BAB II TINJAUAN UMUM A. Persetujuan (Perjanjian) 1. Pengertian Persetujuan (Perjanjian) “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan. Karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya” 13. Masalah persetujuan (perjanjian) ini diatur dalam KUHPerdata Pasal 1313, yang menyatakan bahwa, “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dalam hubungan dokter-pasien dalam bidang pengobatan jelas adanya ikatan ini. Untuk itu kalangan dokter harus menyadari adanya landasan hukum yang mengatur ikatan ini 14. Dijelaskan akibat persetujuan ini akan terjadi “perjanjian” karena terdapat 2 pihak yang bersetuju dan berjanji untuk melakukan sesuatu. Akibat dari perjanjian ini maka terjadi “perikatan” antara kedua belah pihak di atas (dokter dan pasien). Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh Buku III KUHPerdata ialah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, sedangkan pihak yang lain itu berkewajiban memenuhi tuntutan
13
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. ke XII, PT Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 1. Amri Amir, op. cit. hal. 14.
14
itu 15. Perikatan tersebut dapat lahir dikarenakan dua hal yaitu karena persetujuan (perjanjian) dan karena Undang-Undang seperti yang tercantum di dalam Pasal 1233 KUHPerdata. Mengenai pengertian dari persetujuan (perjanjian) yang terdapat pada Pasal 1313 KUHPerdata itu sendiri, sebenarnya menurut para sarjana belumlah lengkap atau jelas karena ada beberapa kata yang rancu, sehingga diperlukan adanya tambahan kata untuk memperjelasnya. Seperti pada kata “perbuatan”, tidak jelas di kata itu perbuatan seperti apa halnya, sehingga harus disempurnakan menjadi “perbuatan hukum”. Dan pada kata “satu orang” kata tersebut seolah-olah menjelaskan bahwa yang melakukan perjanjian itu hanya orang saja, padahal subjek hukum bukan hanya orang (manusia) saja tetapi juga termasuk badan hukum. Sehingga perlu diganti menjadi “pihak-pihak”. Perlu adanya tambahan kata “saling” di depan kata “mengikatkan” sehingga memiliki makna bahwa para pihak sama-sama sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam perjanjian tersebut. Sehingga konsep mengenai pengertian dari suatu perjanjian atau persetujuan yang dianggap lebih baik pun dapat dijabarkan sebagai berikut : “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dengan mana pihak-pihak saling mengikatkan dirinya terhadap pihak-pihak lainnya”. Adapun dari pengertian yang ada di atas dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a. Adanya perbuatan hukum yang menimbulkan hubungan hukum 15
Ibid.
b. Adanya para pihak c. Adanya kesepakatan untuk saling mengikatkan diri 2. Asas-asas Hukum Perjanjian Asas-asas hukum yang penting diperhatikan pada waktu membuat perjanjian maupun melaksanakannya adalah sebagai berikut: a. Asas Konsensualisme Asas bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensuil, artinya perjanjian itu selesai karena persetujuan kehendak atau consensus semata-mata. b. Asas Kekuatan Mengikat dari Perjanjian (pacta sunt servanda) Asas, bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak. c. Asas Kebebasan Berkontrak Orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi berlakunya dan syarat-syarat perjanjian dengan kontrak tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-Undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu, Selama tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPerdata. 16 d. Asas iktikad baik (Togoe dentrow) “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata) iktikad baik ada dua yakni : Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Dan bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang”. 17 3. Unsur-Unsur Perjanjian Menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (Essensialia) dan bagian bukan inti (Naturalia dan Accidentalia). 16
Purwahid Pairik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 3. Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Cet. 1, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hal. 45.
17
a. Unsur Essensialia. Unsur yang mutlak harus ada. Unsur ini sangat erat berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) dan untuk mengetahui ada/tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis perjanjiannya. Contoh: Kesepakatan. b. Unsur Naturalia Unsur yang lazimnya ada/sifat bawaan perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian. misalnya: Menjamin terhadap cacat tersembunyi. c. Unsur Accidentalia Unsur yang harus tegas diperjanjikan, misalnya: Pemilihan tempat kedudukan 18.
4. Syarat Sah Perjanjian Suatu perjanjian akan mengikat para pihak yang membuatnya apabila perjanjian tersebut dibuat secara sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk sahnya suatu persetujuan (perjanjian) diperlukan 4 syarat, sebagaimana tercantum pada Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Ad. a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak para pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Kesepakatan merupakan kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. Adapun Unsur kesepakatan terdiri atas : 1) Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan. 18
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPERDATA Buku III, Alumni, Bandung, 2006, hal. 108-120.
2) Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran 19. Sebelum para pihak melakukan kesepakatan, maka salah satu pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan apa yang dikendakinya, dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati para pihak. Pernyataan kehendak yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama penawaran. Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah ia menerima tawaran yang disampaikan. Apabila ia menerima maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika ia tidak menyetujui, maka dapat saja ia mengajukan tawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat ia penuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat diterima atau dilaksanakan olehnya. Dalam hal terjadi demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawarmenawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya para pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam teori/ajaran yaitu:
19
Ibid. hal. 98.
1) Teori pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu, misalnya saat menjatuhkan bolpoin untuk menyatakan menerima. Kelemahannya sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis. 2) Teori pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. Kelemahannya adalah bagaimana hal itu bisa diketahui? Bisa saja walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan. 3) Teori pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima. (walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya. 4) Teori penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan 20. Pernyataan kehendak itu dapat dilakukan secara tegas ataupun secara diam-diam. Jika dilakukan secara tegas dapat dilakukan secara tertulis, secara lisan ataupun dengan tanda. Pernyataan kehendak secara tegas yang dilakukan secara tertulis dapat dilakukan dengan akta di bawah tangan ataupun dengan akta autentik. Permasalahan lain tentang kesepakatan. Bagaimana bila terjadi pernyataan yang keluar tidak sama dengan kemauan sebenarnya? Untuk menjawab hal tersebut ada beberapa teori yaitu : 1) Teori kehendak, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi perjanjian atau belum adalah adanya kehendak para pihak. 2) Teori pernyataan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi perjanjian atau belum adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dengan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi. 3) Teori kepercayaan, menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi perjanjian atau belum adalah pernyataan seseorang yang secara objektif dapat dipercaya. Kelemahannya adalah kepercayaan itu sulit dinilai 21.
20
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 2003, hal. 30-31. 21 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hal. 93-94.
Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUHPerdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Masalah lain yang dikenal dalam KUHPerdata yakni yang disebut cacat kehendak (kehendak yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat kehendak (Pasal 1321 KUHPerdata) 22: 1) Kekhilafan/ kekeliruan/ kesesatan/ dwaling (Pasal 1322 KUHPerdata). Sesat dianggap ada apabila pernyataan sesuai dengan kemauan tapi kemauan itu didasarkan atas gambaran yang keliru baik mengenai orangnya (disebut eror in persona) atau objeknya (disebut eror in subtantia). cirinya, yakni tidak ada pengaruh dari pihak lain. Contoh: a) Si A membeli lukisan ”potret” yang dikira lukisan Affandi, tapi ternyata bukan lukisan affandi melainkan lukisan palsu (eror in subtantia). b) Si A memanggil Inul Daratista si Goyang Ngebor namun saat pentas ternyata Inul yang tampil bukan Inul Daratista melainkan Inul Dara Manja (eror in persona). 2) Paksaan/dwang (Pasal 1323-1327 KUHPerdata).
Paksaan bukan karena kehendaknya sendiri,namun dipengarui orang lain. Paksaan telah terjadi bila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dengan demikian maka pengertian paksaan adalah kekerasan 22
Handri Raharjo, op. cit. hal. 49-51.
jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Contohnya, orang menodongkan pistol guna memaksa orang yang lemah untuk membubuhkan tanda tangan di sebuah perjanjian. 3) Penipuan/bedrog (Pasal 1328 KUHPerdata) pihak menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati. Perjanjian itu dapat dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal yang disebut di atas. Dalam perkembangannya muncul unsur cacat kehendak yang keempat yaitu penyalahgunaan keadaan/undue Influence (KUHPerdata tidak mengenal). Pada hakikatnya ajaran penyalahgunaan keadaan bertumpuh pada kedua hal berikut, yaitu : a) Penyalahgunaan keunggulan ekonomi b) Penyalahgunaan keunggulan kejiwaan termasuk tentang psikologi, pengetahuan, dan pengalaman. Di dalam penyalahgunaan keadaan tidak terjadi ancaman fisik hanya terkadang salah satu pihak punya rasa ketergantungan, suatu hal darurat, tidak berpengalaman, atau tidak tahu. Apa yang menjadi dasar pengajuan ke pengadilan bila di KUHPerdata tidak mengaturnya? Dapat dengan dasar yurisprudensi. Konsekuensi bila ada penyalah-gunaan keadaan maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika hal ini dikaitkan dengan pelayanan kesehatan dalam hal informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran), maka kesepakatan para pihak untuk saling mengikatkan dirinya timbul jika, pasien atau keluarga terdekat pasien setuju untuk
dilakukannnya tindakan medis/kedokteran, setelah sebelumnya dokter memberikan informasi atau penjelasan yang jelas mengenai apa saja yang berkaitan dengan tindakan medis/kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien sebagaimana tercantum pada Pasal 7 ayat 3 PERMENKES No 290 tahun 2008. Ad.b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan Pada Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Pada Pasal 1330 KUHPerdata lebih lanjut dinyatakan bahwa yang tidak cakap membuat perjanjian adalah : 1) Orang –orang yang belum dewasa 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan 3) Orang-orang perempuan (wanita bersuami) 4) Orang yang dilarang undang-undang untuk membuat perjanjian tertentu.
Mengenai ketentuan yang ada pada nomor urut ketiga pada Pasal 1330 KUHPerdata yang ada di atas, berkenaan dengan kedudukan orang-orang perempuan (wanita bersuami) yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian telah dihapus, dengan keluarnya SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 3 Tahun 1963, yang menyatakan bahwa perempuan bersuami cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Serta keluarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa hak dan kedudukan suami-istri seimbang dan
masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum, hal ini dapat dilihat pada Pasal 31 undang-undang tersebut. Mereka yang belum cukup umur menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah mereka yang belum genap 21 tahun dan belum menikah. Agar mereka yang belum dewasa dapat melakukan perbuatan hukum maka harus diwakili oleh wali/perwalian (Pasal 331-414 KUHPerdata). Perwalian adalah pengawasan atas orang (anak-anak yang belum dewasa yang tidak ada di bawah kekuasaan orangtua) sebagaimana diatur dalam undang-undang dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa 23. Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan diatur dalam Pasal 433-462 KUHPerdata tentang pengampuan. Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang (disebut curandus) karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak sendiri (pribadi) di dalam lalu lintas hukum, karena orang tersebut (curandus),oleh putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut undangundang yang disebut pengampu (curator/curatrice), sedangkan pengampuannya disebut curatele. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap adalah (Pasal 433 KUHPerdata) : 1) Keadaan dungu. 2) Sakit ingatan/gila/mata gelap (dianggap tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya). 3) Pemboros dan pemabuk (ketidakcakapan bertindak terbatas pada perbuatanperbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja). 24 “Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang didasarkan adanya permohonan. Yang dapat mengajukan permohonan diatur di dalam Pasal 434-435 KUHPerdata yaitu, keluarga, diri sendiri, dan jaksa dari kejaksaan”. 25
23
Ibid. hal. 53. Ibid. hal. 53-54. 25 Juni Rahardjo, Hukum Administrasi Indonesia Pengetahuan Dasar, Atma Jaya, Yogyakarta, 1995, hal. 79. 24
“Akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap berbuat berdasar penentuan hukum ialah dapat dimintakan pembatalan (Pasal 1331 ayat (1) KUHPerdata)” 26. Jika hal ini dikaitkan dengan pelayanan kesehatan dalam hal informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran) maka kecakapan ini harus datang dari kedua belah pihak yang memberikan pelayanan maupun yang memerlukan pelayanan. Artinya dari kalangan dokter mereka harus mempunyai kecakapan yang dituntut atau diperlukan oleh pasien. Dokter umum sebagai dokter umum dan dokter spesialis menurut spesialis yang dipunyainnya. Hal tersebut harus ada buktinya (seperti izajah atau sertifikat yang diakui oleh organisasi keahliannya) 27. Dari pihak pasien tentulah dituntut orang yang cakap pula untuk membuat perikatan yaitu orang dewasa yang waras, namun bila keadaan pasien masih di bawah umur atau tidak memungkinkan untuk membuat suatu perikatan maka dapat digantikan oleh pihak keluarga terdekat dari pasien. Ad.c. Suatu hal tertentu Suatu hal tertentu disini berbicara tentang objek perjanjian (Pasal 1332 s/d 1334 KUHPerdata). Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut yaitu : 1) Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.
26 27
Handri Raharjo, l oc. cit. Amri Amir, op. cit. hal. 15.
2) Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian). 28 Suatu perjanjian harus mempunyai objek suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan pada waktu dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya (Pasal 1333 KUHPerdata). Jika dikaitkan dengan pelayanan kesehatan dalam hal informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran), maka yang menjadi objek atau suatu hal tertentunya adalah tindakan medis/kedokteran yang akan dilakukan dokter terhadap pasien demi kepentingan kesehatan pasien. Ad.d. Suatu sebab yang halal “Sebab yang dimaksud adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian (Pasal 1337 KUHPerdata). Halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan” 29. Syarat ini merupakan mekanisme netralisasi, yaitu sarana untuk menetralisir terhadap prinsip hukum perjanjian yang lain yaitu prinsip kebebasan berkontrak. Prinsip mana dalam KUHperdata ada dalam Pasal 1338 ayat (1) yang pada intinya menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang. Adanya suatu kekhawatiran terhadap azas kebebasan berkontrak ini bahwa akan menimbulkan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara 28 29
Mariam Darus Badrulzaman, op. cit. hal. 104-105. Handri Raharjo, op. cit. hal. 57.
ceroboh, karenanya diperlukan suatu mekanisme kebebasan berkontrak ini tidak disalahgunakan. Sehingga diperlukan penerapan prinsip moral dalam suatu perjanjian. sehingga timbul syarat suatu sebab yang halal sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian. Itu sebabnya suatu perjanjian dikatakan tidak memiliki suatu sebab yang halal atau suatu sebab yang terlarang jika perjanjian tersebut antara lain melanggar prinsip kesusilaan atau ketetiban umum disamping melanggar perundangundangan hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1337 KUHPerdata. Konsekuensi yuridis apabila syarat ini tidak terpenuhi adalah perjanjian yang dibuat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum atau dengan kata lain batal demi hukum. Jika dikaitkan dengan dengan pelayanan kesehatan dalam hal informed consent (Persetujuan Tindakan Kedokteran), maka yang perlu juga diperhatikan disini adalah mengenai “suatu sebab yang halal”. Yang dimaksud persetujuan itu (dalam bidang pengobatan) adalah hal-hal yang tidak melanggar hukum, seperti melakukan aborsi dan lain-lain 30. “Syarat kesepakatan dan syarat kecakapan di atas biasa disebut syarat subjektif, yakni mengenai subjeknya, bila syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif minimal dari salah satu pihak yang merasa dirugikan untuk membatalkannya)” 31. Batas waktu untuk membatalkannya 5 tahun (Pasal 1454 KUHPerdata). Syarat suatu hal tertentu dan sebab yang halal disebut syarat objektif yaitu syarat mengenai objeknya, bila syarat
30 31
Amri Amir, loc. cit. R. Subekti, op. cit. hal. 20.
ini tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum (sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu pembatalan) 32. Munir Fuady berpendapat agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat yang digolongkan sebagai berikut : 1) Syarat sah yang umum, yaitu : a) Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata terdiri dari : (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (3) Suatu hal tertentu (4) Suatu sebab yang halal b) Syarat sah umum diluar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata yang terdiri dari : (1) Syarat itikad baik (2) Syarat sesuai dengan kebiasaan (3) Syarat sesuai dengan kepatutan (4) Syarat sesuai dengan kepentingan umum 2) Syarat sah yang khusus terdiri dari : a) Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentu b) Syarat akta notaris untuk perjanjian-perjanjian tertentu c) Syarat akta pejabat tertentu yang bukan notaris untuk perjanjian-perjanjian tertentu d) Syarat izin dari yang berwenang 33
5. Prestasi dan Wanprestasi a. Prestasi Sesuatu yang dapat dituntut itu dinamakan “Prestasi” yang menurut UndangUndang pada Pasal 1234 KUHPerdata dapat berupa : 1) Menyerahkan sesuatu barang
32
Ibid. Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 33. 33
2) Melakukan sesuatu perbuatan 3) Tidak melakukan sesuatu perbuatan 34 “Dalam kaitan dokter dengan pasien, prestasi yang utama disini adalah “melakukan sesuatu perbuatan” baik dalam rangka preventif, curatif, rehabilitatif, maupun promotif” 35. b. Wanprestasi “Menurut Subekti, seorang debitur dapat dikatakan wanprestasi apabila si berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan wanprestasi. Ia ingkar janji atau alpa atau lalai atau juga ia melanggar perjanjian. bila ia berbuat atau melakukan sesuatu yang tidak boleh melakukannya” 36. “Menurut Satrio, wanprestasi terjadi apabila apa yang dijanjikan oleh pihak lawan, debitur tidak melaksanakan kewajiban prestasinya atau tidak melaksanakan sebagaimana mestinya” 37. Ada 4 macam bentuk dari wanprestasi, yaitu : 1) Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tapi tidak bermanfaat lagi atau tidak dapat diperbaiki. 2) Terlambat memenuhi prestasi. 3) Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya. 4) Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. 38 34
Amri Amir, loc cit. Ibid. 36 R. Subekti, op. cit. hal. 45. 37 J. Satrio, Hukum Perjanjian, Cipta Aditya Bhakti, Bandung, 1992, hal. 31. 35
“Tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian karena 2 hal : 1) Kesalahan debitur karena: disengaja dan/atau lalai. 2) Keadaan memaksa”. 39
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut : 1) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau biasa dinamakan ganti rugi. 2) Pembatalan perjanjian atau dinamakan pemecahan perjanjian 3) Peralihan risiko. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim 40. Pembelaan untuk debitur wanprestasi ada tiga macam yaitu : 1) Memajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur); 2) Memajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio non adimpleti contractus); 3) Memajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverwerking). 41 Jika dikaitkan dengan hubungan dokter dengan pasien dalam hal pelayanan kesehatan maka, wanprestasi dapat terjadi dalam pelayanan kesehatan jika, dokter tidak melakukan suatu tindakan medis/kedokteran sebagaimana yang telah diperjanjikan, atau melakukan tindakan medis yang sebenarnya tidak ada/sesuai
38
Handri Raharjo, op. cit. hal. 80-81. Ibid. 40 R. Subekti, loc cit. 41 Ibid. hal. 61. 39
dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Sedangkan untuk pasien sendiri dianggap melakukan wanprestasi apabila tidak membayar biaya administrasi untuk keperluan tindakan medis/kedokteran tersebut atau melanggar kesepakatan yang ada dalam perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. 6. Jenis-Jenis Perjanjian Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara, yaitu : a. Perjanjian menurut sumbernya: 1) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga. Misalnya , perkawinan. 2) Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan, adalah perjanjian yang berhubungan dengan peralihan hukum benda. 3) Perjanjian obligatoir, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban. 4) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara. 5) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik. 42 b. “Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak, dibedakan menjadi” 43: 1) “Perjanjian timbal-balik, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Perjanjian ini ada dua macam yaitu timbal balik yang sempurna dan tidak sempurna. Misalnya, perjanjian jual beli” 44. 2) “Perjanjian sepihak, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja, sedangkan pada pihak yang lain hanya ada hak. Contoh : hibah 42
Sudikno Mertokusumo, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 1992, hal. 11. 43 Salim HS, op. cit. hal. 19-20. 44 Mariam Darus Badrulzaman, op. cit. hal. 90.
(Pasal 1666 KUHPerdata) dan perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792 KUHPerdata)” 45. c. “Perjanjian menurut keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi pada pihak yang lain, dibedakan menjadi” 46 : 1) “Perjanjian Cuma-Cuma, adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada salah satu pihak. Contoh, perjanjian hibah” 47. 2) “Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak yang lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum, contoh, perjanjian jual beli, sewa-menyewa dan lain-lain” 48. d. “Perjanjian menurut namanya, dibedakan menjadi perjanjian khusus/ bernama/ nominaat dan perjanjian umum/ tidak bernama/ innominaat/ perjanjian jenis baru (Pasal 1319 KUHPerdata)” 49. 1) “Perjanjian khusus/bernama/nominaat adalah perjanjian yang memiliki nama dan diatur dalam KUHPerdata” 50. Contoh, perjanjian-perjanjian yang terdapat dalam buku III Bab V-XVIII KUHPerdata, antara lain perjanjian jual beli, perjanjian tukar-menukar, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian penitipan
45
Djaja S. Meliala, op. cit. hal. 87. Salim HS, loc. cit. 47 Mariam Darus Badrulzaman, loc. cit. 48 Ibid. 49 Salim HS, op. cit. hal. 18. 50 Djaja S. Meliala, op. cit. hal. 88. 46
barang, perjanjian hibah, perjanjian pinjam-memimjam, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian perdamaian dan lain-lain. 2) “Perjanjian umum/tidak bernama/innominaat/perjanjian jenis baru, adalah perjanjian yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat karena asas kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat KUHPerdata diundangkan” 51. Karena perjanjian innominaat didasarkan pada asas kebebasan berkontrak maka sistem pengaturan hukum perjanjian innominaat adalah sistem terbuka/open system. Dilihat dari aspek pengaturannya perjanjian innominaat dibedakan menjadi 3, yaitu : a) Perjanjian innominaat yang diatur secara khusus dan dituangkan dalam bentuk undang-undang dan atau telah diatur dalam pasal-pasal tersendiri. Misalnya, kontrak production sharing yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. b) Perjanjian innominaat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, misalnya tentang waralaba/franchise yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang waralaba. c) Perjanjian innominaat yang belum diatur atau belum ada undangundangnya di Indonesia, misalnya kontrak rahim atau surrogate mother. 52 Perjanjian innominaat bersifat khusus sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sedangkan perjanjian nominaat bersifat umum sehingga disini asas lex spesialis derogat legi generale berlaku meskipun ketentuan umum mengenai perjanjian sendiri tetap mengacu atau tunduk pada KUHPerdata sebagaimana tertuang dalam Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak 51 52
Salim HS, op. cit. hal. 4 dan 17. Ibid. hal. 2.
terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu”. e. “Perjanjian menurut bentuknya ada 2 macam, yaitu perjanjian lisan/tidak tertulis dan perjanjian tertulis. Termasuk perjanjian lisan adalah” 53 : 1) “Perjanjian konsensual, adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para
pihak
saja
sudah
cukup
untuk
timbulnya
perjanjian
yang
bersangkutan” 54. 2) “Perjanjian riil, adalah perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya penyerahan barang atau kata sepakat bersamaan dengan penyerahan barangnya. Misalnya, perjanjian penitipan barang dan perjanjian pinjam pakai” 55. Sedangkan yang termasuk perjanjian tertulis, yaitu : a) “Perjanjian standar atau baku adalah perjanjian yang berbentuk tertulis berupa formulir yang isinya telah distandarisasi (dibakukan) terlebih dahulu secara sepihak oleh produsen, serta bersifat masal, tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen” 56.
53
Ibid. hal. 19. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Buku I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 48. 55 Mariam Darus Badrulzaman, op. cit. hal. 92-93. 56 Djaja S. Meliala, op. cit. hal. 90. 54
b) “Perjanjian formal adalah perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu” 57. Misalnya, perjanjian perdamaian yang harus secara tertulis (Pasal 1851 KUHPerdata), perjanjian hibah dengan akta notaris. f. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya. Yang termasuk dalam perjanjian ini menurut Mariam Darus Badrulzaman : 1) Perjanjian liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya, pembebasan hutang (Pasal 1438 KUHPerdata). 2) Perjanjian pembuktian, yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka. 3) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (Pasal 1774 KUHPerdata). 4) Perjanjian publik, adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas 58. g. Perjanjian campuran/contractus sui generis (Pasal 1601 C KUHPerdata). “Di dalam perjanjian ini terdapat unsur-unsur dari beberapa perjanjian bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri-sendiri. Contoh, perjanjian antara pemilik hotel dengan tamu” 59.
57
R. Subekti, op. cit. hal. 16. Mariam Darus Badrulzaman, loc. cit. 59 Djaja S. Meliala, op. cit. hal. 89. 58
h. Perjanjian penanggungan (borgtocht). “Adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur tidak memenuhi perikatannya (Pasal 1820 KUHPerdata)” 60. i. “Perjanjian garansi (Pasal 1316 KUHPerdata) dan Derden Beding (Pasal 1317 KUHPerdata)” 61. 1) Perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seorang menjamin pihak lain (lawan janjinya) bahwa seorang pihak ketiga yang ada di luar perjanjian (bukan pihak dalam perjanjian yang bersangkutan) akan melakukan sesuatu (atau tidak akan melakukan sesuatu) dan kalau sampai terjadi pihak ketiga tidak memenuhi kewajibannya, maka ia akan bertanggung jawab untuk itu 62. Dengan kata lain, perjanjian garansi adalah perjanjian dimana seorang (A) berjanji kepada pihak (B) bahwa orang lain (C) akan melaksanakan/memenuhi prestasi. 2) Derden Beding (janji pihak ketiga) berdasarkan asas pribadi suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata) dan para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa yang disebut janji guna pihak ketiga (Pasal 1317 KUHPerdata).
60
Ibid. hal. 90 Handri Raharjo, op. cit. hal. 67-68. 62 J. Satrio, op. cit. hal. 97. 61
j.
Perjanjian menurut sifatnya dibedakan menjadi : 1) Perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang utama. 2) Perjanjian accesoir adalah perjanjian tambahan yang mengikuti perjanjian utama/pokok, misalnya perjanjian pembebanan hak tanggungan atau fidusia 63.
Sedangkan penggolongan yang lain adalah didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya kewajiban tersebut: a. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang hanya (baru) meletakkan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak dan belum memindahkan hak milik. b. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu kepada pihak lain, misalnya peralihan hak milik 64. 7. Akibat dari suatu perjanjian Akibat dari suatu perjanjian menurut Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu : a. Perjanjian mengikat para pihak. yang dimaksud dengan para pihak antara lain : 1) Para pihak yang membuatnya (Pasal 1340 KUHPerdata). 2) Ahli waris berdasarkan alas hak umum karena mereka itu memperoleh segala hak dari seseorang secara tidak terperinci (enblock). 3) Pihak ketiga yang diuntungkan dari perjanjian yang dibuat berdasarkan alas hak khusus karena mereka itu memperoleh segala hak dari seseorang secara terperinci/khusus 65. b. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena (Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata) merupakan kesepakatan diantara kedua belah pihak dan alasanalasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. c. Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Melaksanakan apa yang menjadi hak di satu pihak dan kewajiban 63
Salim HS, loc. cit. Handri Raharjo, op. cit. hal. 68-69. 65 R. Subekti, op. cit. hal. 32. 64
di pihak yang lain dari yang membuat perjanjian. Hakim berkuasa menyimpangi isi perjanjian bila bertentangan dengan rasa keadilan. Sehingga agar suatu perjanjian dapat dilaksanakan harus dilandasi dengan prinsip iktikad baik, prinsip kepatutan, kebiasaan, dan sesuai undang-undang 66.
8. Berakhirnya Perjanjian Pada umumnya, suatu perjanjian akan berakhir bilamana tujuan perjanjian itu telah tercapai. Dimana masing-masing pihak telah saling menunaikan prestasi yang diperlukan sebagaimana yang mereka kehendaki bersama-sama dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat hapus karena: a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu tertentu. b. Undang-Undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian (Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata). c. Salah satu pihak meninggal dunia. d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bila salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat terpaksa memutuskan perjanjian secara sepihak) atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan perjanjian. e. Karena putusan hakim. f. Tujuan perjanjian telah dicapai dengan kata lain dilaksanakannya objek perjanjian atau prestasi. g. Dengan persetujuan para pihak 67. Menurut Handri Raharjo untuk mengetahui apakah sebuah perjanjian itu sudah berakhir atau belum harus dilihat dulu masing-masing perikatan dalam perjanjian itu sudah hapus atau belum, kalau sudah maka tinggal melihat apakah sumber dari perikatan itu (perjanjian) juga sudah hapus atau belum sehingga untuk hal ini perlu dilihat perjanjian itu sendiri dari berapa perikatan 68. Cara berakhirnya perjanjian yang disampaikan R. Setiawan adalah cara lain yang dibuat para pihak sesuai perkembangan zaman. Dengan kata lain, cara 66
Handri Raharjo, op. cit. hal. 58. Ibid. hal. 64. 68 Ibid. hal. 102. 67
hapusnya/berakhirnya perjanjian dapat berlaku atau digunakan untuk cara hapusnya perikatan begitu juga sebaliknya cara hapusnya/berakhirnya suatu perikatan sebagaimana yang tertulis didalam Pasal 1381 KUHPerdata dapat berlaku atau digunakan untuk cara hapusnya/berakhirnya suatu perjanjian 69. B. Perjanjian Terapeutik 1. Pengertian Perjanjian Terapeutik “Perjanjian atau transaksi atau persetujuan adalah hubungan timbal balik yang terjadi antara kedua belah pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan sesuatu hal. Perjanjian terpeutik atau transaksi terpeutik terjadi antara dokter dengan pasien yang berakibat pada timbulnya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak” 70. Pengertian mengenai perjanjian terapeutik ada beberapa definisi dari para sarjana antara lain sebagai berikut : a. “Veronica Komalawati : transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara profesional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kedokteran” 71. b. “Hermien Hadiati Koeswadji : transaksi terapeutik adalah transaksi untuk menentukan-mencari terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter” 72.
69
Ibid. Y.A. Triana Ohoiwutun, op. cit. hal. 8. 71 Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Cet. 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 1. 72 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 45-46. 70
c. “Bahder Johan Nasution : transaksi terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak” 73. d. “Al purwohadiwardoyo : transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien yang dilaksanakan dengan rasa kepercayaan dari pasien terhadap dokter” 74. e. Salim HS : kontrak terapeutik adalah kontrak yang dibuat antara pasien dengan
tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi, dimana tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi berusaha untuk melakukan upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya, dan pasien berkewajiban untuk membayar biaya penyembuhannya 75. Lebih lanjut menurut Salim HS, ada tiga unsur yang terkandung dalam definisi kontrak/transaksi/perjanjian terapeutik yang ia kemukakan di atas, yaitu : 1) Adanya subjek hukum; 2) Adanya objek hukum; 3) Kewajiban pasien. 76 Subjek dalam kontrak terapeutik meliputi pasien, tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi. Objek dalam kontrak terapeutik adalah upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien. Kewajiban pasien adalah membayar biaya atau jasa 73
Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Cet. 1, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 11. 74 Al Purwohadiwardoyo, Etika Medis, Kanisius, Yogyakarta, 1989, hal. 13. 75 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, op. cit. hal. 46. 76 Ibid.
terhadap tenaga kesehatan/dokter atau dokter gigi. Besarnya biaya atau jasa itu ditentukan secara sepihak oleh tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi, sementara pasien sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk tawar-menawar terhadap apa yang disampaikan oleh tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi 77. “Dalam perjanjian terpeutik, antara dokter dengan pasien telah membentuk hubungan medis berupa tindakan medis yang secara otomatis juga mengakibatkan terbentuknya hubungan hukum” 78. Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam hubungan hukum terdapat objek, subjek, dan causa sebagai berikut : a. Objek dalam hubungan hukum berupa hal yang diwajibkan atau hal yang menjadi hak seseorang. b. Subjek dalam hubungan hukum ialah seorang manusia atau badan hukum yang mendapat beban kewajiban atau yang diberikan hak terhadap sesuatu. c. Causa dalam hubungan hukum adalah hal yang menyebabkan adanya perhubungan hukum, yaitu rangkaian kepentingan yang harus dijaga dan diperhatikan seperti yang termaksud dalam isi perhubungan hukum itu 79. Berdasarkan uraian tersebut apabila mengacu pada peraturan perundangan di bidang kesehatan maka hubungan hukum yang terjadi dalam perjanjian terapeutik adalah sebagai berikut : a. Objek hukum perjanjian terapeutik adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter terhadap pasien yang berhak untuk menerima tindakan medis. b. Subjek hukum perjanjian terapeutik adalah pasien, dokter, dan sarana kesehatan (menurut Pasal 1 angka 4 UU Kesehatan, sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan). c. Causa hukum perjanjian terapeutik adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan 80. 77
Ibid. hal. 47. Y.A. Triana Ohoiwutun, loc. cit. 79 Ibid. 80 Ibid. hal. 8-9. 78
2. Aspek hukum perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien 81 Perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya pelayanan kesehatan menurut hukum yang meliputi aspek hukum perdata berupa persetujuan antara dokter dengan pasien dan atau keluarganya merupakan akibat kelalaian di bidang perdata serta tuntutannya terhadap pelayanan masyarakat. Aspek hukum pidana yang ditimbulkan adanya hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan meliputi kebenaran dari isi surat keterangan kesehatan, wajib simpan rahasia oleh dokter tentang kesehatan pasien, pengguguran kandungan (abortus provocatus criminalis), penyalahgunaan pemberian resep obat yang mengandung psikotropika, dan sebagainya. Hubungan yang bersifat istimewa antara dokter dengan pasien dapat menimbulkan permasalahan yang disebabkan antara lain oleh rasa ketidakpuasan pasien atas adanya dugaan kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh dokter. Hal itu pada umumnya disebabkan oleh kurangnya informasi yang seharusnya menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak (dokter dan pasien). Kedudukan antara dokter dengan pasien sebagai para pihak yang terikat dalam perjanjian terapeutik tidak seimbang. Hal itu menarik ditinjau dari aspek hukum. Dari aspek hukum pidana, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tidak bertentangan dengan hukum, meskipun menimbulkan rasa sakit. Dokter tidak dapat dipidana atas rasa sakit yang ditimbulkan dalam suatu tindakan medis tertentu, 81
Ibid. hal. 9-12.
meskipun rasa sakit merupakan salah satu unsur tindak pidana penganiayaan. Atas tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter tidak dapat dijatuhi sanksi pidana, apabila memenuhi beberapa syarat berikut : a. Ada indikasi medis yang dilakukan untuk mencapai tujuan konkret tertentu. b. Tindakan medis dilakukan menurut aturan dalam ilmu kedokteran. c. Mendapatkan persetujuan dari pasien terlebih dahulu. Meskipun ada persetujuan pasien/keluarganya berupa persetujuan tindakan medis (pertindik), namun jika terjadi kesalahan yang dilakukan oleh dokter maka perbuatan tersebut tidak menghilangkan sifat melawan hukum dalam hukum pidana. Dengan demikian, apabila ada kesalahan yang dilakukan oleh dokter maka kesalahan tersebut tetap dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum pidana, meskipun tindakan medis yang dilakukan oleh dokter telah disetujui oleh pasien/keluarganya. Dari aspek hukum administrasi, praktik dokter dalam melakukan tindakan medis berhubungan dengan kewenangan dokter secara yuridis didasarkan pada syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu adanya kewajiban untuk memiliki izin praktik dokter yang sah. Dari aspek hukum perdata, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan pelaksanaan dari perikatan berupa perjanjian/transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien. Perikatan antara dokter dengan pasien disebut perjanjian/transaksi terapeutik, yaitu perjanjian yang dilakukan antara dokter dengan pasien untuk mencari/menemukan terapi sebagai upaya penyembuhan penyakit pasien oleh dokter.
Di dalam ilmu hukum, khususnya hukum perdata ada dua jenis perjanjian, yaitu resultaatsverbintenis (perjanjian berdasarkan hasil kerja) dan inspanningverbintenis (perjanjian berdasarkan usaha yang maksimal ikhtiar). Pada umumnya perjanjian terapeutik merupakan inspanningverbintenis. Dalam hal ini, secara hati-hati dan teliti dokter berusaha mempergunakan ilmu, kepandaian, keterampilan, dan pengalamannya untuk menyembuhkan pasien. Hasil usaha yang dilakukan oleh dokter tidak pasti, ada kemungkinan pasien sembuh, tetap sakit, tambah sakit, atau bahkan mati. Dokter tidak dapat menjamin hasil usaha yang dilakukannya dalam memberikan pelayanan kesehatan. Akan tetapi, dalam perjanjian terapeutik juga dimungkinkan adanya resultaatsverbintenis. Dalam hal ini penerapan perjanjian yang dilakukan oleh dokter dengan pasien didasarkan atas hasil kerja, misalnya dalam pembuatan gigi palsu, pembuatan organ anggota badan palsu, dan sebagainya. Pada hakikatnya perjanjian terapeutik tidak berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Adapun syarat perjanjian pada umumnya menurut Pasal 1320 KUH Perdata meliputi (1) kesepakatan antara para pihak, (2) kecakapan untuk membuat perikatan, (3) adanya suatu hal tertentu, dan (4) adanya sebab halal. Perjanjian terapeutik merupakan perjanjian yang bersifat istimewa (khusus) dan objeknya berupa pelayanan kesehatan. Keistimewaan perjanjian terapeutik adalah sebagai berikut : a. Kedudukan antara pihak (dokter dengan pasien) tidak seimbang karena dokter dipandang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan upaya kesehatan, sedangkan pasien tidak mengetahui tentang keadaan kesehatannya.
b. Dalam tindakan medis tertentu ada informed consent sebagai hak pasien untuk menyetujuinya secara sepihak. Hal tersebut dapat dibatalkan setiap saat sebelum dilakukannya tindakan medis yang telah disepakati. c. Hasil perjanjian yang belum pasti dalam pelayanan medis. 3. Dasar hukum perjanjian terapeutik Perjanjian terapeutik sebagai bagian dari hukum privat tunduk pada aturan-aturan yang ditentukan dalam KUHPerdata sebagai dasar adanya perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa ’’tiap-tiap perikatan dapat dilahirkan dari suatu perjanjian maupun karena undang-undang’’. Pada perjanjian terapeutik di samping terikat pada perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata, para pihak juga terikat undang-undang. Kedua dasar hukum dalam perjanjian terapeutik bersifat saling melengkapi. Untuk lebih memudahkan pemahaman penjelasan dasar hukum dalam hubungan dokter dengan pasien, maka dapat digambarkan sebagai berikut : a. karena kontrak (perjanjian terapeutik); Dokter dan pasien telah dianggap sepakat melakukan perjanjian apabila dokter telah memulai tindakan medis terhadap pasien. b. karena undang-undang; Timbulnya karena kewajiban yang dibebankan pada dokter (yang ditentukan dalam undang-undang, antara lain UU kesehatan, UU praktik kedokteran, termasuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan sebagainya) 82. Di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini, tentang perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang didasarkan sistem terbuka. Sistem terbuka ini tersirat dalam ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata, yang menyatakan
82
Ibid.
bahwa : ”semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu” 83. Dari ketentuan pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan dimungkinkannya dibuat suatu perjanjian lain yang tidak dikenal dalam KUHPerdata, seperti Perjanjian terapeutik yang termasuk perjanjian yang tidak dikenal dalam KUHPerdata (perjanjian innominaat). Akan tetapi, terhadap perjanjian tersebut berlaku ketentuan mengenai perikatan pada umumnya yang termuat dalam Bab I Buku III KUHPerdata, dan mengenai perikatan yang bersumber pada perjanjian yang termuat dalam Bab II Buku III KUHPerdata. Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut, harus tetap dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dan akibat yang ditimbulkannya diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang mengandung asas pokok hukum perjanjian 84. Dari penjelasan yang ada di atas, dapat disimpulkan secara garis besar bahwa dasar hukum perjanjian/kontrak terapeutik adalah : a. KUHPerdata (khususnya Buku III) b. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan c. Undang-Undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran d. Peraturan Menteri Kesehatan No 290/MENKES/PER/III/2008
4. Para pihak yang terkait beserta subjek-subjek dalam perjanjian terapeutik a. Para pihak yang terkait dalam perjanjian terapeutik
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan telah ditentukan para pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan, yaitu pasien dan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri 83 84
Veronica Komalawati, op. cit. hal. 139. Ibid.
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Ada 3 ciri tenaga kesehatan, yaitu : 1) Orang yang mengabdi di bidang kesehatan; 2) Memiliki pengetahuan dan/atau memiliki keterampilan; dan 3) Memiliki wewenang untuk melakukan upaya kesehatan. Dari ketiga ciri itu, ciri yang harus melekat pada tenaga kesehatan adalah mempunyai pengetahuan dan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Pengetahuan yang dimaksud disini adalah pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu kesehatan. Sementara itu, kewenangan upaya kesehatan adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada tenaga kesehatan untuk melakukan upaya kesehatan. Upaya kesehatan yaitu setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah ditentukan para pihak dalam kontrak terapeutik, yaitu pasien dengan dokter atau dokter gigi. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi (Pasal 1 angka 10 UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran). Ciri pasien, yaitu : 1) Orang yang melakukan konsultasi; 2) Untuk memperoleh pelayanan yang diperlukan; 3) Dilakukan secara langsung atau tidak langsung; 4) Yang melakukan pelayanan itu adalah dokter atau dokter gigi. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah RI sesuai dengan peraturan perundangundangan (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran). Dokter dalam defenisi ini digolongkan menjadi dua golongan, yaitu dokter dan dokter spesialis. Begitu juga dokter gigi. Dokter gigi dibagi menjadi dua golongan, yaitu dokter gigi dan dokter gigi spesialis. Syarat dari dokter atau dokter gigi adalah
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Lulusan itu terdiri dari lulusan dalam negeri dan luar negeri. Lulusan luar negeri harus diakui oleh Pemerintah RI85. b. Subjek-subjek dalam perjanjian terapeutik Di dalam suatu kontrak terapeutik secara yuridis terdapat 2 (dua) kelompok subjek-subjek yang dinamakan : 1) Pemberi pelayanan kesehatan (health provider), Umumnya yang diartikan dengan ”pemberi pelayanan kesehatan” adalah semua tenaga kesehatan (tenaga medis, para-medis perawatan dan tenaga kesehatan lainnya) yang terlibat secara langsung dalam pemberian jasa perawatan dan pengobatan (cure and care). Termasuk juga sarana-sarana kesehatan, seperti : rumah sakit, rumah bersalin, klinik-klinik serta badan atau kelompok lain yang memberi jasa tersebut. 2) Penerima pelayanan kesehatan (health receiver). Setiap orang yang datang ke rumah sakit untuk menjalani prosedur tindakan medik tertentu, lazim disebut sebagai ”pasien”, walaupun ia sebenarnya atau mungkin tidak sakit dalam arti umum. Atas dasar penafsiran itu, maka dapat dibedakan antara : a) Pasien dalam arti yang benar-benar sakit, sehingga secara yuridis ada perjanjian terapeutik dengan dokter/rumah sakit, b) Pasien yang sebenarnya ”tidak sakit” dan datang ke rumah sakit/dokter hanya untuk : (1) Menjalankan pemeriksaan kesehatan (untuk keuring, general check-up, asuransi), (2) Menjadi donor darah, (3) Menjadi peserta Keluarga Berencana 86.
5. Syarat sahnya perjanjian terapeutik
Mengenai syarat sahnya perjanjian terapeutik didasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian, diperlukan empat syarat, yaitu sebagai berikut 87:
85
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, op. cit. hal. 52-54. J. Gunandi, op. cit. hal. 34. 87 Veronica Komalawati, op. cit. hal. 155. 86
a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya (Toestemming van Degene Die Zich Verbinden) Secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan ialah tidak adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata). Sepakat ini dilihat dari rumusan aslinya, berbunyi persetujuan (toestemming) dari mereka yang mengikatkan dirinya. Berarti di dalam suatu perjanjian, minimal harus ada dua subjek hukum yang dapat menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri. Sepakat itu terjadi jika pernyataan kehendak kedua subjek hukum itu saling sepakat, dalam arti kehendak dari pihak yang satu mengisi kehendak yang lainnya secara bertimbal balik. Dengan demikian, agar kehendak itu saling bertemu, maka harus dinyatakan. Adapun cara menyatakan persesuaian kehendak itu, dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara tegas maupun diam-diam. Karena itu, yang dimaksud dengan sepakat sebenarnya adalah persesuaian pernyataan kehendak. Dengan demikian, didasarkan asas konsensualisme, maka untuk terjadinya perjanjian disyaratkan adanya persesuaian pernyataan kehendak dari kedua belah pihak. Saat terjadinya perjanjian terapeutik jika dikaitkan dengan Pasal 1320 KUHPerdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dan pasien, yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Antara pasien dan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terapeutik yang objeknya adalah upaya penyembuhan. Apabila kesembuhan adalah tujuan utama, akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan, baik penyakit maupun daya tahan
tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita. b. Kecakapan untuk Membuat Perikatan (Bekwaamheid Om Eene Verbintenis Aan Te Gaan) Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 KUHPerdata. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di dalam Pasal 1330 KUHPerdata, disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap, yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan (ketentuan sudah dicabut dengan keluarnya SEMA No 3 Tahun 1963), dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuat perjanjian tertentu. Didasarkan kedua pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kecakapan bertindak merupakan kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri, sedangkan kewenangan bertindak merupakan kewenangan yang khusus. Dengan demikian, berarti ketidakwenangan hanya mengahalangi seseorang untuk melakukan tindakan hukum tertentu dan orang yang dinyatakan tidak wenang adalah orang yang secara umum tidak cakap untuk bertindak. Dengan perkataan lain, orang yang tidak cakap
untuk bertindak adalah orang yang tidak mempunyai wewenang hukum karena orang yang wenang hukum adalah orang yang pada umumnya cakap untuk bertindak, tetapi pada peristiwa tertentu tidak dapat melaksanakan tindakan hukum dan tidak wenang menutup perjanjian tertentu secara sah. Di dalam transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis, terdiri atas orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak, yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, dan anak yang berada di bawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya. c. Suatu Hal Tertentu (Een Bepaald Onderwerp) Di dalam Pasal 1333 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, ayat (1). Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung, ayat (2). Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah objek dari perjanjian. Kata barang dari objek perjanjian tersebut diatas merupakan terjemahan kata zaak. Akan tetapi, kata zaak itu berarti urusan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan objeknya harus dapat ditentukan adalah urusan tersebut harus dapat ditentukan atau dijelaskan. Dihubungkan dengan objek dalam transaksi terapeutik, maka urusan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang perlu ditangani, yaitu berupa upaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus dapat dijelaskan karena dalam pelaksanaannya
diperlukan kerja sama yang didasarkan sikap saling percaya antara dokter dan pasien. Oleh karena upaya penyembuhan yang akan dilakukan itu harus dapat ditentukan, maka diperlukan adanya standar pelayanan medis. Ketentuan mengenai objek perjanjian ini erat kaitannya dengan masalah pelaksanaan upaya medis sesuai dengan standar pelayanan medis yang meliputi standar pelayanan penyakit dan standar pelayanan penunjang dan masalah informasi yang diberikan harus tidak melebihi dari yang dibutuhkan oleh pasien. Hal tertentu ini yang dapat dihubungkan dengan objek perjanjian/transaksi terapeutik ialah upaya penyembuhan. Oleh karenanya, objeknya adalah upaya penyembuhan, maka hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya tersebut tidak dapat atau tidak boleh dijamin oleh dokter. Lagi pula pelaksanaan upaya penyembuhan itu tidak hanya bergantung pada kesungguhan dan keahlian dokter dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi banyak faktor lain yang ikut berperan, misalnya, daya tahan pasien terhadap obat tertentu, tingkat keparahan penyakit, dan juga peran pasien dalam melaksanakan perintah dokter demi kepentingan pasien itu sendiri. d. Suatu Sebab yang Sah (Geoorloofde Oorzaak) Hal ini oleh undang-undang tidak dijelaskan secara tegas, tetapi dapat ditafsirkan secara contrario menurut ketentuan Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUHPerdata. Dalam Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.
Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dapat terjadi tiga macam perjanjian, yaitu perjanjian dengan suatu sebab yang sah, perjanjian tanpa sebab, dan perjanjian dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang. Di dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sebab yang sah adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum, sedangkan yang dimaksud dengan sebab adalah tujuannya. Dihubungkan dengan transaksi terapeutik, maka tindakan pengguguran dengan alasan yang dilarang oleh undang-undang merupakan perjanjian dengan sebab terlarang, sedangkan pengobatan melalui pembedahan terhadap penderita dengan tujuan penelitian terapeutik merupakan perjanjian dengan sebab yang sah. 6. Pola hubungan dalam perjanjian terapeutik ”Hubungan antara dokter dan pasien telah terjadi sejak dahulu (zaman yunani kuno), dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang membutuhkannya” 88. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter.
88
Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Cet. 1, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal. 97.
”Hubungan antara dokter dan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik seperti hubungan antara bapak dan anak yang bertolak dari prinsip father knows best yang melahirkan Hubungan yang bersifat paternalistik” 89. Dalam hubungan ini, kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat, yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya ditangan dokter 90. Hubungan hukum timbul jika pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit dan dalam hal ini, dokterlah yang dianggapnya
mampu
menolongnya
dan
memberikan
bantuan
pertolongan
(hulpverlenen). Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien 91. Sebaliknya, berdasarkan prinsip father knows best dalam hubungan paternalistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai ”bapak yang baik”, yang secara cermat, hati-hati, dan penuh ketegangan dengan bekal pengetahuan dan keterampilannya yang diperoleh melalui pendidikan yang sulit dan panjang serta pengalaman yang bertahun-tahun untuk kesembuhan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh lafal sumpah yang diucapkannya pada awal ia memasuki jabatan sebagai pengobat yang berlandaskan pada norma etik yang
89
Hermein Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 36. 90 Endang Kusuma Astuti, op. cit. hal. 98. 91 Ibid.
mengikatnya berdasarkan kepercayaan pasien yang datang padanya itu karena dialah yang dapat menyembuhkan penyakitnya 92. Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini mengandung, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya, dapat juga timbul dampak negatif jika tindakan doker yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual 93. Hubungan ini melahirkan aspek hukum horizontal kontraktual yang bersifat ”inspanningsverbintenis” yang merupakan hubungan hukum antara dua subjek hukum (pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjadi sesuatu (kesembuhan atau kematian) karena objek dari hubungan hukum itu berupa upaya maksimal yang dilakukan secara hati-hati dan penuh ketegangan oleh dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien. Sikap hati-hati dan penuh ketegangan dalam mengupayakan kesembuhan pasien itulah yang dalam kepustakaan disebut sebagai met zorg inspanning, oleh karenanya merupakan inspanningsverbintenis dan bukan sebagaimana halnya suatu resultatverbintenis yang menjanjikan suatu hasil yang pasti 94. ”Szasz dan Hollender mengemukakan beberapa jenis hubungan antara pasien dan dokter, yang masing-masing didasarkan atas suatu prototipe hubungan orang tua dan anak, hubungan orang tua dan remaja, hubungan antar orang dewasa” 95. a. Pola Hubungan Aktif-pasif Secara historis, hubungan ini sudah dikenal dan merupakan pola klasik sejak profesi kedokteran mulai mengenal kode etik, yaitu sejak zaman Hippocrates, 25 abad yang lalu. Secara sosial, hubungan ini bukanlah merupakan hubungan yang sempurna 92
Ibid. hal. 98-99. Ibid. hal. 99. 94 Ibid. 95 Ibid. hal. 100. 93
karena hubungan ini berdasar atas kegiatan seorang (dokter) terhadap orang lain (pasien) sedemikian rupa sehingga pasien itu tidak dapat melakukan fungsi dan peran secara aktif. Dalam keadaan tertentu, memang pasien tidak dapat berbuat sesuatu, hanya berlaku sebagai recipien atau penerima belaka, seperti pada waktu pasien diberi anestesi atau narkose, atau ketika pasien dalam keadaan tidak sadar/koma, dan pada waktu pasien diberi pertolongan darurat karena mengalami kecelakaan. Dalam hubungan hukum tersebut, pasien sekedar menjadi penerima pelayanan, tidak dapat memberikan respons dan tidak dapat menjalankan suatu peran. Prototipe hubungan aktif-pasif ini dapat dilihat pada hubungan orang tua dengan anaknya yang masih kecil, yang hanya menerima semua hal yang dilakukan orang tua terhadapnya. Anak tidak dapat memberikan respons atau peran aktif sehingga seluruh hubungan hanya bergantung kepada orang tua. Semua tindakan kedokteran yang tidak membutuhkan sumbangan peran dari pihak pasien merupakan hubungan aktif-pasif. Contoh kasus tersebut sama sekali tidak dibutuhkan sumbangan peran pasien yang dapat mempengaruhi operasi. Sama halnya pada waktu pasien tertimpa kecelakaan, menderita pendarahan berat, dan menjadi tidak sadar sehingga pasien sama sekali tidak mampu berperan dalam hubungan dengan dokter. Pola dasar hubungan aktif-pasif menempatkan dokter pada pihak yang sepenuhnya berkuasa. Menurut Jones dan Marmor, hubungan ini memberikan kepada dokter suatu perasaan superior dan menjadikan dokter menguasai seluruh keadaan. Dalam penelitiannya masing-masing, ditemukan bahwa para dokter tidak lagi mengidentifikasi pasien sebagai manusia, tetapi hanya sebagai benda biomedis, yang tidak memiliki kesadaran dan kehendak. Dalam hubungan ini, dokter dapat sepenuhnya menerapkan keahliannya berdasarkan pengetahuannya tanpa dihalangi oleh peran pasien sebab pasien dalam keadaan koma atau tidak sadar. Hal ini semata-mata dilakukan karena terdorong oleh keinginan untuk menolong orang yang sedang menderita. Bahkan, oleh John (seorang ahli sosiologi) dikatakan bahwa dokter adalah the God complex. Namun, dilihat dari segi tanggung jawabnya, dokter dapat dikatakan bertanggung jawab tunggal terhadap risiko yang mungkin terjadi sebagai akibat dari tindakannya 96. b. Pola Hubungan Membimbing dan Bekerja Sama
Pola dasar ini ditemukan pada sebagian besar hubungan pasien dengan dokter, yakni jika keadaan penyakit pasien tidak terlalu berat. Walaupun pasien sakit, ia tetap 96
Ibid. hal. 100-102.
sadar dan memiliki perasaan dan kemauan sendiri. Karena pasien tersebut menderita penyakit dan disertai kecemasan dan berbagai perasaan tidak enak, ia mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerja sama dengan orang yang mengobatinya. Demikian pula, seorang dokter mempunyai pengetahuan kedokteran yang melebihi pengetahuan pasien. Namun, ia tidak semata-mata menjalankan kekuasaan, namun mengharapkan dapat bekerja sama dengan pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat dokter, melaksanakan diet, melakukan sesuatu, atau berpantang melakukan sesuatu. Hubungan tersebut serupa dengan hubungan orang tua dan remaja. Orang tua memberi nasihat dan membimbing, sedangkan anak yang sudah remaja itu akan bekerja sama dan mengikuti nasihat dan bimbingan orang tuanya. Dalam hubungan membimbing dan bekerja sama, dokter berperan memberikan nasihat dan bimbingan kepada pasien dan peran pasien dalam bentuk kerja sama tersebut adalah melaksanakan apa yang diharapkan oleh dokter. Jadi, disini dokter tidak menganggap pasien sebagai benda biomedis belaka, tetapi bahwa pasien itu mempunyai potensi yang dapat diajak untuk bekerja sama dalam upaya penyembuhan penyakitnya 97. c. Pola Hubungan Saling Berperan Serta Secara filosofis, pola ini berdasarkan pada pendapat bahwa semua manusia memiliki hak dan martabat yang sama. Hubungan ini lebih berdasarkan pada struktur sosial yang demokratis. Secara psikologis, pola hubungan berperan serta saling bergantung berlandaskan proses identifikasi atau pengenalan yang amat kompleks. Kedua pihak ini harus terbuka satu sama lain dan memandang pihak lawan sebagai diri sendiri, agar bersama-sama dapat mempertahankan hubungan yang serasi dan sederajat. Dalam hubungan ini, kedua belah pihak memiliki kekuasaan yang hampir sama dan saling membutuhkan, setidak-tidaknya saling bergantung. Kegiatan bersama itu harus menimbulkan kepuasan bersama. Jika ketiga hal ini terdapat dalam suatu hubungan, berarti hubungan tersebut merupakan hubungan yang berpola saling berperan serta. Pola hubungan ini dapat terjadi antara dokter dan pasien yang ingin memelihara kesehatannya, yakni pada waktu pemeriksaan medis (medical check up), misalnya, atau dengan pasien berpenyakit menahun (kronis), seperti penyakit gula, penyakit jantung koroner, penyakit artritis, dan sebagainya. Dalam hubungan semacam ini, pasien dapat menceritakan pengalamannya sendiri berkaitan dengan penyakitnya dan dapat membantu dokter secara aktif dalam menetapkan situasi sebenarnya, dan 97
Ibid. hal. 102-104.
memberikan nasihat dan pengobatan yang tepat. Di samping itu, hampir seluruh rencana pengobatan terletak di tangan pasien sendiri, misalnya : minum obat atau tidak, menjalankan diet atau tidak, berpantang sesuatu atau tidak, memeriksa kembali pada waktu yang ia tentukan sendiri, mengulangi pembelian resep atau tidak, dan sebagainya. Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya. Secara psikologis, pola saling berperan serta ini sudah berkembang sangat tinggi karena menyangkut pengaturan suatu mekanisme sosial yang melibatkan dua manusia sebagai orang (person) yang bekerja sama dengan menjalankan dua peran yang berbeda. Hubungan ini juga dilakukan oleh pasien yang mempunyai latar belakang pendidikan dan sosial yang cukup tinggi. Hubungan semacam ini tidak dapat diterapkan pasien golongan bawah, pasien anak, atau pasien dengan gangguan mental. Pola hubungan untuk saling berperan serta dan bekerja sama baru memasuki ilmu kedokteran setelah berbagai ilmu sosial dan perilaku ikut mempengaruhi ilmu kedokteran, terutama pada ilmu kedokteran masyarakat. Dari ketiga pola ini, yang terpenting adalah terciptanya rasa puas diantara kedua pihak, baik dari dokter maupun pasiennya. Dokter merasa puas dalam menjalankan perannya menyembuhkan penyakit penderita dan pasien merasa puas atas nasihat dan tindakan dari dokter yang merawatnya 98. 7. Terjadinya perjanjian terapeutik ”Transaksi/perjanjian terapeutik antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat pasien memasuki tempat praktik dokter, sebagaimana yang diduga banyak orang” 99, tetapi justru sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan (oral statement) atau yang tersirat (implied statement) dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan; seperti menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan serta mencatat rekam medisnya, dan
98
Ibid. hal. 104-105. Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan, Rambu-Ranbu bagi Profesi Dokter, BP Undip, Semarang, 2000, hal. 32-33. 99
sebagainya. Dengan kata lain, transaksi terapeutik juga memerlukan kesediaan dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan berkontrak 100. ”Jadi saat terjadinya transaksi terapeutik antara dokter dan pasien adalah pada saat pasien menyatakan keluhannya dan dokter menanggapi, serta dilanjutkan dengan pemeriksaan dan pemberian terapi” 101. 8. Akibat dari perjanjian/transaksi terapeutik 102 Apabila transaksi terapeutik dilihat sebagai rangkaian kegiatan dalam pelayanan medik, maka yang terpenting adalah pelaksanaannya. Di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang. Oleh karena itu, jika transaksi terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka semua kewajiban yang timbul mengikat baik dokter maupun pasiennya. Akan tetapi dalam suatu perjanjian yang paling penting adalah isinya. Adapun, isi suatu perjanjian itu ditentukan, atau dalam hal-hal tertentu dianggap ditentukan oleh para pihak sendiri. Oleh karena itu, kata semua dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata ditafsirkan sebagai adanya berbagai perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang isinya ditentukan dan diatur sendiri, bahkan dapat diperjanjikan mengenai pembatasan tanggung jawab (eksonerasi) terhadap kerugian yang timbul karena
100
Endang Kusuma Astuti, op. cit. hal. 106. Ibid. hal. 115. 102 Veronica Komalawati, op. cit. hal. 166-170. 101
kelalaian. Selain itu, kata yang dibuat secara sah, dapat diartikan sebagai patokan untuk membuatnya agar mempunyai kekuatan hukum, dan kata mengikat para pembuatnya sebagai undang-undang, dapat diartikan bahwa para pihak membuat undang-undang untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, apabila Pasal 1338 dan 1320 KUHPerdata dihubungkan dengan Pasal 1329 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap, maka dapat disimpulkan berlakunya asas konsensualisme. Didasarkan ketentuan tersebut di atas, maka berarti dokter dan pasien bebas untuk membuat perjanjian, mengatur sendiri kewajibannya, dan dapat memasukkan berbagai syarat yang mengikat dirinya sebagai undang-undang. Namun sebagai perjanjian sui generis, maka dokter memiliki tanggung jawab khusus yang tidak dapat dikesampingkan atau dibatasi dengan alasan adanya risiko yang tinggi dalam tindakan medik yang dilakukannya. Oleh karena itu, dokter bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban profesionalnya dengan usaha keras dan sikap berhati-hati. Selanjutnya, di dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata dinyatakan bahwa, perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Dalam ayat ini terkandung asas kekuatan mengikat suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah. Akan tetapi, dari ayat ini dapat diartikan bahwa di satu pihak ketentuan ini memberikan jaminan kekuatan mengikatnya suatu perjanjian, tetapi di lain pihak juga
mengandung pengecualian, yaitu perjanjian yang dibuat, dapat tidak mengikat jika disepakati oleh kedua belah pihak. Demikian juga halnya dengan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa, perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini dapat berarti bahwa, sekalipun telah dibuat perjanjian yang memenuhi syarat sahnya perjanjian dan mempunyai kekuatan mengikat, namun dapat juga tidak mengikat jika perjanjian itu dilaksanakan tidak dengan itikad baik. Maksud yang sebenarnya dari ayat ini adalah agar perjanjian dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian, sepanjang tujuannya tidak bertentangan dengan kepatutan, kesusilaan, dan undang-undang. Dihubungkan dengan pelaksanaan transaksi terapeutik, berarti bahwa sekalipun pihak pasien telah menyetujui dilakukannya suatu tindakan medik tertentu dengan menandatangani Surat Persetujuan Tindakan, namun jika secara medik tindakan itu tidak ada manfaatnya atau tidak menyebabkan meningkatnya kesehatan pasien, bahkan dapat menimbulkan risiko kerugian bagi pasien, maka tidak sepatutnya untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, di dalam transaksi terapeutik kewajiban terhadap diri sendiri, baik dari dokter maupun pasien yang bersumber pada tanggung jawabnya masingmasing, sebenarnya didasarkan pada asas itikad baik dan kecermatan yang patut dalam pergaulan masyarakat. Untuk itulah wawancara pengobatan harus dilakukan berdasarkan itikad baik dan kecermatan yang patut agar hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan dibuatnya transaksi terapeutik.
9. Asas hukum dalam perjanjian terapeutik Oleh karena transaksi terapeutik merupakan hubungan hukum antara dokter dan pasien, maka berlaku beberapa asas hukum yang mendasari atau terkandung di dalam berbagai peraturan yang mendasarinya, sebagai berikut : a. Asas pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan terdiri dari beberapa asas yaitu : 1) Asas perikemanusiaan
Yang
berarti
bahwa
pembangunan
kesehatan
harus
dilandasi
atas
perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membedakan golongan agama dan bangsa. 2) Asas keseimbangan Berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dilasanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta antara meterial dan sipiritual. 3) Asas manfaat Berarti bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kemanusiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara. 4) Asas perlindungan Berarti bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima pelayanan kesehatan. 5) Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban Berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum.
6) Asas keadilan Berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau. 7) Asas gender dan Nondiskriminasi Berarti bahwa pembangunan kesehatan tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki. 8) Asas norma agama Berarti pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat. b. Asas yang ada pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdiri atas asas pancasila yang meliputi nilai-nilai, ketuhanan, kemanusiaan, kemasyarakatan, persatuan serta keadilan. c. Semua asas yang berlaku dalam hubungan kontraktual antara lain : 1) Asas konsensual Berdasarkan asas ini, maka masing-masing pihak harus menyatakan persetujuannya. Dengan kata lain, dokter atau rumah sakit harus menyatakan persetujuannya, baik secara eksplisit (misalnya secara lisan menyatakan sanggup) maupun secara implisit (misalnya menerima pendaftaraan, memberikan nomor urut, atau menjual karcis). Pernyataan kesanggupan itu harus disampaikan sendiri oleh dokter, tetapi dapat juga disampaikan lewat pegawainya. 2) Asas iktikad baik Itikad baik (utmost of good faith) merupakan asas yang paling utama dalam setiap hubungan kontraktual, termasuk hubungan terapeutik. Tanpa disertai itikad baik, maka hubungan terapeutik juga tidak sah menurut hukum.
3) Asas bebas Para pihak yang mengikatkan dalam hubungan kontraktual bebas menentukan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing, sepanjang itu disepakati semua pihak, termasuk menentukan bentuk perikatannya. Hanya saja yang harus disadari dalam hubungan terapeutik adalah bahwa upaya medis itu penuh dengan uncertainty, dan hasilnya tidak dapat diperhitungkan secara matematik. Oleh karena itu, harus dipikirkan masak-masak sebelum memberikan garansi kepada pasien. 4) Asas tidak melanggar hukum Meskipun para pihak bebas menentukan isi kesepakatan, tetapi tidak boleh melanggar hukum. Jika misalnya pasien meminta dokter melakukan aborsi tanpa indikasi medis dan dokter pun setuju, hal ini tidak boleh dianggap sebagai hubungan terapeutik. Kesepakatan seperti itu harus dipandang sebagai permukafatan jahat yang justru dapat menyeret dokter serta pasien ke meja hijau. Karena bukan merupakan hubungan kontraktual, dokter pun tidak dapat digugat mengganti kerugian yang terjadi atas dasar wanprestasi seandainya timbul kerugian kepada pasien akibat kelalaian dokter ketika melakukan aborsi. 5) Asas kepatutan dan kebiasaan Dalam hukum perdata, dinyatakan bahwa pihak yang telah mengadakan perikatan selain tunduk pada apa yang telah disepakati, juga pada apa yang sudah menjadi kebiasaan dan kepatutan. Kebiasaan dan kepatutan yang berlaku di dunia kedokteran akan sedikit membedakan hubungan terapeutik dengan hubungan kontraktual lainnya, misalnya, dalam hal pemutusan hubungan secara sepihak oleh pasien, mengingat hubungan tersebut merupakan hubungan kepercayaan sehingga sudah sepatutnya jika pasien dapat memutuskan kapan saja jika kepercayaan kepada dokter hilang 103. 10. Tujuan perjanjian/transaksi terapeutik Oleh karena transaksi terapeutik merupakan bagian pokok dari upaya kesehatan, yaitu berupa pemberian pelayanan medik yang didasarkan atas keahlian, keterampilan, serta ketelitian, maka tujuannya tidak dapat dilepaskan dari tujuan ilmu kedokteran itu sendiri, sebagaimana tersebut di bawah ini : a. Untuk menyembuhkan dan mencegah penyakit. Dalam hubungan ini, pemberi pelayanan medik berkewajiban untuk memberikan bantuan medik yang dibatasi 103
Sofwan Dahlan, op. cit. hal. 25-36.
oleh kriterium memiliki kemampuan untuk menyembuhkan, dan dapat mencegah atau menghentikan proses penyakit yang bersangkutan secara yuridis, ditegaskan pada Pasal 23 angka (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menyatakan tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Untuk menjamin terselenggaranya kegiatan tersebut, maka setiap tenaga kesehatan termasuk dokter berhak memperoleh perlindungan hukum, sepanjang kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan standar profesi dan tidak melanggar hak pasiennya. b. Untuk meringankan penderitaan. Oleh karena tindakan medik yang dilakukan dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan pasien harus secara nyata ditujukan untuk memperbaiki keadaan pasien, atau agar keadaan kesehatan pasien lebih baik dari sebelumnya, maka guna meringankan penderitaan pasien, penggunaan metode diagnostik atau terapeutik yang lebih menyakitkan seharusnya dihindarkan. Seorang pasien dapat mengharapkan bahwa seorang dokter akan membantu berupaya melakukan tindakan medik yang dapat meringankan perasaan sakitnya. c. Untuk mendampingi pasien. Di dalam pengertian ini, termasuk juga mendampingi menuju kekematiannya. Kegiatan medampingi pasien ini seharusnya sama besarnya dengan kegiatan untuk menyembuhkan pasien di dalam dunia kedokteran tidak ada alasan yang menyatakan bahwa kegiatan yang didasarkan keahlian secara teknis merupakan kewajiban yang lebih penting daripada kegiatan untuk mengurangi penderitaan dan kegiatan untuk mendampingi pasien. Oleh karena itu, jika pendidikan ilmu kedokteran kurang memperhatikan masalah kewajiban profesional menurut norma etis dan hukum, maka para dokter yang dihasilkannya cenderung melakukan kegiatan teknis pelayanan medik 104.
C. Informed Consent 1. Pengertian Informed Consent Kata consent berasal dari bahasa latin consensio atau concentio kemudian dalam bahasa Inggris Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu 104
Veronica Komalawati, op. cit. hal. 134-138.
persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta risiko yang berkaitan dengannya. Informed consent atau real consent di Indonesia dikenal dengan " Persetujuan Tindakan Medik " berarti pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapat informasi dari dokter dan sudah dimengerti oleh pasien. Secara yuridis, kewajiban memberikan informasi kepada pasien dibebankan kepada dokter untuk memperoleh persetujuan sebelum melakukan tindakan 105. Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PERMENKES No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent” yang kemudian digantikan dengan PERMENKES No 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan informed consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan 106. Pada hakikatnya, persetujuan atas dasar informasi atau dikenal dengan istilah informed consent merupakan alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri berfungsi di dalam praktik dokter. Persetujuan (informed consent) ini sesungguhnya berasal dari 2 hal dasar dari hak pasien, yaitu hak menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi medis. Penentuan nasib sendiri adalah nilai, sasaran dalam informed consent, dan intisari permasalahan informed consent adalah alat. Secara konkret persyaratan informed consent adalah untuk setiap tindakan baik yang bersifat diagnostik maupun terapeutik, pada asasnya senantiasa diperlukan persetujuan pasien yang bersangkutan. Oleh karena pasien hanya dapat memberikan persetujuan riil apabila pasien dapat menyimak situasi yang dihadapinya, maka satu-satunya yang diperlukan adalah informasi 107. Persetujuan dalam pelayanan medis pertama timbul di Inggris dalam abad-XVIII, yaitu pada pembedahan atau operasi yang dilakukan tanpa persetujuan atau hak lain. 105
http://irwandykapalawi.wordpress.com/2007/11/01/mengenal-informed-consent/ diakses pada tanggal 23 Februari 2011. 106 http://irwandykapalawi.wordpress.com/2007/11/01/mengenal-informed-consent/ diakses pada tanggal 23 Februari 2011. 107 Veronica Komalawati, op. cit. hal. 103-104.
Dalam kasus termaksud, pengadilan memutuskan ahli bedah bertanggung jawab atas battery (penyentuhan/pencederaan tubuh oleh orang lain tanpa izin). Dengan demikian, jika tidak terdapat persetujuan atau hak lain untuk suatu prosedur medis, pengadilan modern memutuskan dokter bertanggung jawab untuk battery. Dengan demikian, berarti persetujuan itu sendiri melindungi pemberi pelayanan medis dari tanggung jawab battery, sedangkan persetujuan tindakan medis diperlukan untuk melindungi pemberi pelayanan medis dari tanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan 108. Informed consent diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Pada Pasal 1 angka (1) PERMENKES tersebut menyebutkan bahwa Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Menurut Salim HS ada tiga unsur Persetujuan Tindakan Medik/Kedokteran, yaitu: a. Adanya informasi dari tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi; b. Adanya persetujuan; c. Adanya tindak medik; Informasi adalah suatu keterangan yang diberikan oleh tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi kepada pasien tentang keuntungan dan risiko yang akan terjadi di dalam melakukan tindakan medik. Persetujuan adalah suatu persesuaian pernyataan kehendak antara pasien dengan tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi. Sementara itu, tindakan medik adalah suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik (penentuan jenis penyakit) atau terapeutik (pengobatan penyakit) 109. Informed consent terdiri dari tiga bagian yaitu : a. Pengungkapan dan penjelasan kepada pasien dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien tentang : penegakkan diagnosis, sifat dan prosedur atau tindakan medik yang diusulkan, kemungkinan timbulnya risiko, manfaat, dan alternatif (bila ada). 108 109
Ibid. hal. 106-107. Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, op. cit. hal. 59-60.
b. Memastikan bahwa pasien mengerti dengan apa yang telah dijelaskan kepadanya, pasien telah menerima risiko tersebut dan pasien mengizinkan dilakukan prosedur tindakan. c. Harus didokumentasikan 110. Pasien harus mempunyai kesempatan untuk berfikir dan mempertimbangkan informasi yang diberikan oleh dokter. Informasi atau penjelasan diberikan dalam bahasa yang dimengerti oleh pasien dan hindari menggunakan bahasa medik. Keputusan pasien mengenai tindakan medik atau perawatan medik harus dilakukan secara kolaboratif antara pasien dengan dokter. Pada prinsipnya Informed consent adalah suatu proses bukan hanya sekedar meminta pasien untuk menandatangani suatu formulir tetapi merupakan suatu kelanjutan atau pengukuhan yang sebenarnya sudah disepakati antara dokter dengan pasien. Hakikat informed consent merupakan sarana legitimasi bagi dokter untuk melakukan intervensi medis yang mengandung risiko serta akibat yang tak menyenangkan, oleh karenanya hanya dapat membebaskan dokter dari tanggung jawab hukum atas terjadinya risiko serta akibat yang tak menyenangkan saja. Hakikatnya, informed consent mengandung dua unsur essensial, yaitu : a. Informasi yang diberikan oleh dokter (information for consent) dan b. Persetujuan yang diberikan oleh pasien (statement of informed consent) 111 Ada dua standar yang dikenal untuk menetapkan cukup tidaknya informasi yang diberikan kepada pasien oleh dokter agar mencapai persetujuan pasien, yaitu : a. Standar profesional atau standar yang layak dari dokter. b. Standar materiil atau standar yang layak dari pasien. Standar profesional digunakan oleh beberapa negara maju, sedangkan standar materiil digunakan oleh beberapa negara berkembang. Didasarkan pada standar materiil, luas dari tugas seorang dokter untuk memberikan informasi ditentukan oleh informasi yang dibutuhkan oleh pasien 112.
110
http://www.sanglahhospitalbali.com/informasi.php?ID=3 diakses pada tanggal 23 Februari 2011. Endang Kusuma Astuti, op. cit. hal. 136. 112 Ibid. hal. 139-140. 111
Menurut Beauchamp dan Walters, informed consent dilandasi oleh prinsip etik dan moral serta otonomi pasien. Prinsip ini mengandung dua hal yang penting, yaitu : a. Setiap orang mempunyai hak untuk memutuskan secara bebas hal yang dipilihnya berdasarkan pemahaman yang memadai, dan b. Keputusan itu harus dibuat dalam keadaan yang memungkinkannya membuat pilihan tanpa adanya campur tangan atau paksaan dari pihak lain 113. Oleh karena individu itu otonom, diperlukan informasi untuk mengadakan pertimbangan agar dapat bertindak sesuai dengan pertimbangannya tersebut. Prinsip inilah oleh para ahli etik disebut doktrin informed consent. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dasar dari informed consent ialah : a. Hubungan dokter-pasien berasaskan kepercayaan. b. Adanya hak otonomi atau menentukan sendiri atas dirinya sendiri. c. Adanya hubungan perjanjian antara dokter dan pasien. 114 Jadi, pada hakikatnya informed consent adalah untuk melindungi pasien dari segala kemungkinan tindakan medis yang tidak disetujui atau tidak diizinkan oleh pasien tersebut, sekaligus melindungi dokter (secara hukum) terhadap kemungkinan akibat yang tak terduga dan bersifat negatif. Namun doktrin Informed Consent tidak berlaku pada 5 keadaan yaitu : a. Keadaan darurat medis. b. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat. c. Pelepasan hak memberikan consent (waiver). d. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang melepaskan haknya memberikan consent.
113 114
Ibid. Ibid. hal. 140-141.
e. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent. 115 Doktrin Informed consent adalah suatu prinsip dalam bidang etika yang direfleksikan ke dalam peraturan hukum. Dari segi hukum medik, memperoleh informasi adalah hak pasien dan kewajiban dokter untuk memberikannya. Pasien berhak tanpa harus diminta untuk memperoleh informasi mengenai panyakitnya serta tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya 116. Walaupun sudah ada Informed consent tertulis, dokter tidak bebas dari tuntutan bila melakukan kelalaian. Persetujuan pasien tidak dapat dilakukan setelah prosedur atau tindakan medik dilakukan karena menyalahi prinsip utama dari Informed consent yang bersifat pro-aktif. Tidak semua tindakan medik selalu harus dimintakan Informed consent, untuk tindakan rutin atau berisiko minimal seperti pengukuran tensi, pemeriksaan darah tidak begitu diperlukan. Rekaman foto dan video yang merupakan bagian dari tindakan pengobatan atau foto radiologi menggunakan kontras harus meminta izin terlebih dahulu. Demikian pula jika foto dan rekaman video akan dipergunakan untuk pendidikan, publikasi atau penelitian harus meminta izin khusus kepada pasiennya 117. 2. Bentuk Informed Consent Sehubungan dengan cara pernyataan kehendak menurut hukum, maka adanya informed consent dari pasien dapat dilakukan antara lain : a. Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis; b. Dengan bahasa yang sempurna secara lisan; c. Dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan; d. Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan;
115
http://yusufalamromadhon.blogspot.com/2008/01/informed-consent.html diakses pada tanggal 23 Februari 2011. 116 http://www.sanglahhospitalbali.com/informasi.php?ID=3 diakses pada tanggal 23 Februari 2011. 117 http://www.sanglahhospitalbali.com/informasi.php?ID=3 diakses pada tanggal 23 Februari 2011.
e. Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan 118. Oleh karena itu, bentuk informed consent dapat dikategorikan, sebagai berikut : a. Informed Consent yang dinyatakan secara tegas (express) 1) Informed Consent yang dinyatakan secara lisan (oral) Informed consent dilakukan secara lisan apabila tindakan medis itu tidak berisiko, misalnya, pada pemberian terapi obat dan pemeriksaan penunjang medis. 2) Informed Consent yang dinyatakan secara tertulis (written). Untuk tindakan medis yang mengandung risiko, misalnya pembedahan, informed consent dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh pasien. Informed consent secara tertulis ialah bentuk yang paling tidak diragukan. b. Informed Consent yang dinyatakan secara diam-diam/tersirat (implied or tacit consent) Informed consent juga dianggap ada, hal ini dapat tersirat pada gerakan pasien yang diyakini oleh dokter. Dengan anggukan kepala, maka dokter dapat menangkap isyarat tersebut sebagai tanda setuju. Atau pasien membiarkan dokter untuk memeriksa bagian tubuhnya, dengan pasien menerima atau membiarkan/tidak menolak, maka dokter menganggap hal ini sebagai suatu persetujuan untuk dilakukan suatu pemeriksaan guna mendapatkan terapi dari penyakitnya. Apabila pasien dalam keadaan gawat darurat tidak sadarkan diri dan keluarganya tidak ada ditempat, sedangkan dokter memerlukan tindakan segera, maka dokter dapat melakukan tindakan medis tertentu yang terbaik menurut dokter (persetujuannya disebut presumed consent, dalam arti bila pasien dalam keadaan sadar, maka pasien dianggap akan menyetujui tindakan yang dilakukan dokter) 119. 3. Isi Informasi dalam Informed Consent Informasi yang harus diberikan adalah informasi yang selengkap-lengkapnya, yaitu informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan dan risiko yang ditimbulkannya. Informasi yang harus diberikan adalah tentang keuntungan dan kerugian dari tindakan medis yang akan dilaksanakan, baik diagnostik maupun terapeutik. Isi informasi medis yang dikemukakan Leenen, yaitu : 118 119
Veronica Komalawati, op. cit. hal. 110. Endang Kusuma Astuti, op. cit. hal. 141-142.
a. b. c. d. e. f. g.
Diagnosa; Terapi, dengan kemungkinan alternatif terapi; Tentang cara kerja dan pengalaman dokter; Risiko; Kemungkinan perasaan sakit ataupun perasaan lainnya (misalnya, gatal-gatal); Keuntungan terapi; dan Prognosis 120. Pasien sebagai individu yang mempunyai otonomi harus memberikan persetujuan
terlebih dahulu terhadap pemeriksaan medis, pengobatan atau tindakan medis yang akan dilakukan terhadap tubuhnya setelah mendapat penjelasan dari dokter. Oleh karena itu persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan sebagai berikut : a. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (yang masih berupa upaya, percobaan) yang diusulkan oleh dokter serta tujuan yang ingin dicapai (hasil dari upaya, percobaan). b. Deskripsi mengenai efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tak diinginkan yang mungkin timbul. c. Deskripsi mengenai keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi bagi/untuk pasien. d. Penjelasan mengenai perkiraan lamanya prosedur berlangsung. e. Penjelasan mengenai hak pasien untuk menarik kembali persetujuan tanpa adanya prasangka (jelek) mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya. f. Prognosis mengenai kondisi medis pasien jika ia menolak tindakan medis tertentu (percobaan) tersebut 121. Informasi itu harus diberikan sebelum dilakukan suatu tindakan operatif atau yang bersifat invansif, baik yang berupa diagnostik maupun terapeutik. Yang harus memberikan informasi itu adalah dokter ahli bedah itu sendiri yang akan melakukan operasi tersebut. Informasi harus diberikan di dalam bahasa yang sederhana yang 120 121
Ibid. hal. 131-132. Hermein Hadiati Koeswadji, op. cit. hal. 74.
dapat dimengerti oleh pasiennya, sehingga ia dapat mempunyai gambaran jelas untuk memutuskannya. Menurut J.Guwandi, informasi yang harus diberikan adalah berkenaan dengan : a. Tindakan operasi apa yang hendak dilakukan, b. Manfaatnya dilakukan operasi tersebut, c. Risiko-risiko apa yang melekat pada operasi itu, d. Alternatif lain apa yang ada (kalau ada dan juga kalau mungkin dilakukan), e. Apa akibatnya jika operasi tidak dilakukan 122. Dalam Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran telah ditentukan substansi penjelasan yang harus diberikan oleh dokter/dokter gigi terhadap pasien. Penjelasan itu sekurang-kurangnya mencakup : a. diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dari risikonya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan 123. Dalam Pasal 7 ayat (3) PERMENKESNo. 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran telah ditentukan cakupan-cakupan informasiinformasi yang diberikan dokter kepada pasien. Informasi yang disampaikan oleh
122 123
J. Gunandi, op. cit. hal. 68. Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, op. cit. hal. 60.
tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi kepada pasien mencakup hal-hal diantaranya sebagai berikut : a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran; b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan; c. Altematif tindakan lain, dan risikonya; d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. f. Perkiraan pembiayaan. Pada prinsipnya tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi harus memberikan informasi kepada pasien, namun ketentuan itu ada pengecualiannya. Hiller mengemukakan empat macam pengecualiannya, yaitu : a. keadaan darurat medis; b. pasien inkompeten (tidak wenang); c. pasien pelepas hak; dan d. hak terapeutik istimewa bagi dokter 124. ”Keempat pengecualian itu terkandung pengakuan bahwa nilai individualitas yang hendak ditegakkan dalam informed consent bukanlah satu-satunya masalah dalam proses pengambilan keputusan medis. Pertimbangan kesehatan bagi kepentingan individu sendiri juga dipertimbangkan” 125.
124 125
Ibid. hal. 61. Ibid.
4. Timbulnya Informed Consent Timbulnya atau berubahnya consent menjadi informed consent dalam prakteknya harus melalui beberapa fase. Maka dikatakan bahwa informed consent itu adalah suatu ”Communication process”, bukan suatu formulir (Rozovsky). Formulir itu hanya merupakan suatu pengukuhan atau pendokumentasian belaka apa yang sudah disepakati lebih dahulu bersama sewaktu pasien diperiksa dan terjadi dialog antara dokter dan pasien. Lembaga ini memberi kemungkinan kepada seorang dokter untuk memperoleh informasi dari pasiennya. Sebaliknya seorang dokter yang sudah mengetahui penyakit yang diderita pasien dan mengusulkan suatu tindakan medik tertentu, haruslah juga memberikan informasi kepada pasiennya, tegasnya saling memberi informasi. Proses terjadinya suatu penandatanganan formulir informed consent dapat dibagi dalam 3 (tiga) fase yaitu : Fase Pertama adalah saat dimana seorang pasien datang ke tempat praktek dokter/rumah sakit untuk berobat. Dengan datangnya sang pasien secara sukarela ke tempat itu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien itu sudah memberikan persetujuannya (consent) untuk dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan yang biasa dilakukan. Di dalam melakukan tindakan-tindakan pemeriksaan yang biasa dan umum dilakukan secara yuridis dianggap sudah ada implied consent, sehingga tidak bisa dituduh telah melakukan pelanggaran terhadap privacy seorang atau dituduh melakukan ”assault and battery”. Fase Kedua adalah pada saat pasien duduk berhadapan dengan dokter dan sang dokter mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang riwayat penyakitnya (anamnesis) serta membuat catatan-catatan pada Kartu Pasien (Rekam Medik). Pada tahap ini sang pasien mulai ”mengungkapkan” rahasianya kepada dokter dan pada saat itu dapat dikatakan sudah mulai ada hubungan dokter-pasien. Fase Ketiga adalah saat dimana dokter sudah mulai melakukan pemeriksaan yang mungkin masih akan ditambah dengan pemeriksaan tambahan: laboratorium untuk pemeriksaan konstelasi darah dan air seni, X-ray foto, ECG, USG, CT-scanning atau MRI, atau juga lain-lain pemeriksaan jika diperlukan sebagai penunjang penegakan diagnosis dan pemberian terapinya. Dokter akan menulis resep dan juga menjelaskan larangan-larangannya atau mungkin juga anjuran untuk mempercepat penyembuhannya, misalnya dianjurkan untuk berolah-raga sedikit. Jika menurut pendapat dokter untuk penyembuhan penyakit itu harus dilakukan suatu tindakan medik yang bukan termasuk spesialisasinya, maka dokter itu wajib merujuk kepada dokter spesialisnya. Misalnya jika pasien harus dibedah, maka dokter itu akan merujuk atau menyerahkan pasien itu ke dokter bedah. Atas dasar surat
rujukan itu, maka sang dokter bedah akan memeriksa lagi lebih khusus berdasarkan keahliannya. Sesudahnya barulah ia menegakkan diagnosisnya dan menganjurkan terapinya. Jika pasien setuju dengan usul terapi yang dianjurkan oleh dokter bedah, maka barulah timbul masalah informed consent. Persetujuan (lisan) untuk melakukan pembedahan sebenarnya sudah ada pada saat pasien memberikan persetujuannya terhadap tindakan medik yang diusulkan dokter. Kelak bila sudah berada di rumah sakit atau sebelum melakukan pembedahan, maka pasien diminta untuk menandatangani formulir yang menyatakan persetujuan untuk pembedahan tersebut. Haruslah dibedakan pada satu pihak antara informed consent yang sudah diperoleh secara lisan setelah terjadi suatu communication process antara dokter dan pasien, dan pada lain pihak penandatanganan formulir sebagai pengukuhan apa yang telah disepakati. Hal ini hanya sebagai suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam medik, bahwa sudah diperoleh persetujuan pasien. Jika kelak pasien atau keluarganya menuntut dan menyangkal telah memberikan informed consentnya, maka formulir yang ditandatangani pasien dapat dipakai sebagai bukti di pengadilan 126. 5. Syarat Informed Consent Menurut Beauchamp dan Walters bahwa informed consent dilandasi oleh prinsip etik dan moral serta otonomi pasien. Prinsip ini mengandung dua hal yang penting, yaitu : (1) setiap orang mempunyai hak untuk memutuskan secara bebas hal yang dipilihnya berdasarkan pemahaman yang memadai, dan (2) keputusan itu harus dibuat dalam keadaan yang memungkinkannya membuat pilihan tanpa adanya campur tangan atau paksaan dari pihak lain. Oleh karena individu itu otonom, maka diperlukan informasi untuk mengadakan pertimbangan agar dapat bertindak sesuai dengan pertimbangannya tersebut. Prinsip inilah yang oleh para ahli etik disebut doktrin informed consent. Prinsip ini untuk pertama kali diperkenalkan pada tahun 1947 dalam Nuremberg Code, rule 1, yang intinya merupakan standar pokok yang harus dipenuhi dalam melakukan eksperimen atas manusia. Menurut Appelbaum bahwa, untuk menjadi doktrin hukum maka informed consent harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Adanya kewajiban dari dokter untuk menjelaskan informasi kepada pasien.
126
J. Gunandi, op. cit. hal. 63-65.
b. Adanya kewajiban dari dokter untuk mendapatkan izin atau persetujuan dari pasien, sebelum dilaksanakan perawatan 127. Maka untuk itu Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsur sebagai berikut : a. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter b. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan c. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan. 128 6. Teori Informed Consent Ada tiga teori informed consent berikut pandangan
yang mendasarinya
dikemukakan oleh Veatch. Adapun ketiga teori yang akan dikemukakan ini sehubungan dengan eksperimen pada manusia di bidang kedokteran, yaitu 129: a. Teori manfaat untuk pasien Pada hakikatnya, peristiwa eksperimen dalam bidang kedokteran sejak dulu merupakan bagian yang terpisahkan dari pelayanan dan perawatan pasien sebab eksperimen yang dilakukan senantiasa berhubungan dengan pelayanan dan perawatan pasien. Padahal, syarat informed consent belum dikenal dalam tradisi ilmu kedokteran. Namun, dengan perkembangan ilmu dan teknologi pada zaman modern, berbagai eksperimen direncanakan secara sistematis dan dilakukan dengan maksud serta tujuan
127
Veronica Komalawati, op. cit. hal. 108. http://irwandykapalawi.wordpress.com/2007/11/01/mengenal-informed-consent/ diakses pada tanggal 23 Februari 2011. 129 Veronica Komalawati, op. cit. hal. 111. 128
untuk memperoleh pengetahuan medis. Oleh karena itu, pada tahun 1949 oleh World Medical Association telah di sahkan kode etik medis. Di dalam kode etik medis tersebut, antara lain, ditetapkan bahwa dengan dalil apapun seorang dokter tidak dibenarkan melakukan sesuatu yang dapat melemahkan daya tahan tubuh dan jiwa manusia, kecuali untuk maksud terapeutik atau pertimbangan pencegahan sematamata, setiap tindakan dokter termasuk penyelenggaraan eksperimen yang dilakukan tidak demi kepentingan pasien, harus dilarang. Pandangan mengenai hal yang baik dan bermanfaat bagi seorang pasien tertentu tidak sama antara pasien yang satu dan pasien lainnya karena bergantung pada situasi dan kondisi pribadi serta nilai yang dianut oleh pasien yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, pada hakikatnya pemberian informasi kepada pasien harus dilakukan sedemikian rupa hingga pasien dapat berperan serta dalam proses pembentukan dan pengambilan keputusan, bahkan secara aktif pasien menguasainya, agar semaksimal mungkin dapat diperoleh manfaatnya. Terhadap teori ini, timbul keraguan karena dalam teori ini asas manfaat bagi pasien, yang berarti tertutup kemungkinan dilakukannya eksperimen nonterapeutik. b. Teori manfaat bagi pergaulan hidup Teori ini menitikberatkan pada pandangan utilitis, yaitu bahwa kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang terbesar. Penyelenggaraan eksperimen diperkenankan apabila didasarkan pertimbangan tertentu lebih banyak manfaatnya daripada menghasilkan yang tidak baik dan apabila bersamaan dengan itu, eksperimen ini
secara keseluruhan lebih banyak menghasilkan manfaat dibandingkan dengan kemungkinan yang dihasilkan dengan penerapan metode lain. Pandangan para penganut teori ini terhadap pengertian manfaat tidak dibatasi oleh pertimbangan ekonomis. Nilai estetika, kebudayaan, keagamaan, dan psikologi harus ikut dipertimbangkan. Perampasan kebebasan sejumlah kecil naracoba (subjek eksperimen) tidak begitu saja dapat dihafalkan berdasarkan pandangan manfaat yang sebesar-besarnya bagi sejumlah besar orang lain, dengan asumsi perampasan kebebasan seseorang dikategorikan sebagai kejahatan besar. Apabila mutlak diperlukan untuk membenarkan
eksperimen terapeutik,
tampaknya tidak dapat disangkal bahwa terdapat unsur tertentu pada asas manfaat bagi pergaulan hidup dalam membenarkan eksperimen itu. Hal ini berarti, sepanjang eksperimen medis dilakukan bersama dengan pengobatan dan perawatan, atau mempunyai tujuan terapeutik, maka manfaat bagi pergaulan hidup bukan hal yang harus diutamakan. c. Teori menentukan nasib sendiri Menurut teori ini, penentuan memaksimalkan keuntungan bagi pergaulan hidup, telah menjurus kearah pelecehan terhadap hak asasi yang tidak dapat diterima sehingga memberikan dua kemungkinan bagi penyusun Nuremberg Code Rule. Pertama, yaitu diterapkannya kembali formulasi Hippocrates bahwa eksperimen hanya dihalalkan apabila yang dipertahankan adalah manfaat atau keuntungan pribadi pasien. Kedua, eksperimen dihalalkan apabila dilaksanakan bagi kepentingan
pergaulan hidup dan dapat memberikan perlindungan atau menjaga jangan sampai timbul ekses dengan jalan memberikan bentuk pada asas yang membatasi kemungkinan itu. Para penyusun Kode Nuremberg telah memilih alternatif yang kedua ini, yaitu pada pasal 2 disebutkan dan dijelaskan bahwa asas manfaat bagi pergaulan hidup tidak ditinggalkan. Akan tetapi, informed consent dimasukkan dengan jelas pada pasal 1, bukan untuk mempermudah dicapainya keuntungan sosial, melainkan sebagai suatu syarat untuk membatasi hal itu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang pada pemeriksaan medis menurut adanya informed consent berdasarkan alasan lain dari nilai, yaitu diperolehnya persetujuan untuk mempermudah dicapainya kepentingan umum, harus mengakui bahwa para individu mempunyai tuntutan terhadap pergaulan hidup. Tuntutan tersebut sedemikian kuat sehingga disebut sebagai hak. Individu harus mempunyai hak yang dapat mengimbangi pernyataan bahwa kepentingan yang lebih besar akan diperoleh apabila hak individu itu dilanggar. Walaupun informed consent kadang kala dapat meninggalkan manfaat untuk pasien atau bagi pergaulan hidup, tujuan sebenarnya lebih dari itu. Oleh karena itu, adanya hak individu untuk menentukan nasib sendiri menyebabkan informed consent penting bagi semua tindakan yang dilakukan atas tubuh, bahkan atas pelanggaran suasana kehidupan pribadi. Dengan demikian, hak menentukan nasib sendiri memberikan dasar yang otonom bagi syarat informed consent. Hak ini merupakan dasar yang jauh lebih kokoh daripada pembenaran secara hukum, yang sering kali dijabarkan dari adanya kekhawatiran tentang perlindungan bagi individu terhadap
risiko dalam eksperimen yang dilakukan secara besar-besaran. Oleh karena hak menentukan nasib sendiri yang dipakai sebagai dasar, maka pemberian persetujuan dapat dipandang sebagai negosiasi mengenai suatu kontrak. 7. Tujuan Informed Consent Tujuan persetujuan medik atau informed consent adalah memberikan perlindungan hukum bagi pasien dan tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi. Perlindungan yang diberikan kepada pasien adalah agar pasien mendapat pelayanan kesehatan secara optimal dari tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi yang menanganinya. Sementara itu, bagi tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi adalah menjaga kemungkinan tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi digugat oleh pasien atau keluarganya apabila ia lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Apabila pasien telah memberikan informed consent kepada tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi, maka kedudukan tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi menjadi kuat. Karena di dalam informed consent telah disebutkan bahwa apabila tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi gagal melaksanakan kewajiban, pasien tidak akan menuntut tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi yang bersangkutan. Namun, secara yuridis pasien mempunyai hak untuk menggugat tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi, apabila tenaga kesehatan/dokter dokter gigi tidak melaksanakan standar profesi dengan baik. Pasien juga diberikan hak untuk menuntut secara pidana dan secara administratif kepada tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi yang tidak melaksanakan standar profesi 130. Oleh karena itu dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent secara luas, bertujuan : a. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;
130
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPERDATA Buku Satu, op. cit. hal. 64.
b. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya 131. Selain tujuannya, perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. g.
Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia; promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri; untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien; menghindari penipuan dan misleading oleh dokter; mendorong diambil keputusan yang lebih rasional; mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan; sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan. 132 D. Hubungan Hukum Antara Dokter Dengan Pasien Berkaitan Dengan Keberadaan Informed Consent Hubungan pasien dengan dokter merupakan hubungan yang erat dan kompleks.
Sering sekali dalam hubungan seorang pasien dengan dokter terdapat faktor kepercayaan yang menjadi salah satu dasarnya, artinya pasien berhubungan dengan dokter yakin bahwa dokter tersebut dapat dan mampu membantu menyembuhkan
131
http://irwandykapalawi.wordpress.com/2007/11/01/mengenal-informed-consent/ diakses pada tanggal 23 Februari 2011. 132 http://irwandykapalawi.wordpress.com/2007/11/01/mengenal-informed-consent/ diakses pada tanggal 23 Februari 2011.
penyakitnya. Kepercayaan dari pasien inilah yang membuat kedudukan dokter lebih tinggi daripada kedudukan pasien. Hubungan hukum timbul jika pasien menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit dan dalam hal ini, dokterlah yang dianggapnya
mampu
menolongnya
dan
memberikan
bantuan
pertolongan
(hulpverlenen). Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien 133. Sebaliknya, berdasarkan prinsip father knows best dalam hubungan paternalistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai ”bapak yang baik”, yang secara cermat, hati-hati, dan penuh ketegangan dengan bekal pengetahuan dan keterampilannya yang diperoleh melalui pendidikan yang sulit dan panjang serta pengalaman yang bertahun-tahun untuk kesembuhan pasien. Dalam mengupayakan kesembuhan pasien ini, dokter dibekali oleh lafal sumpah yang diucapkannya pada awal ia memasuki jabatan sebagai pengobat yang berlandaskan pada norma etik yang mengikatnya berdasarkan kepercayaan pasien yang datang padanya itu karena dialah yang dapat menyembuhkan penyakitnya 134. Pola hubungan vertikal yang melahirkan sifat paternalistik dokter terhadap pasien ini mengandung, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif pola vertikal yang melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya, dapat juga timbul dampak negatif jika tindakan doker yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan penyembuhan pasien itu merupakan tindakan-tindakan dokter yang membatasi otonomi pasien, yang dalam sejarah perkembangan budaya dan hak-hak dasar manusia telah ada sejak lahirnya. Pola hubungan yang vertikal paternalistik ini bergeser pada pola horizontal kontraktual 135. Hubungan ini melahirkan aspek hukum horizontal kontraktual yang bersifat ”inspanningsverbintenis” yang merupakan hubungan hukum antara dua subjek 133
Endang Kusuma Astuti, loc. cit. Ibid. hal. 98-99. 135 Ibid. hal. 99. 134
hukum (pasien dan dokter) yang berkedudukan sederajat melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Hubungan hukum ini tidak menjadi sesuatu (kesembuhan atau kematian) karena objek dari hubungan hukum itu berupa upaya maksimal yang dilakukan secara hati-hati dan penuh ketegangan oleh dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien. Sikap hati-hati dan penuh ketegangan dalam mengupayakan kesembuhan pasien itulah yang dalam kepustakaan disebut sebagai met zorg inspanning, oleh karenanya merupakan inspanningsverbintenis dan bukan sebagaimana halnya suatu resultatverbintenis yang menjanjikan suatu hasil yang pasti 136. Adanya perkembangan masyarakat menyebabkan ketimpangan kedudukan pasien dan dokter secara perlahan-lahan mengalami perubahan. Dimana dahulu pasien tidak tahu untuk apa persetujuan yang diberikan oleh mereka, mereka hanya tahu bahwa dokter akan bertindak demi kesembuhan pasien. Tetapi sekarang pasien diharapkan memberikan consent setelah tahu apa yang disetujuinya. Perubahan atau perkembangan ke arah perbaikan posisi pasien itu terjadi karena : 1. Kesadaran hukum pasien semakin meningkat; pasien sadar akan hak dan kewajibannya; dalam arti bahwa pemberian persetujuan tanpa mengetahui tentang apa yang dilaksanakan atas dirinya adalah bertentangan dengan arti persetujuan itu sendiri; 2. Kegagalan-kegagalan dalam pelaksanaan tindakan medik yang berulang kali terjadi, sehingga membuat pasien lebih kritis dalam melihat relasi antara dokterpasien, dengan menuntut informasi tentang apa yang akan dilaksanakan oleh dokter; 3. Kesadaran akan hak mutlak atas tubuhnya dan hak untuk menentukan atas diri sendiri, dalam arti menerima atau menolak tindakan medik yang akan dilaksanakan atas dirinya; 4. Kesadaran akan posisinya, dengan menolak adanya kesenjangan dalam relasi pakar-awam 137.
136 137
Ibid. Wila Chandrawlla Supriadi, Hukum Kedokteran, Cet. 1, Mandar Maju, Bandung, 2001, hal.61.
Perikatan yang lahir dalam hubungan pasien dengan dokter yang dikarenakan adanya persetujuan tindakan medik/kedokteran (informed consent) akan melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak (pasien-dokter). Adapun yang menjadi hak pasien antara lain sebagai berikut : 1. Hak memberikan persetujuan atau menolak pemeriksaan atau perawatan tertentu, 2. Hak atas informasi, 3. Hak atas kerahasiaan berdasar hubungan kepercayaan, 4. Hak atas bantuan tenaga kesehatan, 5. Hak atas perawatan yang wajar 138. ”Sedangkan kewajiban pasien diantaranya adalah dapat bekerja sama dengan baik dengan semua tenaga medis termasuk memberi imbalan jasa kepada pihak medis, juga mentaati perintah dan larangan dokter demi kesehatan dirinya” 139. Sebaliknya hak dan kewajiban dokter diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Hak dokter : a. Hak untuk bekerja menurut standar profesi medis b. Hak untuk menolak melaksanakan tindakan medis yang tidak dapat ia pertanggung jawabkan secara profesional c. Hak untuk menolak suatu tindakan medis yang menurut suara hatinya (consience) tidak baik d. Hak mengakhiri hubungan dengan pasien jika ia menilai bahwa kerjasamanya dengan pasien tidak ada gunanya e. Hak atas privacy dokter f. Hak atas itikad baik dari pasien dalam pelaksanaan kontrak terapeutik (penyembuhan) 138
Soerjono Soekanto dan Herkutanto, Pengantar Hukum Kesehatan, Cet. 1, Remaja Karya, Bandung, 1987, hal. 124. 139 Ibid.
g. Hak atas balas jasa h. Hak atas perlindungan hukum atas profesinya i. Hak untuk membela diri. 2. Kewajiban dokter : a. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi pemeliharaan kesehatan b. Kewajiban yang berhubungan dengan standar medis c. Kewajiban yang berhubungan dengan tujuan ilmu kesehatan yaitu : 1) Menyembuhkan dan mencegah penyakit 2) Meringankan penderitaan 3) Mengantar pasien (comforting) termasuk mengantar menghadapi akhir hidup. d. Kewajiban yang berhubungan dengan prinsip keseimbangan e. Kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien. 140 Di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran telah diatur tentang hak dan kewajiban pasien maupun dokter. Untuk hak dan kewajiban dokter diatur pada Pasal 50 dan 51, sedangkan hak dan kewajiban pasien diatur pada Pasal 52 dan 53. Hak dokter atau dokter gigi menurut Pasal 50 UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran antara lain : 1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; 2. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional; 3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; 4. Menerima imbalan jasa.
140
Veronica Komalawati, Hukum Dan Etika Dalam Praktek Dokter, Cet. 1, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1989, hal. 98.
Untuk kewajiban dokter atau dokter gigi menurut Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran antara lain : 1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; 2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; 3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; 4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan 5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Untuk hak pasien menurut Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran antara lain : 1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); 2. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; 3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; 4. Menolak tindakan medis; dan 5. Mendapatkan isi rekam medis.
Sedangkan untuk kewajiban pasien menurut Pasal 53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran antara lain : 1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; 2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; 3. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan 4. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. E. Pengaturan Hukum Terhadap Informed Consent Informed consent merupakan bentuk persetujuan tindakan medik/kedokteran yang diberikan pasien kepada dokter untuk melakukan suatu penanganan medis terhadap dirinya yang menyangkut kesehatannya. Adanya persetujuan tersebut punya peranan yang besar bagi terpenuhinya perlindungan hukum baik perlindungan hukum terhadap pasien maupun bagi dokter. Adanya perkembangan informed consent tentu akan berdampak terhadap pola pikir untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pasien, khususnya tentang Persetujuan Tindakan Medik. Kalau dahulu pasien tidak tahu perlunya atau fungsi dari persetujuan tersebut maka dengan berkembangnya masyarakat maka dirasa perlu melahirkan peraturan tentang Persetujuan Tindakan Medik. Di Indonesia, terdapat ketentuan tentang informed consent diantaranya, Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1981 yang menyatakan bahwa : 1. Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu
diberitahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat-akibatnya, dan kemungkinan yang dapat terjadi. 2. Dokter yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus yakin benar bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut. 141 Kemudian sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan atau pedoman bagi para dokter untuk melaksanakan konsep informed consent secara lebih lengkap dalam praktek sehari-hari yakni berupa fatwa PB.IDI NO. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Dengan adanya peraturan Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan medis yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi terhadap setiap tindakan medik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada persetujuan dari pasien seperti yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes No.585 Tahun 1989, yang berbunyi,” semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”. ”Kemudian Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989 ditindaklanjuti dengan SK Dirjen Yanmed 21 April 1999 yang berisi delapan bab dan enam belas pasal, yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan informed consent” 142.
141 142
Endang Kusuma Astuti, op. cit. hal. 147. Ibid.
Adanya peraturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes No. 585 Tahun 1989 tersebut diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang tedapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi : 1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadapa pasien harus mendapatkan persetujuan. 2. Pesetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pasien setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap. 3. Penjelasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) Sekurang-kurangnya mencakup : a. diagnosis dan tata cara tindakan medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan risikonya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan; 4. Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. 5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
6. Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Dari ketentuan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran tersebut terutama pada Pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa peraturan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran (informed consent) diatur oleh Peraturan Menteri yaitu Permenkes No. 585 Tahun 1989. Setelah itu pada tahun 2008 terbitlah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, yang menggantikan/mencabut/dinyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/MENKES/PER/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Sehingga pedoman aturan pelaksanaan informed consent pun beralih pada Permenkes yang baru tersebut. F. Beberapa Masalah dan Kendala Dalam Pelaksanaan Informed Consent 143 Ada beberapa masalah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan informed consent sehingga masalah tersebut akan menyebabkan terganggunya penyampaian informasi dan bahkan akan mempengaruhi persetujuan pasien terhadap penanganan medis yang dilakukan dokter. Salah satu yang menjadi masalah dalam informed consent adalah masalah bahasa. Bahasa sering kali menjadi masalah dalam menyampaikan informasi sebab
143
Wila Chandrawila Supriadi, op. cit. hal. 66-70.
kebanyakan pasien masih awam dengan bahasa kedokteran dan tidak semua istilahistilah kedokteran dapat diterjemahkan dengan mudah ke dalam bahasa orang awam. Disamping itu, tidak semua dokter dapat menyampaikan informasi dengan bahasa sederhana yang dengan mudah dapat dipahami oleh pasien. Kesenjangan pengetahuan antara penerima jasa pelayanan kesehatan dengan pemberi jasa pelayanan kesehatan yang dapat dikatakan relatif cukup besar, dapat menyebabkan informasi yang disampaikan kurang efektif. Penyampaian informasi harus disesuaikan dengan kondisi dari pasien. Memang sangat ideal jika setiap dokter dapat meluangkan sedikit waktunya untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi dari pasien. Karena rutinitas pekerjaan seorang dokter yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan sehingga tidak lagi peka dengan situasi dan kondisi pasien. Selain itu adanya perbedaan presepsi antara dokter dengan pasien, menurut pasien penting tetapi menurut dokter tidak penting. Dalam hal pasien menolak pemberian informasi disampaikan kepada keluarga pasien, adalah hak pasien untuk menolak memberikan informasi kepada keluarga. Dalam prakteknya kadang seorang dokter menyampaikan informasi terlebih dahulu kepada keluarga pasien daripada kepada pasien. Sedangkan menurut peraturan untuk menyampaikan informasi kepada keluarga pasien terlebih dahulu mendapat izin dari pasien yang bersangkutan. Seorang dokter wajib untuk memberikan informasi secara jujur dan benar serta secara luas menyampaikan risiko yang dapat terjadi dari sebuah tindakan medis/kedokteran, Namun hal tersebut dapat saja membuat pasien menjadi takut dan
menolak memberikan persetujuan untuk dilaksanakan tindakan medik setelah dokter menjelaskan tentang risiko yang akan dihadapi. Selain itu batas kejujuran dan kebenaran yang sulit ditentukan menjadi masalah tersendiri dalam penyampaian informasi di dalam informed consent. Adanya hak untuk menolak pengobatan bagi pasien juga menjadi dilema bagi dokter, disatu pihak dokter berkewajiban secara moral untuk menolong pasien, dan di pihak lain dokter juga harus menghormati hak pasien termasuk hak untuk menolak memberikan persetujuan. Walaupun dokter sudah menjelaskan informasi tentang adanya kemungkinan sembuh dan tentang risikonya kalau tidak dioperasi namun jika pasien tetap menolak, dokter tetap tidak dapat memaksakan kepada pasien untuk memberikan persetujuan. Adapun Keluhan pasien tentang proses informed consent : a. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis. b. Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau tidak ada waktu untuk tanya – jawab. c. Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu mencerna informasi. d. Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk. 144 Sedangkan keluhan dokter tentang informed consent adalah : a. Pasien tidak mau diberitahu.
144
http://yusufalamromadhon.blogspot.com/2008/01/informed-consent.html diakses pada tanggal 23 Februari 2011.
b. Pasien tak mampu memahami. c. Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi. d. Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit. 145 Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan masalah dan kendala dalam pelaksanaan informed consent yaitu : 1. Bahasa, yaitu adanya istilah kedokteran yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa yang mudah dimengerti. 2. Penyampaian informasi yang benar kadang membuat pasien takut, tertekan atau tegang. 3. Hak menolak pasien yang menjadi dilema bagi dokter yang berkewajiban
menolong.
145
http://yusufalamromadhon.blogspot.com/2008/01/informed-consent.html diakses pada tanggal 23 Februari 2011.