BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian Kata cerai dalam kamus diartikan sebagai pisah, putus hubungan sebagai suami-istri atau lepasnya ikatan perkawinan.Inilah pemahaman umum terkait dengan istilah cerai.Namun menurut hukum tentunya cerai harus berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku.Perceraian tidak terjadi begitu saja tanpa melalui prosedur hukum yaitu melalui lembaga peradilan, baik melalui Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam maupun Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam. 9 Perceraian dalam perundangan Di dalam KUH Perdata (BW) putusnya perkawinan dipakai istilah ‘pembubaran perkawinan’ (ontbinding des huwelijks) yang diatur dalam Bab X dengan tiga bagian, yaitu tentang ‘Pembubaran Perkawinan’ pada umumnya (pasal 199), tentang Pembubaran perkawinan setelah pisah meja dan pisah ranjang (pasal 200-206b) tentang perceraian perkawinan (Pasal 207-232a), dan yang tidak dikenal dalam hukum adat atau hukum agama (islam) walaupun kenyataannya juga terjadi ialah Bab XI tentang pisah meja dan ranjang (pasal 233-249)
Perceraian menurut agama Islam Perceraian adalah hal yang tidak diperbolehkan baik dalam pandangan Agama maupun dalam lingkup Hukum Positif.Agama menilai bahwa perceraian adalah hal terburuk yang terjadi dalam hubungan rumah tangga.Namun demikian, Agama tetap memberikan keleluasaan kepada setiap pemeluk Agama untuk menentukan jalan islah atau terbaik bagi 9
Adib Bahari, S.H., S.H.I. Tata cara gugatan cerai pembagian harta gono-gini dan hak asuh anak, Pustaka Yustisia, 2016, hlm. 2
Universitas Sumatera Utara
siapa saja yang memiliki permasalahan dalam rumah tangga, sampai pada akhirnya terjadi perceraian.Hukum Positif menilai bahwa perceraian adalah perkara yang sah apabila memenuhi unsur-unsur cerai, diantaranya karna terjadinya perselisihan yang menimbulkan percekcokan yang sulit untuk dihentikan, atau karena tidak berdayanya seorang suami untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Perceraian menurut UU perkawinan Perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami maupun istri sudah samasama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan serta penjelasannya secara kelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. Definisi perceraian di Pengadilan Agama itu, dilihat dari putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan di UUP dijelaskan, yaitu: 1. karena kematian 2. karena perceraian 3. karena putusnya pengadilan
Perceraian menurut beberapa para ahli Menurut Spanier dan Thompson (1984) perceraian adalah suatu reaksi terhadap hubungan pernikahan yang tidak berjalan dengan baik dan bukan merupakan suatu ketidaksetujuan terhadap lembaga perkawinan, sedangkan Ahrons dan Rodgers (dalam Carter & Mc Goldrick, 1981) perceraian adalah gangguan pada daur kehidupan keluarga, dimana dapat menimbulkan perasaan yang mendalam dan kehilangan anggota keluarga. Perceraian merupakan putusnya hubungan perkawinan secara hukum dan permanen. Tindakan hukum ini akan mempengaruhi hak asuh atas anak, hak kunjungan dari orang tua, pembagian harta benda, dan tunjangan anak. Perceraian yang biasanya didahului oleh konflik
Universitas Sumatera Utara
antar pasangan suami istri merupakan suatu proses kompleks yang mengawali berbagai perubahan emosi, psikologis dan lingkungan (King, 1992). Menurut Handoko (dalam Anas, 2004) perceraian bagi anak adalah “tanda kematian” keutuhan keluarganya, rasanya separuh “diri” anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orang tua mereka bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan yang mendalam.Beberapa definisi arti kata dari perceraian tersebut akhirnya penulis dapat menyimpulkan bahwasannya perceraian itu merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri. Situasi dan kondisi menjelang perceraian yang diawali dengan proses negosiasi antara pasangan suami istri yang berakibat pasangan tersebut sudah tidak bisa lagi menghasilkan kesepakatan yang dapat memuaskan masing-masing pihak. Mereka seolah-olah tidak dapat lagi mencari jalan keluar yang baik bagi mereka berdua.Perasaan tersebut kemudian menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kedua belah pihak yang membuat hubungan antara suami istri menjadi semakin jauh. Kondisi ini semakin menghilangan pujian serta penghargaan yang diberikan kepada suami istri padahal pujian dan penghargaan tersebut merupakan dukungan emosional yang sangat diperlukan dalam suatu perkawinan.Hal ini mengakibatkan hubungan suami istri semakin jauh dan memburuk.Mereka semakin sulit untuk berbicara dan berdiskusi bersama serta merundingkan segala masalah-masalah yang perlu dicari jalan keluarnya. Masingmasing pihak kemudian merasa bahwa pasangannya sebagai orang lain. Akibatnya akan terjadi perceraian Prof. Nazarudin Umar, mengungkapkan bahwa secara nyata, angka perceraian di Indonesia menduduki peringkat tertinggi disbanding dengan negara Islam lainnya. Indonesia adalah negara peringkat tertinggi yang memiliki angka perceraian paling banyak disetiap
Universitas Sumatera Utara
tahunnya.Menurutnya, gejolak yang mengancam kehidupan strukur keluarga ini semakin bertambah jumlahnya pada tiga tahun terakhir ini. Setiap tahunnya di Indonesia ada lebih dari 2 juta perkawinan, tetapi justru yang terjadi dan sangat memilukan perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang menikah, 10 pasangannya bercerai dan umumnya perceraian terjadi kepada mereka yang baru saja berumah tangga. Dari berbagai kasus perceraian hampir 70% adalah gugatan cerai dari istri kepada suaminya, sedangkan sisanya dalah cerai talak dari permohonan suami terhadap sang istri. Banyaknya angka dan persentasi perceraian tersebut adalah sebagai dampak dari era globalisasi arus informasi melalui media massa, salah satunya adalah tayangan infotainment yang
menampilkan
figure
artis
yang
dengan
bangganya
mengungkapkan
kasus
perceraiannya.Namun penyebab terbesar pemicu perceraian di Indonesia berdasarkan data tahun 2007 yaitu karena salah satu pihak meninggalkan kewajibannya.Meninggalkan kewajiban ini disebabkan oleh dikarenakan salah satu pihak tidak bertanggung jawab.Perceraian juga banyak terjadi dikarenakan masalah faktor ekonomi di rumah tangga oleh para pihak, dan perkawinan paksaan. Pemicu kedua dari perceraian adalah perselisihan yang terjadi secara berulangkali dan terus-menerus sehingga membuat para pihak merasa sudah tidak nyaman lagi satu sama lain. Perselesihan diantara kedua belah pihak bisa disebabkan oleh macam-macam sebab.Sebab yang
paling
utama
adalah
ketidakharmonisan
pribadi
sehingga
mengganggu
ketidakharmonisan rumah tangga. Sebab lain perselisihan adalah adanya gangguan dari pihak ketiga yang menyebabkan salah satu pihak merasa marah. Dari situlah perlahan timbul ketidakcocokan serta ketidaknyamanan lagi oleh kedua belah pihak. Selain itu faktor perbedaan pandangan politik juga bisa menjadi pemicu dari perceraian. Pemicu ketiga disebabkan oleh faktor moral sehingga pada akhirnya pasangan suami istri berujung di persidangan Pengadilan Agama.Data menyebutkan bahwa 10.090 kasus
Universitas Sumatera Utara
perceraian disebabkan oleh persoalan moral.Mengapa terjadi hal tersebut adalah dikarenan tiga bentuk, yaitu suami melakukan poligami namun tidak berdasarkan aturan dan syarat yang berlaku.Hal ini tercatat hingga sampai 937 kasus, krisis akhlak, serta cemburu dari salah satu pihak yang terlalu berlebihan terhadap pihak lainnya. Pemicu keempat dalam rusaknya rumah tangga adalah adanya kekerasan dalam rumah tangga.Terdapat banyak kasus putusnya perkawinan dikarenakan faktor ini.Sedangkan penyebab lainnya adalah salah satu dari pasangan mengalami cacat biologis maupun cacat fisik sehingga tidak mampu melaksanakan kewajibannya.Perkawinan dibawah umur juga menjadi pemicu perceraian dikarenakan faktor masih terlalu labil serta emosi yang tidak beraturan, serta salah satu pihak telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dikarenakan sebuah kasus hukum. Sebagaimana dilarangnya pernikahan siri di negara ini, maka dalam hukum nasional Indonesia juga tidak diakui perceraian secara siri yaitu dengan cara sembunyi-sembunyi. Perceraian siri ini maksudnya adalah perceraian yang dianggap telah jatuh seketika setelah diucapkannya kata cerai oleh suami terhadap istrinya tanpa melalui proses pengadilan. Padahal pasal 39 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusahan dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Dalam berbagai praktik dan pemahaman keagamaan masyarakat muslim tertentu memang masih diakuinya
“perceraian secara agama” tanpa melibatkan proses melalui
Pengadilan Agama. Namun sekali lagi ditegaskan bahwa perceraian siri model ini tidak diakui oleh negara. Alasan kemaslahatan (kebaikan) dan perlindungan kepastian hukum menjadi alasan paling logis dan rasional untuk ditetapkan bahwa perceraian di luar pengadilamn adalah tidak sah secara hukum (illegal)
Universitas Sumatera Utara
Secara hukum nasional, perceraian istri yang tidak legal ini tentu saja tidak mempunyai akibat hukum secara perdata.Tidak mungkin ada kepastian hukum terkait dengan statu cerai suami-istri, eksekusi atas harta bersama (gono-gini).Dan penetapan hak asuk atas anak. Secara nyatapun dapat kita amati dalam lingkungan sekitar kita bahwa cerai istri ini jelas akan merugikan para pihak terutama pihak wanita (istri). Nafkah wajib dari suami yang seharusnya diterimaoleh istri dan anaknya, dalam pemahaman cerai siri menjadi tidak berlaku lagi.Maka bila tidak mau kejadian seperti ini terjadi, hendaklah kasus perceraian diselesaikan lewat pengadilan agar jelas kepastian hukumnya. Maka jelaslah yang tertuang dalam Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 1, pada prinsipnya mempersukar terjadinya serta melarang terjadinya perceraian. Didalam pasal 39 (2) Undang-Undang Perkawinan menegaskan bahwa, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup sebagai suami istri. Konsekuensi logisnya perceraian bisa terjadi apabila dengan usaha dan upaya untuk mendamaikan keduanya tidak tercapai maka jalan perceraianlah yang paling baik dan dpat ditempuh dalam suatu penyelesaian perselisihan yang dapat menyelamatkan suatu perkawinan maka alternatif tersebut dimungkinkan.
B. Macam-macam Perceraian Perkawinan dapat putus dikarenakan kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Undang-undang di Indonesia (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) mengenal adanya 2 (dua) jenis gugatan perceraian, yakni: 1. Cerai Talak, yaitu cerai khusus bagi yang Bergama islam, dimana suami (pemohon) mengajukan permohonan
kepada Pengadilan Agama untuk memperoleh izin
menjatuhkan talaknya kepada istri. Berdasarkan agama Islam, cerai dapat dilakukan oleh suami dengan mengikrarkan talak kepada istri, namun agar sah secara hukum
Universitas Sumatera Utara
suami mengajukan permohonan menjatuhkan ikrar talak terhadap pemohon di hadapan pengadilan agama. Cerai karena talakdapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHI yangberbunyi: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”
Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi: “Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di Pengadilan Agama.Sedangkan, mengenai cerai karena talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama, menurut Nasrulloh Nasution, S.H.dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilanhanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia karena tidak dilakukan di Pengadilan Agama. Menurut Nasrulloh, akibat dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum. Selain itu, Pasal 115 KHI mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Dengan demikian, dari penjelasan mengenai cerai karena gugatan dan cerai karena talak sebagaimana yang dimaksud dalam KHI yang telah
Universitas Sumatera Utara
kami uraikan di atas dapat diketahui bahwa keduanya hanya bisa dilakukan dan sah secara hukum apabila melalui proses sidang di Pengadilan Agama. Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 229 mengatur hal talaq, yaitu talaq hanya sampai dua kali yang diperkenankan untuk rujuk kembali atau kawin kembali antara kedua bekas suami isteri itu (hal. 100). Jadi, apabila suami menjatuhkan talak satu atau talak dua, ia dan istri yang ditalaknya itu masih bisa rujuk atau kawin kembali dengan cara-cara tertentu. Arti rujuk kembali ialah kembali terjadi hubungan suami isteri antara seorang suami yang telah menjatuhkan talaq kepada isterinya dengan insteri yang telah ditalaq-nya itu dengan cara yang sederhana. Caranya ialah dengan mengucapkan saja “saya kembali kepadamu” oleh si suami di hadapan dua orang saksi laki-laki yang adil. Sedangkan, arti kawin kembali ialah kedua bekas suami isteri memenuhi ketentuan sama seperti perkawinan biasa, yaitu ada akad nikah, saksi, dan lain-lainnya untuk menjadikan mereka menjadi suami isteri kembali. Sungguhpun demikian, dalam masyarakat kita di Indonesia orang selalu menyebut kawin kembali itu dengan sebutan rujuk juga (hal. 101). Mengenai talaq satu atau talaq dua ini disebut juga talaq raj’i atautalak ruj’i, yaitu talaq yang masih boleh dirujuk Mengenai talak raj’i ini dapat kita jumpai pula pengaturannya dalam dalam Pasal 118 KHI yang berbunyi: “Talak raj'i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.”
Kemudian, mengenai talak tiga kita berpedoman pada Al Qur’an Surat Al-Baqarah. Berdasarkan Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 230, kalau seorang suami telah menjatuhkan talaq yang ketiga kepada isterinya, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya untuk mengawininya sebelum perempuan itu kawin dengan laki-laki lain. Maksudnya ialah kalau sudah talaq tiga, perlu muhallil untuk membolehkan kawin kembali antara pasangan
Universitas Sumatera Utara
suami isteri pertama.Arti muhallil ialah orang yang menghalalkan.Maksudnya ialah si isteri harus kawin dahulu dengan seorang laki-laki lain dan telah melakukan persetubuhan dengan suaminya itu sebagai suatu hal yang merupakan inti perkawinan.Laki-laki lain itulah yang bernama muhallil. Kalau pasangan suami isteri ini bercerai pula, maka barulah pasangan suami isteri semula dapat kawin kembali. 10 Talak tiga ini disebut juga dengan talak ba’in kubraa yang pengaturannya dapat kita temui dalam Pasal 120 KHI yang berbunyi: “Talak ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan habis masa iddahnya.” 2. Cerai Gugat, yaitu gugatan perceraian yang diajukan oleh istri (penggugat) Terhadap suami (tergugat) kepada Pengadilan Agama dan berlaku pula pengajuan gugatan terhadap suami oleh istri yang beragama Islam di Pengadilan Negeri.Cerai gugat inilah yang mendominasi jenis perceraian.Berdasarkan data yang ada, cerai gugat di Indonesia mencapai 70% dari gugatan cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama. Cerai gugat juga bisa disebut dengan khulu’.Abdul Ghofur Anshori menjelaskan bahwa khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-‘a secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian.Dihubungkannya kata khulu’ dengan perkawinan, karena dalam Al-qur’an Surah Al-Baqarah (2) ayat 187, disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan pakaian bagi suaminya.Penggunaan kata khulu’ untuk putusnya perkawinan, karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaiannya itu dari suaminya.Dalam arti istilah hukum dalam beberapa kitab fikih khulu’ diartikan dengan putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan talak atau
10
Ibid, hlm. 101-102
Universitas Sumatera Utara
khulu’.Khulu’ itu merupakan satyu bentuk dari putusnya perkawinan.Namun beda dengan bentuk lain dari putusnya perkawinan itu, dalam khulu’ terdapat uang tebusan, atau ganti rugi atau ‘iwadh. 11 Khulu’ atau talak tebus menurut Soemiyati ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami istri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta atau uang dari pihak istri yang menginginkan cerai dengan khulu’ itu. 12 Untuk maksud yang sama dengan kata khulu’ itu, ulama menggunakan beberapa kata, yaitu fidyah, shulh, mubaraah. Walaupun dalam makna yang sama, namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi atau iwadh yang digunakan. Apabila ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang telah diberikan pada saat pernikahan, disebut khulu’.Bila ganti rugi adalah separuh mahar maka disebut shulh.Bila ganti rugi lebih banyak dari mahar yang diterima maka disebut fidyah dan bila istri bebas dari ganti rugi disebut mubaraah. 13 Pemutusan hubungan perkawinan atas dasar persetujuan kedua belah pihak, menurut Asaf A.A Fyzee, merupakan keistimewaan dari hukum islam, karena sebelum Islam si istri dalam praktiknya tidak mempunyai apapun juga untuk minta diceraikan. 14Pendapat Fyzee ini selaras dengan tujuan dari kebolehan khulu’ yang ditegaskan oleh Abdul Ghofur Anshori, yaitu untuk menghindarkan si istri dari kesulitan dan kemudharatan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si suami.Hal ini terjadi karena suami sudah mendapat iwadh dari istrinya atas permintaan cerai dari istrinya.Adapun hikmah dari hukum khulu’ adalah keadilan Allah sehubungan dengan suami istri. Bila suami berhak melepaskan diri dari hubungan istrinya menggunakan talak, istri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai dari suaminya dengan menggunakan cara khulu’. Hal ini didasarkan kepada 11
Abdul Ghofur Anshori, op. cit., hlm. 135. Soemiyati, op. cit., hlm. 110 13 Abdul Ghofur Anshori, op. cit. hlm. 136. 14 Asaf A.A Fyzee, Outline of Muhammadan Law, Terjemahan oleh Arifin Bey, M.A.M. Zain Zumlak, Tinta Mas, Jakarta, 1959, hlm. 209. 12
Universitas Sumatera Utara
pandangan fikih bahwa perceraian itu merupakan hak mutlak seorang suami yang tidak memiliki oleh istrinya, kecuali dengan cara lain. 15 Memperhatikan penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa khulu’ adalah solusi yang diberikan oleh hukum Islam kepada istri yang berkehendak untuk bercerai dari suami, dengan tujuan menghindarkan istri dari kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis dan menimbulkan kemudharatan
jika dipertahankan, sehingga istri khawatir tidak dapat
melaksanakan hak Allah untuk menaati suami, yang dapat ditempuh dengan cara istri meminta suami untuk meceraikan istri, yang disertai dengan tebusan harta atau uang dari istri yang menginginkan cerai dari suaminya tersebut. C. Alasan Bercerai Pengertian alasan-alasan hukum perceraian dapat ditelusuri dari pengertian “alasan” dan kata “hukum” yang merupakan dua kata kuncinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “alasan” berarti: 1.dasar; hakikat; asas; 2.dasar bukti (keterangan) yang dipakai untuk menguatkan pendapat (sengketa) tuduhan, dan sebagainya. 3.yang menjadi pendorong (untuk berbuat);4.yang membenarkan perlakuan tindak pidana dan menghilangkan kesalahan terdakwa.16 Selanjutkan kata :hukum” berarti peraturan perundangan yang merupakan sumber hukum formal perceraian, yaitu peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan (vide Pasal 1 UU No. 12, Tahun 2-11). Selain itu kata “hukum” dalam konteks ini diartikan dalam spectrum yang lebih luas, yaitu hukum Islam dan hukum adat. Dengan memperhatikan arti kata “alasan” dan “hukum” sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat dibangun pengertian “alasan-alasan hukum perceraian”, yaitu alas atau dasar 15
Abdul Ghofur Anshor, op. cit. hlm. 138-139 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1997, hlm. 23.
16
Universitas Sumatera Utara
bukti (keterangan) yang digunakan untuk menguatkan tuduhan dan atau gugatan atau permohonan dalam suatu sengketa atau perkara perceraian yang telah ditetapkan dalam hukum nasional, yaitu peraturan perundang-undangan, khususnya UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, hukum Islam yang kemudian telah dipositivisasi dalam Kompilasi Hukum Islam, dan Hukum adat. Di mata hukum, perceraian tentu tidak dapat terjadi begitu saja.Artinya, harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan suatu perceraian.Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabene berwenang memutuskan, apakah suatu perceraian layak atau tidak untuk dilaksanakan.Termasuk segala keputusan yang menyangkut konsekuensi terjadinya perceraian, juga sangat ditentukan oleh alasan melakukan perceraian.Misalnya soal perebutan hak asuh anak, pemberian nafkah mantan istri dan anak, serta pembagian harta gono-gini. 17 Dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974, tepatnya Pasal 19 dijelaskan bahwa perceraian boleh dilakukan bila terdapat sejumlah alasan penting yang mendasarinya. Jika bukan demikian, maka pengadilan tidak akan mengambil langkah bercerai sebagai solusi atas gugatan perceraian yang diajukan seseorang penggugat. 18 Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lainnya dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
17 18
Budi Susilo, Prosedur Gugatan Perceraian, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2008 hlm. 20 Ibid., hlm. 20-21
Universitas Sumatera Utara
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri; 6. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselesihan dan pertengkaran dan tidak bisa hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Selanjutnya, alasan-alasan hukum perceraian menurut hukum nasional tersebut dapat dijelaskan secara komparatif dengan alasan-alasan hukum perceraian menurut hukum Islam dan hukum adat sebagai berikut: 1. Zina, Pemabuk, Pemadat, Penjudi, dan Tabiat Buruk Lainnya yang Sukar Disembuhkan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf a PP No. 9 Tahun 1975 menengaskan bahwa salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi atau lain sebagainya yang sukar disembuhkan dapat menjadi alasan hukum perceraian. Selanjutnya keseluruhan alasan-alasan hukum perceraian tersebut dapat dijelaskan di bawah ini. Zina dapat dijasikan alasan hukum bagi suami istri yang berkehendak melakukan perceraian. “Zina” menurut Kamur Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda (n) yang berarti: 1.perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan). 2.perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat
Universitas Sumatera Utara
perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikan perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya. 19 Perzinaan atau perbuatan zina seringkali bermula dari perselingkuhan yang menghianati kesucian dan kesetiaan dalam perkawinan.Kesucian dan kesetiaan sangat diperlukan untuk terjalinnya suatu ikatan lahir batin yang kuat antara suami dan istri sebagai pondasi bagi terbentuknya keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.Oleh karena itu, jika kesucian dan kesetiaan sudah tidak ada lagi dalam suatu perkawinan, pihak suami atau istri yang kesucian dan kesetiaannya dikhianati mempunyai hak untuk menuntut perceraian. Ditinjau dari segi kesehatan, para dokter telah sepakat perzinaan itu menyebabkan penyakit-penyakit kotor, dimana banyak orang melakukan pekerjaan keji itu, maka disanalah muncul penyakit-penyakit kotor.20 H.W Miller menjelaskan bahwa perzinaan, sifilis atau rajasinga, dan gonorhoa atau kencing nanah, ialah dua jenis penyakit kotor yang berbahaya dan banyaj terdapat di zaman sekarang. Sesungguhnya hama penyakit ini dapat juga masuk dalam badan dengan tidak melalui kemaluan, tetapi boleh dikatakan bahwa penularan penyakit-penyakit ini hampir selalu disebabkan oleh persetubuhan. Kedua macam penyakit ini telah banyak membinasakan jiwa manusia.Penyakit kotor itu turun-temurun sampai pada anak cucu. Rajasinga dan kencing nanah tidak saja melemahkan rohani dan jasmani, tetapi juga membahayakan keselamatan rumah tangga. 21Jadi, zina tidak hanya perbuatan bejat yang menodai kesucian dan mengkhianatai kesetiaan dalam perkawinan.Tetapi juga sangat membahayakan atau mengancam jiwa suami atau istri, karena zina yang dilakukan secara berulang-ulang dengan beragam atau berganti-ganti pasangan dapat menimbulkan penyakit yang mematikan.
19
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op. cit. hlm. 1136. Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Kompilasi Hukum Islam, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2004. Hlm. 33. 21 Junus Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, CV. Alhidayah, Jakarta, 1964, hlm. 1. Dikutip dari ibid. 20
Universitas Sumatera Utara
Pemabuk juga dapat dijadikan alasan hukum bagi suami atau istri yang berkehendak melakukan perceraian. “Pemabuk” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda (n) yang berarti “Orang yang suka atau biasa mabuk” Kemudian “mabuk” adalah kata kerja (v), yang berarti: 1.berasa pening atau hilang kesadaran; 2.berbuat diluar kesadaran; lupa diri; 3.sangat gemar (suka) ; 4.tergila-gila, sangat birahi, pb. Tidak berbuat apa-apa, hanya melamun, asyik berangan-angan saja, pb. 22 Pemabuk adalah suatu predikat (sebutan) negative yang diberikan kepada seseorang yang suka meminum atau memakan bahkan mengalami ketergantungan terhadap bahanbahan makanan dan minuman yang memabokkan yang umumnya mengandung alcohol melebihi kadar yang ditoleransi (over dosis) menurut indicator kesehatan, misalnya minuman keras, gadung, dan lain-lain. Selanjutnya selain zina dan pemabuk, pemadat juga dapat menjadi a;asan hukum bagi suami istri untuk melakukan perceraian. “Pemadat” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda (n), yang artinya: Orang yang suka atau biasa mengisap madat. Adapun “madat” adalah: 1.kata benda juga (n) yang artinya “mengisap candu”. 23 Jadi, pemadat adalah suatu predikat negatif yang diberikan kepada seseorang (dalam konteks suami atau istri) yang suka atau biasa mengkonsumsi (mengisaop, memakan) bahkan mengalami kecanduan atau ketergantungan (adiktif) terhadap narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba), misalnya morpin, ganja, opinium, heroin, pil koplo, pil ekstasi, dan lain-lain. Kemudian penjudi juga dapat dijadikan alasan hukum bagi suami atau istri yang berkehendak melakukan perceraian. “Penjudi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda (n) yang artinya “orang yang suka berjudi”. “Judi” adalah kata benda (n) yang artinya: “Permainan dengan memakai uang sebagai taruhan (seperti main dadu, kartu). “Berjudi” adalah kata kerja (v), yang artinya: 1.mempertaruhkan sejumlah uang atau harta 22 23
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op. cit., hlm. 610. Ibid, hlm. 611
Universitas Sumatera Utara
dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta yang semula; 2.bermain judi, bermain dadu (kartu dan sebagainya) dengan bertaruh uang. 24 Penjudi adalah suatu predikat negatif yang diberikan seseorang yang suka bermain bahkan mengalami ketergantungan terhadap judi.Implikasi negatif dari judi adalah menjadikan penjudi banyak berangan-angan atau berkhayal, ingin cepat kaya dengan jalan pintas, boros lemah hati dan fikiran.Baik zina, pemabuk, pemadat serta judi adalah niat serta perilaku yang sukar utuk disembuhkan. Karena bila salah satu pihak sudah terindikasi dengan hal-hal ini maka akan sering terjadi cekcok antara rumah tangga dan berakibat tidak dapat lagi untuk mempertahankan rumah tangga mereka agar tetap utuh. 2. Meninggalkan Pihak Lain Tanpa Izin dan Alasan yang Sah atau Hal Lain di Luar Kemampuannya. Pasal 39 ayat (2) UU Np. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya dapat menjadi alasan hukum perceraian. Meninggalkan pihak lain tanpa alasan yang sah menunjukkan secara tegas bahwa suami atau istri sudah tidak melaksanakan kewajibannya sebagai siami suami atau istrim baik kewajiban yang bersigat lahiriah maupun batiniah. Ini berarti bahwa tidak ada harapan lagi untuk mempertahankan kelangsungan rumah tangga, karena telah hilangnya persaan saying dan cinta, sehingga tega menelantarkan atau mengabaikan hak suami atau istri yang ditinggalkannya.Jadi, perceraian adalah solusi yang tepat untuk keluar dari rumah tangga yang secara hukum formal ada tapi secara factual sudah tidak ada lagi.
24
Ibid., hlm. 419
Universitas Sumatera Utara
Meninggalkan pihak lain tanpa izin dan alasan yang sah atau hal lain diluar kemampuannya juga merupakan alasan hukum perceraian menurut hukum Islam. Hukum Islam, sebagaimana dijelaskan oleh Sudarsono, mengatur tentang nusyuz baik yang datang dari pihak suami, yaitu tidak mau menggauli dan tidak mau memberikan hak-hak, sedangkan nusyuz dari pihak istri misalnya meninggalkan rumah tanpa seizin suami, istri berjalan dengan bukan muhrimnya tanpa seizin suami dan sebagainya, disamping perbuatan lain yang senada dan sejenis. Dalam arti luas nusyuz adalah suami atau istri yang meninggalkan kewajiban bersuami istri yang membawa kerenggangan hubungan di antara keduanya dalam status sebagai suami istri yang sah menurut hukum yang berlaku. 25 3. Hukuman Penjara 5 Tahun atau Hukuman Berat Lainnya Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf c PP No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung dapat menjadi alasan hukum perceraian. Hukuman pernjara atau hukuman berat lainnya dapat membatasi bahkan menghilangkan kebebasan suami istri untuk melakukan berbagai aktivitas berumah tangga, termasuk menghambat suami istri untuk melaksanakan kewajibannya.Baik kewajiban yang bersifat lahiriah maupun batiniah, sehingga membuat penderitaan lahir dan bathin dalam rumah tangga yang sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan. Kemudian, hukuman penjara atau hukuman berat lainnya dijatuhkan oleh hakim di pengadilan, karena suami atau istri terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana tertentu yang ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun, misalnya tindak pidana pembunugan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Secara psikologi hukum, tindak pidana yang dilakukan oleh suami atau istri yang kemudian dihukum penjara atau hukuman berat lainnya berdasarkan putusan hakim di pengadilan
25
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 136 dan 138
Universitas Sumatera Utara
tersebut, menunjukkan bahwa suami atau istri sebagai pelaku tindak pidana mempunyai perilaku hukum yang sangat buruk, yang bermula atau bersumber dari ketidakmampuan suami atau istri untuk mengendalikan hati, pikiran, emosi dan perilaku itulah yang dapat menjadi penyebab ketidakharmonisan dalam rumah tangga, karena terdapat potensi yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tindak pindana yang sama pernah dilakukan oleh suami atau istri akan terulang atau terjadi lagi. Dalam hukum islam, tidak ada ketentuan hukum khusus yang mengatur tentang hukuman penjara atau hukuman berat lainnya sebagai alasan hukum perceraian. Namun, implikasi negatif dari hukuman penjara dan hukuman berat lainnya tidak lagi dapat melaksanakan kewajibannya sebagai suami atau istri.Selain itu, perilaku yang sangat buruk sebagai reflekso dari hukuman penjara atau hukuman berat lainnya yang dijalani suami atau istri juga dapat menjadi alasan hukum perceraian menurut hukum Islam. Sedemikian buruknya perilaku suami atau istri tersebut (yang terefleksi dari hukuman penjara atau hukuman berat lainnya yang dijalaninya), menimbulkan perasaan was-was atau cemas akan berulangnya kembali tindaj pidana yang dilakukan suami atau istri yang bersangkutan. 4. Perilaku Kejam dan Aniaya Berat yang Membahayakan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf d PP No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain, dapat menjadi alasan hukum perceraian. “Kejam” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata sifat (a) yang artinya: “1.tidak menaruh belas kasihan; bengis; lalim; 2.sangat kikir” 26 Kemudian “aniaya” adalah kata benda (n) yang artinya “perbuatan bengis (seperti penyiksaan, penindasan). Sedangkan “menganiaya” adalah kata kerja (v), yang artinya: “Memperlakukan dengan sewenang-
26
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op. cit., hlm. 462.
Universitas Sumatera Utara
wenangnya (seperti menyiksa, menyakiti). 27 Jadi perilaku kejam dan penganiayaan berat adalah perilaku sewenang-wenang, bengis dan zalim, yang membahayakan dan menyakiti orang lain baik secara fisik maupun psikis, yang bersifat menyiksa dan menindas, tanpa ada rasa belas kasihan. Kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan dapat berdampak penderitaan fisik dan mental (psikologi) bagi suami atau istri yang menerima kekejaman dan penganiayaan berat sebagai bentuk tindak kekerasan yang membahayakan “nyawa” tersebut.Tindak kekerasan, terutama tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri sering terjadi hampir disemua lapisan masyarakata di Indonesia, meskipun data resminya sendiri tidak tersedia. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan bagaikan fenomena gunung es, hal ini dikarenakan untuk mengetahui jumlah kekerasan terhadap perempuan hanya berdasarkan data laporan masyarakat, sedangkan kemungkinan lebih banyak lagi kasus yang tidak dilaporkan karena alasan ada hubungan khusus dengan korban dan perasaan malu dari korban apabila kasusnya diketahui oleh orang banyak. 28 5. Cacat Badan atau Penyakit yang Menghalahi Pelaksanaan Kewajiban Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri dapat menjadi alasan hukum perceraian. “Cacat badan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda (n) yang artinya: “cacat pada badan (seperti bopeng, buta, tuli)”. Adapun “cacat” adalah kata benda (n) yang artinya: 1.kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak); 2.cacat (kerusakan, noda) 27 28
Ibid., hlm. 45 Ruby Hadiarty Johny, op. cit., hlm, 213.
Universitas Sumatera Utara
yang menyebabkan keadannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3.cela; aib; 4.tidak (kurang) sempurna”. 29 Selanjutnya “penyakit” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata kerja (n) yang artinya: 1.sesuatu yang menyebabkan terjadinya gangguan pada makhluk hidup; 2.gangguan kesehatan yang disebabkan oleh bakteri, virus atau kelainan sistem faal atau jaringan pada organ tubuh (pada makhluk hidup); 3.kebiasaan yang buruk; sesuatu yang mendatangkan keburukan.” 30 Jadi cacat badan atau penyakit adalah kekurangan yang ada pada diri suami atau istri, baik yang bersifat badaniah (misalnya cacat atau sakit tuli, buta dan sebagainta) maupun bersifat rohaniah (misalnya cacat mental, gila, dan sebagainya) yang mengakibatkan terhalangnya suami atau istri untuk melaksanakan kewajibannya sebagai suami atau istri sehingga dengan keadaan yang demikian dapat menggagalkan tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal.Satu diantara beberapa kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan karena suami atau istri cacat badan atau ada penyakitnya, adalah kewajiban yang bersifat lahiriah yaitu melakukan hubungan kelamin (persetubuhan) antara suami dan istri, berarti hak suami atau istri untuk menikmati persetubuhan tidak terpenuhi. Padahal menurut penjelasan Mohd Idris Ramulyo, perkawinan menurut hukum Islam bermakna nikah yang menurut arti aslinya ialah hubungan seksual dan menurut arti majazinya (methaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halah hubungan seksual sebagai suami istru antara seorang pria dan wanita. 31 6. Perselisihan dan Pertengkaran Terus-menerus Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga dapat menjadu alasan hukum perceraian, namun tampak jelas bahwa Pasal 39 ayat (2) UU. No. 1 29
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op. cit., hlm. 164. Ibid., hlm. 863 31 Mohd Idris Ramulyo, op. cit. hlm. 1. 30
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1974 jo. Pasal 19 huruf e PP No. 9 Tahun 1975 membedakan antara “perselisihan” dengan pertengkaran”, tetapi tidak memberikan penjelasan tentang pengertian perselisihan dan pertengkaran tersebut. “Perselisihan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda (n), yang artinya: 1.perbedaan (pendapat, dsb); 2.pertikaian; sengketa; percekcokan.” Kata dasar dari kata perselisihan adalah selisih yang merupakan kata benda (n) yang artinya: 1.beda; kelainan; terpaut; 2.hal tidak sependapat (sehaluan dsb); pertentangan pendapat, pertikaian”. 32 Sedangkan pertengkaran adalah kata benda (n) yang artinya: “Perbantahan, percekcokan, perdebatan, pertengkaran; bantah, cekcok.”33Pengertian kata perselisihan dan pertengkaran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut diatas belum menunjukkan secara tegas dan jelas perbedaan artinya.Oleh karena itu arti perselisihan dan pertengkaran perlu diartikan dan ditafsirkan sendiri sesuai dengan konteksnya alasan hukum perceraian. “Perselisihan” adalah perbedaan pendapat yang sangat prinsip, tajam dan tidak ada titik temu antara suami dan istri yang bermula dari perbedaan pemahaman tentang visi dan misi yang hendak diwujudkan dalam kehidupan berumah tangga.Misalnya, suami istri yang memahami perkawinan sebagai sarana untuk memenuhi hasrat seksual semata atau mengutamakan atau mementingkan kebutuhan materialistik saja. Adapun “pertengkaran” adalah sikap yang sangat keras yang ditampakkan oleh suami atau istri yang tidak hanya berwujud nonfisik (kata-kata lisan/verbal yang menjurus kasar, mengumpat dan menghina, tetapi juga tindakan fisik (mulai dari tindakan melempar benda-benda, mengancam dan menampar/memukul), yang terjadi karena adanya persoalan rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah oleh suami istri, bahkan tidak dapat diselesaikan secara musyawarah oleh suami istri, bahkan tidak dapat diselesaikan oleh pihak keluarga dan kerabat dari amsing-masing suami dan istri yang bersangkutan. 32 33
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, op. cit., hlm. 900. Ibid., hlm 1038
Universitas Sumatera Utara
D. Tata Cara Perceraian Perceraian adalah suatu peristiwa hukum yang berakibat hukum putusnya perkawinan antara suami dan istri yang proses hukumnya dilaksanakan di pengadilan. Ini berarti bahwa suami dan istri yang pada waktu melakukan perkawinan dilandasi oleh perasaan kasih dan saying, namun pada saat melakukan perceraian, perasaan kasih dan saying sebagai suami dan istri tersebut sudah tidak ada lagi.Selain itu dalam perkawinan yang kemudian diputuskan itu menghasilkan anak-anak, maka perceraian mau tidak mau, disadari tidak disadari, juga berdampak secara psikologis terhadap kejiwaan anak-anak bahkan keluarha bahkan kerabat dari masing-masing pihak yang melakukan perceraian. Bagaimana tata cara untuk mengajukan gugat cerai menurut UU Perkawinan No. 1 thn 1974 pasal 40 ayat 2? Seandainya gugatan yang diajukan gugur / ditolak, apakah alasan yg sama masih bisa dipakai sebagai gugatan berikutnya? Pasal 40 mengatur tentang gugatan perceraian mengenai putusnya perkawinan serta akibatnya sedangkan tata cara untuk mengajukan gugat cerai akan diuraikan lebih lanjut dibawah ini. Menurut Pasal 14 UU Perkawinan seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat tersebut dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian tersebut.Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan (Pasal 19) dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sesaat setelah dilakukan sidang
Universitas Sumatera Utara
untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. Selain itu suami dan istri perlu melakukan persiapan nonhukum untuk melakukan perceraian, guna menyikapi putusnya perkawinan sebagai akibat hukum perceraian dan mengurangi dampak psikologis terhadap anak-anak, bahkan keluarga dan kerabat dari masing-masing pihak. Secara garis besar ada beberapa tahapan yang perlu ditempuh sebagai persiapan nonhukum untuk melakukan perceraian yaitu sebagai berikut: a. Memantapkan Niat dan Menjernihkan Pikiran Untuk Bercerai Menurut Budi Susilo, bagaimanapun perceraian merupakan keputusan yang membutuhkan pikiran serius, kedewasaan bertindak dan niat yang kuat untuk menjalaninya. Mau tidak mau perceraian akan menimbulkan sejumlah dampak yang serius, baik secara psikologis, yuridis dan lainnya. Bukan hanya pasangan yang bersangkutan namun juga kepada keturunannya, serta keluarga besarnya.Untuk itu kemantapan hati niat mutlak diperlukan sebelum seseorang mengajukan permohonan atau gugatan perceraian.Perceraian harus dilatarbelakangi oleh niat dan keinginan untuk melangkah menuju kebaikan, dan bukan didasari oleh hal-hal yang bersifat material semata.Perceraian harus menjadi jalan keluar bagi pasangan yang memang sudah tidak cocok dan tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tannganya lagi. 34 Selain itu suami dan istri yang ingin bercerai juga harus menjernihkan pikiran.Dalam arti melandasi pikiran dengan alasan-alasanm objektif, yang tidak hanya emosional tetapi juga rasional untuk bercerai, mengacu kepada alasan-alasan hukum perceraian sebagaimana ditentukan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Jo.PP No. 9 Tahun 1975.Upaya menjernihkan pikiran juga perlu dilakukan dalam spirit dan ritual agama yang dianut oleh suami atau istri
34
Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2008, hlm. 33-34
Universitas Sumatera Utara
agar diperbolehkan ketenangan dan ketentraman hati yang penting bagi dihasilkannya pikiran yang objektif sehingga menimbulkan kesiapan untuk menerima akibat dari hukum perceraian tersebut. b. Menyediakan Biaya dan Waktu Untuk Menjalani Proses Hukum Perceraian di Pengadilan Menurut Budi Susilo, walaupun dalam asasnya disebutkan bahwa proses peradilan bersifat cepat dan sederhana serta biaya ringan namun dalam kenyataannya tetap akan banyak dana yang harus dikeluarkan untuk mengurus permohonan dan gugatan perceraian. Misalnya biaya pendaftaran permohonan atau gugatan, biaya selama persidangan seperti transportasi dan sebagainya, serta dana untuk membayar jasa bantuan penasihat hukum/advokat yang akan mewakili dan atau mendampingi pihak yang berperkara di persidangan tersebut. Memang benar bahwa biaya perkara perceraian di pengadilan dibebankan kepada pemohon atau penggugat. Biaya perkara di Pengadilan Agama misalnya, dibebankan kepada penggugat atau pemohon berdasarkna Pasal 89 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1986 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Udang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. (Selanjutnya disingkat UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 JO.Uu. No. 50 Tahun 2009) yang meliputi: 1. Biaya kepanitraan dan biaya materai yang diperlukan untuk perkara itu; 2. Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu; 3. Biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan oleh pengadilan dalam perkara itu;
Universitas Sumatera Utara
4. Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenan dengan perkara itu. Mengakhiri sebuah pernikahan tentu bukanlah hal yang mudah.Ada begitu banyak aspek yang perlu diperhatikan.Namun, yang terpenting adalah kesiapan dan kemantapan seseorang saat mengambil keputusan untuk bercerai.Tak jarang, keputusan cerai diambil dengan tergesa-gesa dan penuh emosi.Rasa menyesal pun hadir belakangan. Banyak sekali pasangan yang mengurus sendiri perceraian mereka.Meskipun prosesnya sedikit lebih rumit, namun hal ini tidak mustahil dilakukan.Kuncinya, bekali diri Anda dengan pengetahuan yang cukup dan jangan malu bertanya.
Jika Anda memutuskan tidak menggunakan bantuan dari pengacara maupun LBH di pengadilan, Anda tetap dapat berkonsultasi kepada mereka tentang tata cara perceraian. Peran konsultan hukum juga akan sangat membantu, kalau Anda memutuskan mewakili diri sendiri di depan hakim. Cara yang paling mudah adalah mendatangi pengadilan agama atau pengadilan negeri di wilayah Anda, dan tanyakan tata cara mengurus perceraian kepada petugas yang berjaga. Berikut adalah tata cara untuk mengurus perceraian: Menyiapkan surat-surat yang berhubungan dengan perkawinan. Termasuk buku nikah suami istri. Serta surat-surat yang lain yang berkaitan dengan pernikahan, baik itu berkas-berkas yang pernah dibuat bersama di pengadilan menjelang pernikahan, misalnya: Perjanjian pranikah secara tertulis.
Membuat kronologis permasalahan.
Penggugat menuliskan kronologis permasalahan rumah tangganya di kertas biasa.Kronologis ini berisi cerita lengkap pernikahan pasangan yang hendak bercerai, dari awal pernikahan hingga penyebab perselisihan sampai akhirnya memutuskan untuk bercerai.Cerita harus
Universitas Sumatera Utara
dibuat dengan sebenar-benarnya dan detail. Ini untuk memudahkan penggugat dalam menyusun surat gugatan nanti. Usahakan membuat alur cerita yang runtut dan jelas, sehingga hakim juga dapat dengan mudah mengerti alasan-alasan Anda menggugat cerai.
Membuat surat gugatan cerai.
Dalam surat gugatan cerai, umumnya ada tiga poin yang biasa digugat, yaitu status untuk bercerai, hak pemeliharaan anak, dan hak mendapatkan harta gono-gini. Sebagai contoh, surat gugatan cerai biasanya berisi:
1. Identitas para pihak (Penggugat dan Tergugat) Terdiri atas nama suami dan istri (beserta bin/binti), umur dan tempat tinggal. Identitas para pihak
juga
disertai
dengan
informasi
tentang
agama,
pekerjaan,
dan
status
kewarganegaraan.Hal ini diatur dalam pasal 67 (a) UU No. 7/1989.
2. Posita (dasar atau alasan gugat) Atau istilah hukumnya adalah Fundamentum Petendi, berisi keterangan berupa kronologis sejak mulai perkawinan Anda dengan suami, peristiwa hukum yang ada (misal, lahirnya anak-anak), hingga munculnya ketidakcocokan antara pasangan yang mendorong terjadinya perceraian. Alasan-alasan yang diajukan dan uraiannya kemudian menjadi dasar tuntutan (petitum). Contoh posita misalnya: 1. Bahwa pada tanggal … telah dilangsungkan perkawinan antara penggugat dan tergugat di…. 2. Bahwa dari perkawinan itu telah lahir … orang anak, yang bernama …, lahir di…., pada tanggal …. 3. Bahwa selama perkawinan antara tergugat sering melakukan tindakan kekerasan seperti memukul, dan terjadi pada tanggal….
Universitas Sumatera Utara
4. Bahwa… dst. 5. Bahwa berdasarkan alasan di atas cukup bagi penggugat mengajukan gugatan perceraian. 3. Petitum (tuntutan hukum) Yaitu tuntutan yang diminta oleh istri sebagai Penggugat agar dikabulkan oleh hakim. Bentuk tuntutan itu misalnya: Berdasarkan fakta tersebut di atas, maka dengan ini Penggugat memohon kepada Majelis Hakim berkenan memutus sebagai berikut: 1. Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya. 2. Menyatakan perkawinan antara penggugat dan tergugat sah putus karena perceraian. 3. Menyatakan pihak Penggugat berhak atas hak pemeliharaan anak dan berhak nafkah dari tergugat sejak tanggal… sebesar Rp… per bulan sampai Penggugat menikah lagi. 4. Mewajibkan pihak Tergugat membayar biaya pemeliharaan anak (jika anak belum dewasa) terhitung sejak… sebesar Rp… per bulan sampai anak dewasa. 5. Menyatakan bahwa harta berupa… yang merupakan harta bersama (gono-gini) menjadi hak Penggugat. Setelah gugatan cerai selesai dibuat, fotokopi berkas tersebut sebanyak lima buah. Jadi total Anda mempunyai enam buah berkas gugatan cerai yang nantinya diperlukan saat mendaftar gugatan cerai. Keenam berkas tersebut akan dibagikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengadilan nanti. Satu berkas akan dikirim oleh pengadilan kepada si suami (Tergugat), tiga berkas untuk para hakim, satu berkas untuk panitera pengadilan (pegawai yang bertugas mencatat jalannya sidang), dan satu berkas yang tersisa menjadi pegangan milik Anda.
Universitas Sumatera Utara
Mempersiapkan biaya pendaftaran gugatan. Siapkan biaya pendaftaran gugatan perkara sekitar Rp 500 ribu – Rp 700 ribu.Biaya pendaftaran ini berbeda di setiap pengadilan, namun umumnya berkisar di angka itu. Mendaftarkan gugatan cerai di pengadilan yang berwenang. Biasanya pendaftaran gugatan dilakukan di ruang administrasi oleh pegawai pengadilan yang bertugas untuk menerima gugatan. Petugas akan memberikan cap atau pengesahan kepada keenam berkas yang diserahkan. Dengan begitu, surat gugatan Anda sudah sah didaftarkan. Mempersiapkan saksi-saksi. Setelah berkas gugatan resmi didaftarkan, pengadilan akan mengirimkan surat gugatan cerai bersama surat panggilan untuk menghadiri sidang pertama kepada pihak suami. Jadwal sidang pertama biasanya jatuh pada dua sampai empat minggu setelah tanggal pendaftaran gugatan cerai. 1. Prosedur cerai gugat (istri menggugat suami) A. Daftar gugatan Pendaftaran cerai gugat dilakukan dengan mendatangi langsung kantor Pengadilan Agama di Ibu kota kabupaten tempat berdomisili. Seperti dipahami bahwasannya pihak istri bisa datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasa hukum atau advokat atau kepada kuasa incidental (pihak keluarga) Gugatan bisa diajukan setiap saat pada saat jam kerja dan hari kerja di Pengadilan Agama.Biasanya Pengadilan Agama dibuka pada hari Senin sampai dengan hari Jum’at dan mulai pukul 08.00 hingga 16.00. 1. Apa syarat dan kemana daftarnya, meliputi: a. Berkas yang harus dibawa Pada saat datang ke Pengadilan Agama utnuk mendagtar gugatan cerai, maka ada beberapa berkas yang harus dibawa yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Surat gugatan yang kemudian difotokopi sebanyak 6 (enam) kali yang nantinya untuk hakim majelis (ada 3), Panitera (1 berkas), tergugat (1 berkas). 2. Surat nikah/buku nikah asli beserta fotokopinya sebanyak 2 (dua) lembar, masingmasing dibubuhi materai Rp. 6000,-. 3. Surat keterangan lurah/kepala desa untuk bercerai 4. Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan fotokopi KTP 1 (satu) lembar folio 1 (satu) muka (tidak boleh dipotong) yang dimateraikan Rp. 6.000,5. Kartu Keluarga (KK) dan fotokopinya 6. Akta kelahiran anak (jika punya anak) dan fotokopi akta kelahiran anak dibubuhi materai Rp. 6.000,- juga dilegalisasi di Kantor Catatan Sipil. 7. Surat izin atasan (bagi PNS/TNI/Polri) 8. Bila bersamaan dengan gugatan perceraian diajukan pula gugatan terhadap harta bersama, maka perlu disiapkan bukti-bukti kepemilikan harta benda seperti: 1. Sertifikat tanah (bila atas nama penggugat) 2. BPKB (Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor) atau STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) untuk kendaraan bermotor. 3. Buku tabungan Kuitansi, surat jual-beli dan lain-lain 9. Surat visum dokter (untuk kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT) atau suratsurat lainnya yang diperlukan (jika ada) a.. Buat kronologis cerai b. Membuat surat gugatan cerai c. Urut-urutan ruangan/tempat di pengadilan untuk pendaftaran gugatan d. Biaya
Universitas Sumatera Utara
e Jangka waktu B. Panggilan sidang pertama, maka: 1. Apa yang harus dilakukan 2. Sidang mediasi C. Sidang gugat cerai, terdiri dari: 1. Pembacaan gugatan penggugat (istri) 2. Jawaban tergugat (suami) 3. Sidang replik 4. Sidang duplik 5. Sidang pembuktian: a. Bukti dokumen b. Saksi-saksi dari penggugat c. Saksi-saksi dari tergugat 6. Kesimpulan para pihak 7. Sidang putusan hakim D. Catatan-catatan tambahan terkait gugat cerai. 2. Prosedur cerai talak (suami) Cerai talak bisa diajukan setiap saat pada saat jam kerja dan hari kerja di Pengadilan Agama.Biasanya Pengadilan Agama dibuka pada hari Senin sampai dengan hari Jum’at dan mulai pukul 08.00 hingga 16.00. Berkas yang harus dibawa: 1. Surat permohonan cerai talak yang kemudian di fotokopi sebanyak 6 (enam) kali yang nantinya untuk hakim majelis (ada 3), panitera (1 berkas), termohon (1 berkas). 2. Surat nikah/buku nikah asli dan fotokopinya 2 (dua) lembar, masing-masing dibubuhi materai Rp. 6000,-
Universitas Sumatera Utara
3. Surat keterangan lurah/kepala desauntuk cerai 4. Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan fotokopi KTP 1 lembar folio 1 muka (tidak boleh dipotong) yang dimateraikan Rp. 6000,5. Kartu Keluarga (KK) dan fotokopinya 6. Akta kelahiran anak (jika punya anak) dan fotokopi akta kelahiran anak-anak dibubuhi materai Rp. 6000,- juga dilegalisasi di Kantor Catatan Sipil. 7. Surat izin atasan (bagi PNS/TNI/Polri) 8. Bila bersamaan dengan gugatan perceraian diajukan pula gugatan terhadap harta bersama, maka perlu disiapkan bukti-bukti kepemilikan harta benda seperti: 1. Sertifikat tanah (bila atas nama penggugat) 2. BPKB (Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor) atau STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) untuk kendaraan bermotor. 3. Buku tabungan Kuitansi, surat jual-beli dan lain-lain 9. Surat visum dokter (untuk kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT) atau suratsurat lainnya yang diperlukan (jika ada) E. Akibat Hukum Terhadap Perceraian 1. Akibat hukum perceraian terhadap anak Secara filosofis, Soemiyati menjelaskan bahwa memperoleh keturunan yang sah adalah tujuan yang pokok dari perkawinan itu sendiri.Memperoleh anak dalam perkawinan bagi penghidupan manusia mengandung dua segi kepentingan, yaitu kepentingan untuk diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum. Setiap orang yang melaksanakan perkawinan tentu mempunyai keinginan untuk memperoleh keturunan/anak/ Bisa dirasakan bagaimana perasaan suami istri yang hidup berumah tangga tanpa mempunyai anak, tentu kehidupannya
Universitas Sumatera Utara
akan terasa sepi dan hampa. Biarpun keadaan rumah tangga mereka serba berkecukupan, harta cukup, kedudukan tinggi dan lain-lain serba cukup tetapi kalau tidak mempunya keturunan kebahagiaan rumah tangga belum sempurna. Kehadiran anak dalam suatu pernikahan, menurut Erna Wahyuningsih dan Putu Samawati, merupakan hal yang diimpikan oleh setiap pasangan.Bagi mereka anak merupakan karunia Tuhan yang luar biasa, dia wajib dijaga dan dirawat dengans ebaik-baiknya. Persoalan akan muncul dikala pernikahan yang terjalin putus dengan berbagai alasan yang pada akhirnya dibenarkan oleh pengadilan dengan membaca putusan cerai. Pada saat putusnya perkawinan karena bercerainya kedua suami istri mau tidak mau anak akan menjadi korbannya. 35 Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan dan perlindungan hak-hak anak menurut Pasal 41 huruf a UU No. 1 Tahun 1974 ialah baik bapak maupun ibu tetap mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, maka Pengadilan yang memberikan keputusannya. Akibat hukum perceraian terhadap anak ini tentu saja hanya berlaku terhadap suami dan istri yang mempunyai anak dalam perkawinan mereka.Tidak berlaku bagi suami dan istri yang tidak mempunyai anak didalam perkawinan mereka. Menurut Soemiyati, jika terjadi perceraian di mana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu, atau nenek seterusnya keatas. Akan tetapi, mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya adalah menjadi tanggung jawab ayahnya. Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah dapat ditanya kepada siapa dia akan terus ikut. Kalau anak
35
Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, PT.Rambang Palembang, Palembang, 2008, hlm. 129.
Universitas Sumatera Utara
tersebut memilih ibunya, maka si ibu tetap berhak mengasuh anak itu, kalau anak itu memilih ikut bapaknya, maka hak mengasuh ikut pindah kepada bapak. 36 Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati menguraikan pendapatnya mengenai akibat hukum perceraian terhadap “nafkah anak” secara lebih rinci sebagai berikut: a. Kewajiban membiayai anak tidak hilang karena putusnya perkawinan akibat adanya perceraian. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayah (sampai anak dewasa atau berdiri sendiri, bekerja/mendapat penghasilan atau anak menikah).Kewajiban membiayai tetap menjadi tanggung jawab ayah walaupun pemeliharaan anak tidak padanya.Artinya ayah tetap mempunyai kewajiban untuk membiayai penghidupan anak walaupun hak pemeliharaan anak berada pada ibu, kakek, nenek, bibi dan sebagainya. b. Bila ayah tidak dapat memberi biaya peneliharaan (penghidupan) maka pengadilan daoat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya hidup anak. c. Bila ayah tidak melaksanakan putusan pengadilan untuk membiayai pemeliharaan anak, maka seorang (mantan) istri dapat melakukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri di mana proses perceraiannya dilakukan. Selanjutnya Pengadilan akan memanggil (mantan) suami. Jika suami tidak memenuhi surat panggilan dari pengadilan tanpa alasan yang patut, maka Ketua Pengadilan akan mengeluarkan Surat Penetapan yang memerintahkan untuk melakukan eksekusi kepada Panitera atau Juru Sita. Namun apabila (mantan) suami datang memenuhi panggilan dari Pengadilan, maka Ketua Pengadilan akan mengeluarjan peringatan pengadilan yang ditujukan kepada mantan suami agar memenuhi kewajibannya. Lama waktu peringatan tidak boleh lebih dari 8 hari. Setelah lebih 8 hari, maka akan dikeluarkan
36
Soemiyati, op. cit., hlm. 126.
Universitas Sumatera Utara
surat penetapan oleh Ketua Pengadilan yang memerintahkan eksekusi kepada Panitera atau Juru Sita. 37 Hak-hak anak yang dilindungi oleh Pasal 41 huruf a UU No.1 Tahun 1974 dijelaskan secara lebih mendalam oleh Sudarsono hak untuk mendapatkan pemeliharaan dan pendidikan dari kedua orang tuanya, Baik ibu atau bapak si anak berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak/anak-anak yang mereka peroleh selama pernikahan. Ketika bercerai antara suami istri aka nada status baru, yaitu jada (bagi istri) dan duda (bagi suami) serta ada istilah mantan/bekas istri dan mantan/bekas suami, tetapi istilah iini tidak berlaku bagi anak dan orang tua. Tidak ada istilah mantan anak atau mantan orang tua. Untuk itu perceraian terjadi status anak dan orang tua tidak akan berubah untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Hak untuk dipelihara ini lebih mengacu keada pemenuhan kebutuhan secara lahiriah, anak-anak berhak untuk mendapatkan pemeliharaan anggota jasmaninya dari kedau orang tuanya.Peran kedua orang tua dalam menjaga anak-anak mereka dapat berupa pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan yang merupakan kebutuhan primer hingga jika memungkinkan pemenuhan kebutuhan tertier. Sedangkan hak utnuk mendapatkan pendidikan ini lebih mengacu kepada pembinaan kejiwaan atau rohaniah si anak, pemenhan kebutuhan ini dapat berupa memberikan pendidikan atau pengajaran ilmu pengetahuan yang terdapat di jenjang sekolah, pendidikan agama, pendidikan kepribadian dan berbagai pendidikan lainnya yang berkaitan dengan pembinaan dari kejiwaan si anak. Baik pemeliharaan maupun pendidikan, keduanya harus mendapatkan perhatian serius oleh kedua orang tua si anak, walaupun menjatuhkan hak asuk kepada salah satu pihak, bukan berarti pihak yang tidak diberikan hak asuh tersebut dapat
37
Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, op. cit., hlm. 126.
Universitas Sumatera Utara
lepas bebas tanggung jawab.Keduanya tetap bertanggung jawab dalam hal pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka. 38 Anak-anak yang orang tua mereka tidak melaksanakan kewajiban yang telah diputuskan oleh hakim, dapat menuntut hak-haknya dengan cara-cara sebagai berikut. a. Melaporkan kelalaian orang tua mereka kepada pihak keluarga yang dapat dipercaya dan dituakan, minta bantuan beliau secara kekeluargaan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Biasanya apabila orang tua mereka mendapat teguran dari pihak keluarga yang mereka segani dimungkinkan persoalan tersebut bisa diselesaikan. Dalam masyarakat yang tradisional yang masih memegang teguh masalah kekerabatan biasanya akan tunduk dengan titah ketua kekerabatannya dan sanksi yang bersifat informal yang ada di masyarakat masih sangat efektif untuk membuat mereka yang melanggarnya menjadi jera, seperti pada masyarakat Minang dengan kekerabatan materialnya. 39 b. Bisa juga dengan mendatangi pemuka agama yang dikenal dan dapat dipercaya. Mohon bantuan dari mereka untuk turut serta membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Pada umumnya, orang yang beragama akan patuh pada para pemuka agama yang menjadi panutan mereka. Harapan yang ingin dicapai adalah kiranya kedua orang tua kembali akan mematuhi putusan yang telah ditetapkan untuk mereka. Pada masyarakat tertentu si mana pemuka agama sekaligus dijadikan orang tua (orang yang dituakan) dalam masyarakat tersebut, pada umumnya akan sangat dipatuhi apa yang menjadi putusannya. Posisi pemuka agama disini sebagai mediator yang mengahi antara orang tua dan anak. Sanksi social yang menjadi sangat efektif pada masyarakat yang masih memegang teguh system kekerabatan dan masih bersifat agamis. Perintah pemuka
38 39
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Hlm. 188. Sudarsono, op. cit., hlm. 127.
Universitas Sumatera Utara
agama dianggap sesuatu yang sacral dan harus dipatuhi dan hukum atau asas Tuhan diyakini adanya dan keberlakuannya dapat terjadi. 40 c. Apabila keluarga maupun pemuka agama tidak dapat juga mempengaruhi atau memperbaiki keadaan, maka upaya yang dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan ke pengadilan. Si anak melalui atau bersama dengan kuasa hukumnya atau walinya dapat meminta bantuan pengadilan. Bagi yang beragama Islam, pengadilan yang dituju adalah pengadiulan agama dan bagi yang beragama selain Islam pengadilan yang dituju adalah pengadilan negri. Berdasarkan alasan dan fakta yang ada hakim dapat menetapkan permohonan yang diajukan si anak agar orang tuanya mau bertanggung jawab. Hakim melalui lembaga pengadilan dapat memaksa orang tua si anak melaksanakan ketentuan yang diperintahkan untuk bertanggung jawab dengan memenuhi hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh si anak. Jika alasan orang tua tidak dapat melaksanakan tanggung jawab mereka dikarenakan ketidakmampuan (tidak cakap dan/ atau tidak mampu secara finansial), maka hakim dapat mengangkat wali atau menetapkan si anak menjadi tanggung jawab negara. 41
Muhammad Thalib menjelaskan bahwa dalam agama Islam pendudikan anak kecil yang paling penting ialah dalam pangkuan ibu-bapaknya. Karena, dengan pengawasan dan perlakuan mereka kepadanya secara baik akan dapat menumbuhkembangkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya, serta mempersiapkan diri anak menghadapi kehidupannya dimasa mendatang, Jika terjadi perpisahan antara ibu dan ayah kandung sedang mereka ini punya anak, maka ibulah yang lebih berhak terhadap anak itu daripada ayahnya, selama tidak
40
Husain Mazhahiri, Membangun Surga dalam Rumah Tangga, Cahaya, Bogor, 2004, hlm. 275. Mohd Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, 1999, hlm. 190. 41
Universitas Sumatera Utara
ada suatu alasan yang menggugurkan hak ibu melakukan pekerjaan hadhanan tersebut, atau karena anak telah mampu memilih apakah mau ikut ibu atau bapak. 42 Dalam hukum adat, setelah terjadinya perceraian, maka timbullah hak dan kewajiban antara suami istri yang berupa tanggung jawab terhadap anak. Menurut Ter Haar, anak-anak yang masih menyusu (dibawah umur 2 atau 3 tahun) selalu mengikuti ibunya. Sesudah itu, mereka tetap berada dalam kerabat yang semestinya menurut susunan kesanaksaudaraan itu tidak mengizinkan sedemikian itu, mereka berkumpul pada salah seorang dari ibu atau bapaknya yang diserahi mengurus anak-anak oleh keputusan sewaktu perkawinan dinyatakan cerai. Kesalahan pada salah satu pihak, meyebabkan pihak lain yang tidak bersalah memperoleh hak lebih atas anak-anak. Menurut hukum adat, perceraian ataupun meninggalnya salah satu dari kedua orang tua, tidaklah menimbulkan perwalian.Hal ini disebabkan dalam perceraian, anak-anak masih berada pada salah satu dari kedau orang tuanya.Demikian juga pada situasi meninggalnya salah satu dari kedua orang tuanya.Dengan demikian, yang lebih memungkinkan terjadinya perwalian, adalah apanila kedua orang tua dari anak (anak) tersebut meninggal dunia, dan anak (anak) yang ditinggalkan itu belum dewasa.Dengan meninggalnya kedua orang tua, anak-anak menjadi yatim-piatu dan mereka semuanya tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. 43 2. Akibat Hukum Perceraian terhadap Bekas Suami/Istri Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban mantan suami/istri menurut Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 ialah Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan normative dalam Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 ini mempunyai kaitannya dengan Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 yang memuat ketentuan 42 43
Muhammad Thalib, op. cit., hlm. 210 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1990, hlm. 283
Universitas Sumatera Utara
normative bahwa seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu, yang kemudian pasal ini telah dijabarkan dalanm Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 yang memuat ketentuan imperative bahwa bagi seorang janda yang perkawinannya putus karena perceraian, maka waktu tunggu bagi janda yang masih datang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan. Selanjutnya, menurut Pasal 39 pp No. 9 Tahun 1975 tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum terjadi hubungan kelamin. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunya kekuatan hukum yang tetap. Akibat hukum perceraian terhadap kedudukan, hak dan kewajiban mantan suami/istri menurut Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 selaras dengan hukum islam. Menurut penjelasan Mahmud Yunus, apabila terjadi perceraian antara suami dan istri menurut hukum Islam, maka akibat hukumnya ialah dibebankannya kewajiban mantan suami terhadap mantan istrinya untuk memberi mut’ahyang pantas berupa uang atau barang dan memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman selama mantan istri dalam masa iddah, serta melunasi mas kawin, perjanjian ta’lik talak dan perjanjian lainnya. 44 Iddahdi dalam agama islamadalah sebuah masa di mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena suaminya mati atau karena dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain. Seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah disebut mu’taddah.Iddah sendiri menjadi
44
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Pustaka Mahmudian, Jakarta, 1968, hlm. 125
Universitas Sumatera Utara
2, yaitu perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya (mutawaffa ‘anha) dan perempuan yang tidak ditinggal mati oleh suaminya (ghair mutawaffa ‘anha). Iddah diwajibkan untuk memastikan apakah perempuan tersebut rahimnya sedang mengandung atau tidak, hal tersebut adalah penyebab kenapa seorang perempuan harus menunggu dalam masa yang telah ditentukan. Apabila ia menikah dalam masa iddah, sedangkan kita tidak mengetahui apakah perempuan tersebut sedang hamil atau tidak dan ternyata dia hamil maka akan timbul sebuah pertanyaan “Siapa bapak dari anak ini?” dan ketika anak tersebut lahir maka dinamakan “anak syubhat”, yakni anak yang tidak jelas siapa bapaknya dan apabila anaknya adalah perempuan maka ia tidak sah, karena ia tidak dinikahkan oleh walinya. Adapun tujuan dan kegunaan masa iddah adalah sebagai berikut: a. Untuk memberi kesempatan berfikir kembali dengan fikiran yang jernih, setelah mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan demikian keruhnya, sehingga mengakibatkan perkawinan mereka putus. b. Dalam perceraian yang ditinggal mati oleh suami, iddah diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami. c. Untuk mengetahui apakah dalam masa iddah yang berkisar antara 3 (tiga) atau 4 (empat) bulan itu, istri dalam keadaan mengandung atau tidak. Hal ini penting sekali untuk ketegasan dan kepastian hukum mengenai bapak si anak yang seandainya telah ada dalam kandungan wanita yang bersangkutan. 45
Kewajiban suami yang telah menjatuhkan talak kepada istrinya, menurut penjelasan Mohd. Idris Ramulyo, Mahmud Yunus dan juga Sajuti Thalib, sebagai berikut. a. Memberi mut’ah (memberikan untuk menggembirakan hati) kepada bekas istri. Suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya hendaklan memberikan mut’ah pada bekas 45
Soemiyati, op. cit., hlm. 120
Universitas Sumatera Utara
istrinya. Mut’ah itu berupa pakaian, barang-barang atau uang sesuai dengan keadaan dan kedudukan suami. b. Memberi nafkah, pakaian dan tempat kediaman untuk istri yang ditalak itu selama ia masih dalam keadaan iddah. Apabila habis masa iddah-nya maka habislah kewajiban memberi nafkahnya, pakain dan tempat kediamannya. c. Membayar atau melunaskan mas kawin. Apabila suami menjatuhkan talak kepada istrinya wajib membayar atau melunaskan mas kawin. d. Membayar nafkah untuk anak-anaknya, suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya wajib membayar nafkah untuk anak-anaknya yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu, sekedar yang patut menurut keadaan suami. Kewajiban memberi nafkah anak-anak itu harus dan terus-menerus sampai anak tersebut baligh lagi berakal dan mempunyai penghasilan sendiri. 3. Akibat Hukum Perceraian terhadap Harta Bersama Konsekuensi atau akibat hukum perceraian terhadap harta bersama diatur dalam Pasal 37UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) yang menyatakan “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.” Lebih jauh daam Penjelasan Pasal 37 UU Perkawinan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.” H. Hilman Hadikusuma menjelaskan dalam buku “Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan Hukum Adat Hukum Agama” (hlm. 189), akibat hukum yang menyangkut harta bersama berdasarkan Pasal 37 UU Perkawinan ini diserahkan kepada para pihak yang bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku, dan jika tidak
Universitas Sumatera Utara
ada kesepakatan antara mantan suami-istri, hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya. 46 Jadi, akibat suatu perceraian terhadap harta bersama bagi setiap orang dapat berbedabeda, tergantung dari hukum apa dan mana yang akan digunakan para pihak untuk mengatur harta bersama. Penjelasan lebih jauh mengenai frasa “hukumnya masing-masing” dalam Pasal 37 UU Perkawinan ini kami tidak akan membahasnya satu-persatu, karena jumlahnya dan ragamnya banyak sekali. Tapi sebagai contoh dapat kami jelaskan beberapa hal sebagai berikut: a. Untuk yang beragama Islam, ada ketentuan mengenai pembagian harta bersama dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Pasal 97 KHI mengatur “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.”.Selengkapnya simak Warisan Dan Harta Gono Gini. b.
Lalu, dijelaskan Hilman, bagi umat Katolik pada dasarnya tidak ada perceraian dalam
agama Katolik, karena agama Katolik menolak adanya perceraian. Namun dalam praktiknya, pasangan Katolik tetap dapat bercerai secara perdata, walaupun secara Katolik perceraian tersebut dianggap tidak sah.Lebih jauh simak artikel Perceraian Agama Katolik dan Perceraian Agama Katolik.Dalam hal yang demikian, perceraian dan pembagian harta bersama berpedoman pada ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Berdasarkan Pasal 126 KUHPer, harta bersama bubar demi hukum salah satunya karena perceraian. Lalu, setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu (Lihat Pasal 128 KUHPer).
46
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan Agama, hlm. 189
Universitas Sumatera Utara
Jadi, berdasarkan Pasal 37 UUP jo Pasal 126 dan 128 KUHPer, perceraian mengakibatkan bubarnya harta bersama sehingga harta bersama tersebut harus dibagi diantara pasangan suami-istri. Lebih lanjut mengenai pembagian harta bersama simak artikel Pembagian Harta dan Pembagian Harta Gono Gini c.
Selain itu, akibat perceraian terhadap harta bersama juga dapat ditentukan oleh hukum
adat yang digunakan para pihak, apabila para pihak menggunakan hukum adat untuk mengatur akibat perceraian. Sehingga, segala sesuatu mengenai harta bersama diatur berdasarkan hukum adat yang berlaku masing-masing, dan tidak ada kesamaan antara masyarakat adat yang satu dan yang lainnya.
Misalnya pada masyarakat matrilineal seperti masyarakat Minang, umumnya berlaku hukum adat yang menentukan akibat hukum perceraian terhadap harta bersama yaitu harus dibagi antara suami dan istri. 2. Jika salah satu pihak dalam perkawinan adalah warga negara asing, perkawinan tersebut merupakan suatu perkawinan campuran. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dalam hal ini kami kurang jelas perkawinan Anda dilangsungkan dimana.Karena, suatu
perkawinan
adalah
sah
berdasarkan
hukum
dimana
perkawinan
tersebut
dilangsungkan.Jika perkawinan itu kemudian tidak dicatatkan di Indonesia, maka perkawinan tersebut tetap tunduk pada hukum dimana perkawinan dilangsungkan.Yakni dalam hal terjadi perceraian, harus dilakukan dimana perkawinan dilangsungkan (Pasal 56 ayat [1] UUP).Lebih jauh simak artikel Menikah di Singapore. Namun, jika perkawinan Anda dilangsungkan di Indonesia dan tunduk pada hukum Indonesia, yang berlaku adalah ketentuan Pasal 37 UUP sebagaimana telah kami jelaskan di
Universitas Sumatera Utara
atas yakni, untuk menentukan hukum mana dan hukum apa yang berlaku terkait dengan harta bersama diserahkan pada kesepakatan para pihak yang bercerai. Jika tidak ada kesepakatan antara mantan suami-istri, Hilman menambahkan, hakim dapat mempertimbangkan menurut rasa keadilan yang sewajarnya. Jadi, bila tidak ada kesepakatan para pihak mengenai akibat perceraian terhadap harta bersama, hakimlah yang akan menentukan hukum apa dan mana yang akan diterapkan.
Universitas Sumatera Utara