BAB II PENGATURAN MENGENAI PERCERAIAN DALAM AGAMA KRISTEN BERDASARKAN HUKUM PERKAWINAN DAN PERATURAN LAIN
A. Perkawinan Di Kalangan Masyarakat Batak Toba Perkawinan merupakan suatu ritual yang dihadapi manusia dalam kedewasaannya untuk dapat berhubungan dengan lawan jenis untuk waktu yang lama dilandasi dengan suatu rasa antara kasih kepada orang lain dan disahkan oleh negara. Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik menarik antara sati dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan bathin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga / rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi.38 Perkawinan sangatlah kompleks maksudnya sulitnya menghubungkan dua orang dengan berbeda sifat dan walak yang dimilikinya dan ikatan perkawinan tersebut menimbulkan akibat yaitu hubungan lahiriah; spiritual; dan kewajiban diantara mereka sendiri pribadi dan kemasyarakatan. Ada beberapa definisi perkawinan baik yang diangkat oleh para ahli hukum; undang-undang; dan keputusan menteri. Menurut Ali Afandi bahwa pengertian perkawinan adalah persatuan antara laki-laki dan perempuan di dalam hukum keluarga.39
38
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 1 39 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal. 98
27
Universitas Sumatera Utara
28
Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami istri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.40 Perkawinan merupakan perikatan alat, perikatan kekerabatan, dan perikatan tetanggaan sehingga terjadinya suatu perikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan, ketetanggaan; dan menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia atau perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.41 Sahnya perkawinan secara adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada masyarakat adat yang bersangkutan. Maksudnya jika telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat tetapi ada daerahdaerah tertentu walaupun sudah sah menurut agama kepercayaan yang dianut 40
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit CV. Mondar Maju, Bandar Lampung, 1992, hal. 128 41
Universitas Sumatera Utara
29
masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari masyarakat adat bersangkutan, di antarannya masyarakat Batak Toba. Oleh karena itu terlebih dahulu mereka melakukan upacara adat agar bisa masuk dalam lingkungan masyarakat adat dan diakui menjadi salah satu warga masyarakat adat. Dengan demikian dari pengertian perkawinan diatas dapat diketahui 3 (tiga) unsur pokok yang terkandung didalamnya, yaitu: 1. Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita. 2. Perkawinan bertujuan unutk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. 3. Perkawinan berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan selalu mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga/kerabat, untuk mnemperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.42 Oleh karena sistim keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda sehingga tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbedabeda diantara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainnya atau daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda, dan akibat hukum dan upacara perkawinannya berbeda-beda.
42
Ibid, hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
30
Perkawinan pada masyarakat Batak Toba pada umumnya menganut perkawinan monogami dan prinsip keturunan masyarakat Batak Toba adalah patrilineal, maksudnya garis keturunan dari anak laki-laki. Menurut hukum adat, perkawinan dapat merupakan urusan pribadi, urusan kerabat, keluarga persekutuan, martabat, tergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan.43 Perkawinan bagi masyarakat adat Batak Toba adalah sakral dan suci maksudnya perpaduan hakekat kehidupan antara laki laki dan perempuan menjadi satu dan bukan sekedar membentuk rumah tangga dan keluarga.44 Dimana perkawinan dalam masyarakat Batak Toba dipandang suatu alat untuk mempersatukan dua buah keluarga atau dua buah marga yang berbeda. Demikian juga dengan pemberian mahar (tuhor) yang dipandang sebagai suatu alat magis atau sakral yang tidak dapat dipisahkan dari animisme Batal pada awalnya.45 Pemberian mahar ini adalah merupakan alat magis yang bertujuan untuk melepaskan ikatan seseorang gadis dari klan ayahnya untuk bergabung dengan klan suaminya dengan maksud agar tidak terjadi gangguan dalam kesinambungan kosmos.
Untuk menggambarkan sesuatu yang bersifat sakral dalam perkawinan hanya dapat dilihat; dirasa dari sikap perilaku; dan budaya rasa perkawinan itu sendiri. Budaya rasa yang demikian diwarisi secara rohani dari generasi ke generasi yang menyebabkan perkawinan adat Batak Toba tetap hidup dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Batak Toba termasuk mereka yang tinggal menetap di perantauan. 43
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Penerbit Liberry, Yogyakarta, 1981, hal. 107. Gultom Raja Marpondang, Dalian Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, Penerbit CV. Armanda. Medan, tt, hal.377. 45 Ibid. 44
Universitas Sumatera Utara
31
Perkawinan pada masyarakat adat Batak Toba adalah tanggungjawab keseluruhan kerabat kedua belah pihak calon mempelai yang pelaksanaannya sesuai dengan falsafah Dalihan Na Tolu sehingga perkawinan adat Batak Toba mempunyai aturan yang lengkap mulai dari meminang, pemberian jujur sampai upacara perkawinan.46 Salah satu ciri khas dari masyarakat adat Batak Toba adalah merantau dan tetap memegang teguh adat istiadat dimanapun dia berada, karena umumnya masyarakat Batak Toba mempunyai ikatan lahir dan batin yang sangat kuat terhadap tanah leluhur. Sebagai akibat kemajuan jaman dan kemajemukan suku bangsa maka warga Batak yang di perantauan sudah banyak yang melakukan perkawinan dengan suku lain. Budaya Batak tidak menjadi penghalang dalam membentuk perkawinan antara suku di Indonesia, asalkan dalam bentuk sikap perilaku keluarga baru tidak bertentangan dengan pandangan hidup kekerabatan suku Batak Toba itu sendiri yaitu Dalihan Na Tolu. Agar perkawinan antarsuku berjalan dengan baik. Oleh karena itu hendaklah pandangan keluarga baru yang bukan suku Batak mampu menghayati Dalihan Na Tolu.47 Perkawinan dalam adat Batak Toba pada asasnya bertujuan membentuk rumah tangga yangbahagia dan kekal untuk mendapatkan anak sebagai penerus garis keturunannya yaitu dari anak laki-laki.
46 47
Ibid., hal. 278. Ibid., hal. 279.
Universitas Sumatera Utara
32
Iman Sudiyat mengatakan bahwa: Perkawinan sebagai urusan keluarga dan kelompok. Ketunggalan silsilah inilah yang berfungsi memungkinkan pertumbuhan tertib teratur dari paguyuban hidup kerompok kewangsaan ke dalam generasi-generasi baru, anak-anak yang didalam perkawinan itu melanjutkan kehidupan kelompok kebangsaan, seperti: bagian klan, kaum ketunggalan silsilah, kelompok tunggal poyang, dan keluarga.48 Perkawinan
juga
mempertahankan
kehidupan
persekutuan
setempat/
masyarakat desa dan persekutuan wilayah selaku kesatuan tata susunan rakyat. Pada umumnya pelaksanaan upacara adat di Indonesia dipengaruhi oleh bentuk dan sistim perkawinan adat setempat dalam kaitanya dengan susunan kekerabatan yang mempertahankan dengan masyarakat Batak Toba dipengaruhi menikah dengan di luar sukunya. Dalam pengertian falsafah Dalihan Na Tolu, dimana Dalihan Na Tolu artinya tungku yang tiga, yaitu tiga tungku yang terbuat dari batu yang di susun simetris satu sama lain saling menopang periuk atau kuali tempat memasak. Ini merupakan arti yang paling hakiki memberikan pengertian dan makna yang sangat dalam serta dijadikan sebagai pedoman berprilaku dalam segala aspek kehidupan masyarakat adat Batak Toba. Tiga unsur pokok dalam Dalihan Na Tolu yaitu somba marhula hula (hormat pada keluarga ibu); elek marboru (ramah pada saudara perempuan); dan manat mardongan tubu (kompak dalam hubungan semarga). Penerapan falsafah di atas dalam perkawinan adat Batak Toba mutlak.49 Untuk dapat menerapkan prinsip perilaku Dalihan Na Tolu dalam perkawinan adat Batak Toba maka yang paling pokok dan penting adalah semua unsurnya harus lengkap yaitu ada paranak/dongan tubu yakni orang tua laki-laki dan yang semarga dengannya, ada hula-hula/tulang yaitu keluarga yang semarga dengan ibunya dan
48 49
Iman Sudiyat, Op. Cit., hal. 45 Ibid., hal. 45
Universitas Sumatera Utara
33
harus ada boru yaitu keluarga yang semarga dengan marga calon istrinya.50 Kesemuanya itu harus lengkap dan apabila tidak ada yang keluarga kandung dapat digantikan keluarga yang paling dekat dengan itu sesuai dengan hubungan kekerabatannya. Dongan tubu dan hula-hula serta boru tersebut diatas mempunyai kedudukan dan tugas serta tanggung jawab masing-masing dalam pelaksanakan suatu perkawinan. Misalnya dalam hal pemberian jujur (sinamot/mas kawin) disiapkan dan ditanggung sepenuhnya oleh pihak laki-laki penyerahannya dilakukan oleh yang semarga dengan laki-laki dongan tubu, sedangkan yang menerimanya adalah orangtua perempuan sebagai pihak hula-hura dan kelengkapan untuk proses pelaksanaanya dikerjakan oleh pihak boru. Secara garis besarnya tahapan perkawinan adat Batak Toba yang masih tetap dilaksanakan sampai saat ini, antara lain: l. Martandang Pada tahap ini merupakan masa berkenalan / berpacaran biasanya pada saat pesta naposo yang merupakan ciri khas bergaur muda-mudi adat Batak Toba. Kemudian diranjutkan memberian janji dengan tanda jadi berupa tukar cincin, dengan demikian mereka resmi bertunangan. 2. Marhata sinamot Laki-laki dan perempuan memberitahukan hubungannya kepada orangtua masing-masing. Barulah dilakukan marhusip merupakan kegiatan penjajakan akan kelanjutan kegiatan tukar cincin di atas. Pada tahap ini pertemuan keluarga dekat kedua pihak terjadi tawar menawar tentang; tangggal dan hari meminang, bentuk dan berapa besar mahar (sinamot), hewan adatnya apa, berapa ulos sampai mengenai jumlah undangan. Untuk menindak lanjuti hasil pertemuan marhusip di atas kemudian dilakukan lagi pertemuan marhata sinamot sebagai wujud nyata dan kepastian tentang kapan pelaksanaan perkawinan adat itu.
50
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
34
3. Upacara perkawinan Upacara perkawinan adat Batak Toba dilakukan penuh hikmat karena disertai dengan acara agama yang saling melengkapi. Keterlibatan gereja yang paling mutlak dalam perkawinan adat ini adalah saat martumpol / marpadan (akad) dan saat pamasu masuon (peresmian).51 Upacara perkawinan adat Batak Toba dapat dilakukan dalam bentuk: 1. Upacara perkawinan adat nagok, yaitu pelaksanaannya sesuai dengan prosedur adat yang melibatkan unsur dalihan na tolu yang terdiri dari upacara perkawinan dialap jual dan perkawinan di taruhon jual; 2. Upacara perkawinan bukan adat nagok, yaitu perlaksanaan perkawinan adat tetapi pelaksanaannya tidak penuh sebagaimana adat yang berlaku. Artinya ada acara tahapan tertentu yang dihilangkan dengan maksud menghindarkan biaya yang besar. Namun perkawinan ini dilakukan tetap dengan pembayaran uang jujur (sinamot/mas kawin) jadi tetap sah dalam perkawinan adat Batak.52
B. Perceraian Dikalangan Masyarakat Batak Toba Beragama Kristen Batak Toba merupakan salah satu suku berbudaya dan sebagian besar orangorang Batak Toba adalah beragama Kristen baik Protestan maupun Katolik. Budaya Batak Toba lahir dari pikiran nenek moyang suku Batak Toba yang salah satunya dari budaya tercipta tersebut adalah mengenai adat istiadat atau tata cara perkawinan dan perceraian. Perkawinan dikalangan Batak Toba yang masyarakatnya beragama Kristen dilakukan berdasarkan suatu janji dihadapan Tuhan agar setia menjadi suami istri sampai maut memisahkannya. Sedangkan adat perkawinan di dalam Batak Toba berperan sangat banyak dalam mengikat tali perkawinan, hal ini dapat dilihat bahwa
51
Herman Biily Situmorang, Ruhut-Ruhut Ni Adat Batak, Penerbit BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1983, ha1.175. 52 Ibid., ha1.176.
Universitas Sumatera Utara
35
suku Batak Toba diakui paling setia pada perkawinan yang walaupun ada suami isttri yang telah diikat dalam perkawinan dan adat perkawinan tetapi salah satu pihak tidak setia yang pada akhirnya “bercerai”. Bila dilihat dari pandangan Alkitab mengenai perceraian adalah penting untuk mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a : “Sebab aku membenci perceraian, firman Tuhan, Allah Israel”. Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komitmen seumur hidup. “Demikian mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).53 Meskipun demikian, Allah menyadari bahwa karena pernikahan melibatkan dua manusia yang berdosa, perceraian akan terjadi. Dalam Perjanjian Lama, Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-hak dari orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana Tuhan (Matius 19:8).54 Sebagai akibat dari pengaruh agama terkait perceraian, pemutusan perkawinan menurut hukum adat hampir selalu terjadi dengan campur-tangan aturan-aturan keagamaan. Pengertian perceraian menurut agama Kristen merupakan putusnya hubungan pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah hidup bersama sebagai suami isteri. Istilah perceraian ada dua pengertian yang digunakan dalam dua keadaan yang berbeda, yaitu: 53
http://www.gotquestions.org/:Apa itu perceraian & Apa kata Alkitab tentang Perceraian, This entry was posted on September 1, 2009, 5:11 am 54 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
36
Pertama, adalah perceraian dengan istilah a mensa et thoro (dari meja dan tempat tidur), lebih tepat lagi didefinisikan sebagai “pemisahan”. Dalam masalah ini pasangan suami isteri tersebut hidup terpisah dan berhenti untuk tinggal bersama sebagai suami isteri, tetapi masih terikat dengan perkawinan dan tidak ada kebebasan untuk menikah lagi dengan orang lain ketika pasangannya masih hidup. Keadaan seperti ini diakui oleh hukum dan diijinkan oleh tradisi Kristen di dalam pernikahan. Kedua, Pengertian perceraian adalah dengan istilah a Vinculo yang berarti putusnya hubungan dari ikatan perkawinan (secara hukum/resmi). Mereka sudah tidak terikat satu dengan lainnya dan keduanya bebas menikah lagi dengan orang lain. Perceraian dalam pengertian seperti inilah yang banyak ditentang oleh gereja.55 Menurut Agama Katolik tidak mengenal putusnya perkawinan, melainkan mengenal perpisahan. Perpisahan dalam agama Katolik ada dua macam, yaitu: a. Perpisahan dengan tetap adanya ikatan perkawinan, suami isteri mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama perkawinan, kecuali jika ada alasan sah yang memuaskan mereka. Sangat dianjurkan agar suami isteri, demi cinta kasih Kristiani serta keprihatinan atas kesejahteraan keluarga, tidak menolak pengampunan bagi pihak yang berzinah, dan tidak memutuskan kehidupan perkawinan. Kendati pun demikian jika ia belum mengampuni kesalahannya secara tegas atau diam-diam, maka ia berhak untuk memutuskan hidup bersama perkawinan, kecuali kalau ia menyetujui perzinahan itu, atau ia sendiri juga berzinah. b. Perpisahan dengan diputuskan ikatan perkawinannya. Perkawinan yang tidak disempurnakan dengan persetubuhan antara orangorang yang telah dibaptis, atau antara pihak dibaptis dengan pihak tak dibaptis, dapat diputuskan oleh Sri Paus atas alasan yang wajar, atas permintaan kedua-duanya atau salah seorang dari antara mereka, meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya.56 Putusnya perkawinan dengan alasan perceraian bagi pasangan suami isteri yang beragama Kristen Katolik tidak diperbolehkan, karena dalam perkawinan Kristen Katolik terdapat asas monogami dan tak terceraikan sesuai dengan Kitab 55
Ibid. Piet Go O.Carm, Hukum Perkawinan Gereja Katolik Teks Dan Kometar, Penerbit Dioma, Malang, 1990, hal. 152. 56
Universitas Sumatera Utara
37
Suci, yakni: “Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat diceraikan oleh manusia”.57 Menurut ajaran Paus Yohanes Paulus II dalam “Seruan Apostolik Familiaris Consortio” sub bab Rencana Allah tentang perkawinan dan keluarga adalah sebagai berikut: “Perkawinan antara dua orang terbaptis merupakan simbol nyata dari Perjanjian Baru dan kekal antara Kristus dan Gereja, merupakan sakramen, peristiwa keselamatan. Cinta mereka berciri menyatukan jiwa badan tak terceraikan, setia, terbuka bagi keturunannya”.58 Menurut ajaran Kristen Katolik, perceraian memang dilarang secara mutlak. Oleh karena itu, bagi suami isteri yang sedang mengalami kegoncangan rumah tangga, dapat ditempuh cara pisah meja dan tempat tidur. Upaya tersebut dimaksudkan agar kedua belah pihak lambat laun akan tumbuh rasa rindu dan menyadari kekeliruannya dan pada akhirnya keutuhan perkawinan kembali lagi. Peraturan Gereja Katolik secara mutlak melarang terjadinya perceraian, apabila kedua belah pihak masih hidup dan karena ada perzinahan. Menurut ajaran Rasul Paulus, dikatakan: “Seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya masih hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikat kepada suaminya itu. Jadi selama suaminya itu masih hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya
57
Purwo Hadiwardoyo, Perkawinan Menurut Islam Dan Katolik, Implikasinya Dalam Kawin Campur, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1990, hal. 38. 58 Purwa Hadiwardoyo, Perkawinan Dalam Tradisi Katolik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1988, hal. 125.
Universitas Sumatera Utara
38
telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain”.59 Menurut pandangan agama Kristen Protestan tentang perkawinan, dikatakan: “Allah telah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan. Karena itu Dialah yang menghendaki, menetapkan, memberkati dan memelihara pernikahan itu. Yang menarik ialah bahwa laki-laki dan perempuan telah diciptakan dari satu daging. Ini berarti laki-laki maupun perempuan hanyalah belahan saja, dan melalui pernikahan, kedua belahan itu menjadi satu kasatuan yang utuh, sama dan sederajat. Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu daging. Karena itu apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia”.60 Perkawinan tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusiawi manapun juga dan atas alasan apapun selain oleh kematian. Dengan adanya kematian salah satu pihak yang kawin itu, menjadi putus ikatan perkawinannya, namun hubungan sebagai akibat perkawinan di antara keluarga para pihak yang bersangkutan tidak putus. Bagi suami isteri yang masih hidup yang telah menjadi duda atau janda boleh kawin lagi, persyaratan yang ditentukan oleh ketentuan yang tidak disempurnakan dengan persetubuhan antara orang yang telah dibaptis, atau antara pihak dibaptis dengan pihak tak dibaptis diputuskan oleh Sri Paus atas alasan yang wajar, atas permintaan kedua-duanya atau salah seorang dari antara mereka, meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya. Oleh karena itu, timbul beberapa pendapat orang-orang Kristen tentang perceraian. Adapun berbagai sikap mengenai perceraian adalah sebagai berikut: a. Ada yang menolak alasan apapun. b. Ada yang membenarkan perceraian berikut hak untuk kawin lagi bagi pihak yang tidak bersalah dalam hal perbuatan zinah. c. Ada yang menyetujui beberapa alasan untuk bercerai dan kawin lagi.61 Hasil wawancara dengan Pdt. Balosan Rajagukguk, STh, MS mengatakan bahwa: Dalam perkawinan orang Batak Toba memang banyak waktunya terpakai untuk acara adatnya sementara dalam pemberkatan nikah hanya 2 jam di dalam gereja. Di dalam kebaktian pemberkatan nikah tersebut sudah dilakukan bernyanyi, 59
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Jakarta, 1982, hal. 197. Weinata Sairin dan JM. Fattiasina, Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Dalam Perspektif Kristen, Penerbit BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994, hal. 15. 61 Team Pembinaan Persiapan Keluarga, Membangun Keluarga Kristiani, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1981, hal. 74. 60
Universitas Sumatera Utara
39
berdoa, memuji Tuhan dan memohon perkawinan agar diberkati dan yang paling utama adalah mempelai berjanji dihadapan Tuhan. Dengan demikian tata cara perkawinan pada suku Batak Toba paling ruwet dalam pelaksanaan perkawinan misalnya di suku Batak Toba yang beragama Kristen Protestan dan melakukan ibadah di HKBP harus sudah malua, martuppol baru pemberkatan.62 Terjadinya perceraian dikalangan suku Batak Toba khususnya yang menganut agama Kristen disebabkan Gereja-Gereja dan Lembaga Adat Batak Toba tak mampu mengendalikan kasus-kasus perceraian di tengah kehidupan warganya. Indikasi ini nampak dari meningkatnya kasus perceraian di kantong-kantong komunitas umat Kristen dan masyarakat Batak Toba. Peranan Gereja dan Lembaga Adat Batak Toba semakin lemah mencegah dan mengatasi kasus perseraian karena warganya cenderung mengabaikan nilai-nilai agama dan adat dalam kehidupan keluarga. Menurut Pdt. Asbon Salomon Manurung, STh bahwa ikatan perkawinan di kalangan umat Kristen dan masyarakat Batak Toba belakangan ini semakin rapuh karena kalangan generasi mudanya tidak lagi menghargai adat dan agama dalam kehidupan keluarga mereka.63 Keluarga baru yang terbentuk di kalangan kaum muda kurang menghargai nilai-nilai sakral perkawinan karena pemahaman terhadap makna adat dan agama semakin merosot.
62
Hasil wawancara dengan Balosan Rajagukguk, selaku Pendeta HKBP Resort P. Siantar pada tanggal 28 April 2011. 63 Hasil wawancara dengan Asbon Salomon Manurung, Pendeta di Gereja Bethel Injil Penuh Pematang Siantar, di Pematang Siantar pada tanggal 27 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
40
Pdt. Asbon Manurung, STh menjelaskan, salah satu fakta kerapuhan keluarga di kalangan komunitas umat Kristen dan masyarakat Batak Toba ini nampak dari tingginya angka perceraian. Kasus perceraian di Tapanuli Utara saat ini mencapai 20 persen. Kemudian kasus perceraian di Kota Pematang Siantar mencapai 25 persen. Tingginya kasus perceraian di kantong-kantong umat Kristen dan masyarakat adat ini, katanya, karena adat tidak digunakan lagi sebagai salah satu pondasi memperkokoh ikatan perkawinan.64 Agama juga hanya dianggap sebagai formalitas hidup, sehingga kehidupan gerejawi di tengah keluarga ditinggalkan. Keadaan ini sudah mengarah ke gaya hidup masyarakat Eropa yang memiliki angka perceraian hingga 75 persen. Dari hasil wawancara dengan Pdt. Balosan Rajagukguk, STh, MS dapat diketahui bahwa: “Sekitar 30 persen pendeta tidak memahami adat Batak Toba. Hal ini membuat kegiatan pelayanan gereja semakin mengabaikan adat. Akibatnya, umatnya juga kurang menghargai adat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam perkawinan,”65 sehingga ini dapat menjadi salah satu akibat akan terjadinya perceraian dikalangan para umat kristiani. Pendeta seharusnya seorang gembala yang membawa umatnya kearah yang lebih baik di dalam menjalani kehidupannya khususnya dalam menjalani kehidupan rumah tangga antara suami dan istri.
64
Hasil wawancara dengan Asbon Salomon Manurung, Pendeta di Gereja Bethel Injil Penuh Pematang Siantar, di Pematang Siantar pada tanggal 27 April 2011. 65 Hasil wawancara dengan Asbon Salomon Manurung, Pendeta di Gereja Bethel Injil Penuh Pematang Siantar, di Pematang Siantar pada tanggal 27 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
41
C. Perceraian Dikalangan Masyarakat Batak Toba Kristen Menurut Hukum Adat Batak Toba Menurut Jaoloan Silalahi selaku Kepala Desa Samosir Tolping mengatakan, masyarakat Batak Toba cenderung meninggalkan adat-istiadat, termasuk adat perkawinan karena pelaksanaan adat tersebut terlalu bertele-tele. Rangkaian adat yang membosankan ini perlu dipersingkat agar tidak semakin ditinggalkan. Menurut beliau bahwa adat-istiadat perkawinan Batak sangat mendukung gereja dalam membangun keutuhan dan keharmonisan keluarga. Karena itu, tokoh-tokoh adat perlu membuat rangkaian pelaksanaan adat yang ringkas tanpa mengurangi nilai sakralnya.66 Sikap umumnya orang Batak Toba, terutama yang melakukan perkawinan secara adat Batak Toba, dapat dikatakan tak cukup jelas hingga kemudian mengecewakan mereka yang mengalami problema rumah tangga. Dimana mereka merasa ditinggalkan di dalam permasalahan rumah tangga, sementara ketika mereka menikah, hak-hak kerabat (termasuk marga) sudah diberikan, sehingga di dalam pemikiran menilai bahwa adat Batak Toba tak bertanggungjawab karena tidak ada penyelesaian rumah tangga yang sedang dialami. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Amang Jobar Siallagan dapat diketahui bahwa: Orang Batak Toba yang beragama Kristen tidak boleh cerai selama hidup itu adalah perbuatan dosa, tentu bukan jawaban melainkan pengulangan doktrin gereja yang sudah jamak
66
Hasil wawancara dengan Jaoloan Silalahi, selaku kepala Desa Samosir Tolping, di Samosir pada tanggal 30 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
42
diketahui jemaat. Saya beri pendapat berdasarkan yang pernah saya dengar dari kerabat dan tetua adat di Siallagan Tolping yang terdahulu, bahwa sebetulnya hukum adat Batak mengenal perceraian dan ada mekanisme atau cara pelaksanaannya, walau tidak secara tegas disebut “pasiranghon”. (Dari asal kata sirang, yang berarti cerai, putus). Hukum adat Batak lebih mengenal istilah “paulakhon”, “dipaulak”, yang artinya mengembalikan atau dikembalikan. Lazimnya, yang “dipaulak” itu istri (nioli, tunggane boru) dan tak jamak paulak suami (tunggane doli), meski kelakuannya begitu memalukan, berbahaya, atau ternyata kemudian punya kelemahan mendasar, misalnya, menderita impotensi.67 Mekanisme atau cara “paulakhon” itu, si suami menjelaskan kepada orangtuanya atas problema rumahtangganya atau bisa juga kepada kerabat terdekat ayahnya, dan kemudian dibicarakan dengan “dongan sabutuha” (marga). Tentu orangtua atau kerabatnya tak langsung mengiyakan karena bagaimanapun perceraian tetap dianggap kegagalan dan aib, karenanya akan mengusut pemicu persoalan dan berusaha mendamaikan. Bila tak bisa lagi diperbaiki, diutuslah beberapa kerabat untuk menyampaikan kepada kerabat dekat si perempuan (istri).68 Kemungkinan di daerah lain, di wilayah Samosir, bila terjadi kasus paulakhon, maka “sinamot” yang sudah diserahkan kepada orangtua perempuan tidak diminta lagi, karena perkawinan memang bukan perjanjian, melainkan kesepakatan.
67
Hasil wawancara dengan Jobar Siallangan, selaku Petua Adat Tolping di Siallagan Tolping pada tanggal 30 April 2011 68 Hasil wawancara dengan Jobar Siallangan, selaku Petua Adat Tolping di Siallagan Tolping pada tanggal 30 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
43
Lain halnya bila “pajolo sinamot” (tanda pengikatan) sudah diserahkan namun perkawinan kemudian dibatalkan pihak perempuan, maka wajar bila pihak lelaki minta dikembalikan.69 Perceraian merupakan berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk dipisahkan. Selama perceraian, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh selama pernikahan (seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak), dan bagaimana mereka menerima biaya dan kewajiban merawat anak-anak mereka. Banyak negara yang memiliki hukum dan aturan tentang perceraian, dan pasangan itu dapat diminta maju ke pengadilan. Dengan demikian, konflik rumah tangga di kalangan orang Batak Toba bukan tak mustahil akan semakin merebak akibat pergeseran nilai, perubahan zaman, juga akibat kian premitifnya orang-orang sekarang menyikapi perceraian. Gereja, wajar bila tetap mempertahankan sikap konservatifnya dengan bersikukuh menolak perceraian. Sebagai lembaga yang mengurus hubungan Sang Pencipta dengan manusia yang memercayainya, ia harus bertahan dengan doktrin dan dogmanya. Tetapi sebaiknyalah lebih realistis dan berjiwa besar melihat permasalahan manusia. Ada berbagai alasan yang membuat orang-orang harus bercerai dan manusia tidak berhak mengadili. Meski dilematis, tak bijaksana bila manusia tak mau tahu
69
Hasil wawancara dengan Jobar Siallangan, selaku Petua Adat Tolping di Siallagan Tolping pada tanggal 30 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
44
padahal sudah diminta. Sikap demikian bisa dianggap “lari dari tanggungjawab” karena membiarkan status mereka terkatung-katung secara hukum adat.70 Sebagaimana Saxton menyebutkan beberapa bentuk ketegangan-ketegangan dalam interaksi suami isteri yang mengarah pada perceraian: (1) Frustrasi Frustrasi didefinisikan sebagai bentuk emosi yang dialami saat keinginan dihalangi atau perasaan puas yang terpasung. Frustrasi dalam hidup berpasangan terutama dialami oleh pihak yang paling tertekan karena situasi tersebut. Contoh yang diberikan Saxton adalah kasus dimana suami menginginkan hubungan seks sedangkan isteri menolak. Sebenarnya si isteri tidak menginginkan seks didasari oleh kelelahan fisik atau preferensi kegiatan lain, menonton televisi misalnya. Namun sang suami malah menanggapinya sebagai penolakan terhadap kebutuhan biologisnya. Jika suami tidak mengubah persepsinya mengenai alasan isteri menolak berhubungan seks, suami kemungkinan besar akan mengalami frustrasi dan kesalahan menanggapi maksud isterinya. Tak jarang penolakan berhubungan seks disalahartikan sebagai ‘tidak cinta lagi’. Saxton melihat hal ini sebagai lubang-lubang kecil menuju perceraian. (2) Penolakan dan Pengkhianatan Sering ditemui pada keluarga muda yang beranjak pada tahun-tahun berat pernikahan. Romantisme masa-masa berpacaran pelan-pelan tergantikan oleh kesibukan dan konsentrasi pada urusan mencari nafkah keluarga dan anak. Tidak heran ada perasaan tersisihkan dan dilupakan oleh pasangannya. Orang yang merasa dirinya ditolak oleh pasangannya biasanya melancarkan balasan, bisa berupa sikap maupun kata-kata. Demikian pula halnya pada perasaan dikhianati pasangannya. Kekosongan dan berkurangnya komunikasi memicu pertengkaran suami dan isteri. Tak jarang ada yang memutuskan meninggalkan pasangannya (minggat) sebagai bentuk serangan atas ketersisihan yang dirasakannya. (3) Berkurangnya Kepercayaan Saat seseorang dalam hidup berpasangan kepercayaannya berkurang terhadap pasangannya umumnya merambat pada kebinasaan hubungan. Hal ini cukup beralasan sebab kepercayaan menyangkut kesadaran membina keharmonisan dengan pasangan dalam bentuk peningkatan keintiman satu sama lain. Menurunnya kepercayaan (lowered self 70
Hasil wawancara dengan Jobar Siallangan, selaku Petua Adat Tolping di Siallagan Tolping pada tanggal 30 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
45
esteem) dapat ditanggulangi dengan komunikasi yang jujur dan terbuka antara kedua belah pihak. (4) Displacement Saxton menemukan kasus bahwa respondennya pernah bertengkar dengan pasangannya dan tidak bertegur sapa selama dua hari tanpa alasan yang jelas. Saxton menyebutnya sebagai displacement, diperkirakan lahir dari perasaan yang terpendam sejak lama yang mendadak meledak sebagai klimaks. Menurutnya, masalah yang menjadi alasan pertengkaran cenderung sepele bahkan ada yang melenceng dari persoalan semula. (5) Psychological Games Psychological games didefinisikan sebagai interaksi dimana seseorang menyerang orang lain dalam perdebatan demi sebuah kemenangan terselubung. Perasaan menang itu didapat saat pasangannya mengaku tunduk atas argumen yang dikeluarkannya. Dalam membuat keputusan pola psychological games ini sangat berbahaya, sebab keputusan yang diambil cenderung tidak melihat pada masalah yang sedang diala mi, melainkan sejauh mana lawan berdebat baru mengaku kalah.71 Dengan demikian pada akhirnya pasangan yang sudah kuat alasan melakukan perceraian akan meneruskan di pengadilan; akan putus pula hububungan adat serta perkerabatan dengan keluarga, kerabat, serta marga eks suami. Hanya anaknyalah (bila ada) yang tetap terikat dengan mantan suami, mengikuti sistem patrinial masyarakat Batak.
D. Perceraian Masyarakat Batak Toba Yang Beragama Kristen Menurut UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Putusnya perkawinan dengan alasan perceraian bagi pasangan suami istri yang beragama Kristen khususnya suka Batak Toba tidak diperbolehkan, karena dalam perkawinan Kristen hanya mengenal asas monogami dan tidak boleh dilakukan perceraian sesuai dengan isi Kitab Suci yang mengatakan, bahwa “Apa yang telah 71
L. Saxton, The Individual, Marriage & The Family, Wadsworth, California, 1990.
Universitas Sumatera Utara
46
dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia”.72 Menurut ajaran Kristen, perceraian memang dilarang secara mutlak, oleh karena itu bagi suami istri suku Batak Toba yang sedang mengalami kegoncangan rumah tangga dapat ditempuh dengan cara pisah meja dan tempat tidur. Upaya tersebut dimaksudkan agar kedua belah pihak lambat laun akan tumbuh rasa rindu dan menyadari segala kekeliruannya dan pada akhirnya keutuhan rumah tangga kembali lagi. Perkawinan bukanlah hanya soal keabsahan hukum, tetapi merupakan suatu persekutuan badaniah dan rohaniah yang diberkati oleh Tuhan, untuk tujuan yang mulia dihadapan-Nya dan oleh sebab itu tidak boleh dipisahkan oleh tangan manusia termasuk suami dan istri tersebut. Menurut Djoko Prakoso bahwa di dalam agama Kristen Katolik, adalah tidak memberi kemungkinan terhadap perceraian perkawinan, namun di berbagai negara juga di Indonesia, pada umumnya mengenai perkawinan antara orang-orang Kristen menganut suatu prinsip (Pasal 26 BW dan Pasal 1 Stb. 1933 – 74), bahwa suatu perkawinan oleh undang-undang dipandang hanya merupakan suatu perhubungan perdata semata-mata antara suami dan istri, dalam arti adalah terlepas daripada peraturan agama yang dianut suami dan istri.73 Dengan demikian, bahwa peraturan dari BW dan Stb. 1933-74 yang memungkinkan perceraian suatu perkawinan (echtscheuding) juga berlaku terhadap orang-orang yang beragama Kristen Katolik. Perceraian perkawinan adalah hanya dapat ditetapkan oleh pengadilan negeri dengan alasan-alasan, yaitu: 72
Hasil wawancara dengan Asbon Salomon Manurung, Pendeta di Gereja Bethel Injil Penuh Pematang Siantar, di Pematang Siantar pada tanggal 27 April 2011. 73 Djoko Prakoso dan I Ketut Mrtika, Op. Cit, hal. 175.
Universitas Sumatera Utara
47
a. Berzinah oleh suami istri atau istri dengan orang ketiga b. Hal salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dengan sengaja; c. Hal salah satu pihak, selama perkawinan berlangsung, mendapat hukuman perihal suatu kejahatan d. Penganiayaan berat oleh suami atau istri, dilakukan terhadap pihak yang lain, atau suatu penganiayaan sedemikian rupa, sehingga dikhawatirkan bahwa pihak yang dianiaya itu akan meninggal dunia atau suatu penganiayaan yang mengakibatkan luka-luka yang berat pada badan pihak yang dianiaya. e. Cacat badan atau penyakit yang timbul setelah pernikahan dilakukan sedemikian rupa sehingga suami atau istri yang menderita itu, tidak dapat melakukan hal sesuatu yang layak dalam suatu perkawinan. f. Percekcokan di antara suami istri yang tidak memungkinkan dapat diperbaiki lagi.74 Semua orang yang telah terikat suatu lembaga perkawinan, pada umumnya berkehendak bahwa perkawinan tersebut hanya dipisahkan oleh kematian. Namun dalam kenyataannya, terkadang suami isteri dalam sebuah rumah tangga yang kurang memahami makna dan tujuan perkawinan, dalam mengarungi bahtera rumah tangga mengalami sesuatu yang tidak diinginkan. Suatu pertengkaran yang terus menerus, yang penyebabnya mungkin karena faktor
sosial
ekonomi, seksual, lingkungan
dan
seterusnya maka sangat
dimungkinkan untuk terjadinya perceraian. Secara difinitif, UU Perkawinan tidak secara khusus menjelaskan arti perceraian. Namun jika mencermati Pasal 38 yang berbunyi; Perkawinan dapat putus karena: 1. Kematian; Putusnya perkawinan karena kematian suami atau istri, disebut juga oleh masyarakat dengan “cerai mati”. 2. Perceraian; Putusnya perkawinan karena perceraian, disebut oleh masyarakat dengan istilah “cerai hidup”. 74
Stb. 1933-74 diatur pada Pasal 52.
Universitas Sumatera Utara
48
3. Putusan Pengadilan.75 Serta dalam Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan, bahwa : 1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri, tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. 3. Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.76 Maka perceraian diperbolehkan, walaupun pada asasnya Undang-undang ini mempersulit adanya perceraian. Menurut UU Perkawinan adalah sangat sukar untuk melakukan perceraian karena undang-undang ini menganut prinsip mempersulit perceraian. Prinsip ini merupakan upaya untuk mengurangi dan menekan angka perceraian serta agar perceraian tidak dijadikan alternatif terakhir oleh suami isteri apabila terjadi pertengkaran dalam rumah tangga. Dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974, yang diulang kembali sama bunyinya dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975, sebagai berikut bahwa pelaksanaan perceraian hanya mungkin dengan salah satu alasan, yaitu: 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Pengertian zinah pada alasan perceraian ini, adalah zinah menurut konsep agama. Pengertian pemabok, pemadat, dan penjudi ditafsirkan oleh hakim;
75 76
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
49
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-uturt tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya. Waktu 2 (dua) tahun berturut-turut pada alasan perceraian ini, adalah untuk menciptakan kepastian hukum. Kata “berturut-turut” berarti kepergian salah satu pihak tersebut harus penuh 2 (dua) tahun lamanya dan selama waktu itu yang bersangkutan tidak pernah kembali. Rasio dari ketentuan ini, adalah untuk melindungi kepentingan pihak yang ditinggalkan. Maksud “hal lain diluar kemampuannya” pada alasan perceraian ini, maka hakim yang menentukannya; 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. “Hukuman lima tahun atau hukuman yang lebih berat” maksudnya, adalah hukuman yang sudah mempunyai kekuatan tetap setelah perkawinan berlangsung. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun haruslah dijatuhkan oleh Hakim Pidana setelah perkawinan dilangsungkan. Penentuan lima tahun dianggap cukup menentukan apakah perkawinan para pihak hendak diteruskan atau diakhiri. 4. Salah satu pihak mela kukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain. Kekejaman atau penganiayaan yang dikaitkan membahayakan terhadap pihak lain bukan saja jasmani namun juga jiwa para pihak. Sebaiknya ada visum dari dokter atau keterangan saksi ahli hukum kejiwaan untuk mengetahui bagaimana perasaan dalam diri pihak yang melakukan kekejaman atau penganiayaan dan pihak lain yang diperlukan dengan kejam dan dianiaya. Selain itu juga perlu keterangan dari orang yang melihat dan atau mendengar secara langsung kekejaman dan penganiayaan tersebut dilakukan. UU Perkawinan tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kekejaman atau penganiayaan berat itu sendiri, sehingga hakimlah yang harus menafsirkan; 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri. Tujuan dari alasan perceraian ini, adalah untuk menjaga dan melindungi jangan sampai segala kepentingan dari salah satu pihak dikorbankan karena suatu sebab yang menimpa pihak lain.77 Menurut Lili Rasjidi, ciri utama dari cacat badan atau penyakit berat ini adalah harus yang menyebabkan si penderita tidak lagi dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. Apabila dalam rumah tangga salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan perceraian. Gugatan perceraian diajukan kepada 77
PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
50
Pengadilan.78 UU Perkawinan tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan cacat badan atau penyakit. Dalam hal ini hakimlah yang menentukan secara pasti terhadap semua keadaan yang dapat dijadikan alasan untuk bercerai, sebagaimana yang dimaksud alasan perceraian tersebut; 6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Perselisihan dan pertengkaran antara suami istri yang mengakibatkan suami dan istri tersebut tidak dapat diharapkan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga. Hal ini merupakan persoalan yang relatif sifatnya karena hakimlah yang menilai dan menetapkan dengan sebaik-baiknya berdasarkan bukti-bukti yang ada. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tujuan perkawinan tersebut tidak dapat dicapai oleh suami istri maka sudah sewajarnya para pihak memutuskan jalan untuk bercerai berdasarkan alasan-alasan perceraian seperti tersebut di atas.79 Dengan demikian putusnya perkawinan karena perceraian bukanlah suatu hal yang mutlak terjadi karena dapat diatasi agar tidak terjadi perceraian. Penjelasan umum dari UU Perkawinan menyebutkan bahwa: “Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, …”80 Berdasarkan penjelasan umum dinyatakan prinsip undang-undang sejauh mungkin menghindarkan terjadinya perceraian. Perceraian yang di maksud dalam UU Perkawinan dan pengaturan yang ditentukan dalam undang-undang menganggap perceraian hanyalah merupakan pengecualian dari prinsip kekal abadinya
78
Saleh KW, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.
56. 79
Ibid., hal. 57. Lihat Penjelasan Umum Angka 4 huruf e Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 80
Universitas Sumatera Utara
51
perkawinan. Artinya dalam suatu perkawinan maka suami isteri pada hakikatnya diharapkan dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sehingga perceraian sejauh mungkin dapat dihindarkan. Perceraian hanya dapat terjadi apabila sebelumnya telah ada hubungan suamiisteri (hubungan perkawinan) sebagaimana yang dimaksudkan oleh UU Perkawinan. Untuk memberikan pengertian yang lebih bulat lagi, perlu pula dikemukakan pengertian Perkawinan menurut Pasal 1 UU Perkawinan, sebagai bahan perbandingan, yakni: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”81 Dengan melihat perumusan pasal tersebut, akan bertambah lagi pemahaman mengenai perceraian, yang memiliki makna yang saling bertentangan, yaitu perceraian merupakan suatu pengecualian terhadap prinsip perkawinan yang kekal yang diakui oleh semua agama. Dari uraian di atas, dapat diidentifikasikan beberapa hal mengenai perceraian, yakni : a. Perceraian adalah salah satu peristiwa yang menyebabkan putusnya perkawinan; b. Perceraian memiliki akibat-akibat hukum tertentu bagi masing-masing pihak; c. Perceraian merupakan pengecualian terhadap prinsip perkawinan yang kekal yang diakui oleh semua agama. Menurut Pasal 207 KUH Perdata bahwa perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan 81
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
52
itu berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam undang-undang. Sementara pengertian perceraian tidak dijumpai sama sekali dalam UU Perkawinan begitu pula di dalam penjelasan serta peraturan pelaksananya. Menurut Augustine disebutkan beberapa alasan pasangan memutuskan untuk mengakhiri perkawinannya: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Prinsip dasar yang bertentangan dengan pasangan Ketidakpuasan terhadap kehidupan pernikahan Pasangan meninggalkan keluarga Perzinahan Perlakuan kejam (kekerasan dalam rumah tangga) Pasangan dipenjara Pasangan ingin menikah lagi (bigami/poligami) Penghinaan pasangan Lain-lain atau tanpa alasan (jenis perceraian tanpa alasan disebut juga dengan istilah no-fault divorce)82
Dilihat dalam UU Perkawinan, putusnya perkawinan karena perceraian akan berdampak luas kepada anak, bekas suami / istri dan harta bersama. Akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian di atur dalam Pasal 41 UU Perkawinan, yaitu: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
82
Augustine K, 2004a, Divorce Decision: Things To Consider When Making A Decision About Divorce, [terhubung berkala]. http://www.deciding-ondivorce. com/divorcedecision.htm [22 Juli 2005].
Universitas Sumatera Utara
53
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.83 Dari ketentuan Pasal 41 tersebut UU Perkawinan memberikan perlindungan terhadap anak dimana kedua orang tua harus bertanggung jawab dalam hal pemeliharaan anak bahkan ibu juga berkewajiban untuk menanggung biaya pemeliharaan anak apabila bapak tidak mampu. Dalam putusan perceraian tersebut di atas bahwa mengenai siapa pemeliharaan anak tidak dimuat dalam putusan tersebut, karena penggugat dalam hal ini tidak mencantumkan dalam petitumnya. Hakim yang memeriksa perkara tidak berwenang mengabulkan di luar yang diminta oleh penggugat. Terhadap harta bersama, Pasal 37 UU Perkawinan menyebutkan bahwa bila terjadi perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Bunyi Pasal 37 bahwa penyelesaian harta bersama dari akibat perceraian diserahkan kepada para pihak bercerai tentang hukum mana dan hukum apa yang akan berlaku dan jika tidak ada kesepakatan antara para pihak, hakim dapat mempertimbangkan berdasarkan rasa keadilan yang wajar.84 Bila dilihat dalam KUH Perdata bahwa mengenai pemberhentian perkawinan diatur dalam Pasal 199 KUH Perdata yang dimana dikatakan bahwa perkawinan dihentikan: ke 1 Oleh karena salah satu pihak meninggal dunia
83 84
Lihat Pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lihat Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974.
Universitas Sumatera Utara
54
ke 2 Oleh karena salah satu pihak bepergian selama 10 tahun, diikuti dengan perkawinan yang dilakukan oleh pihak yang ditinggalkan, dengan seorang ketiga ke 3 Dengan didaftarkannya dalam Daftar Pencatatan Jiwa suatu putusan Hakim yang mengucapkan penghentian perkawinan setelah ada perceraian “van tafel en bed” (dari meja dan tempat tidur) ke 4 Dengan perceraian perkawinan (echtscheiding)85 Selanjutnya dalam Pasal 208 KUH Perdata menentukan bahwa hanya ada 4 macam alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian perkawinan: 1. Berzina dengan orang ketiga 2. Pihak satu meninggalkan pihak yang lain 3. Penghukuman pidana dengan hukuman penjara selama 5 tahun atau lebih, dijatuhkan setelah pernikahan 4. Melukai secara berat atau penganiayaan oleh salah satu pihak yang lain sedemikian rupa sehingga dikhawatirkan akan wafatnya yang dianiaya, atau ada luka-luka yang membahayakan. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat diketahui bahwa perceraian mempunyai arti, bahwa diputuskannya perkawinan tersebut oleh hakim dikarenakan suatu sebab tertentu, yang mana dalam hal ini adalah peraturan perundang-undangan. Atau juga perceraian berarti pengakhiran suatu pernikahan karena suatu sebab tertentu dengan keputusan hakim. Perceraian juga berarti, adalah salah satu cara pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu, melalui keputusan hakim yang didaftarkan pada Catatan Sipil. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengertian perceraian, adalah putusnya suatu perkawinan yang sah karena suatu sebab tertentu oleh keputusan hakim, yang dilakukan di depan sidang Pengadilan berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh undang-undang serta didaftarkan pada Catatan Sipil. 85
Lihat Pasal 199 KUH Pedata.
Universitas Sumatera Utara
55
Dengan demikian perundang-undangan memberi peluang berlakunya hukum lain dalam hal perceraian Agama Kristen antara lain hukum agama, hukum adat, hukum perdata (BW), hukum adat yang berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa, golongan Eropa, golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropa serta golongan pribumi. Dalam suatu proses perceraian, alasan-alasan yang telah dipersiapkan belum cukup dinilai sebagai jaminan. Para pihak harus memenuhi persyaratan administrasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hal ini sesuai dengan Pasal 39 ayat (3) UU Perkawinan, yang berbunyi: Tata Cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam perundangan tersendiri. Peraturan perundangan yang dimaksudkan adalah PP Nomor 9 Tahun 1975. 86 Dalam hal perceraian maka suami-isteri yang akan bercerai juga harus memperhatikan ketentuan agama. Apakah ketentuan hukum agama yang dianut suami-isteri yang bersangkutan memungkinkan atau tidak bagi pasangan suami-isteri yang bersangkutan untuk bercerai. Kalau hukum agama suami-isteri yang bersangkutan melarang terjadinya perceraian, maka perceraian tersebut tidak dapat dilaksanakan meskipun undang-undang atau hukum negara memungkinkannya.87 Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo: “Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Tidak disinggung di sini hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan kalau diperhatikan rumusan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan yang berbunyi: Untuk melakukan 86
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, Undang-undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk Anggota ABRI Anggota POLRI Pegawai Kejaksaan Pegawai Negeri Sipil, Jakarta, Bumi Aksara, 1989, hal. 38-39. 87 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, Cet. Ke-2, Jakarta, Gitama Jaya, 2003, hal. 134.
Universitas Sumatera Utara
56
perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Maka seolah-olah untuk perceraian ini tidak perlu diperhatikan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”88 Terlepas dari interpretasi pasal tersebut, maka dalam implimentasi perceraian yang dilandasi dasar agama dan kepercayaannya itu, setidaknya akan menjadi pembanding bagi terlaksananya perceraian. Adanya proses perceraian yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan merupakan realisasi dari prinsip perkawinan yang dianut UU Perkawinan, yaitu prinsip untuk mencegah perceraian. Walaupun perceraian merupakan urusan pribadi, atau kehendak bersama, maupun kehendak salah satu pihak dan tidak memerlukan campur tangan pihak lain atau pihak pemerintah, namun demi menghindari tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami kepada isterinya serta demi adanya kepastian hukum, maka perceraian 90 harus dilakukan melalui saluran lembaga peradilan. Fungsi proses persidangan merupakan hal yang sangat penting, sebab dalam sidang kedua belah pihak mendapatkan beberapa pertimbangan dan alternatif dari hakim agar yang bersangkutan tidak meneruskan niatnya untuk bercerai. Selanjutnya dikatakan: “... akan tetapi andaikata dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan diharuskan untuk memperhatikan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, maka akan sulit bagi mereka yang beragama Kristen untuk bercerai.
88
Ibid., hal. 136. Soemijati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1982, hal. 128. 90
Universitas Sumatera Utara