. Mahias Pangantin Seperti halnya pengantin-pengantin didaerah lain, pada pengantin banjar juga dilaksanakan acara merias pengantin. Namun pada pengantin Banjar orang yang menjadi juru rias pengantin tersebut adalah perempuan untuk pengantin perempuan dan laki-laki untuk pengantin laki-laki. d. Manurunakan Pangantin Lalaki
Universitas Sumatera Utara
Upacara ini dilakukan mulai dirumah pihak pengantin laki-laki untuk dipersiapkan dibawa kerumah pengantin perempuan. Sambil berdoa pengantin laki-laki melangkahkan kaki turun dari rumah(biasanya dimulai melangkahkan kaki kanan), pada saat itu dikumandangkan shalawat Nabi oleh para Tetua (orang-orang tua/tokoh masyarakat) dan oleh hadirin semua sambil menabur beras kuning. e. Maarak Pangantin Lalaki Selanjutnya rombongan pengantin mulai bergerak (naik kendaraan atau berjalan kaki). Beberapa ratus meter dari rumah mempelai perempuan (tempat acara perkawinan)rombongan berhenti. Pada saat itu ditampilkan atraksi kesenian
yang
dibawakan
oleh
rombongan.
Mempelai
laki-laki
dilindungi/dinaungi payung yang dibawa bergerak dengan gaya seperti menari, dan rombongan mempelai laki-laki bergerak perlahan-lahan mendekati rumah tempat acara perkawinan tersebut. f. Batatai Acara pangantin batatai atau mempelai bersanding merupakan acara puncak yang penuh dengan kegiatan-kegiatan yang sarat dengan filosofi budaya. Dalam acara batatai ini dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat filosofis, diantaranya mempertukarkan bunga tangan yang disebut bahurup palimbaian‟ Kemudian menyuap sekapur sirih disebut bahurup susuapan‟, selanjutnya acara bakukumur (berkumur-kumur) untuk membersihkan bekas sekapur sirih tadi, berikutnya kegiatan memberi segenggam atau sekapal nasi ketan yang
Universitas Sumatera Utara
diserahkan
kepada
mempelai
perempuan
dengan
cara
melemparkan
kepangkuan kedua mempelai. Acara selanjutnya adalah Batutungkal atau disebut Batapung Tawar, yang dilakukan oleh orang tua kedua mempelai serta para sanak keluarga dan para tutuhaan yang hadir. Sementara itu dalam acara perkawinan Suku Banjar selalu dilaksanakan acara khatam al Quran oleh pengantin baik laki-laki maupun perempuan. Acara ini disebut Batamat. Acara Batamat biasanya dilakukan setelah acara akad nikah, atau kadangkadang dilaksanakan pada malam hari sebelum akad nikah. Secara filosofis acara ini adalah sebuah penyaksian bahwa seorang anak yang akan memasuki bahtera rumah tangga harus dapat membaca Al Qur‟an dengan benar dan telah khatam Al Qur‟an (Batamat) adalah manakala bacaan Al Qur‟an tersebut sampai pada surat Alfiil, maka telur rebus yang diletakkan di balai di perebutkan oleh hadirin terutama anak-anak. Menurut tradisi, ini hakikat dari perebutan telur tersebut adalah siapa yang berhasil merebut telur dan memakannya sampai habis dengan cepat, maka yang bersangkutan akan cekatan dalam menuntut ilmu agama dan akan mudah mencerna pelajaran agama yang diberikan kepadanya. Pada saat Pasca (sesudah acara perkawinan) dilaksanakan beberapa kegiatan diantaranya: a. Bajajagaan Setelah acara pengantin batatai, pada malam harinya diadakan malam hiburan yang disebut malam bajajagaan. Pada malam bajajagaan tersebut biasanya
Universitas Sumatera Utara
digelar kesenian yang berperan sebagai penghibur para keluarga dan orangorang yang pada siang harinya bekerja membantu persiapan-persiapan upacara di rumah mempelai perempuan.Kesenian yang ditampilkan biasanya kesenian khas daerah Banjar , seperti bakisah, wayang dan sebagainya. b. Basusujud/Bailang Basusujud adalah acara sungkem kepada orang tua pengantin laki-laki di rumah mereka, selanjutnya pengantin berkunjung ke rumah para keluarga untuk diperkenalkan, acara ini disebut bailang, biasanya dilakukan malam hari di bawa oleh seorang wanita yang sudah berkeluarga. Yang dikunjungi adalah keuarga kedua belah pihak, dan mereka memberi uang kepada pengantin sebagai tanda agar pengantin tetap hidup bahagia selalu. c. Adat Menetap Sementara Selesai acara perkawinan, kedua pengantin sementara menetap di rumah orang tua pengantin perempuan, kehidupan seperti itu disebut Bakumpul Mintuha atau Bakarubut Mintuha dimana mertua yang memegang tampuk kekuasaan, sementara menantu merupakan abdi mertua. Biasanya masa menetap sementara di rumah mertua ini tergantung kesepakatan, atau mereka dapat hidup mandiri.
2.4.5.2 Upacara Basunat/Khitan Berdasarkan hukum Islam, berkhitan adalah wajib „ain, wajib dilakukan oleh setiap orang muslim, sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW. Tidak ada ketentuan usia untuk khitanan, tetapi biasanya untuk anak lelaki dilakukan pada saat usi lebih dari tujuh tahun sampai duabelas tahun menjelang akil baligh (usia
Universitas Sumatera Utara
remaja), sedangkan untuk anak perempuan biasanya dilakukan setelah berusia lebih dari setahun atau bahkan dilakukan sesaat setelah si anak perempuan lahir. Dalam budaya Banjar, acara khitan biasa disebut dengan acara basunat dilaksanakan menurut hari baik,dan bulan baik, biasanya Sya‟ban, Syawal, Zulhijjah atau Zulkaidah. Acara basunat biasanya berhubungan dengan adatistiadat, yaitu kenduri sebagai rasa syukur dan memohon keselamatan kepada Allah SWT. Pada acara basunat, terdapat perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Bagi anak perempuan, basunat
adalah peristiwa biasa
sekedar prasyarat untuk menyempurnakan keislamannya, perempuan yang disunat tidak akan mengalami penderitaan akibat rasa sakit sebagaimana laki-laki. Sedangkan anak laki-laki, basunat juga sebagai menyempurnakan keislamannya tetapi bagi anak laki-laki basunat merupakan peristiwa yang gawat sehingga pasca basunat harus diberikan perlakuan khusus. Pada hari yang ditentukan,acara akan dilaksanakan dengan meriah, tingkat kemeriahan pesta biasanya terkait dengan status sosial dan ekonomi sang keluarga. Semakin tinggi status sosial dan ekonominya, semakin meriah pesta yang diadakan. Sehari sebelum basunat, anak di arak keliling kampung, didandani seperti layaknya pengantin, dan ditepung tawari (aktivitas memercikkan air yang dicampur jeruk purut ke tubuh yang dituju agar selamat). Lalu si anak di tandu diatas balai-balai (tandu yang dihias) atau kursi yang dihias. Setelah pulang dari perarakan si anak didudukkan di pelaminan. Di depan pelaminan dihidangkan nasi lakatan balamak atau nasi balai yang berisikan ketan kuning yang telah
Universitas Sumatera Utara
dimasak, ayam panggang dan telur rebus yang ditempatkan pada kotak berbentuk persegi empat yang bertingkat-tingkat. Pada saatanak didudukkan di pelaminan inilah biasanya dipersembahkan berbagai kesenian Islam dan Banjar seperti hadrah, silad, nasyid, dan syair madihin.
2.4.5.3 Upacara penabalan nama anak Kelahiran seorang bayi, memiliki makna yang sakral dalam kehidupan sosial masyarakat tradisional. Hadirnya seorang bayi dalam lingkungan keluarga, seringkali disambut dengan suatu upacara atau ritual khusus. Prosesi upacara yang berkaitan dengan kehidupan ini,biasanya sarat akan simbol-simbol dan nilai-nilai religi atau kepercayaan. Sesuai dengan ajaran agama Islam, seorang anak yang dilahirkan wajib bagi orang tua yang mampu untuk mengakikahkan dan menabalkan anak. Aqiqah ini merupakan pemotongan kambing sebagai hewan kurban untuk disedekahkan kepada fakir miskin dan kaum kerabat, sebagai tanda syukur kepada Tuhan YME atas karunia seorang anak. Selain itu, acara ini disertai pula dengan upacara tepung tawar, yaitu memercikkan air yang telah dicampur jeruk purut kepada bayi dan ibunya, diiringi oleh doa-doa penolak bala dari para tetua masyarakat dan sanak saudara. Pada Suku Banjar, pemberian nama kepada seorang anak dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama, dilakukan langsung oleh bidan yang membantu kelahiran anak. Proses ini terjadi, saat bidan melakukan pemotongan tangking atau tali pusat. Pada saat itulah bidan akan memberikan nama sementara yang
Universitas Sumatera Utara
cocok untuk sang bayi. Sewaktu pemotongan tangking atau tali pusat bayi, bidan akan memasukkan atau melantakkan serbuk emas dan serbuk intan ke dalam lubang pada pangkal pusat sang bayi. Hal ini bermakna agar sang bayi kelak ketika dewasa memiliki semangat yang keras dan kehidupan yang berharga, selayaknya disimbolkan oleh sifat intan dan emas. Tetapi setelah masuknya Islam dalam kebudayaan Suku Banjar, menyebabkan proses upacara pemberian nama dilakukan setelah bayi berumur 7hari atau setelah tali pusatnya mengering dan terlepas dari pangkal pusat dan dengan pemotongan kambing yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam kepercayaan Suku Banjar, bahwa nama yang diberikan kepada anak akan berdampak bagi kehidupannya di masa yang akan datang, karena nama adalah sebuah doa, sebuah harapan akan kehidupan yang baik bagi sang bayi kelak. Tahapan awal adalah pembacaan ayat suci Al-Qur‟an ini dimaksudkan agar sejak kecil sang bayi mengenal Al-qur‟an yang merupakan kitab panduan bagi kehidupan umat muslim. Sehinggan diharapkan agar kehidupannya akan sesuai dengan norma-norma yang terkandung dalam kitab suci Al-qur‟an. Tahap selanjutnya adalah pemberian nama kepada sang bayi sekaligus aqiqah. Prosesi ini dipimpin langsung oleh tetua dalam tatacara menurut ajaran Islam. Tahap selanjutnya, pemotongan sebagian kecil dari rambut sang bayi. Hal ini merupakan simbol dari menghilangkan gangguan dan pengaruh buruk yang mungkin akan mengiringi sang bayi. Potongan rambut ini harus dibeli oleh salah satu sanak saudara dari orang tua sang bayi, dengan cara barter atau menukarkan potongan rambut dengan sesisir pisang emas. Hal ini bermakna agar pengaruh buruk
Universitas Sumatera Utara
tergantikan dengan kebaikan dan kesejahteraan yang dilambangkan oleh pisang emas. Tahap selanjutnya, prosesi tepung tawar, ini biasanya dibarengi dengan pembacaan shalawat atau puji-pujian kepada nabi Muhammad SAW yang diiringi oleh tetabuhan alat musik rebana yang biasa disebut dengan marhaban. Selanjutnya sang bayi digendong oleh orang tuanya dan berkeliling menghampiri para tetua, yang secara bergantian akan memercikkan air yang bercampur jeruk purut tersebut, diiringi dengan doa-doa dan harapan untuk sang bayi nantinya. 2.4.5.4 Upacara melepas dan menyambut haji Umumnya masyarakat indonesia atau di negara lain yang muslim, sangat senang bila suatu hari nanti akan berangkat ke Tanah Suci Mekkah. Begitu juga dengan Suku Banjar tidak sedikit pula yang akan menunaikan ibadah haji. Di rumah calon haji tersebut dilakukan upacara melepas keberangkatan calon hajinya. Biasanya, calon haji akan mengundang teman-teman dan sanak saudara serta tetangga dekat untuk upacara tersebut. Para undangan yang hadir ini biasanya menggunakan busana tradisi Banjar lengkap dengan songket, biasanya pakaian Suku Banjar berwarna kuning. Namun, calon haji tidak memakai busana Banjar, ia memakai pakaian haji yang serba putih. Dalam kebudayaan Banjar, proses memberangkatkan calon haji adalah memanjatkan doa selamat selama mengerjakan ibadah haji yang dipimpin oleh seorang ulama. Selain itu, persembahan marhaban yang dilakukan para seniman Islam. Kemudian para hadirin dipersilahkan untuk menepung tawari calon haji tersebut. Biasanya setelah kegiatan menepung tawari para hadirin dipersilahkan untuk memakan makanan yang telah dihidangkan oleh tuan rumah.
Universitas Sumatera Utara
Begitu juga dengan kepulangan haji, mereka menyambut haji ini dirumah haji dengan tepung tawar dan para penyambut memakai pakaian tradisi Banjar. Mereka seperti saat melepas calon haji, kini menepungtawari haji yang baru, diupa-upa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT karena telah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya sehingga ia selamat selama menunaikan ibadah haji di Tanah Suci Mekkah dan didoakan semoga menjadi haji dan hajjah yang mabrur. Selepas itu biasanya para hadirin/yang menyambut juga makan jamuan yang telah disediakan tuan rumah, terutama disiapkan oleh kerabat dekat haji yang baru pulang dari tanah suci. Ibadah haji ini dilakukan pada bulan Zulhijjah.
2.4.6
Makna upacara Suku Banjar sebelum mengenal Islam, merupakan masyarakat yang
mempercayai animisme. Menurut Syarifuddin (2006: 18), Nenek moyang Suku Banjar pernah menganut kepercayaan animisme atau kaharingan yang mengakui adanya kekuatan magis. Senada dengan Haviland dalam (Sebayang, 2013: 125) Taylor memahami kepercayaan suatu kelompok masyarakat terhadap arwah/roh dan dewa/i tergolong pada aliran animisme dan spiritisme. Animisme merupakan aliran kepercayaan pada roh leluhur dan pencipta alam semesta. Berdasarkan wujud atau bentuk rupa roh, kepercayaan roh leluhur dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis roh yakni roh manusia/binatang dan roh non manusia/binatang. Sementara spiritisme berasal dari kata spirit/jiwa, memiliki arti aliran kepercayaan yang memuja,
Universitas Sumatera Utara
menyembah dan menghormati jiwa/roh dari suatu benda. Jiwa/roh merupakan wujud manusia dan makhluk hidup lainnya setelah kematian. Terlepas dari bagaimana bentuk atau wujudnya, sebuah roh jika merasuki raga manusia yang masih hidup akan mengakibatkan si manusia tersebut mengalami masa-masa kesurupan. Selain dapat merasuki raga manusia yang masih hidup, roh juga dapat merasuki benda-benda mati yang mengakibatkan benda-benda tersebut menjadi sakral dan sakti. Aliran kepercayaan animisme dan spiritisme yang menghormati roh leluhur dan pencipta alam semesta, tentunya tidak terlepas dari sesajen atau korban. Sesajen/korban dijadikan hadiah perantara antara manusia dan roh, agar permintaan/doa-doa si manusia terkabulkan oleh roh leluhur. Sesajen/korban juga dapat bermakna keterwakilannya manusia atau sekelompok manusia dalam pemenuhan keinginan dari para roh. Pada ritual berhubungan erat dengan religi. Dalam memaknai ritual, terlebih dahulu kita harus mengerti mengenai religi. Religi terdiri dari dua jenis makna yaitu : (1) religi terkait dengan wahyu Tuhan, dikarenakan religi tidak dapat dianalisis dengan menggunakan daya pikir manusia. Religi terkait juga dengan azas hidup kesusilaan manusia. (2) religi yang tergolong dalam alam hidup manusia. Pada religi jenis kedua ini, manusia diajak untuk percaya pada 3 (tiga) hal yakni percaya pada Tuhan, percaya pada kesusilaan alamiah dan percaya pada roh dalam dunia abadi. Setelah Suku Banjar memasuki agama Islam, maka kegiatan ritual yang terdapat pada tari Barong Banjar sekarang dilakukan dengan bentuk perubahan
Universitas Sumatera Utara
baru yaitu dengan cara berdzikir dan memanjatkan doa kepada yang Maha Kuasa untuk meminta keselamatan dalam melakukan upacara adat ini.
Universitas Sumatera Utara