AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
TESIS
Oleh ISMY SYAFRIANI NASUTION 077011030/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
2
AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh ISMY SYAFRIANI NASUTION 077011030/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
3
Judul Tesis
: AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA BERDASARKAN UNDANGUNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM Nama Mahasiswa : Ismy Syafriani Nasution Nomor Pokok : 077011030 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua
(Prof. H.M. Hasballah Thaib, MA, PhD) Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN)
(Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn) Anggota
Direktur,
(Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
4
Tanggal lulus : 13 Agustus 2009 Telah diuji pada Tanggal : 13 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota
: 1. Prof. H.M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn 3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
5
4. Chairani Bustami, SH, SpN ABSTRAK Keluarga yang bahagia lahir batin adalah dambaan setiap insan. Namun demikian tidaklah mudah untuk mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia, oleh karena itulah diperlukan adanya lembaga perkawinan untuk mewujudkannya. Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga). Kadangkala timbul perselisihan diantara keduanya yang dapat mengakibatkan timbulnya perceraian. Apabila terjadi perceraian sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibat-akibat terhadap orang-orang yang berkaitan dalam suatu rumah tangga, dimana dalam hal ini akibat hukumnyalah yang akan dititik-beratkan. Akibat hukum perceraian ini tentunya menyangkut pula terhadap anak dan harta kekayaan selama dalam perkawinan (harta bersama). Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini bagaimana cara penyelesaian sengketa terhadap harta bersama menurut Undangundang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama akibat perceraian, dan bagaimanakah penyelesaian jika terjadi sengketa yang berkaitan dengan pemeliharaan anak dari pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian dikaitkan dengan perjanjian perkawinan. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dan materi penelitian diperoleh dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan dan wawancara. Data yang telah dikumpulkan tersebut kemudian dianalisis dengan metoda kualitatif yang didukung dengan oleh logika berfikir secara deduktif. Akibat hukum penyelesaian sengketa terhadap harta bersama menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam bahwa menurut Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan merupakan harta bersama. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, harta bersama setelah terjadinya perceraian akan dibagi dua setengah untuk suami dan setengah untuk istri. ; Pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama akibat hukum dari perceraian adalah hakim harus dapat berperan untuk menemukan hukum agar tercipta ketertiban masyarakat dan merupakan upaya penegakan hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum. Pertimbangan hukum : majelis hakim Pengadilan Agama Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara perceraian menyatakan bahwa gugatan cerai digabung dengan harta bersama adalah hal yang dibenarkan berdasarkan Pasal 86 ayat (1) UndangUndang Pengadilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 yang berbunyi : Gugatan soal penguasaan anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersamaIsmy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
6
sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan tetap ; Akibat hukum penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan pemeliharaan anak dari pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian dikaitkan dengan perjanjian perkawinan ialah dalam hal ini biasanya hukum akan memutuskan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih dibawah umur 12 tahun (belum mumayiz) diserahkan kepada ibu, sedangkan hak-hak pemeliharaan anak untuk anak yang berumur 12 tahun atau lebih ditentukan berdasarkan pilihan anak sendiri, ingin dipelihara ibu atau dipelihara bapaknya. Di dalam perjanjian perkawinan diperbuat pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan sedangkan dalam Hukum Islam, perjanjian perkawinan baru sah apabila diperbuat sesudah perkawinan dilangsungkan. Perjanjian yang mengatur sampai dimana batas-batas tanggung jawab pribadi masing-masing seperti yang disebut dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Kata kunci : Akibat hukum perceraian, harta bersama
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
7
ABSTRACT It is acknowledged that having a prosperous and welfare family mentally and spiritually is a goal for everyone, but not so easy to realize such condition, in connecting with it, required a marriage institution helping them to realize. The meaning of marriage refers to Article I Regulation No. 1 of 1974 regarding marriage is a bound entire spiritually between one women and a mans as a spouse aimed to create a family (household). It is sometime risen quarrels between the couple and it may result in divorced. If divorce taken, is surely cause accesses on people concerned as in household involved and in this matter the law shall be emphasized, the legal consequence of the divorce resulted in also to their children and the wealtg belonging during their marriage (jointly property possessed). The topic to this study is how to have settlement in a legal disputes on their joint property according to the Marriage Regulations No. 1 of 1974and the Islamic Law compilation, how is the judge consideration in determining the share for the joint properties on a divorce, and how to settle if occuring a dispute related with the care for the children by the share of jointly properties after the divorce taken connected to the marriage agreement. The study adopted an analysis descriptive and the material for research taken by using a normative juridical approach. In collecting the data, used a library research and interview directly to the respondent. The data that has been collected later to analyze it by a qualitative method supported by ration and logical deductively. The legal consequence in settlement of any dispute on a jointly properties referred to the Marriage Regulations No. 1 of 1974 and the Islamic Law Compilation stated out that for a marriage dismiss on a divorce so for any jointly properties shall be ruled according to its law each. The properties gained as long as taking marriage shall be jointly possession. Whereas in the Islam Law Compilation, the jointly possession after divorce shall be shared a half for husband and other half for wife. The judge consideration in determining the share for the joint possession on law consequence of divorce is the judge should play role to have a law for creating society order and it shall be an effort enforce the law to assure existing legal certain. The law consideration : the judge council of Religion Court of Medan, who examine and preside the divorce cases declare that divorce claim is compounded with the jointly possession is a matter is allowed bases to Article 86 verse (1) the Regulations on Religious Court Number 7 of 1989 saying : A claim for caring the child, wife necessities and the shared possession is allowed to submit together with the divorce suit or after the divorce decision having a fixed power. The legal consequence Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
8
settlement the disoute related with care the children by share in jointly possession after divorce is related to the marriage agreement in this case as usual the law take decision a right to care the children for under 12 aged (not mumayiz yet) handed over to his/her mother, whreas the right to care the child aged under 12 years or more determined bases to the options for the child, to care by mother or to care by father. In marriage agreement as made before the marriage held while in Islamic Law, the new marriage agreeament is declared legally if made after marriage held. The agreement rule until the individual responsibility of each as mentioned in Article 35 verse (2) the Marriage Regulation No. 1 of 1974. Keywords : legal consequence of divorce, jointly possession.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
9
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat hidayah-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA BERSAMA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM”, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pada penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terimaksih kepada komisi pembimbing, yang terhormat Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Bapak Prof. H.M. Hasballah Thaib, MA, PhD, dan Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada komisi penguji, yang terhormat Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M,Hum dan Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn. Selanjutnya Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada: 1.
Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
10
2.
Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3.
Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (MKn) dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M,Hum selaku Sekretaris Program Magister Kenotariatan (MKn) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4.
Para staf pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
5.
Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
6.
Teristimewa dengan ketulusan hati Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang tercinta kedua orang tua Penulis, ayahanda (alm) H. Maulana Nasution dan Ibunda (alm) Hj. Rafeah Lubis beserta keluarga besar H. Muhammad Syarif Nasution yang telah memberikan doa, perhatian dan kasih sayang serta dukungannya kepada Penulis.
7.
Suami tercinta Ir. Muradi Sofianto MM, anak-anak tersayang M. Farhan Novrialdi, Virza Nanda Triandini dan Getsya Nabilla Azzahra atas perhatian dan dukungannya selama ini.
8.
Rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Suamatera Utara angkatan 2007, khususnya grup A angkatan 2007.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
11
9.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis berharap semoga perhatian dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini jauh dari sempurna, walaupun demikian Penulis mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan,
Juli 2009
Penulis,
Ismy Syafriani Nasution
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
12
RIWAYAT HIDUP
I.
II.
IDENTITAS PRIBADI Nama
: Ismy Syafriani Nasution
Tempat Tanggal lahir
: Medan, 11 April 1969
KELUARGA Nama Ayah
: H. Maulana Nasution
Nama Ibu
: Hj. Rafeah Lubis
Nama Suami
: Ir. Muradi Sofianto
Nama Anak-anak
: 1. Muhammad Farhan Novrialdi 2. Firza Nanda Triandini 3. Getsya Nabilla Azzahra
III.
PENDIDIKAN 1. SD
: SD Perguruan Nasional Khalsa (1976-1982)
2. SMP
: SMP Negeri VI Medan (1982-1985)
3. SMA
: SMA Tunas Kartika I Medan (1985-1988)
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
13
4. S-1
: Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (1988-1993)
5. S-2
: Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ............................................................................................... .
i
ABSTRACT.................................................................................................
iii
KATA PENGANTAR ..............................................................................
v
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................
viii
DAFTAR ISI .............................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................
xii
DAFTAR SKEMA .....................................................................................
xiii
DAFTAR ISTILAH ...................................................................................
xiv
BAB I
: PENDAHULUAN ....................................................................
1
A. Latar Belakang ....................................................................
1
B. Perumusan Masalah .............................................................
7
C. Tujuan Penelitian .................................................................
7
D. Manfaat Penelitian ...............................................................
8
E. Keaslian Penelitian ..............................................................
8
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ........................
9
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
14
1. Kerangka Teori ..............................................................
9
2. Konsepsi ........................................................................
17
G. Metode Penelitian ................................................................
25
1. Sifat Penelitian ..............................................................
25
2. Metode Pendekatan ........................................................
26
3. Teknik Pengumpulan Data .............................................
27
4. Analisis Data ..................................................................
28
PELAKSANAAN PENYELESAIAN SENGKETA KASUS HARTA BERSAMA ................................................................
29
A. Deskripsi Pengadilan Agama di Medan ................................
29
B. Perceraian dan Akibat Hukumnya ........................................
36
C. Cara Penyelesaian Harta Bersama ........................................
50
BAB III : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN PUTUSAN TERHADAP PENYELESAIAN HARTA BERSAMA ...............................................................................
61
A. Peranan Hakim di Pengadilan Agama ..................................
61
B. Penerapan Hukum Terhadap Penyelesaian Harta Bersama ....
66
C. Pertimbangan Putusan Hakim Dalam Menyelesaikan Sengketa Harta Bersama .......................................................
74
BAB IV : AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA SETELAH TERJADI PERCERAIAN .........................................................................
83
A. Ketentuan Mengenai Pengasuhan Anak Setelah Terjadi Perceraian ............................................................................
83
BAB II
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
15
B. Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Dikaitkan Dengan Perjanjian Perkawinan ..........................................................
93
1. Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Kontribusi ........
97
2. Konsepsi Harta Bersama Dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) .............
100
3. Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Kontribusi dan Perjanjian Perkawinan ....................................................
103
4. Upaya Hukum Yang Dapat Ditempuh oleh Salah Satu Pihak Agar Melaksanakan Putusan Hakim Pengadilan Agama Terhadap Pembagian Harta Bersama Setelah Terjadinya Perceraian .....................................................
106
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN.................................................
109
A. Kesimpulan ..........................................................................
109
B. Saran ....................................................................................
110
DAFTAR PUSTAKA 111
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
16
DAFTAR SKEMA
Nomor 1.
Judul
Halaman
Sistem Peradilan di Indonesia ................................................
31
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
17
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
Judul
Halaman
Keadaan Pengadilan Agama dengan Wilayah Hukumnya di Sumatera Utara .........................................................................
34
Keadaan Jenis Perkara pada Pengadilan Agama Medan Tahun 2005 sampai dengan 2009 ..........................................................
35
Kasus Perceraian pada Pengadilan Agama Medan Tahun 2005 sampai dengan 2009...........................................................
45
4.
Alasan Terjadinya Perceraian pada Pengadilan Agama Medan ...
47
5.
Jumlah Kasus Harta Bersama .....................................................
56
6.
Cara Pelaksanaan Penyelesaian Harta Bersama ..........................
56
2.
3.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
18
DAFTAR ISTILAH
Aan maning
: Peringatan, teguran, misalnya peringatan dari juru sita kepada yang kalah dalam perkara perdata agar supaya hari sesudah keputusan itu diterima dapat dipenuhi.
Al’adatu Muhakkamah
: Adat (kebiasaan) yang dapat dijadikan hukum.
Enumaratif
: Menyebut masing-masing.
Fail trail
: Kekeliruan pada pelaku penggugat.
Imperatif
: Pemeriksaan peradilan yang jujur.
Istislah
: Pertimbangan kemaslahatan kepentingan umum.
Jurisdicto contentiosa
: Peradilan (dalam perkara perdata) dimana ada dua Pihak yakni penggugat dan tergugat.
Khazanah
: Perbendaharaan.
Khuluk
: Talaq tebus, yaitu perceraian atas persetujuan Kedua belah pihak dimana isteri membayar ‘iwadh kepada suaminya.
Law standard
: Pedoman atau ukuran peraturan (hukum).
Legal justice
: Keadilan hukum (undang-undang).
masyarakat
atau
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
19
Nebis in idem
: Tidak dapat diputus untuk kedua kalinya Terhadap perkara yang sama.
Nusyuz
: Perbuatan salah satu pihak suami atau isteri untuk Tidak melakukan kewajibannya.
Prosedural justice
: Proses keadilan
Ultra petitum pertium
: Mengabulkan melebihi tuntutan dalam gugatan.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
20
BAB I PENDAHULUAN
H. Latar Belakang Pada dasarnya manusia mempunyai naluri/keinginan untuk mempunyai generasi atau keturunannya. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan satu-satunya cara guna membentuk keluarga, karenanya perkawinan ini mutlak diperlukan, karena juga menjadi syarat terbentuknya sebuah keluarga. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang antara kedua belah pihak suami dan istri, akan senantiasa diharapkan berjalan dengan baik, kekal dan abadi yang didasarkan kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai pula dengan tujuan perkawinan itu sendiri berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. 1 Keluarga yang baik, bahagia lahir batin adalah dambaan setiap insan. Namun demikian
tidaklah mudah untuk mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia,
langgeng, aman dan tenteram sepanjang hayatnya. Perkawinan yang sedemikian itu tidaklah mungkin terwujud apabila di antara para pihak yang mendukung terlaksananya perkawinan tidak saling menjaga dan berusaha bersama-sama dalam pembinaan rumah tangga yang kekal dan abadi. Disamping itu perkawinan juga
1
M.Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974, Cet.I (Medan, .Zahir Trading Co, 1975), hlm.1. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
21
ditujukan untuk waktu yang lama, dimana pada prinsipnya perkawinan itu akan dilaksanakan hanya satu kali dalam suatu kehidupan seseorang. Setiap pasangan suami istri senantiasa mendambakan terciptanya rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Salah satu faktor penunjang terwujudnya rumah tangga yang sesuai dengan konsep Islam ini adalah harta kekayaan yang merupakan zinatu al-hayat, baik harta yang bergerak maupun tidak, bahkan termasuk di dalamnya surat-surat berharga dan hak intelektual. Tatkala kondisi rumah tangga dalam keadaan rukun, umumnya harta kekayaan bersama itu berperan sebagai pelengkap kebahagiaan. Namun, apabila rumah tangga mengalami kondisi disharmonis, maka kemungkinan timbulnya perselisihan dan pertengkaran cukup besar. Acapkali bila perselisihan dimaksud tidak dapat di atasi (out of control), peluang kondisi rumah tangga mencapai puncak perselisihan yang mengarah pada kondisi bubarnya perkawinan (broken marriage) semakin besar pula. Apabila perceraian terjadi, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibatakibat terhadap orang-orang yang berkaitan dalam satu rumah tangga, dimana dalam hal ini akibat hukumnya yang akan dititik-beratkan. Akibat hukum dari perceraian ini tentunya menyangkut pula terhadap anak dan harta kekayaan selama dalam perkawinan. Pada tataran terakhir, harta bersama akan menjadi ajang persengketaan. Dan tidak dapat dinafikan-lembaga peradilan pun akan cukup berperan dalam proses Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
22
penyelesaian persengketaan dimaksud. Lembaga peradilan akan menjadi media bagi suami istri yang bersengketa untuk menuangkan segala argumentasi mereka, khususnya dalam rangka mewujudkan keinginan masing-masing pihak untuk menguasai harta tadi. Deskripsi sederhana di atas tentunya melahirkan pertanyaan mengenai aturan hukum yang akan ditetapkan oleh lembaga peradilan bila para pihak datang dan ingin menyelesaikan persengketaan tersebut. Untuk itu, dalam penelitian ini mencoba untuk menguraikan
aturan hukum dimaksud sejalan dengan perjalanan sejarah aturan
perundang-undangan di Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memuat beberapa pasal tentang harta bersama, tepatnya dalam Bab VII Pasal 35 sampai dengan Pasal 37,Undang-undang Perkawinan berikut diungkapkan : Pasal 35 Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa : 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa : 1. Mengenai harta bersama, suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa : Bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. 2
2
M.Yahya Harahap, Op.Cit, hlm.259
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
23
Aturan-aturan pasal tersebut pada dasarnya telah memberikan gambaran yang cukup jelas. Namun secara implisit apabila di analisis lebih lanjut ternyata ungkapan pada Pasal 37 Undang-undang Perkawinan terungkap bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya. 3 Memperhatikan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan dan penjelasannya, ternyata Undang-undang Perkawinan ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaimana penyelesaian harta bersama apabila terjadi perceraian. Kalau dicermati pada penjelasan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan, maka Undang-undang memberikan jalan pembagian sebagai berikut : 1. Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian. 2. Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat, jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan. 3. Atau hukum-hukum lainnya. 4 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur pembagian harta bersama, akibatnya timbul kesulitan bagi pihak penyelenggara hukum untuk menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan harta bersama. Dari sisi psikologis, hal ini berimplikasi negatif, baik bagi pihak-pihak pencari keadilan maupun bagi lingkungan masyarakat sekitarnya, khususnya bila para pihak yang berperkara atau masyarakat dimaksud adalah muslim. Suasana
ketidakpastian
hukum
tentang
penyelesaian
persengketaan
pembagian harta bersama ini menempuh perjalanan panjang sejak berlakunya 3 4
, Ibid, hlm.125 Ibid hlm 125
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
24
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 (vide Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974) hingga keluarnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991). Meskipun kehadiran Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mempertegas kedudukan dan memperjelas kewenangan absolut (Absolute of vals rechte Competensi) 5 badan peradilan agama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 49 6, Undang-undang Nomor 7 implisit kewenangan terhadap penyelesaian sengketa harta bersama dalam perkawinan, namun masih menjadi ganjalan tentang hukum terapan yang menjadi rujukan sebagai hukum positif tentang harta bersama. Menghadapi fenomena ketiadaan law standard yang bersifat unified legal framework dan unified legal opinian, maka kehadiran Kompilasi Hukum Islam
5
M.Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Cet. I (Jakarta, .Garuda), hlm.25. 6 Isi dari Pasal 49 terdiri dari 3 ayat : Pertama, Peradilan Agama bertugas dan berwenang memberikan, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : Perkawinan, Kewarisan, Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum dan wakaf serta shadaqah. Kedua, bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf (a) ialah : hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. Ketiga, bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (b) ialah : penentuan siapasiapa saja yang menjadi wali waris, penentu mengenai harta peninggalan, penentu bagian masingmasing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Hubungan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Peradilan Tinggi Agama, Surabaya, 1982, hlm.318. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
25
memberikan aturan yang definitif pelembagaan harta bersama yang dimuat dalam buku I Hukum Perkawinan. 7 Kompilasi Hukum Islam memberikan ketegasan wewenang penyelesaian sengketa harta bersama melalui Peradilan Agama sebagaimana pada Pasal 88 yang berbunyi : “Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada peradilan agama”. 8 Penjelasan isi pasal tersebut menyatakan bahwa berlakunya ketentuan tersebut terhitung sejak berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Walaupun kehadiran Komplikasi Hukum Islam diberlakukan berdasarkan instrumen hukum berupa Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, namun secara konstitusional merupakan hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan dalam buku Hukum Islam di Indonesia yang menyatakan : Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan pengembangan dari hukum perkawinan yang tertuang di dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Karena itu, ia tidak dapat lepas dari misi yang diemban oleh Undang-undang Perkawinan tersebut kendatipun cakupannya hanya terbatas bagi kepentingan umat Islam. Antara lain, kompilasi mutlak harus mampu memberikan landasan hukum perkawinan yang dipegangi oleh umat Islam. 9
7
Muttaqin, dkk, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, Edisi 2, (Yogyakarta, UII Press, 1992), hlm.276 8 Kompilasi Hukum Islam terdiri dari 3 (tiga) buku, yaitu Buku I Hukum Perkawinan, Buku II Hukum Kewarisan, dan Buku III Hukum Perwakafan. 9 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, .Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.269 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
26
Uraian di atas kiranya dapat memberikan gambaran betapa perjalanan hukum positif di Indonesia berkenaan dengan harta bersama khususnya di lembaga Peradilan Agama, mengalami dinamika yang cukup beragam. Selanjutnya, dinamika yang cukup beragam ini akan dikombinasikan dengan ajaran Islam sendiri. Tujuannya, untuk menggambarkan permasalahan harta bersama dalam perkawinan secara komprehensif dan sebagai upaya menemukan parameter nilai-nilai rasa keadilan dalam putusan hukum, khususnya bagi para pihak pencari keadilan. I. Perumusan Masalah Bertitik tolak dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang penting untuk diteliti dan dianalisis yakni sebagai berikut : 1. Bagaimana akibat hukum penyelesaian sengketa terhadap harta bersama menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ? 2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama akibat hukum perceraian ? 3. Bagaimanakah akibat hukum penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan pemeliharaan anak dari pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian dikaitkan dengan perjanjian perkawinan ? J. Tujuan Penelitian Pada dasarnya tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman yang benar tentang permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan, kemudian untuk menemukan jawaban-jawaban atas permasalahan-permasalahan Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
27
tersebut. Dalam lingkup yang lebih khusus penelitian ini ditujukan untuk hal-hal sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum cara penyelesaian sengketa terhadap harta bersama menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. 2. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama akibat hukum perceraian. 3. Untuk mengetahui bagaimanakah akibat hukum penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan pemeliharaan anak dari pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian dikaitkan dengan perjanjian perkawinan. K. Manfaat Penelitian Terjawabnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta tercapainya tujuan penelitian diharapkan memberikan sejumlah manfaat secara teoritis maupun secara praktis, antara lain sebagai berikut : 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum perdata khususnya bidang hukum perkawinan tentang hukum harta bersama dan penyelesaian secara kompilasi hukum Islam. 2. Secara praktis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada aparat hukum dan masyarakat terkait dalam melaksanakan ketentuan hukum yang berhubungan dengan pembagian harta bersama sebagai akibat hukum suatu perceraian. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
28
L. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam” belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Oleh sebab itu keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan.
M. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui. 10 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain tergantung pada metodelogi aktivitas penelitian dan imajinitas sosial sangat ditentukan oleh teori. 11 Teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaktis yaitu mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk
10 11
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung,Mandar Maju, 1994, hlm.80 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta,UI Press, 1986, hlm. 6
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
29
meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. 12 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Diberlakukannya Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, telah melahirkan struktur baru dalam peradilan agama yang menambah praktek peradilan yang lama. 13
Tujuan utama dari Undang-undang
Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 adalah penataan organisasi dan kerja pengadilan agama, sehingga menjadi pengadilan modern, sejajar dengan pengadilanpengadilan lain yang berlaku di Indonesia. Adapun Kewenangan Peradilan Agama dijelaskan Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, shadaqah dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sehingga perkawinan menjadi kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu seperti disebut dalam penjelasan Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989.
12
Snelbecker, dalam Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung,Remaja Rosdakarya, 2002, hlm. 34sampai dengan 35 13 Satjipto Raharjo, Pengadilan Agama Sebagai Pengadilan Keluarga, Jakarta PP IKAHI, 1994, hlm.300 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
30
Menurut Pasal 37 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun yang dimaksud “hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Pasal 37 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang pembagian harta bersama. Semula dengan keluarnya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diharapkan dapat terwujud unifikasi hukum harta perkawinan, namun mengenai harta bersama pengaturannya dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 belum tegas, disebabkan pengaturan tentang harta bersama masih bersifat pluralistik, maka diperlukan adanya suatu peraturan hukum yang jelas untuk mewujudkan penegakan hukum yang adil. Untuk memfasilitasi sarana hukum sesuai dengan Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 maka dirumuskanlah Kompilasi Hukum Islam yang dilegalisir dengan instrumen hukum yakni Instruksi Presiden (Inpres Republik Indonesia Tahun 1991). Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 pada konsiderannya huruf (b) menyatakan dengan tegas bahwa Kompilasi Hukum Islam dapat digunakan sebagai pedoman oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukan dalam menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, kewarisan, dan pewakafan. Dalam artikel yang berjudul Materi Kompilasi Hukum Islam menjelaskan materi pokok Kompilasi Hukum Islam antara lain bahwa Kompilasi Hukum Islam melegimitir pelembagaan harta bersama yang dalam Al-Qur’an maupun Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
31
sunnah tidak diatur, bahkan dalam kitab-kitab fiqih pun tidak ada yang membicarakan, sehingga seolah-olah harta bersama kosong atau vakum dalam hukum Islam. 14 Kompilasi Hukum Islam mengatur pokok-pokok materi hukum lembaga harta bersama yang dimuat dalam Bab XIII terdiri dari 13 Pasal yakni Pasal 85 sampai dengan Pasal 97. Undang-undang Perkawinan secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Harta bersama terpisah dari harta pribadi masing-masing 1) Harta pribadi tetap menjadi milik pribadi dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya (suami atau istri) 2) Harta bersama menjadi milik bersama suami istri dan terpisah sepenuhnya dari harta pribadi. b. Harta bersama terwujud sejak tanggal perkawinan dilangsungkan : 1) Sejak itu dengan sendirinya terbentuk harta bersama 2) Tanpa mempersoalkan siapa yang mencari 3) Juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa terdaftar c. Tanpa persetujuan bersama, suami atau istri tidak boleh mengasingkan atau memindahkan. d. Hutang untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta bersama. e. Dalam perkawinan serial atau poligami, wujud harta bersama, terpisah antar suami masing-masing istri. f. Apabila perkawinan pecah (mati, cerai); 1) Harta bersama dibagi dua 2) Masing-masing mendapat setengah (seperdua) bagian 3) Apabila terjadi cerai mati, bagian bagi yang meninggal menjadi tirkah. g. Sita marital atas dasar harta bersama diluar gugat cerai (Pasal 95) 1) Ketentuan ini diperluas dari Pasal 24 ayat 2 huruf a dan c ; Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 2) Suami istri dapat meminta sita marital kepada Pengadilan Agama apabila salah satu pihak boros atau penjudi. 15
14
M.Yahya Harahap, Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Penyunting Cek Hasan Basri, (Jakarta, .Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.104 15 M.Yahya Harahap, Op.Cit, hlm.183 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
32
Menyoroti dari sisi aturan pokok tersebut di atas, pembagian harta bersama tidak dipertimbangkan atas dasar prestasi dan karir masing-masing pihak, tetapi hanya faktor hidup bersama yang didasari suatu perkawinan. Demikian juga faktor loyalitas istri (seperti aspek ketaatan, nusyuz) tidak menghilangkan hak atas harta bersama dan mempunyai bagian yang sama. Sehingga tuntutan kesamaan hak dari kaum wanita pada struktur masyarakat yang patrilineal nampaknya teraplikasi dan terakomodir melalui Kompilasi Hukum Islam yang memberi pengaruh efektif dan kekuatan hukum sehingga diharapkan menjadi Undang-Undang (bukan Instruksi Presiden). Yang dimaksud dengan ruang lingkup harta bersama yaitu uraian yang memberikan penjelasan bagaimana cara menentukan apakah suatu harta termasuk atau tidak dalam kategori sebagai objek harta bersama antara suami istri dalam suatu perkawinan. Dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun yurisprudensi, memang telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama, namun secara In-Konkrito tidaklah sesederhana itu dalam penerapannya. Melalui pendekatan yurisprudensi dan putusan pengadilan, ada 5 (lima) hal atau patokan yang menentukan, termasuk dalam lingkup harta bersama. 16 a. Harta yang dibeli selama perkawinan Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk dalam kategori objek harta bersama atau tidak adalah ditentukan berdasarkan 16
Ibid, hlm.302
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
33
pembelian. 17 Jadi, setiap pembelian suatu barang yang dilakukan selama dalam ikatan perkawinan, maka harta atau barang tersebut menjadi harta bersama. Hal yang demikian tanpa mempersoalkan, apakah istri atau suami yang membeli, apakah harta itu tercatat/terdaftar atas nama suami atau istri. Dengan kata lain, apa saja yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan otomatis menjadi harta bersama. Perlu pula ditegaskan, barang yang dibeli dengan menggunakan harta bawaan tidak termasuk harta bersama. b. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama
18
Untuk menentukan sesuatu barang termasuk objek harta bersama adalah ditentukan oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun sesudah terjadi perceraian. Gambaran tentang patokan kedua ini adalah misalnya suami istri mempunyai simpanan di bank yang dikuasai suami atau istri sebagai harta bersama. Kemudian terjadi perceraian, tapi tidak sempat dibagi harta bersama tersebut. Namun, suami atau istri yang menguasai simpanan itu membeli barang atau bangunan dengan uang simpanan tersebut, maka barang yang dibeli atau bangunan itu menjadi harta bersama. c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan
19
Patokan ketiga ini adalah sejalan dengan kaidah hukum harta bersama, yakni bahwa semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan adalah harta 17
Ibid, hlm.303 Ibid, hlm.304 19 Ibid, hlm.305 18
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
34
bersama. Namun patokan untuk menentukan apakah sesuatu barang termasuk objek harta bersama atau tidak, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan melalui pembuktian. Sebab hak kepemilikan biasa dialihkan berdasarkan atas hak pembelian, warisan atau hibah. d. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan
20
Patokan keempat ini menentukan bahwa baik penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, maupun penghasilan yang tumbuh dari hasil pribadi atau istri. Dengan demikian, fungsi harta pribadi dalam perkawinan ikut menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi tidak terlepas fungsinya dari kepentingan keluarga. Dengan kata lain, barang pokoknya memang tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil yang tumbuh daripadanya, jatuh menjadi harta bersama. e. Segala penghasilan pribadi suami istri 21 Patokan yang kelima ini menentukan bahwa sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami istri tidak terjadi pemisahan, bahkan dengan sendirinya terjadi penggabungan ke dalam harta bersama. Penggabungan penghasilan pribadi dengan sendirinya terjadi menurut hukum sepanjang suami istri tidak menentukan lain yang didasarkan atas perjanjian perkawinan. f. Perceraian dan pembagian harta bersama
20 21
Ibid, hlm.306 Ibid, hlm.171
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
35
Perceraian membawa akibat hukum pada status para pihak dalam perkawinan dan harta perkawinan. Akibat hukum perceraian terhadap harta perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Bab VII mulai Pasal 35, 36 dan 37. Apabila terjadi perceraian atau kematian salah satu pihak dalam perkawinan, perlu ada penentuan kepemilikan harta selama dalam hubungan perkawinan, sehingga mudah ditentukan harta mana yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi. Dalam hal perceraian dapat segera ditentukan harta mana yang menjadi hak istri dan harta mana yang menjadi hak suami. Harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan merupakan harta bersama. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 khususnya Pasal 37 telah menentukan bilamana perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukum masing-masing. Dengan demikian, Undang-undang Perkawinan membuka peluang hukum lainnya mengatur harta bersama tersebut. Pengaturan tersebut sangat abstrak dan umum serta tidak bersifat rinci. Undang-undang bagaimana tentang tentang harta bersama dan juga tidak menentukan tata cara pembagiannya serta jumlah masing-masing. Menghadapi permasalahan dan kesulitan dalam pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 itu diperlukan langkah-langkah yang memadai dari aparat pelaksana undang-undang khususnya hakim, untuk mengisi kekosongan-
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
36
kekosongan yang ada dari hukum itu agar Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dapat berjalan efektif di tengah-tengah masyarakat. Dalam mengisi kekosongan hukum, peranan hakim sangat menentukan, yaitu melalui putusan-putusannya. Undang-undang pada hakikatnya memang dimaksudkan melindungi baik individu maupun masyarakat, tetapi pembentuk undang-undang kiranya mustahil dapat memperhitungkan, memperhatikan, dan menuangkan segala ragam bentuk kehidupan masyarakat dalam suatu Undang-Undang. Pembentuk undang-undang yang hanya dapat memberi ketentuan yang bersifat umum. Oleh sebab itu, tidak mungkin mengatur segala-galanya secara perinci, sehingga perlu sebagian tugas diserahkan pada hakim. 22 Melalui putusan-putusannya, hakim menilai dan memberikan interpretasi pada ketentuan-ketentuan tersebut dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, walaupun undang-undang mengatur secara abstrak dan umum, nilai keadilan dalam masyarakat harus tetap diperhatikan.
2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan
22
Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung,Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
37
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional. 23 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis. 24 Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit di dalam proses penelitian. 25 Selanjutnya, konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala itu. “Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep 23
Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian,Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, hlm.3. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Jakarta Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.7. 25 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1985, hlm.133. 24
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
38
menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris. Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi, yaitu sebagai berikut : a. Akibat Hukum Akibat hukum adalah akibat yang timbul dari hubungan hukum misalnya perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan itu merupakan hubungan hukum yang memberikan hak-hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. 26 Bahwa akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu tindakan subjek hukum. Jadi tidak tepat kalau dianggap bahwa akibat hukum hanya akibat suatu tindakan, karena perbuatan peristiwa hukum pun yang tidak termasuk tindakan hukum dapat juga diberikan akibat-akibat hukum. Dengan istilah perkataan, akibat hukum dapat dikenakan baik pada : 1) Tindakan hukum atau perbuatan hukum 2) Delik, baik delik di bidang hukum pidana (perbuatan pidana) maupun delik di bidang hukum privat (perbuatan melawan hukum). 27 Sehubungan dengan hal itu akibat hukum ada 3 (tiga) macam yaitu : 1) Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu kaidah hukum tertentu. Contoh : mencapai usia 21 tahun melahirkan keadaan hukum baru, dari tidak cakap bertindak menjadi cakap untuk bertindak.
26
J.CT Simorangkir dkk, Kamus Hukum, Cet.8 (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), hlm.6 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta, Gunung Agung, 2002), hlm.251. 27
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
39
2) Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya atau berakhir suatu hubungan hukum tertentu. Contoh : sejak pembeli barang telah membayar lunas harga barang dan penjual telah menyerahkan tuntas barangnya, lenyaplah hubungan hukum jual beli antara keduanya tadi. 3) Akibat hukum berupa sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi di bidang hukum keperdataan. Contoh : di bidang hukum pidana dikenal macam-macam sanksi yang diatur oleh Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Di bidang hukum perdata dikenal sanksi baik terhadap perbuatan melawan hukum maupun wanprestasi. 28 Apabila diperhatikan uraian di atas maka akibat hukum itu dapat dimengerti dengan adanya akibat hukum yang timbul dari hubungan hukum itu. Dalam hal ini terjadinya perceraian akan menimbulkan akibat hukum terutama pada anak, istri dan harta kekayaan selama perkawinan. b. Perceraian Definisi tentang perceraian yang artinya : “Thalaq diambil dari kata “ithlaq” artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah syara’, thalaq adalah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”. 29 Penyebab putusnya perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Undangundang Perkawinan Pasal 38 jo Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam menyatakan : Perkawinan dapat putus karena : 1) Kematian 2) Perceraian 3) Putusan pengadilan. 28 29
Ibid. Sayyid Sabiq, Fiqh, Sunnah, Jilid II, Darul Turats, Qahirah, hlm.206.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
40
Putusnya perkawinan karena perceraian menurut Undang-undang dikenal ada 2 (dua) bentuk yaitu : 1) Cerai talak 2) Cerai Gugat Cerai talak maksudnya, cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, sehingga perkawinan mereka menjadi putus. 30 Sedangkan cerai gugat sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UUPAG) Pasal 73 ayat(1) : Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat, mengenai substansi cerai gugat ialah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh istri agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. 31 Walaupun
Undang-undang
Perkawinan
tidak
menutup
kemungkinan
terjadinya perceraian, namun untuk terjadinya perceraian haruslah memenuhi ketentuan yaitu : 1) Adanya alasan-alasan yang secara limitatif telah ditentukan oleh Undangundang dan tidak dibenarkan perceraian tanpa alasan (persetujuan dua belah pihak/suami atau istri) dan
30
Departemen Agama Republik Indonesia, Pedoman Penyuluhan Hukum, (Jakarta, Dirjen Binbaga Islam, 1991/1992), hlm.63 31 Ibid, hlm.68 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
41
2) Perceraian baru dianggap sah, apabila dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang. Apabila telah sah terjadi perceraian maka menimbulkan akibat hukum bagi anak, istri, suami dan harta kekayaan (Pasal 41 dan Pasal 37 Undangundang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974).
c. Pengertian Harta Bersama Secara etimologi, harta bersama adalah dua kosakata yang terdiri dari kata harta dan kata bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada dua kata pengertian harta. Pertama, harta adalah barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan. Kedua, Harta adalah kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh secara bersama di dalam perkawinan. 32 Menurut terminologi, harta bersama adalah harta yang diperoleh bersama suami istri selama perkawinan. Di Jawa, harta bersama disebut dengan istilah gono gini, di Sunda disebut guna kaya, di Bugis disebut cakara, atau bali reso, di Banjar disebut harta berpantangan, dan lain-lain. 33 Pada tiap-tiap daerah masyarakat mengenal harta bersama dengan istilah yang berbeda, namun pada hakikatnya adalah sama. Kesamaan ini terletak pada harta benda suami istri yang dinisbahkan menjadi harta bersama. Disamping
ketentuan
yang
telah
disebutkan
dalam
Undang-undang
Perkawinan Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 mengenai harta bersama, maka
32
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa ind, Cet. I (Jakarta, Balai Pustaka, 1988), hlm.299 33 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta, Ghalia, 1986), hlm.232 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
42
pengertian harta dalam perkawinan dapat dikembangkan menjadi 3 (tiga) macam harta dan dirinci sebagai berikut : 1) Harta bawaan, yang dimaksud ialah harta yang diperoleh suami istri pada saat atau sebelum melakukan perkawinan, dapat dikatakan bahwa harta tersebut sebagai pemilik asli dari suami atau istri. Pemilikan terhadap harta bawaan (harta pribadi) dijamin keberadaannya secara yuridis oleh hukum perkawinan. 2) Harta pribadi, yaitu harta yang diperoleh oleh suami atau istri selama perkawinan berlangsung sebagai hadiah, hibah, wasiat, atau warisan yang diperoleh secara pribadi terlepas dari soal perkawinan. 3) Harta bersama, yaitu harta yang diperoleh dalam masa perkawinan dalam kaitannya dengan hukum perkawinan, baik diperoleh lewat perantaraan istri maupun lewat perantaraan suami. Harta ini diperoleh sebagai “hasil karya” dari suami istri dalam kaitan dalam perkawinan. Pada harta bersama terdapat pengertian yang menonjol yaitu “bahwa perolehannya atas hasil karya mereka dan dalam masa perkawinan”. Dua syarat ini adalah pengertian secara kumulatif dalam harta bersama. Berbeda dengan harta bawaan, yaitu harta tersebut telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan dan harta pribadi diperoleh secara pribadi yang tidak ada hubungannya dengan perkawinan. Pengertian harta perkawinan ini disebutkan juga dalam Kompilasi Hukum Islam pada Bab I Ketentuan Hukum butir (f), sebagai berikut : “Harta kekayaan dalam Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
43
perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Pernyataan di atas mempertegas klausula, karya suami istri dalam masa perkawinan untuk terwujudnya harta bersama tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta (benda) itu didaftarkan dalam kata lain bukanlah nama orang yang terdaftar terhadap benda itu saja yang mempunyai hak tapi suami istri mempunyai hak yang sama. Dalam literatur lama fikih Islam bidang perkawinan tidak dijumpai pembahasan mengenai harta bersama. M.Yahya Harahap mengatakan bahwa doktrin hukum fiqih tidak ada membahas masalah harta bersama suami istri dalam perkawinan. Hal ini diakui oleh para Ulama Indonesia pada saat mereka diwawancarai dalam rangka penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Namun mereka setuju mengambil syarikat ‘abdan sebagai landasan merumuskan kaidah-kaidah hukum yang berkenaan dengan harta bersama. 34 Berdasarkan pengertian yang dikemukakan tersebut di atas, maka jelas arti umum harta bersama adalah barang-barang yang diperoleh suami istri selama perkawinan. Meskipun hingga saat ini penggunaan berbagai ragam istilah harta bersama masih mewarnai praktek peradilan, namun demikian tidak mengurangi makna dan penerapan hukum yang berkenaan dengan harta yang diperoleh suami istri selama dalam perkawinan dan melembaga menjadi harta bersama antara suami istri selama ikatan perkawinan masih berlangsung tanpa mempersoalkan etnis suku dan stelsel budaya kekeluargaan suami istri.
34
M.Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Op.Cit,
hlm.297. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
44
Mengenai terbentuknya harta bersama dalam perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) : “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Ketentuan ini berarti terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak saat terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan itu bubar (putus). Dengan demikian harta apa saja (berwujud atau tidak berwujud) yang diperoleh terhitung sejak saat berlangsungnya perkawinan (aqad nikah) sampai saat perkawinan terputus baik oleh karena salah satu pihak meninggal dunia maupun karena perceraian, maka seluruh harta tersebut dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersama. Patokan untuk menentukan sesuatu barang atau harta dapat atau tidak dapat dikategorikan ke dalam harta bersama suami istri ditentukan oleh faktor selama perkawinan antara suami istri berlangsung, kecuali jika harta itu berasal dari warisan atau hibah yang diperoleh oleh salah satu pihak, maka hal tersebut menjadi harta pribadi yang penguasaannya dibawah masing-masing, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
N. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
45
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. 35 Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian dinilai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai berikut : 1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam akibat hukum perceraian terhadap harta bersama. Bersifat deskriptif analitis dalam penelitian ini akan menggambarkan dan melukiskan asas-asas atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini. 2. Metode Pendekatan Metode Pendekatan ini menggunakan pendekatan kepustakaan yang bersifat hukum normatif 36 atau penulisan kepustakaan dengan pendekatan perundangundangan (statute approach), terutama untuk mengkaji peraturan perundangundangan yang berkaitan di bidang hukum perkawinan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup : a. Penelitian terhadap azas-azas hukum b. Penelitian terhadap sistematik hukum 35
Soeryono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986), hlm.43 36 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta.Raja Grafindo Pesada, 1999), hlm.23 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
46
c. Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal d. Perbandingan hukum e. Sejarah hukum. 37 Berdasarkan uraian di atas, maka metode pendekatan ini menggunakan metode yuridis normatif yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan dianalisis dengan doktrin dari para sarjana hukum. Dalam hal ini metode pendekatan dilakukan untuk menemukan hukum in-konkrito dan juga pendekatan terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal. Metode Pendekatan dengan metode yuridis normatif diambil dengan pertimbangan bahwa pendekatan ini cukup layak untuk diterapkan, karena dalam metode ini akan diperoleh data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif baik dari sumber hukum primer, sekunder dan tertier. 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif. Untuk itulah data yang diperlukan adalah data sekunder dan data primer. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu : a. Penelusuran kepustakaan berupa penelusuran literatur dan dokumen yang relevan dengan penelitian ini. b. Penelusuran
lapangan
berupa
wawancara
yang
dilakukan
untuk
mengumpulkan data dan informasi dari pihak-pihak yang mengetahui mengenai akibat hukum perceraian terhadap harta bersama berdasarkan
37
Ibid, hlm.14
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
47
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. 38 Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa : a. Bahan hukum primer Yaitu bahan hukum yang mengikat, berupa ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Bahan hukum sekunder Yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain berupa buku-buku hasil penulisan, jurnal, makalah, artikel, surat kabar, internet yang berkaitan dengan objek penulisan ini. c. Bahan hukum tertier Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum dan jurnal ilmiah, majalah, surat kabar, dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. 4. Analisis Data Analisis data merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu penelitian untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Data yang telah 38
Data primer adalah data empiris yang diperoleh langsung dari sumber data, bukan hasil olahan orang, lihat dalam Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004), hlm.170. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
48
dikumpulkan dengan studi kepustakaan tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif yang didukung oleh logika berfikir secara deduktif, sebagai jawaban atas segala permasalahan hukum yang ada dalam penulisan tesis ini.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
49
BAB II PELAKSANAAN PENYELESAIAN SENGKETA KASUS HARTA BERSAMA
D. Deskripsi Pengadilan Agama di Medan Pada tahun 1957 diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, yang berlandaskan hukum bagi pembentukan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Peraturan Pemerintah ini merupakan tonggak yang menandai kembali pasang naiknya perkembangan Peradilan Agama. Pasang naiknya perkembangan itu terus meningkat dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang memberikan landasan yang kokoh bagi kemandirian Pengadilan Agama dan kesetaraannya dengan pengadilanpengadilan lainnya. Pada awalnya instansi Pengadilan Agama di Sumatera Utara didirikan pada tahun 1957 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1957 dengan sebutannya pada ketika itu adalah Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, untuk tingkat pertama (berkedudukan di Ibukota Daerah/Kotamadya) dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Propinsi sebagai pengadilan tingkat banding (yang berkedudukan di Ibukota Daerah Propinsi yakni Kota Medan). 39
39
Syamsuhadi Irsyad, et.al., Peradilan Agama Indonesia : Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, (Jakarta, Ditbinbapeta Departemen Agama Republik Indonesia, 1999), hlm.27 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
29
50
Pada tahun 1980 lahir pula Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang Penyeragaman Nama Instansi Peradilan Agama menjadi Pengadilan Agama. 40 Sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 menyebutkan bahwa : Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Kemudian pada Pasal 2 dipertegas kedudukan Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuatan kehakiman bagi pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu. 41 Struktur hirarki instansional Peradilan Agama dinyatakan pada Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 bahwa : “Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh (a) Pengadilan Agama, (b) Pengadilan Tinggi Agama dan pada ayat (2) : “Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi”. 42 Sejalan dalam hal ini sistem peradilan yang berlaku di Indonesia dapat dilihat pada skema berikut ini :
40
Abdul Hakim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta, PT.Raja Grafindo, 2001), hlm.77 41 M. Yahya Harahap, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Ditbinbapera dan Yayasan Al-Hikmah, 1993/1994), hlm.134 42 Ibid, hlm.105 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
51
Dept. Agama
Dept. Kehakiman
Mahkamah Agung
PTA
PT
PT TUN
PA
PN
PTUN
Dept. Hankam
PANGAB
Mahmilti
Mahmil
Skema 1. Sistem Peradilan di Indonesia 43 Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama, mempunyai tugas pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Peradilan Agama Nomor 14 Tahun 1970 yang menyebutkan :bahwa tugas diajukan kepadanya. Dipertegas lagi di dalam Undang-undang Peradilan Agama Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 ayat (1) yang berbunyi : Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Peradilan Agama Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi : Semua pengadilan memeriksa, mengadili 43
Raihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Edisi 2, (Jakarta,.Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.16. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
52
dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali Undangundang menentukan lain. Penjabaran tugas pokok yang merupakan kewenangan absolut Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Peradilan Agama Nomor 4 Tahun 1989 yang menyebutkan : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang (a) perkawinan, (b) kewarisan wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, (c) wakaf dan sadaqah. Peradilan agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman (judicial power) bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu misalnya perceraian, harta gono gini, hak asuh anak yang diatur dalam Undang-Undang Peradilan Agama terdiri dari 2 (dua) tingkat : “Pertama, Peradilan Agama sebagai peradilan tingkat pertama yang berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten dengan wilayah hukum meliputi kotamadya atau kabupaten. Dan kedua, Peradilan Tinggi Agama sebagai peradilan tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi dengan wilayah hukumnya meliputi wilayah propinsi. Dari aspek yuridis, Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Nomor urut 1, untuk Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
53
memenuhi kebutuhan pelayanan hukum bagi masyarakat Islam di Sumatera Utara didirikan 19 (sembilan belas) unit Peradilan Agama sebagai Pengadilan Tinggi Pertama dan 1 (satu) unit Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat Banding. Dari sisi historis, pembentukan Pengadilan Agama di Sumatera Utara sebanyak 19 (sembilan belas) unit Pengadilan Agama (Mahkamah Syariah) didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama/Mahkamah Syariyah di luar Jawa dan Madura. Salah satu Pasal Peraturan Pemerintah itu mengatur, dimana ada Pengadilan Negeri didirikan Peradilan Agama/Mahkamah Syariyah yang wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum Pengadilan Negeri. Berkenaan dengan pengembangan dan pemekaran wilayah kabupaten dan kota di Sumatera Utara, maka untuk menjangkau pelayanan hukum guna memenuhi tuntutan pemerataan memperoleh keadilan, didirikan Pengadilan Agama yang hingga kini berjumlah 19 (sembilan belas) unit Pengadilan Agama. Untuk lebih jelasnya mengenai Peradilan Agama di Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
54
Tabel 1. Keadaan Pengadilan Agama dengan Wilayah Hukumnya di Sumatera Utara No Peradilan Agama
Wilayah Hukum
1 Medan Kota Medan 2 Binjai Kota Binjai 3 Kabanjahe Kabupaten Karo 4 Rantau Prapat Kabupaten Labuhan Batu 5 Tanjung Balai Tanjung Balai + ½ Asahan 6 Gunung Sitoli Kabupaten Nias 7 Sidikalang Kabupaten Dairi 8 Tebing Tinggi Tebing Tinggi + ½ Serdang Bedagai 9 Pematang Siantar Pematang Siantar + ½ Simalungun 10 Balige Kabupaten Toba Samosir 11 Sibolga Kabupaten Sibolga 12 Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang + 2 Kec.Sergai 13 Kisaran Kabupaten Asahan 14 Simalungun Kabupaten Simalungun 15 Stabat Kabupaten Langkat 16 Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah 17 Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara 18 Panyabungan Kabupaten Madina Natal Sumber Data : Kantor Pengadilan Tinggi Agama Medan, Tahun 2009
Kecamatan 21 5 13 14 12 15 12 11 14 17 3 24 12 13 20 11 23 8
Sesuai dengan kedudukan dan kewenangan Pengadilan Agama yang dipertegas dengan Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989, keberadaan 19 (sembilan belas) unit Pengadilan Agama di Sumatera Utara dipandang telah cukup menjangkau kebutuhan pelayanan hukum masyarakat Islam di Sumatera Utara. Oleh karena itu keberadaannya perlu dan wajib dipertahankan sejalan dengan gerak reformasi dan supremasi hukum dewasa ini. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
55
Undang-undang mempertegas bahwa kewenangan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Peradilan Negara Tertinggi (Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989). Adapun jenis perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama Medan dalam kurun waktu 2005 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2. Keadaan Jenis Perkara pada Pengadilan Agama Medan Tahun 2005 sampai dengan 2009 No
Jenis Perkara
2005
Tahun 2007 -
2008 7
2009 -
1 Izin Poligami
2006 -
2 Pencegahan perkawinan
-
-
-
-
-
3 Penolakan perkawinan oleh PPN
-
-
-
-
-
4 Kelalaian atas kewajiban suami istri
-
-
101
97
124
5 Pembatalan perkawinan
-
2
3
4
6 Cerai talak
93
90
101
97
124
7 Cerai gugat
225
220
205
236
314
8 Harta bersama
3
1
2
3
6
9 Penguasaan anak
-
-
-
-
-
10 Perwalian
-
-
-
-
-
11 Penunjukan orang lain sebagai wali
-
-
-
-
-
12 Isbat nikah
-
-
-
-
-
13 Izin kawin
-
-
-
-
-
14 Dispensasi kawin
-
-
-
-
-
15 Wali Adhal
-
-
-
-
-
16 Kewarisan
6
4
2
17 Wasiat
-
-
-
-
-
18 Hibah
2
-
-
-
-
19 Wakaf
-
2
-
-
3
8
20 Lain-lain Sumber Data : Kantor Pengadilan Agama Medan, Tahun 2009 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
56
Berdasarkan tabel tersebut di atas dapat diketahui bahwa selama 5 (lima) tahun, jumlah perkara jenis harta sebagaimana Nomor urut 8 (delapan) sejumlah 15 (lima belas) buah. Demikianlah
gambaran Pengadilan
Agama
Medan
bersama dengan
personilnya yang kesehariannya bertugas melayani pencari keadilan terutama dalam menyelesaikan perkara-perkara perdata.
E. Perceraian dan Akibat Hukumnya Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 yang menyebutkan : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : (a) Perkawinan, (b) Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan (c) Wakaf dan sadaqah. Ayat (2) bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan pada Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. Untuk lebih rincinya lagi tentang kewenangan Peradilan Agama dalam bidang perkawinan dapat dilihat pada penjelasan Pasal 49 ayat (2) sebagai berikut : 1. Izin beristri lebih dari seorang 2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
57
3. Dispensasi kawin 4. Pencegahan perkawinan 5. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah 6. Pembatalan perkawinan 7. Gugatan kelalaian atau kewajiban suami atau istri 8. Perceraian karena talak 9. Gugatan perceraian 10. Penyelesaian harta bersama 11. Mengenai penguasaan anak-anak 12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tak memenuhinya 13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentu suatu kewajiban bagi bekas istri. 14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak 15. Putusan pencabutan kekuasaan orang tua 16. Pencabutan kekuasaan wali 17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut. 18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orangtuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orangtuanya. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
58
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya. 20. Penetapan asal usul seorang anak 21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran 22. Persyaratan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Khusus dalam perkara sengketa harta bersama penegasan kewenangan bagi Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi : Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Dalam membahas penyelesaian terhadap harta bersama maka sangat erat kaitannya dengan masalah perceraian, oleh karena itu maka dianggap perlu untuk menjelaskan masalah perceraian dan akibat hukumnya. Penyebab putusnya perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam Undangundang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 38 jo Pasal 113 Kompilasi Huku m Islam (KHI) dinyatakan : Perkawinan dapat putus karena (a) kematian, (b) perceraian, dan (c) atas putusan pengadilan. Putusnya perkawinan karena kematian, hal ini merupakan ketentuan Yang Maha Kuasa terhadap manusia. Apabila salah satu pihak meninggal dunia atau mati Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
59
baik suami ataupun istri, maka secara langsung terjadilah pemutusan hubungan perkawinan. Putusnya perkawinan karena perceraian, menurut Undang-undang dikenal ada 2 (dua) cara, yaitu : 1. Cerai Talak 2. Cerai Gugat Cerai Talak adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami, sedang cerai gugat adalah gugatan perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan. M.Yahya Harahap menyatakan : Pasal 37 butir (1) telah menetapkan secara permanen bahwa perkara cerai gugat yang bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat adalah istri, pada pihak lain suami ditempatkan sebagai pihak tergugat. Dengan demikian masing-masing telah mempunyai jalur tertentu dalam upaya cerai talak dan jalur istri melalui upaya cerai gugat. 44 Dengan ketentuan di atas, telah dibuka kemungkinan kepada masing-masing pihak (suami dan istri) untuk melakukan perceraian melalui jalur dan bentuk perceraian, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Dibukanya kebolehan cerai gugat salah satu tujuannya untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan pihak suami dari dominasi hak talak dan untuk menetralisir terwujudnya kerukunan dan keharmonisan rumah tangga dan tentunya bukan untuk membuka jalan yang lebih luas melakukan perceraian. 44
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta, Pustaka Kartini, 1990), hlm.252. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
60
Ahmad Rofiq menyatakan : karena itu isyarat tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian, merupakan alternatif terakhir sebagai pintu darurat yang ditempuh, manakala bahtera rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. 45 Apabila dilihat penyebab terjadinya perceraian dalam kehidupan berumah tangga maka setidaknya ada 4 (empat) kemungkinan yaitu : 1. Terjadinya nusyuz dari pihak istri Petunjuk Al-Qur’an mengatasi istri nusyuz (Surat An Nisa ayat 34) 2. Terjadinya nusyuz dari pihak suami (lihat Al-Qur’an Surat An Nisa ayat 128) 3. Terjadinya syiqaq yaitu perselisihan atau percekcokan antara suami dan istri. Al Qur’an memberi jalan keluar untuk mendamaikan dengan mengangkat hakim (atbitrator) 4. Penyebab lainnya yaitu : a. Ha’ adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh orang Arab di zaman Jahiliyah. Mengila’ istri ialah seorang suami bersumpah tidak akan menyetubuhi istrinya. b. Zihar adalah suami menyerupakan istrinya dengan ibunya dengan mengatakan kepada istri “engkau serupa dengan punggung (belakang) ibunya”. c. Li’an yaitu suami bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa ia menuduh benar (istrinya berbuat) zina dan pada kali yang kelima ia menyatakan bahwa ia sanggup menerima laknat Allah apabila tuduhannya tidak benar. d. Riddah, semua ulama sepakat bahwa riddah atau murtad (keluar dari Agama Islam) seorang suami istri menyebabkan putusnya ikatan perkawinan. e. Fasakh, adalah semacam perceraian dengan keputusan hakim atas permintaan pihak istri. 46
45 46
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta,.Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.169. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985),
hlm.52-54 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
61
Selanjutnya dalam hukum positif di Indonesia alasan perceraian dapat dilihat dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, disebutkan yang menjadi alasan-alasan terjadinya perceraian adalah : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi atau lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) bulan berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan sebagai suami/istri. 6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 7. Suami melarang taklek talak 8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Selanjutnya T.Yafizham mengatakan bahwa perkawinan dapat putus karena : 1. Kematian salah satu pihak 2. a. Thalak Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
62
b. c. d. e. f. g.
Fasakh Khuluk Syiqaq ILA’ Li’an Riddah. 47
Apabila salah satu alasan perceraian tersebut di atas diajukan ke pengadilan agama maka proses perceraian dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu diadakan perdamaian, apabila perdamaian tidak dapat dilaksanakan maka proses perceraian dilakukan. Keabsahan suatu perceraian sehingga perceraian tersebut mempunyai akibat hukum adalah dilaksanakan di depan sidang pengadilan. Perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan tidak diakui keabsahannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan Pasal 39 ayat (1) dinyatakan : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersengketa berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Dari ketentuan pasal tersebut di atas, ditentukan beberapa rumus tentang terjadinya suatu perceraian yaitu : 1. Perceraian yang diakui keabsahannya adalah perceraian yang dilakukan di depan sidang pengadilan yang berwenang. 2. Pengadilan haruslah selalu berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak (suami istri) pada setiap memulai persidangan 47
T.Yafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Medan,.Mustika, 1977), hlm.10 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
63
Pasal ini memberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa gugatan perceraian untuk berusaha mendamaikan pada sidang pemeriksaan. Pasal 39 ayat (1) ini dipertegas lagi dengan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 ayat (1) dan (2) bahwa selama perkara belum diputuskan usaha perdamaian dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan, apabila tercapai perdamaian, maka alasan-alasan gugat yang telah dijadikan perdamaian tidak dapat dijadikan lagi sebagai alasan untuk mengajukan gugatan perceraian baik alasan itu merupakan alasan yang tegas menjadi dasar gugat ataupun alasan-alasan yang tidak tegas, tetapi alasan-alasan itu sebelum dicapai perdamaian telah diketahui penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Hal ini sejalan dengan Pasal 83 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa “Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai. Apabila kedua belah pihak suami istri tidak dapat didamaikan maka pemeriksaan terhadap proses perceraian dilaksanakan. Pasal 131 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam berbunyi : Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam berumah tangga. Pengadilan agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami istri mengikrarkan talaknya. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
64
Jika yang akan melakukan perceraian seorang Pegawai Negeri Sipil persyaratan untuk bercerai lebih dipersulit lagi yaitu sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Demikian juga halnya bagi anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, maka harus berdasarkan Keputusan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima
Angkatan Bersenjata tanggal 3
Januari 1980 Nomor
Keputusan/01/1/1980 tentang Peraturan Perkawinan, Perceraian dan Ruju’ Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pasal (3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 berbunyi : 1. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat. 2. Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat atau bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam butir (1) harus mengajukan secara tertulis. 3. Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuannya adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya. Semua ketentuan ini dimaksudkan untuk mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini mengingat akibat yang akan timbul dari perceraian sangat mempengaruhi Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
65
kedua belah pihak baik istri maupun suami, terutama kepada anak-anak mereka. Pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak menjadi labil karena mereka akan kehilangan kasih sayang kedua belah pihak, dan pemeliharaan yang hanya dilakukan oleh salah satu seorang dari orang tua tidak akan sempurna sebagaimana mereka dipelihara kedua orang tuanya. Kasus perceraian yang diajukan dan telah diproses di Pengadilan Agama Medan dalam kurun waktu Tahun 2005 sampai dengan 2009 dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 3. Kasus Perceraian pada Pengadilan Agama Medan Tahun 2005 sampai dengan 2009 No
Tahun
1
Kasus
Jumlah
Cerai Gugat
Cerai Talak
2005
225
93
318
2
2006
220
90
310
3
2007
205
101
306
4
2008
236
97
333
5
2009
314
124
438
1200
505
1705
Jumlah
Sumber Data : Kantor Pengadilan Agama Medan Tahun 2009 (diolah)
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada Pengadilan Agama Medan dalam 5 (lima) tahun terakhir, tercatat kasus perceraian sejumlah 1705 kasus dengan rincian sebagai berikut : cerai gugat sebanyak 1200 kasus (70,38%) sedangkan Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
66
permohonan cerai/talak sebanyak 505 kasus (29,61%). Selama 5 (lima) tahun tentang kasus perceraian terlihat interval turun naik, yaitu tahun yang relatif banyak terjadi perceraian pada tahun 2009 sejumlah 438 kasus (25,69%), tahun 2008 sebanyak 333 kasus (19,53%), tahun 2005 sebanyak 318 kassu (18,65%), tahun 2006 sebanyak 310 kasus (18,18%) dan tahun 2007 sebanyak 306 kasus (17,95%). Kasus cerai gugat lebih tinggi frekuensinya dari cerai talak dan mempunyai frekuensi yang berbeda-beda pada setiap tahunnya dan yang paling banyak terjadi cerai gugat adalah tahun 2009 dengan jumlah 314 kasus (26,17%). Kasus cerai talak (permohonan cerai talak) juga mempunyai frekuensi yang berbeda pada setiap tahunnya, dan tahun yang relatif banyak terjadi pada tahun 2005 sebanyak 124 kasus (24,55%). Perceraian antara suami istri baik cerai gugat ataupun cerai talak haruslah dengan mengajukan alasan yang telah ditetapkan oleh ketentuan hukum yang berlaku seperti disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 29 jo Pasal 116 Kompilasi Hukum Indonesia. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (1) menyatakan : Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Di Pengadilan Agama Medan para pihak mengajukan kasus cerai talak maupun kasus cerai gugat dilengkapi dengan alasan-alasan perceraian. Alasan yang
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
67
diajukan sebagai dasar terjadinya perceraian pada 5 (lima) tahun terakhir ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
68
Tabel 4. Alasan Terjadinya Perceraian pada Pengadilan Agama Medan Alasan No
Tahun
1
2005
2
2006
3
2007
4
2008
5
2009
Jumlah
Tidak Peng- Cacat Pihak Tidak Poligami Cemburu Ekonomi tanggung Jlh badan ketiga Harmonis jawab aniayaan
1
7
8
5
20
175
25
5
33
55
318
5
25
42
30
2
35
170
310
3
30
50
24
3
71
125
306
4
40
47
25
4
40
166
333
5
50
40
23
5
156
159
438
22
165
354
127
19
335
675
1705
Sumber Data : Kantor Pengadilan Agama Medan Tahun 2009 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebagai alasan terjadinya perceraian pada Pengadilan Agama Medan ada 8 (delapan) macam yaitu : 1. Poligami sebanyak 8 kasus (0,46%) 2. Cemburu sebanyak 22 kasus (1,29%) 3. Ekonomi sebanyak 165 kasus (9,67%) 4. Tidak Tanggung jawab sebanyak 354 kasus (20,76%) 5. Penganiayaan sebanyak 127 kasus (7,44%) 6. Cacat badan/biologis sebanyak 19 kasus (1,11%) 7. Gangguan pihak ketiga sebanyak 335 kasus (19,64%) 8. Tidak ada keharmonisan sebanyak 675 kasus (39,58%) Apabila diperinci kasus dengan latar belakang alasan-alasan perceraian, maka dijumpai beberapa alasan “tidak harmonis” dengan jumlah kasus 675 kasus (39,58%). Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
69
Alasan ini mungkin juga mengacu kepada apa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pada Pasal 19 poin (f) berbunyi : Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Selanjutnya alasan “tidak tanggung jawab dengan jumlah kasus 354 kasus (20,76%). Tidak tanggung jawab ini terjadi karena pihak suami tidak melaksanakan tugasnya (kewajibannya) dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila terjadi perceraian maka akan menimbulkan akibat hukum terhadap anak, istri dan harta kekayaan yang diperoleh semasa dalam perkawinan. Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa : 1. Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anaknya, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberi keputusannya. 2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
70
Pada Pasal 37 dinyatakan bahwa : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dari uraian kedua pasal di atas dapat diketahui bahwa akibat hukum perceraian menyangkut anak dalam urusan pemeliharaan dan biaya hidup, pendidikan dan urusan terhadap mantan istri dan juga terhadap harta bersama. Selanjutnya pada Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa : Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : 1. Anak yang belum memayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh : a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu b. Ayah c. Wanita-wanita dari garis lurus ke atas dari ayah d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu f. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah 2. Anak yang sudah memayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya. 3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
71
4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). 5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d). 6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut Pada Pasal 157 Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi : Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 96, 97 Kompilasi Hukum Islam ( KHI.) Pasal 158 Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi : Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat : a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul b. Perceraian itu atas kehendak suami Pasal 159 berbunyi : Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat pada 158
F. Cara Penyelesaian Harta Bersama Putusnya perkawinan melalui cerai talak, cerai gugat dan kematian salah satu pihak, maka salah satu akibat dari putusnya perkawinan itu adalah harta bersama suami istri. Kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan harta bersama dijelaskan dalam Pasal 88 Kompilasi Hukum Islam( KHI )yang berbunyi : Apabila
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
72
terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada pengadilan. Ada 2 (dua) alternatif penyelesaian harta bersama yang diajukan oleh pihak suami atau istri, yaitu : 1. Masalah atau sengketa bersama diselesaikan setelah terjadi perceraian antara pasangan suami istri. 2. Tatkala proses penyelesaian perceraian berjalan di Pengadilan Agama, sekaligus diselesaikan masalah harta bersama. Alternatif pertama merupakan penyelesaian tersendiri atau terpisah, khusus penyelesaian terhadap harta bersama. Alternatif kedua disebut gabungan atau kumulasi. Penyelesaian harta bersama dapat dilaksanakan bersama dengan proses perceraian baik cerai talak atau cerai gugat, dan dapat juga dilaksanakan bersamaan gugatan masalah hadhanah, waris dan hal-hal lain. Adapun yang dimaksud kumulasi ialah gabungan beberapa gugatan hak (kumulasi obyektif) atau gabungan beberapa pihak (kumulasi subyektif) yang mempunyai akibat hukum yang sama, dalam satu proses perkara. 48 Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Hakim dan Panitera serta Panitera Pengganti Pengadilan Agama Medan bahwa pelaksanaan penyelesaian harta bersama dilakukan dengan dua cara tersebut di atas yaitu secara terpisah dan secara kumulasi. Aparat Pengadilan Agama Medan menganjurkan kepada para pihak untuk
48
A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pengadilan Agama, Cet. I (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996), hlm.43 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
73
melakukan gugatan terpisah, karena lebih efisien dari segi waktu proses persidangan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan secara kumulasi berdasarkan kepentingan para pihak. Sementara hasil wawancara penulis dengan Notaris mengenai cara pelaksanaan penyelesaian harta bersama berpendapat bahwa bila ditinjau dari keefisienan waktu persidangan maka lebih tepat dilaksanakan setelah terjadinya perceraian dan apabila ditinjau dari segi dana atau biaya yang dipergunakan maka pada umumnya masyarakat lebih cenderung melakukan bersamaan dengan proses perceraian. Namun demikian cara yang dilakukan harus memperhatikan kepentingan dan kondisi para pihak yakni suami dan istri. 49 Menurut acara perdata, kumulasi obyektif diperkenankan asal berkaitan langsung yang merupakan satu rangkaian kesatuan (biasanya kausaliteit). Mereka yang mengerti beracara selalu akan mempergunakan dimana mungkin kumulasi obyektif itu, hal mana menghemat waktu, biaya dan sekaligus tuntas semua. 50 Dari segi yuridis, kedua alternatif tersebut dapat ditempuh sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 66 ayat 5 dan Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 : 49 Pada beberapa kasus perceraian ,sering kali terjadi sang suami menggugat seorang isteri, tetapi ia ( penggugat) tidak mau hadir di persidangan sehingga tidak dapat di ucapkan ikrar talak kepada isteri dihadapan sidang Pengadilan Agama dalam hal ini sang suami (penggugat) biasanya memberikan kuasa kepada pengacara untuk mengucapkan ikrar talak apabila hal tersebut terjadi maka pengacaranya dapat membuat akta kuasa otentik denga cara menuliskan kata Basmallah di awal akta tersebut dengan dihadiri oleh dua orang saksi islam di Pengadilan Agama. Wawancara dengan Syahril Sofian Notaris , Medan 17 Juni 2009 50 Raihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta, .Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.66. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
74
Pasal 66 ayat 5 : Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan. Pasal 86 ayat 1 : Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Adapun praktek alternatif pertama adalah jika suami istri telah bercerai melalui prosedur cerai talak, maupun cerai gugat maka salah satu pihak bekas istri ataupun bekas suami mengajukan gugatan harta bersama secara terpisah. Pada alternatif kedua dalam prakteknya, ketika proses permohonan cerai talak diajukan oleh suami sekaligus diajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) menuntut pembagian harta bersama. Demikian juga halnya ketika proses gugatan cerai diajukan oleh istri, sekaligus menuntut pembagian harta bersama yang diperoleh selama dalam perkawinan
atau pihak suami selaku tergugat mengajukan gugatan balik (gugat
rekonversi) menuntut pembagian harta bersama. Praktek alternatif kedua tersebut lazim disebut gugat kumulasi (gugat gabungan). Dari segi filosofinya, adanya persengketaan harta bersama tatkala kondisi rumah tangga terjadi perselisihan atau percekcokan yang mengarah terjadinya perceraian. Apabila suami berkehendak untuk menceraikan istrinya melalui prosedur cerai talak, maka cenderung seorang istri mengajukan gugatan rekonvensi (gugat
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
75
balik) menuntut pembagian harta bersama bahkan hak-hak lainnya sesuai dengan hukum. Begitu juga sebaliknya istri yang sudah bertekad untuk bercerai dari suaminya, mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama sekaligus mengajukan gugat harta bersama menuntut pembagian harta bersama yang diperoleh selama ikatan perkawinan yang telah dikuasai oleh pihak suami atau sebaliknya suami yang mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) harta bersama yang dikuasai istri. Oleh karena itu pada umumnya dalam suatu proses perceraian timbul ketegangan-ketegangan
sebagai
ekses
dari
konflik
rumah
tangga
yang
melatarbelakangi gugatan cerai, maka keinginan sekaligus tuntas disamping cerainya juga tentang pembagian harta bersama. Dari aspek psikologis, jika hanya perceraian saja yang diselesaikan, maka akan timbul kesulitan yang berkepanjangan karena pihak yang menguasai harta bersama akan memanfaatkan peluang menurut keinginannya, mengesampingkan sifat adil dan jujur. Melalui proses yang demikian lebih singkat prosedur yang ditempuh dan lebih efektif serta efisien, daripada diselesaikan di kemudian hari setelah terjadinya perceraian. Adapun munculnya gugatan harta bersama setelah salah satu pihak suami istri meninggal dunia. Ketika dipersengketakan masalah harta warisan yang berasal dari ijbari
maka
didalamnya
dipersoalkan
tentang
harta
peninggalan
almarhum/almarhumah (pewaris). Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
76
Pasal 54 Undang-undang Pengadilan Agama Medan adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi : Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini. Sehubungan dengan hukum acara yang dipergunakan pada Pengadilan Agama ini, maka tahapan-tahapan perkara dalam pemeriksaan sebagaimana hukum acara perdata yaitu : 1. Tahap sidang pertama, yang terdiri dari : pembukaan sidang pertama, yakni hakim membuka sidang, menanya identitas para pihak, pembacaan surat gugatan atau permohonan serta anjuran damai. 2. Tahap jawab menjawab yaitu replik dan deplik dari masing-masing pihak 3. Tahap pembuktian, dimana dalam hal pembuktian ini semua alat bukti diperlihatkan atau diajukan serta disampaikan kepada Ketua Majelis Hakim. 4. Tahap penyusunan konklusi yaitu kesimpulan-kesimpulan dari sidangsidang yang telah berlangsung menurut para pihak dan bersifat membantu hakim dalam menentukan keputusannya 5. Musyawarah majelis hakim, hal ini dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum dan hasil musyawarah ini ditandatangani oleh hakim tanpa panitera sidang dan dilampirkan dalam berita acara sidang. 6. Pengucapan keputusan, pengucapan ini dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum, walaupun sebelumnya mungkin sidang-sidang dilaksanakan tertutup. 51 Dengan adanya tahapan-tahapan di atas, apabila suatu persoalan masuk dan diajukan pada Pengadilan Agama, maka yang pertama dilakukan di persidangan setelah dibacakannya gugatan atau permohonan dari pihak yang bersangkutan, adalah anjuran untuk melakukan perdamaian. Bila para pihak tetap pada pendiriannya untuk
51
Ibid, hlm.134 sampai dengan 139
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
77
melanjutkan perkara ini maka Pengadilan Agama pun meneruskan jalannya persidangan dengan tahap-tahap sebagaimana tersebut di atas. Dalam hal ini Roihan A.Rasyid mengatakan : Kalau terjadi perdamaian maka buatkanlah akta perdamaian di muka pengadilan dan kekuatannya sama dengan putusan, terhadap perkara yang sudah terjadi perdamaian tidak boleh lagi diajukan perkara kecuali tentang hal-hal baru di luar itu. Akta perdamaian tidak berlaku banding sebab akta perdamaian bukan keputusan pengadilan. Bila tidak terjadi perdamaian, hal itu harus dicantumkan dalam Berita Acara Sidang, sidang akan dilanjutkan. 52 Untuk mengetahui jumlah kasus harta bersama di Pengadilan Agama Medan dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 5. Jumlah Kasus Harta Bersama No
Tahun
Kasus
1
2005
2
2
2006
1
3
2007
2
4
2008
4
5
2009
6
Sumber data : Kantor Pengadilan Agama Medan Tahun 2009 (diolah) Adapun pelaksanaan penyelesaian terhadap harta bersama ini dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 6. Cara Pelaksanaan Penyelesaian Harta Bersama No 52
Tahun
Bentuk Gugatan Terpisah Kumulasi
Ibid, hlm.100
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
78
1
2005
-
2
2
2006
-
1
3
2007
1
1
4
2008
1
3
5
2009
2
4
Sumber data : Kantor Pengadilan Agama Medan Tahun 2009 (diolah)
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan penyelesaian harta bersama dilakukan dengan kumulasi dan terpisah. Adapun yang kumulasi merupakan gabungan perceraian dengan harta bersama baik cerai talak maupun cerai gugat dan yang lebih banyak dilakukan adalah dengan cara terpisah. Adapun dari 7 (tujuh) putusan yang menjadi sampel penelitian, 4 (empat) putusan yang proses pelaksanaannya melalui cara terpisah dengan register No. 133/Pdt.G/2005/PA-Mdn ; No.171/Pdt.G/2006/PA-Mdn ; No.291/Pdt.G/2006/PAMdn ; dan No.55/Pdt.G/2007/PA-Mdn antara Connie Sardiella V Leonard Mangatur Hasibuan. Pelaksanaan secara kumulasi harta bersama dengan hadhanah, cerai talak dan cerai gugat terlihat dalam 3 (tiga) putusan Pengadilan Agama Medan dengan register No. : 219/Pdt.G/2006/PA-Mdn ; No.357/Pdt.G/2008/PA-Mdn ; dan No.203/Pdt.G/ 2007/PA-Mdn.antara Connie Sardiella v Leonard Mangatur Hasibuan Dari sekian banyak kasus yang berkaitan dengan sengketa harta bersama, apakah melalui gugatan terpisah dan melalui gugatan kumulasi akan dideskripsikan Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
79
contoh kasus yang dijadikan sampel. Untuk lebih jelasnya kasus gugatan harta bersama secara terpisah di Pengadilan Agama Medan antara Connie Sardiella V suaminya Leonard Mangatur Hasiholan pada Register Perkara No. 171/Pdt.G.2006/ PA-Mdn. Duduk perkara adalah seorang wanita bernama Connie Sardiella (selaku Penggugat), umur 32 tahun, tinggal Jalan Meranti No. 2 Kel Sekip, Kecamatan Medan Petisah Kota Medan mengajukan cerai talak terhadap suaminya Leonard Mangatur Hasiholan umur 39 tahun, tinggal di Kompleks Perumahan Sidosermo Indah x No. 32, RT/RW : 03/06, Kel Sidosermo Kecamatan Wonocolo Kota Surabaya (selaku Tergugat). Penggugat menyatakan mantan suami (Tergugat) yang sudah
bercerai
di
Pengadilan
Agama
Medan
berdasarkan
akta
cerai
No.81/AC/2006/PA-Mdn tanggal 19 Mei 2006 belum menyelesaikan tentang harta bersama dalam rumah tangga mereka, baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Penggugat telah melakukan upaya musyawarah dalam penyelesaian harta bersama dimaksud, namun pihak Tergugat tidak bersedia. Dalam hal ini, Penggugat memandang sikap Tergugat bertentangan dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu melalui petitum gugatannya, Penggugat memohon kepada Pengadilan Agama Medan agar dapat menetapkan harta yang menjadi objek sengketa dapat ditetapkan sebagai harta bersama antara Penggugat dan Tergugat dan menentukan pembagian harta bersama tersebut ½ (seperdua) untuk bagian Penggugat. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
80
Pengadilan Agama Medan setelah melakukan pemeriksaan dalam persidangan melalui tahap-tahap pemeriksaan sesuai dengan ketentuan hukum acara, maka pada tahap akhir menjatuhkan putusan dalam konvensi yang pada pokoknya mengabulkan gugatan Penggugat dan menetapkan bahwa ½ (seperdua) harta yang disebut dalam amar putusan menjadi bagian Penggugat dan selebihnya menjadi bagian Tergugat. Adapun contoh kasus kumulasi perceraian dan pembagian harta bersama : Putusan Pengadilan Agama Medan No. 357/Pdt.G/2008/PA.Mdn antara Conie Sardiella (selaku Penggugat) tinggal di Jalan Meranti Nomor 2 Kelurahan Sekip Kecamatan Medan Petisah Kota Medan mengajukan cerai talak terhadap suaminya Leonard Mangatur Hasiholan tinggal di Kompleks Perumahan Sidosermo Indah X No.32, RT/RW 03/06, Kelurahan Sidosermo Kecamatan Wonocolo Kota Surabaya (selaku Tergugat). Duduk perkara dalam gugatan Penggugat (istri) pada pokoknya Penggugat bermohon agar dapat diberi izin untuk mengikrarkan talak raj’i dengan alasan sudah tidak ada lagi kecocokan dan terjadi perselisihan serta pertengkaran terus menerus juga bermohon penyelesaian terhadap harta bersama yang diperoleh antara Penggugat dengan Tergugat selama masa perkawinan. Dalam jawaban Tergugat, pada prinsipnya Tergugat menyetujui perceraian dan pembagian harta bersama. Pertimbangan hukum : Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara aquo menyatakan bahwa gugatan cerai digabung dengan harta bersama adalah hal yang dibenarkan berdasarkan Pasal 86 ayat (1) Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
81
Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 yang berbunyi : Gugatan soal penguasaan anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan tetap. Kaedah hukum : Kaedah hukum yang dirujuk dalam pertimbangan hukum di atas adalah ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 97 : “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan Pasal 149 huruf a dan b. Putusan hukum : Dalam konvesi : 2. Dalam eksepsi, menolak eksepsi Termohon 3. Mengabulkan permohonan Termohon untuk sebagian 4. Memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak satu raj’i atas diri Termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama. 5. Menetapkan setengah dari harta bersama menjadi bagian Pemohon dan setengah sisanya menjadi bagian Termohon Dalam rekonvensi ; 1. Mengabulkan gugatan rekonvensi Penggugat untuk sebagian 2. Menetapkan kewajiban Tergugat Rekonvensi kepada Penggugat Rekonvensi 3. Menetapkan hutang Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi merupakan hutang bersama Penggugat dan Tergugat Rekonvensi
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
82
4. Menetapkan harta bersama Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi adalah harta bersama dikurangi hutang bersama Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi Berdasarkan putusan dalam perkara ini dapat diketahui bahwa gugatan dilaksanakan secara kumulasi antara cerai talak dan pembagian harta bersama.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
83
BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN PUTUSAN TERHADAP PENYELESAIAN HARTA BERSAMA
A. Peranan Hakim di Pengadilan Agama Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 31 berbunyi : Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-undang. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 11 menyatakan : 1. Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman 2. Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan tugas hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini Pasal-pasal tersebut di atas menjelaskan bahwa peradilan tidak akan dapat berjalan tanpa adanya Hakim. Mengingat beratnya tanggung jawab seorang Hakim, justru itulah dituntut persyaratan tertentu apabila ingin menjadi Hakim. Pasal 13 Undang-undang
Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1989
berbunyi : 1. Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Warga Negara Indonesia b. Beragama Islam Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
61
84
c. Bertaqwa kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massa atau bukan seseorang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam “Gerakan Kontra Revolusi G 30 S/PKI” atau organisasi terlarang yang lain. e. Pegawai Negeri f. Sarjana Syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam g. Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun h. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela 2. Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Agama Menurut Undang-undang ini persyaratan menjadi Hakim Pengadilan Agama berbeda dengan persyaratan menjadi Hakim Pengadilan Agama, hal ini dijelaskan pada Pasal 14. Adapun Hakim-Hakim yang bertugas di Pengadilan Agama Medan dapat dilihat pada tabel berikut ini : Apabila dilihat dari latar belakang pendidikan para Hakim yang bertugas di Pengadilan Agama Medan maka dapat dikatakan sudah memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan pada Pasal 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
85
Pasal 32 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 berbunyi : Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Tugas hakim dalam acara perdata, menurut sistem HIR dan RBG Hakim mempunyai peran aktif memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim berwenang untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan gugatan ke pengadilan (Pasal 119 HIR, 143 RBG) dengan maksud agar perkara yang diajukan itu menjadi jelas duduk persoalannya dan mengendalikan hakim memeriksa perkara yang bersangkutan. Lebih dari itu, hakim berwenang untuk mencatat segala apa yang dikemukakan oleh pencari keadilan apabila yang bersangkutan itu tidak dapat menulis (Pasal 120 HIR, 144 RBG).53 Kewenangan Hakim membantu pihak pencari keadilan tidaklah berarti bahwa Hakim itu memihak atau berat sebelah, melainkan Hakim hanya menunjukkan jalan yang patut ditempuh menurut Undang-undang, sehingga orang yang buta hukum dan tidak bisa menulis tidak dirugikan atau tidak menjadi perkosaan hak oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Menurut sistem HIR dan RBG Hakim adalah aktif, tak hanya aktif mencari kebenaran yang sesungguhnya atas perkara yang ditanganinya, tetapi juga harus aktif menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.54
53
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung, .Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.19 54 Ibid, hlm.21 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
86
Dalam menyesuaikan peraturan hukum dengan peristiwa konkrit atau kenyataan (werkelijkheid) dalam masyarakat bukanlah merupakan hal mudah, karena hal itu melibatkan ketiga nilai dari hukum itu. Maka dari itu dalam praktek tidak selalu mudah untuk mengusahakan antara ketiga nilai tersebut. Keadaan yang demikian ini akan memberikan pengaruh tersendiri terhadap efektivitas bekerjanya hukum dalam masyarakat.55 Dalam melakukan penegakan hukum, Hakim berperan dalam mengatasi perkara yang dihadapinya. Sebagaimana kita ketahui secara sosiologis setiap penegak hukum termasuk Hakim mempunyak kedudukan dan peranan untuk berbuat atau tidak berbuat dan setiap orang secara pribadi dapat melakukan tindakan yang baik dan yang buruk, dalam rangka kedudukan dan peranan Hakim tersebut tidak mustahil kadangkala antara kedudukan dan peranan akan melahirkan suatu konflik yang bermacam-macam terhadap kedudukannya Hakim dituntut berkualitas dan memiliki pengetahuan yang luas, selain daripada itu secara ekonomi Hakim harus mampu membatasi diri, kemudian bisa pula peranan penegak hukum atau Hakim tersebut akan melahirkan kepentingan-kepentingan tertentu dan kepentingan-kepentingan tersebut boleh jadi akan mempengaruhi Hakim dalam menegakkan hukum, selain daripada itu Hakim juga mempunyai keluarga dan berinteraksi dengan masyarakat, oleh karenanya lingkungan juga akan mempengaruhi peranan Hakim tersebut, untuk
55
Syafruddin Kalo, Teori dan Penemuan Hukum, (Medan, SPS Ilmu Hukum USU, 2004), hlm.52 sampai dengan 53. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
87
itu dapatlah dikatakan pengaruh penegak hukum terutama terhadap Hakim bisa berasal dari dirinya sendiri dan bisa juga dari lingkungannya. Sebagaimana diketahui Undang-undang itu tidak selamanya sempurna dan tidak mungkin Undang-undang itu dapat mengatur segala kebutuhan hukum dalam masyarakat secara tuntas. Adakalanya Undang-undang itu tidak lengkap dan adakalanya Undang-undang itu tidak ada atau tidak sempurna. Keadaan ini tentunya menyulitkan bagi Hakim untuk mengadili perkara yang dihadapinya. Namun dalam menjalankan fungsinya untuk menegakkan keadilan maka Hakim tentunya tidak dapat membiarkan perkara tersebut terbengkalai atau tidak diselesaikan sama sekali. Dalam hal ini Hakim harus dapat berperan untuk menemukan hukum agar tercipta ketertiban masyarakat dan merupakan upaya penegakan hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum. Uraian di atas menegaskan betapa beratnya fungsi atau tugas Hakim sebagai penegak hukum dan penemu hukum tidak terkecuali Hakim Pengadilan Agama. Memperhatikan pengertian mujtahid yaitu suatu yang sungguh-sungguh untuk melahirkan suatu keputusan hukum, maka sebenarnya seorang hakim dalam praktek peradilannya juga tetap berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memeriksa suatu perkara sekaligus untuk melahirkan putusan hukum. Dengan memperhatikan pengertian ini maka seorang hakim dapat juga disebut mujtahid, bukan sebagai mujtahid mutlak minimal mujtahid mazhab. 56
56
Hasballah Thaib, Hukum Islam di Indonesia, (Medan, SPS Ilmu Hukum USU, 2005),
HLM.30 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
88
B. Penerapan Hukum Terhadap Penyelesaian Harta Bersama Pembahasan mengenai harta bersama dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UUP) diatur pada Pasal 35 sampai Pasal 37. Dalam Pasal 35 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa : “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”. Pasal 36 Undang-undang Perkawinan : Ayat (1) menyatakan : Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Ayat (2) menyatakan : Mengenai harta bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Ketentuan hukum tentang pembagian harta bersama belum ditetapkan dengan suatu pembagian yang tegas dan konkrit hanya mengikuti cara pembagian menurut hukum agama, adat dan hukum-hukum lainnya. Semula dengan keluarnya Undang-undang Perkawinan.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diharapkan akan terwujud adanya suatu unifikasi hukum harta perkawinan. Namun mengenai harta bersama pengaturannya dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 belum tegas. Mengenai hal ini M.Yahya Harahap berkomentar “barangkali sekurang-kurangnya pembuat undang-undang ini masih ragu-ragu tentang apa yang benar-benar hidup dalam soal perceraian dan pembagian harta kekayaan. Sebenarnya kalau terjadi keraguan dalam soal ini dirasa keraguan itu Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
89
kurang tegas sebab kalau terdapat keraguan dan cara pemecahannya tentu juga dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam meletakkan lembaga harta bersama itupun pembuat Undang-undang kalau begitu masih ragu-ragu. 57 Keraguan dalam menetapkan aturan hukum yang berlaku dalam bidang harta bersama ini tentu akan menimbulkan kesulitan dalam menyelesaikannya, apabila perkawinan putus baik karena perceraian maupun karena kematian. Untuk mengatasi kesulitan itu Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui suratnya Nomor MA/Pemb/0807/75 tanggal 20 Agustus 1975 tentang Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung mengenai pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, antara lain menyatakan bahwa mengenai harta benda dalam perkawinan belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, oleh karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan sendirinya untuk hal-hal ini masih diperlukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan yang lama. Dalam penerapan hukum terhadap harta bersama ini juga dipergunakan yurisprudensi Mahkamah Agung antara lain
: Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 100K/SIP/1967 tanggal 14 Januari 1968 jo Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 83/1965/tanggal 2 Nopember 1966. Dalam hal ini Mahkamah Agung Republik Indonesia menentukan bahwa dalam hal suaminya meninggal dunia, janda berhak mendapatkan separuh dari harta 57
M.Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UndangundangPerkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, (Medan, .Zakir Trading Co., 1975), hlm.125. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
90
bersama, dan sisanya diwariskan kepada janda atau anak-anak pewaris dengan bagian sama besarnya. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51K/SIP/1996 tanggal 7 Nopember 1956 yang berbunyi : Harta yang diperoleh dalam masa perkawinan merupakan harta bersama/gono gini. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 985K/SIP/1973 Tanggal 19 Februari 1976 berbunyi : Semua harta kekayaan yang diperoleh suami istri dalam perkawinan dianggap pendapatan bersama sekalipun itu semata-mata pencaharian suami atau istri. Sudah menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia bahwa harta pencaharian harus dibagi sama rata antara suami istri jika terjadi perceraian. 58 Ketidaktegasan aturan tentang peraturan pembagian harta bersama maka khususnya bagi umat Islam telah dikeluarkan ketentuan hukum yang disebut dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia selanjutnya disebut dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam Konsideran Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembagian Hukum Islam Melalui Yurisprudensi atau yang lebih dikenal dengan proyek
kompilasi Hukum Islam
(KHI), dikemukakan ada 2 (dua) pertimbangan, yaitu : 1. Bahwa sesuai dengan fungsi peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap jalannya pengadilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia, 58
Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi Hukum Kekeluargaan Perkawinan, Pewarisan, (Bandung, Perseroan Terbatas.Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.172 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
91
khususnya di lingkungan Peradilan Agama, perlu mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama. 2. Bahwa guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran pelaksanaan
tugas,
sinkronisasi
dan
tertib
administrasi
dalam
proyek
pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi, dipandang perlu membentuk suatu tim proyek yang susunannya terdiri dari para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik Indonesia. Keterangan di atas memberikan penjelasan bahwa langkah awal dari usaha untuk mewujudkan dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditandai dengan adanya kerjasama antara Badan Peradilan lewat Mahkamah Agung dengan Lembaga Eksekutif melaui Departemen Agama. Abdur Rahman menyatakan Kompilasi Hukum Islam ini sebagai keberhasilan besar umat Islam Indonesia pada pemerintahan Orde Baru ini. Sebab dengan demikian, nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai pedoman fiqh, yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan ini dapat diharapkan tidak akan terjadi kesimpang siuran keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan Agama dan sebabsebab khilaf yang disebabkan oleh masalah fiqh akan dapat diakhiri. 59 Kompilasi Hukum Islam terdiri atau terbagi dalam 3 (tiga) kitab hukum yakni : Buku I Hukum Perkawinan, terdiri dari 19 bab dan 170 Pasal yaitu Buku II Hukum 59
Abdur Rahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, Akademika Pressindo, 1992), hlm.20. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
92
Kewarisan, terdiri atas 6 bab dan 43 pasal, yaitu Pasal 171 sampai dengan 214, dan Buku III Hukum Perwakafan, terdiri dari 5 bab dan 12 pasal, yaitu dari mulai Pasal 215 sampai dengan 228. Materi pokok yang terkandung dalam Buku I Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam ini, memuat pokok-pokok utama, terdiri dari : 1. Penegasan dan penyebaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 2. Mempertegas landasan, filosofis perkawinan 3. Mempertegas landasan ideal perkawinan 4. Penegasan landasan yuridis perkawinan 5. Penjabaran peminangan 6. Penguraian secara enumaratif rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam 7. Pengaturan tentang mahar 8. Penghalusan dan perluasan larangan kawin 9. Memperluas ketentuan perjanjian kawin 10. Mendefinisikan kebolehan kawin hamil 11. Tentang poligami tetap sama dengan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 12. Aturan pencegahan kawin 13. Aturan pembatalan perkawinan 14. Pelenturan makna “aarijalu qawwamuna ‘alan nisa” Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
93
15. Pelembagaan harta bersama. 16. Pengabsahan pembuahan anak secara teknologi 17. Kepastian pemeliharaan anak dalam perceraian 18. Perwalian diperluas 19. Pokok-pokok mengenai perceraian Selanjutnya Pasal 91 Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan klasifikasi harta bersama kepada dua bentuk yakni harta benda berwujud (benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat-surat berharga) dan benda tidak berwujud (hak dan kewajiban). Pada pasal ini ditegaskan pula bahwa harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan terhadap berbagai perjanjian yang dilakukan. Baik suami maupun istri harus sama-sama mengetahui dan menyetujui keberadaan harta bersama apabila dalam status sebagai jaminan. Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur bahwa: Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Kemudian, bila dikaitkan dengan proses perpindahan tangan harta bersama, ditegaskan dalam Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam (KHI) harus sepengetahuan dan seizin kedua belah pihak. Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam (KHI) 1. Pertanggung jawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing. 2. Pertanggung jawaban hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan pada harta bersama. 3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan pada harta suami Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
94
4. Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri Kemudian, satu hal logis berkaitan dengan hutang piutang keluarga dijelaskan pada Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pada pasal ini dinyatakan bahwa baik suami maupun istri bertanggung jawab atas hutang masing-masing. Selanjutnya apabila hutang dimaksud untuk kepentingan keluarga, maka penyelesaian dibebankan kepada harta bersama. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan pada harta suami. Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri. Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam (KHI) : 1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri. 2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat. Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam (KHI), ditegaskan bahwa bentuk harta bersama dalam perkawinan serial atau perkawinan poligami masing-masing terpisah dan tersendiri. Aturan ini sejalan dengan ketentuan hukum adat dan Pasal 65 ayat (1) huruf b dan c Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Asas dalam perkawinan serial atau poligami adalah terbentuknya beberapa harta bersama sebanyak istri yang dikawini suami. Terbentuknya masing-masing harta bersama setiap istri dihitung sejak tanggal berlangsungnya perkawinan dan masing-masing harta bersama terpisah dan tersendiri. 60 Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) :
60
Ibid, hlm.313.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
95
1. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pada Pasal 136 ayat (2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk melakukan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya. 2. Selama sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama Bila Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur perihal harta bersama dan kaitannya dengan perkawinan serial atau poligami, Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur tentang sita jaminan terhadap harta bersama tanpa permohonan gugatan cerai yang dapat dilakukan bila suami atau istri melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keberadaan harta bersama. Contoh-contohnya pun diungkapkan dalam pasal tersebut, seperti halnya mabuk, boros, dan lain sebagainya. Disamping itu, pasal ini menegaskan pula bahwa selama sita jaminan berlaku, penjualan terhadap harta bersama dapat dilakukan bila untuk kepentingan keluarga yang bersangkutan, dengan catatan harus berdasarkan izin Pengadilan Agama yang bersangkutan terlebih dahulu. Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur : 1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. 2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ; Janda atau duda cerai mati/hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
96
Selanjutnya Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan kedudukan harta bersama apabila salah satu pihak, baik suami ataupun istri meninggal dunia, demikian juga halnya apabila terjadi cerai hidup. Pada Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam(KHI) dijelaskan bila salah seorang diantara suami istri meninggal dunia, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menjelaskan posisi harta bersama bila salah seorang pasangan suami istri hilang. Bila hal ini terjadi, maka harta harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya secara hakiki atau secara hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama. Sementara itu, Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) lebih khusus menjelaskan posisi harta bersama bila suami istri cerai hidup. Pada pasal ini ditegaskan bahwa masing-masing pihak berhak mendapat seperdua dari harta bersama, kecuali diatur lain dalam perjanjian perkawinan. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang Pembagian Harta Bersama yaitu surat An-Nisa ayat (3) dijelaskan : “Bagi laki-laki mendapat sebagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita mendapat sebagian dari apa yang mereka usahakan”. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam penyelesaian terhadap harta bersama berdasarkan Nash Al-Qur’an, Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Kompilasi Hukum Islam. C. Pertimbangan Putusan Hakim Dalam Menyelesaikan Sengketa Harta Bersama Setiap putusan Hakim memiliki kekuatan hukum yang harus ditaati oleh semua pihak karena selain putusan itu memenuhi aspek formal yang disebut Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
97
prosedural justice, juga didasarkan pada prinsip utamanya yaitu aturan-aturan atau norma-norma yang ada dan benar-benar mengikuti prinsip hukum yang dikenal sebagai legal justice (putusan hakim harus merupakan putusan yang memenuhi ketentuan formalitas dan mempunyai persyaratan legitimasi). 61 Pedoman bagi seorang Hakim dalam mengambil sebuah keputusan pada sebuah perkara pidana maupun perdata tentunya berdasarkan pada Legal Justice dengan menempatkan hukum sebagai hukum (law is law). Prinsip filosofis ini sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1) yang menggariskan : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Masyarakat dibingungkan dengan adanya putusan Hakim yang saling berbeda dengan putusan Hakim di tingkat pertama dengan putusan Hakim di tingkat banding dan kasasi untuk sebuah perkara yang sama dan yang samasama didasarkan kepada legal justice dengan procedural justice yang mempunyai aspek legitimasi. Melihat kepada putusan-putusan yang sangat berbeda padahal didasarkan pada pertimbangan hukum atas peristiwa yang sama melalui procedural justice yang sama pula menimbulkan penilaian bahwa aspek moralitas yang menggambarkan nilai-nilai keadilan dengan didasarkan pada kebijaksanaan dan kearifan Hakim dalam mengambil putusan sebagai aparat negara dalam melaksanakan tugasnya masih tidak sama. Dalam konteks penegakan hukum dan keadilan, peran Hakim perlu mendapat perhatian yang lebih luas untuk mendapatkan kualitas putusan yang menggambarkan nilai-nilai moral yang tinggi disamping putusan-putusan berdasarkan ketentuan
61
Gayus Lumbuun, Menerobos Goa Hantu Peradilan Indonesia, (Jakarta, Business Information Service, 2004), hlm.132 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
98
norma dan prinsip hukum yang dapat menimbulkan rasa keadilan masyarakat dengan mengingat hukum adalah nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. 62 Dengan demikian maka moralitas dalam sebuah putusan Hakim merupakan dasar yang penting untuk menempatkan putusan itu sebagai sebuah kewibawaan hukum di tengah-tengah masyarakat, sehingga peran dan kedudukan Hakim dapat berada di tempat yang layak, karena hukum adalah apa yang dilakukan Hakim di pengadilan yang dapat dilihat dari putusan Hakim tersebut. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat juga terjadi karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum harus ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu : Kepastian hukum (rechtsicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechttigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan setiap orang mengharapkan dapat ditetapkan hukum dalam hal terjadinya peristiwa konkrit dengan harapan untuk mendapatkan kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. 63 Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari putusan. Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari Hakim yang memeriksa perkara. Dalam pertimbangan dikemukakan analisis yang jelas berdasarkan Undang-undang Pembuktian : 1. Apakah alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat formil dan materil 2. Alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal pembuktian 62
Ibid, hlm.133 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung, Perseroan Terbatas.Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 2. 63
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
99
3. Dalil gugat apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti 4. Sejauhmana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para pihak. 64 Selanjutnya diikuti analisis hukum apa yang diterapkan menyelesaikan perkara tersebut. Bertitik tolak dari analisis itu pertimbangan melakukan argumentasi yang objektif dan rasional, pihak mana yang mampu membuktiakn dalil gugat atau dalil bantahan sesuai dengan ketentuan hukum yang diterapkan. Dari hasil argumentasi itulah Hakim menjelaskan pendapatnya apa saja yang terbukti dan yang tidak, dirumuskan menjadi kesimpulan hukum sebagai dasar landasan penyelesaian perkara yang akan dituangkan dalam diktum putusan. Sebagaimana diuraikan sebelumnya penerapan hukum terhadap harta bersama berdasarkan nash-nash Al-Qur’an, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia serta Kompilasi Hukum Islam. Dengan pelaksanaan pasal-pasal khusus mengatur harta bersama di atas penyelesaian kasus harta bersama dapat diselesaikan. Untuk melihat apa yang menjadi pertimbangan putusan Hakim Pengadilan Agama Medan dalam menentukan pembagian harta bersama yang ada, penelitian dilakukan terhadap sejumlah putusan Pengadilan Agama
yang dijadikan sampel
penelitian. Disamping itu dilakukan juga wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan. Berdasarkan wawancara penulis dengan salah seorang Hakim Pengadilan Agama Medan mengatakan bahwa dalam menyelesaikan kasus harta bersama para 64
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta, .Sinar Grafika, 2005), hlm. 809 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
100
Hakim di Pengadilan Agama ini merujuk kepada nash-nash Al-Qur’an, Undangundang Nomor 1 Tahun 1974, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan dan hukum positif di Pengadilan Agama. Untuk melihat
lebih lanjut bagaimana pertimbangan Hakim dalam
menetapkan putusan harta bersama maka berikut ini ada contoh Putusan Pengadilan Agama Medan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. 1. Putusan Pengadilan Agama Medan dengan Register Nomor : 219/Pdt.G/2006/PAMdn antara Ismed Manday V Anizar. Duduk perkaranya adalah seorang wanita bernama Anizar binti Zainul SM tinggal di Jalan Denai Gang. Bersama Nomor 28, Kelurahan Tegal Sari I Kecamatan Medan Area, Kota Medan selaku Penggugat mengajukan gugatan biaya hadhanah nafkah anak serta gugatan harta bersama ke Pengadilan Agama Medan terhadap mantan suaminya bernama Ismed Manday Bin ali Ibrahim tinggal di Jalan A.R. Hakim Nomor 112 C, Kelurahan Suka Ramai I, Kecamatan Medan Area Kota Medan selaku Tergugat. Dalam posita gugatan Penggugat menyatakan mantan istri Tergugat yang sudah bercerai di Pengadilan Agama Bangkinah berdasarkan akta cerai No.49/AC/1998/PA.BKN tanggal 9 Mei 1998. Selama dalam ikatan perkawinan Penggugat dan Tergugat telah memperoleh 2 (dua) orang anak (anak angkat) dalam pemeliharaan Tergugat dan mempunyai harta bersama berupa benda Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
101
bergerak dan tidak bergerak. Setelah perceraian, Penggugat telah melakukan upaya musyawarah secara kekeluargaan dalam penyelesaian harta bersama dimaksud, namun pihak Tergugat tidak bersedia. Dalam hal biaya hadhanah dan nafkah kedua orang anak selama ini ditanggung Tergugat sebesar Rp.800.000,setiap bulan. Dalam hal ini Penggugat memandang sikap Tergugat bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 97, Pasal 105 huruf c dan Pasal 156 huruf d, bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak memperoleh seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ada ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri. Oleh karena itu melalui petitum gugatnya Penggugat memohon kepada Pengadilan Agama Medan agar dapat menetapkan harta yang menjadi objek sengketa ditetapkan sebagai harta bersama antara Penggugat dan Tergugat dan menentukan pembagiannya seperdua untuk bagian Penggugat dan seperdua lagi untuk Tergugat. Pengadilan Agama Medan setelah melakukan pemeriksaan dalam persidangan melalui tahap-tahap pemeriksaan sesuai dengan ketentuan hukum acara maka pada tahap akhir menjatuhkan putusan dalam konvensi yang ada. Pada pokoknya mengabulkan gugatan Penggugat dan menetapkan bahwa seperdua harta yang disebutkan menjadi bagian Penggugat dan selebihnya menjadi bagian Tergugat. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
102
Menetapkan bahwa gugatan Penggugat biaya hadhanah dan nafkah anak-anak Penggugat dan Tergugat tidak dapat diterima dengan alasan kedua anak tersebut adalah anak angkat, dalam hal ini Penggugat menyatakan sanggup mengurus dan membiayai hidup kedua anak tersebut. Dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Medan merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam Pasal 97, terhadap putusan Pengadilan Agama Medan Tergugat dapat menerimanya dan demikian juga Penggugat dapat menerima pembagian harta bersama dan penolakan Terguat atas biaya hadhanah dan nafkah dua orang anak. 2. Putusan Pengadilan Agama Medan dengan Register No.357/Pdt.G/2008/PA-Mdn, yakni antara Connie Sardiella binti H.Asri Sardin melawan Leonard Mangatur Hasiholan bin Asanri Panjaitan tinggal di Jalan Meranti Nomor 2 Kelurahan Sekip, Kecamatan Medan Petisah Kota Medan (selaku Penggugat) melawan Leonard Mangatur Hasiholan bin Asanri Panjaitan tinggal di Komplek Perumahan Sidosermo Indah Surabaya (selaku Tergugat) yang ditujukan kepada Pengadilan Agama Medan. Kasus posisi : a. Dalam gugatan Penggugat (istri) pada pokoknya Penggugat bermohon agar diberi izin agar mengikrarkan talak satu raj’i dengan alasan sudah tidak ada kecocokan dan terjadi perselisihan serta pertengkaran yang terus menerus, juga sekaligus bermohon penyelesaian terhadap harta bersama yang diperoleh antara Penggugat dan Tergugat selama masa perkawinan. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
103
b. Dalam jawaban Tergugat, Tergugat menyetujui perceraian namun harus menerima hak-hak seorang suami yang akan diceraikan oleh seorang istri sebagaimana tercantum dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI) huruf (a, b) dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Pasal 8 ayat 1, dan pembagian harta bersama. Pertimbangan Hukum : Majelis Hakim Pengadilan Agama Medan yang memeriksa dan mengadili perkara aquo menyatakan bahwa gugatan cerai dihubungkan dengan harta bersama adalah hal yang dibenarkan berdasarkan Pasal 86 ayat (1) Undangundang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 yang berbunyi : Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum. Kaedah Hukum Kaedah hukum yang dirujuk dalam pertimbangan hukum di atas adalah ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 : “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”, ditambah dengan Pasal 149 huruf a dan b Kompilasi Hukum Islam. Putusan Hakim : Dalam Konvensi b. Dalam eksepsi, menolak eksepsi Termohon/Tergugat Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
104
c. Mengabulkan permohonan Termohon untuk sebagian d. Memberi izin kepada Pemohon/Penggugat untuk mengucapkan talak satu raj/i atas diri Termohon dihadapan sidang Pengadilan Agama e. Menetapkan setengah dari harta bersama menjadi bagian Penggugat dan setengah sisanya menjadi bagian Tergugat/Termohon Dalam Rekonvensi a. Mengabulkan gugatan Rekonvensi Penggugat Rekonvensi untuk sebagian b. Menetapkan kewajiban Tergugat Rekonvensi kepada Penggugat Rekonvensi c. Menetapkan hutang Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi merupakan hutang bersama Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi. d. Menetapkan harta bersama Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi adalah harta bersama dikurangi hutang bersama Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi, dan setelah itu dibagi seperdua untuk Penggugat Rekonvensi dan sisanya untuk Tergugat Rekonvensi. Berdasarkan putusan dalam perkara ini dapat diketahui dasar pertimbangan majelis Hakim dalam memutus pembagian harta bersama setelah memeriksa berdasarkan hukum acara yang berlaku maka merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam Pasal 97 dan Pasal 149 huruf (a) dan (b).
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
105
BAB IV AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP ANAK DAN HARTA BERSAMA SETELAH TERJADI PERCERAIAN
A. Ketentuan Mengenai Pengasuhan Anak Setelah Terjadi Perceraian Walaupun perkawinan itu ditujukan untuk selama-lamanya tetapi ada kalanya terjadi hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat diteruskan, misalnya salah satu pihak berbuat serong dengan orang lain, terjadi pertengkaran terus menerus antara suami istri, suami/istri mendapat hukuman lima tahun penjara atau lebih berat, dan masih banyak lagi alasan-alasan yang menyebabkan perceraian. Adanya perceraian membawa akibat hukum terputusnya ikatan suami istri. Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak, maka perceraian juga membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu orang tua tidak dapat memelihara anak secara bersama-sama lagi, untuk itu pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu dari orang tua. Di lain pihak akibat perceraian terhadap harta kekayaan adalah harus dibaginya harta bersama antara suami istri tersebut. Berkaitan dengan masalah pemeliharaan anak setelah perceraian, di dalam Pasal 41 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 terdapat ketentuan yang mengatur hal ini. Adapun bunyi ketentuan Pasal 41 tersebut adalah : 1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi putusannya. 2. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaannya pihak bapak tidak dapat Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
83
106
melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. 3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan di atas dapat diketahui bahwa baik bapak maupun ibu mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap pemeliharaan anak meskipun telah bercerai. Dalam praktiknya, sehubungan dengan pemeliharaan anak ini sering timbul masalah baru setelah perceraian, yaitu adanya pasangan suami istri yang bercerai dan memperebutkan hak pemeliharaan anaknya. Masalah seperti ini sering membutuhkan waktu persidangan yang lama di pengadilan, karena masing-masing bapak dan ibu tidak mau mengalah. Dalam hal demikian biasanya Hakim akan memutuskan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih dibawah umur 12 tahun (belum mumayyiz) diserahkan kepada ibu, sedangkan hak pemeliharaan anak untuk anak yang berumur 12 tahun atau lebih ditentukan berdasarkan pilihan anak sendiri, ingin dipelihara ibu atau dipelihara bapaknya. Namun demikian ada pengecualian terhadap hal ini, yaitu jika anak yang masih dibawah umur 12 tahun sudah dapat memilih, maka anak diminta memilih sendiri untuk dipelihara ibu atau bapaknya. Berkaitan dengan penjelasan di atas, apabila hak pengasuhan anak jatuh ke tangan ibunya dan apabila ibunya tersebut menikah lagi, maka orang tua lainnya yang tidak menikah lagi dapat meminta kembali hak pemeliharaan anaknya melalui pengadilan. Adapun alasan yang diajukan adalah ia khawatir apabila anak ikut orang tua tiri maka perhatian dan kasih sayang yang diterima anak tidak akan cukup. Atas Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
107
permohonan ini, pengadilan yang memanggil para pihak untuk didengar keterangannya. Selain itu juga dalam Pasal 49 UUP diatur bahwa: 1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, kedua anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hah-hal: a. ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. ia berkelakuan buruk sekali. 2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. Berkaitan dengan Pasal 49 UUP tersebut di atas, maka orang tua yang memperoleh hak pemeliharaan anak dapat dicabut haknya berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri apabila telah memenuhi unsur-unsur tersebut di atas. Seperti yang terjadi pada kasus pencabutan hak pemeliharaan anak berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 349K/AG/2006 tanggal 3 Januari 2007 mengenai kasus perceraian antara Tamara Bleszyinski dengan Teuku Rafly Pasya di mana salah satu amar putusannya menetapkan pengasuhan anak bernama Rassya Isslamay Pasya berada dalam pengasuhan ayahnya. 65 Mahkamah Agung telah mengambil sikap untuk menetapkan pengasuhan anak, manakala pasangan suami isteri bercerai dan si isteri kembali ke agamanya semula. Anak tersebut ditetapkan pengasuhannya kepada pihak ayah dengan
65
Paradigma Baru dalam Penyelesaiaan Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama. www.badilag.net/data/artikel. Diakses terakhir pada tanggal 27 Juli 2009. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
108
pertimbangan untuk mempertahankan akidah anak. 66
Masalah agama/aqidah
merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seseorang Ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anaknya yang masih belum mumayyiz. Pertimbangan tentang aqidah sebagai kelayakan untuk mengasuh anak merupakan pertimbangan dari sudut syar’i yang mengedepankan salah satu maqhosidusy syar’iyyah (tujuan syari’at Islam) yaitu menjaga keutuhan agama Islam dengan ditopang oleh beberapa hadits Rasulullah. Namun di sisi lain perlu dicermati dari sudut pandang yuridis normatif, pertimbangan Mahkamah Agung tersebut setidaknya telah menyimpangi dari dua ketentuan hukum : 1. Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan pengasuhan anak dibawah umur (dibawah usia 12 tahun) berada dalam pengasuhan ibunya, tanpa pernah menyinggung permasalahan agama ibunya. Sebagai perbandingan pasal 116 huruf h, menyebutkan bahwa perceraian karena murtad itu dapat dilakukan apabila ternyata kemurtadan tersebut akan menimbulkan perpecahan dalam rumah tangga. Dalam pemahaman a contrario, manakala kemurtadan tersebut tidak menimbulkan perpecahan rumah tangga, maka si isteri berhak untuk mengasuh anak tersebut dalam naungan ikatan perkawinan yang syah. Oleh karenanya pasangan suami isteri tetap berhak mengasuh anak tersebut, meskipun salah satu pihak murtad. 2. Ketentuan dari hukum Hak Asasi Manusia yang tertera pada UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 51 ayat (2) dimana setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. 67
66
Ibid. Lihat juga Syamsuhadi Irsad, Kapita Selekta Hukum Perdata Agama Pada Tingkat Kasasi, hlm. 20. Serta Achmad Djunaeni, Putusan Pengadilan Agama Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, hlm 149, masing-masing dalam Kapita Selekta Hukum Perdata Agama Dan Penerapannya, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2004. 67 Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, (Jakarta, Harvarindo, 2002), hlm. 17. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
109
Seorang ibu maupun ayah mempunyai hak yang
sama
untuk
dan mendidik anaknya. Perlindungan hukum dalam koridor hak asasi merupakan sesuatu hak yang universal, tanpa batas apapun dan
mengasuh manusia
berlaku
bagi
siapapun (tidak ada pertimbangan perbedaan agama, ras, suku maupun lainnya yang seringkali dijadikan alasan untuk membedakan hak asasi seseorang dengan yang lainnya). Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan.
68
Oleh karenanya
dari latar
belakang
ketidak bolehan seorang isteri murtad yang bercerai untuk
pemikiran
tersebut,
mengasuh
anaknya,
adalah pelanggaran yang asasi bagi seorang ibu untuk mengasuh anak kandung
yang
ia
sendiri. Terlebih lagi manakala keadaan si anak masih sangat
memerlukan pengasuhan ibunya (di usia balita). Latar belakang pemikiran maqoshidusy syar’i (tujuan disyari’atkannya agama Islam) dalam yurisprudensi Mahkamah Agung dijelaskan oleh Achmad Djunaeni bahwa masalah aqidah merupakan syarat untuk menentukan gugur tidaknya hak seorang ibu atas pemeliharaan dan pengasuhan terhadap anaknya yang masih belum mumayyiz. Begitu juga menurut Syamsuhadi Irsyad bahwa Mahkamah Agung menempatkan aqidah sebagai ukuran penentu kelangsungan atas keberlakuan hak hadlonah tersebut atau menjadi gugur karenanya. Ketentuan pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menerangkan tentang adanya kemungkinan orang tua (ayah ibu) atau salah satunya dicabut kekuasaannya untuk waktu tertentu dengan alasan sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan pengasuhan anak terhadap salah satu dari kedua orang tuanya bukan merupakan penetapan yang bersifat permanen, akan tetapi sewaktu-waktu hak anak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain melalui pengajuan gugatan pencabutan kekuasaan ke Pengadilan. 69 68 69
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Op. Cit. www.badilag.net/data/artikel. Diakses terakhir tanggal 27 Juli 2009.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
110
Apabila melihat adanya kebolehan terhadap pencabutan kekuasaan orang tua untuk waktu tertentu, maka secara gramatikal analogis boleh pula menetapkan pengasuhan anak terhadap salah satu pihak untuk jangka waktu tertentu. Oleh karenanya akanlah sangat bijak apabila seorang hakim dapat menetapkan pengasuhan anak belum mumayyiz kepada ibunya yang kembali ke agamanya semula dengan memberikan jangka waktu tertentu. Jangka waktu ini dapat diperhitungkan hingga anak tersebut mampu berinteraksi dan memahami agamanya, misalkan ditetapkan pengasuhan anak hingga anak mencapai usia 5 atau 7 tahun serta menetapkan pengasuhan berikutnya kepada si ayah. Dengan alternatif seperti ini, maka hakim dalam memberikan penetapannya tidak menyalahi ketentuan hak asasi dari pihak ibu dan juga tetap menjaga maqhosidusy syari’ah yaitu menjaga aqidah anak, karena ketika anak beranjak dewasa (memasuki masa mumayyiz) telah berada pada kekuasaan ayahnya. 70 Demikian juga dalam masalah harta bersama, sering terjadi sengketa antara suami dan istri yang harus diselesaikan di pengadilan. Sengketa ini berkisar dalam masalah perebutan harta yang diakui sebagai milik pribadi, padahal harta itu adalah harta bersama. Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Furqah berarti bercerai, yang merupakan lawan dari berkumpul. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh para ahli fiqih yang berarti perceraian antara suami istri. Tidak ada seorangpun yang ketika melangsungkan perkawinan mengharapkan akan mengalami perceraian. Apalagi jika dari perkawinan itu telah dikarunia anak. Walaupun demikian ada kalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan lagi sehingga terpaksa harus terjadi perceraian antara suami istri. 70
Ibid.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
111
Untuk melakukan perceraian pihak yang ingin melakukan perceraian harus mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa “Pengadilan hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Jadi jika dalam sidang-sidang pengadilan, Hakim dapat mendamaikan kedua belah pihak yang akan bercerai itu, maka perceraian tidak jadi dilakukan. Dalam hal ini adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, semata-mata ditujukan demi kepastian hukum dari perceraian itu sendiri. Seperti diketahui bahwa putusan yang berasal dari lembaga peradilan mempunyai kepastian hukum yang kuat, dan bersifat mengikat para pihak yang disebutkan dalam putusan itu. Dengan adanya sifat yang mengikat ini, maka para pihak yang tidak mentaati putusan Pengadilan dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Sebagai contoh, bekas suami yang tidak mau memberikan biaya hidup yang ditentukan oleh Pengadilan selama istri masih dalam masa iddah atau tidak mau memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak yang diwajibkan kepadanya, dapat dituntut oleh bekas istri dengan menggunakan dasar putusan Pengadilan yang telah memberikan kewajiban itu kepada bekas suami. Adapun pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara perceraian ialah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
112
Setelah perkawinan putus karena perceraian, maka sejak perceraian itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dalam arti telah tidak ada upaya hukum lain lagi oleh para pihak, maka berlakulah segala akibat putusnya perkawinan karena perceraian. Jika dari perkawinan yang telah dilakukan terdapat anak, maka terhadap anak tersebut berlaku akibat perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Di lain pihak bagi pemeluk Agama Islam, akibat putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 149 sampai dengan 162 Kompilasi Hukum Islam. Khusus untuk akibat perceraian terhadap anak, dapat dilihat dalam Pasal 156 huruf a sampai f Kompilasi Hukum Islam. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah : 1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh : a. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu b. Ayah c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu f. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah 2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
113
3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula 4. Semua nafkah dan hadhanah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) 5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d) 6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Ketentuan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam di atas, jika dibandingkan dengan ketentuan Pasal 41 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, jauh lebih lengkap. Hal ini wajar, menginigat ketentuan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 merupakan peraturan yang sifatnya umum (untuk semua agama), sedangkan Kompilasi Hukum Islam merupakan peraturan yang khusus untuk pemeluk agama Islam saja, sehingga ketentuan-ketentuan yang dimuat harus sedetaildetailnya. Terlepas dari sifat umum dan khusus kedua peraturan itu, pada dasarnya ketentuan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam menentukan kewajiban yang sama bagi orang tua yang bercerai untuk Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
114
memelihara anaknya, hal mana yang justru sering menimbulkan persengketaan baru antara orang tua untuk memperebutkan hak pemeliharaan anaknya tersebut. Namun demikian menurut Ahmad Azhar Basyir, apabila perceraian terjadi antar suami istri yang telah berketurunan, yang berhak mengasuh anak pada dasarnya adalah istri (ibu anak-anak) dengan syarat istri tersebut belum menikah dengan lakilaki lain. Dalam hal ini yang paling penting diperhatikan dalam menentukan pemberian pemeliharaan anak adalah kepentingan anak itu sendiri, dalam arti akan dilihat siapakah yang lebih mampu menjamin kehidupan anak, baik dari segi materi, pendidikan formal, pendidikan akhlak dan kepentingan-kepentingan anak lainnya. Untuk menentukan orang yang paling dapat dipercaya untuk memelihara anak, di dalam Pengadilan biasanya Hakim akan mengumpulkan informasi sebanyakbanyaknya. Informasi ini dapat berasal dari para pihak sendiri, maupun berasal dari saksi-saksi yang biasanya dihadirkan dalam persidangan. Untuk masalah harta kekayaan setelah perceraian, diatur di dalam Pasal 37 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pada Penjelasan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
115
B. Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Dikaitkan Dengan Perjanjian Perkawinan Perjanjian perkawinan pengertiannya dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Bab V Pasal 29 : 1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersangkut. 2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. 3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan 4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirobah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merobah dan perobahan tidak merugikan pihak ketiga. 71 Calon suami istri, sebelum perkawinan dilangsungkan atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian perkawinan (huwelijkvoorwarden). Yang mana antara lain : 1. Persetujuan perjanjian perkawinan tersebut diperbuat secara tertulis 2. Perjanjian perkawinan tertulis tersebut disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan 3. Sejak pengesahan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, isi ketentuan perjanjian tersebut menjadi sah kepada suami istri dan juga terhadap pihak ketiga, sepanjang isi ketentuan yang menyangkut pihak ketiga (Pasal 29 ayat 1).
71
M.Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, Cet. I, (Medan, .Zahir Trading Co., 1975), hlm.84 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
116
4. Perjanjian
perkawinan
mulai
berlaku
sejak
tanggal
hari
perkawinan
dilangsungkan (Pasal 29 ayat 3). 5. Perjanjian perkawinan tidak dapat dirobah selama perkawinan, jika perobahan tersebut dilakukan secara sepihak. Perobahan unilateral tidak boleh, akan tetapi jika perobahan atas kehendak bersama atau secara bilateral perobahan dimaksud dapat dilakukan (Pasal 29 ayat 1). 6. Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana isi ketentuan perjanjian itu melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan. 72 Perjanjian perkawinan dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan atas persetujuan bersama dengan tertulis, dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak bersangkut. Di dalam penjelasan resmi yang dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini tidak termasuk taklik talak. Taklik sesungguhnya suatu perjanjian juga, tetapi taklik yang biasa diucapkan lapaz yang tertentu tidak tercakup dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan ini diperbuat pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, sedangkan dalam Hukum Islam perjanjian perkawinan baru sah apabila diperbuat sesudah perkawinan dilangsungkan, sebab itulah taklik talak yang juga termasuk dalam perjanjian perkawinan dilaksanakan sesudah perkawinan dilangsungkan. 72
Ibid, hlm.82
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
117
Bahwa pengertian dalam Pasal 29 tersebut tidak lain dimaksud untuk tujuan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut adalah serupa maksudnya dengan Pasal 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) yakni persetujuan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan. 73 Perjanjian yang mengatur sampai dimana batas-batas tanggung jawab pribadi masing-masing seperti yang disebut dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 terhadap hutang yang dibuat oleh suami terhadap pihak ketiga. Dengan adanya pasal ini banyak menolong pihak istri ataupun suami atas tindakan-tindakan atau hutang yang dibuat oleh suami, maka harta istri tidak ikut tanggung jawab atas hutang tersebut. Apabila dilihat Pasal 29 dan Pasal 35 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini, maka Pasal 29 ini membuka perluasan untuk hal-hal yang lain mengenai harta benda perkawinan. Sedangkan dalam Pasal 35 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974: 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masingmasing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini bahwa perkawinan tersebut otomatis membuat harta yang dibawa ke dalam perkawinan
73
Ibid, hlm.83
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
118
menjadi terpisah. Namun demikian Pasal 35 ayat 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa harta benda yang diperolehnya selama perkawinan menjadi harta bersama. Dalam Pasal 36 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan : 1. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Sedangkan Pasal 37 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing. Oleh karena dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya menyebutkan pemisahan harta terhadap harta bawaan masingmasing saja, maka Pasal 29 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini banyak menolong pihak istri maupun pihak suami atas tindakan yang merugikan, sehingga dengan adanya Pasal 29 ini calon suami dan calon istri dapat membuat perjanjian lain mengenai harta bawaan mereka masing-masing. Umpamanya mengenai tindakan atau hutang yang dibuat suami, harta istri tidak ikut bertanggung jawab atas pelunasannya.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
119
Dengan adanya perjanjian perkawinan dalam Pasal 29 ini dapat diatur sampai dimana batas-batas tanggung jawab pribadi masing-masing dalam mengurus harta yang disebut dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 terhadap hutang-hutang yang dibuat oleh suami terhadap pihak ketiga. Namun menurut peneliti, ini bukan pembagian yang sifatnya wajib karena memang tidak ada nash syara’ yang mewajibkan pembagian seperti itu. Pembagian fifty-fifty ini hanyalah salah satu alternatif pembagian yang sifatnya mubah, bukan satu-satunya pembagian yang dibolehkan. Ketentuan mubah ini kemudian diadopsi oleh Kompilasi Hukum Islam menjadi satu ketentuan yang mengikat dalam pembagian harta gono gini. Berdasarkan penjelasan di atas maka, pembagian harta gono gini sepenuhnya tergantung pada hasil perdamaian antara suami istri berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha. Oleh karena itu pembagian harta bersama terbagi atas: 5. Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Kontribusi Perubahan pola hidup masyarakat terjadi secara perlahan tapi pasti akan menimbulkan akses cukup besar terhadap timbulnya perubahan nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai yang dulunya sudah mapan mengalami pergeseran dan mengambil bentuknya yang baru demikian seterusnya. Misal, dahulu jika seorang istri bekerja mencari nafkah membantu keluarga dapat menimbulkan citra buruk suami di mata masyarakat. Tetapi sekarang hal itu merupakan hal yang biasa akibat tuntutan dan perubahan zaman. Seorang istri bukan saja membantu bahkan terkadang istrilah yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, bisa jadi karena istri lebih besar mencari nafkah karena istri lebih berpendidikan atau secara sosial ekonomi makro peluang mencari pekerjaan istri lebih berpeluang daripada suami. Demikian juga sebaliknya bisa terjadi seorang suami lebih banyak memiliki waktu mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga daripada istri karena istri bekerja seharian. Paradigma istri bekerja dan mengurus rumah tangga dan suami sebagai pencari nafkah menjadi “kabur”. Peran suami dan istri dalam memenuhi dan melaksanakan tanggung jawabnya terjadi pengaburan peran (vague of role). Perubahan hal-hal tersebut sedikit banyak memerlukan pengkajian ulang tentang lembaga harta bersama baik yang Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
120
dihasilkan oleh istri maupun suami meskipun secara tegas telah dinyatakan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991. 74 Kedudukan dan posisi istri di dalam sebuah lembaga perkawinan dalam pandangan fiqih dari awal sudah terlihat. Hal itu tampak jelas ketika para ulama fiqih memandang dan menilai makna sebuah perkawinan. Bila dicermati di dalam kitab-kitab fiqih, para ulama mendefinisikan perkawinan semata-mata pada konteks hubungan biologis (seksual) dan dalam konsep-konsep perkawinan Islam yang lain juga mainstream bias jender masih sangat kentara dengan menempatkan posisi perempuan begitu subordinatif. Kedudukan istri dalam sebuah lembaga perkawinan menurut pandangan fiqih tersebut jelas mempengaruhi ulama-ulama fiqih pada umumnya untuk tidak menjadikan persoalan harta bersama sesuatu hal yang urgen untuk dijadikan bahasan karena memang hak-hak istri terhadap harta-harta yang diperoleh di dalam perkawinan secara sosiologis kultural masyarakat Arab pada umumnya saat itu jauh dari nilainilai kesetaraan sebagaimanay telah ditunjukkan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Apalagi jika kita menengok hubungan laki-laki dan perempuan sebelum Islam hadir. Berdasarkan bukti-bukti Qur’an serta peninggalan-peninggalan sejarah masa lalu hubungan laki-laki dan perempuan tidak lebih adalah suatu hubungan jantan dengan betina, dengan sedikit perbedaan, sesuai dengan tingkat-tingkat kelompok dan golongangolongan kabilah masing-masing, yang pada umumnya tidak jauh dari cara hidup yang masih mirip-mirip dengan tingkatan manusia primitif. Menurut undangundang Romawi masa itu, wanita adalah harta benda milik laki-laki, dapat diperlakukan sekehendak hati, ia berkuasa dari soal hidup sampai matinya, dipandang persis seperti budak. Keadaan inilah yang secara gradual diperjuangkan oleh Islam yang secara universal Islam hadir berusaha meletakkan prinsip-prinsip kesamaan antara suami dan istri. 75 Dalam kitab-kitab fiqih tidak ditemukan lembaga harta bersama sebagaimana lembaga harta bersama yang kita pahami sekarang. Lembaga yang ada adalah syirkah. Oleh karena itu para pakar hukum Islam kontemporer berbeda pendapat tentang dasar hukum harta bersama. Sebagian menyatakan Islam tidak mengatur sama sekali tentang hukum harta bersama. Pendapat ini misalnya dianut oleh Anwar Haryono, Hazairin dan Andoerraoef. Namun sebagian lainnya menyatakan bahwa hal yang tidak mungkin Islam tidak mengatur tentang harta bersama 74 75
http://www.pasimalungan.net. Diakses terakhir pada tangal 25 Maret 2009. Ibid.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
121
sedangkan hal-hal yang lebih kecil diatur secara rinci dan ditentukan kadar hukumnya. Secara sosiologis konsep harta bersama memang tidak dikenal dalam Syariah Islam karena Hukum Islam yang sampai kepada kita sangat dipengaruhi budaya dan kultur masyarakat Arab pada waktu itu yang tidak mengenal adanya harta bersama antara suami dan istri. Pendapat ini erat kaitannya karena umumnya bahwa ahli-ahli fiqih Islam adalah orang Arab yang tidak mengenal adanya pencaharian bersama suami istri dan secara sosiologis budaya masyarakat Arab yang patrilineal menganggap harta yang diperoleh suami setelah perkawinan adalah harta suami semata dan istri hanyalah sebagai pemegang amanah untuk menjaga harta suami tersebut. Apalagi kedudukan ini mendapatkan justifikasi yang kuat di dalam beberapa hadist yang terlihat subordinatif terhadap peran istri di dalam rumah tangga. Istri tidak mempunyai hak sedikitpun terhadap harta yang diperoleh oleh suami semasa perkawinan kecuali nafkah yang diberikan oleh suaminya. Hal ini memang didukung sekali oleh kultur budaya waktu itu karena sangat jarang istri yang bekerja diluar rumah membantu suami mencari nafkah, dan budaya seperti itu sampai sekarang masih terpelihara. Karena kehadiran Islam merupakan jawaban terhadap persoalan-persoalan manusia di zamannya makanya banyak nash yang jika dilihat dari sudut pandang pemikiran modern saat ini terlihat diskriminatif terhadap kedudukan istri. Padahal jika dikaji sejarah kehadiran Islam saat itu telah mengangkat derajat dan kedudukan perempuan di dalam hubungan sosial sudah demikian modern jika dibandingkan dengan Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
122
pemahaman masyarakat Arab yang ada sebelum kehadiran Islam. Oleh karena itu wajar jika masih terdapat nash-nash yang secara tekstual kelihatan menempatkan kedudukan perempuan lebih rendah dibanding kedudukan laki-laki karena memang nash merupakan jawaban terhadap masalah sosial yang ada saat itu. Apalagi nash-nash tersebut belakangan telah ditafsirkan secara subjektif oleh para ulama fiqih. Berdasarkan konsep fiqih tentang harta kekayaan dalam perkawinan maka harta bersama hanya mungkin terjadi dalam dua bentuk : pertama, karena adanya akad syirkah antara suami dan istri, baik dibuat saat berlangsungnya akad nikah atau sesudahnya. Kedua, adanya perjanjian yang dibuat untuk itu pada waktu berlangsungnya akad. 6. Konsepsi Harta Bersama Dalam Undang-Undang Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Perkawinan
dan
Secara historis terminologi harta bersama yang berwawasan nasional baru dilaksanakan sejak berlakunya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sebelumnya terdapat istilah harta bersama dalam berbagai istilah yang sangat kental dengan pengaruh hukum adat dan hukum Islam. Menurut M.Yahya Harahap, jika ditinjau secara historis terbentuknya harta bersama adalah akibat terjadinya perkembangan hukum adat terhadap harta bersama yang didasarkan akibat terjadinya partisipasi istri di dalam membantu suami mencari nafkah. Baik Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam telah meletakkan dasar-dasar hukum perkawinan yang lebih substantif dibandingkan Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
123
pandangan fiqih dalam menilai hubungan suami dan istri. Paradigma perkawinan yang dibangun oleh Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam lebih mengarah kepada penyamaan kedudukan suami dan istri, yang membedakannya hanyalah perbedaan peran suami dan istri di dalam lembaga keluarga. Paradigma tersebut jelas dapat dipahami pada Pasal 31 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang tidak jauh berbeda dengan bunyi Pasal 79 ayat (1), (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tersebut di bawah ini : a. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum Kalau dikaji dasar-dasar perkawinan yang dibangun oleh Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam terlihat jelas pengaruhnya dalam pembentukan nilai-nilai dasar dalam pembentukan hukum mengenai harta bersama. Dalam Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam ada beberapa hal prinsip yang dibangun berkenaan dengan hukum harta bersama : a. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung (KHI Pasal 1 huruf f)
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
124
b. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri karena perkawinan. c. Harta bawaan di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan Melihat pasal-pasal di dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 terdapat nilai-nilai hukum baru yang dipertegas kembali oleh Kompilasi Hukum Islam bahwa harta bersama suami istri adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan perolehannya tersebut tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa dan tidak mempersoalkan siapa di antara suami istri yang mencari. Jika terjadi perceraian maka bagi kedua-duanya mempunyai hak separoh. Meskipun paradigma Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam ingin meletakkan prinsip-prinsip persamaan hak dan kewajiban namun pada penerapannya dalam uraian pasal-pasal selanjutnya terkesan masih adanya ambiguitas. Misal pada pasal-pasal tentang hak dan kewajiban suami istri, khusus mengenai hal ini penulis menilai terkesan masih kentalnya mainstream fiqih padahal di zaman modern ini mengingat realitas sosial sekarang menunjukkan perkembangan yang semakin luas dimana fungsi ekonomi keluarga tidak hanya menjadi monopoli laki-laki atau suami, melainkan juga istri. Para istri tidak hanya duduk di rumah dan melayani kebutuhan suami, melainkan juga bergulat dengan usaha dan kerja-kerja ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. Penghasilan ekonomi istri juga tidak sekedar menjadi sumber ekonomi tambahan atau sampingan bahkan bisa jadi menjadi sumber pokok atau utama. Khusus di daerah perkotaan saat ini semakin banyak terjadi penghasilan istri justru menjadi tumpuan ekonomi keluarga termasuk untuk suaminya. Dengan begitu istri punya beban ganda (double burden). Oleh karena itu jelas bahwa telah terjadi perubahan besar antara kebudayaan lama dengan kebudayaan baru, antara bangunan sosial abad yang lampau dengan bangunan sosial abad sekarang. Maka menarik seluruh
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
125
hukum lama untuk diterapkan ke dalam struktur sosial baru menjadi tidak proporsional dan tidak adil sama sekali. 76 Oleh karena itu terdapat pendapat bahwa hukum pembagian harta bersama baik yang ada di Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam adalah semata-mata fiqih Indonesia atau penafsiran kontekstual terhadap kultur dan budaya Indonesia yang sangat rentan terkontaminasi budaya internasional maka bukan suatu hal yang tabu jika ternyata pola struktur masyarakat ketika diterapkannya hukum-hukum perkawinan khususnya tentang hak dan kewajiban suami dan istri telah mengalami perubahan bentuk yang cukup mendasar akan sangat tidak adil jika mempertahankan sistem pembagian harta bersama setengah untuk suami dan setengah untuk istri jika terjadi perceraian. Berdasarkan hal tersebut di atas disetujui adanya reinterpretasi dan reformulasi fiqih dalam masalah-masalah hukum keluarga Islam termasuk dalam Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam perlu mendapatkan apresiasi yang serius sedemikian rupa sehingga kaum perempuan Indonesia mendapatkan hak-haknya secara adil dan dijalankan melalui proses-proses yang demokratis, karena pilar utama hukum adalah keadilan. Berdasarkan itu pula maka wacana pembagian harta bersama berdasarkan kontribusi sangat perlu untuk diapresiasi dalam rangka penegakan prinsip-prinsip syariah dalam situasi-situasi yang berubah atau lebih khusus lagi penegakan keadilan yang proporsional antara hak suami dan istri di mata hukum. 76
Ibid.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
126
7. Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Kontribusi dan Perjanjian Perkawinan Bahwa kewajiban suami yang telah ditetapkan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang berkaitan langsung dengan terwujudnya harta bersama adalah kewajiban suami sesuai penghasilannya memberi nafkah, kiswah, biaya-biaya rumah tangga dan tempat kediaman kepada istri. Sebaliknya dengan kewajiban nafkah tersebut, feedback-nya kepada istri adalah kewajiban istri untuk mengelola dan mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya demikian pula jika istri tidak melaksanakan kewajibannya istri dianggap nusyuz dan akibatnya suami tidak mempunyai kewajiban untuk menafkahi, memberi kiswah, biaya rumah tangga dan tempat kediaman. Berdasarkan prinsip-prinsip hukum harta bersama yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam maka semua harta benda yang terwujud selama perkawinan menjadi harta bersama. Masalah harta bersama tersebut tidak menjadi persoalan jika memang perkawinan tetap utuh dan baru menimbulkan masalah jika terjadi perceraian. Apalagi ternyata istri lebih banyak memberikan sumbangsih dalam terbentuknya harta bersama. Maka dalam hal-hal terjadi pergeseran peran sebagaimana yang telah digariskan oleh Undangundang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam maka sangat adil jika dalam hal istri hanya melaksanakan kewajibannya sebagai istri sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
127
istri tersebut telah mendapatkan setengah maka jika istri tersebut memberikan sumbangsih kepada harta bersama, misal dalam kasus istri juga bekerja maka dalam hal seperti ini akan adil jika pembagian harta bersama dihitung seberapa besar kontribusi istri. Oleh karena itu bisa jadi dalam pembagian harta bersama terjadi pembagian enam banding empat, tiga banding lima dan lain sebagainya. Sebenarnya masih ada upaya-upaya preventif yang diberikan Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam, untuk menghindari terjadi perselisihan bila di kemudian hari terjadi perceraian khususnya terkait dengan masalah pembagian harta yaitu adanya lembaga perjanjian perkawinan namun perjanjian perkawinan ini belum memasyarakat dan sesuatu hal yang tabu, materialistik dan tidak etis untuk dibicarakan saat pernikahan baru dilangsungkan, perjanjian perkawinan hanya dijadikan sekedar pelengkap rangkaian perkawinan Persoalan harta bersama setelah terjadinya pemutusan hubungan perkawinan adalah merupakan masalah yang sangat penting untuk dijamin sebab menyangkut kehidupan khususnya bagi pihak istri setelah berpisah dari suami sebelum ataupun tidak sama sekali istri untuk melakukan perkawinan selanjutnya. Hal ini dapat dilihat dari Yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 9 Oktober 1968 No.89.K/SIP/1968 yang menyatakan bahwa : selama seorang janda tidak kawin lagi dan selama hidupnya, harta bersama yang dipegang olehnya tidak dapat dibagikan guna menjamin penghidupannya. 77 Hal yang menjadi pertimbangan adalah bahwa masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi adanya persamaan hak atau yang lebih dikenal dengan emansipasi wanita adalah telah sesuai.
77
Ibid.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
128
Berdasarkan hasil penelitian bahwa hanya satu perkara yang menyelesaikan pembagian harta bersama mereka melalui Surat Perjanjian Perdamaian antara mantan suami dengan mantan istri. Hal ini terjadi karena antara suami dan istri keduanya bekerja, dan diantara mereka mempunyai pendapat masing-masing bahwa merekalah yang lebih banyak menghasilkan pendapatan selama perkawinan berlangsung. Untuk itu mereka, walaupun sudah ada putusan Hakim mengenai perceraian, tetapi mereka menentukan lain untuk harta bersama mereka. Selain itu juga berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa mereka menjalankan putusan Hakim Pengadilan Agama Medan untuk membagi setengahsetengah dari harta bersama mereka. Dari jawaban responden yang dikumpulkan, bahwa mereka tidak begitu mempermasalahkan isi putusan Hakim Pengadilan Agama Medan, hal ini dikarenakan : a. Hal ini terjadi karena sudah adanya kesadaran yang tinggi mengenai persamaan hak antara pria dan wanita. b. Mereka ingin selalu menjalani suatu hubungan silaturrahmi yang baik dengan mantannya masing-masing juga keluarganya, tanpa adanya suatu keributan yang terjadi apalagi keributan itu hanya disebabkan suatu persoalan harta. c. Mengenai keberatan mengenai harta bersama juga tidak dilakukan karena untuk menjaga perasaan anak-anak yang dilahirkan, apalagi yang sudah mengerti tentang kehidupan kedua orang tuanya.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
129
d. Memakan waktu, tenaga dan pikiran bila putusan Pengadilan Agama Medan dilakukan upaya hukum lainnya seperti banding, kasasi dan peninjauan kembali Dari data di atas, mengenai praktek pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian dengan adanya putusan Pengadilan Agama Medan, sudah cukup baik. 8.
Upaya Hukum Yang Dapat Ditempuh oleh Salah Satu Pihak Agar Melaksanakan Putusan Hakim Pengadilan Agama Terhadap Pembagian Harta Bersama Setelah Terjadinya Perceraian Dalam hal salah satu pihak tidak mau melaksanakan isi putusan Pengadilan Agama Medan tentang pembagian harta bersama yang ada setelah terjadinya perceraian, tentunya dapat dilakukan upaya hukum. Upaya hukum dimaksud adalah dengan memohon eksekusi ke Pengadilan Agama untuk memaksa pihak yang tidak mau melaksanakan putusan Pengadilan Agama khususnya mengenai pembagian harta bersama. 78 Dalam menjalankan eksekusi terhadap perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama dapat ditempuh tahapan-tahapan sebagai berikut : a. Permohonan pihak yang menang Jika pihak yang menang ingin putusan pengadilan dijalankan, maka ia harus membuat surat permohonan yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama. Tanpa ada surat permohonan maka eksekusi tidak dapat dilaksanakan. b. Penaksiran biaya eksekusi Jika Ketua Pengadilan Agama telah menerima permohonan eksekusi dari pihak yang berkepentingan, maka segera dilakukan penaksiran biaya eksekusi yang diperlukan yang meliputi biaya pendaftaran eksekusi, biaya saksi-saksi dan biaya pengamanan serta lain-lain yang dianggap perlu. Setelah biaya 78
Wawancara, Hakim Pengadilan Agama Medan, Irsan Muchtar Nasution, Wakil Ketua Pengadilan Agama Medan, tanggal 08 Juni 2009 Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
130
eksekusi tersebut dibayar oleh pihak yang menghendaki eksekusi kepada Panitera atau petugas yang ditunjuk untuk mengurus biaya perkara, barulah permohonan eksekusi tersebut didaftarkan dalam register eksekusi. c. Melaksanakan peringatan (aanmaning) Aanmaning merupakan tindkan dan upaya yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Agama berupa teguran kepada pihak yang kalah agar mau melaksanakan isi putusan secara sukarela. Aanmaning dilakukan dengan melakukan panggilan terhadap pihak yang kalah dengan menentukan hari, tanggal dan jam persidangan dalam surat panggilan tersebut. d. Mengeluarkan surat perintah eksekusi Apabila peringatan tidak diindahkan oleh pihak yang kalah, maka Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan perintah eksekusi dengan ketentuan : 1) Perintah eksekusi itu berupa penetapan ; 2) Perintah ditujukan kepada Panitera atau Jurusita yang namanya harus dicabut dengan jelas ; 3) Harus menyebut dengan jelas nomor perkara yang hendak dieksekusi dan objek barang yang hendak dieksekusi ; 4) Perintah eksekusi dilakukan di tempat letak barang dan tidak boleh di belakang meja ; 5) Isi perintah eksekusi supaya dilaksanakan sesuai dengan amar putusan. e. Pelaksanaan eksekusi riil Dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, Panitera atau Jurusita dibantu dua orang saksi berumur 21 tahun, jujur dan dapat dipercaya. 79 Dengan kata lain, pihak yang merasa dirugikan, dapat mengajukan permohonan pelaksanaan isi putusan Pengadilan Agama dengan memohon eksekusi atas putusan Pengadilan Agama yang telah membagi pembagian harta bersama antara suami dan istri setelah terjadi pemutusan hubungan perkawinan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada bahwa untuk masing-masing suami istri mendapat setengah. Sedangkan apabila sejak awal, masalah pembagian harta bersama tidak dimintakan oleh pasangan suami istri yang akan bercerai pada saat terjadinya pemeriksaan sengketa perceraian, maka para pihak dapat mengajukan masalah
79
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta, Al-Hikmah, 2001), hlm.215. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
131
pembagian harta bersama ke Pengadilan Agama yang terpisah dari sengketa perceraian sebelumnya. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa, para pihak yang telah melakukan pembagian harta bersama sebagai akibat hukum putusnya hubungan perkawinan, tidak pernah melakukan upaya hukum untuk memaksa salah satu pihak untuk melaksanakan isi putusan Pengadilan Agama adalah disebabkan karena adanya kesadaran hukum yang tinggi dan menyadari persamaan hak antara wanita dan pria.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
132
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
C. Kesimpulan 1. Akibat hukum penyelesaian sengketa terhadap harta bersama menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam bahwa menurut Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan merupakan harta bersama. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, harta bersama setelah terjadinya perceraian akan dibagi dua setengah untuk suami dan setengah untuk istri. 2. Pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama akibat hukum dari perceraian adalah hakim harus dapat berperan untuk menemukan hukum agar tercipta ketertiban masyarakat dan merupakan upaya penegakan hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum. Pertimbangan hukum : majelis hakim Pengadilan Agama Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara perceraian menyatakan bahwa gugatan cerai digabung dengan harta bersama adalah hal yang dibenarkan berdasarkan Pasal 86 ayat (1) UndangUndang Pengadilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 yang berbunyi : Gugatan soal penguasaan anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan tetap. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
109
133
3. Akibat hukum penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan pemeliharaan anak dari pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian dikaitkan dengan perjanjian perkawinan ialah dalam hal ini biasanya hukum akan memutuskan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih dibawah umur 12 tahun (belum mumayiz) diserahkan kepada ibu, sedangkan hak-hak pemeliharaan anak untuk anak yang berumur 12 tahun atau lebih ditentukan berdasarkan pilihan anak sendiri, ingin dipelihara ibu atau dipelihara bapaknya. Di dalam perjanjian perkawinan diperbuat pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan sedangkan dalam Hukum Islam, perjanjian perkawinan baru sah apabila diperbuat sesudah perkawinan dilangsungkan. Perjanjian yang mengatur sampai dimana batas-batas tanggung jawab pribadi masing-masing seperti yang disebut dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. D. Saran 1. Kepada praktisi hukum agar dapat meningkatkan penyuluhan hukum terhadap masyarakat di dalam mensosialisasikan pelaksanaan hukum penyelesaian sengketa harta bersama. 2. Untuk mencegah terjadinya polemik sekitar harta bersama dalam suatu perkawinan, disarankan agar akta nikah disertai dengan ketentuan tentang harta bersama dalam perjanjian perkawinan. 3. Diharapkan kepada Pemerintah agar meninjau kembali atau meringankan biaya permohonan pelaksanaan eksekusi agar pihak yang dirugikan mendapat perlindungan hukum. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
134
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ahmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis & Sosiologis), Jakarta, Gunung Agung, 2002. Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta, Tokoh Gunung Agung, 2002 A.Rasyid, Raihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Edisi 2, Jakarta, .Raja Grafindo Persada, 2005. Arto, A.Mukti, Praktek Perkara Perdata Pengadilan Agama, Cet. I, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996. Daud, Abu Bin Sulaiman As Asy, Sunan Abu Daud, Jilid 2, Suriyah Mesir, Darul Hadist, 1389/1969. Departemen Agama RI, Pedoman Penyuluhan Hukum, Jakarta, Dirjen Binbaga Islam, 1991/1992. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, .Serajaya Santra, 1989. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.I, Jakarta, Balai Pustaka, 1986. Djunaeni, Achmad, Putusan Pengadilan Agama Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Kapita Selekta Hukum Perdata Agama Dan Penerapannya, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2004.
Fuadi, Munir, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator dan Pengurus), Bandung, .Citra Aditya Bakti, 2005. Hadikusuma, Hilman, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi Hukum Kekeluargaan Perkawinan, Pewarisan, Bandung, Perseroan Terbatas.Citra Aditya Bakti, 1993. Hakim, Abdul, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, .Raja Grafindo Persada, 2001. Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia, 1986. Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
111
135
Harahap, M.Yahya, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974, Cet.I,Medan : .Zahir Trading Co, 1975. ________________, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta : Pustaka Kartini, 1990. ________________, Berbagai Pandangan Terhadap Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, Ditbinbapera dan Yayasan Al-Hikmah, 1993/1994. ________________, Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Penyunting Cek Hasan Basri, Jakarta : .Logos Wacana Ilmu, 1999. ________________, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta, .Sinar Grafika, 2005 ________________, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Dalam Tingkat Banding, (Jakarta, .Sinar Grafika, 2006. ________________, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Penyunting Cek Hasan Basri, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999. _______________, Kedudukan, Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Cet.I, Jakarta, Garuda. _______________, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974, Cet.I, Medan, Zahir Trading Co, 1975. Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cet.I, Bandung, Mandar Maju, 1992. Hamzah, Andi, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia, 1986. _______________, Hubungan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Tinggi Agama, Surabaya, 1982.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
136
Irsyad, et.al, Syamsuhadi, Peradilan Agama Indonesia : Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya, Jakarta, Ditbinbapeta Departemen Agama RI, 1999. Irsad, Syamsudin, Kapita Selekta Hukum Perdata Agama Pada Tingkat Kasasi, Kapita Selekta Hukum Perdata Agama dan Penyelesaiaannya, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2004. Kie, Thong Tan, Studi Kenotariatan dan Serba Serbi Praktek Notaris. Latif, Djamil, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1985 Lubis,.Solly M, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. Lumbun, Gayus, Menerobos Goa Hantu Peradilan Indonesia, Jakarta, Business Information Service, 2004. Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, Yayasan Al-Hikmah, 2001. Meliala Djaja, S, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan. Penerbit Mertokusumo, Sudikno, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung, .Citra Aditya Bakti, 1993. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. 2002. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, .Citra Aditya Bakti, 2000. Muttaqin, dkk, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, Edisi 2, Yogyakarta, UII Press, 1992. Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, .Raja Grafindo Persada, 1995. Rahardjo, Satjipto, Pengadilan Agama Sebagai Pengadilan Keluarga, Jakarta, PP IKAHI, 1994.
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
137
Rahman, Abdur, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo, 1992. Pasaribu, Chairuman, Perceraian Menurut Hukum Islam, Dalam Media Hukum, No.1 Tahun V, Medan, UMSU Press, 1994. Sabiq, Sayyid, Fiqh, Sunnah, Jilid II, Darul Turats, Qahirah. Safri, Ayat, Kamus Praktis Asuransi.. Simorangkir, J.CT, Kamus Hukum, Cet.8, Jakarta, Sinar Grafika, 2004. Snelbecker, dalam Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986. _______________, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999. Subekti R, R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet.XIX, Jakarta, Pradnya Paramita, 1985. _____________________, Hukum Acara Perdata, Bandung, Bina Cipta, 1980. Thaib, Hasballah, Hukum Islam di Indonesia, Medan, SPS Ilmu Hukum USU, 2005. Wawan Tunggul Alam, Kasus-kasus Hukum Dalam Kehidupan Sehari-hari. Yafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Cet.I, Medan, .Mustika, 1977.
Undang-Undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.
138
Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.110 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Instruksi Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Artikel On-line Paradigma Baru dalam Penyelesaiaan Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama. www.badilag.net/data/artikel. Diakses terakhir pada tanggal 27 Juli 2009. www.pasimalungan.net. Diakses terakhir pada tanggal 25 Maret 2009.
Wawancara Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan, Irsan Muchtar Nasution, Wakil Ketua Pengadilan Agama Medan, tanggal 08 Juni 2009
Ismy Syafriani Nasution : Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, 2009.