39
BAB II AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 1. Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.46 Perkawinan adalah sesuatu yang umum di masyarakat, menurut hukum perdata, hukum adat, dan Islamic law (hukum Islam). Perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga yang mempunyai arti yang sangat penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dalam pembentukan peradaban. Dari kedua ketentuan ini menegaskan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang mengikat laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan sering juga disebut “pernikahan”. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk 46
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
39
40
keluarga dengan berlawanan jenis antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, yang melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Sedangkan, istilah “kawin” digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. berbeda dengan ini, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan menurut agama. Dalam kata kawin, terkesan seolah-olah perkawinan hanya melulu mencerminkan hubungan biologis (seksual) yakni hubungan kelamin yang lazim dikenal dengan sebutan persenggamaan antara laki-laki dengan perempuan, seperti layaknya hubungan kelamin yang juga dilakukan hewan jantan dan betina. Hal itulah yang menyebabkan kenapa atau mengapa banyak orang tidak menikah secara hukum dan lebih suka kumpul kebo karena bagi pasangan seperti ini, hakikat kawin adalah persenggamaan. Kata nikah tidak semata-mata tercermin berkonotasi makna biologis, tetapi juga sekaligus juga tersirat dengan jelas hubungan pisikis kejiwaan (kerohanian) dan tingkah laku pasangan suami-isteri dibalik hubungan bilogis, dalam kata nikah, hubungan antara suami-isteri dan bahkan kemudian hubungan orang tua dan anak, akan mencerminkan hubungan kemanusiaan yang lebih terhormat, sejajar martabat manusia itu sendiri.47 Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam apabila
47
Amin Summa, Hukum Kekeluargaan Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 39
41
hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan sebagaimana yang diatur di dalam hukum perkawinan. Demikian juga halnya dengan bagi mereka yang beragama Kristen, Buddha dan Hindu, hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya suatu perkawinan. "Ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan hukum agama, dengan sendirinya menurut Undang-undang Perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan"
2. Syarat sah Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Syarat sah perkawinan diatur mulai Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat dilihat dari ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:48 a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin orang tua atau salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia
48
Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
42
c. Perkawinan hanya hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) Tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) Tahun. d. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. e. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya. f. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Mengenai waktu tunggu ini diatur dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari, dihitung sejak kematian suami. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. d. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.
43
Selanjutnya dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas/incest. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak, tiri/periparan. d. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin Sedangkan syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan direalisasikan dalam Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:49 1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan itu akan
49
Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
44
dilangsungkan, dilakukan sekurang kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan.
Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon
mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5) 2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7). 3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain: a.
Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.
b.
Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (Pasal 8-9)
4. Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13). Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa suatu perkawinan baru sah apabila dilakukan menurut hukum, agama, dan
45
kepercayaan masing-masing.50 Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Disamping itu ada keharusan untuk melakukan pencatatan perkawinan, adapun bunyi pasal tersebut ialah “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang berlaku”. pencatatan perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang. Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam daftar pencatatan yang disediakan khusus untuk itu. Di dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menitik beratkan kepada adanya pencatatan perkawinan yang secara rinci diatur bahwa : a) Ketentuan tentang pencatatan perkawinan 1.
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
2.
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada KCS (Kantor Catatan Sipil) sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
50
KN. Sofyan Hasan, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), hal. 7
46
3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara peraturan pencatatan perkawinan dilakukan sebagai mana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 peraturan itu. b) Ketentuan mengenai tempat pemberitahuan dan tenggang waktu antara saat memberitahukan dengan pelaksanaanya. c) Tata cara pemberitahuan kehendak untuk melakukan perkawinan ditentukan bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya, d) Pemberitahuan tersebut mengharuskannya pegawai pencatat untuk melakukan hal-hal yaitu : 1. Meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang. 2. Selain itu pegawai pencatatan meliputi pula : a. Kutipan akta kelahiran calon mempelai b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal orang tua calon mempelai. c. Ijin tertulis atau ijin pengadilan apabila salah satu calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh) tahun. d. Ijin pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih beristeri. e. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal pencatatan bagi perkawinan untuk kedua halnya atau lebih.
47
f. Ijin tertulis yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota angkatan bersenjata. g. Surat kuasa autentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir karena sesuatu alasan yang tertulis, sehingga mewakilkan kepada orang lain. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan secara lengkap mengatur syarat-syarat perkawinan baik yang menyangkut pasangan suami-isteri, kelengkapan administratif, prosedur pelaksanaannya dan mekanismenya. Adapun syarat-syarat yang telah dititikberatkan kepada orangnya diatur pada pasal 6 yang menyatakan bahwa: 1.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2.
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3.
Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4.
Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
48
keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5.
Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6.
Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya
itu
dari
yang
bersangkutan tidak menentukan lain. Berdasarkan uraian yang terdapat pada Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memerlukan penjelasan yaitu oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami-isteri dapat membentuk keluarga, kekal, dan bahagia, dan sesuai dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa adanya paksaan oleh pihak manapun. Ketentuan di dalam Pasal ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
49
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 6 menyatakan bahwa: 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. 2. Untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 harus mendapat izin orang tua.
3. Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pencatatan perkawinan sangat penting dilakukan, oleh karena mempunyai implikasi yuridis dalam berbagai aspek sebagai akibat dari dilakukannya perkawinan /pernikahan tersebut. Akan tetapi, di Indonesia terdapat beberapa faktor terutama yang berhubungan dengan nilai-nilai budaya dan agama atau kepercayaan, yang menjadi kendala pelaksanaan pencatatan perkawinan Oleh karena itu, peranan sosiologi hukum sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan menjadi sangat relevan untuk menganalisa hubungan antara kaidah-kaidah hukum positif yang mengatur tentang yang kewajiban pencatatan perkawinan dengan nilai – nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Pencatatan perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 Bab II Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pencatatan itu perlu untuk kepastian hukum, maka perkawinan yang terjadi sebelum
50
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan yang dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang lama adalah sah. Sebab dengan dilakukannya pencatatan perkawinan tersebut akan diperoleh suatu alat bukti yang kuat sebagai alat bukti autentik berupa akta nikah (akta perkawinan), yang didalamnya memuat sebagai berikut:51 a. Nama, tanggal, dan tempat lahir, agama dan kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami-isteri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama suami atau isteri terdahulu. b. Nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua mertua. c. Izin kedua orang tua bagi yang belum mencapai umur 21 tahun/dari wali atau pengadilan. d. Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua bagi yang melakukan perkawinan dibawah umur 19 tahun bagi pria dan dibawah umur 16 tahun bagi wanita. e. Izin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan lebih dari seorang isteri. f. Persetujuan kedua mempelai g. Izin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam/Pangab bagi anggota TNI h. Perjanjian perkawinan jika ada
51
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
51
i. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam. j. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa. Hal-hal yang dimuat dalam akta perkawinan tersebut di atas merupakan ketentuan minimal, sehingga masih dimungkinkan ditambahkannya hal-hal lain, misalnya yaitu mengenai: a. Nomor Akta b. Tanggal, Bulan, Tahun pendaftaran c. Jam, tanggal, bulan, dan Tahun Perkawinan dilakukan. d. Nama dan jabatan dari Pegawai Pencatat. e. Tanda tangan para mempelai, saksi dan bagi yang beragama Islam wali nikah atau yang mewakilinya, Pegawai Pencatat f. Bentuk dari mas kawin g. Ijin Balai Harta Peninggalan bagi mereka yang memerlukannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan maka kedua mempelai menandatangani Akta Perkawinan yang telah ditetapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, yang kemudian diikuti oleh kedua orang saksi, dan wali nikah. Penandatangan tersebut juga dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang bersangkutan, maka sejak saat itu perkawinan telah tercatat secara resmi.
52
Akta perkawinan itu oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan dibuat rangkap 2 (dua). Helai pertama disimpan di Kantor Pencatat (Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil). Sedangkan helai kedua dikirim ke Pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi Kantor Pencatatan tersebut. hal ini untuk memudahkan pemeriksaan oleh pengadilan bila dikemudian hari terjadi Talak atau Gugatan Perceraian, kepada suami isteri masing-masing diberikan Kutipan Akta Perkawinan, yang mirip dengan Buku Nikah dengan isi yang sama. Kutipan Akta Perkawinan tersebut adalah merupakan bukti autentik bagi masing-masing yang bersangkutan karena dibuat oleh Pegawai Umum. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2) menegaskan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”. “Artinya, pencatatan merupakan suatu hal yang harus dan wajib dilakukan, tidak bisa dirubah-rubah lagi dalam sebuah perkawinan”. Pencatatan perkawinan juga dapat berfungsi sebagai “pengatur” praktik poligami yang sering dilakukan secara diam-diam oleh pihak-pihak tertentu yang menjadikan perkawinan yang tidak dicatatkan semata. Setiap pasangan suami isteri yang akan menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan bagi yang beragama non-Islam di Kantor Catatan Sipil (KCS) biasanya harus melalui mekanisme pengumuman status calon pasangan suami-isteri setelah terdaftar sebagai pasangan suami-isteri yang akan melangsungkan perkawinan. Apabila data tentang status kedua calon pasangan suami-isteri diumumkan dan ternyata ada pihak-pihak
53
yang kurang menyetujui dan keberatan, perkawinan tersebut batal atau dengan kata lain perkawinan tersebut batal demi hukum. Secara harfiyah, pencatatan perkawinan berarti: pertama perbuatan, cara mencatat, kedua, yaitu pendaftaran. Jadi pencatatan perkawinan berati proses perbuatan, cara mencatat dan mendaftarkan perkawinan. Ketentuan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. tujuan pencatatan ini sebagaimana yang telah diutarakan dalam No. 4 huruf b Penjelasaan Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut: “Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”.52 Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, dan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
52
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hal 85
54
Peraturan perundang-undangan tidak menerangkan pengertian tentang pencatatan perkawinan secara definitif, tetapi hanya mengatur tentang tata cara pencatatannya saja. Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Dengan penandatangan akta perkawinan maka perkawinan telah tercatat secara resmi”. Penandatangan dimaksud adalah kedua mempelai, kedua saksi, wali nikah atau yang mewakilinya bagi pasangan suami-isteri yang beragama Islam dan pegawai pencatatan perkawinan menghadiri perkawinan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sedangkan pada Pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa “Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau wakilnya. Namun sebelum penandatangan dilaksanakan, harus melakukan serangkaian proses tertentu mesti dilaksanakan terlebih dahulu, yaitu: 1. Pemberitahuan Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut disebabkan sesuatu alasan yang penting
55
dapat diberikan Camat atas nama Bupati Kepala Daerah. Pemberitahuan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau kedua orang tua atau walinya. Pemberitahuan tersebut memuat antara lain: a. Nama b. Umur c. Agama/kepercayaan d. Tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu. Bagi pasangan suami-isteri yang beragama Islam, pemberitahuan disampaikan KUA (Kantor Urusan Agama), sesuai dengan Undang-Undamg Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk, sedangkan bagi pasangan suami-isteri yang beragama non-Islam pemberitahuannya dilakukan kepada KCS (Kantor Catatan Sipil) setempat. Dalam memberitahukan perkawinan kepada pencatatan perkawinan ini dapat dilakukan oleh kedua calon mempelai, orang tua mempelai atau wakilnya. Sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon kedua mempelai atau orang tua atau wakilnya. Berkenaan dengan isi pasal ini, penjelasan Peraturan Pelaksanaan
menjelaskan:
pada
prinsipnya
kehendak
untuk
melaksanakan
56
perkawinan harus dilakukan secara lisan oleh salah satu atau kedua calon mempelai, atau oleh orang tuanya atau wakilnya. Kemudian mengenai isi yang dimuat dalam pengumuman itu menurut Pasal 9 Dalam Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah tentang: a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon kedua mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri atau suami mereka dahulu. b. Hari, tanggal, jam perkawinan akan dilangsungkan. 2. Pelaksanaan Setelah hari kesepuluh sejak pengumuman perkawinan diumumkan kepada khayak umum maka perkawinan tersebut bisa dilangsungkan asal semua peraturanperaturan semua terpenuhi. Mengenai hal cara pelaksanaan perkawinan terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat dalamm Pasal 10 ayat (2) menyatakan bahwa “Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang berwenang dan dihadiri oleh kedua orang saksi. Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan “Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai
57
dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah berdasarkan ketentuan yang berlaku”. Pencatatan perkawinan adalah sebuah keharusan, ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa : 1.
Perkawinan yang sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya pasangan suami-isteri yang akan melangsungkan perkawinan
wajib memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat pasangan perempuan maupun akan dilangsungkan di tempat pasangan laki-laki. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kegiatan pencatatan perkawinan adalah sebagai alat bukti bahwa perkawinan tersebut telah dianggap sah berdasarkan hukum yang berlaku di tanah air. Oleh karena itu pasangan suami-isteri itu berhak mendapatkan akta nikah. Adapun pencatatan perkawinan dimaksud untuk menjadikan peristiwaperistiwa yang penting menjadi jelas, baik bagi pasangan suami-isteri, maupun orang lain, hal ini menyangkut surat yang bersifat resmi dan termuat dalam daftar khusus yang disediakan, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan sewaktu memiliki
58
keperluan, terutama sebagai alat bukti tertulis yang autentik. Dengan adanya surat bukti dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain. Pencatatan perkawinan dilakukan di KUA (Kantor Urusan Agama) bagi yang beragama Islam, tumbuh dan berkembang dengan baik sejalan dengan tumbuhnya pembangunan nasional, termasuk sejak masa orde baru yang mengutamakan stabilitas nasional sebagai dasar tumbuh dan berkembangnya pembangunan di segala bidang. Di Pulau Jawa, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah tersebut mendapat legalitas dari Departemen Agama sebagai penghantar orang yang berkepentingan dengan nikah dari Departemen Agama sebagai penghantar orang yang berkepentingan dengan nikah dan rujuk ke KUA (Kantor Urusan Agama) dan sebagai Pembina kehidupan beragama. Diluar Pulau Jawa karena keadaannya wilayah yang luas, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah mempunyai tugas yang lebih berat, yaitu atas nama Pegawai Pencatat Nikah/Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) melakukan pengawasan langsung terhadap pelaksanaannya Pegawai Pencatat Nikah.53 Dalam pencatatan perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah bertugas membina kehidupan beragama serta selaku Ketua BP4 bertugas menasehati perkawinan. Berdasarkan uraian di atas, maka dengan adanya KUA (Kantor Urusan Agama) tersebut tugas Pembantu Pegawai Pencatatan Pernikahan dibedakan antara Jawa dengan luar Pulau Jawa dan tugas pokoknya adalah :
53
Departemen Agama R.I 2007. Pedoman Pembantu Pencatat Nikah. Jakarta: Tenaga Keagamaan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, hal 2
59
1. Pelayanan nikah dan rujuk. 2. Pembina Kehidupan beragama Islam.54 Tugas pelayanan perkawinan nikah dan rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah adalah sebagai berikut: 1. Menerima informasi/pelapor dari masing-masing pihak yang berkepentingan melakukan perkawinan (calon isteri dan wali) mencatatkannya dalam buku model N10. 2. Melakukan penelitian awal tentang status dari keabsahan data masing-masing pihak, baik berdasarkan surat-surat keterangan yang dikeluarkan Kepala Desa/Lurah dan instansi lainnya maupun berdasarkan wawancara langsung. 3. Memberikan nasehat kepada masing-masing pihak tentang hal-hal yang sebaiknya dilakukan. Misalnya: tentang hak dan kewajiban suami-isteri. 4. Mengantar mereka ke KUA (Kantor Urusan Agama) kecamatan untuk melaporkan rencana perkawinan, sekurang-kurangnya 10 (sepuluh hari) sebelum pelaksanaan perkawinan. 5. Mendampingi Pegawai Pencatat Nikah dalam mengawasi Pelaksanaan Akad Nikah baik yang dilakukan dibalai nikah maupun yang dilakukan di luar balai nikah.55 a. Pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah
54 55
Ibid., hal 2 Ibid., hal 3
60
Untuk dapat diangkat menjadi Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan ada beberapa Syarat yang harus dipenuhi, diantaranya menguasai ajaran agama Islam serta mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan lulus test. Honorarium Pembantu Pegawai Pencatat Nikah diperoleh dari peristiwa nikah dan rujuk yang dilayaninya, yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama dengan persetujuan Gubernur. Status pembantu Pegawai Pencatatan Nikah bukan pegawai dan tidak ada kaitannya dengan kemungkinan diangkat sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil).
4. Akibat Hukum Perkawinan yang Tidak Dicatatkan Menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai sahnya suatu perkawinan yang menyatakan:56 1. Pasal 2 ayat (1) menyatakan: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 2. Pasal 2 ayat (2) menyatakan: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi, kalau dilihat penjelasan umum dari Undang-undang tersebut yang 56
Pasal 2 Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
61
menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundangan-undangan yang berlaku, dapat menimbulkan kesan bahwa pencatatan perkawinan mempunyai peranan yang menentukan juga terhadap suatu perkawinan. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk pada Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dari Kantor Catatan Sipil.57 Apabila ditelusuri Penjelasan Umum dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, poin (b) ayat (2) ditentukan: “Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam suratsurat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Menafsirkan ketentuan tersebut, maka perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian. Dalam arti, waktu perkawinan yang sah itulah waktu yang penting untuk dicatatkan, bukan waktu kapan dicatatkan itu menjadi penting untuk diakui sebagai waktu dilangsungkannya perkawinan, sebab waktu pencatatan adalah hanya bersifat administratif. Penafsiran
57
Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak Jilid 2, Diterjemahkan oleh Meitasari Tjandrasa. (Jakarta: Erlangga, 1992), hal. 35
62
di atas adalah analog dengan pencatatan kelahiran dan kematian, bukan waktu pencatatan kelahiran dan kematian yang dipakai sebagai waktu terjadinya kelahiran dan kematian, tetapi waktu kapan dilahirkan dan kapan waktu kematian berlangsung yang dipakai sebagai “waktu lahir” dan “waktu mati”. Jadi berdasarkan dengan persamaan dengan kelahiran dan kematian, demikian pula dengan perkawinan, kapan waktu sahnya perkawinan dilangsungkan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itulah yang harus diakui sebagai “waktu kawin”, bukan kapan waktu perkawinan yang sah itu dicatatkan atau didaftarkan.58 Menurut R. Wantjik Saleh, sehubungan dengan pencatatan perkawinan menyatakan: “Kiranya dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar khusus disediakan dimana perlu, terutama sebagai suatu alat bukti tertulis yang autentik”. Dengan adanya surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain. Pembuatan pencatatan itu tidaklah menentukan “sahnya” suatu perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif. Sedangkan mengenai “sahnya” perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan tegas menyatakan dalam Pasal 2 ayat (1)
58
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya. (Jakarta: CV. Gitama Jaya Jakarta, 2003), hal. 78
63
bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.59 Berbicara mengenai akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan, isteri tidak dianggap sebagai isteri sah dikarenakan isteri tersebut melakukan perkawinan secara agama saja akan tetapi secara hukum tidak karena pada perkawinan semacam ini mereka tidak mencatatkan perkawinannya, isteri tidak berhak mendapatkan nafkah dan warisan dari suaminya jika suami meninggal dunia, dan isteri juga tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan mereka dianggap pernikahannya tidak pernah terjadi. Secara sosial pada isteri yang melaksanakan perkawinan yang tidak dicatatkan isteri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan yang sah atau isteri dianggap isteri simpanan. Terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan, Undang-undang perkawinan pada Pasal 42 mengatur tentang anak sah, Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa ”Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Jelas disini dimaksudkan bahwa status anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan status si anak tersebut anak yang dilahirkan dianggap bukan anak sah dari pasangan suami-isteri tersebut dan Pasal 43 ayat (1)
59
Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia. (Surabaya: Airlangga University Press, 1986).
64
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Jadi dapat dikatakan dalam hal ini. Anak tersebut tidak dapat menuntut hak-haknya atau hak yang sama dengan anak dari perkawinan yang sah (perkawinan yang dicatatkan) hubungan status si ayah dengan si anak mengakibatkan tidak mempunyai kekuatan hukum yang pasti, sehingga dalam hal ini bisa saja si ayah sewaktu-waktu menyangkal bahwa anak tersebut bukanlah darah dagingnya atau anak kandungnya ayah tersebut melalaikan kewajiban dan tanggung jawabnya selaku ayah kandungnya. Undang-undang Perkawinan sendiri diatur tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak ini diatur Pada BAB X dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49, akan tetapi dengan adanya Putusan MK (Mahkamah Konsitusi) Pasal 43 ayat (1) berubah menjadi ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Dengan kata lain ayat tersebut bermaksud juga. Akibatnya ayahnya juga ikut juga bertanggung jawab terhadap nasib si anak tersebut, dalam pendidikan, pengasuhan dan nafkah biaya dan sebagainya.
65
B. Perkawinan menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) 1. Pengertian Perkawinan menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) KHI (Kompilasi Hukum Islam), perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalizha) menaati perintah Allah dan melakukan merupakan ibadah.60 Menurut Sudarsono dalam buku Amin Summa yang berjudul “Hukum Kekeluargaan Islam di Dunia Islam”, “Dewasa ini kerapkali dibedakan antara “nikah dengan “kawin”, akan tetapi pada prinsipnya antara “pernikahan” dan “perkawinan” hanya berbeda di dalam menarik akar kita saja.61 Apa yang dikatakan Sudarsono ini ada benarnya terutama jika dihubungkan dengan istilah teknis maupun istilah hukum yang digunakan. Hanya saja menjadi kurang tepat jika kata kawin dan nikah dihubungkan dengan penghayatan terhadap hakikat dan makna filosofis yang terkandung dalam tujuan pernikahan (perkawinan) itu sendiri. Dalam bahasa Arab, kata nikah disebut “nikahun” yang merupakan masdar atau kata asal dari kata kerja nakaha. Menurut bahasa, kata nikah berarti ad-dammu wat tadakul (bertindih dan memasukkan). Sedangkan menurut istilah ilmu fiqh, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai kata-kata (lafaz) nikah atau tazwij. Perkawinan dalam Islam menurut istilah ilmu Fiqih disebut dengan nikah atau ziwaj. Nikah adalah dham yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul,
60 61
Pasal 2 Kompilasai Hukum Islam Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 62
66
sedangkan arti kiasannya adalah watha yang berarti bersetubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian perkawinan”.62 Perkataan ziwaj diartikan sebagai “kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam hubungan suami isteri untuk mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadah kepada Allah”.63 Dalam Hukum Islam, perkawinan dipandang sebagai ibadah karena merupakan sunah Rasul dan penyempurnaan separuh dari agama. Dalam salah satu hadist disebutkan bahwa “Apabila menikah seorang hamba, sesungguhnya ia telah menyempurnakan separuh agama, dan takutlah kepada Allah pada separuh yang tinggal”. Jadi tidaklah tepat jika perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan sosial kemanusian saja. Seseorang melakukan perkawinan bukan hanya ingin meningkatkan status sosial dan memenuhi kebutuhan biologisnya, tetapi lebih dari itu yaitu mempunyai nilai ibadah yang sangat tinggi”. Untuk menggapai kehidupan yang bahagia dalam sebuah perkawinan tidaklah cukup untuk meningkatkan status sosialnya di masyarakat. Tetapi lebih dari itu kebahagiaan dalam rumah tangga tidak bisa terlepas dari kehidupan spiritual. Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan qabul (pernyataan kedua calon penyerahan dari pihak laki-laki).
62
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Bandung: Bulan Bintang, 1984), hal. 1 63 Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II), (Bandung: Mandar Maju, 1992), hal. 74
67
Menurut Abdul Djamali bahwa tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah : a. Berbakti kepada Allah b. Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi hukum bahwa antara pria dan wanita itu saling membutuhkan. c. Mempertahankan keturunan umat manusia d. Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria dan wanita. e. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia untuk menjaga keselamatan hidup.64
2. Syarat Sah Perkawinan Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) sahnya perkawinan adalah harus adanya calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan, ijab dan qabul.65 1. Shighat (Ijab-Qabul) Pengertian akad nikah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 1 bagian (c) akad nikah ialah: rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh 2 orang saksi. Di dalam fiqh ‘ala mazahib al-arba’ah syarat ijab-qabul adalah: 1. Jika dengan lafadz yang khusus seperti ankahtuka atau zawwajtuka 2. Jika pengucapan ijab-qabul pada satu majlis 64 65
Ibid., hal 75 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007).
68
3. Jika tidak bertentangan antara ijab dan qabul. Contohnya ketika seorang wali mengatakan saya nikahkan kamu dengan anak perempuanku dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai, lalu calon suami menjawab saya terima nikahnya tapi saya tidak menyetujui mas kawin tersebut. 4. Tidak boleh lafadz ijab-qabul terbatas waktu. Kalau lafadz Ijab-Qabul terbatas waktu maka hukumnya menjdi nikah mut’ah. Syarat bentuk kalimat ijab dan qabul: para fuqaha’ telah mensyaratkan harus dalam bentuk madzi (lampau) bagi kedua belah pihak. Atau salah satunya dengan bentuk madhi, sedangkan lainnya berbentuk mustaqbal (yang datang). Misalnya ijab perempuan (yang diwakili wali) : “Saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama…”.66 Dan laki-laki tersebut menerima atas ijab perempuan. Misalnya: “Saya terima menikahi…dengan maskawin…(tunai/atau…).67 Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 27 menyatakan bahwa: “Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu”.68 Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 28 menyatakan bahwa: “Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan pada orang lain”.69
66
Sudarsono, Op. cit, hal. 62 Ibid., hal. 63 68 Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam 69 Pasal 28 Kompilasi Hukum Islam 67
69
2. Syarat calon kedua mempelai yang baik Untuk syarat seorang laki-laki sama dengan sifat yang dimiliki oleh seorang wanita tinggal kebalikanya. Syarat-syarat calon suami lainnya adalah: 1. Tidak dalam keadaan ihrom, meskipun diwakilkan. 2. Kehendak sendiri 3. Mengetahui nama, nasab, orang, serta keberadaan wanita yang akan dinikahi. 4. Jelas laki-laki. Syarat-syarat calon isteri: 1. Tidak dalam keadaan ihrom 2. Tidak bersuami 3. Tidak dalam keadaan iddah (masa penantian) 4. Wanita. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 16 ayat 1 menyatakan bahwa: perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. 3. Wali Wali adalah rukun dari beberapa rukun perkawinan yang lima, dan tidak sah nikah tanpa wali laki-laki. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
70
Syarat-syarat menjadi wali: 1. Bapak. 2. Kakek dari jalur Bapak. 3. Saudara laki-laki kandung. 5. Saudara laki-laki tunggal bapak. 6. Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung). 7. Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak). 8. Paman dari jalur bapak. 9. Sepupu laki-laki anak paman. 10. Hakim bila sudah tidak ada wali –wali tersebut dari jalur nasab. Bila sudah benar-benar tidak ditemui seorang kerabat atau yang dimaksud adalah wali di atas maka alternatif berdasarkan hadis Nabi adalah pemerintah atau hakim kalau dalam masyarakat kita adalah naib. Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa : 1. Yang berhak mengucapkan qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. 2. Dalam hal-hal tertentu ucapan qabul nikah dapat dilakukan pada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. Pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 20 ayat 1 menyatakan: yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni, muslim, aqil, baligh.
71
Wali nikah terdiri dari: wali nasab dan wali hakim, Wali nasab adalah wali dari pihak kerabat dan wali hakim adalah pejabat yang diberi hak oleh penguasa untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dengan sebab tertentu pula. Sebagian ulama diantaranya ulama al-mahhab Syafi’i, Hambali, dan Hanafi menambahkan orang yang memerdekakan berhak menjadi wali nikah bagi budak yang di memerdekakan, jika tidak ada wali nasab pada prinsipnya hak menikahkan perempuan itu berada pada wali nasab atau yang memerdekakan. Hak berpindah pada hakim, jika wali nasab atau memerdekakan tidak ada atau sebab lain.70 Pada Pasal 21 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dibahas empat kelompok wali nasab yang pembahasanya sama dengan fikih Islam seperti pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki saudara kandung, seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. Menyangkut dengan wali hakim dinyatakan pada Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi: a.
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadiri atau tidak diketahui tempat tinggal atau ghaibnya atau ‘adhalnya atau enggan.
70
Ahmad Saiful Rijal, http://s-ipoel.blogspot.com/2013/06/pengertian-wali-hakim.html, Pengertian wali, diakses Pada hari Selasa, tanggal 25 November 2014, Pada pukul 09:02 WIB
72
b.
Dalam hal wali ‘adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut.71
4.
Saksi Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik bersepakat bahwa saksi
termasuk syarat dari beberapa syarat syahnya nikah. Ulama’ jumhur berpendapat bahwa perkawinan tidak dilakukan kecuali dengan jelas dalam pengucapan ijab dan qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan saksi-saksi hadir langsung dalam pernikahan agar mengumumkan atau memberitahukan kepada orang-orang. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 24 ayat 1 menyatakan: “Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah”. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 26 menyatakan bahwa: “saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan”. Syarat-syarat saksi: Islam, baligh, berakal, mendengarkan langsung perkataan ijab-qabul, dua orang laki-laki dan yang terpenting adil. Abu Hanifah berpendapat bahwa jika perkawinan dihadiri oleh dua saksi yang fasik tidak apa-apa karena maksud saksi di sini adalah untuk pengumuman. Untuk Imam Syafii mempunyai pendapat bahwa saksi mengandung dua arti, yaitu pengumuman dan penerimaan jadi disyaratkan saksi yang adil. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 24 ayat 2 menyatakan : setiap perkawinan harus disaksikan 2 orang saksi.
71
Pasal 23 Kompilas Hukum Islam
73
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan Dalam Pasal 24 ayat 1 menjelaskan: saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Dan ayat 2 pada Pasal 24 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa: “Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi”. Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar sahnya perkawinan. Jika syaratsyarat ini terpenuhi maka perkawinan tersebut sah dan akan menimbulkan kewajibankewajiban dan hak-hak perkawinan. Adapun syarat-syarat sahnya suatu perkawinan adalah: 1. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya. 2. Dihadiri dua orang saksi laki-laki. 3. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. syarat ketiga ini dianut oleh kaum Muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafi’I, Ahmad Bin Hanbal.72 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tentang yakni calon suami berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan calon isteri sekurangnya berumur 16 (enam belas) tahun.
72
Sudarsono. Op. cit., hal. 40
74
3. Pencatatan Perkawinan Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) Secara syari’ah agama, pencatatan perkawinan memang tidak termasuk dalam rukun serta syarat sahnya perkawinan, seperti tentang wali, saksi, ijab-qabul, mahar, dan sebagainya, akan tetapi berdasarkan analisis hukum Islam pencatatan itu termasuk dalam syarat sahnya suatu akad yang disebut akad mu’amalah. Proses ini sangat penting sebagai bukti autentik yang dapat memperkuat komitmen pada pasangan suami-isteri agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan salah satu pasangan suami-isteri, termasuk anak-anak. Bagi pasangan suami-isteri yang beragama Islam yang ingin menikah, pasangan suami-isteri mencatatkan pernikahannya di KUA (Kantor Urusan Agama), sedangkan bagi yang di luar dari Agama Islam wajib mencatatkan perkawinannya di KCS (Kantor Catatan Sipil). Berdasarkan uraian Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 2 ayat (1) maka pencatatan bagi yang beragama Islam didasarkan pada ketentuanketentuan yang berlaku dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam). Pasal 5 - 6 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, yang berbunyi : Ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa : 1. Agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. 2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan berlakunya Undang-
75
Undang Republik Indonesia tanggal 21 November 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura Ketentuan Pasal 6 ayat 1 dan 2 (KHI) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa : 1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. 2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Ketentuan Pasal 7 ayat 1, 2, 3 dan 4 (KHI) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa : 1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. 2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. 3. Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a.
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b.
Hilangnya Akta Nikah;
c.
Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
d.
Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
76
e.
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4. Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anakanak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. “Dalam Undang-undang ini dinyatakan suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu, disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) KHI (Kompilasi Hukum Islam), adanya suatu perkawinan hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang dicatat dalam register. Bahkan ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Dengan perkataan lain, perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta Nikah atau Buku Nikah merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan) perkawinan. Tanpa akta perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada perkawinan. Penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa pencatatan perkawinan, dengan adanya akta nikah akan memberikan kepastian hukum yang kuat kepada suami isteri, baik dalam lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal maupun di muka hakim persidangan karena akta merupakan suatu alat bukti tertulis yang harus diperlihatkan. Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut dibuat oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang berwenang untuk
77
melakukan pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan dibuat di tempat Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama tersebut melaksanakan tugasnya. Meskipun, Peraturan Perundang-undangan sudah mengharuskan adanya Akta Nikah sebagai bukti perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami isteri yang telah menikah tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah. Kemungkinan yang jadi penyebab tidak adanya Kutipan Akta Nikah disebabkan oleh beberapa faktor seperti: a. Kelalaian pihak suami-isteri atau pihak keluarga yang melangsungkan pernikahan tanpa melalui prosedur yang telah ditentukan pemerintah. Hal ini kelihatan semata-mata karena ketidaktahuan mereka mereka terhadap peraturan dan ketentuan yang ada (buta hukum); b. Besarnya biaya yang dibutuhkan bila mengikuti prosedur resmi tersebut; c. Karena kelalaian petugas Pegawai Pecatat Nikah/wakil seperti dalam memeriksa surat-surat/persyaratan-persyaratan nikah atau berkas-berkas yang ada hilang; d. Pernikahan yang dilakukan sebelum lahirnya Undang-undang Perkawinan e. Tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk berpoligami terutama tidak adanya persetujuan dari isteri sebelumnya. Bilamana suatu perkawinan tidak dicatat sekalipun perkawinan tersebut sah menurut ajaran agama dan kepercayaannya, namun perkawinan tersebut tidak diakui
78
Negara dan sulit membuktikan adanya perkawinan itu, karena tidak adanya surat nikah atau akta nikah.73 Berdasarkan ketentuan KHI (Kompilasi Hukum Islam) perkawinan yang tidak dicatatkan atau tidak bisa dibuktikan dengan adanya akta nikah, maka bagi pasangan suami-isteri yang beragama Islam dapat menempuh suatu jalan yang telah diakui kesahannya, yaitu melalui “itsbat nikah” (penetapan kembali perkawinan). Dalam hal ini, Pasal 7 ayat 2 KHI (Kompilasi Hukum Islam) menyatakan bahwa “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama”. Itsbat nikah berasal dari bahasa Arab yang terdiri itsbat dan nikah. Itsbat berasal dari bahasa arab yaitu yang berarti penetapan, pengukuhan, pengiyaan. Itsbat nikah sebenarnya sudah menjadi istilah dalam Bahasa Indonesia dengan sedikit revisi yaitu dengan sebutan itsbat nikah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, itsbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Itsbat nikah adalah pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA (Kantor Urusan Agama) atau PPN yang berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan). Itsbat nikah (penetapan kembali perkawinan) yang dilaksanakan oleh Pengadilan Agama karena pertimbangan maslahatan bagi umat Islam. Itsbat nikah
73
hal. 75
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1977),
79
sangat bermanfaat bagi umat Islam untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya yang berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi yang berwenang serta memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami isteri. Dalam perkawinan akan timbul hak dan kewajiban pasangan suami-isteri, demikian pula apabila pada perkawinan yang tidak dicatatkan pasangan suami-isteri harus melaksanakan itsbat nikah (penetapan kembali pernikahan). Apabila terjadi perceraian maka dalam hal ini perempuan (isteri) bisa menuntut hak dan kewajibannya di muka Pengadilan Agama yang memiliki kewenangan dalam wilayah hukum dimana pasangan suami isteri bertempat tinggal. Dalam hubungannya dengan hal di atas, dewasa ini permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama dengan berbagai alasan, pada umumnya perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengadilan Agama selama ini menerima, memeriksa dan memberikan penetapan permohonan itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kecuali untuk kepentingan mengurus perceraian, karena akta nikah hilang, dan sebagainya menyimpang dari ketentuan perundang-undangan Pasal 49 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan
80
penjelasannya). Namun oleh karena itsbat nikah sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maka Hakim Pengadilan Agama melakukan “ijtihad” dengan menyimpangi tersebut, kemudian mengabulkan permohonan itsbat nikah berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam. Apabila perkawinan yang dimohonkan untuk diitsbatkan itu tidak ada halangan perkawinan sebagaimana diatur di dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Pengadilan Agama akan mengabulkan permohonan itsbat nikah meskipun perkawinan itu dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Padahal, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak termasuk dalam hierarki Peraturan PerundangUndangan yang disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Oleh karena itu, penetapan itsbat nikah oleh Pengadilan Agama tersebut, tidak lebih hanya sebagai kebijakan untuk mengisi kekosongan hukum yang mengatur tentang itsbat nikah terhadap perkawinan yang dilaksanakan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasangan suami-isteri yang telah mencatatkan perkawinannya secara resmi melalui pejabat yang telah diatur ketentuannya, berhak memperoleh akta nikah yang dapat dipergunakan untuk mengurus keperluan di dalam rumah tangga. 4. Akibat Hukum Perkawinan yang Tidak Dicatatkan Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam) Di Indonesia, KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada bagian I berisi ketentuan tentang perkawinan bagi orang yang beragama Islam di Indonesia, yang juga merujuk
81
pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan tentang syarat pencatatan perkawinan yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya juga diatur di dalam Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa: Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat dan Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan bahwa: Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam), kedua-duanya sama-sama mensyaratkan adanya pencatatan perkawinan. Sehingga akibat hukum yang ditimbulkan jika perkawinan yang tiak dicatatkan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam syari’at Islam, memang tidak ada perbedaan prinsipil antara perkawinan yang diatur dalam hukum Islam maupun hukum Negara, dalam fiqih Islam, syarat sah perkawinan menurut fuqaha adalah : a. Dipenuhi semua syarat nikah. b. Dipenuhi semua rukun nikah, dan
82
c. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang ditentukan syara’ Rukun perkawinan dalam Islam, yaitu : a. Mempelai laki-laki (calon suami) b. Mempelai perempuan (calon isteri) c. Wali nikah d. Dua orang saksi e. Shighat ijab dan qabul Apabila perkawinan itu telah memenuhi syarat dan rukun perkawinan sebagaimana yang diajarkan oleh kitab-kitab fiqih, maka perkawinan itu sah menurut Islam. Apakah perkawinan tersebut dicatat oleh pemerintah atau tidak dicatat, hak dan kewajiban seorang isteri tetap sama. Akibat lain dari perkawinan yang tidak dicatatkan ini terhadap isteri adalah: isteri tidak bisa menggugat suami, apabila ditinggalkan oleh suami, isteri tidak memperoleh tunjangan perkawinan dan tunjangan pensiun suami.74 Ketika mengurus akta kelahiran mengalami kesulitan, ketika terjadi perceraian isteri sulit (tidak bisa) memperoleh perkaranya: harta gono-gini, nafkah iddah, mut’ah (kenang-kenangan yang diberikan mantan suami kepada mantan isterinya dan harta warisan) ke Pengadilan Agama karena perkawinannya tidak tercatat di KUA (Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dapat merugikan anak dan isterinya bila
74
Dikutip dari Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang, Drs. H. Chatib Rasyid, S.H., M.H., saat bertindak sebagai nara sumber dalam seminar “Kajian Yuridis Sosiologis dan Problematika Nikah Siri”, Sabtu, 6 juni 2009 di Gedung Serbaguna Setda kabupaten Jepara, Sumber: www.Unissula.com
83
suami/ayahnya meninggal dunia dalam hal pembagian harta warisnya oleh Pengadilan Agama, karena tidak adanya alat bukti bahwa ia itu isteri dari suami yang meninggal dunia, atau ia anak dari ayah yang meninggal dunia. Apabila perkawinan yang tidak dicatatkan ini, akan tetapi bila perkawinan tercatat meski dirahasiakan pada orang banyak maka anak tersebut memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Perkawinan yang tidak dicatatkan dapat diajukan penetapan kembali perkawinan (itsbat nikah) ke Pengadilan Agama, agar perkawinan yang telah dilangsungkannya secara agama Islam dilegal formalkan. Bila Pengadilan Agama dan berdasarkan penetapan itu KUA dapat mencatat/meregistrasi perkawinannya itu dan ia memperoleh akta nikah. Secara sosial, isteri dari perkawinan yang tidak dicatatkan akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan sering dianggap masyarakat tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (Kumpul kebo) malahan banyak yang dianggap sebagai isteri simpanan. Akibatnya akan mengurangi hak-hak mereka sebagai warga Negara. Wanita yang melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan mereka sering dipermainkan oleh lakilaki yang tidak bertanggung jawab karena mereka tidak memiliki kekuatan hukum untuk menggugat, mudah ditelantarkan tidak diberi nafkah dengan cukup dan tidak ada kepastian dari suami, karena perkawinan yang tidak dicatatkan tidak diakui oleh hukum.75 Dampak sosial lainnya, biasanya sebuah perkawinan yang tidak dicatatkan
75
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK - Jakarta, http://www.lbh-apik.or.id, Pentingnya Pencatatan Perkawinan, di akses Pada hari Senin, tanggal 30 Maret 2015, Pada Pukul 10:49 WIB
84
akan dinilai oleh masyarakat sebagai sebuah perkawinan yang tidak ideal dan tidak membuat suasana rumah tangga harmonis.76 Akibat hukum perkawinan yang tidak dicatatkan terhadap laki-laki atau suami hampir tidak ada dampak yang mengkhawatirkan. Yang terjadi justru menguntungkan dia, dikarenakan yaitu: a. Suami bebas menikah lagi, karena perkawinan yang tidak dicatatkan sebelumnya dianggap tidak sah dimata hukum b. Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada isteri maupun kepada anak-anaknya. c. Tidak dipusingkan dengan pembagian harta goni-gini, warisan dan lain-lain. Mengenai pasangan suami-isteri yang melakukan perkawinan yang tidak dicatatkan, bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan tidak dikenal dan diakui dalam hukum Negara maka ia tidak mempunyai hak dalam hal perlindungan hukum atas perkawinan yang pasangan suami-isteri jalani. Hak suami dan isteri baru bisa dilindungi oleh Undang-undang setelah memiliki alat bukti yang autentik tentang perkawinannya. Perkawinan yag dilakukan di luar ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan kebiasaan dapat di katagorikan sebagai perkawinan rahasia atau yang dirahasiakan yang menyimpan masalah. Masalah itu akan menimpa orang yang bersangkutan, mungkin juga mengenai anak-anak yang lahir dari perkawinan bermasalah itu kelak. Jikalau, tidak ada bukti yang autentik yang menyatakan bahwa 76
Ibid.
85
mereka telah menikah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia, suami-isteri itu tidak dapat saling mewarisi, anak-anak mereka tidak bisa menjadi ahli waris bapaknya, dan anak perempuannya tidak diakui mempunyai hubungan nasab dengan bapak biologisnya, sehingga bapaknya itu, menurut hukum, tidak bisa bertindak sebagai walinya dalam perkawinan.77
77
Mega Magdalena, Fungsi Pencatat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Studi Kasus Pengadilan Agama Medan, (Medan: Tesis Pascasarjana USU, 2005), hal. 81