BAB II PERCERAIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANGUNDANG PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974
A. Pengertian Perceraian 1. Perceraian dalam Hukum Islam Secara bahasa talak atau perceraian dalam hukum Islam menurut Zainuddin al-Malibari berasal dari kata hallul qaid yakni “melepaskan ikatan” sedangkan menurut syara’ adalah melepaskan ikatan nikah dengan lafadz yang akan disebut kemudian.1 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rofik dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam adalah Ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu putusnya perkawinan.2 Pada prinsipnya tujuan perkawinan sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam adalah untuk mewujudkan keluarga atau rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, oleh karenanya untuk menggapai tujuan tersebut dalam hukum perkawinan islam menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. 3 Sedangkan
talak
sebagaimana
yang
dikemukakan
oleh
Soemiyati adalah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan
Zainudin al-Malibari, Fathul Mu’in, Alih Bahasa, Moch Muhtar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2005, hal. 1346. 2 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 276. 3 Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2011. Hal 83. 1
14
15
oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri.4 Sedangkan talak menurut Haifa Ahmad Jawwad dalam bukunya, Otentitas Hak-hak Perempuan, Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender, adalah pemutusan akad perkawinan oleh keputusan suami yang biasanya dilakukan secara sepihak oleh suami tanpa disertai pengungkapan alasan apa-apa.5
2. Perceraian dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan adalah menghindari terjadinya perceraian. Adapun perceraian sebagaimana ditegaskan oleh Soemiyati dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam dan Undangundang Perkawinan, mengartikan secara umum yaitu segala bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya karena meninggalnya salah satu dari pihak suami atau isteri.6 Selanjutnya untuk ketentuan tentang putusnya perkawinan diatur dalam dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sebagaimana dikutip oleh Wasman dan Wardah Nuroniyah yaitu: (a)
4
Karena kematian salah satu pihak,
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1999. Hal. 103. 5 Haifa A. Jawwad. Otentitas Hak-hak Perempuan, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002. Hal 251-252. 6 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1999, hal. 103.
16
(b) Karena perceraian dan (c)
Atas keputusan pengadilan.7
Dalam Pasal 65 Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 juga dinyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di muka sidang pengadilan setelah pihak pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan keduanya, adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut: “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.8 Menurut ketentuan Pasal tersebut ditegaskan bahwa peceraian hanya dapat dilakukan di muka sidang pengadilan. Dengan demikian perceraian yang dilakukan tidak dimuka sidang pengadilan dianggap tidak sah atau belum pernah terjadi ikrar talak (perceraian), karena perceraian yang dilakukan tidak dimuka sidang pengadilan diangap tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Perceraian tersebut akan berdampak negative pada keduanya apalagi pada pihak isteri bila suaminya tidak memberikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh isteri setelah perceraian terjadi. Untuk ketentuan pemberian nafkah oleh suami setelah perceraian telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun
7 Wasm, dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam dalam Perbandingan Fiqh dan Hukum Positif, Yogyakarta: Liberty, 2003, hal. 154. 8 Noto Susanto, Organisasi dan Yurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada, 1963, hal. 27.
17
1974 Pasal 41 huruf (c) termasuk pemeliharaan, perawatan serta pendidikan bagi anak-anaknya, selanjutnya dalam undang-undang perkawinan juga ditegaskan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada alasan yang kuat untuk menjadi dasar terjadinya perceraian. Sementara ketentuan yang ada seperti diatur alam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam “Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri”.9 Dengan adanya penegasan Pasal di atas apabila suami-isteri sudah tidak ada lagi harapan untuk hidup bersama-sama dalam satu ikatan perkawinan dengan damai dan rukun, karena menurut Ahmad Rofik perceraian merupakan alternatife terakhir (pintu darurat) yang boleh ditempuh manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi keutuhan dan kesinambunganya.10
B. Dasar Hukum Talak Adapun dasar dasar hukum adanya talak atau perceraian adalah firman Allah dalam surat At-Talaq ayat 1.11
َ َسا َٰٓ َءف َ يََٰٓأَيُّ َهاٱلنَّبِيُُّّ إِذَا َّّۖۡٱّللَّ ََرََّّّكم َّّ ْط ِلقُو ُهنّّ َُ ِل ِعدَّتِ ِهنّّ َُ َوأ َ ۡحصُواْ ۡٱل ِعدَّ َۖةَ َوٱتَّقُوا َ ِطلَّ ۡقتُمُُّ ٱلن 9
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII press, 2000, hal.94 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal.
10
269. Yayasan Penerjemah DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah Munawwarah,, tt. Hal. 9 11
18
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu dapat menghadapi iddahnya (yang wajar) dan hitungan waktu iddah itu serta bertawakalah kepada Allah tuhanmu”. Selanjutnya firman Allah dalm suarat Al-Baqarah ayat 227.12
َّ ْنّع ََز ُموا ٢٢٢ّّع ِليم َ ّّس ِميع َّّ َّٱلط َلقَّّفإّ ُِن ّۡ َو ِإ َ َّٱّلل Artinya: “Dan jika mereka ber ’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Adapun dasar hukum talak yang lain adalah dari hadits Nabi sebagaimana hadits yang dikutip oleh Ahmad Rofik.13
ّ )قالَّرسولّهللااّصّمّاَّغضّالحاللّالىّهللااّالطالقّ(َرواهّاَّوّداودّواَّنّماّجهّواّلحاّكم Artinya: Suatu perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian). (Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan al-Hakim, dari Ibnu Umar).
C. Hukum Perceraian dalam Islam Perceraian dalam hukum Islam dipandang sebagai sesuatu yang jelek dan sebisa mungkin untuk dihindari. Adapun untuk hukum perceraian dilihat dari sisi kemaslahatan dan kemudharatannya Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqh Islam membagi hukum percerian menjadi empat bagian yaitu: Wajib, makruh, sunat dan haram.14
12 13
Ibid,Surat Al-Baqarah, ayat 227. Hal. 675. Ahmad Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 268.
14
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1986, hal. 402.
19
1. Wajib . Hukum melaksanakan perceraian menjadi wajib apabila atas putusan hakim dalam hal terjadinya perselisihan yang berkepanjangan antara suami isteri dan sudah diadakan upaya perdamaian oleh dua orang hakim, selanjutnya kedua hakim sudah memandang perlu umtuk mengadakan perceraian yang bersifat ba’in sughra’.15
2. Haram. Adapun hukum talak menjadi haram apabila ikrar talak dilakukan tanpa adanya alasan yang jelas.16 Karena tidak ada kemaslahatan yang akan dicapai dari perbuatan tersebut. 3. Makruh. Yaitu hukum asal dari talak itu sendiri. 4. Sunat Adapun hukum talak bisa menjadi sunnat apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibanya (nafkahnya) atau perempuan tidak mampu kehormatan dirinya.17
15
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cet. III, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hal.
16
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jil. VIII, Cet. I, Bandung: Al-Ma’arif, 1987, hal. 11 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1986, hal. 402.
133 17
20
D. Macam-Macam Perceraian 1. Perspektif Hukum Islam Perceraian dalam
hukum Islam atau putusnya hubungan
perkawinan selanjutnya disebutkan sebagai talak, perceraian atau putusnya perkawinann dalam hukum Islam terjadi karena: Kematian, Talak, (ta’lik talak) fasakh, khuluk dan syiqaq.18 1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian Putusnya perkawinan karena adanya sebab kematiann salah satu dari suami atau isteri, maka pihak lain bisa dan berhak mewarisi atas harta peninggalan yang meninggal, karena adanya kesepakatan yang umum dikalangan ulama tentang kausalitas sebab-sebab kewarisan yakni karena adanya hubungan perkawinan,19 Bagi pihak isteri yang dengan meninggalnya suami tidak dibolehkan segera melangsungkan perkawinan yang baru dengan laki-laki yang lain karena harus menanggung masa iddah. Berbeda dengan pihak suami yang bisa secara dapat langsung melangsungkan perkawinan yang baru karena tidak adanya jangka waktu tunggu bagi seorang suami yag ditinggal mati oleh isterinya. Adapun ketentuan iddahnya adalah sebagaimana ditetapkan oleh firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 234.
18 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia: Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Agama, Ct. Kedua, Bandung: Mandar Maju, 2003, hal. 166. 19 Sukris Sarmadi, Transedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Raja Grafindo Jakarta: Persada, 1997, hal.166.
21
َّن ّأ َُّ َرََّعَ ّة َّّ صن َُّ َِّأَنفُس ِِه ّْ ََّّزوجا ّيَت َ َر َ َ وٱلَّذِين َُّ يُت َ َوفَّونَّ ّ ِمنكّ َويَذَ َُرونَّ ّأ ّن َّّ علَي ُكم ّفِي َما ّفَعَلن َُّ فِي ّأَنفُس ِِه َ ّح َّ ُن ّفَ َال ُجنَا َّّ روعَشرا ّفَ ِإذَا ََّّلَغن ّّا َ َجلَه ُّ َ أ َ شه ٢٣٢ّٱّللُُّ َِّ َماّتَع َملُونَّّ َخ ِبير َّّ وفّ َو ِّ عر ُ َِّٱلَّم Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ´iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.20
2. Putusnya Perkawinan Karena Talak Talak adalah suatu perbuatan yag dilakukan oleh suami berupa menolak berlanngsunya perkawinan, adapun talak adalah cara yang lazim digunakan untuk menghentikan perkawinan, sedangkan perceraian yang dimaksud disini adalah perceraian dengan mengucapkan ikrar talak yang langsung jatuh (munjas) yaitu ikrar talak yang diucapkan dan jatuh tanpa adanya sarat apapun, juga tidak disandarkan pada waktu yang akan datang maupun adanya penangguhan jatuhya talak. Sedangkan ikrar talak yang di gantungkan dengan syarat atau waktu yang akan datang (muallaq) adalah talak langsung tetapi digantungkan dengan sesuatu yang menjadi syarat jatuhnya talak, atau digantungkan dengan suatu peristiwa yang bakal terjadi dimasa yang akan datang. Sedangkan talak yang disandarkan pada waktu yang akan
20
Yayasan penterjemah DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 57.
22
datang (mudhaf) yaitu ucapan talak yang dikaitkan denggan waktu, bahwa apabila waktu yang dimaksud itu tiba maka jatuh talaknya. Sementara itu penyampaian talak dilhat dari sighatnnya dibagi menjadi dua macam yaitu:
1. Talak Sharih Makna sharih adalah tegas, yaitu kalimat yang terang tidak ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksud adalah memutuskan ikatan perkawinan, seperti ucapan “engkau tertalak atau saya ceraikan engkau.21
2. Talak Kinayah Kinayah (sindiran), yaitu kalimat yang masih ragu-ragu sehingga boleh dan dapat diartikan perceraian nikah atau yang lain, contoh “pulanglah engkau kerumah orang tuamu” kata kinayah dalam hal ini bermakna ganda yaitu talak dan selain talak, adapun yang menjadi perbedaan adalah niatnya.22 Talak dapat jatuh dengan berbagai macam cara penyampaianya yang bisa menunjukan berakhirnya hubungan perkawinan yaitu dengan kata-kata atau dengan mengirim surat kepada isterinya atau dengan isyarat bagi orang yang bisu atau dengan mengirim seorang utusan:
21
Ibrahim Muhamad, Fikih Wanita, Alih Bahasa Anshori Umar, Semarang: Assyifa, tt.
Hal. 398. 22
Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam: Perbandingan Fiqh dan Hukum Positif, Yogyakarta: Teras, 2011, hal. 95
23
a. Talak dilakukan dengan ucapan (ikrar talak) Talak yang dilakukan dengan ucapan yang sharih (tegas atau dapat difahami maknanya sebagaimana yang dikatakan Hamdana dalam bukunya Risalah Nikah bahwa lafadz atau kata-kata cerai yang sharih, ada tiga yaitu: talak, firaq (pisah) dan sara’ah (lepas).23 b. Talak disampaikan denganmengirim utusan Apabila talak dapat jatuh dengan sharih dan kinayah dan dapat pula jatuhnya dengan tulisan dan isyarat maka talakjuga dapat jatuh dengan mengirim utusan yang dikirim suaminya untuk menyampaikan kepada isterinya yang jauh bahwa ia telak ditalak oleh suaminya.
c. Talak dengan menggunakan isyarat Bagi orang yang bisu isyarat adalah alat untuk membuat orang lain memahami keinginannya, karenanya isyarat disamakan dengan ucapan dalam hal menjatuhkan talak, akan tetapi sebagian ulama mensyaratkan orang bisu tersebut tidak dapat membaca dan menulis, karena apabila dapat membaca dan menulis, maka talaknya tidak cukup hanya dengan isyarat, karena tulisan lebih jelas menunjukan maksud, kecuali karena terpaksa atau memang tidak dapat menulis.24 d. Talak disampaikan melalui tulisan 23 24
Hamdan, Risalah, Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, 2002, hal. 212. Sayyis Sabiq, Fikih Sunnah, Bandung: Al Ma’arif, 1987, Jil. VIII, hal. 33.
24
Talak yang disampaikan melalui tulisan (surat) dapat dianggap jatuh talaknya meskipun suami yang menjatuhkan talaknya dapat berbicara dan dapat mengucapkan ikrar talak denag syarat tulisanya jelas, dapat dibaca dan dalam lembaran kertas dan tertentu (ditujukan kepada isterinya). Sedangkan talak dilihat dari segi cara menjatuhkanya terbagi menjadi dua yaitu: a. Talak Sunni Talak sunni adalah talak yang dilaksanakan sesuai dengann ketentuan hukum Islam atau bersandar pada Al-Qur’an dan As-sunnah dan talak yang dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci dan belum disetubuhi kemudian dibiarkan sampai habis masa idahnya.25 b. Talak Bid’i Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaaan suci tapi sudah dicampuri dalam waktu suci tersebut.26 c. Talak Laa Sunni Wala Bid’i Yaitu talak yang tidak termasuk dalam kategori sunni dan tidak pula dalam kategori bid’i sementara yang masuk kategori ini adalah: 1. Talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang belum pernah haid (menopause) 2. Talak yang dijatuhkan terhdap isteri yang sedang hamil. 25 26
Ibid, hal. 96 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, hal.38.
25
Sementara talak dilihat dari sisi bilangan talak yang dijatuhkan atau dari segi pengaruhya serta cara terjadinya talak ddari keadaan isteri yang ditalak, kita bisa melihat adanya dua macam talak yaitu: 1. Talak Raj’i Talak raj’i adalah talak yang masih memungkinkan suami rujuk kepada bekas isterinya selama dalam masa idah, atau berkurangya hak talak yang dimiliki oleh seorang suami atau isterinya.27 2. Talak Ba’in Talak ba’in adalah talak ketiga yang dijatuhkan suami kepada isterinya dan suami tidak memiliki hak untuk kembali kepada.28 3. Talak Tebus atau Khulu’ Khulu’ secara berarti perpisahan isteri dengan imbalan harta dari asal kata khalt’ust tsaub yang berarti melepas pakaian, karena isteri adalah pakaian dari suami dan suami adalah pakaian dari isteri,29 sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat, 187.
ّهنّ ِلبَاسّّل ُكمّ َوأَنتُمِّلباسّلَّه َُّن Artinya: “Mereka itu (isteri-isterimu) adalah pakaian bagimu, dan kamu pun pakaian bagi mereka”.30
27
Bahder Johan dan Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam, Bandung: Mandar Maju, 1997, hal. 31. 28 29
Ibrahim Muhammmad, Fiqh Muslimah, cet. III, Jakarta: Pustaka Amani, 1999, hal.
30
Yayasan Penterjemah DEPAG R.I, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal, 157.
329.
26
Talak tebus atau khulu’ yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak isteri kepada suami,31 dan talak tebus ini boleh dilakukan baik sewaktu suci maupun haid karena biasanya talak tebus ini terjadi dari kehendak dan kemauan si isteri.32 4. Talak dengan sumpah ila’ Ila’ adalah suatu bentuk perceraian sebagai suatu akibat dari sumpah suami yang menyatakan bahwa ia (suami) tidak akan menggauli isterinya,33 baik dibatasi dengann ucapan, selamanya atau dibatasi dengan tenggang waktu empat bulan atau lebih. Beberapa contoh dari sumpah ila’ adalah sebagai berikut: a. Demi Allah, saya tidak akan mengumpuli isteriku b. Demi kekuasaan Allah, saya tidak akan mencampuri isteriku selama lima tahun. c. Demi Allah saya tidak akan mendekati isteriku selamanya. Akibat dari sumpah ila’ tersebut sebagaimana dijelaskan Sulaiman Rasjid bahwa apabila seoarang suami bersumpah dengan menggunakan ila’ hendaklah ditunggu hingga masa sampai empat bulan kalau dia kembali baik kepada isterinya sebelum sampai empat bulan maka suami diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat).34 Akan tetapi kalau sampai empat bulan suami tidak kembali baik dengan isterinya, maka hakim berhak menyuruhnya memilih diantara dua perkara: membayar kafarat sumpah serta kembali baik 31
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994, hal. 409. Ibid, hal, 409. 33 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cet. III , Jakarta: Rieneka Cipta, 2005, hal. 32
140. 34
Sulaiman Rajid, Fiqh islam, Bandung: Sinar baru Algensindo, 1994, hal. 410.
27
kepada isterinya atau menalak isterinya, kalau suami tidak mau menjalankan salah satu dari dua perkara tersebut maka hakim berhak menceraikan dengan paksa.35 Adapun dasar hukum dari pengaturan perceraian atau talak dengan ‘illa dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Bqarah, ayat, 226.
َ ٱّلل ٢٢٢ّّغفُوَرَرَّ ِحيم َّّ ن َّّ سآَٰئِ ِهمّۡ ت َ َرَُّّصُّ أ َ َۡرََّعَ ِّة أ َ ۡشه َُۖرفَ ِإن فَآَٰءُوفَ ِإ َ ِِللَّذِينَّ ي ُۡؤلُونَّ ِمن ن Artinya: “Kepada orang-orang yang meng-illa kepada istreinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.36
Adapun ketentuan bagi suami yang melakukan illa’ terhadap isterinya
telah ditentukan batas waktunya empat bulan karena dengan
tenggang waktu itu akan terihat hikmah yang terkandung didalamnya baik bagi suami ataupun isteri. Untuk ketentuan kafarat akibat dari sumpah ila’ diantaranya dijelaskan oleh Soemiyati dalam bukunya hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut: a. Menjamin makan 10 orang miskin, atau b. Memberi pakaian kepada 10 orang miskin,atau c. Memerdekakan seorang budak, atau
35
Ibid, hal. 411. Yayasan Penterjemah, DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Baqarah, ayat 226, hal. 55. 36
28
d. Dapat diganti dengan puasa selama tiga hari berturut-turut.37
5. Dzihar Yang
dimaksud
dengan
dzihar
yaitu
seorang
laki-laki
menyerupakan isterinya dengan ibunya sehingga isterinya itu menjadi haram untuknya dan bila seorang laki-laki mengatakan demikian dan tidak diteruskanya dengan talak, maka ia wajib membayar kafarat dan haram bercampur dengan isterinya sebelum membayar kafarat itu.38 Adapun orang yang bisa melakukan dzihar adalah seorang suami yang sudah baligh, sehat akalnya, dan muslim sedangkan perempuan yang ditalak dengan cara dzihar adalah yang sudah menikah dan masih sah menjadi isterinya.
6. Putusnya Perkawinan Karena fasakh Pengerian fasakh secara bahasa berarti mencabut atau membatalkan yang
didalamnya
mengandung
pengertian
bahwa
falsafah
ini
memperlihatkan kewenangan qadli (hakim Pengadilan Agama) untuk membatalkan suatu perkawinan atas permintaan pihak isteri.39 Jadi fasakh adalah perceraian dengan keputusan hakim atas permintaan dari pihak isteri. Dengan kata lain fasakh merupakan peluang atau jalan yang bisa ditempuh
37 Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1999, hal. 118. 38 Sulaiman Rajid, Fiqh islam, Bandung: Sinar baru Algensindo, 1994, hal. 412. 39 Sudarsono, Hukum Kelurga Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hal. 63
29
oleh isteri untuk memperoleh perceraian dengan suamuniya dari segi hukum, sesuai dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat, 35.40
َٰٓامن أ َ ۡه ِل َهّا َٰٓ إِن ي ُِريدَّا ّۡ ٗامن أ ۡه ِل ِّه َو َح َكم ّۡ َو ِإ ِ ٗشقَاقَّ ََّ ۡينِ ِه َما فَ ۡٱَّعَثُواْ َح َكم ِ ن ِخ ۡفتُم ۡ ِإ ٣٣ّع ِلي ًما َخبِ ٗيرا َ َّّلل كَان ََّّ ن ٱ َّّ ِّللُ ََّ ۡينَ ُه َمّا َٰٓ إ َّّ ق ٱ ِّ ِصلَ ٗحا ي َُوف Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari seorang perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha mengenal”.
Seluruh ulama sepakat bahwa ikatan perkawinan dapat diputuskan dengan fasakh, tetapi mereka berbeda pendapat tentang alasan-alasan yang bisa dipergunakan untuk minta fasakh. Pada garis besarnya ada enam hal yang dapat dijadikan alasan oleh seorang isteri untuk minta fasakh yaitu: a. Suami sakit gila b. Suami menderita penyakit menular yang tidak bisa diharapkan kesembuhanya. c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuannya untuk berhubungan kelamin. d. Suami miskin atau jatuh miskisehingga tidak mampu untuk memenuhi memberikan kewajiban nafkah terhadap isterinya.
40
Ibid,hal. 908.
30
e. Isteri merasa tertipu baik mengenai nasab, atau keturunan suami, kekayaan atau kedudukan suami f. Suami mafqud atau hilang tanpa adanya keterangan yang jelas dalam jangka waktu yang lama minimal empat tahun.41
7. Putusnya perkawinan dengan sumpah li’an Putusnya perkawinan dengan sumpah li’an dapat terjadi karena adanya tuduhan dari suami kepada isterinya melakukan perbuatan zina atau suami mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya,42 adapun li’an berarti sumpah atau mengutuk karena seseorang yang melakukan perceraian dengan cara li’an pada sumpahnya yang kelima dia bersedia meminta kutukan Allah apabila ternyata sumpahnya adalah dusta, sesuai dengan firman Allah Surat An-Nur, ayat, 6-7 yaitu43:
ُ َّۡوٱلَّذِينَّ يَ ۡر ُمونَّ أ َ ۡز َو َجهُمّۡ َولَمّۡ يَ ُكن لَّهُم ّش َهدَ ّةُ أ َ َح ِد ِهمّۡ أ َ َۡرََّ ُع َّ َسهُمّۡ ف ُ ُش َهدَآَٰ ُّء إِ ََّّّٰٓل أَنف َّ ٱّللِ إِنَّ ّهُ ۥلَ ِمنَّ ٱل َّّعلَ ۡي ِّه إِن كَانَّ ِمن ا ۡل َك ِذَِّين َ ٱّلل َِّّ َّن لَ ۡعنَت َّّ َ س ّةُ أ َّّ َِّ ّت َ ِ َش َهد َ ّ َو ۡٱل َخ ِم٢ّ َّص ِدقِين ٢ Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah
41
Ahmad Azhar Baasyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, hal. 86. Moh Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996. Hal. 154 43 Yayasan Penterjemah DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surat An-Nuur ayat, 6-7, hal. 54. 42
31
yang kelima: Bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta”.
Sebagai akibat dari sumpah li’an ini maka: a. Suami bebas dari hukuman dera juga bebas dari hukuman menuduh zina. b. Dilakukannya hukuman zina terhadap isterinya. c. Suami isteri bercerai selama-lamanya. d. Isteri menjadi haram selamanya terhadap suami e. Anak yang lahir bukan anak suami dan dinasabkan kepada ibunya.44 Perceraian dengan cara li’an sedangkan suami tidak punya saksi atasnya kecuali dirinya sendiri, adapun pembuktian dalam kasus zina adalah pengakuan, bukti-bukti atau keterangan yang kuat dan persaksian, akan tetapi pihak isteri bisa memberikan sangahan atau enolakan dengan kesedianya melakukan sumpah li’an pula isteri terlepas dari hukuman zina, karena sumpah li’an dari pihak isteri adalah menyatakan persaksian kepada Allah sebanyak empat kali bahwa suaminya termasuk orang yang berdusta, dan sumpah yang kelima adalah bersedia menerima murka Allah apabila suaminya termasuk orang yang benar dengan tuduhanya. 8. Putusnya Perkawinan Karena Nusyuz
9. Putusnya Perkawinan Karena Syiqaq Syiqaq adalah tahap perselisihan atau pertengkaran berkepanjangan antara suami isteri dalam kehidupan rumah tangga, baik karena adanya 44
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1996, hal. 412.
32
nusyuz diantara keduanya atau karena sebab lain yang bisa menyebabkan terjadinya pertengkaran, Syiqaq dapat terjadi disebabkan oleh kedua pihak suami atau isteri atau salah satu dari keduanya, dalam hal syiqaq yang benar-benar sudah tidak dapat diatasi sehinga menurut pertimbangan para hakim yang mengurusnya perlu diadakan perceraian, karena dengan perceraian diangap lebih menjamin kemaslahatan keduanya setelah perceraian. Adapun perceraian akan lebih bisa menyelamatkan suami isteri dari penderitaan-penderitaan batin yang akan diderita apabila keduanya tetap bersaa. Jadi syiqaq adalah menjadi alasan perceraian yang dilakukan dan atas adanya putusan hakim.
2. Perspektif Undang-undang Macam-macam perceraian atau putusnya perkawinan menurut undang-undang perkawinan bisa terjadi sebab kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan, hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 huruf a, b dan c Undang-Undang perkawinan No.1 tahun 1974. Adapun penjelasan sebab-sebab perceraian adalah sebagai berikut: 1. Kematian Putusnya perkawinan sebab kematian dari salah satu suami atau isteri, maka pihak lain bisa dan berhak untuk mewarisi harta peninggalan yang ditingalkan sesuai dengan Pasal 35 ayat 1 undang-undang perkawinan. Walaupun dengan kematian salah satu dari suami atau isteri perceraian
33
secara langsung terjadi dan tidak dimugkikan hubungan mereka disambung lagi namun bagi pihak isteri tidak bisa segera melangsungkan perkawinan yang baru dengan laki-laki lain, karena bagi isteri berlaku masa tunggu. Sebagaimana ketentuan pasal tersebut diatas Hilman Hadikusuma menjelaskan dalam bukunya Hukum Perkawinan Di Indonesia, bahwa akibat hukum dari harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat atau hukum yang lain.45 Adapun bagi isteri yang cerai karena kematian suaminya ditentukan jangka waktu masa tunggu selama 130 hari hal ini sesuai dengan penjelasan pasal 39 ayat (1) dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi “Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan selama 130 (seratus tiga puluh hari).46 Ketentuan masa iddah di atas sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 234.
ّۡ ََُّّّّّّيُّتََّّوّفَّّّّۡوّنَّّّّّ ِّمّنّ ُّكمّّّّّۡ َّوّيَّذَّ َُّرّ ّونَّّّّّأَّّۡزَّّّوّ ّٗجّاّّيَّتَّ َّر ََُّّّّّّۡرََّّّعَّة َّّ ّّّهّنَّّأ َّّ ّّّصّن َّّ ّّّين َّّّّّّّ ِذ وٱل ِ َُُِّّّّّأَّنّف ِّ ّس ّ ّۡ ّّّشّرَّّّّّّٗۖا ّع َ ّأَّ ّۡشّ ُهّّّرّ َّو Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari”.47
45 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Agama dan Adat, Cet. II, Bandung: Mandar Maju, 2003, hal. 189. 46 Undang-undang Perkawinan Di Indonesia, Surabaya: Arloka, 2002, hal. 55 47 Yayasan penterjemah DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hal. 57.
34
Selain menjalankan ‘iddah menurut Zainudin al-Malibari isteri yang ditinggal mati juga mempunyai kewajiban untuk berbela sungkawa. Dengan kata lain, disamping beriddah sang isteripun harus berbela sungkawa selama itu, tanpa memandang apapun keadaan dirinya, (yakni baik dia sebagai isteri yang dalam talak raj’i ataupun belum baligh atau keadaan lainya).48
2. Perceraian Perceraian atau putusnya hubungan perkawinan yang dimaksudkan di atas adalah perceraian yang dilakukan atas kehendak suami atau isteri yang diajukan dan dilakukan atas adanya izin setelah melalui proses persidangan dan disaksikan oleh pihak pengadilan, apabila terdapat alasan-alasan perceraian yang dimaksudkan. Adapaun mengenai prosedur dan tata cara perceraian diatur dalam Pasal 20 ayat (1) peraturan pemerintah no. 9 tahun 1975 bahwa putusnya perkawinan dengan jalan perceraian dapat terjadi dengan dua cara dan pengajuan yaitu: perceraian yang diajukan oleh pihak suami ataupun pihak isteri ataupun kuasa hukum dari suami atau isteri tersebut dan selanjutnya perceraian yang diajukan oleh pihak suami disebut dengan cerai talak dan yang diajukan oleh pihak isteri disebut cerai gugat.
E. Alasan-Alasan Perceraian Menurut Undang-undang
48
Zainudin al-Malibari, Fathul Muin, Alih Bahasa Mochtar Anwar, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2005, hal. 1410.
35
Pada prinsipnya asas Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah menghindari
untuk
terjadinya
perceraian
atau
pemutusan
hubungan
perkawinan. Ahmad Rofik menegaskan dalm bukunya Hukum Islam Di Indonesia, bahwa untuk melakukan perceraian harus dengan adanya alasanalasan tertentu serta dilakukan dimuka sidang pengadilan.49 Hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 39 ayat (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974 mengharuskan ikrar talak dilakukan dimuka sidang pengadilan. Adapun alasan yang di maksud adalah sebagaimana diatur dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9 Thun 1975. Adapun alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam PP No.9 Tahun 1975 tersebut adalah: 1. Salah satu pihak tersebut berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan lain yang sah. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan pekerjaanya sebagai suami atau iseri. 5. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga.50
49
Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hal.
50
Ibid,hal. 87.
268
36
F. Tata Cara Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Putusnya perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974, pasal 38 huruf (b), dapat terjadi dengan perceraian setelah suami mendapat izin untuk menceraikan isterinya dengan mengucapkan ikrar talaknya dimuka sidang Pengadilan Agama, Maka pada saat itulah terjadi perceraian sebagaimana disebutkan dalam pasal 39 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Adapun tata cara perceraian menurut Undang-undang Perkawinan tahun 1974, dibedakan menjadi dua bagian yaitu perceraian yang terjadi atas kehendak pihak suami yang kemudian disebut cerai talak dan yang kedua perceraian atas kehendak pihak isteri atau yang kemudian disebut cerai gugat. Cerai talak dan cerai gugat tersebut hanya dapat dilakukan dimuka sidang pengadilan sesuai dengan peraturan pemerintah yang surat permohonanya harus diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum tergu atau isteri atau kuagat, sebgagaimana dimaksudkan dalam Pasal 20 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Untuk bunyi Pasal tersebut adalah sebagai berikut:
37
“Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat”.51 Adapun pemohon sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 PP No.9 Tahun 1975 mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya seperti dimaksud dalam pasal 66 Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Yaitu: 1. Pemohon sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon. 2. Apabila termohon bertempat tinggal diluar negeri maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pemohon. 3. Dalam hal termohon bertempat kediaman diluar negeri permohonan diajukan kepada pengadilan yang meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Selanjutnya tata cara pengajuan permohonan perceraian juga prosesperceraian itu sendiri. Adapun tata cara prosedurnya sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan atas Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa formulasi gugatan permohonan dalam perkara cerai talak 51
123.
Sastro Atmojo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hal
38
dan cerai gugat dan berpedoman pada pasal 67 tahun 1989, bahwa ketentuanketentuan termuat adalah:52 a. Identitas para pihak, yaitu: Nama, umur, dan tempat kediaman pemohonan, yaitu suami dan termohon yaitu isteri. b. Alasan-alasanyang menjadi dasarcerai talak atau sering disebut dengan istilah posita gugat. Adapun formulasi dari proses perceraian diatas adalah formulasi dari cerai gugat yang bersifat murni. Disini di ingatkan mengenai alasan perceraian yang disebutkan diatasadalah alasan alternatif, yaitu pemohon pemohon dapat meminta salah satu dari alasan-alasan cerai sesuai dengan fakta yang ada. 1. Pemanggilan pihak-pihak Pemanggilan pihak-pihak dalam perkara cerai talak dilakukan menurut ketentuan Pasal 26, 27, 28 dan 29 peraturan pemerintah No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan atas Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. Adapun bunyi Pasal tersebut adalah sebagai berikut: a. Setiap kali diadakan sidang pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian baik permohonan dan termohon atau kuasa hukumnya, mereka dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. b. Bagi Pengadilan
Negeri pangilan dilakukan oleh juru sita, bagi
Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh hakim ketua Pengadilan Agama, yaitu juru sita penganti. 52
Soedarho Soimin, Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2001,hal. 29.
39
c. Pangilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan, apabila yang bersangkutan tidak dapat menjumpainya pemanggilan disampaikan kepada lurah atau yang dipersamakan dengan itu. d. Panggilan sebagaimana dimaksud ayat 1 dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima baik oleh suami atau isteriatau kuasa hukum mereka selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dibuka. e. Panggilan kepada tergugat dilakukan dengan salinan surat gugatan. Selanjutnya apabila kediaman termohon diketahui
tidak jelas atau tidak
atau tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, panggilan
dilakukan dengan cara: a.
Menempelkan surat permohonanatau surat panggilan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama.
b. Mengumumkan melalui surat kabar atau media masa cara tersebut dilakukan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. c.
Tenggang waktu antara panggilan akhir tersebut diatas dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
d. Dalam hal sudah dilakukan panggilan tersebut tergugat dan kuasanya tidak hadir, permohonan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan. e.
Apabila termohon bertempat tinggal diluar negeri, panggilan disampaikan melalui KBRI setempat dengan cara sebagai berikut:
40
1. Panggilan tersebut dikirim lewat DEPLU RI di Jakarta yang akan ke KBRI yang dituju. 2. Sidang pemeriksaan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukanya perkara di kepaniteraan Pengadilan Agama. 3. Apabila termohon telah dipanggil, namun tetap tidak hadir di persidangan, maka hakim dapat menjatuhkan putusan verstek dengan berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 1974.53 2. Pemeriksaan Pemeriksaan cerai talak pada umumnya diatur dalam BAB IV bagian kedua paragraf kedua Undang-undang No.7 Tahun 1989, hampir sama dengan yang diatur dalam BAB V Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Adapun tahapanya sebagai berikut: a). Pemeriksaan oleh Majlis Hakim Menurut ketentuan pasal 68 (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 berbunyi “Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majlis hakim”.54 Dalam ketentuan tersebut jelas bahwa hakimlah yang berhak melakukan pemeriksaan. Hakim yang melakukan pemeriksaan diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Pasal 50 yang menjelaskan
53 M. Fauzan, Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: kencana, 2005, hal 144. 54 Undang-Undang Peradilan Agama (U.U No.7Th. 1989), hal.28.
41
bahwa sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim, kecuali apabila, kecuali undang-undang menentukan lain.55 b.) Pemeriksaan dalam sidang tertutup untuk umum Yang dimaksud sidang tertutup untuk umum adalah bahwa selain daripada yang berkepentingan langsung atau yang diijinkan oleh hakim harus meningalkan ruang sidang.56 3. Tenggang waktu pemeriksaan dari pendaftaran Tanggang waktu antara pendaftaran perkara dengan persidangan diatur dalam pasal 68 (1) Undang-undang Peradilan Agama agar dilakukan persidangan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pendaftaran, hal ini bertujuan untuk memenuhi asas perdilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketentuan waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran itu berlaku untuk keadaan normal. Dalam keadaan tidak normal berlaku ketentuan sebagai berikut: a) Sekurang-kurangnya 4 (empat) bulan, yaitu apabila termohon tidak diketahui tempat kediamanya di Indonesia. Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. b) Sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan, yaitu apabila termohon bertempat kediaman di luar negeri sebagaimana dalam pasal 29 (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Thun 1975.57
55
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970. Roihan A. Rosyid, HukumAcara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hal.96. 57 Muchsin, Hukum Islam dalam Perspektif dan Prospektif, hal. 110. 56
42
4. Hakim mendamaikan para pihak Sebelum dimulai persidangan biasanya hakim berupaya menasehati para pihak agar memikirkan kembali perkawinan mereka. Bila dipandang perlu hakim dapat meminta bantuan lembaga penasehat perkawinan, semacam Badan Penasihat dan Penyelesaian Perkawinan (BP. 4).58 Kalau masih bisa diteruskan perkawinannya, maka hakim memberi kesempatan kepada pemohon untuk mencabut kembali surat permohonannya. Apabila pemohon tida jadi bercerai dan terjadi perdamaian maka hakim membuat “penetapan” yang isinya mengabulkan permohonan untuk mencabut kembali perkaranya menyatakan perkara dicabut dan diberi Register Induk Perkara yang bersangkutan, serta menyertakan bahwa kedua belah pihak (suami-isteri) masih terikat dalam perkawinan serta tidak bisa mengajukan perceraia baru dengan alasan yang sama.59 Upaya ini dilakukan dalam setiap awal persidangan sampai putusan dijatuhkan. Dalam sidang perdamaian, suami isteri harus datang secara pribadi tidak boleh diwakilkan kepada kuasa hukum sperti yang dijelaskan dalam Pasal 82 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang kekuasaan kehakiman. 5. Pembuktian Karena yang harus dibuktikan adalah peristiwa hukum bukan hukumnya, maka menurut Sodikno Mertokusumo yang dinamakan pembuktian berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya
58
Moh Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hal.131 Muchsin, Hukum Islam dalam pespektif dan Prospektif, Surabaya: Al-Ikhlas, hal. 16.
59
43
peristiwa-peristiwa tertentu,. hal ini dikarenakan hakimlah yang harus mengkonstatir peristiwa, mengkwalisirnya, dan kemudian mengkonstitutir.60 Pembuktian dalam perkara perceraian dilakukan dengan cara melihat alasan-alasan yang digunakan, baik pemohon dan termohon diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti yang berupa saksi, alat bukti surat maupun alat bukti lain yang dibenarkan oleh undang-undang yang antara lain adalah sebagai berikut: akta nikah, surat-surat lain, pengakuan, dan saksi-saksi yang mengetahui terjadinya perkawinan kemudian terjadinya perselisihan suami isteri.61 Adapaun tujuan dari pembuktian itu sendiri adalah untuk untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua belah yang sedang berperkara.62 6. Musyawarah Majlis Hakim Setelah
tahap
pembuktian
dianggap
cukup/selesai,
hakim
memerintahkan kepada semua pihak yang ada dalam sidang untuk meninggalkan ruang sidang, adapun karena jabatanya Majelis Hakim wajib bermusyawarah atas perkara tersebut dan mencukupkan alasan-alasan hukum yang tidak boleh kedua belah pihak dikemukakan.63 Musyawarah Majelis Hakim merupakan tahap dimana Majelis Hakim bermusyawarah untuk menyelesaikan pokok perkara yang nantinya
60
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2009,
hal. 138. 61
Sulaikan Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 119. 62 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2009, hal. 140. 63 M. Faozan, Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hal. 57.
44
akan diputuskan. Untuk bahan pertimbangan hakim dalam rangka mengabulkan atau tidaknya permohonan perceraian Majelis Hakim diperintahkan untuk menyimpulkan fakta-fakta yang telah terungkap di persidangan yang hasilnya: a. Kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan b. Telah cukup alasan perceraian.64
7. Putusan Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya dua pihak yang bersengketa, yaitu penggugat dan tergugat.65 Selain itu putusan ini juga dikenal sebagai produk peradilan yang sesungguhnya (yurisdictio contentiosa) Karena ini merupakan perkara cerai talak yang termasuk permohonan, maka putusan dari pengadilan adalah penetapan, yang amar putusanya berisi tentang dikabulkanya permohonan gugatan cerai talak. Apabila termohon tidak puas atas putusan pengadilan dapat melakukan upaya hukum dengan mangajukan banding kepada Pengadilan Tinggi Agama, sebelum keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap dan selanjutnya dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
64 Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradila Agama, Bandung: Alumni, 1996, hal. 60-61. 65 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000, hal. 255.
45
Adapun untuk prosedur upaya banding dijelaskan oleh Idris Ramulyo dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam,66 sebagai berikut: a. 14 hari putusan diucapkan apabila pada waktu putusan pihak pemohon banding hadir sendiri di persidangan atau 30 hari setelah keputusan diumumkan di papan pengumuman Pengadilan Agama. b. Membayar biaya perkara banding c. Pembanding atau kuasanya menyerahkan memori banding ke Pengadilan Agama untuk diteruskan ke Pengadilan Tinggi Agama. Jadi upaya banding dilakukan setelah 14 hari seperti ketentuan diatas, upaya banding tidak dapat diterima setelah melebihi 14 hari karena penetapan putusan Pengadilan atas cerai talak sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. 8. Sidang Pengucapan Ikrar Talak Tata cara pengucapan ikrar talak diatur dalam Pasal 70, 71 dan 72 Undang-Undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 yaitu: a. Menentukan hari sidang pengucapan ikrar talak Setelah penetapan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari untuk melakukan sidang untuk menyaksikan ikrar talak. b. Dihadiri pemohon dan termohon Adapun tentang kehadiran pemohon dan termohon sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat 3 undang-undang No. 7 Tahun 1989 .
66
Moh Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hal.207.
46
“Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak dengan memanggil suami isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut”.67
Dengan demikian berarti kedua belah pihak diharapkan untuk hadir dalam persidangan. Namun apabila suami atau isteri tidak bisa hadir mereka dapat mewakilkan kepada kuasa hukumnya. Apabila isteri tidak hadir atau tidak mewakilkan kuasa hukumnya maka pengadilan dapat melanjutkan persidangan tanpa hadirnya isteri. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 70 ayat 5 Undang-Undang No.7 Tahun 1989, adapun bunyi pasal tersebut adalah: “Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiriatau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau wakilnya.”68 Dalam sidang ini hakim berfungsi sebagai saksi dalam pengucapan ikrar talak dan membuat penetapan penyaksian ikrar talak. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa sidang pengucapan ikrar talak merupakan eksekusi dari penetapan cerai talak.
67 68
Undang-Undang Peradilan Agama (U.U No. 7 Tahun 1989), hal. 29. Ibid, hal. 29.
47
G. Akibat-Akibat yang Ditimbulkan Karena Perceraian Menurut UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Perkawinan adalah suatu perjanjian perikatan antara seoarang suamiisteri, yang sudah berang tentu akan mengakibatkan hak-hak dan kewajibankewajiban bagi kedua belah pihak.69 Sedangkan menurut Pasal 1 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 adalah sebuah ikatan batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri yang keduanya bertujuan untuk membentuk sebuah keluarga dalam sebuah rumah tangga yang kekal abadi.70 Perkawinan seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ternyata putusnya perkawinan atau terjadi perceraian akibat meninggalnya salah satu pihak, atau karena sebab perceraian dan putus atas putusan pengadilan dapat menimbulkan persoalan baru, persoalan yang ada tidak hanya sampai pada berpisahnya suami isteri tapi membawa konsekuensi hukum tersendiri. Untuk ketentuan lebih lanjut tentang akibat yang ditimbulkan dari putusnya perkawinan atau perceraian terutama dalam hal putusnya perkawinan karena sebab perceraian tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 41 huruf( a). Adapun bunyi Pasal tersebut adalah sebagai berikut:
69 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 2007, hal. 87. 70 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Nuansa Aulia, 2002, hal.
48
“Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata atas kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberikan kepuitusan”.71 Melihat ketentuan dari isi pasal di atas jelas hanya bersifat global. Adapun pengaturan pelaksanaaan selanjutnya tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai tata pelaksanaan dari Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang mana lebih membahas spesifik tentang ketentuan-ketentuan yang ditimbulkan sebagai akibat hukum dari putusnya perkawinan. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pada prinsipnya benar-benar mempersulit terjadinya perceraian, apabila telah diperoleh keturunan dalam perkawinan, ketentuan mengenai pembiayaan penghidupan anak termasuk pendidikan anak adalah tetap menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Adapun tanggung jawab orang tua sebagaiman ketentuan dalam Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan 1974 ditegaskan oleh Ahnad Azhar
Basyir
dalam
bukunya
Hukum
Perkawinan
Islam.72karena
bagaimanapun putusnya hubungan perkawinan dapat menimbulkan dampak negatif bagi suami isteri itu sendiri, akan tetapi dampak yang paling buruk dari putusnya perkawinan yang terjadi karena perceraian adalah perkembangan mental anak-anaknya, yang karenanya pihak pengadilan baru mengabulkan permohonan Ikrar talak kalau memang sudah cukup alasan untuk terjadinya perceraian. 71 72
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arloka, hal 18. Ahnad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Pres, 2000, hal. 112
49
H. Rukun dan Syarat Sahnya Talak Mengingat karena talak merupakan salah satu macam tindakan hukum, maka tidak dibenarkan apabila tidak terpenuhinya syarat dan rukun yang dijadikanya sah dalam pandagan hukum itu sendiri. Abdurrahman AlJaziri sebagaimana dikutip oleh Djaman Nor menjelaskan bahwa talak bisa jatuh dan sah apabila terpenuhi rukun dan syarat sahnya talak, yaitu: Ada suami yang mentalak, isteri yang ditalak, sighat talak dan ada kemauan untuk mentalak (al-qasdu).73 Sedangkan untuk syarat sahnya menjatuhkan talak74 adalah sebagai berikut: a. Yang berkaitan dengan suami 1. Berakal 2. Baligh 3. Atas kemauan sendiri (tidak dipaksa) b. Yang berkenaan dengan isteri 1.Isteri masih dalam perlindungan kekuatan suami 2. Isteri yang terikat debgan perkawinan yang sah dan belum habis masa iddahnya dalam talak raj’i. c. Yang berkenaan dengan sighat talak
73 74
Djaman Nor, Fiqh Munakahat, Dimas, Semarang, 1993, hal. 142-143. Zakiyah Drajat, Ilmu Fiqh, jilid II, hal. 180-181.
50
Ucapan atau kata-kata dimaksudkan suami terhadap isterinyauntuk menyatakan keinginanya menjatuhkan talak, baik sharih (jelas) atau kinayah bukan karena keliru. d. Yang berkenaan dengan persaksian dalam talak Kesaksian seseorang dipandang sebagai suatu bentuk pemberian kuasa dari seseorang yang mengalami suatu peristiwa kepada seseorang yang turut menyaksikan peristiwa tersebut. Jumhur ulama sependapat bahwa talak dapat jatuh tanpa adanya saksi karena talak adalah hak mutlak suami, dengan alasan talak menjadi hak bagi orang yang menikahinya karena itu dia pula yang berhak menentukan untuk mentalak atau merujuk isterinya, suami tidak memerlukan persaksian untuk menggunakan haknya.75 Sebagaimana firman Allah Surat Al-Baqarah, ayat, 231.
ّّس ُكو ُهنّ َُّ َِّ َم ۡع ُروف ِ سا َٰٓ َّء فَبَلَ ۡغن ّأ َجلَهُنّ فَأ َ ۡم َ َِوإِذَا َطلَّ ۡقت ُ ُّم ٱلن ّن ّ ِض َر ٗاَرا ّ ِلت َ ۡعتَدُوّاْ ُّ َو َمن ّيَ ۡفعَل ّ ُۡذَ ِلكَّ ّفَقَ ۡد َظلَم َّّ س ُكو ُه َّّ س ِرحُو ُه ِ ن َِّّ َم ۡع ُروفّ ّ َو َّلت ُ ۡم َ أ َ ۡو َ َ علَ ۡي ُكمّۡ ّ َو َمآَٰأ ّعلَ ۡي ُكم َ ّ نز َّل َ ّ ِٱّلل َّّ ّ َّٱّللِ ّ ُه ُز ٗوا َو ۡٱذ ُك ُرواْنِ ۡع َمت َّّ ّ ت ِّ َس ّهُ ۥ َو َّلتَت َّ ِخذُ َٰٓواْ َّء ّاي َ َُ نَ ۡف ُ ِمنَ ۡٱل ِكت َ ِب َو ۡٱل ِح ۡك َم ِّةّيَ ِع ۡ ٱّللَّ َو ٢٣٢ّّع ِليم َ ٱّللَّ َِّ ُكلّّ ُِش َۡيء َّّ ّن َّّ َ ٱعلَ ُم َٰٓواْأ َّّ ْظ ُكمّ َِّ ِّهّۦ َوٱتَّقُوا Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka karena kemadharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka Barang siapa berbuat demikian, maka sungguh mereka sudah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah ni’mat Allah padamu dan apa yang telah 75
Djaman Nor, Fikih Munakahat, Semarang: Dhimas, 1993, hal. 165.
51
Allah turunkan padamu yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah
(as-
Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkanNya itu. Dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.76
Yayasan Penterjemah DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surat Al-Baqarah, ayat 231, hal. 56. 76